Anda di halaman 1dari 26

Kewenangan dan Tata Cara Beracara di Pengadilan Agama

Pasca Berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama


Oleh Drs. H. Dalih Effendy, SH. MESy.*)1

PENDAHULUAN
Pengadilan Agama adalah salah satu dari empat lingkungan peradilan
negara yang dijamin eksistensinya dalam konstitusi, sebagai mana dimuat
dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945, pada perubahan ketiga, yang berbunyi
“Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan Badan
Peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka dalam
menjalankan tugasnya guna menegakkan hukum dan keadilan sebagai mana
yang diatur dalam undang-undang tentang kekuasaan pokok kehakiman.
Semenjak diundangkannya UU Nomor 7 Tahun 1989 hingga
diadakannya perubahan pertama tahun 2006 yaitu dengan diundangkannya UU
Nomor 3 Tahun 2006 tentang peradilan agama, lembaga yudikatif yang
awalnya berada di bawah kementrian agama ini, memiliki fungsi dan
kedudukan yang semakin kuat. Performen dan kemandirian pengadilan agama
semakin kokoh dan teruji setelah keluar dari lembaga eksekutif dengan
beralih menjadi satu atap (one roof system) di bawah Mahkamah Agung sejak
disyahkannya UU Nomor 35 Tahun 1999 tentang kekuasaan kehakiman yang
berlaku efektif pada tahun 2004 yakni seluruh lingkungan peradilan berada di
bawah pembinaan Mahkamah Agung.
Pengadilan Agama mempunyai tugas dan wewenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara perkara tngkat pertama antara orang
orang yang beragama Islam di bidang, perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, Infak, shadaqah dan Ekonomi Syari’ah. Kewenangan
menyelesaikan sengketa dalam bidang Ekonomi Islam ini baru dimulai sejak

1
Disampaikan Dalam Kegiatan Pendidikan Advokat PKPA PERADI di LKP YHR Educatioion Law,
Banten, 2027

1
berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2006. Dalam penjelasan mengenai
kewenangan ekonomi syariah atau ekonomi Islam itu dinyatakan sebagai
perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah
yang antara lain meliputi a. bank syari’ah, b. lembaga keuangan mikro
syari’ah, c. asuransi syari’ah, d. reasuransi syari’ah, e. reksadana syari’ah, f.
obligasi syar’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, g. sekuritas
syari’ah, h. pembiayaan syari’ah, i. pegadaian syari’ah, j. dana pensiun
lembaga keuangan syari’ah dan k. bisnis syari’ah. Sedangkan penjelasan
mengenai kewenangan mengadili di bidang perkawinan yang diatur dalam UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan antara lain :
1. Izin beristeri lebih dari 1 orang (poligami).
2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun.
3. Dispensasi kawin.
4. Pencegahan perkawinan.
5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.
6. Pembatalan Perkawinan.
7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami isteri.
8. Perceraian karena Talak (CT).
9. Gugatan Perceraian (CG).
10. Penyelesaian Harta bersama.
11. Mengenai Penguasaan anak.
12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bila mana
Bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya.
13. Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada
bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri.
14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.
15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.
16. Pencabutan kekuasaan wali.
17. Penunjukkan orang lain sebagai wali oleh Pengadilan dalam hal kekuasaan
seorang wali dicabut.

2
18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur
18 tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada hal tidak ada
penunjukkan wali oleh orang tuanya.
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah
menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah
kekuasaannya.
20. Penetapan asal usul anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan
hukum Islam.
21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran.
22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum uu nomor 1
tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang
lain.

Pasal 54 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagai mana diubah dengan UU Nomor 3


Tahun 2006 dan terakhir dengan UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang peradilan agama
dinyatakan bahwa “ Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Pengadilan Agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur dalam undang-undang ini.”

Adapun lebih lengkap uraian tentang perkara-perkara yang menjadi


kewenangan Pengadilan Agama saat ini, akan dibatasi terhadap perkara yang paling
mendominasi akan diuraikan dalam pembahasan. Sama halnya dengan tata cara
beracara atau bagaimana mengikuti persidangan di Pengadilan Agama sesuai dengan
hukum acara yang berlaku akan diuraikan berikutnya. Dua hal ini menjadi sangat
penting dikuasai bagi para calon advokat yang tengah mengikuti pendidikan ini.

PEMBAHASAN

1. Ruang Lingkup Pengadilan Agama.

Sejak diundangkannya UU Nomor 7 tahun 1989, undang-undang tentang


peradilan agama ini telah mengalami dua kali perubahan masing-masing Undang-
Undang Nomor 3 tahun 2006 dan Undang-Undang Nomor 50 tahun 2009. Inti

3
perubahan yang pertama antara lain terkait dengan tambahan kewenangan yakni
sengketa ekonomi syari’ah menjadi kewenangan absolut pengadilan agama dan
perubahan kedua antara lain terkait usia pensiun aparat peradilan agama khususnya
usia hakim dari 60 tahun menjadi 65 tahun bagi hakim pengadilan agama tingkat
pertama.

Sejalan dengan jumlah lembaga peradilan agama yang terus bertambah, jumlah
hakim peradilan agama juga kian meningkat. Untuk tingkat banding pada saat ini
terdapat satker PTA sejumlah 29 PTA dan tingkat pertama sebanyak 359 satker (55
kelas 1A, 101 kelas 1B dan 203 kelas II). Untuk jumlah hakim pengadilan agama saat
ini sebanyak 3078 hakim. Dari 359 satker yang ada idealnya jumlah hakim
pengadilan agama saat ini sebanyak 5539, ini berarti masih kekurangan tenaga hakim
sekitar 2461 hakim. Kekurangan ini masih terus berlanjut terkait banyaknya hakim
yang memasuki usia pensiun ditambah lagi sudah berlangsung 6 tahun terjadi
moratorium (penghentian sementara) pengangkatan calon hakim. Sejatinya sejak
adanya keputusan Mahkamah Konstitusi mengenai kewenangan mutlak Mahkamah
Agung untuk mengangkat calon hakim yang tidak dicampuri oleh Komisi Yudisial,
pada tahun 2016 ini sudah dimulai penerimaan calon hakim kembali, namun kerana
hal tersebut oleh Kementrian Panrb yang belum dibuka sehingga masih menjadi
harapan para sarjana hukum, para alumni fakultas syariah dan fakultas hukum
perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang terus berkepanjangan, termasuk di
dalamnya adalah para calon advokat atau advokat itu sendiri.

2. Dasar Hukum Tentang Pengadilan Agama.


Eksistensi Pengadilan Agama mengalami kemajuan yang sangat pesat kurun
waktu lebih dari 130 tahun. Lembaga peradilan agama di Jawa dan Madura telah
dibentuk oleh pemerintah Hindia Belanda dengan Stb. 1882 Nomor 152 jo. Stb. 1937
Nomor 116 dan 610, di Kalimantan Selatan dengan Stb 1937 Nomor 638 dan 639,
kemudian setelah kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah RI membentuk
Pengadilan Agama di luar Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957.
Perkembangan berikutnya, Pengadilan Agama makin terasa peran dan
fungsinya setelah berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo.

4
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang peraturan pelaksanaannya. Pada
tahun 1989 lahirlah Undang-Undang Organik yang mengatur khusus keberadaan
lembaga peradilan agama ini dengan lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dan terus disempurnakan dengan lahirnya perubahan undang-
undang tersebut pada tahun 2006 dengan lahirnya UU Nomor 3 Tahun 2006 dan
perubahan kedua pada tahun 2009 dengan lahirnya UU Nomor 50 Tahun 2009.

Hukum Acara Pengadilan Agama.

Hukum Acara di peradilan agama baru ada sejak lahirnya UU Nomor 1 tahun
1974 dan aturan pelaksanaannya PP Nomor 9 tahun 1975, tentang perkawinan. Inipun
baru sebagian kecil yang diatur dalam kedua peraturan ini. Ketetntuan mengenai
hukum acara pengadilan agama baru secara tegas disebutkan sejak dikeluarkannya
UU Nomor 7 tahun 1989. Hukum Acara yang dimaksud diletakkan pada ketentuan
Bab IV yang terdiri dari 37 Pasal. Tidak semua ketentuan tentang hukum acara
peradilan agama dimuat secara lengkap dalam undang-undang ini. Hal ini dapat
dilihat dalam Pasal 54, di mana dikemukakan bahwa hukum acara yang berlaku pada
pengadilan dalam lingkungan peradilan agama adalah hukum acara perdata yang
berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur
secara khusus dalam undang-undang ini. Adapun yang menjadi sumber hukum acara
peradilan agama antara lain :

1. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.


2. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 dan UU Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
3. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan di Jawa
dan Madura.
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
5. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974.
6. Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

5
7. Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) untuk Jawa dan Madura.
8. Rechtsreglement Buitengewesten (RBg.) untuk luar Jawa dan Madura.
9. Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv).
10. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 tentang penggunaan
Kompilasi Hukum Islam sebagai pedoman dalam penyelesaian masalah-
masalah di bidang Perkawinan, Perwakafan dan Kewarisan.
11. Yurisprudensi, yaitu kumpulan yang sistematis dari Putusan Mahkamah
Agung yang diikuti oleh Hakim lain dalam putusan yang sama.
12. Peraturan Mahkamah Agung dan Surat Edaran Mahkamah Agung sepanjang
menyangkut Hukum Acara Perdata.
Adapun yang menjadi Hukum Materil Pengadilan Agama, yaitu keseluruhan
hukum yang berlaku yang mengatur tentang apa yang menjadi kewenangan
pengadilan agama sebagai mana termuat di dalam Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun
1989 sebagai mana telah diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 dan dengan UU
Nomor 50 Tahun 2009. Materi hukum tentang perkawinan, kewarisan, wakaf,
hibah, washiat, telah dirangkum dalam bentuk komplasi hukum Islam, yaitu
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang telah diundangkan melalui Inpres Nomor 1
tahun 1991. Materi tentang Ekonomi Syari’ah telah dihimpun dalam Perma
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah (KHES). Oleh
karena hukum materil yang diberlakukan pada Pengadilan Agama adalah
berdasarkan hukum Islam, maka apa yang menjadi sumber hukum Islam, yaitu Al-
Qur’an, Hadits, Ijma, Qias dan lain sebagainya yang termuat di dalam kitab-kitab
fiqh, tafsir dan hadits dapat dijadikan sumber hukum materil oleh pengadilan
agama di dalam memutus suatu perkara.
3. Kompetensi Pengadilan Agama.

Adapun wewenang pengadilan agama secara absolute adalah sebagai mana


termuat di dalam Pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang peradilan agama, yaitu
Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan
perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang
perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam,

6
wakaf, zakat, infak, shadaqah dan ekonomi Islam. Sebagai mana dalam penjelasan
Pasal 49 tersebut di atas, yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan antara lain ada 22
item jenis perkara yaitu :

1. Izin beristeri lebih dari 1 orang (Poligami)


2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun
3. Dispensasi kawin
4. Pencegahan Perkawinan
5. Penolakan perkawinan oleh PPN
6. Pembatalan Perkawinan
7. Gugatan kelalaian/kewajiban suami isteri
8. Cerai Talak
9. Cerai Gugat
10. Sengketa Harta Bersama
11. Sengketa Pemeliharaan anak
12. Kewajiban ibu memikul biaya pemeliharaan anak bila ayahnya tidak
bertanggung jawab
13. Sengketa nafkah iddah mut’ah dan kewajiban lainnya
14. Sengketa pengesahan anak
15. Pencabutan kekuasaan orang tua
16. Pencabutan Kekuasaan Wali
17. Penetapan orang ;lain sebagai wali
18. Penunjukkan seorang wali anak yang belum berumur 18 tahun
19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali atas kerugian anak yang
ada di bawah kekuasaannya
20. Penetapan asal usul anak/Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam
21. Penolkan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran
22. Penetapan tentang syahnya perkawinan.
Sedangkan yang dikmaksud dengan perkara di bidang ekonomi syari’ah
(ekonomi Islam) antara lain meliputi bank syari’ah, lembaga keuangan mikro
syari’ah, asuransi syari’ah, reasuransi syari’ah, reksadana syari’ah, obligasi

7
syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, sekuritas syari’ah,
pembiayaan syari’ah, penggadaian syari’ah, dana pensiun lembaga syari’ah, dan
bisnis syari’ah. Perkara yang paling dominan masuk ke Pengadilan Agama di
bidang Perkawinan adalah Cerai Gugat, Cerai Talak, Isbat Nikah, Izin Poligami,
Harta Bersama Hadhonah, Tuntutan nafkah, Dispensasi nikah, Pembatalan
perkawinan, Pengangkatan anak, Sedang dalam bidang kewarisan antara lain
gugatan waris, penetapan ahli waris,
Kewenangan relatif pengadilan agama adalah kewenangan yang diberikan
oleh Undang-Undang untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara yang
diajukan kepada pengadilan agama tertentu dengan dasar pada kekuasaan daerah
hukumnya. Sebagai contoh gugatan perceraian atau permohonan talak yang
diajukan oleh seorang suami harus diajukan kepada Pengadilan Agama yang
wilayahnya meliputi tempat tinggal isteri (Pasal 66 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun
1989).
4. Prosedur dan Mekanisme Berperkara di Pengadilan Agama.
Menurut Prof. Dr. Wiryono Prodjodikoro, SH., hukum acara perdata
adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang
harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus
bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan
hukum perdata. R. Suparmono SH. memberikan definisi hukum acara perdata
adalah keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang cara-cara
bagaimana mempertahankan, melaksanakan dan menegakkan hukum perdata
materiil melalui proses peradilan (peradilan negara). Prof. Dr. Soedikno
Mertokusumo, SH. menyatakan, hukum acara perdata mengatur tentang
bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya
dan pelaksanaan dari putusannya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara Peradilan
Agama adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana
orang harus bertindak di muka pengadilan yang terdiri dari cara mengajukan
tuntutan dan mempertahankan hak, cara bagaimana pengadilan harus
bertindak untuk memeriksa serta memutus perkara dan cara bagaimana
melaksanakan putusan tersebut di lingkungan Peradilan Agama.

8
Sebagai landasan Hukum Acara Peradilan Agama, perlu dipedomani
Asas-asas Hukum Acara Peradilan Agama sebagai berikut :

1. Peradilan Agama adalah Peradilan Negara sebagai pelaksana


kekuasaan kehakiman, pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989
jo Undang-undang Nomor 3 tahun 2006, jo UU Nomor 50 tahun 2009.
2. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama
Islam (pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
3. Peradilan Agama menetapkan dan menegakkan hukum berdasarkan
keadilan berdasarkan Pancasila (pasal 3 ayat (2) Undang-undang
Nomor 4 tahun 2004).
4. Peradilan Agama memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
berdasarkan hukum Islam (pasal 2, 49 dan Penjelasan Umum Undang-
undang Nomor 3 tahun 2006).
5. Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ke Tuhanan Yang
Maha Esa (pasal 4 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 57 ayat
(1) Undang-undang Nomor 3 tahun 2006).
6. Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan (pasal 2
ayat (2) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 57 ayat (3)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
7. Peradilan dilakukan menurut hukum dan tidak membeda-bedakan
orang (pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58
ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
8. Peradilan dilakukan bebas dari pengaruh dan campur tangan dari luar
(pasal 4 ayat (3) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
9. Peradilan dilakukan dalam persidangan Majelis dengan sekurang-
kurangnya tiga orang Hakim dan salah satunya sebagai Ketua, sedang
yang lain sebagai anggota, dibantu oleh Panitera Sidang (pasal 17 ayat
(1), (2) dan (3) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
10. Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap Hakim yang
mengadili (pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).

9
11. Beracara dikenakan biaya (pasal 121 ayat (1) HIR, pasal 145 ayat (4)
RBg.).
12. Hakim bersifat menunggu (pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun
2006).
13. Hakim pasif (pasal 118 ayat (1) HIR, pasal 142 ayat (1) RBg.)
14. Persidangan bersifat terbuka untuk umum (pasal 19 ayat (1) Undang-
undang Nomor 4 tahun 2004).
15. Hakim mendengar kedua belah pihak (pasal 121 HIR,pasal 145 RBg.,
pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, pasal 58 ayat (3)
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
16. Tidak harus diwakilkan (pasal 123 HIR, pasal 147 RBg.).
17. Hakim wajib mendamaikan para pihak (pasal 130 HIR, 154 RBg, pasal
39 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974).
18. Hakim membantu para pihak (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor
4 tahun 2004, pasal 58 ayat (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
19. Hakim wajib menghadili setiap perkara yang diajukan kepadanya
(pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
20. Putusan harus disertai alasan (pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor
4 tahun 2004, pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989,
pasal 184 ayat (1)dan pasal 195 RBg.).
21. Tiap putusan dimulai dengan kalimat “Bismillahir rahmaanir rahiim”
diikuti dengan “Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha
Esa” (pasal 57 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989).
22. Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum
apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 20
Undang-undang Nomor 4 tahun 2004).
23. Tiap-tiap pemeriksaan dan perbuatan hakim dalam penyelesaian
perkara harus dibuat berita acara (pasal 186 HIR, pasa 96 Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989).
24. Terhadap setiap putusan diberikan jalan upaya hukum berupa banding,
kasasi dan peninjauan kembali (pasal 21, 22 dan 23 Undang-undang
Nomor 4 tahun 2004).

10
25. Pelaksanaan putusan Pengadilan wajib menjaga terpeliharanya peri
kemanusiaan dan peri keadilan (pasal 36 ayat (4) Undang-undang
Nomor 4 tahun 2004).

Prosedur beracara di Pengadilan Agama adalah rangkaian kegiatan


memeriksa suatu perkara sejak perkara didaftarkan hingga proses persidangan
yang mengikat para pihak dan Majelis Hakim serta aparat pengadilan lainnya
untuk menyelesaikan suatu perkara atau sengketa yang ditangani. Pemeriksaan
perkara, didahului dengan persiapan persidangan yang meliputi Penetapan
Majelis Hakim, Penunjukan Panitera Sidang, Penetapan Hari Sidang,
pemanggilan dan seterusnya.

Sejalan dengan asas Hukum Acara Peradilan Agama bahwa Hakim harus
mendengar keterangan kedua belah pihak di muka persidangan, maka Hakim
dengan perantaraan Juru Sita/Juru Sita Pengganti memanggil kedua belah pihak
dengan secara resmi dan patut, untuk menghadap ke persidangan. Setelah para
pihak menghadap ke persidangan, pemeriksaan perkara dilakukan dalam sebuah
persidangan yang dinyatakan terbuka untuk umum (pasal 19 ayat (1) Undang-
undang Nomor 4 tahun 2004), kecuali undang-undang menyatakan lain, seperti
perkara perceraian diperiksa dalam persidangan yang dinyatakan tertutup untuk
umum. Selanjutnya proses pemeriksaan perkara dilangsungkan melalui beberapa
tahapan yang pada garis besarnya sebagai berikut :

1. Upaya perdamaian (pasal 130 HIR, pasal 154 RBg dan Perma Nomor 1
Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan). Pada permulaan
persidangan, sebelum pemeriksaan perkara Hakim wajib mendamaikan antara
para pihak berperkara. Jika perdamaian berhasil, oleh Hakim dibuat Akta
Perdamaian yang mempunyai kekuatan sebagai putusan. Dalam perkara
perceraian apabila mediasi berhasil maka gugatan perceraian tersebut dicabut.
Jika tidak berhasil dilanjutkan pada tahap berikutnya.
2. Pembacaan surat gugatan. (pasal 131 HIR, pasal 155 RBg). Sebelum
pembacaan gugatan ada beberapa kemungkinan yang dilakukan Penggugat
yaitu Mencabut gugatan, Merubah gugatan atau Mempertahankan gugatan.

11
Jika gugatan dipertahankan, maka gugatan tersebut dibacakan dan diteruskan
pada tahap berikutnya.
3. Penyampaian jawaban oleh Tergugat, ada yang berupa :

1. Exeptief verweer (bantahan yang tidak langsung mengenai pokok


perkara) terdiri dari :

1. Eksepsi formil atau Prosesual eksepsi, diajukan agar supaya pokok


perkaranya ditolak pemeriksaannya oleh Majelis Hakim, meliputi :

– Eksepsi absolut, berkenaan dengan perkara yang bersangkutan


bukan kewenangan lingkungan Peradilan Agama melainkan
kewenangan lingkungan peradilan lain.

– Eksepsi relatif berkenaan dengan perkara yang bersangkutan


adalah kewenangan Pengadilan laian dalam satu lingkungan
Peradilan yang sama.

– Eksepsi van gewijsde zaak, berkenaan gugatan yang


bersangkutan pernah diputus oleh Hakim Pengadilan yang
terdahulu dan putusannya telah berkekuatan hukum tetap.

– Eksepsi disqualificatoir, yaitu bahwa Penggugat tidak


mempunyai hak untuk mengajukan gugatan, Penggugat salah
menentukan pihak Tergugat.

2. Eksepsi materiil atau material eksepsi, diajukan agar Hakim yang


memeriksa perkara tidak melanjutkan pemeriksaan karena dalil
gugatannya bertentangan dengan hukum perdata materiil, meliputi:

– Eksepsi dilatoir, karena gugatan belum tiba saatnya diajukan


oleh Penggugat. Atau gugatan belum memenuhi syarat hukum.

12
– Eksepsi aan hanging geding, yaitu perkara yang sama masih
bergantung dalam proses pengadilan lain dan belum ada
putusan yang berkekuatan hukum tetap.

– Eksepsi peremptoir, menyangkut pokok gugatan, seperti


gugatan telah lampau waktunya, atau karena Tergugat telah
dibebaskan dari kewajiban membayar.

– Eksepsi plurium litis consortium, yaitu bahwa yang digugat


seharusnya termasuk Tergugat lain, tidak hanya Tergugat
sendiri.

– Eksepsi obscuur libel, yaitu bahwa gugatan kabur tidak jelas


permasalahannya dan tidak beralasan.

– Eksepsi karena petitum yang diajukan tidak didukung oleh


positanya.

2. Verweer ten principale (bantahan yang langsung berhubungan dengan pokok


perkara), adalah bantahan langsung yang bertujuan melumpuhkan dalil
gugatan berupa fakta kejadian/peristiwa hukum yang berkenaan dengan posita,
menyingkirkan kekuatan pembuktian dalil gugatan dengan alat bukti lain yang
sah sesuai dengan batas minimum pembuktian dan sebagainya.
3. Pengakuan, jawaban yang membenarkan seluruh atau sebagian dalil gugatan.
Apabila Tergugat dalam jawabannya mengakui dalil gugatan, maka dalil
gugatan dianggap terbukti dan gugatan dapat dikabulkan.
4. Referte, jawaban dengan tidak membantah atau membenarkan gugatan, tetapi
menyerahkan kepada kebijaksanaan hakim. Tergugat hanya menunggu
putusan Hakim.
5. Rekonpensi atau gugatan balik yang diajukan oleh Tergugat terhadap
Penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan (pasal 132 a dan pasal 132 b
HIR, pasal 157 dan pasal 158 RBg). Tujuannya :
- Menggabungkan dua tuntutan yang saling berhubungan.

13
- Mempermudah prosedur.
- Menghindarkan putusan-putusan yang saling bertentangan.
- Mempersingkat dan menyederhanakan pembuktian.
- Menghemat biaya.

Syarat-syarat gugatan rekonpensi :

- Diajukan bersama-sama dengan jawaban. Menurut pendapat lain sampai


dengan sebelum pembuktian. Rekonpensi tidak dapat diajukan dalam
tingkat banding atau kasasi.
- Diajukan terhadap Penggugat dalam kwalitas yang sama.
- Diajukan masih dalam lingkup kewenangan Pengadilan yang bersangkutan.
- Hanya mengenai perkara yang bersifat sengketa kebendaan.
- Bukan mengenai pelaksanaan putusan

4. Penyampaian Replik dari Penggugat.

Yaitu tanggapan terhadap jawaban Tergugat, dengan tetap mempertahankan


gugatannya, atau Penggugat merubah sikap dengan membenarkan jawaban/
bantahan Tergugat.

5. Penyampaian duplik dari Tergugat.

Yaitu tanggapan terhadap replik Tergugat, dengan tetap mempertahankan


jawabannya, atau bersikap seperti Penggugat dalam repliknya.

Apabila jawab menjawab dianggap cukup, dan terdapat hal-hal yang tidak
disepakati, sehingga perlu dibuktikan kebenarannya, maka acara dilanjutkan
ke tahap pembuktian.

6. Pembuktian.

Pembuktian adalah suatu upaya para pihak untuk meyakinkan hakim


tentang dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu perkara yang
dipersengketakan di hadapan sidang Pengadilan. Adapun yang harus

14
dibuktikan adalah peristiwa atau kejadian yang dikemukakan oleh para pihak
dalam hal yang belum jelas atau yang menjadi sengketa. Kemudian yang
dibebani wajib pembuktian adalah seseorang yang mengaku mempunyai hak
dan seseorang yang membantah hak orang lain, dengan membuktikan adanya
hak atau peristiwa yang didalilkan (pasal 163 HIR, pasal 283 RBg, pasal 1865
KUH Perdata).

Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu


peristiwa/kejadian yang diajukan itu merupakan fakta yang benar terjadi, atau
dibuktikan kebenarannya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara
para pihak. Dalam acara perdata yang dicari adalah kebenaran formil,
sehingga tidak secara tegasmensyaratkan adanya keyakinan hakim. Hakim
tidak boleh melampaui batas-batas yang diajukan oleh pihak yang berperkara.

7. Alat-alat bukti.

Alat-alat bukti dalam perkara perdata di Peradilan Agama, sesuai dengan


pasal 164 HIR, pasal 284 RBg dan pasal 1866 KUH Perdata.

1. Surat yaitu segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang


dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau menyampaikan buah pikiran
seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.
2. Akta ialah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang
menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan
semula untuk pembuktian.

2. Akta otentik, akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang diberi
wewenang membuatnya, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan,
baik dengan maupun tanpa bantuan yang berkepentingan, yang mencatat apa
yang dimintakan untuk dimuat didalamnya oleh yang berkepentingan.
3. Kekuatan pembuktian akta otentik ada 3 macam :

a. Kekuatan pembuktian lahir, didasarkan atas keadaan yang tampak lahirnya.


Surat yang tampak lahirnya seperti akta dan memenuhi syarat yang ditentukan,

15
dianggap mempunyai kekuatan seperti akta sepanjang tidak terbukti
sebaliknya.
b. Kekuatan pembuktian formil, membuktikan kebenaran dari pada apa yang
dilihat, didengar dan dilakukan pejabat pembuat akta terutama tanggal dan
tempat akta dibuat, serta kebenaran tanda tangan di bawah akta tersebut.
c. Kekuatan pembuktian materiil, membuktikan kepastian tentang materi suatu
akta, bahwa pejabat atau para pihak yang membuat akta menyatakan dan
melakukan seperti apa yang dimuat dalam akta.

5. Akta di bawah tangan, suatu akta yang ditandatangani dan dibuat dengan
maksud dijadikan alat bukti suatu perbuatan hukum tanpa bantuan seorang
pejabat. Adapun kekuatan pembuktian akta dibawah tangan :

a. Apabila suatu akta dibawah tangan, isi dan tanda tngan akta diakui oeh
yang mebuatnya, maka akta tersebut mempunyai kekuatan pembuktian
seperti akta otentik.
b. Apabila tanda tangan dalam akta disangkal oleh pihak yang menanda
tangani, maka pihak yang mengajukan akta harus berusaha membuktikan
kebenaran tanda tangan itu.

Surat bukan akta, surat yang dibuat tidak dengan tujuan sebagai alat bukti dan
belum tentu ditandatangani. Kekuatan pembuktiannya diserahkan pada
pertimbangan hakim. Misalnya buku register, surat-surat rumah tangga, letter
C tanah dsb.

2. Alat bukti saksi.

Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim di persidangan


tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan
pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dalam
persidangan.

Syarat-syarat saksi :

16
Syarat formil saksi :

1. Memberikan keterangan di depan Pengadilan.


2. Bukan orang yang dilarang untuk didengar sebagai saksi (pasal 145
HIR, pasal 172 RBg).
3. Bagi kelompok yang berhak mengundurkan diri (pasal 146 a ayat (4)
HIR, pasal 174 RBg), menyatakan kesediaan menjadi saksi.
4. Mengangkat sumpah menurut agama yang dianutnya.

Syarat materiil saksi :

1. Keterangan yang diberikan harus mengenai peristiwa yang dialami,


didengar dan dilihat sendiri oleh saksi. Keterangan saksi yang berdasarkan
pendengaran orang lain (testimonium de auditu) tidak mempunyai nilai
kekuatan pembuktian.
2. Keterangan yang diberikan saksi harus menyebutkan sebab-sebab ia
mengetahui (pasal 171 ayat (1) HIR, pasal 308 ayat (1) Rbg), jadi tidak
cukup hanya keterangan bahwa ia telah tahu. Pendapat atau persangkaan
saksi berdasarkan akal pikiran tidak bernilai sebagai alat bukti (pasal 171
ayat (2) HIR, pasal 308 ayat (2) Rbg).
3. Keterangan yang diberikan oleh saksi harus saling bersesuaian satu dengan
yang lain dan alat bukti yang sah (pasal 172 HIR, pasal 309 Rbg).
4. Keterangan seorang saksi tanpa dikuatkan alat bukti lain bukan bukan
kesaksian (unus testis nullus testis) (pasal 169 HIR, pasal 306 Rbg).

Yang tidak boleh menjadi saksi (pasal 145 HIR,pasal 172 RBg) :

1. Tidak mampu absolut :

1. Keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan lurus salah satu


pihak.
2. Suami isteri salah satu pihak meskipuin telah bercerai.

Tidak mampu relatif :

17
1. Anak belum berumur 15 tahun.
2. Orang gila meskipun kadang-kadang ingatannya terang.

Yang boleh mengundurkan sebagai saksi (pasal 146 HIR, pasal 174 RBg) :

1. Saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan dari


saalah satu pihak.
2. Keluarga sedarah menurut keturunan lurus dan saudara laki-laki dan
perempuan dari suami/isteri salah satu pihak.
3. Semua orang yang karena martabat, jabatan/hubungan kerja syang sah
diwajibkan menyimpan rahasia.

3. Bukti persangkaan.

Diatur pada pasal 173 HIR, pasal 310 RBg.

Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu peristiwa yang


telah dikenal atau dianggap terbukti ke arah suatu peristiwa yang tidak
dikenal atau belum terbukti.

Persangkaan sebagai alat bukti bersifat sementara, tak bisa berdiri sendiri,
tetapi diambil dari alat bukti lain.

Persangkaan ada 2 macam :

1. Persangkaan berdasarkan undang-undang.

Contoh : Perkawinan yang tidak memenuhi syarat, dianggap tidak sah


menurut undang-undang (pasal 2 ayat (1) Undang-undang No
1 tahun 1974).

2. Persangkaan yang berupa kesimpulan yang ditarik oleh Hakim dari


keadaan yang timbul di persidangan.

18
Contoh : Adanya 3 (tiga) surat tanda pembayaran (kuitansi) tiga bulan
terakhir berturut-turut, timbul persangkaan angsuran bulan-
bulan sebelumnya telah dibayar lunas.

4. Bukti pengakuan.

Diatur pasal 174, 175 dan 176 HIR, pasal 311, 312 dan 313 RBg.

1. Pengakuan ialah pernyataan seseorang tentang dirinya sendiri, bersifat


sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain.
2. Pengakuan dapat diberikan di muka Hakim di persidangan atau diluar
persidangan, dapat pula diberikan secara
3. Ada tiga macam pengakuan :

1. Pengakuan murni yaitu pengakuan yang bersifat sederhana dan sesuai


sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan.
2. Pengakuan dengan kualifikasi, pengakuan disertai penyangkalan
sebagian .

Contoh : Penggugat menyatakan telah menerima uang sebesar Rp.


5.000.000,- dari Tergugat, dan Tergugat mengaku telah
menerima uang dari Penggugat tetapi hanya Rp.
3.000.000,-.

3. Pengakuan dengan kalusula, yaitu pengakuan disertai keterangan


tambahan yang bersifat membebaskan.

Contoh : Isteri menyatakan suami tidak memberi nafkah selama 3


tahun, suami mengakui benar tidak memberi nafkah
karena isteri nusyuz.

5. Bukti sumpah.

Diatur pasal 155 – 158 dan 177 HIR, pasal 182- 185 dan 314 RBg.

19
1. Sumpah ialah pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan
pada waktu berjanji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha
Kuasa Tuhan dan percaya bahwa jika janji atau keterangan itu tidak
benar, yang memberikan keterangan akan dihukum oleh-Nya.

Ada dua macam sumpah dari sisi pelaksanaannya :

1. Sumpah promissoir, yaitu sumpah untuk melakukan atau tidak melakukan


sesuatu. Dilakukan sebelum memberikan kesaksian. Misalnya sumpah saksi
atau saksi ahli.
2. Sumpah assertoir atau confirmatoir, yaitu sumpah untuk meneguhkan bahwa
sesuatu hal/peristiwa itu benar demikian atau tidak. Dilakukan sesudah
memberikan kesaksian.

Sumpah sebagai alat bukti ( pasal 155 HIR, pasal 182 RBg) ada 3 macam :

1. Sumpah suppletoir (tambahan/pelengkap), yaitu sumpah yang atas perintah


Hakim setelah ada bukti permulaan. Misalnya hanya ada satu saksi (bukti
permulaan) karena belum mencukupi, ditambah dengan sumpah tersebut.
2. Sumpah aestimatoir (penaksiran) yaitu sumpah atas perintah Hakim hanya
kepada Penggugat saja, untuk menentukan jumlah uang ganti rugi atau
sejumlah uang tertentu dengan rincian yang dituntutnya.
3. Sumpah decissoir (pemutus), yaitu sumpah yang dilakukan atas permintaan
salah satu pihak kepada lawannya, jika tidak ada pembuktian apapun dan
dapat dilakukan setiap saat selama proses pemeriksaan di persidangan. Dengan
sumpah ini kebenaran peristiwa yang dimintakan sumpah menjadi pasti. Oleh
karena itu sumpah decissoir harus berkenaan dengan hal yang pokok dan
bersifat tuntas atau menentukan serta menyelesaikan sengketa. Menolak untuk
mengucapkan sumpah akan berakibat dikalahkan.

6. Saksi ahli.

Keterangan saksi ahli (expertise) diatur pada pasal 154 HIR, pasal 181 RBg,
pasal 215 Rv. Keterangan saksi ahli yaitu keterangan pihak ke tiga yang obyektif

20
bertujuan untuk membantu Hakim dalam pemeriksaan guna menambah pengetahuan
Hakim sendiri. Tujuannya agar Hakim memperoleh kebenaran dan keadilan pada
masalah yang bersangkutan.

Syarat-syarat saksi ahli :

1. Orang yang tidak boleh didengan sebagai saksi juga tidak boleh didengar
sebagai saksi ahli.
2. Saksi ahli harus memberikan keterangan secara jujur dan obyektif serta tidak
memihak.
3. Sebelum memberikan keterangan harus bersumpah bahwa ia akan
memberikan pendapat tentang soal-soal yang diperiksa menurut
pengetahuan/keahliannya dengan sebaik-baiknya.

7. Pemeriksaan Setempat.

Diatur pada pasal 153 HIR, pasal 180 RBg dan 211 Rv. Yaitu pemeriksaan
mengenai perkara oleh Hakim karena jabatannya, yang dilakukan di luar gedung
atau tempat kedudukan Pengadilan, agar Hakim dengan melihat sendiri,
memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi kepastian tentang
peristiwa yang menjadi sengketa.
5. Produk-produk Pengadilan Agama.

Setelah tahapan pembuktian dalam pemeriksaan perkara dilalui, para pihak


diberikan kesempatan untuk mengajukan kesimpulan jika ada. Majelis Hakim
kemudian bermusyawarah untuk merumuskan keputusan.

Dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada dua macam produk


keputusan Hakim/Pengadilan Agama yaitu Putusan dan Penetapan

1. Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim sebagai pejabat
negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan terbuka
untuk umum, bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan sengketa antar
para pihak, sebagi hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (contentious).

21
2. Penetapan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim sebagai pejabat
negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan terbuka
untuk umum, sebagi hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).

Nilai suatu putusan Hakim terletak pada pertimbangan hukumnya,


apakah pertimbangan itu baik atau tidak, dikaitkan dengan ketepatan analisis
kasus perkaranya dan kejadian atau peristiwanya berdasarkan fakta hukum.

Macam-macam Putusan Hakim :

Dari segi fungsinya dalam mengakhiri perkara, ada dua macam yaitu :

1. Putusan Akhir.

Putusan Akhir, yaitu putusan yang mengakhiri pemeriksaan di


persidangan, baik yang telah melalui semua tahap pemeriksaan
maupun yang belum/tidak menempuh semua tahap pemeriksaan.
Putusan Akhir yang dijatuhkan sebelum sampai tahap akhir
pemeriksaan adalah : Putusan gugur. Putusan Verstek yang tidak
diajukan verzet. Putusan tidak menerima. Putusan yang menyatakan
Pengadilan tidak berwenang memeriksa.

2. Putusan Sela.

Putusan Sela ialah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses


pemeriksaan perkara dengan tujuan untuk memperlancar jalannya
pemeriksaan. Putusan sela dilakukan dalam hal Pemeriksaan
berperkara cuma-Cuma, Pemeriksaan eksepsi tisak berwenang,
Sumpah supletoir, Sumpah decissoir, Sumpah penaksir, Pemeriksaan
gugatan provisionil dan Pemeriksaan gugatan insidentil (intervensi).
Ada beberapa jenis Putusan Sela :

22
a. Putusan Praeparatoir, putusan sela sebagai persiapan putusan akhir,
tidak berpengaruh terhadap pokok perkara dan putusan akhir.
Menurut HIR/RBg cukup dicatat dalam Berita Acara Persidangan.
b. Putusan Interlocutoir, yaitu putusan yang berisi memerintahkan
pembuktian seperti pemeriksaan saksi, pemeriksaan setempat.
c. Putusan Insidentil, sehubungan dengan adanya peristiwa misalnya
permohonan prodeo, eksepsi kewenangan, intervensi.

Dari segi hadir tidaknya para pihak, ada tiga macam yaitu :

1. Putusan gugur.

Yaitu putusan yang menyatakan gugatan gugur karena penggugat tidak


hadir setelah dipanggil dengan resmi dan patut. Dijatuhkan pada sidang
pertama atau sesudahnya sebelum pembacaan gugatan.

2. Putusan verstek.

Yaitu putusan yang dijatuhkan karena tergugat tidak hadir dan tidak
mewakilkan kepada orang lain, setelah dipanggil dengan resmi dan
patut. Dapat dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya setelah
pembacaan gugatan sebelum tahap jawaban tergugat.

3. Putusan contradictoir.

Yaitu yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak dihadiri


salah satu pihak atau para pihak. Dalam putusan contradictoir,
disyaratkan baik penggugat maupun tergugat pernah hadir dalam
sidang.

Dari segi isinya terhadap gugatan ada empat macam :

1. Tidak menerima gugatan.

23
Yaitu putusan yang menyatakan Hakim tidak menerima gugatan
penggugat atau gugatan penggugat tidak diterima, karena gugatannya
tidak memenuhi syarat hukum formil maupun materiil. Terhadap
putusan ini penggugat tidak dapat mengajukan banding, tetapi dapat
mengajukan perkara baru.

2. Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.

Yaitu putusan yang dijatuhkan setelah ditempuh semua tahap


pemeriksaan tetapi dalil-dalil gugatan tidak terbukti.

3. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak


menerima selebihnya.

Yaitu putusan di mana dalil gugatan ada yang terbukti dan ada yang
tidak terbukti, atau tidak memenuhi syarat syarat hukum formil
maupun materiil. Dalil gugatan yang terbukti tuntutannya dikabulkan.
Dalil gugatan yang tidak terbukti tuntutannya ditolak dan Dalil yang
tidak memenuhi syarat diputus dengan tidak diterima.

4. Mengabukan gugatan Penggugat seluruhnya.

Yaitu putusan yang dijatuhkan di mana syarat-syarat gugatan dipenuhi,


dan seluruh dalil gugatan yang mendukung petitum telah terbukti.

Dari segi sifatnya terhadap hukum yang ditimbulkan, ada tiga macam, yaitu

1. Declaratoir.

Yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu yang


resmi menurut hukum. Misalnya putusan yang menyatakan sah atau
tidaknya suatu perbuatan hukum atau status hukum, menyatakan boleh
tidaknya suatu perbuatan hukum dsb.

2. Constitutif.

24
Yaitu suatu putusan yang menciptakan atau menimbulkan keadaan
hukum baru, berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya. Misalnya
putusan perceraian, pembatalan perkawinan.

3. Condemnatoir.

Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu
kepada pihak lawan untuk memenuhi prestasi.

Apabila putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak


terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan, maka atas permohonan
penggugat, putusan dapat dilaksanakan dengan paksa oleh Pengadilan
yang memutusnya, kecuali dalam putusan serta merta (uitvoerbaar
bijvoorraad). Putusan condemnatoir dapat berupa penghukuman untuk
menyerahkan suatu barang. Membayar sejumlah uang. Melakukan
suatu perbuatan tertentu. Menghentikan suatu perbuatan/keadaan dan
Mengosongkan tanah/rumah.

Kekuatan putusan Hakim :

Putusan Hakim mempunyai tiga macam kekuatan yaitu :

1. Kekuatan mengikat. Yaitu Putusan Hakim itu mengikat para pihak


yang berperkara, para pihak harus tunduk dan menghormati putusan
itu. Kekuatan pembuktian. Dengan putusan Hakim itu telah diperoleh
kepastian tentang sesuatu yang terkandung dalam putusan, dan
menjadi bukti bagi kebenaran sesuatu yang termuat di dalamnya.
Putusan Hakim harus dianggap dan tidak boleh diajukan lagi perkara
baru mengenai hal yang sama antara pihak-pihak yang sama.
2. Kekuatan eksekutorial. Yaitu kekuatan untuk dilaksanakannya apa
yang telah ditetapkan dalam itu secara paksa oleh alat-alat negara.
Oleh karena itu setiap putusan Hakim harus memuat titel eksekutorial

25
yaitu kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
3. Kekuatan hukum tetap. Suatu putusan mempunyai kekuatan hukum
tetap apabila terhadap putusan tersebut, sampai dengan habisnya masa
upaya hukum yang ditetapkan menurut undang-undang, tidak
dimintakan upaya hukum.
PENUTUP

Demikian semoga uraian singkat mengenai dasar-dasar untuk beracara di


Pengadilan Agama dalam tulisan ini akan bermanfaat bagi kalangan Calon Advokat
yang sedang mengikuti pendidikan ini. Semoga Allah swt memberkahi kita semua.

Daftar pustaka.

1. Abdul Manan, Dr. H.SH., SIP., MHum., Penerapan Hukum Acara Perdata si
Lingkungan Peradilan Agama, yayasan Al Hikmah, Cetakan Pertama Jakarta,
2000.
2. Mukti Arto, Drs, HA.,SH., Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama,
Pustaka Pelajar, Cetakan Pertama, Yogyakarta, 1996.
3. Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 3 Tahun 2006, Mahkamah Agung RI., Jakarta, 2006.
4. Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama, Himpunan Peraturan
Perundang-undangan Dalam Lingkungan Peradilan Agama, Departemen Agama,
Jakarta, 2003.
5. Eman Suparman, Dr.,SH.,MH., Kitab Undang-undang Peradilan Umum,
Fokusmedia, Cetakan Pertama, Bandung, 2004.
6. Simorangkir, JCT., SH., Kamus Hukum, Aksara Baru, Jakarta, 1987.
7. Soebekti, Prof., R., SH., Hukum Acara Perdata, BPHN, Bina Cipta, Bandung,
1977.

26

Anda mungkin juga menyukai