1
Dalam istilah Hukum Perdata Internasional Indonesia, dimana istilah perdata
internasional menunjukkan pada hukum perdata, bukan hukum publik
(internasionalnya). Sementara itu kata Indonesia menunjuk kepada nasional
(Indonesia), bukan internasionalnya. Hal ini menimbulkan perselisihan antara ahli hukum
yang akhirnya menimbulkan dua aliran besar dalam HPI yakni, Internasionalistis dan
Nasionalistis. Menurut pendapat Sudargo Gautama bahwa, aliran internasionalistis
adalah aliran yang hendak menganggap bahwa kaidah-kaidah HPI itu sebenarnya
bersifat supra nasional .3[3]
Dilihat dari segi teoristis, yaitu masalah perbedaan status personil seseorang
dihadapan hukum. Dapat digolongkan menjadi prinsip nasionalitas (kewarganegaraan)
dan prinsip domisili (tempat tinggal). Bagi yang pro-nasionalitas mengatakan system
nasionalitas lebih baik dari system domisili. Tapi orang yang menganut system domisili,
tidak akan membenarkan hal itu. Sebaliknya, orang yang menganut system domisili
mengatakan system domisili adalah yang paling baik. Jadi, penganut-penganut dari
masing-masing prinsip ini tidak dapat meyakinkan yang satu kepada yang lain bahwa
system yang dianutnya adalah yang paling baik.4[4] Untuk Indonesia sendiri menganut
system nasionalitas (kewarganegaraan) dasar hukumnya adalah pasal 16 AB.
B. Definisi HPI
Sangat sulit untuk menemukan suatu perumusan definisi HPI, karena setiap ahli
memiliki batasan masisng-masing yang berbeda. Agar dapat memperoleh gambaran yang
lebih utuh mengenai pengertian, ruang lingkup serta persoalan utama HPI , maka perlu
diperhatikan beberapa pendapat ahli di bawah ini:
2
pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih Negara,
yangt berbeda dengan lingkungan-lingkungan kuasa tempat, (pribadi) dan soal-soal.5[5]
Prof. R.H. Groveson dalam bukunya, Conflict of laws - Private international law,
berpendapat bahwa:
Conflict of law atau hukum perdata internasional adalah bidang hukum yang
berkenaan dengan perkara-perkara yang dalamnya mengandung fakta relevan yang
menunjukkan perkaitan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena aspek territorial
maupun karena aspek subyek hukumnya, dan karena itu menimbulkan pertanyaan
tentang penerapan hukum sendiri atau hukum lain (yang biasanya asing), atau masalah
pelaksanaan yuridiksi badan pengadilan sendiri atau badan pengadilan asing.6[6]
3
C. Titik-titik Taut
Titik Taut adalah fakta fakta di dalam suatu perkara yang bisa menentukan tempat
terjadinya perkara tersebut dan hukum mana yang berlaku untuk menyelesaikan perkara
tersebut. Titik Taut sendiri di bedakan menjadi dua macam, yang oleh para ahli di
jabarkan sendiri menjadi beberapa pengertian.
Dalam bukunya, Dr. Bayu Seto Hardjowahono, S.H., LL.M. berpendapat bahwa Titik
Taut juga di bedakan menjadi dua, yaitu :
1. Titik-Titik Taut Primer ( Primary Points Of Contact ) adalah fakta dalam suatu perkara
yang menunjukan unsur asing dan lebih cenderung ke arah hukum Inggris, Italia atau
Prancis yang dapat di kategorikan sebagai titik taut primer karena unsur-unsur ( asing )
ini dilihat dari posisi Jerman sebagai forum yang mengadili perkara.
2. Titik-Titik Taut Sekunder ( Secondary Points Of Contact ) adalah fakta dalam perkara
Hukum Perdata Internasional yang akan membantu penentuan hukum manakah yang
harus diberlakukan dalam penyelesaian persoalan yang sedang di hadapi. Yang disebut
juga titik pertalian penentu karena fungsinya akan menentukan hukum dari tempat
manakah yang akan di gunakan sebagai the aplicable law dalam penyelesaian suatu
perkara.
SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
4
Untuk menyelesaikan sengketa dalam hubungan-hubungan tersebut, dibentuk peradilan
khusus yang disebut Praetor Peregrinis. Yang diberlakukan oleh hakim Praetor
Peregrinis adalah hukum yang dibuat untuk para cives Romawi, yaitu Ius Civile, tetapi
yang telah disesuaikan untuk kebutuhan pergaulan antar bangsa, yang kemudian
berkembang menjadi Ius Gentium.
B. MASA PERTUMBUHAN ASAS PERSONAL HPI (Abad ke-6 s/d Abad ke-10)
Pada akhir abad ke-6 Kekaisaran Romawi ditaklukkan oleh bangsa-bangsa barbar
dari wilayah-wilayah bekas propinsi-propinsi jajahan Romawi. Wilayah bekas jajaran
Romawi diduduki oleh pelbagai suku bangsa yang dibedakan secara genealogis dan
bukan territorial. Masing-masing suku bangsa memberlakukan kaidah-kaidah hukum
5
adat, hukum personal, hukum keluarga serta hukum agama mereka. Dalam
menyelesaikan sengketa antar suku bangsa, ditetapkan terlebih dahulu sistem-sistem
hukum adat mana yang relevan dengan perkara, kemudian baru dipilih hukum mana yang
harus diberlakukan.
Tumbuh beberapa prinsip HPI yang dibuat atas dasar asas Genealogis :
a. Asas umum yang menetapkan bahwa dalam setiap proses penyelesaian hukum, maka
hukum yang digunakan adalah hukum dari pihak tergugat;
b. Penetapan kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seseorang harus dilakukan
berdasarkan hukum personal dari masing-masing pihak;
c. Proses pewarisan harus dilangsungkan berdasarkan hukum personal dari pihak pewaris;
d. Peralihan hak atas benda harus dilaksanakan sesuai dengan hukum dari pihak transferor;
e. Penyelesaian perkara tentang Perbuatan Melawan Hukum harus dilakukan berdasarkan
hukum dari pihak pelaku perbuatan yang melanggar hukum;
f. Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum dari pihak suami.
6
Dengan system hukum lokalnya sendiri yang berbeda dari kota ke kota, dam juga berbeda
dari hukum Romawi yangberlaku secara umum di seluruh Italia.
Asas-asas hukum yang digunakan untuk menjawab perkara-perkara hukum
perselisihan antara kota inilah yang dianggap sebagai pemicu tumbuhnya teori HPI yang
penting, yang dikenal dengan sebutan teori Statuta.
Pemasalahannya :
Sejauh mana putusan hukum atau hakim Florence memiliki daya berlaku di Bologna ?
Sejauh mana perjanjian jual beli tersebut dapat dilaksanakan di Bologna ?
Catatan :
Tindakan menyempurnakan Corpus Iuris sebagai kodifikasi yang berlaku di
seluruh Italia untuk digunakan dalam mengembangkan statuta-statuta intern kota-kota
diwujudkan melalui perumusan tafsiran-tafsiran baru dan pembuatan catatan-catatan
tentang interprestasi terhadap Corpus Iuris yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-
masing kota. Dilakukan oleh Kelompok Glossators, yang lebih banyak difokuskan pada
penyempurnaan kaidah-kaidah hukum intern kota, tidak banyak memberikan sumbangsih
pada perkembangan HPI.
Di abad ke-14 s/d abad ke-15 penafsiran dan penyempurnaan terhadap kaidah2
hukum di dalam Corpus Iuris dilakuakn khusus untuk membangun asas-asas hukum yang
dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan hukum perselisihan (antarkota).
Dilakukan oleh kelompok Post Glossators, dengan memusatkan perhatian pada
upaya mencari dasar hukum baru untuk menyelesaikan persoalan2 hukum yang
melibatkan kewenangan hukum dari 2 atau lebih kota. Terhadap perkembangan HPI dan
pemikiran kelompok inilah muncul teori statuta.
7
A. Dasar2 Teori Statuta
Tumbuhnya teori statuta diawali oleh seorang tokoh Post Glassator : Accursius
yang mengatakan:
Bila seseorang yang berasa dari kota tertentu di Italia, digugat di sebuah kota lain,
maka ia tidak dapat dituntut berdasarkan hukum dari kota lain itu, karena ia bukan
subjek hukum dari kota lain itu.
Gagasan Accursius menarik perhatian Bartolus de Sassoferato (Bapak HPI). Bartolus
mencetuskan Teori Statuta, yang dianggap sebagai teori pertama yang mendekati
persoalan-persoalan hukum perselisihan secara metodik dan sistematik.
Upaya yang dilakukan oleh Bartolus :
a. Mengembangkan asas2 yang dapat digunakan secara praktis untuk mementukan wilayah
berlaku dari setiap aturan hukum yang berlaku di sebuah kota di Italia.
b. Mengklasifikasi tentang jenis-jenis hubungan atau persoalan hukum apa saja yang
mungkin dimasukkan ke dalam lingkup berlaku statuta2 sebuah kota.
c. Menyimpulkan apakah statuta dari sebuah kota di Italia :
Dapat diberlakukan juga bagi orang2 yang bukan warga kota yang bersangkutan ?
Dapat memiliki daya berlaku juga di wilayah kota yang bersangkutan (ekstra-
teritorialitas)?
Kesimpulan Teori Statuta :
1. Statuta-statuta suatu kota dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok :
a. Statuta Personalia
Statuta-statuta yang berkenaan dengan kedudukan hukum atau status personal orang.
b. Statuta Realia
Statuta-statuta yang berkenaan dengan status benda.
c. Statuta Mixta
Statuta-statuta yang berkenaan dengan perbuatan-perbuatan hukum.
2. Setiap jenis statuta dapat ditentukan ruang lingkup atau wilayah berlakunya
secara tepat, yaitu :
a. Statuta Personalia
8
Objek pengaturan : orang dalam persoalan-persoalan hukum yang menyangkut pribadi
dan keluarga.
Lingkup berlaku : ekstra-teritorial, berlaku juga di luar wilayah.
Statuta personalia hanya berlaku terhadap warga kota yang berkediaman tetap di
wilayah kota yang bersangkutan, namun statuta ini akan tetap melekat dan berlaku atas
mereka, diamana pun mereka berada.
b. Statuta Realia
Objek pengaturan : benda dan status hukum dari benda.
Lingkup berlaku : prinsip territorial, hanya berlaku di dalam wilayah kota kekuasaan
penguasa.
Statuta ini akan tetap berlaku terhadap siapa saja (warga kota ataupuan pendatang
/ orang asing) yang berada dalam teritorial yang bersangkutan.
c. Statuta Mixta
Ojek pengaturan : perbuatan-perbuatan hukum oleh subjek hukum atau perbuatan-
perbuatan hukum terhadap benda-benda.
Lingkup berlaku : prinsip teritorial, berlaku atas semua perbuatan hukum yang terjadi
atau dilangsungkan dalam wilayah pengusaan kota.
Statuta ini berlaku terhadap siapa saja (warga kota ataupun pendatang / orang
asing) yang berada di wilayah kota yang bersangkutan.
9
Sequntuur Personam, yaitu mengenai benda-benda bergerak maka hukum yang mengatur
adalah hukum dari tempat pemilik benda bergerak tersebut.
Status orang / badan hukum, maka lex cause yang harus digunakan adalah hukum dari
tempat dimana orang atau subjek hukum itu berkediaman tetap (lex domicili) (atau
berkewarganegaraan / Lex patriae).
Status perbuatan-perbuatan hukum, maka lex cause-nya adalah hukum dari tempat
dimana perbuatan itu dijalankan (lex loci actus
Contoh :
A berasal dari kota Milan, berdasarkan statuta Milan melakukan transaksi jual beli dengan
B dari Venesia. Objek jual beli adalah sebidang tanah di kota Roma. Bila timbul perkara
tentang status pemilikan tanah di Roma tersebut, bagaimana penyelesaiakn menurut teori
statuta?
Perkara akan dikualifikasi sebagai perkara realia, perkara ini harus diselesaikan
berdasarkan hukum tanah Roma.
C adalah warga yang berkediaman tetap di kota Genoa. Di kota ini, C dianggap sebagai
orang yang sudah mampu melakukan perbuatan hukum secara mandiri. Namun dimikian
di kota Florence, karena kaidah-kaidah hukum yang berbeda, C dianggap belum mampu
melakukan perbuatan hukum sendiri. Seandainya pekara ini dipersoalkan di Pengadilan
Florence, maka bagaimana penyelesaian berdasarkan teori statuta ?
Perkara akan dikualifikasi sebagai perkara Personalia, dan status personal C akan
ditentukan berdasarkan hukum Genoa sebagai Lex Cause.
D adalah warga kota Turin. Ketika ia berada di kota Pisa, ia telah melakukan perbuatan
yang merugikan E, seorang warga Pisa, dan E kemudian menuntut ganti kerugian dari D
di pengadilan Pisa. Apabila perkara diajukan di Pengadilan Pisa, maka bagaimana
penyelesaiannya berdasarkan teori statuta ?
Perkara akan dikualifikasi sebagai perkara mixta, dan pengadilan Pisa akan menetapkan
apakah D telah melakukan perbuatan melawan hukum dan E berhak atas ganti kerugian
berdasarkan hukum Pisa sebagai hukum dari tempat dimana perbuatan dilaksanakan.
Kelemahan :
10
Upaya untuk menetapkan dengan tegas perkara-perkara apa yang harus
diklasifikasikan ke dalam kaidah-kaidah realia, personalia atau mixta ternyata tidak
selalu mudah dilaksanakan.
Misal :
Kemampuan hukum seseorang untuk mengalihkan hak milik atas tanah. Apakah
Personalia atau Realia?
Perbuatan hukum yang sasarannya adalah benda tetap. Apakah Realia atau
Mixta ?
Bartolus menjawab kritik semacam ini dengan menggunakan Penafsiran
Gramatikal :
Suatu statuta adalah realia, bila rumusan statuta itu diawali dengan istilah benda
terlebih dahulu, demikian pula suatu statuta adalah personalia, bila perumusannya
diawali dengan penyebutan tentang orang dan subjek hukumnya terlebih dahulu.
b. Cara Penyelesaian
Para ahli hukum Perancis berusaha mendalami dan memodifikasi teori ststuta
Italia dan menerapkannya dalam konflik antarprovinsi di Perancis. Beberapa tokoh yang
dikenal sebagai tokoh teori statuta Perancis adalah :
Dumoulin ( 1500-1566 )
11
DArgentre ( 1523-1603 )
Pendapat Dumoulin
Pandangan Dumoulin ini tumbuh pada masa Renaissance di Eropa, di mana
kebebasan individual menjadi inti dari kehidupan manusia di segala bidang. Kebebasan
individu ini juga merasuk ke dalam pemikiran-pemikiran tentang hukum, khususnya di
bidang hukum perjanjian. Prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract,
contractsvrijheid) yang merupakan salah satu tiang utama dalam hukum perjanjian
modern juga mulai diintrodusir pada masa ini. Menurut Dumoulin, dalam konteks
penetapan hukum yang harus berlaku atas suatu perjanjian, kebebasan individu ini juga
dicerminkan dalam kebebasan para pihak untuk memilih dan menentukan hukum yang
berlaku atas kontrak mereka.
Menurut Dumoulin :
1. Pihak-pihak ( subjek hukum )dalam perjanjian pada dasarnya memiliki kebebasan
berkontrak.
2. Kebebasan berkontrak antara lain, diwujudkan juga dalam kebebasan untuk memilih
hukum apa yang hendak mereka berlakukan dalam kontrak mereka.
3. Kebebasan orang untuk memilih hukum yang berlaku atas perjanjian sebenarnya mirip
dengan persoalan status personal seseorang.
4. Sebagai persoalan status personal, maka kebebasan ini akan melekat terus pada diri
orang-orang yang akan menjadi pihak-pihak dalam perjanjian dimana pun mereka berada
dan membuat perjanjian.
5. Karena itu, perjanjian seyogianya masuk dalam lingkup statute personalia dan memiliki
sifat ekstrateritorial.
6. Jadi Dumoulin sebenarnya memperluas ruang lingkup statuta personalia Bartolus dan
memasukkan perjanjian ke dalamnya.
Pendapat DArgentre
1. DArgentre mengakui bahwa ada beberapa statuta yang benar-benar mengatur tentang
kecakapan seseorang secara yuridis dan masuk ke dalam statuta personalia, tetapi;
2. Banyak statute yang mengatur kedudukan orang (personalia), tetapi dalam kaitannya
dengan hak milik orang itu atas suatu benda (realia), atau;
12
3. Banyak statute yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum (realia atau mixta), tetapi
yang dilakukan di wilayah provinsi tertentu;
4. Statuta-statuta semacam itu (2) dan (3) harus di kategorikan sebagai statuta realia karena
isinya berkaitan erat dengan wilayah provinsi dari penguasa yang memberlakukan statute
itu;
5. Dalam kaitan itu yang harus diutamakan adalah otonomi dari provinsi-provinsi (di
Perancis) dan bukan otonomi subjek hukum (seperti kata Dumoulin) sehingga;
6. Yang dikehendaki oleh DArgentre sebenarnya adalah memperluas ruang lingkup statute
realia dan memasukkan perjanjian-perjanjian dan perbuatan-perbuatan hukum lain ke
dalam lingkup statute realia.
13
Dianggap sebagai perbuatan hukum yang batal menurut hukum setempat, akan dianggap
batal dimana pun, termasuk didalam wilayah Negara forum.
14
Pandangan C.G. Von Wachter
Wachter mengktritik teori statute (italia) yang dianggap menimbulkan
ketidakpastian hukum. Ia menolak adanya sifat ekstrateritorial dan suatu aturan (seperti
statute personalia) karena adanya aturan seperti itu akan menyebabkan timbulnya
kewajiban hukum di Negara asing. Wachter berasumsi bahwa, Hukum intern forum
hanya dibuat untuk dan hanya dapat diterapkan pada kasus-kasus hukum local saja.
Karena itu dalam perkara-perkara HPI, forumlah yang harus menyediakan kaidah-kaidah
HPI atau yang menentukan hukum apa yang harus berlaku.
Elemen penting dari pemikiran Wachter adalah bahwa ia berusaha meninggalkan
klasifikasi ala teori statute dan memusatkan perhatiannya pada penetapan hukum yang
seharusnya berlaku terhadap hubungan hukum tertentu.
15