Anda di halaman 1dari 13

PERBANDINGAN PENGALIHAN

HARTA HIBAH MENJADI HARTA WARISAN PERSPEKTIF


ANTOLOGI HUKUM ISLAM DAN KITAB UNDANG-UNDANG
HUKUM PERDATA

Di Susun Oleh
Durratul Baida’i (20256123024)

PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH


JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI BISNIS ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI MAJENE TAHUN 2024
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia secara alamiah tanggap terhadap kebutuhan fisik dan mentalnya,
sehingga mendorongnya untuk selalu berusaha memenuhi segala kebutuhannya.
Pemenuhan kebutuhan eksternal sama dengan pemenuhan kebutuhan dasar seperti
sandang, pangan, dan papan. Kebutuhan tersebut terus bertambah dan dapat dipenuhi
dengan mengumpulkan kekayaan yang lebih banyak, karena kekayaan memegang
peranan yang sangat penting dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual
manusia.
Islam dengan baik mengatur penggunaan harta berupa jual beli, pinjam
meminjam, warisan, hibah, wasiat, dan sebagainya. Properti menempati tempat
terhormat jika digunakan sesuai dengan hukum Islam. Sumbangan dapat diartikan
sebagai pemberian berupa barang tanpa mengharapkan imbalan apa pun. 1
Pasal 171 Himpunan Hukum Islam huruf g berarti bahwa hibah adalah
pemberian sukarela tanpa imbalan, dan dalam Pasal 211 Himpunan Hukum Islam
disebutkan bahwa: “hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya dapat dianggap
warisan".
Pasal 1666 KUH Perdata BW menyebutkan bahwa hibah adalah “pemindahan
dengan cuma-cuma suatu benda, yang sulit didapat dan bernilai sepanjang benda itu
masih hidup”.2
Dalam Kompilasi Hukum Islam diatur tentang pengalihan harta hibah menjadi
harta warisan, sedangkan dalam BW tidak ada ketentuan yang secara jelas mengatur
tentang perubahan harta hibahan menjadi harta warisan, namun ada istilah istilah yang
disebut pendapatan (inbreng). . Masalah warisan harus diatur dengan baik, jika tidak
maka akan timbul banyak masalah warisan. Terjadilah perseteruan bahkan saling
bunuh antar ahli waris. Penulis akan menjelaskan perbandingan peralihan harta hibah
dengan harta warisan ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam dan KUHPerdata.

1
Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata BW, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2000, Cet. 1, hal. 52.
2 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 2008, Cet.

38., hal. 436.


BAB II
PEMBAHASAN
A. Hibah Menurut Kompilasi Hukum Islam
1. Pengertian Hibah
Arti pemberian dapat dilihat dari dua segi, yaitu secara etimologi dan istilah yang
berasal dari bahasa Arab, yaitu wahiba yang berarti “memberi kepada orang lain tanpa
imbalan”,3 bagi yang menerima tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Secara terminologi,
hibah adalah kepemilikan suatu benda melalui transaksi (aqad) tanpa mengharapkan imbalan
yang diketahui selama hidup si pemberi. 4
Abdul Aziz Dahlan mengartikan hadiah sebagai sumbangan sukarela untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Jumhur Ulama
mengartikan hadiah sebagai persetujuan sukarela untuk mengalihkan hak milik tanpa imbalan
yang sering terjadi sepanjang hidup seseorang. Ulama Hambali yang dikutip oleh Ahmad
Dahlan menyatakan bahwa hibah adalah pengalihan harta yang memberi hak untuk
menggugat, yang pokok di dalamnya dan dapat diserahterimakan.
Dapat disimpulkan bahwa pengertian subsidi pada dasarnya sama meskipun
rumusannya berbeda. Hibah adalah suatu kontrak yang memberikan akibat hukum terhadap
pengalihan hak milik tanpa imbalan, yang dilakukan secara sukarela selama hidup seseorang.
Memberi tanpa mengharapkan imbalan apa pun dijelaskan oleh Allah dalam surat al-
Mudassir ayat 6:
‫َو ََل تَ ۡم نُن ت َ ۡس َت ۡك ِ نث‬
Artinya: “Dan janganlah kamu memberi (dengan niat) untuk menerima lebih (sebagai
balasannya).”5
Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf g menyebutkan bahwa sumbangan adalah
pemberian sukarela seumur hidup yang berbentuk suatu benda.
2. Dasar Hukum Hibah

3 Fuad Ifram al-Butami, Munjib al-Tullab, Beriut, Dar-al Masyriq, tt, hal. 920.
4 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta,Raja Grafindo Persada, 1997, hal. 466.
5
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Bandung, Jumanatul „Ali, 2005, hal. 50.
Tidak ada dasar hukum yang jelas mengenai pemberian hadiah, namun pedoman atau
saran umum dapat digunakan untuk membuat seseorang membagi sebagian hartanya kepada
orang lain.
Dasar perizinan menurut hukum Islam adalah firman Allah SWT yang menganjurkan
umat Islam untuk berbuat baik kepada sesama dan saling mencintai. Islam menganjurkan
agar orang suka memberi karena memberi lebih baik daripada menerima. Namun
pemberiannya harus ikhlas dan hanya mencari keridhaan Allah dan mempererat tali
persaudaraan, Firman Allah dalam Surat Al-Qur'an ayat 2 Al-Maidah.
ِ ‫َو ََل تَ َع َاوننو ْا عَ ََل ٱ َۡل ۡ ِۡث َوٱ ۡل نعدۡ َ َٰو ِِۚن َوٱت َّ نقو ْا ٱ َّ َ َّۖلل ا َّن ٱ َّ َّلل شَ ِديدن ٱ ۡل ِع َق‬
‫اب‬
ِ ِ
Artinya: “dan tolongmenolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksaNya”. 6
Dalam surat lainnya disebutkan juga untuk senantiasa berbuat baik dengan cara saling
membantu, yang dicapai melalui tindakan memberikan harta kepada orang yang benar-benar
membutuhkan,7
dijelaskan dalam surat al-Baqoroh ayat Al-Qur'an. 177
‫ۡش ِق َوٱلۡ َم ۡغ ِر ِب َولَ َٰ ِك َّن ٱلۡ ِ َِّب َم ۡن َءا َم َن بِٱ َّ ِّلل َوٱلۡ َي ۡو ِم ٱ ۡ أل ٓ ِخ ِر َوٱلۡ َملَ َٰ ٓئِكَ ِة َوٱلۡ ِكتَ َٰ ِب َوٱلنَّب ِِۧي َن‬
ِ ۡ ‫ََي َۡس ٱلۡ ِ َِّب ٱَن ت َنولُّو ْا نو نجوه ن َُۡك ِق َب َل ٱلۡ َم‬
‫اب َوٱَقَا َم ٱ َّلصلَ ٰو َة َو َء َاَت ٱ َّلزكَ ٰو َة‬ ِ َ‫َو َء َاَت ٱلۡ َما َل عَ َ َٰل نح ِب ِهۦ َذ ِوي ٱلۡ نق ۡر َ َٰب َوٱ ۡل َيتَ َٰ َم ٰى َوٱ ۡل َم َس َٰ ِك َني َوٱبۡ َن ٱ َّلسبِيلِ َوٱ َّلسآئِ ِل َني َو ِِف ٱ ِلرق‬
َ‫ٱلۡ نم َّت نقون‬ ‫لَّضآ ِء َو ِح َني ٱلۡ َبٱأۡ ِ ِۗس ٱُ ْولَ َٰ ٓئِ َك ٱ َّ َِّل َين َصدَ قنو ْا َۖ َوٱُ ْولَ َٰ ٓئِ َك ن نِه‬
َّ َّ ‫ون ِب َعهۡ ِد ِ ِۡه ا َذا َع َٰ هَدن و ْا َۖ َوٱ َّلص َٰ ِ ِِب َين ِِف ٱلۡ َبٱأۡ َسآ ِء َوٱ‬
َ ‫َوٱلۡ نموفن‬
ِ
Artinya “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan
tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-
malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orangorang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-
orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan
orangorang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka Itulah
orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.8

6 Departemen Agama RI, AlQur’an dan Terjemahnya, Op.Cit., hal. 44.


7 Hendi Suhnedi, Fikih Muamalah,, Jakarta, Rajawali Pers, 2011, hal. 212.
8 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op. Cit, hal. 27
Hibah merupakan salah satu bentuk gotong royong dalam rangka kebahagiaan antar umat
manusia dan mempunyai nilai positif. Para ahli fiqih sepakat bahwa hukum memberi adalah
sunnah berdasarkan firman Allah swt dalam surat an-Nisa ayat 4 yaitu.

ۡ َ ‫َو َءاتنو ْا ٱلنِ َسآ َء َصدن قَ َٰ ِتِ ِ َّن ِ ِۡن َ ةلِۚ فَان ِط ۡ َۡب لَ ن ُۡك عَن‬
ٓ ‫َشءٖ ِمنۡ نه ن َ ۡف ةسا فَ ن نُكو نه َهنِيأة ٓا َّم ِريأة‬
‫ا‬
ِ
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian dengan penuh kerelaan, kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya9
Al-Qur'an tidak secara langsung menyebutkan hadiah. Namun dari ayat di atas dapat
dipahami bahwa Allah dan Rasul-Nya menganjurkan umat Islam untuk gemar menolong
sesama, melakukan amal Infaq, bersedekah dan lain-lain, termasuk subsidi.
Barang-barang yang dilarang untuk dijual tidak dapat dihibahkan, seperti barang haram,
barang najis, dan barang yang tidak diketahui asal usulnya. Menurut hukum Islam,
sumbangan dapat dilakukan secara tertulis atau tidak, sedangkan sumbangan harta benda
dapat dilakukan secara lisan, namun sebaiknya jika terdapat cukup bukti yang menunjukkan
bahwa telah terjadi sumbangan. sumbangan dinyatakan secara tertulis. menulis.
Menurut Eman Suparman10, pemberian yang dibuat secara tertulis ada dua macam:
a. Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya menyatakan telah
terjadinya pemberian.
b. Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat itu merupakan alat dari penyerahan
pemberian itu sendiri, artinya apabila pernyataan penyerahan benda yang
bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang pemberian, maha harus
didaftarkan
3. Rukun dan Syarat Hibah
Setiap perbuatan yang berkaitan dengan hukum Islam, dalam pelaksanaannya tidak
lepas dari syarat dan rukun, begitu pula dengan perbuatan pembelian, hibah, wasiat, warisan,
dan sebagainya. Para ulama sepakat bahwa suatu pemberian dianggap sah jika mempunyai
rukun dan syarat tertentu. Beberapa ulama menyebutkan ada empat (4) 11pilar subsidi, yaitu:
a. Orang yang menghibahkan
b. Harta yang dihibahkan

9 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op. Cit, hal. 77


10 Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 1995, hal. 74-75.
11 17 Abdul Aziz Dahlan, Op., Cit., hal. 540.
c. Lafal hibah
d. Orang yang menerima hibah
Pasal 210 Ayat 1 mengatur syarat-syarat bagi seseorang untuk menghibahkan hartanya
sebagai berikut: “Seseorang yang berumur 21 tahun atau lebih, mempunyai kesanggupan jiwa
yang penuh dan tidak terikat oleh suatu batasan apapun, dapat menyumbangkan sebanyak-
banyaknya 1/3 dari hartanya. miliknya kepada orang lain." diri Anda sendiri atau organisasi.
di hadapan dua orang saksi.
Pasal 21 Khi ayat 2 mengatur tentang syarat-syarat benda hibah sebagai berikut: “harta
hibahan itu harus menjadi hak si pemberi hibah.”
B. Hibah Menurut Hukum Perdata BW
1. Pengertian Hibah
Dalam bahasa Belanda Hibah disebut dengan “Schenking”. Namun istilah “hibah”
menurut Pasal 1666 KUH Perdata adalah: “suatu perjanjian yang dengannya pemberi hibah
akan menyerahkan barang itu semasa hidupnya, tanpa dipungut biaya dan tidak dapat ditarik
kembali. .” 12
Makna yang diatur dalam Pasal 1666 KUH Perdata adalah bahwa hibah adalah suatu
komitmen untuk memberikan suatu benda dengan cuma-cuma dan mutlak, tidak dapat ditarik
kembali. Singkatnya, hibah merupakan suatu perjanjian yang mengikat dan tidak dapat
dicabut secara sepihak. oleh sponsor.
2. Dasar Hukum Hibah
Ketentuan yang mengatur tentang subsidi dalam hukum perdata Indonesia diatur dalam
KUH Perdata yang dimuat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
a) Pasal 1667 KUH Perdata (BW): “Objek subsidi adalah mereka yang berkeberatan
sudah ada, bilamana benda itu masih ada.” ada. , sumbangan itu batal." Menurut
ketentuan Pasal ini, jika ada sumbangan dari suatu benda yang sudah ada yang masih
ada, maka sumbangan benda yang ada itu sah dan sumbangan benda yang sudah ada
itu sah. objek objek akan menjadi tidak valid.
b) Pasal 1668 KUH Perdata: “Suatu sumbangan yang disertai dengan suatu perjanjian
yang menyatakan bahwa pemberi hibah mempunyai hak untuk menjual atau
menghibahkan barang sumbangan itu kepada orang lain, adalah batal”. Dalam suatu
perjanjian disebutkan bahwa pemberi tetap mempunyai hak untuk menjual atau
memindahtangankan hadiah itu kepada orang lain.Pada hakekatnya tidak ada

12R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradnya Paramita, 2008, Cet
ke-39, hal. 436.
peralihan hak milik kepada penerima hadiah, yang jelas menjadikan hadiah itu tidak
bernilai. produk.
c) Pasal 1669 KUH Perdata (BW): “Pemberi hibah dapat mengadakan perjanjian untuk
menikmati hasil harta benda baik bergerak maupun tidak bergerak yang dihibahkan
kepada dirinya sendiri dan kepada orang lain dengan memperhatikan bab 10 buku
kedua. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Kitab Undang-undang Hukum Acara
Perdata. Maksud dari bab kesepuluh ini adalah, bab ini mengatur tentang hak pakai
produk atau hak menikmati hasilnya. Banyak yang ditarik setelah berlakunya UU
Araria Nomor 5 tahun 1960, namun peraturan mengenai benda bergerak tetap berlaku.
d) Pasal 1670 KUH Perdata (BW): “Apabila dalam surat sumbangan terdapat keterangan
pelunasan utang atau biaya-biaya lain, maka sumbangan itu batal.
C. Pengalihan Harta Hibah Orangtua Kepada Anaknya Menjadi Harta Warisan
1. Menurut Kompilasi Hukum Islam.
Pasal 211 Kompendium Hukum Islam menyatakan bahwa: Warisan dapat diterima
dalam bentuk hibah dari orang tua. jika dianalisa sebenarnya ini mengandung aspek
“urf”..
Ketentuan Pasal 211 Kompendium Hukum Islam tentang pemberian orang tua kepada
anak dapat dianggap sebagai warisan. Pemberian tersebut merupakan adat istiadat yang
sudah mengakar dan diterima oleh masyarakat Indonesia. Kebiasaan seperti ini dalam
hukum Islam disebut dengan “urf”, arti dari “urf” adalah melakukan atau menahan diri
dalam perbuatan dan perkataan dan sudah menjadi suatu kebiasaan. 13
hibah orang tua terhadap anaknya dapat dianggap sebagai warisan dan sudah menjadi
tradisi atau “urf” dalam masyarakat Indonesia. Misalnya, masyarakat Jawa memberikan
hibah bagi laki-laki dan perempuan, yang merupakan penghibahan sebagian harta
keluarga kepada anak-anak. Dimulai ketika anak hidup berkeluarga dan membentuk
keluarga sendiri. Setelah penghibahan itu, jika orang tuanya meninggal dunia, maka
harta warisannya dibagi, sehingga besarnya hibah itu dihitung sesuai dengan bagian yang
dibagikan kepada anak-anaknya.
Apabila selama bapaknya masih hidup, anak itu diberikan sebagian harta warisan yang
dianggap bagiannya, maka dianggap telah menerima seluruh harta itu dan anak itu tidak
mempunyai hak lagi atas harta-harta yang lain. yang terpecah setelah kematian ayahnya.
Namun setelah dilakukan penghitungan harta warisan ternyata jumlah yang diterima anak

13
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Terjemah Ilmu Ushulul Fiqh), Jakarta, Raja
GrafindoPersada, 1996, hal. 133
tersebut tidak mencukupi, sehingga ia akan menerima lebih banyak pada saat pembagian
harta warisan, sehingga semua ahli waris mendapat bagian yang sama.
Tradisi ini juga dilakukan oleh masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan
matrilineal seperti masyarakat Minagkabau, dan masyarakat yang menganut sistem
patrilineal seperti masyarakat Batak. Tujuan dari adat ini adalah untuk menciptakan
keadilan dan menghindari perselisihan antar ahli waris. Kompilasi Hukum Islam tidak
mengatur kriteria yang jelas mengenai jenis hibah yang dapat dianggap sebagai warisan.
Dari penjelasannya dapat dilihat beberapa kriteria, yaitu:
a. Porsi harta warisan sangat sedikit sehingga jumlah yang diterima anak tidak
diperhitungkan oleh ahli waris, yaitu tidak menerima bagian harta warisan yang
berarti.
b. Penerima hibahnya kaya, tapi ahli waris yang lain tidak, jadi pemberinya
memperkaya yang sudah kaya, jadi patut dipertimbangkan.
Menurut pendapat Al-Jurjany yang dikutip Abdul Mujib dalam bukunya yang berjudul
Kaidah Fiqih, “AlAadah adalah suatu perbuatan/perkataan yang diulang-ulang karena
mempunyai makna.” Perbuatan itu harus dilakukan manusia berkali-kali agar tetap ada.
14
. jiwa, diterima dan diperbolehkan menurut akal sehat serta bermanfaat dan tidak
bertentangan dengan syariat.
Pemindahan harta benda yang diberikan orang tua kepada anak dalam rangka pewarisan
bertujuan yaitu untuk menciptakan keadilan dan menghindari perselisihan antar ahli
waris. Adat ini sering dilakukan oleh masyarakat karena memiliki tujuan yang baik dan
tidak bertentangan dengan syariat Islam.
D. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW).
Tidak ada pasal dalam KUH Perdata yang mengatur secara jelas dan tegas mengenai
pengalihan harta yang diberikan orang tua kepada anak sepanjang hidupnya melalui
proses pendapatan atau iuran. Inbreng berasal dari bahasa Belanda yang artinya
sumbangan yang dapat diperhitungkan.
Yang dimaksud dengan inbreng adalah pemberian harta benda oleh ahli waris kepada
ahli warisnya semasa hidupnya turut diperhitungkan. Hal ini diatur. dalam pasal 1086
sampai 1099 KUHPerdata (BW). . Undang-undang tidak memberikan definisi tentang
inbreng, namun ketentuannya memungkinkan kita menyimpulkan bahwa inbreng berarti

14 Abdul Mujib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh, Jakarta, Kalam Mulia, 1999, hal. 43.
pembagian bagian ahli waris secara merata dengan menghitung ulang besarnya
sumbangan ahli waris.15
Ahli waris yang terkena aturan inbreng ini adalah ahli waris penerima hadiah yang
harus mengembalikan harta asli (boedel) untuk dibagikan kepada ahli waris lainnya.
Inbreng diatur dalam KUH Perdata pada bab XVII bagian kedua berjudul “Tentang
Penghasilan” yang memuat pasal 1086-1099.
Fungsi inbreng adalah untuk menjamin tercapainya keadilan dalam pembagian harta
warisan, baik melalui hibah maupun pembagian harta warisan setelah meninggalnya
pewaris, khususnya dalam hal portie (saham mutlak), khususnya bagian yang dimiliki
oleh pewaris. ahli waris harus menerima. Dasar dari ketentuan inbreng ini adalah bahwa
ahli waris, kecuali ditentukan lain, harus dianggap berlaku adil terhadap ahli warisnya. 16
Keadilan yang dimaksud di sini adalah semua ahli waris Semua ahli waris itu semua
menerima bagiannya masing-masing dari harta warisan, karena besar kemungkinannya
bahwa uang peninggalan orang tuanya tidak akan diwariskan. Jumlah donasi akan
bervariasi tergantung pada bagaimana setiap donasi dicatat dan dikembalikan ke aset
aslinya. Dengan demikian, setiap ahli waris akan terjamin keabsahan bagiannya (bagian
mutlak yang harus diterimanya).
Pasal 1086 KUHPerdata menyatakan: “Ahli waris harus menghitung seluruh harta
hibahan dan hutang warisan, kecuali jika ada akta otentik atau wasiat yang dibuat untuk
itu dan ada juga kuasa yang jelas. laporan yang dipesan merupakan pendapatan. Pada
prinsipnya, ada dua kelompok ahli waris yang terkena inbreng:

1. Golongan I adalah ahli waris menurut urutannya, kecuali dalam hal ahli waris
melepaskannya. Oleh karena itu harus memenuhi dua syarat, yaitu harus berstatus
ahli waris dan harus merupakan ahli waris garis lurus atau kurang. Kalaupun
seseorang menerima hibah dari ahli waris pada waktu dibukanya harta warisan, maka
orang itu tidak mempunyai status ahli waris dan oleh karena itu tidak mempunyai
kewajiban untuk memberikan kelonggaran. Ahli waris garis adalah keturunan para
ahli waris, termasuk anak luar nikah yang diakui secara hukum serta ahli waris
keluarga.

15
J. Satrio, Hukum Waris, Bandung, Alumni, 1992, hal.348.
16
R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, 1989, hal. 97.
2. Golongan 2 adalah ahli waris yang lain apabila ahli waris hanya meminta warisan
apabila terpenuhi dua syarat, yaitu harus berstatus ahli waris dan harus ada
pernyataan tegas dari ahli waris tentang kewajiban mewaris. .

Seseorang yang telah menerima wasiat dari seorang ahli waris tetapi bukan ahli waris
yang sah dan tidak memenuhi syarat-syarat ahli waris, tidak wajib melakukan
pelanggaran. Kewajiban inbreng ini tidak sah apabila dilakukan hanya secara lisan,
melainkan harus dinyatakan dengan jelas dalam akta penyerahan atau dalam surat wasiat
yang memerintahkan inbreng tersebut. 17
Setelah itu undang-undang juga mengatur siapa saja yang dikecualikan dari kewajiban
inbreng, yaitu:
1. Pasal 1087 KUHPerdata “Ahli waris yang menolak mewaris hanya boleh
menyatakan dengan mengurangi jumlah mutlak ahli waris lainnya. 18
2. Pasal 1089 KUH Perdata “Anak yang mewarisi dari kakek dan neneknya tidak
perlu menjadi anak kandung.
3. Pasal 1090 KUH Perdata “Hadiah yang diterima laki-laki atau perempuan dari
keluarga suaminya tidak perlu dicantumkan”.
Selanjutnya hukum perdata juga mengatur tentang syarat-syarat penghasilan, dalam
Pasal 1091 KUH Perdata diatur: “Penghasilan itu hanya berasal dari harta pihak yang
memindahkan dan hanya dituntut oleh para ahli waris untuk kepentingan pihak yang
memindahkan.” Pendapatan tersebut tidak menguntungkan penerima wasiat atau
penerima hibah.
Undang-undang juga mengatur bahwa pemberian harus diperhitungkan menurut
ketentuan Pasal 1096 KUH Perdata: "Selain pemberian menurut Pasal 1085, harus
mencakup juga segala sesuatu yang diserahkan kepada ahli waris, pengeluaran,
pekerjaan, masyarakat". , pembayaran hutang ahli waris serta kompensasi perkawinan.
Pasal 1097 mengatur tentang hibah yang tidak perlu diperhitungkan, yaitu: “biaya-
biaya yang berkaitan dengan pendidikan dan pendidikan seluruh ahli waris, biaya
perkawinan, pakaian dan perhiasan yang diberikan kepada ahli waris, perlengkapan
perkawinan”.Pasal 1099 KUHPerdata dengan jelas mengatur bahwa: bagian harta yang
diterima oleh ahli waris, Harta warisan yang musnah karena kekeliruan, tidak dihitung
lagi. Besarnya harta warisan tergantung pada

17 J. Satrio, Hukum Waris, Op., Cit., hal. 352


18 R. Subekti dan R, Tjitrosudibio, Op., Cit., hal 282. 3
a) Jumlah yang diberikan
b) Banyaknya saham yang akan diterima orang yang akan menerima warisan.
c) Kurangnya pendapatan untuk menjalankan peran yang sah.
E. Persamaan dan Perbedaan Antara Pengalihan Harta Hibah Orangtua Kepada
Anaknya Menjadi Harta Warisan Menurut Kompilasi Hukum Islam dan Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
Pasal 211 Kompendium Hukum Islam menyatakan bahwa “hibah yang diberikan
orang tua kepada anaknya dapat dianggap sebagai warisan. Kompendium Hukum Islam
secara jelas mengatur tentang perubahan harta hibahan menjadi warisan. Ini adalah 'urf,
karena dengan menelusuri ayat-ayat Al-Qur'an dan peninggalan suci, tidak ditemukan
teks yang mengatur tentang penghitungan harta hibah sebagai warisan. Hal ini sesuai
dengan ketentuan fiqh yang menyatakan bahwa “hukum dapat ditentukan dari adat
istiadat” 19
Meskipun dalam KUH Perdata tidak terdapat ketentuan tegas mengenai pengalihan
harta hibah menjadi warisan, namun tetap ada klausulnya.disebut penghasilan (inbreng).
KUH Perdata sendiri tidak memberikan pengertian tentang inbreng, namun dapat
disimpulkan bahwa inbreng adalah “penghitungan harta hibah yang diterima ahli waris
pada saat membagi harta warisan.” empat puluh enam.20
1. Dalam Kompendium Hukum Islam, proses perpindahan harta warisan terjadi
secara otomatis, sedangkan dalam KUH Perdata dilakukan melalui proses masuk
atau inbreng
2. Dalam Pengumpulan Rekrutmen Hukum Islam tidak ada ketentuan. yang
mengatur bahwa hibah harus dilakukan dengan akta notaris, sedangkan dalam
Kumpulan Hukum Islam, dalam hukum perdata jelas disebutkan dalam pasal
1682 bahwa hibah itu batal apabila tidak dibuat dengan akta notaris.
3. Dalam Kompendium Hukum Islam, segala pemberian orang tua kepada anaknya
dianggap sebagai warisan tanpa membeda-bedakan semua ahli waris, sedangkan
KUH Perdata tidak. Semua penerima hibah wajib mengembalikan seluruh
hibah yang diterimanya, jika hal ini disebutkan dalam akta hibah.
4. Kompilasi Hukum Islam dan KUH Perdata Tujuan pengalihan harta pemberian
orang tua kepada anak sebagai warisan yaitu untuk melindungi bagian masing-

19
Abdul Mujib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fikqh, Jakarta,Kalam Mulia, 1999, Loc., Cit..
20
6Efendi Perangin, Hukum Waris, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 143.
masing ahli waris agar tercipta keadilan dan menghindari perselisihan antar pihak
ahli waris.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam kompilasi hukum Islam Pasal 211 hibah orang tua kepada anaknya
otomatis diperhitungkan sebagai warisan yang bertujuan untuk melindungi bagian
semua ahli waris sedangkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak ada
pasal yang menyatakan dengan jelas pengalihan harta hibah menjadi warisan tetapi
dikenal istilah inbreng yaitu pengembalian hibah yang dilakukan oleh pewaris selama
hidupnya ke dalam harta asal. Pengalihan harta hibah menjadi warisan menurut
Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bertujuan untuk
melindungi bagian mutlak ahli waris agar tercipta keadilan dan terhindar dari konflik di
antara semua ahli waris
DAFTAR PUSTAKA
Abdul aziz Dahlan, Ensklopedi Hukum Islam, Jakarta, Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2003.
Abdul Mujib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqh, Jakarta, Kalam Mulia, 1999
Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam (Terjemah Ilmu Ushulul
Fiqh, Jakarta, Raja GrafindoPersada, 1996.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta,Raja Grafindo Persada,
1997.
Anisitus Amanat, Membagi Warisan Berdasarkan Pasal-Pasal Hukum Perdata
BW, Jakarta: Raja Grafindo Persada,cet. 1, 2000. Efendi Perangin, Hukum Waris,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2007.
Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, Bandung, Mandar Maju,
1995.
Fuad Ifram al-Butami, Munjib al-Tullab, Beriut, Dar-al Masyriq, tt. Hendi
Suhnedi, Fikih Muamalah,, Jakarta, Rajawali Pers, 2011, hlm. 212.

Anda mungkin juga menyukai