Anda di halaman 1dari 26

HUKUM PERDATA

INTERNASIONAL

PERTEMUAN KE- 2
Sejarah dan Perkembangan HPI
 Pada masa Romawi penyelesaian sengketa
yang ada unsur asing (perdagangan)
Menggunakan Hukum Romawi Ius Civile
 Ius Civile diadaptasi mengatur hubungan
yang sifatnya Internsional Ius Gentium
 Ius Gentium : 1. Ius PublicumHI
2. Ius Privatum HPI
Asas Teritorial
• Pada masa Romawi itu, berkembang asas-asas HPI yang dilandasi
asas teritorial, yang sampai sekarang masih dianggap sebagai
asas HPI yang penting, yakni:
• 1. Asas Lex Rei Sitae (Lex Situs), yang menyatakan bahwa hukum
harus diberlakukan atas suatu benda adalah hukum di mana
benda berada atau terletak.
• 2. Asas Lex Loci Contractus, yang menyatakan bahwa terhadap
kontrak (yang bersifat HPI) adalah hukum di mana kontrak itu
dibuat atau ditandatangani.
• 3. Asas Lex Domicilii, yang menyatakan bahwa hukum yang
mengatur hak dan kewajiban perorangan adalah hukum di mana
seseorang berkediaman tetap.
Asas Teritorial
Di dalam prinsip teritorial, hukum yang
berlaku bersifat teritorial.
 Setiap wilayah (teritorial) memiliki hukumnya
sendiri.
Hanya ada satu hukum yang berlaku terhadap
semua orang, benda yang berada di wilayah
itu, dan perbuatan hukum yang diberlakukan
di wilayah itu.
Asas Personal (6-10 M)
• Di dalam prinsip personal, hukum yang berlaku
digantungkan pada pribadi yang bersangkutan,
sehingga di dalam wilayah tertentu mungkin akan
berlaku beberapa sistem hukum sekaligus.
• Dalam menyelesaikan sengketa yang
menyangkut dua suku bangsa yang berbeda itu
biasanya ditentukan lebih dulu kaidah-kaidah
hukum (adat) masing-masing suku, barulah
ditetapkan hukum mana yang akan diberlakukan.
• Beberapa asas HPI yang tumbuh pada era ini
dapat dikategorikan sebagai asas HPI yang
berasaskan personal, misalnya:
• 1. Asas yang menetapkan bahwa hukum yang
berlaku dalam suatu perkara adalah hukum
personal pihak tergugat;
• 2. Asas yang menyatakan bahwa kemampuan
untuk melakukan perbuatan hukum seseorang
ditentukan oleh hukum personal orang yang
bersangkutan. Kapasitas hukum para pihak
dalam perjanjian harus ditentukan oleh hukum
personal masing-masing pihak;
• 3. Asas yang menyatakan bahwa masalah
pewarisan harus diatur berdasarkan hukum
personal si pewaris; dan
• 4. Pengesahan suatu perkawinan harus
dilakukan berdasarkan hukum personal suami.
TEORI STATUTA
 ITALIA  (13- 15 M) reaksi atas asas teritorial yg
sudah tidak dapat diberlakukan banyak wilayah2
di Italia dgn hukum yg berbeda
 Para ahli hukum universitas2 di italia
(Postglossatoren) mencari asas-asas hukum yang
dianggap lebih adil dan wajar (fair and reasonable).
 Usaha-usaha yang dilakukan adalah dengan
membuat tafsiran baru dan menyempurnakan
kaidah-kaidah yang tertulis dalam hukum Romawi.
• Corpus Juris (Justianus)Mereka menemukan suatu kaidah
yang dimulai dengan kata: “cuntos popules ques Clamentiae
Nostrae regit imperium” (semua bangsa di bawah kekuasaan
kami).
• Di dalam teks Codex Justianus ditemukan glossea Accursius
(1128) yang pada pokoknya menyatakan:“Apabila seorang
warga Bologna digugat di Modena, maka ia jangan diadili
menurut statuta Modena dari kota mana ia bukan merupakan
warga, oleh karena dalam Undang-Undang Conctus popolos
telah ditentukan … quos nostrae clementiae regit imperium”.
• Dengan rumusan bahasa yang lain tafsiran Accursius adalah
sebagai berikut: “Bila seseorang dari suatu kota tertentu
dituntut secara hukum di kota lain, maka ia tidak diadili
berdasarkan hukum dari kota itu, sebab ia bukan merupakan
subjek hukum di sana”.
 Doktrin yang diintroduksikan Accursius tersebut kemudian
dikembangkan lebih lanjut oleh Batolus De Sassoferrato
(1314 – 1357).
 Pembagian Statuta :
1. Statuta personalia dengan lex originis Statuta personalia
adalah statuta yang memiliki lingkungan kuasa secara
personal. Hal ini bermakna bahwa statuta itu mengikuti
orang (person) di manapun ia berada.
2. Statuta realia dengan kekuasaan territorial hukum. Statuta
realia memiliki lingkungan kekuasaan secara teritorial.
Hanya benda-benda yang terletak di dalam wilayah
pembentuk undang-undang tunduk di bawah statutanya.
 Bartoluslah yang mengemukakan persoalan-persoalan
yang hingga kini menjadi persoalan HPI, antara lain
mengenai bentuk (form) perbuatan hukum.
 Bartolus menambahkan satu statuta lagi, yakni
statuta mixta yang berlaku bagi semua perjanjian yang
diadakan di tempat berlakunya statuta mixta dengan
segala aspek hukumnya. Kemudian berkaitan dengan
wan prestasi dengan segala akibat hukumnya diatur
menurut statuta di tempat perjanjian itu dilaksanakan.
 Berdasarkan doktrin statuta di atas, kemudian
dikembangkan metode berpikir HPI sebagai berikut:
• 1. Apabila persoalan HPI yang dihadapi menyangkut
persoalan status suatu benda, maka kedudukan
hukum benda itu harus diatur berdasarkan statuta
real dari tempat di mana benda itu berada. Dalam
perkembangannya, cara berpikir realia semacam ini
hanya berlaku bagi benda tetap (benda tidak
bergerak) saja, sedangkan terhadap benda bergerak
berlaku asas mobilia sequntuur personam( benda
bergerak mengikuti status penguasa benda
tersebut)
• 2. Apabila persoalan HPI yang dihadapi berkaitan dengan
status personal, maka status personal orang tersebut
harus diatur berdasarkan statuta personalia dari tempat
di mana orang tersebut berdomisi (lex domicilii); dan

• 3. Apabila persoalan HPI yang dihadapi berkaitan dengan


bentuk atau akibat suatu perbuatan hukum, bentuk dan
akibat hukum tersebut harus tunduk pada kaidah-kaidah
mixta dari tempat di mana perbuatan tersebut dilakukan.
Cara berpikir atau asas ini diadopsi oleh Pasal 18 AB yang
menyebutkan: “Bentuk dari setiap perbuatan ditentukan
oleh undang-undang dari negara atau tempat di mana
perbuatan itu dilakukan”
• PERANCIS (Abad 16 M) Coutume
• Ahli Hukum Perancis Charles Dumoulin dan Bertrand
D’Argentre  menerapkan teori statuta Italia dengan
beberapa modifikasi
Charles Dumoulin memperluas pengertian statuta
personalia hingga mencakup pilihan hukum (hukum yang
dikehendaki oleh para pihak) sebagai hukum yang
seharusnya berlaku dalam perjanjian atau kontrak.
 Jadi, perjanjian atau kontrak yang dalam teori statuta
Bartolus masuk dalam statuta realia, menurut Charles
Domoulin harus masuk dalam statuta personalia, karena
pada hakikatnya kebebasan untuk memilih hukum adalah
semacam status perorangan.
• Bertrand D’Argentre menggunakan teori statuta dari
Bartolus dan Domoulin,
• Pada perkembangannya mengemukakan teori yang jauh
berbeda dengan asas-asas teori statuta di Italia dan teori
Domoulin. Menurut Bertrand D’Argentre, yang harus diperluas
itu adalah statuta realia, sehingga yang diutamakan bukanlah
otonomi (kebebasan) para pihak, tetapi otonomi propinsi.
• Bertrand D’Argentre tetap mengakui adanya statuta personalia,
tetapi perlu adanya pengecualian. Dengan bahasa yang lain,
bahwa Bertrand D’Argentre mengakui ada statuta yang benar-
benar merupakan statuta personalia, misalnya kaidah yang
menyangkut kemampuan seseorang untuk melakukan
tindakan hukum (legal capacities), tetapi ada juga:
• 1.Statuta yang dimaksudkan untuk mengatur
orang, tetapi berkaitan dengan hak milik orang
itu terhadap suatu benda (realia); atau

• 2. Statuta yang mengatur perbuatan-


perbuatan hukum (statuta mixta) yang
dilakukan di tempat tertentu. Statuta
semacam itu harus dianggap sebagai statuta
realia, karena isinya berkaitan dengan wilayah
penguasa yang memberlakukan statuta itu.
 BELANDA (17 M) Teori D’Argentre diikuti para
sarjana hukum Belanda setelah pembebasan
dari penjajahan Spanyol segi kedaulatan sangat
ditekankan.
 Hukum yang dibuat negara berlaku secara mutlak
di wilayah negara tersebut. Hukum asing tidak
berlaku di wilayah negara tersebut.
• Prinsip dasar yang digunakan penganut teori
statuta di Belanda adalah kedaulatan eksklusif
negara.
 Berdasarkan doktrin D’Argentre, Ulrik Huver
mengajukan tiga prinsip yang dapat digunakan
untuk menyelesaikan perkara-perkara HPI sebagai
berikut:
• 1. Hukum dari suatu negara memiliki daya berlaku
yang mutlak hanya dalam batas- batas wilayah
kedaulatannya;
• 2. Semua orang baik yang menetap selamanya
maupun sementara, yang berada di wilayah suatu
negara berdaulat menjadi subjek hukum dari
negara itu dan terikat pada hukum negara itu; dan
3. Berdasarkan alasan sopan santun antar negara
(asas komitas atau comity), diakui bahwa hukum
yang sudah berlaku di negara asalnya akan tetap
memiliki kekuatan berlaku di mana saja sejauh
tidak bertentangan dengan kepentingan subjek
hukum dari negara yang memberikan pengakuan
itu. Namun demikian, hakim yang berpedoman
pada asas komitas ini tidak dapat bertindak
sewenang-wenang. Hakim seharusnya juga
memperhatikan hukum asing demi kepentingan
negara-negara yang bersangkutan secara timbal
balik.
Selanjutnya, Ulrik Huber menegaskan bahwa dalam
menafsirkan ketiga prinsip tersebut di atas harus
pula diperhatikan prinsip lain, yakni semua
perbuatan atau transaksi hukum yang dianggap sah
berdasarkan hukum dari suatu negara tertentu,
diakui sah pula di tempat lainnya yang sistem
hukumnya sebenarnya menganggap perbuatan
atau transaksi semacam itu batal. Perbuatan atau
transaksi yang dilaksanakan di suatu tempat
tertentu dianggap batal demi hukum juga harus
dianggap batal di manapun juga.
TEORI MODERN
• Pada abad 19 M pemikiran HPI mengalami kemajuan
• 1. Joseph Story,
• 2. Friedrich Carl von Savigny,
• 3. Pasque Stanislao Manchini.

• Von Savigny  bahwa suatu hubungan hukum yang sama harus


memberi penyelesaian yang sama pula, baik bila diputuskan oleh
hakim di negara A maupun di negara B. Penyelesaian permasalahan
yang menyangkut unsur-unsur asing pun hendaknya diatur sedemikian
rupa, sehingga putusannya juga akan sama di mana-mana.
• Satunya pergaulan internasional akan menimbulkan satu sistem
hukum supra nasional, yaitu HPI.
• Oleh karena titik tolak pemikiran Von Savigny
adalah bahwa HPI bersifat supra nasional, maka
HPI bersifat universal, dan oleh karenanya pula
ada yang menyebut pemikiran Von Savigny
dengan istilah teori HPI universal.
• Menurut Von Savigny, pengakuan terhadap
hukum asing bukan semata-mata berdasarkan
komitas (kesopanan), tetapi berpokok pangkal
pada kebaikan atau kemanfaatan fungsi yang
dipenuhi bagi semua pihak (negara atau
manusia) yang bersangkutan.
Von Savigny
• Benda bergerak dan tidak bergerak disatukan
tunduk pada asas Lex Recipe
• Untuk hukum pribadi yang menjadi ukuran
adalah tempat tinggal (Prinsip Domisili)
• Untuk hukum kontrak/ perjanjian berlaku Lex
Loci Execitionis (hukum dimana kontrak
dilaksanakan)
• Menurut Manchini, hukum personal seseorang
ditentukan oleh nasionalitasnya.
• Pendapat Manchini ini menjadi dasar mazhab Italia
yang berkembang kemudian.
 Menurut mazhab Italia, ada dua macam kaidah
dalam setiap sistem hukum:
• 1. kaidah hukum yang menyangkut kepentingan
perorangan; dan
• 2. kaidah hukum yang melindungi dan menjaga
ketertiban umum (public order).
 Berdasarkan pembagian tersebut dikemukakan tiga asas HPI
sebagai berikut:
• 1. Kaidah hukum untuk kepentingan perorangan berlaku bagi
setiap warganegara di mana pun dan kapan pun juga (prinsip
personal);
• 2. Kaidah untuk menjaga kepentingan umum bersifat teritorial dan
berlaku bagi setiap orang yang berada di wilayah kekuasaan suatu
negara (prinsip territorial); dan
• 3. Asas kebebasan yang menyatakan bahwa pihak yang
bersangkutan boleh memilih hukum manakah yang akan
diberlakukan terhadap transaksi di antara mereka (pilihan hukum).
• Manchini mencitakan terciptanya unifikasi HPI melalui perjanjian-
perjanjian internasional, sedangkan Von Savigny menghendaki
terwujudnya suatu HPI yang bersifat supranasional
• Manchini mencitakan terciptanya unifikasi HPI melalui
perjanjian-perjanjian internasional.
• Von Savigny menghendaki terwujudnya suatu HPI yang
bersifat supranasional.
• Dalam kenyataannya hingga kini, belum dapat diciptakan
suatu HPI yang berlaku umum. Setiap hubungan hukum
harus diselesaikan menurut caranya sendiri. Ini pun
bergantung pada kebiasaan, undang-undang, dan putusan
pengadilan (yurisprudensi) masing-masing masyarakat
hukum.
• Namun demikian, dari waktu ke waktu, perjanjian
internasional yang berusaha menyeragamkan kaidah HPI
makin bertambah terus.

Anda mungkin juga menyukai