Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

Sejarah Perkembangan Hukum Perdata Internasional dibagi menjadi lima tahapan yang
akan dijelaskan sebagai berikut :

A. Tahap Pertama ( Masa Kekaisaran Romawi Abad ke 2-6 sesudah Masehi)


Masa ini adalah masa awal perkembangan hukum perdata internasional. Wujud nyatanya
adalah dengan tampaknya hubungan antara warga romawi dengan penduduk provinsi atau
municipia, dan penduduk provinsi atau orang asing dengan satu sama lain didalam wilayah
kekaisaran romawi. Dalam hubungan hukum tersebut tentu memiliki sengketa, dan untuk
menyelesaikan sengketa dibentuklah peradilan khusus yang disebut preator peregrines. Hukum
yang digunakan adalah Ius Civile, yaitu hukum yang berlaku bagi warga Romawi, yang sudah
disesuaikan untuk kepentingan orang luar.
Asas HPI yang berkembang pada masa ini dan menjadi asas penting dalam Hukum
Perdata Internasional modern yakni:
a. Asas Lex Rei Sitae ( Lex Situs ) yang berarti perkara-perkara yang menyangkut benda-benda
tidak bergerak tunduk pada hukum dari tempat di mana benda itu berada/terletak.
b. Asas Lex Domicilii yang berarti hak dan kewajiban perorangan harus diatur oleh hukum dari
tempat seseorang berkediaman tetap.
c. Asas Lex Loci Contractus yang berarti bahwa terhadap perjanjian-perjanjian ( yang
melibatkan para pihak-pihak warga dari provinsi yang berbeda ) berlaku hukum dari tempat
pembuatan perjanjian1.

B. Tahap Kedua ( Masa Pertumbuhan Asas Personal Hukum Perdata Internasional Abad
ke-6 sampai 10)
Pada masa ini kekaisaran romawi ditaklukan oleh orang “barbar” dan wilayah bekas
provinsi-provinsi jajahan romawi, dan akibatnya ius civile pada masa kekaisaran romawi tidak
berguna.
Pada masa iini tumbuh dan berkembang beberapa prinsip atau asas genealogis, yaitu :
1. Asas umum yang menetapkan bahwa dalam setiap proses penyelesaian sengketa hukum,
hukum yang digunakan adalah hukum dari pihak tergugat.
2. Penetapan kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seseorang harus dilakukan berdasarkan
hukum perssonal dari masing-masing pihak.
3. Proses pewarisan harus dilangsungkan berdasarkan hukum personal dari pihak pewaris.
4. Peralihan hak milik atas benda harus dilaksanakan sesuai dengan hukum personal pihak
transferor.
5. Penyelesaian perkara tentang perbuatan melanggar hukum harus dilakukan berdasarkan
hukum personal dari pihak pelaku perbuatan yang melanggar hukum.
6. Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum dari piahak suami.

C. Tahap Ketiga (Pertumbuhan Asas Teritorial Abad ke 11-12 di Italia)

Pertumbuhan asas genealogis sulit untuk dipertahankan diakibatkan struktur masyarakat


yang semakin condong ke arah masyarakat teritorialistik diseluruh wilayah eropa.
Keanekaragaman sistem-sistem hukum lokal kota-kota ini didukung dengan intensitas
perdagangan antar kota yang tinggi yang sering menimbulkan persoalan mengenai pengakuan
terhadap hak asing diwilayah suatu kota. Dalam hal menyelesaikan masalah inilah untuk
menjawab perselisihan tersebu dapat dianggap sebagai pemicu tumbuhnya teori Hukum Perdata
Internasional yang dikenal dengan sebutan teori statuta diabad ke 13 sampai abad 15.

D. Tahap Keempat ( Perkembangan Teori Statuta) yang terdiri dari :

a. Perkembangan Teori Statuta di Italia (Abad ke 13-15)

Dasar-dasar Teori Statuta


Lahirnya teori statuta italia dipicu oleh gagasan seorang tokoh post glassator yang
bernama Accurcius yaitu “Bila seorang yang berasal dari suatu kota tertentu di Italia di
gugat disebuah kota lain, maka ia tidak dapat dituntut berdasarkan hukum dari kota lain
itu karena ia bukan subjek hukum dari kota lain itu.”

b. Perkembangan Teori Statuta di Prancis ( Abad ke-16)

Perkembangan Teori Statuta di Prancis terjadi pada abad ke-16 Masehi. Situasi
 Kenegaran di Prancis Abad ke-16
Struktur kenegaraan Prancis pada abad ini, mendorong untuk mempelajari hubuungan
perselisihan secara intensif. Para ahli hukum Prancis berusaha menjalani dan
memodifikasi teori Statuta Italia dan menerapkannya dalam konflik antar propinsi di
Prancis.
Cara Penyelesaian
Para ahli hukum mendalami dan memodifikasi teori statuta dan menerapkannnya di
provinsi italia, beberapa tokoh teori statuta diprancis yang dikenal yaitu Dumoulin (1500-
1566) dan D’Argentre (1523-1603).

c. Perkembangan Teori Statuta di Belanda (Abad ke 17-18)

Tokoh dalam Teori Statuta Belanda adalah Ulrik Huber (1636-1694), dan
Johannes Voet (1647-1714)
Prinsip dasar yang dijadikan titik tolak dalam teori statuta belanda ini adalah
kedaulatan ekslusif negara yang berlaku didalam teritorial suatu negara.
Menurut Ulrik, untuk menyelesaikan perkara hukum perdata internasional, ulrik
berpendapat bahwa orang harus bertitik tolak dari 3 prinsip dasar, yaitu :

a. Hukum suatu negara hanya berlaku dalam batas-batas teritorial negara itu
b. Semua orang atau subjek hukum secara tetap atau sementara berada didalam
teritorial wilayah suatu negara berdaulat.
c. Berdasarkan prinsip sopan santun antarnegara, hukum yang belaku dinegara
asalnya tetap memilikikekuatan berlaku dimana-mana, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan subjek hukum dari negara pemberin pengakuan.

Menurut Johannes Voet, ia menjelaskan kembali ajaran comitas gentium, yaitu :

1. Pemberlakuan hukum asing disuatu negara bukan merupakan kewajiban hukum


internasional
2. Suatu negara asing tidak dapat menuntut pengakuan kaidah hukumnya didalam wilayah
hukum suatu negara lain.
3. Karena itu, pengakuan atas berlakunya suatu hukum asing hanya dilakukan demi sopan
santun pergaulan antar negara
4. Namun, asas comitas gentium harus ditaati oleh setiap negara dan asas ini harus dianggap
sebagai bagian dari suatu sistem hukum nasional negara itu.

E. Tahap Kelima ( Teori Hukum Perdata Internasional Universal) Abad ke-19


Tokoh yang mencetuskan teori ini adalah Friedrich Carl V. Savigny yang berasal dari
Jerman. Pemikiran Savigny ini juga berkembang setelah didahului oleh pemikiran tokoh lain
yang juga berasal dari jerman yaitu C.G. Von Wacher yang mengkritik bahwa teori statuta italia
dianggap menimbulkan ketidakpastian hukum.1[3]1
Watcher berasumsi bahwa Hukum intern forum hanya dibuat untuk dan hanya diterapkan
pada kasus-kasus hukum lokal saja. Karena itu kaidah perkara Hukum perdata internasional,
forumlah yang harus menyediakan kaidah hukum perdata internasional.
Sedangkan demikian pandangan F.C Von Savigny adalah bahwa :

1. Savigny mencoba menggunakan konsepsi “legal seat” itu dengan berasumsi bahwa
“untuk setiap jenis hubungan hukum, dapat ditentukan legal seat/tempat kedudukan
hukumnya” dengan melihat hakikat dari hubungan tersebut.
2. Jika orang hendak menetukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku dalam suatu
perkara yang terbit dari suatu hubungan hukum
3. Savigny beranggapan bahwa legal seat itu harus ditetapkan terlebih dahulu dan caranya
adalah dengan melokalisasi tempat kedudukan hukum dari hubungan hukum itu melalui
bantuanm titik-titik taut.
4. Jika tempat kedudukan hukum dari suatu jenis hubungan hukum telah dapat ditentukan,
sistem hukum dari tempat itulah yang akan digunakan sebagai lex causae.
5. Setelah tempat kedudukan hukum itu dapat selalu dilokalisasi, melalui penerapan titik-
titik taut yang sama pada hubungan hukum yang sejenis.
6. Asas hukum itulah yang menjadi asas Hukum Perdata Internasional yang menurut
pendekatan tradisional mengandung titik taut penentu yang harus digunakan dalam
rangka menentukan lex causae.
7. Menggunakan sebuah asas HPI yang bersifat tetap untuk menyelesaikan berbagai perkara
HPI .

Anda mungkin juga menyukai