UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS HUKUM
JURUSAN ILMU HUKUM
MALANG
2021
A. Pendahuluan
Perkawinan merupakan hal yang penting dalam menjaga keberlangsungan
suatu masyarakat. Perkawinan merupakan langkah awal dalam membentuk
keluarga. Salah satu fungsi keluarga adalah fungsi repoduksi, yang mana melalui
fungsi ini, keluarga menjadi sebuah sarana yang sah secara hukum maupun agama
untuk meneruskan keturunannya. Utnuk itulah perkawinan merupakan hal yang
sangat penting dalam keberlangsungan suatu masyarakat atau suatu peradaban.
Menurut Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, Indonesia adalah negara hukum.
Untuk itulah seluruh segi kehidupan warga negara Indonesia harus senantiasa
diatur dan berpedoman pada hukum, tidak terkecuali dalam hal perkawinan.
Perkawinan harus diatur oleh hukum itu sendiri. Dalam arti sempit, hukum
tersebut adalah Undang-Undang. Maka dari itu lahirlah berbagai peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai perkawinan, baik yang bersumber
dari hukum barat maupun hukum nasional yang dibuat oleh Bangsa Indonesia
sendiri, salah satunya adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam pembahasan ini, penulis mencoba menganalisis nilai-nilai yang
bersumber dari hukum Islam dalam Undang-Undang Perkawinan. Dalam
menganalisis masalah ini, dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah hukum perkawinan di Indonesia?
2. Bagaimana sistematika atau garis besar UU Perkawinan?
3. Nilai-nilai Islam apa saja yang terkandung dalam UU Perkawinan?
2. Masa 1946-1973
Satu tahun setelah merdeka Indonesia masih belum memiliki
produk hukumnya sendiri yang mengatur perkawinan walaupun masih ada
produk hukum warisan peninggalan Belanda. HOCI dan KUHPerdata
hanya mengatur golongan Eropa dan orang Indonesia yang menganut
agama Kristen saja, sehingga jika pada saat terjadi permasalahan
perkawinan dapat terselesaikan dengan cepat dikarenakan hukum yang
1
Ahmad Rifai dkk, Sejarah Undang-Undang Perkawinan Atas Pendapat Hingga Pertentangan dari
Masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 1973-1974. Journal of Indonesian History. Vol 4 No 1.
2015. hal 4.
2
Ibid. hal 5.
mengatur sudah terkodifikasi secara eksplisit. Berbeda dengan golongan
yang telah disebutkan tadi, Golongan Islam belum memiliki kodifikasi
hukum yang jelas tentang masalah perkawinan yang sesuai dengan hukum
Islam. Akhirnya orang yang menganut agama Islam berpedoman pada
kitab-kitab fiqih karya mujtahid seperti Imam Syafi’i dan lainnya3.
Dikarena adanya perbedaan Tafsir dan penerapan oleh orang-orang Islam,
mulai lah timbul permasalahan karena penerapannya yang berbeda-beda
seperti perkawinan dibawah umur, perkawinan paksa, penyalahgunaan hak
talak dan poligami.
Berangkat dari permasalahan tersebut, akhirnya pemerintah
menetapkan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 Tentang pencatatan
nikah, talak, rujuk yang disahkan Presiden Soekarno untuk diberlakukan
pada pulau Jawa dan Madura saja. Kemudian Peraturan tersebut
diterapkan juga di pulau Sumatera oleh Pemerintah Darurat RI dan
selanjutnya diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia dengan dasar
hukum Undang-Undang No. 32 Tahun 19544. Walaupun sudah ada
kodifikasi hukum yang mengatur Undang-Undang tersebut hanya
mengatur secara acara saja sedangkan untuk secara materi masih
menggunakan substansi yang terdapat pada fikih-fikih islam itu sendiri.
Hal tersebut masih menyebabkan masalah-masalah perkawinan yang
didominasi oleh masalah Poligami.
Terlebih lagi pada saat disahkannya PP No. 19 Tahun 1952 yang
berisi diperbolehkannya poligami tanpa syarat yang semakin
memperkeruh keadaan. Permasalahan tersebut semakin menjadi-jadi
sehingga menyebabkan protesnya para organisasi-organisasi perempuan
yang menuntut pemerintah untuk segera membuat aturan yang baru karena
masalah tersebut semakin membuat para perempuan direndahkan dalam
3
KHIYAROH, Alasan dan Tujuan Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Al-Qadha : Jurnal
Hukum Islam Dan Perundang-Undangan. Vol 7 No. 1. 2020. hal 4.
4
UU No. 32 Tahun 1954 ini menetapkan berlakunya UU No. 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah,
Talak, dan Rujuk Diseluruh Wilayah Indonesia yang sebelumnya hanya diberlakukan di Wilayah Jawa dan
Madura.
perkawinan5. Akhirnya tahun 1973 pemerintah pun akan membahas RUU
Perkawinan pada sidang DPR. Isi dari RUU tersebut sudah bocor terlebih
dahulu sebelum persidangan dimulai dan banyak masyarakat yang
mengetahui bahwa substansi dari RUU Perkawinan tersebut banyak sekali
yang bertentangan dengan hukum Islam karena substansinya merujuk pada
HOCI dan KUHPerdata.
5
Ahmad Rifai dkk, Op.Cit., hal 7.
6
KHIYAROH, Alasan dan Tujuan Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Al-Qadha : Jurnal
Hukum Islam Dan Perundang-Undangan. Vol 7 No. 1. 2020. Hal. 8.
7
Ahmad Rifai dkk, Op.Cit., hal 6.
serta jika tidak dapat melahirkan keturunan. Selain itu dalam
melakukan poligami, suamu harus bisa memenuhi syarat dalam
Pasal 5 UU No 1 Tahun 1974. Hal ini selaras dengan Pasal 55
Komplikasi Hukum Islam yang bersumber dari kitab-kitab Fiqih
yang merupakan penjabaran Hukum-Hukum dalam Al-Quran dan
Sunnah Nabi.8 Hal ini sesuai dengan tuntutan yang disuarakan oleh
kaum wanita dari tahun 1950 yang kini sudah terealisasikan dalam
UU No 1 Tahun 1974.
b. Kaum Pegawai Negri Sipil
Bagi kaum Pegawai Negeri Sipil, terdapat pengetatan mengenai
urusan perkawinan dan anggaran negara dalam membiayai istri
pensiunan PNS dapat dikurangi. Walaupun dalam Pasal 16 ayat (1)
UU 11 No 1969 mengatur:
Apabila Pegawai Negeri atau penerima pensiun pegawai
meninggal dunia, maka istri (istri-istri) nya untuk pegawai Negeri
pria atau suaminya untuk Pegawai Negeri Wanita, yang
sebelumnya telah terdaftar pada kantor Urusan Pegawai, berhak
menerima pensiun janda atau pensiun duda.
c. Masyarakat Luas
Bagi masyarakat luas, terdapat beberapa dampak adanya UU No 1
Tahun 1974 mengenai Perkawinan yaitu adanya pengurangan
angka perceraian dan poligami yang awalnya sebelum
Kemerdekaan mencapai angka ribuan. Dalam Sejarah Perempuan
Indonesia karya Cora Vreede de Stuers menyebutkan angka
poligini di Jawa pada 1939 menjadi yang tertinggi di antara
wilayah lain. Kemudian pasca adanya UU Perkawinan, jumlah
8
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Depok:
Rajawali Press, 2019), hal 49.
angka poligini terus menerus menyusut, pada 2012 mencapai 995
kemudian hanya sejumlah 643 pada tahun 2016.9
9
Nur Janti, “Angka Poligami dari Masa ke Masa”( https://historia.id/kultur/articles/angka-poligami-dari-
masa-ke-masa-vgXwV/page/1, Diakses pada 5 Mei 2019).
10
Dr. Moh. Ali Wafa: Hukum Perkawinan di Indonesia: Sebuah Kajian dalam Hukum Islam dan Hukum
Materiil, (Pamulang: Yayasan Asy-Sya’riah Modern Indonesia, 2018), hal 27.
wanita adalah 16 tahun. Namun, jika mengacu pada peraturan terbaru, yakni Pasal
7 ayat 1 UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, maka usia minimal untuk melangsungkan perkawinan adalah
19 tahun bagi pihak pria dan wanita.
Dalam Pasal 8, 9, dan 10 diatur mengenai larangan perkawinan baik bagi
yang baru akan melangsungkan perkawinan, maupun yang telah mengalami cerai
kawin untuk yang kedua kalinya. Dalam Pasal 11, diatur mengenai masa tunggu
bagi wanita yang telah putus perkawinannya. Mengenai masa tunggu, diatur
dalam Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan.
BAB VI Hak dan Kewajiban Suami Istri (Pasal 30– Pasal 34)
Mengenai hak dan kewajiban suami istri diatur dalam pasal 30 sampai
dengan 34 UU Perkawinan. Hak dan kewajiban ini timbul sebagai akibat hukum
dari suatu perkawinan. Menurut Pasal 30, kewajiban dipikul oleh kedua belah
pihak, yakni suami dan istri. Mengenai hak suami dan istri diatur dalam Pasal 31.
Sedangkan mengenai kewajiban suami dan istri diatur dalam Pasal 32-34 UU
Perkawinan.
BAB VII Harta Benda dalam Perkawinan (Pasal 35– Pasal 37)
Dalam perkawinan harta benda dibagi menjadi dua, yakni harta bawaan
dan harta yang diperoleh selama perkawinan. Kepemilikan atas harta-harta
tersebut diatur dalam Pasal 35. Menurut Pasal 35 ayat 1 harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Mengenai kepemilikan harta
bawaan diatur dalam Pasal 35 ayat 2, yakni harta bawaan ada di bawah
penguasaan masing-masing selama para pihak tidak menentukan lain.
Mengenai pihak-pihak yang dapat bertindak diatur dalam Pasal 36. Dalam
Pasal 36 ayat 1, suami istri dapat bertindak mengenai harta bersama. Dalam Pasal
36 ayat 2, mengenai harta bawaan masing-masing suami istri mempunyai hak
untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bendanya. Mengenai kedudukan
harta benda bilamana suatu perkawinan putus karena perceraian diatur dalam
Pasal 37. Harta benda tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing.
11
Jamaliah Hasballah, Nilai-Nilai Budi Pekerti dalam Kurikulum, (Tesis), (Banda Aceh: PPs IAIN Ar-
Raniry, 2008), hlm. 25
dapat diterapkan dimanapun dan pada zaman apapun. Dalam bidang mu'amalat
(kemasyarakatan) setiap perubahan sosial senantiasa dapat diu'kur dengan prinsip-
prinsip hukum Islam. Sebagaimana diketahui, termasuk ke dalam bidang
mu’amalat itu antara lain adalah hukum perkawinan. Dalam sistematik ilmu
hukum, bidang perkawinan ini termasuk dalam kelompok hukum kekeluargaan.
Dalam hubungan ini, al-Quran telah menggariskan tidak kurang dari 70 ketentuan
yang bersifat imperative di bidang hukum kekeluargaan
Hubungan antara Hukum Islam dengan UU No. 1 Tahun 1974 sangatlah
erat, karena di dalam UU No. 1 Tahun 1974 itu terkandung prinsip-prinsip hukum
perkawinan Islam hal ini didukung dengan pendapat Prof. DR. Hazairin, S.H.
yang dengan tegas menyatakan bahwa UU No. 1 Tahun 1974 adalah merupakan
suatu ijtihad. Sebagaimana diketahui ijtihad dalam hukum Islam merupakan
urutan ketiga dari sumber-sumber hukum Islam yaitu setelah al-Quran dan Sunnah
RasuI. Jadi hubungan hukum perkawinan Islam dengan UU No. 1 Tahun 1974
dapat dilihat dari sudut ijtihad sebagai sumber hukum Islam ketiga.
Dalam ikatan perkawinan sebagai salah-satu bentuk perjanjian antara seorang pria
dengan seorang wanita, berlaku asas di antaranya adalah:
1) Kesukarelaan
2) Persetujuan kedua belah pihak,
3) Kebebasan memilih
4) Kemitraan suami-istri,
5) Untuk selama-lamanya dan
6) Monogami terbuka (karena darurat).
1. Kesukarelaan
Asas kesukarelaan ini merupakan asas terpenting dalam perkawinan.
Dalam hukum Islam, kesukarelaan tidak hanya terdapat antara calon suami-istri,
namun juga antara kedua orang tua kedua belah pihak. Kerelaan orang tua yang
menjadi wali seorang wanita merupakan sendi asasi perkawinan Islam. Asas
Kesukarelaan diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 6.
2. Persetujuan Kedua Belah Pihak
Asas ini merupakan konsekwensi dari asas kesukarelaan. Ini berarti tidak
boleh ada paksaan dala melangsungkan perkawinan. Persetujuan ini dapat diihat
dari diamnya wanita tersebut. Dari berbagai Sunnah nabi dapat diketahui bahwa
perkawinan yang dilangsungkan tanpa persetujuan kedua belah pihak dapat
dibatalkan oleh pengadilan. Asas ini terdapat dalam syarat-syarat perkawinan UU
No.1 Tahun 1974 pasal 6 ayat 1, yakni, “Perkawinan harus didasarkan atas
persetujuan kedua calon mempelai.”
3. Kebebasan Memilih Pasangan
Asas ini sehubungan dengan asas pertama dan kedua. Bahwa diantara
kedua calon suami-istri tidak ada paksaan.
4. Kemitraan Suami-Istri
Asas ini menjelaskan tugas dan fungsi suami-istri yang berbeda karena
perbedaan kodrat. Disebut dalam Alquran surat Al-Nisa’ (4) ayat 34 dan Surat Al-
Baqarah (2) ayat 187. Kemitraan ini menyebabkan kedudukan suami-istri dala
beberapa hal yang sama dan dalam hal lain yang berbeda. Suami menjadi kepala
keluarga, sedangkan istri menjadi kepala dan penanggungjawab pengaturan rumah
tangga. Asas ini sehubungan dengan UU No.1 Tahun 1974 Bab VI pasal 31-34.
5. Untuk Selama-lamanya
Asas ini menunjukkan bahwa perkawinan dilaksanakan untuk
melangsungkan keturunan dan membina cinta serta kasih sayang selama hidup
(QS Al Rum (30): 21) yang selaras dengan UU no. 1 Tahun 1974 pasal 33 yang
berbunyi “Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia
dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain”. Karena asas ini
pula maka perkawinan mut’ah yakni perkawinan sementara untuk bersenang-
senang selama waktu tertentu saja, seperti yang terdapat dalam mayarakat Arab
jahiliyah dahulu dan beberapa waktu setelah Islam, dilarang oleh Nabi
Muhammad.
6. Monogami Terbuka
Dalam Al Quran surat Al-Nisa’ ayat 3 j.o. Ayat 129 dijelaskan, didalam
ayat 3 bahwa seorang pria Muslim dibolehkan atau boleh beristri lebih dari
seorang, asal memnuhi beberapa syarat tertentu diantaranya adalah syarat mampu
berlaku adil terhadap semua wanita yang menjadi istrinya, ayat tersebut juga
sejalan dengan UU No. 1 Tahun 1974 pasal 5 ayat 1 yag berbunyi,
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan,sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a) Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri
b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka
c) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-
isteri dan anak-anak mereka.
Dalam ayat 29 Surat yang sama, Allah menyatakan bahwa manusia tidak
mungkin berlaku adil terhadap istri-istrinya walaupun ia ingin berbuat demikian.
Oleh karena itu, maka Allah menegaskan bahwa seorang laki-laki lebih baik
kawin dengan seorang wanita saja, sejalan dengan UU No. 1 Tahun 1974 pasal 3
ayat 1 yang berbunyi, “Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria
hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami”. Ini berarti bahwa beristri lebih dari satu merupakan jalan darurat
yang baru diambil oleh seorang laki-laki Muslim apabila untuk menyelamatkan
dirinya dari berbuat dosa, dan jika istrinya tidak mampu menjalankan
kewajibannya sebagai seorang istri. Kewajiban yang tidak mampu dilakukan istri
disini juga dijabarkan pada UU No.1 Tahun 1974 pasal 4 ayat 2, antara lain
apabila :
a) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
c) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
E. Kesimpulan
Perkawinan merupakan aspek penting dalam masyarakat sehingga perlu
diatur dan diberikan regulasi dalam peraturan Perundang-undangan. Perundang-
undangan mengenai perkawinan memiliki sejarah panjang semenjak jaman
sebelum kemerdekaan. Sejarah mengenai peraturan perundang-undangan dibagi
menjadi 3 masa, yaitu Sebelum Kemerdekaan, 1946-1973, dan 1974-Sekarang.
Pada masa sebelum kemerdekaan, aturan mengenai Perkawinan yang
berlaku merupakan aturan yang bersumber dari hukum Belanda melalui asas
korkodansi. Terdapat 3 hukum yang diwariskan Belanda yaitu HOCI atau
Ordonansi Perkawinan Kristen pada Staatsblad 1933 No. 74, KUHPerdata/BW,
serta Peraturan Perkawinan Campuran pada Staatsblad 1898 No. 158. Aturan ini
berlaku bagi masing-masing golongan yaitu untuk golongan Eropa, Timur Asing,
dan Pribumi serta ketentuan guna perkawinan campuran. Dapat dilihat bahwa
peraturan yang ada masih terkotak-kotak dan terbatas pada golongan sehingga
hukum Islam hanya berlaku bagi kaum pribumi atau Timur Asing yang menganut
agama Islam.
Masa 1946-1973, Indonesia baru saja merdeka sehingga aturan yang
digunakan masih peninggalan Belanda yaitu HOCI dan KUHPerdata yang berlaku
bagi golongan Eropa dan pribumi yang beragama Kristen. Sedangkan bagi
golongan Islam belum ada kondifikasi hukum yang jelas terutama mengenai
Perkawinan sehingga berpedoman pada kitab-kitab fiqih. Kemudian adanya
perbedaan Tafsir dan penerapan oleh orang-orang Islam, mulai lah timbul
permasalahan karena penerapannya yang berbeda-beda seperti perkawinan
dibawah umur, perkawinan paksa, penyalahgunaan hak talak dan poligami.
Pemerintah menetapkan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 Tentang
pencatatan nikah, talak, rujuk yang disahkan Presiden Soekarno yang disusul oleh
UU No. 32 Tahun 1954 serta PP No. 19 Tahun 1952. Dalam aturan ini masih
bertumpu pada substansi fiqih serta adanya poligami tanpa syarat menimbulkan
protes dari organisasi perempuan. Kemudian pada 1973, pemerintah membahas
RUU Perkawinan yang mendapatkan reaksi dari pihak Islam dimana RUU
tersebut dinilai tidak sesuai dengan hukum Islam karena merujuk pada HOCI dan
KUHPerdata. Sebelum disahkannya UU No 1 Tahun 1974, aturan dan regulasi
mengenai Perkawinan masih belum tersusun dan terkodifikasi serta penerapan
Hukum Islam hanya berpengaruh pada golongan tertentu dengan penafsiran yang
berbeda-beda.
Kemudian pada masa 1974 hingga sekarang, regulasi mengenai
perkawinan lebih terkodifikasi dan memberikan fasilitas bagi golongan Islam
dalam menjalankan perkawinan sesuai dengan Hukum Islam. Disahkannya
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan, Kemudian disusul
dengan pengesahan Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 mengenai
Pelaksanaan UU No 1 Tahun 1974 serta Peraturan Menteri Agama No. 3 dan
No.4 pada Juli 1975 yang memuat kewajiban pegawai pencatatan pernikahan dan
tata kerja pengadilan agama, dan contoh-contoh akta ni-kah, cerai, talak dan rujuk
serta Komplikasi Hukum Islam yang bersumber dari kitab-kitab Fiqih yang
merupakan penjabaran Hukum-Hukum dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi.
Dengan adanya regulasi ini, maka permasalahan mengenai tata cara perkawinan,
poligami, posisi istri dalam rumah tangga. Dengan diundangkannya UU
Perkawinan tersebut maka terdapat kema-juan Hukum Islam di Indonesia dalam
ranah hukum nasional dibanding-kan pada masa-masa sebelumnya.
Daftar Pustaka
Ali, Muhammad Daud. 2019. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia. Depok: Rajawali Press.
Hasballah, Jamaliah. 2008. Nilai-Nilai Budi Pekerti dalam Kurikulum, (Tesis),
(Banda Aceh: PPs IAIN Ar-Raniry)
Janti, Nur. “Angka Poligami dari Masa ke Masa”
(https://historia.id/kultur/articles/angka-poligami-dari-masa-ke-masa-
vgXwV/page/1, Diakses pada 5 Mei 2019).
Khiyaroh. 2020. Alasan dan Tujuan Lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Al-Qadha: Jurnal Hukum Islam Dan Perundang-Undangan,
Vol. 7 No. 1.
Rifai, Ahmad dkk. 2015. Sejarah Undang-Undang Perkawinan Atas Pendapat
Hingga Pertentangan dari Masyarakat dan Dewan Perwakilan Rakyat
Tahun 1973-1974. Journal of Indonesian History, Vol. 4, No. 1.
Wafa, Moh. Ali. 2018. Hukum Perkawinan di Indonesia: Sebuah Kajian dalam
Hukum Islam dan Hukum Materiil. Pamulang: Yayasan Asy-Sya’riah
Modern Indonesia.