Anda di halaman 1dari 32

URGENSI KUHP BARU DALAM UPAYA PEMBANGUNAN

HUKUM PIDANA NASIONAL

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


HAM dan Kekuasaan Kehakiman

Oleh:
BUDI SUSANDI 153112330020163
HENDRA NURDIANSYAH 153112330040124
SALWALUNA 153112330020148
RABINDRA WICAKSANA 153112330040142

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NASIONAL
2016
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT , bahwa penyusun


telah dapat menyelesaikan makalah yang dibuat untuk memenuhi tugas mata
kuliah ilmu Negara. Pembuatan makalah ini dibimbing oleh dosen Diah Ratu S.,
S.H., M.H. dengan judul “URGENSI KUHP BARU DALAM UPAYA
PEMBANGUNAN HUKUM PIDANA NASIONAL”.
Penyusun merasa di dalam pembuatan makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan penyusun, kritik serta saran kami harapkan .
dalam pembuatan makalah ini pun tak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
karena itu penyusun mengucap terima kasih yang sebesar besarnya kepada semua
pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun
dan umumnya bagi semua pihak.

JAKARTA , 4 MARET 2015

Ttd.

PENYUSUN
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1


A. Latar Belakang ................................................................................................1
B. Perumusan Masalah .........................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................2


2.1 Pembangunan Hukum Nasional .....................................................................2
2.2 Urgensi KUHP Baru ......................................................................................3
2.3 Perbedaan KUHP Baru dan KUHP Lama ......................................................4

BAB III PENUTUP ..............................................................................................28


A. Kesimpulan....................................................................................................28
B. Saran ..............................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................30


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dirasa sudah tidak sesuai
dengan perkembangan zaman dan perlu adanya revisi. Hal ini terlihat dari
banyaknya interpretasi hukum yang dibuat oleh hakim karena adanya kekosongan
hukum atau dengan kata lain masih ada tindak pidana yang belum secara rigit
diatur di dalam KUHP.
Para sarjana hukum atau ahli hukum yang ada di Indonesia sudah sejak lama
meneliti mengenai perubahan aturan – aturan pidana di Indonesia dalam upaya
pembangunan hukum pidana nasional. Pembangunan atau pembaharuan hukum
pidana ini tentu sudah menjadi cita-cita bangsa untuk mewujudkan hukum yang
adil bagi masyarakat, mengingat KUHP yang berlaku saat ini dianggap sudah
tidak lagi menjawab permasalahan hukum yang ada di indonesia khususnya dalam
perkembangan terkini yang sudah modern dan cenderung menimbulkan
ketidakpuasaan masyarakat dalam penegakan hukum.
Oleh karena itu, penyusun melihat adanya kebutuhan dalam pembaharuan
hukum pidana di Indonesia. Penyusun tertarik membuat sebuah makalah yang
berjudul “Urgensi Kitab Undang – Undang Hukum Pidana Nasional (KUHP) baru
dalam Upaya Pembangunan Hukum Nasional”.

1.2 Perumusan Masalah


1. Bagaimana pembangunan hukum nasional Indonesia?
2. Apa yang dimaksud dengan urgensi KUHP baru?
3. Hal-hal apa saja yang membedakan KUHP baru dan KUHP yang
berlaku?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pembangunan Hukum Nasional


Pembangunan hukum nasional diartikan sebagai membangun ilmu atau
konsep tentang hukum nasional. Dalam konteks ini konsep yang akan dibangun
adalah konsep mengenai pertanggungjawaban hukum atas perbuatan
manusia/orang berdasarkan Pancasila. Pembangunan hukum nasional merupakan
pembangunan konsep nilai atau pembangunan budaya hukum, yang dibangun
dengan paradigma budaya ideologi Pancasila yaitu paradigma moral religius,
kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi dan paradigma keadilan sosial. Dalam
konstruksi pembangunan (ilmu) hukum nasional Indonesia, hal tersebut patut
mendapatkan perhatian dan kajian lebih mendalam.1
Pembangunan hukum nasional masa reformasi saat ini merupakan
konsekuensi sistem demokrasi yang menuntul transparansi, akuntabilitas dan
mengedepankan hak asasi manusia serta membuka akses informasi publik ke
dalam birokrasi. Seluruh proses rekonstruksi sosial dan pengembangan sarana dan
prasarana dalam pembangunan selalu dilaksanakan melalui dan dilandaskan
produk peraturan perundangundanganyang berlaku.
Model hukum pembangunan justru dalam praktik pembentukan hukum
dan penegakan hukum masih sering mengalami hambatan-hambatan yaitu
kebiasaan kurang terpuji selama 50 (limapuluh tahun) Indonesia merdeka, yaitu
pengambil kebijakan sering memanfaatkan celah unluk menggunakan hukum
sekedar sebagai alat (mekanis) dengan tujuan memperkuat dan mendahulukan
kepentingan kekuasaan daripada kepentingan dan manfaat bagi masyarakat
seluas-luasnya, seperti perampasan hak masyarakat adat alas tanah unluk tujuan
pembangunan gedung pemerintah dan jalan raya; begitupula perampasan hak
ekonomi dan sosial rakyat, seperti pemberian jaminan kesehatan masyarakat
(Jamkesmas) yang bel urn merata, dan hak golongan pengusaha menengah dan

1
Ali Imron. 2008. Kontribusi Hukum Islam terhadap Pembangunan Hukum Nasional. Semarang:
Universitas Diponegoro.

2
kecil dikesampingkan oleh kekuatan konglomerasi dengan praktik monopoli
secara terang-terangan atau terselubung.
Hambatan lain berasal dari pendidikan hukum di Indonesia yang masih
merupakan bagian dari masalah sebagaimana telah disampaikan Mochtar
Kusumaatmadja. Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan, bahwa model hukum
pembangunan masih mengalami hambatan-hambatan yaitu (I) sukarnya
menentukan tujuan daripada perkembangan hukum (pembaruan); (2) sedikitnya
data empiris yang dapat digunakan untuk mengadakan suatu analisis deskriptif
dan prediktif dan (3) sukarnya mengadakan ukuran yang objektif untuk mengukur
berhasil/tidaknya usaha pembaruan hukum.2

2.2 Urgensi KUHP Baru


    KUHP yang sekarang diberlakukan di Indonesia adalah KUHP yang
bersumber dari hukum kolonial Belanda (Wetbook Van Strafrecht) yang berhasil
diselesaikan oleh Belanda pada 3 Maret 1881 dan berlaku efektif pada 1
September 1886 setelah 70 tahun lepas dari Code Penal Perancis. Banyak pasal -
pasal penyebar kebencian (hatzaai artikelen) terhadap pimpinan politik, pejabat
atau golongan etnis dalam KUHP ini yang berlaku setelah kemerdekaan baik pada
masa demokrasi terpimpin maupun orde baru. Hal ini tentu mengakibatkan
terjadinya penjajahan terhadap nilai-nilai dan budaya bangsa Indonesia. Kualitas
kehidupan masyarakat yang berkarakter Pancasila tidak dapat terwujud jika sistem
hukumnya tidak berkarakter Pancasila (tidak berkarakter ketuhanan/religious,
tidak berkemanusiaan/humanis, tidak berkarakter nasionalis,
demokratis/kerakyatan, dan tidak berkarakter keadilan sosial).8 Selain itu, KUHP
warisan zaman hindia belanda berdampak pada keseluruhan pilar-pilar sistem
penegakan hukum pidana yaitu pilar legislasi, pilar yudikasi dan pilar edukasi.3
Hal tersebut dikarenakan perumusan, penegakan atau pendidikan ilmu hukum

2
Atmasasmita, Romli. Tiga Paradigma Hukum Dalam Pembangunan Nasional. http://bphn.go.id.
3
Barda Nawawi, “Pembaharuan Hukum Pidana dalam Konteks RUU KUHP”,   makalah
disampaikan dalam Penataran Asas-Asas Hukum Pidana dan Kriminologi, tanggal 23-27 Februari
2014 di Yogyakarta, hlm. 6.

3
pidana selalu berorientasi pada KUHP atau WvS sebagai peraturan buatan
Belanda.
Kongres PBB ke-7 tahun 1976 tentang The Prevention of Crime and the
Treatment of Offenders menyatakan bahwa hukum pidana yang selama ini ada di
berbagai negara sering berasal dari hukum asing dari zaman kolonial. Ketentuan
hukum tersebut pada umumnya telah asing dan tidak adil (obsolete and unjustice)
serta ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan (outmoded and
unreal) karena tidak berakar dan pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada
diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan
sosial masa kini. Oleh karena kompleksnya permasalahan tersebut, muncul
keinginan melakukan pembaruan hukum nasional melalui penyusunan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Nasional untuk menggantikan KUHP
peninggalan pemerintah kolonial Belanda dengan segala perubahannya. Usaha
tersebut dilakukan secara terarah dan terpadu agar dapat mendukung
pembangunan nasional di berbagai bidang, sesuai dengan tuntutan pembangunan
serta tingkat kesadaran hukum dan dinamika yang berkembang dalam
masyarakat.4

2.3 Perbedaan KUHP Baru dan KUHP yang Berlaku


Usaha pembentukan KUHP baru untuk menggantikan WvS yang sekarang
berlaku sudah cukup lama dilakukan. Dimulai dengan adanya rekomendasi
Seminar Hukum Nasional I tahun 1963 yang menyerukan agar rancangan
kodifikasi hukum pidana nasional selekas mungkin diselesaikan, maka pada tahun
1964 dibicarakan konsep yang pertama.5 Rancangan KUHP tahun 1964 ini
kemudian diikuti dengan rancangan-rancangan tahun berikutnya, yaitu Rancangan
KUHP 1968, Rancangan KUHP 1971/1972, Rancangan KUHP Basaroedin
(Konsep BAS), Rancangan KUHP 1979, Rancangan KUHP 1982/1983,

4
Setyo Utomo, “Sistem   Pemidan aan dalam Hukum Pidana yang Berbasis Restorative   Justice”,  
makalah, disampaikan dalam FGD Politik Perumusan Ancaman Pidana dalam Undang-Undang
diluar KUHP, tanggal 21 Oktober 2010 di Jakarta, hlm. 1.  
5
Barda Nawawi, 2011, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan Penyusunan
Konsep KUHP Baru), Jakarta, Kencana, hlm 102.

4
Rancangan KUHP 1984/1985, Rancangan KUHP 1986-1987, Rancangan KUHP
1987/1988, Rancangan KUHP 1989/1990, Rancangan KUHP 1991/1992 yang
direvisi sampai 1997/1998, dan Rancangan KUHP 1999/2000.13 Konsep
rancangan KUHP Baru disusun dengan bertolak pada tiga materi dalam hukum
pidana yaitu tindak pidana, kesalahan dan pertanggungjawaban pidana serta
pidana dan pemidanaan.
Ketentuan mengenai substansi tersebut tentu mengalami perubahan
terutama mengenai pemidanaan. Pemidanaan dalam rancangan KUHP , jika
dibandingkan dengan KUHP yang saat ini berlaku mengalami beberapa
perubahan mendasar. Bagian mengenai pemidanaan di antaranya berisi tentang
tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan alasan-alasan mengenai dapat
dijatuhkannya pemidanaan bagi pelaku tindak pidana.14 Pengaturan ini lebih
lengkap dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHP yang berlaku saat ini. Hal
ini menjadi penting karena tujuan pemidanaan dimaksudkan dapat menunjukkan
seberapa besar perlindungan dan jaminan keadilan dan perlindungan hak asasi
dari negara terhadap warga negaranya. Selain untuk menunjukkan paradigm
negara atas perlindungan dan jaminan Hak Asasi Manusia, tujuan pemidanaan
menjadi penting karena akan menjadi dasar dalam penetapan sanksi pidana.
Penetapan sanksi pidana yang tidak tepat akan mengakibatkan tidak terkendalinya
perkembangan kriminalitas.
Barda Nawawi Arief sebagaimana dikutip oleh Setyo Utomo, menyatakan
bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam perumusan tujuan
pemidanaan adalah :
1. Pada hakekatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan
sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam undangundang,
pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan;
2. Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu
rangkaian proses dan kebijakan yang konkretasinya sengaja direncanakan
melalui tiga tahap. Agar ada keterjalinan dan keterpaduan antara ketiga
tahap itu sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan, maka dirumuskan
tujuan pemidanaan;
3. Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi pengendalian
kontrol dan sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar rasionalitas
dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah;

5
Berdasarkan tujuan pemidanaan tersebut, Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana mengimplementasikan pokok pemikiran atau ide dasar
keseimbangan yang terungkap dalam kesepakatan nasional dan internasional
untuk menjadi ide dasar yang melatarbelakangi sistem pemidanaan. Pokok
pemikiran dan ide dasar yang telah diungkapkan tersebut secara garis besar
mencakup keseimbangan monodualistik antara kepentingan umum atau
masyarakat dan kepentingan individu atau perorangan, keseimbangan antara
perlindungan atau kepentingan pelaku tindak pidana (individualisasi pidana) dan
korban tindak pidana, keseimbangan antara unsur atau faktor objektif dan
subjektif, ide daad-dader strafrecht atau keseimbangan antara kriteria formal dan
material, keseimbangan antara nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global atau
internasional, serta keseimbangan orientasi antara kepastian hukum, keadilan
(principle of justice/ rule of justice), dan kelenturan/elastisitas/fleksibilitas
(elasticity/flexibility of sentencing).17 Implementasi keseimbangan antara
kepastian hukum, keadilan dan kelenturan tersebut ditandai dengan adanya
klausul yang memberi kemungkinan pemaafan atau pengampunan hakim
(rechterlijk pardon/ judicial pardon/dispensa de pena) atau pernyataan bersalah
tanpa penjatuhan pidana (declaration of guilt without imposing a penalty) sebagai
wujud dari ide judicial corrective to the legality principle atau sebagai wujud dari
insignificance principle and irrelevant principle untuk menembus kekakuan.6

Ruang lingkup berlakunya ketentuan peraturan perundang-undangan


pidana
a. Menurut waktu
Pasal 1 s/d pasal 2 RKUHP mengatur tentang asas legalitas
dibandingkan dengan KUHP sekarang, dimana KUHP menganut asas legalitas
formil sedangkan RKUHP mengatur dengan adanya keseimbangan antara
legalitas materiel yang tercentum dalam pasal 2 dan legalitas formil pasal 1

6
Barda Nawawi, “Pokok -Pokok Pemikiran (Ide Dasar) Asas-Asas   Hukum   Pidana   Nasional”
makalah, disampaikan dalam SEMNAS tentang Asas Asas Hukum Pidana Nasional, tanggal 26-27
April 2004 di Semarang, hlm. 11.  

6
ayat (1) sedangkan dalam KUHP hanya mengatur tentang legalitas formil pada
pasal 1 ayat (1). Didalam pasal 2 ayat 1 dan 2 RKUHP terdapat ketentuan :
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi
berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa
seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam
peraturan perundang‑undangan dan Berlakunya hukum yang hidup dalam
masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sepanjang sesuai dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila, hak asasi manusia, dan prinsip-prinsip hukum umum yang
diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa. Ketentuan ini tidak dijelaskan/tidak
terdapat didalam KUHP. Dalam pasal 1 ayat (2) terdapat ketentuan yang
menyatakan bahwa dilarangnya menggunakan suatu analogi dalam menetapkan
adanya suatu tindak pidana. Mengenai retroaktif dalam RKUHP mengatur
lebih luas, yaitu dalam perubahan undang-undang setelah adanya putusan
hakim undang-undang baru dapat berlaku apabila UU baru tersebut
menganggap perbuatan tersebut bukan suatu perbuatan yang melanggar atau
bukan merupakan tindak pidana lagi dan apabila ancaman pidananya lebih
ringan maka digunakan UU yang baru. Sementara dalam KUHP masih hanya
mengatur dalam hal perubahan UU pada saat belum adanya putusan hakim
yang berkekuatan hukum tetap dapat berlaku.

b. Menurut tempat
Pada RKUHP disebutkan dan dijelaskan secara terbuka (jelas)
mengenai Tempat pada bagian kedua yang meliputi Asas Wilayah atau
Teritorial, Asas Nasional Pasif, Asas Universal dan Asas Nasional Pasif.
Terdapat pada pasal 4-8 RKUHP. Asas wilayah RKUHP menambahkan tindak
pidana di bidang teknologi informasi atau tindak pidana lainnya yang akibatnya
dirasakan atau terjadi di wilayah Indonesia atau dalam kapal atau pesawat
udara Indonesia. Dalam konsep Di dalam RKUHP dijelaskan mengenai Waktu
Tindak Pidana dan Tempat Tindak Pidana sedangkan hal ini tidak dijelaskan di
dalam KUHP. Asas nasional pasif pada RKUHP menambahkan tindak pidana

7
korupsi, pencucian uang, perekonomian, perdagangan, kartu kredit, keamanan
peralatan komunikasi elektronik.

Tentang tindak pidana dan Pertanggungjawaban Pidana


Tindak Pidana
Pada pasal 11 RKUHP dijelaskan secara rinci mengenai apa itu tindak
pidana atau pengertiannya dan kriteria mengenai suaatu perbuatan itu dapat
dikatakan sebagai tindak pidana yaitu perbuatan melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan
yang dilarang dan diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, tidak ada alasan
pembenar. Serta di dalam pasal 12 RKUHP juga dijelaskan bahwa hakim dalam
mengadili suatu perkara harus mempertimbangkan dan mengutamakan keadilan
baik ketika adanya pertentangan yang tidak dapat dipertemukan dan hal ini tidak
terdapat dalam KUHP, dan hanya merupakan doktrin yang diakui dalam
pelaksanaanya.
Mengenai Permufakatan Jahat di dalam KUHP sendiri sebenarnya sudah
tercantum pada pasal 88 yang berbunyi “dikatakan ada permufakatan jahat apabila
ada dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan suatu kejahatan” namun
itu hanya sebatas pengertian. Sedangkan di dalam pasal 13 RKUHP mengatur
tentang permufakatan jahat melakukan tindak pidana dipidana, jika ditentukan
secara tegas dalam Undang‑Undang. Pidananya adalah 1/3 (satu per tiga) dari
ancaman pidana pokok untuk tindak pidana yang bersangkutan, apabila diancam
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, dipidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun. Sedangkan Pidana tambahan untuk permufakatan jahat melakukan
tindak pidana sama dengan tindak pidana yang bersangkutan. dalam pasal 14
RKUHP diatur pengecualian yaitu apabila pelaku menarik diri dari kesepakatan
itu; atau mengambil langkah-langkah yang patut untuk mencegah terjadinya
tindak pidana.
Di dalam pasal 15 RKUHP mengatur mengenai Persiapan pada Buku I,
akan tetapi sebenarnya memepersiapkan suatu tindak pidana telah diatur dalam

8
KUHP pada Buku II pasal 110 ayat (2) sampai (4). Ini merupakan hal baru pada
buku I RKUHP. Persiapan melakukan tindak pidana terjadi jika pembuat berusaha
untuk mendapatkan atau menyiapkan sarana, mengumpulkan informasi atau
menyusun perencanaan tindakan atau melakukan tindakan-tindakan serupa yang
dimaksudkan menciptakan kondisi untuk dilakukannya suatu perbuatan yang
secara langsung ditujukan bagi penyelesaian tindak pidana, termasuk jika pembuat
dengan sengaja mendapatkan, membuat, menghasilkan, mengimpor, mengangkut,
mengekspor, atau mempunyai dalam persediaan atau penyimpanan barang, uang
atau alat pembayaran lainnya, alat penghantar informasi, tempat persembunyian
atau transportasi yang dimaksudkan untuk melakukan tindak pidana. Pidana untuk
persiapan melakukan tindak pidana adalah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman pidana
pokok yang diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan apabila diancam
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup, dipidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun. Pidana tambahan sama dengan tindak pidana yang bersangkutan.
Pengecualian terhadap delik Persiapan terdapat pada pasal 16 RKUHP yang
mengatakan bahwa Persiapan melakukan tindak pidana tidak dipidana, jika yang
bersangkutan menghentikan, meninggalkan, atau mencegah kemungkinan
digunakan sarana tersebut.
Percobaan/pogging di dalam KUHP sebenarnya sudah diatur di dalam
KUHP pasal 53-54 mengenai syarat percobaan ( pasal 53 ) dan percobaan
terhadap pelanggaran tidak dipidana ( pasal 54 ) namun di dalam RKUHP terdapat
hal-hal baru yang mengatur mengenai Percobaan yang terdapat dalam pasal 18-20
RKUHP. Dalam Pasal 18 tidak dipidana jika setelah melakukan permulaan
pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) yaitu:
a. pembuat tidak menyelesaikan perbuatannya karena kehendaknya sendiri
secara sukarela;
b. pembuat dengan kehendaknya sendiri mencegah tercapainya tujuan atau
akibat perbuatannya. Kecuali dalam hal perbuatan telah menimbulkan
kerugian atau menurut peraturan perundang‑undangan telah merupakan
tindak pidana tersendiri, maka pembuat dapat dipertanggungjawabkan
untuk tindak pidana tersebut.

9
Pasal 20 RKUHP mengatur dalam hal tidak selesai atau tidak mungkin
terjadinya tindak pidana disebabkan ketidakmampuan alat yang digunakan atau
ketidakmampuan objek yang dituju, maka pembuat tetap dianggap telah
melakukan percobaan tindak pidana dengan ancaman pidana tidak lebih dari 1/2
(satu perdua) maksimum pidana yang diancamkan untuk tindak pidana yang
dituju. Pidana pembantuan tidak dipidana apabila ancaman pidana hanya berupa
pidana denda kategori I (Rp 6.000.000,00), seperti yang tercantum di dalam pasal
22 ayat (3) RKUHP.
Pengecualian terhadap delik penyertaan diatur di dalam pasal 23 RKUHP
yang berbunnyi sebagai berikut : Keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan,
mengurangi, atau membe-ratkan pidana hanya diberlakukan terhadap pembuat
atau pembantu tindak pidana yang bersangkutan.
Pengulangan diatur didalam Buku I RKUHP pasal 24 yang berbunyi :
Pengulangan tindak pidana terjadi, apabila orang yang sama melakukan tindak
pidana lagi dalam waktu 5 (lima) tahun sejak:
a. menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;
b. pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
c. kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum daluwarsa.

Di dalam kuhp sudah diatur mengenai pengulangan tindak pidana atau


recidive namun diatur dalam buku II ( tentang kejahatan ) yaitu pada pasal 137(2),
144(2), 155(2), 161(2), 163(2), 208(2), 216(3), 321(2), 393(2) dan 303 bis (2).
Di dalam KUHP memang mengatur tentang mengajukan dan menarik
kembali suatu pengaduan yang terdapat pada pasal 72-75, akan tetapi RKUHP
menjelaskan lebih terbuka mengenai delik aduan yang terdapat pada pasal 25.
Serta pasal 30 ayat (2) RKUHP yang mengatakan bahwa pengaduan yang ditarik
kembali tidak dapat diajukan lagi.
Di dalam KUHP pada buku I pasal 44-52a tentang Alasan penghapus
pidana, pengurangan dan pemberatan dijadikan dalam satu bab yang juga meliputi
alasan pembenar dan pemaaf. Akan tetapi dalam RKUHP alasan pembenar dan
alasan pemaaf ditempatkan pada sub bab yang berbeda, dimana alasan pembenar

10
terdapat pada sub bab tindak pidana, sedangkan alasan pemaaf ada pada sub bab
pertanggungjawaban pidana. Hal ini menegaskan bahwa alasan pembenar dan
alasan pemaaf dijelaskan secara terpisah.
Bab tentang kesalahan sama sekali tidak terdapat/tercantum serta
dijelaskan di dalam KUHP, namun di dalam RKUHP pasal 37 ayat (1) dan (2)
mengatur tentang asas kesalahan itu sendiri dan unsur dari kesalahan (kessalahan
dalam arti normatif/luas). Pasal 37 ayat (1) : tidak seorangpun yang melakukan
tindak pidana dipidana tanpa kesalahan yaitu menekankan bahwa pada prinsipnya
bahwa tiada pidana tanpa adanya kesalahan. Oleh karena itu apabila bentuk-
bentuk kesalahan seperti dolus/culpa ( kesengajaan/kealpaan) tidak ada, maka
seseorang tidak dapat untuk dipertanggungjawabkan. Pasal 37 (2) : kesalahan
terdiri dari kemampuan bertanggung jawab, kesengajaan, kealpaan, dan tidak ada
alasan pemaaf. Dalam KUHP tidak mengatur serta menjelaskan/mendefinisikan
mengenai Strict Liability dan Vicarious Liabilty. Strict Liability adalah dapat
dipidananya seseorang tanpa harus dibuktikan unsur kesalahannya ( actus non
facit reum men sit rea/mens rea), Vicarious Labilty yaitu suatu
pertanggungjawaban pengganti, dimana seseorang ada hubungan khusus, yang
akan mempertanggungjawabkan tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain.
Dan dalam RKUHP kedua hal ini diatur di dalam pasal 38 ayat (1) dan (2).
RKUHP pasal 39 ayat 1-3 mengatur tentang kesengajaan dan kealpaan
sedangkan di dalam KUHP tidak dijelaskan secara rinci mengenai kesengajaan
dan kealpaan.
Di dalam KUHP tidak dijelaskan mengenai adanya suatu alasan pemaaf
namun di RKUHP mengatur tentang ketentuan tersebut yang tertuang dalam pasal
42 ayat (1) dan (2) RKUHP, yang mengatur bahwa tidak dipidana, jika seseorang
tidak menge-tahui atau sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak
pidana atau berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak
pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya itu patut
dipersalahkan kepadanya. Namun apabila patut dipersalahkan atau dipidana maka
maksimum pidananya dikurangi dan tidak melebihi 1/2 (satu perdua) dari
maksimum pidana untuk tindak pidana yang dilakukan.

11
KUHP sebenarnya sudah mengatur yang namanya Daya Paksa/Overmacht,
akan tetapi tidak dijelaskan mengenai jenis-jenis dari overmacht (vis absoluta dan
vis compusiva). Sedangkan di RKUHP jenis-jenis overmacht dijelaskan yang
dituangkan di dalam pasal 43 RKUHP, sebagai berikut :
a. dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan (Via Absoluta) ; atau
b. dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan, atau kekuatan yang tidak dapat
dihindari (Via Compulsiva/Daya Paksa Relatif)

RKUHP juga menjelaskan apa saja yang termasuk dari Alasan Pemaaf
yang terdapat dalam pasal 46 RKUHP, sebgai berikut :
a. tidak ada kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1);
b. pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit
jiwa, atau retardasi mental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40; atau
c. belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 113 ayat (1).

KUHP tidak mengatur mengatur Korporasi sebagai Subjek Tindak Pidana


namun RKUHP mengatur tentang itu yang mana tertuang di dalam pasal 47-53
RKUHP. Pasal 47 mengatur bahwa Korporasi merupakan subjek hukum pidana,
Pasal 48 dan 49 mengatur siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atau
dipersalahakan atas tindak pidana korporasi, Pasal 50 mengatur ruang lingkup
perbuatan yang dapat dipidana yang dilakukan oleh korporasi, Pasal 51 mengatur
tentang pembatasan pertanggungjawaban pidana oleh pengurus korporasi. Pasal
52 mengatur tentang pengesampingan hukum pidana (ultimum remidium) apabila
telah ada bagian hukum lain yang mampu memberikan perlindungan yang lebih
berguna. Dan pertimbangan tersebut harus dinyatakan oleh putusan hakim. Pasal
53 mengatur mengenai tata cara mengajukan alasan pemaaf dan pembenar yang
dapat diajukan oleh korporasi.

12
Pemidanaan,Pidana, dan Tindakan
KUHP tidak menjelaskan mengenai adanya suatu Tujuan Pemidanaan,
akan tetapi didalam RKUHP tujuan pemidanaan diuraikan secara jelas pada pasal
54 ayat (1) dan (2) yang mana ini merupakan implementasi dari Ide
Keseimbangan. Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegak-kan norma
hukum demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga
menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
e. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendah-kan
martabat manusia.

RKUHP menyebutkan serta menjelaskan mengenai Pedoman Pemidanaan


yang tidak terdapat di dalam KUHP. Pedoman Pemidanaan sejatinya akan sangat
membantu hakim dalam mempertimbangkan takaran atau berat ringannya suatu
hukumman atau pidana yang akan dijatuhkan. Hal ini terdapat dalam pasal 51 ayat
(1) mengenai pertimbangan dalam pemidanaan, dan pasal 52 ayat (2) mengatur
mengenai asas Rechterlijk Pardon (permaafan hakim) dengan mempertimbangkan
keadilan dan kemanusiaan terhadap terdakwa. Dalam pemidanaan wajib
dipertimbangkan sebagai berikut :
a. kesalahan pembuat tindak pidana;
b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. sikap batin pembuat tindak pidana;
d. tindak pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak
direncanakan;
e. cara melakukan tindak pidana;
f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. riwayat hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak

13
pidana;
h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau -ke-luarga korban;
j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang -dilakukan.
l. Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau kea-daan pada
waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan
dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan
tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Pada pasal 56 RKUHP mengatur tentang Culpa in Causa, yaitu dimana


seseorang patut untuk dicela apabila dia dengan sengaja memasukkan diri ke
dalam alasan penghapus pidana. Mengenai Culpa in Causa, hal ini tidak 56,
sebagai berikut : seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari
pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan peniadaan pidana, jika orang
tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat
menjadi alasan peniadaan pidana. KUHP tidak mengatur secara terbuka mengenai
perubahan dan penyesuaian pidana , namun RKUHP mengatur akan hal itu yang
terdapat pada pasal 57 ayat (1)-(6) tentang perubahan dan penyesuaian pidana.
Dengan memperhatikan sakah satu tujuan pemidanaan yang berorientasi kepada
usaha untuk memperbaiki perilaku terpidana, yang mana dimungkinkan untuk
adanya suatu remisi.
Di dalam KUHP tidak mengatur tentang Pedoman Penerapan Pidana
Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Alternatif, sedangkan RKUHP mengatur
tentang hal itu yang terdapat dalam pasal 58 ayat (1) – (4). Pasal ini dicantumkan
bertujuan untuk memberikan kemungkinan yang diberikan kepada hakim untuk
menjatuhkan pidana denda sebagai pengganti pidana penjara terhadap terdakwa,
yang mana untuk mengatasi sifat kaku dari perumusan pidana yang bersifat
tunggal yang seolah-olah mengharuskan hakim untuk hanya menjatuhkan pidana
penjara. Masih terkait dengan Penjelasan pasal 59-60 RKUHP juga mengatur
tentang Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan

14
Alternatif.
Lain-lain ketentuan pemidaan tidak terdapat pada KUHP, akan tetapi
diatur didalam pasal 61 dan 62 RKUHP yang mengatur tentang pelaksanaan
putusan ( penintensier ).
RKUHP pada pasal 63 ayat (1) – (3) mengatur tentang ketentuan waktu
permohonan pengajuan grasi, yang tidak dijelaskan di dalam KUHP.
Jenis-jenis pidana sebenarnya sudah dijelaskan di dalam KUHP pada
BUKU I pasal 10 huruf a yang terdiri dari pidana mati, penjara, kurungan, denda.
Hal ini berbeda dengan jenis-jenis pidana yang terdapat dalam pasal 65 ayat (1)
RKUHP yang mengatur lain tentang pidana pokok, yaitu : pidana penjara; pidana
tutupan; pidana pengawasan; pidana denda; dan pidana kerja sosial.
Dan pada pasal 65 ayat (2) mengatur tentang hierarkhi pemidanaan
menen-tukan berat ringannya pidana.
Pidana mati dicantumkan dalam pasal tersendiri untuk menunjukkan
bahwa jenis pidana ini benar-benar bersifat khusus yang merupakan jenis pidana
yang paling berat. Seperti yang tercantum di dalam pasal 66 RKUHP. Ketentuan
ini tidak terdapat dalam KUHP, KUHP hanya memberikan penjalanan /
pelaksanaan tentang pidana mati dan tidak menempatkannya pada pasal yang
tersendiri.
Mengenai pidana tambahan sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP pasal
10 huruf b, yang terdiri dari perampasan barang-barang tertentu, perampasan hak-
hak tertentu dan pengumuman putusan hakim. Akan tetapi ada tambahan atau hal
baru yang mana telah diatur di dalam pasal 67 ayat (1) RKUHP, yaitu :
pembayaran ganti kerugian; dan pemenuhan kewajiban adat setempat atau
kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pasal 67 ayat (2) – (5) RKUHP mengatur tentang sifat dan ketentuan
pidana tambahan, yaitu ; dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok,
sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan
pidana tambahan yang lain. Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban
adat setempat atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau
pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak

15
tercantum dalam perumusan tindak pidana. Pidana tambahan untuk percobaan
dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.
Anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana dapat
dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-
undangan bagi Tentara Nasional Indonesia.
KUHP tidak menjelaskan akan Pidana Tutupan akan tetapi RKUHP
menjelaskannya lebih dalam yang tertuang di dalam pasal 76 ayat (1) – (3) yaitu:
mengingat keadaan pribadi dan perbuatan-nya dapat dijatuhi pidana tutupan;
terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut
dihormati.
Begitupun dengan pidana pengawasan yang tidak dijelaskan pada KUHP
akan tetapi dijelaskan dalam RKUHP pada pasal 77-79, yaitu: tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun untuk waktu paling
lama 3 (tiga) tahun; mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya. Dengan
syarat‑syarat: terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; terpidana dalam
waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti
seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan;
dan/ atau; terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan
tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
Pengaturan mengenai pidana denda sebenarnya sudah diatur dalam di
dalam KUHP pasal 30 akan tetapi adanya hal baru pada pasal 80 ayat 1-7 yang
mana ada pembaharuan nominal denda dan adanya nominal minimum dan
minimum khusus. Pidana denda merupakan pidana berupa sejumlah uang yang
wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan. Jika tidak
ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit Rp100.000,00
(seratus ribu rupiah). Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan
kategori, yaitu: a. kategori I Rp 6.000.000,00 (enam juta rupiah); b. kategori II
Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); c. kategori III Rp 120.000.000,00
(seratus dua puluh juta rupiah); d. kategori IV Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah); e. kategori V Rp 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah); dan
f. kategori VI Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).

16
Masih terkait dengan pidana denda ( tidak terdapat pada KUHP ) pasal 81
RKUHP mengatur tentang kemampuan terdakwa dalam pidana denda,
kemampuan terdakwa yang juga termasuk dengan keadaan pribadinya, serta
menyatakan bahwa ayat (1) dan (2) tidak mengurangi minimum khusus pada
tindak pidana tertentu. KUHP tidak mengatur tentang pidana pengganti denda
untuk korporasi, namun hal ini dijelaskan secara terbuka pada pasal 85 RKUHP,
pidana pengganti berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi.
Mengenai Pidana kerja sosial tidak terdapat pada KUHP, sedangkan hal
ini terdapat di dalam RKUHP pasal 86 ayat (1) – (7) , hal ini terkait dengan
perumusan alternatif dimana pidana penjara menjadi obat yang paling terakhir dan
sebisa mungkin dihindari, sebagai contoh diganti dengan kerja sosial seperti yang
dijelaskan oleh pasal 86 ayat (1) – (7) RKUHP.
Pidana mati yang penyusunannya secara alternatif hanya dijelaskan di
dalam pasal 87 RKUHP, sedangkan pada KUHP tidak dijelaskan, Pidana mati
secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.
Pelaksanaan pidana mati sebenarnya sudah diatur dan dijelaskan dalam KUHP
pada pasal 11, akan tetapi hanya sebatas tata cara terpidana dihukum mati,
sedangkan pada hal yang sama yang diatur dalam pasal 88 RKUHP ada hal-hal
yanag baru yang dijelaskan terkait pelaksanaan pidana mati dengan menembak
terpidana sampai mati oleh regu tembak, tidak dilaksanakan di muka umum,
terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut
melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh. Pidana mati baru dapat
dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.
Pada pasal berikutnya, yaitu pasal 89 RKUHP mengatur mengenai
penundaan pidana mati dan dalam KUHP hal ini tidak diatur, yaitu dapat ditunda
dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika reaksi masyarakat
terhadap terpidana tidak terlalu besar; terpidana menunjukkan rasa menyesal dan
ada harapan untuk diperbaiki; kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak
pidana tidak terlalu penting; dan ada alasan yang meringankan. Jika terpidana
selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka
pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling

17
lama 20 (dua puluh) tahun dengan keputusan menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia. Jika terpidana
selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan
sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki maka
pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.
Pada pasal 91 RKUHP mengatur mengenai Pidana Tambahan yang terdiri
dari 2 ayat. Dimana ayat 1 mengatur tentang Pencabutan Hak tertentu. Terkait
dengan pasal 91 ayat 1 tersebut sebenarnya di KUHP sudah dijelaskan pada pasal
35 ayat 1 KUHP. Sedangkan untuk Pasal 91 ayat 2 RKUHP, ini merupakan hal
baru yang tidak diatur di dalam KUHP yang mengatur mengenai pencabutan hak
atas Korporasi.
Terkait dengan hal Perampasan, sebenarnya sudah diatur di dalam KUHP
pasal 39-42 , akan tetapi tidak dijelaskan mengenai ketentuan penjatuhan pidana
perampasan seperti yang diatur di dalam pasal 95 RKUHP yaitu dapat dijatuhkan
tanpa pidana pokok jika ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang
bersangkutan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, pidana perampasan barang tertentu
dan/atau tagihan dapat juga dijatuhkan, jika terpidana hanya dikenakan tindakan.
Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat dijatuhkan,
jika hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu.
Memang di dalam KUHP mengatur tentang perampasan dan pengumuman
putusan hakim, akan tetapi tidak mengatur tentang Pencantuman pidana tambahan
berupa pembayaran ganti kerugian kepada korban, seperti yang disebutkan dan
dijelaskan pada pasal 99 ayat (1) dan (2) RKUHP.
Pada pasal 100 RKUHP yang mengatur pemenuhan pidana pengganti
kepada masyarakat atau adat setempat. Yang mana hal ini tidak diatur di dalam
KUHP.
KUHP tidak mengatur tentang Tindakan/Treatment karena tidak menganut
sistem Double Track System, berbeda dengan RKUHP yang menganut sistem ini.
Double Track System yaitu di samping pembuat tindak pidana tindak pidana dapat
dijatuhi pidana, dapat juga dikenakan berbagai tindakan. Yang tertuang pada
pasal 101-112 RKUHP, yang menjelaskan secara terbuka mengenai tindakan dari

18
jenis-jenis tindakan, ketentuan tindakan sampai dengan tata cara pelaksanaannya.
Pada pasal berikutnya yaitu pada pasal 114 ayat 1 dan 2 RKUHP mengatur
bahwa sedapat mungkin anak sebagai pembuat tindak pidana dihindarkan dari
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 115 RKUHP, yang mengatakan bahwa pemberatan pidana pada
pengulangan tindak pidana yang dilakukan anak tidak perlu diterapkan.
Pasal 116 mengatakan bahwa Ketentuan dalam Pasal ini memuat jenis-
jenis pidana bagi anak yang dapat dijatuhkan oleh hakim. Pidana pokok bagi anak
terdiri atas:
a. Pidana verbal (diatur lebih lanjut pada pasal 117) : pidana peringatan; atau
pidana teguran keras;
b. Pidana dengan syarat (diatur lebih lanjut dalam pasal 118) : pidana
pembinaan di luar lembaga (diatur lebih lanjut dalam pasal 119); pidana
kerja sosial (diatur lebih lanjut dalam pasal 120); atau pidana pengawasan
(diatur lebih lanjut dalam pasal 121) ;
c. Pidana denda (diatur lebih lanjut dalam pasal 122- pasal 123); atau
d. Pidana pembatasan kebebasan (diatur lebih lanjut dalam pasal 124):
pidana pembinaan di dalam lembaga (diatur lebih lanjut dalam pasal 125) ;
pidana penjara (diatur lebih lanjut dalam pasal 126) dengan maksimal 10
tahun dan tidak dapat dijatuhi hukuman pidana penjara seumur hidup atau
pidana mati; atau pidana tutupan (diatur lebih lanjut dalam pasal 127).

Pidana tambahan terdiri atas:


a. perampasan barang‑barang tertentu dan/atau tagihan;
b. pembayaran ganti kerugian; atau
c. pemenuhan kewajiban adat.

Pada KUHP sebenarnya telah mengatur mengenai hal yang memperingan


dan memberatkan pengenaan pidana, yaitu tak mampu bertanggungjawab, belum
umur 16 tahun, daya paksa, pembelaan terpaksa, ketentuan undang-undang,
perintah jabatan, pemberatan karena jabatan/bendera kebangsaan dan tentang

19
percobaan. Akan tetapi ada hal-hal baru yang ada pada bab faktor yang
memperingan dan memperberat pidana, seperti yang diatur pada pasal 132-136
RKUHP. Pasal 132-133 RKUHP mengatur tentang hal yang memperingan pidana
dan hal-hal yang meringankan pidana dengan ditetapkannya maksimum pidana
yang dapat dijatuhkan. Faktor yang memperingan pidana meliputi: a. percobaan
melakukan tindak pidana; b. pembantuan terjadinya tindak pidana; c. penyerahan
diri secara sukarela kepada yang berwajib setelah melakukan tindak pidana; d.
tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil; e. pemberian ganti kerugian
yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana
yang dilakukan; f. tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang
sangat hebat; g. tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39; atau h. faktor lain yang bersumber dari hukum yang
hidup dalam masyarakat. Untuk tindak pidana yang diancam pidana mati dan
penjara seumur hidup, maksimum pidananya penjara 15 (lima belas) tahun.
Berdasarkan pertimbangan tertentu, peringanan pidana dapat berupa perubahan
jenis pidana dari yang lebih berat ke jenis pidana yang lebih ringan.
Sedangkan pada pasal 134-135 mengatur tentang pemberatan pidana dan
terdapat hal-hal yang memperberat pidana dengan ditetapkannya maksimum
ancaman pidana ditambah 1/3 (satu per tiga). Sebagai berikut :
a. pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana
atau tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai negeri dengan
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang diberikan
kepadanya karena jabatan;
b. penggunaan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara
Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana;
c. penyalahgunaan keahlian atau profesi untuk melakukan tindak pidana;
d. tindak pidana yang dilakukan orang dewasa bersama-sama dengan anak di
bawah umur 18 (delapan belas) tahun;
e. tindak pidana yang dilakukan secara bersekutu, bersama‑sama, dengan
kekerasan, dengan cara yang kejam, atau dengan berencana;
f. tindak pidana yang dilakukan pada waktu terjadi huru hara atau bencana

20
alam;
g. tindak pidana yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya;
h. pengulangan tindak pidana; atau
i. faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat.

Pasal 136 RKUHP yang terdiri dari 2 ayat, dimana ayat yang 1 mengatur
tentang faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama-sama
dan ayat yang ke 2 mengatur tentang pertimbangan hakim akan ketentuan pada
ayat (1). Sebagai berikut :
(1) Jika dalam suatu perkara terdapat faktor yang memperingan dan
memperberat pidana secara bersama‑sama maka maksimum ancaman
pidana diperberat lebih dahulu, kemudian hasil pemberatan tersebut
dikurangi 1/3 (satu per tiga).
(2) Berdasarkan pertimbangan tertentu, hakim dapat tidak menerapkan
ketentuan mengenai peringanan dan pemberatan pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).

Perihal perbarengan sebenarnya sudah diatur di KUHP yaitu pasal 63-71.


Akan tetapi ada hal baru yang terdapat pada pasal 142 ayat (2) RKUHP, yang
mengatur tentang, yaitu lamanya pidana penjara pengganti atau pidana
pengawasan pengganti tidak boleh lebih dari 1 (satu) tahun.

Gugurnya Kewenangan Penuntutan dan Pelaksanaan Pidana


Mengenai gugurnya kewenangan penuntutan pidana sebenarnya sudah
diatur di dalam KUHP pasal 76 ( mengatur tentang nebis in idem ), pasal 77
(matinya terdakwa), pasal 78 ( Daluwarsa ). Akan tetapi pada RKUHP terdapat
hal baru mengenai gugurnya kewenangan penuntutan pidana yaitu pada pasal 145:
a. telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap; ( sudah ada )
b. terdakwa meninggal dunia; ( sudah ada )
c. daluwarsa; ( sudah ada )
d. penyelesaian di luar proses;

21
e. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang
dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II;
f. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana
denda paling banyak kategori III;
g. Presiden memberi amnesti atau abolisi;
h. penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain
berdasarkan perjanjian;
i. tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik
kembali; atau
j. pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung.

Kewenangan penuntutan gugur karena daluwarsa sudah diatur pada KUHP


pasal 78 tapi ada hal baru yang tecantum pada pasal 149 ayat (1) huruf b yaitu
Kewenangan penuntutan gugur karena daluwarsa yaitu sesudah lampau waktu 2
(dua) tahun untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda
atau semua tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun.
Kewenangan gugurnya pelaksanaan pidana diatur dalam pasal 153
RKUHP, sedangkan di dalam KUHP hanya mengatur mengenai daluwarsa
penjalanan pidana pada pasal 84 dan 85. Kewenangan pelaksanaan pidana gugur,
jika: a. terpidana meninggal dunia; b. daluwarsa eksekusi; c. terpidana mendapat
grasi dan amnesti; d. rehabilitasi; atau e. penyerahan untuk pelaksanaan pidana ke
negara lain.
Pasal 154 mengatur tentang perampasan barang apabila terpidana
meninggal. Hal ini tidak diatur dalam KUHP.
KUHP sebenarnya telah mengatur mengenai daluwarsa penjalanan pidana
yang dijelaskan pada pasal 84 ayat (1)-(4). Akan tetapi terdapat hal baru yang
terpapar pada pasal 155 RKUHP ayat (1) dan (4). Yaitu : Kewenangan
pelaksanaan pidana penjara gugur karena daluwarsa, setelah berlaku tenggang
waktu yang sama dengan tenggang waktu daluwarsa kewenangan menuntut

22
ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu daluwarsa tersebut. Jika pidana
mati diubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (2) maka kewenangan pelaksanaan
pidana gugur karena daluwarsa setelah lewat waktu yang sama dengan tenggang
waktu daluwarsa kewenangan menuntut sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 149
ayat (1) huruf e ditambah 1/3 (satu per tiga) dari tenggang waktu daluwarsa
tersebut.

Mengatur tentang Pengertian Istilah


Dalam RKUHP lebih banyak istilah baru yang dimasukkan dibanding
dengan KUHP yang relatif sedikit pengertian istilah yang digunakan.
Pasal 158 RKUHP mengatur tentang pengertian anak kunci, sebenarnya
sudah diatur pada pasal 100 KUHP tapi hal itu mengenai penjelasannya. yaitu:
“Anak kunci adalah alat yang digunakan untuk membuka kunci, termasuk kode
rahasia, kunci masuk komputer, kartu magnetik, sinyal, atau frekuensi yang telah
diprogram yang dapat digunakan untuk membuka sesuatu oleh orang yang diberi
hak untuk itu.”
Pasal 160 RKUHP mengatur tentang ancaman kekerasan, yaitu:
“Ancaman kekerasan adalah suatu hal atau keadaan yang menimbulkan ra-sa
takut, cemas, atau khawatir pada orang yang diancam.”
Pasal 162 RKUHP mengatur istilah awak pesawat udara, yaitu : “Awak
pesawat udara adalah orang tertentu yang berada dalam pesawat udara sebagai
perwira atau bawahan.”
Pasal 165 mengatur definisi barang : “Barang adalah benda berwujud
termasuk air dan uang giral, dan benda tidak berwujud, termasuk aliran listrik,
gas, data dan program komputer, jasa termasuk jasa telepon, jasa telekomunikasi,
atau jasa komputer. “

23
Pasal 166 RKUHP yang mengatur tentang benda cagar budaya : Benda
cagar budaya adalah:
a. benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak, yang berupa kesatuan
atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur
sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang
khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun,
serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
dan kebudayaan;
b. benda alam yang dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan.

Pasal 170 RKUHP mengatur tentang data komputer “Data komputer


adalah suatu representasi fakta-fakta, informasi atau konsep-konsep dalam suatu
bentuk yang sesuai untuk prosesing di dalam suatu sistem komputer, termasuk
suatu program yang sesuai untuk memungkinkan suatu sistem komputer untuk
melakukan suatu.”
Pasal 172 RKUHP mengatur tentang harta kekayaan : “Harta kekayaan
adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud.”
“Pasal 173 RKUHP mengatur tentang informasi elektronik : “Informasi
elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik diantaranya meliputi teks,
simbol, gambar, tanda-tanda, isyarat, tulisan, suara, bunyi, dan bentuk-bentuk
lainnya yang telah diolah sehingga mempunyai arti.”
Pasal 174 mengatur tentang jaringan telepon, yaitu Jaringan telepon adalah
termasuk jaringan komputer atau sistem komunikasi komputer.
Pasal 175 RKUHP mengatur tentang definisi kapal yaitu kendaraan air
dengan bentuk dan jenis apapun, yang digerakkan dengan tenaga mekanik, tenaga
angin, atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan
di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak
berpindah-pindah.

24
Pasal 177 RKUHP, menjelaskan tentang kapten pilot : Kapten pilot adalah
orang yang memegang kekuasaan tertinggi dalam pesawat udara atau orang yang
menggantikannya.
Pasal 178 RKUHP mengatur tentang kekerasan : Kekerasan adalah setiap
perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana
secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa,
kemerdekaan, penderitaan fisik, seksual, psikologis, termasuk menjadikan orang
pingsan atau tidak berdaya.
Pasal 180 RKUHP mengatur tentang kode akses : Kode akses adalah
angka, huruf, simbol lainnya atau kombinasi diantaranya yang merupakan kunci
untuk dapat mengakses komputer, jaringan komputer, internet, atau media
elektronik lainnya.
Pasal 181 RKUHP mengatur tentang definisi komputer : Komputer adalah
alat pemroses data elektronik, magnetik, optikal, atau sistem yang melaksanakan
fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.
Pasal 182 RKUHP mengatur mengenai korporasi : Korporasi adalah
kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan
hukum maupun bukan badan hukum.
Pasal 186 RKUHP mengatur tentang masuk atau log in yang artinya
masuk yaitu termasuk mengakses komputer atau masuk ke dalam sistem
komputer.
Pasal 190 mengatur tentang defininisi pejabat, yang sebenarnya sudah
dijelaskan oleh KUHP pada padal 92 KUHP, akan tetapi RKUHP mengatur lebih
rinci. “Pejabat adalah setiap warga negara Republik Indonesia yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan
diserahi tugas negara, atau diserahi tugas lain oleh negara, dan digaji berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang meliputi: pegawai
negeri; pejabat negara; penyelenggara negara; pejabat publik; pejabat daerah;
orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah; orang
yang menerima gaji atau upah dari korporasi yang menerima bantuan dari
keuangan negara atau daerah; orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi

25
lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyatakat;
pejabat publik asing; atau pejabat lain yang ditentukan berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 192 RKUHP mengatur tentang pencemaran lingkungan hidup:
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk
hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan lingkungan hidup tidak dapat berfungsi sesuai dengan
peruntukannya.
Pasal 196 RKUHP mengatur tentang penyedia jasa keuangan yaitu:
Penyedia jasa keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang
keuangan atau jasa lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak
terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana,
kustodian, wali amanat, lembaga penyinpanan dan penyelesaian, pedagang valuta
asing, dana pensiun, perusahaan asuransi, dan kantor pos.
Pasal 198 RKUHP mengatur tentang perbuatan. Perbuatan adalah
termasuk juga perbuatan yang dilakukan atau perbuatan yang tidak dilakukan
yang merupakan tindak pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan atau hukum yang berlaku.
Pasal 199 mengatur tentang permainan judi adalah : Permainan judi
adalah: a. setiap permainan yang kemungkinan untuk mendapat untung tergantung
pada untung‑untungan belaka; b. setiap permainan yang kemungkinan untuk
mendapatkan untung tersebut bertam-bah besar, karena pemainnya lebih terlatih
atau lebih mahir; c.semua pertaruhan tentang hasil perlombaan atau permainan
lainnya yang dilakukan oleh setiap orang yang bukan turut berlomba atau turut
bermain; atau d. pertaruhan lainnya.
Pasal 200 RKUHP mengatur tentang perusakan lingkungan hidup.
Perusakan lingkungan hidup adalah tindakan yang menimbulkan perubahan
langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang
mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang
pembangunan berkelanjutan.

26
Pasal 203 RKUHP mengatur tentang pornografi. Pornografi adalah
substansi dalam media atau alat komunikasi yang dibuat untuk menyampaikan
gagasan-gagasan yang mengeksploitasi seksual, kecabulan, dan/atau erotika.
Pasal 204 mengatur tentang ruang: Ruang adalah termasuk bentangan atau
terminal komputer yang dapat diakses dengan cara-cara tertentu.
Pasal 205 RKUHP mengatur tentang definisi setiap orang : Setiap orang
adalah orang perseorangan, termasuk korporasi.
Pasal 206 RKUHP mengatur tentang sistem komputer yaitu Sistem
komputer adalah suatu alat, perlengkapan, atau suatu perangkat perlengkapan
yang saling berhubungan atau terkait satu sama lain, satu atau lebih yang
mengikuti suatu program, melakukan prosesing data secara otomatik.
Pasal 207 RKUHP mengatur tentang surat yaitu Surat adalah surat yang
tertulis di atas kertas, termasuk juga surat atau data yang tertulis atau tersimpan
dalam disket, pita magnetik, atau media penyimpan komputer atau media
penyimpan data elektronik lain.
Pasal 209 RKUHP mengatur tentang pengertian tindak pidana: Tindak
pidana adalah termasuk juga permufakatan jahat, persiapan, percobaan, dan
pembantuan melakukan tindak pidana, kecuali ditentukan lain dalam peraturan
perundang‑undangan.

27
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam makalah ini
menyangkut urgensi KUHP baru maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
a. Pembangunan hukum nasional merupakan program pemerintah dalam
menata hukum menjadi lebih baik dari masa ke masa. Indonesia sebagai
Negara hukum harus mampu mengimplementasikan hukum dan
menciptakan keadilan serta kepastian hukum bagi masyarakat
Indonesia;
b. KUHP baru sebagai satu perubahan besar harus dilakukan dan
dilaksanakan secepatnya. Hal ini mengingat banyaknya masalah yang
muncul akibat penerapan KUHP yang tidak sesuai dengan kepribadian
bangsa dan masih warisan dari Kolonial Belanda;
c. Sususan yang berbeda dan pasal – pasal yang berkaitan dengan tindak
pidana khusus dimasukkan ke dalam KUHP yang baru sekaligus
menjadi pembeda dari KUHP yang lama atau yang saat ini berlaku.

3.2 Saran
Untuk menghasilkan penyajian karya ilmiah yang lebih berkualitas
dan dapat mencapai tujuan, maka perlu kiranya penulis memberikan saran
sebagai berikut :
a. Cukup banyak hal – hal yang berubah dari KUHP yang lama menjadi
KUHP yang baru sehingga perlu ada penelitian khusus mengenai
perubahan ini untuk menilai apakah dibutuhkan atau tidak maupun
sesuai atau tidak dengan keadaan Indonesia;
b. perlu adanya seminar khusus di Universitas Nasional terkait dengan
KUHP yang baru.

28
DAFTAR PUSTAKA

Atmasasmita, Romli. Tiga Paradigma Hukum Dalam Pembangunan Nasional.


http://bphn.go.id.

Barda, Nawawi. 2011. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana: (Perkembangan


Penyusunan Konsep KUHP Baru). Jakarta: Kencana. hlm 102.

Imron, Ali. 2008. Kontribusi Hukum Islam terhadap Pembangunan Hukum


Nasional. Semarang: Universitas Diponegoro.

Nawawi, Barda. “Pembaharuan Hukum Pidana dalam Konteks RUU KUHP”.


makalah disampaikan dalam Penataran Asas-Asas Hukum Pidana dan
Kriminologi. tanggal 23-27 Februari 2014 di Yogyakarta. hlm. 6.

Nawawi, Barda. “Pokok -Pokok Pemikiran (Ide Dasar) Asas-Asas Hukum Pidana
Nasional”. makalah, disampaikan dalam SEMNAS tentang Asas Asas
Hukum Pidana Nasional, tanggal 26-27 April 2004 di Semarang, hlm. 11.

Perbandingan KUHP Indonesia dengan rancangan KUHP Tahun 2015


http://thezmoonstr.blogspot.co.id/2013/01/perbandigan-kuhp-indonesia-
dengan.html. Diakses pada 4 Maret 2016 pukul 20.00 WIB.

Utomo, Setyo. “Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana yang Berbasis


Restorative Justice”. Makalah. disampaikan dalam FGD Politik
Perumusan Ancaman Pidana dalam Undang-Undang diluar KUHP,
tanggal 21 Oktober 2010 di Jakarta, hlm. 1.

29

Anda mungkin juga menyukai