Anda di halaman 1dari 23

STIH PROF.

GAYUS LUMBUUN JAKARTA


Pengadilan Agama Pada Masa Orde Reformasi
KELOMPOK LEX SPECIALIS
1. HADI WURYANDANU 20191005
2. HERLINA YULIANTI 20191008
3. BURHANI 20191009
4. UMI KALSUM YUSUF 20191036
5. PANDJI PRATAMA 20191503
6. MUSTAFA LUDLY 20211501
PENDAHULUAN

 Peradilan agama adalah kekuasan negara dalam menerima,


memeriksa ,mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara
perkawinan,kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, dan shodaqah diantara
orang-orang islam untuk menegakkan hukum dan keadilan.
 Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang
diakui eksistensinya. Demikian pula dikeluarkannya dan berlakunya
Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang
Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Peradilan Agama. Dengan
tujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa, Negara dan
masyarakat yang tertib, bersih, makmur dan berkeadilan.
RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Penataan Peradilan Agama Pada Masa Reformasi ?


2. Apa Dasar Hukum dan Wewenang Peradilan Agama.?
3. Bagaimana Kedudukan Peradilan Agama dalam UUD 1945, UU No 35
Tahun 1999 dan UU No 4 Tahun 2004 ?.
TUJUAN PENULISAN
1. Mengindentifikasi dan memahami Peradilan Agama di
Indonesia pada era reformasi.
2. Memahami perkembangan Peradilan Agama di Indonesia
pasca penyatuatapan dengan Makamah Agung.
PENATAAN DAN WEWENANG PERADILAN AGAMA PADA MASA
REFORMASI

• Memasuki era reformasi, dan seiring dengan tuntutan adanya reformasi


dibidang hukum, peradilan agama mengalami perubahan yang cukup
signifikan, baik menyangkut status, kedudukan maupun
kewenangannya.
• Dari segi kewenangannyapun, Peradilan Agama di era reformasi
mendapatkan kewenangan baru, yakni mengadili sengketa yang terkait
dengan bidang: zakat, infak, sedekah, serta ekonomi syariah.
• Konsekuensi adanya UU No 4 Tahun 2004. Pada Pasal 2 UU No 3
Tahun 2006 tersebut ditegaskan bahwa, peradilan agama adalah salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama islam mengenai perkara tertentu.
KEDUDUKAN PENGADILAN AGAMA DALAM UUD 1945

UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) menyatakan : Kekuasaan


kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan
Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan
Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Kedudukan Peradilan Agama dalam UU
No 35 Tahun 1999
 Pada Tahun 1999 akhirnya diundangkan UU No 35,
Tahun 1999 Tanggal 31 Agustus 1999 Tentang
Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang,
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman
sebagai realisasi awal dari semangat supremasi
hukum yang dikumandangkan dalam gerakan
reformasi secara total dalam kehidupan
ketatanegaraan Indonesia.
Kedudukan Peradilan Agama dalam UU No 35 Tahun
1999

Adapun berlakunya Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009 nomor 22 tentang


Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama adalah : Pasal 1 dalam Undang Undang ini yang dimaksud dengan
1) Pengadilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam.
2) Pengadilan Agama adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di
lingkungan peradilan agama
3) Hakim adalah hakim pada pengadilan agama dan hakim pada pengadilan
tinggi agama
4) Pegawai Pencatat Nikah adalah pegawai pencatat nikah pada Kantor Urusan
Agama
5) Juru Sita dan/atau Juru Sita Pengganti adalah juru sita dan/atau juru sita
pengganti pada pengadilan agama.
Kedudukan Peradilan Agama dalam UU No 35 Tahun
1999

 Perkembangan penting dalam UU No 35 Tahun 1999 ini berkaitan dengan


organisasi, administrasi dan fnansial pengadilan sebagai berikut:
i. Pembinaan organisasi, adiministrasi dan finansial semua badan peradilan yang
semula berada dibawah departemen masing-masing dialihkan ke Makamah
Agung ( Pasal 11 Ayat 1 ).
ii. Pengalihan Organisasi, administrasi dan finansial pengalihan tersebut diatur lebih
lanjut dengan UU sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing-
masing ( Pasal 11 Ayat 2 )
iii. Pengalihan Organisasi, administrasi dan finansial pengalihan tersebut dilakukan
secara bertahap, paling lama 5 tahun sejak UU ini mulai berlaku ( Pasal 11 A ayat
1)
iv. Pengalihan organisasi, administrasi dan fnansial bagi Peradilan Agama waktunya
tidak ditentukan ( Pasal 11 A Ayat 2 )
v. Pelaksanaan pengalihan secara bertahap ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Kedudukan Peradilan Agama dalam UU No 4 Tahun
2004

 .Pertimbangan penting pengubahan UU Kekuasaan


Kehakiman melalui UU No 4 Tahun 2004 ini adalah
untuk merealisaikan amanat dari UU No 35 Tahun
1999, yakni mengalihkan semua pengadilan dari
masing-masing Departemen menjadi satu atap
dibawah Makamah Agung untuk menjamin
kemerdekaannya dari campur tangan eksekutif dan
menguatkan kedudukan pengadilan.
Peran dan fungsi yang diberikan kepada Peradilan
Agama

1. Perubahan fungsi pengadilan dari sebagai pelaksana kekuasaan


kehakiman menjadi pelaku kekuasaan kehakiman .
2. Terdapat penegasan larangan campur tangan dalam urusan
peradilan oleh pihak lain diluar kekuasaan kehakiman, kecuali
dalam hal=hal sebagaimana disebut dalam UUD 1945.
3. Dialihkannya pembinaan, organisasi, administrasi, dan keuangan
pengadilan dari empat lingkungan peradilan dari Derpaterman
masing-masing ke Makamah Agung.
4. Dialihkannya tata cara sumpah hakim dari praktik”diambil
sumpah” oleh atasannya menjadi “mengucapkan sumpah”
dihadapan pimpinan
5. Kedudukan Peradilan Agama sebagai sebuah lingkungan peradilan
telah disejajarkan dengan Peradilan Umum sehingga tidak ada
lagi istilah Peradilan Khusus bagi Peradilan Agama sebagaimana
pernah diatur dalam UU No 14 Tahun 1970 sebelumnya. Dan
dengan demikian dimungkinkan dibentuknya pengadilan khusus
dalam lingkungan Peradilan Agama.
6. Dilibatkannya Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan eksternal
guna menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku
hakim agung dan hakim, dan pengangkatan hakim agung . Hal ini
tidak pernah ada sebelumnya.
7. Diakuinya Mahkamah Syariah di Nanggroe Aceh Darussalam
sebagai peradilan negara dalam sistem peradilan nasional.
8. Menetapkan kedudukan Peradilan Agama namun tanpa mengubah
fungsi khusus Peradilan Agama sebagai peradilan syariah Islam,
maka Peradilan Agama telah sejajar dengan Badan Peradilan
Umum. Peradilan Agama tetap merupakan peradilan
khusus(spesifik), yakni sebagai Peradilan Syariah Islam.
Penyatuatapan Peradilan Agama. Beberapa aspek yang
mengalami perubahan setelah peradilan agama
disatuatapkan pada era reformasi adalah meyangkut : status
dan kedudukan, struktural organisasi, tugas dan fungsi,
sumberdaya manusia, finansial, dan sarana prasarana, serta
kewenangan dan hukum materialnya. Perubahan tersebut
semakin mengukukuhkan peradilan agama sebagai pelaksana
kekuasaan kehakiman yang mandiri dan independent.
1. Status dan Kedudukan. Di Era reformasi eksistensi Pengadilan
Agama mencapai puncak kekokohannya pada tahun 2001, saat
disepakatinya perubahan ketiga UUD 1945 oleh MPR. Dalam Pasal
24 UUD 1945 hasil amandemen, secara eksplisit dinyatakan bahwa,
lingkungan peradilan agama disebuitkan sebagai salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia bersama lingkungan
peradilan lainnya dibawah Makamah Agung. Dalam UU No 4 tahun
2004 disebutkan bahwa semua lingkungan peradilan termasuk
peradilan agama, pembinaan organisasi, adminstrasi dan
finansialnya dialihkan dari pemerintah kepada Makamah Agung.
Yang menggembirakan adalah pada tanggal 21 Maret 2006, telah
disahkan UU No 3 Tahun 2006 merupakan perubahan atas UU No 7
Tahun 1999 tentang peradilan agamaSetelah lahirnya UU No 3
Tahun 2006 tersebut semakin kokohlah kekuasaan dan kewenangan
peradilan agama. Hal lain yang penting dalam kedudukan peradilan
agama din era reformasi adalah dalam hal pembinaan dan
pengawasan.
2. Struktur Organisasi, Tugas dan Fungsi, Tugas pokok dan fungsi Direktorat
jenderal Badan Pengadilan Agama yang diatur dalam Peraturan Presiden
Nomor 13 Tahun 2005 tersebut kemudian diimplementasikan dengan surat
Sekretaris Mahkamah agung RI Nomer : MA/SEK/07/SK/111/2006 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Makamah Agung RI. Keputusan
tersebut ditentukan bahwa Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama
terdiri atas :
a) Sekretariat Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama
b) Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama
c) Direktorat Pembinaan Aministrasi Peradilan Agama.
d) Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Agama
3. Sumber Daya Manusia
Tonggak awal berdirinya fondasi organisasi Peradilan Agama
baru dimulai tahun 2006. Yakni ketika status Badan Peradilan
Agama yang awalnya hanya direktorat kemudian meningkat
menjadi Direktorat setelah berada di Makamah Agung.
Pada Direktoral Jendreal Badan Peradilan Agama terdapat
pengembangan jabatan, baik jumlah maupun tingkat
eselonnya. Peningkatan ini disamping sebagai penopang
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi, pada saat
bersamaan juga membuka peluang bagi pengembangan karir
pegawai
4. Keadaan Finansial dan Sarana Prasarana

Di era reformasi, anggaran untuk badan peradilan


dilingkungan Makamah Agung mengalami peningkatan seiring
dengan upaya peningkatan pelayanan publik dibidang
hukum dan peradilan. Begitu juga anggaran untuk lingkungan
peradilan agama yang dipusatkan pada Dirjen Badilag
mengalami peningkatan yang signifikan bila dibandingkan
dengan sebelum satu atap, terutama sejak tahun 2005,2006
dan 2007.
5. Kewenangan dan Hukum Materiil
Menurut UU No 7 Tahun 1989, Peradilan Agama hanya
berwenang menyelesaikan perkara : perkawinan, waris,
wasit, hibah, wakaf, zakat, infaq dan sedekah. Meskipun UU
No 3 Tahun 2006 merupakan perubahan atas UU No 7 Tahun
1989. Akan tetapi status peraturan perundang-undangan
yang lama tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan undang-undang ini. Dengan adanya UU No 3 Tahun
2006, landasan hukum positif penerapan hukum islam lebih
kokoh, khususnya menyangkut teknis penyelesaian sengketa
kewenangan antara peradilan agama dengan peradilan
umum.
6. Asas asas Hukum Peradilan Agama
Sebagaimana yang dapat disimpulkan dari UU No 3 Tahun 2006, adapun
asas- asas yang berlaku pada pengadilan agama pada dasarnya
hampir sama dengan asas-asas yang berlaku dipengadilan umum, yaitu
antara lain :
I. Asas personalitas keislaman
II. Asas kebebasan
III. Asas hakim wajib mendamaikan.
IV. Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan
V. Asas mengadili menurut hukum dan persamaan
hak
VI.Asas persidangan terbuka untuk umum
VII. Asas hakum aktif memberi bantuan
VIII. Asas peradilan dilakukan dengan hakim majelis

Abdulah Tri wahyudi dalam bukunya peradilan agama


di Indonesia menambahkan beberapa asas lagi yang
juga tercantum dalam UU No4 Tahun 2004 yaitu :
i. Asas pemeriksaan dalam dua tingkat
ii. Asas kewenangan mengadili tidak meliputi sengketa hak
milik
iii. Asas hakim bersifat menunggu ( hakim pasif-nemo yudex
sine acto ) atau apabila tidak ada perkara maka hakim tidak
ada.
iv. Asas bahwa putusan pengadilan harus membuat
pertimbangan.
v. Asas beperkara dengan biaya
vi. Asas Ne bis in Idem. Atau orang tidak boleh dituntut sekali lagi
karena perbuatan atau peristiwa yang baginya telah
diputuskan oleh hakim.
BAB III
KESIMPULAN
Memasuki era reformasi seiring dengan tuntutan adanay
reformasi dibidang hukum, peradilan agama mengalami
perubahan yang cukup signifikan, baik menyangkut status,
kedudukan maupun wewenangnya yaitu terdapat dalam UU No
35 Tahun 1999, UU No 4 Tahun 2004 dan UU No 3 Tahun 2006.
Beberapa aspek yang mengalami perubahan setelah peradilan
agama disatuatapkan pada era reformasi adalah menyangkut,
status dan kedudukan, struktur organisasi, tugas dan fungsi,
sumberdaya manusia, finansial, dan sarana prasarana, serta
kewenangan dan hukum materialnya. Perubahan tersebut
semakin mengukuhkan peradilan agama sebagai pelaksana
kekuasan kehakiman yang mandiri dan independent.

Anda mungkin juga menyukai