Anda di halaman 1dari 10

LEGAL OPINION

“ANALISIS TERHADAP STATUS HUKUM ANAK YANG LAHIR DARI


PERKAWINAN BEDA AGAMA”
LEGAL OPINION
“ANALISIS TERHADAP STATUS HUKUM ANAK YANG LAHIR DARI
PERKAWINAN BEDA AGAMA”

A. URAIAN KASUS
Ahmad, seorang pria Muslim, dan Maria, seorang wanita
Kristen, jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah. Keduanya
menyadari perbedaan agama mereka, tetapi mereka yakin bahwa
cinta mereka dapat mengatasi segala hambatan. Mereka
melangsungkan pernikahan dengan mengikuti upacara agama
masing-masing. Setelah beberapa tahun menikah, Ahmad dan
Maria dikaruniai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama
Rizky. Ahmad dan Maria sangat mencintai Rizky dan berusaha
memberikan kasih sayang dan pendidikan yang baik kepadanya.
Namun, masalah muncul ketika Ahmad dan Maria menghadapi
persoalan hukum terkait status pernikahan mereka. Menurut hukum
Islam, perkawinan beda agama seperti ini tidak diakui sebagai sah.
Oleh karena itu, menurut pandangan Islam, Rizky dianggap
sebagai anak di luar nikah.
Kedua belah pihak sepakat untuk menyelesaikan masalah
ini secara damai dan melindungi hak-hak Rizky. Mereka
memutuskan untuk mengajukan permohonan pengakuan anak di
luar nikah ke pengadilan. Dalam proses pengadilan, mereka
menyampaikan bukti bahwa mereka telah dengan tulus
menjalankan peran sebagai orang tua yang bertanggung jawab dan
menyayangi Rizky. Setelah mempertimbangkan fakta-fakta dan
bukti yang disampaikan, pengadilan memutuskan untuk mengakui
status Rizky sebagai anak sah dan memberikan hak-hak yang
setara dengan anak yang lahir dari perkawinan sah. Putusan
pengadilan ini didasarkan pada prinsip perlindungan kepentingan
terbaik bagi anak, yang dianggap lebih penting daripada perbedaan
agama orang tua.
Ahmad dan Maria merasa lega dengan putusan pengadilan
tersebut. Mereka berkomitmen untuk terus memberikan kasih
sayang, perhatian, dan pendidikan yang baik kepada Rizky, serta
menghormati dan memahami perbedaan agama di antara mereka.
B. DASAR HUKUM
A. Al-Qur'an
Al-Qur'an merupakan salah satu sumber hukum bagi umat
Islam. Meskipun tidak secara langsung mengatur mengenai
perkawinan beda agama, Al-Qur'an memberikan prinsip-prinsip
tentang perlakuan terhadap keluarga dan hubungan
antarmanusia.
B. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang ini merupakan dasar hukum utama yang
mengatur segala hal yang berkaitan dengan perkawinan di
Indonesia. Salah satu ketentuan penting yang terdapat dalam
undang-undang ini adalah bahwa perkawinan sah dilakukan
menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.
C. Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-Undang ini merupakan revisi dari Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Revisi ini memberikan
beberapa perubahan dan penyesuaian terhadap ketentuan-
ketentuan yang ada sebelumnya, termasuk dalam hal
pelaksanaan perkawinan yang berbeda agama.
C. PENDAPAT HUKUM
Salah satu permasalahan yang sering muncul terkait
perkawinan beda agama adalah pencatatan perkawinan.
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk memberikan kepastian
hukum terhadap status pernikahan, hak dan kewajiban pasangan,
serta perlindungan terhadap hak-hak anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mewajibkan pencatatan
perkawinan di Kantor Pencatatan Sipil setempat. Namun, dalam
praktiknya, terdapat kesulitan dalam melakukan pencatatan
perkawinan beda agama. Beberapa Kantor Pencatatan Sipil
menolak mencatat perkawinan beda agama dengan alasan
melanggar ketentuan hukum yang berlaku. Namun, terdapat pula
Kantor Pencatatan Sipil yang memperlakukan perkawinan beda
agama dengan menerima pencatatan, dengan syarat bahwa
perkawinan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan agama
masing-masing pasangan. Misalnya, pasangan yang berbeda
agama harus melaksanakan upacara pernikahan sesuai dengan
agama masing-masing dan mendapatkan persetujuan dari pemuka
agama atau lembaga keagamaan yang berwenang.
Pendekatan yang berbeda ini mencerminkan perbedaan
interpretasi dan penafsiran terhadap undang-undang yang ada.
Beberapa pihak berpendapat bahwa undang-undang memberikan
kebebasan kepada pasangan untuk melaksanakan perkawinan
beda agama, selama dilakukan sesuai dengan ketentuan agama
masing-masing. Mereka berargumen bahwa undang-undang tidak
secara tegas melarang perkawinan beda agama, melainkan
mengharuskan perkawinan dilakukan menurut hukum masing-
masing agama. Namun, di sisi lain, ada juga yang berpendapat
bahwa undang-undang mengharuskan pasangan memiliki agama
yang sama untuk melakukan perkawinan yang sah. Mereka
berargumen bahwa pasal-pasal dalam undang-undang tersebut
mengindikasikan bahwa perkawinan yang sah harus dilakukan
berdasarkan agama yang sama.
Untuk mengatasi permasalahan ini, Mahkamah Agung
menerbitkan SEMA No. 2 Tahun 2023 sebagai petunjuk bagi hakim
dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan
antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan. SEMA tersebut
memberikan arahan kepada hakim untuk mempertimbangkan
berbagai faktor, termasuk kebebasan beragama, kepentingan anak,
serta prinsip keadilan dan kesetaraan dalam mengambil keputusan
terkait perkawinan beda agama. Dalam SEMA No. 2 Tahun 2023,
Mahkamah Agung menegaskan bahwa perkawinan beda agama
tidak dapat dicatatkan sebagai perkawinan sah. Namun, hakim
dapat mempertimbangkan kepentingan anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut dan memberikan perlindungan hukum yang
setara dengan anak yang lahir dari perkawinan sah.
Dalam konteks ini, anak yang lahir dari perkawinan beda
agama setelah berlakunya SEMA tersebut dianggap sebagai anak
di luar nikah. Anak tersebut hanya memiliki hubungan perdata
dengan ibunya dan keluarga ibunya sesuai dengan Pasal 43 ayat
(1) Undang-Undang Perkawinan. Hal ini berarti bahwa anak
tersebut tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya dan
tidak mendapatkan hak-hak yang sama seperti anak yang lahir dari
perkawinan sah. Namun, putusan pengadilan dapat memberikan
pengakuan hukum terhadap anak yang dilahirkan dari perkawinan
beda agama, dengan mempertimbangkan kepentingan anak dan
prinsip-prinsip keadilan. Dalam beberapa kasus, pengadilan dapat
memberikan status anak yang sah dan memberikan hak-hak yang
setara kepada anak tersebut.
Perkawinan adalah ikatan suci antara dua individu yang
melibatkan komitmen, cinta, dan tanggung jawab dalam
membangun hubungan keluarga. Di Indonesia, perkawinan diatur
oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yang kemudian mengalami revisi dengan Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang tersebut
mengatur bahwa sebuah perkawinan dianggap sah apabila
dilakukan sesuai dengan agama yang dianut oleh masing-masing
pasangan. Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Perkawinan
menyatakan bahwa perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan
agama yang dianut oleh pasangan yang akan menikah, dan
perkawinan tersebut harus dicatatkan pada pencatatan perkawinan
yang ditetapkan oleh pemerintah.
Bagi umat Islam, selain undang-undang tersebut, terdapat
juga ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) yang mengatur hal-hal terkait perkawinan dalam
agama Islam. KHI (Kompilasi Hukum Islam) merupakan panduan
hukum Islam yang digunakan sebagai acuan dalam mengatur
perkawinan bagi umat Islam di Indonesia. Intruksi Presiden Nomor
1 tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam juga
memperkuat penggunaan KHI dalam perkawinan. Meskipun
demikian, terdapat interpretasi hukum yang berbeda dalam
praktiknya. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986
tanggal 20 Januari 1989 menjadi acuan bagi para hakim dalam
mengabulkan permohonan izin perkawinan beda agama. Putusan
ini menyatakan bahwa perbedaan agama antara calon suami dan
istri bukanlah larangan bagi mereka untuk menikah. Hal ini
memberikan celah bagi pasangan yang memiliki perbedaan agama
untuk mengajukan permohonan izin perkawinan beda agama.
Selain itu, perkawinan beda agama juga diatur oleh Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan (Adminduk). Undang-undang ini memberikan
kesempatan bagi pasangan yang melakukan perkawinan beda
agama untuk melakukan permohonan penetapan perkawinan pada
pengadilan negeri. Permohonan tersebut dilakukan untuk
mendapatkan pengakuan hukum terhadap status perkawinan dan
untuk mencatatkan perkawinan tersebut pada pencatatan sipil.
Dengan adanya regulasi dan instruksi tersebut, terdapat proses
hukum yang harus diikuti oleh pasangan yang ingin melakukan
perkawinan beda agama. Proses ini melibatkan pengajuan
permohonan izin perkawinan beda agama kepada pengadilan serta
pencatatan perkawinan pada pencatatan sipil.
Perkawinan beda agama juga menimbulkan beberapa
konsekuensi hukum, terutama terkait dengan status hukum anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Menurut undang-undang,
anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama dianggap
sebagai anak di luar nikah. Hal ini berarti bahwa anak tersebut
hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya, sedangkan hubungannya dengan ayahnya tidak diatur
dalam hukum perdata. Namun, melalui proses pengadilan,
pasangan yang melakukan perkawinan beda agama dapat
mengajukan permohonan untuk memberikan pengakuan hukum
terhadap anak yang dilahirkan. Dalam proses pengadilan,
pasangan perlu membuktikan bahwa mereka telah menjalankan
peran sebagai orang tua yang bertanggung jawab dan bahwa
mereka berkomitmen untuk memberikan perlindungan, kasih
sayang, perhatian, dan pendidikan yang baik kepada anak tersebut.
Dalam kesimpulannya, perkawinan di Indonesia diatur oleh
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
ketentuan agama masing-masing. Perkawinan beda agama
memiliki beberapa ketentuan dan proses hukum yang harus diikuti,
termasPerkawinan diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, yang kemudian mengalami revisi
dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-undang ini mengatur syarat-syarat sahnya perkawinan di
Indonesia. Menurut Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang
Perkawinan, perkawinan harus dilaksanakan berdasarkan agama
masing-masing pasangan dan dicatatkan pada pencatatan
perkawinan yang ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini berarti bahwa
pasangan yang akan menikah harus memiliki agama yang sama,
dan perkawinan tersebut harus diakui dan dicatat secara resmi oleh
pemerintah.
Namun, terdapat situasi di mana pasangan yang ingin
menikah memiliki perbedaan agama. Dalam hal ini, Putusan
Mahkamah Agung Nomor 1400 K/Pdt/1986 tanggal 20 Januari
1989 memberikan panduan bagi hakim dalam mengabulkan
permohonan izin perkawinan beda agama. Putusan ini menyatakan
bahwa perbedaan agama bukanlah larangan bagi pasangan untuk
menikah. Dengan demikian, pasangan yang memiliki perbedaan
agama dapat mengajukan permohonan izin perkawinan beda
agama kepada pengadilan. Selain itu, Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) juga
memiliki peran penting dalam perkawinan beda agama. Undang-
undang ini memberikan prosedur dan persyaratan yang harus
diikuti oleh pasangan yang ingin melakukan perkawinan beda
agama. Salah satu prosedur yang harus dilakukan adalah
permohonan penetapan perkawinan kepada pengadilan negeri.
Dalam proses ini, pasangan harus memenuhi persyaratan dan
membuktikan bahwa mereka memenuhi syarat hukum untuk
menikah.
D. KESIMPULAN
Perkawinan beda agama di Indonesia diatur oleh Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 jo Undang-Undang No. 16 Tahun 2019
tentang Perkawinan. Menurut undang-undang tersebut, perkawinan
yang sah adalah perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan
agama masing-masing pasangan dan dicatatkan pada pencatatan
perkawinan. Namun, meskipun aturan tersebut ada, perkawinan
beda agama masih sering terjadi di Indonesia. Oleh karena itu,
Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) No. 2 Tahun 2023 yang memberikan petunjuk kepada
hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan
perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan.
SEMA No. 2 Tahun 2023 menegaskan bahwa perkawinan beda
agama tidak dapat dicatatkan sebagai perkawinan sah. Dengan
demikian, anak yang lahir dari perkawinan beda agama setelah
berlakunya SEMA tersebut dianggap tidak sah secara hukum. Anak
tersebut hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya sesuai dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan. Dalam konteks ini, pengakuan hukum terhadap anak
yang lahir dari perkawinan beda agama menjadi terbatas. Anak
tersebut tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya dan
tidak diakui sebagai anak sah dalam lingkup hukum. Hal ini dapat
berdampak pada hak-hak dan kewajiban anak, seperti hak warisan,
hak asuh, dan hak-hak lainnya yang terkait dengan status
kekeluargaan.
Daftar Pustaka
H. Maslow. Abraham. (1970). Motivation and Personality. Harper & Row
Publishers Indra. M. Ridwan. (1994). Hukum Perkawinan Di
Indonesia. Haji Masagung Prodjodikoro. Wirjono (1974). Hukum
Perkawinan Indonesia. Sumur
Prodjodikoro. Wirjono (1981). Hukum Perkawinan di Indonesia.Sumur
Satrio. J. (1992). Hukum Waris. Alumni
Subekti. R. (1985). Pokok-pokok Hukum Perdata. Penerbit Intermasa
Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminitrasi
Kependudukan

Anda mungkin juga menyukai