Anda di halaman 1dari 8

HUKUM PERKAWINAN

(PERKAWINAN BEDA AGAMA)

DISUSUN OLEH :

Raden Orriza Dipanegara

Faristo Kamal Perdana

Habibie Hendra Carlo

Dikri Holliman

Achmad Qidranda Mufti

TAHUN AJARAN GANJIL 2018 - 2019


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang masalah

Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting dalam kehidupan manusia,


karena perkawinan tidak saja menyangkut pribadi kedua calon suami istri, tetapi juga
menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Pada umumnya perkawinan dianggap
sebagai sesuatu yang suci dan karenanya setiap agama selalu menghubungkan
kaedah-kaedah perkawinan dengan kedah-kaedah agama. Dalam peristiwa perkawinan
diperlukan norma hukum dan tata tertib yang mengaturnya. Penerapan norma hukum
dalam peristiwa perkawinan terutama diperlukan dalam rangka mengatur hak,
kewajiban, dan tanggung jawab masingmasing anggota keluarga, guna membentuk
rumah tangga yang bahagia dan sejahtera Lahirnya Undang Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawiuan secara relatif telah dapat menjawab kebutuhan terhadap
peraturan perundang-undangan yang mengatur perkawinan secara seragam dan untuk
semua golongan masyarakat di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan salah satu


wujud aturan tata tertib perkawinan yang dimiliki oleh negara Indonesia sebagai bangsa
yang berdaulat dan negara hukum, dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, dan peraturan-peraturan lainnya mengenai perkawinan, di samping aturan-
aturan tata tertib pernikahan lainnya seperti Hukum Adat dan Hukum Agama.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaturan hukum perkawinan beda agama di Indonesia?

2. Bagaimana akibat hukum dari perkawinan beda agama di Indonesia?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Menurut Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan disebutkan

“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

Perkawinan bukan hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum saja, akan
tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, sehingga oleh karenanya sah atau
tidaknya suatu perkawinan digantungkan sepenuhnya pada hukum masing-masing
agama dan kepercayaan yang dianut oleh rakyat Indonesia.1

B. Sahnya Perkawinan

Sahnya suatu perkawinan telah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1


Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menetapkan sebagi berikut :2

(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing – masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang
berlaku.

Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan jelas terlihat bahwa Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menentukan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan
kepercayaannya masing-masing pemeluknya. Setelah perkawinan dilangsungkan

1
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum Perkawinan, Alumni, Bandung, 1978, hlm. 9.
2
Ibid, hlm 35
menurut tata cara masing masing agama dan kepercayaannya, maka kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat
perkawinan.

C. Akibat Hukum Dari Perkawinan Beda Agama

Permasalahan yang dapat timbul apabila dilangsungkannya suatu perkawinan beda


agama antara lain:

1. Keabsahan perkawinan.

Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaanya


yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan
keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama masing-masing. Namun,
permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut
membolehkan untuk dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya, dalam ajaran
islam wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam [Al
Baqarah (2):221]. Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang
(I Korintus 6: 14-18).

2. Pencatatan perkawinan.

Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama
Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan.
Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil oleh karena ketentuan
pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila
ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan di Kantor Catatan Sipil,
maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama
yang dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat
sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa
terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut UUP maka ia dapat menolak
untuk melakukan pencatatan perkawinan [pasal 21 ayat (1) UUP].
3. Status anak.

Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut ditolak, maka


hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status anak yang terlahir dalam
perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42 UUP disebutkan :

“anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah”

Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan, maka menurut hukum


anak tersebut bukanlah anak yang sah dan hanya memiliki hubungan perdata dengan
ibunya atau keluarga ibunya [pasal 2 ayat (2) jo. pasal 43 ayat (1) UUP].

4. Perkawinan beda agama yang dilakukan di luar negeri.

Apabila ternyata perkawinan beda agama tersebut dilakukan di luar negeri, maka
dalam kurun waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia
harus mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke Kantor Pencatatan Perkawinan
tempat tinggal mereka [pasal 56 ayat (2) UUP]. Permasalahan yang timbul akan sama
seperti halnya yang dijelaskan dalam poin 2. Meskipun tidak sah menurut hukum
Indonesia, bisa terjadi Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut.
Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar
pelaporan administratif.

5. Waris

Secara umum Perkawinan beda agama sangat berpotensi menimbulkan


persoalan persoalan hukum tersendiri, baik kepada pasangan suami isteri itu sendiri
maupun kepada pihak luar/ketiga termasuk hak waris anak yang lahir dari perkawinan
beda agama. Karena perkawinan campuran beda agama merupakan perkawinan yang
tidak sah karena tidak mengikuti aturan hukum agama yang berlaku, maka anak yang
lahir akibat perkawinan beda agama ini disamakan dengan anak luar kawin yang hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya 3. Namun anak diluar kawin tetap bisa
mendapatkan warisan apabila anak tersebut diakui oleh bapaknya.

Dalam kasus perkawinan beda agama, sepanjang tidak ada pihak ketiga yang
memperkarakan keabsahan perkawinan mereka, maka anak-anak mereka menjadi ahli
waris yang sah. Tetapi apabila ada pihak ketiga yang memperkarakan ke Pengadilan
dan dapat membuktikan bahwa perkawinan mereka tidak sah, maka anak anak mereka
hanya dapat mewaris dari ibunya saja sebagai ibunya dan tidak berhak mewaris
kepada bapaknya.

D. Kasus Lydia Kandou & Jamal Mirdad

Kasus yang menghebohkan pada waktu itu adalah pada tahun 1986 Lydia Kandou
menikah dengan aktor Jamal Mirdad yang berbeda agama. Lydia Kandou yang
beragama kristen dan Jamal Mirdad yang beragama Islam. Pasangan ini tetap ingin
menikah di Indonesia dan memperjuangkan status mereka di Pengadilan Negeri. Pada
waktu itu banyak tentangan dan kecaman dari seluruh lapisan masyarakat secara terus
menerus, bahwa penikahan Jamal Midad dengan Lydia Kandou sudah melanggar
aturan hukum yang di tetapkan Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Langkah awal yang ditempuh Jamal Mirdad & Lydia Kandou
adalah mengajukan permohonan ke Kantor Urusan Agama, namun upaya itu ditolak
oleh KUA. Kemudian mereka ke Kantor Catatan Sipil sebagai jalan tengah, tetapi itu
juga tidak bisa dilalui mereka dengan lancar, upaya Jamal Mirdad & Lydia Kandou tidak
berhenti sampai disitu. Mereka menempuh melalui jalur pengadilan,dari hal itu Hakim
Endang Sri Kawuryan mengizinkan mereka menikah. Dengan izin itu, pada 30 Juni
1986, Jamal dan Lydia resmi menikah.

Komentar :

Menurut kami, Dalam kasus tersebut perkawinan Jamal Mirdad dengan Lydia Kandou
telah melanggar peraturan peraturan yang berlaku. Salah satunya melanggar ketentuan

3
Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 2 ayat (1) UUP dimana Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum
masing – masing agamanya dan kepercayaanya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut UU No. 1 tahun 1974 perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
dilaksanakan sesuai dengan hukum dan aturan agama masing-masing. Masing-masing
agama menitikberatkan untuk melangsungkan perkawinan yang seagama. Anak yang
lahir dalam perkawinan beda agama menurut agama Kristen maupun agama Islam
merupakan anak yang tidak sah karena perkawinannya juga tidak sah. Menurut Hukum
Islam dalam pewarisannya anak yang tidak seagama dengan bapaknya, akan
kehilangan hak mewaris sesuai dengan halangan terjadinya pewarisan.

B. Saran

Hendaknya perkawinan beda agama ini tidak dilakukan oleh pasangan yang
akan menikah. Hal ini mengingat dampak yang ditimbulkannya berpengaruh terhadap
masa depan keluarga, anak dan harta benda. Selain itu yang paling penting bahwa
tidak ada satu agamapun yang membolehkan adanya perkawinan beda agama. Selain
itu hendaknya semua pasangan yang menikah mencatatkan perkawinannya. Hal ini
untuk menjelaskan status suami dan isteri dan memberi perlindungan kepada pasangan
serta menempatkan hak anak hasil perkawinan tersebut.
\

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum Perkawinan, Alumni, Bandung, 1978

Undang – Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan

Kompilasi Hukum islam

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/viewFile/1717/1359

http://etheses.uin-malang.ac.id/1396/5/08210041_Bab_1.pdf

Anda mungkin juga menyukai