Anda di halaman 1dari 15

Makalah

HUKUM ADAT

“HUKUM PERKAWINAN ADAT”

OLEH

KELAS C S1 ILMU HUKUM 2020

KELOPOK I

Nama-Nama Anggota Kelompok

1. SAFRIZAL W. YANTU (1011420300)


2. REZA PRATAMA KONIO (1011420183)
3. SYAKINA HAMID ALAMRI (1011420279)
4. MUTIA KHAIRANI DOMILI (1011420213)
5. ADRIANI A.L. GULA (1011420041)

JURUSAN ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO

2021
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Alhamdulillahhi Rabbil’alamin, atas pertolongan Allah Subhanahuwata’ala kami dapat


menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana.
Sholawat dan salam tidak lupa kita kirimkan kepada junjungan kita Nabi Allah Nabi Muhammad
Shalallahua’laihi Wasallam, yang telah mengantarkan umat manusia dari zaman jahiliyah menuju
pada zaman yang modern.

Makalah yang berjudul “Hukum Perkawinan Adat” ini sengaja kami buat untuk memenuhi
tugas mata kuliah “Hukum Konstitusi”. Ucapan terima kasih juga kepada Dosen mata kuliah
Hukum Adat Ibu Sri Nanang Meiske Kamba, S.H., M.H yang telah memberikan tugas ini kepada
kami, sehingga secara langsung dapat menambah pengetahuan kami.

Makalah ini masih jauh dari sempurna, Oleh karena itu kami berharap kepada para pembaca
untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah
ini.

Wassalamua’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh.

Gorontalo, April 2022

Kelompok I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada umumnya menurut hukum adat di Indonesia perkawinan itu bukan saja sebagai
perikatan perdata, melainkan juga perikatan adat, sekaligus perikatan kekerabatan dan
ketetanggaan. Menurut KUH Perdata perkawinan dipandang sebagai suatu hubungan hukum di
bidang hukum keluarga, sama seperti hubungan-hubungan hukum lainnya, yang harus dilakukan
sesuai dengan hukum negara. Selain sebuah hubungan hukum biasa yang sama seperti hubungan
hukum lainnya, KUH Perdata melepaskan aspek-aspek lain selain dari aspek huum negara dari
perkawinan itu.
Dalam setiap masyarakat mempunyai norma-norma atau aturan-aturan. Norma-norma atau
aturan-aturan yang telah ada kemudian menjadi suatu adat (kebiasaan) dari suatu masyarakat
tersebut. Norma-norma atau aturan-aturan tersebut akan mengatur segala tingkah laku dalam
kehidupan mereka. Norma-norma atau aturan-aturan tersebut juga memiliki sanksi-sanksi apabila
dilanggar. Dengan adanya sanksi tersebut menjadikan masyarakat yang beradab. Mereka akan
mendapat sanksi apabila melakukan suatu perbuatan yang bisa bertentangan dengan norma yang
ada di dalam masyarakat tersebut. Dan barang siapa yang melanggar norma-norma yang berlaku
pada masyarakat tersebut diadili oleh hakim adat atau pemuka masyarakat dan sebagai sanksinya
akan dikucilkan dari masyarakat tersebut. Tetapi sanksi itu akan dijatuhkan atau ditetapkan setelah
jelas-jelas orang tersebut terbukti bersalah melanggar norma atau aturan-aturan yang berlaku.1
Meskipun sekecil apapun atau betapa sederhananya masyarakat itu hukum atau norma akan
menjadi cerminan. Karena tiap-tiap masyarakat, tiap rakyat mempunyai kebudayaan sendiri
dengan corak dan sifatnya sendiri, mempunyai struktur alam pikiran sendiri. Dari adanya
perbedaan-perbedaan tu maka berbeda pula adat-istiadat dalam hal perkawinannya. Demikian pula
dalam hal peminanganpun berbeda-beda antara daerah satu dengan daerah yang lain.
Peminangan adalah suatu hal yang dianggap sangat sakral dan juga sangat penting sebelum
perkawinan dilakukan. Peminangan itu merupakan hal yang telah ditunggu-tunggu sekian lama
oleh dua orang anak manusia yang sedang memadu kasih setelah sekian lama melakukan

1
Netty Sophiasari Supono, Skripsi: “PERKAWINAN ADAT (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan Mantup,
Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur)”. (Jawa Timur: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2008). 4.
pendekatan satu sama lain. Peminangan memang harus dilakukan sebelum melakukan perkawinan
yang sacral. Tujuan pertunangan adalah sebagai tanda ikatan bagi calon pengantin sebelum
melangsungkan perkawinan. Apabila pertunangan ini diterima oleh pihak perempuan, maka kedua
belah setuju dengan kerelaan untuk melaksanakan akad nikah atau perkawinan.
Seperti dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, pasal 1 yang mengatur tentang
perkawinan. Pasal itu menegaskan bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Dengan kata lain perkawinan ialah perjanjian perikatan antara pihak seorang laki-laki
dengan pihak seorang perempuan untuk melaksanakan kehidupan suami-istri, hidup berumah
tangga, melanjutkan keturunan sesuai dengan ketentuan agama. Jadi tujuan perkawinan adalah
membentuk keluarga yang diliputi rasa saling cinta mencintai dan rasa kasih sayang antara anggota
keluarga. 2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian permasalahan di atas, maka permasalahan yang akan dibahas, yaitu:
1. Pengertian Hukum Perkawinan Adat
2. Tujuan Perkawinan Adat
3. Asas-Asas Dalam Perkawinan Adat
4. Bentuk-Bentuk Perkawinan
5. Siste Perkawinan dalam Hukum Adat
6. Perceraian Dalam Hukum Adat
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan permasalahan di atas maka penulisan ini memiliki tujuan, yaitu:
1. Dapat mengetahui pengertian hukum perkawinan adat
2. Dapat memahami tujuan perkawinan adat
3. Dapat mengetahui asas-asas dalam perkawinan adat
4. Dapat memahami bentuk-bentuk perkawinan
5. Dapat mengetahui sistem perkawinan dalam Hukum Adat
6. Dapat memahami perceraian dalam hukum adat

2
Ratna D.E. Sirait, “Legalitas Perkawinan Adat Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2019 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan”, Jurnal Hukum, Volume 2 (September, 2021), 31.
BAB II
PEMBAHASAN
2. 1 Pengertian Hukum Perkawinan Adat
Perkawinan adat adalah ikatan hidup bersama antara seorang pria dan wanita, yang bersifat
komunal dengan tujuan mendapatkan generasi penerus agar supaya kehidupan persekutuan atau
“klan”nya tidak punah, yang didahului dengan rangkaian upacara adat. Van Gennep menamakan
semua upacara perkawinan sebagai “Rites De Passage” (upacara peralihan) yang melambangkan
peralihan status dari masing-masing mempelai yang tadinya hidup sendiri-sendiri – berpisah -
setelah melampaui upacara yang disyaratkan menjadi hidup bersatu sebagai suami istri; merupakan
somah sendiri - suatu keluarga baru yang berdiri serta mereka bina sendiri.
Soerojo Wigyodipoero, SH mengatakan bahwa perkawinan adalah : suatu perkawinan
yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat sebab manusia itu tidak saja mencakup pria dan
wanita bakal mempelai saja tetapi juga orang tua kedua belah pihak dan keluarga masing-masing.
Rites De Passage (upacara peralihan) tersebut terdiri atas 3 tingkatan, yaitu :
1. Rites de Separation yaitu upacara perpisahan dari status semula;
2. Rites de Marga, yaitu upacara ke status yang baru;
3. Rites de Agreegation, yaitu upacara penerimaan dalam status yang baru.
Djojodegoeno juga memberikan pendapat tentang perkawinan adat, bahwa perkawinan
adat merupakan suatu paguyuban atau somah (jawa: keluarga), dan bukan merupakan suatu
hubungan perikatan atas asar perjanjian. Hubungan suami istri sebegitu eratnya sebagai suatu
ketunggalan.
Pada masa sekarang konfigurasi hukum telah berubah dan hukum adat adalah bagian
organik dari hukum negara. Realisasi tersebut tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang diatur di dalam pasal 25 ayat (1) yang menyatakan
bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,
memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber
hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Pasal tersebut diperkuat oleh pasal 28
yang menyatakan bahwa hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dari 2 (dua) pasal tersebut di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa secara implisit
hukum adat dapat dijadikan dasar oleh hakim dalam mengadili dan memutus perkara di
pengadilan, karena yang dimaksud sumber hukum tidak tertulis dalam pasal 25 ayat (1) adalah
hukum adat. Dan yang dimaksud dengan nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat,
salah satunya adalah hukum adat, dengan asumsi bahwa hukum adat adalah hukum yang tumbuh
dan berkembang di masyarakat. Kedua pasal tersebut memberikan kewenangan kepada hakim
dalam memutus perkara dengan mendasarkan pada hukum adat.3
Dalam hukum adat, perkawinan bukan merupakan urusan pribadi dari orang yang
melakukan perkawinan, namun juga menjadi urusan keluarga, suku, masyarakat dan kasta.
Perkawinan berarti pemisahan dari orang tuanya. Dalam suku, perkawinan merupakan suatu
usaha yang menyebabkan terus berlangsungnya suku tersebut dengan tertibnya. Dalam
masyarakat (persekutuan), perkawinan merupakan suatu peristiwa penting yang mengakibatkan
masuknya warga baru yang ikut mempunyai tanggung jawab penuh terhadap persekutuannya.
Dalam kasta, perkawinan adalah peristiwa penting karena kasta dalam masyarakat (dahulu)
sering mempertahankan kedudukannya dengan mengadakan tertib perkawinannya sendiri.
Oleh karena itu, perkawinan adat memiliki arti yang penting masyarakat dan disertai
dengan upacara-upacara adat, agar kedua mempelai bahagia mengarungi hidup berkeluarga
sampai akhir hayatnya. Upacara-upacara yang dilakukan melambangkan adanya perubahan satus
hidup berpisah dengan keluarga induk dan membentuk keluarga yang baru. Prosesi kegiatan
dalam perkawinan adat yang telah dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi suatu
hukum perkawinan adat. (ukum Perkawinan adat adalah kebiasaan atau tingkah laku masyarakat
adat dalam melakukan upacara perkawinan yang kemudian kebiasaan tersebut dijadikan hukum
positif yang tidak tertulis dan hanya berlaku dalam masyarakat tertentu dan mempunyai sangsi
didalamnya. 4
2. 2 Tujuan Perkawinan Adat
Tujuan perkawinan dalam hukum adat bagi masyarakat adat yang bersifat kekerabatan adalah
untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibu-bapakan,
untuk kebahagian rumah tangga keluarga atau kerabatan, untuk memperoleh nilai-nilai adat
budaya, kedamaian dan untuk mempertahankan kewarisan. Oleh karena sistem keturuna dan
kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dengan yang lain berbeda-beda termasuk

3
Eka Susilawati, “Eksistensi Hukum Adat Dalam Sistem Hukum di Indonesia”, Jurnal Hukum, 132.
4
Dr. H. Erwin Owan Hermansyah Soetoto, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat. (Malang: Madza Media). 90.
Zulkifli Ismail, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat. (Malang: Madza Media). 90.
Melanie Pita Lestari, S.S., M.H. Buku Ajar Hukum Adat. (Malang: Madza Media). 90.
lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda, maka tujuan dari perkawinan adat bagi
masyarakat adat berbeda-beda diantara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang lain,
daerah yang satu dan daerah yang lain berbeda, serta akibat hukum dan upacara perkawinannya
berbeda-beda.
Pada masyarakat kekerabatan adat yang patrilinial, perkawinan bertujuan mempertahankan
garis keturunan bapak, sehingga anak laki-laki (tertua), harus melaksanakan bentuk perkawinan
ambil istri (dengan pembayaran uang jujur), dimana setelah terjadi perkawinan istrei ikut (masuk)
dalam kekerabatan suami dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan
bapaknya. Sebaliknya pada masyarakat kekerabatan adat yang matrilineal, perkawinan bertujuan
mempertahankan garis keturunan ibu, sehingga anak wanita tertua (tertua) harus melaksanakan
bentuk perkawinan ambil suami (semanda). Dimana setelah terjadinya suami ikut (masuk) dalam
kekerabatan istri dan melepaskan kedudukan adatnya dalam susunan kekerabatan orang tuanya.5
2. 3 Asas-Asas Dalam Hukum Perkawinan Adat
Dalam masyarakat hukum adat, hukum perkawinan adat mempunyai Asas-asas yang menjadi
parameter masyarakat yang masing-masing daerah mempunyai aturan sendiri dan berbeda- beda
sesuai kebiasaan setempat. Asas-asas perkawinan hukum adat, yaitu :
1. Asas Keadatan dan kekerabatan
Perkawinan dalam hukum adat bukan sekedar mengikat secara individual, akan tetapi juga
mengikat masyarakat adat dalam arti masyarakat komunal punya tanggung jawab dalam urusan
perkawinan warganya. Oleh itu, perkawinan dalam hal ini sangat ditentukan kehendak kerabat dan
masyarakat adat. Kehendak yang dimaksud ialah mulai dari pemilihan pasangan, persoalan
Dzjujurdz dan persoalan-persoalan lainnya. Asas inilah sebenarnya yang mendasari dari asas-asas
perkawinan dalam hukum adat.
2. Asas Kesukarelaan/Persetujuan
Dalam hukum adat calon mempelai tidak mempunyai otoritas penuh untuk menyatakan
kerelaan/persetujuan perkawinan. Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan orang tua dan
anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang tidak diakui
oleh masyarakat adat setempat. Pelanggaran terhadap asas ini dapat dikenakan sanksi dikeluarkan

5
Te. Her. Asas – Asas dan susunan Hukum Adat, terjemahan Soebakti poesponoto (Jakarta : Pradnya Paramitha)
Hal. 188 - 199
dari lingkungan kekerabatan masyarakat adat, terlebih dalam masyarakat adat yang masih kental
system kesukuaannya seperti masyarakat adat Nusa Tenggara Timur.
͵3. Asas Partisipasi Kerabat dan masyarakat Adat
Dalam perkawinan, partisipasi orang tua beserta kerabat dan masyarakat adat sangatlah
besar artinya. Partisipasi ini dimulai dari pemilihan calon mempelai, persetujuan sampai pada
kelanggengan rumah tangga mereka, secara langsung ataupun tidak langsung orang tua beserta
kerabat punya tanggung jawab moral terhadapnya.
4. Asas Poligami
Asas poligami dalam masyarakat adat sudah menjadi tradisi. Tidak sedikit adat raja-raja,
adat bangsawan baik yang beragama (indu, Budha, Kristen dan )slam mempunyai istri lebih dari
satu bahkan puluhan. Masing-masing istri yang dipoligami tersebut mempunyai kedudukan yang
berbeda satu sama lain berdasarkan struktur hukum adat setempat. Walaupun demikian, seiring
dengan perkembangan jaman dan lemahnya institusi adat serta perkembangan iklim hukum
nasional, praktek poligami dalam masyarakat adat sudah mulai ditinggalkan, kalaupun ada
menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam agama. Dengan demikian,
poligami dalam hukum adat sudah teresepsi dalam hukum lainnya yang lebih kuat.
5. Asas Selektivitas
Asas selektivitas dalam hukum adat, pada pembahasan ini diarahkan pada proses dan siapa
yang berhak menentukan calon mempelai. Seperti yang sudah dijelaskna di atas bahwa dalam
hukum adat, orang tua, kerabat dan masyarakat adat sangat berpengaruh dalam pemilihan calon
mempelai. Dengan demikian, proses memilih calon mempelai mempunyai sedikit banyak peran
yang ditentukan oleh orang tua beserta kerabat. Dalam proses pemilihan calon mempelai,
diarahkan pada jenis perkawinan yang dikehendaki dan menghindari perkawinan yang dilarang.6
2. 4 Bentuk-Bentuk Perkawinan
a. Dalam sifat susunan kekeluargaan matrilineal (garis keturunan ibu). Setelah kawin, suami tetap
masuk pada keluarganya sendiri. Pada prosesnya calon suami dijemput dari rumahnya kemudian
tinggal dan menetap di rumah keluarga istri, tetapi anak-anak dan keturunannya masuk keluarga
istri dan si ayah pada hakikatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya. Keadaan
ini disebabkan rumah tangga suami istri dan anak-anak keturunannya dibiayai dari milik kerabat
si istri.

6
Dr. Yulia, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat. (Aceh: Unimal Press. 2016). 52.
b. Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal (garis keturunan bapak). Sifat utama dari
perkawinan ini adalah dengan memberikan “jujur” oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan
sebagai lambang diputuskannya hubungan kekeluargaan si istri dengan orang tuanya, nenek
moyangnya dan singkatnya dengan kerabat dan persekutuannya. Setelah perkawinan si istri masuk
dalam lingkungan keluarga suami begitu juga anak-anak keturunannya.
Sistem jujur tersebut tidak lantas kemudian dipahami sebagaimana yang dipahami oleh para
etnolog barat yaitu sebagai “pembelian” tetapi menurut hukum adat yang murni, maka jujur
dimaksudkan sebagai suatu “penggantian” bahwa kedudukan gadis dalam pengertian religio-
magis-kosmis. Dalam menjaga keseimbangan dalam suatu keluarga, maka anak gadis yang
dikawinkan diganti dengan suatu benda dalam memaknai religio-magis-kosmis. Kawin jujur
mengandung 3 pengertian, yaitu:
(1) Pada sisi yuridis akan terjadi perubahan status;
(2) Pada sisi sosial (politis), perkawinan tersebut akan mempererat hubungan antar kerabat,
hubungan kekeluargaan dan menghilangkan permusuhan;
(3) Pada sisi ekonomis, adanya pertukaran barang 7
Apabila perkawinan putus di beberapa daerah jujur harus dikembalikan. Jenis-jenis
perkawinan jujur.
a. Perkawinan mengabdi (dienhuelijk)
Dalam perkawinan mengabdi ini pembayaran jujur di tunda si suami sudah bisa hidup bersama
dengan istrinya, tetapi si suami bekerja mengabdi kepada keluarga mertuanya sampai jujur lunas.
Anak-anak yang lahir selama dalam masa pengabdian adalah masuk clan istrinya, tetapi apabila
jujur sudah lunas di bayar mak mereka pindah ke clan suaminya tapi dalam masyarakat Batak
Toba, anak yang lahir selama masa pengabdian, masuk ke dalam clan suaminya.
Di Tapanuli selatan ada kemungkinan bahwa salah seorang dari hasil perkawinan itu di
serahkan kepada keluarga istrinya. Hal ini terjadi apabila sebelum jujur lunas terjadi perceraian.
Maksudnya supaya jujur dari anak perempuan itu nanti untuk melunasi jujur dari ibunya.
Perkawinan pengabdi : di Batak disebut mandingding, di lampung tersebut erring beli, negisq, di
Bali disebut nunggonin

7
Dr. H. Erwin Owan Hermansyah Soetoto, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat. (Malang: Madza Media). 94.
Zulkifli Ismail, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat. (Malang: Madza Media). 94.
Melanie Pita Lestari, S.S., M.H. Buku Ajar Hukum Adat. (Malang: Madza Media). 94.
b. Perkawinan Bertukar (muillhuwelijk)
Dalam perkawinan ini kemungkinan jujur diperhitungkan. Jadi ada kemungkinan jujur tidak
usah dibayar karena sudah lunas. Perkawinan ini hanya terdapat apabila dalam masyarakat itu
dipebolehkan kawin timbal balik.
c. Perkawinan Meneruskan (vervoolghuwelijk)
Artinya perkawinan seseorang dengan saudara perempuan istrinya yang sudah meninggal.
Dalam hal ini tidak usah dilaksanakan pembayaran jujur, karena istri kedua, seakan-akan
menduduki tempat istri yang pertama. Dipasemah, hal ini disebut tungkat, di jawa Tengah disebut
karangeulu.
d. Perkawinan Mengganti (leviraathuwelijk)
Seorang anak laki-laki diambil untuk suami dari seorang gadis, gadis ini adalah berhukum
petrilineal. Jadi untuk mencegah hilangnya keturunan bapaknya, maka di adakan perkawinan
ambil anak, anak yang lahir adalah termusuk clan istrinya (ayah dari istrinya). Dalam hal ini
kandang-kadang si suami menerima jujur sehingga ia lepas dari clannya sendiri. Ini terjadi di
Sumatra Batra.8
c. Dalam sifat susunan kekeluargaan parental (garis keturunan keibu-bapaan).
Setelah perkawinan baik si istri maupun suami menjadi milik keluarga bersama begitu juga
anak-anak dan keturunannya. Dalam sifat ini juga terdapat kebiasaan berupa pemberian-pemberian
dari pihak laki-laki terhadap pihak perempuan, tetapi pemberian di sini tidak mempunyai arti
seperti jujur, mungkin dulu dasarnya seperti jujur tetapi lebih banyak diartikan sebagai hadiah
perkawinan. Hal demikian banyak dijumpai di daerah Aceh, Jawa dan Sulawesi Selatan.
3. Bentuk Perkawinan
Anak-anak Perkawinan ini dilakukan terhadap calon suami dan istri yang belum dewasa,
yang biasanya dilaksanakan menurut ketentuan Hukum Islam, sedang pesta dan upacara menurut
hukum adat ditangguhkan. Sebelum upacara perkawinan, suami belum boleh melaksanakan
hubungan suami istri, ditangguhkan sampai mereka dewasa dan dilangsungkan pesta dan upacara
menurut hukum adat.
4. Bentuk Perkawinan Permaduan
Permaduan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dengan dua atau lebih wanita
dalam waktu bersamaan. Pada 97 daerah yang mengenal lapisan masyarakat, wanita dari lapisan

8
Dr.Sri Warjiyanti, S.H., M.H. Ilmu Hukum Adat. (Yogyakarta). 111.
tinggi (sama) dijadikan istri pertama dan wanita dari lapisan bawah dijadikan istri kedua dan
seterusnya. Para istri yang dimadu (selir), masing-masing beserta anaknya berdiam dan
membentuk rumah berpisah satu sama lain.
5. Bentuk Perkawinan Ambil Anak
Perkawinan ini terjadi pada kekerabatan patrilineal, yaitu pihak laki-laki tidak perlu
membayar “jujur”, dengan maksud mengambil si laki-laki (menantunya) itu ke dalam keluarganya
agar keturunannya nanti menjadi penerus silsilah kakeknya. Bentuk perkawinan ini juga bisa jadi
terjadi pada masyarakat semendo yang disebut perkawinan semenda ambik anak, dalam rangka
penerus silsilah menurut garis perempuan.
6. Bentuk Perkawinan Mengabdi
Perkawinan ini terjadi sebagai akibat adanya pembayaran perkawinan yang cukup besar,
sehingga pihak laki-laki tidak mampu membayarnya. Dalam bentuk ini, suami istri sudah mulai
berkumpul, sedang pembayaran perkawinan ditunda dengan cara bekerja untuk kepentingan
kerabat mertuanya sampai jumlah pembayaran perkawinan terbayar lunas.
7. Bentuk Perkawinan Meneruskan (Sororat)
Perkawinan seorang duda (balu) dengan saudara perempuan mendiang istrinya. Perempuan
tersebut meneruskan fungsi istri pertama tanpa suatu pembayaran (jujur). Perkawinan ini disebut
kawin turun ranjang atau ngarang wulu (Jawa)
8. Bentuk Perkawinan Mengganti (Leverat)
Perkawinan yang terjadi apabila seorang janda yang menetap di lingkungan kerabat
suaminya, kawin dengan laki-laki adik mendiang suaminya. Perkawinan ini sebagai sarana
perkawinan jujur, yang di Palembang dan Bengkulu dikenal dengan kawin Anggau.9
Ter Haar dalam bukunya “Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat” mengemukakan berbagai
macam bentuk perkawinan adat di Indonesia, yakni:
1. Perkawinan Meminang atau melamar, yaitu perkawinan yang didahului oleh pinangan atau
lamaran yang dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki kepada pihak keluarga perempuan.
Apabila pinangan diterima, maka diikuti dengan tunangan disertai pemberian peningset,
panyancang, juju, atau mas kawin dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan.
2. Kawin lari atau merat (misalnya di Bali), laki-laki dan perempuan lari bersama-sama atas
kemauan sendiri, karena keluarganya atau orang tuanya tidak menyetujui perkawinan mereka.

9
Dr. Yulia, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat. (Aceh: Unimal Press. 2016). 52.
3. Perkawinan bawa lari seorang perempuan, artinya si perempuan dengan paksa dibawa lari oleh
seorang laki-laki. Perkawinan ini dilakukan dengan alasan, perempuan yang dicintainya telah
ditunangkan dengan lelaki lain.
4. Perkawinan jujur, tukon, mas kawin, artinya perkawinan dimana pihak laki-laki memberi
sesuatu kepada pihak perempuan.
5. Kawin mandinding, nunggonin, kawin jasa, artinya perkawinan dimana pihak laki-laki harus
memberikan jasanya (bekerja) lebih dahulu dalam beberapa waktu tertentu . Jasa ini
dimaksudkan sebagai mas kawin.
6. Kawin Tongkat atau kawin wulu, artinya seorang lelaki kawin dengan adik perempuan dari
istrinyayang telah meninggal.
7. Perkawinan mengganti, artinya seseorang perempuan kawin dengan adik lelaki dari suaminya
yang telah meninggal.
2. 5 Sistem Perkawinan dalam Hukum Adat
Ada 3 sisstem perkawinan dalam hukum adat yaitu:
1. Sistem endogami, yaitu seseorang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari suku
keluarganya sendiri (misalnya di masyarakat Toraja).
2. Sistem exogami, artinya seseorang diharuskan kawin dengan orang di luar suku keluarganya
sendiri (misalnya pada masyarakat Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatra Selatan,
Buru, dan Seram).
3. Sistem elautherogami, sistem ini tidak mengenal larangan-larangan atau keharusan seperti
dalam sistem perkawinan endogami maupun exogami. Sistem ini hanya menggunakan
larangan-larangan yang berdasarkan pada pertalian darah atau kekeluargaan (nasab) turunan
yang dekat seperti ibu, nenek, anak kandung, cucu dan saudara kandung, saudara bapak atau
ibu seperti di dalam masyarakat hukum adat di Aceh. 10
2. 6 Perceraian dalam Hukum Adat
Pada dasarnya, kerabat dan masyarakat menginginkan agar perkawinan yang telah
dilangsungkan itu dapat bertahan sampai akhir hayat, namun dalam kenyataannya kadang kala ada
terjadi putusnya perkawinan atau perceraian dalam masyarakat. Dalam hukum adat, secara umum
hal-hal yang mendorong dan menjadi penyebab perceraian dari suatu perkawinan adalah
perzinaan, tidak memberi nafkah, penganiayaan, cacat tubuh/kesehatan dan perselisihan.

10
Umar Said Sugiarto, S.H., M.S. Pengantar Hukum Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika. 2012). 125.
Ada juga hal-hal lain yang bersifat khusus sehingga terjadi perceraian, yaitu:
a. Adanya dorongan oleh kepentingan kerabat dan masyarakat, misalnya: di Batak, salah satu
alasan terjadinya perceraian adalah karena hubungan yang tidak baik dengan salah satu atau
beberapa “jabu” dari kerabat suami yang menjadi serius dan membawa suasana yang
memburuk antara seluruh kaum kerabat si suami. Selain itu, tidak memperoleh keturunan dan
suami meninggal dunia (minta cerai dari “jabu” asal suaminya).
b. Karena kerukunan rumah tangga telah tidak dapat dengan sungguh-sungguh dipertahankan lagi
(Lampung);
c. Adanya campur tangan pihak mertua yang sudah terlalu jauh dalam soal rumah tangga
(Aceh).11

Kesimpulan dan Saran


a. Kesimpulan
Keberadaan hukum adat sangat kuat pengaruhnya terhadap kehidupan masyarakat jika
dibandingkan dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, khususnya tentang hukum
perkawinan. Namun sebagai bagian dari Warga Negara Indonesia tetap harus mengikuti
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Aturan-aturan berkenaan dengan syarat-syarat
sahnya perkawinan menurut negara mengenai perkawinan, aturan-aturan mengenai syarat sahnya
suatu perkawinan wajib ditegakkan dan dijalankan oleh seluruh Warga Negara Indonesia tanpa
terkecuali.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa
perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Norma-norma atau aturan-aturan tersebut juga memiliki sanksi-sanksi apabila dilanggar.
Dengan adanya sanksi tersebut menjadikan masyarakat yang beradab. Mereka akan mendapat
sanksi apabila melakukan suatu perbuatan yang bisa bertentangan dengan norma yang ada di

11
Dr. H. Erwin Owan Hermansyah Soetoto, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat. (Malang: Madza Media). 99.
Zulkifli Ismail, S.H., M.H. Buku Ajar Hukum Adat. (Malang: Madza Media). 99.
Melanie Pita Lestari, S.S., M.H. Buku Ajar Hukum Adat. (Malang: Madza Media). 99.
dalam masyarakat tersebut. Dan barang siapa yang melanggar norma-norma yang berlaku pada
masyarakat tersebut diadili oleh hakim adat atau pemuka masyarakat dan sebagai sanksinya akan
dikucilkan dari masyarakat tersebut. Tetapi sanksi itu akan dijatuhkan atau ditetapkan setelah
jelas-jelas orang tersebut terbukti bersalah melanggar norma atau aturan-aturan yang berlaku.
Peminangan adalah suatu hal yang dianggap sangat sakral dan juga sangat penting sebelum
perkawinan dilakukan. Peminangan itu merupakan hal yang telah ditunggu-tunggu sekian lama
oleh dua orang anak manusia yang sedang memadu kasih setelah sekian lama melakukan
pendekatan satu sama lain. Peminangan memang harus dilakukan sebelum melakukan perkawinan
yang sacral. Tujuan pertunangan adalah sebagai tanda ikatan bagi calon pengantin sebelum
melangsungkan perkawinan. Apabila pertunangan ini diterima oleh pihak perempuan, maka kedua
belah setuju dengan kerelaan untuk melaksanakan akad nikah atau perkawinan.

b. Saran
Menurut kelompok kami terkait perkawinan hukum adat agar dapat terus dilestarikan, dan
tentunya haru di dukung oleh regulasi yang jelas dari pemerintah. Masyarakat juga harus turut
serta dalam melestarkannya.
Daftar Pustaka
Buku
Sugiarto, Umar Said, 2012. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Soetoto, Erwin Owan. Ismail, Zulkifli. Lestari, Melanie Pita. 2021. Buku Ajar Hukum Adat.
Malang: Madza Media.

Yulia. 2016. Buku Ajar Hukum Perkawinan. Aceh: Unimal Press.

Sugiarto, Umar Said, 2012. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Warjiyanti, Sri. 2020. Ilmu Hukum Adat. Yogyakarta.

Jurnal
Sirait, Ratna. 2021. “Legalitas Perkawinan Adat Menurut Undang-Undang No.16 Tahun 2019 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan” Jurnal Hukum Volume 2
(hal.31).

Supono, Netty Sophiasari. 2008. “PERKAWINAN ADAT (Peminangan Di Dusun Waton, Kecamatan
Mantup, Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur)”. Jawa Timur: Universitas Muhammadiyah
Surakarta.

Susilawati, Eka. “Eksistensi Hukum Adat Dalam Sistem Hukum di Indonesia”. Ilmu Hukum UNTAG
Surabaya.

Raharjo, Satjipto. “Hukum Adat Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia”, dalam
Inventarisasi dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat. Jakarta: Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia, 2005.

Wignjodipuro, Surojo. Pengantar dan Azas-Azas Hukum Adat. Jakarta: Gunung Agung, 1982

Anda mungkin juga menyukai