Anda di halaman 1dari 5

Nama: Robby Stanley Alexander Kavarwa Loebay

Kelas: Perdata B
NPM:3021210236
Rangkuman Bab I-III

Bab I Keadaan Hukum Perdata di Indonesia


Perkataan "Hukum Perdata" dalam arti yang luas meliputi semua hukum "privat materiil",
yaitu segala hukum pokok yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan. Perkataan
"perdata" juga lazim dipakai sebagai lawan dari "pidana". Ada juga orang memakai perkataan
"hukum sipil" untuk hukum privat materiil itu, tetapi karena perkataan "sipil" itu juga lazim
dipakai sebagai lawan dari "militer," maka lebih baik kita memakai istilah "hukum perdata"
untuk segenap peraturan hukum privat materiil. Perkataan "Hukum Perdata", adakalanya
dipakai dalam arti yang sempit, sebagai lawan "hukum dagang," seperti dalam pasal 102
Undang-undang Dasar Sementara, yang menitahkan pembukuan (kodifikasi) hukum di
negara kita ini terhadap Hukum Perdata dan Hukum Dagang, Hukum Pidana Sipil maupun
Hukum Pidana Militer, Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana, dan susunan serta
kekuasaan pengadilan.

Hukum Perdata di Indonesia, ber-bhinneka yaitu beraneka warna. Pertama, ia berlainan untuk
segala golongan warga negara:

A. Untuk golongan bangsa Indonesia asli, berlaku "Hukum Adat," yaitu hukum yang sejak
dahulu telah berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi
hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mengenai segala soal dalam kehidupan masyarakat.
B. Untuk golongan warga negara bukan asli yang berasal Tionghoa dan Eropah berlaku Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dan Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (Wetboek van Koophandel), dengan pengertian, bahwa bagi golongan Tionghoa
mengenaiBurgerlijk Wetboek tersebut ada sedikit penyimpangan,yaitu bagian 2 dan 3 dari
Titel IV Buku I (mengenai upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai "penahanan"
pernikahan) tidak berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula "Burgerlijke
Stand" tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi),
karena hal ini tidak terkenal di dalam Burgerlijk Wetboek.

Hukum yang berlaku bagi golongan bangsa Indonesia asli sendiripun ada ber-bhinneka lagi,
yaitu berbeda-beda dari daerah ke daerah. Untuk mengerti keadaan Hukum Perdata di
Indonesia sekarang ini, perlulah kita sekedar mengetahui tentang riwayat politik Pemerintah
Hindia-Belanda dahulu terhadap hukum di Indonesia. Pedoman politik bagi Pemerintah
Hindia-Belanda terhadap hukum di Indonesia dituliskan dalam pasal 131 "Indische
Staatsregeling" (sebelum itu pasal 75 Regeringsreglement), yang dalam pokoknya sebagai
berikut : 

1.Hukum Perdata dan dagang (begitu pula Hukum Pidana beserta Hukum Acara
Perdata dan Pidana) harus diletakkan dalam kitab-kitab undang-undang, yaitu
dikodifisir. 

2.Untuk golongan bangsa Eropah dianut (dicontoh) perundang-undangan yang


berlaku di Negeri Belanda (asas konkordansi). 

3.Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing (Tionghoa, Arab dan
sebagainya), jika ternyata "kebutuhan kem^-yarakatan" mereka menghendakinya,
dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropah dinyatakan berlaku bagi mereka,
baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan
membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan aturan-
aturan yang berlaku di kalangan mereka, dan boleh diadakan penyimpangan jika
diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2).

4.Orang Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan
di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropah, diperbolehkan
"menundukkan diri" ("onderwerpen") pada hukum yang berlaku untuk bangsa
Eropah. Penundukan ini boleh dilakukan baik secara umum maupun secara hanya
mengenai suatu perbuatan tertentu saja (ayat 4). 
5.Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis di dalam undang-undang, bagi
mereka itu akan tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu
"Hukum Adat" (ayat 6).

BAB II Sistematika Hukum Perdata

Hukum Perdata menurut ilmu hukum sekarang ini, lazim dibagi dalam empat bagian, yaitu :

a. Hukum tentang diri seseorang , memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai


subyek dalam hukum, peraturan-peraturan perihal kecakapan untuk memiliki hak-hak
dan kecakapan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu serta hal-hal
yang mempengaruhi kecakapan-kecakapan itu.
b. Hukum Keluarga, mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari
hubungan kekeluargaan, yaitu : perkawinan beserta hubungan dalam lapangan hukum
kekayaan antara suami dan isteri, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan
curatele.
c. Hukum Kekayaan, mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai
dengan uang. Jika kita mengatakan tentang kekayaan seorang, yang dimaksudkan
ialah jumlah segala hak dan kewajiban orang itu, dinilai dengan uang. Hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang demikian itu, biasanya dapat dipindahkan kepada orang
lain. Hak-hak kekayaan, terbagi lagi atas hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang
dan karenanya dinamakan hak mutlak dan hak-hak yang hanya berlaku terhadap
seorang atau suatu fihak yang tertentu saja dan karenanya dinamakan hak
perseorangan. Hak mutlak yang memberikan kekuasaan atas suatu benda yang dapat
terlihat dinamakan hak kebendaan. Hak mutlak yang tidak memberikan kekuasaan
atas suatu benda yang dapat terlihat, misalnya hak seorang pengarang atas
karangannya, hak seorang atas suatu pendapat dalam lapangan ilmu pengetahuan atau
hak seorang pedagang untuk memakai sebuah merk, dinamakan hak mutlak saja.
d. Hukum Waris, mengatur hal ikhwal tentang benda atau kekayaan seorang jikalau ia
meninggal. Juga dapat dikatakan, Hukum Waris itu mengatur akibat-akibat hubungan'
keluarga terhadap harta peninggalan seseorang. Berhubung dengan sifatnya yang
setengah-setengah ini, Hukum Waris lazimnya ditempatkan tersendiri.
Bagaimanakah sistematik yang dipakai oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata? B.W. itu
terdiri atas empat buku, yaitu :

a. Buku I, yang berkepala "Perihal Orang", memuat hukum tentang diri seseorang dan
Hukum Keluarga;
b. Buku II yang berkepala "Perihal Benda", memuat hukum perbendaan serta Hukum
Waris;
c. Buku III yang berkepala "Perihal Perikatan", memuat hukum kekayaan yang
mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berlaku terhadap orang-orang atau
pihak-pihak yang tertentu;
d. Buku IV yang berkepala "Perihal Pembuktian dan Lewat waktu (Daluwarsa), memuat
perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-
hubungan hukum.

Bab III Perihal Orang dalam Hukum

Berlakunya seseorang sebagai pembawa hak, mulai dari saat ia dilahirkan dan berakhir pada
saat ia meninggal. Malahan, jika perlu untuk kepentingannya, dapat dihitung surut hingga
mulai orang itu berada di dalam kandungan, asal saja kemudian ia dilahirkan hidup, hal mana
penting sekali berhubung dengan waris-an-warisan yang terbuka pada suatu waktu, di mana
orang itu masih berada di dalam kandungan.

Meskipun menurut hukum sekarang ini, tiap orang tiada yang terkecuali dapat memiliki hak-
hak, akan tetapi di dalam hukum tidak semua orang diperbolehkan bertindak sendiri dalam
melaksanakan hak-haknya itu. Berbagai golongan orang, oleh undang-undang telah
dinyatakan "tidak cakap," atau "kurang cakap" untuk melakukan sendiri perbuatan-perbuatan
hukum. Yang dimaksudkan di sini, ialah orang-orang yang belum dewasa atau masih kurang
umur dan orang-orang yang telah ditaruh di bawah pengawasan (curatele), yang selalu harus
diwakili oleh orang tuanya, walinya atau kuratornya.

Menurut B.W., orang dikatakan masih di bawah umur apabila ia belum mencapai usia 21
tahun, kecuali jikalau ia sudah kawin. Kalau ia sudah kawin ia tidak akan menjadi orang yang
di bawah umur lagi, meskipun perkawinannya itu diputuskan sebelum ia mencapai usia 21
tahun itu. Selanjutnya menurut B.W. seorang perempuan yang telah kawin pada umumnya
juga tidak diperbolehkan bertindak sendiri dalam hukum, tetapi harus dibantu oleh suaminya.
Ia termasuk golongan orang yang oleh hukum dianggap kurang cakap untuk bertindak
sendiri. Selain itu, di dalam B.W. terdapat berbagai pasal yang secara khusus
memperbedakan antara kecakapan-kecakapan orang lelaki dan orang perempuan, misalnya :

a. Seorang perempuan dapat kawin, jika ia sudah berumur15 tahun dan seorang lelaki
jika ia sudah berumur 18 tahun;
b. Seorang perempuan tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat 300 hari setelah
perkawinan diputuskan, sedangkan untuk seorang lelaki, tidak terdapat larangan
semacam ini;
c. Seorang lelaki baru diperbolehkan mengakui seorang anaknya, jika ia sudah berusia
paling sedikit 19 tahun, sedangkan untuk seorang perempuan tiada suatu pembatasan
umur seperti ini.

Anda mungkin juga menyukai