Anda di halaman 1dari 39

BAB IV

SISTEM PERKAWINAN BERDASARKAN HUKUM ADAT BALI

4.1. Sistem Perkawinan Di Indonesia

4.1.1. Sistem Perkawinan Menurut BW (Burgerlijk Wetboek)

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Tentang Perkawinan, bangsa Indonesia sudah mengenal

pemberlakuan hukum secara plural yang diterapkan

berdasarkan golongan penduduk. Golongan tersebut terdiri atas

1. Golongan Eropa

Golongan tersebut meliputi emua orang Belanda,

semua orang yang berasal dari Eropa tetapi bukan dari

Belanda, semua orang Jepang, semua orang yang

berasal dari tempat lain, tetapi tidak termasuk orang

Belanda, yang di negaranya tunduk kepada hukum

keluarga dan asas-asasnya sama dengan hukum

Belanda. Anak sah atau yang diakui menurut Undang-

Undang dan keturunan selanjutnya dari orang-orang

yang berasal dari Eropa bukan Belanda atau Eropa

yang lahir di Hindia Belanda


2. Golongan Bumiputera

Golongan tersebut meliputi semua orang yang

termasuk rakyat asli Hindia-Belanda dan tidak pernah

pindah ke dalam golongan penduduk lain dari

golongan Bumiputera, golongan penduduk lainnya

yang telah meleburkan diri menjadi golongan

Bumiputera dengan cara meniru atau mengikuti

kehidupan sehari-hari golongan Bumiputera dan

meninggalkan hukumnya atau karena perkawinan

3. Golongan Timur Asing

Golongan tersebut meliputi Penduduk yang tidak

termasuk golongan Eropa dan golongan Bumiputera.

Golongan ini dibedakan atas Timur Asing Tionghoa

dan Timur Asing Bukan Tionghoa seperti Arab dan

India.

Ketentuan hukum waris tidak dapat dipisahkan dengan

hukum perkawinan. Hal tersebut didasari oleh dua alasan

pentiang, yaitu:

1. penentuan ahli waris dimulai dari adanya perkawinan.

Oleh karena itu, janda atau duda adalah ahli waris,


demikian juga hasil perkawinan berupa anak

keturunan mereka adalah ahli waris.

2. penentuan harta waris didasarkan pada separuh harta

bersama yang diperoleh selama perkawinan, ditambah

dengan harta bawaan.1

Membahas perkawinan dalam Aspek Hukum Perdata Barat

(Burgelijk Wetboek) bahwa hukum perkawinan di Indonesia

telah

mengalami unifikasi secara menyeluruh dengan dikeluarkannya

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Menyangkut hal waris, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan mengatur harta benda diatur dalam Pasal

35, Pasal 36, dan Pasal 37, sebagai berikut :

1. Pasal 35

- Harta benda yang diperoleh selama perkawinan

menjadi harta benda Bersama

- Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan

harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai

hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan

1
Afdol, 2010, Penerapan Hukum Waris Islam Secara Adil Dengan Metode Perhitungan Mudah
dan Praktis, Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair (AUP), Surabaya, hlm. 67
masing-masing sepanjang para pihak tida menentukan

lain.

2. Pasal 36

- Mengenai harta bersama, suami atau istri dapat

bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

- Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan

istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan

pebuatan hukum mengenai harta bendanya.

3. Pasal 37

Bila perkawinan putus karena perceraian, harta

bersama diatur menurut hukumnya masing-masing

Perkawinan merupakan institusi atau lembaga yang sangat

penting dalam, masyarakat. Eksistensi institusi ini adalah

melegalkan hubungan hukum antara seorang pria dan seorang

wanita.Institusi ini juga memiliki kedudukan yang terhormat

dalam Hukum Islam dan Hukum Nasional Indonesia. Hal ini

dibuktikan dengan adanya peraturan khusus terkait dengan

perkawinan yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan

Dengan adanya perkawinan ini dapat memberikan

pembelajaran bagi setiap mahluk hidup yang memiliki hak asasi


manusia untuk melanjutkan keturunannya melalui perkawinan,

yakni melalui budaya dalam melaksanakan suatu perkawinan

yang dilakukan di Indonesia. Ada perbedaan-perbedaannya

dalam pelaksanaan yang disebabkan karena keberagaman

kebudayaan atau kultur terhadap agama yang dipeluk. 2

Menurut hukum islam, perkawinan merupakan akad

(perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai

suami istri antara seorang pria dengan seorang wanita 3

Perkawinan juga disebut pernikahan yang berasal dari bahasa

Arab yaitu nakaha yang pempunyai arti mengumpulkan, saling

memasukkan dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi’).

Disisi lain terdapat definisi perkawinan Menurut para ahli,

diantaranya sebagai berikut :

1. Scholten

perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang

pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama

dengan kekal, yang diakui oleh negara. Scholten

melihat perkawinan sebagai hubungan yang kekal

2
Sukardi, Kajian Yuridis Perjanjian Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Vol. 6, No. 1,
2016, Jurnal Khatulistiwa, hlm. 2
3
Ramulyo Mohd Idris, 2002, Hukum Perkawinan Islam, PT Bumi Aksara, Jakarta, hlm. 01
yang berarti harus berlangsung abadi, seumur hidup

pasangan suami istri dan disahkan oleh negara.

2. Bachtiar

Perkawinan adalah pintu bagi bertemunya dua hati

dalam naungan pergaulan hidup yang berlangsung

dalam jangka waktu yang lama, yang di dalamnya

terdapat berbagai hak dan kewajiban yang harus

dilaksanakan oleh masing-masing pihak untuk

mendapatkan kehidupan yang layak, Bahagia,

harmonis, serta mendapat keturunan.

3. Miller

perkawinan adalah hubungan yang diketahui secara

sosial dan monogamous, yaitu hubungan berpasangan

antara satu wanita dan satu pria. Sehingga bisa

didefinisikan sebagai suatu kesatuan hubungan suami

istri dengan harapan bahwa mereka akan menerima

tanggung jawab dan memainkan peran sebagai

pasangan yang telah menikah, dimana didalamnya

terdapat hubungan seksual, keinginan mempunyai

anak dan menetapkan pembagian tugas antara suami

istri.
4. Goldberg

perkawinan merupakan suatu lembaga yang sangat

populer dalam masyarakat, tetetapi sekaligus juga

bukan suatu lembaga yang tahan uji. Pernikahan

sebagai kesatuan tetap menjanjikan suatu keakraban

yang bertahan lama dan bahkan abadi serta

pelesatarian kebudayaan dan terpenuhinya kebutuhan-

kebutuhan interpersonal.4

5. Hazairin

perkawinan sebagai sebuah hubungan antara dua

orang yang berbeda jenis kelamin dan dikenal dengan

suami istri. Dalam hubungan tersebut terdapat peran

serta tanggung jawab dari suami dan istri yang

didalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan,

persahabatan, kasih sayang, pemenuhan seksual, dan

menjadi orang tua.

6. Dariyo

Perkawinan merupakan ikatan kudus antara pasangan

dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang

telah menginjak atau dianggap telah memiliki umur

4
Pengertian Perkawinan, http://smktpi99.blogspot.com/2013/01/pernikahan/15.html, diakses
pada tanggal 27-Juni-2023
cukup dewasa. Pernikahan dianggap sebagai ikatan

kudus (holly relationship) karena hubungan pasangan

antara seorang laki-laki dan seorang perempuan telah

diakui secara sah dalam hukum agama.

7. Thalib

perkawinan ialah suatu perjanjian yang suci kuat dan

kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang

laki-laki dengan seorang perempuan untuk

membentuk keluarga yang kekal, santun-menyantuni,

kasih-mengasihi, tenteram dan bahagia.

8. Soetoyo Prawirohamidjojo

perkawinan adalah persekutuan hidup yang terjadi

antara seorang laki-laki dan perempuan yang disahkan

secara formal dengan undang-undang dan umumnya

bersifat religius.

9. Kaelany HD

perkawinan adalah akad antara calon suami dan calon

istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut

ketentuan yang sudah di atur oleh syariah. Dengan

akad ini kedua calon akan diperbolehkan untuk

bergaul sebagai suami istri


10. Pitlo

Perkawinan adalah suatu persekutuan antara seorang

laki-laki dan seorang wanita yang diakui oleh negara

untuk bersama yang kekal5

Menurut Imam Subekti bahwa Perkawinan harus

dilakukan menurut aturan agama yang dipeluk calon suami-istri,

apakah harus sama agamanya, itu semua ditentukan oleh

agama yang diakui Pemerintah dan pernikahan harus

berdasarkan hukum agama lebih dulu, baru diadakan

pencatatan di kantor pencatat perkawinan. 6 Perkawinan

menurut KUH Perdata merupakan hubungan keperdataan saja

Dalam faktanya, bahwa Perkawinan tidak serta merta

hanya memperjanjikan masalah keuangan atau harta, ada hal

lain yang juga penting diperjanjikan, misalnya kebutuhan lain

yang berkaitan dengan rumah tangga seperti masalah

Pendidikan anak serta memperjanjikan salah satu pihak untuk

tetap berkarir meski sudah menikah dan lain sebagainya. 7


5
Pengertian Perkawinan, https://www.idpengertian.com/pengertian-pernikahan/, diakses
pada tanggal 27-Juni-2023
6
Winarsih Imam Subekti, Perkembangan Materi Buku I KUHPedata Tentang Orang Dalam Era
Kemerdekaan,disajikan dalam Lokakarya Mengenai penyegaran Mata Kuliah Hukum Perdata
dalam rangka Penyempurnaan Silabus Hukum Perdata, yang diseleng- garakan oleh Fakultas
Hukum Universitas Trisakti , Jakarta, 18 April 2006
7
Muchsin, 2008, Perjanjian Perkawinan Dalam Persfektif Hukum Nasional,Varia Peradilan,
Jakarta, hlm. 7
Definisi lain menyatakan bahwa menurut Pasal 139

KUHPerdata, perkawinan merupakan persetujuan antara calon

suami dan istri, untuk mengatur akibat perkawinan terhadap

harta kekayaan mereka. Menurut KUHPerdata, perkawinan

harus dilangsungkan dihadapan Pegawai Catatan Sipil

(Burgelijke Stand) dan memenuhi beberapa persyaratan seperti

batas umur dan kesepakatan Bersama kedua belah pihak.

Perkawinan merupakan peristiwa penting dalam

kehidupan setiap manusia. Perkawinan yang terjadi antara

seorang pria dengan seorang wanita akan menimbulkan akibat

lahir maupun batin antara mereka, terhadap masyarakat dan

juga hubungannya dengan harta kekayaan yang diperoleh di

antara mereka baik sebelum, selama maupun sesudah

perkawinan berlangsung.

Perkawinan menurut istilah keagamaan disebut nikah yaitu

melakukan akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan

kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka

mewujudkan suatu kebahagiaan hidup yang diliputi rasa


ketentraman serta kasih sayang dengan cara rahmat Tuhan

Yang Maha Esa.8

4.1.2. Sistem Perkawinan Berdasarkan Hukum Adat

Tingkatan peradaban yang berkembang seiiring zaman

yang telah modern nyatanya tidak bisa menghilangkan adat-

kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, bahwa seyogyanya

adat yang hidup tersebut seharusnya menyesuaikan diri dengan

keadaan dan kehendak zaman, yang diharapkan agar adat

tersebut menjadi terpelihara keadaannya. Akan tetapi ada

beberapa suku atau kelompok masyarakat yang menutup diri

dengan perubahan zaman dengan tetap mempertahankan nilai-

nilai adat yang hidup pada kelompok mereka sendiri karena

sebuah perubahan.

akibat tersebut berpengaruh pada hilangnya nilai-nilai

(adat) luhur yang telah mereka anut secara turun-temurun dari

nenek moyangnya, yang mana seharusnya tidak ada hukum

yang lebih tinggi dari hukum negara. Negara memiliki peran

menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk

8
Mr. Martiman Prodjohamidjojo, 2004, Ilmu Perundang-undangan, PT. Indonesia , Jakarta,
hlm.1
kepadanya. Negara di sini dianggap sebagai suatu keutuhan

yang menciptakan peraturan-peraturan hukum9

Adat adalah merupakan pencerminan kepribadian suatu

bangsa, sebagai salah satu penjelasan jiwa bangsa yang

bersangkutan dari masa ke masa. 10


dalam hukum Nasional

istilah “Adat” itu sendiri tertera pada Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia 1945 pada pasal 18 B yang berbunyi

bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan

masyarakat adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih

hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip

Negara Kesatuan Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

Dalam penerapannya sendiri bahwa, adat yang dimiliki

oleh tiap suku bangsa adalah berbeda-beda, meskipun sifat dan

dasarnya yang sama, yaitu ke Indonesiaannya. Adat ini selalu

berkembang dan senantiasa bergerak mengikuti proses

peradaban bangsanya. Adat istiadat yang hidup serta

berkembang dengan tradisi rakyat inilah yang merupakan

sumber yang sangat mengagumkan bagi hukum adat kita.

Karena jauh sebelum kedatangan orang-orang barat ke


9
Lili Rasjidi, Liza Sonia Rasjidi, 2012, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, Hlm. 86.
10
Suroyo Wigmjodipuro, 1985, Pengantar dan azas-azas Hukum Adat, Fakultas Hukum
Universitas 17 Agustus 1945, Semarang, hlm. 13
Indonesia ini, masyarakat kita sudah mampu mengatur

kehidupan dan ketata negaraannya sendiri dengan aturan yang

disebut adat itu.

Istilah adat sebagaimana aturan bangsa Indonesia,

disebagian besar masyarakat Indonesia, pada umumnya sudah

dipakai, walaupun karena dialek bahasa yang berbeda

terdengar agak berlainan ucapannya. Misalnya : adat (Aceh),

hadat (kampung) ngadat (jawa), ade’ (Bugis), adati

(Halmahera) dan sebagainya. Namun Sejatinya istilah adat itu

berasal dari Bahasa Arab yaitu ‘adat’, yang berarti kebiasaan.

Makna dari kata kebiasaan dalam arti adat adalah

kebiasaan normative, yang didasari dengan tingkah laku di

dalam kehidupan masyarakat. Walaupun kebiasaan yang

normatif ini tetap dipertahankan oleh masyarakat, namun hal

tersebut tidak terus berulang, tetapi pada saat-saat tertentu

akan berulang Kembali.11 Seperti halnya dengan istilah adat,

maka istilah Hukum juga berasal dari istilah Arab : hukum, yang

artinya perintah. Istilah ini mempengaruhi anggota masyarakat

di desa-desa. Dikalangan masyarakat, sebenarnya istilah hukum

dan istilah adat itu terpisahkan pemakaian dan pengertiannya.

11
Hilaman Hadikumah, 1980, Pokok-pokok Pengertian Hukum Adat, Alumni, hal. 16
Hukum datangnya dari luar masyarakat itu sendiri, (dari

penguasaan pemerintah), sedang adalah ketentuan yang timbul

serta tumbuh dari dalam masyarakat itu sendiri yang mereka

taati selaku Hukum.

Istilah “Hukum Adat” sejatinya bukan dari istilah Hukum

dan Istilah Adat, melainkan terjemahan dari istilah adatrecht,

yang dikemukakan oleh Suouck Hurgronye di dalam bukunya “

De Atjehers” dengan maksud untuk menyatakan adanya adat-

adat yang mempunyai akibat hukum. Kemudian Adatrecht ini

diambil alih oleh Van Vollen Hoven menjadi istilah tekhnis ilmu

pengetahuan hukum di dalam bukunya : Het Adatrecht Van

Nederlandsch Indie (Hukum Adat Hindia Belanda). Sebelumnya,

hukum adat itu dinyatakan dengan memakai berbagai istilah,

seperti dalam perundang-undangan dengan : “Gosdientige

Wetten, Instellingen en gebruiken, ingtellingen des volks,

godsdientige wetten en oude berkomaten, secara nyata bahwa

untuk Hukum Adat, dipakai istilah Undang-undang Igama,

Lembaga rakyat, kebiasaan lembaga asli dan sebagainya 12

12
Bushar Muhammad, 1975, Suatu Pengantar Azas-Azas Hukum Adat, Pradnya Paramitha,
Jakarta, hal 9-10
Adanya definisi lain yang dikemukakan para ahli terhadap

hukum adat itu sendiri yaitu :

1. Prof. Mr. C. Van Vollenhoven

Van Vollenhoven memberikan pengertian hukum adat

sebagai : “Aturan-aturan yang berlaku bagi orang-

orang pribumi dan orang-orang timur asing, yang

disatu pihak mempunyai sanksi (maka dikatakan

“Hukum” dan dilain pihak tidak dikodifikasi (maka

dikatakan “Adat”). Pengertian tersebut diatas

menunjukkan bahwa adat adalah hukum yang berlaku

bagi golongan penduduk sebagaimana disebutkan

dalam pasal 163 IS. Sedangkan selanjutnya disebut

hukum, karena ia mempunyai sanksi; dan dikatakan

adat karena tidak dikodifikasi, yaitu tidak dihimpun

dalam suatu kitab perundang-undangan yang teratur,

sistimatis menurut sistim hukum barat.13

2. Prof. Mr. B. Ter Haar Bzm

Ter Haar memberikan pengertian Hukum Adat yaitu

keseluruhan peraturan yang menjelma dalam

13
C. Van Vollenhoven : Het Adatrecht Van Nederlandsch Indic, deel I.E.J.Brille, Leiden 1925,
Bandingkan dengan Suroyo dalam Pengantar dan azas-azas Hukum Adat, Gunung Agung,
Jakarta hal. 15
keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (dalam

arti luas) yang mempunyai wibawa (macht; authority)

serta pengaruh dan yang dalam pelaksanaannya

berlaku serta (spontan) dan dipatuhi dengan sepenuh

hati . Dari definisi tersebut di atas, terlihat bahwa Ter

Haar menganggap hukum adat itu adalah hukum yang

terdapat dalam keputusan para petugas hukum adat,

baik keputusan karena berupa perselisihan maupun

karena masalah adat isinya.14

3. Prof. Mr. Dr. R. Soepomo

Hukum Adat adalah hukum kebiasaan dan sebagian

kecil hukum islam. Hukum adat itu melindungi hukum

yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang

berisi azas-azas hukum dalam lingkungan dimana ia

memutuskan perkara pada kebudayaan tradisional.

Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena

ia menjelaskan perasaan hukum yang nyata dari

rakyat. Sesuai dengan firasatnya sendiri, hukum adat

terus menerus dalam keadaan tumbuh dan

berkembang seperti hidup itu sendiri. Dalam

14
Ter Haar, 1979, Beginselen en Stelsel Van Het Adat recht, Pradnya Paramitha, Jakarta, hal.
223-236
tulisannya: “Beberapa catatan mengenai kedudukan

hukum adat, memberikan pengertian hukum adat

sebagai “Hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan

legislative (unstatury law) meliputi peraturan-

peraturan yang hidup yang meskipun tidak ditetapkan

oleh yang berwajib, toh ditaati dan didukung oleh

rakyat berdasarkan atas keyakinan bahwasanya

peraturan-peraturan tersebut mempunyai kekuatan

hukum

4. Dr. Sukanto

Hukum Adat sebagai kompleks adat-adat yang

kebanyakan tidak dikodifikasi (on geco dificeerd) dan

bersifat paksa (dwang), mempunyai sanksi (dari itu

hukum) jadi mempunyai akibat hukum

(rechtsgevolg).15

5. Prof. Mr. M.M Djojodigoeno

Hukum Adat adalah hukum yang tidak bersumber

kepada peraturan16

6. Van Dijk

15
Djojodogoeno : Kedudukan dan Peranan Hukum Adat dalam pembinaan Hukum Nasional :
BPHN, Seminar Hukum Adat, hal. 27
16
Bushar Muhammad : hal .19
Hukum Adat itu adalah istilah untuk menunjukkan

hukum yang tidak dikodifikasi dalam kalangan orang

Indonesia asli dan kalangan orang timur asing (orang

Tiong hoa, Arab dan lain-lain)17

7. Prof. Mr. Dr. Hazairin

Hazairin lebih banyak tertarik untuk menguraikan

Hukum adat dengan tinjauan hukum islam. Hazairin

berpendapat bahwa seluruh lapangan hukum

mempunyai hubungan dengan kesusilaan, sehingga

dalam sistem hukum yang sempurna tidak ada tempat

bagi sesuatu yang tidak selaras atau yang

bertentangan dengan kesusilaan. “Demikian juga

dengan hukum adat, teristimewa disini dijumpai

perhubungan dan persesuaian yang langsung antara

hukum dan kesusilaan, pada akhirnya hubungan

antara hukum dan adat yang sedimikian langsungnya,

sehingga istilah bikinan yang disebut hukum adat itu

tidak dibutuhkan oleh rakyat biasa yang memakamkan

menurut halnya sebutan itu baik sebagai arti (adat)

sopan santun, amupun dalam artinya sebagai hukum. 18

17
Van Dijk : Pengantar Hukum Adat Indonesia, hal.5
18
Hilman : hal.36. lihat juga Bushar Muhammad, hal.20
Dikatakan hukum adat itu adalah endapan kesusilaan

dalam masyarakat, yaitu bahwa kaidah-kaidah adat

merupakan kaidah-kaidah kesusilaan yang

kebenarannya telah mendapat pengakuan umum

dalam masyarakat itu. Meskipun ada perbedaan sifat

dan perbedaan corak antara kaidah kesusilaan dan

kaidah hukum, namun bentuk-bentuk perbuatan yang

menurut hukum dilarang atau disuruh, itu adalah

menurut bentuk-bentuk yang dicela atau dianjurkan

juga, sehingga pada hakekatnya dalam patokan

lapangan itu, juga hukum itu berurat pada kesusilaan.

Apa yang tidak dapat terpelihara lagi hanya oleh

kaidah-kaidah dan kesusilaan, diikhtiarkan

pemeliharaanya dengan kaidah-kaidah hukum. (Yang

dimaksud dengan kaidah hukum ialah kaidah yang

tidak hanya didasarkan kepada kebebasan pribadi,

tetapi serentak mengekang pula kebebasan itu dengan

suatu gertakan, suatu ancaman paksaan, yang dapat

dinamakan ancaman hukuman atau pengaturan

hukum).

8. Prof. Soeripto
Hukum adat adalah semua aturan-aturan/ peraturan-

peraturan adat tingkah laku yang bersifat hukum di

segala kehidupan orang Indonesia, yang pada

umumnya tidak tertulis yang oleh masyarakat

dianggap patut dan mengikat para anggota

masyarakat, yang bersifat hukum oleh karena ada

kesadaran keadilan umum, bahwa aturan-aturan/

peraturan itu harus dipertahankan oleh petugas hukum

dan petugas masyarakat dengan upaya paksa atau

ancaman hukuman (sanksi)19

9. Hardjito Notopuro

Hukum Adat adalah hukum tidak tertulis, hukum

kebiasaan dengan ciri khas yang merupakan pedoman

kehidupan rakyat dalam menyelenggarakan tata

kedilan dan kesejahteran masyarakat dan bersifat

kekeluargaan20

Sedangkan di Bali sendiri, penerapan adat istiadat

khususnya dalam aspek hukumnya lebih kepada peraturan-

peraturan khusus yang dibuat oleh prajuru atau tokoh

masyarakat desa di Bali dalam bentuk awig-awig, sima, dresta,


19
Abdulrahman , SH, 1984, Hukum Adat Menurut Perundang-undanga Republik Indonesia,
Cendana Press, hal 18
20
bid, hal 19
adat, gama, geguat, pangeling-eling, tunggul dan pararem.

Artinya bahwa seluruh desa pakraman di Bali menggunakan

istilah tersebut dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang

sejahtera sesuai dengan desa, kala, patra (tempat, situasi dan

kondisi) masing-masing desa pakraman.21

Hukum adat Bali sifatnya memang tidak tertulis namun,

dengan kesadaran hukum yang dimiliki setiap anggota

masyarakat menyebabkan tumbuh dan berkembang hukum

adat tersebut menjadi sejalan. Dalam hal ini hukum adat Bali

bermula dari sebuah kebiasaan secara terus menerus atau

berkelanjutan dan memuat sanksi yang tidak tertulis maupun

dibukukan tetapi ditaati oleh secara turun temurun.

Masyarakat Bali sangat terkenal karena tetap memegang

teguh tradisi adat istiadat. Hukum Agama Hindu yang mayoritas

dianut oleh masyarakatnya telah banyak mempengaruhi tradisi

adat Bali. Hukum Agama Hindu juga telah disadari berperan

besar dalam menyelesaikan berbagai macam permasalahan

sehari-hari dalam kehidupan masyarakat khususnya saat

pengadilan adat. Hal ini terlihat dari berbagai bagian kehidupan

masyarakat, seperti apabila adanya kelahiran anak, metatah

21
Wayan P Windia, 2010, Bali Mawacara Menuju Bali Shanti, Unud Press
(potong gigi), perkawinan, prosesi suatu kematian dan masih

banyak lagi

Pada dasarnya hukum adat di masing-masing daerah telah

mempengaruhi proses pelaksanaan suatu perkawinan. Menurut

Hukum adat pada umumnya di Indonesia perkawinan itu bukan

saja berarti sebagai “perikatan perdata”, tetapi juga merupakan

“perikatan adat” dan sekaligus merupakan “perikatan

kekerabatan dan ketetanggaan”. Jadi terjadinya suatu ikatan

perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap

hubungan keperdataan, seperti hak dan kewajiban suami istri,

harta bersama, kedudukan anak, hak dan kewajiban orang tua,

tetapi juga menyangkut hubungan-hubungan adat istiadat

kewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetanggaan serta

menyangkut upacara-upacara adat dan keagamaan.

Perkawinan dalam perikatan adat adalah perkawinan yang

mempunyai

akibat hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam

masyarakat bersangkutan. Akibat hukum ini telah ada sejak

sebelum perkawinan terjadi, yaitu misalnya dengan adanya

hubungan pelamaran yang merupakan “rasan sanak” (hubugan


anak-anak,bujang-gadis) dan “rasan tuha” (hubugan antara

orang tua keluarga dari para calon suami istri).

Setelah terjadinya ikatan perkawinan maka timbul hak-hak

dan kewajiban-kewajiban orang tua (termasuk anggota

keluarga atau kerabat) menurut hukum adat setempat, yaitu

dalam pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran

serta membina dan memilihara kerukunan, keutuhan dan

kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikat

dalam perkawinan

Berbicara tentang sistem perkawinan berdasarkan hukum

adat itu sendiri, bahwa di Indonesia sendiri sistem perkawinan

memiliki aneka ragam. Berdasarkan Hukum Adat di Indonesia

terdapat 3 (tiga) sistem kekeluargaan, yaitu sebagai berikut :

1. Sistem kekeluargaan Patrilineal

2. Sistem kekeluargaan Matrilineal

3. Sistem kekeluargan Parental

berlakunya hukum adat perkawinan tergantung pada pola

susunan masyarakat adatnya. Di kalangan masyarakat adat

diberbagai daerah berlaku sistim kekerabatan yang berbeda-

beda, sehingga hubungan anggota kerabat yang satu dan yang


lain mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda-beda pula.

Dalam hukum adat itu sendiri terdapat beberapa sistem

perkawinan diantaranya sebagai berikut :

1. Sistem Perkawinan Endogami

endogami adalah suatu sistem yang mengharuskan

kawin dengan pasangan hidup yang satu suku atau

keturunan dengannya atau melarang seseorang

melangsungkan pernikahan dengan orang berasal dari

keturunan atau suku lain. Ada juga yang berpendapat

bahwa pernikahan endogami adalah

perkembangbiakan dengan cara kawin antara individu-

individu dalam satu kelompok kekerabatan yang

sangat dekat. Endogami sangat beragam tergantung

pada budaya-budaya di tempat tersebut. Misalnya

endogami berupa kasta, endogami agama, endogami

suku/keturunan.22

2. Sistem Perkawinan Exogami

Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan

suku lain. Menikah dengan suku sendiri merupakan

larangan. Namun demikian, seiring berjalannya waktu,

dan berputarnya zaman lambat laun mengalami proses


22
Soerjono Soekanto, 1992,Intisari Hukum Keluarga, Citra Aditya Bakti, Bandung, Hlm.132
perlunakan sedemikian rupa, sehingga larangan

perkawinan itu diperlakukan hanya pada lingkungan

kekeluargaan yang sangat kecil saja.23

3. Sistem Eleutherogami

Sistem Eleutherogami berbeda dengan kedua sistem

diatas, yang memiliki larangan-larangan dan

keharusan-keharusan. Eleutherogami tidak mengenal

larangan-larangan dan keharusan-keharusan tersebut.

Larangan-larangan yang terdapat dalam sistem ini

adalah larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah

larangan yang berhubungan dengan ikatan

kekeluargaan yang menyangkut nasab (keturunan)

seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu,

juga dengan saudara kandung, saudara bapak atau

ibu. Atau larangan kawin dengan musyahrah (per-

iparan) seperti kawin dengan ibu tiri, mertua, anak

tiri24

Van Gennep, seorang ahli sosiologis Prancis menamakan

semua upacara perkawinan sebagai ”Rites De Passage”

23
Ibid
24
Ibid, Hlm.132-133
(upacara peralihan)25 melambangkan peralihan status dari

masing masing mempelai yang tadinya hidup sendiri sendiri

berpisah setelah melampaui upacar yang disyaratkan menjadi

hidup bersatu sebagai suami istri, merupakan somah sendiri,

suatu keluarga baru yang berdiri serta mereka bina sendiri.

Rites De Passage terdiri atas 3 tingkatan :

- Rites De Separation yaitu upacara perpisahan dari

status semula.

- Rites De Marga yaitu upacara perjalanan kestatus

yang baru.

- Rites D’agreegation yaitu upacara penerimaan

dalam status yang baru.26

Menurut Prof. Hazairin, konsep perkawinan menurut

hukum adat terdiri atas tiga rentetan peristiwa yang bertujuan

menjamin :

- ketenangan ( koalte)

- kebahagiaan ( wevaart )

- kesuburan ( ruchtbaarheit )27

25
Laksanto Utomo, 2016, Hukum Adat, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 90.
26
Suriyaman Masturi, 2014, Hukum Adat Dahulu,Kini, dan Akan Datang, Prenada Media Group,
Jakarta, hlm. 13.
27
Ibid, hln. 13
Di masa sekarang nampak ada kecenderungan untuk tidak

lagi mempertahankan sistem perkawinan exogami atau

endogami, walaupun keinginan golongan tua masih ingin

mempertahankannya. Sistem perkawinan dewasa ini banyak

berlaku sistem eleutherogami, dimana seorang pria tidak lagi

diharuskan atau dilarang untuk mencari isteri di luar atau di

dalam lingkungan kerabatnya. Sehingga kini sudah banyak

perkawinan campuran antar suku bahkan golongan penduduk.

Walaupun adanya pembaharuan terhadap sistem

perkawinan dimasa kini, namun peranan orangtua atau keluarga

dalam memberi petunjuk terhadap anak-anak mereka dalam

mencari pasangan hidup masih tetap berpengaruh. Misalnya

apakah bibit seseorang itu berasal dari keturunan yang baik,

bagaimana sifat, watak, perilaku dan kesehatannya, serta

keadaan orang tuanya. Bagaimana pula bebet-nya, apakah ada

harta kekayaan dan kemampuan serta ilmu pengetahuan. Serta

bagaimana bobot-nya, apakah pria itu mempunyai pekerjaan,

jabatan, martabat yang baik

Perkawinan menurut hukum adat tidak semata-mata

berarti suatu ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami isteri untuk maksud mendapatkan keturunan dan


membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga,

tetapi juga berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut

para anggota kerabat dari pihak isteri dan dari pihak suami.

Terjadinya perkawinan berarti berlakunya ikatan kekerabatan

untuk dapat saling membantu dan menunjang hubungan

kekerabatan yang rukun dan damai.

Tujuan perkawinan dalam hukum adat bagi masyarakat

adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan

dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau

keibu-bapakan, untuk kebahagian rumah tangga keluarga atau

kerabatan, untuk memperoleh nilai-nilai adat budaya,

kedamaian dan untuk mempertahankan kewarisan. Oleh karena

sistem keturunan dan kekerabatan antara suku bangsa

Indonesia yang satu dengan yang lain berbeda-beda termasuk

lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda, maka

tujuan dari perkawinan adat bagi masyarakat adat berbeda-

beda diantara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa yang

lain, daerah yang satu dan daerah yang lain berbeda, serta

akibat hukum dan upacara perkawinannya berbeda-beda.

Dalam hukum adat sendiri asas-asas perkawinan dapat

dijabarkan sebagai berikut :


a. perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah

tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun dan

damai, bahagia dan kekal.

b. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut

hukum agama atau kepercayaan, tetapi juga harus

mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.

c. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan

anggota keluarga dan anggota kerabat.Masyarakat

adat dapat menolak kedudukan suami atau istri yang

tidak diakui masyarakat adat

d. Perkawinan dapat dilaksanakan oleh seseorang pria

dengan beberapa wanita, sebagai istri kedudukannya

masing masing ditentukan menurut hukum adat

setempat.

e. Perkawinan dapat dilakukan oleh pria dan wanita yang

belum cukup umur atau masih anak anak. Begitu pula

walauoun sudah cukup umur perkawinan harus

berdasarkan ijin orang tua/ keluarga dan kerabat.

f. Perceraian ada yang boleh dilakukan dan ada yang

tidak boleh. Perceraian antara suami istri dapat


berakibat pecahnya kekerabatan antara kedua belah

pihak.

g. Keseimbangan kedudukan antara suami dan istri

berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku, ada

istri yang berkedudkan sebagai ibu rumah tangga dan

ada istri yang bukan ibu rumah tangga28

Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Asas-Asas Perkawinan dapat dijabarkan sebagai berikut:

- Asas kesepakatan

harus ada kata sepakat antara calon suami dan

istri

- Asas monogami

seorang pria hanya boleh memiliki satu istri dan

seorang wanita hanya boleh meiliki satu suami

- Perkawinan bukan semata ikatan lahiriah,

melainkan juga ikatan batiniah. Keabsahan

perkawinan harus memenuhi syarat-syarat yang

ditentukan oleh Undang-Undang

- Perkawinan mempunyai akibat terhadap pribadi

suami istri.

28
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara Adatnya,
hlm. 71.
- Perkawinan mempunyai akibat terhadap

anak/keturunan dari perkawinan tersebut.

- Perkawinan mempunyai akibat terhadap harta

suami dan istri tersebut29

4.2. Sistem Perkawinan Adat Bali

4.2.1. Pluralisme Hukum Dalam Perspektif Adat Bali

Pluralisme hukum khas Indonesia menerapkan suatu

cakrawala sosio-legal dengan mengalihkan perspektif normatif

ke arah sesuatu yang bersifat empiris melalui tindakan kolektif

yang dilembagakan. Pluralisme hukum khas Indonesia akan

mendorong munculnya rasa kewajiban bagi masyarakat yang

mengikat cara praktis agar tunduk kepada sistem hukum yang

berjalan bersama dalam waktu yang sama pula. Indonesian

legal pluralism memberikan kesempatan adanya interaksi

konstan antara sistem hukum tersebut. Hal ini dikarenakan

otoritas resmi dan yurisdiksi dari setiap sistem hukum tidak

akan pernah mutlak, artinya tidak akan pernah ada masyarakat

pada suatu negara yang mentaati pada sistem hukum yang

sama.30
29
Asas-Asas Perkawinan”, http://ngobrolinhukum.wordpress.com/2011/05/14/asas-asas-
perkawinan/, diakses tanggal 02-Juli-2023
30
Jennifer Corrin,“Plurality and Punishment: Competition Between State and Customary
Authorities in Solomon Islands,” The Journal of Legal Pluralism and Unofficial Law, Vol. 51, No.
1 2019), hlm. 29–47.
secara empiris, pluralisme hukum khas Indonesia

melahirkan interaksi konstan antara tatanan hukum dengan

nilai-nilai moral yang tumbuh di masyarakat. Nilai-nilai moral

tersebut dapat tercermin pada butir-butir Pancasila sebagai

panduan sikap dan tindakan daripada masyarakat. 31 Pluralisme

hukum khas Indonesia menentukan validitas nilai dan norma

sebagai hukum melalui visi misi tujuan negara serta butir-butir

Pancasila. Hal tersebut dilakukan agar terjadi interaksi antara

norma-norma yang berbeda guna menciptakan ketiga sistem

hukum yang berdampingan dan sejajar.

Menurut Guillaume Tusseau bahwa Indonesian legal

pluralism, teori pluralisme hukum harus disesuaikan dengan

kondisi setempat agar melahirkan ruang untuk interaksi yang

produktif di antara berbagai lapisan masyarakat dan sistem

hukum yang tumpang tindih dengan mengembangkan

mekanisme prosedural, lembaga, dan praktik yang bertujuan

untuk membawa komunitas dan sistem tersebut ke dalam posisi

yang seimbang.32

31
Fradhana Putra Disantara, “The Legitimacy of Circular Letter in Handling COVID-19
Pandemic,” Vol. 6, No. 2, 2020, Hlm. 1–10.
32
Tusseau, Debating Legal Pluralism and Constitutionalism: New Trajectories for Legal Theory
in the Global Age.
Konsep Indonesian legal pluralism mengasumsikan bahwa

ketiga sistem hukum di atas merupakan seluruh rangkaian

legalitas yang mengalir melalui pengalaman sehari-hari

masyarakat. Masyarakat memainkan peran penting dalam

mengarahkan interaksi ketiga sistem hukum di atas; dan

menggunakan kolaborasi sistem tersebut secara strategis. Hal

tersebut dilakukan dengan mengkaji norma-norma hukum

untuk mengkonseptualisasikan interaksi dari semua pernyataan

norma yang beragam dari ketiga sistem di atas; sekalipun

hukum nasional dan transnasional sarat dengan sistem normatif

dan tuntutan yurisdiksi yang dikeluarkan oleh berbagai entitas

pemerintah dan non pemerintah.33

Lahirnya konsep Indonesian legal pluralism juga dilatar

belakangi oleh beberapa ̳ kekurangan‘ dari konsep legal

pluralism. Pertama. Legal pluralism tidak memiliki standar etika

dan moral yang jelas.34 Tak ayal, konsep pluralism hukum

cenderung berbenturan dengan visi dan tujuan negara 35 pada

tataran pemikiran, makna, dan aktualisasi. Harus dimengerti,

33
Brian Z. Tamanaha, “The Promise and Conundrums of Pluralist Jurisprudence,” The Modern
Law Review, Vol. 82, No. 1, 2019, hlm. 159–79.
34
Yashomati Ghosh and Anirban Chakraborty, “Secularism, Multiculturalism and Legal
Pluralism: A Comparative Analysis Between the Indian and Western Constitutional Philosophy,”
Asian Journal of Legal Education Vol. 7, No. 1, 2020, hlm. 73–81.
35
Paul Schiff Berman, 2020, The Oxford Handbook of Global Legal Pluralism, Oxford University
Press, Oxford
bahwa konsep tujuan suatu negara yang merupakan

"kesepakatan tentang hal-hal yang fundamental atas nilai-nilai

etika dan moral" yang tidak dapat dipersamakan satu sama

lain.36 Perihal tersebut, berbagai pihak telah terlibat untuk

memberikan gagasan yang berbeda-beda tentang visi-misi

negara untuk mewujudkan negara kesejahteraan dengan

menegakkan moralitas pada tataran yang primer.

Kedua, pada aspek penegakan hukum, konsep legal

pluralism lebih mengutamakan penggunaan ̳”hukum negara”.37

Di sini, tatanan hukum adat dan hukum transnasional memiliki

legitimasi bergantung pada, atau menerima, pengakuan dari

badan, teks, atau otoritas tunggal negara yang superordinat.

Dengan demikian, legal pluralism tidak memberikan kedudukan

yang sejajar, khususnya pada faset penegakan hukum. Dengan

demikian, tak salah apabila legal pluralism menitikberatkan

pada penyelesaian masalah hukum di peradilan. 38

Ketiga, legal pluralism memiliki perspektif yang tidak jelas,

karena dibangun tidak bersandar pada sistem tatanan orientasi

36
Bruce Ackerman, “The Emergency Constitution,” Journal of Constitutional Law, Vol. 1, No. 3
Special Edition, 2020, hlm. 9–63
37
Sani, “State Law and Legal Pluralism: Towards an Appraisal.”
38
Sophia Sabrow, “Non-Enforcement as a Tool of Mediation in Pluralistic Societies,” The Journal
of Legal Pluralism and Unofficial Law, Vol. 52, No. 2, 2020, 154–79.
bangsa39 Hal tersebut justru menimbulkan kontra ideologi 40 yang

ditunjukkan adanya 'perlawanan' terhadap hukum negara,

hukum transnasional, dan kepentingan pemerintah administrasi

maupun adat dalam sistem hukum negara. 'Perlawanan'

tersebut ditunjukkan melalui adanya pemaksaan penggabungan

norma yang berada dalam hukum adat dan hukum negara 41,

tanpa memperhatikan aspek orientasi bangsa dan nilai-nilai

moralitas dan etika bangsa. Oportunitas konsep legal pluralism

tersebut ditunjukkan dengan ̳ mengambil‘ norma yang hanya

dirasa bermanfaat bagi salah satu pihak, bukan seluruh pihak 42

Dalam perspektif hukum adat bali, bahwa adanya

pluralism ini Di samping sebagai pelengkap, dalam aspek-aspek

tertentu bahwa hukum agama atau hukum adat yang

mempunyai kedudukan lebih kuat dari ketentuan yang sudah

digariskan dalam Undang-undang Perkawinan. Hal tersebut

dapat dibuktikan dengan adanya ketentuan yang mengatur

39
Xia Dai, “Studies on the Legal Translation from the Perspective of Legal Pluralism,” Theory
and Practice in Language Studies, Vol. 9, No. 8, 2019, hlm. 973–77.
40
Toby Osborne, The Routledge Handbook of Translation and Culture, ed. Sue-Ann Harding and
Ovidi Carbondell Cortés, The Routledge Handbook of Translation and Culture (New York,
NY :Routledge, 2018
41
Elizabeth Shaw, “Justice Without Moral Responsibility?,” Journal of Information Ethics, Vol.
28, No. 1, 2019.
42
Tusseau, Debating Legal Pluralism and Constitutionalism: New Trajectories for Legal Theory
in the Global Age.
tentang syarat-syarat perkawinan dan ketentuan mengenai

perkawinan Kembali pasangan yang sudah pernah bercerai.

Pluralisme hukum perkawinan yang berbeda-beda di tiap

daerah Indonesia yang diatur berdasarkan hukum adat

tersebut, pada akhirnya tidak dapat bertahan pasca

diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 66 UU Perkawinan yang

menyatakan bahwa untuk perkawinan dan segala sesuatu yang

berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-

undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini

ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang- undang

Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek), Ordinansi Perkawinan

Indonesia Kristen (Huwelijk Ordanantie Christen Indonesia

1933) No.74, Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op

gemeng de Huwelijken S.1898 No. 158), dan Peraturan-

peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah

diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Mencermati ketentuan Pasal 66 UU tersebut terhadap

keberlakuan hukum perkawinan adat berfungsi ganda, disatu

pihak berfungsi sebagai dasar hukum berlakunya hukum

perkawinan adat namun di sisi lain sebagai pembatas


berlakunya hukum perkawinan adat jika telah diatur UU

Perkawinan43

4.2.2. Hak-Hak Perempuan Sebelum dan Sesudah Adanya Keputusan

MUDP 2010

Sistem kekeluargaan kapurusa yang diterapkan selama ini

dalam masyarakat Bali memang telah memberi perlakuan

berbeda antara anak laki- laki dan perempuan di bidang

pewarisan. Beberapa kalangan berpendapat

bahwa perlakuan berbeda itu wajar karena esensi

pewarisan dalam hukum adat

Bali adalah keseimbangan antara hak (swadikara) dan

kewajiban (swadharma).

Dalam hal ada kenyataan bahwa salah satu pihak (laki-

laki) tetap melaksanakan kewajibannya dalam keluarga dan ada

pihak lain (perempuan) meninggalkan kewajibannya, maka logis

bila hak mereka masing-masing terhadap harta orang tuanya

juga menjadi berbeda. Manu Smerti mengumpamakan

perempuan diumpamakan seperti bumi/pertiwi/tanah dan laki-

laki adalah benih atau bibit, antara bumi dan bibit mempunyai
43
Mohammad Jamin, 2005, Hukum Adat dan Sistem Hukum Nasional, Buku Pedoman
Perkuliahan, hlm. 78.
kedudukan dan peran yang sama dalam menciptakan

kehidupan.

Dirumuskan dalam kitab suci Hindu yang menjadi dasar

moral dan spirit

hukum Adat Bali, bagaimana kemudian dituangkan dalam

bentuk norma dalam

hukum adat, dan menghasilkan sistim kewarisan menurut

garis “purusa” yang

sepenuhnya tidak identik dengan dengan garis lurus laki-

laki, karena perempuanpun bisa menjadi “Sentana Rajeg”

sebagai penerus kedudukan sebagai kepala keluarga dan

penerus keturunan keluarga, tapi bila keluarga itu memiliki anak

perempuan dan laki-laki hanya anak laki-laki saja yang menjadi

ahli waris. Sangat jelas sekali anak perempuan apalagi sudah

kawin keluar, maka ia tidak berhak mewaris dan sepenuhnya

menjadi tanggung jawab keluarga pihak suami selama

perkawinannya44

hak waris anak perempuan menurut keputusan

pasamuhan agung III 2010 adalah sebagaimana dijelaskan oleh


44
Ni Ketut Sri Utari. Mengikis Ketidaksetaraan Gender Dalam Hukum Adat Bali.Paper Fakultas
Hukum UNUD. Hlm 2.
pakar hukum adat Prof. Dr. Wayan P. Windia SH Msi sebagai

berikut: “Sesudah 2010 wanita bali berhak atas warisan

berdasarkan Keputusan Pasamuhan Agung III MUDP Bali No

1/Kep/PSM/3MDP Bali /X/2010, pada 15 Oktober 2010 dalam SK

ini Wanita Bali menerima setengah dari hak waris purusa

setelah dipotong 1/3 untuk harta pusaka dan kepentingan

pelestarian”

Anda mungkin juga menyukai