Anda di halaman 1dari 31

BAB II

KONSEP NAFKAH DALAM FIKIH MAZHAB

A. Nafkah
1. Pengertian Nafkah
Kata nafkah yang berasal dari kata ‫االٔفاق‬1 dalam bahasa arab secara
etimologi mengandung arti : ً‫ل‬ٚ ‫ ٔمص‬yang berarti berkurang. Juga berarti
‫ ذ٘ب‬ٚ ‫ فٕي‬yang berarti hilang atau pergi. Apabila seseorang dikatakan
memberi nafkah membuat harta yang dimilikinya menjadi sedikit. Karena
harta yang dimilikinya telah digunakan untuk kepentingan orang lain. Dan
jika kata ini dihubungkan dengan perkawinan akan mengandung arti:
“sesuatu harta yang dikeluarkan untuk kepentingan istrinya sehingga
menyebabkan hartanya menjadi berkurang”. Dengan demikian, nafkah istri
berarti pemberian yang wajib dilakukan.2 Adapun nafkah menurut syara
adalah kecukupan yang diberikan seseorang dalam hal makanan, pakaian,
dan tempat tinggal.3
Berdasarkan dari beberapa pengertian tentang nafkah, pada
dasarnya memiliki maksud yang sama.
a. Menurut fuqoha definisi nafkah adalah sebagai biaya yang wajib
dikeluarkan oleh seseorang terhadap sesuatu yang berada dalam
tanggungannya meliputi biaya untuk kebutuhan pangan, sandang dan
papan termasuk kebutuhan sekunder seperti perabot rumah tanggga.
b. Menurut al-Sayyid Sabiq, nafkah berarti memenuhi kebutuhan makan,
tempat tinggal, pembantu rumah tangga, pengobatan istri, jika seorang
yang kaya.4

1
A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Cet 14 (Surabaya: Pustaka
Progressif, 1997), hal. 1449
2
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Cet.-5 (Jakarta: Kencana,
2009), hal. 165
3
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu , Jilid 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1984),
hal. 7348
4
Syuhada, Analisis Tentang Konsekuensi Yuridis Harta Bersama Terhadap Kewajiban
Suami Memberi Nafkah Dalam KHI, Vol. 1 No. 1 (Mei, 2013), hal. 52
Berdasarkan dari beberapa pengertian nafkah di atas, bisa diambil
kesimpulan bahwa pengertian nafkah adalah sesuatu harta yang wajib
dikeluarkan untuk orang lain atau yang menjadi tanggung jawabnya untuk
memenuhi kebutuhan makan, tempat tinggal dan lain sebagainya, sehingga
menjadi penyebab hartanya berkurang.
Kewajiban nafkah yang dibebankan kepada suami oleh istrinya yang
berlaku dalam fikih didasarkan kepada prinsip pemisahan harta antara
keduanya yakni suami dan istri. Prinsip ini melalui alur pikir bahwa suami
sebagai pencari rizki yang selanjutnya suami mempunyai hak penuh atas rizki
tersebut dan selanjutnya kedudukan suami sebagai pemberi nafkah. Lain
halnya dengan istri yang bukan pencari rizki dan untuk memenuhi
kebutuhannya ia berkedudukan sebagai penerima nafkah. Oleh karena itu,
kewajiban nafkah tidaklah relevan dalam komunitas yang mengikuti prinsip
penggabungan harta.
Pengertian nafkah yang sudah disepakati menurut ulama adalah
belanja untuk keperluan makan yang mencakup sembilan bahan pokok
pakaian dan perumahan atau dalama sehari disebut sandang, pangan, papan.5

2. Dasar Hukum Nafkah


Nafkah merupakan kewajiban suami terhadap istrinya dalam bentuk
materi, karena pada dasarnya kata nafkah itu sendiri bermakna materi.
Sedangkan kewajiban itu sendiri bermak nonmateri, seperti memuaskan hajat
seksual istri tidak termasuk dalam artian nafkah, walaupun hal tersebut
dilakukan suami kepada istrinya.6 Syariat kewajiban nafkah atas suami
terhadap istrinya. Nafkah hanya diwajibkan atas suami kepada istrinya, hal
tersebut dikarenakan merupakan sebuah tuntutan akad nikah dan karena
adanya keberlangsungan bersenang-senang sebagaimana halnya istri wajib

5
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal. 165-166
6
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal. 165
taat kepada suaminya, selalu menyertainya, mengatur rumah tangga, mendidik
anak-anaknya. Ia tertahan untuk melaksanakan haknya.7
a. Dalil Al-Qur‟an, yaitu firman Allah SWT :

            

             

             

            

           

       


Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun
penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. dan
kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan
cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. apabila keduanya ingin menyapih (sebelum
dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka
tidak ada dosa atas keduanya. dan jika kamu ingin anakmu disusukan
oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu
memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu
kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang
kamu kerjakan. (Q.S Al-Baqarah (2): 233).8

        

Artinya: janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah
mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan
keji yang terang (Q.S At-Thalaq (65): 1).9

7
Abdul Azziz Muhammad Azzam dan Abdul Wahab Sayyed Hawwas, Fiqh munakahat, hal.
212
8
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Bumi Restu, 1976).
9
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Bumi Restu, 1976).
           

            

           
Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri
yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada
mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka
menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka berikanlah kepada
mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala
sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya (Q.S At-
Thalaq (65): 6).10

b. Dalil sunnah, sabda Nabi SAW:


َ‫ ُ٘ َسي َْسة‬ُٛ‫اي َد َّدثَِٕي أَب‬ َ َ‫صاٌِخ ل‬ َ ُٛ‫َد َّدثََٕا ُع َّ ُس ب ُْٓ َد ْفص َد َّدثََٕا أَبِي َد َّدثََٕا ْاْلَ ْع َّشُ َد َّدثََٕا أَب‬
‫ ْاٌيَ ُد ْاٌع ٍُْيَا‬َٚ ‫ص َدلَ ِت َِا ت ََسنَ ِغًٕى‬
َّ ٌ‫ض ًُ ا‬َ ‫ َسٍَّ َُ أَ ْف‬َٚ ِٗ ‫ّللاُ َعٍَ ْي‬
َّ ‫صٍَّى‬ َ ‫اي إٌَّبِي‬ َ َ‫اي ل‬ َّ ‫ض َي‬
َ َ‫ّللاُ َع ُْٕٗ ل‬ ِ ‫َز‬
ْ ْ
‫ ُي‬ُٛ‫يَم‬َٚ ‫إِ َِّا أَ ْْ تُطٍَِّمَِٕي‬َٚ ‫ ُي ْاٌ َّسْ أَةُ إِ َِّا أَ ْْ تُط ِع َِّٕي‬ُٛ‫ ُي تَم‬ُٛ‫ا ْبدَأ بِ َّ ْٓ تَع‬َٚ ‫خَ يْس ِِ ْٓ ْاٌيَ ِد اٌس ْفٍَى‬
َ‫ا يَا أَبَا ُ٘ َس ْي َسةَ َس ِّعْت‬ٌُٛ‫ط ِع ِّْٕي إٌَِى َِ ْٓ تَ َد ُعِٕي فَمَا‬ ْ َ‫ ُي ِاالب ُْٓ أ‬ُٛ‫يَم‬َٚ ‫ا ْستَ ْع ِّ ٍِْٕي‬َٚ ‫ط ِع ِّْٕي‬ْ َ‫ْاٌ َع ْب ُد أ‬
َ‫يس أَبِي ُ٘ َسي َْسة‬ِ ‫اي َال َ٘ َرا ِِ ْٓ ِو‬ َ َ‫ َسٍَّ َُ ل‬َٚ ِٗ ‫ّللاُ َعٍَ ْي‬
َّ ‫صٍَّى‬
َ ِ‫ّللا‬ َّ ‫ي‬ُٛ
ِ ‫َ٘ َرا ِِ ْٓ َزس‬
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Umar bin Hafsh Telah
menceritakan kepada kami bapakku Telah menceritakan kepada
kami Al A'masy Telah menceritakan kepada kami Abu Shalih ia
berkata; Telah menceritakan kepadaku Abu Hurairah radliallahu
'anhu, ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Sedekah yang paling utama adalah sedekah yang meninggalkan
pelakunya dalam kecukupan. Tangan yang di atas adalah lebih baik
daripada tangan yang dibawah. Dan mulailah dari orang yang
menjadi tanggunganmu." Sebab, seorang isteri akan berkata,
"Terserah, kamu memberiku makan, atau kamu menceraikanku."
Dan seorang budak juga berkata, "Berilah aku makan dan silahkan
engkau menyuruhku bekerja." Kemudian seorang anak juga akan
berkata, "Berilah aku makan, kepada siapa lagi engkau
meninggalkanku?." Mereka bertanya, "Wahai Abu Hurairah,
apakah kamu mendengar hal ini dari Rasulullah shallallahu 'alaihi
10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Bumi Restu, 1976).
wasallam?" ia menjawab, "Tidak. Hal ini adalah dari Abu Hurairah"
(HR. Bukhari).11
c. Dalil ijma
Menurut Ibnu Qudamah, para ahli ilmu telah bersepakat tentang
kewajiban suami memberi nafkah atas istrinya, bila sudah baligh, kecuali
jika istrinya berbuat nusyuz. Sementara itu, menurut Ibnu Mundhir sendiri
mengatakan bahwa istri yang nusyuz boleh dipukul hal ini merupakan
sebagai bentuk pelajaran kepada istrinya sebagai. Wanita adalah orang
yang tertahan ditangan suaminya. Ia telah menahan untuk memberikan
belanja kepadanya.12

3. Sebab-sebab Kewajiban Nafkah


Sebab-sebab nafkah tersebut diberikan kepada orang yang berhak
menerimanya. Adapun sebab-sebab yang mewajibkan nafkah:
1. Sebab keturunan
Bapak atau ibu, berkewajiban memberi nafkah kepada anaknya
serta kepada cucunya yang tidak mempunyai ayah lagi.
2. Sebab pernikahan
Suami berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya yang taat,
baik makanan, pakaian, tempat tinggal, berkakas rumah tangga dan lain-
lain menurut keadaan dan tempat tinggal istrinya
3. Sebab kepemilikan
Seseorang yang memiliki budak maka wajib baginya memberikan
makan, tempat tinggal kepada budak tersebut. Dan dia wajib menjaganya
jangan sampai diberikan beban lebih dari semestinya.13

11
Imam Bukhari, Shahihul Buhkari, dalam Bab Kewajiban Memberi Nafkah Kepada
keluarga, Hadits No. 4936 (Aplikasi Kutubuttis‟ah).
12
Tarmizi M Jakfar dan Fakhrurrazi, Kewajiban Nafkah Menurut Ushul dan Furu Menurut
Mazhab Syafi’i, Vol. 1 No. 2 (Juli-Desember, 2017), hal. 357-358.
13
Tarmizi M Jakfar dan Fakhrurrazi, Kewajiban Nafkah Menurut Ushul dan Furu Menurut
Mazhab Syafi’i, hal. 357-358.
4. Syarat Berhak atas Nafkah
Ada beberapa syarat-syarat istri yang berhak untuk menerima nafkah.
Sebagai berikut:
a. Sahnya akad nikah
b. Penyerahan diri istri kepada suami dan memungkinkannya untuk
bersenang-senang.
c. Pindah sesuai dengan yang diinginkan suami, kecuali jika bepergian yang
menyakitkan atau tidak merasa aman atas dirinya dan hartanya.
d. Bisa diajak untuk bersenang, adapun jika istri masih kecil, dan belum bisa
diajak untuk berhubungan, menurut ulama Malikiyah dan Syafi‟iyah dalam
pendapat yang lebih shahih tidak ada kewajiban nafkah atas istrinya.
Karena tidak didapatkan kemungkinan yang sempurna yaitu kemungkinan
untuk adanya bersenang-senang dan tidak berhak iwadh (pengganti) yakni
nafkah. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jika suami menahan istri
yang masih kecil dan tinggal bersama untuk bersenang-senang maka
diwajibkan atas suami untuk memberi nafkah kepada istrinya. Suami yang
masih kecil bersama dengan istri dewasa wajib baginya memberi nafkah,
hal ini diakibatkan karena adanya kemungkinan-kemungkinan untuk
bersenang-senang dijumpai dari sisi istri dan dari sisi suami kurang dapat
terpenuhi.14

5. Ukuran Nafkah
Menurut pendapat jumhur ulama bahwa status sosial ekonomi tidak
termasuk dalam kafaah yang diperhitungkan, maka suami istri dalam keluarga
tidak ada kemestian dalam status sosial yang sama. Dalam keadaan begini

14
Abdul Aziz Muhammad Azzam, dan Abdul Wahab Sayyed Hawas, Fiqh Munakahat, hal.
214-115
menjadi perbincangan dikalangan ulama tentang status sosial ekonomi siapa
yang dijadikan standar ukuran dalam penetapan nafkah.15

      

Artinya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal


menurut kemampuanmu (Q.S At-Thalaq (65): 6).16

               

            
Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan. (Q.S At-Thalaq (65): 7).17
Kandungan makna yang ada dalam ayat tersebut yaitu menurut
kemampuanmu. Dengan apa yang dikenal manusia, bahwa ukuran besarnya
nafkah berdasarkan kadar kemampuan atau kondisi.18

6. Berlakunya Kewajiban Nafkah


Meskipun ulama telah menyepakati mengenai kewajiban suami dalam
hal memberi nafkah sebagaimana dalil-dalil dalam bab sebelumnya. Namun
dalam penetapan kapan mulai diberlakukannya kewajiban nafkah para ulama
berbeda pendapat. Beda pendapat itu berawal ketika perbedaan mereka dalam
hal apakah nafkah itu diwajibakan karena semata melihat kepada akad nikah
ataukah melihat kepada kehidupan suami istri yang memerlukan nafkah.

15
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal. 170
16
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Bumi Restu, 1976).
17
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Bumi Restu, 1976).
18
Abdul Aziz Muhammad Azzam, dan Abdul Wahab Sayyed Hawas, Fiqh Munakahat, hal.
215.
Jumhur ulama termasuk ulama Syi‟ah Imamiyah berpendapat bahwa
diberlakukannya nafkah sejak dimulainya kehidupan rumah tangga. yaitu
semenjak suami telah bergaul dengan istrinya. Dalam kata lain istri telah
memberi kemungkinan kepada suaminya untuk menggaulinya. Yang
merupakan dalam istilah fikih adalah tamkin. Dengan semata-mata terjadinya
akad nikah belum adanya kewajiban nafkah. Berdasarkan pendapat ini, ketika
setelah berlangsungnya akad nikah dan istri belum melakukan tamkin, karena
keadaannya ia belum berhak memberi nafkah.19
Adapun golongan Zhahiriyah, mereka berbeda pendapat dalam hal ini.
Bagi mereka bahwa kewajiban nafkah dimulai setelah adanya akad nikah,
bukan dari tamkin, Baik istri telah melangsungkan akad nikah itu memberi
kesempatan kepada suaminya untuk digauli atau tidak, sudah dewasa maupun
masih kecil, secara fisik mampu memenuhi kebutuhan suami atau tidak, sudah
janda atau masih perawan.20
Dasar pemikiran golongan Zhahiriyah yaitu dalam ayat-ayat al-Qur‟an
maupun hadits Nabi SAW yang mewajibkan suami untuk memberi nafkah
tidak adanya ketetapan waktu. Dengan begitu ketika seseorang telah menjadi
suami yaitu setelah berlangsunganya akad nikah maka wajib baginya untuk
memberi nafkah.21

7. Tujuan dan Hikmah Nafkah


Di antara syarat perkawinan adalah untuk mendapatkan ketenangan
dalam hidup rumah tangga, adanya cinta kasih sayang, serta pergaulan yang
baik dalam rumah tangga. yang demikian akan tercapai dengan baik ketika
ditunjang dengan tercukupinya kebutuhan hidup yang pokok bagi kehidupan
rumah tangga. kewajiban nafkah adalah agar terciptanya tujuan dari
pernikahan itu.

19
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal. 168
20
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal. 168
21
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal. 168
Terpenuhinya kebutuhan yang bersifat materi dan kebutuhan
nonmateri, maka apa yang diharapakan dengan perkawinan tersebut
diharapkan akan tercapai dengan izin Allah SWT bersamaan dengan itu pula
tuntutan Allah SWT untuk mendekatkan diri kepadaNya dapat dilaksanakan.22

B. Konsep Nafkah Menurut Fikih Mazhab


Mengenai kewajiban memberikan nafkah, para ulama mazhab sepakat
tentang wajibnya pemberian nafkah kepada istri, setelah adanya akad dalam
sebuah perkawinan,23 yang mana meliputi tiga hal: pangan, sandang, dan
papan.24 Namun, jika suami tidak mau memberikan nafkah yang menjadi
tanggungannya tanpa didasari alasan yang benar maka hal itu menjadi hutang
baginya. Kecuali jika istri mengikhlaskan hutang dan membebaskan suami.25
Adapun mengenai perbedaan ulama mazhab tekait konsep nafkah
menyangkut beberapa aspek, seperti: kadar pemberian nafkah, tempat tinggal,
nafkah bagi istri bekerja, nafkah pengobatan istri dan istri nusyuz, nafkah istri
iddah, ketentuan nafkah untuk kerabat.
1. Kadar pemberian nafkah
Para ulama mazhab sepakat bahwa nafkah untuk istri itu wajib, yang
meliputi tiga hal: pangan, sandang dan papan. Mereka juga sepakat besar
kecilnya nafkah tergantung pada keadaan kedua belah pihak, kalau suami istri
orang berada, maka nafkah yang wajib dikeluarkan adalah nafkah orang
berada, kalau mereka tidak mampu, maka nafkahnya disesuaikan dengan itu.
Mereka berbeda pendapat tentang apabila salah seorang diantara
suami-istri itu kaya, sedangkan yang satu miskin. Dalam keadaan seperti itu,

22
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, hal. 167-168
23
Abdur Rohman Al- Jaziri, Kitab Fiqh al-Madzahib al-Arba’ah, hal. 553
24
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 455
25
Lailiyah Buang Lara, Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’i: Telaah atas Konsep Kadar
Nafkah Istri, Vol. 6, No. 2 (Mei, 2017), hal. 267
apakah nafkah tersebut diukur berdasar kondisi suami saja, misalnya bila dia
kaya, maka nafkanya besar, sekalipun istrinya miskin, dan kecil manakala
ekonomi suami sulit, sekalipun istrinya kaya, ataukah diperhitungkan dengan
kondisi mereka berdua, yang demikian nafkah tersebut ditetapkan dengan
ukuran sedang (antara mampu dan tidak mampu) ?
Hanbali dan Maliki mengatakan: apabila kondisi suami-istri berbeda,
yang satu kaya dan yang lainnya miskin, maka besar nafkah yang ditentukan
adalah tengah-tengah antara dua hal itu.26 Menurut Imam Malik bahwa terkait
ukuran nafkah tidak ada batasan, dan hal itu dikembalikan lagi oleh keadaan
yang dialami oleh istri. Hal itu berbeda berdasarkan perbedaan tempat, waktu
dan kondisi.27
Syafi‟i mengatakan: nafkah diukur berdasar pada kaya dan miskinnya
suami, tanpa melihat keadaan istri. Yang demikian itu bila dikaitkan dengan
persoalan sandang dan pangan. Sedangkan dalam hal papan, disesuaikan apa
yang patut baginya menurut kebiasaan yang berlaku, dan tidak pada kondisi
suami.28 Sedangkan batas minimal nafkah yang harus diberikan adalah suami
kepada istri adalah apa yang berlaku bagi keduanya. Apabila yang berlaku
pada umunya wanita seperti itu memiliki pembantu, maka hendaklah suami
mengusahakan pembantu baginya. Sedangkan batas minimal nafkah yang
harus diberikan adalah sebanyak dimana badan seseorang tidak dapat tegak
bila diberikan kurang dari itu. Jumlah tersebut adalah satu mud setiap harinya,
dengan standar ketentuan mud Nabi SAW yang terdiri makanan pokok
dimana suami istri berada.29

26
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 455
27
Tarmizi M Jakfar dan Fakhrurrazi, Kewajiban Nafkah Menurut Ushul dan Furu Menurut
Mazhab Syafi’i, hal. 354
28
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 455
29
Imam Syafi‟i, Terjemah Kitab al-Umm, Penerjemah; Imron Rosadi, Amiruddin, Imam
Awaluddin, Cet. 10 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014), hal. 513.
Kalangan Hanafi terdapat dua pendapat. Pertama, diperhitungkan
dengan kondisi suami-istri, dan yang kedua berdasar pada kondisi suami
saja.30
Sementara itu, mayoritas ulama mazhab Imamiyah yang mana
mengeluarkan pendapat bahwa, nafkah itu diukur berdasar dengan kebutuhan
yang mencakup pangan, lauk-pauk, pakaian, tempat tinggal, pelayan, alat
rumah tangga, sesuai dengan tingkat kehidupan orang-orang seperti dia di
daerahnya, sedangkan ulama mazhab lain mengatakan bahwa yang dijadikan
ukuran adalah kondisi suami, dan bukan kondisi istri.31
Bagaimanapun, tak bisa tidak, kita mesti menjadikan kondisi suami
sebagai pertimbangan, sebagaimana yang dijelaskan Al-Qur‟an berikut ini:

               

            

Artinya: Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut


kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah
memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah
tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa
yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan
kelapangan sesudah kesempitan.(Q.S At-Thalaq (65): 7).32
Dari uraian di atas, jelas bahwa, penyediaan pembantu (pelayan),
perhiasan, upah jahit pakaian, dan lain-lain harus memperhatikan dua hal ini:
kondisi suami, dan kebiasaan yang berlaku bagi wanita setingkat istrinya.
Kalau istri menuntut lebih dari apa yang lain berlakukan pada wanita setingkat
dia, maka suami tidak harus memenuhinya, baik dia kaya maupun miskin.
sedangkan dia menuntut sesuatu yang berlaku bagi wanita setingkat dia, maka

30
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 455
31
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 456
32
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Bumi Restu, 1976).
suami manakala mampu wajib memenuhinya, sedangkan bila tidak, dia tidak
harus memenuhinya.33
Dalil sunnah, sabda Nabi SAW:
‫يْد لَاي َِ َسزْ َٔا‬َٛ ‫ز ْب ِٓ ُس‬ُٚ ِ ‫ ِويع َد َّدثََٕا ْاْلَ ْع َّشُ ع َْٓ ْاٌ َّ ْعس‬َٚ ‫ بَ ْى ِس ب ُْٓ أَبِي َش ْيبَتَ َد َّدثََٕا‬ُٛ‫َد َّدثََٕا أَب‬
ً‫َت ُدٍَّت‬ ْ ٔ‫ُ َّا َوا‬َٕٙ‫ْ َج َّعْتَ بَ ْي‬ٌَٛ ‫ َعٍَى ُغ ََل ِِ ِٗ ِِ ْثٍُُٗ فَمُ ٍَْٕا يَا أَبَا َذز‬َٚ ‫ َعٍَ ْي ِٗ بُسْ د‬َٚ ‫بِأَبِي َذز بِاٌ َّسبَ َر ِة‬
‫َت أُُِٗ أَ ْع َج ِّيَّتً فَ َعيَّسْ تُُٗ بِأ ُ ِِّ ِٗ فَ َش َىأِي‬ ْ ٔ‫ َوا‬َٚ َ‫أِي َو ََل‬َٛ ‫بَ ْيَٓ َزجًُ ِِ ْٓ إِ ْخ‬َٚ ‫اي إَُِّٔٗ َواَْ بَ ْيِٕي‬ َ َ‫فَم‬
‫اي يَا أَبَا َذز إَِّٔهَ ا ِْسُؤ‬ َ َ‫ َسٍ َّ َُ فَم‬َٚ ِٗ ‫ّللاُ َعٍَ ْي‬َّ ‫صٍَّى‬ َ ‫ي‬ ُ ِ‫ َسٍَّ َُ فٍََم‬َٚ ِٗ ‫ّللاُ َعٍَ ْي‬
َّ ِ‫يت إٌَّب‬ َّ ‫صٍَّى‬ َ ‫إٌَِى إٌَّبِ ِّي‬
َ ‫اي يَا أَبَا َذز إَِّٔهَ ا ِْسُؤ فِي‬
‫ه‬ َ َ‫أُ َُِّٗ ل‬َٚ ُٖ‫ا أَبَا‬ٛ‫اي َسب‬ َ ‫ّللاِ َِ ْٓ َسبَّ اٌسِّ َج‬ َّ ‫ي‬َُٛ ‫ت يَا َزس‬ ُ ٍْ ُ‫فِيهَ َجا ٍِِ٘يَّت ل‬
َُْٛ‫ُ٘ ُْ ِِ َّّا ت ٍَْبَس‬ُٛ‫أَ ٌْبِس‬َٚ ٍَُْٛ‫ُ٘ ُْ ِِ َّّا تَأْ ُو‬ُّٛ ‫ط ِع‬ ْ َ ‫ّللاُ تَذْ تَ أَ ْي ِدي ُى ُْ فَأ‬َّ ُْ ٍَُٙ‫أُ ُى ُْ َج َع‬َٛ ‫َجا ٍِِ٘يَّت ُ٘ ُْ إِ ْخ‬
ٚ ‫س َد َّدثََٕا ُشَ٘يْس ح‬ َ ُُٔٛ‫ َد َّدثََٕاٖ أَدْ َّ ُد ب ُْٓ ي‬ٚ ُْ ُُٕ٘ٛ‫ُ٘ ُْ فَأ َ ِعي‬ُّٛ ُ‫ُ ُْ فَإ ِ ْْ َوٍَّ ْفت‬ُٙ‫ُ٘ ُْ َِا يَ ْغٍِب‬ُٛ‫ َال تُ َىٍِّف‬َٚ
‫س‬ َ ُُٔٛ‫ك ب ُْٓ إِب َْسا ِ٘ي َُ أَ ْخبَ َسَٔا ِعي َسى ب ُْٓ ي‬ ُ ‫ْذ‬َ ‫ َد َّدثََٕا إِس‬ٚ ‫يَتَ ح‬ٚ‫ا‬ ِ ‫ ُِ َع‬ُٛ‫ ُو َسيْب َد َّدثََٕا أَب‬ُٛ‫َد َّدثََٕا أَب‬
‫ْ ٌِ ِٗ إَِّٔهَ ا ِْسُؤ‬َٛ‫يَتَ بَ ْع َد ل‬ٚ‫ا‬ ِ ‫أَبِي ُِ َع‬َٚ ‫ث ُشَ٘يْس‬ ِ ‫شَ ا َد فِي َد ِدي‬َٚ ‫اْل ْسَٕا ِد‬ ِ ْ ‫َ َرا‬ِٙ‫ش ب‬ ِ َّ ‫ُ ُْ ع َْٓ ْاْلَ ْع‬ٍٙ‫ُو‬
‫يَتَ َٔ َع ُْ َعٍَى‬ٚ‫ا‬ ِ ‫ايَ ِت أَبِي ُِ َع‬َٚ ‫فِي ِز‬َٚ ُْ ‫اي َسا َعتِي ِِ ْٓ ْاٌ ِىبَ ِس لَا َي َٔ َع‬ ِ ‫ت َعٍَى َد‬ ُ ٍْ ُ‫اي ل‬
َ َ‫فِيهَ َجا ٍِِ٘يَّت ل‬
‫ث ُشَ٘يْس‬ ِ ‫فِي َد ِدي‬َٚ ُٗ‫ث ِعي َسى فَإ ِ ْْ َوٍَّفَُٗ َِا يَ ْغٍِبُُٗ فَ ٍْيَبِ ْع‬ ِ ‫فِي َد ِدي‬َٚ ‫اي َسا َعتِهَ ِِ ْٓ ْاٌ ِىبَ ِس‬ ِ ‫َد‬
ْ ِّ َ ْ ْ ْ ْ َ
‫ َال يُ َىٍفُٗ َِا‬َٚ ِٗ ٌِ ْٛ‫َى ِعٕ َد ل‬َٙ‫ َال فٍيُ ِعُٕٗ أت‬َٚ ُٗ‫يَت فٍيَبِ ْع‬ٚ‫ا‬ ْ َ َ َ
ِ ‫ث أبِي ُِ َع‬ ِ ‫ْس فِي َد ِدي‬ َ ‫ٌي‬َٚ ِٗ ‫فَ ٍْيُ ِعُٕٗ َعٍ ْي‬
َ َ ْ
ُُٗ‫يَ ْغٍِب‬

Artinya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah
menceritakan kepada kami Waki' telah menceritakan kepada kami
Al A'masy dari Al Ma'rur bin Suwaid dia berkata, "Kami pernah
melewati Abu Dzar di Rabdzah, saat itu dia mengenakan kain
burdah, sebagaimana dia, budaknya juga mengenakan pakaian yang
sama. Kami lalu bertanya, "Wahai Abu Dzar, sekiranya kamu
menggabungkan dua kain burdah itu, tentu akan menjadi pakaian
yang lengkap." Kemudian dia berkata, "Dahulu aku pernah adu
mulut dengan saudaraku (seiman), ibunya adalah orang 'Ajam (non
Arab), lalu aku mengejek ibunya hingga ia pun mengadu kepada
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Ketika aku berjumpa dengan
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Wahai Abu
Dzar, sungguh dalam dirimu masih terdapat sifat jahiliyah."Maka
aku membantah,"Wahai Rasulullah, barangsiapa mencela laki-laki,
maka mereka (para lelaki itu) akan mencela bapak dan ibunya."
Beliau bersabda lagi: "Wahai Abu Dzar, sungguh dalam dirimu
masih terdapat sifat Jahiliyah, mereka semua adalah saudara-
saudaramu yang dijadikan Allah tunduk di bawah kekuasaanmu.
Oleh karena itu, berilah mereka makan sebagaimana yang kamu
makan, berilah mereka pakaian sebagaimana pakaian yang kamu
kenakan, dan janganlah kamu membebani mereka di luar

33
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 456-
457
kemampuannya. Jika kamu memberikan beban kepada mereka,
maka bantulah mereka." Dan telah menceritakan kepada kami
Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada kami Zuhair. (dalam
jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib
telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah. (dalam jalur lain
disebutkan) Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim
telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus semuanya dari Al
A'masy dengan sanad ini, namun dalam hadits Zuhair dan Abu
Mu'awiyah ada tambahan setelah perkataan 'Sesungguhnya dalam
dirimu masih terdapat sifat jahiliyah'. Abu Dzar berkata; lalu aku
menjawab, "Apakah karena keadaanku lebih terpandang?" beliau
menjawab: "Ya." Dan dalam riwayatnya Abu Mu'awiyah
disebutkan, "Ya, karena keadaanmu lebih terpandang." Dan dalam
hadit Isa disebutkan, "Jika kamu membebani sesuatu yang
memberatkan bagi dirinya, hendaknya kamu membantunya -tidak
menggunakan lafadz yu'inhu (menolongnya) -." Dan selesai pada
perkataannya, "Dan janganlah kamu membenai sesuatu yang
memberatkan bagi dirinya" (HR. Muslim).34

2. Nafkah Tempat tinggal


Imamiyah, Hanafi dan Hanbali mengatakan: tempat tinggal istri harus
merupakan tempat tinggal yang layak dengan kondisi suami-istri, yang harus
dikosongkan dari keluarga lain, anak (suami), dan kerabat-kerabat lainnya,
kecuali dengan seizin istri.
Maliki mengatakan: apabila istri dari kalangan bawah yang tidak
mampu, maka dia tidak berhak menolak untuk tinggal bersama-sama kerabat
kerabat suami , dan bila dia berasal dari kalangan orang kaya, maka dia
berhak menolak, kecuali bila hal itu dijadikan syarat yang diucapkan ketika
akad. Dalam hal yang disebut terkemudian ini, istri wajib tinggal di rumah
keluarga suaminya dengan syarat harus disediakan kamar khusus baginya
yang memungkinkan dia menyendiri kapan saja dia mau, serta dijamin bahwa
dia tidak akan diperlakukan buruk oleh keluarga suaminya.

34
Imam Muslim, shahihul Muslim, dalam Bab Memberi Makan Budak Sebagaimana yang Ia
Makan, Hadits No. 3139 (Aplikasi Kutubuttis‟ah)
Syafi‟i mengatakan: suami wajib menyediakan tempat tinggal yang
layak dan bukan berdasar pada kondisi suami, sekalipun suami orang yang
tidak mampu.
Sesungguhnya, bagaimanapun kondisi suami harus dijadikan
pertimbangan dalam hal-hal yang berkaitan dengan nafkah, tanpa ada
perbedaan antara pangan, sandang dan papan,35 berdasar pada firman Allah
yang berbunyi:

          
Artinya: “Dan tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu.” (Q.S At-Thalaq (65): 6).36 Dengan
syarat tempat tinggal itu harus tersendiri dan tidak terganggu dengan
tinggal disitu.37
3. Nafkah istri bekerja
Menurut ulama Hanafiyah, jika istri bekerja tanpa ridha suami maka
gugur atas nafkah. Begitu pun sebaliknya jika istri bekerja maka istri tetap
berhak atas nafkah.38 Pendapat ini sejalan dengan pendapat yang ditegaskan
oleh mazhab-mazhab lainnya yang menyatakan ketidak bolehan istri keluar
rumah tanpa izin suami. Bahkan Syafi‟i dan Hanbali lebih menegaskan lagi
dengan mengatakan bahwa, kalau istri keluar rumah atas izin suami tapi demi
kepentingan sendiri, maka gugurlah nafkah untuknya.39
Pandangan yang benar mengharuskan kita melakukan pemisahan
antara suami yang tahu, ketika akad dilaksanakan, bahwa istrinya itu seorang
wanita pekerja yang tidak mungkin tinggal di rumah, dari suami yang tidak
mengetahuinya. Apabila suami mengetahui hal itu, tetapi dia diam saja dan
tidak mensyaratkan agar istrinya meninggalkan pekerjaannya, maka dia tidak
35
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 455-
456
36
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: Bumi Restu, 1976).
37
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 458-
459
38
B. Syafuri, Nafkah Wanita Karir dalam Fikih Klasik, Vol. XIII No. 2 (Juli, 2013), hal. 4
39
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 459
berhak meminta istrinya untuk meninggalkan pekerjaannya. Tetapi kalau dia
meminta juga dan istrinya tidak memenuhi permintaan tersebut, maka
kewajiban memberi nafkah kepada istrinya tidak gugur. Sebab hal itu
dilandaskan atas asas tersebut tadi, dan bahwasanya banyak pria yang kawin
dengan wanita-wanita pekerja lantaran adanya ambisi-ambisi tertentu yang
ingin dia capai dengan memanfaatkan kemampuan istrinya, dan ketika mereka
gagal meraih ambisi tersebut, mereka lalu meminta kepada istrinya untuk
meninggalkan pekerjaannya dengan maksud merugikannya.
Akan tetapi bila suami tidak mengetahui hal itu ketika hal itu
dilaksakan, maka dia berhak meminta istrinya untuk meninggalkan
pekerjaannya, dan kalau istri tidak memenuhi permintaannya tersebut, maka
dia tidak berhak atas nafkah.40
4. Nafkah biaya pengobatan
Kalau kita kembali kepada nash-nash Al-Qur‟an dan hadits, maka kita
akan temukan Al-Qur‟an memberi jawaban dengan kewajiban memberi rezeki
dan pakaian kepada mereka (para istri). Kitabullah dan sunnah Rasul tidak
pernah menyinggung tentang pengobatan, dan para ulama mazhab pun hanya
membatasi nafkah dalam pangan, sandang dan papan, serta tidak memasukan
pengobatan di dalamnya. Bahkan sebagaian dari mereka ada yang secara tegas
menyatakan tidak adanya kewajiban bagi suami dalam hal pengobatan.
Mengutip pendapat Hanafi, Al-Fiqh ‘ala Al-Madzahib Al-Arba’ah
mengatakan bahwa, pengobatan dan buah-buahan bukanlah merupakan
kewajiban suami untuk menyediakannya pada saat terjadi sengketa antara
keduanya. Sementara itu dalam kita Al-Jawahir jilid V disebutkan bahwa, istri
tidak berhak atas biaya pengobatan dan berbekam dari suaminya, maupun
untuk mandi air panas kecuali ketika hari teramat dingin. Sayyid Abu Al-
Hasan dalam Al-Wasilahnya mengatakan bahwa, apabila obat dibutuhkan
untuk penyakit-penyakit yang diderita orang banyak, maka hal itu sudah
termasuk nafkah wajib. Akan tetapi bila hal itu sudah termasuk dalam kategori

40
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 460
pengobatan besar dan membutuhkan biaya besar, maka biayanya bukan
merupakan kewajiban suami dan tidak pula diambilkan dari nafkah.41
Itulah pendapat-pendapat yang dapat di simpulkan dari pandangan para
ulama mazhab. Kadang-kadang disebut pula biaya pengobatan biaya yang
ringan, semisal malaria dan sakit mata termasuk dalam nafkah seperti yang
dikatakan oleh penyusun kitab Al-Wasilah. Akan tetapi pengobatan sejenis
operasi yang membutuhkan biaya besar maka harus dipisahkan. Kalau suami
miskin, sedangkan istrinya kaya, maka biaya itu menjadi tanggung jawab
istrinya. Sebaliknya, bila suami kaya sedang istrinya miskin, maka hal itu
menjadi kewajibannya, sekalipun lantaran karena suami adalah orang yang
patut berbuat baik kepada istri karena istri merupakan pasangan hidupnya.
Sedangkan biala keduanya miskin maka biaya tersebut menjadi kewajiban
bersama.
Bagaimanapun, syara‟ tidak menentukan batasan nafkah, tapi hanya
mewajibkannya atas suami, lalu menyerahkan besar-kecilnya pada tradisi
yang berlaku. Kewajiban kita dalam hal ini, adalah mengembalikan
permasalahannnya kepada masyarakat tanpa mewajibkan apapun kepada
suami sebelum betul-betul mengetahui bahwa hal itu, dalam pandangan
mereka, termasuk bagian bagian dari nafkah. Sama sekali tidak diragukan
bahwa, masyarakat pasti mencela suami yang mampu manakala dia
membiarkan istrinya yang sangat membutuhkan pengobatan, persis cercaan
mereka terhadap seorang ayah yang membiarkan anaknya yang sakit, padahal
dia mampu membeli obat dan membayar ongkos dokter.42
5. Nafkah istri nusyuz
Nusyuz adalah maksiat yang dilakukan istri atas hal suaminya dalam
hal-hal yang mewajibkannya melakukan akad nikah.43 Para ulama mazhab

41
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 457
42
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 457-
458
43
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu , Jilid 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), hal.
7364
sepakat bahwa jika istri telah melakukan nusyuz maka dalam hal ini istri tidak
berhak atas nafkah, tetapi mereka berbeda pendapat tentang batasan nusyuz
yang mengakibatkan gugurnya nafkah.44
Hanafi berpendapat bahwa: manakala istri berdiam diri dalam rumah
suaminya, dan tidak keluar dari rumah tanpa izin suaminya, maka dia masih
disebut patuh, sekalipun dia tidak bersedia dicampuri tanpa dasar syara yang
benar. Penolakan yang seperti itu, sekalipun haram, tetap tidak mengugurkan
haknya atas nafkah. Bagi Hanafi, yang menjadi penyebab keharusan
memberikan hak atas nafkah kepada istrinya adalah beradanya wanita
dirumah suaminya. Persoalan ranjang dan hubungan seksual tidak ada
hubungannya dengan kewajiban nafkah. Dengan pendapatnya ini, Hanafi
berbeda pendapat dengan seluruh mazhab lainnya. Sebab seluruh mazhab
yang lain sepakat bahwa, manakala istri tidak memberi kesempatan kepada
suami untuk menggauli dirinya dan ber-khalwat, dengannya tanpa alasan yang
berdasar syara maupun rasio, akan dia dipandang nusyuz yang tidak berhak
atas nafkah. Bahkan Syafi‟i mengatakan bahwa, sekedar kesediaan digauli dan
ber-khalwat, sama sekali belum dipandang cukup kalau istri tidak
menawarkan dirinya kepada suaminya sera mengatakan dengan tegas, “aku
menyerakan diriku padamu”.45
Sebenarnya yang dijadikan landasan terkait patuh dan taatnya seorang
istri adalah ‘urf, dan tidak diragukan sedikit pun bahwa menurut ‘urf,
seseorang istri bisa disebut taat dan patuh manakala tidak menolak bila
suaminya meminta untuk diganti. Mereka tidak mensyaratkan bahwa istri
harus menawarkan dirinya siang dan malam.46 Tapi bagaimana pun disini
terdapat beberapa masalah yang berkaitan dengan persoalan nusyuz dan taat
ini.

44
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 433
45
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 434
46
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 434
1. Apabila istri masih kecil, tidak mampu dicampuri, sedangkan suaminya
dewasa dan mampu.
Hanafi mengatakan: kecil itu ada tiga macam seperti:
a. Kecil dalam arti tidak bisa dimanfaatkan, baik untuk melayani suami
maupun untuk bermesraan wanita seperti ini tidak berhak atas nafkah.
b. Kecil tapi bisa digauli (dicampuri). Wanita seperti hukumnya sama
dengan wanita yang sudah besar.
c. Kecil tapi bisa dimanfaatkan untuk melayani suami dan bisa diajak
bermesraan, tetapi tidak bisa dicampuri. Wanita seperti ini juga tidak
berhak atas nafkah.
Seluruh mazhab lainnya berpendapat bahwa, istri yang masih kecil
itu tidak berhak atas nafkah, sekalipun suaminya sudah dewasa.
2. Apabila istri sudah besar dan dewasa, sedangkan suaminya masih kecil dan
belum mampu mencampurinya, maka:
Hanafi, Syafi‟i, dan Hanbali berpendapat: istri wajib diberi nafkah,
sebab yang menjadi penghalang untuk tidak bisa dicampuri adalah pada
diri suami, dan bukan pada diri istri.
Maliki dan para ahli hukum imamiyah: istri tidak harus diberi
nafkah, sebab kesiapan bergaul pada puhak istri semata sama sekali tidak
berpengaruh, sepanjang ketidakmampuan melakukan persenggamaan itu
bersifat alami. Anak kecil belum dikenai kewajiban, sedangkan
membebankan kewajiban tersebut kepada walinya, sama sekali tidak ada
dalilnya.
3. Kalau istri sakit, mandul, atau mengalami kelainan pada alat seksualnya,
maka menurut Imamiyah, Hanbali, dan Hanafi, hak nafkahnya tidak gugur,
tetapi menurut Maliki kewajiban memberi nafkah itu menjadi gugur
manakala istri atau suami sakit berat.
4. Apabila istri yang semula muslimah lalu murtad, maka menurut
kesepakatan seluruh mazhab, kewajiban nafkah menjadi gugur, tapi nafkah
tetap wajib bagi istri ahli kitab persis tanpa seperti istri yang muslimah,
tanpa ada perbedaan sedikitpun.47
5. Apabila istri meninggalkan rumah tanpa izin suami, atau menolak tinggal
di rumah (suami) yang layak baginya, maka dianggap sebagai istri nusyuz,
dan menurut kesepakatan seluruh mazhab, dia tidak berhak atas nafkah.
Hanya saja Syafi‟i dan Hanafi menambahkan bahwa, apabila istri keluar
rumah demi kepentingan suami, maka hak atas nafkah tidak menjadi gugur.
Tetapi bila bukan untuk kepentingan suami, sekalipun dengan izinnya,
gugurlah hak atas nafkah.
Menurut mazhab Syafi‟i keluarnya istri dari rumah untuk
berkunjung ke rumah tetangga, sanak saudara, takziyah, ataupun menengok
orang sakit ketika suami sedang tidak ada di rumah maka secara adat hal
itu tidak dikategorikan nusyuz sehingga nafkahnya tidak gugur.
6. Apabila istri bepergian dalam rangka menunaikan ibadah haji wajib, maka
Syafi‟i dan Hanafi mengatakan bahwa, hak atas nafkah menjadi gugur,
sedangkan Imamiyah dan Hanbali menyatakan tidak gugur.
7. Kalau istri bersedia dan mau digauli, dan mau tinggal bersama suaminya
kapan saja suaminya menghendakinya, tetapi kasar dalam berbicara,
kurang ajar, dan seringkali melawan dalam banyak hal, seperti yang
dilakukan banyak wanita.
Terhadap pengandaian seperti ini, saya tidak melihat adanya
pendapat ulama mazhab. Sepanjang hemat saya, manakala perbuatan itu
memang merupakan watak yang telah menyatu dengan dirinya, dan
sikapnya terhadap orang lain juga sama sperti itu, termasuk kepada ayah
dan ibunya, maka wanita seperti tidak dianggap nusyuz. Tetapi bila hal itu
tidak merupakan watak aslinya, artinya dia bersikap baik kepada orang lain

47
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 434-
435
tapi tidak terhadap suami, maka dia dianggap nusyuz dan dan dia tidak
berhak atas nafkah.48
8. Apabila istri tidak mau menurut suaminya kecuali sesudah dia memperoleh
mahar kontannya, apakah dia dianggap nusyuz ?
Para ulama mazhab, seperti telah disebutkan dalam masalah mahar,
melakukan pemisahan antara ketidakbersediaan istri sebelum digauli
suami, dengan ketidakbersediaan sesudah digauli suami secara sukarela
sebelum menerima maharnya. Dalam hal yang pertama, ketidak sediannya
itu mempunya justifikasi syara, sehingga dia tidak dipandang sebagai istri
yang nusyuz, namun jika dalam hal yang kedua, ketidak sediaannya itu
tidak memiliki justifikasi syara sehingga dia dianggap istri yang nusyuz.
9. Saya membaca satu pendapat Hanbali yang menyatakan bahwa, apabila
seorang istri mengurung diri terhadap suami dengan maksud agar suami
memenuhi nafkah dan maharnya, maka bila memang suami tidak mampu
memenuhi kewajiban-kewajiban materinya, maka kewajiban memberi
nafkah menjadi gugur. Tetapi jika suami tersebut mampu dan dia sengaja
menunda-nunda, maka hak istri atas nafkah tidak terputus.
Ini jelas merupakan pendapat yang sangat kuat dan bagus. Sebab
manakala suami memang tidak mampu membayarnya, maka tindakan istri
merupakan kezaliman, sedangkan bila dia mengurung diri dari suaminya,
sedangkan suaminya itu sebenarnya mampu membayar tapi menunda-
nundanya, maka suaminyalah yang bertindak zalim kepada istrinya itu.
10. Apabila seorang istri diceraikan suaminya ketika dia dalam keadaan
nusyuz, maka istri tidak berhak atas nafkah. Kalau dia dalam keadaan iddah
dari talak raj’i lalu melakukan nusyuz ketika menjalani iddahnya, maka
haknya atas nafkah menjadi gugur. Kemudian bila dia kembali taat, maka
nafkahnya kembali terhitung dari waktu ketika diketahui dia taat.49

48
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 435
49
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 436-
437
11. Kalau istri sesudah pelaksanaan akad, tetapi tinggal dirumah ayahnya untuk
beberapa waktu, lalu dia menuntut hak atas nafkah untuk waktu ketika dia
masih berada di rumah ayahnya apakah tuntutan tersebut harus dipenuhi ?
Hanafi mengatakan: dia berhak atas nafkah untuk masa tersebut,
sekalipun dia tidak pindah ke rumah suaminya apabila suaminya tidak
memintanya pindah, atau suami meminta tapi dia menolak sampi dia
menerima maharnya.
Maliki dan Syafi‟i mengatakan: istri tersebut berhak atas nafkah
manakala suami telah mencampurinya, atau telah menawarkan dirinya
kepada suaminya.
Hanbali mengatakan: apabila istri tidak menawarkan dirinya kepada
suaminya, maka dia tidak berhak atas nafkah, sekalipun keadaan seperti itu
berjalan bertahun-tahun.
Imamiyah mengatakan: nafkah atas istri ditetapkan semenjak dia
dicampuri suaminya di rumah keluarga istrinya, dan sejak istri memintanya
pindah ke rumahnya manakala dia pernah memintanya.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa seluruh ulama mazhab sepakat
bahwa, apabila seorang istri menawarkan dirinya kepada suaminya dan
memperlihatkan kesiapan yang penuh untuk mengikuti suaminya, maka
ditetapkanlah haknya untuk memperoleh nafkah. Demikian pula halnya
bila dia sudah dicampuri. Hanya saja Hanafi tidak memandang cukup
dengan hanya dicampuri tanpa adanya kesediaan tinggal di rumah
(suaminya).Begitulah, pada uraian butir delapan terdahulu telah
diisyaratkan bahwa, istri berhak menolak tinggal di rumah suami selagi dia
belum menerima mahar yang semestinya dibayar kontan penolakan ini
memiliki justifikasi syara, sehingga dia berhak atas nafkah.50
12. Maliki, Syafi‟i, dan Hanbali berpendapat: suami yang tidak ada di tempat
(kediaman) sama hukumnya dengan bila dia berada di tempat dalam
kaitannya dengan hukum kewajiban memberi nafkah. Kalau suami yang

50
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 438
tidak berada di tempat itu mempunya harta yang riil, maka hakim harus
menetapkan pemberian nafkah bagi istrinya ketentuan pembayaran nafkah
itu dikenakan terhadap harta yang ditinggalkannya itu. Tetapi bila dia tidak
mempunyai harta yang riil, dia tetap diwajibkan memberi nafkah, dan itu
dihitung sebagai hutang. Ketentuan inilah yang dipakai di mesir.
Mazhab Hanafi mewajibkan pemberian nafkah bagi suami yang
tidak berada di tempat yang diambilkan dari hartanya, manakala dia
meninggalkan harta untuk istrinya. Tetapi bila tidak, hakim tetap
menentukan bahwa dia wajib memberikan nafkah, dan memerintahkan
kepada istrinya untuk mencari pinjaman terlebih dahulu. Kalau istri ragu
akan adanya orang yang bersedia memberikan pinjaman atas nama
suaminya itu, maka hakim memerintahkan kepada orang yang wajib
menafkahi wanita tersebut dengan pengandaian dia tidak bersuami untuk
menghutangi terlebih dahulu. Kalau orang yang semestinya wajib memberi
nafkah kepada wanita tersebut andai kata dia tidak bersuami menolak
memberikan pinjaman, maka hakim bisa memenjarakannya.51
Imamiyah mengatakan bahwa: kalau suami tidak berada ditempat
sesudah bergaul dengan istrinya, maka istrinya wajib memperoleh nafkah,
dengan catatan, keadaannya tidak berubah seperti ketika dia ditinggal
suaminya. Kalau suami itu pergi sebelum mencampurinya, lalu istri
melaporkannya kepada hakim seraya memperlihatkan ketaatan dan
kesediaannya untuk digauli, maka hakim harus mengirim seseorang untuk
memberitahukan hal itu kepada suaminya. Apabila suaminya pulang, atau
meminta agar istrinya menyusulnya, atau mengirimkan nafkah, maka
bereslah persoalannya. Tetapi kalau suami tidak melakukan sesuatu apa
pun, maka hakim harus memperhitungkan waktu yang dihabiskan untuk
memberi tahu suaminya itu berikut tibanya jawaban darinya atau masa
pengiriman nafkahnya, tanpa menentukan sesuatu pun untuk waktu yang
dihabiskan bagi keperluan tersebut. Kalau waktu yang dihabiskan untuk

51
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 438
keperluan itu diperkirakan dua bulan misalnya, maka ketentuan pemberian
nafkah ditetapkan sejak akhir masa dua bulan itu. Kalau istri memberi tahu
suaminya tanpa sepengetahuan hakim, lalu dia dapat membuktikan hal itu,
maka hal itu sudah cukup, dan istri berhak atas nafkah sejak waktu
tersebut.52
13. Kalau istri meminta kepada hakim agar mewajibkan suami memberikan
nafkah, tanpa menentukan waktu permulaan pemberian nafkah kepadanya
sejak permintaan itu diajukan dan sesudah terbukti terpenuhinya syarat
untuk itu. Kalau istri menentukan jangka waktu sejak sebelum permintaan
itu diajukan, maka pertanyaannya adalah: apakah hak atas nafkah itu
ditetapkan dengan berlaku syurut (syarat-syarat), yakni sebelum
permintaan itu diajukan ?
Hanafi mengatakan: suami tidak bisa dituntut untuk memberi
nafkah dengan berlaku syurut. Nafkah untuk masa yang telah lalu
dinyatakan gugur, kecuali bila kurang satu bulan, atau hakim telah
menjatuhkan keputusan untuk itu. Terhadap keputusan yang disebutkan
terkemudian, nafkah tersebut menjadi hutang atas suami, sekalipun
waktunya cukup lama.
Maliki mengatakan: apabila istri menuntut nafkah untuk waktu
yang telah lewat (berlaku surut), sedangkan suaminya mampu untuk
memenuhinya, maka istri berhak atas nafkah bagi masa yang telah lewat
itu, sekalipun hakim tidak menentukannya. Sedangkan bila suami dalam
kesulitan dan tidak mampu memenuhi tuntutan nafkah tersebut, maka dia
tidak berhak atas nafkah untuk waktu yang telah lewat itu. Sebab, bagi
pengikut mazhab ini, kesulitan suami menggugurkan kewajiban membayar
nafkah. Sedangkan bila kesulitan itu datang sesudah dia mampu membayar,
maka kewajiban memberi nafkah untuk masa-masa ketika dia berada dalam
kesulitan itu menjadi gugur, sedangkan untuk masa-masa ketika dia tidak
berada dalam kesulitan tetap menjadi tanggungannya. Imamiyah, Syafi‟i

52
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 439
dan Hanbali mengatakan: nafkah atas istri ditetapkan sebagai hutang yang
menjadi tanggungan suami, betapa pun lamanya waktu yang harus dibayar,
sepanjang persyaratan telah dipenuhi, baik suami dalam kesulitan maupun
tidak, ditetapkan oleh oleh hakim maupun tidak ditetapkan.53
6. Nafkah istri „iddah
Dengan syarat-syarat yang akan dikemukakan dan juga tentang wanita
yang ditalak raj’i, serta tentang tidak adanya nafkah atas wanita yang
menjalani „iddah karena ditinggal mati suaminya, baik dalam keadaan
mengandung atau tidak. Hanya saja Maliki dan Syafi‟i berpendapat bahwa,
wanita yang ditinggal mati suaminya berhak memperoleh nafkah berupa
tempat tinggal semata. Selanjutnya Syafi‟i mengatakan bahwa, apabila
seorang wanita di talak ba’in, sedang dia dalam keadaan hamil, kemudian
suaminya meninggal dunia (ketika istri masih dalam keadaan „iddah), maka
nafkah istri tidak terputus.
Hanafi mengatakan: Apabila wanita yang „iddah tersebut dalam
keadaan talak raj’i dan suami yang menceraikannya itu meninggal dunia
ketika dia menjalani „iddahnya, maka „iddahnya beralih ke „iddah wafat, dan
kewajiban atas nafkah menjadi terputus, kecuali wanita itu diminta untuk
menjadikan nafkahnya sebagai hutang (atas suami) yang betul-betul
dilaksanakannya. Dalam kondisi serupa ini, nafkahnya tidak gugur.54
Selanjutnya, para ulama mazhab telah menyepakati bahwa, wanita
yang menjalani „iddah karena percampuran syubhat, tidak berhak atas nafkah.
Namun mereka berbeda pendapat tentang nafkah wanita yang menjalani
„iddah karena talak ba‟in.
Hanafi mengatakan: bahwa wanita tersebut berhak atas nafkah,
walaupun dia telah dicerai tiga, baik dia hamil atau tidak, dengan syarat dia
tidak meninggalkan rumah yang disediakan oleh suami yang menceraikannya

53
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 440
54
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal.
guna menjalani „iddah. Hukum wanita ber-„iddah akibat fasakh-nya akad
menurut Hanafi, sama halnya dengan wanita yang di talak ba‟in.
Maliki mengatakan bahwa: jika wanita tersebut tidak hamil, dia hanya
berhak atas nafkah berupa tempat tinggal, sedangkan apabila dia sedang hamil
maka nafkahnya bukan hanya tempat tinggal saja, tetapi dengan segala
bentuknya. Haknya atas nafkah, tidak menjadi gugur dengan keluarnya dia
dari rumah „iddah. Sebab, hak atas nafkah yang diberikan suaminya
diperuntukan bagi bayi yang dikandungnya, dan bukan wanita yang
mengandungnya.
Adapun Syafi‟i, Imamiyah, dan Hanbali: wanita tersebut tidak berhak
atas nafkah bila dia tidak mengandung, tapi berhak dia berhak atas nafkah jika
memang dia hamil. Tetapi Syafi‟i mengatakan bahwa, kalau wanita tersebut
keluar dari rumah tanpa adanya kebutuhan (yang tak bisa ditinggalkan), maka
gugurlah hak atas nafkah.
Mazhab Imamiyah tidak mengkategorikan fasakh-nya akad yang sah
sama dengan talak ba’in. Mereka berpendapat bahwa, orang yang menjalani
„iddah akibat fasakhnya akad, baik dia hamil atau tidak, tidak berhak atas
nafkah.55
7. Ketentuan nafkah kerabat
Hanafi berpendapat: syarat utama bagi wajibnya nafkah terhadap kaum
kerabat oleh kerabat lain adalah, hendaknya hubungan kekerabatan antara
mereka itu merupakan hubungan yang menyebabkan keharaman nikah antar
mereka, andai kata salah seorang diantara mereka itu laki-laki dan yang
lainnya perempuan, niscaya mereka terlarang satu sama lain. Dengan
demikian, kewajiban nafkah menafkahi itu mencakup para ayah hingga ke
atas, para anak hingga ke bawah. Juga mencakup saudara laki-laki dan
perempuan, paman dan bibi dari pihak ayah, serta paman dan bibi dari pihak
ibu, sebab mereka semua terlarang kawin satu sama lain.

55
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 433
Urutannya, yang dekat didahulukan dari yang lebih jauh tanpa
mempertimbangkan urutan mereka dalam hak waris. Kalau seseorang
mendapatkan seseorang yang berada pada salah satu diantara dua jalur ayah-
anak, maka dia wajib memberikan nafkah, sekalipun orang tersebut tidak
berhak menerima waris, dan orang yang berada diluar jalur itu tidak wajib
memberi nafkah, sekalipun dia berhak atas waris. Seandainya seseorang
mempunyai cucu laki-laki dari anak perempuannya dan saudara laki-laki,
maka yang wajib memberi nafkah adalah cucunya itu, bukan saudaranya,
padahal saudaranyalah yang berhak atas warisnya secara penuh sementara
sang cucu tidak berhak apa-apa.56
Demikian pula halnya, kerabat yang dekat yang berada dalam satu
tingkat harus didahulukan dari kerabat yang lebih jauh, sekalipun yang lebih
dekat itu bukan orang yang berhak atas waris, dan yang lebih jauh berhak atas
itu. Seandainya seorang anak mempunyai ayah-kakek dari pihak kake dan
seorang kakek dari puhak ibu, maka yang menanggung nafkah adalah kakek
dari pihak ibu tersebut, bukannya ayah-kakek dari pihak ayah, padahal dia
yang berhak atas waris, sedangkan kakek dari pihak ibu tidak berhak sama
sekali. Hal itu disebabkan karena kakek dari pihak ibu lebih dekat dengan
ayahnya ketimbang ayahnya kakek dari pihak ayah, sekalipun yang pertama
tidak berhak atas waris, sedangkan yang kedua berhak. Selanjutnya Hanafi
mengatakan bahwa, seorang anak yang kaya harus memberi nafkah kepada
istri ayahnya (ibu tirinya) yang miskin, dan dia harus istri.
Maliki mengatakan bahwa: nafkah hanya wajib bagi dua orang tua dan
anak-anak yang merupakan keturunan langsung, dan tidak mencakup orang
lain yang berada pada jalur pokok maupun cabang. Dengan demikian,
seseorang tidak wajib memberi nafkah kepada kakek dan neneknya, baik dari
jalur ayah maupun ibu, sebagaiman halnya dengan seorang kakek yang tidak
wajib memberi nafkah kepada cucunya, baik dari jalur anak laki-laki maupun

56
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 464-
465
anak perempuan. Singkatnya, kewajiban memberi nafkah hanya terbatas
kepada ayah dan anak saja, dan tidak mencakup kakek dan cucu.
Maliki juga mengatakan bahwa: seorang anak yang kaya wajib
memberi nafkah kepada khadam (pelayan) ayah-ibunya yang miskin sekalipun
mereka berdua tidak membutuhkan pelayan, tetapi seorang tidak wajib
memberi nafkah (membayar) pelayan anaknya. Disamping itu, anak juga
wajib memberi nafkah istri ayahnya, dan juga pelayan istri ayahnya itu, serta
mengawinkan ayahnya dengan seorang wanita atau lebih, manakala ayahnya
tidak cukup dengan seorang istri saja.57
Hanbali mengatakan: para ayah dan seterusnya keatas wajib memberi
dan berhak atas nafkah. Demikian dengan para anak dan terus ke bawah, baik
mereka berhak atas waris maupun tidak. Terhadap orang-orang yang berada
dijalur lain, juga dikenakan kewajiban yang sama, dengan syarat orang yang
memberi nafkah itu berhak mewarisi orang yang diberi nafkah, baik tapa
bagian tetap maupun maupun ashabah (sisa harta yang telah dibagi). Akan
tetapi bila kerabat-kerabat tersebut bukan orang-orang yang terletak di jalur
nasab, serta terhalang oleh orang yang berhak menerima waris (mahjub).
Maka mereka tidak wajib memberi nafkah. Seandainya seseorang mempunya
seorang anak yang miskin dan saudara laki-laki yang kaya, maka kedua orang
tersebut tidak berkewajiban memberi nafkah kepadanya. Sebab, miskinya
anak menafikan kewajiban memberi nafkah, sedangkan saudara laki-lakinya
itu, sekalipun kaya dia mahjub (tidak berhak atas waris) karena adanya anak
tersebut.
Seterusnya mereka mengatakan: Anak wajib mengawinkan ayahnya
dan memberi nafkah istri anaknya itu, sebagaiman halnya seorang ayah yang
berkewajiban mengawinkan anaknya manakala anak membutuhkan seorang
istri.
Sedangkan Imamiyah dan Syafi‟i mengatakan bahwa: para anak wajib
memberi nafkah kepada orang tua mereka dan seterusnya keatas baik itu laki-

57
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 465
laki maupun perempuan, seperti halnya dengan para orang tua yang
berkewajiban membri nafkah kepada anak-anaknya, baik mereka ini laki-laki
maupun perempuan. Kewajiban memberi nafkah tidak mencakup orang yang
berada di luar jalur nasab, semisal saudara laki-laki dan para paman, baik dari
jalur ibu maupun bapak.
Walau demikian demikian, Syafi‟i berpendapat bahwa, orang tua wajib
mengawinkan anaknya bila orang tuanya kaya, sedangkan anaknya miskin dan
perlu kawin, dan anak pun wajib mengawinkan ayahnya yang miskin
manakala ayah perlu kawin. Orang-orang yang wajib diberi nafkah, mencakup
juga kewajiban memberi nafkah kepada istrinya.58
Mayoritas ulama mazhab imamiyah mengatakan: tidak ada kewajiban
mengawinkan orang yang wajib diberi nafkah, baik dia itu ayah maupun anak
sebagaimana halnya pada seorang anak yang tidak wajib memberi nafkah
kepada istri ayahnya manakala istri ayahnya bukan ibu kandungnya sendiri,
dan tidak wajib pula seorang ayah memberi nafkah untuk istri ayahnya. Sebab
dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban memberi nafkah tidak mencakup
kewajiban memberi kepada istri ayah dan istri anak. Hukum dasarnya adalah
tidak adanya keharusan memberi nafkah kepada mereka itu.
1. Syarat-syarat kewajiban memberi nafkah kepada kerabat
Kekerabatan yang mewajibkan seseorang memberi nafkah,
memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
 Orang yang wajib diberi nafkah itu membutuhkna nafkah tersebut.
Dengan demikian, tidak wajib membri nafkah kepada orang yang tidak
membutuhkannya. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang orang yang
membutuhkan nafkah, dan mereka bisa bekerja dan tidak mau bekerja.
Para ulama mazhab sepakat bahwa nafkah untuk kerabat dan istri
itu wajib hanya sekedar memenuhi kecukupan roti, lauk, pakaian dan
tempat tinggal sesuai dengan keadaan orang yang memberi nafkah dan
sesuai kebiasaan yang berlaku di negara tempat tinggalnya.
58
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 466
Hanafi dan Syafi‟i berpendapat: ketidakmampuan bekerja tidak
merupakan syarat bagi kewajiban memberi nafkah kepada para ayah dan
para kakek. Para anak tetap wajib memberi nafkah kepada mereka,
sekalipun mereka sanggup bekerja tetapi tidak mau bekerja. Sedangkan
orang-orang selain ayah dan kakek yang sanggup bekerja, tidak ada
kewajiban memberi nafkah kepada mereka. Orang-orang yang tidak
mau bekerja dan bermalas-malasan berarti telah melakukan kejahatan
terhadap dirinya sendiri. Tetapi dalam nisbatnya kepada anak
perempuan, Syafi‟i mengatakan: ayah wajib memberi nafkah kepadanya
sampai dia bersuami.59
Imamiyah, Maliki dan Hanbali mengatakan: Barangsiapa yang
mampu bekerja pada pekerjaan-pekerjaan yang cocok dengan
kedudukannya, tetapitidak mau bekerja, tidak wajib diberi nafkah,
apakah mereka itu ibu, ayah ataupun anak. Adapun tentang anak wanita,
Maliki sependapat dengan Syafi‟i. Rahasianya, terletak pada bahwa,
mazhab-mazhab ini menganggap kaum wanita pada masa itu tidak
sanggup bekerja.
 Menurut kesepakatan seluruh mazhab, kecuali Hanafi, disyaratkan
bahwa orang yang memberi nafkah itu haruslah orang yang
berkecukupan. Tetapi Hanafi mengatakan bahwa, persyaratan bahwa
orang yang memberikan nafkah itu harus kaya hanya berlaku bila yang
diberi nafkah itu adalah kaum kerabat yang tidak terletak pada jalur
pokok atau cabang. Maka kewajiban atas orang tua untuk memberi
nafkah kepada anaknya, atau anak terhadap salah seorang diantara
kedua orang tuanya, tidaklah harus disyaratkan kaya. Persyaratannya
hanyalah mampu atau bisa bekerja. Seorang ayah yang mampu bekerja,
diwajibkan memberi nafkah anaknya. Demikian pula halnya bila
dinisbatkan pada anak terhadap ayahnya, kecuali bila ayah dan anak

59
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 467
tersebut sama-sama miskin tidak mampu bekerja, misalnya orang buta
dan sebagainya.
Para ulama mazhab mereka berbeda pendapat tentang persoalan
batasan kaya yang menyebabkan seseorang wajib memberikan nafkah
kepada kaum kerabatnya.
Syafi‟i mengatakan bahwa batasannya adalah: memiliki:
kelebihan dari kebutuhan dirinya, istri dan anak-anaknya untuk satu hari
satu malam. Sementara itu Maliki menambahkan: juga termasuk
kebutuhan pelayan dan kendaraan. Sedangkan Imamiyah dan Hanbali
berpendapat: bila ia memiliki kelebihan dari kebutuhan diri dan istrinya
saja. Dengan demikian, nafkah terhadap orang tua dan anak berada
dalam satu tingkatan.60
Sementara itu para ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat
tentang batasan kaya ini. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa,
orang tersebut memilik kekayaan satu nisab zakat. Sedangkan yang lain
mengatakan bahwa, dia memiliki kekayaan yang menyababkan dia
dilarang menerima zakat. Sedangkan kelompok yang ketiga
membedakan kelompok antara petani dan pekerja (pegawai). Yang
disebut pertama harus memilki kekayaan lebih dari kebutuhan diri dan
keluarganya selama satu bulan, sedang yang disebut terkemudian harus
memilki kelebihan dari kebutuhan diri dan keluarganya selama satu hari
satu malam.
 Disyaratkan harus seagama. Kalau salah seorang di antara muslim dan
yang lainnya non-muslim, maka menurut Hanbali, tidak ada kewajiban
memberikan nafkah. (Lihat Mughni, jilid VII).
Maliki, Syafi‟i dan Imamiyah mengatakan: tidak disyaratkan
harus seagama. Seorang muslim wajib memberi nafkah kepada kerabat

60
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 467-
468
yang bukan muslim, sebagaimana halnya dengan nafkah untuk istri yang
beragama untuk ahli kitab, sedangkan suaminya seorang muslim.
Hanafi, selanjutnya mengatakan: dalam kaitannya ayah dengan
anak, tidak disyaratkan harus seagama, sedangkan bila bukan ayah dan
anak diharuskan seagama. Dengan demikian, seseorang tidak wajib
memberi nafkah kepada saudaranya yang bukan muslim, begitupun
sebaliknya.61

61
Muhammad Jawad Mughniyah, Terjemah Al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Khamsah, hal. 468

Anda mungkin juga menyukai