Anda di halaman 1dari 22

BAB 1: PENDAHULUAN

1. PENGERTIAN HUKUM PERDATA


Hukum dibagi menjadi 2 : Hk. Publik & Hk. Privat (Hk. Perdata). “Perdata” berasal
dari bahasa Jawa Kuno “Pradoto” yg berarti “Bertengkar atau Berselisih, secara Letterlijk
“Hukum pertengkaran atau perselisihan”.

Menurut pakar:

1) Sri Soedewi Masjchoen Sofwan


Hukum yg mengatur kepentingan antar Warga Negara yg satu dengan WN yg lain.

2) Sudikno Merokusumo
Hukum antar perorangan yg mengatur hak & kewajiban orang perorangan yg satu terhadap
yg lain dalam hubungan kekeluargaan dan dalam pergaulan masyarakat. Pelaksanaannya
diserahkan masing-masing pihak.

Kesimpulan dari dua pendapat ahli diatas ialah:


Mengatur kepentingan / perundingan antara orang yang satu dengan orang yang lain.

Subjek Hukum Manusia

Badan Hukum
Oleh karena itu Hk. Perdata adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum yg mengatur
hubungan antara subjek hukum yg satu dengan subjek yg lainnya dalam hubungan
kekeluargaan dan dalam pergaulan masyarakat.

Hk. Perdata Tertulis KUH Perdata

Tidak Tertulis Hukum Adat

Hubungan Hk. Perdata tertulis & tidak tertulis terletak pada Pasal 1339 & 1347
KUH Perdata.

PASAL BUNYI
1339 Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan
juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan,
kebiasaan, atau undang-undang.
1348 Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk
dalam persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan dalam persetujuan.

Dalam arti Sempit  KUH Perdata


Dalam arti Luas  KUH Perdata, KUH Dagang, serta peraturan perundang-undangan
lainnya.

Asas Lex Specialis Derogat Lex Generalis terdapat dalam hubungan Hk. Perdata dalam arti sempit
dengan arti luas. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 KUH Dagang:

“Selama dalam Kitab Undang-undang ini terhadap Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak
diadakan penyimpangan khusus, maka Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku juga terhadap
hal-hal yang dibicarakan dalam Kitab Undang-undang ini.”

Hk. Perdata Materil KUH Perdata Mengatur hak & kewajiban.

Formil KUH Acara Perdata Bagaimana cara mengatur


dan mempertahankan hak dan kewajiban itu.
2. KUH PERDATA BERLAKU BAGI GOLONGAN EROPA
Hukum Perdata yg berada di Indonesia sampai saat ini masih bersifat Pluralistis
(Beraneka ragam). Ini disebabkan karena pembagian golongan penduduk yg bersumber pada
Pasal 131 I.S. jo 163 I.S.:

a. Gol. Bumi Putra  Hukum Adat, disamping itu ada peraturan perundang
undangan Khusus dibuat pemerintah Hindia Belanda.
a.1. Ordonansi Perkawinan Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon. (HOCI) Stb.
1933 No.74.
a.2. Ordonansi Maskapai Andil Indonesia (IMA) Stb. 1939 No.569 jo 717
b. Gol. Eropa  Hukum Perdata, berdasarkan Asas Konkordansi.
c. Gol. Timur Asing  1 Mei 1919 berlaku hamper seluruh Hk. Perdata, kecuali:
Catatan sipil, tata cara yg harus mendahului perkawinan,
pengangkatan anak (adopsi), dll.

3. SISTEMATIKA KUH PERDATA


Ada dua sistematika disini, yakni:

1). Menurut Ilmu Pengetahuan, membagi Hk. Perdata dalam 4 Bidang:


1. Hukum Orang
2. Hukum Keluarga
3. Hukum Harta Kekayaan
4. Hukum Waris

2). Menurut Pembentuk UU, Hk. Perdata dibagi dalam 4 Buku:

1. Buku Kesatu : Tentang Orang


2. Buku Kedua : Tentang Kebendaan
3. Buku Ketiga : Tentang Perikatan
4. Buku Keempat : Tentang Pembuktian & Daluwarsa

Hubungan antara kedua sistematika “Bidang hukum orang & keluarga dalam
sistematika ilmu pengetahuan diatur dalam Buku 1 menurut sistematika pembentuk UU, Hk.
Harta Kekayaan dalam sistematika ilmu pengetahuan diatur dalam Buku 2 & 3, sedangkan Hk.
Waris dalam buku 2”

Buku IV, Hukum Pembuktian yg merupakan Hk. Acara atau Hk. Perdata Materil
“Wirjono Prodjodikoro berpendapat Hk. Pembuktian merupakan sebgain dari Hk. Acara pada
umumnya, ada bagian dari Hk. Acara Perdata yg mengatur beberapa Hak & kewajiban yg
dilimpahkan pada 2 belah pihak dalam suatu acara perdata, yaitu mempunyai unsur yg bersifat
materil. Itulah sebab Hk. Pembuktian diatur dalam Buku IV KUH PERDATA. R. Soebketi Hk.
Pembuktian masuk Hk. Acara bagian materil, karena dapat diatur bersama-sama dalam KUH
Perdata.”
4. SEJARAH KUH PERDATA
Pertama kali Kodifikasi Hk. Perdata pada Abad ke-6 M, bernama Corpus Iuris Civilis
dikerjakan pada zaman kejayaan Romawi di bawah Kaisar Yustinianus yg memerintah antara
tahun 524-565M.

Sebelum pemerintahannya, hukum yg berlaku di Romawi berupa Kebiasaan saja, hukum


yg tidak tertuluis. Setelah Yustinianus menjadi Kaisar Romawi, hukum yg sudaha da bersifat
kebiasaan itu di kodifikasikan. John Henry Merryman menguraikan tentang Corpus Iuris
Civilis “CIV tidak terbatas pada Hk. Perdata, tapi mencakup & berkaitan dengan kekuasaan
kaisar, organisasi kekaisaran & masalah lain yg oleh pakar hukum sekarang digolongkan
menjaid Hk. Publik. Harus diakui bahwa CIV ialah objek studi yg paling intensif dan telah
menjadi dasar system-sistem Hk. Perdata di dunia. CIV tidak digunakan lagi setelah jatuhnya
kerajaan Roma. Tetapi pengaruhnya tidak hilang terutama di daratan Eropa.

Abad 11 diakui kebangkitan kembali Hk. Romawi. Terutama setelah Universitas


Bologna dan Universitas lain di Italia Utara menjadi pusat studi hukum dari dunia Barat. Orang
dari seluruh Penjuru Eropa mempelajari hukum sebagaimana diajarkan di Universitas. Hukum
CIV yg dipelajari alumni, melalui para alumni ini Hukum Romawi tersebar dan menjalar ke
seluruh daratan Eropa. Akhirnya, Abad 19 di Perancis dapat dikodifikasikan Code Civil 1804.

Corpus Iuris Civilis terdiri dari 4 bagian:

1) Institutiones, tentang pengertian lembaga-lembaga Hk. Romawi.


2) Pandecta, himpunan pendapat parah ahli hukum Romawi yg terkenal.
3) Codex, himpunan perundang-undangan yg dibukukan atas perintah Kaisar Romawi.
4) Novelles, himpunan penjelasan maupun komentar atas Codex.

Penguraian atas kodifikasi berpengaruh & berlaku di Perancis. Disamping berlakunya


Hk. Romawi (CIV) berlaku juga Hk. Perancis Kuno (asli bangsa Perancis) & Hk. Agama. Ini
menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga ada keinginan mengadakan kodifikasi.

Kodifikasi Hk. Perdata di Perancis berhasil di susun setelah Revolusi Perancis tahun
1804 yg dikenal dengan “Code Civil Des Francais”. Setelah Napoleon diangkat menjadi Raja,
maka 1807 code ini diganti menjadi Code Napoleon walaupun sehari-harinya disebun dengan
Code Civil Francais.

1811-1813 Perancis menjajah Belanda, Code Napoleon diberlakukan di Negeri Belanda


berlaku hingga tahun 1838. Di Belanda baru dapat disusun Burgelijk Wetboek hasil kodifikasi
yg berlaku pada tahun 1 Oktober 1838. B.W. ini berdasarkan asas konkordansi (Penyesusaian),
melalui Staatsblad (Stb.) 1847 No.23, berlaku di Hindia Belanda (Indonesia) 1 Mei 1848.

Asas Konkordansi, hukum yg berlaku bagi orang Belanda di Indonesia harus


disesuaikan dengan hukum yg berlaku di Negeri Belanda (dan keadaan Hindia Belanda untuk
kepentingan pemerintah Hinda Belanda).
5. PERKEMBANGAN & PERUBAHAN KUH PERDATA
1) UU Pokok Agraria, UU No.5/1960, berlaku 24 September 1960. UU menyatakan
“mencabut Buku 2 KUH Perdata sepanjang yg mengatur tentang bumi, air, kekayaan alam
yg terkandung di dalamnya, kecuali ketentuan mengenai hipotek”.
2) UU No.4/1961 “Perubahan atas Penambahan nama keluarga” berlaku pada 25 Februari
1961. UU ini menyatakan tidak berlaku lagi Pasal 6 s.d Pasal 10 KUH Perdata. UU inipun
sekarang telah dicabut & dinyatakan tidak berlaku oleh UU No.23/2006 “Administrasi
Kependudukan” diundangkan 29 Desember 2006.
3) Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.3/1963, perihal: Gagasan menganggap
B.W. tidak sebagai UU. Sebagai konsekuensi dari gagasan ini, maka Mahkamah Agung
menganggap tidak berlaku lagi:
1. Pasal 108 dan 110
2. Pasal 284 ayat (3)
3. Pasal 1682
4. Pasal 1579 Burgelijk Wetboek (B.W.)
5. Pasal 1238
6. Pasal 1460
7. Pasal 1603x ayat (1) & (2)

4) Yurisprudensi MA 12 Juni 1968 No.105K/Sip/1968 diterimannya “Onheelbare


Tweespalt” (cekcok terus menerus yg tidak dapat didamaikan) sebagai alasan perceraian.
Yurisprudensi yg memperluas alasan perceraian sebagaimana diatur dalam Pasal 209 KUH
Perdata.
5) UU Perkawinan No.1/1974, menyatakan tidak berlaku lagi Buku 1 KUH Perdata yg
berhubungan dengan perkawinan.
6) Peraturan Pemerintah RI No.45/1990 Perubahan atas Peraturan Pemerintah
No.10/1983 “Izin Perkawinan dan perceraian bagi PNS”.
7) UU No.40/2007 “Perseroan Terbatas”.
8) UU RI No.28/2004 atas perubahan UU No.16/2001 “Yayasan”.
9) UU Hak Tanggungan, UU No.42/1999.
10) UU “Jaminan Fidusia”, UU No.41/1999.
11) UU “HAM”, UU No.39/1999.
12) UU “Perlindungan Konsumen”, UU No.8/1999.
13) UU “Perlindungan Anak”, UU No.23/2002.
14) UU RI No.23/2004 “Penghapusan KDRT”.
15) UU RI No.12/2006 “Kewarganegaraan Republik Indonesia”.
16) UU RI No.23/2006 “Administrasi Kependudukan” mencabut & tidak berlaku lagi Buku 1
Bab 2 Bagian 2 & Bab 3 KUH PErdata & UU No.4/1961 “Perubahan atau Penambahan
Nam Keluarga”.
17) UU RI No.11/2008 “ITE”
18) UU RI No.40/2008 “Penghapusan Dikriminasi Ras & Etnis”.
19) UU RI No.9/2006 “Sistem Resi Gudang”.
20) UU RI No.9/2011 perubahan atas UU No.9/2006 “Sistem Resi Gedung”.
BAB 2: SEJARAH BERLAKUNYA KUH PERDATA DI INDONESIA

1. Golongan Penduduk pada Masa Algemene Bepalingen van Wetgevening (AB)


(Ketentutan Umum Perundang-Undangan), Stb. 1847 No.23, berlaku 1 Mei
1848

Pada masa Algemene Bepalingen van Wetgevening (AB) dibedakan menjadi 2 atau 4
golongan penduduk yg ada di Indonesia, yaitu:

a. Gologan Eropa dan yg dipersamakan dengan Golongan Eropa.


b. Golongan Bumi Putra dan yg dipersamakan dengan Golongan Bumi Putra.

Disini Gol. Eropa & Bumi Putra tidak dijelaskan siapa dalam peraturan ini karena
dianggap sudah diketahui. Mereka yg bukan golongan diatas dipersamaan dengan orang Eropa /
Bumi Putra dan sebagai ukuran untuk itu dipakai agama mereka. Mereka yg beragama Kristen
dimasukan dalam golongan yg dipersamakan dengan Gol. Eropa.

Pasal 7 AB “yang dipersamakan dengan orang-orang Eropa:

1. Semua orang Kristen termasuk orang-orang Indonesia yg menganut agama tsb.


2. Semua orang darimanapun asalnya, yg tidak termasuk dalam Pasal 8 di bawah ini.

Pasal 8 AB “yg dipersamakan dengan orang Bumi Putra; Orang Arab, Moor (Afrika),
Tionghoa, dan beragama Islam atau Kafir.

Pasal 9 AB “dicabut kembali: Staatsblad 1915 No.299 jo 642.

Pasal 10 AB “Gubernur Jendral berwenang, jika perlu mengadakan pengecualian


terhadap ketentuan-letentuan Pasal sebelumnya bagi orang-orang Kristen Indonesia
umumnya atau bagi beberapa masyarakat Kristen Indonesia.

Gubernur Jendral menentukan orang Indonesia yg beragama Kristen baik dalam


lapangan Hukum Perdata & Dagan & Perundang-undangan Pidana & Peradilan pada umumnya
akan tetap dalam kedudukan hukumnya yg lama. Tidak berarti dalam praktik orang Indonesia
beragama Kristen tetap dianggap Gol. Bumi Putra.

Masa Regerings Reglement atau RR lama (1855-1920), pembagian penduduk sama


seperti masa A.B., dua golongan atau empat golongan. Ada perbedaan dengan A.B. untuk
golongan dipersamakan ini, agama tidak lagi dipakai sebagai satu-satunya ukuran. Orang
Kristen Indonesia termasuk Gol. Bumi Putra, Tionghoa, Arab, dan India.

Sebaliknya orang America, Australia, Jepang dimasukan ke dalam gol. Eropa. RR lama
juga tidak jelas menentukan siapa yg di maksud golongan Eropa, maka 1 Januari 1920 masa RR
baru (1920-1926), pembagian Golongan Penduduk dibedakan menjadi 3, yaitu:

1) Gol. Eropa;
2) Gol. Bumi Putra; dan
3) Gol. Timur Asing.

Pembagian 3 Golongan penduduk pada masa RR Baru ini tetap dilanjutkan dalam 3
Golongan pada masa berlakunya Indische Staatsregeling (IS), Staatsblad. 1925 No.415 yg
mulai berlaku 1 Januari 1926.
Menurut Indische Staatsregeling (IS) Pasal 163 (2) Gol. Eropa ialah:

1) Semua orang Belanda;


2) Semua orang yg berasal dari Eropa yg tidak termasuk di bawah angka 1;
3) Semua orang Jepang & selanjutnya semua orang darimanapun asalnya, yg tidak
termasuk di bawah angka 1 & 2, yg di negeri mereka tunduk pada suatu hukum
keluarga, pada pokoknya berdasarkan asas-asas yg sama seperti Hk. Belanda.
4) Anak sah atau diakui menurut UU & keturunan selanjutnya dari orang-orang yg
dimaksud dibawah angka 2 & 3.

Pasal 163 ayat (3) IS, menentukan bahwa Gol. Bumi Putra ialah; semua orang
yg termasuk rakyat di iindonesia asli dan golongan rakyat lain yg telah meleburkan diri
kedalam masyarakat Indonesia asli.

Menurut UU Kewarganegaraan No.12/2006, penjelasan pasal 2, menetapkan


bahwa yg di maksud dengan “Bangsa Indonesia Asli” adalah orang Indonesia yg
menjadi warga Negara Indonesia sejak dilahirkan dan tidak menerima kewarganegaraan
lain atas kehendak sendiri.

Pasal 163 ayat (4) IS, Menentukan Gol. Timur Asing: semua orang bukan Eropa
dan Bumi Putra, seperti Tionghoa, Arab, Moor(Afrika), India, dll.

Pasal 131 IS, memberlakukan antara lain Hk. Perdata yg berbeda terhadap tiga
golongan diatas, Gol. Eropa – Hk. Perdata Eropa, Gol. Bumi Putra & Timur Asing –
Hukum Agama & Hukum Adatnya.

2. 3 Golongan Penduduk Masa Indische Staatsregeling (UU “Susunan


Pemerintah Hindia Belanda), Staatsblad 1925 No.415 01 Januari 1926

Hk. Perdata  3 Golongan (Pasal 163 jo 131 IS) berkaitan dengan Stb. 1855 No.79
(ketentuan-ketentuan tentang pernyataan berlakunya Hk. Eropa bagi Timur Asing), Stb.1917
No.12 (Pengaturan Penduduk Sukarela) dan Stb. 1917 No.192 (pernyataan berlakunya hampir
seluruh KUH Perdata untuk Timur Asing Tionghoa).

a) Staatsblad (Stb.) 1855 No.79 (1 Maret 1856)

Pernyataan berlakunnya sebagian KUH Perdata untuk golongan Timur Asing


yg tinggal di Jawa & Madura, mengenai Hukum Kekayaan & Waris Testamenter
(Pasal 1). Timur asing di luar Jawa & Madura tetap berlaku Hk. Adatnya,
berlangsung hingga 1 Mei 1919.

b) Staatsblad (Stb.)1917 No.12 (Penundukan Sukarela, 1 Oktober 1917)

Pasal 1 ayat (1) Staatsblad 1917 No.12 ini memberi kemungkinan untuk
Gol. Bumi Putra & Timur Asing, untuk:

1. Tunduk dengan sukarela pada Seluruh Hk. Perdata Barat (Pasal 1-17);
2. Tunduk dengan sukarela pada Seluruh Hk. Perdata Barat (Pasal 18-25);
3. Tunduk dengan sukarela pada Seluruh Hk. Perdata Barat, mengenai suatu
tindakan Hukum tertentu (Pasal 26-28); dan
4. Penundukan secara diam-diam (Pasal 29).
Seorang WNI Asli melakukan perbuatan hukum yg tidak dikenal dalam
Hukum sendiri, ia dianggap secara diam-diam telah menundukan dirinya
pada Hk. Perdata Eropa.

c) Staatsblad (Stb.) 1917 No.129 (1 Mei 1919)


Gol. Timur Asing menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Tionghoa
2. Bukan Tionghoa

Stb. Ini menyatakan berlakunya hampir seluruh KUH Perdata, KUH Dagang,
Peraturan Pailit untuk Gol. Timur Asing Tionghoa, kecuali mengenai:

1. Adopsi, karena pada waktu itu tidak dikenal dalam Hk. Perdata Barat, dan diatur
secara tersendiri dalam Stb. 1917 No.129.
2. Kongsi, perkumpulan Tionghoa yg merupakan Badan Hukum, mirip Perseroan
Hk. Perdata Barat.

Stb. 1917 No.129 semata-mata diperuntukan bagi Gol. Timur Asing


Tionghoa, sehingga untuk Gol. Timur Asing bukan Tionghoa tetap berlaku
Stb. 1855 No.79.

Pada penjajahan Jepang, Pemerinta Bala Tentara Jepang mengeluarkan Osamu Seirei
No.1/1942. Pasal 3 OS “Menentukan semua badan pemerintahan & kekuasaannya, Hukum &
UU dari Pemerintah yg dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu, asal tidak bertentangan
dengan peraturan militer.

IS mengatur kependudukan di Hindia Belanda pada waktu itu dalam Bab VIII (Pasal
160-172), 160 Berbunyi:

1. Aturan tentang memasuki dan berdiam di Hinda Belanda ditetapkan sedapat


mungkin dengan Peraturan Umum Pemerintahan dan selanjutnya dengan
ordonansi.
2. Penduduk HB adalah mereka yg tidak bertentangan dengan ketentuan
Peraturan, berdiam di HB.
3. Pada Penduduk tidak dapat menolak berdiam di HB, kecuali dalam hal dan
menurut cara yg disebut dalam Pasal 35.
4. Status penduduk lenyap bagi yg berhenti berdiam di HB atau ditolak
kediamannya menurut Pasal 35. Penduduk yg telah meninggalkan HB &
tidak kembali dalam waktu 18 Bulan dianggap berhenti berdiam di HB,
kecuali ada bukti lain.
5. Orang di bawah umur dan mereka yg ditempatkan di bawah pengampuan, yg
wakil-wakil mereka menurut UU adalah penduduk HB, dicatat sebagai
penduduk; sama berlaku bagi wanita yg sudah kawin dan tidak beerpisah
meda dan ranjang, yg suaminya adalah HB.
6. Ketentuan mengenai status penduduk, terdapat dalam peraturan umum
lainnya, hanya berlaku sejauh mengenai hal-hal yg diuraikan dalam
peraturan-peraturan itu.
3 WNI dan Orang Asing Setelah Kemerdekaan RI

Pasal 2 AP UUD 1945 (sebelum diamandemen), Pasal 192 Konstitusi RIS dan Pasal 142
UUDS 1950, menentukan segala badan negara dan peraturan yg ada masih langsung berlaku selama
belum diadakan yg baru.

Pasal 102 UUDS 1950, ditentukan “Hk. Perdata & Hk. Dagang, Hk. Pidana Sipil, maupun
Hk. Pidana Militer, Hk.. Acara Perdata & Hk. Acara Pidana, susuanan dari kekuasaan pengadilan,
diatur dengan UU dalam KUH kecuali perundang-undangan menganggap perlu untuk mengatur
dalam beberapa hal dalam UU tersendiri.

Kesimpulan Pasal 102 UUDS 1950 Indonesia pada saat itu mengkehendaki Kodifikasi
bidang-bidang hukum, hingga Pasal 102 terkenal dengan sebutan pasal kodifikasi. Dengan
berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1945 yg menyatakan bahwa kita kembali ke UUD ’45, maka
UUDS 1950 dengan Pasal 102 tidak lagi berlaku.

UUD 1945 sebelum diamandemen “Warga Negara” dalam Pasal 26. Peraturan pelaksanaan
dari Pasal 26 UUD 1945 ialah UU No.3/1946 (setelah diubah dan ditambah dengan UU No.6/1947,
UU No.8/1947 & UU No.11/1948) “WN dan Penduduk Negara”. UU No.3/1946 sekarang sudah
digantikan dengan UU No.62/1958 (UU Kewarganegaraaan RI), UU ini juga dicabut & dinyatakan
tidak berlaku oleh UU No.12/2006 “Kewarganegaraan RI”

Dalam hubunganny Indische Staatsregeling sekarang ini siapakah penduduk Indonesia?


WNI dan orang asing yg bertempat tinggal di Indonesia diatur dalam Pasal 1 Butir 2 UU
No.23/2006 “Administrasi Kependudukan”.
BAB 3 : TENTANG ORANG
Hk. Orang Peraturan memuat tentang manusia sebagai subjek hukum, peraturan
tentang kecakapan berhak dan kecakapan bertindak untuk melaksanakan hak-hak itu.

1. SUBJEK HUKUM
Atau orang ialah setiap pendukung (pembawa) hak & kewajiban, ada 2 macam Subjek
Hukum:

1) Manusia (Natuurlijk Persoon), dan


2) Badan Hukum (Rechtpersoon).

Kodrat Manusia sebagai Subjek Hukum, sedangkan Badan Hukum menjadi


Subjek Hukum yg diciptakan oleh manusia untuk kepentingan manusia itu sendiri.
Dalam Perkembangan perundang-undangan sekarang ini yg dinamakan Subjek Hukum
itu bukan lagi dalam pengertian yg tradisional (konvensional), manusia dan badan
hukum, tetapi manusia dan korporasi.

Pasal 1 ayat (1) UU No.31/1999 “Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi” UU


ini telah diubah oleh UU No.20/2001: Korporasi adalah sekumpulan orang dan/atau
kekayaan yg terorganisasi dengan baik, badan hukum maupun bukan. Istilah korporasi
ini digunakan oleh UU No.42/1999 “Jaminan Fidusia”, UU No.23/2002 “Perlindungan
Anak”, UU No.12/2006 “Kewarganegaraan”, UU No.8/1999 “Perlindungan Konsumen,
Ketentuan Umum Pasal 1 butir 3.

Makna Pasal 1 KUH Perdata “Hak & Kewajibaan yg berhubungan dengan


keperdataan tidak tergantung pada agama, golongan, jenis kelamin atau umur & tidak
juga pada kedudukannya dalam negara yg menyangkut hak-hak ketatanegaraan/politik
(Asas Equality Of The Law).”

Makna Pasal 2 KUH Perdata “Anak yg belum lahir dianggap sudah lahir
apabila kepentingan anak itu menghendakinya. Ketentuan ini merupakan Rechtsfictie,
menjadi penting jika kaitannya dengan perwalian (Pasal 348 KUH Perdata), menerima
hibah (Pasal 1679 KUH Perdata) atau hibah wasiat (Pasal 899 KUH Perdata),
pewarisan (Pasal 836 KUH Perdata).”

Makna Pasal 3 KUH Perdata “Hak perdata ialah HAM. Sebagai contoh dapat
dikemukakan bahwa walaupun seseorang hendak dihukum mati besok pagi, hari ini ia
masih dapat menjalankan hak-hak perdatanya, seperti melangsungkan perkawinan atau
menagih hutang-piutang, dll. KUH Perdata tidak mengenal perbudakan, yg menurut
hukum tidak lebih dari suatu barang saja (Objek Hukum).”

Ada 2 subjek hukum karna manusia disamping mempunyai kepentingan


perorangan, juga mempunyai kepentingan bersama yg diwujudkan melalui badan
hukum. Hakikatnya hukum itu adalah manusia tetapi lebih dari satu orang.

Manusia sebagai subjek hukum karena kodratnya, Badan Hukum diciptakan oleh
manusia untuk kepentingannya sendiri. Manusia & Badan Hukum sebagai Subjek
Hukum memilik perbedaan, diantaranya:

1) Hukum Pribadi (Orang), Badan Hukum tidak dapat menjadi subjek hukum
karena badan hukum tidak dilahirkan seperti manusia, kecuali mempunyai
nama & tempat kedudukan.
2) Hukum Keluarga, Badan Hukum tidak dapat menjadi Subjek Hukum
karena Badan Hukum tidak dapat melangsungkan perkawinan, kecuali
ditunjuk sebagai Wali oleh Pengadilan (Pasal 365 KUH Perdata).
3) Hukum Harta Kekayaan, Badan Hukum sebagai Subjek Hukum hampir
mempunyai persamaan penuh dengan manusia.
4) Hukum Waris, Badan Hukum tidak dapat menjadi Subjek Hukum karena
tidak bisa meninggal dunia, sedangkan syarat mutlak pewarisan, harus ada
orang yg meninggal dunia, kecuali ditunjuk dalam surat wasiat menerima
suatu warisan.

Hak Perdata ada 2 macam, yaitu:

1. Bersifat Mutlak
a) Hak Kepribadian, contoh: Hak atas nama, kehormatannya, hak untuk hidup,
kemerdekaan, dsb.
b) Hak-hak yg terletak dalam Hk. Keluarga, Hak & kewajiban suami-istri,
hubungannya ortu-anak.
c) Hak Mutlak atas Benda, Hak Kebendaan.

2. Bersifat Relatif, semua hak yg timbul karena adanya hubungan perikatan baik yg
bersumber pada perjanjian maupun UU (Hak Perseorangan).

2. KECAKAPAN BERHAK (RECHTSBEVOEGD) & BERTINDAK


(HANDELINGSBEKWAAM)

A. Rechtsbevoegd (Kecakapan Berhak)


Manusia sebagai pembawa hak tercantum pada Pasal 2 KUH Perdata dimulai
sejak dilahirkan atau bahkan dikandung (jika ada kepentingan), dan berakhir ketika ia
meninggal.

Menurut hukum manusia adalah pembawa hak tanpa terkecuali, namunada


pembatasan-pembatasan yg membatasi kecakapan berhaknya:
1) Kewarganegaraan, hanya WNI yg dapat mempunyai Hak Milik. (Pasal 21
ayat (1) UUPA).
2) Tempat Tinggal, hanya orang di area kecamatan yg sama dengan letak tanah
pertanian itulah yg dapat mnejadi pemiliknya (Pasal 10 ayat (2) UUPA).
3) Keduduka/Jabatan, bagi hakim & pejabat hukum lainnya tidak boleh
memperoleh barang yg masih dalam perkara.
4) Usia & Gender, misal Pasal 7 UU No.1/1974 “Batas usia kawin” Pasal 11
UU No.1/1974 “Waktu Tunggu”.
5) Tingkah Laku & Perbuatan, Pasal 49 & 53 UU No.1/1974, isinya
kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut dengan keputusan Pengadilan
ketika melalikan kewajiban sebagai orang tua / wali atau berkelakuan buruk
sekali.
6) Keadaan Tak Hadir (Pasal 463 KUH Perdata)
B. Handelingsbekwaam (Kecakapan Bertindak)
Meskipun setiap manusia tidak terkecuali sebagai pendukung hak &
kewajiban, namun tidak semuanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum
(Pasal 1329 KUH Perdata).

Orang yg tidak cakap melakukan perbuatan hukum menurut UU:

I. Orang yg belum dewasa (anak yg belum mencapai umur 21 tahun &


belum pernah kawin (Pasal 330 KUH Perdata), sekarang usia dewasa
ditentukan 18 tahun (Pasal 47 UUP No.1/1974). UU tentang Jabatan
Notaris (UU No.30/2004) menuntukan usia 18 tahun telah menikah
sebagai syarat menghadap, membuat akta notaris (Pasal 39 ayat (1)
butir a).

II. Orang yg berada dibawah pengampuan (Pasal 433 KUH Perdata).


Perempuan bersuami (tidak termasuk lagi), perempuan yg masih terikat
dalam perkawinan sudah cakap melakukan perbuatan hukum sendiri
(SEMA No.3/1963 jo Pasal 31 UUP No.1/1974).

III. Membuat Testamen (Surat Wasiat)


Berdasarkan Pasal 897 KUH Perdata seseorang yg belum mencapai
umur 18 tahun tidak boleh membuat surat wasiat.

3. PENDEWASAAN (HANDLICTHTING)
Pasal 419 KUH Perdata, mennentukan dengan pendewasaan seorang anak dibawah
umur boleh dinyatakan dewasa atau padanya boleh diberikan hak-hak tertentu orang dewasa.
Dari ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa ada dua macam pendewasaan, yaitu:

1) Pendewasaan Penuh (Pasal 420 KUH Perdata)


Diberi surat pernyataan dewasa (Venia Aetatis) pada orang yg telah mencapai
umur 20 Tahun oleh Kepala Negara c/q Menteri Kehakiman setelah mendengar
pertimbangan Mahkamah Agung. Akibatnya, orang ini dinyatakan dewasa penuh
mempunyai kedudukan yg sama seperti orang dewasa (Pasal 424 ayat (1) KUH
Perdata). Kecuali untuk kawin masih memerlukan uzun orang tua/wali. Juga dapat
ditentukan bahwa untuk menjual barang tidak bergerak miliknya memerlukan izin
Pengadilan Negeri di domisilinya.

2) Pendewasaan Terbatas (Pasal 426 KUH Perdata)


Pendewasaan ini diberikan pada mereka yg telah mencapai umur 18 tahun oleh
PN setempat atas permintaan yg bersangkutan. Akibatnya Pasal 429 KUH Perdata,
sebagai berikut: Dianggap orang dewasa untuk beberapa hal perbuatan dan tindakan
yg dengan tegas diizinkan padanya. Untuk hal lainnya dia tetap dalam kedudukan
belum dewasa.
Dengan berlakunya UUP No.1/1974 lembaga pendewasaan ini sudah tidak
berfungsi lagi.
4. NAMA
Pasal 5a sampai 12 KUH Perdata jo. UU No.4/1961 “Perubahan/Penambahan Nama
Keluarga”. Untuk Go. Eropa umumnya nama terdiri dari dua bagian:

1) Nama Kecil (Depan), John Henry, Frederick, dll.


2) Nama Keluarga, Meryyman, Sontang, dll.

Jika seseorang hendak mengubah/menambah nama kecilnya, menurut Pasal 11 KUH


Perdata harus mendapat izin Pengadilan Negeri setempat. Untuk mengganti nama keluarga
harus mendapat izin Presiden c/q Menteri Kehakiman (Pasal 6 KUH Perdata).

Dengan berlakunya UU No.4/1961 “Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga”


maka ketentuan Pasal 6 KUH Perdata ini dinyatakan tidak berlaku.

UU No.4/1961 “Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga”:

Pasal 1 :

1) WNI yg tunduk pada suatu Peraturan Catatan Sipil dan sudah dewasa, dengan
mengingat hukum yg berlaku baginya, dapat mengubah atau menambah nama
keluarganya hanya dengan izin Menteri Kehakiman dan menurut aturan UU ini.
2) Yg di maksud dengan dewasa dalam UU ini adalah telah berumur genap 21 tahun
atau sudah/pernah kawin.

Pasal 4 “Menteri Kehakuman menolak Perubahan atau Penambahan Nama Keluarga yg


dikehendaki, jika nama itu dianggap melanggar adat suatu daerah atau dianggap
sebagai suatu gelar atau atas dasar lain yg dianggapnya penting.”

Pasal 5 “Jika disamping nama keluarga juga diajukan permohonan perubahan nama kecil atau
jika tidak dibeda-bedakan antara nama keluarga dan nama kecil itu maka Menteri
Kehakiman memberikan izin untuk nama keseluruhan.”

Pasal 10 :

1) WNI yg telah dewasa yg tidak tunduk pada suatu Peraturan Catatan Sipil, bila
menghendaki dapat mempergunakan UU ini. Dalam hal itu maka ketentuan-
ketentuan Pasal 6 huruf D dan Pasal 8 huruf B tidak berlaku.
2) ……… dan seterusnya.

Ketentuan tentang nama sebagaimana diatur dalam Pasal 5a sampai Pasal 12 KUH
Perdata jo. UU No.4/1961 “Perubahan Nama atau Penambahan Nama Keluarga” sudah
dinyatakan tidak berlaku lagi oleh UU Adminduk “UU No.23/2006”.

UU Adminduk ini mengatur ketentuan tentang nama dalam Pasal 52:

1) Pencatatan perubahan nama dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri


tempat pemohon.
2) Pencatatan perubahan nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan
oleh Penduduk kepada instansi pelaksana yg menerbitkan akta Pencatatan Sipil
paling lambat 30 hari sejak diterimanya salinan penetapan pengadilan negeri oleh
penduduk.
3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pejabat Pencatatan Sipil
membuat catatan pinggir pada register akta Pencatatan Sipil dan kutipan akta
Pencatatan Sipil.
Ketentuan umum Pasal 1 butir 2 UU ini menentukan: Penduduk adalah WNI dan orang
asing yg bertempat tinggal di Indonesia.

Pasal 1 butir 15 : Pencatatan Sipil adalah pencatatan peristiwa penting yg dialami oleh
seseorang dalam register Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana.

Pasal 1 butir 16 : Pejabat Pencatatan Sipil adalah…… dan seterusnya.

Nama merupakan bukti identitas diri seseorang. Pengaturannya menjadi penting dalam
hubungannya dengan hukum keluarga dan pewarisan. Sejalan dengan perkembangan
perundang-undangan Pasal 27 ayat (1) UU No.23/2002 “Perlindungan Anak, menentukan:
identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya.”

5. CATATAN SIPIL (PASAL 4 dan PASAL 5 KUH PERDATA)


Lemabaga Catatan Sipil adalah suatu lembaga yg bertujuan mengadakan pendaftaran,
pencatatan, serta pembuktian yg selengkap-lengkapnya dan sejelas-jelasnya, juga memberi
kepastian hukum yg sebesar-besarnya atas peristiwa kelahiran, pengakuan, perkawinan, dan
kematian.

Awal praktik di Indonesia penyelenggaraan catatan sipil terdapat hambatan karena


adanya pembagian golongan penduduk sebagai mana diatur dalam Pasal 131 jo. Pasal 163
Indische Staatsregeling (IS) dengan intruksi Presidium Kabinet Ampera 27 Desember 1996,
No.31/U/IN/1996 “Bahawa dalam pencatatan sipil tidak lagi dikenal adanya golongan-golongan
penduduk, dan kantor catatan sipil dinyatakan terbuka bagi seluruh penduduk Indonesia.

Ini bukan lembaga asli bangsa Indonesia tappi berasal dari negeri Belanda. Belanda
sendiri mengambil dari Perancis yg terdapat dalam Code Civil Perancis. Lembaga ini lahir pada
masa Revolusi Perancis, sebelumnya hanyalah pencatatan dalam register yg dilakukan oleh
Gereja, hanya yg ditulis oleh Gereja tidak lengkap, bahkan ada yg hilang. Pada tahun 1792
dibentuk UU yg isinya antara lain menugaskan Pemerintah Kota untuk mendaftarka peristiwa
Kelahiran, Perkawinan, dan Kematian warga kota, serta melarang badan (orang) lain melakukan
tugas pendaftaran tersebut.

Perkembangan lembaga ini setelah keluarnya Intruksi Presidium Kabinet Ampera


dengan berlakunya UUP No.1/1974 jo. Peraturan Pelaksanaan, PP No.9/1975 Pasal 2.

Pasal 2 PP No.9/1975

1) Pencatatan perkawinan dari mereka yg melangsungkan perkawinannya menurut


agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebgaimana dimaksud dalam UU
No.32/1954 “Pencatatan Nikah, Talak & Rujuk”.
2) Pencatatan Perkawinana dari mereka yg melangsungkan perkawinan menurut
agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksudkan dalam
berbagai Perundang-undangan mengenai pencatatan Perkawinan.

5 Akta Catatan Sipil:

1._Akta Perkawinan 4._Akta Kematian


2._Akta Kelahiran 5._Akta Pengakuan Anak
3._Akta Perceraian
Kegunaan Akta Catatan Sipil

Sebagai alat bukti yg kuat atas peristiwa sebagaimana tersebut dalam akta itu sendiri,
atau memperoleh kepastian hukum tentang status keperdataan seseorang yg mengalami
peristiwa hukum itu dan membantu/memperlancar aktivitas pemerintah di bidang
kependudukan.

Dengan berlakunya UU Adminduk No.23/2006 UU mengenal pencatatan akta sipil


sebagai berikut:

1) Pencatatan kelahiran (Pasal 27)


2) Pencatatan Lahir Mati (Pasal 33)
3) Pencatatan Perkawinan (Pasal 34, 36, & 37)
4) Pencatatan Pembatalan Perkawinan (Pasal 39)
5) Pencatatan Perceraian (Pasal 40)
6) Pencatatan Pembatalan Perceraian (Pasal 43)
7) Pencatatan Kematian (Pasal 44)
8) Pencatatan Pengangkatan Anak (Pasal 47 & 48)
9) Pencatatan Pengakuan Anak (Pasal 49)
10) Pencatatan Pengesahan Anak (Pasal 50)
11) Pencatatan Perubahan Nama (Pasal 52)
12) Pencatatan Perubahan Status Kewarganegaraan (Pasal 53 & 54)
13) Pencatatan Peristiwa Penting lainnya (Pasal 56 ayat (1))

Pasal 66 UU Adminduk
1) Akta Pencatatan Sipil terdiri atas:
1. Register Akta Pencatatan Sipil; dan
2. Kutipan Akta Pencatatan Sipil.
2) Akta Pencatatan Sipil berlaku selamanya.

Pasal 68 UU Adminduk
1) Kutipan Akta Pencatatan Sipil terdiri atas Kutipan Akta:
a. Kelahiran;
b. Kematian;
c. Perkawinan;
d. Perceraian; dan
e. Pengakuan anak.
2) Kutipan Akta Pencatatan Sipil memuat:
a. Jenis peristiwa penting;
b. NIK & Status Kewarganegaraan;
c. Nama orang yg mengalami peristiwa penting;
d. Tempat & tanggal peristiwa;
e. Tempat & tanggal dikeluarkannya akta;
f. Nama & tanda tangan pejabat yg berwenang; dan
g. Pernyataan kesesuaian kutipan dengan data dalam Register Akta Pencatatan Sipil

Demikian lima kutipan akta Pencatatan Sipil (Pasal 68 ayat (1)), sedangkan pencatatan
sipil lainnya berupa surat keterangan (Pasal 33, 39, & 43) dan ada yg dicatat sebagai catatan
pinggiran pada kutipan akta yg bersangkutan (Pasal 47, 50, 52, & 53).
6. DOMISILI
Dalam Pasal 17 s.d Pasal 25 KUH Perdata tempat tinggal adalah tempat dimana
seseorang tinggal serta mempunyai hak & kewajoban hukum, berupa wilayah & dapat berupa
rumah kediaman yg berada dalam wilayah tertentu. Untuk Manusia disebut Tempat
Kediaman, sedangkan Badan Hukum disebut Tempat Kedudukan.

Menurut KUH Perdata ada 4 macam tempat tinggal, yaitu:

1) Tempat tinggal hukum (Pasal 17 ayat (1))


2) Tempat tinggal senyatanya (Pasal 17 ayat (2))
3) Tempat tinggal yg dipilih (Pasal 24)
4) Tempat tinggal wajib (Pasal 21 & 22)

Ad. Tempat tinggal kediaman hukum dan senyatanya/

Pasal 17:

1) Setiap orang dianggap mempunyai tempat tinggalnya dimana ia menempatkan pusat


kediamannya.
2) Dalam hal tidak adanya tempat tinggal yg demikian, maka tempat kediaman
senyatanya dianggap sebagai tempat tinggalnya.

Pasal 17 Ayat (1) & (2) KUH Perdata menyimpulkan ada 2 macam tempat tinggal,
Tempat Tinggal Hukum & Tempat Tinggal Senyatanya.

Ketentuan semacam ini dalam banyak hal tidaklah akan menimbulkan kesukaran karena
seseorang pada umumnya akan menetapkan secara pasti dimana tempat tinggalnya. Tapi dapat
terjadi bahwa seseorang mempunyai beberapa tempat tinggal.

Ad. 2 Tempat tinggal yg dipilih (Pasal 14) tempat kediaman yg ditunjuk sebagai tempat
kediaman oleh salah satu pihak atau lebih dalam hubungan dengan melakukan perbuatan hukum
tertentu, misalnya dalam perjanjian.

Ad. 3 Tempat tinggal kediaman wajib atau kediaman tergantung pada orang lain,
misalnya:

1) Tempat kediaman seorang istri adalah tempat kediaman suaminya (Pasal 21 jo.
106).
2) Anak yg belum dewasa bertempat tinggal di tempat orang tua/walinya (Pasal 21).
3) OOrang yg berada dibawah pengampuan, bertempat tinggal di tempat tinggal
pengampuannya / Curator (Pasal 21).
4) Seorang buruh bertempat tinggal di tempat tinggal majikannya jika ia tinggal di
rumah majikannya itu (Pasal 22).

Bagi mereka yg ditugaskan untuk menjalankan dinas umum dianggap bertempat tinggal
di tempat mereka melaksanakan tugasnya (Pasal 20).

Pasal 23 mengenal istilah “domisili penghabisan” (rumah kematian atau rumah duka),
tempat tinggal terakhir dari seseorang yg meninggal dunia.

Ketentuan ini penting dalam soal-soal pembagian waarisan disamping itu para kreditur
orang yg meninggal diperkenankan menggugat “seluruh ahli waris” pada rumah kematian
tersebut.

Berlakunya UU No.23/2004 “Penghapusan KDRT” dikenal 1 jenis domisili lagi yaitu


“Rumah Aman”, atau tempat tinggal alternatif sebagaimana diatur dalam Pasal 22 buti C UU
No.23/2004, Rumah Aman yakni tempat tinggal sementara yg digunakan untuk memberikan
perlindugan terhadap korban KDRT sesuai dengan standar yg ditentukan seperti Trauma
Centre Departemen Sosial.

UU ini erta kaitannya dengan UUP No.1/1974 terutama dalam mengawal menuju
kehidupan rumah tangga yg bahagia & kekal berdasarkan Ketuhanan YME seperti rumusan
Pasal 1 UU No.1/1974, ketentuan Pasal 4 huruf D UU No.23/2004 “Penghapusan KDRT
bertujuan memelihara keutuhan rumah tangga yg harmonis dan sejahtera”. Oleh karena itu,
Pasal 5 “Setiap orang dilarang melakukan KDRT terhadap orang dalam rumah tangganya.
Dengan cara: Kekerasan Fisik; Psikis; Seksual; atau Penelantaran Rumah Tangga”.

UU ini mengatur juga ketentuan Pidana dalam Pasal 44 – 53. Hal lain yg perlu
diperhatikan dari UU ini, ketentuan Pasal 55 yg menyimpang dari adagium, Unus Testis Nulus
Testis, satu saksi bukanlah saksi (Pasal 169 HIR/Pasal 306 R.Bg/ Pasal 1905 KUH Perdata).
Pasal 55 UU No.23/2004 “Sebagai salah satu alat bukti yg sah, keterangan seseorang saksi saja
sudah cukup untuk membuktikan terdakwa bersalah, apabila disertai dengan satu alat bukti yg
sah lainnya.”

UU ini juga menjelaskan bahwa UU ini selain mengatur ihwal prefentif & protektif serta
pemulihan pada korba KDRT, juga mengatur secara spesifik kekerasan yg terjadi dalam rumah
tangga dengan unsur-unsur TP yg berbeda dengan TP penganiayaan yg diatur dalam KUH
Pidana.

Menurut doktrin Domisili dibagi atas:

1) Tempat kediaman sesungguhnya:


1. Tempat kediaman sukarela atau berdiri sendiri.
2. Tempat kediaman wajib.
2) Tempat kediaman yg dipilih

Kediaman Sukarela  kediaman yg secara bebas ditentukan oleh seseorang, sedangkan


Kediaman Wajib  kediaman yg tergantung pada orang lain (Pasal 21 & 22 KUH Perdata).

Kediaman Dipilih  ditunjuk oleh salah satu pihak atau lebih dalam membuat perjanjian,
misalnya dalam Perjanjian Jual-Beli, dll (Pasal 24 & 25 KUH Perdata).

Perubahan & berakhirnya domisili, jika seseorang pindah rumah (Pasal 18 & 19).

Mengapa perlu ditetapkan tempat tinggal seseorang? Karena penting dalam beberapa hal,
antara lain:

1. Tempat seseorang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, jika ia melakukan


perbuatan melawan hukum.
2. Tempat seseorang melangsungkan perkawinannya (Pasal 76 KUH Perdata).

Dengan berlakunya UU Adminduk No.23/2006 ketentuan mengenai domisili sebagaimana


diatur dalam Pasal 17 – 25 KUH Perdata ini sudah dinyatakan tidak berlaku.

UU Adaminduk mengatur “Pendaftaran Penduduk”, dalam Bab IV Bagian Kesatu, NIK


pada Pasal 13.

1) Setiap penduduk wajib memiliki NIK.


2) NIK yg dimaksud ayat (1) berlaku seumur hidup & selamanya, yg diberika oleh
pemerintah dan diterbitkan oleh Instansi Pelaksana pada setiap penduduk setelah
dilakukan Pencatatan Biodata.
3) NIK sebagaimana dimaksud ayat (1) dicantumkan dalam setiap dokumen
kependudukan dan dijadikan dasar penerbitan Paspor, SIM, NPWP, Polis Asuransi,
Sertifikat Hak atas Tanah, dan Penerbitan dokumen identitas lainnya.
4) …. Dst.

Pengertian NIK seperti yg ditentukan dalam Ketentuan Umum Pasal 1 Butir 12 adalah
NIP yg bersifat unik & khas, tunggal, & melekat pada seseorang yg mendaftarkan sebagai
penduduk Indonesia.

Maksud Dokumen Kependudukan yg disebutkan Pasal 13 ayat (3):

a. Biodata Penduduk;
b. KK;
c. KTP;
d. Surat Keterangan Kependudukan; dan
e. Akta Pencatatan Sipil (Pasal 59 ayat (1)).

Pasal 101 UU No.23/2006 menentukan pada saat UU ini berlaku:

a. Pemerintah memberikan NIK pada tiap penduduk paling lambat 5 Tahun;


b. Semua instansi wajib menjadikan NIK sebagai dasar dalam menerbitkan dokumen yg
dimaksud dalam Pasal 13 UU ini;
c. KTP seumur hidup bagi yg sudah mempunyai NIK tetap berlaku dan bagi yg belum
mempunyai NIK harus disesuaikan dengan UU ini;
d. KTP yg diterbitkan belum mengacu pada Pasal 64 ayat (3) tetap berlaku sampai dengan
batas waktu berakhirnya masa berlaku KTP;
e. ……..dst.

KTP WNI berlaku 5 tahun (Pasal 64 ayat (4) butir A). Penduduk yg telah berusia 60
tahun diberi KTP yg berlaku seumur hidup (Pasal 64 ayat (5)).

Pasal 97 UU No.23/2006 menentukan “Setiap penduduk yg dengan sengaja


mendaftarkan diri sebagai kepala keluarga atau anggota keluarga lebih dari 1 KK
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) atau untuk memiliki KTP lebih dari 1
sebagaimana dimaksud Pasal 63 ayat (6) dipidana paling lama 2 Tahun dan/atau denda
paling banyak 25.000.000,-”

Pada Pasal 17 KUH Perdata seperti yg diuraikan dapat terjadi beberapa kemungkinan.
Pertama “Umumnya bahwa tempat tinggal hukum seseorang itu sama dengan tempat
tinggal senyatanya”, Kedua “Tempat tinggal hukum seseorang tidak sama dengan tempat
tinggal senyatanya”, Ketiga “tempat tinggal hukum seseorang itu lebih dari satu”,
Keempat “tidak di kenal tempat tinggal hukumnya, yg diketahuui hanya tempat tinggal
senyatanya”, Kelima “Baik tempat tinggal hukum maupun senyatanya tidak diketahui.
Orang macam ini dikatakan dalam KEDAAN TIDAK HADIR (Orang Hilang”.
7. KEDAAN TIDAK HADIR (PASAL 463 – 495 KUH PERDATA)
Kedaan tidak adanya seseorang ditempat kediamannya karena berpergian atau
meninggalkan tempat kediaman baik dengan izin atau tanpa izin, dan tidak diketahui dimana ia
berada.

Pasal 467 menentukan “Jika seseorang meninggalkan tempat tinggalnya selama 5 tahun
tanpa menunjuk kuasa untuk mengurus segala kepentingannya, maka atas permohonan pihak yg
berkepentingan dan dengan izin PN setempat orang yg bersangkutan boleh dipanggil untuk
menghadap pengadilan melalui panggilan ummum selama jangka waktu 3 bulan atau lebih
sebagaimana diperintahkan oleh PN”.

Jika setelah panggilan ketiga kalinya belum ada juga kabar tentang hidup matinya yg
bersangkutan, maka PN atas permintaan Kejaksaan dapat menyatakan orang yg bersangkutan
“Barangkali telah meninggal dunia” Pasal 468.

Jika ia mengangkat atau menunjuk seorang keuasa untuk mengurus segala


kepentingannya maka harus ditunggu waktu 10 tahun sejak kepergiannya (Pasal 470).

Setelah pernyataan “Barangkali telah meninggal dunia”, maka parar ahli waris yg
ditinggalkan berhak menikmati hasil (Vrucht Gebruik) dari harta yg ditinggalkan (Pasal 472).

Jika dikemudian hari orang yg bersangkutan masih hidup & kembali kerumah, menurut
Pasal 482 dalam jangka 15 tahun sejak ia dinyatakan “barangkali telah meninggal dunia”, maka
setengah dari hasil yg diperoleh harus dikembalikan. Jika setelah lewat jangka waktu 15 tahun,
tapi belum mencapai 30 tahun, maka ¼ daru hasil yg diperoleh dikembalikan.

Pasal 484 menentukan “Tapi jika sudah 30 tahun sejak dinyatakan “Barangkali telah
meinggal dunia”, atau apabila ia kembali umurnya diperkirakan telah mencapai 100 tahun,
maka para ahli waris yg ditinggalkan dapat mengadakan pembagian waris yg tetap.”

Jika masih hidup dan pulang kembali ke rumah sedangkan harta yg di tinggalkan telah
dibagi antara para Ahli Warisnya, dengan hubungan perkawiannanya diatur dalam Pasal 493 –
495 KUH Perdata.

Pasal 493 jo. 494 “Suami atau istri yg meinggalkan tempat tinggal selama 10 tahun,
tanpa memeperoleh kabar tentang hidup matinya, maka suami/istri yg ditinggalkan dengan izin
Pengadilan dapat kawin lagi. Ini berarti perkawinan bubar (Pasal 199 angka 2)”.

Pasal 495 “(1) Bila setelah pemberian izin, tapi sebelum perkawinan dengan yg lain itu
dilakukan, orang yg tidak hadir muncul atau seseorang membawa berita cukup tentang masih
hidupnya orang itu, maka izin yg telah diberikan tidak berlaku lagi demi hukum. (2) Bila orang
yg ditinggalkan itu telah melakukan perkawinan dengan orang lain, maka orang yg tidak hadir
juga mempunyai hak untuk melakukan perkawinan lain.”

3 Tahapan Keadaan 3 Hadir

1) Tahap Tindakan Sementara (Masa Persiapan)


Pasal 463 PN dapat memanggil Balai Harta Peninggalan atau keluarga sedarah/semenda,
atau istri/suami orang yg tidak hadir itu, atas permohonan pihak yg
berkepentingannya baik seluruh atau sebagian.

2) Tahap Pernyataan “Barangkali Telah Meninggal Dunia”


Pasal 468 PN kemudian dapat mengeluarkan ketetapan “Barangkali Telah Meninggal
Dunia” dengan segala hukumnya. Terutama, mengenai peralihan hak-hak pada
ahli warisnya yg bersifat sementara dan dengan batasan-batasan tertentu.
3) Tahap Pewarisan Definitif
Pasal 484 Akibat hukumnya adalah para ahli waris atau orang yg memperoleh hak dapat
Pasal 485 menuntut pembagian waris atas harta kekayaan orang yg tidak hadir itu.
Suami/istri yg telah ditinggalkan dapat kawin lagi dengan pihak lain.

Dalam tiap tahapan itu, jika orang itu masih hidup & pulang kembali, ia tetap cakap
berhak & bertindak atas harta kekayaan yg ditinggalkannya dengan pembatasan-pembatasan
tertentu (Pasal 486 KUH Perdata).

8. KEWARGANEGARAAN
UU Kewarganegaraan yg pertama sebagai pelaksanaan Pasal 26 UUD 1945 adalah UU
No.3/1946 “WN & Penduduk Negara”, yg telah mengalami perubahan melalui UU No.6 jo.
UU No.8/1947 & UU No.11/1948. UU ini menyangkut Asas Ius Soli “Asas Tempat
Kelahiran”. Lalu diganti UU No.62/1958  (UU No.3/1976) “Perubahan Pasal 18” mulai
berlaku 1 Agustus 1958.

UU No.3/1946 menganut Asas Ius Soli maka UU No.62/1958 menganut Asas


Sanguinis “Keturunan”, walaupun dalam hal-hal tertentu masih menganut Asas Ius Soli. UU
No.62/1958 digunakana sebagai Asas Ius Soli dalam keadaan dikecualikan untuk mencegah
Apatride, yaitu khusus untuk: Mereka (Anak-anak)yg dilahirkan diwilayah Indonesia, kedua
orang tuanya tidak di ketahui, atau orang tuanya tidak mempunyai kewarganegaraan atau
mungkin belum mendapat kewarganegaraan dari negara orang tuanya (Pasal 1 Huruf F – I).

Disamping untuk mencegah Apatride, UU ini menentukan:

1) Seorang anak mengikuti kewarganegaraan ayahnya.


2) Dalam hal ayahnya tidak diketahui maka anak tersebut mengikuti kewarganegaraan ibunya.
3) Demikian untuk wanita Indonesia yg kawin dengan WNA, baru dapat menanggalkan status
WNInya, apabila jelas bahwa negara asal suaminya memungkinkan baginya untuk
mendapatkan Kewarganegaraan.

Sebaliknya untuk mencegah Bipatride, UU Menentukan:


1) Bagi orang asing yg mau menjadi WNI dengan jalan Naturalisasi, disyaratkan memperoleh
Kewarganegaraan Indonesia, orang tersebut tidak akan menjadi bipatride, artinya dia benar-
benar harus melepaskan kewarganegaraannya semula.
2) Bagi anak yg lahir dari perkawinan seorang ibu WNI dengan laki-laki WNA, yg kemudian
bercerai, atau dilahirkan diluar perkawinan dimana ibunya WNI, ia mengikuti kewarganegaraan
ayahnya, dan setelah usia 18 tahun dapat mengajukan permohonan untuk menjadi WNI, dengan
syarat bahwa setelah menjadi WNI yg bersangkutan tidak mempunyai kewarganegaraan lain.

Pada Prinsipnya UU Kewarganegaraan No.62/1958 mengatur tentang:

I. Memperoleh Kewarganegaraan.
II. Kehilangan Kewarganegaraan.

UU No.62/1958 sekarang dicabut dengan digantikan oleh UU No.12/2006


“Kewarganegaraan RI” yg mulai berlaku sejak 1 Agustus 2006. UU ini seperti UU No.62/1958
menganut Asas Ius Sunguinis / Berdasarkan Keturunan & Asas Ius Soli / Tempat Kelahiran
terbatas bagi anak-anak.
Perbedaan UU No.62/1958 dengan UU.12/2006 mengatur tentang 2 hal: Cara
memperoleh kewarganegaraan & Cara kehilangan kewarganegaraan. UU No.12/2006
mengatur 5 hal:

1) Siapa yg menjadi WNI (Pasal 2 & 4).


2) Syarat & tata cara memperoleh kewarganegraan RI (Pasal 8 – 12).
3) Kehilangan kewarganegaraan RI (Pasal 23 – 30).
4) Syarat & tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan RI (Pasal 31 – 35).
5) Ketentuan Pidana (Pasal 36 – 38).

Perubahan mendasar dalam UU No.12/2006, UU ini menganut Asas Kewarganegaraan


Tunggal & Ganda Terbatas. Selain itu UU ini menganut asas non-diskriminatif yg
berhubungan dengan suku, ras, agama, golongan, dan gender.

Pasal 2 Yg di maksud dengan “Bangsa Indonesia Asli” ialah orang Indonesia yg menjadi WNI sejak
dilahirkan & tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri. Demikian
pula anak hasil perkawinan yg sah maupun anak yg lahir diluar perkawinan adalah WNI.
(Pasal 4).

Atas Asas Kewarganegaraan Tunggal yg dianut oleh UU No.62/1958, maka UU


No.12/2006 menerapkan Asas Kewarganegaraan Ganda terbatas bagi anak-anak. Pasal 6 ayat
(1) UU No.12/2006 berbunyi “dalam hal status kewarganegaraan RI terhadap anak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf C, D, H, & I, dan Pasal 5 berakibat anak
berkewarganegaraan ganda, setelah usia 18 tahun atau sudah kawin anak tersebut harus
menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya.”

Pasal 6 ayat (1) diketahui bahwa Kewarganegaraan Ganda Terbatas diberikan pada:

1) Anak dari perkawinan campuran (Pasal 4 Huruf C & D).


2) Anak luar kawin yg diakui (Pasal 4 Huruf H).
3) Anak luar kawin yg belum diakui (pasal 5 ayat (1)).
4) Anak adopsi (Pasal 5 ayat (2)).
5) Anak yg lahir diluar wilayah Negara RIdari seorang ibu dan ayah WNI yg memberikan
kewarganegaraan pada anak yg bersangkutan (Pasal 4 huruf L).

Pengaruh UU Kewarganegaraan terhadap Hk. Perdata yakni kewarganegaraan dapat


membatasi kecakapan berhak seseorang. Juga berkaitan dengan hukum keluarga dalam hal
pengangkatan anak dan anak luar kawin (Pasal 5 UU No.12/2006). Dalam hal perkawinan
campuran (Pasal 19, 26, 27 & 32 ayat (1) UU No.12/2006), kedudukan anak perkawinan dari
campuran (Pasal 4 UU No.12/2006) & Hukum Waris (Pasal 837 KUH Perdata).

9. BADAN HUKUM
A. Pengertian Badan Hukum

Awalnya yg dimaksud Badan Hukum adalah manusia sebagai subjek hukum secara
alamiah, artinya karena kodratnya sebagai mahluk cipataan Tuhan. Akan tetapi oleh karena
kehidupan manusia makin lama makin kompleks, maka diperlukan subjek hukum lain,
disamping manusia sebagai subjek hukum, yakni Badan Hukum.

Badan Hukum sebagai Subjek HUkum seharusnya datur dalam Buku I KUH Perdata.
Akan tetapi KUH Perdata mengaturnya dalam Buku III Tittle IX menempatkan bahwa Badan
Hukum sebagai bagian dari Hk. Perikatan/Perjanjian. Walaupun Tittle IX ini tidak secara jelas.
Mengatur secara samar-samar tentang Rechtspersoonlijkheid (Hak & Kewajiban) dari Badan
Hukum.

Dalam pergaulan hukum mnejadi penting ketika Badan Hukum mempunyai suatu
kekayaan yg terpisah dari kekayaan pengurusnya beserta Hak & Kewajibannya pula, Badan
Hukum menjamin kelangsungan/kontinuitas hak & kewajiban sebagai penjelmaan dari suatu
korporasi, walaupun pengurusnya diganti. Badan Hukum sebagai pendukung Hak & kewajiban
tetap ada. Maka BH bukan saja cakap Berhak, tapi juga cakap Bertindak. KUH Perdata tidak
memberikan definisi atau pengertiannya, maka dari itu Badan Hukum dilihat dari pendapat para
pakar (doktrin).

R. Subekti “Suatu badan atau perkumpulan yg dapat memiliki hak-hak & melakukan
perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau
menggugat di depan hakim.”

Adul Kadir Muhamad “Subje hukum ciptaan manusia pribadi berdasarkan hukum, yg
diberi hak & kewajiban seperti manusia pribadi.”

B. Teori Badan Hukum


Kedudukan Badan Hukum sebagai Subjek Hukum menimbulkan perbedaan pendapat,
ini dapat dilihat dari betapa banyaknya teori tentang Badan Hukum, Teori tersebut diantaranya:
1) Teori Fictie (Fredrich Carl von Savgny)
Hanya manusia sajalah yg berpendapat menjadi subjek hukum. Badan Hukum
hanya suatu Fictie, karena itu tidak mungkin menjadi Subjek Hukum. Badan Hukum
semata-mata hanya buatan Pemerintah Negara.

2) Teori Orgaan (Otto von Gierke) as Reaction to Fredrich’s Teory


Dalam realitasnya sama dengan manusia dalam Pergaulan Hukum. Badan
Hukum mempunyai organ (alat perlengkapan) yg sama seperti manusia, dan juga
kehendak, kemauan sendiri, yg dibentuk melalui alat perlengkapannya. BH bukan
sesuatu yg fictie tapi benar-benar ada oleh karena itu, badan hukum adalah subjek
hukum.

3) Teori Harta Kekayaan (A. Brinz)


Manusia yg hanya menjadi subjek hukum, ada harta kekayaan yg bukan
merupakan harta kekayaan seseorang, tetapi harta kekayaan bersama yg terikat pada
tujuan tertentu.

4) Teori Kekayaan Bersama (Rudolf von Jhering, Planiol & Molengraaff)


Hak & kewajiban BH pada hakitanya adalah hak & kewajiban para anggotanya,
kekayaan milik bersama para anggotanya. Suatu kontruksi yuridis saja, oleh karena
itu BH sesuatu yg abstrak karena itu bukan sebagai Subjek Hukum.

5) Teori Kenyataan Yuridis (E.M. Meijers)


Penghalusan dari teori Orgaan, BH merupakan suatu realitas, konkrit, & riil.
Bukan abstrak tapi kenyataan yuridis. Menekankan hendaknya dalam
mempersamakan BH dengan manusia terbatas pada bidang hukum saja. BH  SH.

Sedangkan dalam Pasal 1654 KUH Perdata “Semua badan hukum yang berdiri dengan
sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata,
tanpa mengurangi perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasinya atau
menundukkannya kepada tata cara tertentu.”
Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum (doktrin), syarat-syarat yg dapat dipakai harus ada
sebagai kriteria adanya kedudukan Badan Hukum, ialah:

1) Adanya harta kekayaan yg terpisah;


2) Mempunyai tujuan tertentu;
3) Mempunyai kepentingan sendiri; dan
4) Adanya organisasi yg teratur;

Tidak semua perkumpulan merupakan badan hukum, seperti arisan, olahraga tingkat
RT/RW, dll. Bukan merupakan Badan Hukum.

C. Macam-macam Badan Hukum


Buku III BAB IX berjudul van Zedelijke Lichamen, ada 3 terjemahan yg diberikan
pada tiap tittle, yakni:
a. Yg diadakan oleh kekuasaan umum;
b. Yg diakui oleh kekuasaan umum;
c. Yg diperkenankan dan didirkan untuk suatu maksud tertentu yg tidak bertentangan
dengan UU / Kesusilaan.

Ketentuan ini mengatur baik Badan Hukum Public (Daerah Tingkat I, Tingkat
II/Madya, BUMN, Bank Pemerintah, dll.) Sedangkan yg diakui oleh kekuasaan umum & yg
diperkenankan untuk suatu tujuan adalah Badan Hukum Private yg diakui (Organisasi
Keagamaan, Gereja, Yayasan, Subak di Bali, dll.). Untuk tujuan tertentu (PT, Perusahaan
Asuransi, Parpol, Perusahaan Perkapalan, dll.)

Perbedaan Badan Hukum Public & Badan Hukum Perdata (Private)

1) Dari cara pendiriannya (Pasal 1653 KUH Perdata).


2) Dari lapangan pekerjaan Badan Hukum, untuk kepentingan umum = Public. Untuk
kepentingan Perorangan = Private / Perdata.

D. Yang Bertindak Untuk Badan Hukum & Tanggung Jawabnya

Anda mungkin juga menyukai