Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH HUKUM ADAT

Disusun oleh :
Kelompok 4

Stela Margareta D E1B023009


Oscar Harris Pramudya E1B023019
Dyana Finca Lokeswara E1B023018
Noval Raisyah Setia F E1B023020
Caezar Prema Yudha E1B023016

Kelas: Internasional

KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET

DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM
2024

Kata Pengantar

Perkawinan adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanit

a yang dikukuhkan secara formal dengan Undang-Undang, yaitu yuridis dan

kebanyakan juga religius menurut tujuan suami istri dan Undang-Undang, da

n dilakukan untuk selama hidupnya menurut lembaga perkawinan. Bentuk P

erkawinan sangat beragam salah satu nya adalah Perkawinan Bebas / Mandiri.

Bentuk Perkawinan Bebas atau Kawin Bebas tidak menentukan secara tegas

di mana suami atau isteri harus tinggal, hal ini tergantung pada keinginan ma

sing-masing pihak, yang pada akhirnya ditentukan oleh konsensus antara pih

ak-pihak tersebut.

Dalam makalah ini kami akan memberikan isi materi dari Praktek Monopoli.

Penulisan makalah ini tak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak.

Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen yang telah memberikan

arahan dan bimbingan, serta kepada berbagai sumber referensi yang telah m

enjadi landasan utama dalam penyusunan makalah ini. Harapan kami, makal

ah ini dapat memberikan kontribusi positif dalam memperluas wawasan pem

baca mengenai Perkawinan Bebas / Mandiri. Segala kritik dan saran yang me

mbangun sangat kami harapkan guna perbaikan di masa mendatang.

Akhir kata, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan mampu mem

berikan pemahaman, pengetahuan informatif yang baik mengenai hukum a

dat dalam konteks bentuk perkawinan bebas atau mandiri.


DAFTAR ISI

BAB I……………………………………………………………………………. 1

PENDAHULUAN …………………………………………………………….. 1

A. Latar belakang ……………………………………………………………..

B. Rumusan masalah …………………………………………………………….

C. Tujuan ………………………………………………………………………… 1

BAB II……………………………………………………………………………. 2

PEMBAHASAN ………………………………………………….……………… 2
A.Pengertian Perkawinan Bebas………………………………………………….

B. Dasar Hukum Perkawinan Bebas………..……………………………..……

… 3

C. Contoh Kasus Perkawinan Bebas……………………………………………

… 4

BAB III …………………………………………………………………………… 6

PENUTUP ………………………………………………………………………...6

KESIMPULAN ………….………………………………………………………...

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………

BAB 1

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada dasarnya, Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting da
lam kehidupan manusia. Perkawinan yang terjadi antara seorang pria de
ngan seorang wanita menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terha
dap keluarga masing-masing masyarakat dan juga dengan harta kekayaa
n yang diperoleh diantara mereka baik sebelum maupun selamanya per
kawinan berlangsung. Setiap mahluk hidup memiliki hak azasi untuk m
elanjutkan keturunannya melalui perkawinan, yakni melalui budaya dal
am melaksanakan suatu perkawinan yang dilakukan di Indonesia. Ada p
erbedaan-perbedaannya dalam pelaksanaan yang disebabkan karena ke
beragaman kebudayaan atau kultur terhadap agama yang dipeluk. Setia
p orang atau pasangan (pria dengan wanita) jika sudah melakukan perka
winan maka terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka
berdua dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut

B. Rumusan Masalah

a. Pengertian Perkawinan Bebas / Mandiri


b. Hukum Perkawinan Bebas / Mandiri
c. Contoh Kasus Perkawinan Bebas / Mandiri

C. Tujuan

A. Mengetahui Tujuan Perkawinan Bebas / Mandiri


B. Mengetahui Apa itu Perkawinan Bebas / Mandiri dalam Pandang
an Hukum.
C. Mengetahui Tantangan dalam Penegakan Hukum tentang Perka
winan Bebas / Mandiri
D. Mengetahui Efek Perkawinan Bebas / Mandiri
E. Mengetahui Kasus Perkawinan Bebas / Mandiri
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian
Definisi Perkawinan Bebas, Bentuk perkawinan bebas atau perkawi
nan mandiri pada umumnya berlaku dilingkungan masyarakat adat ya
ng bersifat parental, seperti berlaku dikalangan masyarakat jawa, kali
mantan, aceh, sulawesi dan dikalangan masyarakat yang modern, dima
na kaum keluarga atau kerabat tidak banyak lagi campur tangan dalam
keluarga/rumah tangga. Bentuk perkawinan ini yang dikehendaki oleh
undang-undang No 1 tahun 1974, dimana kedudukan dan hak suami da
n isteri berimbang sama, suami adalah kepala keluarga rumah tangga d
an isteri adalah ibu keluarga/rumah tangga.
Setelah perkawinan suami dan isteri memisah (jawa;mencar, mentas)
dari kekuasaan orang tua dan keluarga masing-masing dan membangu
n keluarga/rumah tangga sendiri dan hidup mandiri (neolokal).
Orangtua kedua pihak hanya memberi bekal (sangu) bagi kelanjutan
hidup rumah tangga kedua mempelai dengan harta pemberian atau wa
risan sebagai harta bawaan kedalam perkawinan mereka.
Orangtua sebelum perkawinan hanya memberi nasihat, petunjuk dal
am memilih jodoh (jawa: bibit, bebet, bobot) dan setelah perkawinan h
anya mengawasi kehidupan mereka dalam berumahtangga

B. Hukum Perkawinan Bebas / Mandiri

Pasal 29 UUD 1945 Menjadi Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia


JAKARTA, HUMAS MKRI - UU Perkawinan merupakan perwujudan dar
i negara Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana termaktub dalam Pas
al 1 ayat (3) UUD 1945 dan negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha E
sa sebagaimana termuat pada Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya pad
a kehidupan masyarakat Indonesia, wajib menjalankan syariat Islam bagi ora
ng Islam, syariat Nasrani bagi orang Nasrani, dan syariat Hindu bagi orang Hi
ndu. Untuk menjalankan syariat tersebut, diperlukan perantaraan kekuasaan
negara. Maka, dalam UU Perkawinan dasar hukum yang digunakan tidak lain
adalah Pasal 29 UUD 1945, sehingga setiap pasal-pasal yang ada di dalam suat
u norma harus dijiwai dan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Pasal
29 UUD 1945. Artinya, semua ketentuan (termasuk perkawinan) harus sesuai
dengan Pasal 29 UUD 1945 yang menjadi syarat mutlak.

Demikian keterangan yang disampaikan Neng Djubaedah sebagai Ahli


yang dihadirkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) selaku Pihak Terkait, dalam
sidang lanjutan pengujian materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tent
ang Perkawinan (UU Perkawinan) sebagaimana telah diubah dengan Undan
g-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang No
mor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Rabu (7/9/2022). Sidang permohonan
perkara Nomor 24/PUU-XX/2022 ini diajukan oleh E. Ramos Petege yang mer
upakan seorang pemeluk agama Katolik yang hendak menikah dengan perem
puan beragama Islam.

Lebih lanjut Neng menyebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI),


akad perkawinan menjadi sah setelah memenuhi syarat perkawinan, di antar
anya bagi calon mempelai laki-laki beragama Islam dan calon mempelai pere
mpuan beragama Islam, di antara mereka tidak terdapat halangan untuk mel
angsungkan perkawinan atau halangan perkawinan karena perbedaan agama.
Sehingga larangan perkawinan karena perbedaan agama bagi orang Islam di
Indonesia terdapat dalam UU Perkawinan Pasal 2 ayat (1) yang dihubungkan
dengan Pasal 8 huruf f, Pasal 40 hururf c, dan Pasal 44 KHI.
“Menurut hukum Islam, perkawinan itu merupakan ibadah, maka per
lindungan terhadap orang Islam dalam melaksanakan ibadah melalui pelaksa
naan perkawinan tersebut terdapat dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945. Perka
winan itu berkaitan dengan tatanan masyarakat. Perkawinan itu harus seaga
ma, sebab dengan itu maka tidak ada pemaksaan terhadap satu pada yang lai
nnya untuk menjalankan agama lainnya tersebut,” jelas Neng pada Sidang P
leno yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi delapan hak
im konstitusi.

C. Contoh Kasus Perkawinan Bebas

Relawan Sahabat Anak mencatat masih banyak perkawinan anak usia

dini di Lombok Tengah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16

Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1

974 tentang Perkawinan, batas minimal umur perkawinan bagi wanita

dipersamakan dengan batas minimal umur perkawinan bagi pria, yaitu

19 (sembilan belas) tahun. Batas usia dimaksud dinilai telah matang jiw

a raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewuju

dkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian da

n mendapat keturunan yang sehat dan berkualitas.

Kamis, 25 Februari 2021 telah berlangsung Pemaparan dan Diskusi H

asil Penelitian Kasus Perkawinan Anak Usia Dini bertempat di Hotel Illi

ra Kabupaten Lombok Tengah. Baiq Halkiyah selaku Ketua PA Praya tu

rut hadir dalam acara tersebut. Beliau menyatakan tugas Pengadilan Ag

ama cukup berat yaitu sebagai jalan terakhir penyelesaian perkara pen

olakan perkawinan usia dini dari KUA.

Ketua PA Praya, Baiq Halkiyah menyatakan penyebab masih tingginy

a kasus perkawinan anak usia dini disebabkan oleh beberapa faktor dia
ntaranya : pergaulan bebas, faktor seksual, faktor kekeluargaan/nazab

dan faktor ekonomi. “selain itu sebagian besar alasan pembenaran ya

ng masih menjadi pegangan oleh masyarakat yaitu sudah melalui prose

si adat sasak merarik, “ ucap beliau.

Beliau menambahkan, pernikahan dibawah umur juga tidak terlepas

dari kurangnya pengawasan oleh orangtua. Orangtua diharapkan dapat

membatasi pergaulan anak sehari-hari, apalagi di era teknologi pengar

uh budaya asing yang berseberangan dengan budaya Indonesia sangat

mudah masuk dan diakses siapapun. Sehingga jika tidak ditangkal den

gan baik, maka bisa berdampak buruk terhadap kehidupan anak-anak.

Para Peneliti dari Relawan Sahabat Anak, Gugah Nurani Indonesia, L

SM/NGO (Non-Governmental Organization) dan masyarakat terus beke

rja keras dengan mengadakan berbagai kegiatan positif supaya anak tid

ak berpikir untuk melakukan pernikahan dini. Pada Acara pemaparan

dan diskusi ini Ketua PA Praya memberikan masukan agar adat sasak y

aitu merarik mendapat perhatian lebih dan dapat diaktualisasikan oleh

masyarakat setempat supaya tidak bertolakbelakang dengan Syariat se

hingga tidak menjadi alasan pembenaran untuk menikah usia dini.

Kemudian peranan masyarakat di lingkungan masing-masing pun am

at penting, salah satunya mendorong anak-anak gemar membaca deng

an membuat taman baca serta tidak membiarkan para remaja yang terl

ihat sudah melewati batas wajar dalam pergaulan. "Kalau melihat, seba

iknya dinasehati agar tidak kebablasan dalam pergaulan,” tambahnya.

Pihaknya turut mengimbau bagi calon pasangan di bawah umur yang

akan menikah wajib mengambil dispensasi ke kantor Pengadilan Agam


a, sebab berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2019 bahwa bat

as usia menikah untuk laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun.

Diharapkan juga kenaikan batas umur yang lebih tinggi dari 16 (enam

belas) tahun bagi wanita untuk kawin akan mengakibatkan laju kelahir

an yang lebih rendah dan menurunkan resiko kematian ibu dan anak.

Selain itu juga dapat terpenuhinya hak-hak anak sehingga mengoptima

lkan tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orang tua serta

memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin.(Tim I

T PA Praya)
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Perkawinan bebas mandiri merupakan hal yang mengacu pada perkawinan

di mana pasangan menikah atas dasar keputusan mereka sendiri, tanpa teka

nan dari pihak lain. Ini menunjukkan bahwa pasangan tersebut memilih unt

uk menikah karena perasaan atau keinginan mereka sendiri, bukan karena k

ewajiban atau paksaan dari pihak lain. Perkawinan seperti ini sering kali dia

nggap sebagai bentuk perkawinan yang didasarkan pada kesetaraan dan kebe

basan individu.Selain itu juga keputusan ini harus dibuat secara bijaksana da

n dipertimbangkan dengan baik atau matang oleh kedua belah pihak.


DAFTAR PUSTAKA

https://staffnew.uny.ac.id/upload/132314547/pendidikan/HUKUM+ADAT

+1.pdf

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=18494&menu=2

https://badilag.mahkamahagung.go.id/seputar-peradilan-agama/berita-d

aerah/kpa-praya-mengadiri-disksusi

Anda mungkin juga menyukai