Anda di halaman 1dari 8

PENGARUH PERKEMBANGAN TEORI STATUTA TERHADAP

PERKEMBANGAN ASAS DAN TEORI HUKUM PERDATA


INTERNASIONAL MODERN

Manuel Sahat Setya (210200540)


Fakultas Hukum, Program Sarjana Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara,
Jl. Universitas No. 19 Kampus USU, Medan 20155, Indonesia.

ABSTRAK

Di dalam sejarah umum perkembangan Hukum Perdata Internasional, dapat diketahui bahwa
disetiap Abad akan selalu ada teori-teori yang baru dengan tujuan untuk menyesuaikan dengan
keadaan masyarakat Internasional saat itu. Dimulai dari pada masa Kekaisaran Romawi sampai
kepada masa perkembangan teori statua di Italia pada abad 13-15. Perkembangan teori statuta
dipelopori oleh tokoh-tokoh internasional yang sangat paham akan aturan atau hukum yang
berkaitan dengan dunia Internasional. Teori statuta sendiri muncul akibat meningkatnya
pertumbuhan kota-kota perdagangan (stadstaten) yang awalnya terjadi di Italia (abad 11-12 M,
terutama abad 13 M) sehigga menimbulkan bergesernya sistem personalitas daripada hukum.
hingga akhir abad 10 M dikatakan bahwa telah berlangsung sistem personalitas terutama di
negara-negara eropa. Setelah itu sistem personil bergeser ke sistem teritorial (pertumbuhan
prinsip teritorial pada abad 11-12). Dalam perkembangannya, asas teritorial ternyata
membutuhkan peninjauan kembali, khususnya di Italia menggunakan intensitas korelasi
perdagangan antar kota semakin ramai. dengan demikian sangat kentara bahwa prinsip teritorial
pada masa ini berlaku, hidup dan berkembanglah teori statuta. pada teori Statuta inilah banyak
pemikiran HPI ini menjadi pengaruh terhadap persoalan-persoalan HPI modern pada masa
sekarang yg dimulai pada akhir abad ke-19.
kata kunci : Sejarah, Teori Statuta, Hukum Perdata Internasional
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Hukum Perdata Internasional bukan merupakan bidang hukum baru lagi, karena asas-asas
dan pola berpikir HPI sudah dapat dijumpai dan tumbuh di masa Kekaisaran Romawi (abad ke-2
sebelum Masehi sampai dengan abad ke-6 SM) seiring dengan pertumbuhan kebudayaan barat di
Eropa Daratan. Hingga akhir abad 10 M dikatakan bahwa telah berlangsung sistem personalitas
terutama di negara-negara eropa. Setelah itu sistem personil bergeser ke sistem teritorial. Adapun
yang mengakibatkan bergesernya sistem ini adalah akibat semakin berkembangkan feodalisme
terkhusus di eropa bagian utara. Feodalisme melawan personalitas. Hamba yang berada dalam
suatu sistem feodal ini harus mengakui sepenuhnya hukum daripada Tuannya, sehingga hukum
yang berlaku di tanah sang Tuan adalah hukum atas kehendak Tuan tersebut. Maka dari itu
hukum personil tidak akan diperhatikan dalam keadaan ini. Dibagian selatan eropa pada masa itu
tumbuh secara pesat kota-kota perdagangan di Italia. Adapun kota-kota yang dimaksud seperti
Milan, Pisa, Venetia, Modena, Genoa, Florence, Siena, Amalfi dan sebagainya. Akibat semakin
luasnya hubungan akibat perdagangan antar kota ini mengakibatkan sering terjadi kerancuan
dalam penegakan hukum, terkhusus dalam hal ini adalah lingkup perdata, hal ini diakibatkan
karena setiap kota-kota tersebut memiliki hukumnya masing-masing. Inilah yang menimbulkan
peralihan hukum yang begitu ketara dari hukum yang berlaku pada masa romawi. Dengan
demikian sangat jelas bahwa prinsip teritorial pada masa ini berlaku, hidup dan berkembanglah
teori statuta.

1.2 Rumusan Masalah


Dengan adanya persoalan yang akan dibahas, akan ada beberapa rumusan masalah yang
berkaitan dengan apa yang menjadi tema dari paper ini yakni “Pengaruh HPI Tradisional dalam
perkembangan HPI Modern.”
1.2.1 Apa sejarah perkembangan dari HPI?
1.2.1 Bagaimana pengaruh HPI Tradisional dalam perkembangan HPI Modern?
1.3 Tujuan
Dari beberapa kajian substansi yang telah diteliti, adanya pemaparan tujuan dari
pembahasan topik paper ini :
1.3.1 Dapat mengetahui sejarah umum perkembangan Hukum Perdata Internasional
khususnya masa perkembangan teori statuta secara singkat.
1.3.2 Dapat menjelaskan pengaruh dari teori-teori HPI Tradisional (Kekaisaran Romawi
dan teori Statuta) dalam perkembangan HPI Modern.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Umum Perkembangan Hukum Perdata Internasional
Sebelum mengetahui serta memahami kompleksitas permasalahan melalui ragam
peristilahan, pembagian, pembahasan, serta pengaruh dari HPI terhadap hukum di dunia, maka
perlu adanya peninjauan kembali mengenai sejarah dari HPI itu sendiri. Mengingat hukum selalu
berkembang dalam suatu masyarakat, sehingga pemahaman tentang hukum akan lebih dapat
diketahui dan dipelajari lebih lanjut jika sejarah perkembangan itu diperhatikan terlebih dahulu.
Pengetahuan dan pemahaman tentang sejarah akan sangat membantu dalam memahami dinamika
ilmu HPI. Doktrin atau pendapat para sarjana mempunyai peran penting sebagai salah satu
sumber utama HPI. Josephus Jitta, seorang sarjana HPI asal Belanda, mengatakan “Iedereen ook
de geniale jurist, is een kind van zijn tijd en een leerling van zijne leermeesters” – betapa genial-
nya seorang yuris, ia adalah seorang anak dari masanya dan seorang murid dari gurunya. Oleh
karena itu, dengan pengetahuan tentang sejarah kita akan mendapatkan pemahaman yang lebih
baik tentang kausalitas kejadian dan pemikiran.
a. Masa Kekaisaran Romawi
Pada masa Kekaisaran Romawi, pola hubungan internasional dalam wujud yang
sederhana sudah mulai tampak adanya hubungan-hubungan antara :
a. warga (cives) Romawi dengan penduduk propinsi-propinsi atau Municipia (untuk
wilayah di Italia, kecuali Romawi) yang menjadi bagian dari wilayah kekaisaran karena
pendudukan. Penduduk asli propinsi-propinsi ini dianggap sebagai orang asing, dan ditundukkan
pada hukum mereka sendiri.
b. penduduk propinsi atau orang asing yang berhubungan satu sama lain di dalam wilayah
Kekaisaran Romawi, sehingga masing-masing pihak dapat dianggap sebagai subyek hukum dari
beberapa yurisdiksi yang berbeda.
Lalu timbulah masalah tentang hukum apa yang harus diberlakukan untuk menyelesaikan
sengketa-sengketa dari hubungan-hubungan hukum itu. Untuk penyelesaian sengketa-sengketa
tersebut dibutuhkan suatu lembaga peradilan khusus yang disebut Praetor Peregrinis (hukum
yang diberlakukan oleh para hakim), yang pada dasarnya adalah hukum yang berlaku bagi para
cives Romawi, yaitu IUS CIVILE, disesuaikan untuk kebutuhan pergaulan internasional, yang
kemudian diadaptasikan menjadi Ius Gentium.
b. Masa Pertumbuhan Asas Personal (abad ke 6-10 Ses. Masehi)
Sesudah runtuhnya Kekaisaran Romawi yang ditaklukan bangsa “Barbar” dari Eropa.
Kedudukan Ius Civile menjadi kurang penting, maka hukum kesukuan (stamenrecht) berlaku
kembali dan berlaku prinsip personil. Tetapi karena banyaknya suku dan sukar untuk
membuktikan seseorang berasal dari suku tertentu, maka berkembang penundukan pada sistim
hukum tertentu, maka mulailah “pilihan hukum” memegang peranan dalam HPI. Beberapa suku
bangsa yang terkenal pada masa itu adalah suku bangsa Visigoth, Lombard, Burgundi.
c. Pertumbuhan Prinsip Teritorial (abad ke 11-12)
Pada masa ini, keadaan masyarakat di Eropa terbagi menjadi dua region, yakni Eropa
Utara dengan unit-unit masyarakat yang tampak tumbuh rasa Feodalistis khususnya di Wilayah
Inggris, Perancis dan Jerman. Sedangkan di Eropa bagian selatan berlangsung bersamaan dengan
pertumbuhan pusat-pusat perdagangan khususnya di Italia dan sekitar wilayahnya, dasar ikatan
antar-manusia disini bukanlah feodalisme, melainkan tempat tinggal yang sama. Secara langsung
ataupun tidak langsung, situasi dua region ini lah yang mendorong tumbuhnya pemikiran
masyarakat tentang kaidah-kaidah hukum perselisihan yang dianggap menjadi cikal-bakal dari
kaidah-kaidah HPI.
d. Masa Pertumbuhan teori Statuta (13-19)
Pada abad ke-13, perkembangan prinsip teritorial ternyata membutuhkan peninjauan
kembali, khususnya di Italia dengan intensits hubungan perdagangan antar kota yang semakin
ramai. Pada kenyataan inilah yang mendorong para ahli hukum untuk mencari asas-asas hukum
yang dianggap lebih adil dan wajar serta berusaha mengembangkan asas-asas untuk menentukan
wilayah berlaku dari setiap aturan hukum yang berlaku (Bartous De Sassoferrato). Usaha yang
dilakukan adalah membuat tafsiran-tafsiran baru serta menyempurnakan kaidah-kaidah yang
sudah tertulis di dalam hukum Romawi (Corpus Iuris yang berlaku di seluruh Italia).
Berdasarkan Hukum Romawi tersebut pada abad ke-12, orang membedakan kelompok statuta
dalam lingkup berlakunya suatu staturam yaitu, Statuta Realia (Benda), Statuta Personalia
(Orang), serta Statuta Mixta (Perbuatan).
Teori Statuta Bartolus diabad ke-16 diikuti oleh ahli-ahli hukum Perancis, Charles
Dumoulin dan Bertand D’Argente. Dumoulin beranggapan bahwa setiap pihak mendapatkan
kebebasan untuk memilih hukum yang berlaku dalam setiap perkara maka teori statuta harus
masuk ke dalam lingkup Statuta Personalia. D’Argente beranggapan bahwa yang harus diperluas
ruang lingkupnya adalah pengertian Statuta Realia, karena bukan Otonomi para pihak yang harus
diutamakan, melainkan Otonomi Propinsi.
Pada Abad ke 17-18, muncul lah prinsip dasar yang dilakukan oleh penganut teori statuta
di Belanda yaitu “Kedaulatan Eksklusif Negara”. Seorang Ahli Hukum Belanda bernama Ulrik
Huber, ada tiga prinsip dasar yang daoat digunakan untuk penyelesaian perselisihan/perkara HPI;
yaitu :
 Hukum suatu Negara hanya berlaku dalam batas-batas wilayah hukumnya dan terhadap
subjects nya sendiri;
 Kaula (subject) negara adalah mereka yang berada dalam lingkungan kekuasaan negara
tersebut, baik yang menetap, maupun yang hanya sementara tinggal;
 Berdasarkan azas Comitas (sopan santun), hukum suatu Negara dapat dianggap seakan-
akan berlaku dimana-mana, asalkan tidak melanggar kekuasaan atau hak-hak negara lain;
Di lain pihak, ada juga seorang ahli hukum Belanda bernama Johannes Voet melahirkan
teori Comitas, yaitu :
 Pada hakekatnya tidak ada Negara yg wajib menyatakan berlakunya kaedah hukum asing
dalam batas-batas wilayah hukumnya, jika kaedah hukum asing itu diberlakukan, maka
itu disebabkan semata-mata berdasarkan sopan santun pergaulan antar bangsa (Comitas
gentium)
 Comitas harus ditentukan secara objectif, berdasarkan azas locus regit actum (perbuatan
hukum tunduk pada hukum setempat);

Teori Comitas gentium ini ditentang oleh Wolf, Van Brekel dan Cheshire, yang
menyatakan: “Hukum International tidak mengenal azas Comitas, karena berlakunya hukum
asing hanyalah disebabkan karena keinginan untuk mencari penyelesaian yang seadil-adilnya
(the desire to do justice)”.
e. Teori HPI Universal (abad 19)
Tokoh pencetusnya adalah Friedrich Carl von Savigny di Jerman. Pekerjaan besar
Savigny mengembangkan teori ini, sebenarnya didahului oleh pemikiran ahli hukum Jerman lain,
yaitu C.G. von Wachter, yang mengkritik teori statuta karena adanya ketidakpastian hukum yang
ditimbulkannya. Upaya terpenting dari isi pemikirannya adalah upaya untuk meninggalkan
klasifikasi hukum ala teori statuta dan memusatkan perhatiannya pada upaya penetapan hukum
yang seharusnya berlaku terhadap hubungan hukum (legal relationship) tertentu. Dengan tetap
menggunakan hubungan hukum sebagai titik tolak, Von Savigny lebih bersikap universalistik
dan melihat bahwa seandainya suatu hubungan hukum timbul suatu perkara, maka orang harus
mencari aturan hukum yang berlaku terhadapnya untuk digunakan dalam memutus perkara yang
bersangkutan. Dimana titik tolak pandangan Von Savigny adalah bahwa suatu hubungan hukum
yang sama harus memberikan penyelesaian yang sama pula, baik bila diputuskan oleh hakim di
negara A maupun di negara B. Penyelesaian permasalahan yang menyangkut unsur-unsur asing
pun hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga putusannya juga akan sama dimana-mana. Titik
tolak pemikiran Von Savigny adalah bahwa HPI bersifat supranasional, maka HPI bersifat
universal atau lebih tepat pemikiran Von Savigny ini disebut dengan istilah Teori HPI universal.

2. 2 Pengaruh HPI Tradisional dalam perkembangan HPI Modern


Pemikiran mengenai HPI mengalami kemajuan berkat adanya usaha dari tiga orang pakar
hukum, yaitu Joseph Story, Friedrich Carl von Savigny, dan Pasque Stanislao Manchini. Joseph
Story meninjau kembali putusan-putusan hakim Inggris dan Amerika dengan cara induktif,
sehingga ia berkesimpulan bahwa adanya kaedah-kaedah HPI tertentu didalamnya.
Pengembangan teori HPI Universal oleh Von Savigny sebenarnya merupakan reaksi atas pola
pikir statuta Italia yang dianggap memiliki banyak kelemahan, yang pengembangan pemikiran
von savigny setelah didahului seorang ahli jerman Von Watcher yang mengkritik teori statuta
(Italia) yang dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum.
Selanjutnya menurut Manchini, hukum personal seseorang ditentukan oleh
nasionalitasnya. Pendapat Manchini ini menjadi dasar mazhab Italia yang berkembang
kemudian. Menurut mazhab Italia, ada 2 (dua) macam kaidah dalam setiap sistem hukum, yaitu:
a. Kaidah hukum yang menyangkut kepentingan perorangan; dan
b. Kaidah hukum yang melindungi dan menjaga ketertiban umum (public order). 
Manchini menginginkan terciptanya unifikasi HPI melalui perjanjian-perjanjian
internasional, sedangkan Von Savigny menghendaki terwujudnya suatu HPI yang bersifat
supranasional. Namun, kenyataannya hingga kini, belum dapat diciptakan suatu HPI yang
berlaku umum. Setiap hubungan hukum harus diselesaikan menurut caranya sendiri, dan ini pun
bergantung pada kebiasaan, undang-undang, serta yurisprudensi masing-masing masyarakat
hukum. Walaupun demikian, dari waktu ke waktu perjanjian internasional yang berusaha
menyeragamkan kaidah HPI makin bertambah terus.
Teori-teori HPI modern pun mulai berkembang lagi mulai akhir abad ke-19 sampai
sekarang. Walaupun banyak pendekatan yang secara substansional menyimpang jauh dari teori-
teori HPI tradisional (yang betitik tolak dari pendekatan di zaman Romawi dan teori Statuta),
namun pada dasarnya teori-teori modern ini juga memusatkan perhatiannya di sekitar persoalan-
persoalan pokok HPI yang sama, baik yang menyangkut persoalan yuridiksi forum, hukum yang
berlaku dan pengakuan putusan hakim/peradilan asing.
Bila teori-teori Statuta yang dikenal antara abad ke-13 sampai abad ke-17 didasarkan
pada usaha untuk mengklasifikasikan kaidah-kaidah hukum ke dalam kategori Statuta Realia,
Personalia, atau Mixta berdasarkan objek hukum yang diaturnya, maka dalam perkembangannya
teori Statuta Modern berusaha memperluas klasifikasi semacam itu ke seluruh sistem HPI
sampai sekarang. Orang berusaha menyelesaikan sebanyak mungkin persoalan-persoalan HPI
dengan menggolongkan atau mengkategorikan masalah-masalah hukum ke dalam kategori Real
atau Personal. Masalah-masalah Realia, menurut teori ini, harus diatur berdasarkan hukum dari
tempat (teritori) yang berkaitan erat dengan suatu benda atau suatu perbuatan.
Sedangkan masalah-masalah hukum lainnya dikategorikan ke dalam kategori personalia,
bilamana hukum personal para pihak ternyata harus diberlakukan, tanpa memperhatikan tempat
di mana perkarar hukum itu timbul.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan ataupun substansi kajian yang telah dibahas diatas. Dapat
disimpulkan bahwa dimulai dari sejarah berkembangnya hukum perdata internasional dari zaman
Kekaisaran Romawi sampai kepada teori perkembangan Statuta yang ada di dunia,
perkembangan pemikiran-pemikiran HPI ini selalu berubah-ubah dan dikristisi serta muncul
teori-teori baru di setiap abadnya mengikuti perkembangan zaman dan kesesuaian dengan
keadaan masyarakat Internasinonal hingga pada masa kini. Pada pengimplementasiannya,
perkembangan HPI tradisional menurut sejarah perkembangannya mempengaruhi teori-teori HPI
modern yang diterapkan hingga kini walaupun pendekatannya dapat dianggap menyimpang jauh
secara teoritis ataupun substansialnya, namun tetap berfokus kepada persoalan-persoalan Hpi
yang sama.
DAFTAR PUSTAKA

Purwadi, Ari. (2016). Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional. Pusat Pengkajian Hukum dan
Pembangunan (PPHP).

Seto, Bayu. (1994). Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional; Buku Kesatu. PT. Citra Aditya
Bakti.

Dahniel, M.A. Saragih, G.M. (2020). Perkembangan Teori Satuta. Diakses pada 1 Oktober 2022
dari https://www.detikmahasiswahukum.com/2020/05/perkembangan-teori-
statuta_4.html

Basuki, Z.D, Oppusungu, Yu un, dan Penasthika, Priskila. (2014). Pendahuluan: Pengertian
Hukum Perdata Internasional, Sejarah Hukum Perdata Internasional, dan Ruang
Lingkup Hukum Perdata Internasional. Bimo.

Anda mungkin juga menyukai