Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH KELOMPOK HUKUM PERDATA

“ASPEK KELUARGA DALAM HUKUM PERDATA”

Dosen Pengampu : Dr. Indra Primahardani, S.H., MH

OLEH :

1. ZUHRUF SALSABILLA (2105124296)


2. GRACIA TM HUTAGALUNG (2105112000)
3. FILMA ANGGRAINI (2105510231)
4. RAJA ARDIKA (2105112001)
5. ENTIYA RAMADANI (2105124801)

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Dalam Mengikuti Mata Kuliah Hukum
Perdata

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS RIAU
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyusun Makalah Ilmu Negara yang berjudul “ASPEK
KELUARGA DALAM HUKUM PERDATA”

Tujuan disusunnya makalah ini untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti
Mata Mata Kuliah Dasar-Dasar Ilmu Politik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
bapak Dr. Indra Primahardani, S.H., MH Dosen Hukum Perdata yang telah banyak
memberikan bimbingan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua
dan seluruh rekan-rekan serta semua pihak yang telah membantu dalam menyusun makalah
ini.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis harapkan
untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Terima kasih yang sebesar – besarnya penulis sampaikan kepada semua pihak yang
telah berperan aktif dalam membantu penyelesaian Makalah ini.

Pekanbaru, 07 Oktober 2022

Kelompok 5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG MASALAH


Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia sebagai
makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil, yang terdiri dari seorang
ayah, ibu dan anak. Bagi pasangan yang merasa telah siap secara lahir dan batin untuk
berumah tangga, maka mereka akan segera menikah agar sesegera mungkin dapat
mewujudkan impian membentuk suatu keluarga baru. Setiap keluarga yang hidup di dunia
ini selalu mendambakan agar keluarga itu selalu hidup bahagia, damai dan sejahtera yang
merupakan tujuan dari perkawinan yaitu membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan
sejahtera. Dari kehidupan suami istri di dalam suatu ikatan perkawinan tersebut akan
berakibat yang penting dalam masyarakat yaitu apabila mereka dianugerahi keturunan,
dengan keturunannya mereka bisa membentuk suatu keluarga sendiri.
Terbentuknya suatu keluarga itu karena adanya perkawinan. Perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk sebuah keluarga (rumah tangga) yang bahagia. Sehingga Keluarga dalam
arti sempit artinya yaitu asepasang suami istri dan anak-anak yang dilahirkan dari
perkawinan itu, tetapi tidak mempunyai anak juga bisa dikatakan bahwa suami istri
merupakan suatu keluarga.
Sedangkan definisi hukum kekeluargaan secara garis besar adalah hukum yang bersumber
pada pertalian kekeluargaan. Pertalian kekeluargaan ini dapat terjadi karena pertalian darah,
ataupun terjadi karena adanya sebuah perkawinan. Hubungan keluarga ini sangat penting
karena ada sangkut paut nya dengan hubungan anak dan orang tua, hukum waris, perwalian
dan pengampuan.
Hukum keluarga sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum
yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan
(perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampunan, keadaan tak hadir).
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang
mempunyai keluhuran yang sama. Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian
keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri
(suaminya). Hukum keluarga diatur dalam KUH Perdata Buku I BAB 4-18. Selain itu juga
diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (sebagai hukum khusus dari KUH
Perdata.
Dengan penjelasan diatas maka Tim Kelompok 5 tertarik untuk membahas materi
yang berjudul “ASPEK KELUARGA DALAM HUKUM PERDATA”

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka kami dapat merumuskan masalah yang ingin
dijawab dan dibahas dalam tulisan ini adalah :
1. Apa pengertian dari hukum keluarga ?
2. Darimana saja sumber hukum keluarga itu ?
3. Apa saja bagian-bagian dalam hukum keluarga?
4. Apa Hak dan Kewajiban dalam Hukum Keluarga?
5. Apa saja asas-asas dalam Hukum Keluarga?
DAFTAR ISI
BAB II
PEMBAHASAN

2.2 Pengertian Hukum Keluarga

Istilah hukum keluarga berasal dari terjemahan kata familierecht (belanda) atau law
of familie (inggris). Istilah keluarga dalam arti sempit adalah orang seisi rumah, anak istri,
sedangkan dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat dekat.]
Ali Affandi mengatakan bahwa hukum keluarga diartikan sebagai “Keseluruhan
ketentuan yang mengatur hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah
dan kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian,
pengampuan, keadaan tak hadir)”
Ada dua pokok kajian dalam definisi hukum keluarga yang dikemukakan oleh Ali
Affandi, yaitu mengatur hubungan hukum yang berkaitan (1) kekeluargaan sedarah adalah
pertalian keluarga yang terdapat pada beberapa pada beberapa orang yang mempunyai
leluhur sama, dan (2) perkawinan adalah pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan
antara seorang dengan keluarga sedarah dari istri (suami).
Tahir Mahmoud, sebagaimana yang dikutip oleh Harian Kompas, tertanggal 12
Oktober 2000 mengartikan : “Hukum keluarga sebagai prinsip-prinsip hukum yang
diterapkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan hal-hal yang secara umum
diyakini memiliki aspek religius menyangkut peraturan keluarga, perkawinan, perceraian,
hubungan dalam keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin,
perwalian, dan lain-lain.”
Definisi yang terakhir ini mengkaji dua hal, yaitu tentang prinsip hukum dan ruang
lingkupnya. Prinsip hukum berdasarkan ketaatan beragama. Ruang lingkup kajian hukum
keluarga meliputi peraturan keluarga, kewajiban dalam rumah tangga, warisan, pemberian
mas kawin, perwalian, dan lain – lain.

1.2 Sumber Hukum Keluarga

Sumber hukum keluarga dibedakan menjadi dua macam, yaitu : (1) hukum keluarga tertulis,
yaitu kaidah – kaidah hukum yang bersumber dari UU, yurisprudensi, dan traktat. (2) hukum
keluarga tidak tertulis, yaitu kaidah – kaidah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan
berkembang dalam kehidupan masyarakat (hukum adat). Sumber hukum keluarga tertulis,
dikemukakan berikut ini :

1. Kitab undang – undang hukum perdata (KUHPerdata)


2. Peraturan perkawinan campuran Stb. 1898 Nomor 158
3. Indonesia, Kristen, jawa, minahasa, dan Ambon, Stb. 1933 Nomor 74
4. UU Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk (beragama
Islam)
5. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
6. PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
7. PP Nomor 10 Tahun 1983, PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

Dalam hukum keluarga tidak tertulis, hukum yang dianut adalah hukum yang berada di
kehidupan masyarakat sekitar daerah tempat tinggalnya Menurut Soejono
Soekanto mengatakan bahwa, hukum adat hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun
kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum (das sein das sollen).
Syekh Jalaluddin menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama merupakan
persambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang
dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada peristiwa
tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis di belakang peristiwa tersebut, sedang yang
tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada di belakang fakta-fakta yang
menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa lain.
Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum
adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang
membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal
pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa,
sepanjang keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak
bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan seirama dengan
kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya ditoleransi.
Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk
keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan
saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidak hanya keputusan mengenai
suatu sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan).
Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan
hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut. Penegak hukum adat adalah
pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam
lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.

2.3 Bagian – Bagian dalam Hukum Keluarga


Hukum Keluarga juga dapat merujuk pada kontrak pernikahan dalam iman Islam,
yang meliputi penyisihan laki-laki untuk menikahi hingga empat istri, dalam keadaan
tertentu. Hukum kekeluargaan mengatur tentang :
1. Keturunan
2. Kekuasaan orang tua
3. Perwalian
4. Pendewasaan
5. Pengampuan

Hukum keluarga memuat rangkaian peraturan hukum yang timbul dari pergaulan
hidup kekeluargaan. Yang termasuk dalam hukum keluarga antara lain :
1. Keturunan (KUHPerdata 42 sampai 44). Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Hal ini menjelaskan bahwa anak
yang dilahirkan diluar perkawinan tidak sah adalah anak yang tidak sah. Pasal 55
dijelaskan bahwa asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte
kelahiran yang otentik yang dikeluarkan oleh penjabat berwenang.
2. Kekuasaan orang tua (KUHPerdata 45 dan seterusnya). Setiap anak wajib hormat dan
patuh kepada orang tuanya, sebaliknya orang tua wajib memelihara dan memberi
bimbingan anak-anaknya yang belum cukup umur (belum 21 tahun dan tidak lebih
dahulu telah kawin) sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
Kekuasaan orang tua berhenti apabila:
a. Anak tersebut telah dewasa (sudah 21 tahun).
b. Perkawinan orang tua putus.
c. Kekuasaan orang tua dipecat oleh hakim, misalnya karena pendidikannya
buruk sekali.
d. Kelakuan si anak luar biasa nakalnya hingga orang tuanya tidak berdaya lagi.
3. Perwalian. Anak yatim piatu atau anak yang belum cukup umur dan tidak dalam
kekuasaan orang tua memerlukan pemeliharaan dan bimbingan, karena itu harus
ditunjuk wali yaitu orang atau perkumpulan yang akan menyelenggarakan keperluan
hidup anak tersebut. Pasal 51 menyatakan bahwa :
a. Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang
tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan
dua orang saksi.
b. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak atau orang lain yang telah
dewasa, berfikir sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik.
c. Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta bendanya
sebaik-baiknya dengan menghormatinya agama dan kepercayaan anak itu.
d. Wali wajib membuat daftar harta benda yang berada di bawah kekuasaannya
pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan harta benda
anak itu.
e. Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah
perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau
kelalaiannya.
4. Pengampuan. Orang yang sudah dewasa akan tetapi sakit ingatan, pemboros, lemah
daya, atau tidak sanggup mengurus kepentingan sendiri dengan semestinya,
disebabkan kelakuan burukdi luar batas atau mengganggu keamanan, memerlukan
pengampunan. Oleh sebab itu, dibutuhkan Kurator; biasanya suami jadi pengampun
atas istrinya atau sebaliknya, akan tetapi mungkin juga Hakim mengangkat orang lain
atau perkumpulan sedangkan sebagai Pengampu Pengawas ialah Balai Harta
Peninggalan.

2.4 Hak dan Kewajiban dalam Hukum Keluarga


Sebagai suatu hubungan hukum, perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban suami
istri. Yang dimaksud “hak” ialah sesuatu yang merupakan milik atau dapat dimiliki oleh
suami atau istri yang timbul karena perkawinannya. Sedangkan “kewajiban” ialah sesuatu
yang harus dilakukan atau diadakan oleh suami atau istri untuk memenuhi hak dan dari pihak
yang lain.
Hak dan kewajiban dalam hukum keluarga dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
a. Hak dan kewajiban antara suami istri
b. Hak dan kewajiban antara orang tua dengan anaknya
c. Hak dan kewajiban antara anak dengan orang tuanya manakala oarng tuanya telah
mengalami proses penuaan.
2.5 Asas-Asas Hukum keluarga
Berdasarkan hasil analisis terhadap KUH Perdata dan UU Nomor 1 tahun 1974
dirumuskan beberapa asas yang cukup prinsip dalam Hukum Keluarga, yaitu:
a. Asas monogamy, asas ini mengandung makna bahwa seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang istri, dan seorang istri hanya boleh mempunyai seorang suami.
b. Asas konsensual, yakni asas yang mengandung makna bahwa perkawinan dapat
dikatakan sah apabila terdapat persetujuan atau consensus antara calon suami-istri
yang akan melangsungkan perkawinan.
c. Asas persatuan bulat, yakni suatu asas dimana antara suami-istri terjadi persatuan
harta benda yang dimilikinya.(Pasal 119 KUHPerdata)
d. Asas proporsional,yaitu suatu asas dimana hak dan kedudukan istri adalah seimbang
dengan hak dan kewajiban suami dalam kehidupan rumah tangga dan di dalam
pergaulan masyarakat.( Pasal 31 UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
e. Asas tak dapat dibagi-bagi,yaitu suatu asas yang menegaskan bahwa dalam tiap
perwalian hanya terdapat seorang wali. Pengecualian dari asas ini adalah
1. Jika perwalian itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup lebih lama
maka kalau ia kawin lagi, suaminya menjadi wali serta/wali peserta
2. Jika sampai ditunjuk pelaksana pengurusan yang mengurus barang-barang dari
anak di bawah umur di luar Indonesia
f. Asas prinsip calon suami istri harus telah matang jiwa raganya.( Pasal 7 UU No.1
Tahun 1974)
g. Asas monogamy terbuka/poligami terbatas, asas yang mengandung makna bahwa
seorang suami dapat beristri lebih dari seorang dengan izin dari pengadilan setelah
mendapat izin dari istrinya dengan dipenuhhinya syarat-syarat yang ketat
h. Asas perkawinan agama, asas yang mengandung makna suatu perkawinan hanya
sah apabila dilaksanakan sesuai dengan hukum agama dan kepercayaannya masing-
masing.(Pasal 31 UUNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
i. Asas perkawinan sipil, asas yang mengandung makna bahwa perkawinan adalah sah
apabila dilaksanakan dan dicatat oleh pegawai pencatat sipil (kantor catatan sipil),
perkawinan secara agama belum berakibat sahnya suatu perkawinan.
BAB III
PENUTUP

3.2 KESIMPULAN

Setelah dijelaskan hukum keluarga berasal dari terjemahan kata familierecht (belanda)
atau law of familie (inggris). Istilah keluarga dalam arti sempit adalah orang seisi rumah,
anak istri, sedangkan dalam arti luas keluarga berarti sanak saudara atau anggota kerabat
dekat. Dan adapun hukum kekeluargaan menurut hukum perdata adalah aturan yang
mengatur mengenai keluarga,yang mana di dalam keluarga tersebut banyak mengatur
masalah perkawinan, hubungan dan hak serta kewajiban suami istri dalam sebuah rumah
tangga, keturunan, perwalian, pengampuan.
Sumber hukum keluarga diperoleh dari : (1) hukum keluarga tertulis, yaitu kaidah –
kaidah hukum yang bersumber dari UU, yurisprudensi, dan traktat. (2) hukum keluarga tidak
tertulis, yaitu kaidah – kaidah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat (hukum adat).

3.2 SARAN
DAFTAR PUSTAKA

Djamali, Abdoel R. 1984. Pengantar hukum Indonesia. Jakarta : PT Grafindo Persada.

Djamali, Abdoel R. 1993. Pengantar hukum Indonesia. Jakarta : PT Grafindo Persada.

Djamali, Abdoel R. 2008. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: PT. Grafindo Indonesia.

Halim, A Ridwan. 2007. Pengantar Hukum Indonesia dalam Tanya Jawab jilid 1. Bogor:

Ghalia Indonesia.

Hadikusuma, Hilman. 1992. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung:Mandar Maju

Sudiyat, Imam. 1981. Hukum Adat Sketsa Asas. Yogyakarta: Liberty

Suhardana, F.X. 2001. Hukum Perdata I. Jakarta: PT Grafindo Pustaka.

Wulandari, Dewi. 2012. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar. Bandung : Refika Aditama

Waris, H. K. H. 2012. Hukum Tentang Orang, Hukum Keluarga dan Hukum Waris di

Belanda dan Indonesia.Bali: Pustaka Larasan.

Soimin, S. (1992). Hukum Orang dan Keluarga. Jakarta: Sinar Grafika.

Anda mungkin juga menyukai