Anda di halaman 1dari 15

TUGAS Hukum Adat

D
I
S
U
S
U
N

Oleh
Rashif Agby Zharfan Saudin
20211021

STIH PROF. GAYUS LUMBUUN JAKARTA


PENDAHULUAN

Eksistensi Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) adalah


tertib hukum yang disusun berdasarkan falsafah negara dan mencabut hukum
perkawinan lama sejauh materi hukumnya telah diatur olehnya.

Asas Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan beragama mengandung makna setuju
berbeda dalam agama, namun bersatu dalam bangsa dan negara.

Dalam negara hukum berdasarkan Pancasila diakui adanya pluralitas hukum


perkawinan.

UUP telah mendudukkan hukum agama pada kedudukan


fundamental, sehingga di Indonesia ada pluralitas hukum perkawinan.

Dari segi sejarah hukum dan perundang- undangan, pembentukan undang-undang


perkawinan nasional dalam rangka pengamalan Pancasila.

PENGERTIAN PERKAWINAN CAMPURAN

Menurut Pasal 1 Reglement op de Gemengde Huwelijken (GHR) yang dimaksud


dengan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang yang di
Indonesia ada di bawah hukum yang berlainan.

Termasuk di sini, perkawinan berbeda agama, berbeda kewarganegaraan, dan


berbeda golongan penduduk (mengingat adanya penggolongan penduduk pada
masa Hindia Belanda).

Menurut Pasal 57 UU Nomor 1/1974, yang dimaksud dengan perkawinan campuran


dalam UU ini adalah perkawinan antara dua org yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.

Pengertian Perkawinan Campuran menurut UU Nomor 1/1974 lebih sempit daripada


pengertian yang terdapat dalam GHR karena perkawinan beda agama tidak
termasuk dalam pengertian Perkawinan Campuran menurut UU Nomor 1/1974.

UUP telah mendudukkan hukum agama pada kedudukan


fundamental, sehingga di Indonesia ada pluralitas hukum perkawinan.

Dari segi sejarah hukum dan perundang- undangan, pembentukan undang-undang


perkawinan nasional dalam rangka pengamalan Pancasila.
LANDASAN PERKAWINAN CAMPURAN

Pemahaman terhadap undang-undang perkawinan khususnya tentang perkawinan


antar agama harus dilandasi kesadaran :

1. Bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara berdasar atas hukum.


Dengan Pancasila sebagai cita hukum (rechts-idee) & Undang-Undang Dasar
1945 sebagai konstitusi

2. Bahwa negara menjamin kemerdekaan penduduk untuk memeluk agama


masing-masing & beribadat menurut agamanya & kepercayaannya itu

3. Wawasan Nusantara

Dalam Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) dikenal hubungan Hukum Antar Tata
Intern dan Hukum Antar Tata Hukum Ekstern.

Dari segi sejarah hukum, sebelum lahir Undang-Undang Perkawinan ada berbagai
bentuk perkawinan campuran ialah :

1. Internasional

2. Antar tempat

3. Antar agama dan antar golongan

Dalam Hukum Antar Tata Hukum berlaku kaidah dasar hukum suami berlaku bagi
hubungan antar tata hukum.

PERHATIAN KHUSUS PERKAWINAN ANTAR AGAMA

Dengan menunjuk kepada Aturan Peralihan Sebagaimana ditentukan dalam Pasal


67 dan Pasal 66 UUP karena ketentuan tentang pelaksanaan Perkawinan antar
agama belum ada maka Pasal 6 GHR masih berlaku.

Perkawinan antar agama memerlukan perhatian khusus karena menyangkut


masalah :

1. Tertib hukum & kepastian hukum

2. Pemahaman terhadap undang-undang nasional

3. Pengamalan hukum sesuai dengan cita hukum dalam wawasan Nusantara

4. Kerukunan hidup antara umat beragama di bidang hukum.

Karena diakui kemerdekaan untuk beragama dan menjamin negara terhadap


pemelukan agama- agama oleh penduduk Indonesia (Pasal 29 Undang-Undang
Dasar 1945 jo Undang-Undang No.1/PNPS/1965), maka timbul masalah apakah
UUP merupakan satu undang-undang nasional Yang tidak mengandung unifikasi
hukum, namun pluralitas hukum perkawinan. Karena rumusan Pasal 2 ayat (1) UUP,
maka dalam masyarakat timbul istilah “perkawinan antar agama”.

• Dengan berlakunya UU No. 1/1974, ternyata masih dapat dilakukan


perkawinan beda agama.

• Dasar hukumnya : Pasal 66 UU No.1/1974 jo. Pasal 7 ayat (2) GHR.

• Pasal 66 UU No 1/1974 menjelaskan untuk perkawinan & segala


sesuatu yg berhubungan dengan perkawinan berdasarkan undang-
undang ini, dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam BW, HOCI, GHR, yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur oleh undang-undang ini dinyatakan
dinyatakan tidak berlaku.

• Oleh karena tidak diatur dalam UU No. 1/1974, maka keputusan


Pengadilan Negeri dalam kasus Sumarni v. Medelu menunjuk Pasal 7
ayat (2) GHR yang tidak melarang perkawinan beda agama,
selanjutnya memerintahkan Kantor Catatan Sipil (KCS) untuk
menikahkan

Upaya hukum demikian menimbulkan masalah apakah perkawinan tersebut sah


menurut hukum Indonesia, karena Undang-Undang Perkawinan menentukan
perkawinan warga negara Indonesia di luar negeri “tidak boleh melanggar
ketentuan-ketentuan UUP (Pasal 56 UUP)”.

CONTOH KASUS PERKAWINAN BEDA AGAMA

1. Penetapan PN Jakarta Timur No.151/PDT/P/19888/PN Jakarta Timur, tanggal


21 Maret 1988.

2. Kasus perkawinan beda agama antara Snoek Cornelis Hendrik (beragama


Budha) & Siti Nur Aeni Isa (beragama Islam).

3. Dalam kasus ini perintah pengadilan diikuti dan perkawinan dilakukan oleh
Kantor Catatan Sipil (KCS).

Contoh Kasus :

• Kasus Andi Vonny Gany v Petrus Nelwan (Penetapan PN Jakarta


Pusat No.382/PT/P/1986/PN.JKT.PST, tanggal 11 April 1986, jo
Put.MARI No.1400 K/PDT/1986 tanggal 20 Januari 1989.

• Merupakan putusan terakhir diperbolehkannya perkawinan beda


agama dengan dasar hukum Pasal 66 UU No.1/1974 jo. Pasal 7 ayat
(2) GHR.
• Sejak 1 Januari 1989 fungsi KCS sebagai instansi yang menikahkan
dihapus melalui KEPRES No.12/1983.

• KCS hanya berfungsi mencatatkan perkawinan dari pihak non Muslim


yang telah sah melangsungkan perkawinan menurut hukum agama
masing-masing.

• Menikah di dua instansi yaitu pertama di KUA, setelah itu menikah lagi
di Gereja atau sebaliknya .

• Menikah di luar negeri secara sipil. Setelah kembali di Indonesia,


melaporkan ke KCS tempat kediamannya.

• Dasar hukumnya adalah Pasal 56 UU No.1/1974. Jalan keluar ini tidak


dianjurkan karena merupakan penyelundupan hukum. Bila timbul
sengketa antara keduanya, salah satu pihak dapat menuntut
pembatalan perkawinan.

• Dengan tidak adanya ketentuan yang tegas apakah perkawinan yang


dilangsungkan di luar negeri secara menyelundupkan hukum sah atau
tidak, seandainya pun dapat diterima bahwa perkawinan itu “sah”,
menurut saya perkawinan itu rapuh.

• Bila terjadi cekcok dan salah satu pihak minta cerai, pihak lainnya
dapat menuntut pembatalan perkawinan karena hanya sah menurut
hukum tempat dilangsungkannya perkawinan, tapi tidak sah menurut
hukum Indonesia (melanggar Pasal 2 UU No. 1/1974) (Ingatlah
perkara Riviere).

Perkawinan menurut agama Islam ialah pelaksanaan, peningkatan dan


penyempurnaan ibadah kepada Allah SWT dalam hubungan antara dua jenis
manusia, pria & wanita yang ditakdirkan oleh Allah SWT satu sama lain saling
memerlukan dalam kelangsungan hidup kemanusiaan untuk memenuhi nalurinya
dalam hubungan seksuil untuk melanjutkan keturunan yang sah serta mendapat
kebahagiaan dan kesejahteraan lahir bathin bagi keselamatan keluarga, masyarakat
& negara serta keadilan & kedamaian baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat.

RUKUN PERKAWINAN ISLAM

Rukun perkawinan Islam terdiri atas :

A. Harus ada calon suami dan istri, atau wakilnya

B. Harus ada wali dan calon istri, atau wakilnya

C. Harus ada dua orang saksi laki-laki Islam yang telah memenuhi syarat-
sarat.
D. Adanya ijab qabul.

SYARAT PERKAWINAN ISLAM

Adapun syarat-syarat perkawinan Islam adalah sebagai berikut :

A. Adanya persetujuan dari kedua calon suami istri dan wali calon istri

B. Beragama Islam, cukup dewasa dan sehat pikirannya

C. Tidak ada hubungan kekeluargaan sedarah yang terlampau dekat

D. Tidak ada hubungan semenda

E. Tidak ada hubungan sepersusuan

F. Calon istri tidak terikat dalam suatu tali perkawinan

G. Tidak ada perbedaan agama antara calon suami & calon istri.

TIGA PRINSIP POKOK PANDANGAN ISLAM

Tiga prinsip pokok pandangan agama Islam terhadap masalah perkawinan antara
pemeluk agama Islam dengan orang-orang yang bukan beragama Islam, yaitu:

a. Melarang perkawinan umat Islam dengan orang-orang yang beragama


menyembah berhala, polytheisme, agama-agama yang tidak mempunyai
kitab suci, dengan kaum atheis

b. Melarang perkawinan antara wanita Islam dengan pria bukan Islam

c. Mengenal perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita bukan muslim


yang ahli kitab, terdapat tiga macam pendapat, yaitu:

1) Melarang secara mutlak

2) Memperkenankan secara mutlak

3) Memperkenankan dengan syarat, yaitu apabila pria muslim itu kuat


imannya

PERKAWINAN MENURUT AGAMA KATHOLIK

Menurut ajaran Agama Katolik, bahwa perkawinan adalah suatu Sakramen. Agama
Katolik mendasarkan ajaran itu adalah Alkitab (Efesus 5. 25-33). Memandang
perkawinan sebagai sesuatu yang suci serta persatuan cinta & hidup antara seorang
pria & wanita merupakan persatuan yang luhur.

Perkawinan menurut agama Katolik, pada masing-masing pihak harus mengandung


unsur :
1. Untuk setia hanya pada satu orang saja

2. Bersatu sampai kematian pihak lain

3. Untuk memperoleh keturunan

Salah satu saja dari ketiga unsur tersebut tidak dipenuhi, maka perkawinan
dianggap batal dari sejak semula.

Tiga hal lagi yang harus dipenuhi untuk dapat melangsungkan perkawinan Katolik
secara sah, yaitu sbb :

1. Adanya persetujuan kedua belah pihak mempelai

2. Tidak ada halangan yang mengakibatkan perkawinan tidak sah &menurut


hukum Illahi

3. Perkawinan harus dilakukan menurut aturan gereja.

Salah satu halangan yang dapat mengakibatkan perkawinan tidak sah, yaitu
perbedaan ibadat/agama.

Gereja Katolik umumnya menganggap bahwa perkawinan antara seorang yang


beragama Katolik dengan orang yang bukan Katolik, tidak merupakan yang ideal.

Keharmonisan hidup perkawinan & kelengkapan pendidikan anak itu sangat sulit
dibina apabila ada perbedaan tata nilai hidup antara suami dan istri. Oleh karena itu,
Gereja Katolik menganjurkan kepada anggota-anggotanya untuk mencari teman
hidup yang berkeyakinan sama. Yaitu bahwa Uskup dalam hal-hal tertentu dapat
memberikan dispensasi terhadap perkawinan antar agama. Dispensasi hanya
diberikan apabila ada harapan akan terbinanya suatu keluarga yang baik dan utuh,
pemeliharaan pastorial sesudah perkawinan dapat diteruskan.

Dispensasi akan diberikan apabila pihak yang bukan Katolik mau berjanji:

1. Bahwa ia tidak akan menghalang-halangi pihak yang Katolik untuk


melaksanakan imannya

2. Bahwa ia bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik Sebaliknya pihak


yang Katolik juga harus berjanji bahwa:

1) Ia tetap setia pada keyakinannya sebagai orang Katolik dalam perkawinannya

2) Bahwa ia bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik

PERKAWINAN MENURUT AGAMA PROTESTAN


Perkawinan menurut agama Protestan : suatu persekutuan hidup yang meliputi
keseluruhan hidup, yang menghendaki laki-laki & perempuan yang telah kawin
supaya dua jenis kelamin yang berbeda menjadi satu.

Satu di dalam kasih pada Tuhan, satu di dalam kasih mengasihi, satu dalam
kepatuhan, satu dalam menghayati kemanusiaan mereka & satu dalam memikul
beban pernikahan.

Menurut gereja Protestan, suatu perkawinan baru dapat dilangsungkan di gereja


apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Adanya persetujuan dari kedua calon mempelai

2. Kedua calon mempelai tidak terikat perkawinan dengan orang lain

3. Sekurang-kurangnya salah seorang beragama Protestan

4. Sekurang-kurangnya salah seorang merupakan anggota jemaat gereja yang


bersangkutan.

Demi kesejahteraan perkawinan, gereja menganjurkan kepada umatnya untuk


mencari pasangan hidup yang seagama dengan mereka.

Tetapi walaupun demikian, karena menyadari bahwa umatnya hidup bersama-sama


dengan pemeluk agama lainnya, gereja tidak melarang umatnya untuk menikah
dengan orang-orang yang bukan beragama Protestan.

Perkawinan antara seorang Protestan dengan bukan Protestan dapat dilangsungkan


di gereja (Protestan) apabila pihak yang bukan Protestan membuat surat pernyataan
bahwa ia tidak berkeberatan perkawinannya dilaksanakan di gereja Protestan.

PERKAWINAN MENURUT AGAMA HINDU & BUDDHA

Dalam membahas pandangan agama Hindu & Budha tentang masalah perkawinan
antar agama ini, bahwa agama Hindu & Budha merupakan Bhinneka Tunggal Ika
yang mempunyai prinsip yang sama dalam hukum perkawinan.

Bagi masyarakat Hindu dan Budha, perkawinan mempunyai arti dan kedudukan
yang khusus dalam dunia kehidupan mereka.

Permasalahan bukan pada upacara perkawinannya, namun kehidupan dalam


perkawinan itu sendiri.

Perkawinan (wiwaha) di identikkan dengan sakramen (samskara) sehingga lembaga


perkawinan tidak terpisah dari hukum agama.

Wiwaha samskara itu wajib hukumnya & harus memenuhi syarat- syarat yang
ditentukan oleh hukum agama (Dharma).

SISTEM PERKAWINAN DALAM AGAMA HINDU


Perkawinan sebagai suatu sakramen adalah suatu ritualia yang memberikan
kedudukan sah tidaknya suatu perkawinan sehingga suatu perkawinan yang tidak
disakralkan dianggap tidak mempunyai akibat hukum.

Didalam kitab Manadharma Sastra III (20), disebutkan secara definitif delapan
sistem perkawinan Hindu yaitu :

1. Brahmana Wiwaha

2. Daiwa Wiwaha

3. Resi Wiwaha atau Arsa Wiwaha

4. rajapti Wiwaha

5. Asura Wiwaha

6. Ghandara Wiwaha

7. Raksasa Wiwaha

8. Paisaca Wiwaha

PERKAWINAN BEDA KEWARNEGARAAN

Berdasarkan UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan (UU


Kewarganegaraan Lama):

1. Terhadap kewarganegaraan anak, dianut asas ius sanguinis secara ketat,


yaitu seorang anak akan slelalu ikut kewarganegaraan ayahnya. Apabila ayah
adalah seorang WNA, maka anak menjadi WNA, dimanapun anak itu lahir.

2. Tidak dimungkinkan adanya kewarganegaraan ganda, meskipun anak


dilahirkan di negara dengan prinsip ius soli.

3. Bila terjadi perceraian antara ibu WNI dengan ayah WNA, hak asuh ada pada
ibu dan keduanya tinggal di Indonesia, anak rentan untuk dideportasi.

4. Bagi anak yang berstatus WNA hanya dapat KITAS, yang diberikan untuk
jangka waktu paling lama 1 tahun sejak tanggal masuk ke Indonesia dan
dapat diperpanjang paling banyak 5 kali berturut-turut dengan jangka waktu
paling lama 1 tahun.

Dianutnya asas ius sanguinis secara ketat, selain itu juga memungkinkan si anak
menjadi apatride bila negara ayah menganut ketentuan untuk tidak memberikan
kewarganegaraan bagi anak hasil perkawinan campuran.

Misalnya: The British National Act 1981 yang menyatakan bahwa seorang anak
yang lahir dari orang tua berkewarganegaraan Inggris tidak otomatis menjadi warga
negara Inggris kecuali orang tuanya bekerja di Crown Service atau European
Community Institution pada saat anak tersebut dilahirkan.
Padahal menurut UU No. 62/1958 si anak hanya mendapatkan kewarganegaraan
dari ayahnya dan tidak mendapatkan kewarganegaraan dari ibunya (asas ius
sanguinis).

Berdasarkan UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan (UU


Kewarganegaraan baru):

1. Anak yang dilahirkan dalam suatu Perkawinan Campuran (lihat definisi


Perkawinan Campuran menurut UU No. 1 Tahun 1974) akan memperoleh
kewarganegaraan ganda terbatas sampai usia 18 tahun atau telah menikah.
Dalam waktu 3 tahun setelah berumur 18 tahun harus memilih jadi WNI atau
WNA.

2. Berlaku pula bagi anak yang telah lahir sebelum UU ini diundangkan, tetapi si
anak belum berumur 18 tahun. Caranya adalah dengan mendaftar kepada
Menhukham melalui pejabat atau Perwakilan RI paling lambat 4 tahun setelah
diundangkannya UU ini.

KEWARNEGARAAN GANDA TERBATAS

Keuntungan & kerugian kewarganegaraan ganda terbatas :

A. Keuntungan :

1. Anak-anak bebas tinggal di dua negara. Untuk warga negara Indonesia bebas
tinggal di Indonesia tanpa perlu takut dideportasi paling tidak sampiu usia 21
tahun, dapat menempuh pendidikan di sekolah-sekolah negeri & lainnya.

2. Bila di negara kedua sekolah tidak membayar, dapat menikmatinya.

B. Kerugian :

1. Dengan memegang 2 paspor, dapat dikenakan Wajib Militer bila sudah


berumur tertentu

2. Ada batasan keluar masuk untuk paspor yang dikeluarkan oleh negara
satunya

3. Bila melakukan tindakan-tindakan yang merugikan baik perdata /pidana, akan


berlaku ketentuan tertentu pula.

Contoh : dipakai “lex fori” atau kewarganegaraan yang efektif sebagai dasar
untuk memutus perkara yang dituduhkan.

Bagaimana apabila setelah 3 tahun sejak berusia 18 tahun memilih menjadi


WNA/WNI?

A. Apabila memilih menjadi WNI, maka :

1. Berlaku Peraturan Menhukham RI No.M.01-HL.03.01/2006 tentang Tata Cara


Pendaftraran untuk memperoleh kewarganegaraan RI berdasarkan Pasal 41
dan 42 UU No12/2006 Pasal1-8.
2. Dalam peraturan ini yang dimaksud dengan “anak” adalah anak sah dalam
Perkawinan Campuran yang lahir sebelum UU No. 12/2006 diundangkan,
belum berusia 18 tahun atau belum kawin.

3. Bila syarat-syarat dalam Pasal 2-6 peraturan ini sudah terpenuhi, Menteri
menetapkan keputusan memberikan kewarganegaraan RI, paling lambat 30
hari sejak pendaftaran diterima oleh Pejabat atau Perwakilan RI.

B. Apabila memilih jadi WNA tetapi tetap tinggal dan bekerja di Indonesia

Pasal 54 ayat (1d) UU No.6 Tahun 2011 tentang Imigrasi jo. PP No. 31 Tahun 2013:

Kepada orang asing ex-WNI dan ex- subyek anak berkewarganegaraan gandat
terbatas dapat diberikan Izin Tinggal Tetap untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat
diperpanjang untuk jangka waktu tidak terbatas selama izinnya tdk dibatalkan.”

1. Untuk itu ia wajib melapor ke kantor Imigrasi setiap 5 tahun dan tidak dikenai
biaya.

2. Izin Tinggal Tetap diberikan setelah tinggal tetap di Indonesia selama 3 tahun
berturut-turut dan menandatangani Pernyataan Integrasi kepada Pemerintah
RI.

3. Izin Tinggal Tetap ini dapat langsung diberikan apabila anak tersebut
bekerja/berusaha di Indonesia (Pasal 59 & 60 UU Imigrasi).

Terhadap status suami/isteri :

1. Pasal 19 UU No.12 Tahun 2006 jo. Perat Menhukham No.02-HL.05.01/2006:


WNA yang kawin sah dengan WNI dapat menjadi WNI dengan
menyampaikan pernyataan menjadi WNI di depan Pejabat, bila telah tinggal
di Indonesia selama 5 tahun berturut-turut atau 10 tahun tidak berturut-turut.

2. Bila tidak memungkinkan baginya untuk menjadi WNI karena akan berakibat
kewarganegaraan ganda, ia dapat Izin Tinggal Tetap.

PASAL 54 AYAT (1) UU IMIGRASI JO PASAL 49 AYAT (1) RPP IMIGRASI

Izin Tinggal Tetap diberikan kepada Keluarga Perkawinan campuran apabila :

1. Suami, istri dan/atau anak dari asing pemegang Izin Tinggal Tetap (dengan
catatan izin ini tidak diberikan bila orang asing tersebut tidak memiliki paspor
kebangsaan).Bila punya Izin Tinggal Tetap dapat bekerja di Indonesia.

2. Izin Tinggal tetap baru bisa diberikan setelah usia perkawinan mencapai 2
tahun, sudah tinggal menetap di Indonesia selama 3 tahun berturut-turut dan
menandatangani Pernyataan Integrasi kepada Pemerintah RI. (Pasal 59 dan
60 UU jo. Pasal 152,153 RPP Imigrasi).

3. Izin Tinggal Tetap berlaku untuk 5 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka
waktu tidak terbatas, kecuali dicabut.

C. Izin Tinggal Tetap berakhir apabila :

1. Yang bersangkutan meninggal dunia

2. Yang bersangkutan meninggalkan wilayah RI lebih dari 1 tahun dan tidak


bermaksud masuk lagi ke wilayah RI

3. Menjadi WNI

D. Izin Tinggal Tetap dibatalkan karena :

1. Yang bersangkutan melakukan tindak pidana terhadap negara

2. Dikenai Tindakan Administrasi Keimigrasian

3. Putus perkawinan dengan WNI, kecuali perkawinan telah berlangsung lebih


dari 10 tahun

PASAL 63 UU/6/2011
Pasal 63 UU/6/2011 tentang Imigrasi : “Orang asing yang ada di Indonesia wajib
memiliki Penjamin, antara lain untuk: menjamin keberadaannya di Indonesia,
bertanggung jawab terhadap kegiatan orang tersebut selama di Indonesia,
melaporkan perubahan status keimigrasiannya, membayar biaya kepulangannya bila
izin tinggal habis & dan lainnya.

PENJAMINAN

 Ketentuan tentang penjaminan tidak berlaku bagi orang asing yang kawin sah
dengan WNI, karena pada dasarnya suami/istri bertangung jawab terhadap
pasangan atau anak-anaknya.

 Pasal 150 PP Imigrasi : Permohonan Izin Tinggal Tetap diajukan oleh orang
asing atau penjamin ke Kantor imigrasi yang wilayahnya meliputi tempat
tinggal orang asing tersebut dengan lampiran :

1) Paspor kebangsaan yang masih berlaku

2) Fotokopi Izin Tinggal Terbatas yang masih berlak

3) Keterangan domisili

4) Pernyataan Integras
5) Rekomendasi dari kementerian/lembaga pemerintah/non kementerian
terkait.

Bagi anak yang ikut orang tua dengan melampirkan Surat Penjaminan dari
Penjamin,

Fotokopi Akte kelahiran, Akta Perkawinan orang tua, dan lain sebagainya.

1. Bagi ex-subyek anak kewarganegaraan ganda terbatas yang memilih


kewarganegaraan asing, melampirkan permohonan dari ayah atau ibu yg
WNI, isian formulir penyampaian pernyataan memilih WNA, bukti
pengembalian paspor bagi yang memiliki & bukti pengembalian affidavit
(Pasal 150 PP Imigrasi).

2. Sebagai bahan perbandingan, di Malaysia & Brunei Darussalam; Izin Tinggal


Tetap bagi suami istri asing diberikan dengan syarat pernikahan sah yang
diakui oleh negara tersebut.

PERKAWINAN & PERCERAIAN WNI

Perkawinan dan Perceraian WNI yang dilangsungkan di Luar Negeri :

1. Untuk perkawinan di luar No., baca & perhatikan Pasal 56 ayat 1 UU


No.1/1974.

2. Dari sudut HPI perkawinan itu harus memenuhi Pasal 18 AB (syarat formal)
dan Pasal 16 AB (syarat materil)

3. Pasal 56 ayat 2 UU No. 1/1974 : “Dalam waktu 1 tahun setelah suami istri
kembali ke wilayah No., surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di
Kantor Catatan Sipil yang mewilayahi tempat tinggal mereka.”

4. Ketentuan Pasal 56 ayat (1) yang menyatakan bahwa perkawinan harus


dilangsungkan menurut hukum setempat menimbulkan kesulitan bagi
pemeluk Agama Islam, bila di negara tempat perkawinan tersebut
berlangsung hanya dikenal perkawinan sipil.

5. Menurut agama Islam, perkawinan tersebut belum sah apabila belum


dilaksanakan akad nikah di hadapan penghulu.

6. Begitu pula terhadap perkawinan yang dilangsungkan di hadapan Instansi


Islam tertentu di negara asing. Walau sah menurut agama Islam, tidak akan
diakui bila tidak memenuhi ketentuan Apsal 56 ayat 1 UU No. 1/1974.

Contoh : Perkawinan dua orang WNI di Hongkong (lihat buku Hukum Perkawinan).

Untuk mengatasi hal tersebut telah dikelaurkan berbagai peraturan sebagai petunjuk
pelaksanaan, antara lain:

1. Peraturan Menteri Agama RI No.1/1994 tanggal 2 April 1994, tentang


Pendafataran Surat Bukti Perkawinan yang Dilangsungkan di luar negeri
2. Keputusan Bersama Menteri Agama dan Men Luar Negeri RI No.589/1999,tgl
13/10-1999 No.182/OT/X/99/01 tahun 1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Perkawinan WNI di luar negeri, beserta lampirannya.

Pasal 1 Peraturan Menteri Agama 1994 : Bagi WNI beragama Islam yang telah
melakukan perkawinan di luar negri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat
(1) UU No. 1/1974, paling lambat 1 tahun setelah mereka kembali di wilayah
Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan kepada KUA
Kecamatan yang mewilayahi tempat tinggal mereka.

A. Pasal 2 Peraturan Menteri Agama 1994, berkas-berkas yang perlu


dilampirkan untuk pendaftaran perkawinan :

1. Foto copy paspor dengan memperlihatkan aslinya;

2. Foto copy surat bukti perkawinan;

3. Foto copy Sertifikat Nikah dari KBRI atau foto copy Akte Nikah dari KBRI atau
Surat Keterangan dari KBRI setempat.

B. Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Agama 1994, apabila pegawai KUA
ragu akan keabsahan perkawinan tersebut menurut agama Islam, yang
bersangkutan dapat dinikahkan kembali menurut hukum Islam.

Dengan keluarnya SKB antara Menteri Agama dan Menteri Luar Negeri tersebut,
hilanglah keragu- raguan mengenai keabsahan perkawinan antara pemeluk agama
Islam yang dilangsungkan di laur negeri karena kini WNI beragama Islam yang ingin
menikah dengan sesama WNI atau dengan WNA telah dapat menikah dan
mencatatkan perkawinanannya di KBRI atau Perwakilan Indonesia di luar negeri
(Pasal 1 dan 2 SKB).

Bila perkawinan terjadi di atas kapal laut, dicatat di daerah di mana kapal berlabuh.
Apabila tidak ada Perwakilan RI, perkawinan dicatat pada Perwakilan RI yang
mewilayahi daerah kapal tersebut berlabuh.

Untuk melaksanakan tugas menghadiri, mengawasi & mencatat pelaksanaan nikah


& rujuk umat Islam di luar negeri diangkat penghulu sebagai pegawai atau petugas
yang ditunjuk oleh Perkawinan RI.

Untuk mengantisipasi, suatu peraturan di suatu negara yang mewajibkan pencatatan


di KCS setempat, agar suatu perkawinan sah baik menurut hukum maupun menurut
hukum Indonesia, diadakan pengaturan

1. Pernikahan dilangsungkan di bawah pengawasan Penghulu, setelah itu


ducatatkan ke KCS setempat

2. Tata cara pencatatan sesuai dengan ketentuan negara setempat

3. Perwakilan RI konsultasi dengan instansi setempat

4. Bukti perkawinan dari KCS setempat, didaftarkan dalam buku pendaftaran di


Perwakilan RI
5. Setelah kembali ke Indonesia, paling lamabt dalam waktu 1 tahun, buktI
perkawinan harus dicatatkan di KUA yang mewilayahi tempat tinggal mereka
di Indonesia

6. Petugas Pencatat Nikah wajib mengirim salinan dokumen nikah dari yang
bersangkutan ke KUA kecamatan tempat tinggal mempelai perempuan di
Indonesia.

TATA CARA PERCERAIAN

Tata Cara Perceraian :

1. Alasan – alasan bercerai adalah sama sebagaimana diatur dalam Pasal 19


PP 9/1975 & KHI.

2. Gugatan perceraian diperiksa di pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal


penggugat atau PA Jakarta Pusat.

3. Pelajari lebih lanjut masing-masing mengenai perceraian WNI di luar negeri.

Anda mungkin juga menyukai