OLEH :
KHAIRUL RASYID
18201102010043
BAB I
SEJARAH HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Pada umumnya pengertian dari Hukum Perdata Internasional adalah seperangkat kaidah-
kaidah, asas-asas, dan aturan-aturan hukum nasional yang dibuat untuk mengatur peristiwa atau
hubungan hukum yang mengandung unsur-unsur transnasional (unsur-unsur ekstrateritorial).
Sejarah Perkembangan Hukum Perdata Internasional dibagi menjadi lima tahapan yang
akan dijelaskan sebagai berikut :
2
2. Tahap Kedua ( Masa Pertumbuhan Asas Personal Hukum Perdata Internasional
Abad ke-6 sampai 10 )
Pada masa ini kekaisaran romawi ditaklukan oleh orang “barbar” dan wilayah bekas
provinsi-provinsi jajahan romawi, dan akibatnya ius civile pada masa kekaisaran romawi tidak
berguna.
Pada masa ini tumbuh dan berkembang beberapa prinsip atau asas genealogis, yaitu :
1.Asas umum yang menetapkan bahwa dalam setiap proses penyelesaian sengketa hukum, hukum
yang digunakan adalah hukum dari pihak tergugat.
2.Penetapan kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seseorang harus dilakukan berdasarkan
hukum perssonal dari masing-masing pihak.
3.Proses pewarisan harus dilangsungkan berdasarkan hukum personal dari pihak pewaris.
4.Peralihan hak milik atas benda harus dilaksanakan sesuai dengan hukum personal pihak
transferor.
5.Penyelesaian perkara tentang perbuatan melanggar hukum harus dilakukan berdasarkan hukum
personal dari pihak pelaku perbuatan yang melanggar hukum.
6.Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum dari piahak suami.
a. Hukum suatu negara hanya berlaku dalam batas-batas teritorial negara itu
b. Semua orang atau subjek hukum secara tetap atau sementara berada didalam
teritorial wilayah suatu negara berdaulat.
c. Berdasarkan prinsip sopan santun antarnegara, hukum yang belaku dinegara
asalnya tetap memilikikekuatan berlaku dimana-mana, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan subjek hukum dari negara pemberin pengakuan.
Menurut Johannes Voet, ia menjelaskan kembali ajaran comitas gentium, yaitu :
1. Savigny mencoba menggunakan konsepsi “legal seat” itu dengan berasumsi bahwa
“untuk setiap jenis hubungan hukum, dapat ditentukan legal seat/tempat kedudukan
hukumnya” dengan melihat hakikat dari hubungan tersebut.
2. Jika orang hendak menetukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku dalam suatu
perkara yang terbit dari suatu hubungan hukum
3. Savigny beranggapan bahwa legal seat itu harus ditetapkan terlebih dahulu dan caranya
adalah dengan melokalisasi tempat kedudukan hukum dari hubungan hukum itu melalui
bantuanm titik-titik taut.
4. Jika tempat kedudukan hukum dari suatu jenis hubungan hukum telah dapat ditentukan,
sistem hukum dari tempat itulah yang akan digunakan sebagai lex causae.
5. Setelah tempat kedudukan hukum itu dapat selalu dilokalisasi, melalui penerapan titik-
titik taut yang sama pada hubungan hukum yang sejenis.
6. Asas hukum itulah yang menjadi asas Hukum Perdata Internasional yang menurut
pendekatan tradisional mengandung titik taut penentu yang harus digunakan dalam
rangka menentukan lex causae.
7. Menggunakan sebuah asas HPI yang bersifat tetap untuk menyelesaikan berbagai perkara
HPI .
3
BAB II
PENGERTIAN HPI
Perbedaan antara Hukum Internasional dalam pengertian publik dengan Hukum Perdata
Internasional bukanlah ditinjau dari unsur perbedaan subyeknya dengan menyatakan bahwa
subyek hukum Internasional Publik adalah negara sedangkan subyek hukum Internasional
Perdata adalah individu. Dalam perkembangannya perbedaan semacam ini tidak dapat
dipertanggungjawabkan sebab antara keduannya dapat memiliki subyek hukum negara ataupun
individu.
Oleh karena itu yang paling tepat adalah dengan meninjau urusan yang diatur oleh
keduanya, jika mengatur urusan yang bersifat publik maka disebut sebagai Hukum Internasional
Publik tetapi jika mengatur urusan yang bersifat perdata disebut sebagai Hukum Internasional
Perdata. Sedangkan Persamaan antara Hukum Internasional Publik dengan Hukum Perdata
Internasional adalah bahwa urusan yang diatur oleh kedua perangkat hukum ini adalah sama –
sama melewati batas wilayah suatu negara.
Kalau dilihat dalam Pengertiannya sebagai berikut :
HI Publik (HI) : “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur hubungan atau
persoalan yang melintasi batas- batas negara yang bukan bersifat perdata”. Hukum
Perdata Internasional : “keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas yang mengatur
hubungan atau persoalan yang melintasi batas- batas negara yang berfat perdata” 4[4]
Persamaan : Keduanya mengatur hubungan-hubungan atau persoalan yang melintasi
batas-batas negara.
Perbedaan keduanya terletak pada : sifat hubungna/ persoalan dan obyek yang diaturnya.
Cara membedakan berdasarkan sifat dan obyeknya adalah tepat, dari pada membedakan
berdasarkan pelaku-pelaku (subyeknya), yaitu dengan mengatakan HI Publik mengatur
hubungan atara negara, sedangkan H Perdata Internasional mengatur hubungan orang-perorang.
Hal tersebut dikarenakan :
a. Negara dapat saja menjadi subyek Hukum perdata Internasional, dan perorangan dapat
saja menjadi subyek HI.
4
b. Batasan yang bersifat negatif lebih tepat karena ukuran publik memang sering kali sukar
dicari bats-batasnya.
c. Dewasa ini persoalan Internasional tidak semuannya merupakan persoalan antar negara;
persoalan perseoranga dapat dikatakan persoalan negara (pelanggaran pidana Konvensi
Jenewa 1949).
d. Persoalan yang menyangkut “perseorangan” yang demikian tidak dapat dimasukkan
dalam bidang Tata Usaha Negara atau Pidana Internasional, dan bukan merupakan
persoalan perdata Internasional.
Istilah HPI diperkenalkan oleh Prof. Sudargo Gautama (Gouw Giok Siong) tahun
1972/1973 di Cipanas dalam konsorsium ilmu hukum. Dalam bukunya Pengantar Hukum
Perdata Internasional, Prof.Sudargo Gautama mendefinisikan HPI sebagai :
“…keseluruhan peraturan dan keputusan hukum yang menunjukkan stelsel hukum
manakah yang berlaku, atau apakah yang merupakan antar warga (-warga) negara pada suatu
waktu tertentu memperliuhatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum
dari 2 (dua) atau lebih negara, yang berbeda dalam lingkungan kuasa, tempat, pribadi dan soal-
soal.”
Sedangkan Prof.Sunaryati hartono mengatakan bahwa :
Inti dari HPI adalah pergaulan hidup masyarakat internasional. Oleh sebab itu, ia lebih
condong untuk menanamkan Hukum Perdata Internasional sebagai “Hukum Pergaulan
Internasional”, sebab bukan sifat perdatanya atau pun sifat internasionalnya yang menentukan
kaedah-kaedah hukum Perdata Internasional, akan tetapi pergaulan Internasionallah (jadi,
hubungan-hubungan internasional) yang menentukan corak kaedah-kaedah Hukum Perdata
Internasional.
Terlepas dari perbedaan-perbedaan penekanan yang mungkin tampak dalam pendapat-
pendapat yang dikemukakan di atas, pada umumnya diterima pandangan bahwa :
Hukum Perdata internasional adalah seperangkat kaidah hukum nasional yang mengatur
peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung unsur-unsur transnasional (atau unsur-unsur
ekstrateritorial). 5[5]
5
Istilah HPI juga berbeda ditiap-tiap Negara, HPI di Negara Inggris dikenal dengan
International Private law, sedangkan di Negara Denmark HPI disebut dengan International
private Recht.
Dengan adanya perbedaan – p[erbedaan tersebut maka muncullah sebuah konsep hokum
antar tata hokum ( HATAH ) yang terbagi atas :
1. HATAH Intern, berlakunya dua sistem hukum dalam sutu negara tanpa hukum asing. Contohnya
meliputi Hukum Antar Wewenang, Hukum Antar Tempat, Hukum Antar Golongan dan hukum
Antar Agama (dulunya).
2. HATAH Ekstern, melibatkan dua sistem hukum dalam suatu negara dan salah satunya sistem
hukum asing.
Dengan adanya HATAH tersebut maka HPI tersangkut 2 teori yakni :
1. Lingkungan kuasa hukum (gabied leer) teori dari Hans Kelsen dan dikembangkan oleh
Longemann.
2. Titik Taut Primer, point of contact/Aanknopping punten.
Dari kedua kontradiksi istilah HPI Indonesia dimana Perdata Internasional menunjuk
pada hukum perdata, bukan hukum publik (internasionalnya), sementara Indonesia menunjuk
pada nasional (Indonesia), bukan Internasional. Hal ini menimbulkan dua aliran dalam HPI, yaitu
:
1. Internasionalistis
Aliran pertama berisi dikehendakinya HPI sebagai sistem hukum yang supra-nasional.
Artinya hanya ada satu HPI yang berlaku untuk seluruh dunia. Aliran ini hapus karena dua
alasan, yaitu :
1. Dengan adanya lembaga PBB yang mengakui tiap-tiap negara punya HPInya sendiri-sendiri,
tergantung jumlah negara merdeka yang ada.
2. Dilihat dari segi teoritis yaitu masalah perbedaan ‘status personil seseorang’ dihadapan
hukum, yang dapat digolongkan menjadi 2 yaitu :
- Nasionalitas (kewarganegaraan)
Contohnya indonesia menganut nasionalitas dengan dasr hukum pasal 16 AB.
- Tempat tinggal (domisili)
Contohnya Inggris dan Amerika
2. Nasionalistis
Yaitu tiap negara mempunyai HPInya sendiri-sendiri. Misal Sumber hokum tertulis yaitu
Perundang-undangan, traktat, Tidak Tertulis : Kebiasaan, Yurisprudensi, Doktrin.
Contoh traktat yaitu traktat Den Haag 1902 dan 1905 tentang perkawinan campuran
internasional berlaku hukum calon suami, tetapi dengan UU nomor 12 tahun 2007 prinsip ini
berubah dimana anak mempunyai dwikewarganegaraan sampai usia 18 tahun.
Sumber hukum tertulis HPI Indonesia hanya pasal 16 AB, 17 AB, 18 AB, yaitu :
Pasal 16 AB : tentang status dan wewenang seseorang. Dalam hal ini berlaku hukum nasional
warga negara yang bersangkutan (asas lex patriae). Pasal 16 AB harus dianalogikan terhadap
orang asing dimana harus dinilai. Misalnya perkawinan harus berlaku hukum nasionalnya
sendiri. Pasal ini erat hubungannya dengan traktat Den Haag 1902 tentang kawin campur
internasional (yang berlaku hukum si suami).
Pasal 17 AB : tentang benda-benda tetap atau tidak bergerak (lex resitae) berlaku hukum dari
negara dimana benda itu bergerak. Contonya isteri dari pegawai pertamina tang menyimpan surat
berharga di Singapore-pasal 17.
Pasal 18 AB : tentang cara atau tindakan hukum/perbuatan hukum-hukum yang berlaku adlah
hukum dari negara dimana cara dilakukan (asasnya bernamalocus regit actum). Contohnya surat
wasiat, i\orang sakit minta berobat.
Dalam menemukan hukum, hakim harus memperhatikan cara-cara sarjana hukum terutama
HPI dalam menyelesaikan perkara, pendapat penulis dan yurisprudensi asing. Selain asas-asas
umum yang merupakan tradisi Sarjana Hukum HPI, sehingga putusannya benar-benar putusan
yang hidup (living law). Menurut pasal 22 AB, hakim akan dituntut jika menolak mengadili
karena tidak adanya peraturan. Hal ini karena sering terjadi kekosongan hukum dalam masalah
HPI, sehingga sumber hukum tidak tertulis menjadi sangat penting.
BAB III
STATUS PERSONIL, RENVOI dan KWALIFIKASI
3.3. KWALIFIKASI.
Dalam HPI, masalah kwalifikasi masalah hukum ini ditangani secara lebih khusus,
karena dalam perkara-perkara HPI orang selalu berurusan dengan kemungkinan berlakunya lebih
dari satu sistem atau aturan hukum dari dua negara yang berbeda untuk mengatur sekumpulan
fakta tertentu.
Kwalifikasi sebenarnya adalah melakukan “translation” atau “penyalinan” daripada fakta-
fakta sehari-hari dalam istilah-istilah hukum.
Ada sistim-sistim HPI yang meletakkan titikberat pada tempat di mana dikirimkan
penerimaan penawaran yang telah di adakan.
Dalam garis besar terdapat tigamacam kwalifikasi :
a. Kwalifikasi menurut lexfori ( hukum hakim). Menurut pendirian ini kwalifikasi harus
dilakukan menurut hukum materil sang hakim.
b. Kwalifikasi menurut lex causae (hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan
persoalan HPI bersangkutan). Menurut pandangan ini, maka kwalifikasi dilakukan
menurut sistem hukum darimana pengertian ini berasal.
c. Kwalifikasi secara otonom, berdasarkan “comparative method” atau “analytical
jurisprudence”. Kwalifikasi dilakukan secara otonom, terlepas dari salah satu sistem
hukum tertentu.
Kwalifikasi dibedakan menjadi dua ,yaitu :
1. Kwalifikasi Primer adalah kwalifikasi yang diperlukan untuk dapat menentukan hukum yang
harus dipergunakan.
2. Kwalifikasi Sekunder adalah apabila sudah diketahui hukum asing manakah yang harus
dipergunakan, maka perlu dilakukan kwalifikasi lebih jauh menurut hukum asing tersebut
DAFTAR PUSTAKA
Bayu Seto, Dasar-dasar hukum perdata Internasional, Bandung : PT Citra Aditya bakti, 2001.
Hardjowohono, Bayu Seto.2006. Dasar-dasar Hukum Perdata Internasional.Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti.
Mochtar Kusumaatmaja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Bandung : PT
Alumni, 2003
Undang-Undang:
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.