DISUSUN OLEH :
Dikri Holliman
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
A. Pengertian
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”
Perkawinan bukan hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum saja, akan
tetapi juga merupakan suatu perbuatan keagamaan, sehingga oleh karenanya sah atau
tidaknya suatu perkawinan digantungkan sepenuhnya pada hukum masing-masing
agama dan kepercayaan yang dianut oleh rakyat Indonesia.1
B. Sahnya Perkawinan
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing – masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap – tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang – undangan yang
berlaku.
Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan jelas terlihat bahwa Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menentukan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan
kepercayaannya masing-masing pemeluknya. Setelah perkawinan dilangsungkan
1
Abdurrahman dan Riduan Syahrani, Hukum Perkawinan, Alumni, Bandung, 1978, hlm. 9.
2
Ibid, hlm 35
menurut tata cara masing masing agama dan kepercayaannya, maka kedua mempelai
menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat
perkawinan.
1. Keabsahan perkawinan.
2. Pencatatan perkawinan.
Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama
Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan.
Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil oleh karena ketentuan
pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda. Apabila
ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan di Kantor Catatan Sipil,
maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama
yang dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UUP tentang syarat
sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa
terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut UUP maka ia dapat menolak
untuk melakukan pencatatan perkawinan [pasal 21 ayat (1) UUP].
3. Status anak.
“anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat
perkawinan yang sah”
Apabila ternyata perkawinan beda agama tersebut dilakukan di luar negeri, maka
dalam kurun waktu satu tahun setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia
harus mendaftarkan surat bukti perkawinan mereka ke Kantor Pencatatan Perkawinan
tempat tinggal mereka [pasal 56 ayat (2) UUP]. Permasalahan yang timbul akan sama
seperti halnya yang dijelaskan dalam poin 2. Meskipun tidak sah menurut hukum
Indonesia, bisa terjadi Catatan Sipil tetap menerima pendaftaran perkawinan tersebut.
Pencatatan di sini bukan dalam konteks sah tidaknya perkawinan, melainkan sekedar
pelaporan administratif.
5. Waris
Dalam kasus perkawinan beda agama, sepanjang tidak ada pihak ketiga yang
memperkarakan keabsahan perkawinan mereka, maka anak-anak mereka menjadi ahli
waris yang sah. Tetapi apabila ada pihak ketiga yang memperkarakan ke Pengadilan
dan dapat membuktikan bahwa perkawinan mereka tidak sah, maka anak anak mereka
hanya dapat mewaris dari ibunya saja sebagai ibunya dan tidak berhak mewaris
kepada bapaknya.
Kasus yang menghebohkan pada waktu itu adalah pada tahun 1986 Lydia Kandou
menikah dengan aktor Jamal Mirdad yang berbeda agama. Lydia Kandou yang
beragama kristen dan Jamal Mirdad yang beragama Islam. Pasangan ini tetap ingin
menikah di Indonesia dan memperjuangkan status mereka di Pengadilan Negeri. Pada
waktu itu banyak tentangan dan kecaman dari seluruh lapisan masyarakat secara terus
menerus, bahwa penikahan Jamal Midad dengan Lydia Kandou sudah melanggar
aturan hukum yang di tetapkan Pasal 2 ayat (1) Undang – Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Langkah awal yang ditempuh Jamal Mirdad & Lydia Kandou
adalah mengajukan permohonan ke Kantor Urusan Agama, namun upaya itu ditolak
oleh KUA. Kemudian mereka ke Kantor Catatan Sipil sebagai jalan tengah, tetapi itu
juga tidak bisa dilalui mereka dengan lancar, upaya Jamal Mirdad & Lydia Kandou tidak
berhenti sampai disitu. Mereka menempuh melalui jalur pengadilan,dari hal itu Hakim
Endang Sri Kawuryan mengizinkan mereka menikah. Dengan izin itu, pada 30 Juni
1986, Jamal dan Lydia resmi menikah.
Komentar :
Menurut kami, Dalam kasus tersebut perkawinan Jamal Mirdad dengan Lydia Kandou
telah melanggar peraturan peraturan yang berlaku. Salah satunya melanggar ketentuan
3
Pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Pasal 2 ayat (1) UUP dimana Perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum
masing – masing agamanya dan kepercayaanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut UU No. 1 tahun 1974 perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
dilaksanakan sesuai dengan hukum dan aturan agama masing-masing. Masing-masing
agama menitikberatkan untuk melangsungkan perkawinan yang seagama. Anak yang
lahir dalam perkawinan beda agama menurut agama Kristen maupun agama Islam
merupakan anak yang tidak sah karena perkawinannya juga tidak sah. Menurut Hukum
Islam dalam pewarisannya anak yang tidak seagama dengan bapaknya, akan
kehilangan hak mewaris sesuai dengan halangan terjadinya pewarisan.
B. Saran
Hendaknya perkawinan beda agama ini tidak dilakukan oleh pasangan yang
akan menikah. Hal ini mengingat dampak yang ditimbulkannya berpengaruh terhadap
masa depan keluarga, anak dan harta benda. Selain itu yang paling penting bahwa
tidak ada satu agamapun yang membolehkan adanya perkawinan beda agama. Selain
itu hendaknya semua pasangan yang menikah mencatatkan perkawinannya. Hal ini
untuk menjelaskan status suami dan isteri dan memberi perlindungan kepada pasangan
serta menempatkan hak anak hasil perkawinan tersebut.
\
DAFTAR PUSTAKA
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexprivatum/article/viewFile/1717/1359
http://etheses.uin-malang.ac.id/1396/5/08210041_Bab_1.pdf