Anda di halaman 1dari 13

makalah Pengadilan Agama Pada Masa Orde Reformasi

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil Alamin, puji syukur kami haturkan kehadirat Allah


SWT, karena dengan rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga tugas
makalah Peradilan Agamadi Indonesia dengan judul Pengadilan Agama
Pada Masa Orde Reformasi dapat terselesaikan tepat waktu.
Dan tak lupa Sholawat serta salam semoga selalu tercurah ke pangkuan
Baginda Nabi Agung Muhammad SAW yang kitanantikan syafaatnya di
yaumul qiyamah nanti, Amiin.
Makalah ini disusun sebagai bahan diskusi yang akan kami presentasikan
dan merupakan implementasi dari program belajar aktif oleh Dosen
pengajar

mata

Peradilan

Agama

di

Indonesia.

Semoga

dengan

tersusunnya makalah ini dapat menambah khazanah keilmuan dalam


mempelajari Peradilan Agama di Indonesia dan memberikan manfaat bagi
pembacanya.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun menyadari masih banyak
kesalahan dan kekhilafan di dalamnya. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang

bersifat

membangun

senantiasa

penyempurnaan makalah berikutnya.

Jepara, 17 Oktober 2013

Penyusun

Kelompok 4

kami

harapkan

demi

BAB I
PENDAHULUAN

A.

LATAR BELAKANG

Peradilan agama adalah kekuasan negara dalam menerima, memeriksa,


mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara perkawinan,
kewarisan, wasiat,

hibah, wakaf, dan shodaqah diantara orang-orang

islam untuk menegakkan hukum dan keadilan. Penyelenggaraan Peradilan


Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama pada Tingkat pertama dan
Pengadilan Tinggi Agama pada Tingkat Banding. Sedangkan pada tingkat
kasasi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Sebagai pengadilan negara
tertinggi.
Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang
diakui eksistensinya dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman, merupakan lembaga peradilan khusus yang
ditunjukan kepada umat islam dengan lingkup kewenangan yang khusus
pula,baik perkaranya ataupun para pencari keadilannya (justiciabel).

B.

RUMUSAN MASALAH

1.

Bagaimana Penataan Peradilan Agama Pada Masa Reformasi ?

2.

Apa Dasar Hukum dan Wewenang Peradilan Agama ?

3.

Bagaimana Kedudukan Peradilan Agama dalam UUD 1945, UU

Nomor 35 Tahun 1999 dan UU Nomor 4 Tahun 2004 ?


4.

Bagaimana Eksistensi Peradilan Agama Pasca Penyatuatapan ke MA

?
C.

TUJUAN

1.

Mengidentifikasi dan memahami Peradilan Agama di Indonesia pada

era reformasi.
2.

Mengidentifikasi dan memahami perkembangan Peradilan Agama di

Indonesia pasca Penyatuatapan ke Mahkamah Agung.

BAB II
PEMBAHASAN

A.

Penataan dan Wewenang Peradilan Agama Pada Masa Reformasi

Konsekuensi dari diundangkannya UU No. 35 Tahun 1999 diletakkan


kebijakan

bahwa,

segala

urusan

mengenai

peradilan

baik

yang

menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan


finansial berada satu atap dibawah Mahkamah Agung. Dengan adanya
kebijakan ini, maka lembaga-lembaga peradilan yang ada di Indonesia
segera dialihkan ke Mahkamah Agung RI. Kebijakan ini dilakukan untuk
memisahkan kekuasaan eksekutif dengan yudikatif dengan tujuan untuk
memantapkan posisi lembaga peradilan pada segi-segi hukum formal dan
teknis peradilan.
Memasuki era reformasi, seiring dengan tuntutan adanya reformasi
dibidang hukum, peradilan agama mengalami perubahan yang cukup
signifikan, baik menyangkut status, kedudukan maupun kewenangannya.

Dengan mengikuti paradigma separation of power, status dan kedudukan


Peradilan Agama kemudian dilepaskan dari bayang-bayang eksekutif
yakni Departemen Agama untuk selanjutnya dimasukkan dalam satu atap
(one roof system) dibawah Mahkamah Agung bersama dengan badan
peradilan lainnya. Misalnya menyangkut sengketa keperdataan-antara
orang islam, sudah tidak lagi bersinggungan dengan peradilan umum,
melainkan sudah bisa memutuskan secara langsung.
Dari segi kewenangannya pun, Peradilan Agama di era reformasi
mendapatkan kewenangan baru, yakni mengadili sengketa yang terkait
dengan bidang; zakat, infaq, sedekah, serta ekonomi syariah. Khusus
mengenai kewenangan di bidang ekonomi syariah, peradilan agama
menghadapi permasalahan dan yang jauh lebih berat adalah menyangkut
hukum materiil bidang ekonomi syariah.[1]
Perubahan signifikan menyangkut kewenangan peradilan agama, secara
konstitusional diperoleh melalui UU No. 3 Tahun 2006 sebagai perubahan
atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama yang disetujui DPR
tanggal 21 Februari 2006. UU ini muncul sebagai konsekuensi adanya UU
No.4 Tahun 2004. Pada Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006 tersebut ditegaskan
bahwa, peradilan agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang beragama islam mengenai perkara
tertentu.
B.

Kedudukan Pengadilan Agama dalam UUD 1945

UUD 1945 Pasal 24 ayat (2) menyatakan : Kekuasaan kehakiman


dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di
bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan
Agama, lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
C.

Kedudukan Peradilan Agama dalam UU No. 35 Tahun 1999

Pada tahun 1999 akhirnya diundangkan UU No. 35 Tahun 1999 tanggal 31


Agustus 1999 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagai realisasi awal


dari semangat supremasi hukum yang dikumandangkan dalam gerakan
reformasi secara total dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia.
Pertimbangan penting pengubahan UU No. 14 Tahun 1970 tentang
ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman adalah karena UU ini
dinilai telah menyimpang dari UUD 1945 dimana telah memunculkan
dualisme pembinaan peradilan oleh dua kekuasaan yang berbeda, yaitu
kekuasaan yudikatif dan kekuasaan eksekutif.
Pembinaan peradilan pada waktu itu dipisahkan menjadi dua, yaitu
Pertama: pembinaan teknis yudisial berada di bawah Mahkamah Agung
yang merupakan pelaksana kekuasaanyudikatif dan kedua: pembinaan
administrasi, organisasi dan finansial berada di bawah Departemendepartemen yang merupakan pelaksana kekuasaan eksekutif di bawah
Presiden. UU No. 35 Tahun 1999 ini merupakan koreksi atas UU No. 14
Tahun 1970 dan sebagai jembatan yang mengantarkan penyatuatapan
semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung, baik secara teknis
yudisial maupun secara adminstrasi, organisasi dan finansial, keluar dari
masing-masing Departemennya semula dan masuk ke Mahkamah Agung.
Perkembangan penting dalam UU No. 35 Tahun 1999 ini berkaitan
dengan organisasi, administrasi dan finansial pengadilan sebagai berikut:
1.

Pembinaan organisasi, administrasi dan finansial semua badan

peradilan yang semula berada di bawah departemen masing-masing


dialihkan ke Mahkamah Agung (Pasal 11 ayat 1).
2.

Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial pengalihan

tersebut diatur lebih lanjut dengan UU sesuai dengan kekhususan


lingkungan peradilan masing-masing (Pasal 11 ayat 2).
3.

Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial pengadilan

tersebut dilakukan secara bertahap, paling lama 5 tahun sejak UU ini


mulai berlaku (Pasal 11 A ayat 1).

4.

Pengalihan organisasi, administrasi dan finansial bagi Peradilan

Agama waktunya tidak ditentukan (Pasal 11 A ayat 2).


5.

Pelaksanaan pengalihan secara bertahap ditetapkan dengan

Keputusan Presiden.

D.

Kedudukan Peradilan Agama dalam UU No. 4 Tahun 2004


Pertimbangan penting pengubahan UU Kekuasaan Kehakiman

melalui UU No. 4 Tahun 2004 ini adalah untuk merealisasikan amanat dari
UU No. 35 Tahun 1999, yakni mengalihkan semua pengadilan dari masingmasing Departemennya menjadi satu atap di bawah Mahkamah Agung
untuk menjamin kemerdekaannya dari campur tangan eksekutif dan
menguatkan kedudukan pengadilan. Perkembangan penting dengan
diundangkannya UU ini maka kedudukan, peran dan fungsi yang diberikan
kepada

Peradilan

Agama

semakin

luas

dan

mantap

dengan

perkembangan kemajuan yang sangat mendasar, yakni:


1.

Perubahan fungsi pengadilan dari sebagai pelaksana kekuasaan

kehakiman[2] menjadi pelaku kekuasaan kehakiman[3]. Pasal 2 UU No. 7


Tahun 1989 menyatakan bahwa Peradilann Agama merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman. Pembentuk UU tidak menjelaskan apa
perbedaan antara dua kata dimaksud. Barangkali istilah pelaku ini
bersumber dari Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang menetapkan bahwa
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung ....dst.
konsisten dengan Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 tersebut, maka Pasal 2 UU
No. 4 Tahun 2004 menggunakan kata dilakukan. Kata pelaksana adalah
subjek yang mengerjakan sesuatu atas inisiatif, perintah atau ide pihak
lain. Sedang pelaku adalah subjek yang memiliki ide, kewenangan dan
kemampuan untuk melaksanakan idenya sendiri.
2.

Terdapat penegasan larangan campur tangan dalam urusan

peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman, kecuali dalam hal-

hal sebagaimana disebut dalam UUD 1945. Penegasan larangan campur


tangan ini tidak ada dalam UU sebelumnya[4].
3.

Dialihkannya pembinaan, organisasi, administrasi, dan keuangan

pengadilan dari empat lingkungan peradilan dari Departemen masingmasing ke Mahkamah Agung. Dengan demikian campur tangan eksekutif
terhadap pembinaan organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan
tidak ada lagi dan kemandirian serta kemerdekaan hakim diharapkan
lebih terjamin.
4.

Dialihkannya tata cara sumpah hakim dari praktik diambil sumpah

oleh

atasannya

menjadi

mengucapkan

sumpah

dihadapan

pimpinannya[5].
5.

Kedudukan Peradilan Agama sebagai sebuah lingkungan peradilan

telah disejajarkan dengan Peradilan Umum sehingga tidak ada lagi istilah
Peradilan Khusus bagi Peradilan Agama sebagaimana pernah diatur dalam
UU No. 14 Tahun 1970 sebelumnya. Dan dengan demikian dimungkinkan
dibentuknya pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama.
6.

Dilibatkannya Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan eksternal

guna menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim


agung dan hakim, dan pengangkatan hakim agung.[6] Hal ini tidak pernah
ada sebelumnya.
7.

Diakuinya Mahkamah Syariyah di Nanggroe Aceh Darussalam

sebagai peradilan negara dalam sistem peradilan nasional.


8.

UU ini disamping memantapkan kedudukan Peradilan Agama,

namun

tanpa

peradilan

mengubah

syariah

Islam,

fungsi

khusus

pertama,

dari

Peradilan
sudut

Agama

sebagai

kedudukan

dan

kelembagaan, maka Peradilan Agama telah sejajar dengan Badan


Peradilan Umum, yakni sebagai Pengadilan Negara dibawah Mahkamah
Agung. Kedua, dari sudut fungsi yang diembannya, maka Peradilan Agama
tetap merupakan peradilan khusus (spesifik), yakni sebagai Peradilan
Syariah Islam.

E.

Penyatuatapan Peradilan Agama

Beberapa aspek yang mengalami perubahan setelah peradilan agama


disatuatapkan pada era reformasi adalah menyangkut; status dan
kedudukan, struktur organisasi, tugas dan fungsi, sumberdaya manusia,
finansial,

dan

sarana

prasarana,

serta

kewenangan

dan

hukum

materialnya. Perubahan tersebut semakin mengukuhkan peradilan agama


sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dan independen.

1)
Di

Status dan Kedudukan


era

reformasi,

eksistensi

Peradilan

Agama

mencapai

puncak

kekokohannya pada tahun 2001, saat disepakatinya perubahan ketiga


UUD 1945 oleh MPR. Dalam Pasal 24 UUD 1945 hasil amendemen, secara
eksplisit dinyatakan bahwa, lingkungan peradilan agama disebutkan
sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia,
bersama lingkungan peradilan lainnya di bawah Mahkamah Agung.
Diawal

tahun

2004,

terjadi

perubahan

sangat

signifikan

yang

berhubungan dengan eksistensi peradilan agama, yaitu disahkannya UU


No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai perubahan atas
UU No. 35 Tahun 1999. Dalam UU No. 4 Tahun 2004 disebutkan bahwa,
semua lingkungan peradilan, termasuk peradilan agama, pembinaan
organisasi, administrasi dan finansialnya dialihkan dari pemerintah
kepada Mahkamah Agung.
Hal terakhir yang menggembirakan adalah pada tanggal 21 Maret 2006
telah disahkan UU No. 3 Tahun 2006, merupakan perubahan atas UU No. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Setelah lahirnya UU No. 3 Tahun
2006 tersebut semakin kokohlah kekuasaan dan kewenangan peradilan

agama. Hal lain yang penting dalam kedudukan peradilan agama di era
reformasi adalah dalam hal pembinaan dan pengawasan.
2)

Struktur Organisasi, Tugas, dan Fungsi

Tugas pokok dan fungsi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama yang
diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2005 tersebut,
kemudian diimplementasikan dengan surat Sekretaris Mahkamah Agung
RI Nomer: MA/SEK/07/SK/III/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Sekretariat Mahkamah Agung RI.
Dalam keputusan tersebut, ditentukan bahwa Direktorat Jenderal Badan
Peradilan Agama terdiri atas:[7]
a)

Sekretariat Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.

b)

Direktorat Pembinaan Tenaga Teknis Peradilan Agama.

c)

Direktorat Pembinaan Administrasi Peradilan Agama.

d)

Direktorat Pranata dan Tata Laksana Perkara Perdata Agama.

3)

Sumber Daya Manusia

Tonggak awal berdirinya fondasi organisasi Peradilan Agama baru dimulai


tahun 2006. Yakni ketika status Badan Peradilan Agama yang awalnya
hanya direktorat kemudian meningkat menjadi Direktorat Jenderal setelah
berada di Mahkamah Agung. Pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama terdapat pengembangan jabatan, baik jumlah maupun tingkat
eselonnya. Peningkatan ini disamping sebagai penopang pelaksanaan
tugaas pokok dan fungsi organisasi, pada saat bersamaan juga membuka
peluang bagi pengembangan karir pegawai.[8]
4)
Di

Keadaan Finansial dan Sarana Prasarana


era

reformasi,

Mahkamah

Agung

anggaran
mengalami

untuk

badan

peningkatan

peradilan
seiring

dilingkungan

dengan

upaya

peningkatan pelayana publik dibidang hukum dan peradilan. Begitu juga


anggaran untuk lingkungan peradilan agama yang dipusatkan pada Dirjen
Badilag mengalami peningkatan yang signifikan bila dibandingkan dengan
sebelum satu atap, terutama sejak tahun 2005, 2006 dan 2007.[9]
5)

Kewenagan dan Hukum Materiil

Menurut UU No. 7 Tahun 1989, Peradilan Agama hanya berwenang


menyelesaikan perkara; perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat,
infaq, dan sedekah. Akan tetapi dengan diberlakukannya UU No. 3 Tahun
2006, melahirkan paradigma baru peradilan agama. Meskipun UU No. 3
Tahun 2006 merupakan perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989. Akan tetapi
status peraturan perundang-undangan yang lama tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan undang-undang ini.
Dengan adanya UU No. 3 Tahun 2006, landasan hukum positif penerapan
hukum islam lebih kokoh, khususnya menyangkut teknis penyelesaian
sengketa kewenangan antara peradilan agama dengan peradilan umum.
Ada beberapa irisan dan titik singgung antara keduanya, khususnya
menyangkut hak opsi dan sengketa kepemilikan.[10]
6)

Asas-asas Hukum Peradilan Agama

Sebagaimana yang dapat disimpulkan dari UU No. 3 Tahun 2006, adapun


asas-asas yang berlaku pada pengadilan agama pada dasarnya hampir
sama dengan asas-asas yang berlaku di pengadilan umum, yaitu antara
lain:[11]
1.

Asas personalitas keislaman.

2.

Asas kebebasan.

3.

Asas tidak menolak hukumnya tidak jelas atau tidak ada.

4.

Asas hakim wajib mendamaikan.

5.

Asas sederhana, cepat, dan biaya ringan.

6.

Asas mengadili menurut hukum dan persamaan hak.

7.

Asas persidangan terbuka untuk umum.

8.

Asas hakim aktif memberi bantuan.

9.

Asas peradilan dilakukan dengan hakim majelis.

Abdullah Tri Wahyudi dalam bukunya peradilan agama di Indonesia


menambahkan beberapa asas lagi yang itu juga tercamtum dalam UU No.
4 Tahun 2004 yaitu:[12]
1.

Asas pemeriksaan dalam dua tingkat.

2.

Asas kewenangan mengadili tidak meliputi sengketa hak milik.

3.

Asas haikim bersifat menunggu (hakim pasif-nemo yudex sine acto).

4.

Asas bahwa ptusan pengadilan harus memuat pertimbangan.

5.

Asas beperkara dengan biaya.

6.

Asas Ne bis in Idem.

BAB III
PENUTUP

A.

Kesimpulan

Memasuki era reformasi, seiring dengan tuntutan adanya reformasi


dibidang hukum, peradilan agama mengalami perubahan yang cukup
signifikan, baik menyangkut status, kedudukan maupun kewenangannya
yaitu terdapat dalam UU No. 35 Tahun 1999, UU No. 4 Tahun 2004 dan UU
No. 3 Tahun 2006.

Beberapa aspek yang mengalami perubahan setelah peradilan agama


disatuatapkan pada era reformasi adalah menyangkut; status dan
kedudukan, struktur organisasi, tugas dan fungsi, sumberdaya manusia,
finansial,

dan

sarana

prasarana,

serta

kewenangan

dan

hukum

materialnya. Perubahan tersebut semakin mengukuhkan peradilan agama


sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang mandiri dan independen.
B.

Penutup

Demikian makalah sederhana ini kami susun. Terima kasih atas antusias
dari pembaca yang telah sudi menelaah dan mengimplementasikan isi
makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi
yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Semoga makalah ini
berguna bagi kelompok kita pada khususnya juga para pembaca yang
dirahmati Allah Azza wa Jalla. Amiin

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Jaenal. 2008. Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di


Indonesia. Jakarta: Prenada Media.
Arto, A Mukti. 2012. Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[1] Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di


Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2008), hlm.14-15
[2] Pasal 2 UU No. 3 Tahun 2006.
[3] Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 jo Pasal 2, 4 ayat (2), 10, dan 31 UU No. 4
Tahun 2004.
[4] Pasal 4 ayat (3) dan (4) UU No. 4 Tahun 2004
[5] A Mukti Arto, Peradilan Agama Dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm.175
[6] Pasal 34 UU No. 4 Tahun 2004.
[7] Jaenal Arifin, Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum Di
Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2008), hlm. 316-326
[8] Ibid., hlm.327-337
[9] Ibid., hlm.337-342
[10] Ibid., hlm.344-348
[11] Ibid., hlm. 348-354
[12] Ibid., hlm. 355-356

Anda mungkin juga menyukai