Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Pengertian hukum internasional dirumuskan sebagai kumpulan hukum
(body of law) yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dan karena itu
biasanya ditaati dalam hubungan antara negara-negara satu sama lain ,
Persoalan mengenai hukum internasional selalu memberikan kesan
yang menarik untuk di bahas. Topik ini senantiasa memberikan daya tarik
yang tinggi pada setiap orang. Secara teori hukum internasional mengacu
pada peraturan-peraturan dan norma-norma yang mengatur tindakan
Negara-negara dan kesatuan lain yang pada suatu saat akan diakui
mempunyai kepribadian internasional, seperti misalnya organisasi
internasional dan individu.
Hukum internasional disusun dan lahir karena kebutuhan dan
dirancang untuk mencapai ketertiban dan perdamaian dunia. Suatu sistem
yang bertujuan untuk men-cap suatu negara sebagai “bersalah” dan negara
lain sebagai “tidak bersalah” dan partisiapasi utama dari sistem hukum
internasional yaitu negara-negara yang semuanya diperlakukan sebagai
pemilik kedaulatan Hubungan-hubungan internasional yang diadakan antar
negara tidak selamanya terjalin dengan baik. Seringkali hubungan itu
menimbulkan sengketa di antara mereka. Sengketa dapat bermula dari
berbagai sumber potensi sengketa. Sumber potensi sengketa antar negara
dapat berupa perbatasan, sumber daya alam, kerusakan lingkungan,
perdagangan, dll. Manakala hal demikian itu terjadi, hukum internasional
memainkan peranan yang tidak kecil dalam penyelesaiannya.  

Seiring perkembangan zaman, hukum internasional juga terus berkembang.


Sejak pergaulan internasional makin meningkat menjelang abad 19 hukum
internasional telah menjadi suatu sistem universil dan pada abad 20 telah
merupakan suatu perluasan tandingannya.

1
Upaya-upaya penyelesaian terhadapnya telah menjadi perhatian yang
cukup penting di masyarakat internasional sejak awal abad ke- 20. Upaya-
upaya ini ditujukan untuk menciptakan hubungan-hubungan antara negara
yang lebih baik berdasarkan prinsip perdamaian dan keamanan internasional.

Hal itulah yang sangat menarik untuk kita amati, bagaimana peranan yang
seharusnya dilakukan oleh hukum internasional dalam menegakkan keadilan
demi tercapainya perdamaian dunia. Pada umumnya hukum internasional
diartikan sebagai himpunan peraturan-peraturan dan ketetntuan-
ketentuan yang mengikat serta mengatur hubungan antara negara-
negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam kehidupan
masyarakat internasional. Definisi hukum internasional yang diberikan
oleh para pakar-pakar hukum terkenal di masa lalu seperti oppenheim  dan
brierly, terbatas pada negara sebagi satu-satunya pelaku hukum dan tidak
memasukkan subjek hukum lainnya.

Namun dengan perkembangan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi pada


paruh kedua abad 20 dan pola hubungan internasional yang semakin
kompleks pengertian ini kemudian meluas sehingga hukum internasional juga
mengurusi struktur dan perilaku organisasi  internasional, kelompok-kelompok
supranasional, dan gerakan-pembebasan pembebasan nasional. Bahkan,
dalam hal tertentu, hukum internasional juga diberlakukan terhadap individu-
individu dalam hubungannya dengan negara-negara. 

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana perkembangan hukum internasional dari dulu hingga saat ini ?
2. Apa saja teori-teori yang mengikat Hukum Internasional ?

2
BAB II
Pembahasan

2.1 Perkembangan Hukum Internasional dari dulu hingga sekarang


Hukum internasional adalah lapangan hukum yang baru. Walapun
demikian dasar-dasar proses hukum internasional telah dikenal orang sejak
lama. Berkembangnya system negara-kota di Yunani serta peranan dari
hukum Romawi di Eropa pada abad keenam belas, telah memberikan
dorongan yang penting terhadap perkembangan hukum internasional. 1
Konsepsi ahli-ahli pikir Yunani yang digabungkan dengan perkembangan
hukum Romawi, keduanya penting dalam perkembangan hukum
internasional. Kemudian penulis-penulis awal dari hukum internasional
mengembangkan karyanya dari konsepsi hukum alam. Pada masa kejayaan
kerajaan Roma yang menguasai dunia Barat, yang diberlakukan adalah
hukum Romawi, asasnya didasarkan kepada kekuasaan Meja Dua Belas yang
merupakan suatu konsep yurisprudensi primitive dan hanya cocok untuk
negara kecil yang terpencil.
Lalu kemudian di kerajaan Rumawi berkembang konsep tertentu yang
mempengaruhi dan menentukan perkembangan hukum internasional yang
sifatnya tidak langsung dan melalui hukum rumawi sendiri. Sewaktu Rumawi
berkembang menjadi pusat kerajaan, hukum rumawi lama tidak dapat
dipergunakanuntuk orang-orang bukan rumawi, walaupun mereka tunduk
terhadap hukum tersebut, orang-orang ini harus mempunyai hukum yang
dapat diperlakukan kepada mereka. Ditunjuklah pejabat rumawi yang disebut
praeter peregrinus,2 yang bertindak sebagai pejabat resmi untuk orang-orang
asing. Sementara itu hukum yang didasarkan pada consensus dari hukum-
hukum yang berlaku dalam berbagai bagian dari kerajaan Rumawi,
dikembangkan untuk diberlakukan bagi orang asing. Hukum ini dikenal
sebagai Jus Gentium3 (hukum banyak orang).
1
Chairul Anwar, S.H.,”Hukum Internasional Pengantar Hukum Bangsa-Bangsa”, H. 19.
2
Pretor atau praetor adalah jabatan pada masa Romawi Kuno. Pada masa Republik, pretor peregrinus bertugas
menjalankan misi-misi khusus dalam keadaan perang.
3
Jus Gentium atau ius gentium adalah konsep hukum internasional dalam sistem hukum Romawi dan tradisi
hukum barat yang dipengaruhi oleh hukum Romawi. Ius gentium bukanlah undang-undang tertulis, tetapi

3
Jus Gentium ini adalah hukum dalam negeri Rumawi. Lalu Jus Gentium ini
diabsorbsi ke dalam Jus Civile yang menjadi basis dari hukum dalam negeri
orang-orang Rumawi dan orang asing. Penulis-penulis hukum Rumawi
membedakan kedua jenis hukum ini, jus Civile sebagai hukum yang diciptakan
masing-masing negara untuk mereka sendiri, sedangkan Jus Gentium adalah
sekumpulan aturan yang diciptakan untuk orang-orang dan dipatuhi oleh semua
negara-negara. Pada abad ke-7, istilah Jus Gentium mempunyai arti yang khusus
dan diartikan sebagai asas-asa yang diperkirakan berlaku dalam hubungan
antara negara-negara merdeka dan diterjemahkan menjadi Droit De Gens
(Hukum Bangsa-Bangsa) oleh Emmerich de Vattel tahun 1758.
Kemudian seorang jurist Inggris Jeremy Bentham memeperkenalkan istilah
“Internasional law” yang diambil dari judul Bahasa Latin dari karangan Richard
Zouche (1650) yang menulis tentang Juris Intergentes. Perkembangan hukum
internasional dicampur-adukan dengan konsep hukum alam (Jus Naturale) yang
dianut oleh filsuf-filsuf Rumawi dan pemikir-pemikir Stoik Yunani, pada 150 tahun
SM. Menurutnya hukum alalm telah tertanam pada orang-orang oleh alam.
Dimengerti sebagai hal yang tidak boleh berubah dan mempunyai ciri keadilan
yang tepat mempunyai jangkauan universal, yang terbukti sendiri pada individu-
individu yang memperjuangkan haknya dan ajaran-ajaran moral yang
mempengaruhi mereka. Berbagai sumber hukum Romawi mengenal hukum alam
ini sebagai interprestasi philosofis dari Jus Gentium.
Konsep ini berkembang dalam perkembangann hukum Rumawi, yang
kemudian pengaruhnya dijumpai di dalam Kodifikasi Justinianus, satu abad
setelah jatuhnya kerajaan Roma. Setelah jatuhnya kerajaan Roma pada bagian
kedua dari abad kelima, datanglah abad kegelapan. Kaisar Justinianus
mengadakan kodifikasi di bagian Timur kerajan Roma. Di Roma Paus mencoba
melunakkan ancaman-ancaman perang dan usaha-usaha memperkenalkan
semangat perdamaian dalam pikiran orang-orang. Karena kekuasaannya lemah
usaha-usaha Paus gagal. Datanglah jaman Renaissance dan berangsur-angsur
timbulnya peradaban, telah membawa kehidupan kembali dari studi hukum.

merupakan hukum adat yang diduga berlaku untuk semua gentes

4
Hukum internasional yang mempunyai pengaruh kuat dari hukum Rumawi,
rupanya menjadi pusat perhatian. Hal ini disebut “perang yang benar dam
perang yang tidak benar”. Penulis lain yang tergolong bapak hukum
internasional adalah Alberico Gentili, seorang Jurist Italia. Bapak hukum
internasional yang ternama ialah Hugo Grotius, yang menulis pada bagian
pertama dari abad ke-17. Dalam bukunya beliau mempersatukan aturan-atiran
dari hukum Rumawi, hukum alam, praktek dari negara-negara dengan
pendapatnya sendiri. Walaupun masih terdapat banyak kekurangan, namun
karyanya merupakan langkah utama di dalam pembentukan hukum internasional
secara ilmiah. Tulisan Grotius kemudian dilanjutkan oleh penulis-penulis hukum
internasional lainnya.
Beberapa mengambil inspirasinya dari hukum alam, yang lain mengambil
pengalaman praktek kenegaraan, dan penulis lainnya membuat kombinasi antara
kedua hal tersebut. Emmerich de Vattel, penulis abad ke-18 seorang penulis
swiss yang menulis dalam bahasa Prancis- Le Droit De Gens, bukunya ini sangat
populer dan dikenal oleh pendiri-pendiri negara Amerika Serikat. Salah satu
ajarannya yang penting adalah bahwa idenya masih merupakan teori dari
pertanggung-jawaban negara-negara. Munculnya Negara-Kota Perdagangan,
dengan konsekuensi timbunya kebutuhan akan pentingnya mempunyai hukum
dan aturan tentang maritime dan perdagangan, semacam hukum pengangkutan
laut. Terbentuklah kodifikasi-kodifikasi dan tabulasi-tabulasi yang dikeluarkan
oleh negara-negara maritim atau beberapa negara bersama-sama. Tabulasi
Amalfi, sebuah kota Italia kecil selatan Napels, yang di dalam abad pertengahan
menjadi kota maritim utama.
Kemudian dikenal pula Kodifikasi Hansestik yang dikeluarkan oleh kota
Hanseatik di utara Jerman, dan Consulato del Mare, yang diterbitkan di
Barcelona. Sebagian besar isi kodifikasinya bukanlah hukum internasional,
walaupun beberapa aspek himpunan-himpunan tersebut dianggap cukup
modern. Kemudian meluas hubungan antar negara-negara memerlukan pendirian
suatu institusi, dimana suatu perwakilan tetap harus diciptakan. Adapun utusan
pejabat diplomatik yang menetao adalah Luigi Gonzaga, captain dari Mantua
kerajaan Louis dari Bavaria tahun 1341. Dengan sendirinya berkembang

5
hubungan antar negara dan majunya perdagangan membawa kepada
terbentuknya jalinan perjanjian antar negara. Faktor lainnya yang turun dalam
perkembangan hukum internasional yang agak khusus dan bersifat
extraterritorial ialah pendirian dari pusat-pusat perdagangan mula-mula oleh
orang-orang Italia, kemudian diikuti oleh orang-orang lainnya.
Pada umumnya penguasa-penguasa kerajaan Byzantine serta orang-orang
musim yang menguasai Asia Kecil, senang membiarkan orang-orang asing
mengusur urusan-urusan mereka sendiri selama mereka membayar pajak dan
tidak menimbulkan kerusuhan. Mereka membiarkan orang-orang asing menunjuk
pejabat yang dinamakan Consul dan melakukan peradilan untuk orang-orang
kebangsaan mereka, menurut hukum mereka sendiri. Lahirlah konsep
extraterritorial yang berpengaruh dalam abad-abad berikutnya di Asia dan
Afrika. Memang kelihatan agak aneh, bahwa penguasa bersedia mengizinkan
sekumpulan orang asing, yang tunduk kepada hukum mereka sendiri dan bebas
dari yurisdiksi negara bersangkutan. Penguasa- penguasa Muslim yang
hukumnya adalah hukum islam, turut memberi kontribusi lahirnya extraterritorial
tersebut. Terhadap orang-orang yang bukan Islam di dalam kerajaan-kerajaan
Islam menuai persoalan, masa Khalifah Umar bin Khatab dan pengikut-
pengikutnya dan telah menerbitkan precedent, yang mengizinkan orang-orang
asing menerapkan hukum mereka sendiri, sekurang-kurangnya dalam soal
perdata.
Izin tersebut diatur dalam suatu izin khusus bagi orang asing dan dinamakan
Capitulations atau extraterritorial. Kemudian system ini diperkenalkan pada
negara-negara lain seperti Cina, Jepang, dll. Pada awalnya Capitulations disetujui
tetapi akhinya menjurus kepada mekanisme di mana dunia Barat mengambil
keuntungan. Capitulations dan extraterritorial telah tidak ada sekarang ini, dalam
bentuk aslinya juga telah lenyap. Revolusi Prancis, dan revolusi Amerika dan
timbulnya industrialisasi, hukum internasional berkembang semakin cepat. Begitu
juga dengan perdagangan Eropa dengan Asia serta Eropa-Amerika, sehingga
berkembanglah pula wahana-wahana perniagaan seperti surat- surat berharga.
Pada abad ke-19 didirikan Universal Post Union. Kemudian berkembang

6
hubungan-hubungan melalui telegraph dan telekomunikasi radio. Faktor lainnya
yang mendorong terciptanya berbagai traktat, ialah soal-soal kemanusiaan.
Setelah pertempuran Solferino, di dalam skala internasional terbentuk Palang
Merah Internasional pada tahun 1864. Konvensi Palang Merah Internasional
diperuntukkan untuk menghentikan perdangan narkotika, mengurangi
perdagangan wanita dan anak-anak dan untuk memperkembangkan kebijakan
sosial. Lalu semakin banyak terbentuk perjanjian-perjanjian bilateral antar
beberapa negara, misalnya pengaturan di bidang perdagangan dan arbitrase4 .
Dalam tahun 1899 pada Konperensi Den Haag, bangsa-bangsa telah sepakat
untuk mendirikan Permanent Count Of Arbitratior (Mahkamah Internasional
Permanen). Hal ini merupakan suatu kemajuan kea rah terbentuknya suatu
peradilan dunia. Terbentuknya International Law Association agar berbagai
bangsa dan ahli hukum mengembangkan studi hukum internasional. Kemajuan
teknologi, desakan-desakan humaniter, kemerdekaan bangsa-bangsa dan
lahirnya arbitrase internasional serta perhatian para cendikiawan ,
keseluruhannya telah memperkembangkan hukum internasional mengikuti
alunan pergaulan internasional di antara bangsa-bangsa dunia

2.2 Teori-teori yang mengikat hukum internasional

4
Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa disepakati antara pihak yang bersengketa disampaikan kepada
satu atau lebih arbiter yang mengeluarkan penghargaan.

7
Satu teori yang telah memperoleh pengakuan luas adalah bahwa hukum
internasional bukan hukum yang sebenarnya, melainkan suatu himpunan kaidah
perilaku yang hanya mempunyai kekuatan moral semata. Penulis yurisprudensi atau
ilmu pengetahuan dan filsafat hukum berkebangsaan ingris, john Austin (1790-
1859), dianggap sebagai pendukung utama teori ini. Penulis lain yang juga
mempertanyakan karakter sebenarnya dari hukum internasional adalah Hobbes,
Puferdorf dan Bentham.
Pandangan Austin terhadap hukum internasional diwarnai oleh teorinya mengenai
hukum pada umumnya. Menurut teori Austin ini, hukum stricto sensu dihasilkan
dari keputusan-keputusan formal yang berasal dari badan legislatif yang benar-benar
berdaulat. Secara logis, apabila kaidah-kaidah yang bersangkutan pada analisis akhir
bukan berasal dari suatu otoritas yang berdaulat, yang secara politis berkedudukan
paling tinggi, atau apabila tidak terdapat otoritas yang berdaulat demikian, maka
kaidah-kaidah tersebut tidak dapat digolongkan dalam kaidah-kaidah hukum,
melainkan hanya kaidah-kaidah dengan validitas moral atau etika semata-mata.

Teori kekuatan mengikat hukum internasional :

1. Teori hukum alam (natural law)

Menurut para penganut ajaran hukum ini, hukum internasional itu mengikat
karena yaitu tidak lain daripada hukum alam yang diterapkan pada kehidupan
masyarakat bangsa-bangsa. Dengan kata lain, negara terikat pada hukum
internasional dalam hubungan mereka satu sama lain, pada hukum
internasional itu merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi yaitu hukum
alamtokohnya antara lain, Hugo Grotius dan Emmerich Vattel.

2. Teori yang mengatakan hukum internasional tidak lain daripada hukum tata
negara yang menganut hubungan luar suatu negara. Hukum internasional
bukan sesuatu yang lebih tinggi yang mempunyai kekuatan mengikat diluar
kemauan negara. Tokohnya yaitu Hegel, George Jellineck, dan Zorn.

3. Teori yang menyadarkan kekuatan mengikat hukum internasional pada


kemauan Bersama. Hukum internasional itu mengikat bagi negara, bukan

8
karena kehendak mereka satu persatu, untuk terikat, melainkan adanya suatu
kehendak Bersama yang lebih tinggi dari kehendak masing-masing negara
untuk tunduk pada hukum internasional. Teori ini disebut juga sebagai
“Vereinbarung Theory”. Tokohnya yang terkenal yaitu Triepel.

4. Teori yang mendasarkan asas Pacta Sunt Servanda sebagai kaidah dasar
hukum internasional. Teori ini bertolak dari ajaran Mazhab Wina yang
mengembalikan segala sesuatunya kepada suatu kaedah dasar, memang
dapat menerangkan secara logis darimana kaidah hukum internasional itu
memperoleh kekuatan mengikatnya, tetapi ajaran ini tidak dapat
menerangkan secara logis mengapa kaidah dasar itu sendiri mengikat.
Tokohnya yaitu Kelsen.

5. Teori yang mendasarkan mengikat hukum internasional pada factor biologis,


social, dan sejarah kehidupan manusia yang dinamakan fakta-fakta
kemasyarakatan. Menurut teori ini dasar kekuatan mengikat hukum
internasional terdapat dapat kenyataan social bahwa mengikatnya hukum ini
mutlak perlu untuk dapat terpenuhinya kebutuhan bangsa untuk hidup
bermasyarakat. Teori ini mendasarkan daripada Mazhab Perancis dengan
tokoh-tokohnya yaitu, Fauchille, Scelle, dan Duguit.

Dalam tatanan masyarakat internasional tidak terdapat sesuatu


kekuasaan eksekutif pusat yang kuat seperti dalam negara-negara nasional
hukum internasional dalam masyarakat internasional merupakan tertib hukum
koordinasi dari sejumblah negara-negara yang masing-masing berdaulat.
Didalam nya juga tidak terdapat suatu badan legislative maupun kekuasaan
kehakiman dan polisional yang dapat memaksakan berlakunya kehendak
masyarakat internasional sebagaimana tercermin dalam kaidah hukumnya,
oleh karena itu hukum internasional disebut dengan The Law of Honour dan
The Law Set by Fashion atau rules of Positive morality.

9
Dalam praktek negara-negara tertentu memang secara tegas
memperlakukan hukum internasional sebagai kaidah yang memiliki kekuatan
yang sama seperti hukum biasa yang mengikat warga-warga negara mereka.
Menurut konstitusi Amerika Serikat , misalnya, traktat-traktat adalah : “hukum
negara tertinggi” (the supreme law of the land, dinyatakan dalam ketentuan
pasal VI, ayat 2).

Hakim-hakim mahkamah Agung Amerika Serikat – Pengadilan Negara


yang tertinggi – telah beruangkali mengakui validitas konstitusional dari
hukum internasional. Dalam suatu perkara, Marshall CJ. Menyatakan bahwa
sebuah undang-undang kongres “seyogjanya tidak ditafsirkan untuk
melanggar hukum bangsa – bangsa andai kata masih ada kemungkinan
konstruksi yang lain “. Dalam perkara lainnya, Gray J. mengemukakan
pernyataan berikut “hukum internasional merupakan bagian dari hukum kita
dan harus diketahui dan serta dilaksanakan oleh mahkamah agung sesuai
yuris diksinya, sesering persoalan- persoalan tentang hak yang bergantung
kepadanya yang diajukan secara layak untuk diputuskan”

Lebih lanjut, kekuatan mengikat secara hukum dari hukum


internasional berulangkali telah ditegaskan oleh bangsa-bangsa didunia dalam
konferensi internasional. Satu gambaran tentang hal ini adalah Charter
(Piagam) pembentukan Organisasi Perserikatan Bangsa-bangsa , yang
dirumuskan di San Fransisco tahun 1945, Charter ini baik secara tegas
maupun implisit didasarkan atas legalitas yang sebenarnya dari hukum
internasional. Juga hal ini secara tegas dinyatakan dalam ketentuan-
ketentuan Statuta Internasional Court of Justice, yang dilampirkan pada
Chapter, dimana fungsi mahkamah “untuk memutuskan sesuai dengan
Hukum Internasional sengketa – sengketa demikian yang diajukan
kepadanya” ( lihat pasal 38). Salah satu manifestasi multipartit yang paling
akhir yang mendukung legalitas Hukum Internasional adalah deklarasi
Helsinki 1 Agustus 1975, yang mana lebih dari 30 negara eropa, Tahta Suci,
Amerika Serikat dan Kanada telah menyatakan pengikatan diri kepada ikrar
berikut : “negara – negara berserta dengan itikad baik akan memenuhi

10
kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum internasional ( termasuk
kewajiban – kewajiban yang timbul dari prinsip – prinsip dan kaidah – kaidah
hukum internasional yang diapit umum dalam melaksanakan hak berdualat
mereka, termasuk hak mereka akan menyesuaikan kewajiban – kewajiban
hukumnya menurut Hukum Internasional.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari makalah yang sudah kami buat diatas maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut : Hukum internasional adalah lapangan hukum
yang baru. Walapun demikian dasar-dasar proses hukum internasional telah
dikenal orang sejak lama. Berkembangnya system negara-kota di Yunani
serta peranan dari hukum Romawi di Eropa pada abad keenam belas, telah
memberikan dorongan yang penting terhadap perkembangan hukum
internasional satu teori yang telah memperoleh pengakuan luas adalah bahwa
hukum internasional bukan hukum yang sebenarnya, melainkan suatu
himpunan kaidah perilaku yang hanya mempunyai kekuatan moral semata.
Konsepsi ahli-ahli pikir Yunani yang digabungkan dengan perkembangan
hukum Romawi, keduanya penting dalam perkembangan hukum
internasional. Kemudian penulis-penulis awal dari hukum internasional
mengembangkan karyanya dari konsepsi hukum alam. Pada masa kejayaan
kerajaan Roma yang menguasai dunia Barat, yang diberlakukan adalah
hukum Romawi, asasnya didasarkan kepada kekuasaan Meja Dua Belas yang
merupakan suatu konsep yurisprudensi primitive dan hanya cocok untuk
negara kecil yang terpencil.

3.1 Saran

Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak dan jauh dari kata
sempurna penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan berpedoman
pada banyak sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah
dalam kesimpulan diatas

12
DAFTAR PUSTAKA
Kusumaatmadja, Moctar,Pengantar Hukum Internasional,Binacipta,Bandung,1990.
Rudi May, Hukum Internasional,Refika Aditama,Bandung,2001.
Starke,J.G., pengantar Hukum internasional jilid 1, edisi kesepuluh, sinar Grafika,
Jakarta, 2000
Anwar, Chairul. 1989. Pengantar Hukum Bangsa – bangsa. Jakarta : Djambatan.

13

Anda mungkin juga menyukai