Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

KAJIAN & HISTORIKAL


HUKUM KELUARGA DAN PERKAWINAN DI INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah ‘FIQIH II’

Dosen Pengampu : A. Saiful Aziz, S.H.I., M.S.I

Disusun Oleh : Kelompok 3

Isna Saidatur Rifah 21106011148

Azmi Maulana Rifqi 21106011173

Habib Ahmad Ashshiddiqiy 21106011288

Muti Mufaati 21106011338

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG

2023
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan atau pernikahan dalam literatur fiqh berbahasa arab disebut


dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Sedangkan dalam Komplikasi
Hukum Islam (KHI) Pasal 2, perkawinan menurut hukum Islam adalah akad
yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan
ibadah. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami - istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pengertian perkawinan dalam UU Perkawinan memiliki 4 unsur, yaitu :

1. Ikatan Lahir Batin. Maksudnya dengan adanya bentuk persetujuan


yang ikhlas antara kedua calon mempelai yang tidak memiliki
unsur paksaan dari pihak satu ke pihak yang lainnya, juga
memperkuat akad ikatan nikah dalam mewujudkan keluarga
bahagia dan kekal. Bukan dalam artian ikatan lahir batin dalam
bentuk ijab kabul yang dilakukan oleh wali mempelai perempuan
dengan mempelai pria yang disaksikan oleh 2 orang saksi yang
disertai penyerahan mas kawin.
2. Antara seorang pria dan wanita. Maksudnya dalam suatu ikatan
pernikahan hanya boleh terjadi antara seorang pria sebagai suami
dengan seorang wanita sebagi istri.
3. Membentuk keluarga Bahagia dan Kekal. Maksundnya pernikahan
bertujuan untuk memperoleh ketenangan, kesenangan,
kenyamanan, ketrentraman lahir dan batin untuk selama-lamanya
dalam kehidupan berumah tangga (dalam membentuk sebuah
keluarga, harus mampu membawa ketenangan dan ketrentraman
sampai akhir hayatnya).
4. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maksudnya dalam
pernikahan harus berdasarkan pada ketentuan agama, agar sahnya
suatu pernikahan diukur dengan ketemyuan yang diatur dalam
hukum agama.1

B. Sejarah Lahirnya Hukum Perdata Islam Di Indonesia

Hukum Perdata Islam atau dengan istilah fiqh mu’amalah merupakan


ketentuan (hukum Islam) yang mengatur hubungan antar orang-perorangan
(norma hukum yang berhubungan dengan hukum keluarga Islam seperti,
hukum perkawinan, perceraian, kewarisan, wasiat dan perwakafan). Hukum
perdata dapat disebut juga dengan hukum sipil untuk hukum privat materi
tetapi karena perkataan sipil lebih lazim digunakan. Hukum perdata menurut
ilmu hukum dibagi menjadi 4 bagian yaitu:

1. Hukum tentang diri sendiri seseorang,


Hukum ini memuat tentang peraturan-peraturan perihal
kecakapan untuk memiliki hak-hak untuk bertindak sendiri
melaksanakan hak-haknya serta kecakapannya.
2. Hukum kekeluargaan,
3. Hukum kekayaan,
Hukum ini mengatur tentang kekayaan seseorang yang jumlah
hak dan kewajibannya dinilai dengan uang. Hak dan kewajiban
tersebut biasanya dapt dipindahkan kepada orang lain. Hak
kekayaan terbagi menjadi 2 yaitu hak mutlak (memberikan
kekuasaan atas suatu benda yang dapat dilihat dan dimakan hak
kebendaannya, contohnya seperti hak seorang pengarang atas
karangnnya, hak seorang pedagang untuk memakai sebuah merk)
dan hak perseorangan.
4. Hukum warisan

1
Prof. Dr, Jamaliddin, Sh, M.Hum dan Nanda Amalia, SH, M.Hum, BUKU AJAR HUKUM
PERKAWINAN, (Lhokseumawe: UNIMAL PRESS, januari 2016), hlm. 18
Hukum yang mengatur hal tentang benda atau kekayaan
seseorang jika ada yang meninggal.

Hukum kekeluargaan dalam hukum perdata mengatur perihal


hubungan-hubungan kekeluargaan, yaitu perkawinan beserta hungna dalam
lapangan hukum kekayaan antara suami-istri, hubungan antara orangtua-anak,
perwalian dan curatele (pengampunan). Dalam kenyataannya hukum perdata
di Indonesia terdiri atas:

1. Hukum Perdata Adat


Yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan
antar individu dalam masyarakat adat yang berlainan dengan
kepentingan-kepentingan perorangan (masyarakat adat disini
adalah kelompok sosial Bangsa Indonesia, yang umumnya tidak
tertulis dan berlaku dalam kehidupan masyarakat adat secara turun-
temurun serta ditaati) hukum adat adalah hukum yang hidup dalam
tindakan-tindakan rakyat yang berkaitan dengan segala hal dalam
kehidupan masyarakat. Hukum adat berlaku bagi golongan Bangsa
Indonesia asli.
2. Hukum Perdata Eropa
Yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hubungan
hukum mengenai kepentingan orang-orang Eropa dan orang-orang
yang pada dirinya secara sukarela berlaku ketentuan itu.
3. Hukum Perdata Bersifat Nasional
Yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengetur kepentingan
perorangan yang dibuat berlaku untuk seluruh penguni Indonesia.
Bagian hukum yang dibuat terdiri atas hukum perkawinan dan
hukum agraria. Hukum perdata yang samapai sekarang belum ada
adalah hukum perdata nasional secara menyeluruh. Sehingga
hukum perdata yang berlaku di Indonesia masih menggunakan
dasar Hukum Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945.
4. Hukum Perdata Material
Yang ketentuan-ketentuannya mengatur kepentingan
perseorangan yang terdiri atas hukum pribadi (ketentuan-ketentuan
hukum yang mengatur hak dan kewajiban dan kedudukannya)
sebagai berikut:
a. Hukum keluarga, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur hubungan lahir batin antara 2 orang yang berlainan
kelamin (dalam perkawinan/pernikahan) dan akibat hukumnya.
b. Hukum kekayaan, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur hak-hak perolehan seseorang dalam hubungannya
dengan orang lain yang mempunyai nilai uang.
c. Hukum waris, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang
mengatur cara pemindahan hak milik seseorang yang
meninggal dunia kepada yang berhak memiliki selanjutnya.

Hukum Perdata Islam adalah privat materiil sebagi pokok yang


mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan yang khusus
diberlakukannya untuk umat Islam di Indonesia.2

Sejarah Lahirnya Hukum Perdata Islam Di Indonesia ini ada dua yaitu:

Pertama, peruntukan hukum perdata berlainan untuk setiap golongan


warga negara. Hukum ini dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Untuk golongan bangsa Indonesia asli, hukum adat yang tealh


berlaku di kalangan rakyat yang sebagian besar masih belum
tertulis tetapi hidup dalam tindakan rakyat dengan segala soal
dalam kehidupan masyarakat.
2. Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal dari
Tionghoa dan Eropa berlaku Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgerlijk Wetboek/BW) dan Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel/ W.v.K), bagi orang
Tionghoa BW tersebut memiliki sedikit penyimpangan mengenai
2
Dr. H. A. Khumedi Ja’far, S.Ag., M.H., Hukum Perdata Islam di Indonesia: Aspek Hukum Keluarga
dan Bisnis, (Surabaya: Gemilang Publisher, 2019), hlm. 1-5
upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan”
pernikahan, peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi) tidak
terkenal didalam BW.
3. Untuk golongan warga negara bukan asli yang bukan berasal dari
Tionghoa atau eropa ( seperti Arab, India dll) berlaku sebagian dari
BW, yang pokoknya hanya menganai hukum kekayaan harta benda
bukan mengenai hukum kepribadian ataupun hukum warisan.

Kedua, hukum perdata untuk golongan warga negara bukan asli yang
berasal dari Tionghoa dan Eropa berlaku Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata).

Ada pula beberapa peraturan yang secara khusu dibuat untuk


bangsa Indonesia seperti: Ordonansi Perkawinan Bangsa Indonesia
Kristen (Staatsblad 1933 No.74), Ordonansi tentang Maskapai Andil
Indonesia/I.M.A. (Staatsblad 1933 No.569 berhubungan dengan No.
717) dan Ordonansi tentang Perkumpulan Bangsa Indonesia
(Staatsblad 1933 No. 570 berhubungan dengan No. 717). Mula-mula
dengan peraturan yang termuat didalam Staatsblad 1855 No.79 Hukum
Perdata Eropa (B.W dan W.v.K) dengan pengecualian hukum
kekeluargaan dan hukum warisan berlaku untuk Orang Timur Asing.
Kemudian pada tahun 1917 mualai diadakan pembedaan antara
golongan Tionghoa dan bukan Tionghoa. Lalu pada tanggal 1 Maret
1925 berlakunya peraturan Golongan Orang Timur Asing (Arab, India
dsb) lainnya dalam Staatsblad Tahun 1924 No.556.3

C. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia

Undang-Undang yang berlaku di Indonesia saat ini adalah UU


Perkawinan. Sebelum diberlakukannya UU Perkawinan, Indonesia
memebrlakukan peraturan-peraturan perkawinan yang diatur dalam
KUHPerdata (BW), Ordonasi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks

3
Dr. H. A. Khumedi Ja’far, S.Ag., M.H., Hukum Perdata Islam di Indonesia: Aspek Hukum Keluarga
dan Bisnis, (Surabaya: Gemilang Publisher, 2019), hlm. 6-25
Ordonansi voor de Christens Indonesiers) Staatsblaad 1933 No.74, Peraturan
Perkawinan Campuran, Staatsblaad 1898 No.158. Sebelum penjajahan
Belanda datang ke Nusantara, masyarakat islam di Nusantara sudah berlaku
Hukum Islam.4 Hukum Keluarga yang berlaku di Hindia-Belanda telah
mengakui nilai-nilai Islam yang kemudian diadopsi dalam perundang-
undangan Hindia Belanda.

Ketika pada zaman VOC, eksistansi Hukum Keluarga Islam telah


diakui dan berlaku dalam masyarakat, yang kemudian dihimpun dalam Kitab
Hukum Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Kompedium Freijen.
Dalam rangka menghadapi perkembangan Hukum Keluarga Islam di Hindia
Belanda, semula Pemerinyah Kolonial Belanda yang merumuskan
kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh VOC, bahwa mereka (Pemerintah
Kolonial Belanda) tidak menganggap Hukum Keluarga Islam itu bukan
sebagai ancaman bagi kelangsungan Pemerintahan Kolonial Belanda saat itu.
Tetapi pada akhirnya Pemerintah Kolonial Belanda tidak dapat
mempertahannkannya dalam jangka waktu panjang, sebab Pemerintah
Kolonial Belanda mengubah pendirian ini sebgai akibat dari usulan Snock
Hurgronje kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Menurutnya (Snock
Hurgronje), teori yang berlaku saat itu dianggap sebagi teori yang keliru
dalam kehidupan masyarakat. Menurutnya teori yang lebih tepat adalah teori
resepsi, yang mana menurut teori tersebut hukum yang berlaku dalam realitas
masyarakat dalah Hukum Adat, sedangkan Hukum Islam baru dapat
diberlakukan apabila sudah beradaptasi dengan Hukum Adat. 5 Akibat dari
teori tersebut, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Stb. Nomor 116
dan Nomor 610 Tahun 1937 tentang Kebijakan Baru yang membatasai
kewenangan Peradialan Agama. Pembatasan ini berdampak menghambat atau
menghentikan perkembangan Hukum Keluarga Islam dalam masyarakat.
Pembatasan ini berlaku sampai pada tahun 1970.

4
Prof. Dr, Jamaliddin, Sh, M.Hum dan Nanda Amalia, SH, M.Hum, BUKU AJAR HUKUM
PERKAWINAN, (Lhokseumawe: UNIMAL PRESS, januari 2016), hlm. 27
5
Ibid, hlm. 28
Satu tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 22
November di undangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang
Nikah, Talak dan Rujuk sebagi dasar Hukum Keluarga Islam. Setelah
diundangkannya Unndang-Undang Nomor 22 Tahun 1946, segera diambil
keputusan dengan memisahkan urusan pendaftaran pernikahan, talak dan
rujuk dan peradilan agama. Karna UU (UU Nomor 22 Thun 1946) tersebut
hanya berlaku untuk di Jawa dan Madura, sehingga diperlukannya hukum
yang berlaku secara nasional. Pada tanggal 26 Oktober 1954 dikeluarkan
peraturan Penetapan berlakunya UU Nomor 1946 tentang pencatatan Nikah,
Talak dan Rujuk di seluruh daerah luar Jawa dan Madura.6

Pada akhir tahun 1950 dengan surat Penetapan Menteri Agama RI


Nomor B/2/4299 pada tanggal 1 Oktober 1950, dibentuk Panita Penyelidik
Peraturan dan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk yang diketuai oleh
Teuku Moh. Hasan. Namun panitia ini tidak dapat bekerja maksimal karna
dibuk mempertahankan kemerdekaan RI, sehingga pada tanggal 1 April 1951
membentuk panitia baru lagi dnegan diketuai oleh H. Moh. Noer
Poerwosoetjipto yang disebut dengan Panitia Penyelidik Peraturan hukum
Perkawinan, Talak dan Rujuk atau yang disingkat dengan nama NTR. Pada
tanggal 2 Januari 1974 mensahkan Rencana Undang-Undang Perkawinan
yang diusulkan oleh NTR sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
dalam Lembaran Negara Replublik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974. Sejarah
mencatat bahwa proses lahirnya Undang-Undang Perkawinan telah
menghabiskan waktu yang cukup lama, yaitu sejak tahun 1950 sampai
disahkan menjadi Undang-Undang Perkawinan pada akhir 1973.

UU Perkawinan yang disahkan bertujuan untuk mengakhiri berlakunya


Hukum penininggalan Kolonial Belanda di Indonesia, yang mana berlaku
bagi semua warga negara Indonesia (UU tersebut berlaku untuk semua agama
yang diakui oleh Indonesia pada saat itu).7 Sehingga membuat masyarakat
Islam menghendaki UU Perkawinan sendiri khususnya yang berlaku bagi
6
Ibid, hlm. 29
7
Ibid, hlm. 30
masyarakat Islam dengan mengadopsi syariat Islam. Maka dari itu, lahirlah
Komplikasi Hukum Islam (KHI) yang disusun dengan maksud untuk
melengkapai UU perkawinan dan menjadi pedoman bagi Hakim di Lembaga
Peradilan Agama yang telah ditetapkan dan disebarluaskan melalui Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Komplikasi Hukum Islam (KHI).8

Sejarah Hukum Perdata Islam di Indonesia sebabkan hal-hal berikut:

1. Masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam.


2. Kehidupan masyarakat dalam berbagai masalah yang menyangkut
kehidupan perseorangn dan lingkungan sosialnya banyak
berpedoman pada ajaran Agama Islam yang secara kultural terus
dibudayakan,
3. Pengaturan kehidupan agar sesama manusia atau warga negara di
wilayah masing-masing masyarakat berpedoman pada kebiasaan
sosial yang telah menjadi adat atau norma sosial.
4. Undang-undang yang telah berlaku dan aturan pelaksanaan
undang-undang berkaitan dengan keperdataan tidak berbeda jauh
dengan adat yang diambil dari ajaran Islam sehingga memudahkan
pelaksanaanya.9

D. Hukum Perkawinan di Indonesia sebelum tahun 1975

Hukum yang berlaku sebelum disahkannya UU Perkawianan yang


berlaku secara efektif, hukum pernikahan di Indonesia di atur menjadi
berbagai macam peraturan hukum atau sistem hukum perkawinan, antara lain
yaitu:

1. Hukum Perkawinan Adat

Hukum ini hanya berlaku bagi orang-orang Indonesia Asli.


Perkawinan bukan saja merupakan soal yang mengenai orang-
8

9
Dr. H. A. Khumedi Ja’far, S.Ag., M.H., Hukum Perdata Islam di Indonesia: Aspek Hukum Keluarga
dan Bisnis, (Surabaya: Gemilang Publisher, 2019), hlm. 26
orang yang bersangkutan (sebagi suami-istri), melainkan
merupakan kepentingan seluruh keluarga dan masyarakat adatpun
ikut berkepentingan dalam soal perkawinan itu. Tujuan dari
perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat kekerabatan,
hal ini tergantung pada lingkungan masyarakat adat yang
bersangkutan10.

2. Hukum Perkawinan Islam

Hukum ini berlaku badi orang-orang Indonesia Asli yang


beragama Islam. Prinsip Perkawinan Islam ini tekandung dalam
ajaran Hukum Allah dan Sunnah-Nya, sedangkan penjelasan dari
prinsip tersebut dapat dilihat pada Kitab-Kitab Fiqh Munakahat
karya para mujtahid terdahulu, seperti Fiqh Munakahat karya
Imam Syafi’i.

3. Kitab Undang-Undang hukum Perdata (Burgerlijik Wetboek / BW),


yang berlaku bagi orang-orang keturunan Eropa, Cina (Tionghoa)
dan Timur Asing.
4. Hukum Perkawinan Menurut Ordonasi Perkawinan Indonesai
Kristen (HOCI), yang berlaku bagi orang-orang Indonesia Asli
(yang beragama Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon).
Ordonansi ini mulai diundangkan pada tanggal 15 Febuari 1933.
5. Peraturan Pernikahan Campuran (Regeling op de Gemengde
Huwelijken)

Peraturan ini dibuat untuk mengatasi terjadinya banyak


perkawinan antar orang yang tunduk pada hukum-hukum yang
berlainan seperti, orang Indonesia Asli dengan Orang eropa atau
Orang Cina, atau Orang Cina dengan Orang Eropa, atau antar
Orang Indinesia yang berlainan agama atau berlainan asal.
Peraturan ini berlaku pada tanggal 29 desember 1896. Peraturan ini

10
Ibid, hlm. 32
termuat di Staatsblad 1896 Nomor 158 dan telah mengalami
perubahan.11

E. Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974

Pada tahun 1958-1959, Pemerintah Indonesia telah berusaha membuat


RUU (Rancangan Undang-Undang) namun tidak berhasil diwujudkan.
Kemudian pada tahun 1967-1971 DPR membahas RUU Perkawinan yang
berisi tentang RUU Perkawinan Umat Islam yang berasal dari Departemen
Agama dan RUU ketentuan-ketentuan Pokok Perkawinan dari Departemen
Kehakiman, namun pembahasan RUU ini mengalami kemacetan karna pada
saat itu wakil golongan Katolik sangat kecil jumlahnya. Lalu pada tahun 1973
pemerintah mengajukan RUU kepada DPR melalui 4 tingkatan yaitu;
Tingkat Pertama, penjelasan pemerintah atas RUU Perkawinan, Tingakat
Kedua, pandangan umum masing-masing fraksi atas RUU Perkawinan dan
tanggapan Pemerintah atas pandangan umum itu. Tingkat Ketiga, rapat
komisi untuk membahas RUU yang diserahkan kepada suatu panitia yang
diberi nama Panitia Kerja RUU Perkawinan. Tingkat Keempat, penagmbilan
keputusan (pengesahan RUU Perkawinan) dengan didahului pendapat akhir
dari masing-masing fraksi. Sehingga pada tanggal 2 Januari 1974
disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Lembaran Negara Nomor 1 Tahun 1974 dengan tambahan Lembaran Negara
Nomor 3019/1974.12

11
Ibid, hlm. 33
12
Ibid, hlm.35-36
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai