Anda di halaman 1dari 10

HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

NAMA: Gunawan 201913036

Putri Rahayu 201913017

Nida Cindy William 201913039

UNIT: 2

SEMESTER: 5

DOSEN PENGUJI: Dr. Bastiar,S.H.I.,M.A

PROGAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam kehidupan manusia. Perkawinan
yang terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita menimbulkan akibat lahir maupun batin
baik terhadap keluarga masing-masing masyarakat dan juga dengan harta kekayaan yang diperoleh
diantara mereka baik sebelum maupun selamanya perkawinan berlangsung. Setiap mahluk hidup
memiliki hak azasi untuk melanjutkan keturunannya melalui perkawinan, yakni melalui budaya
dalam melaksanakan suatu perkawinan yang dilakukan di Indonesia. Ada perbedaan-perbedaannya
dalam pelaksanaan yang disebabkan karena keberagaman kebudayaan atau kultur terhadap agama
yang dipeluk.

Setiap orang atau pasangan (pria dengan wanita) jika sudah melakukan perkawinan maka
terhadapnya ada ikatan kewajiban dan hak diantara mereka berdua dan anak-anak yang lahir dari
perkawinan tersebut. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) , bukan hanya merupakan suatu perbuatan
perdata saja, akan tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, karena sah atau tidaknya
suatu perkawinan tolak ukurnya sepenuhnya ada pada hukum masing-masing agama dan
kepercayaan yang dianutnya.Tata cara perkawinan di Indonesia tergolong beraneka ragam antara
satu dengan yang lainnya oleh karena di Indonesia mengakui adanya bermacam macam agama dan
kepercayaan, yang tata caranya berbeda. Hal yang demikian dimungkinkan dalam Negara Republik
Indonesia yang berdasarkan Pancasila yang dengan tegas mengakui adanya prinsip kebebasan
beragama.3 Sebelum lahirnya UU Perkawinan yang merupakan peraturan perundangundangan
yang bersifat Nasional, Pemerintah mengadopsi peraturan dari Zaman Pemerintah Hindia Belanda
yang membagi masyarakat kedalam beberapa golongan penduduk, dengan adanya golongan
penduduk ini, maka perkawinan di Indonesia diatur dalam:
1. Bagi orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama Islam. 2. Bagi orang
Indonesia asli lainnya, berlaku hukum adat daerah masing masing. 3. Bagi orang Indonesia asli
yang beragama Kristen berlaku Huwelijks Ordonantie Christien Indonesier (S. 1993 No.74)
selanjutnya disebut HOCI. 4. Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia
keturunan cina berlaku ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Perdata dengan sedikit
perubahan. (Selanjutnya disebut KUH Perdata). 5. Bagi orang Timur Asing lain-lainnya dan
Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya, berlaku hukum adat mereka.

Sebelum lahirnya UU Perkawinan, mengenai ketentuan, tatacara dan sahnya suatu perkawinan bagi
orang Indonesia pada umumnya didasarkan pada hukum agama dan hukum adat masing-masing.
Menurut hukum adat, perkawinan adalah suatu ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan untuk membentuk rumah tangga yang dilaksanakan secara adat dan agamanya dengan
melibatkan keluarga kedua belah pihak saudara maupun kerabat.5 Perbedaan dalam cara
melakukan perkawinan sebagai pengaruh dari pengaturan perkawinan, membawa konsekuensi
pada cara hidup kekeluargaan, kekerabatan dan harta kekayaan seseorang dalam kehidupan
bermasyarakat. Disamping hal tersebut, pada saat itu dikenal pula yang namanya “perkawinan
campuran” yaitu perkawinan campuran antar golongan, perkawinan campuran antar tempat dan
perkawinan campuran antar agama. Saat ini yang dimaksud perkawinan campuran hanyalah untuk
perkawinan internasional. Setelah berlakunya UU Perkawinan, maka terjadi unifikasi hukum dalam
perkawinan di Indonesia, dimana perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
agama/kerohanian. Pengaturan hukum tentang perkawinan telah berlaku sama terhadap semua
warga Negara oleh karena itu, setiap warga Negar harus patuh terhadap hukum yang berlaku,
termasuk terhadap UU Perkawinan yang menjadi landasan untuk menciptakan kepastian hukum,
baik dari sudut hukum keluarga, harta benda, dan akibat hukum dari suatu perkawinan. Ketentuan
Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan menjelaskan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan”. Ketentuan itu menggambarkan prinsip
perkawinan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila, yang dapat dilihat dari penjelasan Pasal 2
ayat (1) UU Perkawinan bahwa suatu perkawinan yang dilakukan menurut agama masing-masing
adalah merupakan prinsip utama dari suatu perkawinan yang sah. Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan
menyatakan :”tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.

Keabsahan suatu perkawinan menurut UU Perkawinan adalah didasarkan pada hukum agama
dan kepercayaan masing-masing, sehingga sejak berlakunya UU Perkawinan ini maka upacara
perkawinan menurut hukum agama bersifat menentukan tentang sah atau tidaknya perkawinan itu.
Hal ini berakibat banyak orang tidak melakukan pencatatan pada kantor catatan sipil. Berdasarkan
penjelasan umum UU Perkawinan, mengenai pencatatan perkawinan, pencatatan kelahiran,
pencatatan kematian merupakan suatu peristiwa penting bukan suatu peristiwa hukum. Pencatatan
perkawinan dalam suatu akta merupakan akta nikah. Akta nikah adalah bukti tentang perkawinan
dan merupakan alat bukti yang sempurna mengenai adanya perkawinan.

Scholten menjelaskan bahwa perkawinan adalah suatu hubungan hukum antara seorang pria
dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui oleh Negara. Menurut
Subekti sebagaimana dikutip pada buku Soetojo Prawirohamidjojo, perkawinan adalah pertalian
yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Sedangkan
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa perkawinan adalah hidup bersama antara seorang laki-
laki dengan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan
hukum perkawinan. Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan telah secara jelas
menyatakan tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Dalam prakteknya di masyarakat ada pula
orang yang hanya melakukan perkawinan dengan cara keagamaannya saja dan tidak dicatatkan
pada kantor catatan sipil atau Kantor Urusan Agama.

Disamping itu ada pula yang hanya mencatatakan perkawinannya tanpa melakukan upacara
agama mereka. Tindakan ini jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan serta asas-
asas atau prinsip-prinsip dari UU Perkawinan yakni :

a) Perkawinan bertujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal.


b) Perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya
itu
c) Perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan. d. Perkawinan berasas monogami
terbuka.
d) Calon suami-istri harus bersatu antara jiwa raganya untuk melangsungkan perkawinan.
e) Batas umur perkawinan adalah bagi pria 19 tahun dan wanita 16 tahun.
f) Perceraian dipersulit dan harus dilakukan di muka sidang pengadilan h. Hak dan kedudukan
suami dan isteri adalah seimbang.

B. PENGERTIAN PERKAWINAN

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan
ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan menurut
ilmu fiqih, di sebut dengan istilah nikah yang mengandung dua arti, yaitu (1) arti menurut bahasa adalah
berkumpul atau besetubuh, dan (2) arti menurut hukum adalah akad atau perjanjian dengan lafal
tertentu antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk hidup bersama sebagai suami
isteri.1 Perkawinan dalam Islam bukan semata-mata hubungan atau kontrak keperdataan biasa, tetapi
mempunyai nilai ibadah, sebagaimana dalam KHI ditegaskan bahwa perkawinan merupakan akad yang
sangat kuat untuk menaati perintah Allah dan pelaksanaannya merupakan ibadah sesuai dengan pasal 2
Kompilasi Hukum Islam.

Ibadah sendiri merupakan pengindonesiaan dari al-ibadah, yang artinya pengabdian, ketaatan,
menghinakan atau merendahkan diri dan do’a. ibadah merupakan satu bagian dari syarat Islam, ibadah
merupakan tugas hidup manusia di dunia, karena itu manusia yang beribadah kepada allah disebut
Abdullah atau hamba.

Bahwa pada hakikatnya ibadah mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, sehingga ibadah bisa
dibagi menjadi ibadah dalam arti khusus dan ibadah dalam arti umum. Ibadah dalam arti khusus yaitu
ibadah yang macam dan cara melaksanakannya telah ditentukan oleh syari’at (ketentuan dari Allah dan
Rasulullah), bersifat mutlak manusia tidak ada wewenang, merubah, menambah, mengurangi atau
membuat cara sendiri dalam beribadah. Dikenal dengan ibadah mahdah.

Ibadah dalam arti umum atau ibadah ghoiru mahdah yaitu menjalani kehidupan untuk memperoleh
keridaan Allah SWT dengan mentaati syari’at-Nya. Bentuk dan macam ibadah ini tidak ditentukan secara
terperinci, karena itu apa saja kegiatan seorang muslim dapat bernilai ibadah asalkan kegiatan tersebut
bukan perbuatan yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya (syari’at) serta diniatkan untuk mencari ridha
Allah. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan, baik
pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan.

Perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah sebagai jalan bagi manusia untuk beranak pinak,
berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masingmasing pasangan siap melakukan perannya
yang positif dalam mewujudkan tujuan perkawinan. Allah tidak menjadikan manusia seperti makhluk
lainnya yang hidup bebas mengikuti nalurinya dan berhubungan secara anarkhi tanpa aturan. Demi
menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan
martabatnya sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan
berdasarkan rasa saling meridhai. Dalam pensyariatan nikah adalah al-Quran, al-Sunnah dan Ijma.
Namun sebagian ulama berpendapat Hukum asal melakukan perkawinan adalah mubah (boleh). Hukum
tersebut bisa berubah menjadi sunah, wajib, makruh dan haram tergantung kepada illat hukum, yaitu :

1. Hukum nikah menjadi sunah apabila seseorang dipandang dari segi pertumbuhan jasmaninya wajar
dan cenderung ia mempunyai keinginan untuk nikah dan sudah mempunyai penghasilan yang tetap.

2. Hukum menjadi wajib apabila seseorang dipandang dari segi jasmaninya telah dewas dan dia telah
mempunyai penghasilan yang tetap serta ia sudah sangat berkeinginan untuk menikahi sehingga apabila
ia tidak menikah dikhawatirkan terjerumus kepada perbuatan zinah.

3. Hukum nikah menjadi makruh apabila seseorang secara jasmani atau umur telah cukup walau belum
terlalu mendesak. Tetapi belum mempunyai penghasilan tetap sehingga bila ia kawin akan membawa
kesengsaraan hidup bagi anak dan isterinya.

4. Hukum nikah menjadi haram apabila seseorang mengawini seseorang wanita dengan maksud
untukmenganiayanya atau mengolok-oloknya atau untuk balas dendam. Di dalam telah terjadinya
perkawinan baik isteri maupun suami kadang membawa harta yang di dapat sebelum mereka menikah
serta terdapat harta yang di dapat mereka setelah melangsungkan pernikahan sehingga harta mereka
bercampur dan tidak lagi terukur berapa besarnya harta masing-masing dari masing-msing pihak, harta
tersebut merupakan harta bersama. Secara bahasa, harta bersama adalah dua kata yang terdiri dari kata
harta dan bersama.

Menurut kamus besar bahasa Indonesia “harta dapat berarti barangbarang (uang dan sebagainya) yang
menjadi kekayaan dan dapat berarti kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang bernilai. Harta
bersama berarti harta yang dipergunakan (dimanfaatkan) bersama-sama”. Tetapi di dalam islam sendiri
sebenarnya tidak mengenal adanya harta bersama, tanggung jawab seorang suami hanya sebatas
kebutuhan hidup mereka beserta anak yang masih menjadi tanggunggan.

Sehingga seorang isteripun tidak boleh menuntut lebih dari kebutuhan hidup yang dipandang sudah
layak. Dengan adanya hal tersebut maka seorang iteripun juga berhak untuk memperoleh harta selain
nafkah dari seorang suami, misalnya saja melalui berdagang, bekerja, dan sebagainya. Adapun prinsip-
prinsip perkawinan dalam Islam itu ialah: Memenuhi dan melaksanakan perintah agama. Sebagaimana
di muka telah diterangkan bahwa perkawinan adalah sunnah Nabi, itu berarti bahwa melaksanakan
perkawinan itu pada hakekatnya merupakan pelaksanaan dari ajaran agama. Agama mengatur
perkawinan itu, memberi batasan rukun dan syarat-syarat yang perlu dipenuhi. Apabila rukun dan
syarat- syarat tidak dipenuhi, batal atau fasidlah perkawinan itu. Demikian pula agama memberi
ketentuan lain di samping rukun dan syarat, seperti harus adanya mahar dalam perkawinan, dan juga
harusadanya kemampuan. Perkawinan merupakan suatu yang sakral yang begitu melembaga bagi
negara Indonesia yang pluralis baik dari segi budaya, adat maupun agama. Di dalam perkawinan tidak
sedikit halnya terjadi permasalahan di dalamnya, entah itu pada waktu masih di dalam perkawinan atau
setelah putusnya perkawinan, maka di dalam perkembangannya lahirlah perjanjian perkawinan.
Perjanjian perkawinan tersebut sering juga disebut dengan perjanjian pra nikah atau prenuptial
agreement yaitu perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah
pihak calon pengantin pria dan wanita yang akan menikah tersebut.

Perjanjian perkawinan di Indonesia di atur di dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Sedangkan Menurut Pasal 1 UndangUndang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang
dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Bila membaca defenisi perkawinan yang termuat di dalam Pasal
1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di atas maka dapat dikatakan bahwa
perkawinan adalah suatu adalah bersifat sakral yang menyatukan seorang pria dan seorang wanita
secara lahir maupun batin dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan untuk memperoleh keturunan dari pasangan suami istri
tersebut.

Perjanjian perkwinan dapat dimasukkan dalam pengertian suatu akad yang mengidentifikasikan sebagai
perjanjian kedua belah pihak yang bertujan untuk saling mengikatkan diri dengan kesukarelaan secara
timbal balik terhadap perjanjian yang di lakukan oleh kedua belah pihak yang harus seusai dengan
kehendak syariat (hukum islam). Artinya bahwa seluruh perikatan yang di perjanjikan oleh kedua belah
pihak atau lebih baru dianggap sah apabila secara keseluruhan tidak bertentangan dengan syariat islam
(hukum islam).

Sebenarnya Al-quran tidak mengajarkan perjanjian perkawinan, karena perkawinan sendiri merupakan
akad (perjanjian) yang sangat kuat untuk menaati perintah allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah. Di Indonesia, perjanjian perkawinan diajarkan atau mendapatkan pengaruh dari masyarakat
barat. Perjanjian perkawinan dimaknai sebagai hubungan keperdataan saja dengan kata lain perjanjian
perkawinan hanya mengatur hubungan hidup manusia dengan manusia.

Perjanjian perkawinan bukan merupakan budaya dari masyarakat Indonesia, bahkan perjanjian
perkawinan dapat dinilai menyimpang dari kondisi masyarakat Indonesia baik lahir maupun batin. Tetapi
di Indonesia tetap melegalkan perjanjian perkawinan hal tersebut terbukti di dalam Pasal 29 Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang mengatur mengenai perjanjian perkawinan.
Perjanjian perkawinan diatur di dalam Pasal 29 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan yang menyebutkan bahwa:

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama
dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana
isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut.

2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum agama dan
kesusilaan.

3. Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak


4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah kecuali bila dari keduabelah
pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Perjanjian perkawinan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan dan isinya pada umumnya mengatur
tentang bagaimana harta kekayaan suami istri akan dibagi jika terjadi perceraian, kematian dari salah
satu pasangan. Perjanjian ini juga pada umumnya memuat bagaimana semua urusan keuangan keluarga
akan diatur atau ditangani selama pernikahan berlangsung. Secara umum perjanjian perkawinan berisi
tentang pengaturan harta kekayaan calon suami istri, atau dengan kata lain perjanjian perkawinan
dibuat dengan tujuan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan

Perjanjian perkawinan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan dan isinya pada umumnya mengatur
tentang bagaimana harta kekayaan suami istri akan dibagi jika terjadi perceraian, kematian dari salah
satu pasangan. Perjanjian ini juga pada umumnya memuat bagaimana semua urusan keuangan keluarga
akan diatur atau ditangani selama pernikahan berlangsung.

Secara umum perjanjian perkawinan berisi tentang pengaturan harta kekayaan calon suami istri, atau
dengan kata lain perjanjian perkawinan dibuat dengan tujuan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan
yang menyangkut harta kekayaan.Perjanjian perkawinan lahir disebabkan oleh beberapa hal
diantaranya adalah:

1. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pada pihak
yang lain.

2. Kedua belah pihak masing-masing membawa harta bawaan yang cukup besar.

3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri sehingga apabila salah satu jatuh pailit yang lain tidak ikut
menanggung kepailitan tersebut.

4. Karena adanya hutang-hutang yang mereka buat sebelum dilangsungkannya perkawinan sehingga
masing-masing akan bertanggungjawab atas hutanghutang tersebut secara pribadi.

Di Indonesia sendiri mayoritas penduduknya adalah masyarakat muslim, yang pada hakikatnya semua
orang muslim mempunyai tujuan hidup untuk melakukan ibadah di dalam hidupnya. Salah satu ibadah
tersebut yaitu melalui

cara melakukan perkawinan yang sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku di dalam hukum islam.
Disamping perkawinan itu merupakan ibadah, di dalam kehidupan berumah tangga atau setelah
perkawinan terjadi ada sisi-sisi muamalah di dalamnya.

Muamalah sendiri mempunyai arti aturan yang membatasi hubungan manusia dengan manusia lainnya,
serta hubungan manusia dengan benda-benda di sekitarnya dalam hal ini misalnya saja dalam
kehidupan berumah tangga suami istri di dalam memenuhi kebutuhan hidup juga melakukan perbuatan-
perbuatan hukum lain yang ada di ranah muamalah antara lain: melakukan jual beli, hutang piutang,
gadai, sewa, kerjasama dan sebagainya. Yang dimana hal-hal tersebut secara umum juga telah dijelaskan
di dalam sumber-sumber hukum Islam mengenai hal-hal apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
C. TUJUAN DAN ASAS-ASAS PERKAWINAN

Asas-asas yang terdapat pada hukum adat tidak terlalu berbeda dengan asas-asas hukum adat secara
umum, adapun beberapa asas yang menjadi dasar dalam perkawinan adat menurut Hilman
Hadikusuma. Adapun asas-asas tersebut yaitu:

1. Perkawinan bertujuan membentuk keluarga rumah tangga dan hubungan kekerabatan yang rukun
dan damai, bahagia dan kekal.

2. Perkawinan tidak saja harus sah dilaksanakan menurut hukum agama dan atau kepercayaan, tetapi
juga harus mendapat pengakuan dari para anggota kerabat.

3. Perkawinan dapat dilakukan oleh seorang pria dengan beberapa wanita sebagai isteri yang
kedudukannya masing-masing ditentukan menurut hukum adat setempat.

4. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat
menolak kedudukan suami atau isteri yang tidak diakui masyarakat adat.

5. Perkawinan boleh dilakukan oleh pria dan wanita yang belum cukup umur atau masih anak-anak.
Begitu pula walaupun sudah cukup umur perkawinan harus berdasarkan izin orang tua/keluarga dan
kerabat.

6. Perceraian ada yang dibolehkan dan ada yang tidak diperbolehkan. Perceraian antara suami dan isteri
dapat berakibat pecahnya hubungan kekerabatan antara dua pihak.

7. Keseimbangan kedudukan antara suami dan isteri berdasarkan ketentuan hukum adat yang berlaku,
ada isteri.

Dalam penjelasan umum Undang-Undang Perkawinan terdapat beberapa asas yang menjadi dasar
dalam, perkawinan dimana hal ini sejalan dengan Pasal 28B ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945
Perubahan kedua yakni setiap orang berhak membentuk keluarga melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah, yaitu: yang berkedudukan sebagai ibu rumah tangga dan ada isteri yang bukan
ibu rumah tangga.

1. Bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

2. Bahwa perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya, disamping itu tiaptiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku

. 3. Bahwa perkawinan dalam UU Perkawinan menganut asas monogami dimana suami hanya
diperkenankan memiliki satu orang istri. Hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena
hukum dan agama dari yang bersangkutan (suami dan istri) mengizinkannya, maka suami dapat beristri
lebih dari seorang (Poligami). Akan tetapi poligami dapat dilakukan apabila istri menghendaki dan suami
harus memenuhi berbagai persyaratan tertentu yang diputuskan oleh pengadilan.
4. Bahwa dalam UU Perkawinan ini menganut prinsip bahwa calon suami-istri itu harus matang raga dan
jiwanya untuk dapat melangsungkan perkawinan. Hal tersebut bertujuan untuk mewujudkan
perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian.

5. Bahwa dalam UU Perkawinan ini juga menganut prinsip untuk mempersukar perceraian demi
terciptanya keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera.

6. Bahwa dalam UU Perkawinan menjamin hak dan kedudukan antara suami dengan istrim seimbang.

Mengenai asas perkawinan nasional yang diatur dalam UU Perkawinan, tidak memiliki perbedaan yang
sangat signifikan dengan perkawinan adat, terlihat dari asas masing-masing perkawinan nasional dan
perkawinan adat. Meskipun tidak secara eksplisit dijelaskan dalam UU Perkawinan tersebut, akan tetapi
perkawinan adat, dalam hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk pembangunan
hukum nasional, karena hukum adat merupakan hukum asli Indonesia (yang tidak tertulis dalam bentuk
perundang-undangan). Dasar dari Undang-Undang Perkawinan adalah hukum agama dan kepercayaan
bagi pihak-pihak (dalam hal ini calon suami-istri) yang melangsungkan perkawinan. Hal ini dihubungkan
dengan ajaran Receptio In Complexu oleh Mr. L. W. C Van Don Berg, yaitu:

“Receptio In Complexu oleh bangsa Hindu dari hukum Hindu, oleh kaum Islam dari hukum Islam, oleh
kaum Kristen dari hukum Kristen. Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum
pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk suatu agama, harus juga mengikuti hukum-hukum agama
itu dengan setia”.

Sehubungan dengan teori diatas maka hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh calon suami-
istri merupakan unsur-unsur dari hukum adat, sehingga pembentukan hukum perkawinan nasional yakni
UU Perkawinan mengandung unsur-unsur hukum adat.

D. TUJUAN PERKAWINAN
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan tersebut perkawinan tidak hanya memperhatikan sisi
ibadah tetapi juga harus memperhatikan sisi muamalah karena hal-hal yang diatur didalam
muamalah tidak jarang menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan pemenuhan hak-hak serta
kewajiban antara suami dan istri. Dengan adanya permasalahan tersebut untuk mengurangi
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan mengenai pemenuhan hak dan kewajiban suami dan istri
maka digunakanlah perjanjian perkawinan guna lebih menjaminnya kepastian hukum di dalam
pemenuhan hak dan kewajiban diantara keduanya. Serta telah di sebutkan sebelumnya diatas
diatas bahwa Perjanjian Perkawinan dianggap sah secara keseluruhan apabila tidak bertentangan
dengan syariat (hukum Islam), yang artinya disini isi dari perjanjian pekawinan juga termasuk di
dalam nilai-nilai ibadah, yaitu manusia memiliki hubungan langsung dengan Allah SWT. Atau dalam
kata lain pemenuhan hak dan kewajiban seorang suami istri adalah sama nilainya dengan kita
melakukan sholat, puasa, dan sebagainya. Contohnya di dalam kehidupan bermasyarakat, sendi
utama terjalinnya hubungan yang harmonis yaitu dimulai dari lingkungan keluarga. Tetapi pada
kenyataannya sekarang ini banyak terjadi ketidak harmonisan kehidupan berumah tangga karena
tidak saling terpenuhinya hak-hak dan kewajiban seorang suami dan istri. Misalnya saja dalam
kehidupan berumah tangga seorang istri selalu menuntut agar suami memberikan nafkah yang
cukup, sedangkan seoarang istri tidak melakukan kewajibannya dengan baik, istri tersebut selalu
memakai nafkah dari suami untuk berhura-hura (bukan untuk keperluan rumah tangga).

KESIMPULAN

Dengan seperti itu maka seoarang istri tersebut termasuk orang yang tidak taat kepada Allah SWT.
Untuk menghindari atau mengurangi terjadinya hal-hal seperti itulah maka ini merupakan peran dari
perjanjian perkawinan. Tetapi perjanjian perkawinan ini merupakan hal yang masih sangat tabu di
masyarakat Indonesia. Perjanjian perkawinan tidak hanya untuk mengatur mengenai harta masing-
masing pihak, tetapi perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat guna mengatur tingkah, serta
sikap suami atau istri dalam mengarungi kehidupan berumah tangga. Perjanjian perkawinan berisi
mengenai hal-hal apa saja yang telah disepakati oleh masing-masing pihak, perjanjian tersebut guna
mangatur kehidupan mereka selama masih hidup, bukan mengatur untuk seseorng yang sudah
meninggal dunia. Misalnya mengenai harta warisan, karena pembagian harta warisan sendiri
berdasarkan hukum islam juga telah ada pengaturannya. Perjanjian perkawinan tersebut dibuat
berdasarkan pengaturannya yaitu di dalam Pasal 29 ayat (2) undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang perkawinan telah menyebutkan bahwa “Perjanjian perkawinan tidak dapat di sahkan bilamana
melanggar batas-batas hukum agama dan kesusilaan”. Sebagai umat muslim tentunya dalam membuat
perjanjian perkawinan harus sesuai dengan prinsipprinsip yang berlaku di dalam hukum islam, haL-hal
apa saya yang boleh dan halhal yang tidak boleh di perjanjikan didalam perjanjian perkawinan

Anda mungkin juga menyukai