Anda di halaman 1dari 9

JURNAL HUKUM KAIDAH 85

Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat


Voume :19, Nomor : 1
ISSN Online : 2613-9340
ISSN Offline : 1412-1255

I. PENDAHULUANA
Analisis Atas Keabsahan Perkawinan
A. Latar belakang.
Beda Agama
Perkawinan adalah ikatan lahir batin
oleh :
antaraseorang pria dengan seorangwanita
Hamdan Nasution1
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
Abstract
bekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2
Marital status of different religions in the legal
system in Indonesia is illegitimate. Marriage Law Perkawinan tidak hanya berkaitan dengan
Number 1 of 1974 in Article 2 paragraph 1 hubungan pribadi dari pasangan yang
reveals that marriage is legal if it is carried out
according to the law of each religion and belief. melangsungkan perkawinan saja, perkawinan
It means that marriage can only take place if the berkaitan juga dengan permasalahan Agama,
parties (future husband and wife) follow the
same religion. permasalahan sosial dan permasalahan hukum.
Permasalahan Agama yang menyangkut
From the formulation of Article 2 paragraph 1,
there are no marriages outside their respective perkawinan, dapat kita lihat bahwa dalam setiap
laws and beliefs. Interfaith marriages are held Agama tentunya mempunyai ketentuan-
abroad.
ketentuan yang mengatur masalah perkawinan,
Keywords: Analysis, Legitimacy, Interfaith sehingga pada prinsipnya diatur dan tunduk
Marriage
pada ketentuan-ketentuan dari Agama yang

Abstrak dianut oleh pasangan yang akan


melangsungkan perkawinan. Permasalahan
Kedudukan perkawinan beda agama dalam
sistem hukum di Indonesia adalah tidak sah. sosial yang berkaitan dengan perkawinan,
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun
adalah merupakan cara pandang masyarakat
1974 dalam Pasal 2 ayat 1 mengungkapkan
perkawinan adalah sah apabila dilakukan pada umumnya mengenai pelaksanaan
menurut hukum masing-masing agama dan
perkawinan, yang akan membawa dampak
kepercayaannya. Berarti perkawinan hanya
dapat dilangsungkan bila para pihak (calon tertentu pada pasangan yang akan
suami dan istri) menganut agama yang sama.
melangsungkan perkawinan dalam lingkungan
Dari perumusan Pasal 2 ayat 1 ini tidak ada masyarakatnya. Dari sudut pandang hukum,
perkawinan di luar hukum masing-masing dan
perkawinan terjadi disebabkan oleh adanya
kepercayaannya itu.2.Adanya pelaksanaan
perkawinan beda agama di luar negeri, seperti hubungan antar manusia, dari hubungan antar
di negara Singapura secara formil sah menurut
manusia untuk membentuk suatu ikatan
ketentuan-ketentuan hukum Singapura.
pekawinan inilah menyebabkan timbulnya suatu
Kata Kunci : Analisis, Keabsahan, Perkawinan
perbuatan hukum.Perkawinanyang didasari
Beda Agama
ikatan lahir batin dapat dikatakan sah, jika telah
memenuhi unsur dalam Pasal2 ayat (1)
Undang-Undang Nomor1 Tahun 1974 tentang

2
. Pengertian Perkawinan berdasarkanPasal 1
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
1
Dosen LLDIKTI dpk Fakultas Hukum UISU Perkawinan

Jurnal Hukum KAIDAH


JURNAL HUKUM KAIDAH 86
Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat
Perkawinan, perkawinan adalah sah, apabila Perkawinan, menentukan“tiap-tiap perkawinan
dilakukan menurut hukum masing-masing dicatat menurut peraturan perundang-undangan
agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini yang berlaku”. Perbuatan pencatatan itu tidaklah
berarti bahwa setiap warga Negara Indonesia menentukan sahnya suatu perkawinan, tetapi
yang akan melakukan perkawinan sudah menyatakan bahwa peristiwa itu memang ada
seharusnya melewati lembaga agamanya dan terjadi, jadi semata-mata bersifat
masing-masing dan tunduk kepada aturan administrative.4
pernikahan agamanya. Di dalam penjelasan Dengan melihat fenomena yang terjadi
Pasal2 ayat (1) Undang-Undang Nomor1 Tahun akhir-akhir ini, di mana pasangan yang berbeda
1974 tentang Perkawinan disebutkan, bahwa agama melangsungkan pernikahan dan masih
tidak ada perkawinan di luar hukum masing- memegang teguh pada agamanya masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu, masing, maka akan timbul masalah dalam
sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. pencatatannya di kantor catatan sipil, hal ini
Dari hal tersebut dapat disimpulkan, bahwa dikarenakan belum adanya peraturan yang
Perkawinan mutlak harus dilakukan menurut mengatur masalah perkawinan beda Agama.
hukum masing-masing agamanya dan Belum adanya peraturan yang mengatur dalam
kepercayaannya itu, kalau tidak, maka hal pencatatan perkawinan beda agama
3
Perkawinan itu tidak sah. memicu keraguan dalam prosedur dan
Pada umumnya setiap orang kewenangan pelaksanaan pencatatan
menginginkan pasangan hidup yang seagama. perkawinan beda Agama.Dengan demikian,
Bukan sengaja membeda-bedakan atau selain perkawinan harus dilakukan didepan
mendirikan dinding pemisah antara Agama yang pegawai pencatat perkawinan dan dicatatkan,
satu dengan Agama yang lain, namun terdapat tiga pilihan hukum bagi sahnya
diharapkan membangun keluarga berdasarkan perkawinan. Ini berarti bagi orang-orang Islam
satu prinsip tentunya diharapkan akan lebih misalnya, terbuka kemungkinan melangsungkan
mudah danpermasalahan perbedaan Agama perkawinan tanpa menggunakan hukum
tidak perlu muncul dalam rumah tangga. Namun Perkawinan Islam. Hal ini sering terjadi pada
tidak sedikit pula pasangan yang akan kasus-kasus perkawinan antara umat berlainan
melakukan pernikahan dengan perbedaan Agama. Pengertian semacam inilahyang tidak
keyakinannya, hal itu dapat dimungkinkan bisa diterima oleh Umat Islam. Sebab, menurut
karena adanya pergaulan antar manusia yang hukum Islam, sahnya perkawinan adalah kalau
tiada batas. Dengan alasan tersebut tidak dapat dipenuhi rukun nikah, di antaranya adanya Aqad
dipungkiri bahwa perkawinan antar agama, Nikah berupa Ijab Kabul yang dilakukan oleh
menjadi hal yang semakin umum di lingkungan pihak mempelai laki-laki dan disaksikan oleh
masyarakat.Perkawinan yang sah harus dicatat dua orang 4 saksi.5 Pencatatan perkawinan
menurut peraturan perundang-undanganyang fungsinya hanyalah sekedar memenuhi
berlaku hal ini diatur di dalam Pasal 2 ayat (2) kebutuhan Administrasi. Mengenai status
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
4
Ibid, hlm. 17.
3 5
Wantjik K Shaleh, Hukum Perkawinan Di Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan
Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982, hlm16. Indonesia,(Jakarta: UI Press, Cet. 5, 1986), hlm.63

Jurnal Hukum KAIDAH


JURNAL HUKUM KAIDAH 87
Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat
hukum pencatatan ini dalam hubungannya yang unik dengan menghormati secara penuh
dengan Hukum Islam, akan diuraikan pada adanya variasi berdasarkan Agama dan
bagian tersendiri dibelakang. kepercayaannya itu. Dalam Undang-undang ini
perkawinan dibatasi dengan baik sebagai
B. Rumusan Masalah. “ikatan lahir batin antara seorang pria dan
1. Bagaimana Kedudukan Perkawinan Beda seorang wanita sebagai suami istri dengan
Agama Menurut Undang-Undang? tujuan untuk membentuk keluarga (rumah
2. Bagaimana kedudukan perkawinan beda tangga) yang bahagia kekal berdasarkan
agama yang dilangsungkan di luar negeri Ketuhanan Yang Maha Esa. Dan untuk sampai
dalam sistem hukum di Indonesia.? kepada sahnya suatu perkawinan, Undang-
undang menentukan harus menurut hukum
C. Metode Penelitian masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Penelitian ini menggunakan jenis Artinya bagi Umat Islam perkawinan adalah sah,
penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis apabila dilakukan menurut hukum perkawinan
normatif dilakukan dengan cara menelaah dan Islam. Demikian pula bagi penganut Agama

menginpretasikan hal-hal yang bersifat yang lain yang diakui di Indonesia.Dengan

hubungan antar manusia untuk membentuk adanya penunjukan langsung hukum Agama

suatu ikatan pekawinan inilah menyebabkan dan kepercayaanya itu sebagai syarat material

timbulnya suatu perbuatan sahnya suatu perkawinan berarti Undang-

hukum.Perkawinanyang didasari ikatan lahir undang Perkawinan itu telah menentukan.

batin dapat dikatakan sah, jika telah memenuhi Keadaan demikian sebenarnya merupakan

unsur dalam Pasal2 ayat (1) Undang-Undang kebalikan dari teori resepsi sebagai 5 warisan

Nomor1 Tahun 1974 tentang Perkawinan politik hukum Hindia Belanda, yang menyatakan

Dalam menarik kesimpulan penulis bahwa hukum Agama Islam baru dapat berlaku

menggunakan metode dedukatif yaitu apabila telah diresepsi kedalam hukum Adat.

merupakan cara berfikir yang menarik Dengan demikian berlakunya hukum Islam

kesimpulan dari suatu pernyataan atau dalil bukan lagi berdasarkan kepada teori resepsi itu

yang bersifat umum menjadi suatu pernyataan melainkan ia berdasarkan langsu ng kepada

yang bersifat khusus. Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan


Tahun 1974. Sanksi moral saja alias sanksi

II. PEMBAHASAN akhirat, tidak selalu cukup untuk menjadikan

A. Analisis Atas Keabsahan Perkawinan orang takut melanggar ketentuan hukum

Beda Agama Agama. Jadi perlu Undang-Undang dengan

Undang-undang Perkawinan Nomor 1 sangsi duniawi. Dan pendapat ketiga datang

Tahun 1974 adalah hasil suatu usaha untuk dari golongan non muslim (kelompok Nasrani)

menciptakan hukum nasional. Ia merupakan yang keberatan kalau ada Undang-Undang

produk hukum pertama yang memberikan yang bedasarkan Agama. Mengenai sistem

gambaran yang nyata tentang kebenaran dasar Undang-undang Perkawinan yang di kehendaki

asasi kejiwaan dan kebudayaan “bhineka pada saat proses pembentukannya terbagi atas

tunggal ika”, dan ia juga merupakan unifikasi tiga aliran : Aliran pertama menghendaki satu

Jurnal Hukum KAIDAH


JURNAL HUKUM KAIDAH 88
Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat
undang-undang yang berlaku untuk semua perbedaan pendapat di antara kitab fikih
(unifikasi);b.Aliran kedua menghendakiagar tersebut. Timbulnya perbedaan pendapat itu
masing-masing golongan mempunyai undang- ada kalanya disebabkan oleh banyaknya nash
undang sendiri (diferensiasi)c.Aliran ketiga yang Qur‟an dan Hadits yang tidak berisi suatu
mengiginkan ada undang-undang pokok yang pengertian yang jelas (qath‟i) melainkan bersifat
berlaku umum, selanjutnya bagi masing-masing kemungkinan-kemungkinan (dhani) sehingga
golongan diadakan Undang-undang Organik perlu penafsiran, dan juga dapat disebabkan
(diferensiasi dalam unifikasi). RUUP yang karena faktor lingkungan sosial dengan segala
diajukan tahun 1973 menganut aliran pertama persoalan yang berbeda. Iman Malik yang hidup
(unifikasi), sedangkan RUUP sebelumnya (1967 di Madinah tidak mengalami apa yang dialami
dan 1968) menganut aliran ketiga (diferensiasi oleh Iman Hanafi di Irak . Kalau lingkungan
dalam unifikasi). Bagaimana dengan keinginan sosial berbeda maka pendirian dalam menilai
dari politik hukum Indonesia sendiri terhadap sesuatu kepentingan dan motif penetapan
sistem hukum itu? Untuk mengetahui politik hukum juga berbeda.
hukum itu perlu dilihat Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN). Dalam GBHN disebutkan B. Perkawinan Beda Agama.
bahwa “peningkatan dan penyempurnaan Menurut Undang-Undang lalu
pembinaan pembinaan Hukum Nasional dengan bagaimana hukum pernikahan beda agama
antara lain mengadakan pembaharuan, menurut Undang-Undang Perkawinan yang
kodifikasi, serta unifikasi hukum dalam bidang- berlaku di Indonesia? Menurut UU No. 1 Tahun
bidang tertentu dengan jalan memerhatikan 1974 tentang Perkawinan, yang dalam pasal 1
“kesadaran hukum dalam masyarakat” . menyatakan: “Perkawinan adalah ikatan lahir
Memerhatikan kesadaran hukum dalam batin antara seseorang pria dan seorang wanita
masyarakat, berarti memerhatikan kebinekaan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
hukum yang ada dalam kehidupan masyarakat. keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
Dalam pengertiannya yang sama, Ismail Saleh kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
sebagai menteri kehakiman memberikan Selanjutnya dalam pasal 2 ayat 1 dinyatakan:
penjelasan sebagai berikut:“walaupun unifikasi “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan
hukum merupakan tujuan kita, akan tetapi demi menurut hukum masing-masing agama dan
keadilan, Hukum Nasional yang akan kita kepercayaan itu”.Dalam penjelasan atas Pasal 1
wujudkan bersama ini masih harus disebutkan: Sebagai negara yang berdasarkan
memerhatikan perbedaan latar belakang sosial- Pancasila, dimana sila pertama adalah
budaya dan perbedaan kebutuhan hukum yang Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan
dimiliki oleh kelompok-kelompok tertentu” mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
.Perkawinan yang dilakukan di kalangan umat agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan
Islam langsung berpedoman kepada kitab-kitab saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi
fikih sebagai hasil Ijtihad atau hasil pemikiran unsur batin/rohani juga mempunyai peranan
tokoh-tokoh fikih abad ketujuh Masehi. Karena yang penting. Membentuk keluarga yang
kitab fikih tersebut adalah hasil pemikiran bahagia rapat hubungan dengan keturunanyang
manusia, maka wajar apabila terdapat merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan

Jurnal Hukum KAIDAH


JURNAL HUKUM KAIDAH 89
Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat
dan pendidikan menjadi hak dan Budha, yang kemudian diserap oleh Undang-
kewajibanorang tua. Undang Perkawinan memperbesar pergeseran
pelaksanaan proses perkawinan.7
C. Kedudukan Perkawinan Beda Agama.
Yang dilangsungkan di Luar Negeri D. Syarat Perkawinan.
dalam sistem Hukum di Indonesia.1.Sahnya Suatu perkawinan yang sah, selain
perkawinan Pengertian perkawinan dalam memenuhiketentuan Pasal 2 ayat (1) dan ayat
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang (2), maka harus pula memenuhi syarat-syarat
Perkawinan, telah memberikan suatu ketentuan perkawinan, baik materil maupun formil, yang
yang bersifat Nasional. Dalam kaitannya oleh Undang-Undang. Syarat-syarat perkawinan
menyaring berbagai persepsi yang selama ini yang dimaksud adalah terdiri dari:
berkembang dalam membuat pengertian a. Syarat Materil (Menurut Undang-Undang
perkawinan yang timbul dari pluralisme dalam Perkawinan)1.Perkawinan harus dengan
masyarakat Indonesia yang berkaitan dalam persetujuan kedua mempelai (Pasal 6 ayat
masalah hukum keluarga, khususnya dalam (1)guna menghindari terjadinya pemaksaan
hukum perkawinan. Undang-Undang perkawinan.
Perkawinan, yang memuat mengenai sahnya b. Bagi seorangtelah diizinkan melakukan
perkawinan secara materil dalam Pasal 2 ayat perkawinan pada usia 19 tahun sedangkan
(1) dan secara formil dalamPasal 2 ayat (2), wanita 16 tahun (Pasal 7 ayat (1)), kecuali
maka secara Nasional mengenai sahnya jika terdapat. penyimpangan dapat
perkawinan tersebut berlaku bagi seluruh dimintakan dispensasi kepada Pengadilan
masyarakat Indonesia.6 atau pejabat lain yang ditunjuk (Pasal 7 ayat
Di Berlakukanya Undang-Undang (2)). Bagi yang berusia belum mencapai 21
Perkawinan yang bersifat nasional ini, secara tahun, sesuai ketentuan Pasal 6 ayat (1),
perlahan telah berpengaruh dalam hal proses harus mendapat izin dari kedua orangtua
perkawinan. Serta membatasi berlakunya (kecuali kalau salah seorang telah
ketentuan hukum adat menyangkut perkawinan, meninggal dunia atau tidak mampu
apabila ada yang bertentangan dengan menyatakan kehendak, maka dapat
ketentuan Hukum Agama danketentuan diwakilkan oleh orangtua yang masih ada)
Perundang-undangan dalam bidang Hukum atau wali (jika kedua orangtuanya sudah
Agama. Oleh karena itulah, Hukum Adat yang tidak ada).
biasanya berpengaruh dalam pelaksanaan c. Ketiadaan halangan perkawinan sesuai
proses perkawinan, semakin banyak dengan ketentuan Pasal 8, yaitu karena
ditinggalkan. Kesulitan dalam pelaksanaan hubungan darahyang sangat dekat,
perkawinan menurut adat, serta besarnya hubungan semenda, hubungan susuan,
pengaruh Hukum Agama, baik Islam, Nasrani hubungan saudara dengan istri atau bibi
(Katolik maupun Protestan), ataupun Hindu dan atau kemenakan dari istri (dalam hal

7
Bahder Johon Nasution dan Sri Wirijati, Hukum
6
Nurdin Ilyas, Pernikahan yang suci, Berdasarkan Perdata Islam, Kompetensi Peradilan Agama,
Tuntutan Agama, Bintang Cemerlang Yogyakarta Tentang Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf
,2000, hlm. 13 dan shodaqah, Mandar Maju, Bandung, 1997, hlm12.

Jurnal Hukum KAIDAH


JURNAL HUKUM KAIDAH 90
Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat
poligami), hubungan yang oleh agamanya Indonesia.Dalam penerapan Undang-Undang
atau peraturan lain yang berlaku terdapat Nomor 1 Tahun 1974 juga tidak mengatur
suatu larangan. Seseorang yang masih adanya perkawinan beda agama, selanjutnya
terkait perkawinan dengan orang lain, tidak pada Pasal 2 ayat 1 disampaikan bahwa
dapat kawin lagi kecuali karena izin perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
Pengadilan, sesuai Pasal 9.4.Suami istri menurut hukum masing-masing agamanya dan
yang melakukan cerai untuk kedua kalinya, kepercayaannya. Hal ini menunjukkan bahwa
maka tidak boleh ada perkawinan lagi hukum agama merupakan landasan filosofis dan
sepanjang tidak ditentukan lain oleh hukum landasan hukum yang merupakan persyaratan
agama dan kepercayaannya, sesuai dengan mutlak dalam menentukan keabsahan
Pasal 10.5.Bagi seorang wanita yang putus perkawinan. Oleh karna dengan mendasarkan
perkawinannya berlaku jangka waktu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak
tunggu, untuk dapat melangsungkan dimungkinkan adanya perkawinan beda agama,
perkawinan baru, sesuai ketentuan Pasal karena pada masing-masing agama telah ada
11. ketentuan hukum yang mengikat kepada
d. Syarat Formil. Syarat formil ini berkaitan mereka dan mengandung perbedaan yang
dengan hal mengenai tatacara pelaksanaan perinsip serta tidak mungkin untuk
perkawinan (Pasal 12 Undang-Undang dipersatukan.Dalam hal terjadi perkawinan
Perkawinan), yang diatur dalam Pasal 10 antara seseorang yang beragama Protestan
dan 11 Peraturan Pemerintah. Nomor 9 dengan pihak yang menganut agama lain,
Tahun 1975.Pengaturan Perkawinan Beda menurut Fridolin Ukur, maka: Mereka dianjurkan
Agama Dalam Hukum Perkawinan untuk menikah secara sipil dimana kedua belah
Indonesia Walaupun terdapat perbedaan, pihak tetap menganut agama masing-masing.
akan tetapi semuanya menurut materi yang Kepada mereka diadakan pengembalaan
sama dalam suatu pengertian perkawinan. khusus. Pada umumnya gereja tidak
Materi muatan yang mengandung memberkatiperkawinan mereka.8
kesamaan tersebut adalah dalam hal: Wahyono Darmabrata mencatat ada
1.Subyeknya harus antara pria dan empat cara yang lazim ditempuh pasangan
wanita,2.Timbulnya suatu ikatan beda agama yang akan menikah yaitu sebagai
berikut :1.Meminta penetapan pengadilan
Dalam proses pengikatannya harus terlebih dahulu. Atas dasar penetapan itulah
dilakukan sesuai dengan ketentuan atau pasangan melangsungkan pernikahan di Kantor
peraturan yang berlaku dalam setiap sistem Catatan Sipil. Tetapi cara ini tak bisa lagi
hukum tersebut, sehingga terdapat suatu dilaksanakan sejak terbitnya Keppres No.12
pengakuan atas ikatan yang timbul.Dengan Tahun 1983.2.Perkawinan dilangsungkan
demikian terlihat secara jelas bahwa kesamaan menurut hukum masing-masing agama.
yang terdapat dalam memberikan pengertian Perkawinan terlebih dahulu dilaksanakanya
perkawinan itu telah pula diresepsioleh Undang-
8
Zaldi Munir, Perkawinan Beda Agama Dalam
Undang Perkawinan Nasional yang Perpektif Agama-Agama,
diberlakukan bagi seluruh masyarakat http://Zaldym.wordpress.com/2008/07/15/perkawina
n-beda-agama-dalam-perspektif-agama-agama/

Jurnal Hukum KAIDAH


JURNAL HUKUM KAIDAH 91
Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat
menurut hukum agama seorang mempelai dapat menolak untuk melakukan pencatatan
(bisanya suami), baru disusul pernikahan perkawinan. 10
menurut hukum agama mempelai berikutnya. Permasalahan yang mungkin terjadi, jika
Permasalahanya perkawinan mana yang ternyata terjadi pemutusan perkawinan atau
dianggap sah. Jika perkawinan menurut hukum cerai. Kalau nanti mau cerai, apakah bisa di
yang kedua 11(terakhir) menjadi persoalan Pengadilan Negeri. Namun kalau luar negerinya
kembali tentang status perkawinan ada yang beragama di Kantor Urusan Agama,
pertama.3.Kedua pasangan menetukan pilihan karena diluar negeri tidak ada Kantor Urusan
hukum. Salah satu pandangan menyatakan Agama. Diluar negeri semua perkawinan
tunduk pada hukum pasagannya. Dengan cara dicatatkan di catatan sipil. Kalau beragama
ini, salah seorang pasangan „berpindah agama‟ Islam, hanya dilakukan di mesjid saja karena
sebagai bentuk penunduk hukum.4.Yang sering tidak ada Kantor Urusan Agama di luar
dipakai belakangan,adalah melangsungkan negeri.a)Perkawinan Beda Agama Ditinjau Dari
perkawinan di luar negeri. Beberapa artis Pandangan Agama di Indonesia. Di Indonesia
tercatat memilih cara ini sebagai upaya terdapat 5 Agama yang diakui dan banyak
menyiasati susahnya kawin beda agama di dianut oleh masyarakatnya, yaitu Islam,
9
Indonesia. Nasrani, (Kristen Protestan dan Katholik),
Apabila perkawinan beda agama tersebut Hindu, dan Budha. Dan disetiap agama, adapun
dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan yang menjadi acuan dalam menganalisis
Kristen, maka terjadi permasalahan mengenai permasalahan hanya 3 yang menjadi salah satu
pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor contoh diantara 5 agama tersebut yaitu; Kristen
Urusan Agama atau di Dinas Kependudukan Protestan, Hindu, dan Budha. Perkawinan
dan Catatan Sipil oleh karena ketentuan merupakan salah satu tujuan hidup manusia.
pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan Sehingga bisa dianggap di dalam Hukum Adat
di luar agama Islam berbeda. Apabila ternyata di Indonesia telah terdapat bagian-bagian dari
pencatatan perkawinan beda agama akan aturan-aturan agama Nasrani, Hindu, dan
dilakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Budha.1). Menurut Agama Kristen
Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih ProtestanSalah satu hal yang dianggap sebagai
dahulu apakah perkawinan beda agama yang salah satu sendi dari agama Kristen adalah hal
dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan monogami, yaitu ketentuan bahwa seorang laki-
dalam Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan laki tidak di perbolehkan mempunyai lebih dari
Tahun 1974 tentang syarat sahnya suatu seorang istri. Dan menurut agama
11
perkawinan. Apabila pegawai pencatat Kristen/Nasrani. perkawinan adalah
perkawinan berpendapat bahwa terhadap persekutuan hidup pria dan wanita yang
perkawinan tersebut ada larangan menurut monogami, yang arahkan ke pembiakan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka ia sebagai tata ciptaan Tuhan, yang disucikan
Kristus.Menurut keyakinan Kristen Protestan,

9 10
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun
No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan beserta 1974 Tentang Perkawinan.
11
Undang-Undang dan Peraturan Pelaksanaanya,CV. R. Soetjo Prawirohamidjojo, Op. Cit. hlm.33-
Gitama Jaya, Jakarta, 2003, hlm. 102. 35

Jurnal Hukum KAIDAH


JURNAL HUKUM KAIDAH 92
Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat
pernikahan itu mempunyai dua aspek, yaitu Sang Budha, Dharma dan Sangka”.Dari uraian
merupakan soal sipil yang erat hubunganya di atas dapat disimpulkan bahwa agama Budha
dengan masyarakat dan negara, karenanya tidak melarang umatnya untuk melakukan
negara berhak mengaturnya menurut undang- perkawinan dengan penganut agama lain. Akan
undang negara. Kedua perkawinan adalah soal tetapi untuk penganut agama lainnya maka
agama, yang yang harus tunduk kepada hukum harus dilakukan menurut agama Budha.
agama. Dengan demikian gereja Kristen Kewajiban untuk mengucapkan atas nama Sang
Protestan berpendapat bahwa agar perkawinan Budha, Dharma dan Sangka, ini secara tidak
itu sah menurut hukum negara maupun hukum langsung berarti bahwa calon mempelai yang
Tuhan, haruslah dilakukan berdasarkan baik tidak beragama Budha menjadi penganut
12
hukum agama maupun hukum negara. 2). agama Budha, walaupun sebenarnya ia hanya
Menurut Agama HinduHukum agama Hindu menundukkan diri pada kaidah agama Budha
memandang perkawinan sebagai salah satu dari pada saat perkawinan itu dilangsungkan.
banyak samskra,sebagai suatu yang suci, yang
diatur oleh dharma, dan harus tunduk pada E. PENUTUP
dharma. Karena itu perkawinan baru sah bila ia Kesimpulan.
dilakukan menurut hukum agama dengan 1. Kedudukan perkawinan beda agama dalam
melalui upacara sakramen yaitu wiwaha sistem hukum di Indonesia adalah tidak sah.
homaatau wiwaha samskara.Bila suatu Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
perkwinan tidak dilakukan menurut hukum Tahun 1974 dalam Pasal 2 ayat 1
agama, maka segala akibat hukum timbul yang mengungkapkan perkawinan adalah sah
timbul dari perkawinan tersebut tidak diakui oleh apabila dilakukan menurut hukum masing-
agama. Dari ketentuan tersebut dapat dipahami masing agama dan kepercayaannya. Berarti
bahwa pada hakekatnya hukum agama Hindu perkawinan hanya dapat dilangsungkan bila
juga tidak mengenal adanya perkawinan antar para pihak (calon suami dan istri) menganut
agama.3). Menurut Agama BudhaPerkawinan agama yang sama.
antar agama di mana salah seorang calon 2. Dari perumusan Pasal 2 ayat 1 ini tidak ada
mempelai tidak beragama Budha, menurut perkawinan di luar hukum masing-masing
keputusan Sangha Agung Indonesia dan kepercayaannya itu.2.Adanya
diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya pelaksanaan perkawinan beda agama di
dilakukan menurut cara agama Budha. luar negeri, seperti di negara Singapura
Dalam hal ini calon mempelai yang tidak secara formil sah menurut ketentuan-
bergama Budha, tidak diharuskan untuk masuk ketentuan hukum Singapura. Namun untuk
agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi negara Indonesia perkawinan tersebut tetap
dalam upacara ritual perkawinan, kedua tidak sah, meskipun ada kewajiban untuk
mempelai diwajibkan mengucapkan “atas nama mencatatkan peristiwa perkawinan mereka.
Pencatatan perkawinan ini hanya berupa
12
Lemata Tarigan, Perkawinan Antar Agama pemenuhan syarat administrasi untuk
Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No.
1/1974,makalah sebagai tugas dalam mata kuliah memberikan status sosial kepada
Kapita Selekta Hukum Adat pada Program Studi S2
Ilmu Hukum, PPs UU,2003.

Jurnal Hukum KAIDAH


JURNAL HUKUM KAIDAH 93
Media Komunikasi dan Informasi Hukum dan Masyarakat
masyarakat bahwa pasangan yang menikah
Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan
adalah benar merupakan suami istri.
Indonesia,(Jakarta: UI Press, Cet. 5,
1986).
SARAN
Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-
Undang-Undang Perkawinan perlu Undang No.1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan beserta Undang-Undang dan
disempurnakan sebab ada kekosongan hukum
Peraturan Pelaksanaanya,CV. Gitama
tentang perkawinan beda agama. 2.Pentingnya Jaya, Jakarta, 2003.
penyempurnaan Undang-Undang tersebut
Wantjik K Shaleh, Hukum Perkawinan Di
disebabkan karena beberapa hal yaitu, pertama, Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta,
1982.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak
mengatur perkawinan beda agama, kedua,
masyarakat Indonesia adalah masyarakat plural
yang menyebabkan perkawinan beda agama
tidak dapat dihindarkan, ketiga, persoalan
agama adalah menyangkut hak asasi
seseorang, dan keempat, adanya kekosongan
hukum dalam bidang perkawinan.

Daftar Bacaan.

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat


Islam, (Yogyakarta: Nur Cahaya, 1983).

Arso Sosroatmodjo dan waisat Aulawi, Hukum


Perkawinan di Indonesia,(Jakarta: Bulan
Bintang, 1981).

Bahder Johon Nasution dan Sri Wirijati, Hukum


Perdata Islam, Kompetensi Peradilan
Agama, Tentang Perkawinan, Waris,
Wasiat, Hibah, Wakaf dan shodaqah,
Mandar Maju, Bandung, 1997.

Farouq Abu Zaid, Hukum Islam Antara


Tradisionalis dan Modernis, a.b. Husein
Muhammad, (Jakarta: P3M,1986).

Hazairin, Tinjauan mengenai UU perkawinan


Nomor 1/1974, (Jakarta: Tintanas,1986).

Mohammad Daud Ali, Kedudukan Hukum Islam


Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta
: Risalah, 1984).

Nurdin Ilyas, Pernikahan yang suci,


Berdasarkan Tuntutan Agama, Bintang
Cemerlang Yogyakarta ,2000.

---------Pluralisme Dalam Perundang-undangan


Perkawinan di IndonesiaAirlangga
University Press. 1988.

Jurnal Hukum KAIDAH

Anda mungkin juga menyukai