Disusun Oleh :
Alifia Meita Putri
1111190217
Fakultas Hukum
2020
Kata Pengantar
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat dan karunianya
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “kedudukan belligerent
sebagai subjek hukum internasional” dengan lancar dan tepat waktu.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu Hukum Internasional yang
telah memberi masukan yang bermanfaat dalam proses penyusunan makalah ini dan seluruh
pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini sehingga makalah ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Maka dari itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan
kedepannya. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukan.
Penulis
i
Daftar Isi
II
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu subjek dalam hukum internasional ada belligerent. Persoalan mengenai
mengapa belligerent dapat dikatakan sebagai subjek hukum internasional, lalu adakah
pengaturan hukum yang mengatur keberadaan kelompok belligerent tersebut. hal ini
dikaitkan bahwa belligerent merupakan kelompok yang merugikan sebab adanya
kelompok tersebut dapat mengancam kedaulatan suatu negara.
1
1.3 Tujuan penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan ini adalah :
1.4 Manfaat
Manfaat dalam penulisan ini adalah :
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada para pihak yang
membutuhkan referensi dalam persoalan mengenai belligerent.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Lihat J.G. Starke, "Pengantar Hukum Internasional", Jilid 1, terjemahan Bambang Iriana.
2
Mochtar Kusumaatmadja, "Pengantar Hukum Intemasional”, Bagian I, Bina Cipta,
Bandung, 1986.
3
Secara khusus dinyatakan bahwa "menurut hukum perang, pemberontak dapat
memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa (belligerent) dalam
keadaan-keadaan tertentu". Keadaan tertentu yang dimaksud disini adalah adanya
perkembangan baru yang walaupun mirip dengan pengakuan status pihak yang
bersengketa dalam perang; namun memil iki cirici ri yang khas, yakni pengakuan
terhadap gerakan gerakan pembebasan seperti Gerakan Pembebasan Palestina atau yang
dikenal dengan Palestine Liberation Movement (PLO). Selanjutnya ditegaskan bahwa
kelainan itu disebabkan karena adanya pengakuan gerakan pembebasan demikian
merupakan penjelmaan dari suatu konsepsi. baru yang terutama dianut oleh negara-
negara dunia ketiga, yang didasarkan atas pengertian bahwa "bangsa-bangsa (peoples)
dianggap mempunyai hak asasi seperti (a). Hak untuk menentukan nasib sendiri; (b)
Hak untuk secara bebas memilih sistem ekonomi, politik dan sosial sendiri; (c). Hak
untuk menguasai sumber kekayaan alam dari wilayah yang ditempatinya. Namun,
walaupun demikian, Mochtar menegaskan bahwa pada prinsipnya, konsepsi tersebut -
sebagai konsekuensi dari perjuangan anti-kolonialisme dapat diterima bahkan patut
mendapat dukungan sepenuhnya; walau sulit diterima jika semua bangsa di dunia telah
menjelma menjadi negara-negara yang merdeka. Karena apabila diterapkan demikian
secara terlalu bebas tanpa ukuran-ukuran yang obyektif-antara lain dengan menentukan
secara obyektif apa yang dimaksudkan dengan bangsamaka konsep tersebut, walaupun
pada dasarnya bermaksud baik, bisa mempunyai pengaruh yang mengganggu stabilitas
masyarakat internasional karena dapat dipakai oleh segolongan kecil di dalam suatu
bangsa yang belum tentu mempunyai alasan-alasan yang sah untuk melakukan gerakan-
gerakan separatis.3
3
Ibid., him. 103-104.
4
Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer (Bandung:
Refika Aditama, 2006), hlm.125
4
Pengakuan atau penerimaan atas eksistensi kaum pemberontak dalam suatu
negara seringkali didasarkan atas pertimbangan politik subjektif dari negara-negara
yang memberikan pengakuan. Misalnya jika kaum pemberontak dalam suatu negara
memiliki aspirasi politik yang sesuai dengan negara yang mengakui itu; atau jika
negara yang mengakui itu tidak bersahabat dengan pemerintah negara dimana
pemberontakan terjadi maka negara itu memberikan dukungan dan pengakuannya
kepada kaum pemberontak. Sama halnya dengan organisasi pembebasan atau bangsa
yang sedang berjuang.Suatu kelompok dalam suatu negara dapat dikatakan sebagai
kaum belligerency dengan memenuhi kriteria tertentu kriteria atau ukuran ini muncul
karena pemberontakan bersenjata yang terjadi dalam suatu negara memiliki tingkatan
kekuatan yang berbeda-beda. hukum internasional tidak memiliki pengaturan dan sudah
dapat dipastikan serta tidak dapat diharapkan akan muncul kaidah-kaidah hukum
internasional positif dalam bentuk Konvensi atau hukum kebiasaan internasional secara
baku akan menetapkan pengaturan mengenai belligerency. Penentuan diakui atau
tidaknya suatu kaum pemberontak bersenjata sangat bergantung pada pertimbangan
politik dari negara-negara yang hendak memberikan pengakuan atau dukungan itu
sendiri5
4
I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Mandar Maju,1990), hlm.
85.
6
Bima Putra Ari Wijaya, “Insurgency and Belligerency”, Semarang, 2013, hlm. 25.
7
Ibid, hlm. 26
5
insurgensi berkembang meliputi wilayah yang semakin luas dan menunjukkan
kecenderungan pengorganisasian yang semakin teratur dan telah menduduki beberapa
wilayah negara secara efektif, maka hal ini menunjukkan bahwa pihak pemberontak
telah berkuasa secara de facto atas beberapa wilayah. 8 Apabila tahap pemberontakan
yang terdapat di dalam suatu negara telah mencapai tahap belligerent, memungkinkan
adanya negara lain yang mengakui kedudukan pemberontak. Pemberontakan yang telah
dianggap memiliki kapasitas untuk memunculkan konflik, menjadikan beberapa negara
mengakui keeksistensiannya, didasarkan pada munculnya pemberontak sebagai dasar
mereka untuk berdiri sendiri seiring dengan kehendak sendiri. 9 Namun dalam
pengertian lain, apabila suatu negara memberikan pengakuan terhadap pemberontak
sebagai belligerent, sementara pemberontak tersebut sebenarnya tidak memenuhi
persyaratan, maka pengakuan negara asing tersebut dapat dianggap sebagai campur
tangan terhadap suatu negara yang sedang menangani pemberontakan di dalam
wilayahnya, dan hal tersebut merupakan bentuk pelanggaran hukum internasional. 10
Belligerent sendiri diatur dalam konvensi jenewa Pasal 43 Protokol Tambahan I Tahun
1977.
8
Bima Ari Putri Wijata, Op.Cit., hlm 27.
9
Bima Ari Putri Wijata, Op.Cit., hal 30.
10
Bima Ari Putri Wijata, Op.Cit., hal 32.
11
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar (Jakarta: RajaGrafindo, 2010), hlm. 66
6
kaum insurgent berubah menjadi kaum belligerent. Hal ini dilihat dari pengaruh
kelompok tersebut dalam suatu negara yang bersangkutan.
Jika dalam suatu negara terjadi pemberontakan yang telah memecah belah
kesatuan nasional serta efektifitas pemerintahan, maka negara negara ketiga akan
berada dalam posisi yang sulit, terutama untuk melindungi berbagai kepentingannya di
12
negara tersebut. Dalam keadaan inilah sistem pengakuan Belligerency lahir. Menurut
Hukum Internasional, untuk dapat dikategorikan sebagai insurgent maka kelompok
separatis tersebut sudah harus memenuhi kategori sebagai berikut:
1. Kelompok itu telah menguasai bagian wilayah yang cukup dari negara induk.
2. Ada dukungan yang luas dari mayoritas rakyat di wilayah tersebut.
3. Mempunyai kemampuan dan kemauan untuk melaksanakan kewajiban internasional.
Belligerent sendiri, jika kelompok insurgent itu sudah teroganisir dengan baik
dan dalam melakukan perlawanan terhadap pemerintah yang sah sudah sesuai dengan
hukum perang dan sudah memiliki wilayah tertentu yang dikuasainya, tidak perduli
diakui oleh negara induk atau tidak. Perlu diketahui bahwa dalam Konvensi Jenewa IV
tahun 1949 disebutkan dalam Pasal 3, suatu konflik non internasional hanya disebut
party to the conflict (pihak yang bersengketa) dan bukan insurgent ataupun belligerent.
Sedangkan dalam protokol tambahan II tahun 1977, khususnya dalam Pasal 1 Ayat (1)
diberikan nama dissident armed group (pasukan pembangkang) atau other organized
armed group (kelompok bersenjata lainnya) dan bukan dengan istilah insurgent
ataupun belligerent.13 Namun demikian, para sarjana tetap berusaha untuk merumuskan
dan menetapkan Kriteria-kriteria objektif yang harus dipenuhi oleh kaum pemberontak
agar dapat dikategorikan sebagai kaum belligerency. Walaupun kriteria ini telah Cukup
12
Boer Mauna, Hukum Internasional Pengertian,Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global( Bandung: Alumni,2003 ), hlm.79.
13
Sumaryo Suryokusumo, Pengantar Hukum Internasional (Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum
Internasional Untuk Lingkungan Terbatas), (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Pancasila,
2015), hlm. 34.
7
jelas, namun penerapannya tidaklah mudah. Hal ini karena faktor politik jauh lebih
dominan daripada kriteria objektif yang telah dirumuskan. Kriteria-keriteria yang harus
dipenuhi tersebut adalah: 14
1. kaum pemberontak harus telah terorganisasi secara rapi dan teratur di bawah
kepemimpinan yang jelas.
2. kaum pemberontak harus menggunakan tanda pengenal yang jelas untuk
menunjukkan identitasnya.
3. kaum pemberontak harus sudah menguasai sebagian wilayah secara efektif sehingga
jelas bahwa wilayah tersebut telah berada di bawah kekuasaannya.
4. kaum pemberontak harus mendapatkan dukungan dari rakyat di wilayah yang telah
didudukinya tersebut.
Menurut Oppenheim-Lauterpacht, sejumlah persyaratan harus dipenuhi sebelum
suatu belligerency mendapatakan pengakuan. Syarat-syarat tersebut adalah :15
1. perang sipil yang telah terjadi, kemudian berkembang menjadi perang terbuka.
2. Telah ada pendudukan atas wilayah-wilayah tertentu serta penyelenggaraan dan
pengaturan atas wilayah tersebut
3. pihak pemberontak tersebut berada di bawah pimpinan dan menaati hukum-hukum
perang
4. terdapat negara ketiga yang telah menyatakan sikapnya terhadap perang sipil
tersebut
2.4 Apakah kelompok teroris dapat dikategorikan sebagai subjek dari hukum
internasional yaitu belligerent?
Terorisme merupakan bentuk representasi pihak pihak yang bergejolak dan
menentang suatu kedaulatan didalam pemerintahan yang sah. Aksi terorisme ini tidak
dapat dibenarkan sebab mereka menggunakan kekerasan dalam melakukan aksinya.
Selain itu terkadang mereka mengatasnamakan agama untuk mencapai misinya tersebut
14
I Wayan Parthiana, Op. Cit., hlm 87.
15
Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, ed. revisi, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), cet. 3, hlm. 94.
8
kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap
orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat masal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau
mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis
atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional”. Sedangkan teror
sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “Usaha untuk
menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan
tertentu”.16 Terorisme biasanya digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat
ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata
psikologis untuk menciptakan suasana panik tidak menentu serta menciptakan tidak
percayanya masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat
atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror. Terorisme tidak
ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan di mana
saja dan terhadap siapa saja, serta yang lebih utama maksud yang ingin disampaikan
oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus
atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war. 17
Teroris merupakan “aktor baru” dalam
konflik bersenjata. Kedudukannya masih belum sepenuhnya dapat diidentifikasi
sebagai salah satu pihak yang telah ada dalam konflik bersenjata. Karena sifat,ciri,dan
karakteristik yang dimiliki teroris tidak memenuhi kriteria manapun ketika dia sudah
mengangkat senjata dan terlibat langsung dalam konflik bersenjata. Teroris tidak dapat
dikategorikan sebagai aktor non negara tidak terlegitimasi dalam hukum internasional.
Teroris merupakan aktor yang tidak diakui keberadaannya didunia dan membawa
dampak negatif karena tujuannya yang bersebrangan dengan kepentingan suatu negara.
Teroris dapat dianggap sebagai pemberontak yang tidak sah (unlawful belligerent)
ketika mereka turut serta secara langsung dalam peperangan. Untuk menjawab
pertanyaan mengenai status teroris, status unlawful belligerent dirasa lebih tepat
diberikan kepada teroris dibandingkan bukan pemberontak. Teroris tidak memenuhi
persyaratan sebagai belligerent yang sah menurut Pasal 43 Protokol Tambahan I Tahun
1977 sehingga istilah unlawful belligerent lebih tepat untuk menjawab mengenai status
16
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2008, hlm 1371.
17
Abdul Wahid dan Muhammad Imam Sidiq, Kejahatan Terorisme – Perspektif Agama,
Ham, dan Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, hlm. 9.
9
teroris tersebut. Michael Hoffman berpendapat bahwa status unlawful belligerent lebih
tepat karena status teroris tersebut bisa berubah menjadi lawful belligerent atau
pemberontak yang sah ketika teroris yang bersangkutan mau dan memenuhi kriteria-
kriteria untuk dapat dikatakan sebagai belligerent seperti yang disebutkan dalam Pasal
43 Protokol Tambahan I Tahun 1977. Pada dasarnya unlawful belligerent memang
merupakan bagian dari unlawful combatant. Namun apabila mencermati karakteristik
teroris secara mendalam, istilah unlawful belligerent lebih cocok daripada unlawfull
combatant. Perbedaan antara keduanya terletak pada waktu serta obyek sasarannya.
Jika unlawful combatant lebih sering digunakan saat konflik bersenjata secara langsung
dan berkelanjutan dan sasarannya adalah obyek-obyek militer yang sah, namun
unlawful combatant digunakan kepada teroris yang pada umumnya bertindak pada
masa damai dan sasarannya adalah penduduk sipil serta situs atau bangunan yang
dilindungi oleh hukum humaniter internasional (Roland Otto, 2011: 330).
10
pertempuran, maka status hukumnya menjadi pemberontak yang tidak sah (Unlawfull
Belligerent).18
18
Fatoni,Ivan Purnomo dan Rahayu, Sri Lestari. Juni 2016. “STATUS TERORIS DALAM
WAR ON TERROR (KAJIAN BERDASARKAN HUKUM HUMANITER
INTERNASIONAL)”. Belli ac Pacis. Vol. 2, No. 1,
https://jurnal.uns.ac.id/belli/article/view/27440. 15 Desember 2020
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kaum
pemberontak (Belligerent) diakui sebagai subjek hukum internasional karena mereka
tetap memiliki hak sebagai pihak yang bersengketa, selain itu mereka memiliki
pengaturan hukum yang cukup dan susunan organisasinya pun terstruktur dan
sistematis maka dari itu belligerent dapat diakui sebagai salah satu dari subjek hukum
internasional. Permasalahan mengenai teroris, menurut hukum humaniter internasional
teroris dapat dianggap sebagai penduduk sipil sepanjang tidak terlibat dalam
pertempuran. Jika teroris tersebut terlibat dalam pertempuran, maka status hukumnya
menjadi pemberontak yang tidak sah (Unlawfull Belligerent).
3.2 Saran
Permasalahan mengenai status teroris masuk kelompok belligerent yang diakui
sebagai subjek hukum internasional alangkah baiknya dapat dilihat dari berbagai sisi,
sebab banyaknya organisasi pemberontak yang tidak dapat dikategorikan sebagai kaum
belligerent namun memiliki kedudukan yang kuat yang dapat mengancam sebuah
kedaulatan, maka dari itu penulis membutuhkan referensi lebih mendalam terkait status
terrorisme. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu penulis akan berusaha untuk terus memperbaiki makalah dengan
berpedoman sumber sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari itu penulis
sangat membutuhkan Kritik dan saran yang membangun dari para pembaca.
12
Daftar Pustaka
Adolf, H. (2002). Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, ed. revisi. Jakarta: Raja
Grafindo.
Nasional, D. P. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Pendidikan Nasional, D. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Wahid, A. d. (2004). Kejahatan Terorisme – Perspektif Agama, Ham, dan Hukum. Bandung:
PT. Refika Aditama.
13