Dosen Pengampu:
Abdul Hakim, S.H., M.A.
Disusun Oleh:
Syaiful Hukama (NIM: 21210216)
Ahmad Najib Mubarok (NIM: 21210201)
1
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
2
BAB II
Pembahasan
1
Abdullah Sulaiman, “Penghantar Ilmu Hukum,” UIN Jakarta Bersama Yayasan Pendidikan
Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (YPPSDM Jakarta, 2019, hlm. 14-15,
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/57878/1/PROF ABDULLAH
Buku Pengantar Ilmu Hukum.pdf.
2
Mahkamah Konstitusi, “Anotasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mhakamah
Konstitusi,” Mahkamah Konstitusi Republik Iindonesia, 2018, hlm. 1.
3
Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan Dengan
Kompilasi Hukum Islam Serta Pengertian Dalam Pembahasannya, Perpustakaan Nasional
RI : Data Katalog Dalam Terbitan, vol. 1, 2011, hlm. 64.
3
berkaitan dengan bagaimana membentuk ikatan lahir bathin yang kuat antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri yang notabene
merupakan bagian kecil dari masyarakat Indonesia dengan harapan dapat
berkontribusi dalam ketertiban dan keharmonisan masyarakat indonesia
dalam sekala besar.
4
Khiyaroh, “Alasan Dan Tujuan Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan,” Al-Qadha 7, no. 1 (2020): hlm. 4, https://doi.org/10.32505/qadha.v7i1.1817.
5
M.SI IMAM MUSTOFA, S.HI., POLITIK HUKUM ISLAM DI INDONESIA ; PERGULATAN POLITIK
DI BALIK LAHIRNYA UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN, ed. Alwi (STAIN JURAI SIWO METRO Bekerjasama dengan CV. DVIFA
Percetakan & Penerbit, 2015), hlm. 66-67.
4
3. Meskipun bagi orang-orang Arab dan Timur Asing lainnya telah ada
ordonansi 9 Desember 1924 (S 1924-556) yang berlaku 1 Maret 1925. Pada
dasarnya yang berlaku bagi mereka adalah BW selain Buku I Bab II dan
Buku I Bab IV –Bab XIV yang meliputi hukum perkawinan dan
kekeluargaan.
6
Khiyaroh, “Alasan Dan Tujuan Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan,” hlm. 6.
5
di seluruh Indonesia pada tahun 1954 dengan diundangkannya UU No. 32
tahun 1954.7
7
IMAM MUSTOFA, S.HI., POLITIK HUKUM ISLAM DI INDONESIA ; PERGULATAN POLITIK DI
BALIK LAHIRNYA UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN, hlm. 77.
8
IMAM MUSTOFA, S.HI., hlm. 76.
9
Khiyaroh, “Alasan Dan Tujuan Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan,” hlm. 9.
10
IMAM MUSTOFA, S.HI., POLITIK HUKUM ISLAM DI INDONESIA ; PERGULATAN POLITIK DI
BALIK LAHIRNYA UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN, hlm. 78.
11
IMAM MUSTOFA, S.HI., hlm. 79.
6
Isi dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak melarang adanya
poligami, tetapi membolehkan dengan syarat yang memberatkan adanya
suatu poligami. Dan yang terpenting dari adanya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 adalah bahwa perkawinan di Indonesia itu berasaskan
monogami. Hak-hak dan kewajiban antara suami dan istri juga diatur
sedemikian rupa sehingga tidak menjatuhkan kedudukan perempuan dalam
perkawinan.12
7
PERWARI menyampaikan pendapat kepada pemerintah dalam masalah
poligami bagi pejabat-pejabat. Saat ulang tahun yang ke 17 Perwari pada
tangga 17 Desember 1962 membuat pernyataan yang isinya mendesak
lembaga pemerintah supaya segera diundangkan Undang-Undang
perkawinan tersebut dengan tujuan adanya kesejahteraan keluarga. Tuntutan
ini terus dibawa oleh perwari hingga tahun 1965 dengan terus bergerak aktif
dan dibantu oleh organisasi lain. Tahun 1966 Soekarno jatuh dan digantikan
oleh Soeharto. Pada masa pemerintahanya Soeharto memperbaiki sistem
yang kacau pada masa orde lama. Masa orde baru pergerakan organisasi
perempuan dan yang bersifat agama diberi ruang leluasa.13
8
tertentu yang diambil dari berbagai bahan tertulis. Pengumpulan bahan dari
berbagai sumber yang dibuat oleh beberapa penulis yang berbeda untuk
ditulis dalam suatu buku tertentu, sehingga dengan kegiatan ini semua bahan
yang diperlukan dapat ditemukan dengan mudah.16
9
Tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum
Islam melalui yurisprudensi atau yang lebih dikenal sebagai proyek
kompilasi Hukum Islam, dikemukakan ada dua pertimbangan mengapa
proyek ini diadakan, yaitu:18
K.H. Hasan Basry (Ketua Umum MUI yang banyak sekali terlibat
dalam penyusunan kompilasi) dalam salah satu tulisannya menyebutkan
bahwa Kompilasi Hukum Islam ini sebagai keberhasilan besar umat Islam
Indonesia pada Pemerintahan Orde Baru ini. Sebab dengan demikian,
nantinya umat Islam di Indonesia akan mempunyai pedoman fiqh yang
seragam dan telah menjadi hukum positif yang wajib dipatuhi oleh seluruh
bangsa Indonesia yang beragama Islam. Dengan ini dapat diharapkan tidak
akan terjadi kesimpangsiuran keputusan dalam lembaga-lembaga Peradilan
Agama dan sebab-sebab khilaf yang disebabkan oleh masalah fiqh akan dapat
diakhiri. Dari penegasan ini tampak bahwa latar belakang pertama dari
diadakannya penyusunan kompilasi adalah karena adanya kesimpangsiuran
18
Mahkamah Agung RI, 1:hlm. 6.
19
Mahkamah Agung RI, 1:hlm. 6.
10
putusan dan tajamnya perbedaan pendapat tentang masalah-masalah hukum
Islam.20
Menurut Prof. Ismail Suny, pada bulan Maret 1985 Presidan Soeharto
mengambil prakarsa sehingga terbitlah SKB (Surat Keputusan Bersama)
Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama yang membentuk proyek
Kompilasi Hukum Islam, yang berarti sudah sejak sedari dini kegiatan ini
mendapat dukungan penuh dari Kepala Negara. Sehingga, Pada tanggal 21
Maret 1985 di Yogyakarta, dalam satu rapat kerja gabungan yang dihadiri
oleh Ketua-ketua Pengadilan Tinggi dari Peradilan Umum, Ketua-ketua
Pengadilan Tinggi Agama dan Ketua-ketua Mahkamah Militer se-Indonesia.
Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama menandatangani Surat
Keputusan Bersama tentang proyek pembangunan Hukum Islam melalui
Yurisprudensi atau disebut juga proyek Kompilasi Hukum Islam. 23
11
jangka waktu 2 tahun. Pelaksanaan proyek ini kemudian didukung oleh
Keputusan Presiden No. 191/1985 tanggal 10 Desember 1985 dengan biaya
sebesar Rp230.000.000, 00. Biaya sebesar ini tidak berasal dari APBN tetapi
langsung dari Presiden Soeharto sendiri (Panji Masyarakat No. 502 Th.
XXVII tanggal 1 Mei 1986). Di sini juga tampak betapa besarnya komitmen
Presiden dalam mensukseskan proyek tersebut.24
24
Mahkamah Agung RI, 1:hlm.21.
25
Mahkamah Agung RI, 1:hlm. 23.
12
adalah untuk "mengabdi" kepada hukum material. Akan tetapi sebagaimana
telah dikemukakan dalam uraian terdahulu sampai saat itu hukum material
mana yang dipergunakan bagi Peradilan Agama masih belum jelas dan untuk
keperluan itulah kompilasi hukum Islam ini disusun. Dengan demikian, maka
dengan berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1989 menjadi dorongan
yang lebih kuat untuk memacu lahirnya hukum materielnya yaitu kompilasi
hukum Islam.26
Sebagai tindak lanjutnya, pada tanggal 22 Juli 1991 Menteri Agama telah
mengeluarkan Keputusan No. 154 Tahun 1991 tentang pelaksanaan Instruksi
Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.
Selanjutnya kompilasi ini disebarluaskan kepada semua Ketua Pengadilan
Tinggi Agama dan Ketua Pengadilan Agama melalui Surat Edaran Direktur
Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam tanggal 25 Juli 1991 No.
3694/EV/HK.003/A2/91. Dengan adanya berbagai landasan hukum dimaksud
kompilasi hukum Islam ini telah mempunyai tempat yang kokoh dalam
sistem hukum Indonesia.29
26
Mahkamah Agung RI, 1:33.
27
Mahkamah Agung RI, 1:hlm.33.
28
Mahkamah Agung RI, 1:hlm. 34.
29
Mahkamah Agung RI, 1:hlm.34.
13
D. Kodifikasi Hukum Perkawinan Islam di Indonesia
Prof. Dr. Khoiruddin Nasution, guru besar Hukum Keluarga Islam UIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta dan pengampu matakuliah Hukum Perkawinan
Islam di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
menjelaskan bahwa tujuan dari kelahiran sejumlah peraturan dan program
tersebut tentu dalam rangka mencapai apa yang tercantum dalam Garis-Garis
Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999, sebab GBHN inilah sebagai visi
pembangunan bangsa Indonesia. dimana visi pembangunan bangsa Indonesia
adalah terwujudnya masyarakat Indonesia yang damai, demokratis,
30
Mahkamah Agung RI, 1:hlm. 1.
31
Yuni Harlina, “9786-35054-1-Pb,” Hukum Islam 20, no. 2 (2020): 219–38.
14
berkeadilan, berdaya saing maju dan sejahtera dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat,
mandiri, beriman, bertaqwa, berakhlaq mulia, cinta tanah air, berkesadaran
hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,
memiliki etos kerja yang tinggi serta berdisiplin. Keluarga sebagai unit
terkecil dalam masyarakat dan/atau bangsa, tentu menjadi penentu tercapai
atau tidaknya visi tersebut. Dengan demikian tidak berlebihan untuk
mengatakan bahwa keluarga menjadi barometer tercapai atau tidaknya tujuan
pembangunan Indonesia.32
Hukum positif disebut juga ius constitutum yang berarti kumpulan asas
dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat
secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau
pengadian dalam Negara Indonesia. Selanjutnya secara terperinci dijelaskan
oleh situs resmi Mahkamah agung Republik Indonesia. Hukum positif adalah
kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang ada pada saat ini sedang
berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau
melalui pemerintah atau pengadilan dalam Negara Indonesia.34
32
Rizqi Suprayogi, Reformasi Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Indonesia Journal of
Business Law, vol. 2, 2023, hlm. xi, https://doi.org/10.47709/ijbl.v2i1.1962.
33
Khiyaroh, “Alasan Dan Tujuan Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan,” hlm. 17-18.
34
Fitrah Humairah, Vivin Kadriani Matondang, and Fauziah Lubis, “Advokat Dalam
Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif,” As-Syar’i: Jurnal Bimbingan & Konseling
Keluarga 5, no. 2 (2023): 412–20, https://doi.org/10.47467/as.v5i2.2684.
15
Dari pengertian hukum positif di atas bisa dipahami bahwa hukum Islam
termasuk yang berkaitan dengan perkawinan sudah diadopsi ke dalam hukum
positif Indonesia meskipun belum secara komprehensif dengan bukti yang
paling signifikan, adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Sekitar dua belas tahun sejak KHI eksis di Indonesia, geliat untuk
merekonstruksi konten KHI sekaligus meningkatkan derajatnya menjadi
undang-undang begitu deras. Bahkan, Departemen Agama RI –sekarang
Kementerian Agama– pasca kejatuhan rezim Orde Baru, berupaya memenuhi
amanat UU Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
(Propenas) Tahun 2000-2004, dengan menyerahkan Rancangan Undang-
Undang Hukum Terapan Peradilan Agama (RUU HTPA), (Badan Pengkajian
dan Pengembangan Hukum Islam (BPPHI), Direktorat Pembinaan Badan
Peradilan Agama (Ditbinbapera), Departemen Agama RI, 2002) kepada DPR
untuk menyempurnakan KHI. Pada saat yang sama, Menteri Agama RI
melalui Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan
Gender dalam Pembangunan Nasional, membentuk Pokja PUG Depag RI.
Pokja ini selanjutnya merespon kehadiran RUU HTPA dengan meluncurkan
naskah tandingan rumusan hukum Islam yang disebut Counter Legal Draft
Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI).35
35
A Khair, “Telaah Kritis Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Reorientasi Fikih
Hukum Keluarga Islam Indonesia),” Al-Risalah: Jurnal Hukum Keluarga Islam 1, no. 1 (2016):
hlm. 21, https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/2945271.
16
Secara harfiah, Counter berarti banding, tandingan. Legal berarti menurut
undang-undang/hukum yang sah. dan kata Draft berarti naskah isi, konsep.
Jadi, Counter Legal Draft adalah konsep tandingan atau produk antitesa
terhadap eksistensi Kompilasi Hukum Islam yang telah diyakini dan
diamalkan oleh masyarakat Islam di Indonesia. Menurut Huzaimah Tohido
Yanggo, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) adalah
KHI tandingan yang ditulis dan dirumuskan oleh tim pengarusutamaan
gender Departemen Agama RI yang mendapat dukungan dana dari Asia
Foundation, bertentangan dengan al-Quran dan Hadis, serta sumber-sumber
hukum Islam yang lainnya yang mu’tabarah dari hasil ijtihad ulama mujtahid
yang ahli dalam bidangnya yang belum diatur dalam al-Quran dan hadis.
Disamping itu, bahwa Counter Legal Draft (CLD-KHI) pada hakekatnya
merupakan upaya pembaharuan yang di inspirasikan oleh liberalisme yaitu
pemikiran yang berasal dari barat yang pada kenyataannya ini sama sekali
tidak mempunyai akar sejarah dengan adat dan tradisi yang ada di
Indonesia.36
36
“COUNTER LEGAL DRAFT KOMPILASI HUKUM ISLAM Efizal A 1,” no. 3 (2006).
37
Khair, “Telaah Kritis Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Reorientasi Fikih Hukum
Keluarga Islam Indonesia),” hlm. 27.
17
demokratis, kemaslahatan, dan kesetaraan gender.38 Menurut Tim tersebut,
pendekatan ini selain akan mengantarkan syariat Islam menjadi hukum
publik yang dapat diterima oleh semua kalangan, juga akan kompatibel
dengan kehidupan demokrasi modern.39
38
N A Pramesi, “Implementasi Maqasid Syari’ah Dalam Gagasan Pembaharuan Undang-
Undang Perkawinan Indonesia Yang Berkeadilan Gender (Studi Terhadap Counter Legal …,”
2021, hln. 3-4, https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/30584.
39
Khair, “Telaah Kritis Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Reorientasi Fikih Hukum
Keluarga Islam Indonesia),” hlm. 27.
40
Khair, hlm. 29.
18
H. Latar Belakang Munculnya RUU HMPA Bidang Perkawinan
19
I. Metode Pembaruan Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia
43
Al Fitri, “Pembaruan Hukum Keluarga Di Indonesia Melalui Kompilasi Hukum Islam,”
Kampus 1, no. 2 (2020): hlm. 3, https://www.mendeley.com/catalogue/fdd7288b-914e-
3485-a75c-c8a0a53999b8/?
utm_source=desktop&utm_medium=1.19.8&utm_campaign=open_catalog&userDocument
Id=%7B82eec3a6-1471-4252-9ae7-20af050eb9a6%7D.
44
Al Fitri, hlm. 4.
45
Al Fitri, hlm. 4.
20
2) Talfiq, yaitu mengkombinasikan sejumlah pendapat ulama (dua atau lebih)
dalam menetapkan hukum satu masalah.
2) Extra doctrinal reform pada prinsipnya tidak lagi merujuk pada konsep
fiqh konvensional tapi merujuk pada Nash al Quran dan Sunnah dengan
melakukan penafsitran ulang terhadap Nash (reinterpretasi).
46
Al Fitri, hlm. 4.
47
Dengan Rakhmat et al., “UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” 1974, 1–15.
48
Mahkamah Agung RI, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan Dengan
Kompilasi Hukum Islam Serta Pengertian Dalam Pembahasannya.
49
Aida Nurul Fatma, “Konsep Saksi Menurut Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam
Dalam Perspektif Maslahah,” 2022.
21
RUU
Komparasi UU No. 1 Tahun 1974 KHI CLD KHI
HMPA
Pengertian Perkawinan ialah Perkawinan menurut Bukan ibadah
ikatan lahir bathin hukun Islam adalah tetapi muamalah
antara seorang pria pernikahan, yaitu (pasal 2)
dengan seorang akad yang sangat
wanita sebagai suami kuat atau mitssaqan
isteri dengan tujuan ghalidzan untuk
membentuk keluarga mentaati perintah
(rumah tangga) yang Allah dan
bahagia dan kekal melaksanakannya
berdasarkan merupakan ibadah.
Ketuhanan Yang
Mahaesa.
Tujuan - Perkawinan
bertujuan untuk
mewujudkan
kehidupan rumah
tangga yang sakinah,
mawaddah, dan
rahmah.
Keabsahan Perkawinan adalah Perkawinan adalah Perkawinan
sah, apabila dilakukan sah, apabila adalah sah,
menurut hukum dilakukan menurut apabila melalui
masing- masing hukum Islam sesuai pencatatan
agamanya dan dengan pasal 2 ayat nikah. Adapun
kepercayaannya itu. (1) Undang-undang wali tidak
No. 1 Tahun 1974 menjadi rukun
tentang Perkawinan. dalam
keabsahannya
22
didasarkan atas dan rumah tangga, perkawinan
persetujuan kedua calon hanya boleh dilakukan calon
mempelai. mempelai yang telah mencapai
(2) Untuk umur yang ditetapkan dalam
melangsungkan pasal 7 Undang-undang No.l
perkawinan seorang tahun 1974 yakni calon suami
yang belum mencapai sekurang-kurangnya berumur 19
umur 21 (duapuluh satu) tahun dan calon isteri sekurang-
tahun harus mendapat kurangnya berumur 16 tahun.
izin kedua orang tua. (2) Bagi calon mempelai yang
Pasal 7 belum mencapai umur 21 tahun
(1) Perkawinan hanya harus mendapati izin
diizinkan jika pihak pria sebagaimana yang diatur dalam
sudah mencapai umur pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5)
19 (sembilan belas) UU No.l Tahun 1974.
tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur
16 (enam belas) tahun.
(2) Dalam hal
penyimpangan terhadap
ayat (1) pasal ini dapat
meminta dispensasi
kepada Pengadilan atau
Pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua
orang tua pihak pria
maupun pihak wanita.
(3) Ketentuan-ketentuan
mengenai keadaan salah
seorang atau kedua
orang tua tersebut dalam
Pasal 6 ayat (3) dan (4)
Undang-undang ini,
berlaku juga dalam hal
permintaan dispensasi
tersebut ayat (2) pasal
ini dengan tidak
mengurangi yang
dimaksud dalam Pasal 6
ayat (6).
Wali - Pasal 19
Wali nikah dalam perkawinan
merupakan rukun yang harus
23
dipenuhi bagi calon mempelai
wanita yang bertindak untuk
menikahkannya
Pasal 20
(1) Yang bertindak sebagai wali
nikah ialah seorang laki-laki
yang memenuhi syarat hukum
Islam yakni muslim, aqil dan
baligh.
(2) Wali nikah terdiri dari: a.
Wali nasab; b. Wali hakim.
Pasal 21
(1) Wali nasab terdiri dari empat
kelompok dalam urutan
kedudukan, kelompok yang satu
didahulukan dan kelompok yang
lain sesuai erat tidaknya susunan
kekerabatan dengan calon
mempelai wanita. Pertama,
kelompok kerabat laki-laki garis
lurus keatas yakni ayah, kakek
dari pihak ayah dan seterusnya.
Kedua, kelompok kerabat
saudara laki-laki kandung atau
saudara laki-laki seayah, dan
keturunan laki-laki mereka.
Ketiga, kelompok kerabat
paman, yakni saudara laki-laki
kandung ayah, saudara seayah
dan keturunan laki-laki mereka.
Keempat, kelompok saudara
laki-laki kandung kakek, saudara
laki-laki seayah dan keturunan
laki-laki mereka.
(2) Apabila dalam satu kelompok
wali nikah terdapat beberapa
orang yang sama-sama berhak
menjadi wali, maka yang paling
berhak menjadi wali ialah yang
lebih dekat derajat
kekerabatannya dengan calon
mempelai wanita.
(3) Ababila dalam satu kelompok
24
sama derajat kekerabatan maka
yang paling berhak menjadi wali
nikah ialah karabat kandung dari
kerabat yang seayah.
(4) Apabila dalam satu
kelompok, derajat
kekerabatannya sama yakni
sama-sama derajat kandung atau
sama-sama dengan kerabat
seayah, mereka sama-sama
berhak menjadi wali nikah,
dengan mengutamakan yang
lebih tua dan memenuhi syarat-
syarat wali.
Pasal 22
Apabila wali nikah yang paling
berhak, urutannya tidak
memenuhi syarat sebagai wali
nikah atau oleh karena wali
nikah itu menderita tuna wicara,
tuna rungu atau sudah udzur,
maka hak menjadi wali bergeser
kepada wali nikah yang lain
menurut derajat berikutnya.
Pasal 23
(1) Wali hakim baru dapat
bertindak sebagai wali nikah
apabila wali nasab tidak ada atau
tidak mungkin menghadirkannya
atau tidak diketahui tempat
tinggalnya atau gaib atau adlal
atau enggan.
(2) Dalam hal wali adlal atau
enggan maka wali hakim baru
dapat bertindak sebagai wali
nikah setelah ada putusan
pengadilan Agama tentang wali
tersebut.
Saksi - Pasal 24
(1) Saksi dalam perkawinan
merupakan rukun pelaksanaan
akad nikah.
(2) Setiap perkawinan harus
25
disaksikan oleh dua orang saksi.
Pasal 25
Yang dapat ditunjuk menjadi
saksi dalam akad nikah ialah
seorang laki-laki muslim, adil,
aqil baligh, tidak terganggu
ingatan dan tidak tuna rungu atau
tuli.
Pasal 26
Saksi harus hadir dan
menyaksikan secara langsung
akad nikah serta menandatangani
Akta Nikah pada waktu dan
ditempat akad nikah
dilangsungkan.
Mahar - Pasal 30
Calon mempelai pria wajib
membayar mahar kepada calon
mempelai wanita yang jumlah,
bentuk dan jenisnya disepakati
oleh kedua belah pihak.
Pasal 31
Penentuan mahar berdasarkan
atas kesederhanaan dan
kemudahan yang dianjurkan oleh
ajaran Islam.
Pasal 32
Mahar diberikan langsung
kepada calon mempelai wanita
dan sejak itu menjadi hak
pribadinya.
Pasal 33
(1) Penyerahan mahar dilakukan
dengan tunai.
(2) Apabila calon mempelai
wanita menyetujui, penyerahan
mahar boleh ditangguhkan baik
untuk seluruhnya atau sebagian.
Mahar yang belum ditunaikan
penyerahannya menjadi hutang
calon mempelai pria.
Pasal 34
(1) Kewajiban menyerahkan
26
mahar-mahar bukan merupakan
rukun dalam perkawinan.
(2) Kelalaian menyebut jenis dan
jumlah mahar pada waktu akad
nikah, tidak menyebabkan
batalnya perkawinan. Begitu
pula halnya dalam keadaan
mahar masih terhutang, tidak
mengurangi sahnya perkawinan.
Pasal 35
(1) Suami yang mentalak
isterinya qobla al dukhul wajib
membayar setengah mahar yang
telah ditentukan dalam akad
nikah.
(2) Apabila suami meninggal
dunia qobla al dukhul tetapi
besarnya mahar belum
ditetapkan, maka suami wajib
membayar mahar mitsil.
Pasal 36
Apabila mahar hilang sebelum
diserahkan, mahar itu dapat
diganti
dengan barang lain yang sama
bentuk dan jenisnya atau dengan
barang lain yang sama nilainya
atau dengan uang yang senilai
dengan harga barang mahar yang
hilang.
Pasal 37
Apabila terjadi selisih pendapat
mengenai jenis dan nilai mahar
yang ditetapkan, penyelesaian
diajukan ke Pengadilan Agama.
Pasal 38
(1) Apabila mahar yang
diserahkan mengandung cacat
atau kurang, tetapi calon
mempelai tetap bersedia
menerimanya tanpa syarat,
penyerahan mahal dianggap
lunas.
27
(2) Apabila isteri menolak untuk
menerima mahar karena cacat,
suami harus menggantinya
dengan mahar lain yang tidak
cacat. Selama Penggantinya
belum diserahkan, mahar
dianggap masih belum dibayar.
Pencatatan Pasal 2 Pasal 5
Pernikahan (2) Tiap-tiap (1) Agar terjamin ketertiban
perkawinan dicatat perkawinan bagi masyarakat
menurut peraturan Islam setiap perkawinan harus
perundang-undangan dicatat.
yang berlaku. (2) Pencatatan perkawinan
tersebut apada ayat (1),
dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Nikah sebagaimana yang diatur
dalam Undang-undang No.22
Tahun 1946 jo Undang-undang
No. 32 Tahun 1954.
Hak dan Pasal 30 Pasal 77
Kewajiban Suami isteri memikul (1) Suami isteri memikul
Suami Isteri kewajiban yang luhur kewjiban yang luhur untuk
untuk menegakkan menegakkan rumah tangga yang
rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah
menjadi sendi dasar dari yang menjadi sendi dasar dan
susunan masyarakat. susunan masyarakat.
Pasal 31 (2) Suami isteri wajib saling
(1) Hak dan kedudukan cinta mencintai, hormat
isteri adalah seimbang menghormati, setia dan memberi
dengan hak dan bantuan lahir bathin yang satu
kedudukan suami dalam kepada yang lain;
kehidupan rumah tangga (3) Suami isteri memikul
dan pergaulan hidup kewajiban untuk mengasuh dan
bersama dalam memelihara anak-anak mereka,
masyarakat. baik mengenai pertumbuhan
(2) Masing-masing jasmani, rohani maupun
pihak berhak untuk kecerdasannya dan pendidikan
melakukan perbuatan agamanya;
hukum. (4) suami isteri wajib
(3) Suami adalah kepala memelihara kehormatannya;
keluarga dan isteri ibu (5) jika suami atau isteri
rumah tangga. melalaikan kewajibannya
Pasal 32 masing-masing dapat
28
(1) Suami isteri harus mengajukan gugatan kepada
mempunyai tempat Pengadilan Agama
kediaman yang tetap. Pasal 78
(2) Rumah tempat (1) Suami isteri harus
kediaman yang mempunyai tempat kediaman
dimaksud dalam ayat (1) yang tetap.
pasal ini ditentukan oleh (2) Rumah kediaman yang
suami isteri bersama. dimaksud dalam ayat (1),
Pasal 33 ditentulan oleh suami isteri
Suami isteri wajib saling bersama.
cinta-mencintai hormat- Pasal 79
menghormati, setia dan (1) Suami adalah kepala keluarga
memberi bantuan lahir dan isteri ibu rumah tangga.
bathin yang satu kepada (2) Hak dan kedudukan isteri
yang lain. adalah seimbang dengan hak dan
Pasal 34 kedudukan suami dalam
(1) Suami wajib kehidupan rumah tangga dan
melindungi isterinya pergaulan hidup bersama dalam
dan memberikan segala masyarakat.
sesuatu keperluan hidup (3) Masing-masing pihak berhak
berumah tangga sesuai untuk melakukan perbuatan
dengan kemampuannya. hukum. Bagian Ketiga
(2) Isteri wajib Kewajiban Suami
mengatur urusan rumah- Pasal 80
tangga sebaik-baiknya (1) Suami adalah pembimbing,
(3) Jika suami atau isteri terhadap isteri dan rumah
melalaikan tangganya, akan tetap mengenai
kewajibannya masing- hal-hal urusan rumah tangga
masing dapat yang penting-penting diputuskan
mengajukan gugutan oleh suami isteri bersama.
kepada Pengadilan. (2) Suami wajib melindungi
isterinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup
berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
(3) Suami wajib memberikan
pendidikan agama kepada
isterinya dan memberi
kesempatan belajar pengetahuan
yang berguna dan bermanfaat
bagi agama, nusa dan bangsa.
(4) Sesuai dengan
penghasilannya suami
29
menanggung : a. nafkah, kiswah
dan tempat kediaman bagi isteri;
b. biaya ramah tangga, biaya
perawatan dan biaya pengobatan
bagi isteri dan anak;
c. biaya pendididkan bagi anak.
(5) Kewajiban suami terhadap
isterinya seperti tersebut pada
ayat (4) huruf a dan b di atas
mulai berlaku sesudah ada
tamkin sempurna dari isterinya.
(6) Isteri dapat membebaskan
suaminya dari kewajiban
terhadap dirinya sebagaimana
tersebut pada ayat (4) huruf a
dan b.
(7) Kewajiban suami
sebagaimana dimaksud ayat (5)
gugur apabila isteri nusyuz.
Pasal 81
(1) Suami wajib menyediakan
tempat kediaman bagi isteri dan
anak- anaknya atau bekas isteri
yang masih dalam iddah.
(2) Tempat kediaman adalah
tempat tinggal yang layak untuk
isteri selama dalam ikatan
perkawinan, atau dalam iddah
talak atau iddah wafat.
(3) Tempat kediaman disediakan
untuk melindungi isteri dan
anak-anaknya dari gangguan
pihak lain, sehingga mereka
merasa aman dan tenteram.
Tempat kediaman juga berfungsi
sebagai tempat menyimpan harta
kekayaan, sebagai tempat menata
dan mengatur alat-alat ramah
tangga.
(4) Suami wajib melengkapi
tempat kediaman sesuai dengan
kemampuannya serta disesuaikan
dengan keadaan lingkungan
30
tempat tinggalnya, baik berapa
alat perlengkapan ramah tangga
maupun sarana penunjang
lainnya.
Pasal 82
(1) Suami yang mempunyai isteri
lebih dari seorang berkewajiban
memberikan tempat tinggal dan
biaya hidup kepada masing-
masing isteri secara berimbang
menurut besar kecilnya jumlah
keluarga yang ditanggung
masing-masing isteri, kecuali
jika ada perjanjian perkawinan.
(2) Dalam hal para isteri rela dan
ikhlas, suami dapat
menempatkan isterinya dalam
satu tempat kediaman.
Pasal 83
(1) Kewajiban utama bagi
seorang isteri ialah berbakti lahir
dan batin kepada suami di dalam
yang dibenarkan oleh hukum
islam.
(2) Isteri menyelenggarakan dan
mengatur keperluan rumah
tangga sehari- hari dengan
sebaik-baiknya.
Pasal 84
(1) Isteri dapat dianggap nusyuz
jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam
pasal 83 ayat (1) kecuali dengan
alasan yang sah.
(2) Selama isteri dalam nusyuz,
kewajiban suami terhadap
isterinya tersebut pada pasal 80
ayat (4) huruf a dan b tidak
berlaku kecuali hal- hal untuk
kepentingan anaknya.
(3) Kewajiban suami tersebut
pada ayat (2) di atas berlaku
31
kembali sesudah isteri nusyuz.
(4) Ketentuan tentang ada atau
tidak adanya nusyuz dari isteri
harus didasarkan atas bukti yang
sah.
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
32
yang dapat mempersatukan segenap warga muslim Indonesia, hingga lahirlah
Kompilasi Hukum Islam (KHI). Semangat para cendikiawan ini juga
mendapat respon dari banyak kalangan, terutama para pegiat kesetaraan
gender (feminis) yang memang sudah aktif sejak zaman pra-kemerdekaan.
Mereka mengkritisi beberapa poin hukum yang dianggap diskriminatif dan
terus menyuarakannya agar segera dilakukan pembaruan hukum. Pergerakan
mereka akhirnya melahirkan Counter Legal Draft (CLD) KHI yang secara
ekplisit ditujukan sebagai antitesa dari KHI. Usulan Rancangan Undang-
undang Hukum Materiel pun juga sangat dipengaruhi oleh konsep kesetaraan
gender yang mereka suarakan.
B. Saran-saran
Saran bagi mahasiswa untuk membaca makalah ini dengan saksama agar
mendapatkan gambaran universal mengenai Hukum perkawinan di Indonesia
serta memperdalamnya dengan merujuk ke sumber bacaan lain yang lebih
luas. Bagi para akademisi ahli di bidang terkait, disarankan untuk membuat
membuat buku khusus tentang Hukum Perkawinan di Indonesia yang
komprehensif, parsial dan mendalam agar memudahkan akademisi pemula
dalam mengakses materi ini. Terakhir, besar harapan kepada para
cendikiawan muslim fundamentalis agar terus mempertahankan prinsip dan
pemikirannya baik melalui jalur narasi, politik teoretis maupun melalui jalur
politik praktis, dari serangan pemikiran feminis terutama yang ekstrimis.
Daftar Pustaka
“COUNTER LEGAL DRAFT KOMPILASI HUKUM ISLAM Efizal A 1,” no. 3
(2006).
Fatma, Aida Nurul. “Konsep Saksi Menurut Counter Legal Draft Kompilasi Hukum
Islam Dalam Perspektif Maslahah,” 2022.
Fitri, Al. “Pembaruan Hukum Keluarga Di Indonesia Melalui Kompilasi Hukum
Islam.” Kampus 1, no. 2 (2020): 1–21.
https://www.mendeley.com/catalogue/fdd7288b-914e-3485-a75c-
c8a0a53999b8/?
utm_source=desktop&utm_medium=1.19.8&utm_campaign=open_catalog&us
erDocumentId=%7B82eec3a6-1471-4252-9ae7-20af050eb9a6%7D.
Harlina, Yuni. “9786-35054-1-Pb.” Hukum Islam 20, no. 2 (2020): 219–38.
33
Humairah, Fitrah, Vivin Kadriani Matondang, and Fauziah Lubis. “Advokat Dalam
Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif.” As-Syar’i: Jurnal Bimbingan &
Konseling Keluarga 5, no. 2 (2023): 412–20.
https://doi.org/10.47467/as.v5i2.2684.
IMAM MUSTOFA, S.HI., M.SI. POLITIK HUKUM ISLAM DI INDONESIA ;
PERGULATAN POLITIK DI BALIK LAHIRNYA UNDANG-UNDANG
PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN. Edited by
Alwi. STAIN JURAI SIWO METRO Bekerjasama dengan CV. DVIFA
Percetakan & Penerbit, 2015.
Khair, A. “Telaah Kritis Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Reorientasi
Fikih Hukum Keluarga Islam Indonesia).” Al-Risalah: Jurnal Hukum
Keluarga Islam 1, no. 1 (2016): 21–37.
https://garuda.kemdikbud.go.id/documents/detail/2945271.
Khiyaroh. “Alasan Dan Tujuan Lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.” Al-Qadha 7, no. 1 (2020): 1–15.
https://doi.org/10.32505/qadha.v7i1.1817.
Mahkamah Agung RI. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berkaitan
Dengan Kompilasi Hukum Islam Serta Pengertian Dalam Pembahasannya.
Perpustakaan Nasional RI : Data Katalog Dalam Terbitan. Vol. 1, 2011.
Mahkamah Konstitusi. “Anotasi Undang-Undang Berdasarkan Putusan Mhakamah
Konstitusi.” Mahkamah Konstitusi Republik Iindonesia, 2018, 1–33.
Pramesi, N A. “Implementasi Maqasid Syari’ah Dalam Gagasan Pembaharuan
Undang-Undang Perkawinan Indonesia Yang Berkeadilan Gender (Studi
Terhadap Counter Legal …,” 2021.
https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/30584.
Rakhmat, Dengan, Tuhan Yang, Maha Esa, and Presiden Republik Indonesia. “UU
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,” 1974, 1–15.
Sulaiman, Abdullah. “Penghantar Ilmu Hukum.” UIN Jakarta Bersama Yayasan
Pendidikan Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (YPPSDM Jakarta,
2019, 294.
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/57878/1/PROF
ABDULLAH Buku Pengantar Ilmu Hukum.pdf.
Suprayogi, Rizqi. Reformasi Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia. Indonesia
Journal of Business Law. Vol. 2, 2023. https://doi.org/10.47709/ijbl.v2i1.1962.
Zeni Lutfiyah, Agus Rianto, M. Rasyid Ridlo. “Perkawinan Siri Dalam Reformulasi
Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia Sebagai Upaya Preventif Terhadap
Disharmoni Sosial Dalam Masyarakat (Perspektif Gender Dan Hak Asasi
Manusia)” 4, no. 1 (2015): 1–27.
34