Kelas: HTN H
NPM: 3021210236
BAB IV
Dalam bahasa Inggris, sumber hukum itu disebut source of law. Perkataan “sumber
hukum” itu sebenarnya ber- beda dari perkataan “dasar hukum”, “landasan hukum”, ataupun
“payung hukum”. Dasar hukum ataupun landa- san hukum adalah legal basis atau legal
ground, yaitu norma hukum yang mendasari suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu
sehingga dapat dianggap sah atau dapat dibenarkan secara hukum. Sedangkan, perka- taan
“sumber hukum” lebih menunjuk kepada penger- tian tempat dari mana asal-muasal suatu
nilai atau nor- ma tertentu berasal.
2. Sumber Hukum Tata Negara
Sumber hukum dapat dibedakan antara yang bersifat formal (source of law in formal
sense) dan sumber hukum dalam arti material (source of law in material sense).
Sumber hukum formal itu haruslah mempunyai salah satu bentuk sebagai berikut:
a. bentuk produk legislasi ataupun produk regulasi ter- tentu (regels);
b. bentuk perjanjian atau perikatan tertentu yang me- ngikat antar para pihak (contract,
treaty);
c. bentuk putusan hakim tertentu (vonnis); atau
d. bentuk-bentuk keputusan administratif (beschikking) tertentu dari pemegang
kewenangan administrasi ne- gara.
Sumber hukum materiil adalah tempat atau asal mula dari mana hukum itu diambil. Sumber
hukum materiil berkaitan erat dengan keyakinan atau perasaan hukum individu dan pendapat
umum yang menentukan isi hukum. Keyakinan atau perasaan hukum individu (anggota
masyarakat) dan pendapat hukum (legal opinion) dapat menjadi sumber hukum materiil. Selain
itu sumber hukum materiil bisa juga berupa hal-hal yang mempengaruhi pembentukan hukum
seperti pandangan hidup, hubungan sosial dan politik, situasi ekonomi corak, peradaban (agama
dan kebudayaan) serta letak geografis dan konfigurasi internasional.
Sebagai perbandingan dapat dikemukakan di sini pendapat A.W. Bradley dan K.D.
Ewing mengenai sum- ber hukum tata negara Inggris (the sources of consti- tutional law in
Britain) yang menurutnya sama saja de- ngan sumber hukum pada umumnya. Perbandingan
ini penting, karena berbeda dengan negara-negara lain, Ing- gris dikenal tidak memiliki
naskah undang-undang dasar yang bersifat tertulis dalam arti terkodifikasi dalam satu
naskah. Menurut kedua sarjana Inggris ini:
“In the absence of a written constitution, the two main sources of constitutional law are
the same as those of law in general, namely: (a) legislation (or enacted law), and (b) judicial
precedent (or case law).
Untuk lebih jelasnya, keduanya dapat dielaborasi- kan sebagai berikut:
1. Legislation (Enacted Law)
Sumber hukum pertama adalah peraturan perun- dang-undangan tertulis, termasuk acts of
Parliament, peraturan-peraturan tertulis yang ditetapkan oleh peme- rintah, dan peraturan-
peraturan yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga lainnya yang mendapat delegasi kewe-
nangan regulasi dari parlemen. Oleh karena Inggris tidak memiliki naskah undang-undang
dasar tertulis yang ter- sendiri, maka sejak dulu sampai sekarang cukup banyak undang-
undang yang disahkan oleh parlemen yang ber- hubungan dengan sistem penyelenggaraan
pemerin- tahan. Mengenai hal ini yang dianggap paling penting di antaranya adalah:
a. Magna Charta
Magna Charta dianugerahkan oleh Raja John pada tahun 1215 di Runnymede kepada
the nobles, dan dalam berbagai bentuknya dengan persetujuan parlemen Ing- gris
dikonfirmasi oleh raja-raja berikutnya. Magna Char- ta muncul dalam Statute Book
yang dikonfirmasi oleh Raja Edward I pada tahun 1297. Pentingnya piagam atau
charter ini adalah di dalamnya terdapat statement of grievances yang dirumuskan atas
nama sebagian besar komunitas rakyat which the king undertook to redress. Piagam
Magna Charta ini juga merumuskan hak-hak bagi berbagai kelas masyarakat abad
pertengahan itu se- suai dengan kebutuhan mereka masing-masing. Gereja diharuskan
untuk bebas, London dan kota-kota lainnya harus menikmati kebebasan dan adat
kebiasaannya ma- sing-masing, dan para pedagang tidak boleh dipaksa un- tuk
membayar pajak yang tidak adil. Walaupun peradilan dengan sistem juri dan dengan
the writ of habeas corpus dipengaruhi oleh sumber-sum- ber tradisi yang lain, Chapter
29 Magna Charta menya- takan bahwa “no man should be punished except by the
judgement of his peers or the law of the land and that to none should justice be denied”.
Ketentuan ini mencer- minkan protes melawan hukuman yang sewenang-we- nang dan
pembatasan terhadap peradilan yang fair (fair trial), serta sistem hukum yang adil (just
legal system). Sekarang, beberapa ketentuan Magna Charta itu masih terdapat dalam
Statute Book tetapi telah diubah dengan sebutan the nearest approach to an
irrepealable “funda- mental statute” that England has ever had.
b. Petition of Right
Dokumen atau naskah lain yang juga diundangkan oleh Parlemen Inggris pada era
konflik konstitusional berikutnya adalah Petition of Right pada 1628, yang di- tuangkan
dalam Statute Book pada bagian 3 Car 1 c 1.255 Petisi ini mengandung protes melawan
kebijakan per- pajakan yang diterapkan tanpa didasarkan atas persetu- juan parlemen,
pemenjaraan yang semena-mena, pene- rapan keadaan darurat militer di masa damai,
dan pe- maksaan kebijakan penginapan bagi tentara di tempat- tempat sipil (private
persons). Terhadap protes-protes itu, Raja akhirnya menyerah, meskipun akibat selan-
jutnya dari konsesi yang diberikan itu diperlemah lagi oleh pandangan Charles I yang
menyatakan bahwa hak prerogatifnya sendiri masih tetap tidak terhapus.
c. Bill of Right and Claim of Right
Revolusi Kemenangan tahun 1688 atau The glo- rious revolution of 1688 menyebabkan
jatuhnya James II of England dan James VII of Scotland dari singgasana- nya, dan
dipulihkannya kekuasaan monarki di kedua ke- rajaan itu sesuai dengan syarat-syarat
yang ditentukan oleh masing-masing parlemen Inggris dan Skotlandia. Di Inggris, yang
menyetujui The Bill of Rights itu adalah House of Lords dan sisa-sisa anggota parlemen
terakhir masa Charles II pada tahun 1689 yang selanjutnya di- konfirmasi oleh
parlemen yang terbentuk sesudah revo- lusi.
Hal inilah yang selanjutnya menjadi landasan bagi
konstitusionalisme modern Inggris dengan meninggal- kan klaim yang biasa dikenal
dengan the extravagant claims of the Stuarts to rule by prerogative right.
d. The Acts of Settlement
Undang-undang Pemukiman Tahun 1700 ini diun- dangkan oleh parlemen Inggris,
tidak saja menyediakan mekanisme suksesi ke singgasana, tetapi juga menam- bahkan
berbagai ketentuan penting yang bersifat kom- plementer terhadap naskah Bill of
Rights. The Bill of Rights dan The Acts of Settlement tersebut menandai kemenangan
parlemen atas tuntutan atau klaim Raja untuk memerintah menurut prinsip hak
prerogatif yang bersifat mutlak. Sebagai contoh, dalam Acts of Sett- lement ini
ditentukan bahwa:
“That shosoever shall hereafter come to the possession of this crown shall join in
communion with the Church of England as by law established. That in case the crown and
imperial dignity of this realm shall hereafter come to any person, not being a native of this
kingdom of England, this nation be not obliged to engage in any war for the defence of any
dominions or territories which do not belong to the crown of England, without consent of
Parliament. That no person who has an office or place of profit under the King or receives
a pension from the crown shall be capable of serving as a member of the House of
Commons.”
“That ... judges’ commissions be made ‘quamdiu se bene gesserint’ [so long as they are of
good behaviour], and their salaries ascertained and established, but upon the address of
both Houses of Parliament it may be lawful to remove them. That no pardon under the
great seal of England be pleadable to an impeachment by the Com- mons in Parliament”.
e. Other Statutes of Constitutional Importance
Di samping itu, banyak lagi undang-undang lain yang dalam sistem ketatanegaraan
Inggris dianggap mempunyai constitutional importance karena diakui se- bagai
bagian dari pengertian hukum tata negara Inggris dalam arti yang luas. Untuk
menyebut beberapa di anta- ranya yaitu the Act of Union with Scotland tahun 1707,
the Act of Union of Ireland, the Parliament Act tahun 1911 dan tahun 1949, the
Crown Proceedings Act tahun 1947, the European Communities Act tahun 1972, the
British Nationality Act tahun 1981, dan the Public Order Act tahun 1986. Selain itu,
dalam beberapa tahun ter- akhir ini, terdapat pula beberapa undang-undang baru yang
disahkan antara tahun 1997 sampai dengan tahun 2000. Misalnya, dapat dikemukakan
di sini adalah the Scotland Act tahun 1998, the Human Rights Act tahun 1998, dan the
House of Lords Act tahun 1999, serta undang-undang anti-terorisme atau the
Terrorism Act tahun 2000.
4. Sumber Hukum Primer, Sekunder, dan Tertier
Dalam penelitian hukum dikenal pula adanya istilah sumber primer, sekunder, dan tertier.
Pengertian sumber di sini lebih konkrit sifatnya, yaitu sumber fisik dari mana suatu norma
hukum (norm) dikutip atau diambil untuk diterapkan dalam menilai sesuatu fakta (feit).
Pengertian sumber dalam arti demikian pada umumnya dianggap penting, baik dalam dunia
teori maupun praktik, untuk menjamin bahwa pengutipan norma dilakukan dengan benar.
Kualifikasi sumber hukum itu menjadi penting untuk menentukan derajat keterpercayaan
atau tingkat kebenaran referensi atau perujukannya. Oleh sebab itu, kategori sumbernya dibe-
dakan antara sumber primer yang mempunyai nilai keterpercayaan paling tinggi, karena
sifatnya yang lang- sung dengan sumber sekunder melalui perantara. Demi- kian pula dengan
sumber yang tingkat keterpercaya- annya paling rendah, yaitu sumber tertier dengan lebih
banyak perantara.
Seperti dikemukakan oleh O. Hood Phillips, Paul Jackson, dan Patricia Leopold dalam
“The constitutional law of a state is the law relating to the constitution of that state”,274
maka penting sekali untuk memahami hu- kum, negara, dan konstitusi secara bersamaan.
Hukum sendiri diakui tidak mudah untuk didefinisikan. H.L.A. Hart sendiri menyatakan
bahwa mengenai apa itu hukum merupakan pertanyaan yang senantiasa diajukan di
sepanjang sejarah umat manusia. Menurutnya, “it is a persistent question”275 yang selalu
diajukan dari waktu ke waktu.
Namun demikian, di lapangan hukum tata negara, kita memusatkan perhatian hanya
kepada hukum dalam konteks kenegaraan, yaitu hukum negara (state law), hukum kota
(municipal law), hukum desa (village law), dan sebagainya. Dalam perspektif hukum tata
negara, hukum negara (the law of a state) kita lihat sebagai hukum yang terdiri atas
pedoman perilaku (rules of con- duct) yang ditetapkan oleh lembaga negara yang bertin- dak
sebagai legislator atau regulator dan yang ditegakkan oleh lembaga pengadilan yang
dibentuk oleh negara (duly constituted courts of the state). Tetapi di pihak lain juga
berfungsi sebagai pedoman bagi organ-organ negara dalam arti yang seluas-luasnya untuk
menjalankan tugas dan kewenangannya.
3. Peraturan Perundang-undangan
4. Konvensi Ketatanegaraan
Dalam Hukum Tata Negara (constitutional law), dikenal pula apa yang disebut konvensi
ketatanegaraan (the convention of the constitution). Konvensi ketata- negaraan mempunyai
kekuatan yang sama dengan Undang-undang, karena diterima dan dijalankan, mes- kipun
hakim di pengadilan tidak terikat olehnya. Bahkan seringkali konvensi ketatanegaraan ini
menggeser ber- lakunya suatu peraturan perundang-undangan yang tertulis. Konvensi
ketatanegaraan dapat dibedakan dari kebiasaan ketatanegaraan. Dalam kebiasaan terdapat un-
sur yang menunjukkan bahwa suatu perbuatan yang sama berulang-ulang dilakukan, yang
kemudian diterima dan ditaati. Kebiasaan ketatanegaraan akan menjadi hukum kebiasaan
yang mengikat apabila ia diberi atau dilengkapi dengan sanksi. Kebiasaan ketatanegaraan
ialah perbuatan dalam kehidupan ketatanegaraan yang dilakukan berulang kali, sehingga ia
diterima dan ditaati dalam praktik ketatanegaraan, walaupun ia bukan hu- kum. Di sinilah
letak perbedaannya dengan ketentuan hukum yang sudah tidak diragukan keabsahannya.
Kebiasaan ketatanegaraan walaupun bagaimana penting- nya tetap merupakan kebiasaan saja.
Sebagian kebiasaan ketatanegaraan memang dapat disebut sebagai konvensi
ketatanegaraan. Akan tetapi, tidak selalu konvensi ketatanegaraan merupakan kebia- saan
ketatanegaraan, sebab konvensi dapat timbul mes- kipun sesuatu belum menjadi kebiasaan.
Misalnya, tindak penyimpangan dari ketentuan konstitusi, tetapi telah mendapatkan
kesepakatan bersama atau dibiarkan berlaku oleh semua pihak yang terkait, maka hal itu dapat
diterima sebagai konvensi ketatanegaraan, meski- pun belum menjadi kebiasaan yang
dimaksud di atas. Kebiasaan mempersyaratkan terjadinya perulangan- perulangan. Tetapi
dalam konvensi tidak harus lebih dulu terjadi perulangan. Uraian lebih rinci beserta con- toh-
contoh mengenai hal ini akan dibahas dalam sub bab tersendiri.
5. Traktat (Perjanjian)
Sumber hukum formil yang lain dari Hukum Tata Negara adalah traktat atau perjanjian,
sepanjang traktat atau perjanjian itu menentukan segi hukum ketata- negaraan yang hidup
bagi negara masing-masing yang terikat di dalamnya, sekalipun ia termasuk dalam bidang
Hukum Internasional. Bentuk traktat (treaty) tersebut tidak selalu tertulis karena
kemungkinan terjadi bahwa perjanjian hanya diadakan dengan pertukaran nota atau surat-
surat belaka. Dalam kamus Hukum Internasional, tidak dibedakan antara traktat dan
perjanjian. Bahkan, traktat dan perjanjian sering dikatakan mempunyai arti yang sama saja.
Akan tetapi, Bellefroid berpendapat bahwa kedua hal itu mempunyai arti yang berbeda.
Traktat adalah perjanjian yang terikat pada bentuk ter- tentu, sedangkan perjanjian tidak
selalu terikat pada bentuk tersebut.
Traktat atau perjanjian adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih.
Apabila perjanjian itu diadakan oleh dua negara, ia disebut perjanjian bila- teral. Sedangkan,
apabila diadakan oleh banyak negara, ia disebut perjanjian multilateral. Dalam praktik, mana
yang disebut traktat dan mana yang dapat disebut sebagai persetujuan, tidak mudah untuk
dibedakan. Keduanya sama-sama termasuk ke dalam pengertian perjanjian yang seringkali
tidak dapat dipisahkan secara tajam.
C. Konvensi Ketatanegaraan
Konvensi itu tidak memiliki kualitas kualifikasi yang sama dengan hukum dalam arti
yang sebenarnya. Kemudian yang dapat juga dipastikan ialah bahwa konvensi itu tidak
dapat ditegakkan oleh pengadilan dan pelanggaran terhadapnya tidak dapat dikenakan
sanksi oleh hakim. Meskipun demikian, tentu tidak berarti bahwa pengadilan tidak
mengakui sama sekali keberada- an konvensi sebagai sumber hukum. Setiap konvensi tetap
dapat dijadikan pegangan yang dipercaya bagi hakim sebagai alat bantu untuk menafsirkan
peraturan tertulis yang berlaku. Konvensi ketatanegaraan (constitu- tional conventions) juga
dapat dijadikan alat untuk justi- fikasi sikap pengadilan yang mengambil jarak dari ke-
putusan-keputusan tata usaha negara di bidang-bidang yang pengadilan sendiri
menganggap dirinya tidak terlibat atau tidak boleh dilibatkan.
bagaimana legal rules diterapkan dalam praktik. 347 Hubungan antara hukum dan konvensi
dapat dikatakan sangat penting dan mempunyai karakteristik yang fundamental dalam sis-
tem dan struktur ketatanegaraan. Bahkan, dalam penye- lenggaraan negara konstitusional di
seluruh dunia, kon- vensi ketatanegaraan terus tumbuh dan berkembang dalam praktik. Dapat
dikatakan, tidaklah mungkin me- nyelesaikan berbagai perselisihan dan sengketa konsti-
tusional dalam praktik penyelenggaraan negara dengan hanya mengandalkan rujukan kepada
norma hukum (it is impossible to settle constitutional disputes merely by reference to the
state of the law).Meskipun pengadilan tidak dapat menerapkan ataumenentukan sanksi atas
pelanggaran terhadap ketentuan konvensi ketatanegaraan, tetapi pengakuan pengadilan
terhadap adanya konvensi ketatanegaraan tersebut tetap mempunyai arti penting bagi hakim
dalam menjatuhkan.
Dalam pelaksanaan undang-undang dasar, banyak perubahan yang terjadi terhadap norma yang
terkandung di dalamnya tanpa melalui proses perubahan formal, melainkan hanya terjadi begitu saja
melalui kebiasaan ataupun konvensi ketatanegaraan. Menurut Profesor Ismail Suny, perubahan
yang terjadi dalam sistem peme- rintahan berdasarkan UUD 1945, yakni dengan diprak- tikkannya
sistem pertanggungjawaban menteri sebagai- mana termuat dalam Maklumat Pemerintah tanggal 14
November 1945, merupakan salah satu contoh konvensi ketatanegaraan yang mengubah bunyi teks
UUD 1945 mengenai pertanggungjawaban pemerintahan.