Anda di halaman 1dari 34

SEJARAH PERKEMBANGAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA

Dr. Yati Nurhayati SH.,MH.

Perkuliahan Sistem Hukum Indonesia

SUMMARY

Sejarah Tata Hukum Indonesia dapat di kelompokkan menjadi dua


periode, meliputi :

1. Periode sebelum kemerdekaan dan,


2. Periode setelah kemerdekaan.

Dari kedua periode tersebut masing-masing periode masih dapat dirinci


sebagai berikut :

1. Periode Pertama : Tata Hukum Sebelum Kemerdekaan (Sebelum


17 agustus 1945)

1. Masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) (1602-1799)


2. Masa Besluiten Regerings (1814-1855)
3. Masa Regerings Reglement/RR (1855-1926)
4. Masa Indische Straatsregeling (1926-1942)
5. Masa Jepang (Osamu Seirei) (1942-1945)

2. Periode Kedua : Tata Hukum Setelah kemerdekaan (Setelah 17


agustus 1945)

1. Masa UUD 1945 (17 Agustus 1945-26 Desember 1949)


2. Masa Konstitusi RIS (27 Desember 1949-16 Agustus 1950)
3. Masa UUD Sementara 1950 (17 Agustus 1950-4 Juli 1959)
4. Masa Kembali Kepada UUD 1945 (5 Juli 1959-13 Oktober
1999)

1
5. Masa Amandemen (21 Oktober 1999-Sekarang)

PEMBAHASAN

Masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) (1602-1799)

Sebelum kedatangan orang-orang Belanda pada tahun 1596 di


Nusantara, hukum yang berlaku pada umumnya adalah hukum yang
tidak tertulis atau dikenal dengan sebutan hukum adat. Setelah
orang-orang Belanda ada di Indonesia dan mendirikan perserikatan
dagang yang dikenal dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), di
Nusantara mulai terjadi dualisme tata hukum yang berlaku, yaitu:
Hukum Adat dan Hukum Belanda

Istilah hukum adat, terjemahan istilah Belanda “Adatrecht”. Pertama


kali dipakai oleh Snouck Hurgronje, dipopulerkan oleh C. Van
Vollenhoven. Istilah “Adatrecht” ini baru muncul pada tahun 1920, dalam
perUUan Belanda. Istilah “Adatrecht” tidak populer di kalangan banyak
orang. Yang populer adalah istilah “Adat” yang berasal dari bahasa Arab,
yang berarti “Kebiasaan”.

Van Vollenhoven mendefinisikan Hukum Adat sebagai aturan-aturan


kelakuan yang berlaku bagi orang-orang pribumi dan timur asing, yang
disatu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan “hukum”) dan di lain
pihak tidak dikodifikasikan (maka dikatakan adat). Sedangkan
R.Soepomo menyebut bahwa Hukum Adat adalah sinonim dari hukum
tidak tertulis didalam peraturan legislatif (unstatory law), hukum yang
hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum negara, hukum yang
timbul karena putusan-putusan hakim (judgemade law), hukum yang
hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam
pergaulan hidup, baik di kota-kota maupun di desa-desa (customary
law).

Hukum Adat diartikan sebagai Hukum Indonesia Asli yang tidak


tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang
disana-sini mengandung unsur agama. Untuk Pembinaan/penyusunan
hukum nasional, Hukum Adat dapat berarti:

2
a. Penggunaan konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum adat untuk
dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan
masyarakat.

b. Penggunaan lembaga-lembaga hukum adat yang dimodernisir dan


disesuaikan dengan kebutuhan zaman.

c. Memasukkan konsep-konsep dan asas-asas hukum adat ke dalam


lembaga-lembaga hukum baru.

Adapun peran Hukum Adat yakni sebagai pembinaan hukum harta


kekayaan (Hukum Adat merupakan salah satu unsur) dan pembinaan
hukum kekeluargaan dan hukum kewarisan (Hukum adat adalah
intinya).

Teori Receptio in complexu menyebut bahwa Adat istiadat dan


hukum sesuatu golongan (hukum) masyarakat adalah resepsi seluruhnya
dari agama yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Hukum (adat)
sesuatu golongan (masyarakat) adalah hasil penerimaan bulat-bulat dari
hukum (agama) yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Teori ini
mendapat tantangan dari Snouck Hurgronje dan van Vollenhoven.
Alasannya: tidak semua bagian hukum agama diterima (diresepsi) dalam
hukum adat. Hanya beberapa bagian saja yang dipengaruhi oleh hukum
agama (Islam), yaitu : Hukum keluarga, perkawinan dan waris. Pendapat
Snouck Hurgronie dibantah oleh Ter Haar, dengan alasan Hukum Waris
tidak dipengaruhi oleh Hukum Islam, tetap asli, seperti di Minangkabau.

Unsur Hukum Adat terdiri dari Unsur asli (bagian terbesar), (bersifat
turun-temurun) dan Unsur agama (sebagian kecil). Sedangkan sumber
hukum adat menurut van Vollenhoven :

a. Tingkah laku yang tetap karena kebiasaan dari anggota masyarakat


hukum adat;

b. Keputusan-keputusan (ketetapan-ketetapan) dari para kepala dalam


membantu agar peraturan-peraturan tingkah laku ditaati;

c. Keputusan-keputusan (ketetapan-ketetapan) kepala Indonesia dalam


mengadili persengkataan;

3
d. Keputusan-keputusan (ketetapan-ketetapan) para pejabat hakim
menurut hukum adat.

Menurut Ter Haar :

a. Keputusan-keputusan (ketetapan-ketetapan) dari kepala rakyat di


luar persengketaan, terutama dalam pembantuan pada perbuatan
hukum.

b. Keputusan-keputusan (ketetapan-ketetapan) dari kepala rakyat di


dalam persengketaan dan dari para hakim dan persekutuan-
persekutuan masyarakat hukum kecil.

c. Keputusan-keputusan (ketetapan-ketetapan) dari pada pejabat hakim,


alat-alat kelengkapan atasan dari tata hukum pemerintah.

Namun dalam hal ini adat harus dapat dibedakan dengan hukum
adat. Ciri Pembeda antara Adat dan Hukum Adat (berdasarkan konsepsi
L. Pospisil) adalah sebagai berikut:

1. Ciri otoritas (Attribute of authority) hukum (adat) itu adalah


keputusan dari mekanisme yang mempunyai wewenang dan
kekuasaan di dalam masyarakat, keputusan mana berfungsi untuk
memecahkan ketegangan sosial.

2. Ciri kewajiban (Attribute of obligation), bahwa hukum (adat) itu


mengandung perumusan tentang hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi para pihak yang masih hidup.

3. Ciri kelanggengan berlaku (Attribute of intention of universal


application), bahwa hukum (adat) itu dimaksudkan dapat berlaku
dalam waktu lama dan harus dapat berlaku terhadap peristiwa yang
serupa di masa yang akan datang.

4. Ciri penguat (Attribute of sanction), bahwa hukum itu mempunyai


penguat (sanksi), baik sanksi jasmani berupa hukuman badan,
maupun sanksi rihani seperti rasa takut, malu, benci, dll.

Ciri-ciri hukum adat Indonesia antara lain:

4
a. Keagamaan, adanya kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
bahwa sesuatu yang terjadi karena berkah dan kehendak Tuhan.

b. Kebersamaan (communal), artinya manusia dalam hukum adat


merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat.
Seluruh lapangan hidup diliputi oleh rasa kebersamaan.

c. Serba konkrit, artinya hubungan-hubungan hukum yang dilakukan


tidak serba sembunyi-sembunyi atau samar-samar, anatara kata dan
perbuatan berjalan serasi, jelas, nyata. Misalnya, perjanjian jual beli.

d. Sangat visual, artinya perhubungan-perhubungan hukum itu


dianggap hanya terjadi jika sudah ada ikatan yang nampak.

e. Tradisional, artinya bersifat turun-temurun, sejak dahulu hingga


sekarang tetap dipakai, diperhatikan, dan dihormati.

f. Dapat berubah, artinya walaupun bersifat tradisional tapi


normal-normalnya tidak kaku, dapat mengikuti perkembangan
zaman.

g. Mampu menyesuaikan diri, karena sifat hukumnya tidak tertulis


(tidak dikodifikasi) dan sifat keterbukaannya.

h. Terbuka dan sederhana, artinya dapat menerima unsur dari luar,


sepanjang tidak bertentangan dengan pandangan hidup masyarakat.

Terdapat perbedaan fundamental antara ssitem hukum adat dengan


sistem hukum barat yakni pada: Pembeda hukum publik dan hukum
privat; Pembeda anatar hak kebendaan dan hak perseorangan; Pembeda
antara pelanggaran pidana dan perdata.

Selanjutnya perbedaan tersebut dapat dilihat didalam tabel berikut:

Sistem Hukum Barat Sistem Hukum Adat

- membedakan hukum publik - tidak mengenal perbedaan itu,

5
(kepentingan hukum) dan hukum hukum adat dapat dibedakan
privat (hukum khusus). Hukum menurut objek yang diaturnya,
publik dipertahankan oleh bukan kepentingan dan siapa yang
pemerintah hukum privat oleh mempertahankannya
perorangan. konsekuensinya dari sifat komunal.

- membedakan antara hak atas - tidak mengenal perbedaan itu,


suatu barang yang bersifat karena sifat kebersamaan, maka
kebendaan (berlaku untuk semua semua hak tidak ada yang bersifat
orang) dan hak perseorangan mutlak “milikku” tapi “milik kita”.
(berlaku untuk orang tertentu).

- Hukum adat tidak mengenal


- membedakan pelanggaran pidana perbedaan itu. Hakim tidak melihat
dan perdata. jenis pelanggarannya, tapi siapa

yang bersalah, siapa yang


dirugikan, dan bagaimana
menyelesaikannya. Tugas hakim
adalah memperbaiki hukum yang

dilanggar.

Terlepas dari Hukum Adat yang berlaku bagi bumiputera. Hukum


Belanda dalam hal ini adalah hukum yang berlaku bagi orang eropa,
khususnya Belanda di pusat-pusat dagang VOC. Pada awalnya hukum
Belanda yang diterapkan di daerah kekuasaannya adalah hukum yang
berlaku bagi kapal-kapal VOC. Bagian terbesar hukum kapal tersebut
adalah hukum disiplin (tucht recht). Namun pada akhirnya hukum
Belanda juga diberlakukan kepada pribumi dalam beberapa hal. Menurut
Utrecht, hukum Belanda yang berlaku di daerah kekuasaan VOC terdiri
dari :1

 Hukum Statuta (yang termuat dalam statuten van Batavia)


 Hukum Belanda yang kuno

1
E. Utrecht. 1965. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II. Universitas, Bandung.

6
 Asas-asas hukum Romawi

VOC dan Pemberlakuan Hukum Belanda

Masuknya hukum Belanda diawali dengan diberikannya hak octrooi


kepada VOC oleh Staten Generaal, yaitu badan federatif tertinggi
negara-negara Belanda. Dengan hak istimewa tersebut, VOC mulai
mendominasi dengan melakukan monopoli pelayaran dan perdagangan,
mengumumkan perang, mengadakan perdamaian, dan mencetak uang.
Setelah menguasai beberapa daerah dengan dukungan hak octrooi ini,
tatanan hukum asing yang awalnya hanya berlaku dalam kapal VOC,
mulai diberlakukan secara konkordansi bagi orang Belanda dan bagi
pribumi yang mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian dengan orang
Belanda.

Pada saat Pieter Both ditunjuk menjadi Gubernur Jenderal pertama


(1610-1614), VOC diberi wewenang untuk membuat peraturan yang
diperlukan di daerah yang dikuasainya. Peraturan yang dibuat tersebut
diumumkan berlakunya melalui "plakaat". Karena tidak dikelola dan
disusun dengan baik, terlebih pada periode tahun 1635-1946 terjadi
pergolakan rakyat menentang monopoli perdagangan VOC. Karena itu,
timbul kebingungan terkait plakaat yang masih berlaku dan mana yang
sudah dicabut.

Untuk merapikan plakaat tersebut, Gubernur Jenderal Van Diemen


(1636-1646) meminta bantuan Joan Maetsyucker, seorang pensiunan dari
Hof Van Justitie (setingkat MA) untuk mengumpulkan dan menyusun
plakaat yang telah diterbitkan. Pada tahun 1642, seluruh plakaat berhasil
dihimpun, kemudian diumumkan dengan nama Statuten Van Batavia
(Statuta Betawi). Statuta tersebut berlaku sebagai hukum positif dan
memiliki kekuatan berlaku yang sama sebagaimana peraturan lain yang
telah ada. Mengenai pemberlakuannya, Statuta Betawi ditujukan kepada
orang pribumi maupun orang pendatang. Selanjutnya Pada tahun 1766
dihasilkan kumpulan plakaat ke-2 diberi nama Statuta Bara

Berlakunya peraturan VOC secara langsung tidaklah menghapus


kaedah hukum adat yang berlaku. Untuk kepentingan orang pribumi,
VOC tetap memberlakukan hukum adat, akan tetapi dengan melakukan

7
campur tangan di jenjang peradilan adat. 2 Campurtangan tersebut
dilandasi dengan alasan-alasan, bahwa :

 Sistem hukum pada hukum adat, tidak memadai untuk


memaksakan rakyat menaati peraturan-peraturan;
 Hukum adat kalanya tidak mampu menyelesaikan suatu perkara,
karena persoalan alat-alat bukti;
 adanya tindakan-tindakan tertentu yang menurut hukum adat
bukan merupakan kejahatan, sedangkan menurut hukum positif
merupakan tindakan pidana yang harus diberikan suatu sanksi.3

Lahirnya Pakem Cirebon untuk dijadikan pegangan bagi hakim


peradilan adat merupakan bentuk campur tangan VOC terhadap
peradilan adat. Pakem Cirebon memuat sistem hukuman, seperti
pemukulan, cap bakar, dan dirantai. Pada zaman ini daerah Nusantara,
misalnya Aceh sudah dikenal sistem penghukuman yang kejam seperti
hukuman mati bagi seorang istri yang melakukan perzinahan, hukum
potong tangan bagi orang mencuri, hukuman menumbuk kepala dengan
alu lesung bagi orang yang membunuh tanpa hak.

Sebagaimana diketahui, VOC dinyatakan pailit dan dibubarkan pada


31 Desember 1799. Pailitnya VOC menjadi babak baru dimana Indonesia
jatuh ke tangan inggris, di bawah kendali Gubernur jenderal Raffles. Pada
jaman Raffles tidak banyak perubahan di bidang hukum. Akhirnya,
dengan Konvensi London 1814, Inggris menyerahkan kekuasaan atas
Indonesia ke tangan Belanda kembali.

Masa Besluiten Regerings (1814-1855)

Setelah dilaksanakannya Convention of London antara Inggris dan


Belanda pada tanggal 13 Agustus 1814 di london, penguasaan atas
wilayah nusantara diberikan kepada Belanda oleh Inggris. Menurut pasal
36 Nederlands Gronwet tahun 1814 (UUD Negeri Belandad 1814)

2
Iwhaq. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Ed.1 Cet.1. Sinar Grafika, Jakarta. hlm.
16
3
S.R. Sianturi. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya.
Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta. hlm. 43

8
menyarakan bahwa raja yang berdaulat, secara mutlak mempunyai
kekuasaan tertinggi atas daerah-daerah jajahan dan harta milik negara di
bagian-bagian lain. Kekuasaan mutlak raja itu diterapkan pula dalam
membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan
sebutan Algemene Verordening (Peraturan Pusat). Karena peraturan pusat
itu dibuat oleh raja, maka dinamakan Koninklijk Besluit (besluit raja) yang
pengundangannya dibuat oleh raja melalui Publicatie, yakni surat
selebaran yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal.

Dilihat dari isi Koninklijk Besluit itu mempunyai dua sifat tergantung
dari kebutuhannya, yaitu :

1. Besluit sebagai tindakan eksekutif raja, misalnya ketetapan


pengangkatan Gubernur Jenderal
2. Besluit sebagai tindakan legislatif, yaitu mengatur misalnya
berbentuk AlgemeBe Maatregel van Bestuur (AMVB) di negeri
Belanda

Dalam rangka melaksanakan pemerintahan di Nederlands Indie


(Hindia Belanda), raja mengangkat Komisaris Jenderal yang terdiri atas
Elout, Buyskes, dan Vander Capellen. Para Komisaris Jenderal itu tidak
membuat peraturan baru untuk mengatur pemerintahannya, dab tetap
memberlakukan undang-undang dan peraturan-peraturan yang berlaku
pada masa Inggris berkuasa di Indonesia, yakni mengenai landrente dan
usaha pertanian dan susunan pengadilan buatan Raffles. Dalam bidang
hukum peraturan yang berlaku bagi orang Belanda tidak mengalami
perubahan, karena menunggu terwujudnya kodifikasi hukum yang
direncanakan oleh pemerintah Belanda. Lembaga peradilan yang
diperlakukan bagi orang pribumi tetap dipergunakan peradilan Inggris.

Untuk memenuhi kekosongan kas negara Belanda sebagai akibat dari


pendudukan Prancis tahun 1810-1814, Gubernur Jederal Du Bus de
Gesignes memperlakukan politik agraria dengan cara mempekerjakan
para terpidana pribumi yang dikenal dengan dwangs arbeid (kerja paksa)
berdasarkan pada Staatsblad 1828 Nomor 16, yang dibagi atas dua
golongan, yaitu :

1. yang dipidana kerja rantai

9
2. yang dipidana kerja paksa

Dipidana kerja rantai, ditempatkan dala suatu tuchtplaats dan akan


dipekerjakan pada openbare werker di Batavia dan Surabaya. Adapun yang
dipidana kerja paksa, baik yang diupah maupun tidak, ditempatkan
dalam suatu werkplaast dan akan dipekerjakan pada land bouweta
blissementen yang dibuat oleh pemerintah.

Pada tahun 1830 pemerintah Belanda berhasil mengkodifikasikan


hukum perdata. Pengundangan hukum yang sudah berhasil
dikodifikasikan itu baru dapat terlaksana pada tanggal 1 Oktober 1938.
Hal ini disebabkan terjadinya pemberontakan di bagian selatan Belanda
pada bulan Agustus 1830. Selanjutnya, timbul pemikiran tentang
pengkodifikasian hukum perdata bagi orang Belanda yang berada di
Hindia Belanda. Untuk maksud itu pada tanggal 15 Agustus 1839 menteri
jajahan di Belanda mengangkat Komisi undang-undang bagi Hindia
Belanda yang terdiri atas Mr. Scholten van Oud Haarlem sebagai ketuaMr.
J. Schmither, dan Mr. J.F.H. van Nes sebagai anggota. Komisi ini dalam
tugasnya dapat menyelesaikan beberapa peraturan yang kemudian oleh
Mr. H.L. Wicher disempurnakan, yaitu :

1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie (RO) atau Peraturan


Organisasi Pengadilan (POP)
2. Algemene Bepalingen van Wetgeping (AB) atau ketentuan umum
tentang perundang-undangan
3. Burgelijke Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum Sipil
(KUHS)
4. Wetboek van Koophandel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD)
5. Reglement op de Burgelijke Rechts vordering (RV) atau peraturan
tentang Acara Perdata (AP)

Berdasarkan kenyataan sejarah di atas dapat dijelaskan bahwa tata


hukum pada masa Busleiten Regerings (BR) terdiri atas peraturan tertulis
yang dikodifikasikan, dan yang tidak dikodifikasikan, serta peraturan
tidak tertulis (hukum adat) yang khusus berlaku bagi orang bukan
golongan Eropa.

10
Masa Regerings Reglement/RR (1855-1926)

Di negeri Belanda terjadi perubahan Grond Wet (UUD) pada tahun


1848 sebagai akibat dari pertentangan Staten General (Parlemen) dan raja
yang berakhir dengan kemenangan Parlemen dalam bidang mengelola
kehidupan bernegara. Adanya perubahan Grondwet itu mengakibatkan
juga terjadinya perubahan terhadap pemerintahan pemerintahan dan
perundang-undangan jajahan Belanda di Indonesia. Hal ini
dicantumkannya Pasal 59 ayat I, II dan IV Grontwet yang menyatakan
bahwa ayat I raja mempunyai kekuasaan tertinggi atau daerah jajahan
dan harta kerajaan di bagian dari dunia. Ayat II dan IV aturan tentang
kebijasanaan pemerintah ditetapkan melalui undang-undang sistem
keuangan ditetapkan melalui undang-undang. Hal-hal lain yang
menyangkut mengenai daerah-daerah jajahan dan harta, kalau
diperlukan akan diatur melalui undang-undang.

Menurut ketentuan Pasal 59 ayat I, II, IV di atas, kekuasaan raja


terhadap daerah jajahan menjadi berkurang. Peraturan yang menata
daerah jajahan tidak semata-mata ditetapkan oleh raja dengan Koninklijk
Besluit-nya, tetapi ditetapkan bersama oleh raja dengan parlemen,
sehingga sistem pemerintahannya berubah dari monarki konstitusional
menjadi monarki parlementer.

Peraturan dasar yang dibuat bersama oleh raja dengan parlemen


untuk mengatur pemerintahan daerah jajahan di Indonesia adalah
Regerings Reglement (RR). RR ini berbentuk undang-undang yang
diundangkan melalui Staatsblad 1855 Nomor 2 yang isinya terdiri atas 8
bab dan 130 pasal yang mengatur tentang pemerintahan di Hindia
Belanda, sehingga RR ini dianggap sebagai undang-undang dasar
pemerintahan jajahan Belanda.

Politik hukum pemerintahan Belanda yang mengatur tentang tata


hukum dicantumkan dalam pasal 75 RR dan asasnya sama sebagaimana
termuat dalam Pasal 11 AB, yaitu dalam menyelesaikan perkara perdata
hakim diperintahkan untuk menggunakan hukum perdata Eropa bagi
golongan Eropa dan hukum perdata adat bagi orang bukan Eropa.

11
Selanjutnya RR mengalami perubahan pada tahun 1920 pada pasal
tertentu, sehingga dinamakan RR baru yang berlaku sejak tanggal 1
Januari 1920 sampai tahun 1926. Golongan penduduk dalam pasal 75 RR
itu diubah dari dua golongan menjadi tiga golongan, yaitu golongan
Eropa, golongan Timur Asing dan golongan Bumiputera (pribumi).

Pada masa berlakunya RR telah berhasil diundangkan kitab-kitab hukum,


yaitu :

1. Kitab hukum pidana untuk golongan Eropa melalui Staadsblad


1866 Nomor 55 sebagai hasil saduran dari Code Penal yang berlaku
di Belanda pada waktu itu;
2. Algement Politie Strafreglement sebagai tambahan kitab hukum
pidana untuk golongan Eropa tahun 1872 Nomor 85 yang isinya
hampir sama dengan Kitab Hukum Pidana Eropa tahun 1866;
3. Politie Stafreglement bagi orang bukan eropa melalui Staatsblad 1872
Nomor 111;
4. Wetboek van Strafrecht diundangkan pada tahun 1915 dengan
Staatsblad 1915 Nomor 732 di Hindia Belanda dalam suatu
kodifikasi yang berlaku bagi semua golongan penduduk mulai
tanggal 1 Januari 1918.

Masa Indische Straatsregeling (1926-1942)

Pada tanggal 23 Juni 1925 Regerings Reglement (RR) diubah menjadi


Indische Staatsregeling (IS) atau peraturan ketatanegaraan Hindia Belanda
yang termuat dalam Staatsblad (1925) Nomor 415 yang mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 1926. Pada masa berlakunya IS tata hukum yang
berlaku di Hindia Belanda adalah pertama-tama yang tertulis dan yang
tidak tertulis (Hukum adat) dan sifatnya masih pluralistis khususnya
hukum perdata. Hal ini tampak pada ketentuan pasal 131 IS yang juga
menjelaskan bahwa pemerintah Hindia Belanda membuka kemungkinan
adanya usaha untuk unifikasi hukum bagi ketiga golongan penduduk
Hindia Belanda, yaitu Eropa, Timur Asing dan Bumiputra (Pribumi) yang
ditetapkan dalam Pasal 163 IS.

12
Tujuan pembagian golongan penduduk sebenarnya adalah untuk
menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing
golongan yaitu sebagai berikut.

Golongan Eropa sebagaimana tercantum dalam Pasal 131 IS adalah


tunduk kepada hukum perdata, yaitu Burgelijk Wetboek (BW) dan Wetboek
van Kopphandel (WvK) yang diundangkan berlakunya tanggal 1 Mei 1848,
dengan asas konkordansi. Untuk hukum pidana materiil, berlaku Wetboek
van Strafrecht (WvS) 1915 Nomor 732. Sedangkan untuk Hukum acara
yang dilaksanakan dalam proses pengadilan bagi golongan Eropa di Jawa
dan Madura diatur dalam Reglement op de Burgerlijk Rechts Vordering
untuk perkara perdata dan Reglement op de Straf Vordering untuk proses
perkara pidana, yang keduanya mulai berlaku pada tanggal 1 Januari
1918.

Mengenai susunan peradilan yang dipergunakan untuk golongan


Eropa di Jawa dan Madura adalah : Residentte Gerecht; Raad van Justitie;
dan Hoogerechtchof. Sedangkan acara peradilan di luar Jawa dan Madura
diatur dalam Rechts Reglement Buitengewesten (RBg) berdasarkan Staatsblad
1927 Nomor 227 untuk daerah hukumnya masing-masing.

Bagi golongan bumiputra (pribumi) Dalam hal keperdataan, hukum


yag digunakan adalah hukum perdata adat dalam bentuk tidak tertulis.
Tetapi dengan adanya pasal 131 ayat (6) IS kedudukan berlakunya
hukum perdata adat itu tidak mutlak, dan dapat diganti dengan
ordonansi jika dikehendaki oleh pemerintah Hindia Belanda. Keadaan
demikian telah dibuktikan dengan dikeluarkannya berbagai ordonansi
yang diberlakukan untuk semua golongan yaitu :

a. Staatsblad 1933 Nomor 48 jo. Staatsblad 1939 Nomor 2 tentang


peraturan pembukuan kapal;

b. Staatsblad 1933 Nomor 108 tentang peraturan umum untuk


perhimpunan koperasi;

c. Staatsblad 1938 Nomor 523 tentang ordonansi orang yang


meminjamkan uang

d. Staatsblad 1938 Nomor 524 tentang ordonansi riba

13
Adapun hukum yang berlaku bagi golongan bumiputera, yaitu:

a. Staatsblad 1927 Nomor 91 tentang koperasi bumiputera;

b. Staatsblad 1931 Nomor 53 tentang pengangkatan wali di Jawa


dan Madura;

c. Staatsblad 1933 Nomor 74 tentang perkawinan orang kristen


Jawa, Minahasa dan Ambon;

d. Staatsblad 1933 Nomor 75 pencatatan jiwa bagi orang


Indonesia di Jawa, Madura, Minahasa. Amboina, Saparua, dan
Banda;

e. Staatsblad 1939 Nomor 569 tentang Maskapai Andil;

f. Staatsblad 1939 Nomor 570 tentang perhimpunan pribumi.

g. Semua Staatsblad di atas adalah ordonansi yang berkaitan


dengan bidang hukum perdata.

Hukum pidana materiil yang berlaku bagi golongan bumiputera,


adalah :

a. Hukum pidana materiil, yaitu Wetboek van Strafrecht sejak tahun 1918
berdasarkan Staatsblad 1915 Nomor 723
b. Hukum acara perdata untuk daerah Jawa dan Madura, adalah Inlands
Reglement (IR) dan hukum acara pidana bagi mereka diatur dalam
Herziene Inlands Reglement (HIR) berdasarkan Staatsblad 1941 Nomor
44 tanggal 2 Februari 1941. HIR ini berlaku di landraat Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Susunan peradilan bagi pribumi di
Jawa dan Madura adalah :
c. District Gerecht, di daerah pemerintahan distrik (kewedanaan);
d. Regentscaps Gerecht, di daerah kabupaten yang diselenggarakan oleh
Bupati, dan sebagai pengadilan banding;
e. Landraad, terdapat di kota kabupaten dan beberapa kota lainnya yang
diperlukan adanya pengadilan ini, dan mengadili perkara banding
yang diajukan atas putusan Regentschaps Gerecht

14
Bagi daerah-daerah di luar Jawa dan Madura, susunan organisasi
peradilannya untuk golongan pribumi diatur dalam Rechtsreglement
Buitengewesten (RBg), dan lembaga peradilannya adalah :

a. Negorijrecht bank, terdapat pada desa (negari) di Ambon;


b. District Gerecht, terdapat di tiap kewedanan dari keresidenan Bangka,
Belitung, Manado, Sumatra Barat, Tapanuli, Kalimantan Selatan, dan
Kalimantan Timur;
c. Magistraats Gerecht, menangani keputusan Districts Gerecht di
Belitung dan Manado, sedangkan untuk Ambon menangani
keputusan Negorijrecht bank;
d. Landgerecht, kedudukan dan tugasnya sama dengan landraad di Jawa,
tetapi untuk daerah landraad Nias, Bengkulen, Majene, Palopo,
Pare-Pare, Manokwari, dan fak-fak, jabatan ketua dapat diserahkan
kepada pegawai pemerintah Belanda, karena kekurangan sarjana
hukum.

Bagi golongan Timur Asing, berlakulah :

a. Hukum perdata, hukum pidana adat mereka menurut ketentuan


Pasal 11 AB, berdasarkan Staatsblad 1855 Nomor 79 (untuk semua
golongan timur asing)
b. Hukum perdata golongan Eropa (BW) hanya bagi golongan Timur
Asing Cina untuk wilayah Hindia Belanda melalui Staatsblad 1924
Nomor 557. Untuk daerah Kalimantan Barat berlakunya BW tanggal
1 September 1925 melalui Staatsblad 1925 Nomor 92
c. WvS yang berlaku sejak 1 Januari 1918 untuk hukum pidana materiil.
d. Hukum acara yang berlaku bagi golongan Eropa dan hukum acara
yang berlaku bagi golongan bumiputera, karena dalam praktek
kedua hukum acara tersebut digunakan untuk peradilan bagi
golongan Timur Asing.

Dalam penyelenggaraan peradilan, di samping susunan peradilan


yang telah disebutkan di atas juga melaksanakan peradilan lain, yaitu :

1. Pengadilan Swapraja
2. Pengadilan Agama

15
3. Pengadilan Militer

Berdasarkan Pasal 163 jo. Pasal 131 IS. Maka golongan penduduk dan
sistem hukumnya dapat dilihat dalam matrik di bawah ini.

Golongan Lingkup Sistem Hukum

 Belanda  Hukum Perdata


 Bukan Belanda Aturan yang berlaku adalah
tetapi dari Eropa BW (Burgerlijk wet boek)
 Jepang dan WvK (Wetboek van
 Lain-lain yang Koophandel)
hukum  Hukum Pidana
keluarganya Aturan yang berlaku adalah
Eropa sama dengan WvS (Wetboek van
Belanda, Strafrecht)
Amerika,  Hukum Acara
Australia dan Acara Perdata
lainnya menggunakan (Reglement
 Keturunan dari of de Burgerlijke) dan Acara
keempat Pidana (Reglement of Straf
golongan di atas vor dering)

 Khusus untuk cina hanya


berlaku hukum perdata
(BW dan WvK)
 Untuk warga negara Timur
asing bukan Cina :
 Cina
Timur Asing  Bukan Cina o Hukum Perdata
(India, Arab) Berlaku hukum adat
mereka (kecuali yang
tunduk pada hukum
Eropa)
o Hukum Pidana
Berlaku WvS

16
(Wetboek van
Strafrecht)
o Hukum Acara
Tidak diatur
sehingga dapat
mengikuti golongan
Eropa terkadang
pribumi

 Hukum Perdata
Aturan yang digunakan
adalah Hukum Adat, BW,
WvK untuk beberapa
 Indonesia asli pengecualian
 Keturunan lain  Hukum Pidana
yang sudah aturan yang digunakan
lama menetap di adalah WvS (Wetboek van
Bumiputera Indonesia Strafrecht)
sehingga sudah  Hukum Acara
melebur ke untuk acara perdata aturan
dalam Indonesia yang digunakan adalah IR
asli (Inlands Reglement).
Sedangkan acara pidana
menggunakan HIR
(Herziene Inlands
Reglement)

Masa Jepang (Osamu Seirei) (1942-1945)

Pada masa pendudukan Jepang pelaksanaan tata pemerintahan di


Indonesia berpedoman undang-undang yang disebut Gun Sirei, melalui
Osamu Sirei. Osamu Sirei itu mengatur segala hal yang diperlukan untuk
melaksanakan pemerintahan, melalui peraturan pelaksana yang disebut
Osamu Kanrei. Peraturan Osamu Seirei berlaku secara umum. Osamu Kanrei

17
sebagai peraturan pelaksana, isinya juga mengatur hal-hal yang
diperlukan untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum.

Dalam bidang hukum, pemerintah balatentara Jepang melalui Osamu


Seirei Nomor 1 Tahun 1942 pada Pasal 3 menyebutkan, semua badan
pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari
pemerintahan yang dahulu tetap diakui sah buat sementara waktu asal
saja tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah militer.

Berdasarkan Pasal 3 Osamu Seirei tersebut, jelaslah, bahwa hukum


dan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum Balatentara
Jepang datang ke Indonesia masih tetap berlaku. Dengan demikian, Pasal
131 IS sebagai pasal politik hukum dan Pasal 163 IS yang mengatur
pembagian golongan penduduk masih tetap berlaku.

Untuk golongan Eropa, Timur Asing Cina, Timur asing bukan Cina
dan Indonesia yang secara sukarela tunduk kepada hukum perdata Eropa
tetap berlaku baginya Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel
(WvK) serta aturan-aturan hukum perdata Eropa yang tidak
dikodifikasikan.

Adapun bagi golongan Bumiputera (Indonesia) dan Timur Asing


bukan Cina yang tidak tunduk secara sukarela kepada hukum perdata
Eropa tetap berlaku aturan-aturan hukum perdata adatnya. Selanjutnya,
pemerintah Balatentara Jepang juga mengeluarkan Gun Seirei nomor
Istimewa 1942, Osamu Sirei Nomor 25 Tahun 1944, memuat aturan-aturan
pidana yang umum dan aturan-aturan pidana yang khusus, sebagai
pelengkap peraturan yang telah ada sebelumnya.

Gun Sirei Nomor 14 Tahun 1942 mengatur susunan lembaga


peradilan yang terdiri atas :

1. Tihoo Hooin, berasal dari Landraad (Pengadilan Negeri)


2. Keizai Hooin, berasal dari landgerecht (Hakim Kepolisian)
3. Ken Hooin, berasan dari Regenschap Gerecht (Pengadilan Kabupaten)
4. Gun Hooin, berasal dari District Gerecht (Pengadilan Kewedanaan)
5. Kokyoo Kooto Hooin, berasal dari Hof voor Islami etische Zaken
(Mahkamah Islam Tinggi)
6. Sooyo Hooin, berasal dari Priesteraad (Rapat Agama)

18
7. Gunsei Kensatu Kyoko, terdiri atas Tihoo Kensatu Kyoko (Kejaksaan
Pengadilan Negeri), berasal dari Paket voor de Landraaden

Adapun wewenang Raad van Justitie dialihkan kepada Tihoo Hooin


dan Hoogerechtshof tidak disebut-sebut dalam undang-undang itu. Semua
aturan hukum dan proses peradilanya selama zaman penjajahan Jepang
berlaku sampai Indonesia merdeka.

Masa UUD 1945 (17 Agustus 1945-26 Desember 1949)

Setelah bangsa Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, saat itu


bangsa Indonesia telah mengambil sikap untuk menentukan nasib sendiri,
mengatur dan menyusun negaranya serta menetapkan tata hukumnya,
sehingga pada tanggal 18 Agustus 1945 ditetapkanlah Undang-Undang
Dasar yang supel dan elastik dengan sebutan Undang-Undang Dasar
1945.

Bentuk tata hukum dan politik hukum yang akan berlaku masa itu
dapat dilihat pada Pasal 1 dan 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar
1945, yaitu Pasal 1 yang berbunyi :

“Segala peraturan peundang-undangan yang telah ada masih


tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar Ini”

Pasal 2 menyebutkan :

“Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi


sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang Dasar
dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
ini”

Menurut ketentuan Pasal 1 dan 2 aturan peralihan itu dapat diketahui,


bahwa semua peraturan dan lembaga yang telah ada dan berlaku pada
jaman penjajahan Belanda maupun masa pemerintahan balatentara

19
Jepang, tetap diberlakukan dan difungsikan. Dengan demikian, tata
hukum yang berlaku pada masa tahun 1945-1949 adalah semua peraturan
yang telah ada dan pernah berlaku pada masa penjajahan Belanda
maupun masa Jepang berkuasa dan produk-produk peraturan baru yang
dihasilkan oleh pemerintah negara Republik Indonesia dari tahun
1945-1949.

Masa Konstitusi RIS (27 Desember 1949-16 Agustus 1950)

Setelah disepakatinya konferensi meja bundar pada tahun 1949,


berlakulah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS), dan tata hukum
yang berlaku pada waktu itu adalah tata hukum yang terdiri atas
peraturan yang dinyatakan berlaku pada masa 1945-1949 dana produk
peraturan baru yang dihasilkan yang dihasilkan oleh pemerintah Negara
Republik Indonesia Serikat selama kurun waktu 27 Desember 1949
sampai dengan 16 Agustus 1950.

Hal tersebut telah ditentukan dalam Pasal 192 KRIS yang berbunyi :

“Peraturan-peraturan, undang-undang, dan ketentuan tata usaha


yang sudah ada pada saat konstitusi ini mulai berlaku tetap
berlaku tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan RIS sendiri, selama dan sekadar
peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut,
ditambah atau atas kuasa konstitusi ini.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 192 KRIS ini berarti aturan-aturan


hukum yang berlaku dalam negara Republik Indonesia berdasarkan Pasal
1 dan 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945 tetap berlaku di
negara Republik Indonesia Serikat.

Masa UUD Sementara 1950 (17 Agustus 1950-4 Juli 1959)

Pada tanggal 17 Agustus 1950 bangsa Indonesia kembali ke negara


kesatuan, dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku
sampai tanggal 4 Juli 1959. Tata hukum yang berlaku pada masa ini
adalah tata hukum yang terdiri dari semua peraturan yang dinyatakan
berlaku berdasarkan Pasal 142 UUDS 1950, dan ditambah dengan

20
peraturan baru yang dibentuk oleh pemerintah negara selama kurun
waktu dari 17 Agustus 1950 sampai dengan 4 Juli 1959.

Masa Kembali Kepada UUD 1945 (5 Juli 1959-13 Oktober 1999)

Setelah keluarnya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959,


Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950 tidak berlaku lagi, dan
kembali berlaku UUD 1945 sampai sekarang. Tata hukum yang berlaku
pada masa ini adalah tata hukum yang terdiri atas semua peraturan yang
berlaku pada tahun 1950- 1959 dan yang dinyatakan masih berlaku
berdasarkan ketentuan Pasal 1 dan 2 aturan peralihan UUD 1945 dengan
ditambah berbagai peraturan yang dibentuk setelah Dekrit Presiden 5 Juli
1959 tersebut terbit.

Setelah dirasa adanya kekacauan tata urutan peraturan


perundang-undangan, pada tahun 1966 diterbitkan Tap MPR terkait tata
urutan (hierarki) perundang-undangan. Hierarki perundang-undangan
yang diatur berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 jo.
Ketetapan MPR Nomor V/MPR/1973 dan TAP No. IX/MPR/1978. Hierarki
perundang-undangan yang dimaksud adalah diurutkan sebagai berikut.

1. Undang-Undang Dasar 1945.


2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3. Undang-Undang/ PERPU (Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang).
4. Peraturan Pemerintah (PP).
5. Keputusan Presiden (Keppres).
6. Peraturan Pelaksana lainnya seperti : Peraturan Menteri; Instruksi
Menteri; dan lain-lain.

Tata urutan tersebut mengandung konsekuensi bahwa peraturan


perundang-undangan yang urutannya lebih rendah tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Untuk diketahui bahwa Keputusan MPRS tentang hierarki
perundang-undangan ini pada masa selanjutnya, yaitu pasca reformasi
diganti dengan ketetapan MPR baru, dan akhirnya setelah kewenangan
MPR untuk membuat ketetapan yang bersifat mengatur (regelling)

21
dihapus, akhirnya Hierarki Perundang-undangan ini dimasukkan dalam
materi Undang-undang.

Masa Amandemen (21 Oktober 1999-Sekarang)

Setelah amandemen UUD NRI 1945, Indonesia mulai menerapkan


Konsep Negara Hukum (Rechtsstaat), yang pada dasarnya mempunyai
karakteristik sebagai berikut:

a. Penyelenggaraan negara berdasar Konstitusi.


b. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka.
c. Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia.
d. Kekuasaan yang dijalankan berdasarkan atas prinsip bahwa
pemerintahan, tindakan dan kebijakannya harus berdasarkan
ketentuan hukum (due process of law ).

UUD 1945 --> Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman -->


Lembaga Negara dan Organ yang Menyelenggarakan Kekuasaan Negara.

Dasar Pemikiran dan Latar Belakang Amandemen UUD 1945

1. Undang-Undang Dasar 1945 membentuk struktur ketatanegaraan


yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang
sepenuhnya melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini berakibat
pada tidak terjadinya checks and balances pada institusi-institusi
ketatanegaraan.
2. Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kekuasaan yang sangat
besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif (Presiden). Sistem
yang dianut UUD 1945 adalah executive heavy yakni kekuasaan
dominan berada di tangan Presiden dilengkapi dengan berbagai
hak konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif (antara lain:
memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi) dan kekuasaan
legislatif karena memiliki kekuasan membentuk Undang-undang.
3. UUD 1945 mengandung pasal-pasal yang terlalu “luwes” dan
“fleksibel” sehingga dapat menimbulkan lebih dari satu penafsiran
(multitafsir), misalnya Pasal 7 UUD 1945 (sebelum di amandemen).

22
4. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan
Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang.
Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden
dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam
Undang-undang.
5. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara
belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan
dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum,
pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan
otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya
praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan
Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:

a. Tidak adanya check and balances antar lembaga negara dan


kekuasaan terpusat pada presiden.
b. Infra struktur yang dibentuk, antara lain partai politik dan
organisasi masyarakat.
c. Pemilihan Umum (Pemilu) diselenggarakan untuk memenuhi
persyaratan demokrasi formal karena seluruh proses tahapan
pelaksanaannya dikuasai oleh pemerintah.
d. Kesejahteraan sosial berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 tidak
tercapai, justru yang berkembang adalah sistem monopoli dan
oligopoli.

Hierarki Peraturan Perundang-Undangan

Menurut TAP MPRS XX Tahun 1966:

1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU/PERPU
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan Menteri
7. Instruksi Menteri

Menurut TAP MPR III Tahun 2000:

23
1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU
4. PERPU
5. PP
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah

Menurut UU No. 10 Tahun 2004:

1. UUD 1945
2. UU/PERPU
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah

Menurut UU No. 12 Tahun 2011:

1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU/PERPU
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten

Kesepakatan Panitia Ad Hoc Tentang Perubahan UUD 1945

1. Tidak mengubah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,


sistematika, aspek kesejarahan dan orisinalitasnya.
2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
3. Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial.
4. Penjelasan UUD 1945 ditiadakan serta hal-hal normatif dalam
penjelasan dimasukkan dalam pasal-pasal.
5. Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.

24
Lembaga Negara dan Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara
Sebelum Perubahan UUD 1945

Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi, kemudian


kedaulatan rakyat diberikan seluruhnya kepada MPR (Lembaga
Tertinggi). MPR mendistribusikan kekuasaannya (distribution of power)
kepada 5 Lembaga Tinggi yang sejajar kedudukannya, yaitu Mahkamah
Agung (MA), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

MPR

 Sebagai Lembaga Tertinggi Negara diberi kekuasaan tak terbatas


(super power) karena “kekuasaan ada di tangan rakyat dan
dilakukan sepenuhnya oleh MPR” dan MPR adalah “penjelmaan
dari seluruh rakyat Indonesia” yang berwenang menetapkan UUD,
GBHN, mengangkat presiden dan wakil presiden.
 Susunan keanggotaannya terdiri dari anggota DPR dan utusan
daerah serta utusan golongan yang diangkat.

Dalam praktek ketatanegaraan, MPR pernah menetapkan antara lain:

 Presiden, sebagai presiden seumur hidup.


 Presiden yang dipilih secara terus menerus sampai 7 (tujuh) kali
berturut turut.
 Memberhentikan sebagai pejabat presiden.
 Meminta presiden untuk mundur dari jabatannya.
 Tidak memperpanjang masa jabatan sebagai presiden.
 Lembaga Negara yang paling mungkin menandingi MPR adalah
Presiden, yaitu dengan memanfaatkan kekuatan partai politik
yang paling banyak menduduki kursi di MPR.

PRESIDEN

25
 Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai
mandataris MPR, meskipun kedudukannya tidak “neben” akan
tetapi “untergeordnet”.
 Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi
(consentration of power and responsiblity upon the president).
 Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power),
juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan
kekuasaan yudikatif (judicative power).
 Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.
 Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat
menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian
presiden dalam masa jabatannya.

DPR

 Memberikan persetujuan atas RUU yang diusulkan presiden.


 Memberikan persetujuan atas PERPU.
 Memberikan persetujuan atas Anggaran.
 Meminta MPR untuk mengadakan sidang istimewa guna meminta
pertanggungjawaban presiden.

DPA dan BPK

 Di samping itu, UUD 1945 tidak banyak mengintrodusir


lembaga-lembaga negara lain seperti DPA dan BPK dengan
memberikan kewenangan yang sangat minim.

Lembaga Negara dan Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara


Sesudah Perubahan UUD NRI 1945
Undang-Undang Dasar merupakan hukum tertinggi dimana
kedaulatan berada di tangan rakyat dan dijalankan sepenuhnya menurut
UUD. UUD memberikan pembagian kekuasaan (separation of power)
kepada 6 Lembaga Negara dengan kedudukan yang sama dan sejajar,
yaitu Presiden, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan

26
Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah
Konstitusi (MK).

Perubahan (Amandemen) UUD 1945:

 Mempertegas prinsip negara berdasarkan atas hukum [Pasal 1 ayat


(3)] dengan menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai
kekuasaan yang merdeka, penghormatan kepada hak asasi
manusia serta kekuasaan yang dijalankan atas prinsip due process of
law.
 Mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian para
pejabat negara, seperti Hakim.
 Sistem konstitusional berdasarkan perimbangan kekuasaan (check
and balances) yaitu setiap kekuasaan dibatasi oleh Undang-undang
berdasarkan fungsi masing-masing.
 Setiap lembaga negara sejajar kedudukannya di bawah UUD 1945.
 Menata kembali lembaga-lembaga negara yang ada serta
membentuk beberapa lembaga negara baru agar sesuai dengan
sistem konstitusional dan prinsip negara berdasarkan hukum.
 Penyempurnaan pada sisi kedudukan dan kewenangan
maing-masing lembaga negara disesuaikan dengan perkembangan
negara demokrasi modern.

MPR

 Lembaga tinggi negara sejajar kedudukannya dengan lembaga


tinggi negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, MA, MK, BPK.
 Menghilangkan supremasi kewenangannya.
 Menghilangkan kewenangannya menetapkan GBHN.
 Menghilangkan kewenangannya mengangkat Presiden (karena
presiden dipilih secara langsung melalui pemilu).
 Tetap berwenang menetapkan dan mengubah UUD.
 Susunan keanggotaanya berubah, yaitu terdiri dari anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan angota Dewan Perwakilan Daerah yang
dipilih secara langsung melalui pemilu.

DPR

27
 Posisi dan kewenangannya diperkuat.
 Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan
presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja)
sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.
 Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan
Pemerintah.
 Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran,
dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga
negara.

DPD

 Lembaga negara baru sebagai langkah akomodasi bagi


keterwakilan kepentingan daerah dalam badan perwakilan tingkat
nasional setelah ditiadakannya utusan daerah dan utusan
golongan yang diangkat sebagai anggota MPR.
 Keberadaanya dimaksudkan untuk memperkuat kesatuan Negara
Republik Indonesia.
 Dipilih secara langsung oleh masyarakat di daerah melalui pemilu.
 Mempunyai kewenangan mengajukan dan ikut membahas RUU
yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, RUU lain yang berkait dengan kepentingan daerah.

BPK

 Anggota BPK dipilih DPR dengan memperhatikan pertimbangan


DPD.
 Berwenang mengawasi dan memeriksa pengelolaan keuangan
negara (APBN) dan daerah (APBD) serta menyampaikan hasil
pemeriksaan kepada DPR dan DPD dan ditindaklanjuti oleh
aparat penegak hukum.
 Berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di
setiap provinsi.
 Mengintegrasi peran BPKP sebagai instansi pengawas internal
departemen yang bersangkutan ke dalam BPK.

PRESIDEN

28
 Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki
tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa
jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
 Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
 Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode
saja.
 Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus
memperhatikan pertimbangan DPR.
 Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus
memperhatikan pertimbangan DPR.
 Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden
dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat
melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden
dalam masa jabatannya.

MAHKAMAH AGUNG

 Lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman, yaitu


kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan
hukum dan keadilan [Pasal 24 ayat (1)].
 Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peaturan
perundang-undangan di bawah Undang-undang dan wewenang
lain yang diberikan Undang-undang.

MAHKAMAH AGUNG

 Di bawahnya terdapat badan-badan peradilan dalam lingkungan


Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan
Peradilan militer dan lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
(PTUN).
 Badan-badan lain yang yang fungsinya berkaitan dengan
kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang seperti :
Kejaksaan, Kepolisian, Advokat/Pengacara dan lain-lain.

MAHKAMAH KONSTITUSI

29
 Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi
(the guardian of the constitution).
 Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus
sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus
pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
 Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan
masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan
ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari
3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan
eksekutif.

Dinamika Perkembangan Sistem Hukum Indonesia

Sistem hukum di Indonesia sekarang ini adalah sistem hukum yang


unik, sistem hukum yang dibangun dari proses penemuan,
pengembangan, adaptasi, bahkan kompromi dari beberapa sistem yang
telah ada. Sistem hukum Indonesia tidak hanya mengedepankan ciri-ciri
lokal, tetapi juga mengakomodasi prinsip-prinsip umum yang dianut
oleh masyarakat internasional. Sistem hukum indonesia merupakan
perpaduan antara sistem hukum eropa, hukum adat, dan hukum Islam.
Perkembangan sistem Hukum Indonesia makin tampak ketika
adanya sumbangan dari pemikiran para filsuf pemikir hukum.
Perkembangan itu salah satunya adalah dari mazhab positivis dan
sociological jurisprudence. Dalam arti ini, positivisme sama tuanya
dengan filsafat. Tetapi sebagai gerakan yang tetap dalam filsafat umum,
sosiologi dan ilmu hukum pada hakikatnya adalah gejala modern. Yang
di satu pihak menyertai pentingnya ilmu pengetahuan, dan sisi yang lain
menjelaskan tentang filsafat politik dan teori tentang ilmu hukum.4
Positivisme atau yang dikenal dengan aliran positivis mempunyai
pengaruh yang besar dalam proses pembentukan dan penegakan hukum
di Indonesia. Pada kebanyakan tindakan lembaga legilatif untuk
membuat undang-undang, tindakan Pemerintah (Excecutive) dan aparat

4
Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, telaah kritis atas teori-teori hukum,
(Jakarta: Rajawali Press), 1960, hlm. 143.

30
dalam menegakkan hukum, bahkan tindakan hakim dalam memutus
perkara selalu menjadikan pemikiran mazhab ini sebagai acuan. Selain itu,
aspek keadilan dalam penegakan hukum dalam sistem hukum nasional
selalu dilihat dari perspektif keadilan hukum. Positivisme menekankan
setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan suatu kebenaran,
hendaknya menjadikan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif
dan harus dilepaskan dari berbagai macam konsepsi metafisis subjektif.
Ketika pemikiran positivisme diterapkan ke dalam bidang hukum,
positivisme hukum melepaskan pemikiran hukum sebagaimana dianut
oleh para pemikir aliran hukum alam. Jadi setiap norma hukum haruslah
eksis secara objektif sebagai norma-norma yang positif. Hukum tidak
dikonsepkan sebagai asas-asas moral yang abstrak tentang hakikat
keadilan, melainkan sesuatu yang telah dipositifkan sebagai
undang-undang guna menjamin kepastian hukum.
Model penegkan hukum di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh
pemikiran positivisme. Menurut Hans Kelsen bahwa norma hukum yang
sah menjadi standar penilaian bagi setiap perbuatan yang dilakukan oleh
setiap individu/kelompok dalam masyarakat. Standar penilaian
dimaksud adalah hubungan antara perbuatan manusia dengan norma
hukum. Jadi norma hukum menjadi ukuran untuk menghukum
seseorang atau tidak, dan mengklaim seseorang bersalah atau tidak harus
diukur berdasarkan pasal dalam peraturan tertulis, tanpa memperhatikan
aspek moral dan keadilan. Hukum sebagai sistem norma yang berlaku
bagi masyarakat Indonesia, senantiasa dihadapkan pada perubahan sosial
yang sedemikian dinamis seiring dengan perubahan kehidupan
masyarakat, baik dalam konteks kehidupan individual, soaial maupun
politik bernegara. Pikiran bahwa hukum harus peka terhadap
perkembangan masyarakat dan bahwa hukum harus disesuaikan atau
menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah berubah, sesungguhnya
terdapat dalam alam pikiran manusia Indonesia.
Kaum positivisme mengartikan keadilan hukum sebagai legalitas.
Suatu perturan hukum dikatakan adil jika benar-benar diterapkan pada
semua kasus. Demikian sebaliknya, suatu peraturan hukum dianggap
tidak adil jika hanya diterapkan pada suatu kasus tertentu, dan tidak
diterapkan pada kasus lain yang sama. Substansi keadilan hukum dalam
pandangan positivism adalah penerapan hukum dengan tanpa

31
memandang nilai dari suatu aturan hukum (asas kepastian). Jadi hukum
dan keadilan adalah dua sisi mata uang. Kepastian hukum adalah adil,
dan keadilan hukum berarti kepastian hukum.
Doktrin positivisme ini masih diterapkan dalam proses penegakan
hukum di Indonesia, terutama pada bidang pidana menyangkut
penerapan pasal dan prosedur dalam sistem pelaksanaan hukum. Oleh
karena prinsip yang mengacu pada aturan hukum tertulis sehingga
banyak kasus dalam sengketa lingkungan, para pelaku kejahatan selalu
dinyatakan bebas dari tuntutan hukum karena tidak memenuhi
unsur-unsur dalam aturan hukum lingkungan. Wajar jika dikatakan
bahwa wajah penegakan hukum di Indonesia dinyatakan dengan
ungkapan “hukum tumpul keatas tajam kebawah”. Kenyataan ini sangat
bertentangan dengan asas “equality before the law”.
Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran
Sociological Jurisprudence yang lebih mengarahkan perhatiannya pada
kenyataan hukum daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam
masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah kemauan publik,
jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books (hukum tertulis).
Sociological Jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara
hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya
kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud
penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam
pembentukan hukum dan orientasi hukum.
Aliran Sociological Jurisprudence dalam ajarannya berpokok pada
pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup (living law),
atau dengan perkataan lain suatu pembedaan antar kaidah-kaidah
hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Bahwa hukum positif hanya
akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada
badan-badan legislatif, keputusan-keputusan badan judikatif ataupun
ilmu hukum, akan tetapi justru terletak di dalam masyarakat itu sendiri.
Roscoe Pound menyatakan dan menjelaskan sebuah ringkasan
antinomi lain yang berwujud ketegangan antara hukum dan aspek-aspek
lain dari kehidupan bersama. Filsafat hukum mencerminkan keadaan
bersitegang antara tradisi dan kemajuan, stabilitas dengan perubahan

32
serta kepastian hukum. Sebegitu jauh, karena salah satu tugas hukum
adalah untuk menegakkan ketertiban.5
Dalam buku lain, Pound menjelaskan bahwa tugas pokok pemikiran
modern mengenai hukum adalah tugas rekayasa sosial. Pound berusaha
untuk memudahkan dan menguatkan tugas rekayasa sosial ini. Dengan
merumuskan dan menggolongkan kepentingan-kepentingan sosial yang
keseimbangannya menyebabkan hukum berkembang.6
Dalam paham sosiologi hukum, yang dikembangkan oleh aliran
Pragmatic Legal Realism yang dipelopori antara lain oleh Roscoe Pound
memiliki keyakinan bahwa hukum adalah “a tool of social engineering”
atau “alat pembaharuan masyarakat” atau menurut Mochtar
Kusumaatmadja “sarana perubahan masyarakat”, dalam konteks
perubahan hukum di Indonesia harus diarahkan ke jangkauan yang lebih
luas, yang berorientasi pada :
1. Perubahan hukum melalui peraturan perundangan yang lebih
bercirikan sikap hidup serta karakter bangsa Indonesia, tanpa
mengabaikan nilai-nilai universal manusia sebagai warga dunia,
sehingga kedepan akan terjadi transformasi hukum yang lebih
bersifat Indonesiani (mempunyai seperangkat karakter bangsa yang
positif).
2. Perubahan hukum harus mampu membimbing bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang mandiri, bermartabat dan terhormat dimata
pergaulan antar bangsa, karena hukum bisa dijadikan sebagai sarana
mencapai tujuan bangsa yang efektif.
Perubahan hukum di Indonesia pada kenyataannya berlangsung,
baik yang dilakukan oleh penyelenggara negara yang berwenang
(lembaga legislatif dan eksekutif) melalui penciptaan berbagai peraturan
perundangan yang menjangkau semua fase kehidupan baik yang
berorientasi pada kehidupan perorangan, kehidupan sosial maupun
kehidupan bernegara (politik) atau yang diusulkan oleh berbagai
lembaga yang memiliki komitmen tentang pemabruan dan pembinaan

5
Purnadi Purbacaraka, Renungan tentang Filsafat Hukum, (Palembang :
Lembanga Penelitian Hukum Fakultas Hukum UNSRI), 1978, hlm.34-35
6
Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Idealisme Filosofis dan Problema
Keadilan, (Jakarta: Rajawali Press),1990, hlm.141.

33
hukum, sehingga mampu mengisi kekosongan hukum dalam berbagai
aspek kehidupan. Dengan perencanaan yang baik, perubahan hukum
dapat diarahkan sesuai dengan konsep pembangunan hukum di
Indonesia, yang menurut Mochtar Kusumaatmadja harus dilakukan
dengan jalan :
1. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional
dengan antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasiserta
unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan
memperhatikan kesadaran hukum masyarakat.
2. Menertibkan fungsi lembaga hukum menurut proporsinya
masing-masing.
3. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum.
4. Memupuk kesadaran hukum masyarakat, serta
5. Membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah/ negara
ke arah komitmen yang kuat dalam penegakan hukum, keadilan serta
perlidungan terhadap harkat dan martabat manusia.

34

Anda mungkin juga menyukai