Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH

SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI FATHIMIYAH

Dosen Pengampu :
Lukamnul Hakim, Ph.D

Oleh :
SUPANDI
ACENG BADRUZZAMAN

MAGISTER STUDI ISLAM


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2016
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN...................................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2

C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................. 2

BAB II : PEMBAHASAN ...................................................................................................... 3

A. Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyyah ........................................................................... 3

B. Khalifah-khalifah yang Berkuasa Pada Dinasti Fatimiyyah ........................................... 7

C. Masa Kejayaan Dinasti Fatimiyyah .............................................................................. 14

D. Kemunduran Dinasti Fatimiyyah .................................................................................. 18

BAB III : PENUTUP ............................................................................................................ 24

A. Kesimpulan .................................................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 27

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas
Syi’ah untuk mengembangkan konsep Islamnya, melebihi isu hukum dan mistisme. Pada
abad ke-7 dan ke-8 M, isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk
perlawanan kepada Khalifah Umayyah dan Abbasiyah. Meski Abbasiyah mampu
berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode keemasannya hanya
berlangsung singkat. Puncak kemerosotan kekuasaan khalifah-khalifah Abbasiyah
ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan
politik Khalifah Abbasiyah.
Khilafah-khilafah yang memisahkan diri itu, salah satu di antaranya adalah
Fatimiyyah yang berasal dari golongan Syi’ah sekte Isma`iliyah, yakni sebuah aliran
sekte di Syi’ah yang lahir akibat perselisihan tentang pengganti Imam Ja’far al-Shadiq
yang hidup antara tahun 700-756 M. Fatimiyyah hadir sebagai tandingan bagi penguasa
Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang tidak mengakui kekhalifahan Fatimiyah
sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah serta sebagai rival Dinasti Bani Umayyah di
Spanyol.
Fatimiyyah merupakan penguasa Syi’ah yang berkuasa di berbagai wilayah di
Maghrib, Mesir dan Syam dari tahun 909 M hingga tahun 1171 M. Setelah penaklukan
Mesir sekitar tahun 971 M, ibukotanya dipindahkan ke Kairo. Di masa Fatimiyyah,
Mesir menjadi pusat kekuasaan yang mencakup Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah
Afrika, Palestina, Suriah, Yaman dan Hijaz. Mesir juga berkembang menjadi pusat
perdagangan luas di Laut Tengah dan Samudera Hindia, yang menentukan jalannya
ekonomi Mesir selama Abad Pertengahan Akhir yang saat itu dialami Eropa.
Kemajuan Fatimiyyah dalam administrasi negara lebih berdasarkan pada
kecakapan daripada keturunan, toleransi dikembangkan kepada non-Muslim seperti
orang-orang Nasrani dan Yahudi, yang mendapatkan kedudukan tinggi dalam
pemerintahan dengan berdasarkan pada kemampuan.
Bagaimanapun juga, dinasti Fatimiyyah merupakan salah satu warna dari
perjalanan dinamika umat Islam di Afrika Utara dan Mesir. Dalam rentang beberapa
periode, dinasti ini telah mengukirkan nama harumnya bagi kemajuan dan kebesaran
serta kejayaan Islam. Meskipun kedisnatian ini menganut Syi’ah Isma’iliyah tapi masih

1
dalam bingkai Islam. Oleh karena itu, peran dan sumbangannya bagi kebesaran nama
Islam harus tetap dijunjung tinggi dan dihargai.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada makalah ini
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah awal pembentukan dan perkembangan dinasti fatimiyyah ?
2. Siapa saja khalifah yang pernah memimpin pada dinasti Fatimiyyah ?
3. Mengapa dinasti Fatimiyyah mencapai kejayaan dan apa saja bukti-buktinya ?
4. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan kemunduran dinasti Fatimiyyah ?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini yaitu:
1. Untuk mengetahui perkembangan Sejarah Peradaban Islam pada masa dinasti
Fatimiyyah
2. Untuk mengetahui khalifah yang pernah memimpin pada masa dinasti Fatimiyyah
3. Untuk mengetahui bukti-bukti kejayaan pada masa dinasti Fatimiyyah
4. Untuk mengetahui faktor-faktor kemunduran dinasti Fatimiyyah

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Berdirinya Dinasti Fatimiyyah
Dinasti Fatimiyah atau disebut juga Al-Fathimiyyun adalah satu-satunya
dinasti Syi’ah dalam Islam yang penamaannya dinisbatkan kepada Fatimah al-Zahra,
putri Nabi Muhammad SAW. Kebangkitan dinasti ini berasal dari suatu tempat yang
kini dikenal sebagai Tunisia (Ifriqiyyah). Kemunculan dinasti ini seperti yang dikatakan
JJ. Sounders yang dikutip oleh Catur Prasetyo adalah diakibatkan oleh tuntutan Imamah
sebagai Khalifah atau pengganti Rasulullah setelah wafat. Lebih jauh ia mengatakan
gerakan Syi’ah tersebut merupakan sebuah protes politik terhadap penguasa dan sebagai
tandingan bagi penguasa dunia Islam pada saat itu yang terpusat di Baghdad. Protes
politik tersebut dilakukan dengan jalan konfrontasi, sehingga para penguasa (Mu’awiyah
dan Abbasiyah) tidak ragu-ragu membunuh keluarga Ahl al-Bayt dan mengintimidasi
para pengikutnya.1
Fatimiyyah adalah dinasti Syi’ah yang dipimpin oleh 14 Khilafah atau Imam
di Afrika Utara (909–1171). Dinasti ini dibangun berdasarkan konsep Syi’ah keturunan
Ali bin Abi Thalib dan Fatimah (anak Nabi Muhammad SAW). Kata Fatimiyyah
dinisbatkan kepada Fatimah, karena pengikutnya mengambil silsilah keturunan dari
Fatimah Az-Zahra binti Rasulullah. Dinasti Fatimiyyah juga disebut dengan Daulah
Ubaidiyah yang dinisbatkan kepada pendiri dinasti yaitu Abu Muhammad Ubaidillah Al
Mahdi (297H-322H). Orang-orang Fatimy juga disebut sebagai kaum Alawy, karena
dihubungkan dengan keturunan Ali bin Abi Talib.2
Sekte Syi’ah ini menisbatkan dirinya kepada Imamiyah dan menyetujui
penetapan ke enam para Imam yang pertama dari dua belas Imam. Menurut mereka,
sesudah kematian Ja’far al-Shadiq (Imam ke enam), Imamah tidaklah berpindah kepada
putranya yang bernama Musa al-Kazim, akan tetapi berpindah kepada puteranya yang
lain yakni Isma’il. Karena itulah mereka disebut dengan sekte Syi’ah Isma’iliyah.
Namun para Imam yang mereka yakini dari garis keturunan Isma’il tersebut tidak pernah
muncul, justru yang muncul hanyalah juru dakwah (propagandis/misionaris). Oleh
karena itu, para Imam tersebut dinamakan al-Aimmah al-Masturun. Para Imam

1 JJ. Sounders, A History of Medival Islam (London: Redwood Book, 1981). Hal. 125
2 Taufik Abdullah dkk (ed), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jilid I, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996). Hal. 4

3
Isma’iliyah baru akan muncul kembali setelah keadaan mereka bertambah kuat di Afrika
utara pada tahun 297 H./909 M.
Seperti dikatakan oleh Syalabi, Syi’ah Isma`iliyyah tidak menampakkan
gerakannya secara jelas,3 hingga muncullah Abdullah Ibn Maymun yang membentuk
Syi’ah Isma’iliyyah sebagai sebuah sistem gerakan politik keagamaan. Hal ini
merupakan ekses dari dari kekecewaan golongan Isma’iliyah terhadap Bani Abbas atas
kerjasamanya merebut kekuasaan Bani Umayyah. Setelah perjuangan berhasil, dan Bani
Abbas berkuasa, sedikit demi sedikit mereka disingkirkan.4
Melihat kenyataan politik yang tidak pernah menguntungkan, kelompok
Syi’ah yang dipimpin oleh Abdullaah ibn Maymun merubah gerakannya sebagai sebuah
sistem gerakan politik keagamaan, dimana semula Ismai’liyah tidak pernah
menampakkan sebagai gerakan yang jelas. Ia berjuang mengorganisir propaganda Syiah
Isma’iliyyah dengan tujuan menegakkan kekuasaan Fatimiyyah. Secara rahasia ia
mengirimkan misionari ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran
Syi’ah Isma’iliyyah. Kegiatan ini menjadi latar belakang berdirinya dinasti Fathimiyah
di Afrika yang nantinya berpindah ke Mesir.
Sebelum kematian Abdullah Ibn Maymun pada tahun 874 M., ia menunjuk
pengikutnya yang paling bersemangat yakni Abu Abdullah al-Husayn sebagai pimpinan
gerakan Syi’ah Ismailiyah. la adalah orang Yaman dan sampai dengan abad kesembilan
ia mengklaim sebagai gerakan wakil al Mahdi. Ia menyeberang ke Afrika Utara, dan
berkat propagandanya, ia berhasil menarik simpatisan suku Barbar, khususnya dari
kalangan suku Khitamah. Pada saat itu penguasa Afrika Utara, Ibrahim ibn Muhammad,
berusaha menekan gerakan Isma’iliyah ini, namun usahanya sia-sia. Ziyadatullah, putra
dan sekaligus pengganti Ibrahim ibn Muhammad tidak berhasil menekan gerakan ini.
Setelah berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika Utara, Abu Abdullah al-
Husayn menulis surat kepada Imam Isma’iliyyah yaitu Said Ibn Husayn al-Salamah agar
menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi gerakan Isma’iliyah. Said
mengabulkan undangan tersebut, dan ia memproklamirkan dirinya sebagai putra
Muhammad al-Habib, seorang cucu Imam Isma’il. Setelah berhasil merebut kekuatan
Ziyadatullah, ia juga memproklamirkan dirinya sebagai pimpinan tertinggi gerakan

3 Imam-imam golongan Isma`iliyah sesudah Isma’il tidak pernah muncul. Yang muncul hanyalah juru-juru
dakwah mereka. Sebab itu, Imam-imam yang tak pernah muncul itu disebut “al Aimmah al-masturun”.Imam-
imam Isma`iliyah barulah muncul kembali setelah keadaan mereka bertambah kuat di Afrika Utara pada tahun
297 H (909 M), kemudian mereka pindah ke Mesir.(A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Terj. M.
Sanusi Latief (Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2003). Hal. 186
4 Dr. M. Nurhakim, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam (Malang: UMM Press, 2015). Hal. 100

4
Isma’iliyyah. Selanjutnya gerakan ini berhasil menduduki Tunis, pusat pemerintahan
dinasti Aghlabi, pada tahun 909 M., dan sekaligus mengusir penguasa Aghlabi yang
terakhir, yakni Ziyadatullah. Sa’id kemudian kembali memproklamirkandiri sebagai
imam dengan gelar “Ubaydullah al-Mahdi”.5 Dengan demikian terbentuklah
pemerintahan dinasti Fatimiyyah di Afrika Utara dengan al-Mahdi sebagai khalifah
pertamanya.
Sedangkan menurut Dr. Aiman Fuad Rasyid dalam bukunya Daulah
Fatimiyah fil Misr mengatakan, setelah meninggalnya Imam Ja’far As-Shadiq, anggota
sekte Syiah Ismailiyah berselisih pendapat mengenai sosok pengganti sang imam. Ismail,
putra Ja’far yang ditunjuk secara nash sebagai penggantinya, telah meninggal terlebih
dahulu pada saat bapaknya masih hidup. Pada saat yang sama, mayoritas pengikut
Ismailiyah menolak penunjukan Muhammad yang merupakan putra Ismail. Padahal,
menurut mereka, terdapat sosok Musa Al-Kadzhim yang dinilai lebih pantas memegang
tampuk kepemimpinan. Maka berdasarkan kesepakatan, diangkatlah Musa Al-Khazim
sebagai imam mereka, manggantikan bapaknya sendiri.6
Sekte Ismailiyah ini pada awalnya tetap tidak jelas keberadaannya, sehingga
datanglah Abdullah ibn Maimun yang kemudian memberi bentuk terhadap sistem agama
dan politik Ismailiyah ini. Menurut Van Grunibaum, pada tahun 860 M kelompok ini
pindah ke daerah Salamiya di Syiria dan di sinilah mereka membuat suatu kekuatan
dengan membuat pergerakan propaganda dengan tokohnya Said ibn Husein. Mereka
secara rahasia menyusupkan utusan-utusan ke berbagai daerah Muslim, terutama Afrika
dan Mesir untuk menyebarkan Ismailiyat kepada rakyat. Dengan cara inilah mereka
membuat landasan pertama bagi munculnya Dinasti Fatimiyah di Afrika dan Mesir. 7
Pada tahun 874 M muncullah seorang pendukung kuat dari Yaman bernama
Abu Abdullah al-Husein yang kemudian menyatakan dirinya sebagai pelopor al mahdi.
Abdullah al-Husein kemudian pergi ke Afrika Utara, dan karena pidatonya yang sangat
baik dan berapi-api ia berhasil mendapatkan dukungan dari suku Barbar Ketama. Selain
itu, ia mendapat dukungan dari seorang Gubernur Ifrikiyah yang bernama Zirid. Philip K
Haiti menyebutkan bahwa setelah mendapatkan kekuatan yang diandalkan ia menulis

5 K. Ali, Sejarah Islam; Tarikh Pramodern, Terj. Ghufron A. Mas’adi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2000). Hal. 326.
6 Dr. Aiman Fuad Sayyid. Daulat Fatimiyah Fi Misr Tafsir Jadid. (Kairo: Dar El-Masriyah lil-Bananiyah,
1992). Hal. 30
7 Taufik Abdullah dkk (ed), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996). Hal. 245

5
surat kepada Imam Ismailiyat (Said ibn Husein) untuk datang ke Afrika Utara, kemudian
Said diangkat menjadi pemimpin pergerakan.8
Pada tahun 909 M, Said berhasil mengusir Ziadatullah seorang penguasa
Aghlabid dan memproklamirkan dirinya sebagai imam pertama dengan gelar Ubaidillah
al-Mahdi. Dengan demikian berdirilah pemerintahan Fatimiyah pertama di Afrika dan al
Mahdi menjadi khalifah pertama dari dinasti Fatimiyah yang bertempat di Raqpodah
daerah al-Qayrawan.
Pada tahun 914 M mereka bergerak kearah Timur dan berhasil menaklukkan
Alexanderia, menguasai Syiria, Malta, Sardinia, Cosrica, pulau Betrix dan pulau lainnya.
Selanjutnya pada tahun 920 M ia mendirikan kota baru di pantai Tusinia yang kemudian
diberi nama al-Mahdi. Pada tahun 934 M, al-Mahdi wafat dan digantikan oleh anaknya
yang bernama Abu al-Qosim dengan gelar al-Qoim (934 M/ 323 H). Pada tahun 934 M
al-Qoim mampu menaklukkan Genoa dan wilayah sepanjang Calabria. Pada waktu yang
sama ia mengirim pasukan ke Mesir tetapi tidak berhasil karena sering dijegal oleh Abu
Yazid Makad, seorang khawarij di Mesir. Al-Qoim meninggal, kemudian digantikan oleh
anaknya al-Mansur yang berhasil menumpas pemberontakan Abu Yazid Makad.9
Pada tahun 945 M bani Fatimiyyah sudah berhasil memantapkan diri di
Tunisia dan menguasai beberapa daerah sekelilingnya dan Sisilia. Kemajuan-kemajuan
yang paling penting terjadi selama pemerintahan al-Muiz adalah ia mempunyai seorang
Jendral yang cemerlang yaitu Jauhar. Dalam bagian awal pemerintahan, Jauhar
memimpin suatu pasukan penakluk ke atlentik, dan keunggulan Fatimiyah ditegakkan
atas seluruh Afrika Utara. Kemudian al-Muiz mengalihkan perhatiannya ke Timur. Jelas
tersirat dalam pendirian bani Fatimiyah bahwa mereka harus mencoba untuk menguasai
pusat dunia Islam dan dua pendahulunya telah melakukan perjalanan penaklukan yang
tidak berhasil terhadap Mesir. Sekarang, persiapan-persiapan cermat termasuk
propaganda politis (yang dibantu oleh bencana kelaparan hebat di Mesir). Jauhar
menerobos Kairo Lama (al-Fustat) tanpa mengalami kesulitan yang berarti dia bisa
menguasai negara ini. Seorang pangeran Ikhshidiyah secara resmi masih berkuasa, tetapi
rezim Ikhshidiyah sudah tidak berfungsi lagi dan tidak memberikan perlawanan pada
Jauhar. Nama khalifah Abbasiyah serta merta dihilangkan dari do’a ibadah Jum’at,
walaupun cara-cara ibadah Isma`iliyah hanya dimasukkan secara bertahap. Jauhar segera

8
Philip K. Hitti, Hirtory of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2013). Hal. 618
9
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004).
Hal. 113

6
mulai membangun sebuah kota baru bagi tentaranya yang diberi nama al-Qahirah yang
berarti kota kemenangan atau disebut juga dengan Kairo. Pada tahun 973 M kota Kairo
menjadi kediaman imam atau khalifah Fatimiyyah dan pusat pemerintahan. 10

B. Khalifah-khalifah Yang Berkuasa Pada Dinasti Fatimiyyah


Wilayah kekuasaan Fathimiyah meliputi Afrika Utara, Sicilia, dan Syria.
Wilayah ini sebelumnya merupakan wilayah dari Dinasti Bani Abbas, Dinasti Bani
Umayyah di Spanyol, dan Dinasti Aghlabiyah di Maroko. Dengan demikian, wilayah ini
sangat luas, dari Yaman sampai laut Atlantik, Asia Kecil dan Mosul. Untuk mengetahui
upaya-upaya yang ditempuh para khalifah dalam memperluas wilayah politik dan
pemerintahanya.
Khalifah-khalifah dinasti Fatimiyyah secara keseluruhan ada empat belas orang,
terdiri dari:
1. Abu Muhammad Abdullah (Ubaydillah) al-Mahdi billah (909 M – 934 M).
2. Abul-Qasim Muhammad al-Qa'im bi-Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah (934 M –
946 M).
3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur billah (946 M – 953 M).
4. Abu Tamim Ma'ad al-Mu'izz li-Dinillah (953 M – 975 M).
5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz billah (975 M – 996 M).
6. Abu 'Ali al-Mansur al-Hakim bi-Amrullah (996 M- 1021 M).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Dinillah (1021 M - 1036M).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036 M – 1094 M).
9. Al-Musta'li bi-llah (1094 M – 1101 M).
10. Al-Amir bi-Ahkamullah (1101 M -1130 M)
11. 'Abd al-Majid al-Hafiz (1130 M -1149 M).
12. Al-Zafir (1149 M – 1154 M).
13. Al-Fa'iz (1154 M – 1160 M).
14. Al-'Adid (1160 M – 1171M). 11
Berikut penjelasan singkat khalifah-khalifah dinasti Fatimiyyah dan perluasan
wilayah yang dilakukannya:

10
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari tokoh Orientalis, Terj. Hartono Hadikusumo,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990). Hal. 216
11
Dr. M. Nurhakim, M. Ag, Sejarah Peradaban Islam, (Malang: UMM Press, 2015). Hal. 101-103

7
1. Abu Muhammad Abdullah (Ubaydillah) al-Mahdi billah (909 M – 934 M)
Penguasa sekaligus pendiri Dinasti Fatimiyah ini mempunyai nama asli Sa’id
bin al-Husayn al-Salmiyah dengan gelar Ubaydillah al-Mahdi. Dia menegakkan
pemerintahannya di istana Aghlabiyah yaitu Raqqadah (terletak di pinggiran kota
Qairawan) setelah dapat mengusir Ziyadatullah pada tahun 909 M/297 H., penguasa
Aghlabi yang terakhir.12 Al-Mahdi adalah pemimpin yang sangat cakap dan berbakat,
dua tahun setelah berkuasa ia membunuh pemimpin propagandanya, Abu Abdillah
Al-Husayn Al-Shi’i karena terbukti bersekongkol dengan saudaranya sendiri, Abu Al-
Abbas untuk melancarkam kudeta terhadap dirinya.
Al-Mahdi memperluas wilayah kekuasaannya ke seluruh Afrika yang
terbentang dari perbatasan Mesir ke wilayah Fes di Maroko. Pada 910 M, ia
menguasai Alexandria dan kota-kota lainnya seperti Malta, Syria, Sardina, Corsica,
dan lain-lain. Ia juga ingin menaklukkan Spanyol dari kekuasaan Bani Umayyah.
Karenanya, ia bekerjasama dengan Muhammad ibn Hafsun, pimpinan oposisi di
Spanyol. Namun, ambisi itu belum tercapai sampai ia meninggal pada 934 M.

2. Abul-Qasim Muhammad atau al-Qa'im bi-Amrillah bin al-Mahdi Ubaidillah


(934 M – 946 M)
Al-Mahdi wafat pada tahun 934 M./322 H. dan digantikan oleh putra tertuanya
Abu al-Qasim yang bergelar Al-Qaim bi Amrillah. Ia adalah pemimpin pemberani,
hampir setiap ekspedisi militer ia pimpin sendiri, sehingga dalam tahun pertama
kekhalifannya, ia berhasil menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai Calabria
dan pada tahun yang sama ia mengerahkan pasukan ke Mesir namun dapat dikalahkan
oleh dinasti Ikhsidiyah sehingga mereka terusir dari Iskandariyah. Ia meninggal dunia
pada tahun 946 M.13

3. Abu Zahir Isma'il al-Mansur billah (946 M – 953 M)


Al-Mansur adalah pemuda yang lincah dan berani, ia menggantikan ayahnya
pada usia 27 tahun. Meskipun hanya memerintah selama tujuh tahun enam hari, ia
masih bisa menjaga kedaulatan Dinasti Fatimiyah meskipun putra Abu Yazid Makad

12
Philip K. Hitti, Hirtory of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2013). Hal. 788. lihat juga, Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Dunia Islam
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004). Hal. 113
13
K. Ali, Sejarah Islam:Tarikh Pramodern, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003). Hal. 492-493

8
dan sejumlah pengikutnya senantiasa menimbulkan keributan. Ia juga membangun
sebuah kota di wilayah perbatasan Susa’ pada tahun 337 H./949M. yang diberi nama
al-Mansuriyyah14 Ia mampu mempertahankan prestasi ayahnya dalam mengamankan
seluruh wilayah Afrika di bawah kekuasaan Fatimiyyah, meskipun berbagai serangan
dari Khawarij terus dilancarkan.

4. Abu Tamim Ma'ad al-Mu'izz li-Dinillah (953 M – 975 M)


Setelah al-Mansur meninggal dunia pada hari Jum’at akhir Shawal 341H/952
M., ia digantikan putranya, Abu Tamim Ma’ad dengan gelar al-Mu’izz li Din Allah.
Penobatan al-Mu’izz sebagai khalifah keempat menandai era baru Dinasti
Fatimiyyah, karena di samping pusat pemerintahan sudah berpindah dari al-Mahdiyah
ke al-Qahirah (Kairo) yang dibangun oleh panglima perangnya, Jauhar al-Siqilli (al-
Saqali)15 setelah menguasai ibu kota Fustat sebagai lambang kemenangan dan
dilanjutkan membangun Masjid al-Azhar setelah Mesir dapat ditaklukannya pada
bulan Pebruari 969 M/Rabi’ al-Akhir 358 H., juga keberhasilan dalam ekspansi
kekuasaan yaitu ke Maroko, Sycilia, Palestina dan Suriah Damaskus serta mampu
mengambil penjagaan atas tempat-tempat suci di Hejaz.16
Dari sumber lain disebutkan bahwa Al-Mu’izz li Din Allah merupakan
khalifah Fathimiyah yang paling besar. Ia berhasil membawa rakyat damai dan
makmur, di samping wilayahnya yang semakin dapat diperluas. Setelah melakukan
konsolidasi ke dalam, hingga mendapatkan pengakuan sukses dari rakyat, ia baru
melakukan perluasan wilayah. Tidak lama ia dapat menguasai Maroko dari Bani
Umayyah di Spanyol dengan pimpinan panglima Jauhar al-Shaqilli, selanjutnya ia
mengutus Hasan ibn Ali merebut wilayah pantai Spanyol, tetapi justru Abdurrahman
III dari Spanyol menyerbu wilayah Susa’.
Sementara Romawi memanfaatkan situasi dengan menyerbu Crete pada 967
M. yang semula dikuasai oleh Islam sejak AI-Makmun. Namun, Fathimiyyah berhasil
mengambil Sicilia dari kekuasaan Bizantine, kemudian membangun Universitas
kedokteran yang sama besarnya dengan universitas-universitas di Cardova.

14
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004).
Hal. 113
15
Dr. Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1997). Hal. 117
16
Philip K. Hitti, Hirtory of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 213). Hal. 790

9
Prestasi politik Muiz yang paling besar adalah penaklukkan Mesir.
Penaklukkan kota Fustat (Kairo Lama) tanpa perlawanan berarti pada 969 M. oleh
panglima Jauhar al-Shaqili. Pada saat itu di Mesir sedang terjadi bencana kelaparan
hebat sehingga tanpa kesulitan, Mesir jatuh ke tangan Jauhar. Meski pada saat itu
seorang pangeran Ikhsidi secara resmi masih berkuasa tapi rezim Ikhsidiyah sudah
tidak berfungsi lagi dan tidak memberikan perlawanan pada Jauhar.17 Nama khalifah
Abbasiyah serta merta dihilangkan dari doa ibadah Jum`at, walau cara-cara ibadah
Isma`iliyah hanya dimasukkan secara bertahap. Jauhar segera membangun kota ini
menjadi kota baru dengan nama Qahirah (Kairo) yang artinya kota kemenangan.
Sejak 973 kota ini dijadikan sebagai kediaman imam atau khalifah Fatimiyyah dan
pusat pemerintahan (ibukota Fathimiyyah).18 Selanjutnya, Mu’iz mendirikan masjid
Al-Azhar yang kemudian beralih menjadi Universitas Al-Azhar yang berkembang
hingga sekarang. Selain memindahkan ibu kota ke Kairo dan membina Universitas
Al-Azhar, Muiz juga menyebarluaskan ideologi Fatimiyyah yaitu Syi’ah, ke
Palestina, Syiria dan Hijaz.19

5. Abu Mansur Nizar al-'Aziz billah (975 M – 996 M)


Abu Mansur Nizar (lahir pada tahun 344 H/954 M.) adalah putra Muiz, ia
menggantikan ayahnya pada bulan Rabi’ al-Awwal 365 H. memasuki tahun ke-22
dari umurnya dengan gelar al-‘Aziz billah, ia merupakan khalifah yang paling
bijaksana dan pemurah, sehingga mampu membawa rakyat lebih makmur. Dalam
pemerintahannya, ia sangat liberal dan memberi kebebasan kepada setiap agama
untuk berkembang, kerukunan antar umat beragama terjalin dengan sangat baik,
bahkan seorang wazirnya, Isa ibn Nastur beragama kristen dan Manasah seorang
Yahudi menjadi salah seorang pejabat tinggi di istananya.
Pembangunan fisik dan seni arsitektur merupakan lambang kemajuan
pemerintahannya, ia juga ahli Sya’ir, dalam bidang pendidikan ia mendirikan The
Golden Palace, The Pearl Pavillion dan masjid Karafa, ia juga meresmikan masjid al-
Azhar sebagai al-Jami’ah/Universitas dengan bangunan megah di Kairo. Ia berhasil
membawa Fatimiyyah pada puncak kemajuan. Pada saat pemerintahannya

17
Montgomery Watt, W. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Terj. Hartono Hadikusumo,
(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990). Hal. 216
18
Ibid. Hal. 216
19
Zainal Abidin Ahmad, Sejarah Islam dan Ummatnya, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979). Hal. 109

10
kekuasaanya meliputi wilayah Eufrat sampai Atlantik, melampaui kekuasaan dinasti
Abbasiyah di Baghdad yang sedang memasuki masa kemunduran di bawah
kekuasaan Buwaihiyah.
Meski pada masa pemerintahannya mengalami puncak kejayaan, tetapi salah
satu kebijakan al-Aziz membawa akibat yang cukup fatal yaitu penarikan orang Turki
dan Negro sebagai basis pasukan militer. Hal ini dimaksudkan untuk menandingi
kekuatan Barbar. Ketika kelompok Barbar mulai menguasai jajaran militer, terjadilah
persaingan antar ras di tubuh militer Fatimiyyah yang pada gilirannya jadi salah salah
satu faktor kemunduran Fatimiyyah. Pada masa-masa belakangan militer Turki
semakin besar kekuatannya dan ketika kekuatan Fatimiyyah mulai melemah, unsur-
unsur militer mendirikan dinasti-dinasti yang merdeka. Al-Aziz meninggal pada
tahun 386 H/996 M. dan bersamaan dengan ini dimulailah berakhirnya kejayaan
dinasti Fatimiyyah.

6. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir li-I'zaz Dinillah (1021 M - 1036M)


Al-Hakim digantikan oleh putranya yang bernama Abu`l Hasan dengan gelar
al-Zahir li I’zaz din llah (lahir 10 Ramadhan 395 H/1005 M.), ia naik tahta pada usia
16 tahun sehingga pemerintahannya dipegang oleh bibinya Sitt al-Mulk, sepeninggal
bibinya (tahun 415 H./1025 M.), ia menjadi raja boneka dari menteri-menterinya.
Karena musibah banjir, rakyat menderita kekurangan pangan, sedang harga barang
tidak lagi terjangkau. Ia pernah mengusir sekelompok tokoh mazhab Maliki dari
Mesir karena persengketaan keagamaan di tahun 1025 M.20 Tetapi, pada dasarnya Al-
Zahir mempunyai toleransi terhadap Sunni dan Kristen.21

7. Abu Tamim Ma'add al-Mustansir bi-llah (1036 M – 1094 M)


Al-Zahir diganti oleh anaknya yang bernama Abu Tamim Muhammad dengan
gelar al-Mustansir bi-llah. Masa awal pemerintahannya dipegang oleh ibunya, karena
ketika dinobatkan sebagai khalifah ia masih berumur tujuh tahun. Pada masa al-
Mustansir, kekuasaan Dinasti Fatimiyah mengalami kemunduran secara drastis,
relatif tidak ada perkembangan kecuali pembangunan teropong bintang, beberapa
kali terjadi perebutan perdana menteri dan terjadi pemberontakan dan peperangan

20
K. Ali, Sejarah Islam; Tarikh Pra Modern, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003). Hal. 502
21
Ibid,. Hal. 502

11
seperti Marokko menyatakan bebas dari kekuasaan Dinasti Fatimiyyah pada tahun
443 H., Mekkah dan Madinah memisahkan diri pada tahun 462 H. dan di Yaman
nama Khalifah telah tidak disebut-sebut lagi pada waktu khutbah.22

8. Al-Musta'li bi-llah (1094 M – 1101 M)


Putra termuda dari al-Mustansir adalah Abu al-Qasim Ahmad. Ia bergelar al-
Musta’li billah menduduki jabatan khalifah sepeninggal ayahnya, tetapi putra al-
Mustansir yang tertua (Nizar) menolak penobatan adiknya lalu ia bangkit di
Ikandariyah setelah memecat gubernur wilayah tersebut, di sana ia memproklamirkan
diri sebagai khalifah dengan gelar al-Mustafa li Din Allah. Ketika al-Musta’li tahu
kejadian tersebut, maka al-Malik al-Afdal sebagai orang yang mengangkat al-
Musta’li membawa bala tentara untuk menangkap Nizar dan memenjarakannya
sampai meninggal. Dengan kejadian ini, rakyat terpecah menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok Musta’li dan Nizari. Kaum Nizari Isma’iliyah sebagian berada di Syiria
dan sebagian di pegunungan Persia Barat di bawah pinpinan Hassan Assabah,
gerakan inilah yang kemudian dikenal dengan Asasin yang berasal dari kata
Hasyasyin.23

9. Al-Amir bi-Ahkamullah (1101 M -1130 M)


Setelah al-Musta’li meninggal dunia, anaknya yang masih berumur lima tahun
dinobatkan oleh al-Malik al-Afdal sebagai khalifah dengaan gelar kehormatan al-
Amir li Ahkamullah. Al-Malik al-Afdal adalah perdana menteri yang berkuasa secara
absolut selama 20 tahun, termasuk ketika al-Amir telah dewasa dan merupakan Raja
Mesir yang sesungguhnya selama 50 tahun.24

10. 'Abd al-Majid al-Hafiz (1130 M -1149 M)


Setelah Al-Amir bi Ahkamullah menjadi korban pembunuhan kelompok
Nizariyyah/batiniyyah, sepupunya yang bernama Abu al-Maymun Abd al-Majid al-

22
K. Ali, Sejarah Islam; Tarikh Pra Modern, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003). Hal. 502
23
Gustave Edmund Von Grunebaum, Classical Islam; A History 600 A.D. to 1258 A.D. Translated by
Kaikerine Watson, (London: George Allen and Unwin Ltd, 1970). Hal. 148
24
http://caturhadiprasetyo.wordpress.com/2012/05/27/dinasti-fatimiyyah. diakses pada tanggal 01 Desember
2016, Pukul 08:23

12
Hafiz memproklamirkan diri sebagai khalifah. Pemerintahanmya banyak diwarnai
dengan perpecahan antara unsur-unsur kemiliteran.25

11. Al-Zafir (1149 M – 1154 M)


Setelah al-Hafiz wafat, putranya yang bernama Abu Mansur Isma’il dengan
gelar al-Zafir menggantikannya. Ia masih berumur tujuh belas tahun ketika
dinobatkan menjadi khalifah. Ia adalah seorang pemuda yang tampan dan sembrono
yang lebih memikirkan urusan perempuan dan musik dari pada urusan politik dan
pertahanan, meskipun sebenarnya ia hanyalah seorang boneka dari seorang wazir dari
Kurdistan, Abu al-Hasari bin al-Sallar yang menyebut dirinya al-Malik al-‘Adil
terbunuh dan posisi wazir digantikan oleh Abbas. Pada tahun 1153 M./548 H. al-
Zafir dibunuh oleh Nasr ibn Abbas.26

12. Al-Fa'iz (1154 M – 1160 M)


Dua hari setelah kematian al-Zafir, putranya yang masih berumur empat
tahun, Abu al-Qasim Isa dinobatkan sebagai khalifah oleh Abbas dengan gelar al-
Faiz, khalifah kecil ini meninggal dunia pada usia sebelas tahun, lalu digantikan oleh
sepupunya al-‘Adid.27

13. Al-'Adid (1160 M – 1171M)


Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah al-‘Adid, ia masih
berumur sembilan tahun ketika dinobatkan sebagai khalifah yang ke empat belas
(khalifah terakhir dari Dinasti Fatimiyah), karena segera disusul penyerangan
Almaric, Raja Yerusalem ke Mesir pada tahun 1167 M./562 H. dan terus menerus
terjadi perebutan kekuasaan sampai datang Shalahuddin Al-Ayyubi yang
menggantikan pamannya, Syirkuh sebagai wazir pada tahun 1169 M./564 H. Al-Azid
berhasil diturunkan dari tahtanya oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada 1171 M. Dengan
lengsernya Al-`Azid maka berdirilah Dinasti Ayyubiyah di Mesir.

25
http://caturhadiprasetyo.wordpress.com/2012/05/27/dinasti-fatimiyyah. diakses pada tanggal 01 Desember
2016, Pukul 08:23
26
Ibid,.
27
Ibid,.

13
14. Al-'Adid (1160 M – 1171M)
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah al-‘Adid, ia masih
berumur sembilan tahun ketika dinobatkan sebagai khalifah yang ke empat belas
(khalifah terakhir dari Dinasti Fatimiyah), karena segera disusul penyerangan
Almaric, Raja Yerusalem ke Mesir pada tahun 1167 M./562 H. dan terus menerus
terjadi perebutan kekuasaan sampai datang Shalahuddin Al-Ayyubi yang
menggantikan pamannya, Syirkuh sebagai wazir pada tahun 1169 M./564 H. Al-Azid
berhasil diturunkan dari tahtanya oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada 1171 M. Dengan
lengsernya Al-`Azid maka berdirilah Dinasti Ayyubiyah di Mesir.

C. Masa Kejayaan Dinasti Fatimiyyah


a. Bidang Politik
Keadaan politik pada masa awal pemerintahan Dinasti Fatimiyyah sampai
priode pemerintahan yang ketujuh, masa pemerintahan al-Zahir, relatif stabil dan
tidak ada kejadian besar, karena para khalifah tersebut masih berkuasa penuh
terhadap pemerintahan, meskipun keputusan politik yang diambil oleh mereka
sering kali merugikan pihak lain yang non Syi’ah bahkan non muslim, seperti
keputusan politik yang diambil oleh al-Hakim terhadap orang-orang Yahudi dan
Kristen dengan memaksa mereka memakai jubah hitam dan hanya dibolehkan
menunggangi keledai, lalu al-Hakim mengeluarkan maklumat untuk
menghancurkan seluruh gereja di Mesir dan menyita tanah serta seluruh harta
kekayaan mereka sehingga mereka merasa kehilangan hak-haknya sebagai warga
negara,28 sedangkan kepada orang-orang muslim yang menjadi pegawai kerajaan
diwajibkan mengikuti paham Syi’ah. Keadaan ini sangat bertolak belakang dengan
kehidupan politik pada masa pemerintahan al-‘Aziz yang begitu moderat, kondusif
terhadap perkembangan semua paham dan agama yang ada di Mesir, meskipun al-
‘Aziz sendiri pernah melarang pelaksanaan salat tarawih di semua masjid di
Mesir,29 hal itu disebabkan agar tidak terjadi gejolak sosial antara pengikut beberapa
mazhab dengan pendapat yang berbeda-beda tentang pelaksanaan salat tersebut.
Kekuasaan Pemerintahan Dinasti Fatimiyyah mencakup wilayah yang sangat
luas sekali meliputi Afrika Utara, Sisilia, pesisir Laut Merah Afrika, Palestina,

28
Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 213). Hal. 890
29
Ibid,. Hal. 890

14
Suriah, Yaman, dan Hijaz.30Bentuk pemerintahan Dinasti Fatimiyyah adalah bentuk
yang dianggap pola baru dalam sejarah Mesir, karena dalam pelaksanaannya,
khalifah adalah kepala negara yang bersifat temporal dan spritual, pemecatan
pejabat tinggi berada di bawah kontrol kekuasaan khalifah.
Pada masa dinasti Fatimiyyah kepala negara dipimpin oleh seorang imam atau
khalifah. Para imam bagi para Fatimiyyun memang sesuatu yang diwajibkan. Ini
merupakan penerapan kekuasaan yang turun temurun, mulai dari Nami Muhammad
SAW, Ali bin Abi Thalib kemudian selanjutnya diteruskan oleh para imam.
Imamah ini diwariskan oleh seorang bapak kepada anak laki-laki yang paling tua
dari keturunan mereka serta menjadi syarat penting yang harus dipenuhi dalam
pengangkatan seorang imam adalah adanya nash atau wasiat khusus dari imam
sebelumnya.31 Baik wasiat yang dikemukakan dihadapan umat Islam secara umum
atau hanya diketahui oleh orang-orang tertentu diantara mereka saja.
Para imam pada dinasti Fatimiyyah, mereka dianggap sebagai penjelmaan
Allah di bumi, mereka menjadikan Imam-Imam sebagai tempat rujukan utama
dalam syari’at dan orang paling dalam ilmunya.
Selanjutnya dari segi politik, dinasti Fatimiyyah membentuk wazir-wazir
(wazir Tandzif dan wazir Tafwidh). Wazir ini dibentuk pada masa Aziz billah pada
bulan Ramadhan tahun 367 H/979 M.32
Disamping itu, dinasti Fatimiyyah juga membentuk dewan-dewan dalam
pemerintahannya, diantaranya: dewan majlis, dewan nazar, dewan tahqiq
(sekretaris), dewan barid (pos), dewan tartib (keamanan), dewan kharraj (pajak)
dan lain-lainnya.33

b. Bidang Sosial
Mayoritas khalifah Fatimiyyah bersikap moderat dan penuh perhatian kepada
urusan agama non-muslim. Selama masa dinasti Fatimiyyah, pemeluk Kristen
Mesir diperlakukan secara bijaksana, hanya khalifah Al-Hakim yang bersikap agak
keras terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti dan Armenia tidak pernah
merasakan kemurahan dan keramahan melebihi sikap pemerintahan Muslim.

30
Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 213). Hal. 892
31
Dr. Aiman Fuad Sayyid, Ad-Daulah Al-Fatimiyyah fi Misr; Tafsir Jadid, (Mesir: Maktabah Al-Mishriyyah,
2007). Hal. 249
32
Ibid,. Hal. 249
33
Ibid,. Hal. 249

15
Pada masa Al-Aziz orang-orang Kristen lebih diuntungkan daripada umat
Islam, dimana mereka ditunjuk menduduki jabatan-jabatan tinggi di istana.
Demikian pula pada masa Al-Muntashir dan seterusnya, mereka hidup penuh
kedamaian dan kemakmuran. Sebagian besar jabatan keuangan dipegang oleh
orang-orang Kopti.
Pada khalifah generasi akhir, gereja-gereja Kristen banyak yang dipugar,
pemeluk Kristen pula banyak yang diangkat sebagai pemerintah. Demikian semua
ini menunjukkan kebijaksanaan penguasa Fatimiyyah terhadap kaum Kristiani.34

c. Bidang Pemikiran dan Filsafat


Dalam menyebarkan faham Syi’ah dinasti Fatimiyyah banyak menggunakan
filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-
ahli filsafat lainnya.35 Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal pada dinasti
Fatimiyyah adalah Ikhwanu Shofa. Dalam filsafatnya kelompok ini lebih cenderung
membela kelompok Syi’ah Islamiyyah dan kelompok inilah yang menyempurnakan
pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah.
Beberapa tokoh filsafat yang muncul pada dinasti Fatimiyyah diantaranya
adalah:
 Abu Hatim Ar-Rozi; beliau adalah seorang da’i Ismailiyat yang pemikirannya
lebih banyak dalam masalah politik. Beliau menulis beberapa buku, diantaranya:
Kitab Az-Zayinah yang terdiri dari 1200 halaman, didalamnya banyak membahas
masalah Fiqh, Filsafat dan aliran-aliran dalam agama.
 Abu Abdillah An-Nasafi; beliau adalah seorang penulis Kitab Al-Mashul. Kitab
ini lebih banyak membahas masalah Al-Ushul Al-Madzhab Al-Isma’ily.
Disamping itu, beliau juga menulis Kitab ‘Unwanuddin Ushul Asy-Syar’i dan
Add’watu Manjiyyah. Beliau juga menulis buku tentang ilmu falak dan sifat alam
yang berjudul Kaunul ‘Alam dan Al-Kaunul Mujrof.
 Abu Ya’qub As-Sajazi
 Abu Hanifah An-Nu’man Al-Maghribi
 Ja’far Ibnu Mansyur Al-Yamani
 Haminuddin Al-Qirmani.36

34
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, Edisi I, Cet. I, (Jakarta: Amzah, 2009). Hal. 265
35
Ahmad Amin, Dhua Al-Islam, (Kairo: Maktabah Al-Usroh, 2003). Hal. 188
36
Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Ad-Daulah Al-Fatimiyyah, (Beirut: Dar Ihya Turats Al-‘Araby, 1935). Hal.
469

16
d. Bidang Pendidikan dan IPTEK
Seorang ilmuwan yang paling terkenal pada masa Fatimiyyah adalah Ya’qub
Ibnu Killis, beliau berhasil membangun akademi-akademi keilmuan yang
menghabiskan ribuan dinar perbulannya. Pada masanya, beliau berhasil
membesarkan seorang ahli fisika yang bernama Muhammad At-Tamimi. Disamping
At-Tamimi ada juga seorang ahli sejarah yang bernama Muhammad Ibnu Yusuf Al-
Kindi dan Ibnu Salamah Al-Quda’i, beliau berdua adalah ahli sastra yang muncul
pada masa dinasti Fatimiyyah.37
Kemajuan keilmuan yang paling fundamental pada masa dinasti Fatimiyyah
adalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Darul
Hikmah atau Darul ‘Ilmi yang dibangun oleh khalifah Al-Hakim pada tahun 1005
Masehi.38 Darul Hikmah terinspirasi dari lembaga yang sama yang didirikan oleh
khalifah Makmun Ar-Rasyid di Baghdad. Lembaga tersebut didesain sedemikian
rupa untuk memberikan konstribusi terhadap kemajuan penelitian ilmiah, terutama
di bidang astronomi, matematika dan kedokteran.

e. Bidang Administrasi dan Pemerintahan


Kekuasaan pemerintah dinasti Fatimiyyah mencakup wilayah yang sangat luas
sekali, meliputi: Afrika Utara, Sisilia, Pesisir Laut Merah Afrika, Palestina, Suriah,
Yaman dan Hijaz.
Bentuk pemerintah dinasti Fatimiyyah adalah bentuk yang dianggap pola baru
dalam sejarah Mesir, karena dalam pelaksanaanya seorang khalifah adalah kepala
negara yang bersifat temporal dan spiritual. Pemecatan pejabat tinggi dibawah
kontrol kekuasaan khalifah.
Dalam bidang kemiliteran dibagi kedalam tiga kelompok, yaitu:
1. Amir-amir yang terdiri dari perwira tertinggi dan para pengawal khalifah.
2. Para perwira istana yang terdiri dar para ahli agama dan para kasim.

37
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004). Hal. 113
38
Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2010). Hal. 266-268

17
3. Komando-komando resimen yang masing-masing menyandang nama berbeda
seperti: hafiziyyah, juyushiyyah dan sudaniyyah atau yang dinamai dengan nama
khalifah, wazir dan suku.39
Diluar jabatan-jabatan istana diatas, terdapat jabatan tingkat daerah yang
meliputi tiga daerah yaitu: Mesir, Syiria dan daerah-daerah di Asia kecil. Khusus
daerah Mesir terdiri dari empat propinsi, yaitu: provinsi Mesir bagian atas, provinsi
Mesir wilayah timur, provinsi Mesir wilayah barat dan wilayah Iskandariyah.
Segala urusan yang berkaitan dengan daerah tersebut diserahkan kepada penguasa
setempat.40

D. Kemunduran Dinasti Fatimiyyah


Dari beberapa khalifah yang memimpin Dinasti Fatimiyah, dari periode yang
pertama sampai yang ke enam mengalami kemajuan dan sejak dipimpin dari khalifah
periode ke tujuh sampai ke empat belas mengalami kemunduran.
Kemunduran Dinasti Fatimiyah berawal pada pemerintahan Khilafah al-
Hâkim. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 11 tahun. Al-Hâkim
memerintah dengan tangan besi, masanya dipenuhi dengan tindak kekerasan dan
kekejaman. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan beberapa gereja
kristen, termasuk sebuah gereja yang di dalamnya terdapat Kuburan Suci umat Kristen
(1009 M). Maklumat penghancuran Kuburan Suci ini ditandatangani oleh sekretarisnya
yang beragama Kristen, Ibn Abdun. Peristiwa ini merupakan salah satu penyebab
terjadinya Perang Salib.41 Ia memaksa umat Kristen dan Yahudi memakai jubah hitam,
dan mereka hanya diperbolehkan menunggangi keledai; Setiap orang kristen diharuskan
menunjukkan salib yang dikalungkan dilehernya, sedangkan orang yahudi diharuskan
memasang semacam tenggala berlonceng. Orang-orang Yahudi dan Nasrani dibunuh
dan aturan-aturan tidak ditegakan dengan konsisten. Ia juga dengan mudah membunuh
orang yang tidak disukainya, bahkan pernah membakar sebuah desa tanpa alasan yang
jelas. Kemudian pada tahun 381 H / 991 M ia menyerang Aleppo dan berhasil merebut
Homz dan Syaizar dari tangan penguasa Arab. Peristiwa ini menimbulkan sikap dari
penduduk dan menyeret dinasti Fatimiyyah dalam konflik dengan Bizantium.

39
Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 213). Hal. 992
40
Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Ad-Daulah Al-Fatimiyyah, (Beirut: Dar Ihya Turats Al-‘Araby, 1935). Hal.
112-113
41
Op Cit,. Hal. 792

18
Walaupun pada akhirnya al-Hakim berhasil mengadakan perjanjian damai dengan
Bizantium selama sepuluh tahun.42
Al-Hakim kemudian memilih mengikuti perkembangan ekstrem ajaran
Ismailiyah, dan menyatakan dirinya sebagai penjelmaan Tuhan. Ia meninggalkan istana
dan berkelana hingga akhirnya terbunuh di Mukatam pada 13 Pebruari 1021.
Kemungkinan ia dibunuh oleh persekongkolan yang dipimpin adik perempuannya, Sitt
al-Mulûk, yang telah diperlakukan tidak hormat olehnya.43
Al-Hakim kemudian digantikan oleh Abu Hasan Ali Az-Zahir, anaknya
sendiri. Ketika diangkat menjadi khalifah ia baru berumur 16 tahun. Pada mulanya
dinasti Fatimiyyah didirikan oleh bangsa Arab dan orang Barbar, tapi ketika masa Az-
Zahir situasi berubah, khalifah lebih mendekati keturunan Turki. Hal ini menjadi pemicu
timbulnya pertikaian antara orang Turki dan suku Barbar di dalam pemerintahan
Fatimiyyah. Az-Zahir mendapat izin dari Konstantin ke VIII agar namanya disebutkan
dimasjid-masjid yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar. Ia juga mendapat izin
untuk memperbaiki masjid yang berada di Konstantinopel. Ini semua sebagai balasan
terhadap restu sang khalifah untuk membangun kembali gereja yang didalamnya
terdapat Kuburan Suci, dimana dulu gereja ini dihancurkan oleh al-Hakim.
Setelah meninggal Abu Hasan Ali Az-Zahir kemudian digantikan oleh
anaknya sendiri yang baru berusia 7 tahun, yaitu Abu Tamim Ma’ad Al-Mustanshir.44
Mulai masa ini sistem pemerintahan dinasti Fatimiyyah berubah menjadi parlementer,
artinya khalifah hanya berfungsi sebagai simbol saja, sementara pemegang kekuasaan
pemerintahan adalah para menteri. Oleh karena itulah masa ini disebut “ahdu nufuzil
wuzara” (masa pengaruh menteri-menteri).45
Abu Tamim Ma’ad Al-Mustanshir sebagaimana juga Abu Hasan Ali Az-Zahir
lebih mendekati keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu Turki dan
Barbar. Perang saudarapun tidak dapat dielakan. Setelah meminta bantuan Badrul Jamal
dari Suriah, khalifah dan orang Turki dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah
kekuasaan orang Barbar di dalam Dinasti Fatimiyah.46

42
Taufik Abdullah dkk (ed), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996).
Hal. 792
43
Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 213). Hal. 793
44
Dr. Jaih Mubarok, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, 2004). Hal. 106
45
H. Mukti Ali dkk, Ensiklopedia Islam, Jilid I, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1988). Hal. 287
46
Ibid,. Hal. 287

19
Pada masa Abu Tamim Ma’ad al-Mustanshir ini kekuasaan Dinasti Fatimiyah
di wilayah Suriah mulai terkoyak dengan cepat. Sementara di Palestina sering terjadi
pemberontakan terbuka. Sebuah kekuatan besar yang datang dari timur, yaitu bani
Saljuk dari Turki, juga membayang-bayangi. Pada waktu yang bersamaan propinsi-
propinsi Fatimiyah di Afrika memutuskan hubungan dengan pusat kekuasaan,
bermaksud memerdekakan diri dan kembali kepada sekutu lama mereka, Dinasti
Abasiyyah. Pada tahun 1052 M, suku Arab yang terdiri dari bani Hilal dan bani Sulaim
yang mendiami dataran tinggi Mesir memberontak. Mereka bergerak ke bagian barat
dan berhasil menduduki Tripoli dan Tunisia selama beberapa tahun.47
Sementara itu pada tahun 1071 M, sebagian besar wilayah Sisilia, yang
mengakui kedaulatan Fatimiyah dikuasai oleh bangsa Normandia yang daerah
kekuasaannya terus meluas hingga meliputi sebagian pedalaman Afrika. Hanya kawasan
Semenanjung Arab yang mengakui kekuasaan Fatimiyah.
Abu Hasan Ali al-Zahir kemudian digantikan oleh Abu Tamim Ma’ad Al-
Mustanshir. Di masa ini terjadi kekacauan dimana-mana. Kericuhan dan pertikaian
terjadi antara orang-orang Turki, suku Barbar dan pasukan Sudan. Kekuasaan negara
lumpuh dan kelaparan yang terjadi selama tujuh tahun telah melumpuhkan
perekonomian negara. Di tengah kekacauan itu, pada tahun 1073 M khalifah memanggil
Badr al-Jamali, orang Armenia bekas budak dari kegubernuran Akka dan memberinya
wewenang untuk bertindak sebagai wazir dan panglima tertinggi. Amîr al-Juyûsî
(komandan Perang) yang baru ini mengambil komando dengan seluruh kekuatan yang ia
punya untuk memadamkan berbagai kekacauan dan memberikan nyawa baru pada
pemerintahan Fatimiyah. Tapi usaha ini, yang juga diteruskan oleh anak dan penerus al-
Mustanshir yaitu al-Afdhal, tidak dapat menahan kemunduran dinasti ini.
Tahun-tahun terakhir dari kekuasaan dinasti Fatimiyyah ditandai dengan
munculnya perseteruan yang terus menerus antara para wazir yang didukung oleh
kelompok tentaranya masing-masing. Setelah Al-Mustanshir wafat, terjadi perpecahan
serius dalam tubuh Ismailiyah. Perpecahan itu terjadi antara dua kelompok yang berada
di belakang kedua anak Al-Mustansir yaitu Nizar dan Al-Musta’li. Pendukung Nizar
lebih aktif, ekstrim dan menjadi gerakan pembunuh. Sedangkan pendukung Al-Musta’li
lebih moderat. Akhirnya yang terpilih menjadi khalifah adalah Al-Musta’li karena ia
didukung oleh Al-Afdhal. Al-Afdhal mendukung Al-Musta’li dengan harapan ia akan

47
Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 213). Hal. 794

20
memerintah dibawah pengaruhnya. Akan tetapi basis spiritual Ismailiah menjadi runtuh.
Setelah Al-Musta’li wafat diganti oleh Al-Amir, anak Al-Musta’li yang baru berumur 5
tahun diangkat sebagai khalifah. Al-amir meninggal karena dibunuh oleh kelompok
Bathiniyah; Al-Amir kemudian digantikan oleh Al-Hafidz dan setelah meninggal dunia
Al-Hafizh diganti oleh Az-Zafir.48
Az-Zhafir diangkat menjadi khalifah dalam usia yang masih sangat muda
hingga, merasa tidak mampu menghadapi tentara salib, khalifah Az-Zafir melalui
wazirnya Ibnu Salar, meminta bantuan kepada Nuruddin az-Zanki (gubernur Suriah
dibawah khalifah ‘Abasiyah Baghdad). Nurudin mengirim pasukannya ke Mesir di
bawah panglima Syirkuh dan Salahuddin Yusuf bin Al-Ayubi yang kemudian berhasil
membendung invasi tentara salib ke Mesir. Kemudian kekuasaan Az-Zafir direbut oleh
wazirnya, Ibnu Sallar. Tapi Ibnu Sallar kemudian dibunuh, dan Az-Zafir juga terbunuh
secara misterius. Kemudian naiklah Al-Faiz, anak Az-Zhafir yang baru berusia 4 tahun,
sebagai khalifah. Khalifah kecil ini meninggal dalam usia 11 tahun dan digantikan oleh
sepupunya Al-Adhid yang baru berumur 9 tahun.49 Maka pada tahun 1167 M pasukan
Nuruddin Az-Zanki untuk kedua kalinya kembai memasuki Mesir di bawah pimpinan
Syirkuh dan Salahuddin. Kedatangan mereka kali ini tidak hanya membantu melawan
kaum salib tetapi juga untuk menguasai Mesir. Daripada Mesir dikuasai tentara salib,
lebih baik mereka sendiri yang menguasainya. Apalagi Perdana Mentri Mesir waktu itu,
Syawar, telah melakukan penghianatan. Akhirnya pasukan Nuruddin berhasil
mengalahkan tentara salib dan menguasai Mesir.50
Semenjak itu kedudukan Salahuddin di Mesir semakin mantap. Apalagi ia
mendapat dukungan dari masyarakat yang mayoritas sunni. Peristiwa ini menyebabkan
menguatnya pengaruh Nuruddin Zangki dan panglimanya Salahuddin Al-Ayubi.
Puncaknya terjadi pada masa Al-Adid, pada masa pemerintahannya Salahuddin telah
menduduki jabatan wazir. Dengan kekuasaannya Salahuddin menghormati dan
memberikan kesempatan kepada orang-orang Fathimiyyah.51 Namun ketika al-Adhid
jatuh sakit pada tahun 555 H / 1160 M, Salahudin al-Ayubi mengadakan pertemuan
dengan para pembesar untuk menyelengarakan khutbah dengan menyebut nama khalifah

48
Dr. Hasan Ibrahim Hasan, Tarikh Ad-Daulah Al-Fatimiyyah, (Beirut: Dar Ihya Turats Al-‘Araby, 1935). Hal.
272-273
49
Philip K. Hitti, History of The Arabs, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi (Jakarta:
Serambi Ilmu Semesta, 2013). Hal. 796
50
H. Mukti Ali dkk, Ensiklopedia Islam, Jilid II, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1988). Hal. 6
51
Ibid,. Jilid I. Hal. 287

21
Abasiyyah, al-Mustadi. Ini adalah simbol dari runtuh dan berakhirnya kekuasaan Dinasti
Fatimiyah untuk kemudian digantikan oleh Dinasti Ayubiyyah.52
Keruntuhan Dinasti Fatimiyah disebabkan oleh beberapa kelemahan yang ada
pada masa pemerintahannya. Kelemahan-kelemahan itu antara lain:
1. Sistem pemerintahan berubah menjadi sistem parlementer.
2. Terjadinya persaingan perebutan wazir.
3. Adanya resistensi dari orang-orang Sunni dan Nasrani di Mesir.
4. Terjadinya perebutan kekuasaan antara bangsa Barbar dan bangsa Turki terutama
dalam bidang militer.
5. Adanya pemaksaan ideologi Syi’ah kepada rakyat yang mayoritas sunni.
6. Datangnya serbuan dari tentara salib.
7. Lemahnya para khilafah.
8. Perluasan wilayah difokuskan ke bagian Timur sementara pembinaan di Afrika Utara
terabaikan sehingga menyebabkan berkurangnya pengaruh Dinasti Fatimiyah di sana.
Akhirnya Afrika Utara melepaskan diri dan membentuk pemerintahan sendiri.
9. Para penguasanya selalu tenggelam dalam kehidupan yang mewah.
10. Kondisi Al-‘Adhid (sakit) yang dimanfaatkan oleh Nuruddin.
Beberapa pengarang juga menjelaskan tentang kemunduran dinasti
Fatimiyyah antara lain:
a) Perilaku al-Hakim (pengganti al-Aziz) yang kejam menjadi awal kemunduran dinasti
Fatimiyah. Al-Hakim membunuh beberapa wazir, menghancurkan beberapa gereja,
menghancurkan kuburan suci umat Kristen (1009 M.), menetapkan aturan ketat
terhadap non-Islam dengan menjadikan Islam eksklusif dari agama lain seperti
pakaian dan identitas agama.
b) Konflik internal antar para elitnya yang cukup dahsyat dan berkepanjangan. Konflik
internal dalam pemerintahan Fatimiyyah muncul dikarenakan hampir semua
khalifahnya, setelah wafatnya Al-Aziz, naik tahta ketika masih dalam usia sangat
mudah bahkan kanak-kanak, misalnya, Al-Hakim naik tahta pada usia 11 tahun, al-
Zhahir berusia 16 tahun, Al-Mustansir naik tahta usia 11 tahun, Al-Amir usia 5
tahun, Al-Faiz usia 4 tahun, dan Al-Adid usia 9 tahun. Akhirnya, jabatan wazir yang
mulai dibentuk pada masa khalifah Al-Aziz bertindak sebagai pelaksana

52
Taufik Abdullah dkk (ed), Ensiklopedia Tematis Dunia Islam, Jilid II, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996). Hal. 396

22
pemerintahan. Kedudukan Al-wazir menjadi begitu penting, berpengaruh dan
menjadi ajang perebutan serta ladang konflik.
c) Keberadaan tiga bangsa besar yang sama-sama mempunyai pengaruh dan menjadi
pendukung utama kekuasaan Fatimiyyah, yaitu bangsa Arab, bangsa Barbar dari
Afrika Utara dan bangsa Turki. Di saat khalifah mempunyai pengaruh kuat, ketiga
bangsa itu dapat diintegrasikan menjadi kekuatan yang dahsyat. Akan tetapi, ketika
khalifahnya lemah, maka konflik ketiga bangsa itupun menjadi dahsyat untuk saling
berebut pengaruh dan kekuasaan. Kondisi terakhir itulah yang terjadi pasca
berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz.
d) Faktor eksternal juga ikut mempercepat kehancuran dinasti Fatimiyah seperti
ronrongan bangsa Normandia, Banu Saljuk dari Turki dan Banu Hilal dan Banu
Sulaim dari Nejed yang menguasai sedikit demi sedikit terhadap wilayah kekuasan
Fatimiyah.
e) Realita bahwa meski dinasti Fatimiyah telah berkuasa di Mesir hampir 200 tahun,
ternyata secara ideologis belum berhasil membumikan doktrin ideologi Syi’ah
Ismailiyah. Masyarakat Muslim di Mesir teryata masih tetap setia kepada
ideologi Sunni. Oleh karena itu, ketika dinasti Fatimiyyah berada di ambang
kehancurannya, masyarakat Muslim Mesir bukannya berusaha membantu, tapi justru
berusaha mempercepat kehancurannya.
f) Pukulan menentukan dari kehancuran Fatimiyyah terjadi pada masa pemerintahan
khalifah Al-Adid Lidinillah. Pada saat itu, wilayah kekuasaan dinasti Fatimiyyah
menjadi ajang perebutan antara Nuruddin Zinki sebagai wakil dinasti Abbasiyah
yang ada di Syiria dan pasukan Salib yang ada di Yerusalem pimpinan Raja Almeric.
Pada tahun 1169 M, pasukan Nuruddin Zinki yang dipimpin panglima besar
Shalahuddin Al-Ayyubi dapat mengusir pasukan Salib dari Mesir dan menaklukkan
kekuasaan wazir dari khalifah Al-‘Adid. Setelah khalifah Al-‘Adid wafat pada tahun
1171 M.

23
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Fatimiyyah adalah dinasti Syi’ah yang dipimpin oleh 14 Khilafah atau Imam di
Afrika Utara (909–1171). Dinasti ini dibangun berdasarkan konsep Syi’ah keturunan Ali bin
Abi Thalib dan Fatimah (anak Nabi Muhammad SAW). Kata Fatimiyyah dinisbatkan kepada
Fatimah, karena pengikutnya mengambil silsilah keturunan dari Fatimah Az-Zahra binti
Rasulullah. Dinasti Fatimiyyah juga disebut dengan Daulah Ubaidiyah yang dinisbatkan
kepada pendiri dinasti yaitu Abu Muhammad Ubaidillah Al Mahdi (297H-322H). Orang-
orang Fatimy juga disebut sebagai kaum Alawy, karena dihubungkan dengan keturunan Ali
bin Abi Talib.
Sekte Syi’ah ini menisbatkan dirinya kepada Imamiyah dan menyetujui penetapan ke
enam para Imam yang pertama dari dua belas Imam. Menurut mereka, sesudah kematian
Ja’far al-Shadiq (Imam ke enam), Imamah tidaklah berpindah kepada putranya yang bernama
Musa al-Kazim, akan tetapi berpindah kepada puteranya yang lain yakni Isma’il. Karena
itulah mereka disebut dengan sekte Syi’ah Isma’iliyah. Namun para Imam yang mereka
yakini dari garis keturunan Isma’il tersebut tidak pernah muncul, justru yang muncul
hanyalah juru dakwah (propagandis/misionaris). Oleh karena itu, para Imam tersebut
dinamakan al-Aimmah al-Masturun. Para Imam Isma’iliyah baru akan muncul kembali
setelah keadaan mereka bertambah kuat di Afrika utara pada tahun 297 H./909 M.
Beberapa kemajuan pada dinasti Fatimiyyah, diantaranya:
a. Bidang Politik. Keadaan politik pada masa awal pemerintahan dinasti Fatimiyyah
sampai priode pemerintahan yang ketujuh, masa pemerintahan al-Zahir, relatif stabil dan
tidak ada kejadian besar, karena para khalifah tersebut masih berkuasa penuh terhadap
pemerintahan, meskipun keputusan politik yang diambil oleh mereka sering kali
merugikan pihak lain yang non Syi’ah bahkan non muslim, seperti keputusan politik
yang diambil oleh al-Hakim terhadap orang-orang Yahudi dan Kristen dengan memaksa
mereka memakai jubah hitam dan hanya dibolehkan menunggangi keledai, lalu al-
Hakim mengeluarkan maklumat untuk menghancurkan seluruh gereja di Mesir dan
menyita tanah serta seluruh harta kekayaan mereka sehingga mereka merasa kehilangan
hak-haknya sebagai warga negara, sedangkan kepada orang-orang muslim yang menjadi
pegawai kerajaan diwajibkan mengikuti paham Syi’ah.
b. Bidang Sosial. Mayoritas khalifah Fatimiyyah bersikap moderat dan penuh perhatian
kepada urusan agama non-muslim. Selama masa dinasti Fatimiyyah, pemeluk Kristen

24
Mesir diperlakukan secara bijaksana, hanya khalifah Al-Hakim yang bersikap agak keras
terhadap mereka. Orang-orang Kristen Kopti dan Armenia tidak pernah merasakan
kemurahan dan keramahan melebihi sikap pemerintahan Muslim.
c. Bidang Pemikiran dan Filsafat. Dalam menyebarkan faham Syi’ah dinasti Fatimiyyah
banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat Plato,
Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya. Kelompok ahli filsafat yang paling terkenal
pada dinasti Fatimiyyah adalah Ikhwanu Shofa. Dalam filsafatnya kelompok ini lebih
cenderung membela kelompok Syi’ah Islamiyyah dan kelompok inilah yang
menyempurnakan pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan oleh golongan
Mu’tazilah.
d. Bidang Pendidikan dan IPTEK. Kemajuan keilmuan yang paling fundamental pada
masa dinasti Fatimiyyah adalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan
yang disebut Darul Hikmah atau Darul ‘Ilmi yang dibangun oleh khalifah Al-Hakim
pada tahun 1005 Masehi. Darul Hikmah terinspirasi dari lembaga yang sama yang
didirikan oleh khalifah Makmun Ar-Rasyid di Baghdad. Lembaga tersebut didesain
sedemikian rupa untuk memberikan konstribusi terhadap kemajuan penelitian ilmiah,
terutama di bidang astronomi, matematika dan kedokteran.
e. Bidang Administrasi dan Pemerintahan. Kekuasaan pemerintah dinasti Fatimiyyah
mencakup wilayah yang sangat luas sekali, meliputi: Afrika Utara, Sisilia, Pesisir Laut
Merah Afrika, Palestina, Suriah, Yaman dan Hijaz. Bentuk pemerintah dinasti
Fatimiyyah adalah bentuk yang dianggap pola baru dalam sejarah Mesir, karena dalam
pelaksanaanya seorang khalifah adalah kepala negara yang bersifat temporal dan
spiritual. Pemecatan pejabat tinggi dibawah kontrol kekuasaan khalifah.
Dari beberapa khalifah yang memimpin dinasti Fatimiyah, dari periode yang pertama
sampai yang ke enam mengalami kemajuan dan sejak dipimpin dari khalifah periode ke tujuh
sampai ke empat belas mengalami kemunduran. Beberapa faktor kemunduran yang terjadi
pada dinasti Fatimiyyah, diantaranya:
a) Perilaku al-Hakim (pengganti al-Aziz) yang kejam menjadi awal kemunduran dinasti
Fatimiyyah. Al-Hakim membunuh beberapa wazir, menghancurkan beberapa gereja,
menghancurkan kuburan suci umat Kristen (1009 M.), menetapkan aturan ketat terhadap
non-Islam dengan menjadikan Islam eksklusif dari agama lain seperti pakaian dan
identitas agama.
b) Konflik internal antar para elitnya yang cukup dahsyat dan berkepanjangan.

25
c) Keberadaan tiga bangsa besar yang sama-sama mempunyai pengaruh dan menjadi
pendukung utama kekuasaan Fatimiyyah, yaitu bangsa Arab, bangsa Barbar dari Afrika
Utara dan bangsa Turki.
d) Faktor eksternal juga ikut mempercepat kehancuran dinasti Fatimiyyah seperti
ronrongan bangsa Normandia, Banu Saljuk dari Turki dan Banu Hilal dan Banu Sulaim
dari Nejed yang menguasai sedikit demi sedikit terhadap wilayah kekuasan Fatimiyah.
e) Realita bahwa meski dinasti Fatimiyyah telah berkuasa di Mesir hampir 200 tahun,
ternyata secara ideologis belum berhasil membumikan doktrin ideologi Syi’ah
Ismailiyah. Masyarakat Muslim di Mesir teryata masih tetap setia kepada
ideologi Sunni. Oleh karena itu, ketika dinasti Fatimiyyah berada di ambang
kehancurannya, masyarakat Muslim Mesir bukannya berusaha membantu, tapi justru
berusaha mempercepat kehancurannya.
f) Pukulan menentukan dari kehancuran Fatimiyyah terjadi pada masa pemerintahan
khalifah Al-Adid Lidinillah. Pada saat itu, wilayah kekuasaan dinasti Fatimiyyah
menjadi ajang perebutan antara Nuruddin Zinki sebagai wakil dinasti Abbasiyah yang
ada di Syiria dan pasukan Salib yang ada di Yerusalem pimpinan Raja Almeric. Pada
tahun 1169 M, pasukan Nuruddin Zinki yang dipimpin panglima besar Shalahuddin Al-
Ayyubi dapat mengusir pasukan Salib dari Mesir dan menaklukkan kekuasaan wazir
dari khalifah Al-‘Adid. Setelah khalifah Al-‘Adid wafat pada tahun 1171 M.

26
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. 1996. Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve.

Ahmad, Zainal Abidin. 1979. Sejarah Islam dan Ummatnya. Jakarta: Bulan Bintang.

Ali, K. 2003. Sejarah Islam; Tarikh Pra Modern. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Ali, Mukti. 1988. Ensiklopedia Islam. Jakarta: Departemen Agama RI.

Amin, Ahmad. 2003. Dhuha Al-Islam. Kairo: Maktabah Al-Usroh.

Amin, Samsul Munir. 2010. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.

Grunebaum, Gustave Edmund Von. 1970. Classical Islam; A History 600 A.D. to 1258 A.D.
Translated by Kaikerine Watson. London: George Allen and Unwin Ltd.

Hasan, Hasan Ibrahim. 1953. Tarikh Ad-Daulah Al-Fatimiyyah. Beirut: Dar Ihya Turats Al-
‘Araby

Hitti, Philip K. 2013. History of The Arabs. Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet
Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Mubarok, Jaih. 2004. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisyi.

Mufrodi, Ali. 1997. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Tangerang: Logos Wacana Ilmu.

Nurhakim, M. 2015. Sejarah Peradaban Islam. Malang: UMM Press.

Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.

Sayyid, Aiman Fuad. 2007. Ad-Daulah Al-Fatimiyyah fi Misr; Tafsir Jadid. Mesir: Maktabah
Al-Mishriyyah.

Sounders, JJ. 1981. A History of Medival Islam. London: Redwood Book.

Syalabi, A. 2003. Sejarah dan Kebudayaan Islam 2. Terj. M. Sanusi Latief. Jakarta: Pustaka
Al-Husna Baru.

W, Montgomery Watt. 1990. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis. Terj.
Hartono Hadikusumo. Yogyakarta: Tiara Wacana.

http://caturhadiprasetyo.wordpress.com/2012/05/27/dinasti-fatimiyyah. diakses pada tanggal


01 Desember 2016, Pukul 08:23.

27

Anda mungkin juga menyukai