Anda di halaman 1dari 15

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

DEFINISI HUKUM PERDATA INTERNASIONAL


A. Istilah HPI
Sebelum masuk dalam pengertian hukum perdata internasional, ada baiknya
terlebih dahulu mengulas tentang istilah hukum perdata internasional terlebih dahulu.
Istilah Hukum Perdata Internasional awalnya diperkenalkan pertama kali oleh Gouw
Giok Song atau Sudargo Gautama pada konsorsium ilmu hukum di Cipanas tahun 1972 /
1973. sebelum istilah HPI di perkenalkan dan digunakan, hukum antar tata hukum
bernama Conflict of Laws (Hukum Perselisihan). Menurut Gouw Giok Song, bahwa
istilah hukum perselisihan dalam penggunaannya adalah kurang tepat, karena dalam
istilah hukum perselisihan ada kesan bahwa seolah-olah ada suatu asosiasi konflik
tertentu atau pertentangan tertentu antara sistem-sistem hukum intern. Juga seolah-olah
ada konflik antara dua atau lebih perundang-undangan atau sistem hukum yang berlaku.
Dan seolah-olah ada perlombaan untuk memberikan semacam prioritas.
Maka menurut Gouw Giok Song, Conflict of Laws, Hukum Perselisihan atau
hukum Pertikaian. Istilah ini juga kurang baik dan sebaiknya jangan dipergunakan lagi.
Sebaiknya diganti dengan istilah Hukum Antar Tata Hukum, yaitu suatu istilah yang
diciptakan Gouw Giok Song dengan mengikuti istilah Interlegal Law dari Alf Ross
atau Interrecht Ordenrechtdari Logeman.1[1] Sedangkan menurut Bayu Seto,:
Istilah Hukum Perdata Internasional memang dapat dianggap salah kaprah, karena orang
berusaha untuk menerjemahkan nya dari istilah-istilah asing seperti internasional
privaatrecht (Belanda), internationals privaatrecht (Jerman), private international law
(Inggris), atau droit international prive (Perancis). Istilah-istilah yang banyak berasal dari
tradisi hukum eropa continental ini kemudian diterjemahkan menjadi Hukum Perdata
Internasional.2[2]

1
Dalam istilah Hukum Perdata Internasional Indonesia, dimana istilah perdata
internasional menunjukkan pada hukum perdata, bukan hukum publik
(internasionalnya). Sementara itu kata Indonesia menunjuk kepada nasional
(Indonesia), bukan internasionalnya. Hal ini menimbulkan perselisihan antara ahli hukum
yang akhirnya menimbulkan dua aliran besar dalam HPI yakni, Internasionalistis dan
Nasionalistis. Menurut pendapat Sudargo Gautama bahwa, aliran internasionalistis
adalah aliran yang hendak menganggap bahwa kaidah-kaidah HPI itu sebenarnya
bersifat supra nasional .3[3]
Dilihat dari segi teoristis, yaitu masalah perbedaan status personil seseorang
dihadapan hukum. Dapat digolongkan menjadi prinsip nasionalitas (kewarganegaraan)
dan prinsip domisili (tempat tinggal). Bagi yang pro-nasionalitas mengatakan system
nasionalitas lebih baik dari system domisili. Tapi orang yang menganut system domisili,
tidak akan membenarkan hal itu. Sebaliknya, orang yang menganut system domisili
mengatakan system domisili adalah yang paling baik. Jadi, penganut-penganut dari
masing-masing prinsip ini tidak dapat meyakinkan yang satu kepada yang lain bahwa
system yang dianutnya adalah yang paling baik.4[4] Untuk Indonesia sendiri menganut
system nasionalitas (kewarganegaraan) dasar hukumnya adalah pasal 16 AB.

B. Definisi HPI
Sangat sulit untuk menemukan suatu perumusan definisi HPI, karena setiap ahli
memiliki batasan masisng-masing yang berbeda. Agar dapat memperoleh gambaran yang
lebih utuh mengenai pengertian, ruang lingkup serta persoalan utama HPI , maka perlu
diperhatikan beberapa pendapat ahli di bawah ini:

Menurut Sudargo Gautama, HPI dirumuskan sebagai berikut:


keseluruhan peraturan, dan keputusan yang menunjukkan stelsel hukum mana yang
berlaku atau apa yang merupakan hukum, jika hubungan-hubungan dan peristiwa-
peristiwa antara warga (warga) negara pada satu waktu tertentu memperlihatkan titik-titik

2
pertalian dengan stelsel-stelsel dan kaidah-kaidah hukum dari dua atau lebih Negara,
yangt berbeda dengan lingkungan-lingkungan kuasa tempat, (pribadi) dan soal-soal.5[5]

Prof. R.H. Groveson dalam bukunya, Conflict of laws - Private international law,
berpendapat bahwa:
Conflict of law atau hukum perdata internasional adalah bidang hukum yang
berkenaan dengan perkara-perkara yang dalamnya mengandung fakta relevan yang
menunjukkan perkaitan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena aspek territorial
maupun karena aspek subyek hukumnya, dan karena itu menimbulkan pertanyaan
tentang penerapan hukum sendiri atau hukum lain (yang biasanya asing), atau masalah
pelaksanaan yuridiksi badan pengadilan sendiri atau badan pengadilan asing.6[6]

Menurut Bayu Seto, Hukum Perdata Internasional adalah seperangkat kaidah


hukum nasional yang mengatur peristiwa atau hubungan hukum yang mengandung
unsur-unsur transnasional (atau unsur-unsur ekstra territorial).7[7] Sedangkan menurut
pendapat Sunaryati Hartono, bahwa HPI mengatur setiap peristiwa atau hubungan hukum
yang mengandung unsur asing, baik dibidang hukum public maupun hukum privat.
Karena inti dari HPI adalah pergaulan hidup masyarakat internasional, maka HPI
sebenarnya dapat disebut sebagai Hukum Pergaulan Internasional8[8]
Dari beberapa pengertian tentang HPI diatas, terdapat perbedaan antara satu ahli dengan
yang lainnya. Terlepas dari perbedaan-perbedaan penekanan dan pendapat diatas. Maka
dapat disepakati bahwa HPI selalu mengandung unsur-unsur nasional dan transnasional
dengan masalah-masalah pokok yang selalu bersifat transnasional.

3
C. Titik-titik Taut
Titik Taut adalah fakta fakta di dalam suatu perkara yang bisa menentukan tempat
terjadinya perkara tersebut dan hukum mana yang berlaku untuk menyelesaikan perkara
tersebut. Titik Taut sendiri di bedakan menjadi dua macam, yang oleh para ahli di
jabarkan sendiri menjadi beberapa pengertian.
Dalam bukunya, Dr. Bayu Seto Hardjowahono, S.H., LL.M. berpendapat bahwa Titik
Taut juga di bedakan menjadi dua, yaitu :
1. Titik-Titik Taut Primer ( Primary Points Of Contact ) adalah fakta dalam suatu perkara
yang menunjukan unsur asing dan lebih cenderung ke arah hukum Inggris, Italia atau
Prancis yang dapat di kategorikan sebagai titik taut primer karena unsur-unsur ( asing )
ini dilihat dari posisi Jerman sebagai forum yang mengadili perkara.
2. Titik-Titik Taut Sekunder ( Secondary Points Of Contact ) adalah fakta dalam perkara
Hukum Perdata Internasional yang akan membantu penentuan hukum manakah yang
harus diberlakukan dalam penyelesaian persoalan yang sedang di hadapi. Yang disebut
juga titik pertalian penentu karena fungsinya akan menentukan hukum dari tempat
manakah yang akan di gunakan sebagai the aplicable law dalam penyelesaian suatu
perkara.

SEJARAH PERKEMBANGAN
HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

A. MASA KEKAISARAN ROMAWI (ABAD KE-2 6 SESUDAH MASEHI)


Pada masa ini pola hubungan internasional dalam wujudnya yang sederhana
sudah mulai tampak dengan adanya hubungan-hubungan antara :
1. Warga (cives) Romawi dengan penduduk prvinsi-provinsi atau minicipia (untuk
wilayah di italia, kecuali Roma) yang menjadi bagian dari wilayah kekaisaran karena
pendudukan.
2. Penduduk provinsi atau orang asing yang berhubungan satu sama lain di dalam wilayah
kekaisaran Romawi sehingga masing-masing pihak dapat dianggap sebagai subjek
hukum dari beberapa yurisdiksi yang berbeda.

4
Untuk menyelesaikan sengketa dalam hubungan-hubungan tersebut, dibentuk peradilan
khusus yang disebut Praetor Peregrinis. Yang diberlakukan oleh hakim Praetor
Peregrinis adalah hukum yang dibuat untuk para cives Romawi, yaitu Ius Civile, tetapi
yang telah disesuaikan untuk kebutuhan pergaulan antar bangsa, yang kemudian
berkembang menjadi Ius Gentium.

Ius Gentium terdiri dari :


a. Ius Privatuum, mengatur persoalan-persoalan hukum orang-perorangan.
Ius Privatuum inilah yang menjadi cikal bakal HPI yang berkembang dalam tradisi
Eropa Kontinental.
b. Ius Publicum, mengatur persoalan-persoalan kewenangan negara sebagai kekuasaan
publik. Ius Publicum berkembang menjadi sekumpulan asas dan kaidah hukum yang
mengatur hubungan antara Kekaisaran Romawi dengan negara-negara lain (cikal bakal
Hukum Internasional Publik).
Prinsip HPI pada masa ini dilandasi asas teritorial, artinya perkara-perkara yang
menyangkut warga-warga propinsi tunduk pada Ius Gentium sebagai bagian dari hukum
kekaisaran.
Beberapa asas HPI yang tumbuh dan berkembang pada masa ini dan menjadi asas
penting dalam HPI modern adalah :
1. Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs)
Yang berarti perkara-perkara yang menyangkut benda-benda tidak bergerak tunduk pada
hukum dari tempat di mana benda itu terletak.
2. Asas Lex Domicilii
Yang mentapkan bahwa hak dan kewajiban perorangan harus di atur oleh hukum dari
tempat seseorang berkediam tetap
3. Asas Lex Loci Contractus
Yang mentapkan bahwa terhadap perjanjian-perjanjian berlaku hukum dari tempat
pembuatan perjanjian.

B. MASA PERTUMBUHAN ASAS PERSONAL HPI (Abad ke-6 s/d Abad ke-10)
Pada akhir abad ke-6 Kekaisaran Romawi ditaklukkan oleh bangsa-bangsa barbar
dari wilayah-wilayah bekas propinsi-propinsi jajahan Romawi. Wilayah bekas jajaran
Romawi diduduki oleh pelbagai suku bangsa yang dibedakan secara genealogis dan
bukan territorial. Masing-masing suku bangsa memberlakukan kaidah-kaidah hukum
5
adat, hukum personal, hukum keluarga serta hukum agama mereka. Dalam
menyelesaikan sengketa antar suku bangsa, ditetapkan terlebih dahulu sistem-sistem
hukum adat mana yang relevan dengan perkara, kemudian baru dipilih hukum mana yang
harus diberlakukan.

Tumbuh beberapa prinsip HPI yang dibuat atas dasar asas Genealogis :
a. Asas umum yang menetapkan bahwa dalam setiap proses penyelesaian hukum, maka
hukum yang digunakan adalah hukum dari pihak tergugat;
b. Penetapan kemampuan untuk membuat perjanjian bagi seseorang harus dilakukan
berdasarkan hukum personal dari masing-masing pihak;
c. Proses pewarisan harus dilangsungkan berdasarkan hukum personal dari pihak pewaris;
d. Peralihan hak atas benda harus dilaksanakan sesuai dengan hukum dari pihak transferor;
e. Penyelesaian perkara tentang Perbuatan Melawan Hukum harus dilakukan berdasarkan
hukum dari pihak pelaku perbuatan yang melanggar hukum;
f. Pengesahan suatu perkawinan harus dilakukan berdasarkan hukum dari pihak suami.

C. PERTUMBUHAN ASAS TERITORIAL(Abad ke-11 s/d Abad ke -12)


Pertumbuhan asas personal genealogis semakin sulit untuk dipertahankan
mengingat terjadinya transformasi struktur masyarakat yang semakin condong ke arah
masyarakat yang teritorialistik di seluruh wilayah Eropa.
Ada 2 Kawasan Eropa yang sangat mencolok proses transformasinya :
a. Pertumbuhan di Eropa Utara
Di kawasan ini (Jerman, Prancis, Inggris) masyarakat bertransformasi menjadi
masyarakat teritorialistik melaui tumbuhnya kelompok-kelompok feodalistik. Unit-unit
masyarakat yang berada di bawah kekuasaan feodal (tuan-tuan tanah) cenderung
memberlakukan hukum mereka secara eksklusif. Tidak ada pengakuan terhadap hak-hak
asing dan tidak ada perkembangan HPI yang berarti.
b. Pertumbuhan di Eropa Selatan
Transformasi berlangsung ke arah masyarakat teritorialistik disebabkan oleh
pertumbuhan kota-kota perdagangan di Italia. Dasar ikatan manusia dikarenakan tempat
kediaman di kota yang sama.
Kota-kota yang dimaksud di sini adalah :
Kota-kota perdagangan, seperti Milan, Florence, Venetia, Bologna, Padua, Genoa, dan
sebagainya yang merupakan pusat-pusat perdagangan;
Dapat dianggap sebagai kota-kota yang otonom, dengan batas-batas wilayah yang
tertentu, dan

6
Dengan system hukum lokalnya sendiri yang berbeda dari kota ke kota, dam juga berbeda
dari hukum Romawi yangberlaku secara umum di seluruh Italia.
Asas-asas hukum yang digunakan untuk menjawab perkara-perkara hukum
perselisihan antara kota inilah yang dianggap sebagai pemicu tumbuhnya teori HPI yang
penting, yang dikenal dengan sebutan teori Statuta.

D. PERTUMBUHAN TEORI STATUTA


1. Perkembangan Teori Statuta di Italia (Abad ke-13 s/d abad ke-15)
Semakin meningkatnya intensitas perdagangan antar kota di Italia menyebabkan
asas teritorial perlu ditinjau kembali.
Misal :
Seorang warga Bologna yang berada di Florence, dan mengadakan perjanjian di
Florence. Karena berdasarkan prinsip teritorial, selama ia berada di kota Florence ia
harus tunduk pada kewenangan hukum di kota Florence.

Pemasalahannya :
Sejauh mana putusan hukum atau hakim Florence memiliki daya berlaku di Bologna ?
Sejauh mana perjanjian jual beli tersebut dapat dilaksanakan di Bologna ?
Catatan :
Tindakan menyempurnakan Corpus Iuris sebagai kodifikasi yang berlaku di
seluruh Italia untuk digunakan dalam mengembangkan statuta-statuta intern kota-kota
diwujudkan melalui perumusan tafsiran-tafsiran baru dan pembuatan catatan-catatan
tentang interprestasi terhadap Corpus Iuris yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-
masing kota. Dilakukan oleh Kelompok Glossators, yang lebih banyak difokuskan pada
penyempurnaan kaidah-kaidah hukum intern kota, tidak banyak memberikan sumbangsih
pada perkembangan HPI.
Di abad ke-14 s/d abad ke-15 penafsiran dan penyempurnaan terhadap kaidah2
hukum di dalam Corpus Iuris dilakuakn khusus untuk membangun asas-asas hukum yang
dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan hukum perselisihan (antarkota).
Dilakukan oleh kelompok Post Glossators, dengan memusatkan perhatian pada
upaya mencari dasar hukum baru untuk menyelesaikan persoalan2 hukum yang
melibatkan kewenangan hukum dari 2 atau lebih kota. Terhadap perkembangan HPI dan
pemikiran kelompok inilah muncul teori statuta.

7
A. Dasar2 Teori Statuta
Tumbuhnya teori statuta diawali oleh seorang tokoh Post Glassator : Accursius
yang mengatakan:
Bila seseorang yang berasa dari kota tertentu di Italia, digugat di sebuah kota lain,
maka ia tidak dapat dituntut berdasarkan hukum dari kota lain itu, karena ia bukan
subjek hukum dari kota lain itu.
Gagasan Accursius menarik perhatian Bartolus de Sassoferato (Bapak HPI). Bartolus
mencetuskan Teori Statuta, yang dianggap sebagai teori pertama yang mendekati
persoalan-persoalan hukum perselisihan secara metodik dan sistematik.
Upaya yang dilakukan oleh Bartolus :
a. Mengembangkan asas2 yang dapat digunakan secara praktis untuk mementukan wilayah
berlaku dari setiap aturan hukum yang berlaku di sebuah kota di Italia.
b. Mengklasifikasi tentang jenis-jenis hubungan atau persoalan hukum apa saja yang
mungkin dimasukkan ke dalam lingkup berlaku statuta2 sebuah kota.
c. Menyimpulkan apakah statuta dari sebuah kota di Italia :
Dapat diberlakukan juga bagi orang2 yang bukan warga kota yang bersangkutan ?
Dapat memiliki daya berlaku juga di wilayah kota yang bersangkutan (ekstra-
teritorialitas)?
Kesimpulan Teori Statuta :
1. Statuta-statuta suatu kota dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok :
a. Statuta Personalia
Statuta-statuta yang berkenaan dengan kedudukan hukum atau status personal orang.

b. Statuta Realia
Statuta-statuta yang berkenaan dengan status benda.
c. Statuta Mixta
Statuta-statuta yang berkenaan dengan perbuatan-perbuatan hukum.

2. Setiap jenis statuta dapat ditentukan ruang lingkup atau wilayah berlakunya
secara tepat, yaitu :
a. Statuta Personalia

8
Objek pengaturan : orang dalam persoalan-persoalan hukum yang menyangkut pribadi
dan keluarga.
Lingkup berlaku : ekstra-teritorial, berlaku juga di luar wilayah.
Statuta personalia hanya berlaku terhadap warga kota yang berkediaman tetap di
wilayah kota yang bersangkutan, namun statuta ini akan tetap melekat dan berlaku atas
mereka, diamana pun mereka berada.
b. Statuta Realia
Objek pengaturan : benda dan status hukum dari benda.
Lingkup berlaku : prinsip territorial, hanya berlaku di dalam wilayah kota kekuasaan
penguasa.
Statuta ini akan tetap berlaku terhadap siapa saja (warga kota ataupuan pendatang
/ orang asing) yang berada dalam teritorial yang bersangkutan.
c. Statuta Mixta
Ojek pengaturan : perbuatan-perbuatan hukum oleh subjek hukum atau perbuatan-
perbuatan hukum terhadap benda-benda.
Lingkup berlaku : prinsip teritorial, berlaku atas semua perbuatan hukum yang terjadi
atau dilangsungkan dalam wilayah pengusaan kota.
Statuta ini berlaku terhadap siapa saja (warga kota ataupun pendatang / orang
asing) yang berada di wilayah kota yang bersangkutan.

B. Penggunaan Teori Statuta dalam HPI modern


Pembedaan ke dalam statuta Personalia, Realia, dan Mixta tidak lagi dilihat
sebagai hukum yang mengatur suatu kota akan tetapi sebagai kategori untuk
mengkualifikasikan pokok perkara yang sedang dihadapi dan kemudian digunakan
sebagai titik tolak untuk menentukan lex cause.
Dalam menentukan Lex Cause, maka bila perkara dikualifikasikan sebagai
perkara tentang:
Status benda, maka lex causenya adalah hukum dari tempat dimana benda terletak /
berada (lex situs).
Dalam perkembangan HPI, asas di atas hanya cocok untuk benda tidak bergerak
(immovables). Sedang untuk benda-benda bergerak digunakan asas lain, yaitu Mobilia

9
Sequntuur Personam, yaitu mengenai benda-benda bergerak maka hukum yang mengatur
adalah hukum dari tempat pemilik benda bergerak tersebut.
Status orang / badan hukum, maka lex cause yang harus digunakan adalah hukum dari
tempat dimana orang atau subjek hukum itu berkediaman tetap (lex domicili) (atau
berkewarganegaraan / Lex patriae).
Status perbuatan-perbuatan hukum, maka lex cause-nya adalah hukum dari tempat
dimana perbuatan itu dijalankan (lex loci actus
Contoh :
A berasal dari kota Milan, berdasarkan statuta Milan melakukan transaksi jual beli dengan
B dari Venesia. Objek jual beli adalah sebidang tanah di kota Roma. Bila timbul perkara
tentang status pemilikan tanah di Roma tersebut, bagaimana penyelesaiakn menurut teori
statuta?
Perkara akan dikualifikasi sebagai perkara realia, perkara ini harus diselesaikan
berdasarkan hukum tanah Roma.

C adalah warga yang berkediaman tetap di kota Genoa. Di kota ini, C dianggap sebagai
orang yang sudah mampu melakukan perbuatan hukum secara mandiri. Namun dimikian
di kota Florence, karena kaidah-kaidah hukum yang berbeda, C dianggap belum mampu
melakukan perbuatan hukum sendiri. Seandainya pekara ini dipersoalkan di Pengadilan
Florence, maka bagaimana penyelesaian berdasarkan teori statuta ?
Perkara akan dikualifikasi sebagai perkara Personalia, dan status personal C akan
ditentukan berdasarkan hukum Genoa sebagai Lex Cause.

D adalah warga kota Turin. Ketika ia berada di kota Pisa, ia telah melakukan perbuatan
yang merugikan E, seorang warga Pisa, dan E kemudian menuntut ganti kerugian dari D
di pengadilan Pisa. Apabila perkara diajukan di Pengadilan Pisa, maka bagaimana
penyelesaiannya berdasarkan teori statuta ?
Perkara akan dikualifikasi sebagai perkara mixta, dan pengadilan Pisa akan menetapkan
apakah D telah melakukan perbuatan melawan hukum dan E berhak atas ganti kerugian
berdasarkan hukum Pisa sebagai hukum dari tempat dimana perbuatan dilaksanakan.
Kelemahan :

10
Upaya untuk menetapkan dengan tegas perkara-perkara apa yang harus
diklasifikasikan ke dalam kaidah-kaidah realia, personalia atau mixta ternyata tidak
selalu mudah dilaksanakan.

Misal :
Kemampuan hukum seseorang untuk mengalihkan hak milik atas tanah. Apakah
Personalia atau Realia?
Perbuatan hukum yang sasarannya adalah benda tetap. Apakah Realia atau
Mixta ?
Bartolus menjawab kritik semacam ini dengan menggunakan Penafsiran
Gramatikal :
Suatu statuta adalah realia, bila rumusan statuta itu diawali dengan istilah benda
terlebih dahulu, demikian pula suatu statuta adalah personalia, bila perumusannya
diawali dengan penyebutan tentang orang dan subjek hukumnya terlebih dahulu.

2. Perkembangan Teori Statuta Di Perancis ( Abad ke-16 )


a. Situasi Ketatanegaraan di Perancis Abad ke-16
Situasi pada saat itu mendorong orang untuk mempelajari hukum perselisihan
secara intensif. Provinsi-provinsi di Perancis, dari segi ketatanegaraan merupakan bagian
dari Negara perancis, ternyata secara de facto merupakan wilayah-wilayah yang
berkembang menjadi pusat-pusat perdagangan yang mengingatkan orang pada
perkembangan kota-kota di Italia beberapa abad sebelumnya.
Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa :
Masing-masing provinsi memiliki system hukum lokalnya sendiri ( coutume ). Jadi, yang
dimaksud dengan statute di sini adalah hukum lokal dari provinsi-provinsi.
Meningkatnya aktivitas perdagangan antar provinsi di Perancis mengakibatkan
bertemunya kaidah-kaidah hukum berbagai provinsi dalam konflik-konflik hukum antar
provinsi.

b. Cara Penyelesaian
Para ahli hukum Perancis berusaha mendalami dan memodifikasi teori ststuta
Italia dan menerapkannya dalam konflik antarprovinsi di Perancis. Beberapa tokoh yang
dikenal sebagai tokoh teori statuta Perancis adalah :
Dumoulin ( 1500-1566 )

11
DArgentre ( 1523-1603 )

Pendapat Dumoulin
Pandangan Dumoulin ini tumbuh pada masa Renaissance di Eropa, di mana
kebebasan individual menjadi inti dari kehidupan manusia di segala bidang. Kebebasan
individu ini juga merasuk ke dalam pemikiran-pemikiran tentang hukum, khususnya di
bidang hukum perjanjian. Prinsip kebebasan berkontrak (freedom of contract,
contractsvrijheid) yang merupakan salah satu tiang utama dalam hukum perjanjian
modern juga mulai diintrodusir pada masa ini. Menurut Dumoulin, dalam konteks
penetapan hukum yang harus berlaku atas suatu perjanjian, kebebasan individu ini juga
dicerminkan dalam kebebasan para pihak untuk memilih dan menentukan hukum yang
berlaku atas kontrak mereka.

Menurut Dumoulin :
1. Pihak-pihak ( subjek hukum )dalam perjanjian pada dasarnya memiliki kebebasan
berkontrak.
2. Kebebasan berkontrak antara lain, diwujudkan juga dalam kebebasan untuk memilih
hukum apa yang hendak mereka berlakukan dalam kontrak mereka.
3. Kebebasan orang untuk memilih hukum yang berlaku atas perjanjian sebenarnya mirip
dengan persoalan status personal seseorang.
4. Sebagai persoalan status personal, maka kebebasan ini akan melekat terus pada diri
orang-orang yang akan menjadi pihak-pihak dalam perjanjian dimana pun mereka berada
dan membuat perjanjian.
5. Karena itu, perjanjian seyogianya masuk dalam lingkup statute personalia dan memiliki
sifat ekstrateritorial.
6. Jadi Dumoulin sebenarnya memperluas ruang lingkup statuta personalia Bartolus dan
memasukkan perjanjian ke dalamnya.

Pendapat DArgentre
1. DArgentre mengakui bahwa ada beberapa statuta yang benar-benar mengatur tentang
kecakapan seseorang secara yuridis dan masuk ke dalam statuta personalia, tetapi;
2. Banyak statute yang mengatur kedudukan orang (personalia), tetapi dalam kaitannya
dengan hak milik orang itu atas suatu benda (realia), atau;

12
3. Banyak statute yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum (realia atau mixta), tetapi
yang dilakukan di wilayah provinsi tertentu;
4. Statuta-statuta semacam itu (2) dan (3) harus di kategorikan sebagai statuta realia karena
isinya berkaitan erat dengan wilayah provinsi dari penguasa yang memberlakukan statute
itu;
5. Dalam kaitan itu yang harus diutamakan adalah otonomi dari provinsi-provinsi (di
Perancis) dan bukan otonomi subjek hukum (seperti kata Dumoulin) sehingga;
6. Yang dikehendaki oleh DArgentre sebenarnya adalah memperluas ruang lingkup statute
realia dan memasukkan perjanjian-perjanjian dan perbuatan-perbuatan hukum lain ke
dalam lingkup statute realia.

3. Perkembangan Teori Statuta di Belanda ( Abad Ke-17 s/d Abad 18 )


Prinsip dasaryang dijadikan titik tolak dalam teori statute Belanda adalah
kedaulatan eksekutif Negara. Jadi, statute yang dimaksud adalah hukum suatu Negara
yang berlaku di dalam territorial suatu Negara.
Tokoh-tokoh teori statute Belanda adalah :
a) Ulrik Huber ( 1636 1694 )
Pandangan Ulrik Huber
Untuk menyelesaikan perkara HPI, Ulrik Huber berpandangan bahwa orang harus
bertitik tolak dari tiga prinsip dasar, yaitu bahwa :
Hukum suatu Negara hanya berlaku dalam batas-batas teritorial Negara itu.
Semua orang/subjek hukum yang secara tetap atau sementara berada di dalam teritorial
wilayah suatu Negara berdaulat :
Merupakan subjek hukum dari Negara tersebut, dan
Tunduk serta terikat pada hukum Negara tersebut.
Namun, berdasarkan prinsip sopan santun antar Negara (comitas gentium), hukum yang
berlaku di Negara asalnya tetap memiliki kekuatan berlaku dimana-mana, sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan subjek hukum dari Negara pemberi pengakuan.
Selanjutnya, untuk menyelesaikan perkara-perkara HPI, maka ketiga prinsip di
atas harus ditafsirkan dengan memerhatikan dua prinsip lain, yaitu bahwa suatu
perbuatan hukum yang dilakukan di suatu tempat tertentu dan :
Dianggap sebagai perbuatan hukum yang sah menurut hukum setempat, harus
diakui/dianggap sah juga di Negara lain, (termasuk di Negara forum) meskipun hukum
negar a lain itu menganggap perbuatan semacam itu batal atau

13
Dianggap sebagai perbuatan hukum yang batal menurut hukum setempat, akan dianggap
batal dimana pun, termasuk didalam wilayah Negara forum.

Jadi, dalam HPI menurut Huber :


Setiap Negara memiliki kedaulatan sehingga Negara memiliki kewenangan penuh untuk
menetapkan kaidah-kaidah HPI-nya, tetapi
Dalam kenyataan, Negara-negara itu tidak dapat bertindak secara bebas, dalam arti bahwa
berdasarkan asas comitas gentium Negara itu harus mengakui pelaksanaan suatu hak
yang telah diperoleh secara sah di Negara lain.

Pandangan Johannes Voet


Johannes Voet menegaskan kembali ajaran comitas gentium, dengan menjelaskan
sebagai berikut :
Pemberlakuan hukum asing di suatu Negara bukan merupakan kewajiban hukum
internasional (public) atau karena sifat hubungan HPI-nya.
Suatu Negara asing tidak dapat menuntut pengakuan/pemberlakuan kaidah hukumnya di
wilayah hukum suatu Negara lain.
Karena itu, pengakuan atas berlakunya suatu hukum asing hanya dilakukan demi sopan
santun pergaulan antarnegara (comitas gentium).
Namun demikian, asas comitas gentium ini harus ditaati oleh setiap Negara dan asas ini
harus dianggap sebagai bagian dari system hukm nasional Negara itu.
Salah satu asa HPI yang menjadi penting artinya bagi penganut teori statute
Belanda (teori comitas gentium) adalah asas locus regit actum, menyatakan bahwa
tempat dimana perbuatan dilakukan akan menentukan bentuk hukum dari perbuatan
itu.

E. TEORI HPI UNIVERSAL (ABAD KE-19 )


Tokoh pencetus teori ini adalah Friedrich Carl v. Savigny di Jerman. Pemikiran
Savigny juga berkembang setelah di dahului oleh pemikiran ahli hukum jerman lain,
yaitu C.G. von Wachter.

14
Pandangan C.G. Von Wachter
Wachter mengktritik teori statute (italia) yang dianggap menimbulkan
ketidakpastian hukum. Ia menolak adanya sifat ekstrateritorial dan suatu aturan (seperti
statute personalia) karena adanya aturan seperti itu akan menyebabkan timbulnya
kewajiban hukum di Negara asing. Wachter berasumsi bahwa, Hukum intern forum
hanya dibuat untuk dan hanya dapat diterapkan pada kasus-kasus hukum local saja.
Karena itu dalam perkara-perkara HPI, forumlah yang harus menyediakan kaidah-kaidah
HPI atau yang menentukan hukum apa yang harus berlaku.
Elemen penting dari pemikiran Wachter adalah bahwa ia berusaha meninggalkan
klasifikasi ala teori statute dan memusatkan perhatiannya pada penetapan hukum yang
seharusnya berlaku terhadap hubungan hukum tertentu.

Pandangan F.C. Von Savigny


Savigny mencoba menggunakan konsepsi legal seat itu dengan berasumsi
bahwa untuk setiap jenis hubungan hukum, dapat di tentukan legal seat/tempat
kedudukan hukumnya, dengan melihat pada hakikat dari hubungan hukum tersebut. Jika
orang hendak menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku dalam suatu
perkara yang terbit dari suatu hubungan hukum, hakim berkewajiban menentukan tempat
kedudukan hukum/legal seat dari hubungan hukum itu. Selain itu, Savigny juga
beranggapan bahwa legal seat itu harus di tetapkan terlebih dahulu dan caranya adalah
dengan melokalisasi tempat kedudukan hukum dari hubungan hukum itu melalui bantuan
titik-titik taut. Jika tempat kedudukan hukum dari suatu jenis hubungan hukum telah
dapat ditentukan, system hukum dari tempat itulah yangbakan digunakan sebagai lex
causae.

15

Anda mungkin juga menyukai