Anda di halaman 1dari 19

PAPER

NILAI-NILAI ISLAM DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN


Disusun untuk memenuhi Tugas Terstruktur II pada mata kuliah Hukum Islam
yang diampu oleh Dr. Siti Hamidah, S.H., M.M. dan Dr. Herlindah, S.H., M. Kn.

Disusun Oleh: Kelompok I


Anggota:
Sultan Dhaffa Djorghie 205010100111001
Mahsa Kirana Pramudita 205010100111004
Aulifia Hanum Sutanto 205010100111005
Shafira Adelia Radiska 205010100111010
Michael Nicola Prayoga 205010100111013
Del Piero 205010100111023
Ega Firstya Pradivna Putra 205010100111025
Naufal Amar Atha Barsta 205010100111032
Divya Violeta Putri Ulfi 205010100111033
Tabita Septhia Riskananda 205010100111059

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
MALANG
2021
A. Pendahuluan
Perkawinan merupakan hal yang penting dalam menjaga keberlangsungan
suatu masyarakat. Perkawinan merupakan langkah awal dalam membentuk
keluarga. Salah satu fungsi keluarga adalah fungsi repoduksi, yang mana melalui
fungsi ini, keluarga menjadi sebuah sarana yang sah secara hukum maupun agama
untuk meneruskan keturunannya. Utnuk itulah perkawinan merupakan hal yang
sangat penting dalam keberlangsungan suatu masyarakat atau suatu peradaban.
Menurut Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum.
Untuk itulah seluruh segi kehidupan warga negara Indonesia harus senantiasa
diatur dan berpedoman pada hukum, tidak terkecuali dalam hal perkawinan.
Perkawinan harus diatur oleh hukum itu sendiri. Dalam arti sempit, hukum
tersebut adalah Undang-Undang. Maka dari itu lahirlah berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai perkawinan, baik yang bersumber
dari hukum barat maupun hukum nasional yang dibuat oleh Bangsa Indonesia
sendiri, salah satunya adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam pembahasan ini, penulis mencoba menganalisis nilai-nilai yang
bersumber dari hukum Islam dalam Undang-Undang Perkawinan. Dalam
menganalisis masalah ini, dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah hukum perkawinan di Indonesia?
2. Bagaimana sistematika atau garis besar UU Perkawinan?
3. Nilai-nilai Islam apa saja yang terkandung dalam UU Perkawinan?

B. Sejarah Hukum Perkawinan di Indonesia.


Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi masyarakat. Bukan
hanya sebagai perizinan belaka, tetapi perkawinan merupakan tempat
berlangsungnya perputaran hidup dimasyarakat. Oleh karena itu, agar perkawinan
tidak menjadi sekedar diksi justifikasi maka perlu diatur dalam sebuah peraturan
Perundang-undangan. Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang
perkawinan telah ada di Indonesia semenjak zaman sebelum kemerdekaan. Disini
akan dibagi menjadi 3 masa yaitu Sebelum Kemerdekaan, 1946-1973, dan 1974-
Sekarang.
1. Sebelum Kemerdekaan.
Indonesia merupakan negara bekas jajahan Belanda selama kurang
lebih 350 Tahun. Selama itu Indonesia dikuasai oleh Belanda sehingga
segala sesuatu yang menjadi wilayah koloni akan diterapkan aturan-aturan
yang berlaku di Belanda sesuai dengan asas Konkordansi. Aturan atau
hukum Belanda yang berlaku mencakup semua bidang termasuk juga
ranah perkawinan. Pada saat itu terdapat 3 hukum yang diwariskan
Belanda yaitu HOCI atau Ordonansi Perkawinan Kristen pada Staatsblad
1933 No. 74, KUHPerdata/BW, serta Peraturan Perkawinan Campuran
pada Staatsblad 1898 No. 1581. Ketiga hukum produk Belanda tersebut
tidak serta merta berlaku bagi seluruh Masyarakat, melainkan
diperuntukkan bagi beberapa golongan. HOCI sendiri berlaku untuk orang
Indonesia asli yang menganut agama Kristen. Selanjutnya KUHPerdata
atau BW berlaku untuk golongan Eropa dan Timur Asing Cina serta orang
Indonesia yang memiliki keturunan Eropa atau Timur Asing Cina.
Kemudian untuk Peraturan Perkawinan Campuran umumnya
diperuntukkan untuk perawinan yang berbeda golongan dengan mengikuti
hukum dari Suami2. Sedangkan untuk golongan lainnya seperti Timur
Asing selain Cina dan masyarakat adat dipergunakan hukum adat asalnya
masing-masing.

2. Masa 1946-1973
Satu tahun setelah merdeka Indonesia masih belum memiliki
produk hukumnya sendiri yang mengatur perkawinan walaupun masih ada
produk hukum warisan peninggalan Belanda. HOCI dan KUHPerdata
hanya mengatur golongan Eropa dan orang Indonesia yang menganut
agama Kristen saja, sehingga jika pada saat terjadi permasalahan
perkawinan dapat terselesaikan dengan cepat dikarenakan hukum yang

1
Ahmad Rifai dkk, Sejarah Undang-Undang Perkawinan Atas Pendapat Hingga Pertentangan dari
Masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 1973-1974. Journal of Indonesian History. Vol 4 No 1.
2015. hal 4.
2
Ibid. hal 5.
mengatur sudah terkodifikasi secara eksplisit. Berbeda dengan golongan
yang telah disebutkan tadi, Golongan Islam belum memiliki kodifikasi
hukum yang jelas tentang masalah perkawinan yang sesuai dengan hukum
Islam. Akhirnya orang yang menganut agama Islam berpedoman pada
kitab-kitab fiqih karya mujtahid seperti Imam Syafi’i dan lainnya3.
Dikarena adanya perbedaan Tafsir dan penerapan oleh orang-orang Islam,
mulai lah timbul permasalahan karena penerapannya yang berbeda-beda
seperti perkawinan dibawah umur, perkawinan paksa, penyalahgunaan hak
talak dan poligami.
Berangkat dari permasalahan tersebut, akhirnya pemerintah
menetapkan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 Tentang pencatatan
nikah, talak, rujuk yang disahkan Presiden Soekarno untuk diberlakukan
pada pulau Jawa dan Madura saja. Kemudian Peraturan tersebut
diterapkan juga di pulau Sumatera oleh Pemerintah Darurat RI dan
selanjutnya diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia dengan dasar
hukum Undang-Undang No. 32 Tahun 19544. Walaupun sudah ada
kodifikasi hukum yang mengatur Undang-Undang tersebut hanya
mengatur secara acara saja sedangkan untuk secara materi masih
menggunakan substansi yang terdapat pada fikih-fikih islam itu sendiri.
Hal tersebut masih menyebabkan masalah-masalah perkawinan yang
didominasi oleh masalah Poligami.
Terlebih lagi pada saat disahkannya PP No. 19 Tahun 1952 yang
berisi diperbolehkannya poligami tanpa syarat yang semakin
memperkeruh keadaan. Permasalahan tersebut semakin menjadi-jadi
sehingga menyebabkan protesnya para organisasi-organisasi perempuan
yang menuntut pemerintah untuk segera membuat aturan yang baru karena
masalah tersebut semakin membuat para perempuan direndahkan dalam

3
KHIYAROH, Alasan dan Tujuan Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Al-Qadha : Jurnal
Hukum Islam Dan Perundang-Undangan. Vol 7 No. 1. 2020. hal 4.
4
UU No. 32 Tahun 1954 ini menetapkan berlakunya UU No. 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah,
Talak, dan Rujuk Diseluruh Wilayah Indonesia yang sebelumnya hanya diberlakukan di Wilayah Jawa dan
Madura.
perkawinan5. Akhirnya tahun 1973 pemerintah pun akan membahas RUU
Perkawinan pada sidang DPR. Isi dari RUU tersebut sudah bocor terlebih
dahulu sebelum persidangan dimulai dan banyak masyarakat yang
mengetahui bahwa substansi dari RUU Perkawinan tersebut banyak sekali
yang bertentangan dengan hukum Islam karena substansinya merujuk pada
HOCI dan KUHPerdata.

3. Masa 1974- Sekarang


Setelah melalui beberapa proses pembentukan Undang-Undang yang
dilakukan secara menyeluruh baik dari pihak DPR dan pemerintah maka
pada 2 Januari 1974, Presiden Soeharto resmi mengesahkan Undang-
Undang No 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan.6Kemudian disusul
dengan pengesahan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 mengenai
Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 serta Peraturan Menteri Agama No. 3
dan No.4 pada Juli 1975 yang memuat kewajiban pegawai pencatatan
pernikahan dan tata kerja pengadilan agama, dan contoh-contoh akta
nikah, cerai, talak dan rujuk. Dengan disahkannya UU Perkawinan No 1
Tahun 1974 membawa dampak bagi keseluruhan masyarakat Indonesia ke
depannya. Dampak tersebut mempengaruhi beberapa golongan di
antaranya:7
a. Segi Kewanitaan
Bagi kaum wanita, adanya UU No 1 Tahun 1974 ini memberikan
banyak hal positif terutama dalam lingkup poligami serta
kedudukan isteri yang tertata dalam rumah tangga. Sesuai dengan
Pasal 4 ayat (2) UU No 1 Tahun 1974 dimana pengadilan hanya
memberikan izin untuk melakukan poligami dengan keadaan
tertentu seperti isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya,
mendapatkan cacat atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan

5
Ahmad Rifai dkk, Op.Cit., hal 7.
6
KHIYAROH, Alasan dan Tujuan Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Al-Qadha : Jurnal
Hukum Islam Dan Perundang-Undangan. Vol 7 No. 1. 2020. Hal. 8.
7
Ahmad Rifai dkk, Op.Cit., hal 6.
serta jika tidak dapat melahirkan keturunan. Selain itu dalam
melakukan poligami, suamu harus bisa memenuhi syarat dalam
Pasal 5 UU No 1 Tahun 1974. Hal ini selaras dengan Pasal 55
Komplikasi Hukum Islam yang bersumber dari kitab-kitab Fiqih
yang merupakan penjabaran Hukum-Hukum dalam Al-Quran dan
Sunnah Nabi.8 Hal ini sesuai dengan tuntutan yang disuarakan oleh
kaum wanita dari tahun 1950 yang kini sudah terealisasikan dalam
UU No 1 Tahun 1974.
b. Kaum Pegawai Negri Sipil
Bagi kaum Pegawai Negeri Sipil, terdapat pengetatan mengenai
urusan perkawinan dan anggaran negara dalam membiayai istri
pensiunan PNS dapat dikurangi. Walaupun dalam Pasal 16 ayat (1)
UU 11 No 1969 mengatur:
Apabila Pegawai Negeri atau penerima pensiun pegawai
meninggal dunia, maka istri (istri-istri) nya untuk pegawai Negeri
pria atau suaminya untuk Pegawai Negeri Wanita, yang
sebelumnya telah terdaftar pada kantor Urusan Pegawai, berhak
menerima pensiun janda atau pensiun duda.

Pemberian uang pensiun tetap dibayarkan pada isteri-isteri seorang


PNS dengan catatan perkawinannya sah secara hukum dan harus
terdaftar dalam Kantor Urusan Negeri Sipil.

c. Masyarakat Luas
Bagi masyarakat luas, terdapat beberapa dampak adanya UU No 1
Tahun 1974 mengenai Perkawinan yaitu adanya pengurangan
angka perceraian dan poligami yang awalnya sebelum
Kemerdekaan mencapai angka ribuan. Dalam Sejarah Perempuan
Indonesia karya Cora Vreede de Stuers menyebutkan angka
poligini di Jawa pada 1939 menjadi yang tertinggi di antara
wilayah lain. Kemudian pasca adanya UU Perkawinan, jumlah
8
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Depok:
Rajawali Press, 2019), hal 49.
angka poligini terus menerus menyusut, pada 2012 mencapai 995
kemudian hanya sejumlah 643 pada tahun 2016.9

Menurut sebagian ahli, UU Perkawinan banyak mengadopsi Hukum Islam,


hal ini dibuktikan dengan adanya kesesuaian mengenai poligami antara
UU dengan Kompilasi Hukum Islam.10 Dengan diundangkannya UU
Perkawinan tersebut maka terdapat kemajuan Hukum Islam di Indonesia
dalam ranah hukum nasional dibandingkan pada masa-masa sebelumnya.

C. Isi Undang-Undang Perkawinan Secara Umum


Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terdiri dari 14 Bab
dan 67 Pasal. Secara garis besar, isinya adalah sebagai berikut:

BAB I Dasar Perkawinan (Pasal 1– Pasal 5)


Bab ini memuat ketentuan umum berupa definisi perkawinan,
sebagaimana tertuang dalam Pasal 1. Berdasarkan definisi dalam Pasal 1 UU
Perkawinan maka kita dapat melihat kaitan yang sangat erat antara perkawinan
dengan agama. Pasal 2 menjelaskan tentang syarat sah perkawinan, yakni
bilamana dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan yang dianut. Pasal 3,
4, dan 5 mengatur mengenai asas poligami terbuka yang dianut dalam UU
Perkawinan. Pasal-pasal tersebut mengatur mengenai pemberian izin oleh
pengadilan dan syarat-syaratnya, sebagaimana tertuang dalam Pasal 4 dan 5 UU
Perkawinan.

BAB II Syarat Perkawinan (Pasal 6– Pasal 12)


Bab ini memuat tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi kedua calon
mempelai untuk melangsungkan perkawinan. Dalam bab ini juga diatur mengenai
batas minimal perkwainan dilaksanakan. Jika mengacu pada Pasal 7 ayat 1 UU
Perkawinan, maka batas minimal untuk pihak pria adalah 19 tahun dan untuk

9
Nur Janti, “Angka Poligami dari Masa ke Masa”( https://historia.id/kultur/articles/angka-poligami-dari-
masa-ke-masa-vgXwV/page/1, Diakses pada 5 Mei 2019).
10
Dr. Moh. Ali Wafa: Hukum Perkawinan di Indonesia: Sebuah Kajian dalam Hukum Islam dan Hukum
Materiil, (Pamulang: Yayasan Asy-Sya’riah Modern Indonesia, 2018), hal 27.
wanita adalah 16 tahun. Namun, jika mengacu pada peraturan terbaru, yakni Pasal
7 ayat 1 UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, maka usia minimal untuk melangsungkan perkawinan adalah
19 tahun bagi pihak pria dan wanita.
Dalam Pasal 8, 9, dan 10 diatur mengenai larangan perkawinan baik bagi
yang baru akan melangsungkan perkawinan, maupun yang telah mengalami cerai
kawin untuk yang kedua kalinya. Dalam Pasal 11, diatur mengenai masa tunggu
bagi wanita yang telah putus perkawinannya. Mengenai masa tunggu, diatur
dalam Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.

BAB III Pencegahan Perkawinan (Pasal 13– Pasal 21)


Menurut Pasal 13 UU Perkawinan, perkawinan dapat dicegah apabila ada
pihak yang tidak memenuhi syarat. Pihak yang dapat mencegah perkawinan diatur
dalam Pasal 14, 15, dan 16. Mengenai tatacara mengajukan pencegahan
perkawinan ke pengadilan diatur dalam Pasal 18 UU Perkawinan.
BAB IV Batalnya Perkawinan (Pasal 22– Pasal 28)
Menurut Pasal 22 UU Perkawinan, perkawinan dapat dibatalkan apabila
para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Pasal
23, 24, 26, dan 27 UU Perkawinan mengatur tentang pihak-pihak yang dapat
mengajukan pembatalan perkawinan. Tata cara permohonan pembatalan
perkawinan ke pengadilan diatur dalam Pasal 25. Mengenai berlakunya
pembatalan perkawinan diatur dalam Pasal 28.

BAB V Perjanjian Perkawinan (Pasal 29)


Pada waktu atau sebelum melangsungkan perkawinan, kedua pihak dapat
mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatatan
perkawinan. Mengenai perjanjian perkawinan ini diatur dalam Pasal 29 ayat 1
sampai 4. Menurut ayat 2, perjanjian tersebut tidak sah bilamana melanggar batas-
batas hukum, agama, dan kesusilaan. Mengenai batas berlakunya perjanjian
tersebut diatur dalam ayat 3, yakni selama perkawinan dilangsungkan. Menurut
ayat 4, perjanjian perkawinan tidak dapat diubah kecuali perubahan tersebut
terjadi setelah ada perjanjian.

BAB VI Hak dan Kewajiban Suami Istri (Pasal 30– Pasal 34)
Mengenai hak dan kewajiban suami istri diatur dalam pasal 30 sampai
dengan 34 UU Perkawinan. Hak dan kewajiban ini timbul sebagai akibat hukum
dari suatu perkawinan. Menurut Pasal 30, kewajiban dipikul oleh kedua belah
pihak, yakni suami dan istri. Mengenai hak suami dan istri diatur dalam Pasal 31.
Sedangkan mengenai kewajiban suami dan istri diatur dalam Pasal 32-34 UU
Perkawinan.

BAB VII Harta Benda dalam Perkawinan (Pasal 35– Pasal 37)
Dalam perkawinan harta benda dibagi menjadi dua, yakni harta bawaan
dan harta yang diperoleh selama perkawinan. Kepemilikan atas harta-harta
tersebut diatur dalam Pasal 35. Menurut Pasal 35 ayat 1 harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Mengenai kepemilikan harta
bawaan diatur dalam Pasal 35 ayat 2, yakni harta bawaan ada di bawah
penguasaan masing-masing selama para pihak tidak menentukan lain.
Mengenai pihak-pihak yang dapat bertindak diatur dalam Pasal 36. Dalam
Pasal 36 ayat 1, suami istri dapat bertindak mengenai harta bersama. Dalam Pasal
36 ayat 2, mengenai harta bawaan masing-masing suami istri mempunyai hak
untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bendanya. Mengenai kedudukan
harta benda bilamana suatu perkawinan putus karena perceraian diatur dalam
Pasal 37. Harta benda tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing.

BAB VIII Putusnya Perkawinan serta Akibatnya (Pasal 38 – Pasal 41)


Pada BAB VIII dijelaskan bahwa perkawinan dapat putus karena
kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Perceraian hanya dapat
dilakukan didepan Sidang pengadilan setelah adanya usaha dan tidak berhasil
untuk mendamaikan kedua pihak. Perceraian juga harus memiliki alasan yang
jelas bahwa memang suami isteri tidak dapat hidup rukun. Tatacara perceraian
didepan sidang Pengadilan dan Tatacara mengajukan gugatan perceraian diatur
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Akibat putusnya perkawinan
karena perceraian yaitu berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya,
bertanggung-jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang
diperlukan anak, dan mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

BAB IX Kedudukan Anak (Pasal 42 – Pasal 44)


Pada BAB IX dijelaskan bahwa anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak yang dilahirkan
diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya. Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan
oleh isterinya, jika ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak
itu akibat dari perzinaan tersebut. Setelahnya Pengadilan akan memberikan
keputusan tentang sah atau tidaknya anak atas permintaan pihak yang
berkepentingan.
BAB X Hak dan Kewajiban antara Orang Tua dan Anak (Pasal 45 – Pasal 49)
Pada BAB X dijelaskan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik
anak sampai anak tersebut kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban ini tetap
berlaku meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Dijelaskan juga
bahwa anak wajib menghormati dan mentaati kehendak baik orang tua. Ketika
anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut orang tua dan keluarga dalam
garis lurus keatas menurut kemampuannya. Anak yang belum mencapai umur
delapan belas tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan masih berada
dibawah kekuasaan orang tuanya, serta orang tua tersebut mewakili anak
mengenai segala perbuatan hukum didalam dan diluar Pengadilan. Berikutnya
orang tua juga tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-
barang milik anaknya yang belum berumur delapan betas tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut
kekuasannya terhadap seorang anak untuk waktu yang tertentu jika ia sangat
melalaikan kewajibannya terhadap anaknya dan berkelakuan buruk sekali.
Meskipun kekuasaannya dicabut, mereka masih tetap berkewajiban untuk
memberi biaya pemeliharaan kepada anaknya.

BAB XI Perwalian (Pasal 50 – Pasal 54)


Pada BAB XI dijelaskan bahwa anak yang belum berumur delapan belas
tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada dibawah
kekuasaan orang tua, maka berada dibawah kekuasaan wali. Perwalian tersebut
mengenai pribadi anak maupun harta bendanya. Wali dapat ditunjuk oleh satu
orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau lisan. Wali dapat
diambil dari keluarga anak atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat,
adil, jujur dan berkelakuan baik. Wali wajib mengurus anak dan harta bendanya
sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak tersebut. Wali
wajib membuat daftar harta benda anak yang berada dibawah kekuasaannya serta
bertanggung-jawab terhadap harta benda anak yang berada dibawah perwaliannya.
Wali dapat dicabut kekuasannya terhadap seorang anak untuk waktu yang tertentu
jika ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak perwaliannya dan
berkelakuan buruk sekali. Wali yang telah menyebabkan kerugian terhadap harta
benda anak yang dibawah kekuasaannya diwajibkan untuk mengganti kerugian
tersebut atas tuntutan anak atau keluarga anak dengan Keputusan Pengadilan.

BAB XII Ketentuan-Ketentuan Lain (Pasal 55 – Pasal 63)


Bagian pembuktian asal-usul anak. Asal-usul seorang anak hanya dapat
dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik yang dikeluarkan oleh pejabat
yang berwenang. Jika akte kelahiran tersebut tidak ada, maka Pengadilan dapat
mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan
pemeriksaan. Setelahnya instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah
hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak
yang bersangkutan.
Bagian perkawinan di luar Indonesia. Perkawinan yang dilangsungkan
diluar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang
warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan
bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang.
Berikutnya dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali di Indonesia,
surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan
Perkawinan tempat tinggal mereka.
Bagian perkawinan campuran. Perkawinan campuran dalam Undang-
undang ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia. Orang yang melakukan perkawinan campuran,
dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula
kehilangan kewarganegaraannya. Perkawinan campuran tidak dapat
dilangsungkan sebelum syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum
yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi. Perkawinan campuran
dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. Dalam perkawinan campuran
kedudukan anak diatur sesuai dengan kewarganegaraan yang diperoleh sebagai
akibat perkawinan.
Bagian pengadilan. Pengadilan yang dimaksud ialah Pengadilan Agama
bagi mereka yang beragama Islam dan Pengadilan Umum bagi lainnya. Setiap
Keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum.

BAB XIII Ketentuan Peralihan (Pasal 64 – Pasal 65)


Perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
yang terjadi sebelum Undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut
peraturan-peraturan lama adalah sah. Berikutnya seorang suami beristeri lebih dari
seorang memiliki ketentuan untuk wajib memberi jaminan hidup yang sama
kepada semua isteri dan anaknya, isteri kedua dan seterusnya tidak mempunyai
hak atas harta yang ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua, dan semua isteri
mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya
masing-masing.

BAB XIV Ketentuan Penutup (Pasal 66 – Pasal 67)


Perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
setelah berlakunya Undang-undang ini, maka ketentuan-ketentuan yang diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Ordonansi Perkawinan Indonesia
Kristen, Peraturan Perkawinan Campuran, dan peraturan lain yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan
tidak berlaku.

D. Nilai-Nilai Islam dalam Undang-Undang Perkawinan


Nilai-nilai Islam itu pada hakikatnya adalah kumpulan dari prinsip-prinsip
hidup, ajaran-ajaran tentang bagaimana manusia seharusnya menjalankan
kehidupannya di dunia ini, yang satu prinsip dengan lainnya saling terkait
membentuk satu kesatuan yang utuh tidak dapat dipisah-pisahkan. Nilai juga
merupakan suatu gagasan atau konsep tentang apa yang dipikirkan seseorang dan
dianggap penting dalam kehidupannya. Melalui nilai dapat menentukan suatu
objek, orang, gagasan, cara bertingkah laku yang baik atau buruk. 11 Wujud nilai-
nilai Islam harus dapat ditransformasikan dalam lapangan kehidupan manusia.
Lapangan kehidupan manusia harus merupakan satu kesatuan antara satu bidang
dengan bidang kehidupan lainnya. Dalam pembagian dimensi kehidupan Islam
lainnya yaitu ada dimensi Aqidah, Syariah dan akhlak, namun secara garis besar
nilai Islam lebih menonjol dalam wujud nilai akhlak.
Dalam hukum Islam, ada dua bidang yang harus diperhatikan yaitu ibadat
dan mu 'amalat. Termasuk ke dalam bidang yang pertama adalah pengaturan
mengenai hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Dengan demikian,
hukum Islam senantiasa dapat mempertahankan sifat dinamisnya dan senantiasa

11
Jamaliah Hasballah, Nilai-Nilai Budi Pekerti dalam Kurikulum, (Tesis), (Banda Aceh: PPs IAIN Ar-
Raniry, 2008), hlm. 25
dapat diterapkan dimanapun dan pada zaman apapun. Dalam bidang mu'amalat
(kemasyarakatan) setiap perubahan sosial senantiasa dapat diu'kur dengan prinsip-
prinsip hukum Islam. Sebagaimana diketahui, termasuk ke dalam bidang
mu’amalat itu antara lain adalah hukum perkawinan. Dalam sistematik ilmu
hukum, bidang perkawinan ini termasuk dalam kelompok hukum kekeluargaan.
Dalam hubungan ini, al-Quran telah menggariskan tidak kurang dari 70 ketentuan
yang bersifat imperative di bidang hukum kekeluargaan
Hubungan antara Hukum Islam dengan UU No. 1 Tahun 1974 sangatlah
erat, karena di dalam UU No. 1 Tahun 1974 itu terkandung prinsip-prinsip hukum
perkawinan Islam hal ini didukung dengan pendapat Prof. DR. Hazairin, S.H.
yang dengan tegas menyatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 adalah merupakan
suatu ijtihad. Sebagaimana diketahui ijtihad dalam hukum Islam merupakan
urutan ketiga dari sumber-sumber hukum Islam yaitu setelah al-Quran dan Sunnah
RasuI. Jadi hubungan hukum perkawinan Islam dengan UU No. 1 Tahun 1974
dapat dilihat dari sudut ijtihad sebagai sumber hukum Islam ketiga.

Dalam ikatan perkawinan sebagai salah-satu bentuk perjanjian antara seorang pria
dengan seorang wanita, berlaku asas di antaranya adalah:
1) Kesukarelaan
2) Persetujuan kedua belah pihak,
3) Kebebasan memilih
4) Kemitraan suami-istri,
5) Untuk selama-lamanya dan
6) Monogami terbuka (karena darurat).

1. Kesukarelaan
Asas kesukarelaan ini merupakan asas terpenting dalam perkawinan.
Dalam hukum Islam, kesukarelaan tidak hanya terdapat antara calon suami-istri,
namun juga antara kedua orang tua kedua belah pihak. Kerelaan orang tua yang
menjadi wali seorang wanita merupakan sendi asasi perkawinan Islam. Asas
Kesukarelaan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 6.
2. Persetujuan Kedua Belah Pihak
Asas ini merupakan konsekwensi dari asas kesukarelaan. Ini berarti tidak
boleh ada paksaan dala melangsungkan perkawinan. Persetujuan ini dapat diihat
dari diamnya wanita tersebut. Dari berbagai Sunnah nabi dapat diketahui bahwa
perkawinan yang dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak dapat
dibatalkan oleh pengadilan. Asas ini terdapat dalam syarat-syarat perkawinan UU
No.1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 1, yakni, “Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai.”
3. Kebebasan Memilih Pasangan
Asas ini sehubungan dengan asas pertama dan kedua. Bahwa diantara
kedua calon suami-istri tidak ada paksaan.
4. Kemitraan Suami-Istri
Asas ini menjelaskan tugas dan fungsi suami-istri yang berbeda karena
perbedaan kodrat. Disebut dalam Alquran surat Al-Nisa’ (4) ayat 34 dan Surat Al-
Baqarah (2) ayat 187. Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami-istri dala
beberapa hal yang sama dan dalam hal lain yang berbeda. Suami menjadi kepala
keluarga, sedangkan istri menjadi kepala dan penanggungjawab pengaturan rumah
tangga. Asas ini sehubungan dengan UU No.1 Tahun 1974 Bab VI pasal 31-34.
5. Untuk Selama-lamanya
Asas ini menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk
melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup
(QS Al Rum (30): 21) yang selaras dengan UU no. 1 Tahun 1974 pasal 33 yang
berbunyi “Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia
dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain”. Karena asas ini
pula maka perkawinan mut’ah yakni perkawinan sementara untuk bersenang-
senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat dalam mayarakat Arab
jahiliyah dahulu dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi
Muhammad.
6. Monogami Terbuka
Dalam Al Quran surat Al-Nisa’ ayat 3 j.o. Ayat 129 dijelaskan, didalam
ayat 3 bahwa seorang pria Muslim dibolehkan atau boleh beristri lebih dari
seorang, asal memnuhi beberapa syarat tertentu diantaranya adalah syarat mampu
berlaku adil terhadap semua wanita yang menjadi istrinya, ayat tersebut juga
sejalan dengan UU No. 1 Tahun 1974 pasal 5 ayat 1 yag berbunyi,
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan,sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a) Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri
b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka
c) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-
isteri dan anak-anak mereka.

Dalam ayat 29 Surat yang sama, Allah menyatakan bahwa manusia tidak
mungkin berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun ia ingin berbuat demikian.
Oleh karena itu, maka Allah menegaskan bahwa seorang laki-laki lebih baik
kawin dengan seorang wanita saja, sejalan dengan UU No. 1 Tahun 1974 pasal 3
ayat 1 yang berbunyi, “Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami”. Ini berarti bahwa beristri lebih dari satu merupakan jalan darurat
yang baru diambil oleh seorang laki-laki Muslim apabila untuk menyelamatkan
dirinya dari berbuat dosa, dan jika istrinya tidak mampu menjalankan
kewajibannya sebagai seorang istri. Kewajiban yang tidak mampu dilakukan istri
disini juga dijabarkan pada UU No.1 Tahun 1974 pasal 4 ayat 2, antara lain
apabila :
a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
c) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Ketiga syarat tersebut yang membolehkan seorang laik-laki boleh


memiliki lebih dari seorang istri asalkan dalam keadaan darurat dan harus
memenuhi syarat UU No.1 Tahun 1974 pasal 3 ayat 2, yang berbunyi,
“Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.

E. Kesimpulan
Perkawinan merupakan aspek penting dalam masyarakat sehingga perlu
diatur dan diberikan regulasi dalam peraturan Perundang-undangan. Perundang-
undangan mengenai perkawinan memiliki sejarah panjang semenjak jaman
sebelum kemerdekaan. Sejarah mengenai peraturan perundang-undangan dibagi
menjadi 3 masa, yaitu Sebelum Kemerdekaan, 1946-1973, dan 1974-Sekarang.
Pada masa sebelum kemerdekaan, aturan mengenai Perkawinan yang
berlaku merupakan aturan yang bersumber dari hukum Belanda melalui asas
korkodansi. Terdapat 3 hukum yang diwariskan Belanda yaitu HOCI atau
Ordonansi Perkawinan Kristen pada Staatsblad 1933 No. 74, KUHPerdata/BW,
serta Peraturan Perkawinan Campuran pada Staatsblad 1898 No. 158. Aturan ini
berlaku bagi masing-masing golongan yaitu untuk golongan Eropa, Timur Asing,
dan Pribumi serta ketentuan guna perkawinan campuran. Dapat dilihat bahwa
peraturan yang ada masih terkotak-kotak dan terbatas pada golongan sehingga
hukum Islam hanya berlaku bagi kaum pribumi atau Timur Asing yang menganut
agama Islam.
Masa 1946-1973, Indonesia baru saja merdeka sehingga aturan yang
digunakan masih peninggalan Belanda yaitu HOCI dan KUHPerdata yang berlaku
bagi golongan Eropa dan pribumi yang beragama Kristen. Sedangkan bagi
golongan Islam belum ada kondifikasi hukum yang jelas terutama mengenai
Perkawinan sehingga berpedoman pada kitab-kitab fiqih. Kemudian adanya
perbedaan Tafsir dan penerapan oleh orang-orang Islam, mulai lah timbul
permasalahan karena penerapannya yang berbeda-beda seperti perkawinan
dibawah umur, perkawinan paksa, penyalahgunaan hak talak dan poligami.
Pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 Tentang
pencatatan nikah, talak, rujuk yang disahkan Presiden Soekarno yang disusul oleh
UU No. 32 Tahun 1954 serta PP No. 19 Tahun 1952. Dalam aturan ini masih
bertumpu pada substansi fiqih serta adanya poligami tanpa syarat menimbulkan
protes dari organisasi perempuan. Kemudian pada 1973, pemerintah membahas
RUU Perkawinan yang mendapatkan reaksi dari pihak Islam dimana RUU
tersebut dinilai tidak sesuai dengan hukum Islam karena merujuk pada HOCI dan
KUHPerdata. Sebelum disahkannya UU No 1 Tahun 1974, aturan dan regulasi
mengenai Perkawinan masih belum tersusun dan terkodifikasi serta penerapan
Hukum Islam hanya berpengaruh pada golongan tertentu dengan penafsiran yang
berbeda-beda.
Kemudian pada masa 1974 hingga sekarang, regulasi mengenai
perkawinan lebih terkodifikasi dan memberikan fasilitas bagi golongan Islam
dalam menjalankan perkawinan sesuai dengan Hukum Islam. Disahkannya
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan, Kemudian disusul
dengan pengesahan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 mengenai
Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 serta Peraturan Menteri Agama No. 3 dan
No.4 pada Juli 1975 yang memuat kewajiban pegawai pencatatan pernikahan dan
tata kerja pengadilan agama, dan contoh-contoh akta ni-kah, cerai, talak dan rujuk
serta Komplikasi Hukum Islam yang bersumber dari kitab-kitab Fiqih yang
merupakan penjabaran Hukum-Hukum dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Dengan adanya regulasi ini, maka permasalahan mengenai tata cara perkawinan,
poligami, posisi istri dalam rumah tangga. Dengan diundangkannya UU
Perkawinan tersebut maka terdapat kema-juan Hukum Islam di Indonesia dalam
ranah hukum nasional dibanding-kan pada masa-masa sebelumnya.

Oleh karena itu berdasarkan penjelasan diatas sampailah penulis pada


suatu kesimpulan, bahwa sesungguhnya antara hukum Islam dengan UU No.1
Tahun 1974 tidak ada sesuatu hal yang kontradiktif, bahkan sebaliknyanya
terdapat suatu hubungan atau kaitan yang erat, dalam makna, cukup banyak asas-
asas hukum perkawinan Islam dituangkan 15 dalam UU No.1 Tahun 1974 itu.

Daftar Pustaka
Ali, Muhammad Daud. 2019. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Depok: Rajawali Press.
Hasballah, Jamaliah. 2008. Nilai-Nilai Budi Pekerti dalam Kurikulum, (Tesis),
(Banda Aceh: PPs IAIN Ar-Raniry)
Janti, Nur. “Angka Poligami dari Masa ke Masa”
(https://historia.id/kultur/articles/angka-poligami-dari-masa-ke-masa-
vgXwV/page/1, Diakses pada 5 Mei 2019).
Khiyaroh. 2020. Alasan dan Tujuan Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Al-Qadha: Jurnal Hukum Islam Dan Perundang-Undangan,
Vol. 7 No. 1.
Rifai, Ahmad dkk. 2015. Sejarah Undang-Undang Perkawinan Atas Pendapat
Hingga Pertentangan dari Masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Tahun 1973-1974. Journal of Indonesian History, Vol. 4, No. 1.
Wafa, Moh. Ali. 2018. Hukum Perkawinan di Indonesia: Sebuah Kajian dalam
Hukum Islam dan Hukum Materiil. Pamulang: Yayasan Asy-Sya’riah
Modern Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai