Anda di halaman 1dari 139

HUKUM PERDATA

PRIVAT LAW

Oleh :

Dr. HARYONO, SH.,MH

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PGRI SEMARANG
SILABUS :
BAB I    Pengertian Istilah dan Sumber Hukum Perdata
BAB II   Kedudukan Hukum Perdata di Indonesia
BAB III Fungsi, Tujuan & Ruang Lingkup Hk Perdata
BAB IV Asas-asas Hukum Perdata
BAB V Subyek Hukum (Orang & Badan Hukum)
BAB VI Hukum Perkawinan & Hukum Kewarisan
BAB VII Hukum Perikatan & Hukum Perjanjian
BAB VIII Hukum Benda & Hukum Pertanahan
BAB IX Hukum Keluarga & Hukum Perwalian
BAB X Komparasi Hukum Perdata Barat dan Hukum perdata Islam
(Perkawinan, Perceraian, Kewarisan, Perwalian)
BIDANG HUKUM PERDATA
• Bidang hukum keluarga
• Bidang hukum waris
• Bidang hukum benda
• Bidang hukum jaminan
• Bidang hukum perikatan (Umum)
• Bidang hukum badan hukum
• Bidang hukum perjanjian khusus
SUMBER/LITERATUR:

R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, cet. XI, 1975


R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Terjemahan
dari Burgerlijk Wetboek, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta, cet. XI, 1979
Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Penerbit Alumni,
Bandung, 1992.
Sri Sudewi M. Sofwan, Hukum Benda, Penerbit Liberty, Yogyakarta, cet. V, 2000.
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Masalah-masalah Hukum Perkawinan Indonesia,
Alumni, Bandung, 1978.
Dll.

Strategi Pembelajaran
• Dalam Pembelajaran matakuliah ini menggunakan metode ceramah, diskusi,
presentasi, tanya jawab dan analisa.
TUGAS-TUGAS
• Tugas Individu, mahasiswa melakukan resume, membuat makalah, presentasi, dan
analisa. Tugas kelompok, mahasiswa melakukan resume, membuat makalah dan
analisa
• Bagi mahasiswa yang tidak mengumpulkan tugas (sesuai dengan unit kegiatan dan
jadualnya) maka akan dikurangi nilainya sebagaimana dijelaskan dalam pedoman
penilaian.

EVALUASI
• Jenis evaluasi dalam mata kuliah ini dengan menggunakan tes tulis untuk UTS
dan UAS juga menggunakan tugas individu, tugas kelompok dan aktifitas
selama proses perkuliahan
KRITERIA PENILAIAN
• Nilai A atau 4 dengan rentang nilai kuantitatif 85 -100
• Nilai B atau 3 dengan rentang nilai kuantitatif 75 - 84
• Nilai C atau 2 dengan rentang nilai kuantitatif  65 - 74
• Nilai D atau 1 dengan rentang nilai kuantitatif 55 – 64
• Nilai E atau 0 dengan rentang nilai kuantitatif dibawah 54
BAB I   
PENGERTIAN,ISTILAH DAN SUMBER HUKUM PERDATA

A. PENGERTIAN HK PERDATA
1. Salim HS adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik itu yang
tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan antara subjek
hukum satu dengan dengan subjek hukum yang lain dalam hubungan
kekeluargaan dan di dalam pergaulan kemasyarakatan
2. Riduan Syahrani ialah hukum yang mengatur hubungan hukum antara
orang yang satu dengan orang lain di dalam masyarakat yang
menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan
3. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, merupakan hukum yang mengatur
kepentingan antara warga negara perseorangan yang satu dengan warga
negara perseorangan yang lain

4. Subekti membagi Pengertian Hukum Perdata dalam dua arti :


a. Pengertian Hukum Perdata dalam Arti Luas yaitu semua hukum
(private materiiL), yaitu segala hukum pokok yang mengatur
kepentingan-kepentingan perseorangan
b. Pengertian Hukum Perdata dalam Arti Sempit, dipakai sebagai lawan
dari hukum dagang

5. Van Dunne adalah:“suatu peraturan yang mengatur tentang hal-hal yang


sangat esensial bagi kebebasan individu, seperti orang dan keluarganya,
hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum public memberikan jaminan
yang minimal bagi kehidupan pribadi”
6. Vollmar, : “aturan-aturan atau  norma-norma yang memberikan
pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada
kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara
kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang
dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan
keluarga dan hubungan lalu lintas”
7. Prof. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata adalah segala peraturan
hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dan
orang yang lain
Kesimpulan :
Hukum Perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antara:
a. Individu dengan Individu
b. Individu dengan Badan Hukum
c. Badan Hukum dengan Badan Hukum
B. ISTILAH HUKUM PERDATA
HK SIPIL/ HK
PRIVAT KUH PERDATA
CIVIELRECHT AND Burgerlijke Wetbook
 PRIVATRECHT
ISTILAH HK PERDATA

HK TDK TERTULIS HK ADAT

Istilah Hukum Perdata tertulis ialah hukum perdata yang termuat


dalam Kitab UU Perdata (Burgerlijke Wetbook) maupun peraturan
perundang-undangan lainnya.
Sedangkan Istilah Hukum Perdata tidak tertulis yaitu hukum adat,
yang merupakan hukum yang hidup dalam masyarakat.
C. SUMBER HUKUM PERDATA
Pada dasarnya sumber hukum dapat dibedakan menjadi 2 macam:
1.  Sumber hukum materiil
Sumber hukum materiil adalah tempat dari mana materi hukum itu
diambil. Misalnya hubungan social, kekuatan politik, hasil penelitian
ilmiah, perkembangan internasional, dan keadaan geografis.
2.   Sumber hukum formal
Sumber hukum formal adalah tempat memperoleh kekuatan hukum.
Berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan
hukum formal itu berlaku.
Vollmar membagi sb hk Perdata ada 4 :

a. KUHperdata ,
b. Traktat, Tertulis dan tidak
c. Yurisprudensi, dan tertulis
d. Kebiasaan (konvensi)

Tertulis Tdk tertulis

1. AB (algemene bepalingen van Wetgeving)


ketentuan umum permerintah Hindia Belanda
2. KUHPerdata (BW)
3. KUH dagang Kebiasaan atau Konvensi
4. UU No 1 Tahun 1974
5. UU No 5 Tahun 1960 Tentang Agraria.
SB Hk Perdata :
• a. Hukum Belanda Burgelijk Wetbook (BW)
• b. Hukum Islam
• c. Hukum Adat

• Ketiganya menjadi sb Hk Perdata dalam Hk Keluarga, HK Orang dan


HK Benda dan HK Waris
Kompetensi Mata : Agar mahasiswa memahami prinsip-prinsip dasar ilmu hukum
Kuliah perdata serta substansinya dengan harapan dapat menangkap
berbagai jenis dan macam kejahatan yang terjadi dalam
masyarakat, dalam rangka untuk dapat memformulasikan
perbuatan ke dalam pasal-pasal perundang-undangan hukum
perdata (KUH Perdt)
Kompetensi dasar:
Agar mahasiswa dapat mengetahui dan memahami substansi
dari hukum perdata.
BAB II  
KEDUDUKAN HUKUM PERDATA DI INDONESIA

A. Kedudukan Hk Perdata
1. Kedudukan KUHPerdata/BW tetap sebagai Undang- Undang.,
sebab BW tidak pernah dicabut dari kedudukannya sebagai UU.
2. Hukum Perdata yang berlaku di Indonesia masih beraneka
ragam (pluralistik), walaupun pada bidang tertentu tidak
dikodifikasi (seperti KUHPer dan KUHD)
3. (UU No 1 Thn 1974) hukum perkawinan , Hukum Agraria (UU No
5 Thn 1960), hukum waris, hukum perikatan dan lain – lain.
B. Kedudukan Hukum Perdata di Indonesia
Menurut Sahardjo Adiwinata, 1983; 26), bahwa BW tidak lagi sebagai suatu
undang-undang melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya
menggambarkan suatu kelompok hukum yang tidak tertulis.
BW bukan lagi sebagai Wetboek tetapi Rechtsboek yang hanya dipakai
sebagai pedoman“
Ditentang oleh Mahadi bahwa BW adalah sebagai berikut:
1. BW sebagai kodifikasi sudah tidak berlaku lagi;
2. Yang masih berlaku ialah aturan-aturannya, yang tidak bertentangan
dengan semangat serta suasana kemerdekaan;
3. Diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrina untuk menetapkan
aturan mana yang masih berlaku dan aturan mana yang tidak bisa
dipakai lagi;
4. Tidak setuju diambil suatu tindakan legislatif untuk menyatakan bahwa
aturan-aturan BW dicabut sebagai aturan-aturan tertulis.
BW sebagai UU yang dapat dijadikan rujukan hukum
BAB III
FUNGSI, TUJUAN & RUANG LINGKUP
A. Fungsi dan Tujuan Hukum Perdata
1. Fungsi
a. Mengatur kehidupan manusia dalam hal-hal keperdataan.
b. Untuk mempertahankan hak dan kepentingan seseorang.

2. Tujuan
a. menciptakan kedamaian antar sesama manusia 
b. mengatur hubungan-hubungan antara individu-individu dalam masyarakat
c. memberikan perlindungan hukum untuk mencegah tindakan main hakim sendiri
dan untuk menciptakan suasana yang tertib.
d. mencapai suasana yang tertib hukum dimana seseorang mempertahankan
haknya melalui badan peradilan sehingga tidak terjadi tindakan sewenang-
wenang.
B. Ruang Lingkup
Hukum perdata merupakan hukum yang meliputi semua hukum
“Privat materil”, yaitu segala hukum pokok yang mengatur
kepentingan-kepentingan perseorangan. Hukum perdata terdiri atas :
a. Hukum Perkawinan :
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Hukum Perkawinan mengatur ttg :
1. Syarat perkawinan (Pasal 7 UU No1. Th 1974)
2. Hak dan kewajiban suami istri (Pasal 31 UU No.1 Th 1974)
3. Percampuran kekayaan (Pasal 35 UU No.1 Th 1974)
4. Pemisahan kekayaan (Pasal 36 UU No.1 Th 1974)
1. Syarat perkawinan (Pasal 7 UU No 1 /1974) :
(1)  Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun
dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
2. Hak dan kewajiban suami istri (Pasal 31 UU No 1/ 1974
(1)  Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam
kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2)  Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
3. Percampuran kekayaan (Pasal 35 UU No 1/ 1974)
(1)  Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
(2)  Harta bawaan dari masing-masaing suami dan isteri,dan harta benda yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan,adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan  lain.
4. Pemisahan kekayaan (Pasal 36 UU No.1/ 1974)
(1)  Mengenai harta bersama,suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak.
(2)  Mengenai harta bawaan masing-masing,suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Dalam - Pembatalan perkawinan, Perjanjian perkawinan, Perceraian


b. Hukum Kekeluargaan
Hukum kekeluargaan mengatur tentang :
1. Keturunan
2. Kekuasaan orang tua (Outderlijke mactht)
3. Perwalian
4. Pendewasaan
5. Curatele (Pengampuan)
6. Orang hilang
c. Hukum Benda
Hukum tentang benda pada umumnya
Pengertian yang paling luas dari perkataan “Benda” (Zaak)
ialah segala sesuatu yang dapat dihaki/dimiliki oleh orang.
Tentang hak-hak kebendaan :
1) Bezit,Ialah suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai
suatu benda seolah-olahkepunyaan sendiri, yang ole hukum
diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas
benda itu sebenarnya ada pada siapa.
2) Eigendom, Ialah hak yang paling sempurna atas suatu benda
seorang yang mempunyai hak eigendom (milik) atas suatu
benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual,
menggadaikan, memberikan, bahkan merusak)
3) Hak-hak kebendaan di atas benda orang lain, Ialah suatu beban
yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk keperluan
suatu pekarangan lain yang berbatasan.
4) Pand dan Hypotheek, Ialah hak kebendaan ini memberikan
kekuasaan atas suatu benda tidak untuk dipakai, tetapi
dijadikan jaminan bagi hutang seseorang.
5) Piutang-piutang yang diberikan keistimewaan (previlage), Ialah
suatu keadaan istimewa dari seorang penagih yang diberikan
oleh undang-undang berdasarkan sifat piutang.
6) Hak reklame, Ialah hak penjual untuk meminta kembali barang
yang telah dijualnya apabila pembeli tidak melunasi
pembayarannya dalam jangka waktu 30 hari.
c. Hukum Waris
• 1)    Hak mewarisi menurut undang-undang
• 2)    Menerima atau menolak warisan
• 3)    Perihal wasiat (Testament)
• 4)    Fidei-commis
• Ialah suatu pemberian warisan kepada seorang waris dengan ketentuan, ia
wajib menyimpan warisan itu dan setelah lewat suatu waktu atau apabila si
waris itu sendiri telah meninggal warisan itu harus diserahkan kepada seorang
lain yang sudah ditetapkan dalam testament.
• 5)    Legitieme portie
• Ialah suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat dihapuskan
oleh orang yang meninggalkan warisan.
• 6)    Perihal pembagian warisan
• 7)    Executeur-testamentair dan Bewindvoerder
• Ialah orang yang akan melaksanakan wasiat.
• 8)    Harta peninggalan yang tidak terurus
• d. Hukum Perikatan
• Hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban
untuk memenuhi tuntutan itu.
• Hukum perikatan terdiri atas :
1) Perikatan dan sumber-sumbernya
2) Macam-macam perikatan
3) Perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang
4) Perikatan yang lahir dari perjanjian
5) Perihal resiko, wanprestasi dan keadaan memaksa
6) Perihal hapusnya perikatan-perikatan
7) Beberapa perjanjian khusus yang penting
BAB IV
ASAS-ASAS HUKUM PERDATA

A. Pembagian Hukum Perdata


Hukum perdata dapat dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Hukum perdata materil berkaitan dengan muatan atau materi yang
diatur dalam hukum perdata itu sendiri.
2. sedangkan hukum perdata formil adalah hukum yang berkaitan
dengan proses perdata atau segala ketentuan yang mengatur
mengenai bagaimana pelaksanaan penegakan hukum perdata itu
sendiri, seperti melakukan gugatan di pengadilan. Hukum perdata
formil juga dikenal dengan sebutan hukum acara perdata. Hukum
acara formil memiliki fungsi untuk mempertahankan isi hukum acara
materil. Selain itu hukum perdata formil juga memiliki fungsi yaitu
untuk mempertahankan hak dan kepentingan seseorang.
B. Asas-Asas Hukum Perdata
1. Asas kebebasan berkontrak,
Bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik
yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur
dalam undang-undang (Pasal 1338 KUHPdt).
Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338
ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada
para pihak untuk:
• 1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
• 2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
• 3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
• 4. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
• 2. Asas Konsensusalisme (Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt).
Syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua
belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian
pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan
adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian
antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensusalisme diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman.
Didalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi
lebih dikenal dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal.
Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan
secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan).
Perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan
bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah
tangan).
• 3.  Asas Kepercayaan
• Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang
akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang
diadakan diantara mereka dibelakang hari. (1338 ayat 3)
• 4.   Asas Kekuatan Mengikat (Pasal 1340 KUHPdt)
• Asas yang menyatakan bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para
fihak yang mengikatkan diri pada perjanjian tersebut dan sifatnya hanya
mengikat ke dalam
• Pasal 1340 KUHPdt berbunyi: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak
yang membuatnya.”
• Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para
pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya.
• Pengecualiannya sebagaimana dalam Pasal 1317 KUHPdt yang
menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak
ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu
pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”
• Pasal 1318 KUHPdt, tidak hanya mengatur perjanjian untuk diri
sendiri, melainkan juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk
orang-orang yang memperoleh hak daripadanya.
• Perbandingan Pasal 1317dan 1318 KUHPdt
- Pasal 1317 KUHPdt mengatur tentang perjanjian untuk pihak
ketiga, mengatur tentang pengecualiannya dari Pasal 1340
- Pasal 1318 KUHPdt untuk kepentingan dirinya sendiri, ahli
warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak dari yang
membuatnya. Memiliki ruang lingkup yang luas.
• 5. Asas Persamaan hukum,
Asas persamaan hukum adalah bahwa subjek hukum yang
mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban
yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan
antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda
warna kulit, agama, dan ras.
• 6. Asas Keseimbangan,
Asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan
melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk
menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan
prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula
kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik
• 7.   Asas Kepastian Hukum,
• Asas kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda
merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt
servanda merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati
substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah
undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak.
• Asas pacta sunt servanda   Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini pada mulanya
dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya
suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan
dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan
oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur
keagamaan.
• Dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda diberi arti
sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan dengan sumpah dan
tindakan formalitas lainnya.
• Sedangkan istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.
• 8.  Asas Moral
• Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela
dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi
dari pihak debitur.
• Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan
dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum
untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang
memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu
adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya
• 9.  Asas Perlindungan
• Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur
harus dilindungi oleh hukum. Yang perlu mendapat perlindungan itu adalah
pihak debitur karena berada pada posisi yang lemah.
• Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan
dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari,
sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana
sebagaimana diinginkan oleh para pihak
• 10.  Asas Kepatutan (Ps. 1339 KUHPdt)
• Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang
diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya.
• Isi dari suatu perjanjuan harus patut berdasarkan sifatnya.
• 11.  Asas Kepribadian (Personality) Ps. 1315 dan Ps. 1340 KUHPdt.
• Asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan
dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan
saja.
• Pasal 1315 KUHPdt menegaskan: “Pada umumnya seseorang
tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk
dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk
mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk
kepentingan dirinya sendiri.
• Ps 1340 KUHPdt menegaskan bhw :Perjanjian hanya berlaku
antara pihak yang membuatnya.”
• 12.  Asas Itikad Baik (Good Faith)  Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt
• Dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus
dilaksanakan dengan itikad baik.”
• Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur
dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik
dari para pihak.
• Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi
(relative) dan itikad baik mutlak (absolute).
a. Pada itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan
tingkah laku yang nyata dari subjek.
b. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan
keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai
keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma
yang objektif..
• Asas Hukum Perdata Eropa Tentang Orang :
1.Asas yang melindungi hak asasi manusia, (Pasal 1dan 3 KUHPdt)
Asas tidak boleh terjadi pembatasan atau pengurangan hak asasi
manusia karena Undang-undang atau keputusan hakim.
2. Asas setiap orang harus mempunyai nama dan tempat kediaman
hukum (domisili), (Pasal 5a dan Bagian 3 Bab 2 Buku I KUHPdt)
Tiap orang yang mempunyai hak dan kewajiban mempunyai
identitas yang sedapat mungkin berlainan satu dengan lainnya
Pentingnya Domisili :
a. Dimana orang harus menikah
b. Dimana orang harus dipanggil oleh pengadilan
c. Pengadilan mana yang berwenang terhadap seseorang, dsb
• 3. Asas Perlindungan kepada Orang yang tak lengkap,
Orang yang dinyatakan oleh hukum tidak mampu melakukan perbuatan hukum
mendapat perlindungan bila ingin melakukan perbuatan hukum (Pasal 1330 KUHPdt),
contoh :
a. Orang yang belum dewasa diwakili oleh walinya baik itu orang tua kandung atau wali
yang ditnjuk oleh hakim atau surat wasiat.
b. Mereka yang diletakkan dibawah pengampuan, bila mereka hendak melakukan
perbuatan hukum diwakili oleh seorang pengampu (Curator)
c. Wanita yang bersuami bila hendak melakukan perbuatan hukum harus didampingi
suaminya.
• 4. Asas monogami dalam hukum perkawinan barat,
Laki-laki hanya boleh mengambil seorang wanita sebagai istri dan wanita hanya boleh
mengambil seorang laki-laki sebagai suaminya(Pasal 27 KUHPdt).
Dalam Undang-undang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 3 ayat 2 pengadilan
diperbolehkan memberi ijin seorang suami untuk beristri lebih dari satu bila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
• 5.Asas bahwa suami dinyatakan sebagai kepala keluarga,
Kpl Keluarga betugas memimpin dan mengurusi kekayaan keluarga (Pasal105 KUHPdt)
BAB V
SUBYEK HUKUM (ORANG & BADAN HUKUM)

A. Pengertian Subyek Hukum


Subyek Hukum (Rechts Subjek) yaitu merupakan segala sesuatu yang
menurut hukum dapat menjadi pendukung (dapat memiliki) hak dan
kewajiban
Menurut Algra adalah setiap orang yang mempunyai hak dan
kewajiban, yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid).
Wewenang hukum sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subyek
dari hak-hak
Subyek hokum ada dua : Manusia (Naturlijke Person) dan Badan
Hukum (Vicht Person).
B. Subyek Hukum Manusia
Secara yuridis ada dua alasan yang menyebutkan manusia sebagai
subyek hukum yaitu:
1. Manusia mempunyai hak-hak subyektif
2. Kewenangan hukum, dalam hal kewenangan hukum berarti,
kecakapan untuk menjadi subyek hukum yaitu sebagai
pendukung hak dan kewajiban

Dasar manusia menjadi Subyek Hukum


- Berdasarkan Pasal 2 KUH Perdata setiap manusia adalah subyek
hukum (sejak dilahirkan sampai meninggal dunia)
• Dalam hukum, tidak semua orang dapat diperbolehkan bertindak
sendiri di dalam melaksanakan hak-haknya  digolongkan sebagai
orang yang “tidak cakap” atau “kurang cakap”
• Orang yang “tidak cakap atau kurang cakap” harus diwakili atau
dibantu oleh orang lain.
• Berdasarkan ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata, orang-orang yang
tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah:
1. Orang yang belum dewasa
Berdasarkan KUHPdt Pasal 1330 Ayat 1 yang dimaksud dengan
orang yang belum dewasa (masih dibawah umur) adalah
seseorang yang usianya belum mencapai 21 tahun, terkecuali
yang tercantum pada Ayat 2 bagi seseorang yang walaupun belum
berusia 21 tahun tetapi sudah menikah maka orang tersebut
dapat dianggap dewasa dan dapat melakukan perbuatan hukum
2. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan atau pengawasan
(curatele)
Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan atau pengawasan,
menurut Pasal 430 KUHPdt, ada 4 alasan untuk pengampuan atau
pengawasan yaitu:
a. Boros
b. Lemah akal budinya, misalnya imbisil atau debisil
c. Kekurangan daya berpikir : sakit ingatan, dungu, dan dungu disertai
mengamuk
d. Seorang wanita yang bersuami (para istri)
C. Subyek Hukum  Badan Hukum
- Badan Hukum adalah suatu perkumpulan atau lembaga yang di buat
oleh hukum dan mempunyai tujuan tertentu.
- Sebagai subyek hukum, badan hukum mempunyai syarat-syarat
yang telah ditentukan oleh hukum yaitu: (Teori Kekayaan
bertujuan) :
1. Memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggotanya.
2. Hak dan kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan
kewajiban para anggotanya.

- Badan Hukum sebagai subyek hukum ada dua macam, yaitu:


(1) Badan Hukum Publik, seperti Negara, Provinsi, dan Kabupaten.
(2) Badan Hukum Perdata, seperti Perseroan Terbatas (PT), Yayasan
dan Koperasi
BAB VI
HUKUM PERKAWINAN & HUKUM KEWARISAN

A. Hukum Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Pasal 26 KUH Perdata, Undang-undang memandang soal
perkawinan hanya dalam hubungan perdata. Sehingga
berdasarkan ketentuan tersebut perkawinan itu hanya
merupakan hubungan lahiriah saja.
Pasal 1 No. 1 Th 1974 jo UU No 16 Tahun 2019 ttg UUP :
Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan
membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Syarat Syahnya Perkawinan
1. Syarat Meteriil
Syarat yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai sebelum
dilangsungkannya perkawinan.
Syarat Materiil ada dua yaitu syarat Mutlak dan Relatif:
a) Syarat Mutlak (Absolut) :
Syarat absolut adalah syarat yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan
melakukan perkawinan, yang meliputi :
1) Salah satu pihak atau keduanya tidak dalam status perkawinan;
2) Harus memenuhi batas umur minimal untuk perkawinan;
3) Harus ada persetujuan antara calon mempelai;
4) Bagi janda sudah lewat waktu tunggu;
5) Harus ada ijin dari orang tua/orang tertentu
6) Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami atau isteri yang sama.
2) Syarat Relatif
Syarat materiil relatif yaitu ketentuan yang merupakan larangan bagi seseorang untuk
kawin dengan orang tertentu, yang:
1) Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
2) Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara
seseorang dengan saudara orang tua, antara seorang dengan saudara neneknya;
3) Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
4) Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan
bibi/paman susuan;
5) Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dan isteri,
dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
6) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,
dilarang kawin;
7) Larangan untuk kawin dengan orang yang diajak melakukan perbuatan zinah;
8) Larangan untuk memperbaharui (rujuk) setelah perceraian jika belum lewat 1 tahun.
2. Syarat Formil
1) Sebelum perkawinan dilangsungkan yang meliputi pemberitahuan
oleh calon mempelai kepada Pegawai Pencatat Perkawinan dan
pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan bahwa akan
dilangsungkannya perkawinan.
2) Pada waktu perkawinan dilangsungkan calon suami isteri harus
menyerahkan syarat-syarat atau akta-akta, antara lain: - akte kelahiran
atau akte kenal lahir; - akte tentang ijin kawin; - dispensasi untuk
kawin apabila diperlukan; - bukti bahwa pengumuman kawin telah
dilangsungkan atau bukti bahwa pencegahan telah digunakan, dan
lain-lain.
3) Perkawinan sah apabila setelah memenuhi persyaratan materiil dan
formal, perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya itu yang kemudian dicatat oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan.
3. Pencegahan dan Pembatalan Perkawinan
• Antara pencegahan dan kebatalan perkawinan terdapat perbedaan dan persamaan.
• Perbedaanya, pada pencegahan, perkawinan belum dilangsungkan, sedangkan dalam
hal pembatalan, perkawinan telah dilangsungkan.
• Persamaannya adalah bahwa keduanya tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan.

Orang yang dapat mengajukan pencegahan perkawinan adalah:


Berdasarkan Pasal 14 UUP :
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah,
b. saudara,
c. wali nikah,
d. wali,
e. pengampu dan salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan
termasuk orang yang masih terikat perkawinan dengan salah satu calon mempelai.
Pihak dapat mengajukan pembatalan perkawinan (Pasal 23 UUP) yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 UU ini dan setiap orang
yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap
perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
B. Hukum Waris
1.Pengertian Hukum Waris.
• R. Santoso Pudjosubroto, Hukum Waris adalah hukum yang mengatur
apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang
harta benda seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih
kepada orang lain yang masih hidup.
• B. Ter Haar Bzn, Pengertian Hukum Waris ialah aturan-aturan hukum
mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan
dari harta kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dan dari
generasi ke generasi.
• Soepomo mengatakan bahwa, Hukum Waris yaitu peraturan-peraturan
yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang
yang tidak berwujud benda (immaterielle goederen) dari suatu angkatan
manusia (generatie) kepada turunannya
• Kesimpulan dari pendapat di atas :
1. Hukum Waris adalah kumpulan peraturan yang mengatur mengenai kekayaan
yang ditinggalkan oleh yang meninggal dan akibat dari pemidahan ini bagi
orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara mereka
dengan mereka, maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.
2. Hukum Waris merupakan perangkat kaidah yang mengatur tentang cara atau
proses peralihan harta kekayaan dari pewaris kepada ahli waris atau para ahli
warisnya.
3. Hukum Waris merupakan salah satu bagian dari hukum perdata secara
keseluruhan dan merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum
waris pada dasarnya sangat berkaitan dengan ruang lingkup kehidupan
manusia, karena setiap manusia dimuka bumi ini pastinya akan mengalami
peristiwa hukum yang dinamakan kematian.
Beberapa istilah berkaitan dengan Hk Waris, sebagai berikut :
1. Waris ialah orang yang berhak menerima pusaka (peninggalan orang yang
telah meninggal);
2. Warisan berarti harta peninggalan, surat wasiat dan pusaka;
3. Pewaris yaitu orang yang memberi pusaka, yaitu orang yang meninggal dunia
dan meninggalkan sejumlah pusaka, harta kekayaan maupun surat wasiat;
4. Ahli waris adalah orang yang menjadi pewaris, berarti orang-orang yang
berhak menerima harta peninggalan dari si pewaris;
5. Mewarisi ialah mendapat harta pusaka, biasanya segenap ahli waris berhak
mewarisi harta peninggalan pewarisnya.
6. Proses pewarisan, istilah proses pewarisan mempunya dua pengertian atau
dua makna, yaitu :
(a) Berarti penunjukan atau penerusan para waris ketika pewaris masih hidup.
(b) Berarti pembagian harta warisan terjadi setelah pewaris meninggal.
2. Macam-macam Hukum Waris
a. Hukum Waris Islam
Sumber Hukum waris Islam adalah Al Quran, lalu Hadist, kemudian ijma’. Sumber utama
dalam hukum Waris Islam adalah Al Quran surat An-Nisa' ayat 11-12.
Hukum Waris Islam atau ilmu faraidh adalah ilmu yang mengetahui siapa yang berhak
mendapat waris dan siapa yang tidak berhak, dan juga berapa ukuran untuk setiap ahli waris.
• Dzawil Furudl adalah anggota keluarga yang memiliki hak atas harta peninggalan seorang yang
meninggal dunia, yaitu :
• Laki-laki :
• Anak laki-laki
• Cucu laki-laki dari anak laki-laki
• Ayah
• Kakek / ayahnya ayah
• Saudara kandung
• Anak laki-laki dari saudara laki-laki
• Suami
• Paman
• Anak dari paman
• Laki-laki yang memerdekakan budak
Pembagiannya :
• Anak laki-laki itu tidak memiliki bagian yang tertentu (fardh) dalam
pembagian warisan orang tuanya
• Laki-laki menempati posisi 'Ashabah. bisa semuanya, sisa; tapi tidak
mungkin tidak dapat bagian.

Perolehan Warisnya:
1. Kalau sendirian, ia mengambil semua.
a. A.lk : 100%
2. Kalau ia berdua dengan saudara laki-laki atau lebih, berbagi rata.
a. A.lk : 1/3, 
b. B.lk: 1/3, 
c. C.lk. : 1/3
3. Kalau ia bersama saudara perempuan, ia dapat dua bagian, dan
seorang saudara perempuan mendapat satu bagian.
a. A.lk. : 2/3; 
b. B.pr. : 1/3
4. Kalau ada ahli waris lain, maka ia dapat sisa ('Ashabah), sisa itu
dibagi seperti pada poin 1, 2 dan 3.
a. Bapak : 1/4
b. A.lk. : 1/2
c. B.pr. : 1/4
Perempuan :
• Anak perempuan
• Cucu perempuan dari anak laki-laki
• Ibu
• Nenek
• Saudari kandung (perempuan)
• Istri
• Wanita yang memerdekakan budak
• Pembagian
• ½ (Setengah atau separoh)
• Anak perempuan, Cucu perempuan dari anak laki-laki, Saudari seayah Ibu, Saudari
seayah dari Suami jika tanpa anak.
• ¼ (Seperempat)
• Suami bersama anak atau cucu, Istri tanpa anak atau cucu dari anak laki-laki.
• 1/8 Seperdelapan
• Istri bersama Anak atau cucu dari anak laki-laki
• 1/3 Sepertiga
• Ibu tanpa ada anak, Saudari seibu 2 orang atau lebih.
• 2/3 Duapertiga
• Anak perempuan, Cucu perempuan dari anak laki-laki, Saudari seayah ibu, Saudari
seayah
• 1/6 Seperenam
• Ibu bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, Nenek, Saudari seayah bersama
Saudari seayah ibu, Ayah bersama anak atau cucu dari anak laki-laki, Kakek.
Contoh Kasus Waris Yang Melibatkan Anak:
Soal 1. 
Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris sbb.:
Seorang suami, seorang ibu, seorang bapak, 2 anak laki-laki dan 2
orang anak perempuan. Jumlah harta yang ditinggalkan Cuma
1 Milyar. Berapakah bagian masing-masing ahli waris ?

Soal 2.
Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan harta sebesar
500 jt, sementara ahli warisnya adalah:
Seorang isteri, seorang ibu., 1 anak perempuan dan 2 anak laki-laki,
berapakah bagian masing-masing ahli waris ?
Soal 1. 
Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan ahli waris sbb.:
Seorang suami, seorang ibu, seorang bapak, 2 anak laki-laki dan 2 orang
anak perempuan. Jumlah harta yang ditinggalkan Cuma 1 Milyar.
Berapakah bagian masing-masing ahli waris ?
Jawab :
Soal 2.
Seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan harta sebesar
500 jt, sementara ahli warisnya adalah:
Seorang isteri, seorang ibu., 2 anak perempuan dan 2 anak laki-laki,
berapakah bagian masing-masing ahli waris ?
Jawab :
3. Sebab-Sebab lahirnya Waris (Islam)
a. Hubungan Kekerabatan
Kekerabatan ialah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan
orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran.
b. Hubungan Perkawinan
Hubungan perkawinan yang menyebabkan terjadinya saling mewarisi
adalah perkawinan yang sah, yaitu perkawinan yang syarat dan rukunnya
terpenuhi Sumber hukum kewarisan Islam adalah al-Quran, al-hadis, ijma’
dan sumber hukum lainnya.
c. Hubungan al Wala.
Wala dalam pengertian syariat adalah : kekerabatan menurut hukum yang
timbul karena membebaskan (memberi hak emansipasi) budak dan
kekerabatan menurut hukum yang timbul karena adanya perjanjian tolong
menolong dan sumpah setia antara seseorang dengan seseorang yang lain
• 4. RUKUN –RUKUN MEWARISI
Untuk terjadinya sebuah pewarisan harta, maka harus
terpenuhi Rukun- rukun waris. Bila ada salah satu dari rukun-
rukun tersebut tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan.
Menurut  hukum Islam , rukun – rukun mewarisi ada 3 yaitu :
a. Muwarrits (Pewaris)
b. Warits (Ahli waris)
c. Mauruts (harta waris)
.b. Waris Barat (KUH PERDATA)
1. Prinsip Waris dalam KUHPerdata
a) Pewarisan beralih kepada para ahli waris
b) Jika ada orang meninggal maka harta kekayaan beralih kepada ahli
waris (Pasal 833 ayat (1) KUHPerdata)
c) Yang berhak mewarisi adalah keluarga ahli waris.
d) harta peninggalan tidak boleh dibiarkan dalam keadaan tidak
terbagi, kecuali jika hal itu terjadi, dengan persetujuan para ahli
waris.
e) Bayi atau anak yang baru lahir bahkan anak dalam kandungan
berhak atas suatu warisan. (Pasal 2 KUHPerdata).
Pasal 2 KUHPerdata menyatakan bahwa bayi yang belum lahir
(masih dalam kandungan) mempunyai hak waris
• 2. Terjadinya Pembagian Pewarisan
a) Karena undang undang, yang disebut pewarisan ab-intestato dan para ahli
waris disebut ahli waris ab-intestaat.
b) Karena testament atau surat wasiat.

3. Penggolongan Pewarisan
a. Golongan I : anak anak dan keturunan serta janda atau duda yang hidup
terlama (Pasal 852 KUHPerdata)
b. Golongan II :orang tua, saudara laki laki, saudara perempuan dan keturunan
dari saudara laki laki dan saudara perempuan (Pasal 854, 857, 859
KUHPerdata)
c. Golongan III :Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas sesudah orang tua
(Pasal 853 KUHPerdata)
d. Golongan IV: Keluarga sedarah lainnya dalam garis menyamping sampai
derajat ke enam (Pasal 858 KUHPerdata)
4. Legitine Portie Anak – Anak & Keturunan
Besarnya bagian mutlak ini ditentukan berdasarkan besarnya bagian ab-
intestato dari legitimaris yang bersangkutan.
Legitine portie adalah merupakan pecahan dari bagian ab intestato.
Untuk mengetahui besarnya bagian mutlak anak-anak & keturunanya terlebih
dahulu harus dilihat dari jumlah anak yang ditinggalkan oleh pewaris.
Untuk lebih jelasnya berdasarkan Pasal 914 KUH Perdata yang pada pokoknya
adalah sebagai berikut:
a) Jika yang ditinggalkan hanya seorang anak, maka legitine portie anak itu
adalah 1/2 (setengah) dari harta peninggalan.
b) Jika yang ditinggalkan dua orang anak, maka legitine portie masing-masing
anak adalah 2/ 3 dari bagian ab intestato masing-masing anak itu
c) Jika yang ditinggalkan tiga orang anak atau lebih, maka bagian masing-
masing anak adalah 3/4 dari bagian ab intestato masing-masing anak itu“.
C. Hukum Waris Adat
1. Hk Waris Adat Jawa
b. Hk Waris adat Sunda
c. Hukum Waris Adat Luar Jawa
1) Minang, yang berhak mewarisi garis keturunan Perempuan,
karena menganut Struktur Matriarkal. Pewarisnya Ninik Mamak
2) Batak, yang berhak mewarisi garis keturunan Laki-laki.
3) Papua, yang berhak mewarisi garis keturunan Laki-laki
4) Tempat lain tergantung adatnya.
BAB VII
HUKUM PERIKATAN & HUKUM PERJANJIAN

A. Hukum Perikatan
1. Pengertian Perikatan
Perikatan merupakan terjemahan dan kata “verbitenis”. Yang
diterjemahkan dengan istilah perikatan atau istilah perutangan.
Pengertian perikatan adalah hubungan hukum di dalam hukum harta
kekayaan antara dua pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban atas
suatu prestasi.
Kesimpulan :
- Hk Perikatan adalah hubungan hukum
- Ada dua pihak yang melakukan
- Menimbulkan hak dan kewajiban
Perikatan menurut Para Ahli :
• Pitlo
Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara
dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan
pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
• Von Savigny:
Perikatan hukum adalah hak dari seseorang (kreditur) terhadap seseorang lain
(debitur).
• Yustianus:
Suatu perikatan hukum atau obligatio adalah suatu kewajiban dari seseorang
untuk mengadakan prestasi terhadap pihak lain.
• Prof. Subekti:
Perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak,
berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.
• Prof. Soediman Kartohadiprodjo:
Hukum perikatan ialah kesemuanya kaidah hukum yang mengatur hak
dan kewajiban seseorang yang bersumber pada tindakannya dalam
lingkungan hukum kekayaan.
• Abdulkadir Muhammad:
Perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara debitur dan
kreditur, yang terletak dalam bidang harta kekayaan.
• Dengan demikian unsur-unsur dari suatu perikatan adalah3:
a. adanya suatu hubungan hukum;
b. di antara dua pihak, yaitu pihak yang memiliki kewajiban (debitur)
dan pihak yang memperoleh hak (kreditur);
c. berada di bidang hukum harta kekayaan;
d. tujuannya adalah prestasi
2. Sumber Perikatan
a. Berdasarkan Pasal 1233 KUH Perdata
1) perjanjian
2) Undang-undang :
a) UU,
b) UU karena perbuatan manusia - perbuatan menurut hukum -
perbuatan melawan hukum
b. Di luar KUHPerdata
3) putusan pengadilan
4) moral-otonom (kesusilaan) - heteronom (sopan santun) –
- Perikatan yang bersumber dari perjanjian, UU dan putusan
pengadilan adalah obligatio civilis, yaitu perikatan yang mempunyai
akibat hukum.
- Perikatan yang bersumber pada moral adalah obligatio naturalis, yaitu
perikatan yang tidak mempunyai akibat hukum
3. Macam-macam Perikatan
Berdasarkan ketentuan dalam Buku III KUH Perdata, maka perikatan
dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu:
a. Perikatan bersyarat (Pasal 1253 — 1267 KUHPerdata) Suatu
perikatan bersyarat manakala ia digantungkan pada suatu
peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum tentu
akan terjadi, baik cara menangguhkan perikatan menurut
terjadinya peristiwa itu, maupun cara membatalkan perikatan
menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut.
b. Perikatan dengan ketetapan waktu (Pasal 1 268 — 1 27 1
KUHPerdata) Suatu ketetapan waktu (termijn) tidak
menangguhkan lahirnya perikatan, melainkan hanya
menangguhkan pelaksanaannya.
c. Perikatan manasuka/alternatif (Pasal 1272 - 1277 KUHPerdata). Dalam
perikatan manasuka debitur dibebaskan jika ia menyerahkan salah
satu dan dua barang yang disebutkan dalam perikatan, tetapi ia tidak
dapat mamaksa kreditur untuk menerima sebagian dan barang yang
satu dan sebagian dan barang yang lainnya. Hak memilih ada pada
debitur jika hak tersebut tidak secara tegas diberikan kepada kreditur.
d. Perikatan tanggung renteng/tanggung menanggung (Pasal 1278 - 1295
KUHPerdata). Perikatan tanggung renteng terjadi antara beberapa
orang kreditur. jika di dalam perjanjian secara tegas kepada masing-
masing diberikan hak untuk menuntut pemenuhan seluruh hutang
dan pembayaran yang dilakukan kepada salah satu kreditur
membebaskan debitur. Perikatan tanggung renteng juga terjadi pada
para debitur jika mereka kesemuanya diwajibkan melakukan hal yang
sama, sedemikian bahwa salah satu dapat dituntut untuk seluruhnya,
dan pemenuhan oleh salah satu membebaskan debitur yan lain
terhadap kreditur.
e. Perikatan yang dapat dibagi-bagi dan yang tidak dapat dibagi-bagi (Pasal
1296— 1303 KUHPerdata)
Suatu perikatan dapat dibagi-bagi atau tidak dapat dibagi-bagi, perikatan
mengenai suatu barang yang penyerahannya, atau suatu perbuatan yang
pelaksanaannya dapat dibagi-bagi atau tidak dapat dibagi-bagi, baik secara
nyata maupun secara perhitungan.
Suatu perikatan adalah tidak dapat dibagi-bagi, meskipun barang atau
perbuatan yang dimaksudkan karena sifatnya dapat dibagi-bagi, jika barang
atau perbuatan tadi menurut maksud perikatan tidak boleh diserahkan atau
dilaksanakan sebagian demi sebagian.
f. Perikatan dengan ancaman hukuman (Pasal 1 304 — 1 3 12 KUHPerdata)
Suatu perikatan dimana debitur diwajibkan melakukan sesuatu, jika
perikatan tidak dipenuhi. Tujuan dan perikatan dengan ancaman hukuman:
1) menjamin agar prestasi dipenuhi debitur;
2) membebaskan kreditur dan pembuktian tentang jumlah besarnya
kerugian jika terjadi wanprestasi.
B. Hukum Perjanjian
1. Pengertian Hukum Perjanjian
Istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst, yang
berasal dan kata kerja overeenkornen yang berarti setuju atau sepakat.
Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata adalah: “Suatu perianjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Pasal 1313 KUHPerdt mengandung kelemahan pada kata “suatu
perbuatan”.
a. Suatu perbuatan bisa perbuatan hokum dan perbuatan biasa.
Padahal perjanjian adalah perbuatan hokum.
b. Kata satu orang hanya menunjuk pengertian ‘sepihak saja’, padahal
perjanjian harus dua pihak.
c. Rumusannya terlalu luas, karena hukum keluarga bisa masuk.
Perjanjian menurut Para Ahli :
1. Sudikno Mertokusumo
“Perjanjian adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”.
2. R.Setiawan
R Setiawan menerjemahkan kata overeenkomst sbg Persetujuan.
Persetujuan adalah “suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih”.
Dari perumusan di atas maka perjj adl sbb :
- Ada dua pihak yang melakukan
- Ada kesepakatan para pihak
- Ada akibat hukum (hak dan kewajiban)
2. Asas-asas Perjanjian
a. Asas konsensualisme.
Asas ini berhubungan dengan saat lahimya perjanjian. Berdasarkan
asas ini maka perjanjian itu lahir sejak adanya kata sepakat
diantara para pihak.
Asas konsensualisme dapat dijumpai dalam Pasal 1320 butir 1 jo
Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang mengatakan bahwa “semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya”.
- Perjanjian telah lahir sejak saat tercapainya kesepakatan antara
para pihak.
- Asas ini bertentangan dengan UU yaitu dalaam perjanjian riil.
Karena perjj riil adalah lahirnya perjanjian tidak ada saat adanya
kata sepakat, tetapi pada saat obyek diserahkan secara nyata.
• b. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini erat sekali kaitannya dengan isi, bentuk dan jenis dari
perjanjian yang dibuat.
Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang
menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
Kata “semua” yang mengandung 5 makna, bahwa setiap orang bebas:
1) untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian
2) mengadakan perjanjian dengan siapapun;
3) menentukan bentuk perjanjian yang dibuatnya;
4) menentukan isi dan syarat-syarat perjanjian yang dibuatnya;
5) untuk mengadakan pilihan hukum ,maksudnya yaitu bebas untuk
memilih pada hukum mana perjanjian yang dibuatnya akan
tunduk.
• c. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini berhubungan dengan ‘akibat suatu perjanjian’. Diatur
dalam Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUH Perdata.
Asas pacta sunt servanda berarti para pihak harus mentaati
perjanjian yang telah mereka buat seperti halnya mentaati undang-
undang, maksudnya apabila diantara para pihak ada yang
melanggar perjanjian tersebut maka pihak tersebut dianggap
melanggar undang-undang ada sanksi hk bagi yg melanggar perjj.
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yaitu “suatu perjanjian
tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah
pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu.”
• d. Asas itikad baik
Asas itikad baik berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian.
Asas ini menghendaki bahwa apa yang diperjanjikan oleh para pihak
tersebut harus dilaksanakan dengan memenuhi tuntutan keadilan dan
tidak melanggar kepatutan.
Kepatutan harus sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH
Perdata yaitu “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Itikad baik mempunyai dua pengertian yaitu:
a) Dalam arti subyektif, (hukum benda dan dalam hukum perikatan).
Itikad baik disini dapat diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam
melakukan suatu perbuatan hukum yaitu yang terletak pada sikap
batin seseorang.
b) Dalam arti obyektif, Itikad baik dalam arti obyektif yaitu bahwa
pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada norma kepatutan
atau apa-apa yang dirasakan sesuai dengan yang patut dalam
masyarakat.
• e. Asas kepribadian
Asas ini diatur dalam KUH Perdata Pasal 1340 ayat (1) yang
menyatakan bahwa “Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-
pihak yang membuatnya.”
Suatu perjanjian tidak boleh menimbulkan hak dan kewajiban dan
tidak boleh mendatangkan keuntungan atau kerugian pada pihak
ketiga, kecuali telah ditentukan lain oleh undang-undang.
Ketetntuan tsb diatur dalam Pasal 1340 ayat (2) yang menyatakan
bahwa “suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-
pihak ketiga; tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat
karenanya. (lihat juga Pasal 1317 KUHPerdata).
• 2. Syarat Sahnya Perjanjian
Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata harus memenuhi 4 syarat :
1) Ada kata ‘sepakat’ mereka yang mengikatkan dirinya;
2) ‘Cakap’ untuk membuat suatu perjanjian;
3) Suatu ‘hal tertentu’;
4) Suatu sebab yang ‘halaL’
Syarat pertama dan kedua disebut syarat subyektif (relative), menyangkut
orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian.
Apabila syarat pertama dan kedua tidak dipenuhi maka perjanjian dapat
dimintakan pembatalan (vernietigbaar).
Syarat yang ketiga dan keempat disebut syarat obyektif (mutlak) ,
menyangkut isi perjanjian. Apabila syarat obyektif ini tidak dipenuhi maka
perjanjian tersebut batal demi hukum, artinya perjanjian tersebut tanpa
dimintakan pembatalannya oleh hakim sudah batal dengan sendirinya atau
dengan kata lain perjanjian tersebut dianggap tidak pernah terjadi.
Ad 1) SEPAKAT
• Kata sepakat dlm perjanjian menjadi syarat mutlak ada dalam
perjanjian
• Kata sepakat dari para pihak dalam perjanjian harus berupa
kesepakatan yang bebas artinya benar-benar atas kemauan
sukarela dari para pihak yang mengadakan perjanjian, sehingga
sepakat yang diberikannya bukan karena kekhilafan, paksaan atau
penipuan.
• Apabila sepakat yang diberikan itu karena kekhilafan, paksaan
atau penipuan maka dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut
mengandung cacat kehendak.
• Pasal 1322 KUH Perdata menyatakan bahwa kekhilafan tidak
mengakibatkan batalnya suatu perjanjian.
• Berdasarkan pasal 1322 KUH Perdata tersebut, ada 2 jenis kekhilafan
yaitu:
a) Kekhilafan mengenai orang dengan siapa seseorang mengikatkan
dirinya (error in persona);
b) Kekhilafan mengenai hakikat bendanya (error in substantia).
Selain kekhilafan, hal lain yang menyebabkan suatu kesepakatan
tidak sah adalah karena adanya paksaan.
- Pasal 1324 ayat (1) KUH Perdata : paksaan ialah apabila
perbuatan tersebut dapat menimbulkan rasa takut bagi orang
yang berpikiran sehat, juga menimbulkan rasa takut dan ancaman
bagi dirinya maupun harta kekayaannya.
• Pembatalan perjanjian juga bisa didasarkan karena adanya penipuan terhadap salah satu
pihak sehingga karena adanya penipuan tersebut pihak yang tertipu membuat perjanjian.
• Penipuan ini terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang
palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawan agar
memberikan perijinannya (Pasal 1328 KUH Perdata).

Dalam kata Sepakat :


untuk menentukan terjadinya kata sepakat adalah dengan menggunakan berbagai teori,
yaitu:
1) Teori Kehendak (Wilstheorie) . Menekankan pada faktor kehendak. Menurut teori ini,
jika ada pernyataan kehendak yang berbeda dengan kehendak yang sesungguhnya
maka pihak yang menyatakan kehendak tersebut tidak terikat pada pernyataan
tersebut..
2) Teori Pernyataan (Verklaringstheorie). Apa yang dinyatakan oleh para pihak. Dalam
teori ini tidak memperhatikan apakah pemyataan kehendak tersebut sama dengan
kehendak yang sesungguhnya ataupun tidak.
3) Teori Kepercayaan (Vetrouwenstheorie). Teori ini menyatakan bahwa kata sepakat
terjadi jika ada pernyataan kehendak yang secara obyektif dapat dipecrcaya.
Bagaimana jika perjanjian tanpa hadirnya para pihak atau salah satu pihak yang
membuat perjanjian.
Maka untuk pemecahan persoalan ini digunakan berbagai teori yang ada
dibawah ini:
a) Teori pernyataan (Uitingstheorie). Menurut teori ini perjanjian terjadi
pada saat pihak yang menerima penawaran (akseptor) telah menulis surat
jawaban yang menyatakan bahwa ia menerima penawaran tersebut.
b) Teori pengiriman (Verzendingstheorie). Teori ini mengemukakan bahwa
perjanjian terjadi pada saat dikirimkannya surat jawaban penerimaan
penawaran oleh akseptor.
c) Teori pengetahuan (Vernemingstheorie). Teori ini mengemukakan bahwa
perjanjian terjadi setelah pihak yang menawarkan mengetahui bahwa
penawarannya telah diketahui oleh pihak yang lain.
d) Teori penerimaan (Ontvangstheorie). Menurut teori ini bahwa perjanjian
terjadi pada saat diterimanya surat jawaban penerimaan penawaran oleh
orang yang menawarkan
Ad 2) Cakap
Cakap adalah Kemampuan subyek hukum untuk melakukan perbuatan hukum.
Syarat –syarat cakap hukum:
• Seseorang yang berusia 18 tahun
• Seseorang yang berusia dibawah 18 tahun tetapi pernah menikah
• Seseorang yang tidak sedang menjalani hukuman
• Berjiwa sehat / berakal sehat

Pasal 1329 KUH Perdata :


Pada asasnya setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu perjanjian, kecuali jika
oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap membuat perjanjian.

Pasal 1330 KUH Perdata, orang tidak cakap adl :


a. Orang yang belum dewasa; (blm berusia 21 th / blm nikah)
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; (giIa, dungu, buta, lemah akal,
pemabuk, dan pemboros).
c. Orang perempuan dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang.
Ad 3) Suatu Hal tertentu.
• Suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian adalah obyek daripada
perjanjian, suatu pokok dimana perjanjian diadakan. Didalam suatu
perjanjian obyek perjanjian harus tertentu dan setidak tidaknya dapat
ditentukan.
• Pasal 1333 KUH Perdata yang menyatakan bahwa: “Suatu perjanjian harus
mempunyai obyek sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit
ditentukan jenisnya.
• Pasal 1334 ayat (1) KUH Perdata menentukan bahwa “barang-barang yang
baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian
• Ada dua macam barang-barang yang baru akan ada, :
a. Pengertian mutlak yaitu barang yang pada saat lahimya pejanjian,
sama sekali belum ada.
b. Pengertian nisbi yaitu barang sudah ada pada saat lahirnya perjanjian
tetapi pada pihak tertentu barang tersebut masih merupakan suatu
harapan untuk dimiliki.
Ad 4) Suatu sebab yang halal
- Suatu sebab yang halal tidak diatur dlm KUH Perdata.
- Menurut Yurisprudensi yang dimaksud dengan ”sebab” adalah sesuatu
yang akan dicapai oleh para pihak dalam perjanjian atau sesuatu yang
menjadi tujuan perjanjian.
- Dalam pasal 1336 KUH Perdata, disebutkan adanya perjanjian dengan
macam sebab atau kausa yaitu:
a) Perjanjian dengan sebab yang halal;
b) Perjanjian dengan sebab yang palsu atau terlarang;
c) Perjanjian tanpa sebab.
- Perjanjian dengan sebab yang halal artinya bahwa isi dan penjanjian
itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1337 KUH
Perdata.
• Perjanjian dengan sebab yang halal artinya bahwa isi dan penjanjian itu
tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1337 KUH
Perdata.
• Perjanjian dengan sebab yang terlarang maksudnya sebab yang
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban
umum.
• Perjanjian tanpa sebab dapat terjadi apabila tujuan yang dimaksudkan
oleh para pihak pada saat dibuatnya perjanjian tidak akan tercapai.
• Pasal 1335 KUH Perdata bahwa “suatu perjanjian tanpa sebab, atau
yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang tidak
mempunyai kekuatan .“ Dengan demikian perjanjian itu tidak pernah
ada atau batal demi hukum.

• 
3. Jenis-Jenis Perjanjian
Dalam KUH Perdata tidak diketemukan adanya ketentuan yang mengatur
mengenai jenis-jenis perjanjian.
Ditinjau dari segi akibat hukum yang ditimbulkan dalam perjanjian maka
perjanjian dibedakan menjadi beberapa macam yaitu:
a. Perjanjian obligatoir
Perjj yang menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak atau
perjanjian yang menimbulkan perikatan.
Misal Perjanjian Warisan
b. Perjanjian leberatoir
Perjanjian yang bertujuan untuk membebaskan para pihak dari suatu
kewajiban hukum tertentu. Perjanjian ini maksudnya adalah untuk
menghapuskan perikatan yang ada diantara para pihak tersebut.
Misalnya Perjanjian melunasi hutang (orang lain).
c. Perjanjian kekeluargaan.
Perjanjian yang terdapat dalam hukum keluarga.
Misalnya Perkawinan.
d. Perjanjian pembuktian
Perjanjian mengenai alat- alat bukti yang akan berlaku diantara
mereka.
Dalam hukum acara perjanjian tsb disebut sebagai perjanjian
pembuktian.
e. Perjanjian kebendaan
Perjanjian yang bertujuan untuk mengalihkan atau menimbulkan,
mengubah atau menghapuskan hak-hak kebendaan.
Perjanjian kebendaan ini merupakan pelaksanaan dan perjanjian
obligatoir (diatur dalam KUH Perdata)
• Yang termasuk Perjanjian Obligatoir :
1. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.
Perjanjian sepihak yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada satu
pIhak saja sedangkan pada pihak yang lain hanya terdapat hak saja, misalnya
perjanjian hibah
Perjanjian timbal balik yaitu perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban
diantara para pihak yang membuat perjanjian, misalnya perjanjian jual beli.
2. Perjanjian konsensuil, Riil dan Formil.
Perjanjian konsensuil yaitu perjanjian yang lahir pada saat tercapainya kata
sepakat diantara para pihak yang membuat perjanjian.
Perjanjian riil yaitu perjanjian yang lahir dengan diadakan penyerahan benda
yang menjadi obyek perjanjian, misalnya perjanjian penitipan barang.
Perjanjian formil yaitu perjanjian yang lahir dengan dipenuhinya formalitas-
formalitas tertentu. Misal, pendirian Badan Usaha PT, CV,NV harus dengan
akta notaris.
3. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama
Perjanjian bernama yaitu perjanjian yang pada umumnya sudah dikenal
dengan nama-nama tertentu dan sudah diatur secara khusus dalam
KUH Perdata dan KUH Dagang.
Perjanjian tidak bernama (perjanjian jenis baru), yaitu perjanjian yang
belum dikenal dengan nama khusus dalam KUH Perdata dan KUH
dagang tetapi tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Jenis perjj tidak bernama :
a. Perjanjian jenis baru murni, yaitu perjanjian-perjanjian jenis baru
yang timbul dalam masyarakat dan tidak diatur secara khusus dalam
KUH Perdata maupun KUH Dagang.
b. Perjanjian jenis baru campuran, yaitu perjanjian jenis baru yang
didalamnya mengandung unsur-unsur dan berbagai perjanjian
bernama, diatur dalam KUH Perdata dan Dagang, misalnya perjanjian
jual beli.
4. Hapusnya Perjanjian
Hapusnya perjanjian harus dibedakan dengan hapusnya perikatan karena suatu
perikatan dapat hapus, sedangkan perjanjiannya yang merupakan sumbernya masih
tetap ada.
Hapusnya perjj disebabkan :
a. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak. Para pihak telah menentukan saat
berakhirnya penjanjian itu.
b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu penjanjian.
Pasal 1066 ayat (3) KUH Perdata bahwa para ahli waris dapat mengadakan perjanjian
untuk selama waktu tertentu supaya tidak melakukan pemecahan harta warisan
Akan tetapi waktu perjanjian tersebut dibatasi berlakunya hanya untuk lima tahun.
c. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya
peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus.
d. Pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging).
e. Perjanjian hapus karena putusan hakim. Misal Sewa menyewa. Penyewa tidak
menentukan berakhirnya sewa.
f. Tujuan perjanjian telah tercapai. Misal jual beli.
• Dua Kelompok cara hapusnya perjanjian :
a. Hapusnya perjanjian dimana kreditur memperoleh prestasi
tertentu, terjadi dalarn hal : pembayaran; penawaran pembayaran
tunai yang diikuti dengan penitipan (konsinyasi); pembaharuan
hutang (novasi); perjumpaan hutang (kompensasi); dan
percampuran hutang.
b. Hapusnya perikatan dimana kreditur dengan sukarela melepaskan
prestasi yang seharusnya diterima, terjadi dalam hal pembebasan
hutang.
10 cara hapusnya Perikatan (Pasal 1381 KUH Perdata).
1) Pembayaran (Pasal 1382 — 1403 KUHPerdata)
2) Penawaran Pembayaran Tunai diikuti Penitipan
3) Pembaharuan Hutang/Novasi
4) Perjumpaan hutang / kompensasi
5) Percampuran hutang
6) Pembebasan hutang
7) Musnahnya barang yang terhutang
8) Pembatalan Perikatan
9) Berlakunya suatu syarat batal
10) Daluwarsa/lampau waktu
PERBUATAN MELAWAN HUKUM (PMH)
(Pasal 1365 KUHPerdata)

PMH adalah suatu perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang lain.
Orang yang menyebabkan kerugian diwajibkan membayar ganti rugi.

Unsur-unsur perbuatan melawan hukum adalah:


1) Melawan hukum
a) Dalam arti sempit, melawan hukum adalah melanggar hak subjektif orang lain
atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat sendiri, yang telah
diatur dalarn UU. Dengan kata lain melawan hukum adalah melawan UU.
b) Dalam arti luas, melawan hukum adalah berbuat atau tidak berbuat yang
melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum orang
yang berbuat tersebut atau bertentangan dengan kesusilaan/sikap berhati-
hati sebagaimana sepatutnya dalam lalu lintas masyarakat, terhadap
diri/barang orang lain.
2) Menimbulkan Kerugian .
Perbuatan yang dilakukan menimbulkan kerugian,
Ganti rugi dapat berupa materiil dan immateriil.
3) Adanya Kesalahan
Perbuatan yang dilakukan mengandung kesalahan
Baik kesalahan yang disengaja atau kelalaian.
4) Adanya hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian
Harus ada hubungan/ keterkaitan antara unsur-unsur kesalahan dengan
timbulnya kerugian.
Dengan kata lain kerugian timbul sebagai akibat dari adanya kesalahan. -
Untuk mengukur adanya hubungan kausal tersebut digunakan teori dari
Von Kries yaitu teori adequate veroorzaking.
BAB VIII
HUKUM BENDA & HUKUM PERTANAHAN

A. Hukum Benda
1. Pengertian Hukum Benda
- Benda diatur dalam Pasal 499-1232 Buku II KUH Perdata,
- Secara kasuistis diatur juga dalam Buku I, Buku Ill dan Buku IV
KUHPerdata,
- Di luar KUH Perdata ada dllm UU Hak Cipta, UU Rumah
Susun, UU Cagar Budaya dan lain-ain.
- Pasal 499 KUHPerdata benda adalah tiap-tiap barang atau
hak yang dapat dimiliki
Benda dibedakan menjadi beberapa pengertian, yaitu:
a. Benda berujud adalah barang yang dapat diraba dengan panca
indera dan benda tak berujud adalah hak yaitu benda yang tidak
dapat diraba dengan panca indera;
b. Benda bergerak dan benda tak bergerak. Benda bergerak adalah
benda yang dapat dipindahkan atau dapat pindah sendiri, sedangkan
benda tak bergerak adalah tanah beserta bangunan dan tanaman
yang bersatu dengan tanah;
c. Benda dipakai habis dan benda tidak habis dipakai. Benda dipakai
habis adalah benda yang jika dipakai menjadi habis, sedangkan benda
tidak habis dipakai adalah benda yang jika dipakai tidak habis;
d. Benda yang sudah ada dan benda yang akan ada. Benda yang sudah
ada adalah benda yang sudah ada di dunia, sedangkan benda yang
akan ada adalah benda yang belum ada di dunia tetapi akan ada;
e. Benda dalam perdagangan dan benda diluar perdagangan. Benda
dalam perdagangan adalah benda yang dapat diperdagangkan,
sedangkan benda yang di luar perdagangan adalah benda yang tidak
dapat diperdagangkan secara bebas;
f. Benda dapat dibagi dan benda tidak dapat dibagi. Benda dapat
dibagi adalah benda yang karena sifatnya dapat dibagi, sedangkan
benda yang tidak dapat dibagi adalab benda yang karena sifatnya
tidak dapat dibagi;
g. Benda terdaftar dan benda tidak terdaftar. Benda terdaftar adalah
benda yang pemilikannya harus didaftarkan pada instansi tertentu.
Sedangkan benda tidak terdaftar adalah benda yang pemilikannya
tidak harus didaftarkan pada instansi tertentu.
2. Hak Kebendaan
Hak kebendaan adalah hak mutlak atas suatu benda yang memberikan kekuasaan
langsung atas suatu benda.
Ciri-ciri Hak Kebendaan :
a. hak kebendaan merupakan hak mutlak yang dapat dipertahankan terhadap
siapapun;
b. hak kebendaan mengikuti bendanya.

Di dalam literatur ilmu hukum, hak kebendaan dapat dibedakan menjadi:


a. Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan:
1) atas miliknya sendiri yaitu hak milik;
2) atas milik orang lain, yaitu: (a) hak menguasai (b) hak memungut hasil (c) hak
pengabdian tanah
b. Hak kebendaan yang memberikan jaminan hutang
1) dalam KUHPerdata gadai dan hipotik
2) di luar KUHPerdata Credit Verband dan Fiducia Setelah ada UU No. 4 tahun 1996,
3. Hak Milik:
- Pasal 570 KUHPerdata,
Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan
dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu
dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak
a. bertentangan dengan UU dan peraturan umum yang ditetapkan
oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya dan
b. tidak mengganggu hak-hak orang lain, kesemuanya itu dengan tak
mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi
kepentingan umum berdasarkan atas ketentuan UU dan dengan
pembayaran ganti rugi
Cara memperoleh Hak Milik;
1. Berdasarkan Pasal 584 KUHPerdata (kepemilikan,perlekatan,
daluwarsa, pewarisan)
2. Di luar Pasal 584 KUHPerdata
3. Berdasarkan Pasal 22 KUHPerdata berakhirnya hak milik, karena :
a. hak milik beralih kepada orang lain
b. musnahnya benda
c. dilepaskan oleh pemiliknya
d. jatuh pada Negara
4. Hak Menguasai
Pengertian hak menguasai diatur dalam Pasal 529 KUHPerdata yaitu
kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan, baik dengan
diri sendiri maupun dengan perantaraan orang lain, dan yang
mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki
kebendaan itu.
Cara mendapatkan hak menguasai sama seperti cara mendapatkan
hak milik.
Cara berakhirnya hak menguasai adalah:
a. diserahkan kepada orang lain
b. ditinggalkan
c. dicuri orang
5. Hak-hak yang memberikan jaminan hutang:
a. Gadai
b. Hipotik atas kapal
c. Hak Tanggungan
d. Fidusia
B. Hukum Pertanahan
1.Pengertian Hukum Pertanahan  Hk Agraria
a. Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturan-
peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum yang hubungan-
hubungan hukum yang konkret.
b. Gouwgiokssiong dalam Buku Agrarian Law 1972, berpendapat dalam arti sempit yaitu
hukum yang berhubungan dan identik dengan tanah.
c. E. Utrecht, hukum agraria merupakan hukum tanah yang nantinya akan menjadi buku tata
usaha negara.
d. W.L.G Lemaire, hukum agraria merupakan hukum pivat dari bagian hukum tata negara dan
hukum administrasi negra.
e. Bachsan Mustafa, SH, hukum agraria adalah sebagai himpunan peraturan yang mengatur
bagaimana para pejabat pemerintah menjalankan tugas di bidang keagrariaan.
f. Boedi Harsono, hukum agraria bukan hanya satu perangkat bidang hukum semata. Hukum
agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum yang mengatur penguasaan atas
berbagai sumber daya alam tertentu yang termasuk di dalam pengertian agraria.
2. Asas Hukum Agraria
a.Asas Kebangsaan (Pasal 1 ayat (1) UUPA)
b.Asas Tingkatan yang Tertinggi, Bumi, Air, Ruang Angkasa dan Kekayaan Alam yang
Terkandung di dalamnya Dikuasai oleh Negara (Pasal 2 ayat (1) UUPA
c. Asas Mengutamakan  Kepentingan Nasional dan Negara berdasarkan atas
Persatuan bangsa daripada Kepentingan Perseorangan dan Golongan (Pasal 3
UUPA).
d.Asas Semua Hak Atas Tanah Mempunyai Fungsi Sosial (Pasal 6 UUPA)
e.Asas Hanya Warga Negara Indonesia yang Dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah
(Pasal 21 ayat (1) UUPA)
f. Asas Persamaan bagi setiap Warga Negara Indonesia (Pasal 9 ayat 2 UUPA)
g.Asas Tanah Pertanian Harus Dikerjakan atau Diusahakan secara Arif oleh
Pemiliknya Sendiri dan Mencegah Cara-cara Bersifat Pemerasan (Pasal 10 ayat (1)
UUPA)
h.Asas Tata Guna Tanah/Penggunaan Tanah Secara Berencana (Pasal 14 ayat (1)
UUPA)
3. Fungsi HK Agraria
a. Tanah seseorang tidak hanya mempunyai fungsi bagi yang mempunyai hak
saja, tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya. Konsekuensinya, dalam
mempergunakan tanah yang bersangkutan tidak hanya kepentingan individu
saja, tetapi juga harus diingat dan diperhatikan kepentingan masyarakat.
Adanya keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan
masyarakat
b. Fungsi sosial hak-hak atas tanah mewajibkan pada yang mempunyai hak
untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan sesuai dengan keadaannya,
artinya keadaan tanah, sifatnya dan tujuan pemberian haknya. Hal tersebut
dimaksudkan agar tanah harus dapat dipelihara dengan baik dan dijaga
kualitas kesuburan serta kondisi tanah, sehingga kemanfaatan tanahnya
dinikmati tidak hanya oleh pemilik hak atas tanah saja tetapi juga masyarakat
lainya. Oleh karena itu kewajiban memelihara tanah itu tidak saja
dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan,
melainkan juga menjadi beban bagi setiap orang, badan hukum atau instansi
yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah.
BAB IX
HUKUM KELUARGA & KUKUM PERWALIAN

A. Hukum Keluarga
1. Pengertian Hukum Keluarga
Hukum keluarga : keseluruhan ketentuan atau aturan-aturan yang
mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan
kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena perkawinan
(perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan,
keadaan tidak hadir).
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat
antara beberapa orang yang mempunyai leluhur yang sama.
Kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang
terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga
sedarah dari istri (suaminya).
Hukum Keluarga menurut Para Ahli:
- Salim HS, :
Keseluruhan dari kaidah (norma) hukum (baik tertulis maupun tidak
tertulis) yang mengatur mengenai hubungan hukum atas pernikahan,
perceraian, harta benda di dalam pernikahan, kekuasaan orang tua,
perwalian dan pengampuan.

- Tahir Mahmoud
Prinsip-prinsip hukum yang diterapkan atas dasar ketaatan beragama,
berkaitan dengan hal-hal yang secara umum diyakini memiliki aspek
religius menyangkut peraturan keluarga, pernikahan, perceraian,
hubungan di dalam keluarga, kewajiban di dalam rumah tangga,
pemberian mas kawin, warisan, perwalian dan lain-lain.
- Ali Afandi,
Keseluruhan ketentuan mengenai hubungan hukum seseorang
dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargaan karena perkawinan
(perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan, perwalian, keadaan
tidak hadir).
Dari pandangan Ali Afandi ini, terdapat 2 (dua) konsepsi yaitu hukum
keluarga mengatur hubungan yang berkaitan dengan kekeluargaan
sedarah dan kekeluargaan karena pernikahan. Kekeluargaan sedarah
merupakan pertalian keluarga yang terdapat di antara beberapa
orang yang memiliki keturunan yang sama. Sedangkan kekeluargaan
karena pernikahan ini merupakan pertalian keluarga akibat
pernikahan antara seseorang dengan keluarga sedarah dari isteri
(suaminya).
2. Sumber Hukum Keluarga.
Tertulis:
a. Kaidah-kaidah hukum yang bersumber dari undang-undang,
yurisprudensi dan traktat.
b. KUHPerdata.
c. Peraturan perkawinan campuran.
d. UU No.32./1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.

Tidak tertulis:
Kaidah-kaidah yang timbul, tumbuh dan berkembang dalam
kehidupan masyarakat.
3. Ruang Lingkup Hukum Keluarga
Ruang Lingkup Hukum Keluarga ini ada tiga bagian:
a. Perkawinan
Pasal 26 KUH Perdata, Undang-undang memandang soal perkawinan hanya
dalam hubungan perdata. Sehingga berdasarkan ketentuan tersebut
perkawinan itu hanya merupakan hubungan lahiriah saja.
Pasal 1 UUP, Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perkawinan harus memenuhi syarat materiil dan formil. Syarat materiil
(mutlak) adalah syarat yang harus dipenuhi oleh kedua calon mempelai
sebelum dilangsungkannya perkawinan, syarat yang harus dipenuhi oleh setiap
orang yang akan melangsungkan perkawinan
Syarat formal (relative) adalah syarat yang berkaitan dengan tatacara
pelaksanaan perkawinan, baik sebelum, pada saat maupun setelah
dilaksanakannya perkawinan. syarat yang harus dipenuhi untuk kawin dengan
orang-orang tertentu, yang berupa larangan kawin dengan orang tertentu.
Bisakah Perkawinan dapat dicegah dan dibatalkan ?

• Pencegahan dilakukan sebelum dilangsungkan perkawinan ,


• Pembatalan dilakukan setelah dilangsungkan perkawinan .
• Jadi Perkawinan dapat dicegah dan dibatalkan .

• Siapa yang dapat mengajukan pencegahan perkawinan adalah: Para keluarga dalam
garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah, saudara, wali nikah, wali, pengampu dan
salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang berkepentingan termasuk orang
yang masih terikat perkawinan dengan salah satu calon mempelai (Pasal 14 UUP).
• Siapa yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan (Pasal 23 UUP) yaitu:
a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan suami atau isteri;
b. Suami atau isteri;
c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 UU ini dan setiap orang yang
mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut,
tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
B. Putusnya Perkawinan
Sebab-sebab Putusnya Perkawinan dlm Islam :
1. Talak
Perceraian yg disebabkan oleh perbuatan atau kata yang diucapkan
suami kepada isteri.

2. Khulu’
Bentuk perceraian atas persetujuan suami-isteri dengan jatuhnya talak
satu dari suami kepada isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak
isteri dengan tebusan harta atau uang dari pihak isteri yang
menginginkan cerai dengan khuluk itu.

3. Syiqaq
Perselisihan suami-isteri yang diselesaikan dua orang hakam, satu orang
dari pihak suami dan yang satu orang dari pihak isteri.
4. Fasakh
Perkawinan itu diputuskan/dirusakkan atas permintaan salah satu
pihak oleh hakim Pengadilan Agama.
Dilakukan oleh perempuan.

5. Ta’lik talak
Suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang mungkin
terjadi yang telah disebutkan dalam suatu perjanjian yang telah
diperjanjikan lebih dahulu. (Talak perjanjian).

6. Ila’
Suami bersumpah untuk tidak mencampuri isterinya, waktunya
tidak ditentukan dan selama itu isteri tidak ditalak ataupun
diceraikan. (Pisah ranjang tanpa batas waktu).
7. Zhihar
suami yang bersumpah bahwa isterinya itu baginya sama dengan
punggung ibunya. Dengan bersumpah demikian itu berarti suami
telah menceraikan isterinya.
8. Li’aan
Arti li’an ialah laknat yaitu sumpah yang di dalamnya terdapat
pernyataan bersedia menerima laknat Tuhan apabila yang
mengucapkan sumpah itu berdusta. Akibatnya ialah putusnya
perkawinan antara suami-isteri untuk selama-lamanya.
9. Kematian
Putusnya perkawinan dapat pula disebabkan karena kematian
suami atau isteri. Dengan kematian salah satu pihak, maka pihak
lain berhak waris atas harta peninggalan yang meninggal.
c. Harta benda dalam perkawinan
1) Harta benda dalam perkawinan adalah harta bersama dan
harta bawaan. (Ps 35 UU No.1 Tahun 1974)
Harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama
perkawinan.
Harta bawaan, yaitu harta yang dibawa oleh suami dan istri ke
dalam perkawinan mereka dan harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau warisan

2. Dalam KUH Perdata, harta kekayaan dalam perkawinan


ditentukan sebagai berikut :
Pasal 119 KUH Perdata menyatakan bahwa sejak saat
perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan
bulat antara harta kekayaan suami dan istri.
• Pasal 126 KUH Perdata mengatur tentang pembubaran persatuan
harta kekayaan dengan  mengemukakan 5 buah alasan , karena:
1. Kematian
2. Berlangsungnya perkawinan atas izin hakim
3. Perceraian
4. Perpisahan meja dan tempat tidur
5. Perpisahan harta benda, meskipun perkawinan masih utuh
4. Secara luas Hukum Keluarga mencakup atas :
a. Keturunan
b. Kekuasaan orang tua (Puderlick Macht))
c. Perwalian (Voogdij)
d. Pendewasaan (Handlighting)
e. Pengampuan (Curatele)
B. Hukum Perwalian (Voogdij)
1. Pengertian Hukum Perwalian
Perwalian (Minderjarigheid) adalah suatu bentuk perwakilan yang
dilakukan oleh seseorang kepada subyek hukum yang belum cakap
hukum, dalam hal ini ialah anak.
Perwalian pada anak disebabkan oleh anak tersebut tidak
mempunyai orang tua atau anak tersebut masih mempunyai orang
tua tetapi kuasa orang tuanya dicabut.
Dalam (Pasal 333 KUH Perdata) perwalian berlaku asas tidak dapat
dibagi-bagi, artinya pada tiap-tiap perwalian itu hanya ada satu wali.
Terhadap asas tersebut ada perkecualiannya yaitu apabila perwalian
itu dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup terlama, maka
kalau ia kawin lagi suaminya menjadi wali peserta; serta apabila
ditunjuk pelaksana pengurusan barang milik anak yang belum
dewasa di luar Indonesia.
Perwalian menurut para ahli :
• Subekti bahwa perwalian adalah “pengawasan terhadap anak – anak
yang di bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua
serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut sebagaimana
diatur oleh Undang – Undang”. 
• Ali Afandi, bahwa “perwalian atau voogdij adalah pengawasan terhadap
pribadi dan pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum
dewasa jika anak itu tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.” 
• R. Sarjono bahwa “perwalian adalah suatu perlindungan hukum yang
diberikan seseorang kepada anak yang belum mencapai usia dewasa
atau belum pernah kawin yang tidak berada di bawah kekuasaannya”. 
• Arif Masdoeki bahwa “perwalian adalah pengawasan terhadap anak di
bawah umur yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, serta
pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut, sebagaimana diatur
dalam Undang – undang.
• Menurut Hukum Indonesia, “Perwalian didefinisikan sebagai kewenangan
untuk melaksanakan perbuatan hukum demi kepentingan, atau atas
nama anak yang orang tuanya telah meninggal, atau tidak mampu
melakukan perbuatan hukum atau suatu perlindungan hukum yang
diberikan pada seseorang anak yang belum mencapai umur dewasa atau
tidak pernah kawin yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua.”
• Undang – Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 : bahwa anak yang
belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan
orang tua berada di bawah kekuasaan wali.
• Orang yg tidak dapat menjadi wali :
- orang yang sakit ingatan,
- orang yang belum dewasa,
- orang yang dibawah curatele,
- orang yang telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua
2. Macam-macam perwalian menurut KUH Perdata :
a) Perwalian oleh suami isteri yang hidup terlama
Pasal 345 KUH Perdata, apabila salah satu dan kedua orang tua
meninggal dunia, maka perwaliannya oleh orang tua yang hidup
terlama, asalkan tidak dipecat dari kekuasaan orang tua
b) Perwalian dengan surat wasiat atau akta.
Orang tua berhak mengangkat wali bagi anak-anaknya.
Pengangkatan wali tersebut dengan wasiat atau akta.
c) Perwalian oleh hakim
Anak yang belum dewasa dan tidak bernaung dibawah perwalian
orang tua, bisa mengangkat pengadilan (hakim )sebagai wali.
3. Kewajiban Wali :
a) Memberitahukan kepada Balai Harta Peninggalan;
b) Mengadakan inventarisasi atas harta kekayaan dan anak yang berada
di bawah perwaliannya;
c) Mengadakan jaminan;
d) Menentukan pengeluaran;
e) Membuat catatan dan laporan
4. Berakhirnya Perwalian :
a) Berkaitan dengan keadaan anak:
1) anak menjadi meerderjarig;
2) matinya si anak;
3) timbulnya kembali kekuasaan orang tua;
4) pengesahan seorang anak luar kawin yang diakui.

b) Berkaitan dengan tugas wali:


1) ada pemecatan atau pembebasan diri wali;
2) ada alasan pemecatan, yaitu wali berkelakuan buruk, wali menyalahgunakan
kekuasaan, wali berada dalam keadaan pailit dan wali dijatuhi pidana.
5. Pengampuan
Pasal 433 KUH Perdata menentukan bahwa setiap orang dewasa,
yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap
harus ditaruh di bawah pengampuan, meskipun jika ia kadang-
kadang cakap mempergunakan pikirannya.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka alasan pengampuan
adalah keborosan, lemah pikiran, dan kekurangan daya pikir
Siapa yang dapat mengajukan permohonan pengampuan adalah:
a) Bagi yang kurang daya pikir adalah setiap keluarga sedarah dan suami
atau isteri serta Jaksa demi kepentingan umum;
b) Bagi yang lemah pikiran adalah orangnya sendiri;
c) Bagi keborosan adalah keluarga sedarah dalam garis lurus dan oleh
sanak keluarga dalam garis menyamping sampai derajat ke empat dan
suami atau isteri.
Pengampuan mulai berjalan terhitung semenjak putusan pengadilan
diucapkan.
Segala tindakan perdata yang setelah itu dilakukan oleh orang yang di
bawah pengampuan (kurandus) adalah batal demi hukum.
BAB X
KOMPARASI HUKUM PERDATA BARAT DAN HUKUM PERDATA ISLAM (PERKAWINAN, PERCERAIAN,
KEWARISAN, PERWALIAN)

A. PERKAWINAN
1. Pengertian
Hk Barat (KUH Perdata) :
Perkawinan dalam hukum perdata adalah perkawinan perdata (sebuah Perjanjian),
maksudnya adalah perkawinan hanya merupakan ikatan lahiriah antara pria dan wanita,
unsur agama tidak dilihat.
Tujuan perkawinan tidak untuk memperoleh keturunan oleh karena itu dimungkinkan
perkawinan in extrimis.

Islam :
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Tujuan perkawinan adalah memperoleh keturunan.
2. Asas Perkawinan
KUH Perdata : Asas Monogami
Hukum Islam : Asas Poligami

3. Harta Benda Perkawinan


KUH Perdata : Harta bawaan dan harta bersama
Hukum Islam : Harta bersama

4. Syarat Formil Perkawinan


KUH Perdata: Dewasa L : 18 dan P : 17
Hukum Islam : Dewasa L : 19 dan P : 16
5. Putusnya Perkawinan
KUH Perdata: Pasal 199 BW
a. Meninggal dunia
b. Suami atau istri meninggalkan tempat kediamannya selama sepuluh tahun tanpa adanya
kabar tentang hidup atau matinya
c. Putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan tempat tidur (perceraian gantung)
dan pendaftaran putusnya perkawinan
d. Perceraian karena permohonan oleh pihak suami atau esteri.

Hukum Islam :
e. Cerai – thalaq
f. Cerai gugatan

6. Syarat Formil Perkawinan


KUH Perdata:
Hukum Islam :
B. PERCERAIAN
1. Pengertian Perceraian
KUH Perdata :
Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan
keputusan pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri
tidak akan dapat hidup rukun  lagi sebagai suami isteri
Dalam KUH perdata (BW) putusnya perkawinan dipakai Istilah ‘pembubaran
perkawinan’ (ontbindinng des huwelijks)

Pasal 209 K.U.H. Perdata, Penyebab atau alasan-alasan perceraian :


a.Zinah
b.meninggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja
c. Dihukum penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman  yang lebih
berat
d.Panganiayaan atau penganiayaan berat yang dilakukan suami atau esteri
Hukum Islam :
Perceraian adalah : Pemutusan hubungan suami-istri dari hubungan pernikahan atau
perkawinan yang sah menurut syariah Islam dan/atau sah menurut syariah dan negara.

Penyebab atau alasan Pereceraian :


a. Salah satu pihak berbuat zina, menjadi pemabok, pemadat, penjudi dll yg sulit
disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat .
d. Salah satu pihak melakukan penganiyaan berat
e. Salah satu pihak cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan untuk diteruskan.
C. Perikatan
1. KUH Perdata
Perikatan lahir dari undang-undang.
Pasal 1320 KUH Perdata mengatur syarat syahnya Perikatan
Pasal 1352 KUH Perdata Perikatan yang lahir karena UU
(Perikatan-perikatan yang dilahirkan demi undang-undang, timbul dari
undang-undang saja atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
Kesmpl : @Perikatan lahir dari undang-undang saja (Ps.1352 KUH Pdt)
@Perikatan akibat perbuatan orang , yang lahir dari :
- Perbuatan Halal (Ps.1352 KUH Perdata)
- Perbuatan melanggar Hukum (Ps 1352 KUH Perdata)
2. Hukum Islam
Perikatan yang digunakan dalam Islam disebut sebagai bentuk muamalah,
hubungan manusia dengan manusia.
Dasarnya adalah :
- Dalil baik dalam Al qur’an maupun Al Hadits.
- Kebiasaan Masyarakat
Keputusan Hoge Raad Tanggal 26 Juni 1929 - Perikatan
- Uang sewa rumah tidak dapat menyimpang dari undang-undang.
Uang sewa pembayarannya harus diantar (Ps 1393 KUHPdt)
- Dalam Kebiasaan pembayarannya diambil pemiliknya
 Dlm kasus tsb penyewa berpegang pada kebiasaan, diambil
pemiliknya. Pemilik rumah berpegang pada UU, menunggu
pembayaran (diantar penyewa)
 Pengadilan memutuskan pembayaran berdasarkan ketentuan UU
 Kesimpulan : KUH Perdata Perikatan berdasarkan UU
Keputusan Hoge Raad April 1932 -> Perikatan :
• A Menjual barang kepada B yang belum diserahkan. Kemudian
barangnya rusak.
• Berdasarkan Ps 1460 KUH Perdata, B harus membayar barang yang
dibeli.
• Kebiasaan yang berlaku barang yang belum diserahkan kepada
pembeli tanggung jawab penjual.
• Dalam kasus tsb perikatan berdasarkan kebiasaan.
• Kesimpulan : KUH Perdata mengikuti kebiasaan .
Tugas
Harus dikumpulkan lewat WA.
• Bagaimana pandangan anda terhadap perkawinan campuran ?
• Bagaimana pandangan anda terhadap perkawinan antar agama ?
• Bagaimana caranya mewariskan harta waris padahal orang yang
meninggal tidak memiliki ahli waris (sebatang kara) ?
• Apa manfaat saudara belajar hukum perkawinan ?

Anda mungkin juga menyukai