Anda di halaman 1dari 39

BAB I

HAL-HAL UMUM
A. Pengertian teori hukum dan Konstitusi

Kata “Konstitusi” berarti “pembentukan”, berasal dari kata kerja yaitu


“constituer” (Perancis) atau membentuk. Yang dibentuk adalah negara,
dengan demikian konstitusi mengandung makna awal (permulaan) dari
segala peraturan perundang-undangan tentang negara. Belanda
menggunakan istilah “Grondwet” yaitu berarti suatu undang-undang yang
menjadi dasar (grond) dari segala hukum. Indonesia menggunakan istilah
Grondwet menjadi Undang-undang Dasar.
Konstitusi Tertulis dan Tidak Tertulis

Konstitusi memuat suatu aturan pokok (fundamental) mengenai sendi-sendi pertama untuk
menegakkan suatu bangunan besar yang disebut negara. Sendi-sendi itu tentunya harus
kokoh, kuat dan tidak mudah runtuh agar bangunan negara tetap tegak berdiri. Ada dua
macam konstitusi di dunia, yaitu “Konstitusi Tertulis” (Written Constitution) dan “Konstitusi
Tidak Tertulis” (Unwritten Constitution), ini diartikan seperti halnya “Hukum Tertulis”
(geschreven Recht) yang trmuat dalam undang-undang dan “Hukum Tidak Tertulis”
(ongeschreven recht) yang berdasar adat kebiasaan. Dalam karangan “Constitution of
Nations”, Amos J. Peaslee menyatakan hampir semua negara di dunia mempunyai konstitusi
tertulis, kecuali Inggris dan Kanada.
Di beberapa negara ada dokumen tetapi tidak disebut konstitusi walaupun sebenarnya materi
muatannya tidak berbeda dengan apa yang di negara lain disebut konstitusi. Ivor Jenning
dalam buku (The Law and The Constitution) menyatakan di negara-negara dengan konstitusi
tertulis ada dokumen tertentu yang menentukan:
a. Adanya wewenang dan tata cara bekerja lembaga kenegaraan
b. Aadanya ketentuan berbagai hak asasi dari warga negara yang diakui dan dilindungi
Di inggris baik lembaga-lembaga negara termaksud dalam huruf a maupun pada huruf
b yang dilindungi, tetapi tidak termuat dalam suatu dokumen tertentu. Dokumen-dokumen
tertulis hanya memuat beberapa lembaga-lembaga negara dan beberapa hak asasi yang
dilindungi, satu dokumen dengan yang lain tidak sama. Karenanya dilakukan pilihan-pilihan
di antara dokumen itu untuk dimuat dalam konstitusi. Pilihan di Inggris tidak ada. Penulis
Inggris yang akhirnya memilih lembaga-lembaga mana dan hak asasi mana oleh mereka yang
dianggap “constitutional.”
Ada konstitusi yang materi muatannya sangat panjang dan sangat pendek. Konstitusi
yang terpanjang adalah India dengan 394 pasal. Kemudian Amerika Latin seperti uruguay
332 pasal, Nicaragua 328 pasal, Cuba 286 pasal, Panama 271 pasal, Peru 236 pasal, Brazil
dan Columbia 218 pasal, selanjutnya di Asia, Burma 234 pasal, di Eropa, belanda 210 pasal.
Konstitusi terpendek adalah Spanyol dengan 36 pasal, Indonesia 37 pasal, Laos 44
pasal, Guatemala 45 pasal, Nepal 46 pasal, Ethiopia 55 pasal, Ceylon 91 pasal dan Finlandia
95 pasal.
B. Tujuan Konstitusi

Hukum pada umumnya bertujuan mengadakan tata tertib untuk keselamatan masyarakat
yang penuh dengan konflik antara berbagai kepentingan yang ada di tengah masyarakat.
Tujuan hukum tata negara pada dasarnya sama dan karena sumber utama dari hukum tata
negara adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar, akan lebih jelas dapat dikemukakan
tujuan konstitusi itu sendiri.

Tujuan konstitusi adalah juga tata tertib terkait dengan: a). berbagai lembaga-
lembaga negara dengan wewenang dan cara bekerjanya, b) hubungan antar lembaga
negara, c) hubungan lembaga negara dengan warga negara (rakyat) dan d) adanya
jaminan hak-hak asasi manusia serta e) hal-hal lain yang sifatnya mendasar sesuai
dengan tuntutan perkembangan zaman.
Tolok ukur tepat atau tidaknya tujuan konstitusi itu dapat dicapai tidak terletak pada
banyak atau sedikitnya jumlah pasal yang ada dalam konstitusi yang bersangkutan. Banyak
praktek di banyak negara bahwa di luar konstitusi tertulis timbul berbagai lembaga-lembaga
negara yang tidak kurang pentingnya dibanding yang tertera dalam konstitusi dan bahkan hak
asasi manusia yang tidak atau kurang diatur dalam konstitusi justru mendapat perlindungan
lebih baik dari yang telah termuat dalam konstitusi itu sendiri. Dengan demikian banyak negara
yang memiliki konstitusi tertulis terdapat aturan-aturan di luar konstitusi yang sifat dan
kekuatannya sama dengan pasal-pasal dalam konstitusi. Aturan-aturan di luar konstitusi seperti
itu banyak termuat dalam undang-undang atau bersumber/berdasar pada adat kebiasaan
setempat. Contoh yang tepat adalah Inggris dan Kanada, artinya tidak memiliki sama sekali
konstitusi tertulis tetapi tidak dapat dikatakan tidak ada aturan yang sifat dan kekuatannya tidak
berbeda dengan pasal-pasal dalam konstitusi.
Inggris yang memelopori seluruh dunia dengan suatu dokumen yang terkenal yaitu
“Magna Charta” yang merupakan dokumen kenegaraan yang memberi jaminan hak-hak asasi
manusia. Pada saat itu raja atas desakan para bangsawan (Baron atau Lord yang berkuasa atas
daerah-daerah dari kerajaan Inggris) untuk menandatangani Magna Charta tersebut.
Sebenarnya dokumen ini dimaksudkan untuk menjamin hak-hak serta wewenang para
bangsawan, tetapi kemudian oleh umum dipandang sebagai jaminan terhadap hak-hak asasi
manusia dari rakyat yang dalam perkembangan selanjutnya tidak dikenal lagi bangsawan-
bangsawan sebagai penguasa melainkan hanya Sang Raja sebagai pemegang puncak kekuasaan
pemerintahan. Magna Charta terdiri dari 63 pasal yang menentukan dalam garis besarnya
(pasal 1) adanya jaminan kemerdekaan bekerjanya gereja Inggris dan kemerdekaan bergerak
semua orang bebas (freeman) dalam kerajaan Inggris. Di samping itu dijamin dan dilindungi,
antara lain:
1). Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil hasil pertanian dari siapapun tanpa
membayar harganya seketika itu juga kecuali apabila si pemilik memberi izin
menangguhkan pembayaran (pasal 28);
2). Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil kuda atau kendaraan dari seorang yang
bebas (freeman) untuk keperluan pengangkutan tanpa izin si pemilik (pasal 30);
3). Tidak seorangpun penguasa yang akan mengambil kayu-kayu untuk keperluan raja tanpa
persetujuan si pemilik;
Terkait dengan kemerdekaan orang-perorangan antara lain ditentukan:
1). Tidak ada seorangpun pegawai kepolisian yang akan mengajukan seorang di muka
pengadilan atas tuduhan tanpa kesaksian orang-orang yang dipercaya (pasal 38);
2). Tidak seorang bebaspun (freeman) yang akan dimasukkan ke dalam penjara atau dilarang
berdiam di satu daerah tertentu kecuali atas putusan oleh penguasa setempat atau
dibenarkan oleh aturan negara (pasal 39);
3). Kepada siapapun tidak dapat diingkari atau ditangguhkan pelaksanaan haknya atau
peradilan (pasal 40).
Dalam banyak hal ditentukan juga bahwa siapapun boleh meninggalkan kerajaan atau kembali
dengan sehat dan aman melalui daratan atau perairan (laut) kecuali ada perang dan karena
ditahan sesuai dengan aturan negara. Yang sangat menarik adalah aturan mengenai
pengangkatan/pengisian berbagai jabatan terkait dengan penegakan hukum, misalnya
ditentukan tidak seorangpun diangkat sebagai hakim, polisi atau jaksa, kecuali apabila
orang itu benar-benar mengetahui aturan hukum negara, beritikad baik untuk melakukan
fungsi jabatan yang diisinya. Ketentuan akhir dari Magna Charta antara lain menyatakan
gereja Inggris adalah merdeka dan semua orang dalam kerajaan akan menikmati
kemerdekaan, hak-hak serta fasilitas sebaik-baiknya dalam suasana damai tenteram sampai
turun temurun atas itikad baik raja dan para bangsawan. Berbagai bagian dari Magna
Charta ini diulangi lagi oleh raja Edward dalam “The great Charter Of Liberties Of
England and Of The Liberties Of Forest”. Memang di Inggris pernah ada semacam
konstitusi tertulis yaitu pada saat Cromwell memegang tampuk kekuasaan pemerintahan
(1653-1660) dengan satu dokumen yang disebut “The Instrument Of Government”, tetapi
berlaku hanya sekali saat itu. Ada beberapa aturan (undang-undang) lain di Inggris tertentu,
antara lain: The Habeas Corpus Act 1670, The Bill Of Rights 1689, The Act Of Settlement
1700, The parliament Act 1911, The Statute Of Westminster 1931, The Representation Of
The People Act (1928, 1945, 1948), The House Of Common Act 1944 dan The Parliament
Act 1949.
BAB II
PEMISAHAN (PEMBAGIAN) KEKUASAAN
Hampir dapat dikatakan konstitusi di semua negara dimuat atau tergambar keberadaan suatu
pembagian kekuasaan yang sudah dikenal yaitu kekuasaan membuat aturan/undang-undang
(legislatif), kekuasaan melaksanakan aturan/undang-undang (eksekutif/administratif) dan
kekuasaan peradilan (yudikatif). Gagasan atau ide dari Montesquieu mengajarkan dalam suatu
negara harus ada pemisahan kekuasaan anatar satu dengan kekuasaan yang lain (Separation Of
Power). Montesquieu adalah hakim Perancis yang melarikan diri ke Inggris dan gagasan
pemisahan kekuasaan saat ia melihat praktek kekuasaan di Inggris. Jika demikian jelas bahwa
materi muatan hampir setiap konstitusi di dunia mencontoh pada keadaan politik di Inggris,
walaupun Inggris sendiri tidak memiliki konstitusi tertulis.
Pada abad 18 John Locke dalam buku karangannya “Two Treaties Of Government” membela
gagasan Montesquieu dalam bentuk yang lain, yaitu:
1). Kekuasaan perundang-undangan
2). Kekuasaan melaksanakan sesuatu hal (eksekutif) urusan dalam negeri yang mencakup
pemerintahan dan peradilan, dan
3). Kekuasaan untuk bertindak terhadap anasir/unsur asing guna kepentingan negara atau
warga negara, disebut sebagai kekuasaan negara “Federative power” sebagai gabungan dari
berbagai orang-orang atau kelompok.
John Locke melihat nama federatif mungkin kurang tepat, yang ia pentingkan bukan nama
tetapi isi kekuasaan yang olehnya dianggap berbeda sifatnya dari dua kekuasaan yang lain.
Mengacu pada kalimat “Melaksanakan sesuatu hal urusan dalam negeri” kiranya Locke
lebih tepat dibanding dengan Montesquieu. Urusan dalam negeri yaitu pemerintahan dan
peradilan pada dasarnya adalah melaksanakan hukum atau aturan yang berlaku. Locke
menyebutkan urusan pkerjaan pengadilan sebagai “pelaksanaan” undang-undang.
Mengenai urusan pemerintah tidak hanya melaksanakan hukum yang berlaku, tetapi juga
dalam keadaan tertentu (tak terduga) tidak termasuk dalam suatu peraturan/undang-undang.
Pada sisi lain kelihatan Montesquieu lebih luas dalam memahami kata “melaksanakan”, artinya
mencakup pelaksanaan hak-hak negara terhadap luar negeri yang disebutkan sebagai
tindakan kekuasaan pemerintahan suatu negara.
Berbeda pandangan adalah C. Van Vollenhoven dalam buku “Staatsrecht Over Zee” yang
menyatakan dalam suatu negara ada 4 (empat) macam kekuasaan yaitu:
1). Pemerintahan (Bestuur),
2).Perundang-undangan,
3).Kepolisian dan,
4).Pengadilan
Van Vollenhoven pada dasarnya memecah pemerintahan menjadi dua bagian yaitu:
1).Kepolisian sebagai kekuasaan mengawasi berlakunya hukum dan jika diperlukan dengan
tindakan memaksa (toezicht en dwang/pengawasan dan pemaksaan) dan
2).Pemerintahan yang tidak mengandung unsur mengawasi dan memaksa.
Apabila dikaitkan dengan Indonesia, ada kekuasaan ke 4 yaitu kejaksaan (kekuasaan menuntut
perkara pidana) sebagai kekuasaan yang ada di antara kekuasaan kepolisian dan pengadilan
di muka hakim. Hal ini karena secara jelas kekuasaan kejaksaan terpisah dari kekuasaan
kepolisian dan pengadilan.
BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN TEORI HUKUM & KONSTITUSI

A. TEORI HUKUM.

1. Teori hukum dilihat dari ilmu hukum.

Teori ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang
hukum dan mencoba untuk memberikan penilaian. Menurut Radburch tugas dari teori hukum
adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada dasar-dasar
filsafat yang paling dalam.

Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari hukum positif.
Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah filosofis
sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum.

Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun
Romawi telah membuat pelbagai pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar
filsafatnya. Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang
terpenting dari filsafat agama, etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya
adalah ahli-ahli filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik.

Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar filsafat atau ahli politik ke
filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir ini. Yaitu setelah adanya
perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian hukum. Teori-teori
hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum. Sedangkan teori-
teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli hukum sendiri.

Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para ahli
hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan
tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.

2. Teori-Teori Hukum Pada Zaman Yunani-Romawi.


Menurut Plato (427-347 sebelum Masehi) beranggapan bahwa hukum itu suatu
keharusan dan penting bagi masyarakat. Sebagaimana yang dituliskannya dalam “The
Republik”, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik
yang mengikat masyarakat.

Pelaksanaan keadilan dipercayakan kepada para pengatur pemerintahan yang


pendidikan serta kearifannya bersumber pada ilham merupakan jaminan untuk terciptanya
pemerintahan yang baik. Dan pada karyanya yang telah diperbaharui Plato mulai
mengusulkan “negara hukum” sebagai alternatif suatu sistem pemerintahan yang lebih baik,
dengan konsepnya mengenai negara keadilan yang dijalankan atas dasar norma-norma
tertulis atau undang-undang.

Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) adalah murid Plato yang paling termasyur.
Ia adalah seorang pendidik putra raja yang bernama Aleksander Agung. Menurut
Aristoteles hukum harus ditaati demi keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum alam
dan hukum positif.

Hukum alam menurut Aristoteles merupakan aturan semesta alam dan sekaligus aturan
hidup bersama melalui undang-undang. Pada Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai
suatu hukum yang berlaku selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam.

Hukum positif adalah semua hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu
harus selalu ditaati, sekalipun ada hukum yang tidak adil. Aristoteles juga membedakan
antara keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau “remedial”. Keadilan distributif
mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang sesuai dengan
kedudukannya didalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap kesederajatan di
hadapan hukum.

Keadilan jenis ini menitikberatkan kepada kenyataan fundamental dan selalu benar,
walaupun selalu dikesampingkan oleh hasrat para filsuf hukum untuk membuktikan
kebenaran pendirian politiknya, sehingga cita keadilan secara teoritis tidak dapat memiliki isi
yang tertentu sekaligus sah.
Keadilan yang kedua pada dasarnya merupakan ukuran teknik dari prinsip-prinsip
yang mengatur penerapan hukum. Dalam mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu
standar yang umum untuk memperbaiki setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa
memperhatikan pelakunya dan tujuan dari perilaku-perilaku dan obyek-obyek tersebut harus
diukur melalui suatu ukuran yang obyektif.

Selanjutnya Aristoteles memberikan pembedaan terhadap keadilan abstrak dan


kepatutan. Hukum harus menyamaratakan dan banyak memerlukan kekerasan didalam
penerapannya terhadap masalah individu. Kepatutan mengurangi dan menguji kekerasan
tersebut, dengan mempertimbangkan hal yang bersifat individual.

3. Pada Abad Pertengahan.

Menurut Thomas Aquinas (1225-1275) adalah seorang rohaniawan Gereja Katolik


yang lahir di Italia, belajar di Paris dan Kolin dibawah bimbingan Albertus Magnus. Didalam
membahas arti hukum, Thomas Aquinas mulai dengan membedakan antara hukum-hukum
yang berasal dari wahyu dan hukum-hukum yang dijangkau oleh akal budi manusia sendiri.
Hukum yang didapati dari wahyu disebut hukum Ilahi.

Hukum yang diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam.
Pertama-tama ada hukum alam, kemudian juga hukum bangsa-banga, akhirnya hukum positif
manusiawi.

Tentang hukum yang berasal dari wahyu dapat dikatakan, bahwa hukum mendapat
bentuknya dalam norma-norma moral agama. Seringkali norma-norma itu sama isinya
dengan norma-norma yang umumnya berlaku dalam hidup manusia.

Untuk dapat menjelaskan hukum alam, Thomas Aquinas bertolak dari ide-ide dasar
Aristoteles. Aturan alam semesta tergantung dari Tuhan yang menciptakannya. Oleh karena
itu aturan alam ini harus berakar dalam suatu aturan abadi, yang terletak dalam hakekat Allah
sendiri.
Hakekat Allah itu adalah pertama-tama Budi Ilahi yang mempunyai ide mengenai
segala ciptaan. Budi Ilahi praktis membimbing segala-galanya kearah tujuannya. Semesta
alam diciptakan dan dibimbing oleh Allah, tetapi lebih-lebih manusia beserta kemampuannya
untuk memahami apa yang baik dan apa yang jahat dan kecenderungan untuk membangun
hidupnya sesuai dengan aturan alam itu.

Oleh karena itu untuk hukum alam, Thomas Aquinas pertama-tama memaksudkan
aturan hidup manusia , sejauh didiktekan oleh akal budinya. Hukum alam yang terletak
dalam akal budi manusia itu tidak lain daripada suatu pertisipasi aturan abadi dalam ciptaan
rasional.

Hukum alam yang oleh akal budi manusia ditimba dari aturan alam, dapat dibagi
dalam dua golongan yaitu : hukum alam primer dan hukum alam sekunder. Hukum alam
primer dapat dirumuskan dalam norma-norma yang karena bersifat umum berlaku bagi
semua manusia.

Hukum alam sekunder dapat diartikan dalam norma-norma yang selalu berlaku in
abstracto, oleh karena langsung dapat disimpulkan dari norma-norma hukum alam primer,
tetapi dapat terjadi juga adanya kekecualian berhubung adanya situasi tertentu.

Thomas Aquinas membedakan antara keadilan distributif, keadilan tukar-menukar


dan keadilan legal. Keadilan distributif menyangkut hal-hal umum. Keadilan tukar-menukar
menyangkut barang yang ditukar antara pribadi seperti misalnya jual beli. Keadilan legal
menyangkut keseluruhan hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua keadilan tadi
terkandung keadilan legal.

4. Teori selama abad XIX.

Teori selama abad XIX manusia semakin sadar akan kemampuannya untuk mengubah
keadaan dalam segala bidang. Dalam abad ini pula muncul gerakan positivisme dalam ilmu
hukum.
Oleh H.L.A Hart (lahir tahun 1907), seorang pengikut positivisme diajukan berbagai
arti dari positivisme sebagai berikut :

1. Hukum adalah perintah.


2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan.
Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula
dari suatu penilaian kritis.

Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang


sudah ada terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta
moralitas.

Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan


oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.

Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan


dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita
terima sebagai pemberian arti terhadap positivisme ini.

Berbeda dengan John Austin (1790-1859), yang menyatakan bahwa hukum adalah
sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa didalam negara secara
memaksakan, dan biasanya ditaati. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi
didalam suatu negara. Sumber-sumber yang lain disebutnya sebagai sumber yang lebih
rendah.

John Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom dan
dapat mencukupi dirinya sendiri. Menurut John Austin, tugas dari ilmu hukum hanyalah
untuk menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern.

Sekalipun diakui ada unsur-unsur yang bersifat histeris didalamnya, namun unsur-
unsur tersebut telah diabaikan dari perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik
yang berdaulat didalam suatu negara.
Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang penganut utilitarian yang menggunakan
pendekatan tersebut kedalam kawasan hukum. Dalilnya adalah bahwa manusia itu akan
berbuat dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-
besarnya dan menekan serendah-rendahnya penderitaan.

Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling


besar dari sejumlah terbesar rakyat. Rudolph von Jhering sering disebut sebagai “social
utilitarianism”. Ia mengembangkan segi-segi positivisme dari John Austin dan
menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari Jeremy Bentham dan John
Stuart Mill.

Rudolph von Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep


tentang “tujuan”, seperti dikatakannya didalam salah satu bukunya yaitu bahwa tujuan adalah
pencipta dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-
usulnya pada tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis.

Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil
tertentu yang diinginkan. Ia mengakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan
sejarah, tetapi menolak pendapat para teoritisi aliran sejarah, bahwa hukum itu tidak lain
merupakan hasil dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak
disadari.

Hukum terutama dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada
tujuan tertentu. John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan jeremy bentham, yaitu
bahwa tindakan itu hendaklah ditujukan kepada tercapainya kebahagiaan.

Standar keadilan hendaknya didasarkan kepada kegunaannya. Akan tetapi Ia


berpendapat, bahwa asal usul kesadaran akan keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan,
melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri dan perasaan
simpati.
Menurut John Stuart Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak
dan membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang
mendapatkan simpati dari kita.

Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan, penderitaan, tidak hanya


atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai kepada orang-orang
lainyang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan dengan demikian, mencakup
semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat manusia.

5. Teori Hukum Murni.

Menurut Hans Kelsen (1881-1973),adalah pelopor aliran ini. Bukunya yang terkenal
adalah Reine Rechslehre (ajaran hukum murni).Teori hukum murni ini lazim dikaitkan
dengan Mazhab Wina. Mazhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian
pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu
pengetahuan yang bebas dari naluri, kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya.

Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi,
sejarah dan pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai
berikut :

1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan
dan meningkatkan kesatuan.
2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum
yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya ada.
3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.
4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan
efektifitas norma-norma hukum.
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang
berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik.
6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti
antara hukum yang mungkin dan hukum yang ada.
Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan.
Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan
hukum dinyatakan identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan
terhadap tatanan sosial.

Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa didalam
suatu masyarakat hanya satu dan bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang sama.
Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai
Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan
dari semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu.

Grundnorm merupakan induk untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu


tatanan sistem tertentu.

Teori ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan kejadian-kejadian dalam bidang hukum
dan mencoba untuk memberikan penilaian. Menurut Radburch tugas dari teori hukum
adalah membikin jelas nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada dasar-dasar
filsafat yang paling dalam. Teori hukum merupakan kelanjutan dari usaha untuk mempelajari
hukum positif. Teori hukum menggunakan hukum positif sebagai bahan kajian dengan telaah
filosofis sebagai salah satu sarana bantuan untuk menjelaskan tentang hukum.

Teori hukum dipelajari sudah sejak zaman dahulu, para ahli hukum Yunani maupun
Romawi telah membuat pelbagai pemikiran tentang hukum sampai kepada akar-akar filsafatnya.
Sebelum abad kesembilan belas, teori hukum merupakan produk sampingan yang terpenting dari
filsafat agama, etika atau politik. Para ahli fikir hukum terbesar pada awalnya adalah ahli-ahli
filsafat, ahli-ahli agama, ahli-ahli politik. Perubahan terpenting filsafat hukum dari para pakar
filsafat atau ahli politik ke filsafat hukum dari para ahli hukum, barulah terjadi pada akhir-akhir
ini. Yaitu setelah adanya perkembangan yang hebat dalam penelitian, studi teknik dan penelitian
hukum. Teori-teori hukum pada zaman dahulu dilandasi oleh teori filsafat dan politik umum.
Sedangkan teori-teori hukum modern dibahas dalam bahasa dan sistem pemikiran para ahli
hukum sendiri. Perbedaannya terletak dalam metode dan penekanannya. Teori hukum para ahli
hukum modern seperti teori hukum para filosof ajaran skolastik, didasarkan atas keyakinan
tertinggi yang ilhamnya datang dari luar bidang hukum itu sendiri.
Teori-Teori Hukum Pada Zaman Yunani-Romawi Plato (427-347 sebelum Masehi)
beranggapan bahwa hukum itu suatu keharusan dan penting bagi masyarakat. Sebagaimana yang
dituliskannya dalam “The Republik”, hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan
tersusun baik yang mengikat masyarakat. Pelaksanaan keadilan dipercayakan kepada para
pengatur pemerintahan yang pendidikan serta kearifannya bersumber pada ilham merupakan
jaminan untuk terciptanya pemerintahan yang baik. Dan pada karyanya yang telah diperbaharui
Plato mulai mengusulkan “negara hukum” sebagai alternatif suatu sistem pemerintahan yang
lebih baik, dengan konsepnya mengenai negara keadilan yang dijalankan atas dasar norma-
norma tertulis atau undang-undang.

Aristoteles (384-322 sebelum Masehi) adalah murid Plato yang paling termasyur. Ia
adalah seorang pendidik putra raja yang bernama Aleksander Agung. Menurut Aristoteles hukum
harus ditaati demi keadilan, dan ini dibagi menjadi hukum alam dan hukum positif. Hukum alam
menurut Aristoteles merupakan aturan semesta alam dan sekaligus aturan hidup bersama melalui
undang-undang. Pada Aristoteles hukum alam ditanggapi sebagai suatu hukum yang berlaku
selalu dan dimana-mana karena hubungannya dengan aturan alam. Hukum positif adalah semua
hukum yang ditentukan oleh penguasa negara. Hukum itu harus selalu ditaati, sekalipun ada
hukum yang tidak adil.

Aristoteles juga membedakan antara keadilan “distributif” dan keadilan “korektif” atau
“remedial”. Keadilan distributif mengacu kepada pembagian barang dan jasa kepada setiap orang
sesuai dengan kedudukannya didalam masyarakat, dan perlakuan yang sama terhadap
kesederajatan dihadapan hukum (equality before the law). Keadilan jenis ini menitikberatkan
kepada kenyataan fundamental dan selalu benar, walaupun selalu dikesampingkan oleh hasrat
para filsuf hukum untuk membuktikan kebenaran pendirian politiknya, sehingga cita keadilan
secara teoritis tidak dapat memiliki isi yang tertentu sekaligus sah. Keadilan yang kedua pada
dasarnya merupakan ukuran teknik dari prinsip-prinsip yang mengatur penerapan hukum. Dalam
mengatur hubungan hukum harus ditemukan suatu standar yang umum untuk memperbaiki
setiap akibat dari setiap tindakan, tanpa memperhatikan pelakunya dan tujuan dari perilaku-
perilaku dan obyek-obyek tersebut harus diukur melalui suatu ukuran yang obyektif.
Selanjutnya Aristoteles memberikan pembedaan terhadap keadilan abstrak dan kepatutan.
Hukum harus menyamaratakan dan banyak memerlukan kekerasan didalam penerapannya
terhadap masalah individu. Kepatutan mengurangi dan menguji kekerasan tersebut, dengan
mempertimbangkan hal yang bersifat individual.

Pada Abad Pertengahan Thomas Aquinas (1225-1275) adalah seorang rohaniawan


Gereja Katolik yang lahir di Italia, belajar di Paris dan Kolin dibawah bimbingan Albertus
Magnus. Di dalam membahas arti hukum, Thomas Aquinas mulai dengan membedakan antara
hukum-hukum yang berasal dari wahyu dan hukum-hukum yang dijangkau oleh akal budi
manusia sendiri. Hukum yang di dapati dari wahyu disebut hukum Ilahi (ius divinum positivum).

Hukum yang diketahui berdasarkan kegiatan akal budi ada beberapa macam. Pertama-
tama ada hukum alam (ius nature), kemudian juga hukum bangsa-banga (ius gentium), akhirnya
hukum positif manusiawi (ius positivum humanum). Tentang hukum yang berasal dari wahyu
dapat dikatakan, bahwa hukum mendapat bentuknya dalam norma-norma moral agama.
Seringkali norma-norma itu sama isinya dengan norma-norma yang umumnya berlaku dalam
hidup manusia. Untuk dapat menjelaskan hukum alam, Thomas Aquinas bertolak dari ide-ide
dasar Aristoteles. Aturan alam semesta tergantung dari Tuhan yang menciptakannya.

Oleh karena itu aturan alam ini harus berakar dalam suatu aturan abadi (lex aeterna),
yang terletak dalam hakekat Allah sendiri. Hakekat Allah itu adalah pertama-tama Budi Ilahi
yang mempunyai ide mengenai segala ciptaan. Budi Ilahi praktis membimbing segala-galanya
kearah tujuannya. Semesta alam diciptakan dan dibimbing oleh Allah, tetapi lebih-lebih manusia
beserta kemampuannya untuk memahami apa yang baik dan apa yang jahat dan kecenderungan
untuk membangun hidupnya sesuai dengan aturan alam itu. Oleh karena itu untuk hukum alam,
Thomas Aquinas pertama-tama memaksudkan aturan hidup manusia , sejauh didiktekan oleh
akal budinya.

Hukum alam yang terletak dalam akal budi manusia itu (lex naturalis) tidak lain daripada
suatu pertisipasi aturan abadi dalam ciptaan rasional. Hukum alam yang oleh akal budi manusia
ditimba dari aturan alam, dapat dibagi dalam dua golongan yaitu : hukum alam primer dan
hukum alam sekunder.
Hukum alam primer dapat dirumuskan dalam norma-norma yang karena bersifat umum
berlaku bagi semua manusia. Hukum alam sekunder dapat diartikan dalam norma-norma yang
selalu berlaku in abstracto, oleh karena langsung dapat disimpulkan dari norma-norma hukum
alam primer, tetapi dapat terjadi juga adanya kekecualian berhubung adanya situasi tertentu.

Thomas Aquinas membedakan antara keadilan distributif, keadilan tukar-menukar dan


keadilan legal. Keadilan distributif menyangkut hal-hal umum. Keadilan tukar-menukar
menyangkut barang yang ditukar antara pribadi seperti misalnya jual beli. Keadilan legal
menyangkut keseluruhan hukum, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua keadilan tadi
terkandung keadilan legal.

6. Teori-Teori Pada Abad XIX dan Selanjutnya Positivisme dan Utilitarianisme.

Selama abad XIX manusia semakin sadar akan kemampuannya untuk mengubah keadaan
dalam segala bidang. Dalam abad ini pula muncul gerakan positivisme dalam ilmu hukum. Oleh
H.L.A Hart (lahir tahun 1907), seorang pengikut positivisme diajukan berbagai arti dari
positivisme sebagai berikut :

1. Hukum adalah perintah.

2. Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis
yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu
penilaian kritis.

3. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada
terlebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas.

4. Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh
penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.

5. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari


hukum yang seharusnya diciptakan, yang diinginkan. Inilah yang sekarang sering kita terima
sebagai pemberian arti terhadap positivisme ini.
Berbeda dengan John Austin (1790-1859), yang menyatakan bahwa hukum adalah
sejumlah perintah yang keluar dari seorang yang berkuasa didalam negara secara memaksakan,
dan biasanya ditaati. Satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan tertinggi didalam suatu
negara. Sumber-sumber yang lain disebutnya sebagai sumber yang lebih rendah (subordinate
sources).

John Austin mengartikan ilmu hukum sebagai teori hukum positif yang otonom dan
dapat mencukupi dirinya sendiri. Menurut John Austin, tugas dari ilmu hukum hanyalah untuk
menganalisa unsur-unsur yang secara nyata ada dari sistem hukum modern. Sekalipun diakui ada
unsur-unsur yang bersifat histeris didalamnya, namun unsur-unsur tersebut telah diabaikan dari
perhatian. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat di dalam suatu negara.

Jeremy Bentham (1748-1832) adalah seorang penganut utilitarian yang menggunakan


pendekatan tersebut kedalam kawasan hukum. Dalilnya adalah bahwa manusia itu akan berbuat
dengan cara sedemikian rupa sehingga ia mendapatkan kenikmatan yang sebesar-besarnya dan
menekan serendah-rendahnya penderitaan.

Tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan paling besar
dari sejumlah terbesar rakyat.
Rudolph von Jhering sering disebut sebagai “social utilitarianism”. Ia mengembangkan segi-segi
positivisme dari John Austin dan menggabungkannya dengan prinsip-prinsip utilitarianisme dari
Jeremy Bentham dan John Stuart Mill.

Rudolph von Jhering memusatkan perhatian filsafat hukumnya kepada konsep tentang
“tujuan”, seperti dikatakannya didalam salah satu bukunya yaitu bahwa tujuan adalah pencipta
dari seluruh hukum, tidak ada suatu peraturan hukum yang tidak memiliki asal-usulnya pada
tujuan ini, yaitu pada motif yang praktis.

Menurutnya hukum dibuat dengan sengaja oleh manusia untuk mencapai hasil-hasil
tertentu yang diinginkan. Ia mengakui bahwa hukum itu mengalami suatu perkembangan sejarah,
tetapi menolak pendapat para teoritisi aliran sejarah, bahwa hukum itu tidak lain merupakan hasil
dari kekuatan-kekuatan historis murni yang tidak direncanakan dan tidak disadari. Hukum
terutama dibuat dengan penuh kesadaran oleh negara dan ditujukan kepada tujuan tertentu.
John Stuart Mill berpendapat hampir sama dengan jeremy bentham, yaitu bahwa
tindakan itu hendaklah ditujukan kepada tercapainya kebahagiaan. Standar keadilan hendaknya
didasarkan kepada kegunaannya. Akan tetapi Ia berpendapat, bahwa asal usul kesadaran akan
keadilan itu tidak ditemukan pada kegunaan, melainkan pada dua sentimen, yaitu rangsangan
untuk mempertahankan diri dan perasaan simpati.

Menurut John Stuart Mill, keadilan bersumber pada naluri manusia untuk menolak dan
membalas kerusakan yang diderita, baik oleh diri sendiri, maupun oleh siapa saja yang
mendapatkan simpati dari kita. Perasaan keadilan akan memberontak terhadap kerusakan,
penderitaan, tidak hanya atas dasar kepentingan individual, melainkan lebih luas dari itu, sampai
kepada orang-orang lainyang kita samakan dengan diri kita sendiri. Hakikat keadilan dengan
demikian, mencakup semua persyaratan moral yang sangat hakiki bagi kesejahteraan umat
manusia.

Teori Hukum Murni Hans Kelsen (1881-1973),adalah pelopor aliran ini. Bukunya yang
terkenal adalah Reine Rechslehre (ajaran hukum murni).Teori hukum murni ini lazim dikaitkan
dengan Mazhab Wina. Mazhab Wina mengetengahkan dalam teori hukum pencarian
pengetahuan yang murni, dalam arti yang paling tidak mengenal kompromi, yaitu pengetahuan
yang bebas dari naluri, kekerasan, keinginan-keinginan dan sebagainya.

Teori hukum murni juga tidak boleh dicemari oleh ilmu-ilmu politik, sosiologi, sejarah
dan pembicaraan tentang etika. Dasar-dasar pokok teori Hans Kelsen adalah sebagai berikut :

1. Tujuan teori tentang hukum, seperti juga setiap ilmu, adalah untuk mengurangi kekalutan dan
meningkatkan kesatuan (unity).

2. Teori hukum adalah ilmu, bukan kehendak, keinginan. Ia adalah pengetahuan tentang hukum
yang ada, bukan tentang hukum yang seharusnya.

3. Ilmu hukum adalah normatif, bukan ilmu alam.

4. Sebagai suatu teori tentang norma-norma, teori hukum tidak berurusan dengan persoalan
efektifitas norma-norma hukum.
5. Suatu teori tentang hukum adalah formal, suatu teori tentang cara pengaturan dari isi yang
berubah-ubah menurut jalan atau pola yang spesifik.

6. Hubungan antara teori hukum dengan suatu sistem hukum positif tertentu adalah seperti antara
hukum yang mungkin dan hukum yang ada.

Salah satu ciri yang menonjol pada teori hukum murni adalah adanya suatu paksaan.
Setiap hukum harus mempunyai alat atau perlengkapan untuk memaksa. Negara dan hukum
dinyatakan identik, sebab negara hanya suatu sistem perilaku manusia dan pengaturan terhadap
tatanan sosial. Kekuasaan memaksa ini tidak berbeda dengan tata hukum, dengan alasan bahwa
didalam suatu masyarakat hanya satu dan bukan dua kekuasaan yang memaksa pada saat yang
sama.

Bagian lain dari teori Hans Kelsen yang bersifat dasar adalah konsepsinya mengenai
Grundnorm, yaitu suatu dalil yang akbar yang tidak dapat ditiadakan yang menjadi tujuan dari
semua jalan hukum bagaimanapun berputar-putarnya jalan itu. Grundnorm merupakan induk
untuk melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu tatanan sistem tertentu.

Ide mengenai Teori Hukum Murni (the Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh
seorang filsuf dan ahli hukum terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen
lahir di Praha pada 11 Oktober 1881. Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi
pindah ke Vienna. Pada 1906, Kelsen mendapatkan gelar doktornya pada bidang hukum.

Kelsen memulai kariernya sebagai seorang teoritisi hukum pada awal abad ke-20. Oleh
Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah terkontaminasi oleh ideologi
politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu pengetahuan di sisi
yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum. Oleh
karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk
menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.

Yurisprudensi ini dikarakterisasikan sebagai kajian kepada hukum, sebagai satu objek
yang berdiri sendiri, sehingga kemurnian menjadi prinsip-prinsip metodolgikal dasar dari
filsafatnya. Perlu dicatat bahwa paham anti-reduksionisme ini bukan hanya merupakan
metodoligi melainkan juga substansi. Kelsen meyakini bahwa jika hokum dipertimbangkan
sebagai sebuah praktik normatif, maka metodologi yang reduksionis semestinya harus
dihilangkan. Akan tetapi, pendekatan ini tidak hanya sebatas permasalahan metodologi saja.

B. HUKUM KONSTITUSI.

1. Sejarah Lahirnya Konstitusi Di Indonesia

Dalam sejarahnya, Undang-Undang Dasar 1945 dirancang sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni
1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau
Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai dalam bahasa Jepang yang beranggotakan 21 orang, diketuai
Ir.Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai wakil dengan 19 orang anggota yang terdiri dari 11
orang wakil dari Jawa, 3 orang dari Sumatra, dan masing-masing 1 wakil dari Kalimantan,
Maluku, dan Sunda kecil. BPUPKI ditetapkan berdasarkan Maklumat Gunseikan Nomor 23
bersamaan dengan ultah Tenno Heika pada tanggal 29 April 1945.

BPUPKI menentukan tim khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi Indonesia merdeka
yang dikenal dengan nama UUD 1945. Tokoh-tokoh perumusnya antara lain Dr. Rajiman
Widiodiningrat, Ki Bagus Hadi Koesemo, Oto Iskandardinata, Pangeran purboyo, Pangeran
Soerjohamindjojo dan lain-lain.

UUD 1945 dibentuk untuk memberikan kemerdekaan bagi bangsa Indonesia di kemudian
hari. Setelah kemerdekaan diraih, kebutuhan akan sebuah konstitusi resmi nampaknya tidak
bisa ditawar-tawar lagi, dan segera harus dirumuskan sehingga lengkaplah Indonesia menjadi
sebuah Negara yang berdaulat. Pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari setelah ikrar
kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan sidangnya
yang pertama kali dan menghasilkan beberapa keputusan sebagai berikut :

1. Menetapkan dan mengesahkan pembukaan UUD 1945 yang bahannya diambil dari
rancangan Undang – Undang yang disusun oleh panitia perumus pada tanggal 22 Juni 1945.

2. Menetapkan dan mengesahkan UUD 1945 yang bahannya hampir seluruhnya diambil dari
RUU yang disusun oleh panitia perancang UUD tanggal 16 Juni 1945.
3. Memilih ketua persiapan Kemerdekaan Indonesia Ir. Soekarno sebagai presiden dan wakil
ketua Drs. Muhammad Hatta sebagai wakil presiden.

4. Pekerjaan presiden untuk sementara waktu dibantu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (Komite Nasional).

Maka secara formal Indonesia sempurna menjadi sebuah Negara, sebab syarat – syarat yang
lazim diperlukan oleh setiap Negara telah ada, yaitu adanya:

1. Rakyat .

2. Wilayah.

3. Kedaulatan.

4. Pemerintahan

5. Tujuan Negara.

6. Bentuk Negara

2. Perubahan Konstitusi Di Negara Indonesia

Dalam UUD 1945 menyediakan satu pasal yang berkenaan dengan cara perubahan UUD,
yaitu pasal 37 yang menyebutkan:

· Untuk mengubah UUD sekurang-kuranngnya 2/3 daripada anggota MPR harus hadir;

· Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 jumlah angggota yang hadir.

Pasal 37 tersebut mengandung tiga norma, yaitu:

· Bahwa wewenang untuk mengubah UUD ada pada MPR sebagai lembaga tertinggi negara;

· Bahwa untuk mengubah UUD, kuorum yang dipenuhi sekurang-kurangnya adalh 2/3 dari
sejumlah anggota MPR;
· Bahwa putusan tentang perubahan UUD adalah sah apabila disetujui oleh sekurang-
kurangnya 2/3 dari anggota MPR yang hadir.

Menurut KC. Wheare, tingkat kesulitan perubahan-perubahan konstitusi memilki motif-motif


tersendiri yaitu:

1. Agar perubahan konstitusi dilakukan dengan pertimbangan yang masak, tidak secara
serampangan dan dengan sadar (dikehendaki);

2. Agar rakyat mendapat kesempatan untuk menyampaikan pandangannya sebelum


perubahan dilakukan;

3. Agar hak-hak perseorangan atau kelompok seperti kelompok minoritas agama atau
kebudayaanya mendapat jaminan.

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, Konstitusi atau Undang-undang Dasar 1945 yang
diberlakukan di Indonesia, telah mengalami perubahan-perubahan dan masa berlakunya di
Indonesia, yakni dengan rincian sebagai berikut:

1. Undang-undang dasar 1945 (18 Agustus 1945-27 Desember 1949);

2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949-17 Agustus 1950);

3. Undang-undang Dasar Semntara Rrepublik Indonesia 1950 (17 Agustus 1950 – 5Juli
1959);

4. Undang-undang Dasar 1945 (5 Juli 1959-19 Oktober 1999);

5. Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahan I (19 Oktober 1999-18 Agustus 2000);

6. Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahan I dan II (18 Agustus 2000-9 Nopember 2001);

7. Undang-undang Dasar 1945 dan Perubahan I, II, dan III (9 Nopember 2001 – 10 Agustus
2002);
8. Undang_undang Dasar 1945 dan perubahan I,II, III dan IV (10 Agustus 2002).

Sebelum perubahan UUD, Indonesia menganut supremasi hukum (oleh) MPR. Dalam sejarah
ketatanegaraan Republik Indonesia, mekanisme penyelesaian sengketa kewenangan antar
lembaga negara baru ada setelah perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945. Sebelum adanya perubahaan tersebut, MPR sebagai lembaga tertinggi
negara memegang kekuasaan untuk mengatasi sengketa itu. Setelah adanya perubahan UUD,
MPR tidak lagi berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara dan menjadi lembaga tinggi
negara yang sederajat dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya. Masing-masing
lembaga negara sederajat, saling mengontrol dan mengimbangi satu sama lain (check and
balance) sehingga MPR tidak lagi berwenang untuk mengatasi sengketa kewenangan antar
lembaga negara. Karena demikian, maka perlulah dibentuk Mahkamah Konstitusi.

Dalam kaitan dengan ajaran pemisahaan kekuasaan, maka diberikannya kewenangan pada
mahkamah konstitusi dalam memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 adalah sebagai konsekuensi restrukturasi terhadap
kelembagaan negara dalam upaya purifikasi terhadap ajaran pemisahaan kekuasaan, di mana
majelis permusyawaratan rakyat tidak lagi sebagai simbol penjelmaaan dari kedaulatan
rakyat, sehingga implikasinya masing-masing organ/lembaga negara pada posisi yang sejajar.
Sehingga dengan keadaan yang demikian terbuka peluang bagi organ/lembaga negara untuk
bersengketa terkait dengan kewenangan yang bersumber pada UUD.

2. Sejarah Pertumbuhan Konstitusi.

Konstitusi adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-


Undang Dasar suatu negara) dengan kata lain: Segala tindakan atau perilaku seseorang
maupun penguasa berupa kebijakan yang tidak didasarkan atau menyimpangi konstitusi,
berati tindakan (kebijakan) tersebut adalah tidak konsttitusional. Berbeda halnya dengan
konstitusionalisme yaitu suatu paham mengenai pembatasan kekuasaan dan jaminan hak-hak
rakyat melalui konstitusi.
Ruang lingkup paham konstitusi atau konstitusionalisme terdiri dari yaitu:
1. Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum).
2. Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.

3. Peradilan yang bebas dan mandiri.

4. Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asas
kedaulatan rakyat.

Empat prinsip atau ajaran di atas merupakan “ maskot” bagi suatu Pemerintahan yang
kontitusional. Akan tetapi suatu pemerintah atau negara meskipun kontitusinya sudah
mengatur prinsip-prinsip, namun tidak diimplementasikan. Dalam praktek penyelenggaraan
bernegara, maka belumlah dapat dikatakan sebagai negara yang konstitusional atau menanut
paham konstitusi.
Pada zaman abada pertengahan, corak konstitusionalismenya bergeser kearah
feodalisme. Sistem feodal ini mengandung suatu pengertian bahwa tanah dikuasai oleh para
tuan tanah. Suasana seperti ini dibarengi oleh adanya keyakinan bahwa setiap orang harus
mengabdi pada salah satu tuan tanahnya.
Pada abad VII atau zaman klasik lahirlah piagam/konstitusi Madinah. Piagam
Madinah adalah konstitusi negara Madinah yang dibentuk pada awal Masa klasik Islam,
tepatnya sekitar tahun 622M.
Di Eropa Kontinental, pihak rajalah yang memperoleh kemenangan yaitu ditandai
dengan semakin kokohnya absolutisme, khususnya di Prancis, Rusia, Prusia dan Austria pada
abad ke-15.
Di Inggris kaum bangsawanlah yang mendapat kemenangan dan sebagai puncak
kemenangannya ditandai dengan pecahnya the Glorious Revolution (1988).
Kemenangan kaum bangsawan dalam revolusi istana telah menyebabkan

Adanya Norma Dasar.

Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah system Norma. Norma adalah pernyataan
yang menekankan aspek “seharusnya” atau das solen, dengan menyertakan beberapa
peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dari aksi manusia
yang deliberatif. Kelsen meyakini David Hume yang membedakan antara apa yang ada (das
sein) dan apa yang “seharusnya”, juga keyakinan Hume bahwa ada ketidakmungkinan
pemunculan kesimpulan dari kejadian faktual bagi das solen. Sehingga, Kelsen percaya
bahwa hukum, yang merupakan pernyataan-pernyataan “seharusnya” tidak bisa direduksi ke
dalam aksi-aksi alamiah.

Kemudian, bagaimana mungkin untuk mengukur tindakan-tindakan dan kejadian


yang bertujuan untuk menciptakan sebuah norma legal? Kelsen menjawab dengan
sederhana ; kita menilai sebuah aturan “seharusnya” dengan memprediksinya terlebih dahulu.
Saat “seharusnya” tidak bisa diturunkan dari “kenyataan”, dan selama peraturan legal intinya
merupakan pernyataan “seharusnya”, di sana harus ada presupposition yang merupakan
pengandaian.

Sebagai oposisi dari norma moral yang merupakan deduksi dari norm moral lain
dengan silogisme, norma hukum selalu diciptakan melalui kehendak (act of will).
Sebagaimana sebuah tindakan hanya dapat menciptakan hukum, bagaimana pun, harus sesuai
dengan norma hukum lain yang lebih tinggi dan memberikan otorisasi atas hukum baru
tersebut. Kelsen berpendapat bahwa inilah yang dimaksud sebagai Basic Norma yang
merupakan presupposition dari sebuah validitas hukum tertinggi.

Kelsen sangat skeptis terhadap teori-teori moral kaum objektivis, termasuk Immanuel
Kant. Kedua, Kelsen tidak mengklain bahwa presupposition dari Norma Dasar adalah sebuah
kepastian dan merupakan kognisi rasional. Bagi Kelsen, Norma Dasar adalah bersifat
optional. Senada dengan itu, berarti orang yang percaya bahwa agama adalah normatif maka
ia percaya bahwa “setiap orang harus percaya dengan perintah Tuhan”. Tetapi, tidak ada
dalam sebuah nature yang akan memaksa seseorang mengadopsi satu perspektif normatif.

Kelsen mengatakan bahkan dalam atheisme dan anarkhisme, seseorang harus


melakukan presuppose Norma Dasar. Meskipun, itu hanyalah instrumen intelektual, bukan
sebuah komitmen normatif, dan sifatnya selalu optional.

Nilai Normatif Hukum

Nilai normatif Hukum bisa diperbandingkan perbedaannya dengan nilai normatif


agama. Norma agama, sebagaimana norma moralitas, tidak tergantung kepada kepatuhan
aktual dari para pengikutnya. Tidak ada sanksi yang benar-benar langsung sebagaimana
norma hukum. Misalnya saja ketika seorang lupa untuk berdoa di malam hari, maka tidak ada
instrumen langsung yang memberikan hukuman atas ketidakpatuhannya tersebut.

Validitas dari sistem hukum bergantung dari paktik-pratik aktualnya. Dikatakannya


bahwa “perturan legal dinilai sebagai sesuatu yang valid apabila normanya efektif (yaitu
secara aktual dipraktikkan dan ditaati)”. Lebih jauh lagi, kandungan sebenarnya dari Norma
Dasar juga bergantung pada keefektifitasannya. Sebagaimana yang telah berkali-kali
ditekankan oleh Kelsen, sebuah revolusi yang sukses pastilah revolusi yang mampu
mengubah kandungan isi Norma Dasar.

Perhatian Kelsen pada aspek-aspek normatifitasan ini dipengaruhi oleh pandangan


skeptis David Hume atas objektifitasan moral, hukum, dan skema-skema evaluatif lainnya.
Pandangan yang diperoleh seseorang, utamanya dari karya-karya akhir Hans Kelsen, adalah
sebuah keyakinan adanya sistem normatif yang tidak terhitung dari melakuan presuppose
atas Norma Dasar. Tetapi tanpa adanya rasionalitas maka pilihan atas Norma Dasar tidak
akan menjadi sesuatu yang kuat. Agaknya, sulit untuk memahami bagaimana normatifitas
bisa benar-benar dijelaskan dalam basis pilihan-pilihan yang tidak berdasar.

Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan
hampir 400 karya, dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa.
Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam bidang hukum melalui Pure Theory of Law, tetapi juga
dalam positivisme hukum kritis, filsafat hokum, sosiologi, teori politik dan kritik ideology.
Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam dunia pemikiran hukum. Dalam hukum
internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of International Law. Karya tersebut
merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum internasional termasuk
kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan, retaliasi, spektrum
validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya.
BAB III

PENTINGNYA KONSTITUSI DALAM NEGARA

A. Pemahaman tetang konstitusi dalam Negara

Konsekuensi logis dari kenyataan bahwa tanpa konstitusi negara tidak mungkin
terbentuk, maka konstitusi menempati posisi yang sangat krusial (penting) dalam kehidupan
ketatanegaraan suatu negara. Negara dan konstitusi merupakan lembaga yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain. Eksistensi suatu negara, baru riel ada jika telah memenuhi
empat unsur, yaitu:

1) Memenuhi unsur pemerintahan yang berdaulat,

2) Wilayah Tertentu
3) Rakyat yang hidup teratur sebagai suatu bangsa (nation), dan

4) Pengakuan dari negara-negara lain.

Dari keempat unsur untuk berdirinya suatu negara ini belumlah cukup menjamin
terlaksananya fungsi kenegaraan dan pemerintahan yang berdaulat suatu bangsa jika belum ada
hukum dasar yang mengaturnya. Hukum dasar yang dimaksud adalah sebuah konstitusi atau
Undang-Undang Dasar.

B. NILAI-NILAI KONSTITUSI

1. Nilai Normatif, yaitu suatu konstitusi yang resmi diterima oleh suatu bangsa dan bagi mereka
konstitusi itu tidak hanya berlaku dalam arti hukum (legal), tetapi juga nyata berlaku dalam
masyarakat dalam arti berlaku efektif dan dilaksanakan secara murni dan konsekuen.

2. Nilai Nominal, yaitu suatu konstitusi yang menurut hukum berlaku, tetapi tidak sempurna.
Tidak sempurnaan itu disebabkan pasal-pasal tertentu tidak berlaku / tidak seluruh pasal-pasal
yang terdapat dalam UUD itu berlaku bagi seluruh wilayah negara.

3. Nilai Semantik, yaitu suatu konstitusi yang berlaku hanya untuk kepentingan penguasa saja.
Dalam memobilisasi kekuasaan, penguasa menggunakan konstitusi sebagai alat untuk
melaksanakan kekuasaan politik.

C. JENIS-JENIS / MACAM-MACAM KONSTITUSI

1. Konstitusi tertulis (documentary constitution / written constitution), yaitu aturan-aturan pokok


dasar negara, bangunan negara dan tata negara, demikian juga aturan dasar lainnya yang
mengatur perikehidupan suatu bangsa di dalam persekutuan hukum negara.

2. Konstitusi tidak tertulis (konvensi/ non-documentary constitution / unwritten constitution),


yaitu berupa kebiasaan ketatanegaraan yang memiliki syarat, diakui dan dipergunakan
berulang-ulang dalam praktik penyelenggaraan negara, tidak bertentangan dengan Undang-
Undang Dasar maupun Undang-Undang dan yang sejajar dengannya, serta diterima oleh
rakyat negara.
3. Konstitusi politik, yaitu konstitusi yang berisi tentang norma-norma dalam penyelenggaraan
negara, hubungan rakyat dengan pemerintah, dan hubungan antar lembaga negara.

4. Konstitusi Sosial, yaitu konstitusi yang mengandung cita-cita sosial bangsa, rumusan filosofis
negara, sistem sosial, sistem ekonomi, dan sistem politik yang ingin dikembangkan bangsa
itu.

5. Fleksibel / Luwes, apabila konstitusi tersebut memungkinkan untuk berubah sesuai dengan
perkembangan.

6. Rigid / Kaku apabila konstitusi tersebut sulit untuk diubah.

D. UNSUR-UNSUR KONSTITUSI

1. Jaminan terhadap Hak Asasi Manusia dan Hak Warga Negara.

2. Susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental (mendasar).

3. Pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan.

4. Cara perubahan konstitusi.

5. Larangan perubahan konstitusi (hal-hal yang dilarang untuk diubah dalam sebuah konstitusi).

E. KEDUDUKAN KONSTITUSI

Sebagai hukum dasar.Sebagai hukum yang tertinggi (supremasi hukum).

F. CARA PERUBAHAN KONSTITUSI

1. Secara Revolusi, pemerintahan baru terbentuk sebagai hasil revolusi yang membuat konstitusi
yang kemudian mendapat persetujuan dari rakyat.

2. Secara Evolusi, konstitusi berubah secara berangsur-angsur.


G. HUBUNGAN ANTARA DASAR NEGARA DENGAN KONSTITUSI

Keterkaitan antara dasar negara dengan konstitusi nampak pada gagasan dasar, cita-cita dan
tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan konstitusi suatu negara. Dasar negara sebagai
pedoman penyelenggaraan negara secara tertulis termuat dalam konstitusi suatu negara.

BAB IV
PERUBAHAN LEMBARAN NEGARA PELAKSANAAN KEDAULATAN

A. Implikasi Rumusan Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 (Naskah Asli) Terhadap Lembaga Negara
Pelaksana Kedaulatan
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (naskah asli) pertama mengatur tentang siapakah yang
memiliki kekuasaan tertinggi dalam Negara RI dan yang berhak menentukan bagaimana
mengelola Negara ini. Kedua, mengatur pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat dalam hal ini
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
MPR Sebagai Pelaksana Sepenuhnya Kedaulatan Rakyat
Dalam sidang BPUPKI yang diterbitkan oleh sekretariat Negara RI 1998, bahwa
istilah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dikemukakan oleh Yamin dalam pidatonya
pada rapat besar BPUPKI tanggal 11 Juli 1945. Pada intinya Yamin menghendaki agar dalam
UUD yang akan disusun, ada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang menjadi
kekuasaan setinggi-tingginya di dalam republik sebagai pelaksana kedaulatan rakyat yang
meliputi wakil rakyat yang dipilih, utusan daerah dan utusan golongan.
Kekuasaan MPR Tidak Tak Terbatas, Melainkan Terbatas
Secara akontario, dapat dikatakan bahwa kekuasaan yang tidak terbatas, termasuk
kekuasaan MPR jika tidak terbatas, adalah kekuasaan yang absolutism dan bertentangan
dengan konstitusi/UUD. Terlepas dari perdebatan akademik yang masih berlangsung tentang
apakah penjelasan UUD 1945 bagian dari UUD, sudah dapat disimpulkan bahwa kekuasaan
MPR terbatas paling tidak MPR dibatasi oleh prinsip-prinsip Negara hukum dan prinsip
demokrasi yang diterima dalam UUD 1945.
MPR Sebagai Lembaga Tertinggi Negara yang Membawahi Lembaga Tinggi Negara
Lainnya
Konsekuensi dari kedudukan MPR sebagai pelaksana sepenuhnya kedaulatan rakyat
sebagaimana yang dijelaskan oleh Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 adalah kekuasaan dalam
Negara terbagi secara vertical yang berpuncak pada MPR sebagai Lembaga Tertinggi
Negara. Istilah MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara, demikian pula Presiden, DPR,
BPK, DPA, dan MA sebagai Lembaga Tertinggi Negara tidak dijumpai dalam UUD 1945.
Istilah ini memiliki dasar hukum setelah tertuang dalam Tap MPR, seperti dalam TAP MPR
RI No. VI/MPR/1973 tentang Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau
Antar Lembaga-lembaga Tinggi Negara, selanjutnya dalam TAP MPR RI No. III/MPR/1978
tentang Kedudukan dan Hubungan Tata Kerja Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau antar
Lembaga-lembaga Tinggi Negara. Tap-Tap MPR ini secara tegas menyebut MPR sebagai
Lembaga Tertinggi Negara, dan Lembaga Negara lainnya sebagai Lembaga Tinggi Negara.

B. Implikasi Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (perubahan) Terhadap Lembaga Negara
Pelaksana Kedaulatan
Berangkat dari pemahaman UUD 1945 (perubahan) menganut konsepsi kedaulatan
Tuhan, kedaulatan rakyat, dan kedaulatan hukum dan konsepsi tersebut merupakan kerangka
dasar ketatanegaraan Indonesia, dalam uraian ini akan dipaparkan kedua konsepsi kedaulatan
rakyat dan kedaulatan hukum. Konsepsi kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum berimplikasi
pada pelaksana kedaulatan dan hubungan antar lembaga Negara, pembahasan ini akan menjadi
penutup dalam uraian implikasi rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (perubahan) terhadap
ketatanegaran.
Perjalanan Historis Rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (perubahan)
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum perubahan) oleh banyak Ahli Hukum Tata
Negara dipandang sebagai sumber supremasi MPR, menempatkan MPR sebagai satu-satunya
pelaksana kedaulatan rakyat, MPR sebagai penjelmaan rakyat, MPR sebagai lembaga
tertinggi Negara. Kedudukan MPR semacam ini mengesankan bahwa seolah-olah kedaulatan
rakyat telah beralih pada MPR, padahal MPR hanya pelaksana kedaulatan rakyat. Karena itu
rumusan Pasal 1 ayat (2) ini merupakan salah satu kunci yang memperlemah sistem
ketatanegaraan dalam UUD 1945 dilakukan MPR sebagai salah satu agenda tuntutan
reformasi, rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum perubahan) menjadi salah satu pasal
yang akan diubah.
Pada perubahan UUD 1945 rumusan pasal 1 ayat (2) belum menjadi sasaran
perubahan sebab menata ulang hubungan kekuasaan antara DPR dan Presiden; Presiden
terlalu dominan (executive heavy) khususnya dalam pembentukan UUD.

Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Hukum dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945
(perubahan)
Hubungan antara kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum dalam konteks kekuasaan
tertinggi dalam Negara tidak dapat dilepaskan dari kedaulatan Tuhan. Dengan kata lain,
semua penyelenggara Negara sebagai manifestasi dari kedaulatan rakyat disamping harus
mencerminkan kedaulatan Tuhan, yang dalam bahasa lainnya disebut Ketuhanan Yang Maha
Kuasa dan Ketuhanan Yang Maha Esa juga harus berdasarkan hukum, yang dalam
pelaksanaannya harus berdasarkan prinsip Negara hukum Indonesia, demi kejayaan bangsa
dan Negara sebagai manifestasi kedaulatan hukum harus mencerminkan Kedaulatan
Tuhan/Ketuhanan Yang Maha Kuasa dan Ketuhanan Yang Maha Esa, dan juga harus
mencerminkan kedaulatan rakyat, dengan instrumennya adalah prinsip-prinsip demokrasi
Indonesia.
Lembaga Negara Pelaksana Kedaulatan Menurut UUD 1945 (Pasca Perubahan)
Lembaga Negara dalam UUD 1945 (setelah perubahan) mengalami banyak
perubahan-perubahan. Bagir Manan mencatat ada lima perubahan, mencakup :
1) Perubahan pengertian lembaga negara;
2) Perubahan kedudukan lembaga negara;
3) Perubahan macam-macam lembaga negara;
4) Perubahan tugas dan wewenang lembaga negara;
5) Perubahan hubungan antar lembaga negara.
Implementasi Konsepsi Kedaulatan Menurut Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 Dalam
Ketatanegaraan
Pada bab ini akan dikemukakan implementasi konsepsi kedaulatan menurut Pasal 1
ayat 2 UUD 1945 terhadap ketatanegaraan dalam hal ini terhadap lembaga Negara pelaksana
kedaulatan. Implementasi konsepsi kedaulatan menurut Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 terhadap
lembaga Negara pelaksana kedaulatan diarahkan pada kekuasaan, tugas, dan kewenangan
lembaga Negara utama (MPR, DPR, DPD, BPK, Presiden, MA, MK) sebagai pelaksana
kedaulatan menurut UUD 1945 dan pengaturannya dalam undang-undang.
Kedudukan, Tugas dan Wewenang Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Kedudukan MPR diatur dalam Pasal 10 yang berbunyi : MPR merupakan lembaga
permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga tertinggi Negara. Berdasarkan
bunyi pasal 10 MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi Negara melainkan kedudukan yang
sejajar dengan lembaga Negara lainnya, seperti : DPR, DPD, BPK, Presiden, MA, MK.
Perubahan kedudukan MPR tersebut merupakan konsekuensi dari perubahan rumusan
kedaulatan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang semula merupakan pelaksana sepenuhnya
kedaulatan rakyat.
Pasal 11 mengatur tugas dan wewenang MPR adalah :
a. Mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar;
b. Melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan hasil pemilihan umum, dalam sidang
Paripurna MPR;
c. Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk memberhentikan
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/atau Wakil
Presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan penjelasan di dalam Sidang Paripurna
MPR
d. Melantik Wakil Presiden menjadi Presiden apabila Presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajiban dalam masa jabatannya;
e. Memilih Wakil Presiden dari dua calon yang diajukan Presiden apabila terjadi kekosongan
jabatan Wakil Presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu enam puluh
hari.
f. Memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan dalam
masa jabatannya, dari dua paket calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusulkan oleh
partai politik yang paket calon Presiden dan Wakil Presiden meraih suara terbanyak pertama
dan kedua dalam pemilihan sebelumnya sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya
dalam waktu tiga puluh hari;
g. Menetapkan Peraturan Tata Tertib dan kode etik MPR.
Kedudukan, Tugas dan Wewenag Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Secara garis besar, DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan. Wewenang yang berkaitan dengan fungsi anggaran DPR diatur dalam Pasal 23
ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945, sedangkan wewenag yang berkaitan dengan fungsi DPR
dalam pengawasan diatur dalam Pasal 20A ayat (2) dan (3). Selanjutnya weweang yang
berkaitan dengan legislasi DPR diatur dalam Pasal 20A ayat (1), (2), (3), (4), dan (5). Pasal
20A ayat (1) berbunyi : Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk
undang-undang.
Kedudukan DPR sebagai lembaga Negara diatur dalam Pasal 24. Pasal 25 mengatur
tentang fungsi DPR yaitu: fungsi legislasi (membentuk undang-undang yang dibahas dengan
Presiden untuk mendapat persetujuan bersama); fungsi anggaran (menyusun dan menetapkan
anggaran pendapatan dan belanja Negara bersama Presiden dengan memperhatikan
pertimbangan DPD); dan fungsi pengawasan (melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
UUD 1945, UU, dan peraturan pelaksanaannya).
Kedudukan, Tugas dan Wewenang Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Berdasarkan Pasal 22D ayat (1) UUD 1945, kewenangan DPD hanya sebatas (dapat)
mengajukan kepada DPR RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat
daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan pertimbangan keuangan
pusat dan daerah.
Sebagai implementasi dari UUD 1945, Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD,
dan DPRD. Dalam Bab 5 Pasal 32 sampai dnegan Pasal 51, Pasal 32 menentukan bahwa
DPD terdiri atas wakil-wakil daerah provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum. Pasal 40
UU No. 22 Tahun 2003, DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan
sebagai lembaga Negara.
Kedudukan, Tugas dan Wewenang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Pengaturan BPK dalam UUD 1945 (asli) terdapat dalam Pasal 23 ayat (5), bahwa
untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa
Keuangan yang hasil pemeriksaannya diberitahukan kepada DPR. Keberadaan BPK dalam
struktur kelembagaan Negara Indonesia merdeka bersifat auxiliary terhadap fungsi DPR di
bidang pengawasan terhadap kinerja pemerintahan.
Dalam Bab 3 UU No.15 Tahun 2006 diatur tentang tugas dan wewenang BPK Pasal 6
ayat (1) dan Pasal 9. Pasal 6 ayat (1) berbunyi :
“ BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Negara yang
dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank
Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah,
dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan Negara.”

Kedudukan, Tugas dan Wewenang Presiden


Menurut Bagir Manan, kekuasaan Presiden RI dalam arti luas meliputi :
i. Kekuasaan penyelenggaran pemerintahan;
ii. Kekuasaan di bidang perundang-undangan;
iii. Kekuasaan di bidang yustisal; dan
iv. Kekuasaan Presiden dalam hubungan luar negeri.
Meskipun pendapat Bagir Manan tersebut dikemukakan sebelum perubahan UUD 1945
sebab keempat kekuasaan Presiden masih dimuat dalam UUD 1945 dengan berbagai
modofikasi yang sifatnya teknis.
Ruang lingkup tugas dan wewenang dapat dikelompokkan dalam beberapa golongan
:
a. Tugas dan wewenang adminitrasi di bidang keamanan dan ketertiban umum
b. Tugas dan wewenang menyelenggarakan tata usaha pemerintahan mulai dari surat-
menyurat sampai kepada dokumentasi dan lain-lain.
c. Tugas dan wewenang administrasi Negara di bidang pelayanan umum
d. Tugas dan wewenang administrasi Negara di bidang penyelnggaraan kesejahteraan umum.
Kekuasaan penyelenggaran pemerintahan yang bersifat khusus adalah
penyelenggaraan tugas dan wewenang pemerintahan yang secara konstitusional ada pada
Presiden yang memiliki sifat prerogratif seperti : Presiden sebagai pimpinan tertinggi
angkatan perang, hubungan luar negeri dan hak memberi gelar dan tanda jasa.
Kedudukan, Tugas dan Wewenang Mahkamah Agung (MA)
Dalam UUD 1945 (sebelum perubahan) terkait dengan kekuasaan kehakiman terdapat
dalam Pasal 24 ayat (1), dan (2), dan Pasal 25 ayat (1) “ Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Ayat
(2) “ Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman diatur dengan undang-undang”.
Kekuasaan MA terdapat dalam kewenangan yang dimilikinya Pasal 24A ayat (1)
UUD 1945 ditentuakan bahwa “ Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat
kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Jadi hanya
ada dua kewenangan konstitusional MA :
1. Mengadili tingkat kasasi
2. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang.

Kedudukan, Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi (MK)


Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga Negara baru dalam ketatanegaraan
Indonesia, yang diatur dalam Pasal 24A dan 24C yang memiliki lima kewenangan, atau biasa
disebut empat (4) kewenangan dan satu (1) kewajiban.
Istilah empat (4) kewenangan karena memang pada permulaan kalimat Pasal 24C ayat
(1) menggunakan perkataan “Mahkamah Konstitusi berwenang..,” sedangkan istilah satu (1)
kewajiban ini karena pada awal kalimat Pasal 24C ayat (2) menggunakan perkataan “
Mahkamah Konstitusi wajib…,” tapi pada hakikatnya kesemuanya adalah kewenangan MK .
Pasal 10 UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK sebagai pelaksanaan ketentuan dalam
UUD 1945 mengatur tentang wewenang MK ayat (1) yaitu mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
a. Menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh
UUD 1945;
c. Memutus pembubaran partai politik, dan
d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Kehadiran MK sesungguhnya adalah manifestasi dari kedaulatan hukum yang dianut
dalam UUD 1945 dan secara tidak langsung merupakan penjawantahan dari kedaulatan
rakyat dan kedaulatan Tuhan. Oleh sebab itu, disamping mengikuti prinsip-prinsip kedaulatan
hukum, putusan MK juga sedapat mungkin mencerminkan keadilan masyarakat yang percaya
dan taqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, atau sila pertama Pancasila.

DAFTAR PUSTAKA

A.V. Dicey, Pengantar Studi Hukum Konstitusi, Bandung, 2007.


Arief Sidharta, Benard, 1999, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung.

Aditya Bhakti, terjemahan Rechtsreflecties, rondbegrippen uit de rechtstheorie oleh Arief Sidharta.

Bruggink, J.J.h., 1999, Refleksi Tentang Hukum, Citra

Bagir Manan, DPR, DPD dan MPR dalam UUD 1945 Baru, Cet.II, FH UII PRESS, Yogyakarta,
Maret 2004.
Dahlan Talib, Prof.Dr.H. SH., M.Si., 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Edisi ketiga, Yagyakarta.

Edward T.L. Hadjon, S.H., LL.M. 2009, Teori dan Hukum Kontitusi, Jakarta.

Finch, John D, 1979, Introduction to Legal Theory, Sweet & Maxwell.

Fockema Andreae, W., 1970, Kamus Istilah Hukum, Bina Cipta, Jakarta.

Friedmann, W., 1970, Legal Theory, Columbia University Press, New York.

Gijsels, Jan;dan Mark Van Hoecke, 1982, Wat is Rechtstheorie? Kluwer Recthswetenschappen,
Antwerpen.

Hadjon, P.M., 1994, Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatik (Normatif), fakultas hukum Universitas
Airlangga, Surabaya.

Lili Rasjidi, 1990, Dasar-dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Muhyar Yara, 1996, Pengantar Teori Hukum, Universitas Indonesia.

Rawls, John, 1972, A Theory of Justice, Claderon Press Oxford.

Mertokusumo, Sudikno, 2000, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta.

Jimly Asshiddiqie, dkk, ed., 2006,Kompilasi Konstitusi Sedunia, Buku II, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.
--------------------, 2006, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta.
-------------------, Mahkamah Konstitusi dan Cita Hukum Negara Indonesia, Refleksi Pelaksanaan
Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945,
Makalah Tanpa Tahun.
Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, Jakarta, 1984.
----------------, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1986.
Satjipto Rahardjo, SH
I.D.G Atmadja, 2009, Hukum Konstitusi, Perubahan Konstitusi Sudut Pandang Perbandingan.
------------------, 2009, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia sesudah Perubahan
UUD 1945.
Marhaendra Wira Atmaja, 2009, Teori dan Hukum Konstitusi: Memahami UUD 1945 dalam aras
Teks dan Konteks, Kumpulan Tulisan (Digunakan di lingkungan sendiri Fakultas Hukum
Udayana), Denpasar.
Mirza Nazution, 2004, Tinjauan Konstitusional Terhadap Pelaksanaan Pemilu Dalam Negara
Demokrasi Indonesia, USU digital library.
........................, 2004, Negara dan Konstitusi, USU digital library.
P.M. Hadjon, 1991, Pelimpahan Tugas dan Wewenang Kepada Presiden/Mandataris MPR dalam
Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pengembangan Pembangunan Nasional, Yuridika,
No.4-5 Th. VI.
Pan Mohamad Faiz , MAHKAMAH KONSTITUSI: THE GUARDIAN AND THE INTERPRETER
OF THE CONSTITUTION, Makalah Tanpa Tahun.
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Anda mungkin juga menyukai