Anda di halaman 1dari 35

HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Hukum Perkawinan di Indonesia

Dosen Pengampu:
Abdul Hakim, S.H., M.A.

Disusun Oleh:
Syaiful Hukama (NIM: 21210216)
Ahmad Najib Mubarok (NIM: 21210201)

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) IMAM SYAFI’I
CIANJUR
2023
Abstrak
Makalah ini disusun untuk memudahkan akademisi pemula
dalam mempelajari Hukum Perkawinan di Indonesia dengan
berbagai diskursusnya yang memang sulit diakses secara
komprehensif, karena tersebar dalam berbagai sumber bacaan.
Semoga dengan dikumpulkannya berbagai bahasan tersebut
dalam satu makalah, dapat menuntaskan problem ini. Lebih dari
itu, pembaca diharapkan mampu menguasai materi ini, paling
tidak secara universal, namun juga komprehensif. Makalah ini
dibuat melalui penelitian kepustakaan (library research), yaitu
penelitian dengan cara mengkaji dan menelaah sumber-sumber
tertulis dengan cara mempelajari, menelaah dan memeriksa
bahan-bahan kepustakaan yang mempunyai relevansi dengan
materi pembahasan. Makalah ini bersifat deskriptif murni, yaitu
memaparkan secara khusus tentang diskursus yang berkaitan
dengan Hukum Perkawinan di Indonesia. Materi paling urgen
yang menjadi inti pembahasan terfokus pada Undang-undang No.
1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) serta yang
menjadi antitesanya, yaitu Counter Legal Draft (CLD)-KHI dan
Rancangan Undang-undang Hukum Materiel Peradilan Agama
(RUU HMPA). Kesimpulannya, makalah ini akan
mendeskripsikan tentang Hukum Perkawinan di Indonesia
dengan berbagai materinya, yang telah melalui proses unifikasi
untuk memudahkan pembaca dalam mengaksesnya secara
komprehensif.
Kata Kunci: hukum perkawinan di indonesia, undang-undang
nomor 1 tahun 1974, kompilasi hukum islam, counter legal draft,
rancangan undang-undang hukum materiel peradilan agama

1
BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Mempelajari Hukum Perkawinan di Indonesia merupakan keniscayaan


bagi mahasiwa Fakultas Hukum dan Syariah prodi Hukum Keluarga (Ahwal
Al-Syakhshiyyah). Secara umum, materinya meliputi definisi, dasar-dasar,
serta landasan perkawinan baik yang sudah disahkan oleh pemerintah atau
masih dalam ranah isu-isu dan usulan berbagai pihak. Selain itu, juga dibahas
mengenai Hukum Perkawinan ditinjau dari sudut pandang historis, sosiologis
dan teoretis. Sayangnya, tema-tema ini tersebar dalam berbagai sumber
tulisan baik berupa buku maupun jurnal. Hal ini membuat akademisi pemula
kesulitan untuk mempunyai gambaran universal sekaligus komprehensif
mengenainya, apalagi untuk memahaminya secara fragmentaris atau parsial.
Oleh karena itu, harus ada karya ilmiah yang mampu menjawab tantangan
ini, setidaknya mampu memenuhi kebutuhan minimum.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan di atas, permasalahan yang


akat diangkat dalam makalah ini adalah berbagai materi mengenai hukum
perkawinan di Indonesia yang urgen untuk dipelajari oleh akademisi pemula,
khususnya mahasiwa Fakultas Hukum dan Syariah prodi Hukum Keluarga.

C. Tujuan Penulisan

Makalah ini bertujuan untuk memudahkan akademisi pemula untuk


mengakses berbagai materi tersebut secara komprehensif. Harapannya,
pembaca bisa memperoleh gambaral universal tentang diskursus ini.

2
BAB II

Pembahasan

A. Pengertian Hukum Perkawinan di Indonesia

Sebelum mendefinisikan Hukum Perkawinan di Indonesia secara utuh,


tentu harus menjabarkan dulu komponen-komponen yang menyusunnya.
Berikut ini beberapa pengertian Hukum: 1

Utrecht, S.H.; Hukum adalah himpunan peraturan- peraturan (perintah-


perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat
dan karena itu harus ditaati oleh masyarekat itu.

Mr. Bellefroid; Hukum adalah sesuatu yang berlaku di suatu masyarakat,


mengatur tata tertib masyarakat itu, didasarkan atas kekuasaan yang ada pada
masyarakat.

Menurut UU No. 1 Tahun 1974, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin


antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Mahaesa.2

Sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan bahwa


Perkawinan menurut hukun Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.3

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hukum perkawinan di


Indonesia adalah himpunan peraturan-peraturan pemerintah Indonesia yang

1
Abdullah Sulaiman, “Penghantar Ilmu Hukum,” UIN Jakarta Bersama Yayasan Pendidikan
Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (YPPSDM Jakarta, 2019, hlm. 14-15,
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/57878/1/PROF ABDULLAH
Buku Pengantar Ilmu Hukum.pdf.
2
Mahkamah Konstitusi, “Anotasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mhakamah
Konstitusi,” Mahkamah Konstitusi Republik Iindonesia, 2018, hlm. 1.
3
Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan Dengan
Kompilasi Hukum Islam Serta Pengertian Dalam Pembahasannya, Perpustakaan Nasional
RI : Data Katalog Dalam Terbitan, vol. 1, 2011, hlm. 64.

3
berkaitan dengan bagaimana membentuk ikatan lahir bathin yang kuat antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri yang notabene
merupakan bagian kecil dari masyarakat Indonesia dengan harapan dapat
berkontribusi dalam ketertiban dan keharmonisan masyarakat indonesia
dalam sekala besar.

B. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Aturan hukum tentang perkawinan di Indonesia sudah ada sejak masa


sebelum kemerdekaan. Jika diklasifikasikan dapat dikelompokan menjadi
tiga yaitu; sebelum merdeka-1946, 1946-1973, dan 1974-sekarang. Peraturan
perkawinan pada masa sebelum kemerdekaan sampai pada tahun 1946
merupakan masa yang menyedihkan. Pada masa ini Indonesia dijajah oleh
belanda dengan waktu kurang lebih mendekati 350 tahun. Dengan adanya
penjajahan belanda juga meninggalkan hukum perkawinan untuk orang-
orang Indonesia.4

Hukum perkawinan yang berlaku setelah penjajahan Belanda dapat


diklasifikasikan sebagai berikut:5

1. Bagi orang-orang Eropa berlaku “Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-


Undang Hukum Perdata)” publicatie 30 April 1847 S No. 23 yang hampir
seluruhnya adalah tiruan Burgerlijk wetboek negeri Belanda.

2. Bagi orang-orang Tionghoa, Burgerlijk Wetboek hampir seluruhnya,


termasuk perkawinan diberlakukan, yaitu dengan dikeluarkannya Ordonansi
29 Maret 1917 (S 1917-1929 jis 1919-81, 24-557, 25-92). Bagian-bagian
yang tidak berlaku bagi mereka adalah buku I Bab II tentang Akte Catatan
Sipil (Akte van burgerlijk stand); Bab IV bagian dua dan tiga yang berisi
tentang acara yang harus mendahului perkawinan dan hal yang mencegah
perkawinan. Dalam S 1917-129 ini diatur juga tentang adopsi, yaitu pada
bagian II pasal 5 sampai 15. Namun ini hanya berlaku khusus bagi orang
Tionghoa.

4
Khiyaroh, “Alasan Dan Tujuan Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan,” Al-Qadha 7, no. 1 (2020): hlm. 4, https://doi.org/10.32505/qadha.v7i1.1817.
5
M.SI IMAM MUSTOFA, S.HI., POLITIK HUKUM ISLAM DI INDONESIA ; PERGULATAN POLITIK
DI BALIK LAHIRNYA UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN, ed. Alwi (STAIN JURAI SIWO METRO Bekerjasama dengan CV. DVIFA
Percetakan & Penerbit, 2015), hlm. 66-67.

4
3. Meskipun bagi orang-orang Arab dan Timur Asing lainnya telah ada
ordonansi 9 Desember 1924 (S 1924-556) yang berlaku 1 Maret 1925. Pada
dasarnya yang berlaku bagi mereka adalah BW selain Buku I Bab II dan
Buku I Bab IV –Bab XIV yang meliputi hukum perkawinan dan
kekeluargaan.

4. Bagi orang-orang Indonesia yang beragama Kristen diatur dengan


Ordonansi 15 Februari 1933 (S 33-74 jo. 36-247 dan 607, 1938 – 264 dan
370, 1939 - 288 dan 1946 – 136 yaitu Huwejlijk Ordonantie Christen
Indonesiers Java, Minahasa en Ambonia/ HOCI). Untuk pencatatannya diatur
dengan Ordonantie 15 Februari 1933 S 33-75 Jo. 36 – 607 (Reglement
Burgerlijk Stand Christen Indonesiers).

5. Bagi golongan yang tidak menggunakan ketentuan-ketentuan di atas


menggunakan peraturan yang tercantum dalam S 1898 – 158 yaitu Koninklijk
Besluit 29 Desember 1896 No. 23 (Regeling opde gemende Huwelwjken/
GHR (peraturan perkawinan campuran). Pasal 1 Peraturan ini menyebutkan
bahwa perkawinan antara seorang perempuan dan seorang laki-laki yang
masing-masing di Indonesia maka tunduk pada hukum tersebut, dan disebut
dengan Perkawinan Campuran. Pasal 2 menyebutkan bahwa istri mengikuti
kedudukan suami, dan pencatatan Perkawinan Campuran ini ditetapkan
dengan Ordonantie 4 Juni 1904 (S 64-279).

Setelah kemerdekaan dibentuk peraturan Undang-Undang Nomor 22


Tahun 1946 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk yang diberlakukan di
Jawa dan Madura. Munculnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946
sebatas mengatur nikah, talak, dan rujuk sehingga hanya mengatur hukum
acara. Sedangkan materi hukum yang dijadikan rujukan dalam
menyelesaikan perkara untuk orang Islam masih bersumber pada kitab-kitab
fikih. Sebagai bukti yaitu adanya Statuta Batavia 1642 yang menyebutkan
bahwa jika terdapat sengketa waris antara orang pribumi yang beragama
Islam maka diselesaikan menggunakan hukum Islam.6

Menurut Aulawi, seharusnya UU No. 22 tahun 1946 berlaku untuk


seluruh Indonesia, akan tetapi karena keadaan belum memungkinkan maka
hanya diberlakukan untuk pulau Jawa dan Madura. Kemudian diberlakukan

6
Khiyaroh, “Alasan Dan Tujuan Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan,” hlm. 6.

5
di seluruh Indonesia pada tahun 1954 dengan diundangkannya UU No. 32
tahun 1954.7

Sebelumnya, pada tahun 1950 Pemerintah telah menyusun kepanitian


untuk penyelidik peraturan dan Hukum Perkawinan, talak dan rujuk bagi
umat Islam melalui Surat Putusan Menteri Agama No. B /2 /4299 tertanggal
1 Oktober 1950 yang kemudian kepanitian ini diperbarui pada tahun 1960.8

Pada tahun 1973 DPR menerima rancangan undang-undang


perkawinan dari pemerintah. Dan melalui beberapa proses akhirnya disetujui
RUU Perkawinan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, yang berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975. 9 Selanjutnya
lahir Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975 tentang pelaksanaan
Undang-Undang No. 1 tahun 1974, yang kemudian disusul dengan keluarnya
Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Bagi umat Islam diatur
dalam peraturan Menteri Agama No. 3 tahun 1975 dan No. 4 tahun 1975,
kemudian diganti dengan Peraturan Menteri Agama no. 2 tahun 1990. Bagi
yang beragama Islam diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri No.
221a tahun 1975, tanggal 1 Oktober 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan
Perceraian pada Kantor Catatan Sipil.10

Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan tidak hanya


mengatur hal-hal yang berhubungan langsung dengan perkawinan saja.
Undang-undang ini juga hal-hal yang secara tidak langsung berkaitan dengan
perkawinan seperti kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan
anak, perwalian dan pembuktian asal-usul anak. Materi undang-undang ini
juga tidak hanya mengatur hukum materiel tentang hubungan dan perbuatan
hukum perkawinan, namun juga memuat hukum formil. Undang-Undang ini
terdiri dari 14 bab dan 67 pasal.11

7
IMAM MUSTOFA, S.HI., POLITIK HUKUM ISLAM DI INDONESIA ; PERGULATAN POLITIK DI
BALIK LAHIRNYA UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN, hlm. 77.
8
IMAM MUSTOFA, S.HI., hlm. 76.
9
Khiyaroh, “Alasan Dan Tujuan Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan,” hlm. 9.
10
IMAM MUSTOFA, S.HI., POLITIK HUKUM ISLAM DI INDONESIA ; PERGULATAN POLITIK DI
BALIK LAHIRNYA UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN, hlm. 78.
11
IMAM MUSTOFA, S.HI., hlm. 79.

6
Isi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak melarang adanya
poligami, tetapi membolehkan dengan syarat yang memberatkan adanya
suatu poligami. Dan yang terpenting dari adanya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 adalah bahwa perkawinan di Indonesia itu berasaskan
monogami. Hak-hak dan kewajiban antara suami dan istri juga diatur
sedemikian rupa sehingga tidak menjatuhkan kedudukan perempuan dalam
perkawinan.12

Peraturan perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


tidak langsung dirumuskan begitu saja. Jauh sebelum dirumuskan undang-
undang perkawinan, banyak organisasi perempuan yang konsen dalam
permaslahan- permasalahan perkawinan. Pada tahun 1930 berdiri organisasi
perempuan yang menentang keras adanya poligami yaitu Isteri Sedar.
Menurut Pendapat Isteri Sedar dalam menentang poligami mendapatkan
kecaman dari organisasi perempuan Islam. Tahun 1932 organisasi Aisyiah
meyatakan bahwa kedudukan perempuan dalam Islam dan poligami
diperbolehkan dan sah dalam Islam. Tahun 1935 melalui kongres perempuan
organisasi-organisasi perempuan memutuskan untuk membentuk badan
penyelidik tentang kedudukan perempuan dalam hukum Islam. Tujuan dari
adanya badan penyelidik yaitu untuk mempersatukan oraganisasi perempuan
yang tidak bertentangan dengan hukum agama. Memasuki masa
pemerintahan Jepang pergerakan organisasi perempuan semakin dibatasi
pergerakannya. Hanya terdapat beberapa organisasi pemerintah yang
diperbolehkan diantaranya yaitu Fujinkai. Tahun 1945 Indonesia berada pada
masa kemerdekaannya menjadikan bangkitnya pergerakan organisasi
perempuan. Tahun 1950 merupakan masa kebangkitan organisasi perempuan
yang ditandai dengan munculnya berbagai tuntutan dalam hukum
perkawinan. Salah satu organisasi yang ada sejak awal kemerdekaan yaitu
Persatuan Wanita Republik Indonesia (PERWARI) yang dibentuk tahun
1945. Organisasi ini sudah aktif membela hak-hak kaum perempuan dalam
bidang politik, Perkawinan dan juga pekerjaan. Selain PERWARI oraganisasi
Gerakan Wanita Isteri Sedar (GEWIS) yang pada perkembanganya berubah
menjadi Gerakan Wanita Indoneisa. GERWANI dan PERWARI menolak
adanya peraturan yang melegalkan poligami yang dilakukan oleh pejabat
sipil. Pada tanggal 17 Desember 1953 terjadi demonstrasi besar-besaran yang
dilakukan oeh PERWARI dan didukung oraganisasi lain. Pada tahun 1955
12
Khiyaroh, “Alasan Dan Tujuan Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan,” hlm. 19.

7
PERWARI menyampaikan pendapat kepada pemerintah dalam masalah
poligami bagi pejabat-pejabat. Saat ulang tahun yang ke 17 Perwari pada
tangga 17 Desember 1962 membuat pernyataan yang isinya mendesak
lembaga pemerintah supaya segera diundangkan Undang-Undang
perkawinan tersebut dengan tujuan adanya kesejahteraan keluarga. Tuntutan
ini terus dibawa oleh perwari hingga tahun 1965 dengan terus bergerak aktif
dan dibantu oleh organisasi lain. Tahun 1966 Soekarno jatuh dan digantikan
oleh Soeharto. Pada masa pemerintahanya Soeharto memperbaiki sistem
yang kacau pada masa orde lama. Masa orde baru pergerakan organisasi
perempuan dan yang bersifat agama diberi ruang leluasa.13

Pergerakan organisasi perempuan ini sangat berpengaruh terhadap


lahirlah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Karena, meskipun UU ini
tidak melarang adanya poligami, namun tetap mewajibkan adanya syarat
yang memberatkan bagi yang ingin berpoligami. Dengan demikian
perkawinan di Indonesia tetap berasaskan monogami meskipun tidak mutlak.

Kalau dicermati, pada dasarnya undang-undang perkawinan lahir


karena desakan dari kalangan masyarakat, khususnya akademisi dan
organisasi perempuan. Undang-undang ini selalu tertunda pengesahannya
karena situasi politik yang kurang kondusif dan tidak adanya political will,
khususnya dari legislatif.14

C. Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Dalam Kamus Lengkap Inggris Indonesia - Indonesia Inggris yang


disusun oleh S. Wojowasito dan WJS Poerwadarminta disebutkan kata
"compilation" dengan terjemahan karangan tersusun dan kutipan buku-buku
lain. Sedangkan dalam kamus Umum Belanda Indonesia yang disusun oleh S.
Wojowasito kata "Compilatie" dalam bahasa Belanda diterjemahkan menjadi
kompilasi dengan keterangan tambahan kumpulan dari lain-lain karangan. 15

Berdasarkan keterangan tersebut dapatlah diketahui bahwa ditinjau dari


sudut bahasa, kompilasi itu adalah kegiatan pengumpulan sesuatu persoalan
13
Khiyaroh, hlm. 7-9.
14
IMAM MUSTOFA, S.HI., POLITIK HUKUM ISLAM DI INDONESIA ; PERGULATAN POLITIK DI
BALIK LAHIRNYA UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN, hlm.79.
15
Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan Dengan
Kompilasi Hukum Islam Serta Pengertian Dalam Pembahasannya, 1:hlm. 2.

8
tertentu yang diambil dari berbagai bahan tertulis. Pengumpulan bahan dari
berbagai sumber yang dibuat oleh beberapa penulis yang berbeda untuk
ditulis dalam suatu buku tertentu, sehingga dengan kegiatan ini semua bahan
yang diperlukan dapat ditemukan dengan mudah.16

Kompilasi Hukum Islam Indonesia yang ditetapkan pada tahun 1991


tidak secara tegas menyebutkan bagaimana pengertian kompilasi dan
kompilasi hukum Islam. Dari sejarah penyusunannya juga tidak tampak
munculnya pemikiran yang kontroversial mengenai apa yang dimaksudkan
dengan kompilasi itu. Dengan demikian, penyusun kompilasi tidak secara
tegas menganut satu paham mengenai apa yang dibuatnya tersebut namun
kenyataan ini kelihatannya tidak mengundang reaksi dan pihak manapun.
Akan tetapi, dilihat dari rencana kegiatan yang bersangkutan yaitu untuk
menghimpun bahan-bahan hukum yang diperlukan sebagai pedoman dalam
bidang hukum materiel bagi para hakim di lingkungan Peradilan Agama.
Bahan-bahan dimaksud diangkat dari berbagai kitab yang biasa digunakan
sebagai sumber pengambilan dalam penetapan hukum yang dilakukan oleh
para Hakim dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan itu. Maka
dapat dikemukakan bahwa yang diartikan dengan kompilasi dalam pengertian
kompilasi hukum Islam ini adalah merupakan rangkuman dari berbagai
pendapat hukum yang diambil dari berbagai kitab yang ditulis oleh para
ulama Fiqh yang biasa dipergunakan sebagai referensi pada Pengadilan
Agama untuk diolah dan dikembangkan serta dihimpun ke dalam satu
himpunan. Himpunan tersebut inilah yang dinamakan kompilasi. Materi atau
bahan-bahan hukum dimaksud telah diolah melalui proses dan metode
tertentu, kemudian dirumuskan dalam bentuk yang serupa dengan peraturan
perundang-undangan (yaitu dalam pasal-pasal tertentu). Bahan ini kemudian
ditetapkan berlakunya melalui sebuah Keputusan Presiden yang untuk
selanjutnya dapat digunakan oleh para Hakim Pengadilan Agama dalam
memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang diajukan
kepadanya sebagai pedoman.17

Apa sebenarnya yang menjadi latar belakang penyusunan Kompilasi


Hukum Islam tidaklah mudah untuk dijawab secara singkat. Bilamana kita
memperhatikan konsideran Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung
dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25
16
Mahkamah Agung RI, 1:hlm. 3.
17
Mahkamah Agung RI, 1:hlm. 4-5.

9
Tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum
Islam melalui yurisprudensi atau yang lebih dikenal sebagai proyek
kompilasi Hukum Islam, dikemukakan ada dua pertimbangan mengapa
proyek ini diadakan, yaitu:18

a. Bahwa sesuai dengan fungsi pengaturan Mahkamah Agung Republik


Indonesia terhadap jalannya peradilan disemua lingkungan peradilan
di Indonesia, khususnya di lingkungan Peradilan Agama, perlu
mengadakan kompilasi Hukum Islam yang selama ini menjadikan
hukum positif di Pengadilan Agama;
b. Bahwa guna mencapai maksud tersebut, demi meningkatkan
kelancaran pelaksanaan tugas, sinkronisasi dan tertib administrasi
dalam proyek pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi,
dipandang perlu membentuk suatu Tim Proyek yang susunannya
terdiri dari para Pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama
Republik Indonesia.

Bilamana kita perhatikan, konsideran tersebut masih belum


memberikan jawaban yang tegas mengenai mengapa kita harus membentuk
kompilasi dimaksud.19 Untuk lebih jelasnya perlu kita kutip keterangan-
ketarangan yang dikemukakan oleh para tokoh yang banyak terlibat dalam
penyusunan kompilasi Hukum Islam dan apa yang dikemukakan adalah
secara langsung berkenaan dengan latar belakang dibuatnya kompilasi hukum
Islam.

K.H. Hasan Basry (Ketua Umum MUI yang banyak sekali terlibat
dalam penyusunan kompilasi) dalam salah satu tulisannya menyebutkan
bahwa Kompilasi Hukum Islam ini sebagai keberhasilan besar umat Islam
Indonesia pada Pemerintahan Orde Baru ini. Sebab dengan demikian,
nantinya umat Islam di Indonesia akan mempunyai pedoman fiqh yang
seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh
bangsa Indonesia yang beragama Islam. Dengan ini dapat diharapkan tidak
akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga-lembaga Peradilan
Agama dan sebab-sebab khilaf yang disebabkan oleh masalah fiqh akan dapat
diakhiri. Dari penegasan ini tampak bahwa latar belakang pertama dari
diadakannya penyusunan kompilasi adalah karena adanya kesimpangsiuran

18
Mahkamah Agung RI, 1:hlm. 6.
19
Mahkamah Agung RI, 1:hlm. 6.

10
putusan dan tajamnya perbedaan pendapat tentang masalah-masalah hukum
Islam.20

Hal ini secara tegas dinyatakannya bahwa di Indonesia karena belum


ada kompilasi maka dalam praktik sering kita lihat adanya Keputusan
Peradilan Agama yang saling berbeda/tidak seragam, pada hal kasusnya
sama. Bahkan dapat dijadikan alat politik untuk memukul orang lain yang
dianggap tidak sepaham. Juga telah kita saksikan bahwa masalah fiqh yang
semestinya membawa rahmat ini malah menjadi sebab perpecahan. Dengan
demikian, yang kita rasakan bukan rahmat akan tetapi laknat. Hal ini menurut
pendapatnya adalah karena umat Islam salah paham dalam mendudukkan
fiqh di samping belum adanya kompilasi hukum Islam tersebut.21

Gagasan untuk mengadakan kompilasi Hukum Islam di Indonesia


untuk pertama kali diumumkan oleh Menteri Agama R.I. Munawir Sadzali,
MA pada bulan Februari 1985 dalam ceramahnya di depan para mahasiswa
IAIN Sunan Ampel Surabaya, semenjak itu ide ini menggelinding dan
mendapat sambutan hangat dari berbagai pihak.22

Menurut Prof. Ismail Suny, pada bulan Maret 1985 Presidan Soeharto
mengambil prakarsa sehingga terbitlah SKB (Surat Keputusan Bersama)
Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama yang membentuk proyek
Kompilasi Hukum Islam, yang berarti sudah sejak sedari dini kegiatan ini
mendapat dukungan penuh dari Kepala Negara. Sehingga, Pada tanggal 21
Maret 1985 di Yogyakarta, dalam satu rapat kerja gabungan yang dihadiri
oleh Ketua-ketua Pengadilan Tinggi dari Peradilan Umum, Ketua-ketua
Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua-ketua Mahkamah Militer se-Indonesia.
Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama menandatangani Surat
Keputusan Bersama tentang proyek pembangunan Hukum Islam melalui
Yurisprudensi atau disebut juga proyek Kompilasi Hukum Islam. 23

Melalui Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri


Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985
tentang Penunjukan Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui
Yurisprudensi dimulailah kegiatan proyek dimaksud yang berlangsung untuk
20
Mahkamah Agung RI, 1:hlm. 10.
21
Mahkamah Agung RI, 1:hlm. 10.
22
Mahkamah Agung RI, 1:hlm. 19.
23
Mahkamah Agung RI, 1:hlm. 20.

11
jangka waktu 2 tahun. Pelaksanaan proyek ini kemudian didukung oleh
Keputusan Presiden No. 191/1985 tanggal 10 Desember 1985 dengan biaya
sebesar Rp230.000.000, 00. Biaya sebesar ini tidak berasal dari APBN tetapi
langsung dari Presiden Soeharto sendiri (Panji Masyarakat No. 502 Th.
XXVII tanggal 1 Mei 1986). Di sini juga tampak betapa besarnya komitmen
Presiden dalam mensukseskan proyek tersebut.24

Bidang yang digarap dengan usaha ini adalah bidang Hukum


Perkawinan, Hukum Kewarisan, Wakaf, Hibah, Shodaqah, Baitul Mal dan
lain-lain yang menjadi kewenangan Peradilan Agama. Penyusunan kompilasi
ini dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:25

a. Tahap I: tahap persiapan


b. Tahap II: tahap pengumpulan data, melalui:
(1) Jalur ulama
(2) Jalur kitab-kitab fiqh
(3) Jalur yurisprudensi peradilan Agama
(4) Jalur studi perbandingan di negara-negara lain khususnya di
negara-negara Timur Tengah.
c. Tahap III: Tahap penyusunan rancangan kompilasi Hukum Islam dari
data-data tersebut
d. Tahap VI: Tahap penyempurnaan dengan mengumpulkan masukan-
masukan akhir dari para ulama/cendekiawan Muslim seluruh
Indonesia yang ditunjuk melalui lokakarya.

Pada tanggal 29 Desembar 1989 pemerintah mengundangkan berlakunya


Undang-undang No. 7 Tahun 1989 (LN 1989 No. 49) tentang Peradilan
Agama setelah untuk sekian lama undang-undang ini menempuh proses yang
cukup alot karena banyaknya reaksi yang bermunculan untuk menghalangi
lahirnya undang-undang ini. Sifat sensitifnya memang tinggi akan tetapi
urgensinya ternyata jauh lebih mendesak, sehingga Undang- undang ini
berhasil disetujui oleh semua fraksi di DPR dan disahkan menjadi undang-
undang. Berlakunya Undang-undang ini mempunyai pengaruh yang sangat
besar terhadap proses penyelesaian penyusunan kompilasi hukum Islam.
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 adalah mengatur tentang hukum formal
yang akan dipakai dilingkungan peradilan agama. Hukum formal secara teori

24
Mahkamah Agung RI, 1:hlm.21.
25
Mahkamah Agung RI, 1:hlm. 23.

12
adalah untuk "mengabdi" kepada hukum material. Akan tetapi sebagaimana
telah dikemukakan dalam uraian terdahulu sampai saat itu hukum material
mana yang dipergunakan bagi Peradilan Agama masih belum jelas dan untuk
keperluan itulah kompilasi hukum Islam ini disusun. Dengan demikian, maka
dengan berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 menjadi dorongan
yang lebih kuat untuk memacu lahirnya hukum materielnya yaitu kompilasi
hukum Islam.26

Dorongan kepada pemerintah untuk segera mengesahkan Kompilasi


Hukum Islam itu muncul dari berbagai pihak. Hanya saja pada waktu itu
masih terdapat perbedaan pandangan tentang produk hukum yang akan
mewadahi kompilasi tersebut. Idealnya ia harus dituangkan dalam satu
Undang-undang. Akan tetapi dikhawatirkan kalau kita harus merancang
kembali satu Undang-undang prosesnya akan berlarut-larut dan memakan
waktu yang lama. Ada pula keinginan untuk menuangkannya dalam bentuk
Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden.27

Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta mengharapkan kepada


pemerintah untuk segera mengesahkan kompilasi Hukum Islam sehubungan
dengan diundangkannya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama. Dan beberapa hari sebelum Presiden menunaikan ibadah
haji, tepatnya tanggal 10 Juni 1991, beliau menandatangani Instruksi
Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991. Sejak saat itu secara formal
berlakulah kompilasi Hukum Islam di seluruh Indonesia sebagai hukum
materiel yang dipergunakan di lingkungan Peradilan Agama.28

Sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 22 Juli 1991 Menteri Agama telah
mengeluarkan Keputusan No. 154 Tahun 1991 tentang pelaksanaan Instruksi
Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.
Selanjutnya kompilasi ini disebarluaskan kepada semua Ketua Pengadilan
Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama melalui Surat Edaran Direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam tanggal 25 Juli 1991 No.
3694/EV/HK.003/A2/91. Dengan adanya berbagai landasan hukum dimaksud
kompilasi hukum Islam ini telah mempunyai tempat yang kokoh dalam
sistem hukum Indonesia.29
26
Mahkamah Agung RI, 1:33.
27
Mahkamah Agung RI, 1:hlm.33.
28
Mahkamah Agung RI, 1:hlm. 34.
29
Mahkamah Agung RI, 1:hlm.34.

13
D. Kodifikasi Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

Kodifikasi adalah pembukuan satu jenis hukum tertentu secara lengkap


dan sistematis dalam satu buku hukum.30 Kodifikasi hukum perkawinan islam
di Indonesia merupakan manifestasi dari perjalanan panjang lahirnya undang-
undang perkawinan di indonesia yang secara eksplisit dapat dipahami dari
sejarah lahirnya undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan
sejarah lahirnya KHI yang notabene merupakan bukti bahwa perjalanan ini
bukan tanpa hasil.

Kodifikasi hukum perkawinan Islam semakin dikukuhkan dengan


diberlakukannya KHI secara formal pada Juni 1991 sebagai hukum materiel
untuk diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama.

Seiring dengan perkembangan terjadi perubahan Undang-Undang No. 16


Tahun 2019 atas Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 khususnya pada pasal 7
ayat (1) penekanannya pada usia minimal keberlangsungan perkawinan, yang
mana semula ditetapkan batas usia untuk laki-laki 19 Tahun dan perempuan
16 tahun diubah menjadi 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan. Hal ini
dengan maksud membangun kualitas generasi Indonesia menuju masa depan
yang lebih unggul.31

Demikian dinamika kodifikasi hukum perkawinan Islam di Indonesia


sampai saat ini dan tidak menutup kemungkinan akan mengalami perubahan
lagi karena memang hakikatnya hukum ijtihadi itu bersifat dinamis.

E. Tujuan Perundang-Undangan Hukum Perkawinan Islam di


Indonesia

Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, guru besar Hukum Keluarga Islam UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta dan pengampu matakuliah Hukum Perkawinan
Islam di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
menjelaskan bahwa tujuan dari kelahiran sejumlah peraturan dan program
tersebut tentu dalam rangka mencapai apa yang tercantum dalam Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999, sebab GBHN inilah sebagai visi
pembangunan bangsa Indonesia. dimana visi pembangunan bangsa Indonesia
adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis,
30
Mahkamah Agung RI, 1:hlm. 1.
31
Yuni Harlina, “9786-35054-1-Pb,” Hukum Islam 20, no. 2 (2020): 219–38.

14
berkeadilan, berdaya saing maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat,
mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlaq mulia, cinta tanah air, berkesadaran
hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,
memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin. Keluarga sebagai unit
terkecil dalam masyarakat dan/atau bangsa, tentu menjadi penentu tercapai
atau tidaknya visi tersebut. Dengan demikian tidak berlebihan untuk
mengatakan bahwa keluarga menjadi barometer tercapai atau tidaknya tujuan
pembangunan Indonesia.32

Selain itu, Tujuan adanya perundang-undangan perkawinan diantaranya


yaitu unifikasi hukum perkawinan, peningkatan status wanita, respon
terhadap pembaruan hukum dan menyesuaikan perkembangan zaman.
Dengan adanya aturan tentang perkawinan diharapkan praktik tentang nikah
anak, poligami, dan hal-hal yang merendahkan posisi peremuan dalam
perkawinan dapat teratasi. Salah satu contohnya dengan adanya pasal tentang
poligami maka suami tidak dengan mudah melakukan poligami secara bebas
dan mudah, karena dalam undang-undang perkawinan terdapat syarat-syarat
yang harus dipenuhi suami yang akan dipoligami dan harus melalui izin dari
lembaga pengadilan, dengan begitu hak-hak perempuan dalam keluarga lebih
terlindungi.33

F. Penerapan Hukum Islam Dalam Hukum Positif Indonesia

Hukum positif disebut juga ius constitutum yang berarti kumpulan asas
dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat
secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau
pengadian dalam Negara Indonesia. Selanjutnya secara terperinci dijelaskan
oleh situs resmi Mahkamah agung Republik Indonesia. Hukum positif adalah
kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang ada pada saat ini sedang
berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau
melalui pemerintah atau pengadilan dalam Negara Indonesia.34

32
Rizqi Suprayogi, Reformasi Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Indonesia Journal of
Business Law, vol. 2, 2023, hlm. xi, https://doi.org/10.47709/ijbl.v2i1.1962.
33
Khiyaroh, “Alasan Dan Tujuan Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan,” hlm. 17-18.
34
Fitrah Humairah, Vivin Kadriani Matondang, and Fauziah Lubis, “Advokat Dalam
Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif,” As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling
Keluarga 5, no. 2 (2023): 412–20, https://doi.org/10.47467/as.v5i2.2684.

15
Dari pengertian hukum positif di atas bisa dipahami bahwa hukum Islam
termasuk yang berkaitan dengan perkawinan sudah diadopsi ke dalam hukum
positif Indonesia meskipun belum secara komprehensif dengan bukti yang
paling signifikan, adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI).

G. Latar Belakang Munculnya Counter Legal Draft (CLD) KHI

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, tonggak pembaruan hukum


keluarga Islam dalam sejarah hukum Indonesia, khususnya dari sisi materi
hukum, pertamakali ditandai dengan pengundangan hukum perkawinan (UU
Nomor 1 Tahun 1974) pada awal paruh rezim Orde Baru. Tujuh belas tahun
kemudian, pada paruh akhir rezim Orde Baru, disusun Kompilasi Hukum
Islam (KHI) melalui Inpres Nomor 1 Tahun 1991 sebagai “pedoman hukum”
keluarga Islam bagi hakim-hakim di Pengadilan Agama. KHI itulah yang
dianggap sebagai satu-satunya detil syariat Islam yang telah diakui negara,
dan menjadi rujukan utama untuk penyelesaian masalah hukum keluarga bagi
masyarakat Islam Indonesia. Lebih dari itu, kehadiran KHI di bumi Indonesia
juga diharapkan dapat menjadi jembatan penyeberangan dalam
meminimalisir perbantahan/khilafiyah dalam masalah sandaran hukum,
terutama mengenai perkara perkawinan dan kewarisan.

Sekitar dua belas tahun sejak KHI eksis di Indonesia, geliat untuk
merekonstruksi konten KHI sekaligus meningkatkan derajatnya menjadi
undang-undang begitu deras. Bahkan, Departemen Agama RI –sekarang
Kementerian Agama– pasca kejatuhan rezim Orde Baru, berupaya memenuhi
amanat UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas) Tahun 2000-2004, dengan menyerahkan Rancangan Undang-
Undang Hukum Terapan Peradilan Agama (RUU HTPA), (Badan Pengkajian
dan Pengembangan Hukum Islam (BPPHI), Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama (Ditbinbapera), Departemen Agama RI, 2002) kepada DPR
untuk menyempurnakan KHI. Pada saat yang sama, Menteri Agama RI
melalui Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender dalam Pembangunan Nasional, membentuk Pokja PUG Depag RI.
Pokja ini selanjutnya merespon kehadiran RUU HTPA dengan meluncurkan
naskah tandingan rumusan hukum Islam yang disebut Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI).35
35
A Khair, “Telaah Kritis Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Reorientasi Fikih
Hukum Keluarga Islam Indonesia),” Al-Risalah: Jurnal Hukum Keluarga Islam 1, no. 1 (2016):
hlm. 21, https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/2945271.

16
Secara harfiah, Counter berarti banding, tandingan. Legal berarti menurut
undang-undang/hukum yang sah. dan kata Draft berarti naskah isi, konsep.
Jadi, Counter Legal Draft adalah konsep tandingan atau produk antitesa
terhadap eksistensi Kompilasi Hukum Islam yang telah diyakini dan
diamalkan oleh masyarakat Islam di Indonesia. Menurut Huzaimah Tohido
Yanggo, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) adalah
KHI tandingan yang ditulis dan dirumuskan oleh tim pengarusutamaan
gender Departemen Agama RI yang mendapat dukungan dana dari Asia
Foundation, bertentangan dengan al-Quran dan Hadis, serta sumber-sumber
hukum Islam yang lainnya yang mu’tabarah dari hasil ijtihad ulama mujtahid
yang ahli dalam bidangnya yang belum diatur dalam al-Quran dan hadis.
Disamping itu, bahwa Counter Legal Draft (CLD-KHI) pada hakekatnya
merupakan upaya pembaharuan yang di inspirasikan oleh liberalisme yaitu
pemikiran yang berasal dari barat yang pada kenyataannya ini sama sekali
tidak mempunyai akar sejarah dengan adat dan tradisi yang ada di
Indonesia.36

Tim CLD-KHI dalam naskah tandingannya itu menawarkan


pemikiran-pemikiran baru di bidang perkawinan, kewarisan dan perwakafan.
Yang menarik adalah terdapat pasal-pasal dalam CLD-KHI yang cenderung
membongkar pemahaman fikih umat Islam di Indonesia yang telah lama
dianut dari produk fikih yang mu’tabarah. Alhasil, naskah baru hukum
keluarga Islam tawaran Tim CLD-KHI menuai kritik, apresiasi dan
kontroversi publik saat itu. Mantan menteri agama (Maftuh Basyuni)
sesungguhnya telah pernah membekukan draft tersebut. Kendati demikian,
modernisasi dalam bidang hukum keluarga di Indonesia memang akan tetap
niscaya.37

Perbedaan mendasar antara nalar CLD-KHI dengan KHI terletak pada


perspektif dan pendekatan yang digunakan serta lanskap yuridis
pembentukan hukum yang dijadikan pijakan. Tim CLD-KHI secara terang-
terangan dalam naskah akademiknya menyebutkan bahwa perspektif atau
nilai dasar yang menjadi rujukan pembentukan CLD-KHI mengangkat enam
visi hukum Islam, yaitu pluralisme, nasionalitas, penegakan HAM,

36
“COUNTER LEGAL DRAFT KOMPILASI HUKUM ISLAM Efizal A 1,” no. 3 (2006).
37
Khair, “Telaah Kritis Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Reorientasi Fikih Hukum
Keluarga Islam Indonesia),” hlm. 27.

17
demokratis, kemaslahatan, dan kesetaraan gender.38 Menurut Tim tersebut,
pendekatan ini selain akan mengantarkan syariat Islam menjadi hukum
publik yang dapat diterima oleh semua kalangan, juga akan kompatibel
dengan kehidupan demokrasi modern.39

Berikut petikan beberapa agenda pembaharuan dalam naskah CLD-


KHI di bidang perkawinan:40

No Tema Produk KHI Rumusan CLD- KHI


1 Kesaksian Perempuan Sebagaimana laki-laki
perempuan tidak boleh perempuan boleh menjadi
dalamperkawinan menjadi saksi saksi (Pasal 11)
(Pasal25)
2 Kedudukan suami Suami adalah Kedudukan, hak dan
istri kepala kewajiban suami istri
keluarga dan adalah setara (Pasal 49)
istri adalah ibu
rumah tangga
(Pasal 79)
3 Mahar Diberikan Mahar bisa diberikan oleh
calon suami calon istri kepada calon
kepada calon suami atau sebaliknya
istri (Pasal 30)
(Pasal 16)
4 Perjanjian masa Tidak diatur Diatur, sehingga
perkawinan perkawinan dinyatakan
putus bersamaan dengan
berakhirnya masa
perkawinan yang telah
disepakati (Pasal 22, 28,
dan 56 poin a)
5 ‘Iddah (masa ‘Iddah hanya ‘Iddah berlaku bagi suami
tunggu, masa untuk istri istri (Pasal 88 dan 89)
transisi) (Pasal 153)
6 Kawin beda agama Mutlak tidak Boleh, selama dalam batas
boleh (Pasal mencapai tujuan
44 dan 61) perkawinan (Pasal 54)

38
N A Pramesi, “Implementasi Maqasid Syari’ah Dalam Gagasan Pembaharuan Undang-
Undang Perkawinan Indonesia Yang Berkeadilan Gender (Studi Terhadap Counter Legal …,”
2021, hln. 3-4, https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/30584.
39
Khair, “Telaah Kritis Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Reorientasi Fikih Hukum
Keluarga Islam Indonesia),” hlm. 27.
40
Khair, hlm. 29.

18
H. Latar Belakang Munculnya RUU HMPA Bidang Perkawinan

Latar belakang munculnya rancangan undang-undnag hukum materiel


peradilan agama (RUU HMPA) erat kaitannya dengan kaum feminis yang
terus menyuarakan isu kesetaraan gender. Mereka merasa pembaruan hukum
keluarga harus terus dilakukan dengan asumsi bahwa pemberlakukannya
masih menimbulkan diskriminasi terhadap pihak tertentu khususnya
perempuan dan anak. Tahun 2008 yang lalu pemerintah sebagai penggagas
telah mengusulkan RUU tentang Hukum Materiel Peradilan Agama bidang
Perkawinan dan baru dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) Tahun 2010. Perubahan yang dianggap sangat ketara dari aturan
hukum sebelumnya adalah adanya hukuman denda pada pelanggaran tentang
aturan hukum perkawinan yang tertulis dalam RUU ini. Beberapa hal yang
diatur diantaranya pasal 143 menyatakan bahwa setiap orang yang menikah
tidak dihadapan PPN di kenakan denda Rp.6.000.000 atau kurungan 6 bulan.
Selain itu, di pasal 145 menyatakan bahwa poligami tanpa ijin isteri terdahulu
dikenakan denda Rp.6.000.000 atau kurungan 6 bulan. Juga pasal 146 yang
menyatakan bahwa setiap orang yang mencerikan isterinya tidak di depan
Pengadilan dikenakan denda Rp.6.000.000 atau kurungan 6 bulan. Meski
RUU ini menuai polemik dari banyak kalangan karena dianggap negara
terlalu menerobos batas syari’ah Islam dan hukum formal, namun demi
kepastian hukum RUU ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas).41

RUU HMPA (Rancangan Undang-undang Hukum Materiel Peradilan


Agama) menjadi salah satu solusi dan alternative yang di tawarkan untuk
mereformulasi Undang-undang No. 1 tahun 1974. RUU ini memuat aturan-
aturan yang relatif lebih maju dengan menyajikan rumusan pemidanaan pada
beberapa pasal berkaitan dengan pencatatan nikah, poligami, dan nikah siri.
Namun, kecenderungan RUU HMPA tersebut sebagai sebuah jawaban atas
problematika hukum perkawinan di Indonesia masih bersifat administratif
dan belum memiliki rajutan yang kuat dengan peluang realisasinya secara
nyata di lapangan.42
41
M. Rasyid Ridlo Zeni Lutfiyah, Agus Rianto, “Perkawinan Siri Dalam Reformulasi Hukum
Perkawinan Islam Di Indonesia Sebagai Upaya Preventif Terhadap Disharmoni Sosial Dalam
Masyarakat (Perspektif Gender Dan Hak Asasi Manusia)” 4, no. 1 (2015): hlm.175.
42
Zeni Lutfiyah, Agus Rianto, hlm. 176.

19
I. Metode Pembaruan Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia

Pembaruan pemikiran hukum Islam termasuk mengenai perkawinan pada


masa kontemporer, umumnya berbentuk tawaran-tawaran metodologi baru
yang berbeda dengan metodologi klasik. Paradigma yang digunakan lebih
cenderung menekankan wahyu dari sisi konteksnya. Hubungan antara teks
wahyu dengan perubahan sosial tidak hanya disusun dan dipahami melalui
interpretasi literal tetapi melalui interpretasi terhadap pesan universal yang
dikandung oleh teks wahyu. Ada dua konsep dalam pembaruan, yakni; (1)
konsep konvensional, dan (2) konsep kontemporer yang muncul dalam
melakukan pembaruan hukum keluarga Islam kontemporer dalam bentuk
kodifikasi.43

Penerapan metode konvensional, para ulama terlihat dalam berijtihad dan


menerapkan pandangan hukumnya dengan mencatat ayat al Quran dan
Sunnah. Para ahli menetapkan, ada beberapa ciri has atau karasteristik
metode penetapan hukum Islam (fiqh) yaitu; menggunakan pendekatan
parsial, kurang memberikan perhatian terhadap sejarah, terlalu menekankan
pada kajian teks/harfiah, metodologi fiqh seolah-olah terpisah dengan
metodologi tafsir, terlalu banyak dipengaruhi budaya-budaya dan tradisi-
tradisi setempat, dan dalam beberapa kasus di dalamnya meresap praktek-
praktek tahayul, bid’ah dan kufarat, khususnya yang berkaitan dengan
ibadah. Masuknya unsur politik di dalamnya atau pengaruh kepentingan
penguasa dalam menerapkan teori-teori fiqh.44

Sedangkan metode kontemporer pada prinsipnya metode pembaruan yang


digunakan dalam melakukan kodifikasi hukum keluarga Islam kontemporer
di Indonesia yaitu:45

1) Takhayyur yaitu memilih pandangan salah satu ulama fiqh, termasuk


ulama di luar madzhab, takhayyur secara substansial disebut tarjih.

43
Al Fitri, “Pembaruan Hukum Keluarga Di Indonesia Melalui Kompilasi Hukum Islam,”
Kampus 1, no. 2 (2020): hlm. 3, https://www.mendeley.com/catalogue/fdd7288b-914e-
3485-a75c-c8a0a53999b8/?
utm_source=desktop&utm_medium=1.19.8&utm_campaign=open_catalog&userDocument
Id=%7B82eec3a6-1471-4252-9ae7-20af050eb9a6%7D.
44
Al Fitri, hlm. 4.
45
Al Fitri, hlm. 4.

20
2) Talfiq, yaitu mengkombinasikan sejumlah pendapat ulama (dua atau lebih)
dalam menetapkan hukum satu masalah.

3) Takhshish al-qadla, yaitu hak negara menbatasi kewenangan peradilan


baik dari segi orang, wilayah, yuridiksi dan hukum acara yang ditetapkan.

4) Siyasah syar’iyah yaitu kebijakan penguasa menerapkan peraturan yang


bermanfaat bagi rakyat dan tidak bertentangan dengan syari’ah, reinterpretasi
Nash terhadap Nash (al Quran dan Sunnah).

Adapun sifat dan metode reformasi yang digunakan di negara-negara


Muslim modern (termasuk Indonesia) dalam melakukan pembaruan hukum
keluarga Islam dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:46

1) Intra doctrinal reform tetap merujuk pada konsep fiqh konvensional


dengan cara; tahyir (memilih pandangan salah satu ulama fiqh, termasuk
ulama diluar madzhab), dapat pula disebut tarjih, dan talfiq,
(mengkombinasikan sejumlah pendapat).

2) Extra doctrinal reform pada prinsipnya tidak lagi merujuk pada konsep
fiqh konvensional tapi merujuk pada Nash al Quran dan Sunnah dengan
melakukan penafsitran ulang terhadap Nash (reinterpretasi).

Demikianlah diskursus mengenai metodologi pembaruan hukum


Islam, temasuk hukum perkawinan di Indonesia yang menjadi asumsi
akademisi saat ini.

J. Perkawinan Dalam Komparasi UU Nomor 1 Tahun 197447, KHI48,


CLD-KHI49 dan RUU HMPA

46
Al Fitri, hlm. 4.
47
Dengan Rakhmat et al., “UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” 1974, 1–15.
48
Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan Dengan
Kompilasi Hukum Islam Serta Pengertian Dalam Pembahasannya.
49
Aida Nurul Fatma, “Konsep Saksi Menurut Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam
Dalam Perspektif Maslahah,” 2022.

21
RUU
Komparasi UU No. 1 Tahun 1974 KHI CLD KHI
HMPA
Pengertian Perkawinan ialah Perkawinan menurut Bukan ibadah
ikatan lahir bathin hukun Islam adalah tetapi muamalah
antara seorang pria pernikahan, yaitu (pasal 2)
dengan seorang akad yang sangat
wanita sebagai suami kuat atau mitssaqan
isteri dengan tujuan ghalidzan untuk
membentuk keluarga mentaati perintah
(rumah tangga) yang Allah dan
bahagia dan kekal melaksanakannya
berdasarkan merupakan ibadah.
Ketuhanan Yang
Mahaesa.
Tujuan - Perkawinan
bertujuan untuk
mewujudkan
kehidupan rumah
tangga yang sakinah,
mawaddah, dan
rahmah.
Keabsahan Perkawinan adalah Perkawinan adalah Perkawinan
sah, apabila dilakukan sah, apabila adalah sah,
menurut hukum dilakukan menurut apabila melalui
masing- masing hukum Islam sesuai pencatatan
agamanya dan dengan pasal 2 ayat nikah. Adapun
kepercayaannya itu. (1) Undang-undang wali tidak
No. 1 Tahun 1974 menjadi rukun
tentang Perkawinan. dalam
keabsahannya

K. Komparasi Khusus Antara UU Nomor 1 Tahun 197450 dan KHI51

Komparasi No. 1 Tahun 1974 KHI


Usia Pasal 6 Pasal 15
Mempelai (1) Perkawinan harus (1) Untuk kemaslahatan keluarga
50
Rakhmat et al., “UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.”
51
Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan Dengan
Kompilasi Hukum Islam Serta Pengertian Dalam Pembahasannya.

22
didasarkan atas dan rumah tangga, perkawinan
persetujuan kedua calon hanya boleh dilakukan calon
mempelai. mempelai yang telah mencapai
(2) Untuk umur yang ditetapkan dalam
melangsungkan pasal 7 Undang-undang No.l
perkawinan seorang tahun 1974 yakni calon suami
yang belum mencapai sekurang-kurangnya berumur 19
umur 21 (duapuluh satu) tahun dan calon isteri sekurang-
tahun harus mendapat kurangnya berumur 16 tahun.
izin kedua orang tua. (2) Bagi calon mempelai yang
Pasal 7 belum mencapai umur 21 tahun
(1) Perkawinan hanya harus mendapati izin
diizinkan jika pihak pria sebagaimana yang diatur dalam
sudah mencapai umur pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5)
19 (sembilan belas) UU No.l Tahun 1974.
tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur
16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal
penyimpangan terhadap
ayat (1) pasal ini dapat
meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau
Pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria
maupun pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan
mengenai keadaan salah
seorang atau kedua
orang tua tersebut dalam
Pasal 6 ayat (3) dan (4)
Undang-undang ini,
berlaku juga dalam hal
permintaan dispensasi
tersebut ayat (2) pasal
ini dengan tidak
mengurangi yang
dimaksud dalam Pasal 6
ayat (6).
Wali - Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan
merupakan rukun yang harus

23
dipenuhi bagi calon mempelai
wanita yang bertindak untuk
menikahkannya
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali
nikah ialah seorang laki-laki
yang memenuhi syarat hukum
Islam yakni muslim, aqil dan
baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari: a.
Wali nasab; b. Wali hakim.
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat
kelompok dalam urutan
kedudukan, kelompok yang satu
didahulukan dan kelompok yang
lain sesuai erat tidaknya susunan
kekerabatan dengan calon
mempelai wanita. Pertama,
kelompok kerabat laki-laki garis
lurus keatas yakni ayah, kakek
dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat
saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah, dan
keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat
paman, yakni saudara laki-laki
kandung ayah, saudara seayah
dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara
laki-laki kandung kakek, saudara
laki-laki seayah dan keturunan
laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok
wali nikah terdapat beberapa
orang yang sama-sama berhak
menjadi wali, maka yang paling
berhak menjadi wali ialah yang
lebih dekat derajat
kekerabatannya dengan calon
mempelai wanita.
(3) Ababila dalam satu kelompok

24
sama derajat kekerabatan maka
yang paling berhak menjadi wali
nikah ialah karabat kandung dari
kerabat yang seayah.
(4) Apabila dalam satu
kelompok, derajat
kekerabatannya sama yakni
sama-sama derajat kandung atau
sama-sama dengan kerabat
seayah, mereka sama-sama
berhak menjadi wali nikah,
dengan mengutamakan yang
lebih tua dan memenuhi syarat-
syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling
berhak, urutannya tidak
memenuhi syarat sebagai wali
nikah atau oleh karena wali
nikah itu menderita tuna wicara,
tuna rungu atau sudah udzur,
maka hak menjadi wali bergeser
kepada wali nikah yang lain
menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah
apabila wali nasab tidak ada atau
tidak mungkin menghadirkannya
atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau gaib atau adlal
atau enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau
enggan maka wali hakim baru
dapat bertindak sebagai wali
nikah setelah ada putusan
pengadilan Agama tentang wali
tersebut.
Saksi - Pasal 24
(1) Saksi dalam perkawinan
merupakan rukun pelaksanaan
akad nikah.
(2) Setiap perkawinan harus

25
disaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi
saksi dalam akad nikah ialah
seorang laki-laki muslim, adil,
aqil baligh, tidak terganggu
ingatan dan tidak tuna rungu atau
tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan
menyaksikan secara langsung
akad nikah serta menandatangani
Akta Nikah pada waktu dan
ditempat akad nikah
dilangsungkan.
Mahar - Pasal 30
Calon mempelai pria wajib
membayar mahar kepada calon
mempelai wanita yang jumlah,
bentuk dan jenisnya disepakati
oleh kedua belah pihak.
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan
atas kesederhanaan dan
kemudahan yang dianjurkan oleh
ajaran Islam.
Pasal 32
Mahar diberikan langsung
kepada calon mempelai wanita
dan sejak itu menjadi hak
pribadinya.
Pasal 33
(1) Penyerahan mahar dilakukan
dengan tunai.
(2) Apabila calon mempelai
wanita menyetujui, penyerahan
mahar boleh ditangguhkan baik
untuk seluruhnya atau sebagian.
Mahar yang belum ditunaikan
penyerahannya menjadi hutang
calon mempelai pria.
Pasal 34
(1) Kewajiban menyerahkan

26
mahar-mahar bukan merupakan
rukun dalam perkawinan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan
jumlah mahar pada waktu akad
nikah, tidak menyebabkan
batalnya perkawinan. Begitu
pula halnya dalam keadaan
mahar masih terhutang, tidak
mengurangi sahnya perkawinan.
Pasal 35
(1) Suami yang mentalak
isterinya qobla al dukhul wajib
membayar setengah mahar yang
telah ditentukan dalam akad
nikah.
(2) Apabila suami meninggal
dunia qobla al dukhul tetapi
besarnya mahar belum
ditetapkan, maka suami wajib
membayar mahar mitsil.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum
diserahkan, mahar itu dapat
diganti
dengan barang lain yang sama
bentuk dan jenisnya atau dengan
barang lain yang sama nilainya
atau dengan uang yang senilai
dengan harga barang mahar yang
hilang.
Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat
mengenai jenis dan nilai mahar
yang ditetapkan, penyelesaian
diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
(1) Apabila mahar yang
diserahkan mengandung cacat
atau kurang, tetapi calon
mempelai tetap bersedia
menerimanya tanpa syarat,
penyerahan mahal dianggap
lunas.

27
(2) Apabila isteri menolak untuk
menerima mahar karena cacat,
suami harus menggantinya
dengan mahar lain yang tidak
cacat. Selama Penggantinya
belum diserahkan, mahar
dianggap masih belum dibayar.
Pencatatan Pasal 2 Pasal 5
Pernikahan (2) Tiap-tiap (1) Agar terjamin ketertiban
perkawinan dicatat perkawinan bagi masyarakat
menurut peraturan Islam setiap perkawinan harus
perundang-undangan dicatat.
yang berlaku. (2) Pencatatan perkawinan
tersebut apada ayat (1),
dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang No.22
Tahun 1946 jo Undang-undang
No. 32 Tahun 1954.
Hak dan Pasal 30 Pasal 77
Kewajiban Suami isteri memikul (1) Suami isteri memikul
Suami Isteri kewajiban yang luhur kewjiban yang luhur untuk
untuk menegakkan menegakkan rumah tangga yang
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah
menjadi sendi dasar dari yang menjadi sendi dasar dan
susunan masyarakat. susunan masyarakat.
Pasal 31 (2) Suami isteri wajib saling
(1) Hak dan kedudukan cinta mencintai, hormat
isteri adalah seimbang menghormati, setia dan memberi
dengan hak dan bantuan lahir bathin yang satu
kedudukan suami dalam kepada yang lain;
kehidupan rumah tangga (3) Suami isteri memikul
dan pergaulan hidup kewajiban untuk mengasuh dan
bersama dalam memelihara anak-anak mereka,
masyarakat. baik mengenai pertumbuhan
(2) Masing-masing jasmani, rohani maupun
pihak berhak untuk kecerdasannya dan pendidikan
melakukan perbuatan agamanya;
hukum. (4) suami isteri wajib
(3) Suami adalah kepala memelihara kehormatannya;
keluarga dan isteri ibu (5) jika suami atau isteri
rumah tangga. melalaikan kewajibannya
Pasal 32 masing-masing dapat

28
(1) Suami isteri harus mengajukan gugatan kepada
mempunyai tempat Pengadilan Agama
kediaman yang tetap. Pasal 78
(2) Rumah tempat (1) Suami isteri harus
kediaman yang mempunyai tempat kediaman
dimaksud dalam ayat (1) yang tetap.
pasal ini ditentukan oleh (2) Rumah kediaman yang
suami isteri bersama. dimaksud dalam ayat (1),
Pasal 33 ditentulan oleh suami isteri
Suami isteri wajib saling bersama.
cinta-mencintai hormat- Pasal 79
menghormati, setia dan (1) Suami adalah kepala keluarga
memberi bantuan lahir dan isteri ibu rumah tangga.
bathin yang satu kepada (2) Hak dan kedudukan isteri
yang lain. adalah seimbang dengan hak dan
Pasal 34 kedudukan suami dalam
(1) Suami wajib kehidupan rumah tangga dan
melindungi isterinya pergaulan hidup bersama dalam
dan memberikan segala masyarakat.
sesuatu keperluan hidup (3) Masing-masing pihak berhak
berumah tangga sesuai untuk melakukan perbuatan
dengan kemampuannya. hukum. Bagian Ketiga
(2) Isteri wajib Kewajiban Suami
mengatur urusan rumah- Pasal 80
tangga sebaik-baiknya (1) Suami adalah pembimbing,
(3) Jika suami atau isteri terhadap isteri dan rumah
melalaikan tangganya, akan tetap mengenai
kewajibannya masing- hal-hal urusan rumah tangga
masing dapat yang penting-penting diputuskan
mengajukan gugutan oleh suami isteri bersama.
kepada Pengadilan. (2) Suami wajib melindungi
isterinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
(3) Suami wajib memberikan
pendidikan agama kepada
isterinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan
yang berguna dan bermanfaat
bagi agama, nusa dan bangsa.
(4) Sesuai dengan
penghasilannya suami

29
menanggung : a. nafkah, kiswah
dan tempat kediaman bagi isteri;
b. biaya ramah tangga, biaya
perawatan dan biaya pengobatan
bagi isteri dan anak;
c. biaya pendididkan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap
isterinya seperti tersebut pada
ayat (4) huruf a dan b di atas
mulai berlaku sesudah ada
tamkin sempurna dari isterinya.
(6) Isteri dapat membebaskan
suaminya dari kewajiban
terhadap dirinya sebagaimana
tersebut pada ayat (4) huruf a
dan b.
(7) Kewajiban suami
sebagaimana dimaksud ayat (5)
gugur apabila isteri nusyuz.
Pasal 81
(1) Suami wajib menyediakan
tempat kediaman bagi isteri dan
anak- anaknya atau bekas isteri
yang masih dalam iddah.
(2) Tempat kediaman adalah
tempat tinggal yang layak untuk
isteri selama dalam ikatan
perkawinan, atau dalam iddah
talak atau iddah wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan
untuk melindungi isteri dan
anak-anaknya dari gangguan
pihak lain, sehingga mereka
merasa aman dan tenteram.
Tempat kediaman juga berfungsi
sebagai tempat menyimpan harta
kekayaan, sebagai tempat menata
dan mengatur alat-alat ramah
tangga.
(4) Suami wajib melengkapi
tempat kediaman sesuai dengan
kemampuannya serta disesuaikan
dengan keadaan lingkungan

30
tempat tinggalnya, baik berapa
alat perlengkapan ramah tangga
maupun sarana penunjang
lainnya.
Pasal 82
(1) Suami yang mempunyai isteri
lebih dari seorang berkewajiban
memberikan tempat tinggal dan
biaya hidup kepada masing-
masing isteri secara berimbang
menurut besar kecilnya jumlah
keluarga yang ditanggung
masing-masing isteri, kecuali
jika ada perjanjian perkawinan.
(2) Dalam hal para isteri rela dan
ikhlas, suami dapat
menempatkan isterinya dalam
satu tempat kediaman.
Pasal 83
(1) Kewajiban utama bagi
seorang isteri ialah berbakti lahir
dan batin kepada suami di dalam
yang dibenarkan oleh hukum
islam.
(2) Isteri menyelenggarakan dan
mengatur keperluan rumah
tangga sehari- hari dengan
sebaik-baiknya.
Pasal 84
(1) Isteri dapat dianggap nusyuz
jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam
pasal 83 ayat (1) kecuali dengan
alasan yang sah.
(2) Selama isteri dalam nusyuz,
kewajiban suami terhadap
isterinya tersebut pada pasal 80
ayat (4) huruf a dan b tidak
berlaku kecuali hal- hal untuk
kepentingan anaknya.
(3) Kewajiban suami tersebut
pada ayat (2) di atas berlaku

31
kembali sesudah isteri nusyuz.
(4) Ketentuan tentang ada atau
tidak adanya nusyuz dari isteri
harus didasarkan atas bukti yang
sah.

BAB III

Penutup

A. Kesimpulan

Hukum Perkawinan di Indonesia bukan hanya membahas tentang saat


berlangsungnya akad nikah saja, namun juga membahas pra-akad dan pasca
akad serta konsekuensi-konsekuensinya. Selain itu juga dibahas mengenai
dinamika perkembangan hukum perkawinan di Indonesia, yang awalnya
masih mengadopsi hukum Belanda sampai akhirnya berdaulat dalam hukum
terkait dengan lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974.

Setelah itu, terlihat bagaimana cendikiawan muslim memperjuangkan


agar umat Islam mempunyai rujukan khusus dalam ranah hukum materiel

32
yang dapat mempersatukan segenap warga muslim Indonesia, hingga lahirlah
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Semangat para cendikiawan ini juga
mendapat respon dari banyak kalangan, terutama para pegiat kesetaraan
gender (feminis) yang memang sudah aktif sejak zaman pra-kemerdekaan.
Mereka mengkritisi beberapa poin hukum yang dianggap diskriminatif dan
terus menyuarakannya agar segera dilakukan pembaruan hukum. Pergerakan
mereka akhirnya melahirkan Counter Legal Draft (CLD) KHI yang secara
ekplisit ditujukan sebagai antitesa dari KHI. Usulan Rancangan Undang-
undang Hukum Materiel pun juga sangat dipengaruhi oleh konsep kesetaraan
gender yang mereka suarakan.

Hukum Perkawinan di Indonesia masih bersifat dinamis, kapanpun bisa


berubah, sebab kaum feminisme, liberalisme, sekulerisme dan yang senada
dengan mereka tidak pernah berhenti untuk menyuarakan dan memasarkan
ide-idenya. Ditambah, semakin maraknya narasi pembaruan dan
metodologinya. Hal ini tentu merupakan sebuah PR dan tantangan bagi
cendekiawan muslim fundamentalis untuk mempertahankan gagasan-
gagasannya dalam Hukum Perkawinan di Indonesia.

B. Saran-saran

Saran bagi mahasiswa untuk membaca makalah ini dengan saksama agar
mendapatkan gambaran universal mengenai Hukum perkawinan di Indonesia
serta memperdalamnya dengan merujuk ke sumber bacaan lain yang lebih
luas. Bagi para akademisi ahli di bidang terkait, disarankan untuk membuat
membuat buku khusus tentang Hukum Perkawinan di Indonesia yang
komprehensif, parsial dan mendalam agar memudahkan akademisi pemula
dalam mengakses materi ini. Terakhir, besar harapan kepada para
cendikiawan muslim fundamentalis agar terus mempertahankan prinsip dan
pemikirannya baik melalui jalur narasi, politik teoretis maupun melalui jalur
politik praktis, dari serangan pemikiran feminis terutama yang ekstrimis.

Daftar Pustaka
“COUNTER LEGAL DRAFT KOMPILASI HUKUM ISLAM Efizal A 1,” no. 3
(2006).
Fatma, Aida Nurul. “Konsep Saksi Menurut Counter Legal Draft Kompilasi Hukum
Islam Dalam Perspektif Maslahah,” 2022.
Fitri, Al. “Pembaruan Hukum Keluarga Di Indonesia Melalui Kompilasi Hukum
Islam.” Kampus 1, no. 2 (2020): 1–21.
https://www.mendeley.com/catalogue/fdd7288b-914e-3485-a75c-
c8a0a53999b8/?
utm_source=desktop&utm_medium=1.19.8&utm_campaign=open_catalog&us
erDocumentId=%7B82eec3a6-1471-4252-9ae7-20af050eb9a6%7D.
Harlina, Yuni. “9786-35054-1-Pb.” Hukum Islam 20, no. 2 (2020): 219–38.

33
Humairah, Fitrah, Vivin Kadriani Matondang, and Fauziah Lubis. “Advokat Dalam
Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif.” As-Syar’i: Jurnal Bimbingan &
Konseling Keluarga 5, no. 2 (2023): 412–20.
https://doi.org/10.47467/as.v5i2.2684.
IMAM MUSTOFA, S.HI., M.SI. POLITIK HUKUM ISLAM DI INDONESIA ;
PERGULATAN POLITIK DI BALIK LAHIRNYA UNDANG-UNDANG
PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. Edited by
Alwi. STAIN JURAI SIWO METRO Bekerjasama dengan CV. DVIFA
Percetakan & Penerbit, 2015.
Khair, A. “Telaah Kritis Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Reorientasi
Fikih Hukum Keluarga Islam Indonesia).” Al-Risalah: Jurnal Hukum
Keluarga Islam 1, no. 1 (2016): 21–37.
https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/2945271.
Khiyaroh. “Alasan Dan Tujuan Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.” Al-Qadha 7, no. 1 (2020): 1–15.
https://doi.org/10.32505/qadha.v7i1.1817.
Mahkamah Agung RI. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan
Dengan Kompilasi Hukum Islam Serta Pengertian Dalam Pembahasannya.
Perpustakaan Nasional RI : Data Katalog Dalam Terbitan. Vol. 1, 2011.
Mahkamah Konstitusi. “Anotasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mhakamah
Konstitusi.” Mahkamah Konstitusi Republik Iindonesia, 2018, 1–33.
Pramesi, N A. “Implementasi Maqasid Syari’ah Dalam Gagasan Pembaharuan
Undang-Undang Perkawinan Indonesia Yang Berkeadilan Gender (Studi
Terhadap Counter Legal …,” 2021.
https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/30584.
Rakhmat, Dengan, Tuhan Yang, Maha Esa, and Presiden Republik Indonesia. “UU
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” 1974, 1–15.
Sulaiman, Abdullah. “Penghantar Ilmu Hukum.” UIN Jakarta Bersama Yayasan
Pendidikan Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (YPPSDM Jakarta,
2019, 294.
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/57878/1/PROF
ABDULLAH Buku Pengantar Ilmu Hukum.pdf.
Suprayogi, Rizqi. Reformasi Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Indonesia
Journal of Business Law. Vol. 2, 2023. https://doi.org/10.47709/ijbl.v2i1.1962.
Zeni Lutfiyah, Agus Rianto, M. Rasyid Ridlo. “Perkawinan Siri Dalam Reformulasi
Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Sebagai Upaya Preventif Terhadap
Disharmoni Sosial Dalam Masyarakat (Perspektif Gender Dan Hak Asasi
Manusia)” 4, no. 1 (2015): 1–27.

34

Anda mungkin juga menyukai