Anda di halaman 1dari 13

PERSEWAAN DAN PENGUPAHAN

A. Sistem Persewaan
Dalam memanfaatkan suatu barang dapat menggunakan barang milik sendiri atau dapat
pula dengan sistem menyewa kepada orang lain. Berkaitan dengan sistem sewa
dikonsepsikan sebagai berikut.
1. Konsep Dasar Sewa-menyewa
Sewa (ijârah) berasal dari kata al-ajru artinya ‘ganti, upah atau menjual manfaat’.
Zuhaily (1989: 729) mengatakan, transaksi sewa (ijârah) identik dengan jual beli, tetapi
dalam sewa (ijârah) pemilikan dibatasi dengan waktu.
Secara istilah syariah, menurut ulama fikih, antara lain disebutkan oleh Al-Jazairi
(2005: 523) sewa (ijârah) dalam akad terhadap manfaat untuk masa tertentu dengan harga
tertentu. Menurut Sabiq (1983: 194), sewa adalah suatu jenis akad untuk mengambil
manfaat dengan jalan penggantian.
Pendapat lain dikemukakan oleh Zuhaily (1989: 729), ia mengatakan bahwa sewa
(ijârah) adalah transaksi pemindahan hak guna atas barang atau jasa dalam batasan waktu
tertentu melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan hak pemilikan
atas barang. Selanjutnya, Zuhaily (1989: 732) mengemukakan pendapat mazhab Hanafiyah
bahwa sewa (ijârah) adalah transaksi atas manfaat atas adanya transaksi atas kompensasi
tertentu. Malikiyah mengatakan, sewa (ijârah) adalah pemindahan pemilikan manfaat
tertentu yang diperbolehkan dalam waktu tertentu dengan kompensasi tertentu.
2. Landasan Hukum Sewa-menyewa
Sewa (ijârah) dalam hukum Islam diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil sebagai
berikut. Allah berfirman :
َ ‫وه َما فَ َو‬
ُ ‫ضي ُف‬َ ُ َ ْ ۡ َ َ َ َ َ ۡ َ ٓ َ َ ۡ َ ۡ َ ۡ َ َ ۡ َ ٓ َ َ َ ٓ َ ٰٓ ‫َ َ َ َ َ ى‬
‫ج َد ٗارا‬
ِ ‫ا‬ َ ‫ج َدا ف‬
‫ِيه‬ ِ ‫فٱنطلقا حَّت إِذا أتيا أهل قري ٍة ٱستطعما أهلها فأبوا أن ي‬

ٗ ۡ َ َۡ َ َ ۡ َ ‫ُ ُ َ َ َ ى َََ َ ُ َ َ َۡ ۡ َ َى‬
٧٧ ‫ي ِريد أن ينقض فأقامهۥ قال لو شِئت َلخذت عليهِ أجرا‬

“Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk


suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk
negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam
negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhr menegakkan dinding
itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu”.
(QS. Al-Kahfi [18]: 77)
Firman yang lain :
ُ َۡ َۡ َ ۡ َ َۡ ۡ َ َۡ َ ‫ۡ َۡ ُۡ ى‬ َ ََ َ ُ َ ۡ ۡ َ َ
٢٦ ‫جره إِن خۡي م ِن ٱستجرت ٱلق ِوي ٱۡلمِي‬ ِ ‫قالت إِحدىٰهما يٰٓأب‬
ِ ‫ت ٱست‬

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik
yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya”. (QS. Al-Qashash [28]: 26)
ۡ َ َ َ ٰ َ َ َ ُ ۡ َ َ ٰٓ َ َ ۡ َ ٰ َ َ َ
‫ك إِ ۡح َدى ۡٱبنَ ََّتى‬
ُ َۡ ُ ُ
ٓ ِ ِ‫قَ َال إ‬
‫ي لَع أن تأجر ِِن ثم ِِن حِججٖۖ فإِن‬ ِ ‫هت‬ ‫كح‬ِ ‫ّن أ ِريد أن أن‬

ُ ‫ّن إن َشا ٓ َء ى‬
َ‫ٱّلل مِن‬ ٓ ُ‫ك َستَجد‬ َ َۡ َ ‫َُ ى‬ َۡ ُ ُ ََٓ َ ۡ َ ٗ ۡ َ َ ََۡۡ
ِ ِ ِ َۚ ‫أشق علي‬ ‫أتممت عۡشا ف ِمن عِندِك وما أ ِريد أن‬

َ ‫ح‬
٢٧ ‫ي‬ ٰ‫ى‬
ِ ِ‫ٱلصل‬

“Berkatalah dia (Syu'aib): "Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu


dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja
denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah
(suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu
Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik”. (QS. Al-
Qashash [28]: 27)
َ ُ ‫ُ ۡ ُ ۡ ََ ُ َ ٓ ُ ى‬
ُ ‫ضي ُقوا ْ َعلَ ۡيه ىن ِإَون‬
‫كنى‬ ُ َ َ ُ َۡ ۡ ‫َۡ ُ ُ ى‬
َۚ ِ ِ ِ‫أسكِنوهن مِن حيث سكنتم مِن وجدِكم وَل تضاروهن َل‬

ُ ُ‫وه ىن أ‬ َ َ ۡ َ ‫ُ ْ َٰ َ ۡ َ َ ُ ْ َ َ ۡ ى َ ى ٰ َ َ ۡ َ َ ۡ َ ُ ى‬
ُ َ‫ۡرض ۡع َن ل‬
َ َ ‫ك ۡم‬
ُ ُ‫فات‬
‫ور ُه ىن‬
َ ‫ج‬ ‫ت َحل فأنفِقوا علي ِهن حَّت يضعن َحلهنَۚ فإِن أ‬ ِ ‫أول‬

ٰ َ ۡ ُ ٓ َُ ُ ُۡ َ َ ۡ ُ ۡ َ َ َ ُ ۡ َ ُ َ ۡ َ ْ ُ ََۡ
٦ ‫ضع لۥ أخرى‬ ِ ‫وأت ِمروا بينكم بِمعروفٖۖ ِإَون تعاَستم فسُت‬

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut


kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan
(hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil,
maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian
jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada
mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu)
dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh
menyusukan (anak itu) untuknya”. (QS. Ath-Thalaq [65]: 6)
Rasulullah SAW. bersabda: “Allah Azza wa Jalla berfirman, ‘Tiga orang dimana
Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat, orang yang memberi dengan-Ku
kemudian mengkhianatinya, orang yang menjual orang merdeka kemudian memakan
hasil penjualannya, dan orang yang menyewa pekerja kemudian pekerja bekerja
baik untuknya namun ia tidak memberikan upahnya”. (HR. Bukhari)
Rasulullah SAW dan Abu Bakar dalam perjalanan hijrah menyewa orang lain dari Bani
Ad-Dail sebagai pemandu jalan keduanya ke Madinah. (HR. Al-Bukhari)
3. Syarat Sewa-menyewa
Syarat-syarat sewa-menyewa (ijârah) adalah sebagai berikut.
a. Manfaatnya diketahui, misalnya, menempati rumah, menjahit pakaian, dan sebagainya,
karena ijârah, seperti jual beli, dan jual beli disyaratkan barangnya harus diketahui.
b. Manfaatnya diperbolehkan. Jadi, tidak diperbolehkan penyewaan budak wanita untuk
digauli, atau penyewaan wanita untuk bernyanyi atau meratap, atau tanah untuk
pembangunan gereja atau pabrik minuman keras.
c. Biaya sewa diketahui, karena Abu Sa’id Al-Khudri R.A berkata, “Rasulullah SAW
melarang penyewaan pekerja hingga upahnya dijelaskan kepadanya”. (HR. Ahmad).
4. Fenomena Sewa-menyewa
Fenomena sewa-menyewa (ijârah) dalam berbagai contoh (tamtsîl) sebagai berikut.
a. Menyewa guru untuk mengajarkan ilmu atau kerajinan diperbolehkan, karena
Rasulullah SAW membebaskan tawanan Perang Badar dengan syarat mereka mengajari
menulis sejumlah anak-anak Madinah. (HR. Para penulis Sirah seperti Muhammad bin
Ishaq).
b. Menyewa seseorang dengan memberinya makan dan pakaian diperbolehkan, karena
diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW. membaca surat Al-Qur’an dan ketika sampai
pada ayat tentang kisah Nabi Musa AS, beliau bersabda: “Sesungguhnya Musa
menyewakan dirinya selama delapan tahun atau sepuluh tahun dengan kehormatan
kemaluannya dan makanan perutnya”. (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
c. Menyewa salah satu rumah diperbolehkan.
d. Jika seseorang menyewa sesuatu kemudian ia dilarang memanfaatkannya pada suatu
waktu maka uang sewa dipotong sesuai dengan masa ia dilarang memanfaatkannya.
Jika penyewa tidak memanfaatkan apa yang disewanya karena kesalahan dirinya
sendiri, ia tetap harus membayar uang sewa dengan utuh.
e. Sewa (ijârah) menjadi batal dengan kerusakan pada sesuatu yang disewakan, misalnya,
rumah yang disewakan roboh, atau kematian hewan yang disewakan, namun penyewa
harus membayar uang sewa selama ini memanfaatkan sesuatu yang disewanya sebelum
rusak.
f. Barang siapa menyewa sesuatu dan mendapatkannya cacat di dalamnya, ia berhak
membatalkan sewa jika ia tidak mengetahui cacat itu sebelumnya dan tidak
merelakannya. Jika ia telah memanfaatkannya hingga waktu tertentu, ia harus
membayar uang sewanya.
g. Pekerja dalam jumlah banyak, seperti para penjahit, harus mengganti apa yang
dirusaknya, bukan apa yang hilang dari toko yang dijaganya. Sementara pekerja khusus,
misalnya, seseorang menyewa orang lain untuk bekerja khusus ia tidak berkewajiban
mengganti apa yang dirusaknya selagi tidak ada bukti bahwa ia teledor atau berbuat
zalim.
h. Uang sewa harus dilakukan dengan akad dan penyerahannya, dilakukan setelah
selesainya pemanfaatan sesuatu yang disewakan atau selesainya pekerjaan, kecuali jika
disyaratkan uang sewanya harus dibayar pada saat akad, karena Rasulullah SAW.
bersabda: “Bagi pekerja, upahnya dibayarkan jika ia telah menyelesaikan
pekerjaannya”. (HR. Ahmad).
i. Pekerja berhak menahan barang yang disuruh mengerjakannya hingga upahnya dibayar,
jika tindakannya menahan barang tersebut tidak berpengaruh pada barang yang
ditahannya, misalnya, penjahit pakaian. Jika tindakan menahan barang tersebut
berpengaruh pada barang yang ditahannya, misalnya orang yang disewa mengangkut
barang dagangan ke satu tempat maka ia tidak boleh menahannya, namun ia harus
mengantarkan barang dagangan tersebut ke tempat yang dimintanya, kemudian ia
meminta upahnya.
j. Barang siapa mengobati orang sakit kemudian diberi upah, namun sebenarnya ia bukan
ahli pengobatan, kemudian merusak salah satu dari anggota tubuh pasiennya, ia harus
menggantinya, karena Rasulullah SAW. bersabda: “Barang siapa mengobati padahal
ia tidak dikenal ahli mengobati, ia mengganti(kerusakan yang dilakukannya)”. (HR.
Abu Daud, An-Nasai, dan Ibnu Majah).
5. Sewa-menyewa dan Pemindahan Pemilikan
Perpaduan antara transaksi jual beli dan sewa-menyewa (al-ijârah al-muntahiyah bit-
tamlîk), yaitu kontrak jual beli dengan transaksi sewa atau transaksi sewa yang diakhiri
dengan pemilikan barang di tangan penyewa. Berdasarkan definisi al-ijârah al-muntahiyah
bit-tamlîk berbeda dengan transaksi sewa biasa, dengan keterangan sebagai berikut.
a. Kontrak perpaduan antara transaksi jual beli dan sewa-menyewa (al-ijârah al-
muntahiyah bit-tamlîk) terdiri atas dua transaksi (akad), yaitu akad sewa sampai batas
waktu tertentu dan akad pemindahan pemilikan objek sewa yang diakhiri masa
perjanjian yang independen, baik dengan akad jual beli maupun hibah. Dalam konteks
ini, di akhir masa sewa, pemilik barang berjanji akan menjual barang tersebut kepada
penyewa atau dengan akad hibah.
b. Biaya sewa dibayarkan penyewa, yang biasanya lebih besar dari sewa biasa. Harga
sewa tersebut mencerminkan harga pokok pembelian dan besaran margin yang
diinginkan. Ketika biaya sewa lunas dibayarkan di akhir masa sewa, pemilikan barang
akan bergeser kepada penyewa dengan akad yang independen, baik dengan akad jual
beli maupun hibah. Menurut Zuhaily (1989: 410-412), dalam al-ijârah al-muntahiyah
bit-tamlîk instrumen pembayaran yang diperbolehkan oleh syariah sebagai berikut.
1) Kontrak al-ijârah al-muntahiyah bit-tamlîk bukan merupakan penggabungan dua
akad, yakni sewa dengan jual beli dalam satu akad, karena dalam hal ini dilarang
oleh syara’, namun ia terdiri dari dua akad yang pisah dan independen, pertama
adalah akad sewa dan kedua masa sewa yang dibentuk dari akad baru independen,
yakni akad jual beli atau hibah.
2) Menurut ulama Hanabilah, pihak yang melakukan transaksi memiliki kebebasan
penuh dalam menentukan kesepakatan dan syarat dalam sebuah akad, dan hukum
asal dalam hal ini diperbolehkan, sepanjang kesepakatan atau syarat tersebut tidak
bertentangan dengan nash syara’ atau merusak kaidah syariah. Atau, syarat tersebut
menghilangkan atau menafikan maksud diadakan akad.
3) Adapun janji pihak yang menyewakan barang untuk melakukan transaksi pindahan
pemilihan barang komoditas di akhir sewa bukanlah suatu hal yang dapat merusak
akad dalam pandangan syara’, karena janji bukanlah bentuk akad dan tidak dapat
merusak segala konsekuensi yang ada dalam akad. Atau, dapat menjerumuskan
pada pihak yang bertransaksi pada sesuatu yang dilarang oleh syara’. Seperti ribâ
atau gharâr. Menurut Malikiyah dan Hanafiyah janji tersebut bersifat mengikat.
4) Ulama Malikiyah menyatakan, akad sewa (ijârah) bisa digabungkan dengan akad
jual beli dalam sebuah transaksi, karena tidak ada hal yang menafikan substansi
keduanya. Begitu juga dengan Syafi’iyah dan Hanabilah yang mengakui keabsahan
penggabungan dalam akad ini, karena tidak ada pertentangan substansi akad di
antara keduanya.
5) Selain itu juga terdapat fatwa dari Konferensi Fikih Internasional Pertama di Bait
At-Tamwîl Al-Kuwaiti, pada tanggal 7 – 11 Maret 1987 yang mengakui keabsahan
akad al-ijârah al-muntahiyah bit-tamlîk yang diakhiri dengan akad hibah. Atau juga
ketetapan ulama fikih dunia nomor 44 dalam sebuah konferensi di Kuwait (10 – 11
Desember 1988) yang menghadirkan alternatif solusi, yakni akad ini diganti dengan
jual beli kredit, atau akad ijârah, yang di akhir perjanjian penyewa diberi beberapa
opsi, yaitu perpanjangan masa kontrak sewa, menyelesaikan akad dengan
mengembalikan objek sewa, atau membeli objek sewa dengan harga yang berlaku
di pasar.

B. Sistem Pengupahan
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia itu melakukan kegiatan, ada yang bisa dilakukan
sendiri, ada juga yang harus dilakukan melalui kegiatan orang lain. Berkaitan dengan
kegiatan melalui orang lain inilah yang harus diberi imbalan dalam bentuk upah atas
dengan imbalan dalam bentuk lain. Lebih jelasnya diuraikan sebagai berikut.
1. Konsep Dasar Pengupahan
Pengupahan (ju’âlah) menurut bahasa ialah ‘apa yang diberikan kepada seseorang
karena sesuatu yang dikerjakannya’, sedangkan pengupahan (ju’âlah) menurut syariah, Al-
Jazairi (2005: 525 – 526) menyebutkan hadiah atau pemberian seseorang dalam jumlah
tertentu kepada orang yang mengerjakan perbuatan khusus, diketahui atau tidak diketahui.
Misalnya, seseorang berkata, “Barang siapa membangun tembok ini untukku, ia berhak
mendapatkan uang sekian”. Maka, orang yang membangun tembok untuknya berhak atas
hadiah (upah) yang ia sediakan, banyak atau sedikit. Istilah lain dari pengupahan adalah
ijârah. Penggunaan kedua istilah ini sesuai dengan teks dan konteksnya.
2. Landasan Hukum Ju’âlah
Pengupahan (ju’âlah) diperbolehkan berdasarkan dalil-dalil berikut.
Firman Allah SWT. :

‫ك َن‬ ٰ َ ‫ِيها َو َم‬


ِ ‫س‬ َ ‫ج ىنٰت ََتۡري مِن ََتۡتِ َها ۡٱۡلَنۡ َهٰ ُر َخٰ ِِل‬
َ ‫ِين ف‬ َ ‫ت‬
ِ ٰ َ ‫ِي َوٱل ۡ ُم ۡؤم‬
‫ِن‬ َ ‫ٱّلل ٱل ۡ ُم ۡؤ ِمن‬
ُ ‫َو َع َد ى‬
ِ
َ ۡ ُ ۡ َ ۡ َ ُ َ ٰ َ ُ َ ۡ َ ‫ َ ى‬ٞ َ ۡ َ ۡ َ ٰ‫َ ى‬ ٗ
ُ
٧٢ ‫ن و ِرضوٰن مِن ٱّللِ أكبَۚ ذل ِك هو ٱلفوز ٱلع ِظيم‬ ِ ‫َطيِبَة ِِف جن‬
ٖۚ ‫ت عد‬
“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan
mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di
dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga 'Adn. Dan
keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (QS.
At-Taubah [9]: 72)
Sabda Nabi SAW. kepada para sahabat yang mendapatkan ju’âlah berupa sekawanan
kambing karena mengobati orang yang tersengat, “Ambillah ju’âlah (upah) dan berikan
aku satu bagian bersama kalian”. (HR. Bukhari).
3. Rukun dan Syarat Ju’âlah
Rukun dan syarat pengupahan (ju’âlah) adalah sebagai berikut.
a. Lafadz. Kalimat itu harus mengandung arti izin kepada orang yang akan bekerja.
b. Orang yang menjanjikan upah. Dalam hal ini orang yang menjanjikan upah itu boleh
orang yang memberikan pekerjaan itu sendiri atau orang lain.
c. Pekerjaan yang akan dilakukan.
d. Upah. Upah harus jelas, berapa yang akan diberikan sesuai dengan transaksi yang telah
dilakukan.
4. Sistem Pengupahan
Dalam sistem pengupahan ada kalanya yang berkaitan dengan pekerjaan ibadah dan
adakalanya berkaitan dengan aspek ekonomi.
a. Sistem Pengupahan dalam Pekerjaan Ibadah
Upah dalam perbuatan ibadah atau ketaatan, seperti shalat, puasa haji dan membaca Al-
Qur’an diperselisihkan kebolehannya oleh para ulama karena berbeda cara pandang
terhadap pekerjaan ini.
Suhendi (2008: 118-119) mengemukakan pendapat imam Hanafi bahwa ijârah dalam
perbuatan taat seperti menyewa orang lain untuk shalat, puasa, haji, dan membaca Al-
Qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu, seperti pada arwah ibu dan
bapak dari yang menyewa, hukumnya haram mengambil upah dari pekerjaan tersebut,
karena Rasulullah SAW. bersabda: “Bacalah olehmu Al-Qur’an dan jangan kamu (cari)
makan dengan jalan itu”. Beliau juga bersabda: “Jika kamu mengangkat seseorang
menjadi mu’adzin, janganlah kamu pungut dari adzan itu suatu upah”.
Perbuatan, seperti adzan, iqamah, shalat, puasa, haji, membaca Al-Qur’an, dzikir
tergolong perbuatan taqarrub kepada Allah, karena itu tidak boleh mengambil upah untuk
pekerjaan itu selain dari Allah. Pekerjaan seperti batal menurut hukum Islam, karena
membaca Al-Qur’an bila bertujuan untuk memperoleh harta maka tak ada pahalanya.
Apalagi dihadiahkan kepada mayit, sekalipun pembaca Al-Qur’an niat karena Allah,
namun pahala pembacaan Al-Qur’an tahap untuk diri pembaca dan tidak bisa diberikan
kepada orang lain, karena firman Allah :
َٓۡ َُ َ َ‫ۡ َ َ َ ۡ َى‬ َ ۡ َ‫ٱّلل َن ۡف ًسا إ ىَل ُو ۡس َع َها َۚ ل َ َها َما َك َسب‬
‫ت َو َعل ۡي َها َما ٱكتسبت ربنا َل تؤاخِذنا‬
َ ُ َ
ُ ‫كل ُِف ى‬ ‫َل ي‬
ِ
َ ََ َََُۡ َ َ ٗ ۡ ََٓۡ َ ۡ َۡ ََ َ‫ى َٓ َۡ َ ۡ َ َۡ َى‬
َ ‫لَع ىٱَّل‬
‫ِين مِن ق ۡبلِنَا َۚ َر ىبنَا‬ ‫إِن نسِينا أو أخطأنا َۚ ربنا وَل َت ِمل علينا إِۡصا كما َحلتهۥ‬
ََ َ ۡ ُ َ َٰ َ ۡ َ َ َ َٓ ۡ َ ۡ َ ََ ۡ ۡ َ ‫َ ۡ ُ َ ى‬ َ ََ َ ۡ ُ َ
‫َوَل َتَ ِملنَا َما َل َطاقة َلَا بِهِۦ وٱعف عنا وٱغفِر َلا وٱرَحنا َۚ أنت مولىنا فٱنُصنا لَع‬

َ ۡ َۡۡ
َ ‫ك ٰ ِفر‬
٢٨٦ ‫ين‬ ِ ‫ٱلقو ِم ٱل‬

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia


mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa
(dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami,
janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau
bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah
kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka
tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. (QS. Al-Baqarah [2]: 286).
Pendapat lain dikemukakan oleh Sabiq (1983: 205), ulama memfatwakan tentang
kebolehan mengambil upah yang dianggap sebagai perbuatan baik, seperti para pengajar
Al-Qur’an, guru-guru di sekolah dan sebagainya, karena membutuhkan tunjangan untuk
dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggungannya, mengingat mereka tidak sempat
melakukan pekerjaan lain, seperti dagang, bertani, dan lainnya, serta waktunya tersisa
untuk mengajar Al-Qur’an.
Menurut Mazhab Hambali, pengambilan upah dari pekerjaan upah dari pekerjaan
Adzan, qamat, mengajarkan Al-Qur’an, fikih, hadits, badal haji, dan puasa qadha’ adalah
tidak boleh, diharamkan bagi pelakunya untuk mengambil upah tersebut. Namun, boleh
mengambil upah dari pekerjaan-pekerjaan tersebut jika termasuk pada mashâlih, seperti
mengajar Al-Qur’an, hadits, dan fikih, namun haram mengambil upah dari perbuatan
taqarrub, seperti membaca Al-Qur’an, shalat dan lain-lain.
Mazhab Syafi’i, Maliki, dan Ibnu Hazm membolehkan mengambil upah sebagai
imbalan mengajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu, karena termasuk jenis imbalan dari pekerjaan
yang diketahui dan tenaga yang diketahui pula. Ibnu Hazm mengatakan bahwa
pengambilan upah sebagai imbalan mengajar Al-Qur’an dan pengajaran ilmu, baik secara
bulanan maupun sekaligus, karena nash yang melarang tidak ada.
Abu Hanifah dan Ahmad melarang pengambilan upah dari tilawah Al-Qur’an dan
mengajarkannya bila pembacaan dan pengajaran tersebut berkaitan dengan taat dan ibadah.
Sementara Imam Malik berpendapat boleh mengambil imbalan dari bacaan dan pengajaran
Al-Qur’an, adzan, dan ibadah haji.
Imam Syafi’i berpendapat bahwa pengambilan upah dari pengajaran berhitung, khat,
bahasa, sastra, fikih, hadits, membangun masjid, menggali kuburan, memandikan mayit,
dan membangun madrasah adalah boleh. Sementara Imam Abu Hanifah berpendapat
bahwa pengambilan upah menggali kuburan, dan membawa jenazah boleh, namun
pengambilan upah memandikan mayit tidak boleh.
b. Sistem Pengupahan dalam Pekerjaan yang Bersifat Material
Dalam melakukan perkerjaan dan besarnya pengupahan, seseorang itu ditentukan
melalui standar kompetensi yang dimilikinya, yaitu sebagai berikut.
1. Kompetensi teknis, yaitu pekerjaan yang bersifat keterampilan teknis, contoh,
pekerjaan yang berkaitan dengan mekanik perbengkelan, pekerjaan di proyek-proyek
yang bersifat fisik, dan pekerjaan di bidang industri mekanik lainnya.
2. Kompetensi sosial, yaitu pekerjaan yang bersifat hubungan kemanusiaan, seperti
pemasaran, hubungan kemasyarakatan, dan sebagainya.
3. Kompetensi manajerial, yaitu pekerjaan yang bersifat penataan dan pengaturan usaha,
seperti manajer, sumber daya manusia, manajer produksi, manajer keuangan, dan
sebagainya.
4. Kompetensi intelektual, yaitu tenaga di bidang perencanaan, konsultan, dosen, guru,
dan sebagainya.
Dalam praktik pemberian upah, mengikuti sistem pengupahan pasar, sistem upah
progresif, sistem pengupahan melalui skala dan struktur upah, dan sebagainya. Hal tersebut
tergantung pada jenis pekerjaan, beban kerja, waktu, dan lainnya. Masalah pekerjaan itu
tergantung jenis, beban, dan waktu pekerjaan.
Jumhur ulama tidak memberikan batasan maksimal atau minimal. Sebab, tidak ada dalil
yang mengharuskan untuk membatasinya. Ulama Hanafiyah tidak menetapkan pekerjaan
tentang awal waktu akad, sedangkan ulama Syafi’iyah mensyaratkannya sebab kalau tidak
dibatasi hal itu menyebabkan tidak diketahui oleh awal waktu yang wajib dipenuhi.
Penjelasan tentang jenis pekerjaan adalah penting dan diperlukan ketika merekrut
tenaga kerja, sehingga tidak terjadi kesalahan dan pertentangan atau konflik Industrial.
Tentang batasan waktu sangat tergantung pada pekerjaan dan kesepakatan dalam akad.
Mengenai kriteria rekrutmen tenaga kerja dijelaskan dalam surat Al-Qashash sebagai
berikut.
ُ ‫ت ٱلۡ َقوي ۡٱۡلَم‬
َ ‫ج ۡر‬ ۡ َ ‫ٱس‬
َ ‫ت‬ َ ۡ ‫تج ۡرهُ إ ىن َخ‬
ۡ ‫ۡي َمن‬ ۡ َ ‫ٱس‬
ۡ ‫ت‬ َ ََ َ ُ َ ۡ ۡ َ َ
٢٦ ‫ِي‬ ِ ِ ِ ِ ِ ٰٓ ‫قالت إِحدىٰهما ي‬
‫ب‬‫أ‬

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik
yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat
dipercaya”. (QS. Al-Qashash [28]: 26)
Ayat ini merupakan kisah dari perjalanan Nabi Musa A.S bertemu dengan kedua putri
Nabi Ishaq, salah seorang putrinya meminta Nabi Musa untuk direkrut sebagai pekerja
guna menggembalakan kambing atau domba. Kemudian Nabi Ishaq bertanya tentang
alasan putrinya tersebut. Putri Nabi Ishaq menyampaikan bawah Nabi Musa mampu
mengangkat batu yang hanya bisa diangkat oleh sepuluh orang. Bahkan mengatakan karena
“Sesungguhnya orang yang paling baik kamu ambil untuk pekerja adalah orang yang kuat
lagi dapat dipercaya”. Ayat berikutnya bercerita tentang bagaimana Nabi Musa harus
bekerja dan sistem remunerasi yang akan diterimanya (Ibnu Katsir: 615 Juz III).
Cerita ini menggambarkan tentang proses rekrutmen pekerja bagaimana jenis, sifat,
beban pekerjaan, waktu, dan sistem pengupahannya. Dalam kaidah ushul fikih sebuah
cerita dalam surat qashash bisa dijadikan sebagai landasan tentang sesuatu. Praktik ijârah
di bidang ketenagakerjaan disyariatkan pada masa Nabi Musa dan hal itu merupakan syar’u
man qablanâ, bisa juga menjadi aturan syariah bagi kita sepanjang syariah tersebut tidak
dihapus (manshûkh).
Mengenai sistem pengupahan ada sebuah hadits yang memberikan penjelasan,
sebagaimana sabda Rasulullah SAW.: “Barang siapa yang memperkerjakan pekerja
berikanlah upahnya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abdul Ar-Razzq dari Abu Hurairah dan Said Al-Khudri
menerangkan keabsahan akad ijârah di bidang ketenagakerjaan dan memberikan cara
bagaimana kita melakukan sewa kontrak pekerjaan antara pemberi kerja dan tenaga kerja,
hal ini untuk mencegah terjadinya perselisihan atau konflik Industrial.
Sabda Rasulullah SAW. yang lain: “Berilah upah sebelum keringatnya kering”. (HR.
Ibnu Majah).
Hadits ini merupakan dalil lain yang membolehkan akad ijârah. Menurut Ibnu Hajar,
kedudukan hadits ini adalah lemah. Hadits ini memerintahkan orang yang memanfaatkan
jasa kerja untuk memberikan upah sebelum keringatnya kering (Zuhaily:1989: 730, Juz
IV).
Dalam hadits ini juga menunjukkan etika dalam melakukan akad dalam bidang
ketenagakerjaan dengan memberikan upah secepatnya. Relevansinya dalam kontrak kerja
pada saat sekarang ini adalah adanya keharusan untuk melakukan pembayaran yang sesuai
dengan sistem pengupahan yang berlaku sesuai dengan standar kompetensinya.

C. Operasionalisasi Hukum Ju’âlah


Pelaksanaan dalam sistem pengupahan menurut Al-Jazairi (2005: 526-527) di
antaranya mengandung hukum-hukum pengupahan (ju’âlah), yaitu sebagai berikut.
1. Pengupahan (ju’âlah) adalah akad yang diperbolehkan. Kedua belah pihak yang
bertransaksi dalam pengupahan diperbolehkan membatalkannya. Jika pembatalan
terjadi sebelum pekerjaan dimulai maka pekerja tidak mendapatkan apa-apa. Jika
pembatalan terjadi di tengah-tengah proses pekerjaan maka pekerja berhak
mendapatkan upah atas pekerjaan.
2. Dalam pengupahan (ju’âlah), masa pengerjaan tidak disyaratkan diketahui. Jika
seseorang berkata, “Barang siapa bisa menemukan untaku yang hilang, ia mendapatkan
hadiah satu dinar”. Orang yang berhasil menemukannya berhak atas hadiah tersebut
kendati menemukannya setelah sebulan atau setahun.
3. Jika pengerjaan dilakukan sejumlah orang maka upah atau hadiahnya dibagi secara
merata antara mereka.
4. Pengupahan (ju’âlah) tidak boleh pada hal-hal yang diharamkan. Jadi, seseorang tidak
boleh berkata, “Barang siapa menyakiti atau memukul si Fulan atau memakinya, ia
mendapatkan upah (ju’âlah) sekian”.
5. Barang siapa menemukan barang tercecer, atau barang hilang, atau mengerjakan suatu
pekerjaan dan sebelumnya ia tidak mengetahui kalau di dalamnya terdapat upah
(ju’âlah), ia tidak berhak atas upah tersebut kendati ia telah menemukan barang tercecer
tersebut, karena perbuatannya itu ia lakukan secara sukarela sejak awal. Jadi, ia tidak
berhak mendapatkan ju’âlah tersebut kecuali jika ia berhasil menemukan budak yang
melarikan diri dari tuannya, sebagai balas budi atas perbuatannya tersebut.
6. Jika seseorang berkata, “Barang siapa makan dan minum sesuatu yang dihalalkan, ia
berhak atas upah (ju’âlah),” maka ju’âlah seperti itu diperbolehkan, kecuali jika ia
berkata, “Barang siapa makan dan tidak memakan sesuatu dari padanya, ia berhak atas
ju’âlah,” ju’âlah seperti ini tidak sah.
7. Jika pemilik ju’âlah dan pekerja tidak sependapat tentang besarnya ju’âlah maka
ucapan yang diterima ialah ucapan pemilik ju’âlah dengan disuruh bersumpah. Jika
kedua berbeda pendapat tentang pokok ju’âlah maka ucapan yang diterima ialah ucapan
pekerja dengan disuruh bersumpah.

D. Dampak Sosial Ekonomi Ijârah dan Ju’âlah


Disyariatkan sewa-menyewa dan penggunaan potensi orang lain dalam sistem
pengupahan cukup besar, karena di dalamnya mengandung manfaat bagi manusia. Apabila
sewa akan suatu barang disebutkan dalam akad sewa, yang disebutkan dalam kitab fikih
untuk menghindarkan suatu perselisihan dan mengarah pada manfaat sosial dan ekonomi.
Menggunakan potensi orang lain untuk melakukan kerja, baik di sektor pertanian,
industri, maupun jasa, merupakan aktivitas yang bersifat ekonomi yang dapat memenuhi
kebutuhan orang lain.
Dalam sistem pengupahan, melakukan pekerjaan di bidang sektor usaha diperlukan
keterampilan sumber daya manusia, baik sebagai wirausaha maupun sebagai pekerja teknis
di bidangnya. Sebagaimana Firman Allah :
ٗ َ ٰ َ َۡ َُ ۡ َ َُۡ َ ۡ ُ ََ َ َ َٰ َ ُ َ ۡ َ ٞ ُ ۡ ُ
٨٤ ‫لَع شاِكِ تِهِۦ فربكم أعلم بِمن هو أهدى سبِيٗل‬ ‫قل ك يعمل‬

“Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing".


Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”. (QS. Al-Isrâ
[17]: 84).
Sementara sesuai dengan bidan atau profesinya dijelaskan oleh Allah dalam firman-
Nya.
َ َ َ َ َ ٞ َ
٣٩ ‫ك ۡم إِ ِّن ع ٰ ِمل ف َس ۡوف ت ۡعل ُمون‬ ِ ٰ َ َ ْ ‫ٱع َملُوا‬
ُ ‫لَع َم ََكنَت‬ ۡ ِ ۡ َ َٰ ۡ ُ
‫قل يقوم‬
“Katakanlah: "Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya
aku akan bekerja (pula), maka kelak kamu akan mengetahui” (QS. Az-Zumar
[39]: 39).

Anda mungkin juga menyukai