Anda di halaman 1dari 7

Nama : Evelyn Margaret Yauri

Stambuk : 1821002

SEJARAH UMUM PERKEMBANGAN HPI TRADISIONAL

Dari sejarah berikut ini akan menjelaskan gambaran tentang pola

penyelesaian perkara-perkara HPI di berbagai periode waktu dari abad ke-2 SM di

masa Kekaisaran Romawi hingga perkembangan HPI Universal di Jerman yang

mana ditokohi oleh Friedrich Carl von Savigny di abad ke-19 di Eropa daratan.

1. Masa Kekaisaran Romawi (Abad ke-2 SM-6 M)

Pada masa ini pola hubungan internasional sederhana sudah mulai tampak

hubungan-hubungan antara warga (cives) Romawi dan penduduk provinsi-

provinsi atau municipia (untuk wilayah di Italia, kecuali Roma) dan

Penduduk provinsi atau orang asing yang berhubungan satu sama lain di

dalam wilayah Kekaisaran Romawi. Sejalan dengan itu, timbul pula

masalah tentang bagaimana cara menyelesaikan sengketa-sengketa yang

mungkin timbul dari hubungan-hubungan hukum itu. Untuk

menyelesaikannya dibentuk suatu peradilan khusus yang disebut praetor

peregrinis. Hukum yang diberlakukan oleh para hakim praetor peregrinis

adalah hukum untuk para cives Romawi, yaitu ius civile.

Ius civile digunakan untuk penyelesaian perkara-perkara yang melibatkan

orang-orang yang tunduk pada yurisdiksi hukum yang berbeda-beda dan

berkembang menjadi ius gentium. Ius gentium memuat kaidah-kaidah

hukum yang dapat dikategorikan ke dalam ius privatum (mengatur persoalan-


persoalan hukum orang perorangan) dan ius publicum (mengatur persoalan-

persoalan kewenangan negara sebagai kekuasaan publik). Beberapa asas HPI

pada masa ini dan menjadi asas penting dalam HPI modern ialah:

a. Asas lex rei sitae (lex situs), yang berarti perkara-perkara yang

menyangkut benda-benda tidak bergerak (immovables/onroerend

goederen) tunduk pada hukum dari tempat dimana benda itu

berada/terletak.

b. Asas lex domicilii, yang menetapkan bahwa hak dan kewajiban

perorangan harus diatur oleh hukum dari tempat seseorang

berkediaman tetap.

c. Asas lex loci contractus, yang menetapkan bahwa tehadap perjanjian-

perjanjian (yang melibatkan pihak-pihak warga dari provinsi yang

berbeda) berlaku hukum dari tempat pembuatan perjanjian.

2. Masa Pertumbuhan Asas Personal HPI (Abad Ke-6-10)

Pada akhir abad ke-6 Kekaisaran Romawi ditaklukkan oleh bangsa-bangsa

“bar-bar” dari wilayah-wilayah bekas provinsi-provinsi jajahan Romawi yang

kemudian diduduki oleh pelbagai suku bangsa, dibedakan secara genealogis

dan bukan teritorial. Masalah HPI baru muncul pada saat timbul perkara-

perkara yang menyangkut dua lebih suku bangsa. Biasanya dalam

penyelesaiannya ditetapkan terlebih dahulu sistem-sistem hukum adat

manakah yang relevan dengan perkaradan kemudian baru dipilih hukum

mana yang harus diberlakukan dalam penyelesaian sengketa. Pada masa ini

pun tidak jelas bagaimana perkara-perkara itu diselesaikan.


3. Pertumbuhan Asas Teritorial (Abad Ke-11-12 di Italia)

Pada masa ini, asas personal-genealogis semakin sulit dipertahankan

karena transformasi struktur masyarakat yang condong ke arah masyarakat

teritorialistik (keterikatan atas dasar wilayah yang sama) diseluruh

wilayah Eropa. Namun, di dua kawasan Eropa tumbuh perbedaan yang

mencolok dalam proses transformasi yang sama, yakni:

a. Pertumbuhan di Eropa Utara: Kawasan ini berada dalam kekuasaan

feodalistik dimana tidak ada pengakuan terhadap hak-hak asing dan

bahkan penguasa setempat (feodal) dapat mengabaikan atau mencabut

hak-hak sesorang berdasarkan kaidah hukum asing sehingga tidak ada

perkembangan HPI yang berarti di kawasan ini sampai dengan abada ke

-16.

b. Pertumbuhan di Eropa Selatan: Di kawasan ini terjadi transformasi

dari asas personal genealogis ke arah masyarakat teritorialistik yang

disebabkan oleh pertumbuhan kota-kota perdagangan di Italia. Dasar

ikatan diwilayah ini disebabkan karena tempat kediaman di kota yang

sama.

4. Perkembangan Teori Statuta

a. Perkembangan teori statuta di Italia (abad ke-13-15)

1) Dasar-dasar teori statuta

Teori statuta Italia dipicu oleh sebuah gagasan yang dikemukakan

oleh tokoh post-glossators, yaitu Accursius (1228) “bila seseorang yang

berasal dari suatu kota tertentu di Italia digugat di sebuah kota lain, ia
tidak dapat dituntut berdasarkan hukum dari kota lain itu karena ia

bukan subjek hukum dari kota lain itu.” Kemudian diteliti lebih lanjut

oleh Bartolus de Sassoferato (1315-1357). Dalam pengamatan Bartolus,

ia kemudian berkesimpulan bahwa apabila ditunjau dari objek pengaturan

dan wilayah berlaku statuta disebuah kota dibagi kedalam 3 jenis statuta,

yaitu:

(1) Statuta Personalia: Objek pengaturannya adalah orang dan status

orang (subjek hukum) dalam masalah-masalah hukum yang

menyangkut pribadi dan keluarga. Statuta ini memiliki lingkup yang

bersifat ekstrateritorial karena mungkin berlaku di luar wilayah

penguasa kota yang memberlakukannya dan statuta ini hanya berlaku

terhadap warga kota yang bersangkutan serta akan tetap melekat

dan berlaku dimanapun mereka berada atau kemanapun mereka pergi.

(2) Statuta Realia: Objek pengaturannya adalah benda dan status

hukum dari benda. Ruang lingkupnya didasarkan atas prinsip

teritorial, artinya hanya berlaku dalam wilayah kekuasaan

penguasa kota yang memberlakukannya. Statuta ini juga berlaku

terhadap siapa saja (warga kota ataupun pendatang/orang asing)

yang berada dalam teritorial kota yang bersangkutan.

(3) Statuta Mixta dilandasi oleh prinsip teritorial yang artinya ia juga

berlaku atas semua perbuatan hukum yang terjadi atau dilangsungkan

di dalam wilayah penguasa kota. Berlaku terhadap siapa saja (warga

kota ataupun pendatang/orang asing).


2) Penggunaan teori statuta dalam HPI modern

Pada masa ini, tampak adanya modifikasi-modifikasi sebagai berikut:

a) Pembedaan ke dalam personalia, realia, dan mixta dilihat sebagai

kategori untuk mengualifikasikan pokok perkara yang sedang

dihadapi dan digunakan untuk menentukan lex causae.

b) Dalam menentukan lex causae, jika perkara dikualifikasikan sebagai

perkara tentang status benda (lex situs) yaitu dimana hukum yang

berlaku sebagai lex causae adalah hukum dari tempat dimana benda

terletak/berada, status orang/badan hukum yaitu dimana hukum

yang menjadi lex causae adalah hukum dari tempat di mana orang

atau subjek hukum itu berkediaman tetap (lex domicilii) atau

berkewarganegaraan/lex patriae, dan status perbuatan-perbuatan

hukum yaitu dimana hukum yang berlaku sebagai lex causae adalah

hukum dari tempat di mana perbuatan hukum itu dijalankan (lex loci

actus).

b. Perkembangan teori statuta di Perancis (abad ke-16)

Perkembangan teori statuta di Prancis disebabkan karena

meningkatnya aktivitas perdagangan antarprovinsi di Prancis yang

mengakibatkan kaidah-kaidah hukum dari berbagai provinsi bertemu dan

menyebabkan konflik hukum sehingga para ahli hukum berusaha

memodifikasi teori statuta Italia. Pandangan dan modifikasi diberikan

oleh 2 ahli, yang pertama adalah pendapat Dumoulin. Menurut dumoulin,

penetapan hukum yang harus berlaku itu adalah dengan adanya prinsip
kebebasan berkontrak (freedom of contract, contractsvrijheid). Artinya,

kebebasan para pihak untuk memilih dan menentukan hukum yang

berlaku atas kontrak mereka. Yang kedua adalah pendapat D’Argantre.

Modifikasi yang diinginkan D’Argantre sebenarnya adalah memperluas

ruang lingkup statuta realia dan memasukkan perjanjian-perjanjian dan

perbuatan-perbuatan hukum lain ke lingkup statuta realia.

c. Perkembangan teori statuta di Belanda (abad ke-17)

Prinsip dasar yang dijadikan titik tolak dalam teori statuta Belanda

adalah kedaulatan ekslusif negara. Ada beberapa pandangan dari tokoh

teori statuta Belanda, yang pertama pandangan Ulrik Huber, menurut

Huber setiap negara memiliki kedaulatan sehingga memiliki kewenangan

penuh untuk menetapkan kaidah-kaidah HPI-nya. Tetapi dalam realita

negara-negara itu tidak dapat bertindak bebas, dalam arti berdasarkan asas

comitas gentium negara itu harus mengakui pelaksanaan suatu hak yang

telah diperoleh secara sah di negara lain. Yang kedua adalah pandangan

Johannes Voet, menurut Johannes salah satu asas yang penting bagi

penganut teori statuta belanda (teori comitas gentium) adalah asas locus

regit actum. Asas ini menyatakan “bahwa tempat di mana perbuatan

dilakukan akan menentukan bentuk hukum dari perbuatan itu”.

5. Teori HPI Universal (Abad Ke-19)

Pencetus teori ini adalah Friedrich Carl v. Savigny di Jerman karena

menganggap statuta Italia memiliki banyak kelemahan yang kemudian

pemikiran Savigny berkembang setelah didahului oleh pemikiran ahli hukum


lain Jerman yaitu C. G. Von Wachter. Beliau mengkritik teori statuta Italia

dan menolak adanya sifat ekstrateritorial karena akan menyebabkan

timbulnya kewajiban hukum di negara asing. Von Wachter memusatkan

perhatiannya pada penetapan hukum yang seharusnya berlaku terhadap

hubungan hukum tertentu. Titik tolak penentuan hukum adalah hukum dari

tempat yang merupakan LEGAL SEAT (tempat kedudukan) dimulainya

suatu hubungan hukum tertentu, dimana perkara-perkara HPI mulai ada sejak

perkara itu diajukan di suatu forum tertentu, kemudian forum pengadilan

itulah yang menjadi tempat kedudukan hukum perkara yang bersangkutan.

Kemudian karena forum merupakan “legal seat”, maka lex fori yang harus

diberlakukan sebagai hukum yang menentukan hukum apa yang dapat

berlaku dalam perkara HPI.

F. C. Von Savigny sendiri mencoba menggunakan konsepsi “legal seat”

dengan berasumsi bahwa “untuk setiap jenis hubungan hukum dapat

ditentukan legal seat/tempat kedudukan hukumnya” dengan melihat hakikat

dari hubungan hukum tersebut. Von Savigny juga dianggap melopori aliran

multilateralism atau teori HPI tradisional Eropa Kontinental. Pendekatan ini

bertujuan untuk menetapkan sistem hukum yang secara umum memiliki

yurisdiksi untuk diberlakukan atas peristiwa/hubungan hukum yang dihadapi

sebagai perkara.

Anda mungkin juga menyukai