SUMMARY
1
5. Masa Amandemen (21 Oktober 1999-Sekarang)
PEMBAHASAN
2
a. Penggunaan konsepsi-konsepsi dan asas-asas hukum adat untuk
dirumuskan dalam norma-norma hukum yang memenuhi kebutuhan
masyarakat.
Unsur Hukum Adat terdiri dari Unsur asli (bagian terbesar), (bersifat
turun-temurun) dan Unsur agama (sebagian kecil). Sedangkan sumber
hukum adat menurut van Vollenhoven :
3
d. Keputusan-keputusan (ketetapan-ketetapan) para pejabat hakim
menurut hukum adat.
Namun dalam hal ini adat harus dapat dibedakan dengan hukum
adat. Ciri Pembeda antara Adat dan Hukum Adat (berdasarkan konsepsi
L. Pospisil) adalah sebagai berikut:
4
a. Keagamaan, adanya kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
bahwa sesuatu yang terjadi karena berkah dan kehendak Tuhan.
5
(kepentingan hukum) dan hukum hukum adat dapat dibedakan
privat (hukum khusus). Hukum menurut objek yang diaturnya,
publik dipertahankan oleh bukan kepentingan dan siapa yang
pemerintah hukum privat oleh mempertahankannya
perorangan. konsekuensinya dari sifat komunal.
dilanggar.
1
E. Utrecht. 1965. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II. Universitas, Bandung.
6
Asas-asas hukum Romawi
7
campur tangan di jenjang peradilan adat. 2 Campurtangan tersebut
dilandasi dengan alasan-alasan, bahwa :
2
Iwhaq. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Ed.1 Cet.1. Sinar Grafika, Jakarta. hlm.
16
3
S.R. Sianturi. 1986. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya.
Alumni Ahaem-Petehaem, Jakarta. hlm. 43
8
menyarakan bahwa raja yang berdaulat, secara mutlak mempunyai
kekuasaan tertinggi atas daerah-daerah jajahan dan harta milik negara di
bagian-bagian lain. Kekuasaan mutlak raja itu diterapkan pula dalam
membuat dan mengeluarkan peraturan yang berlaku umum dengan
sebutan Algemene Verordening (Peraturan Pusat). Karena peraturan pusat
itu dibuat oleh raja, maka dinamakan Koninklijk Besluit (besluit raja) yang
pengundangannya dibuat oleh raja melalui Publicatie, yakni surat
selebaran yang dilakukan oleh Gubernur Jenderal.
Dilihat dari isi Koninklijk Besluit itu mempunyai dua sifat tergantung
dari kebutuhannya, yaitu :
9
2. yang dipidana kerja paksa
10
Masa Regerings Reglement/RR (1855-1926)
11
Selanjutnya RR mengalami perubahan pada tahun 1920 pada pasal
tertentu, sehingga dinamakan RR baru yang berlaku sejak tanggal 1
Januari 1920 sampai tahun 1926. Golongan penduduk dalam pasal 75 RR
itu diubah dari dua golongan menjadi tiga golongan, yaitu golongan
Eropa, golongan Timur Asing dan golongan Bumiputera (pribumi).
12
Tujuan pembagian golongan penduduk sebenarnya adalah untuk
menentukan sistem-sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing
golongan yaitu sebagai berikut.
13
Adapun hukum yang berlaku bagi golongan bumiputera, yaitu:
a. Hukum pidana materiil, yaitu Wetboek van Strafrecht sejak tahun 1918
berdasarkan Staatsblad 1915 Nomor 723
b. Hukum acara perdata untuk daerah Jawa dan Madura, adalah Inlands
Reglement (IR) dan hukum acara pidana bagi mereka diatur dalam
Herziene Inlands Reglement (HIR) berdasarkan Staatsblad 1941 Nomor
44 tanggal 2 Februari 1941. HIR ini berlaku di landraat Jawa Barat,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Susunan peradilan bagi pribumi di
Jawa dan Madura adalah :
c. District Gerecht, di daerah pemerintahan distrik (kewedanaan);
d. Regentscaps Gerecht, di daerah kabupaten yang diselenggarakan oleh
Bupati, dan sebagai pengadilan banding;
e. Landraad, terdapat di kota kabupaten dan beberapa kota lainnya yang
diperlukan adanya pengadilan ini, dan mengadili perkara banding
yang diajukan atas putusan Regentschaps Gerecht
14
Bagi daerah-daerah di luar Jawa dan Madura, susunan organisasi
peradilannya untuk golongan pribumi diatur dalam Rechtsreglement
Buitengewesten (RBg), dan lembaga peradilannya adalah :
1. Pengadilan Swapraja
2. Pengadilan Agama
15
3. Pengadilan Militer
Berdasarkan Pasal 163 jo. Pasal 131 IS. Maka golongan penduduk dan
sistem hukumnya dapat dilihat dalam matrik di bawah ini.
16
(Wetboek van
Strafrecht)
o Hukum Acara
Tidak diatur
sehingga dapat
mengikuti golongan
Eropa terkadang
pribumi
Hukum Perdata
Aturan yang digunakan
adalah Hukum Adat, BW,
WvK untuk beberapa
Indonesia asli pengecualian
Keturunan lain Hukum Pidana
yang sudah aturan yang digunakan
lama menetap di adalah WvS (Wetboek van
Bumiputera Indonesia Strafrecht)
sehingga sudah Hukum Acara
melebur ke untuk acara perdata aturan
dalam Indonesia yang digunakan adalah IR
asli (Inlands Reglement).
Sedangkan acara pidana
menggunakan HIR
(Herziene Inlands
Reglement)
17
sebagai peraturan pelaksana, isinya juga mengatur hal-hal yang
diperlukan untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum.
Untuk golongan Eropa, Timur Asing Cina, Timur asing bukan Cina
dan Indonesia yang secara sukarela tunduk kepada hukum perdata Eropa
tetap berlaku baginya Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandel
(WvK) serta aturan-aturan hukum perdata Eropa yang tidak
dikodifikasikan.
18
7. Gunsei Kensatu Kyoko, terdiri atas Tihoo Kensatu Kyoko (Kejaksaan
Pengadilan Negeri), berasal dari Paket voor de Landraaden
Bentuk tata hukum dan politik hukum yang akan berlaku masa itu
dapat dilihat pada Pasal 1 dan 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar
1945, yaitu Pasal 1 yang berbunyi :
Pasal 2 menyebutkan :
19
Jepang, tetap diberlakukan dan difungsikan. Dengan demikian, tata
hukum yang berlaku pada masa tahun 1945-1949 adalah semua peraturan
yang telah ada dan pernah berlaku pada masa penjajahan Belanda
maupun masa Jepang berkuasa dan produk-produk peraturan baru yang
dihasilkan oleh pemerintah negara Republik Indonesia dari tahun
1945-1949.
Hal tersebut telah ditentukan dalam Pasal 192 KRIS yang berbunyi :
20
peraturan baru yang dibentuk oleh pemerintah negara selama kurun
waktu dari 17 Agustus 1950 sampai dengan 4 Juli 1959.
21
dihapus, akhirnya Hierarki Perundang-undangan ini dimasukkan dalam
materi Undang-undang.
22
4. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan kepada kekuasaan
Presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan Undang-undang.
Presiden juga memegang kekuasaan legislatif sehingga Presiden
dapat merumuskan hal-hal penting sesuai kehendaknya dalam
Undang-undang.
5. Rumusan UUD 1945 tentang semangat penyelenggaraan negara
belum cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan
dasar tentang kehidupan yang demokratis, supremasi hukum,
pemberdayaan rakyat, penghormatan hak asasi manusia dan
otonomi daerah. Hal ini membuka peluang bagi berkembangnya
praktek penyelengaraan negara yang tidak sesuai dengan
Pembukaan UUD 1945, antara lain sebagai berikut:
1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU/PERPU
4. Peraturan Pemerintah
5. Keputusan Presiden
6. Peraturan Menteri
7. Instruksi Menteri
23
1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU
4. PERPU
5. PP
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah
1. UUD 1945
2. UU/PERPU
3. Peraturan Pemerintah
4. Peraturan Presiden
5. Peraturan Daerah
1. UUD 1945
2. TAP MPR
3. UU/PERPU
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten
24
Lembaga Negara dan Sistem Penyelenggaraan Kekuasaan Negara
Sebelum Perubahan UUD 1945
MPR
PRESIDEN
25
Presiden memegang posisi sentral dan dominan sebagai
mandataris MPR, meskipun kedudukannya tidak “neben” akan
tetapi “untergeordnet”.
Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahan negara tertinggi
(consentration of power and responsiblity upon the president).
Presiden selain memegang kekuasaan eksekutif (executive power),
juga memegang kekuasaan legislative (legislative power) dan
kekuasaan yudikatif (judicative power).
Presiden mempunyai hak prerogatif yang sangat besar.
Tidak ada aturan mengenai batasan periode seseorang dapat
menjabat sebagai presiden serta mekanisme pemberhentian
presiden dalam masa jabatannya.
DPR
26
Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah
Konstitusi (MK).
MPR
DPR
27
Posisi dan kewenangannya diperkuat.
Mempunyai kekuasan membentuk UU (sebelumnya ada di tangan
presiden, sedangkan DPR hanya memberikan persetujuan saja)
sementara pemerintah berhak mengajukan RUU.
Proses dan mekanisme membentuk UU antara DPR dan
Pemerintah.
Mempertegas fungsi DPR, yaitu: fungsi legislasi, fungsi anggaran,
dan fungsi pengawasan sebagai mekanisme kontrol antar lembaga
negara.
DPD
BPK
PRESIDEN
28
Membatasi beberapa kekuasaan presiden dengan memperbaiki
tata cara pemilihan dan pemberhentian presiden dalam masa
jabatannya serta memperkuat sistem pemerintahan presidensial.
Kekuasaan legislatif sepenuhnya diserahkan kepada DPR.
Membatasi masa jabatan presiden maksimum menjadi dua periode
saja.
Kewenangan pengangkatan duta dan menerima duta harus
memperhatikan pertimbangan DPR.
Kewenangan pemberian grasi, amnesti dan abolisi harus
memperhatikan pertimbangan DPR.
Memperbaiki syarat dan mekanisme pengangkatan calon presiden
dan wakil presiden menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat
melui pemilu, juga mengenai pemberhentian jabatan presiden
dalam masa jabatannya.
MAHKAMAH AGUNG
MAHKAMAH AGUNG
MAHKAMAH KONSTITUSI
29
Keberadaanya dimaksudkan sebagai penjaga kemurnian konstitusi
(the guardian of the constitution).
Mempunyai kewenangan: Menguji UU terhadap UUD, Memutus
sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus
pembubaran partai politik, memutus sengketa hasil pemilu dan
memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh presiden dan atau wakil presiden menurut UUD.
Hakim Konstitusi terdiri dari 9 orang yang diajukan
masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan pemerintah dan
ditetapkan oleh Presiden, sehingga mencerminkan perwakilan dari
3 cabang kekuasaan negara yaitu yudikatif, legislatif, dan
eksekutif.
4
Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, telaah kritis atas teori-teori hukum,
(Jakarta: Rajawali Press), 1960, hlm. 143.
30
dalam menegakkan hukum, bahkan tindakan hakim dalam memutus
perkara selalu menjadikan pemikiran mazhab ini sebagai acuan. Selain itu,
aspek keadilan dalam penegakan hukum dalam sistem hukum nasional
selalu dilihat dari perspektif keadilan hukum. Positivisme menekankan
setiap metodologi yang dipikirkan untuk menemukan suatu kebenaran,
hendaknya menjadikan realitas sebagai sesuatu yang eksis dan objektif
dan harus dilepaskan dari berbagai macam konsepsi metafisis subjektif.
Ketika pemikiran positivisme diterapkan ke dalam bidang hukum,
positivisme hukum melepaskan pemikiran hukum sebagaimana dianut
oleh para pemikir aliran hukum alam. Jadi setiap norma hukum haruslah
eksis secara objektif sebagai norma-norma yang positif. Hukum tidak
dikonsepkan sebagai asas-asas moral yang abstrak tentang hakikat
keadilan, melainkan sesuatu yang telah dipositifkan sebagai
undang-undang guna menjamin kepastian hukum.
Model penegkan hukum di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh
pemikiran positivisme. Menurut Hans Kelsen bahwa norma hukum yang
sah menjadi standar penilaian bagi setiap perbuatan yang dilakukan oleh
setiap individu/kelompok dalam masyarakat. Standar penilaian
dimaksud adalah hubungan antara perbuatan manusia dengan norma
hukum. Jadi norma hukum menjadi ukuran untuk menghukum
seseorang atau tidak, dan mengklaim seseorang bersalah atau tidak harus
diukur berdasarkan pasal dalam peraturan tertulis, tanpa memperhatikan
aspek moral dan keadilan. Hukum sebagai sistem norma yang berlaku
bagi masyarakat Indonesia, senantiasa dihadapkan pada perubahan sosial
yang sedemikian dinamis seiring dengan perubahan kehidupan
masyarakat, baik dalam konteks kehidupan individual, soaial maupun
politik bernegara. Pikiran bahwa hukum harus peka terhadap
perkembangan masyarakat dan bahwa hukum harus disesuaikan atau
menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah berubah, sesungguhnya
terdapat dalam alam pikiran manusia Indonesia.
Kaum positivisme mengartikan keadilan hukum sebagai legalitas.
Suatu perturan hukum dikatakan adil jika benar-benar diterapkan pada
semua kasus. Demikian sebaliknya, suatu peraturan hukum dianggap
tidak adil jika hanya diterapkan pada suatu kasus tertentu, dan tidak
diterapkan pada kasus lain yang sama. Substansi keadilan hukum dalam
pandangan positivism adalah penerapan hukum dengan tanpa
31
memandang nilai dari suatu aturan hukum (asas kepastian). Jadi hukum
dan keadilan adalah dua sisi mata uang. Kepastian hukum adalah adil,
dan keadilan hukum berarti kepastian hukum.
Doktrin positivisme ini masih diterapkan dalam proses penegakan
hukum di Indonesia, terutama pada bidang pidana menyangkut
penerapan pasal dan prosedur dalam sistem pelaksanaan hukum. Oleh
karena prinsip yang mengacu pada aturan hukum tertulis sehingga
banyak kasus dalam sengketa lingkungan, para pelaku kejahatan selalu
dinyatakan bebas dari tuntutan hukum karena tidak memenuhi
unsur-unsur dalam aturan hukum lingkungan. Wajar jika dikatakan
bahwa wajah penegakan hukum di Indonesia dinyatakan dengan
ungkapan “hukum tumpul keatas tajam kebawah”. Kenyataan ini sangat
bertentangan dengan asas “equality before the law”.
Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran
Sociological Jurisprudence yang lebih mengarahkan perhatiannya pada
kenyataan hukum daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam
masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah kemauan publik,
jadi tidak sekedar hukum dalam pengertian law in books (hukum tertulis).
Sociological Jurisprudence menunjukkan kompromi yang cermat antara
hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi terciptanya
kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud
penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam
pembentukan hukum dan orientasi hukum.
Aliran Sociological Jurisprudence dalam ajarannya berpokok pada
pembedaan antara hukum positif dengan hukum yang hidup (living law),
atau dengan perkataan lain suatu pembedaan antar kaidah-kaidah
hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya. Bahwa hukum positif hanya
akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Bahwa pusat perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada
badan-badan legislatif, keputusan-keputusan badan judikatif ataupun
ilmu hukum, akan tetapi justru terletak di dalam masyarakat itu sendiri.
Roscoe Pound menyatakan dan menjelaskan sebuah ringkasan
antinomi lain yang berwujud ketegangan antara hukum dan aspek-aspek
lain dari kehidupan bersama. Filsafat hukum mencerminkan keadaan
bersitegang antara tradisi dan kemajuan, stabilitas dengan perubahan
32
serta kepastian hukum. Sebegitu jauh, karena salah satu tugas hukum
adalah untuk menegakkan ketertiban.5
Dalam buku lain, Pound menjelaskan bahwa tugas pokok pemikiran
modern mengenai hukum adalah tugas rekayasa sosial. Pound berusaha
untuk memudahkan dan menguatkan tugas rekayasa sosial ini. Dengan
merumuskan dan menggolongkan kepentingan-kepentingan sosial yang
keseimbangannya menyebabkan hukum berkembang.6
Dalam paham sosiologi hukum, yang dikembangkan oleh aliran
Pragmatic Legal Realism yang dipelopori antara lain oleh Roscoe Pound
memiliki keyakinan bahwa hukum adalah “a tool of social engineering”
atau “alat pembaharuan masyarakat” atau menurut Mochtar
Kusumaatmadja “sarana perubahan masyarakat”, dalam konteks
perubahan hukum di Indonesia harus diarahkan ke jangkauan yang lebih
luas, yang berorientasi pada :
1. Perubahan hukum melalui peraturan perundangan yang lebih
bercirikan sikap hidup serta karakter bangsa Indonesia, tanpa
mengabaikan nilai-nilai universal manusia sebagai warga dunia,
sehingga kedepan akan terjadi transformasi hukum yang lebih
bersifat Indonesiani (mempunyai seperangkat karakter bangsa yang
positif).
2. Perubahan hukum harus mampu membimbing bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang mandiri, bermartabat dan terhormat dimata
pergaulan antar bangsa, karena hukum bisa dijadikan sebagai sarana
mencapai tujuan bangsa yang efektif.
Perubahan hukum di Indonesia pada kenyataannya berlangsung,
baik yang dilakukan oleh penyelenggara negara yang berwenang
(lembaga legislatif dan eksekutif) melalui penciptaan berbagai peraturan
perundangan yang menjangkau semua fase kehidupan baik yang
berorientasi pada kehidupan perorangan, kehidupan sosial maupun
kehidupan bernegara (politik) atau yang diusulkan oleh berbagai
lembaga yang memiliki komitmen tentang pemabruan dan pembinaan
5
Purnadi Purbacaraka, Renungan tentang Filsafat Hukum, (Palembang :
Lembanga Penelitian Hukum Fakultas Hukum UNSRI), 1978, hlm.34-35
6
Friedmann, Teori dan Filsafat Hukum, Idealisme Filosofis dan Problema
Keadilan, (Jakarta: Rajawali Press),1990, hlm.141.
33
hukum, sehingga mampu mengisi kekosongan hukum dalam berbagai
aspek kehidupan. Dengan perencanaan yang baik, perubahan hukum
dapat diarahkan sesuai dengan konsep pembangunan hukum di
Indonesia, yang menurut Mochtar Kusumaatmadja harus dilakukan
dengan jalan :
1. Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasional
dengan antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasiserta
unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan
memperhatikan kesadaran hukum masyarakat.
2. Menertibkan fungsi lembaga hukum menurut proporsinya
masing-masing.
3. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegak hukum.
4. Memupuk kesadaran hukum masyarakat, serta
5. Membina sikap para penguasa dan para pejabat pemerintah/ negara
ke arah komitmen yang kuat dalam penegakan hukum, keadilan serta
perlidungan terhadap harkat dan martabat manusia.
34