Anda di halaman 1dari 13

PELEPASAN HAK TANPA

KOMPENSASI

A. Hibah
Hibah atau pemberian merupakan perilaku ekonomi yang berkaitan dengan pemberian
sesuatu kepada orang lain saat pemberi itu masih hidup. Secara konseptual, hibah
dijelaskan sebagai berikut.
1. Konsep Dasar Hibah
Pada dasarnya, istilah hibah, sedekah, dan hadiah, secara bahasa, nyaris memiliki
pengertian yang sama. Menurut Ali Anshif (1993: 171 Juz II), pengertian hibah identik
dengan ‘hadiah, pemberian, anugerah, dan sedekah’. Tapi, pada sedekah ada titik tekannya
kepada orang fakir, sekalipun istilah lainnya dapat juga menerima titik tekan tersebut.
Pendapat lain dikemukakan oleh Zuhaily (1989: 5), perbedaan peristilahan tersebut
dipaparkan sebagai berikut.
a. Jika pemberian kepada orang lain dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah
S.W.T., dan diberikan kepada orang yang sangat membutuhkan tanpa mengharapkan
pengganti pemberian tersebut dinamakan sedekah.
b. Jika pemberian tersebut dimaksudkan untuk mengagungkan atau karena rasa cinta
dinamakan hadiah.
c. Jika diberikan tanpa maksud yang ada pada sedekah dan hadiah dinamakan hibah.
d. Jika hibah tersebut diberikan seseorang kepada orang lain sat ia sakit menjelang
kematiannya dinamakan ’athiyah.
Secara konseptual, hibah mencakup hadiah dan sedekah. Menurut Asy-Syarbini (tt:
396), pengertian hibah menurut terminologi syariah Islam adalah akad yang menjadikan
kepemilikan tanpa adanya pengganti ketika masih hidup dan dilakukan secara sukarela.
Menurut ulama Hanabilah, “Memberikan kepemilikan atas barang yang dapat ditasarufkan
berupa harta yang jelas atau tidak jelas karena adanya uzur untuk mengetahuinya,
berwujud, dapat diserahkan tanpa adanya kewajiban, ketika masih hidup, tanpa adanya
pengganti, yang dapat dikategorikan sebagai hibah menurut adat dengan lafadz hibah atau
tamlîk (menjadikan milik)”.
2. Landasan Hukum Hibah
Hibah disyariatkan dalam Islam dan dihukumi sunah (mandhûb) berdasarkan Al-
Qur’an, sunah, dan ijma’.
Dalam Al-Qur’an, Allah S.W.T. berfirman :
ٗ ٓ َّ ٗ ٓ َ ُ ُ ُ َ ٗ ۡ َ ُ ۡ ۡ َ َ ۡ ُ َ َ ۡ َ ٗ َ ۡ َّ َٰ َ ُ َ َ ٓ َ
ِّ ‫َو َءاتُواْْٱلنِّسا ْءْصدقتِّ ِّهن‬
ْ ٤ْْ‫اْم ِّريْا‬ْ‫ِْنلةْۚٗفإِّنْطِّۡبْلكمْعنَْش ٖءْمِّنهْنفساْفُكوهْهنِّي‬

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai


pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (Q.S. An-Nisâ
[4]: 4)
َ ۡ ُ ۡ َ َ َ ۡ ُ َ َّ َٰ َ ۡ َ ۡ ُ َ َ ُ َ ۡ َّ ُ ُ ُ ۡ ُ ۡ َ ٓ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َٰٓ َ
َ ۡ ‫ْغ‬
ْ‫ۡي‬ ‫َلْعليكم‬ َٰ ‫ِّينْءامنواْأوفواْْب ِّٱلعقو ِّْدْأحِّلتْلكمْب ِّهيمةْٱۡلنع ِّْمْإَِّّلْماْيت‬
ْ ‫يأيهْاْٱَّل‬

ُ ُ َ ُ ُ ۡ َ َ َّ َّ ُ ُ ۡ ُ َ َ ۡ َّ ُ
ْ ١ْْ‫ٱّللَْيكمْماْي ِّريد‬
ْ ْ‫ُم َِِّّلْٱلصي ِّْدْوأنتمْحرمٌْۗإِّن‬

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu


binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji.
Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.”
(Q.S. Al-Mâ’idah [5]: 1)
Dalam hadits, Rasulullah S.A.W. bersabda, “Saling memberi hadiahlah kamu semua
(maka) kamu akan saling mencintai”. Dalam hadits lain, dari Abu Hurairah, r.a. bahwa
Rasulullah S.A.W. bersabda, “Janganlah menghina seorang tetangga jika ia memberi
hadiah walaupun hanya kuku kambing”. (H.R. Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi).
3. Rukun dan Syarat Hibah
Dalam pelaksanaan hibah, seseorang harus memerhatikan syarat-syarat dan rukun-
rukunnya, yaitu sebagai berikut.
a. Rukun Hibah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun hibah adalah ijâb dan qabûl, sebab keduanya
termasuk akad seperti halnya jual beli. Dalam kitab Al-Mabsûth, mereka menambahkan
dengan qabdhu (pemegangan/penerimaan), karena dalam hibah harus ada ketetapan dalam
kepemilikan.
Sebagian ulama Hanafiyah berpendapat bahwa qabûl dari penerima hibah bukanlah
rukun. Dengan demikian, hibah cukup dengan adanya ijâb dari pemberi. Hal ini
dikarenakan oleh arti hibah itu sendiri yang tak lebih berarti ‘sekedar pemberian’. Selain
itu, qabûl hanyalah dampak dari adanya hibah, yakni pemindahan hak milik. Menurut
jumhur ulama, rukun hibah ada empat.
1) Pemberi (wâhib). Wâhib adalah pemberi hibah atau orang yang menghibahkan barang
miliknya. Jumhur ulama berpendapat, jika orang yang sakit memberikan hibah,
kemudian ia meninggal maka hibah yang dikeluarkannya adalah seperti dari harta
peninggalan.
2) Penerima (mauhûb lah). Penerima hibah adalah semua jenis manusia. Ulama sepakat
bahwa seseorang dibolehkan menghibahkan seluruh hartanya.
3) Barang (mauhûb). Mauhûb adalah barang yang dihibahkan.
4) Shîgah (ijâb dan qabûl). Shîgah hibah adalah segala sesuatu yang dapat dikatakan ijâb
dan qabûl, seperti lafadz hibah, ‘athiyah (pemberian), dan sebagainya.
Menurut Al-Kasani (tt: 116), ijâb dapat dilakukan secara sharîh, seperti seseorang
berkata, “Saya hibahkan benda ini kepadamu”, atau perkataan yang tidak jelas, namun
tidak akan lepas dari syariah, waktu, atau manfaat, karenanya ijâb dibagi sebagai berikut.
1) Ijâb disertai waktu (‘umurî), seperti pernyataan, “Saya berikan rumah ini selama saya
hidup atau selama kamu hidup”. Pemberian seperti itu sah, sedangkan syarat waktu
tersebut batal. Rasulullah S.A.W. bersabda, “Peganglah di tanganmu harta-hartamu,
janganlah mensyaratkan dengan umurmu (jika memberi), sebab yang memberi dengan
mensyaratkan umur, harta tersebut adalah bagi yang diberi”. (H.R. Bukhari, Muslim,
dan Ahmad).
2) Ijâb disertai syarat (penguasaan), seperti seseorang berkata, “Rumah ini untukmu,
secara raqabî (saling menunggu kematian, jika pemberi meninggal terlebih dahulu
maka barang miliknyalah yang diberi. Sebaliknya, jika penerima meninggal dahulu
maka barang kembali pada pemilik)”, ijâb seperti ini hakikatnya adalah pinjaman.
Menurut ulama Hanafiyah, pemiliknya dibolehkan mengambilnya kapan saja dia mau,
sebab Rasulullah S.A.W. telah melarang ‘umuri dan membolehkan raqabî. Dengan
demikian, hibahnya batal, tetapi dipandang sebagai pinjaman. Sementara itu, ulama
Syafi’iyah, Abu Yusuf, dan Hanabilah berpendapat jika penerima memegangnya maka
dikatakan hibah, sebab Rasulullah S.A.W. membolehkan ‘umuri dan membolehkan
raqabî, sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Jabir. Adapun ulama
Malikiyah sependapat dengan Hanafiyah bahwa hibah ‘umuri (selama dia masih hidup,
jika sudah meninggal, diberikan kepada ahli waris penerima) dibolehkan, sedangkan
hibah raqabî dilarang.
3) Disertai syarat kemanfaatan, seperti pernyataan, “Rumah ini untuk kamu dan tempat
tinggal saya.” Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa pernyataan itu bukan hibah, tetapi
pinjaman. Berbeda dengan pernyataan, misalnya, “Rumah ini untuk kamu dan kamu
tinggali.” Pernyataan ini termasuk hibah.
b. Syarat Hibah
Syarat hibah berkaitan dengan syarat wahîb dan mauhûb. Ulama Hanabilah
menetapkan syarat sebagai berikut.
1) Hibah dari harta yang boleh di-tasharruf-kan.
2) Terpilih dan sungguh-sungguh.
3) Harta yang diperjualbelikan.
4) Tanpa adanya pengganti.
5) Orang yang sah memilikinya.
c. Sah Menerima Hibah
Syarat sah menerima hibah, yaitu sebagai berikut.
1) Menyempurnakan pemberian.
2) Tidak disertai syarat waktu.
3) Pemberi sudah dipandang mampu tasharruf (merdeka, mukallaf, dan rasyid).
4) Mauhûb harus berupa harta yang khusus untuk dikeluarkan.
d. Syarat Wâhib (Pemberi Hibah)
Wahîb disyaratkan harus ahli tabarru’ (derma), yaitu: berakal, balig, dan rasyid (pintar).
e. Syarat Mauhûb (Barang)
1) Harus ada waktu hibah.
2) Harus berupa harta yang kuat dan bermanfaat.
3) Milik sendiri. Menurut ulama Hanafiyah, hibah tidak dibolehkan terhadap barang
bercampur dengan milik orang lain, sedangkan menurut ulama Malikiyah, Hanabilah,
dan Syafi’iyah, hal itu dibolehkan.
4) Mauhûb terpisah dari yang lain, barang yang dihibahkan tidak boleh bersatu dengan
barang yang tidak dihibahkan, sebab akan menyulitkan untuk memanfaatkan mauhûb.
5) Mauhûb telah diterima atau dipegang oleh penerima.
6) Penerima memegang atas seizin wâhib.
4. Hukum Penetapan Hibah
a. Hukum Hibah
Dasar dari ketetapan hibah adalah tetapnya barang yang dihibahkan bagi mauhûb lah
(penerima hibah) tanpa adanya pengganti.
b. Sifat Hukum Hibah
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa sifat kepemilikan pada hibah adalah tidak lazim.
Dengan demikian, dapat dibatalkan oleh pemberi, sebagaimana disebutkan dalam sabda
Rasulullah S.A.W. dari Abu Hurairah: “Pemberi hibah lebih berhak atas barang yang
dihibahkan selama tidak ada pengganti”. (H.R. Ibnu Majah dan Daruquthni).
Dengan demikian, dibolehkan mengembalikan barang yang telah dihibahkan. Akan
tetapi dihukumi makruh, sebab perbuatan itu termasuk menghina si pemberi hibah. Selain
itu, yang diberi hibah harus rida. Hal itu diibaratkan adanya cacat dalam jual beli setelah
barang dipegang pembeli. Ulama Hanafiyah berpendapat ada enam perkara yang melarang
pemberi (wâhib) mengembalikan barang yang telah dihibahkan, yaitu sebagai berikut.
1) Penerima memberikan ganti.
(a) Pengganti yang disyaratkan dalam akad. Ulama Malikiyah, Hanabilah, dan
Syafi’iyah menganggap hibah, karena seperti ini dianggap jual beli dan bukan
hibah.
(b) Pengganti yang diakhirkan.
2) Penerima maknawi.
(a) Pahala dari Allah. Sedekah kepada orang kafir tidak boleh diambil lagi.
(b) Pemberian dalam rangka silaturahmi.
(c) Pemberian dalam hubungan suami-isteri.
3) Tambahan yang ada pada barang yang diberikan yang berasal dari pekerjaan mauhûb
lah (orang yang diberi hibah).
4) Barang yang telah keluar dari kekuasaan penerima hibah, seperti dijual kepada orang
lain.
5) Salah seorang yang akad meninggal.
6) Barang yang dihibahkan rusak.
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa barang yang telah diberikan, jika sudah dipegang
tidak boleh dikembalikan, kecuali pemberian orang tua kepada anaknya yang masih kecil,
jika belum bercampur dengan hak orang lain, seperti nikah atau anak tersebut tidak
memiliki utang.
Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa hibah tidak dapat dikembalikan,
kecuali pemberian orang tua kepada anaknya. Rasulullah S.A.W. bersabda: “Orang yang
meminta kembali hibahnya seperti orang yang mengembalikan muntahnya”.
5. Pemberian pada Anak Menjelang Meninggal
Ulama sepakat bahwa bagi orang tua disunahkan menyamakan pemberian kepada anak-
anaknya. Hukumnya makruh melebihkan pemberian kepada salah seorang anak saja.
Namun, mereka berbeda pendapat dalam memahami persamaan yang disunahkan tersebut.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa persamaan yang dimaksud adalah menyamakan
pemberian antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana dinyatakan dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda: “Bertakwalah
kepada Allah dan berbuat adillah kepada anak-anak kamu semua”. (H.R. Bukhari dari
Nu’man Ibn Basyir).
Ulama Hanabilah dan Muhammad dari golongan Hanafiyah berpendapat bahwa
persamaan pemberian orang tua kepada anaknya berdasarkan ketetapan waris. Dengan
demikian, seorang anak laki-laki mendapatkan dua bagian anak perempuan.

B. Sedekah
Sedekah merupakan perilaku ekonomi dalam rangka membantu orang lain. Dengan
tujuan mencari pahala Allah S.W.T.
1. Hukum Sedekah
Sedekah dibolehkan pada setiap waktu dan disunahkan berdasarkan Al-Qur’an dan
Sunah, di antaranya:
ُ ۡ ُ َّ َ ٗ َ َ ٗ َ ۡ َ ٓ ُ َ ُ َ َٰ َ ُ َ ٗ َ َ ً ۡ َ َ َّ ُ ۡ َّ َ
ْ‫ٱّللْْ َيقبِّض‬
ْ ‫ل ْۥْْأضعافاْ كثِّۡيةْۚٗ ْو‬ ْ ْْ‫َّمنْْذاْْٱَّلِّيْْ ُيق ِّرض‬
ْ ْْ‫ٱّللْْقرضاْ حسناْ فيض ِّعف ْهۥ‬

َ َ ُۡ َۡ ُ ُ َۡ َ
ْ ٢٤٥ْْ‫ج ُعون‬‫ويبصطِْإَوَلهِّْتر‬

“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan
pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah
menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 245)
Sabda Rasulullah S.A.W.: “Barang siapa memberi makan orang lapar, Allah
S.W.T. akan memberinya makan dari buah-buah surga. Barang siapa memberi
minum orang dahaga, Allah S.W.T. akan memberinya minum pada hari kiamat
dengan wangi-wangian yang dicap. Barang siapa yang memberi pakaian orang
yang telanjang, Allah S.W.T. akan memakaikan pakaian surga yang berwarna
hijau”. (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi).
2. Sedekah Rahasia
Sedekah yang diberikan secara sembunyi-sembunyi lebih utama daripada sedekah yang
diberikan secara terang-terangan. Akan tetapi, zakat lebih utama bila diberikan terang-
terangan. Allah S.W.T. berfirman:
َ َ ۡ ُ َّ ٞ ۡ َ َ ُ َ َ ٓ َ َ ُ ۡ َ ُ ۡ ُ َ َ ُ ۡ ُ َ ِّ ‫تْفَنِّعِّ َّم‬ َ َّ ُ
ْ‫ْويُكفِّْ ُر‬‫اْهَِْۖإَونُْتفوهاْوتؤتوها ْٱلفقرا ْءْفهوْخۡيْلك ۚٗم‬ ِّْ َٰ ‫ٱلص َدق‬ْ‫إِّن ْت ۡب ُدوا‬

َ َ ُ َ َّ َ ۡ ُ َ َ ُ ‫َع‬
ْ ٢٧١ْْٞ‫ٱّللْب ِّ َماْت ۡع َملونْخبِّۡي‬
ُْ ‫ْو‬ْ ٌۗ‫نكمْمِّنْس ِّيْات ِّكم‬

“Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika
kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka
menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari
kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 271)
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dinyatakan bahwa di antara
orang yang mendapat naungan Allah S.W.T. di bawah naungan Arsy Allah S.W.T. pada
hari yang tidak ada naungan, kecuali naungan Allah S.W.T., yaitu seorang laki-laki yang
memberikan sedekah, kemudian menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak
mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya. Dalam hadits lain yang diriwayatkan
oleh Imam Thabrani dinyatakan: “Sedekah sembunyi-sembunyi mematikan murka Tuhan”.
(H.R. Thabrani).
Sedekah yang diberikan pada bulan Ramadhan lebih baik daripada sedekah yang
diberikan pada bulan lainnya. Dari Annas r.a. bahwa Rasulullah S.A.W. ditanya tentang
sedekah yang paling utama. Beliau menjawab, sedekah pada bulan Ramadhan”. (H.R.
Tirmidzi).
Menurut Zuhaily (1989: 916), sedekah lebih utama apabila diberikan pada hari-hari
mulia, seperti Dzulhijjah. Juga lebih utama apabila diberikan pada tempat-tempat yang
mulia, seperti Mekah dan Madinah.
Sementara menurut Asy-Syarbani (tt: 121-123), harta yang paling utama disedekahkan
adalah yang paling dibutuhkan oleh manusia, dan juga yang diberikan pada waktu manusia
membutuhkannya.
3. Sedekah Seluruh Harta
Dalam bersedekah dibolehkan menyedekahkan seluruh hartanya jika ia yakin mampu
hidup sabar, tawakal atas apa yang dideritanya. Jika tidak sanggup berlaku demikian,
perbuatan itu dimakruhkan (Zuhaily, 1989: 122). Diriwayatkan oleh Umar r.a., “Rasulullah
S.A.W. menyuruh kami untuk memberikan sedekah, kemudian aku mengukur hartaku, dan
aku berkata, ‘Pada hari ini aku dapat mendahului Abu Bakar jika mampu mendahuluinya’.
Lalu aku menyedekahkan setengah dari hartaku. Rasulullah S.A.W. bersabda, ‘Apa yang
engkau sisakan untuk keluargamu?’ Aku jawab, ‘Aku sisakan bagi mereka seperti apa yang
aku sedekahkan’. Kemudian datang Abu Bakar dan menyedekahkan semua hartanya.
Rasulullah S.A.W. bertanya kepadanya, ‘Apa yang engkau sisakan untuk keluargamu?’ Ia
menjawab, ‘Allah S.W.T. dan Rasul-Nya.’ Aku berkata, ‘Aku tidak dapat mendahului atas
sesuatu pun setelahnya’”. (H.R. Tirmidzi).
Hadits di atas menunjukkan keutamaan Abu Bakar atas kesabaran dan kesempurnaan
imannya.
4. Harta Paling Utama untuk Sedekah
Harta yang paling utama yang boleh disedekahkan adalah kelebihan dari usaha dan
hartanya untuk kebutuhan sehari-hari. Sebaliknya, jika memberikan sedekah dari harta
yang masih dikategorikan kurang untuk memenuhi sendiri dipandang dosa.
Dalam hadits disebutkan: “Sedekah yang paling baik adalah sesuatu yang keluar dari
orang kaya dan yang telah mencukupi kebutuhannya”. (Muttafaq Alaih).
“Kaya” pada hadits di atas tidak berarti kaya dalam materi, tetapi kaya hati, yakni sabar
atas kefakiran. Rasulullah S.A.W. bersabda: “Cukup bagi seseorang dikatakan dosa
apabila menghilangkan makanan pokoknya”. (H.R. Abu Dawud dan A-Nasa’i dari Abu
Hurairah).
5. Sedekah dengan Sesuatu yang Tidak Memberatkan
Disunahkan memberikan sedekah dengan sesuatu yang tidak memberatkan diri sendiri,
walaupun kelihatannya sedikit dan sederhana, sebab dalam pandangan Allah S.W.T., hal
itu banyak dan akan mendapat berkah-Nya.
Allah S.W.T. berfirman:
َ َّ َ َ َ ۡ
ٗ ۡ ‫ْخ‬ َ
ْ ٧ْْ‫ۡياْيَ َرْهُۥ‬ ‫ل َهاْيَ ۡو َمئ ِّ ٖذْمِّثقالْذر ٍة‬

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah (atom) pun, niscaya


dia akan melihat (balasan)nya.” (Q.S. Al-Zalzalah [99]: 7)
6. Orang yang Berhak Menerima Sedekah
Di antara orang-orang yang berhak menerima sedekah adalah sebagai berikut.
a) Orang-orang yang saleh atau orang-orang yang ahli dalam kebaikan.
b) Orang yang paling dekat, antara lain didasarkan pada hadits Rasulullah S.A.W. kepada
Zainab, istri Abdullah Ibn Mas’ud. Dalam hadits tersebut dikatakan: “Suami dan
anakmu lebih berhak untuk menerima sedekah kamu”. (H.R. Bukhari dan Muslim).
c) Orang yang sangat membutuhkan.
d) Orang kaya, keturunan Bani Hasyim, orang kafir, dan orang fasik. Orang kaya
dibolehkan menerima sedekah walaupun dari keluarganya, begitu pula keturunan Bani
Hasim. Hanya saja, mereka tidak boleh menerima zakat.
e) Sedekah pada jenazah. Menurut pandangan Zuhaily (1989: 920) dibolehkan
memberikan sedekah kepada jenazah, seperti memberikan pahala sedekah pemberian
makanan, minuman, dan pakaian. Juga dibolehkan memberikan sedekah dengan do’a
menurut ijma’ ulama. Akan tetapi, tidak dibolehkan memberikan pahala amal yang
dilakukan oleh seseorang ,seperti shalat, puasa, dan lain-lain.
Para Ulama berbeda pendapat dalam memberikan pahala membaca Al-Qur’an, seperti
membaca Al-Fâtihah. Imam Syafi’i dan Imam Malik menyatakan bahwa hal itu tidak
bermanfaat, tetapi kebanyakan ulama lainnya menyatakan manfaat.
7. Sedekah Orang yang Memiliki Uang
Disunahkan bagi orang yang memiliki utang untuk tidak memberikan sedekah. Lebih
baik baginya membayar utang. Menurut ulama Syafi’iyah, haram hukumnya memberikan
sedekah bagi orang yang memiliki utang atau tidak mampu untuk mencukupi kebutuhan
keluarga sehari-hari, di antara lain didasarkan pada hadits: “Cukup bagi seseorang
dikatakan dosa apabila menghilangkan makanan pokoknya”. (H.R. Abu Dawud dan An-
Nasa’i dari Abu Hurairah).
Mereka berpendapat bahwa membayar utang adalah wajib. Maka, tidak boleh
meninggalkan yang wajib untuk melakukan hal yang sunah.
8. Sedekah dengan Uang Haram
Menurut Ulama Hanafiyah, (Al-Uskahafi, tt:97) sedekah dengan harta yang haram
qathî, seperti daging bangkai atau hasilnya dipakai membangun masjid dengan harapan
akan mendapat pahala atau menjadi halal. Bahkan bisa menjadi kufur, sebab meminta halal
dari suatu kemaksiatan adalah kufur. Akan tetapi, tidak dipandang kufur, jika seseorang
mencuri Rp. 100,00 kemudian mencampurkan dengan hartanya untuk disedekahkan.
Namun, tetap tidak dapat dimanfaatkan sebelum uang curian tersebut diganti.
9. Perkara yang Makruh dan Sunah dalam Sedekah
Dalam memberikan sedekah, tidak boleh diserta dengan sikap yang dapat menyakiti
hati penerimanya sebab hal itu akan menghilangkan pahala. Allah S.W.T. berfirman:
َْ‫ال ْۥْْرئَآء‬ َ َٰ َ َ ۡ َ َ ۡ
َُْ ‫ك َّٱَّلِّيْْيُنفِّ ُقْ َم‬ ُ َٰ َ َ َ ُ ۡ ُ َ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َٰٓ َ
ِّ ْ ْْ‫ى‬
ْ ‫نْْ ْوٱۡلذ‬
ِّْ ‫ِّينْْءام ْنواْ َّلْ تب ِّطلواْ صدقتِّكمْ ْب ِّٱلم‬
ْ ‫يأيهْاْْٱَّل‬

ٞ َ َُ َ ََ ٞ َُ َۡ َ َ ۡ َ ََ َ ََُُ َ ۡ َ ۡ َ ْ َّ ‫اسْ َو ََّلْيُ ۡؤم ُِّنْْب‬


ٍ ‫ٱّللِّْ ْوٱَلو ِّْمْٱٓأۡلخ ِِّّْرْفمثل ْهۥْكمث ِّلْصفو‬
ْ‫انْعليهِّْترابْفأصاب ْهۥْوابِّل‬ ِّ ْ ِّ َّ‫ٱنل‬

َ ۡ َۡ َ ُ َّ َ ُ َ َ َّ ۡ َ َٰ َ َ َ ُ ۡ َ َّ ٗ ۡ َ ُ َ َ َ َ
َْ ‫ٱّللَّْل َْي ۡهدِّيْٱلق ۡو َْمْٱلكَٰفِّ ِّر‬
ْ ٢٦٤ْْ‫ين‬ ْ ‫ْو‬ ْ ‫فَت ْكهۥْصۡلاََّْۖلْيقدِّرونْلَعَْش ٖءْمِّماْكسب ٌۗوا‬

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala)


sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima),
seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia
tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu
seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan
lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai
sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada orang-orang yang kafir” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 264)
Ketika memberikan sedekah disunahkan dengan wajah yang ramah dan menyenangkan.
Dimakruhkan memberikan sedekah dengan harta yang tidak berguna (membinasakan),
Allah S.W.T. berfirman:
ََ َۡ َ ُ َ َ ۡ َ ۡ َ ٓ َّ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ
َٰ َ َ ُ َ ٓ ُ َ َ َ َّ َ ُّ َ َٰٓ َ
ْ‫ۡرضْوَّل‬
ْ ِّ ‫تْماْكسبتمْومِّماْأخرجناْلكمْمِّنْٱۡل‬ ِّ ‫ِّينْءامنواْأنفِّقواْمِّنْطيِّب‬
ْ ‫يأيهْاْٱَّل‬

َ َ َّ َّ َ ٓ ُ َ ۡ َ ُ ۡ ُ َ ٓ َّ َ َ َ ُ ُ ُ ۡ َ َۡ َ
‫نْي‬
ْ ِّ ‫ٱّللْغ‬
ْ ْ‫ْوٱعلمواْْأن‬ ِّ ‫ْول ۡستُمْأَ‍ِب‬
ْ ِّ‫خذِّيهِّْإَِّّلْأنْتغ ِّمضواْفِّيه‬ ْ ِّ‫تيَ َّم ُمواْْٱۡلب‬
‫يثْمِّنهْتنفِّقون‬

َ
ْ ٢٦٧ْْ‫َحِّيد‬
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 267)
Sebaliknya, disunahkan memberikan sedekah dengan harta yang paling disukai dan
dicintai.
َ َّ َّ َ ۡ َ
ٞ ‫ٱّللْبهِّۦْ َعل‬ ُ ُ َ َ َ ُّ ُ َّ ُ ُ َٰ َّ َ َّ ۡ ُ َ َ َ
ْ ٩٢ْْ‫ِّيم‬ ِّ ْ ْ‫ونْوماْتنفِّقواْمِّنَْش ٖءْفإِّن‬
ْٗۚ ‫َّتْتنفِّقواْمِّماُْتِّب‬ ‫بْح‬
ْ ِّ ‫لنْتنالواْٱل‬

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum


kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (Q.S. Ali ‘Imrân [3]: 92)

C. Hadiah
Hadiah merupakan perilaku sosial ekonomi bahwa seseorang memberikan sesuatu pada
orang lain dalam rangka menghormati pada orang yang bersangkutan.
1. Landasan Hukum Memberi Hadiah
Berbagai ayat dalam Al-Qur’an dan hadits yang menganjurkan untuk berbuat baik dan
tolong menolong antara lain sebagai berikut.
Firman Allah S.W.T.:
ُ ‫ٱّللْ َشد‬
َّ َّ َ َّ ُ َّ ۡ ۡ ۡ َ َ ُ َ َ َ َ َ َٰ َ ۡ َّ َ ۡ َ َ ُ َ َ َ َ
ْ‫ِّيد‬ َْ ْ‫ٱّللَْۖإِّن‬ ِّْ َٰ‫ٱۡلث ِّْمْ َْوٱل ُع ۡد َو‬
ْ ْْ‫نْ َْوٱتقوا‬ ِّ ْ‫ىَْۖوَّلْتعاونواْلَع‬
ْ ‫بْ ْوٱتلقو‬
ِّْ ِّ ‫وتعاونواْلَعْٱل‬

َ ۡ
ْ ٢ْْ‫اب‬
ِّْ ‫ٱلعِّق‬

“ Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan


jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah
kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Q.S. Al-
Mâ’idah: 2)
Dalam hadits Nabi S.A.W., siti Aisyah r.a. bertanya: “Wahai Rasulullah S.A.W.
sesungguhnya aku mempunyai dua tetangga, siapa yang paling layak kuberi hadiah di
antara keduanya itu?” Nabi S.A.W. menjawab, “Orang yang paling dekat pintunya
denganmu”. (H.R. Bukhari).
Abu Hurairah r.a. telah menceritakan hadits bahwa nabi pernah bersabda: “Seandainya
aku diundang untuk memakan kaki kambing atau kaki sapi, niscaya aku akan
memenuhinya, dan seandainya aku diberi hadiah kaki kambing atau kaki sapi niscaya aku
mau menerimanya”. (H.R. Bukhari dan Tirmidzi).
Sabdanya lagi: “Saling berhadiahlah kalian karena sesungguhnya hadiah itu dapat
melenyapkan kedengkian hati, dan jangan sekali-kali seseorang wanita menganggap
remeh terhadap tetangga, sekalipun menghadiahkan kepadanya sepotong kaki kambing”.
(H.R. Bukhari dan Tirmidzi).
2. Hikmah Pemberian Hadiah
Dalam kehidupan sehari-hari dianjurkan untuk melakukan saling bantu-membantu
dalam kebaikan, sebagaimana dianjurkan oleh Allah dan Rasulullah S.A.W.
Adapun hikmah atas disyariatkan memberikan hadiah, antara lain sebagai berikut.
a) Untuk menghilangkan penyakit dengki, yang merupakan penyakit hati yang merusak
nilai-nilai keimanan. Hal ini sesuai dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dan Tirmidzi dan Abu Hurairah yang artinya: “Beri memberilah kamu, karena
pemberian itu dapat menghilangkan sakit hati (dengki)”.
b) Memberi hadiah dapat saling mengasihi, mencintai dan menyayangi. Abu Ya’la telah
meriwayatkan sebuah hadits dari Abu Hurairah r.a. bahwa Nabi S.A.W. pernah
bersabda: “Saling memberi hadiahlah kamu, niscaya kamu akan saling mencintai”.
c) Hadiah dapat menghilangkan rasa dendam, dalam sebuah hadits dari Anas bahwa
Rasulullah S.A.W. bersabda: “Saling memberi hadiahlah kamu, karena sesungguhnya
hadiah itu dapat mencabut rasa dendam”.

D. Dampak Sosial Ekonomi Hibah, Sedekah, dan Hadiah


Bagi orang-orang yang berakal yang mukmin dan muhsin bahwa hal yang berkaitan
dengan hibah, sedekah, dan hadiah mempunyai dampak yang besar dalam kehidupan
manusia, menunjukkan kemuliaan akhlak, kesucian tabiat, dan sifat-sifat yang utama.
Secara ekonomi, dengan adanya hibah, sedekah, dan hadiah akan dapat menumbuhkan
daya beli masyarakat dan memperbanyak peredaran uang, yang pada akhirnya akan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga mengarahkan pada keberuntungan.
Sebagaimana firman Allah S.W.T.:
َ ُ ۡ ُ ۡ ُ ُ َ ََٰٓ ُ َ َۡ ُ َ
ْ ٩ْْ‫ون‬ ِّ ‫َو َمنْيُوقْش َّحْنف‬
ْ ‫سهِّۦْفأولئِّكْهمْٱلمفلِّح‬
“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang
yang beruntung”. (Q.S. Al-Hasyr [59]: 9)
ُ َّ َ ۡ َ َ َ َّ
ْ ٨ْْ‫اب‬
ْ ‫إِّنكْأنتْٱلوه‬

“sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)"”. (Q.S. Âli ‘Imrân [3]: 8)


Dengan adanya hibah, sedekah, dan hadiah kepada orang lain secara sosial ekonomi
tentunya akan membawa pemerataan, peredaran, dan pendistribusian pendapatan antara
satu orang dan orang lain, antara orang kaya dan orang miskin, dan akan dapat membentuk
hubungan yang harmonis antara satu sama yang lain, dan dapat membangun hubungan
masyarakat dalam nuansa Islamiyah, serta saling menolong dalam masalah kebaikan.

Anda mungkin juga menyukai