Anda di halaman 1dari 13

“HUKUM ADAT KEKERABATAN”

MAKALAH
disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat
Dosen Pengampu : Ende Hasbi Nasarudin, S.H.,M.H

oleh :
Muhammad Akbar Sidik (1203050095)
Nadia Nur Hanipah (1203050111)
Nadiatul Maharani (1203050112)
Piky Fauzi (1203050128)
Putri Mayasyirul Ulfah (1203050130)
Rahma Nur Kamilatul Azmi (1203050132)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS SYARI’AH & HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
2021
JL. AH Nasution No. 105, Cibiru, Kota Bandung 40614
(022)7800535
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Alhamdulillah puji serta syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat-Nya kepada kita semua, sehingga kita masih diberi kesempatan untuk merasakan
nikmat atas segala kesempurnaan ciptaan-Nya. Shalawat serta salam semoga Allah
limpahkan dan curahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabatnya,
dan para pengikutnya yang senantiasa setia diatas sunnahnya.
Makalah ini kami sampaikan untuk memenuhi tugas dalam mata kuliah Hukum Adat
oleh Bapak Ende Hasbi Nasarudin, S.H., M.H. Adapun makalah ini tentang “Hukum Adat
Kekerabatan”. Kami berharap makalah tentang Hukum Adat Kekerabatan ini bisa menjadi
wawasan baru bagi pembaca. Selain itu, kami juga berharap agar pembaca mendapatkan
sudut pandang baru setelah membaca makalah ini. Terima kasih kepada rekan-rekan yang
telah membantu dalam pembuatan makalah ini sehingga dapat selesai tepat waktu.
Mohon maaf jika terjadi kesalahan semoga dapat memaklumi dan mohon untuk kritik
dan saran yang membangun. Agar kami dapat memperbaikinya kembali.

Bandung, 2021

Penyusun

i
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................................2
C. Tujuan......................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
A. Definisi Hukum Adat Kekerabatan.........................................................................3
B. Jenis-jenis Sistem Kekerabatan Hukum Adat..........................................................3
C. Hubungan Anak dengan Orang Tua .......................................................................6
BAB III PENUTUP...........................................................................................................9
A. Kesimpulan..............................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................10

ii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia mempunyai keragaman budaya, suku bangsa dan adat
istiadat. Dari sabang sampai merauke terbentang dalam gugusan pulau. Keanekaragaman
tersebut berdampak kepada hukum (aturan) yang berlaku di masing-masing daerah yang
beraneka ragam bentuknya, aturan-aturan tersebutlah yang menjadikan masyarakatnya patuh
pada aturan daerah (hukum adat) tempat mereka tinggal. Aturan-aturan di Indonesia tidak
hanya berupa aturan tertulis seperti undang-undang tetapi juga aturan tidak tertulis seperti
hukum adat dan hukum agama yang melekat erat pada setiap masyarakat adat di daerah-
daerah di Indonesia. Hukum adat akan berlaku dan diakui segenap masyarakat Indonesia.
Adapun hukum adat yang berlaku di daerahdaerah di Indonesia adalah hukum adat yang
diwariskan atau ditaati secara turuntemurun oleh masyarakatnya.1
Hukum adat adalah hukum non-statutair yang sebagian besar adalah hukum kebiasaan
dan sebagian kecil adalah hukum islam. Hukum adat itupun mencakup hukum yang
berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan,
dimana ia memutuskan perkara.
Sudah menjadi hukum alam dan merupakan takdir Tuhan Yang Maha Esa bahwa
manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain, manusia membutuhkan manusia lain
untuk hidup bersama dan bekerja sama, telah ditentukan bahwa manusia tersebut harus hidup
berkelompok dan hidup bermasyarakat. Sejak lahir telah hidup dengan keluarga, dengan ayah
ibu dan saudaranya atau dengan orang lain yang mengasuhnya. Ia kemudian mengenal
anggota kerabat dan tetangganya dan ia tahu siapa yang berhak dan berkewajiban mengatur
dirinya dan memeliharanya. Selanjutnya harus tahu hak dan kewajibannya sebagai anggota
keluarga dan sebagai anggota kerabat dalam kehidupannya berkeluarga.2
Dari pernyatan-pernyataan tersebut maka selanjutnya makalah ini akan membahas
tentang “Hukum Adat Kekerabatan”.

B. Rumusan Masalah

1
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta:PT Raja Grafindo, 2007, hlm. 3.
2
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003, hlm. 33.

1
1. Apa definisi Hukum Adat kekerabatan?
2. Bagaimana jenis-jenis sistem kekerabaatan hukum adat?
3. Dalam Hukum Adat Kekerabatan, bagaimana Hubungan Anak dengan orangtua?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa definisi Hukum Adat kekerabatan.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis sistem kekerabaatan hukum adat
3. Untuk Mengetahui hubungan Anak dengan orangtua.

BAB II

2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Adat Kekerabatan


Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat mengatur kedudukan seseorang sebagai
anggota keluarga, kedudukan anak dihadapan orang tua begitu juga sebaliknya, kedudukan
anak dihadapan kerabat begitu sebaliknya, pada intinya hukum adat kekerabatan mengatur
berkaitan dengan pertalian sanak famili, baik melalui darah, perkawinan maupun pertalian
kekerabatan adat.3 Kekerabatan berkaitan dengan hubungan darah dan keturunan serta
pertalian adat, disebut kekerabatan genealogis.
Kekerabatan diartikan sebagai unit-unit sosial yang didalamnya terdapat beberapa
keluarga yang terdapat hubungan darah atau perkawinan. 4 Sistem kekerabatan tersebut tetap
dipertahankan sehingga prinsip kekerabatan memiliki fungsi yang berkaitan dengan
perkawinan yaitu keadaan untuk dapat melanjutkan keturunan, mengeksistensikan silsilah
dan kedudukan keluarga.5

B. Jenis-Jenis Hukum Adat Kekerabatan


1. Sistem Kekerabatan Patrilineal
Secara etimologis, patrilineal berasal dari dua kata, yaitu pater (bahasa latin) yang
berarti “bapak”,6 Dan linea (bahasa latin) yang berarti Garis. Sehingga kekerabatan patrilineal
yaitu sistem kekerabatan yang garis keturunan dari pihak ayah atau dari pihak laki-laki, 7 anak
laki-laki berfungsi untuk meneruskan keturunan orang tuanya sedangkan anak perempuan
untuk menjadi anak keluarga lain dalam kekerabatan yang sama sehingga kedudukannya
menghasilkan keturunan keluarga lain, sedangkan apabila tidak mempunyai anak laki-laki
maka dianggap putus keturunan,8 sehingga apabila dikaitkan dengan pewarisan, anak laki-
laki yang berhak mendapatkan harta warisan dari orang tuanya.
Contoh sistem kekerabatan patrilineal yaitu suku bangsa yang menggunakan sistem
kekerabatan ini adalah suku bangsa Batak (Sumatera Utara), Minahasa (Sulawesi Utara) dan
berbagai suku bangsa di Maluku dan Papua. Misalnya, orang Batak akan mewarisi
kekerabatan dan marga ayahnya (seperti marga Siregar, Tobing dan sebagainya).
3
Hilman Hadikusuma, 2003, (IV) Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar Maju, hlm. 201.
4
Essi Hernaliza, op.cit, hlm. 1.
5
Ellyne Dwi Poespasari, 2014, Kedudukan Anak Luar Kawin dalam Pewarisan Ditinjau dari Sistem Hukum
Kekerabatan Adat, Jurnal Perspektif, Vol. XIX No. 3, hlm. 212-222, hlm. 1.
6
Dominikus Rato, 2011, Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem Kekerabatan, Bentuk Perkawinan dan Pola
Pewarisan Adat di Indonesia), Surabaya: Laksbang Yustitia, hlm. 22.
7
Bambang Danu Nugroho, 2015, Hukum Adat, Bandung: Refika Aditama, hlm. 78.
8
Ellyne Dwi Poespasari, op.cit, hlm. 3.

3
Dalam kekerabatan patrilineal, hak dan kedudukan yang dimiliki suami akan lebih
tinggi daripada hak dan kedudukan istri. Tugas istri dalam keluarga adalah mendampingi dan
membantu suami dalam berumah tangga, meneruskan keturunan dan memelihara baik
hubungan kekerabatan antara keluarga suami dan keluarga istri. Berkaitan dengan harta asal,
harta perkawinan, dan harta pemberian semuanya berada pada penguasaan suami, yang
dimanfaatkan berdasarkan musyawarah suami dan istri.9
Sistem kekerabatan patrilineal terdapat 2 (dua) bentuk yaitu:
a. Patrilineal Murni
Patrilineal murni adalah bentuk sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan
pada laki-laki, namun berkaitan dengan sistem pewarisan tidak berpengaruh ada atau
tidaknya anak laki-laki tidak mengakibatkan keturunan dalam keluarga tersebut putus, 10
meskipun dalam keluarga tersebut hanya memiliki anak perempuan, penerusan harta warisan
tetap dapat dilakukan.
b. Patrilineal beralih-alih
Patrilineal beralih-alih adalah bentuk sistem kekerabatan yang menarik garis
keturunan pada laki-laki, namun apabila tidak terdapat anak laki-laki, maka anak perempuan
ditarik dalam keluarga orang tuanya sehingga memiliki kedudukan hukum sebagai anak laki-
laki meskipun secara biologis tetap sebagai perempuan, selain itu juga dapat diupayakan
terdapat anak laki-laki dengan cara pengangkatan anak, 11 sehingga anak laki-laki tersebut
terputus pada keluarga asalnya dan memiliki hubungan kekeluargaan dan keturunan pada
keluarga istrinya. Patrilineal beralih-alih memiliki konsep yang sama dengan sistem
kekerabatan matrilineal.
2. Sistem Kekerabatan Matrilineal
Secara etimologis matrilineal berasal dari dua kata, yaitu mater (bahasa latin) yang
berarti “ibu”,12 dan linea (bahasa latin) yang berarti garis. Sehingga kekerabatan matrilineal
yaitu sistem kekerabatan garis keturunan dari pihak perempuan, 13 sehingga keturunan
perempuan berfungsi melanjutkan keturunan keluarganya, sedangkan keturunan lakilaki
hanya berfungsi memberikan keturunan pada keluarga perempuannya. 14 Serta laki-laki
sebagai suami melepaskan warga adatnya dan memasuki warga adat istrinya. 15 Namun
9
Zainuddin Ali, 2010, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 25-26.
10
Sekar Maya P., Hukum Waris Kekeluargaan Adat, http://bem.law.ui.ac.id/2015, tanggal
akses 21 Desember 2018
11
Ibid.
12
Dominikus Rato, loc.cit.
13
Bambang Danu Nugroho, op.cit, hlm. 79.
14
Ellyne Dwi Poespasari, loc.cit.
15
Zainuddin Ali, op.cit, hlm. 26.

4
pelepasan warga adat matrilineal juga tergantung pada sistem perkawinan yang dilaksanakan,
tidak selalu melepaskan adat tetapi juga dapat terikat pada adat masingmasing,
Contoh sistem kekerabatan matrilineal yaitu suku bangsa yang menggunakan sistem
kekerabatan ini adalah suku bangsa Minangkabau (Sumatera Barat). Pada suku bangsa ini
klan seseorang dan harta warisan mengikuti garis keturunan dari pihak ibu.
Dalam kekerabatan matrilineal, kebalikan dari patrilineal yaitu hak dan kedudukan
yang dimiliki suami lebih rendah daripada hak dan kedudukan istri, suami bertugas
membantu istri. Apabila istri sebagai anak tertua dalam keluarganya, maka memiliki tugas
tambahan untuk menjaga harta warisan tidak terbagi orang tuanya. 16 Harta ini disebut harta
pusaka keluarga, menjaga harta warisan tersebut disertai dengan pemanfaatan dan
pengelolaannya dengan memperhatikan kepentingan saudara-saudaranya.
Namun berkaitan dengan penguasaan harta, tidaklah kebalikan dari patrilineal yang
mana semua harta dikuasai oleh suami, melainkan memiliki pola sendiri yaitu apabila terjadi
perceraian, suami tetap berhak atas sebagian harta bersama dan tetap menguasai harta asal
dan harta permberian yang dimilikinya.17 Namun dalam pewarisan apabila suami meninggal
maka harta akan kembali kepada keluarga asalnya, sedangkan apabila istri yang meninggal
maka akan diwariskan kepada anak perempuannya. Dalam kekerebatan ini, yang berhak
mendapatkan harta warisan adalah anak perempuan.
3. Sistem Kekerabatan Parental
Secara etimologis parental berasal dari kata parens (bahasa latin) yang berarti induk
atau orang tua, sehingga dengan melihat dengan perbandingan sistem kekerabatan
sebelumnya, diketahui kekerabatan Parental adalah sistem kekerabatan menarik garis
keturunan dari orang tua baik dari pihak perempuan dan dari pihak laki-laki secara
bersamasama dan seimbang, contohnya adalah masyarakat pada suku Jawa dan Aceh.18
Sistem kekerabatan ini memberi bagian pada masing-masing nak baik laki-laki maupun
perempuan untuk memperoleh harta warisan dari orang tuanya, namun besaran bagian
tersebut tergantung dari adat masing-masing. Dalam perkawinan pun kedudukan suami dan
istri berimbang.
Dalam kekerabatan parental, tidak dikenal adanya pembayaran jujur dan pembayaran
semenda, dalam memilih tempat kediaman pun dibebaskan untuk menetap di tempat suami
atau istri bahkan di rumah tersendiri yang terpisah dari pengaruh orang tuanya dan

16
Ibid, hlm. 26-27.
17
Ibid, hlm. 27.
18
Bambang Danu Nugroho, loc.cit.

5
mendirikan kehidupan baru.19 Bentuk perkawinan yang digunakan kekerabatan parental
adalah perkawinan bebas, keduanya masih terikat pada keluarga asalnya.
Berkaitan dengan harta yaitu harta perkawinan, harta asal, dan harta pemberian yang
ada, tidak dikuasai secara masing-masing oleh suami dan istri melainkan dikuasai secara
bersama-sama,20 sehingga suami atau istri berhak untuk melakukan perbuatan hukum baik
bersama-sama atau sendiri-sendiri baik di luar maupun di dalam pengadilan.

C. Hubungan Anak Dengan Orang Tuanya


Anak kandung memiliki kedudukan yang terpenting dalam tiap somah (gezin) dalam
suatu masyarakat adat. Oleh orang tua, anak itu dilihat sebagai penerus generasinya, juga
dipandang sebagai wadah di mana semua harapan orangtuanya dikelak kemudian hari wajib
ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelindung orangtuanya kelak bila orangtua sudah tidak
mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah sendiri.21
Menurut hukum adat anak kandung yang sah adalah anak yang dilahirkan dari
perkawinan bapak ibu yang sah , walaupun terjadinya perkawinan tersebut setelah ibunya
melahirkan terlebih dahulu. Oleh karena itu sejak dalam kandungan hingga anak tersebut
lahir sampai dengan anak tersebut tumbuh didalam masyarakat adat akan selalu diadakan
ritual khusus untuk mendoakan keselamatan anak tersebut.
Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dimana anak tersebut lahir dari perkawinan
antara seorang pria dengan seorang wanita, dimana nantinya wanita tersebut yang akan
melahirkan dan pria tersebut akan menjadi bapak dan menjadi suami dari wanita tersebut. Itu
merupakan keadaan yang normal.
Tetapi keadaan tersebut adakalanya tidak berjalan dengan normal. Di dalam
masyarakat sekitar kita sering penyimpangan-penyimpangan didalam melakukan hubungan
antara pria dengan wanita sehingga menimbulkan kejadian-kejadian yang tidak normal
(abnormal). Kejadian – kejadian tersebut menimbulkan akibat, sebagai berikut :
a. Anak lahir diluar perkawinan
Hubungan anak yang lahir diluar perkawinan dengan wanita yang melahirkan maupun
dengan pria yang bersangkutan dengan anak tersebut tiap daerah tidak mempunyai
pandangan yang sama. Di mentawai, timor, minahasa, dan ambon, misalnya wanita yang

19
Zainuddin Ali, loc.cit.
20
Ibid.
21
Bushar Muhammad;2006, hlm 5.

6
melahirkan anak itu dianggap sebagai ibu anak yang bersangkutan. Jadi biasa seperti kejadian
normal seorang wanita melahirkan anak dalam perkawinan yang sah22
Tetapi di beberapa daerah lainnya ada pendapat yang wajib mencela keras si ibu yang
tidak kawin itu beserta anaknya. Bahkan mereka semula lazimnya dibuang dari
persekutuannya (artinya tidak diakui lagi sebagai warga persekutuan), kadang-kadang malah
dibunuh atau seperti halnya di daerah kerajaan dahulu mereka itu dipersembahkan kepada
raja sebagai budak.
Yang menimbulkan tindakan-tindakan tersebut dikarenakan takut melihat adanya
kelahiran yang tidak didahului oleh perkawinan beserta upacara-upacara dan selamatan-
selamatan yang diperlukan. Untuk mencegah nasib si ibu dengan anaknya, terdapat suatu
tindakan adat dimana akan memaksa pria yang bersangkutan untuk kawin dengan wanita
yang telah melahirkan anak itu, jadi si pria tersebut diwajibkan melangsungkan perkawinan
dengan wanita yang karena perbuatannya menjadi hamil dan kemudian melahirkan anak pria
tersebut. Di sumatera selatan tindakan tersebut dilakukan oleh rapat marga. Demikian pula di
Bali, bahkan di daerah ini apabila yang dimaksud tidak mau mengawini wanita yang telah
melahirkan anak tersebut, akan di jatuhi hukuman.
Selain melakukan kawin paksa, adapula dengan mengawini wanita hamil tersebut
dengan laki-laki lain yang bukan bapak biologis dari anak tersebut. Perkawinan dilakukan
dengan maksud agar anak tersebut dilahirkan pada perkawinan yang sah, sehingga anak itu
menjadi anak yang sah. Perkawinan tersebut banyak dijumpai di desa- desa di Jawa (disebut
nikah tambelan) dan di tanah suku Bugis (disebut pattongkog sirik). Anak yang di lahirkan
diluar perkawinan tersebut di jawa di sebut anak haram jadah di Astra, lampung di sebut anak
kappang. Anak-anak tersebut bisa menjadi sah dan masuk dalam persekutuan apabila dengan
pembayaran ataupun sumbangan adat.
Hubungan antara anak dengan bapak yang tidak/belum kawin dengan ibu yang
melahirkan, seperti diminahasa, hubungan anak dengan pria yang tak kawin dengan ibu yang
melahirkannya, adalah biasa seperti hubungan anak dengan bapak. Bila si ayah hendak
menghilangkan kesangsian mengenai hubungan tersebut, maka ia harus memberikan lilikur
(hadiah) kepada ibu anaknya (dalam hal ini antara bapak dengan si ibu tidak tinggal satu
rumah) (Imam sudiyat; 2007; hal ;92). Di daerah lain, anak lahir di luar perkawinan, menurut
hukum adat adalah anak yang tidak berbapak.
b. Anak lahir karena zinah

22
Ibid. hlm 7.

7
Anak zinah adalah anak yang dilahir dari suatu hubungan antara seorang wanita
dengan pria yang bukan suaminya. Menurut hukum adat suaminya akan tetap menjadi bapak
anak yang dilahirkan istrinya itu, kecuali apabila sang suami menolak berdasarkan alasan-
alasan yang dapat diteriama, dapat menolak menjadi bapak anak yang dilahirkan oleh istrinya
karena telah melakukan zinah.
c. Anak lahir setelah perceraian.
Anak yang dilahirkan setelah bercerai, menurut adat mempunyai bapak bekas suami
wanita yang melahirkan itu, apabila kelahirannya terjadi dalam batas-batas waktu
mengandung. Banyak pula di jumpai dimana seorang laki-laki yang memelihara selir
disamping dia mempunyai istri yang sah. Anak yang dilahirkan dari selir-selir tersebut
mempunyai kedudukan serta hak-hak (seperti; hak warisan) yang tidak sama dengan anak-
anak dari isteri yang sah. Anak-anak yang dilahirkan dari istri yang sah akan mendapatkan
haknya lebih banyak.
Hubungan anak dengan orangtua (anak dengan bapak atau anak dengan ibu) akan
menimbulkan akibat hukum sebagai berikut;
a) Larangan kawin antara anak dengan bapak atau anak dengan ibu
b) Saling berkewajiban memelihara dan memberi nafkah
c) Apabila si ayah ada, maka ia akan bertindak sebagai wali dari anak perempuannya apabila
pada upacara akad nikah yang dilakukan secara Islam.
Menurut hukum adat yang menganut sistem kekerabatan Parental seperti di
masyarakat jawa kewajiban orangtua kepada anaknya sampai dengan anak tersebut dewasa
dan hidup mandiri. Pada sistem Parental tanggung jawab tidak hanya dibebankan kepada
bapak saja melainkan juga ibu ikut bertanggung kepada anak-anaknya.

BAB III
PENUTUP

8
A. Kesimpulan
Hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang bagaimana
kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat, kedudukan anak terhadap orangtua
dan sebaliknya kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya dan masalah perwalian
anak.
Dalam sistem kekerabatan masyarakat adat, keturunan merupakan hal yang penting
untuk meneruskan garis keturunan (clan) baik garis keturunan lurus atau menyamping. Pada
umumnya keturunan mempunyai hubungan hukum yang didasarkan pada hubungan darah,
antara lain antara orangtua dengan anak-anaknya dan anak dengan kerabatnya. Apabila dalam
suatu klan, suku ataupun kerabat khawatir akan menghadapi kepunahan klan, suku ataupun
kerabat ini pada umumnya melakukan adopsi (pengangkatan anak) untuk meneruskan garis
keturunan, maupun pengangkatan anak yang dilakukan dengan perkawinan atau
pengangkatan anak untuk penghormatan.
Dalam struktur masyarakat adat, menganut adanya tiga (3) macam sistem
kekerabatan, yaitu sistem kekerabatan parental, sistem kekerabatan patrilineal dan sistem
kekerabatan matrilineal.
Pertama, sistem kekerabatan patrilineal yaitu sistem kekerabatan yang garis keturunan dari
pihak ayah atau dari pihak laki-laki. Sistem kekerabatan patrilineal terdapat 2 (dua) bentuk
yaitu patrilineal murni dan patrineal beralih-alih. Kedua, sistem kekerabatan matrilineal yaitu
sistem kekerabatan garis keturunan dari pihak perempuan. Ketiga, sistem kekerabatan
parental adalah sistem kekerabatan menarik garis keturunan dari orang tua baik dari pihak
perempuan dan dari pihak laki-laki secara bersamasama dan seimbang.

DAFTAR PUSTAKA

9
Soepomo, Bab-bab Tentang Hukum Adat, Jakarta:PT Raja Grafindo, 2007.
Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2003.
Hilman Hadikusuma, 2003, (IV) Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung: Mandar
Maju,
Essi Hernaliza, op.cit
Ellyne Dwi Poespasari, 2014, Kedudukan Anak Luar Kawin dalam Pewarisan Ditinjau dari
Sistem Hukum Kekerabatan Adat, Jurnal Perspektif, Vol. XIX No. 3
Dominikus Rato, 2011, Hukum Perkawinan dan Waris Adat (Sistem Kekerabatan, Bentuk
Perkawinan dan Pola Pewarisan Adat di Indonesia), Surabaya: Laksbang Yustitia
Bambang Danu Nugroho, 2015, Hukum Adat, Bandung: Refika Aditama
Ellyne Dwi Poespasari, op.cit
Zainuddin Ali, 2010, Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika
Sekar Maya P., Hukum Waris Kekeluargaan Adat, http://bem.law.ui.ac.id/2015,
Dominikus Rato, loc.cit.
Bambang Danu Nugroho, op.cit
Ellyne Dwi Poespasari, loc.cit.
Zainuddin Ali, op.cit,
Bambang Danu Nugroho, loc.cit.
Zainuddin Ali, loc.cit.
Bushar Muhammad;2006

10

Anda mungkin juga menyukai