Kelas :
Psikologi Islam D
MATA KULIAH :
Sejarah Peradaban Islam
2
B.Rumusan Masalah
1.Bagaimana sejarah Dinasti Fatimiyyah?
2.Bagaimana perkembangan dan kemajuan Dinasti Fatimiyyah?
3.Bagaimana runtuhnya Dinasti Fatimiyyah?
C.Tujuan Masalah:
1.Mengetahui sejarah berdirinya Dinasti Fatimiyyah
2.Mengetahui perkembangan dan kemajuan Dinasti Fatimiyyah
3.Mengetahui runtuhnya Dinasti Fatimiyyah
3
BAB II
PEMBAHASAN
A.SEJARAH LAHIRNYA DINASTI FATIMIYYAH
Secara mendalam tentang aliran-aliran dalam Islam apabila dikaji, maka akan
dikemukakan aliran Syi'ah. Gejolak politik antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah
ibn Abu Sufyan mengakibatkan timbulnya aliran ini. Dalam Syi'ah terdapat sekte
Imamiyah yang menjadi awal timbulnya sekte Imam Dua Belas dan sekte Imam Sab'ah
atau yang lebih dikenal dengan sekte Isma'iliyah. Kaum Syi'ah Isma'iliyah itu sendiri
muncul karena berselisih paham dengan Syi'ah Imamiyah tentang imam yang ke tujuh.
Menurut kaum Imamiyah, imam yang ke tujuh adalah putra Ja'far yang bernama Musa
Al-kazhim, sedangkan menurut kaum Isma'iliyah iman yang ke tujuh adalah putra
Ja'far yang bernama Ismail. Kaum Isma'iliyah tidak mau mengakui penobatan Musa
Al-kazhim sebagai imam, meskipun Ismail sdh meninggal. Menurut mereka hak atas
Ismail sebagai imam tidak dapat dipindahkan kepada yangg lain walaupun sudah
meninggal.
Aliran Syi'ah selalu menjadi golongan marginal dalam perkembangan
sejarahnya, baiknya pada masa Dinasti Umayyah maupun Dinasti Abbasiyah,
walaupun tatkala Dinasti Abbasiyah berjuang dan berhasil mengambil alih kekuasaan
dari Dinasti Umayyah yang pad saat itu mempunyai andil besar. Tahun 172 H/ 789 M
berdiri Dinasti Idrisiyah yang didirikan oleh Muhammad Ibnu Idris ibn Abdullah di
Maroko yang berkuasa sampai tahun 314 H / 926 M.1
Dinasti Fathimiyah adalah satu-satunya Dinasti Syiah dalam Islam. Dinasti ini
didirikan di Tunisia pada tanggal 21 Rabi'ul akhir 297 H (909 M), pemimpin Syi'ah
Isma'iliyah, 'Ubaidullah Al-Mahdi saat itu memproklamasikan berdirinya kerajaan
Fatimiyah di Raqqadah, sekitar 4 mil di selatan kota Qairawan (wilayah Tunisia
sekarang). Ia memerintah sampai tanggal 14 Rabi'ul Awwal 322 H (934 M). Meskipun
1
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/rihlah/article/view/2830
4
proklamasi berdirinya kerajaan Fatimiyah dilakukan oleh 'Ubaidullah dan ia diangkat
sebagai Khalifah pertama dinasti ini, menurut Ahmad Mukhtar Al-'Ibadi, pendiri
kerajaan Fatimiyah yang sesungguhnya adalah Abu 'Abdillah Asy-Syi'i.
Sejarah menunjukkan bahwa peranan Abu 'Abdillah sangat besar di dalam
pembentukan kerajaan Fatimiyah. Ia adalah tokoh kunci berdirinya kerajaan tersebut,
dapat dikatakan tanpa kehadiran Abu 'Abdillah kerajaan Fatimiyah tidak pernah ada.
Berikut uraian gambaran jelas besarnya peranan tokoh ini. Yang dimaksud dengan Abu
'Abdillah Asy-Syi'i adalah Abu 'Abdillah Al-Husain bin Ahmad bin Muhammad bin
Zakariyya, juru dakwah Isma'iliyah dari Kufah. Perjuangan mendirikan kerajaan
Fatimiyah, Abu 'Abdillah melakukan dua tahap kegiatan. Pertama, kegiatan dakwah
intensif, dan kedua, perang.
Pada tahap pertama ia berusaha menggalang dukungan masyarakat melalui
dakwah-dakwah keagamaan. Awalnya ia berangkat dari Salamiyyah menuju Yaman
dan bergabung dengan juru dakwah Isma'iliyah yang sudah berada di sana. Bersama
jamaah calon haji dari Yaman ia pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji serta
bertemu dan berkenalan dengan beberapa tokoh. Di antara tokoh Berber dari daerah
Maghrib adalah Hurais bin Al-Jumaili dan Musa bin Milad. Sikap, perilaku,dan
keluasan ilmu agama yang dimiliki olehnya membuat orang-orang Kutamah tertarik
dan kagum kepadanya pada pertengahan Rabi'ul Al-Awwal, 288 H (901 M).
Tempat tinggal yang dipilih oleh Abu 'Abdillah ialah rumah Musa bin Hurais
di Dajjal al-Akhyar, Ikjan. Disini ia melakukan dakwah dengan mengajak masyarakat
mengikuti ajaran Isma'iliyah, terutama ketaatan kepada imam (pemimpin) dari ahli Al
bait (keturunan Ali bin Abi Thalib dari perkawinannya dengan Fatimah Az-Zahra).
Dakwahny mendapat sambutan cukup positif dari sebagian anggota masyarakat.
Kegiatan dakwah intensif ini dilakukan Abu 'Abdillah selama tiga tahun (288-291
H/901-904 M).2
2
Prof. Dr. H. A. Hafiz Anshary AZ, M.A., Khilafah Fatimiyyah, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2014), hal
9
5
Setelah memiliki pengikut yang cukup banyak Abu 'Abdillah mulai memasuki
tahap kedua yaitu perjuangan mengangkat senjata. Ia mengumumkan bahwa imam
Mahdi yang ditunggu-tunggu akan segera datang untuk membangkitkan semangat
juang para pengikutnya termasuk beberapa orang menteri di kerajaan al-Agalibah yang
secara diam-diam sudah menganut madzhab Syi'ah. "Al-Mahdi akan keluar dalam
waktu dekat ini dan akan menguasai bumi. Beruntunglah orang yang bergabung dan
taat kepadaku." Ucapan Abu 'Abdillah.
Ia bersama puteranya, Abu Al-Qasim Nizar, keluarga, dan sejumlah
pengikutnya berangkat ke Maghrib melalui Palestina, Mesir, dan Padang pasir Libia.
Karena ia khawatir akan ditangkap oleh orang-orang Abbasiyah yang selalu
mencarinya, perjalanan itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Di Sijilmasah, ibu
kota dinasti Midrariyyah, ia ditangkap dan dipenjarakan oleh Amir Sijilmasah, Ilyasa'
bin Midrar.
Pada sisi lain, Abu 'Abdillah terus mengobarkan melawan perang dinasti al-
Agalibah. Perjuangan perang ini memakan waktu cukup lama, sekitar 5 tahun (291-296
H/904-909 M). Perang paling besar dan menentukan terjadi pada awal Jumadil akhir
296 H (909 M). Setelah berhasil menghancurkan dinasti al-Agalibah, untuk
membebaskan 'Ubaidullah barulah Abu 'Abdillah ke Sijilmasah . Setelah keluar dari
penjara bersama putranya dinaikkan ke atas kuda, sementara Abu 'Abdillah dan para
pemimpin kabilah berjalan di depannya. Karena sangat gembira Abu 'Abdillah berseru
kepada orang-orang disekelilingnya "Inilah pemimpin kalian".
Kelompok Isma'iliyah terpecah kepada tiga golongan. Golongan pertama
berpendapat, Ismail sebenarnya tidak meninggal dunia melainkan pergi bersembunyi.
Suatu saat akan muncul kembali sebagai imam Mahdi yang dijanjikan. Golongan kedua
berpendapat, imam yang sesungguhnya adalah Ismail, namun karena kesadarannya
maka keimaman di alihkan kepada anaknya Muhammad. Golongan ketiga
berpendapat, meskipun Ismail wafat di saat ayahnya masih hidup, ia tetap sebagai
imam. Keimaman tersebut terus berlanjut kepada putranya, Muhammad, dan
6
keturunannya. Golongan pertama dan kedua segera hilang, sementara golongan ketiga
masih ada sampai sekarang dan mengalami sejumlah perpecahan.
Ubaidillah Al-Mahdi dan para pengikutnya beraliran Syi'ah Isma'iliyah, kerajaan yang
didirikan diberi nama "Fatimiyah" tidak diberi nama Isma'iliyah. Nama tersebut
diambil dari nama Fatimah Az-Zahra,Puteri Nabi besar Muhammad Saw., Isteri Ali bin
Abi Thalib r.a. Menurut W. Montgomery Watt, "Fatimiyah" bukanlah nama yang tepat
untuk pengikut Ismail tanpa mengemukakan alasan mengapa nama "Fatimiyah" itu
tidak tepat untuk pengikut Ismail.
Hal lain yang menarik pembentukan kerajaan Fatimiyah adalah gelar kepala
negara yang digunakan, sebagai pemimpin kerajaan Fatimiyah, 'Ubaidullah memakai
gelar Al-Mahdi Amir al-mu'minin. Biasanya gelar yang dipakai di lingkungan mereka
adalah imam. Dengan gelar itu pula mereka menegaskan bahwa kerajaan Fatimiyah
bukanlah sebuah kerajaan biasa sebagaimana dinasti-dinasti lokal yang tumbuh dan
berkembang di dunia Islam ketika itu, tetapi merupakan sebuah kekhalifahan yang
menyaingi kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, seperti Ibn Khaldun, gelar Amir al-
mu'minin merupakan ciri Khalifah. Gelar tersebut pertama kali dipakai sebagai gelar
kepala negara di dalam Islam pada masa pemerintahan 'Umar bin Al-Khattab (13-23
H/634_644 M).
'Ubaidullah sendiri mengaku sebagai keturunan Ali dari perkawinannya dengan
Fatimah Az-Zahra, Puteri Rasulullah Saw., namun pengakuan ini diragukan
kebenarannya oleh sebagian ahli sejarah dan ditolak keras oleh dinasti Abbasiyah.
Beberapa sejarawan muslim, diantaranya Abu Bakar Al-Baqillani, Ibn khallikan, Ibn
wasil, dan Az-Zahabi cenderung tidak mengakui keabsahan'Ubaidullah sebagai
keturunan Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az-Zahra, tetapi sebagian ahli sejarah yang
lain seperti Ibn Asir , Ibn Khaldun dan Al-Maqrizi mengakui kebenaran silsilah
Ubaidillah tersebut3
3
Prof. Dr. H. A. Hafiz Anshary AZ, M.A., Khilafah Fatimiyyah, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2014), hal
19
7
B.PERKEMBANGAN & KEMAJUAN
4
Prof. Dr. H. A. Hafiz Anshary AZ, M.A., Khilafah Fatimiyyah, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2014), hal
26
8
itu sangat berbahya bagi kedudukan Ubaidillah. Kedua, ketiga tokoh tersebut
merencanakan membunuh Ubaidillah karena kekecewaan mereka terhadap sikap dan
tindakan Ubaidillah yang mendominasi kekuasaan di kerajaan Fatimiyyah.
Pada sisi yang lain mendominasi kerajaan di Fatimiyyah, Ubaidillah hanya
menjadi pemimpin yang spiritual, sedangkan kekuasaan yang eklusif di serahkan
kepada mereka, tetapi kenytaan nya tidak demikian Ubaidillah memegang kedua
kekuasaan tersebut sebagai pemimpin tertinggi. Pembunuhan terhadap tokoh-tokoh
penting menimbulkan kemarahan terhadap pengikut setia mereka, mereka bangkit
mengangkat senjata dan membuat kerusuhan dn menuntut balas atas kematian tiga
tokoh tersebut akan tetapi Ubaidillah mampu mengatasi kerusuhan tersebut dan
menghukum mati para pelakunya.
Keberhasilan Ubaidillah menyingkirkan ketiga tokoh dan orang-orang yang
menentang nya serta kemampuan nya mengatasi ekses yang terjadi memantapkan
posisinya sebagai seorang raja yang sangat Tangguh dan piyawai. Setelah membunuh
ketiga tokoh tersebut Ubaidillah mengangkat anak nya, Abu al-Qasim Muhammad
(Nizar), sebagai putra mahkota, dan ia juga mengangkat pendukung setianya menjadi
pengurus di dalam kerajaan5.
2. Serangan ke Mesir
Daerah yang sangat di rebut nya adalah Mesir karena letaknya sangat strategis
dan memiliki potensi ekonomi yang sagat besar. Untuk itu, selama masa
pemerintahannya, ia pernah menyerang mesir sebanyak tiga kali, akan tetapi semua
itu gagal. Serangan pertama di lakukan pada tahun 301 H (913 M) di pimpin oleh
putranya, Abu al-Qosim, dibantu oleh Hubasah bin Yusuf. Serangan kedua pada
tahun 303 H (914 M) dan di pimpin Husabah bin Yusuf, ini pun sempat berhasil
menguasai iskandariyah akan tetapi ketika bergerak menuju Mesir pasukan tersebut
5
Prof. Dr. H. A. Hafiz Anshary AZ, M.A., Khilafah Fatimiyyah, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2014), hal
31
9
di hadaang oleh pasukan tantara Abasiyyah yang di pimpin oleh Mu’nis al-Khadim,
setelah beberapa kali terjadi pertempuran pasukan Fatimiyyah menderita kekalahan
besar. Sekitar 7.000 perajurit tewas dan yang selamat terpaksa kembali ke Magrib.
Dan kekalahan ini membuat Ubaidillah beasr terhadaf Hubasah dan membunuhnya.
dan pertempuran ketiga dikitim pada tahun 307H(919M) di pimpin oleh Abu al-
Qosim dengan tantara yang sangat banyak pasukan ini berhasil menduduki
iskandariah, al-Jizah, al-Asymunin, dan beberapa wilayah perbukitan di Mesir6.
3. Penaklukan Mesir
Di taklukan pada tahun 358 H (969 M) setelah wilayah magarib dapat
menguasai sampai ke pantai lautan atlantik dan stabilitas polikik dan keamanan di
dalam negri sudah mulai mantap,dan penyerangan di pimpin oleh Jauhar as-Siqili.
Keberhasilan penyerangan ini merupakan perestasi besar bagi Jauhar karena
beberapakali dinasti Fatimiyyah selalu gagal, faktor dinasti Abasiyyah mengalami
kekalahan karena dalam keadaan lemah karena menghadapi berbagai persoalan di
dalam maupun di luar negri.
6
Prof. Dr. H. A. Hafiz Anshary AZ, M.A., Khilafah Fatimiyyah, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2014), hal
32
10
pemberontakan besar yand dapat mengancam kelangsungan hidup dinasti Fatimiyyah
pemberontakan itu di pimpin oleh Abu Yazid Makhlad bin Kaidat an-Nakkari al-
Khawarij7.
4. Pembangunan Ekonomi
7
Prof. Dr. H. A. Hafiz Anshary AZ, M.A., Khilafah Fatimiyyah, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2014), hal
33
8
Prof. Dr. H. A. Hafiz Anshary AZ, M.A., Khilafah Fatimiyyah, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2014), hal
48
11
C.KERUNTUHAN DINASTI FATIMIYYAH
Dinasti Fatimiyyah dengan pasukan dari suku Barbar menjadi salah satu sebab
utama yang terjadi atas keruntuhan dinasti ini. Khalifah Al-Azis meninggal pada
tahun 386 H/ 996 M, lalu digantikan oleh putranya Abu Ali Manshur Al-Hakim yang
baru berusia 11 tahun. Pemerintahannya ditandai dengan tindakan-tindakan yang
kejam dan menakutkan. Ia membunuh beberapa orang wazirnya, menghancurkan
beberapa gereja Kristen, termasuk di dalamnya kuburan suci umat Kristen (1009 M).
Dia memaksa umat Kristen dan Yahudi untuk memakai jubah hitam, lalu
menunggangi keledai dan menunjukkan tanda salib bagi orang-orang kristen serta
menaiki lembu dengan memakai bel bagi orang-orang Yahudi.
Al-Hakim adalah khalifah ketiga dalam Islam, setelah Al-Mutawakkil dan
Umar II yang menetapkan peraturan-peraturan ketat kepada kalangan non-muslim.
Jika tidak, tentu saja kekuasaan Fatimiyah akan sangat nyaman bagi kalangan
Dzimmi. Maklumat untuk menghancurkan kuburan suci ditandatangani oleh
sekretarisnya yang beragama Kristen, Ibnu Abdun dan tindakan itu merupakan sebab
utama terjadinya Perang Salib. Kesalahan yang paling fatal ialah pernyataannya yang
menyatakan diri sebagai inkarnasi dari Tuhan, yang kemudian diterima dengan baik
oleh sekte Syiah baru yang bernama Druz sesuai dengan nama pemimpinnya yakni
Al-Daradzi yang berasal dari Turki.9
Pada tahun 1021 M, Al-Hakim dibunuh oleh Muqattam yaitu suatu konspirasi
yang dipimpin oleh saudaranya sendiri yang bernama Sita Al-Muluk. Kebijakan
politik Al-Hakim telah menimbulkan rasa benci kaum Dzimmi dan muslim non-
Syi’ah. Anaknya Abu Al-Hasan Ali Al-Zhahir naik tahta ketika masih berumur enam
belas tahun. Sebagai orang yang cukup piawai ia berhasil kembali menarik simpati
kaum Dzimmi. Namun tidak lama kemudian ia jatuh sakit karena paceklik atau
9
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/rihlah/article/view/2830
12
kekurangan makanan, lalu ia meninggal dunia pada tahun 1035 M. Sepeninggalnya
Abu Al-Hasan Ali Al-Zhahir tahta ini digantikan oleh Abu Tamim Maad Al-
Mustanshir. Pada tahun 1083 M, kekuasaan Fatimiyah di Syria mulai goyah.
Palestina selalu berontak dan kekuasaan Seljuk dari timur pun menguasai wilayah
Asia Barat.
Pada tahun H, Mesir dilanda wabah penyakit, kemarau panjang dan sungai Nil
juga mengering. Setelah Al-Mustanshir meninggal, kekhalifahan digantikan oleh
puteranya yang kedua bernama Abu Al-Qasim Ahmad Al-Musta’li. Anak pertamanya
yang bernama Nizar yang melarikan diri ke Iskandariyah tetapi ia berhasil ditangkap
dan dipenjarakan sampai meninggal. Pada masa pemerintahan Al -Musta li ini
Tentara Salib mulai bergerak menuju pantai dinegeri Syam dan menguasai Antokia
sampai Bait Al-Maqdish. Setelah Al-Musta’li wafat, ia digantikan oleh anaknya Abu
Ali Al-Mansur Al-Amir yang masih berusia lima tahun (1101 M/495H-1130 M/524
H). Kemudian Al-Amir dibunuh oleh kelompok Batinia.
Al-Amir digantikan oleh Abu Al-Maemun Abdul Al-Majid Al-Hafiz (524-544
M). Al-Hafiz meninggal dunia lalu digantikan oleh Abu Mansur Ismail, yang
merupakan anaknya yang berusia tujuh belas tahun dengan gelar Az-Zhafir. Ia
seorang pemuda yang tampan dan lebih senang memikirkan para gadis dan nyanyian
dibandingkan dengan urusan militer dan politik. Pada tahun 1054 M, Az-Zhafir
dibunuh oleh anaknya Abbas, kemudian digantikan lagi oleh anak laki-lakinya yang
masih bayi yang bernama Abul Qasim Isa yang bergelar Al-Faiz. Setelah itu Al-Faiz
meninggal dunia sebelum dewasa dan digantikan oleh sepupunya yang berusia
sembilan tahun yang bernama Abu Muhammad Al-Adhib. Belum lagi Al-Adhid
memantapkan dirinya ke tahta kerajaan, Raja Yerusalem menyerbu Mesir sampai ke
pintu gerbang Kairo.
Perebutan kekuasaan terus terjadi sampai munculnya Salah Al-Din yang
menggantikan pamannya sebagai wazir. Salah al-Din adalah orang yang sangat ramah
sehingga dengan cepat mendapatkan simpati rakyat dan bahkan mengalahkan
pengaruh khalifah.
13
Al-Adhid adalah khalifah Fatimiyah yang paling akhir meninggal dunia pada
10 Muharram 576 H/1171 M. Pada saat itulah Dinasti Fatimiyah hancur dan berkuasa
sekitar dua setengah abad (909H/1171 M).
Beberapa pengarang lain juga menjelaskan tentang kemunduran Dinasti
Fatimiyah antara lain, sebagai berikut :
1. Perilaku Al-Hakim (pengganti Al-Aziz) yang kejam menjadi awal dari
kemundurannya Dinasti Fatimiyah. Al-Hakim membunuh beberapa wazir,
menghancurkan beberapa gereja lalu menghancurkan kuburan suci umat Kristen 1009
M, dan menetapkan aturan ketat terhadap non-Islam dengan menjadikan Islam
eksklusif dari agama lain, contohnya seperti pakaian dan identitas agama10.
2. Konflik internal yang cukup dahsyat dan berkepanjangan. Konflik internal yang
terjadi didalam pemerintahan Fatimiyah ini muncul dikarenakan hampir semua
khalifahnya, setelah wafatnya Al-Aziz ini membuat para keturannya naik tahta ketika
masih dalam usia sangat mudah bahkan kanak-kanak, contohnya seperti Al-Hakim
naik tahta pada usia 11 tahun, A-Zhahir berusia 16 tahun, Al-Mustansir naik tahta
usia 11 tahun, Al-Amir usia 5 tahun, Al-Faiz usia 4 tahun, dan Al-Adid usia 9 tahun.
Akhirnya, jabatan wazir yang mulai dibentuk pada masa khalifah Al-Aziz bertindak
sebagai pelaksana pemerintahan. Kedudukan Al-Wazir menjadi begitu penting dan
juga berpengaruh menjadi perebutan serta ladang terjadinya konflik.
3. Keberadaan tiga bangsa besar yang sama-sama mempunyai pengaruh dan menjadi
pendukung utama kekuasaan Fatimiyah, yaitu bangsa Arab, bangsa Barbar dari
Afrika Utara dan para bangsa Turki. Di saat khalifah mempunyai pengaruh kuat,
ketiga bangsa itu dapat diintegrasikan menjadi kekuatan yang dahsyat. Akan tetapi,
ketika khalifahnya lemah, maka konflik ketiga bangsa itupun menjadi lebih dahsyat
lagi untuk saling memperebut kekuasaan. Kondisi terakhir itulah yang terjadi setelah
berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz.
10
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/rihlah/article/view/2830
14
4. Faktor eksternal juga ikut mempercepat kehancuran dinasti Fatimiyah seperti
rongrongan bangsa Normandia, Banu Saljuk dari Turki, Banu Hilal dan Banu Sulaim
dari Nejed yang menguasai sedikit demi sedikit terhadap wilayah kekuasan dinasti
Fatimiyah11.
11
http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/rihlah/article/view/2830
15
KESIMPULAN
16
DAFTAR PUSTAKA
17