Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia hidup tidaklah lepas dari kecintaan terhadap harta sebagai
motivasi hajat hidupnya di dunia. Islam sebagai agama yang mutlak akan
segala kebenaran memperbolehkan manusia untuk mencari dan memperoleh
harta benda sebanyak-banyaknya, yaitu dengan tata cara yang baik dan tidak
bertentangan dengan aturan (Sjafa'at 1964, 102).
Penguasaan harta benda terjadi dengan adanya suatu bentuk akad atau
perjanjian pemindahan milik dari seseorang kepada orang lain, seperti
persetujuan timbal balik, yaitu persetujuan yang menimbulkan kewajiban
pokok kepada kedua belah pihak, seperti jual beli dan sewa menyewa. Adapun
persetujuan sepihak adalah persetujuan di mana hanya terdapat kewajiban pada
salah satu pihak saja misalnya hibah. Di dalam hukum Islam, hibah berarti akad
yang pokoknya adalah pemberian harta milik seseorang kepada orang lain di
waktu ia masih hidup tanpa adanya imbalan apa pun. Dari segi sosial budaya,
hibah adalah hal yang terpuji dan pelakunya mendapat tempat yang terhormat
dalam strata sosial kemasyarakatan (A. Dahlan 2004, 64).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, maka rumusan
masalah yang akan menjadi pokok bahasan yaitu:
1. Apakah yang dimaksud hibah?
2. Apa sajakah dasar hukum hibah?
3. Apa sajakah jenis-jenis hibah?
4. Apa sajakah syarat dan rukun hibah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian hibah
2. Untuk mengetahui dasar hukum hibah
3. Untuk mengetahui jenis-jenis hibah
4. Untuk mengetahui syarat dan rukum hibah

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hibah
Kata hibah berasal dari bahasa arab (‫ )هبة‬yang sudah diserap menjadi
bahasa Indonesia. Kata ini merupakan masdar dari kata (‫ )وهب‬yang berarti
memberi (Hidayat 1989, 56). Apabila seseorang memberikan harta miliknya
kepada orang lain maka berarti si pemberi itu menghibahkan miliknya itu.
Sebab itulah, kata hibah sama artinya dengan pemberian (Karim 1993, 73).
Jumhur ulama mendefinisikan hibah sebagai akad yang mengakibatkan
kepemilikan harta tanpa ganti rugi yang dilakukan seseorang dalam keadaan
hidup kepada orang lain secara suka rela (A. A. Dahlan 1996, 540).
Sedangka menurut (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa 2005, 398) Hibah
berarti melewatkan atau menyalurkan dari tangan orang yang memberi kepada
tangan orang yang diberi.
Kata hibah juga dipakai oleh al-qur’an dalam arti pemberian. Hal ini
umpamanya dapat ditemui pada firman allah dalam Al-Qur’an surat Ali Imran
ayat 38 yang berbunyi (Departemen Agama RI 2006):

َ ً‫ب هَبْ ِل ْي ِم ْن لَّد ُ ْن َك ذ ُ ِريَّة‬


‫ط ِيبَةً ۚ اِنَّ َك‬ ِ ‫عا زَ َك ِريَّا َربَّه ۚ قَا َل َر‬
َ َ‫ُهنَا ِل َك د‬
َ ُّ‫س ِم ْي ُع الد‬
‫ع‬ َ
hunaalika da'aa zakariyyaa robbah, qoola robbi hab lii mil ladungka zurriyyatan
thoyyibah, innaka samii'ud-du'aaa`
Artinya: "Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya. Dia berkata, Ya
Tuhanku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau
Maha Mendengar doa." (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 38)
Ayat tersebut menjelaskan tentang bentuk hibah yang berarti memberi
dengan obyek seorang anak (Sabiq 1996, 353). Sedangkan (Azzam 2010, 435-
436) Hibah menurut terminologi syara’ adalah pemberian hak milik secara
langsung dan mutlak terhadap satu benda ketika masih hidup tanpa ganti

2
3

walaupun dari orang yang lebih tinggi atau dapat dikatakan sebagai pemberian
hak milik secara sukarela ketika masih hidup.
Secara terminologi atau istilah hibah adalah akad yang pokok persoalanya
pemberian harta milik sesorang kepada orang lain di waktu ia masih hidup
tanpa adanya imbalan (Ramulyo 1994, 145-146). Sedangkan menurut
(Kompilasi Hukum Islam n.d., 239) pada Pasal 171 poin g disebutkan bahwa
hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari
seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimilikinya. Adapun
definisi hibah dari empat mazhab adalah sebagai berikut (al- Jaziri 2007, 453):
a. Mazhab Hanafi, Hibah adalah pemberian suatu barang tanpa menjanjikan
adanya suatu imbalan pada saat itu juga atau hibah adalah pemilikan suatu
harta yang diperoleh dari seseorang terhadap orang lain yang menimbulkan
orang yang diberi harta tersebut memiliki tindakan hukum terhadap harta
tersebut, dimana terjadi ketika para pihak masih dalam keadaan hidup dan
tanpa mengharapkan suatu imbalan.
b. Mazhab Maliki, Hibah adalah pemberian suatu barang milik sendiri tanpa
mengharapkan suatu imbalan dari orang yang memberi barang tersebut dan
juga bisa disebut sebagai hadiah.
c. Mazhab Syafi’i, Hibah adalah pemberian barang milik sendiri yang
dilakukan ketika masih hidup dan dalam keadaan sadar.
d. Mazhab Hambali, Hibah adalah pemberian suatu harta dari seseorang
kepada orang lain yang menyebabkan orang yang diberi boleh melakukan
tindakan hukum terhadap harta tersebut, baik harta tersebut tertentu
maupun tidak, bendanya ada dan bisa diserahkan dimana penyerahannya
dilakukan pada saat pemberi hibah masih dalam keadaan hidup dan tanpa
mengharapkan adanya suatu imbalan.
Berangkat dari beberapa pemaparan definisi para ulama ahli hukum Islam
maka dapat disimpulkan bahwa hibah adalah suatu akad pemberian hak milik
oleh seseorang kepada orang lain dikala ia masih hidup tanpa mengharapkan
imbalan dan balas jasa. Oleh sebab itu hibah merupakan pemberian yang
4

murni, bukan karena mengharapkan pahala dari Allah, serta tidak pula terbatas
jumlahnya (Karim 1993, 74-75)
B. Dasar Hukum Hibah
Dalam menentukan landasan atau dasar hukum hibah dalam al-Qur’an
secara langsung sulit ditemukan. Dalam al-Qur’an penggunaan kata hibah
digunakan dalam konteks pemberian anugerah Allah SWT Kepada Rasulya,
doa-doa yang dipanjatkan oleh hamba-hambanya terutama para nabi, dan
menjelaskan sifat Allah SWT yang maha memberi karunia, hanya saja dapat
digunakan petunjuk anjuran dan perintah secara umum agar seseorang
memberikan sebagian rizkinya kepada orang lain, terutama kepada fakir miskin
yang lebih membutuhkan (Haroen 2000, 83).
Hibah sebagai salah satu bentuk tolong menolong dalam rangka kebajikan
antara sesama manusia sangat bernilai positif. Adapun dasar hibah dapat kita
pedomani dan dianjurkan berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S. al-
Baqarah ayat 177 dan ayat 262 yang berbunyi (Departemen Agama RI 2006):

َّ ‫ع ٰلى ُح ِب ٖه ذَ ِوى ْالقُ ْر ٰبى َوا ْليَ ٰتمٰ ى َوا ْل َمسٰ ِكيْنَ َوا بْنَ ال‬
‫سبِ ْي ِل‬ َ ‫ َو ٰا تَى ْال َما َل‬....
.ِ ...‫الرقَا ب‬
ِ ‫سا ٓ ِئ ِليْنَ َو ِفى‬
َّ ‫ۚ َوا ل‬
...wa aatal-maala 'alaa hubbihii zawil-qurbaa wal-yataamaa wal-masaakiina
wabnas-sabiili was-saaa`iliina wa fir-riqoob...
Artinya: “....dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-
anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan dan
orang-orang yang meminta, dan (memerdekakanya) hamba sahaya....”.( QS. al-
Baqarah: 177)

‫ّللاِ ث ُ َّم ََل يُتْبِعُ ْونَ َم ۤا ا َ ْنفَقُ ْوا َمنًّا َّو َ َۤل اَذًى ۚ لَّ ُه ْم‬ َ ‫اَلَّ ِذيْنَ يُ ْن ِفقُ ْونَ اَ ْم َوا لَ ُه ْم فِ ْي‬
ٰ ‫سبِ ْي ِل‬
َ‫علَ ْي ِه ْم َو ََل ُه ْم َي ْحزَ نُ ْون‬ َ ‫ف‬ ٌ ‫ا َ ْج ُر ُه ْم ِع ْندَ َربِ ِه ْم ۚ َو ََل خ َْو‬
allaziina yunfiquuna amwaalahum fii sabiilillaahi summa laa yutbi'uuna maaa
anfaquu mannaw wa laaa azal lahum ajruhum 'inda robbihim, wa laa khoufun
'alaihim wa laa hum yahzanuun
5

Artinya: “Orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah, kemudian tidak


mengiringi apa yang dia infakkan itu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan penerima), mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan
mereka. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati”.
(QS. Al-Baqarah 2: Ayat 262)

Dari ayat diatas, menunjukkan anjuran untuk saling membantu antar


sesama manusia. Oleh karena itu Allah SWT sangat menganjurkan seseorang
yang mempunyai kelebihan harta untuk menghibahkan kepada orang yang
memerlukannya (Shihab n.d., 226).
Dasar hukum hibah juga disebutkan dalam hadist Nabi berikut ini, hibah
hukumnya sunnah bahkan dianjurkan. Dalam suatu riwayat dari Abu Hurairah
dikatakan bahwa (al-San’aniy n.d., 555):

‫سلَّم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬
َ ُ‫صلَى هللاا‬
َ ‫يَقُ ْو ُل هللاا‬،ُ‫ي هللااُ َع ْنه‬ ِ ‫ع ْن أَبِ ْي ُه َري َْرة َ َر‬
َ ‫ض‬ َ
(‫)تَ َهاد ُوا َوت َ َحاب َّْوا‬:
Artinya: “Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda: Saling
memberi hadiahlah kamu sekalian, niscaya kamu akan saling mencintai.”
Matan hadits tersebut, dapat dipahami bahwa setiap pemberian atau hadiah
merupakan suatu perbuatan baik yang dianjurkan karena pemberian dapat
menumbuhkan rasa saling mencintai dan juga dapat menghilangkan kebencian
antara sesama manusia khususnya antara pemberi dan penerima.
Karena hibah merupakan pemberian yang mempunyai akibat hukum
perpindahan hak milik, maka pihak pemberi hibah tidak boleh meminta
kembali harta yang sudah dihibahkanya, sebab hal itu bertentangan dengan
prinsip-prinsip hibah. Dengan membuat perumpamaan, Rasullah SAW
mengatakan bahwa kalau pihak pemberi hibah menuntut kembali sesuatu yang
telah dihibahkanya maka perbuatanya itu sama seperti anjing yang menelan
kembali sesuatu yang sudah ia muntahkan, riwayat yang berasal dari Ibnu
Abbas tersebut berbunyi (al-Nasaiburi 1995, 54): Artinya: “ perempumaan
6

orang yang menarik kembali hibahnya, bagaikan anjing yang menelan kembali
sesuatu yang dia muntahkan.”
Rasulullah SAW juga telah menganjurkan untuk menerima hadiah,
sekalipun hadiah itu sesuatu yang kurang berharga. Oleh sebab itu maka para
ulama berpendapat makruh hukumnya menolak hadiah apabila tidak ada
halangan yang bersifat syara’ Dalam suatu riwayat dari Abu Hurairah
dikatakan bahwa (al-Latif 2005, 225): Artinya: “kalau aku diundang untuk
menyantap kaki kambing depan dan belakang niscaya aku penuhi dan kalau
dihibahkan kepadaku kaki kambing depan dan kaki kambing belakang, niscaya
aku menerimanya.”
Berdasarkan ayat-ayat dan hadist di atas dapat dipahami, bahwa Allah dan
Rasul-Nya menganjurkan umat Islam untuk suka menolong sesama,
melakukan infaq, sedekah dan pemberian-pemberian lain termasuk hibah.
Karena itu hibah dapat meneguhkan rasa kecintaan di antara sesama manusia,
oleh karena itu Islam mengantar dan memberikan keselamatan secara utuh
dengan memiliki ajaran yang sangat lengkap dalam segala aspek kehidupan.
C. Jenis-Jenis Hibah
Hibah merupakan suatu pemberian yang diberikan kepada orang lain
dengan tanpa imbalan (sukarela). Adapun jenis-jenis hibah (Syahidah 2009)
yaitu:
1. Hibah Bersyarat
Apabila hibah dikaitkan dengan suatu syarat seperti syarat
pembatasan penggunaan barang oleh pihak penghibah kepada pihak
penerima hibah, maka syarat tersebut tidak sah sekalipun hibahnya itu
sendiri sah. Persyaratan yang demikian jelas bertentangan dengan prinsip
hibah. Seperti seorang yang menghibahkan sebidang tanah kepada orang
lain dengan syarat pihak penerima hibah tidak boleh mengharap tanah
tersebut tanpa seizin pihak penghibah.
2. Hibah 'Umriy Atau Hibah Manfaat
Yaitu hibah bersyarat dalam bentuk bahwa seseorang dibolehkan
memiliki sesuatu yang semula milik penghibah selama penerima hibah
7

masih hidup. Bila penerima hibah meninggal dunia, maka harta tersebut
harus dikembalikan kepada pihak penghibah. Jenis transaksi ini lebih tepat
disebut sebagai ariyah (pinjaman) dan hal ini boleh dilakukan. Harta yang
dihibahkan itu mesti dikembalikan kepada pemiliknya semula bila
penerima hibah sudah wafat.
3. Hibah Ruqbiy
Adalah pemberian bersyarat, jika syarat itu ada maka harta itu menjadi
milik penerima hibah dan, jika syarat itu tidak ada maka harta itu akan
kembali kepada pemberi hibah. Misalnya ialah bila seorang penghibah
berkata bahwa “rumah ini diberikan kepadamu dan akan menjadi milikmu
bila aku mati terlebih dahulu”. ini berarti bila pihak yang menerima hibah
meninggal dunia terlebih dahulu maka benda yang dihibahkan tersebut
kembali kepada pihak penghibah. Sama dengan 'umriy, hibah jenis ini juga
dibolehkan berdasarkan sabda Rasulullah SAW. "Dari Jabir r.a. dikatakan
bahwa Rasulullah SAW. telah bersabda: “Umriy itu boleh dilakukan oleh
siapa yang sanggup melakukannya dan ruqbiy itu juga boleh dilakukan oleh
orang yang sanggup melakukannya”. (diriwayatkan oleh Abu Daud, Nasa'i,
dan Ibnu Majah).
D. Syarat dan Rukun Hibah
Secara etimologi, dalam kamus besar Bahasa Indonesia, rukun adalah
suatu hal yang harus dipenuhi dalam sahnya suatu pekerjaan sedangkan syarat
adalah peraturan atau petunjuk yang harus diindahkan serta dilakukan.
Perbedaan antara rukun dan syarat yaitu, bahwa rukun merupakan suatu sifat
yang sangat tergantung pada keberadaan hukum dan merupakan hal yang
pokok yang tidak dapat ditinggalkan, sedangkan syarat merupakan sifat yang
kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi berada di luar hukum itu
sendiri (Suma 2004, 95). Para ulama mengatakan bahwa hibah memiliki rukun
dan syarat yang harus dipenuhi, sehingga hibah dianggap sah apabila rukun dan
syarat tersebut telah dilaksanakan.
1. Rukun
8

Melaksanakan suatu hal baik yang berkaitan dengan ibadah pasti


memiliki beberapa rukun. Rukun merupakan ketentuan yang harus
dipenuhi, apabila salah satu rukun tersebut tidak dijalankan atau terpenuhi
maka hal yang akan dilaksanakan tersebut menjadi tidak sah untuk
dilaksanakan, karena rukun merupakan bagian yang pokok. Begitu juga
dengan masalah hibah, dimana dalam melaksanakannya ada beberapa
rukun yang harus dilaksanakan yakni sebagai berikut:
a. Kompilasi Hukum Islam
Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur secara khusus mengenai
rukun hibah, tetapi dalam Kompilasi Hukum Islam secara jelas
mengatur bahwa seseorang dapat melaksanakan hibah sebanyak-
banyaknya 1/3 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di
hadapan dua orang saksi untuk dimiliki sebagaimana tercantum dalam
Pasal 210 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam, selain itu dalam
melaksanakan hibah, harta yang akan dihibahkan harus merupakan hak
milik dari penghibah sebagaimana tercantum dalam Pasal 210 ayat 2,
sehingga dapat dikatakan bahwa rukun hibah dalam Kompilasi Hukum
Islam dapat terbagi menjadi dua yaitu:
1) Pelaksanakan hibah tidak boleh melebihi 1/3 harta bendanya.
2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan hak milik dari
penghibah (Kompilasi Hukum Islam n.d.).
b. Menurut (Rusyd 2006) mengemukakan bahwa rukun hibah ada tiga
yang esensial yaitu: pertama orang yang menghibahkan atau al-Wahib,
kedua orang yang menerima hibah atau al-Mauhublah, ketiga
pemberianya atau perbuatan hibah atau disebut juga dengan al- Hibah.
c. (Sabiq 1996) Suatu hibah dianggap sah apabila telah melalui Sighat
yaitu Ijab dan Qabul berupa ucapan seseorang yang mampu berbicara,
termasuk Ijab dimana penghibah akan berkata: aku hibahkan
kepadamu, aku hadiahkan kepadamu, aku berikan kepadamu, dan
sebagainya, sedangkan penerima hibah akan berkata, “ya aku terima”.
Selain itu ada yang berpendapat untuk mewajibkan Ijab dan Qabul
9

yaitu Imam Malik, Asy-Syafi‟i, dan pengikut Imam Hambali,


sedangkan Imam abu Hanifah dan pengikutnya berpendapat bahwa
cukup dengan Ijab saja tanpa perlu diikuti dengan Qabul. Hibah juga
dapat terjadi dengan pemberian tanpa mengucapkannya, dengan syarat
pemberian tersebut menunjukkan makna hibah. Jadi, cara memberikan
hibah terbagi menjadi dua macam, yaitu: ucapan dan perbuatan.
Dimana ucapan meliputi Ijab dan Qabul sedangkan perbuatan meliputi
dengan memberikan sesuatu yang menunjukkan makna hibah.
Adapun yang menjadi rukun hibah yaitu penghibah, penerima hibah,
barang yang dihibahkan, dan Sigat (al-Jaziry 2004, 221).
1) Penghibah, adalah orang yang memberikan hibah atau orang yang
menghibahkan barang miliknya pada orang lain.
2) Penerima Hibah, adalah orang yang menerima pemberian dalam hal ini
tidak ada ketentuan tentang siapa yang berhak menerima hibah, pada
dasarnya setiap orang atau seluruh manusia, yang memiliki kecakapan
melakukan perbuatan hukum dapat menerima hibah, bahkan dapat
ditambahkan di sini anak-anak atau mereka yang berada dibawah
pengampuan dapat menerima hibah melalui kuasanya atau wali (Sabiq
1996, 356). Dengan tidak adanya ketentuan siapa berhak menerima
hibah itu berarti hibah bisa diberikan kapada siapa yang
dikehendakinya dalam hal ini bisa kepada keluarga sendiri ataupun
kepada orang lain termasuk kepada anak angkat.
3) Objek hibah atau barang yang dihibahkan, barang yang dihibahkan
adalah barang yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain. Oleh
karena itu tidak akan terjadi hibah apabila tidak ada sesuatu yang
dihibahkan (Karim 1993, 77).
4) Ijab dan Qabul (Sigat), Sigat hibah adalah segala sesuatu yang dapat
dikatakan Ijab dan Qabul, seperti dengan lafaz hibah, athiyah
(pemberian), dan sebagainya. Menurut para fuqaha’ ijab dan qabul
adalah sesuatu yang harus ada diantara si pemberi hibah dan si
penerima hibah (Rusyd 2006). Sigat hibah di sini adalah berupa
10

perkataan yang mengandung pengertian hibah dan hendaklah ada


persesuaian antara ijab dan qabul. Seperti ijab yang jelas jika dia
mengatakan: “saya hibahkan kepadamu, saya berikan kepadamu, saya
jadikan milikmu tanpa bayaran” dan termasuk qabul yang sesuai
dengan ijab tersebut dan jelas seperti ucapanya: “saya terima, saya
ridah,” qabul tidak sah kecuali jika langsung.
2. Syarat- syarat Hibah
Syarat merupakan suatu hal yang harus terpenuhi sebelum
mengerjakan suatu pekerjaan, apabila salah satu syarat tidak terpenuhi
maka pekerjaan tersebut dianggap tidak sah. Sama halnya dengan hibah,
dalam melaksanakan hibah, ada syarat- syarat yang harus dipenuhi bagi
pemberi hibah, penerima hibah, barang yang akan dihibahkan, serta sigat.
Syarat-syarat tersebut yaitu:
a. Penghibah
Penghibah adalah orang yang memberikan hibah atau orang yang
menghibahkan barang miliknya pada orang lain, adapun penghibah itu
mempunyai persyaratan sebagai berikut:
1) Penghibah harus sebagai pemilik harta yang sempurna
Karena hibah mempunyai akibat perpindahan hak milik,
otomatis pihak penghibah dituntut untuk sebagai pemilik yang
mempunyai hak penuh atas benda yang dihibahkan itu, tidak boleh
terjadi seseorang menghibahkan sesuatu yang bukan miliknya, bila
hal ini terjadi maka perbuatan ini batal demi hukum (Karim 1993,
76).
Karena harta itu sudah menjadi milik seseorang dengan
sempurna maka seseorang tersebut punya kebebasan untuk
mempergunakan harta bendanya dengan sesuka hati dan tidak
menyimpang dari ketentuan syara’, kebebasan seseorang untuk
memberikan hartanya apabila barang yang akan dihibahkan itu
wujud dan ada.
11

2) Penghibah harus cakap bertindak secara sempurna dengan artian


adalah baligh dan berakal
Orang yang cakap bertindaklah yang bisa dinilai bahwa
perbuatan yang dilakukanya sah, sebab ia sudah mempunyai
pertimbangan yang sempurna. Orang yang cakap bertindaklah yang
mengetahui baik dan buruknya suatu perbuatanya, dan sekaligus dia
tentu sudah mempunyai pertimbangan atas untung rugi
perbuatannya menghibahkan sesuatu miliknya, dalam kerangka ini
anak yang belum dewasa kendatipun sudah mumayyis dipandang
tidak berhak melakukan hibah.
3) Penghibah hendaklah melakukan perbuatan atas kemauan sendiri
dengan penuh kerelaan dan bukan dalam keadaan terpaksa
Inisiatif memberi hibah itu harus datang atas kemauan
penghibah sendiri dengan penuh kerelaan tanpa ada paksaan dari
pihak lain, karena kerelaan adalah salah satu prinsip utama dalam
transaksi di bidang ke harta bendaan, orang yang dipaksa
menghibahkan sesuatu miliknya bukan dengan ikhtiarnya sudah
pasti perbuatan itu tidak sah (Karim 1993, 77).
b. Penerima Hibah
Syarat seseorang dapat menerima hibah adalah keberadaanya
benar- benar diketahui secara fisik atau dapat dikatakan ada pada saat
akad berlangsung. Maksud dari benar-benar ada disini adalah seseorang
yang menerima hibah tersebut telah lahir dan masih dalam keadaan
hidup, kecuali bayi yang masih berada dalam kandungan, maka
memberi hibah kepada bayi yang masih berada dalam kandungan dapat
dikatakan tidak sah.
Sedangkan anak yang masih berusia muda dan belum cakap
melakukan tindakan hukum kemudian diberi suatu barang oleh orang
lain maka hibah tersebut tidak sempurna kecuali ada wali yang
melakukan penerimaan barang tersebut. Wali disini bertindak untuk
12

dan atas nama penerima hibah dikala penerima hibah belum mampu
dan belum cakap melakukan tindakan hukum.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 ayat (1), seseorang dapat
dikatakan memiliki kecakapan hukum, kriterianya adalah telah
mencapai umur paling rendah 18 tahun atau pernah menikah, dengan
demikian bagi seseorang yang telah mencapai umur paling rendah 18
tahun dapat dipandang telah cakap untuk melaksanakan aqad (Lestari
and Heriyan 2009, 33-34).
c. Objek hibah atau barang yang dihibahkan
Terdapat beberapa syarat benda yang akan dihibahkan:
1) Benda yang dihibahkan itu mestilah milik yang sempurna dari pihak
penghibah, ini berarti bahwa hibah tidak sah bila sesuatu yang
dihibahkan itu bukan milik sempurna dari pihak penghibah.
2) Barang yang dihibahkan itu sudah ada dalam arti yang
sesungguhnya ketika transaksi hibah dilaksanakan, tidak sah
menghibahkan sesuatu yang belum berwujud atau belum ada.
3) Objek yang dihibahkan itu merupakan sesuatu yang boleh dimiliki
menurut agama, tidaklah dibenarkan menghibahkan sesuatu yang
tidak boleh dimiliki, seperti menghibahkan minuman yang
memabukkan.
4) Harta yang dihibahkan tersebut mestilah terpisah secara jelas dari
harta milik penghibah.
5) Harta yang dihibahkan itu dapat langsung dikuasai penerima hibah
(Haroen 2000, 85).
d. Ijab dan Qabul (Sigat)
Adapun persyaratan sigat menurut Imam Syafi’i sama dengan sigat
jual beli diantaranya adalah (Ramulyo 1994, 149):
1) Qabul harus sesuai dengan ijab. Bila si pemberi bilang, kamu saya
beri dua ekor kambing kemudian yang diberi menerimanya dengan
ucapan saya terima salah satunya, maka hibah tidak sah.
13

2) Qabul harus diucapkan segera setelah ucapan ijab selesai, tidak


terpisah oleh sesuatu yang sifatnya lain.
3) Akad hibah tidak digantungkan dengan sesuatu.
Namun muncul permasalahan lain, apabila seseorang
menghibahkan kepada anak kecil dan yang semisal denganya yang
tidak ada kelayakan untuk qabul, maka wajib bagi wali untuk menerima
hibah bagi anak kecil tersebut. Adapun orang yang bisu cukup dengan
isyarat atau kiasan yang bisa dipahami saja, hibah dengan ucapan kiasan
perlu kepada niat dari pemberi hibah dan yang temasuk hibah dengan
ucapan kiasan seperti seseorang berkata kepada orang lain saya
pakaikan kamu baju ini sebab ia bisa berarti pinjaman dan hibah, jika
dia berkata saya tidak berniat hibah, maka dia benar ucapanya sebab
ungkapan itu bukan temasuk yang jelas untuk hibah oleh sebab itu
kembali niatnya. Jika dia berniat hibah maka menjadi hibah, dan jika
tidak maka tidak (Azzam 2010, 444).
Dengan demikian maka hibah itu adalah suatu akad yang
dengannya terdapat suatu janji antara pihak yang satu dengan pihak
yang lain yang harus dipenuhi dengan tidak melakukan sesuatu yang
bertentangan dengan nilai agama. Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT dalam QS. Al-Maidah 5: Ayat 1 yang berbunyi (Departemen
Agama RI 2006):

‫ٰۤيـاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ۤ ْوا اَ ْوفُ ْوا بِا ْلعُقُ ْو ِد‬
yaaa ayyuhallaziina aamanuuu aufuu bil-'uquud
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”
(QS. Al-Maidah 5: Ayat 1)
Setelah adanya ijab dan qabul maka selanjutnya adalah Qabdh atau
penyerahan harta milik itu sendiri, baik dalam bentuk maupun secara
simbolis. Qabdh itu sendiri terbagi menjadi dua, yaitu: Qabdh secara
langsung dan Qabdh melalui kuasa pengganti. Qabdh secara langsung
artinya penerima hibah menerima harta benda yang dihibahkan secara
14

langsung dari pemberi hibah, oleh karena itu, penerima hibah disyaratkan
harus orang yang telah cakap bertindak hukum. Sedangkan Qabdh melalui
kuasa pengganti artinya penerima hibah adalah seseorang yang tidak cakap
hukum, maka yang harus menerima hibah tersebut adalah walinya.
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat dibuat kesimpulan yaitu
sebagai berikut:
1. Kata hibah berasal dari bahasa arab (‫ )هبة‬yang sudah diserap menjadi bahasa
Indonesia. Kata ini merupakan masdar dari kata (‫ )وهب‬yang berarti
memberi. Hibah adalah suatu akad pemberian hak milik oleh seseorang
kepada orang lain dikala ia masih hidup tanpa mengharapkan imbalan dan
balas jasa.
2. Dasar hukum hibah dapat kita pedomani dan dianjurkan berdasarkan firman
Allah SWT dalam Q.S. al-Baqarah ayat 177 dan ayat 262, Dasar hukum
hibah juga disebutkan dalam hadist Nabi SWT yang diriwayatkan oleh Abu
Hurairah. Oleh karena itu berdasarkan ayat-ayat dan hadist tersebut dapat
dipahami bahwa Allah dan Rasul-Nya menganjurkan umat Islam untuk suka
menolong sesama, melakukan infaq, sedekah dan pemberian-pemberian
lain termasuk hibah.
3. Jenis-jenis hibah (Syahidah 2009) yaitu: hibah bersyarat, hibah 'umriy Atau
hibah manfaat, dan hibah ruqbiy.
4. Rukun hibah yaitu penghibah, penerima hibah, barang yang dihibahkan, dan
Sigat sedangkan syarat hibah yaitu adanya pemberi hibah, penerima hibah,
barang yang akan dihibahkan, dan sigat serta Qabdh.
B. Saran
Makalah yang penulis buat ini masih banyak kekurangan-kekurangan
didalamnya, Oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pihak manapun senantiasa akan penulis terima untuk menjadikan makalah ini
sesuai dengan harapan. Dan semoga makalah ini dapat bermamfaat bagi
mahasiswa dan pembaca pada umumnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

al- Jaziri, Abd. Rahman. 2007. Fikih Empat Mazhab. Jakarta: Rajawali Press.
al-Jaziry, Abdurrahman. 2004. al-fiqhu ‘ala al Mazhab al Arba’ah. 5. Qohirah: Dar
hadith.
al-Latif, Abu al-Abbas Syihabuddin Ahmad Bin Abdu. 2005. Muhtasir Sahih al-
Bukhari. Beirut: Dar Al Fikr.
al-Nasaiburi, Abul Husain Muslim Bin al-Hajaj al-Qusyairi. 1995. Sahih Muslim.
Beirut: Dar Al Kutub.
al-San’aniy, Muhammad bin Ismail al-Amir. n.d. Subullus Salam. Translated by
Muhammad Isnan dkk.
Azzam, Abdul Aziz Muhammad. 2010. Fiqih Muamalat. 1. Edited by Achmad
Zirzis. Translated by Nadirsyah Hawari. Jakarta: Amzah.
Dahlan, Abdul Aziz. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Dahlan, Amiur. 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
Departemen Agama RI. 2006. al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya. Jakarta:
Maghfirah Pustaka.
Haroen, Nasrun. 2000. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Hidayat, Rachmat Taufiq. 1989. Khazanah Istilah al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Karim, Helmi. 1993. Fiqh Muamalah. 1. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
n.d. Kompilasi Hukum Islam. Surabaya: Arkola.
Lestari, Ahdiana Yuni, and Endang Heriyan. 2009. Dasar-dasar Pembuatan
Kontrak dan Aqad. Yogyakarta: Moco Media.
Ramulyo, M. Idris. 1994. Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam
dengan Kewarisan Menurut Hukum Perdata (BW). Jakarta: Sinar Grafika.
Rusyd, Ibnu. 2006. Bidayah al-Mujtahid. 4. Qahirah: Dar as-Salam.
Sabiq, Sayyid. 1996. Fiqih Sunnah. 3. Bandung: Alma’arif.
Shihab, M. Quraish. n.d. Tafsir Al Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-
Qur’an. Vol. 10.
Sjafa'at. 1964. Pengantar Studi Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Suhendi, Hendi. 2013. Fiqh Muamalah. 8. Jakarta: Rajawati Pers.
Suma, Muhammad Amin. 2004. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.

16
17

Syahidah, A. 2009. BAB II KONSEP HIBAH DALAM HUKUM ISLAM. Accessed


November 23, 2019. http://digilib.uinsby.ac.id/8039/5/bab.%202.pdf.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. 3.
Jakarta: Balai Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai