Anda di halaman 1dari 21

DINASTI FATIMIYAH

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kuliah pada jurusan Sejarah Peradaban
Islam pasca sarjana UIN Alauddin Makassar

OLEH:

Sunardi
NIM : 80100219049

SEJARAH PERADABAN ISLAM

PPs UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Membahas tentang sejarah Islam bagaikan menelusuri alam raya yang

tiada ujungnya, sebab khazanah keilmuan yang tersimpan di dalamnya tidak akan

habis ditelusuri sampai Allah Swt. mengembalikan kita pada asal kita diciptakan.

Oleh karenanya beberapa ahli sejarah Islam ada yang hanya memfokuskan

kajiannya apakah hanya pada bidang sosial, ekonomi, pendidikan, politik bahkan

sampai pada kajian teologi yang ada dalam Islam. Apakah hanya pada zaman

klasik, pertengahan ataukah modern. Apakah fokus penelitiannya dalam skala

internasional, nasional, ataukah regional. Namun perlu dipahami bahwa dari

berbagai pembagian kajian kesejarah Islam, sebenarnya suatu hal yang

membentuk satu kesatuan yang tidak bisa terpisah-pisah.

Apabila kita telusuri sejarah Islam pada bidang politik dinasti-dinasti yang

muncul setelah al-khulafa ur rasyidin akan ditemukan dinasti Umayah, dinasti

Abbasiyah, dinasti Umayyah di Andalusia, dinasti Fatimiyah di Mesir, dinasti

Saffawiyah di Persia, dinasti Utsmani di Turki, dinasti Mughal di India, dan masih

banyak dinasti dalam sejarah Islam. Beberapa dinasti tersebut telah berhasil

membawa Islam ke masa kemajuan. Selama itu pula perkembangan Islam

semakin maju.

Perkembangan dinasti dalam Islam yang mampu merubah peradaban

dimulai ketika dinasti Umayyah berdiri dan kemudian disusul oleh berdirinya

Abbasyiah setelah dinasti Umayyah mengalami kemunduran. Kedua dinasti ini

berkontribusi besar dalam peradaban Islam, dan kemudian muncul dinasti-dinasti

kecil yang becita-cita ingin seperti kedua dinasti pendahulu. Ini terbukti

1
2

ketikamuncul berbagai dinasti kecil pada masa dinasti Abbasiyahdan. Salah satu

dinasti kecil itu adalah dinasti Fatimiyyah yang dilatar belakangi oleh politk

keagamaan.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah sejarah berdirinya dinasti Fatimiyah?

2. Bagaimanakah perkembangan dinasti Fatimiyah?

3. Bagaimanakah kemunduran dinasti Fatimiyah?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Sejarah berdirinya dinasti Fatimiyah

Apabila kita mengkaji aliran-aliran dalam Islam, kita akan menemukan

aliran selain ahlu sunnah wal jamaah yang lebih dikenal dengan Sunni yang juga

mendominasi paham keagamaan umat Islam secara umum yaitu Syi’ah. Dalam

Syi’ah terdapat sekte Imamiyah yang menjadi emrio timbulnya sekte Imam Dua

Belas dan sekte Imam Sab’ah atau lebih dikenal dengan sekte Isma’iliyah. Sekte

Isma’iliyah muncul karena faktor ketidak sepahaman dengan sekte Imamiyah

mengenai imam ketujuh Syi’ah. Menurut pandangan Syi’ah Imamiyah, imam

ketujuh itu adalah putra Ja’far al-Shadiq yang bernama Musa al-Kazhim,

sedangkan sekte Isma’iliyah beranggapan bahwa imam ke tujuh itu bukan Musa

al-Kazhim tetapi saudaranya yang telah meninggal yaitu Ismail. Meskipun Ismail

bin ja’far al-Shadiq telah meninggal tetapi bagi kalangan Isma’iliyah, kedudukan

Ismail sebagai imam ketujuh bagi Syi’ah tidak bisa digantikan oleh siapa pun

meskipun saudaranya sendiri.1

Dalam silsilah Ismail bin ja’far (w.765 M.) yang diyakini oleh Syi’ah

Ismailiyah sebagai imam ketujuh mereka, ia mempunyai putra yang bernama

Muhammad bin Ismail atau Maimun al-Qaddah (w. 813 M.) ia ditunjuk

melanjutkan kekuasaan ayahnya. Kemudian dilanjutkan oleh Abdullah bin

Maimun (w.874 M.) dan sebelum meninggal ia menunjuk pengikutnya yang

paling bersemangat meneybarkan paham Syi’ah Ismailiyah yaitu Abdullah al-

Husain dari keturunan Yaman sebagai pemimpin Syi’ah Isma’iliyah. Oleh karena

1
Susmihara, "Dinasti Fatimiyah (Muncul, Perkembangan, dan Kehancuran)". Jurnal
Rihlah 2, no. 2 (2016): h. 50.

3
4

penunjukan tersebut maka dia menobatkan diri sebagai wakil al-Mahdi hingga

akhir abad ke Sembilan. Danpada tahun 909 M. muncul Sa’id bin Husyan

(Ubaidillah al-Mahdi) yang akan memproklamirkan diri sebagai khalifah pertama

dinasti Fatimiyah sebagaimana yang akan dibahas nantinya.

Setelah pengangkatan Abdullah al-Husain sebagai pemimpin Syi’ah

Isma’iliyah maka dia berangkat ke Afrika utara mendakwahkan teologi yang

dipahami. Dengan propaganda yang dilancarkan serta semangatannya, ia dapat

menarik pengikut yang berasal dari suku Barbar. Khusunya dari kalanagan

Khitamah menjadi pengikut gerakan setia ahli bait ini. Pada saat itu penguasa

Afrika utara adalah Ibrahim bin Muhammad, berusaha menekan gerakan

Ismailiyah ini, namu usahanya sia-sia. Ziyadatullah sebagai pengganti ayahnya

(Ibrahim bin Muhammad) juga tidak berhasil menekan gerakan ini.2

Setelah gerakannya berhasil menegakkan pengaruhnya di Afrika utara,

Abdullah al-Husain menulis surat kepada Imam Isma’iliyah, yaitu Sa’id bin

Husain as-Salamiyah agar segera berangkat ke Afrika Utara untuk menggantikan

kedudukannya sebagai pemimpin tertinggi gerakan Isma’iliyah. Sa’id

mengabulkan undangan tersebut. Dan ia memproklamirkan diri sebagai putra

Muhammad al-Habib, seorang cucu imam Ismail. Setelah berhasil merebut

kekuasaan Ziyadatullah, ia memproklamirkan dirinya sebagai pemimpin tertinggi

gerakan Isma’iliyah. Selanjutnya, gerakan ini berhasil menduduki Tunis, pusat

pemerintahan dinasti Aghlabiyah pada tahun 909 M. yang berada dibawah

kekuasaan dinasti Abbasyiah. Karena kemenangan penuh Sa’id atas pemerintahan

Aghlabiyah, maka Ziyadatullah sebagai khalifah terahir dinasti Aghlabiyah

terusir. Sa’id kemudian memproklamirkan diri sebagai imam dengan gelar

2
A. Munir, Samsul, Sejarah Peradaban Islam (Cet. v; Jakarta: AMZAH, 2015), h. 225
5

“Ubaidullah al-Mahdi”. dengan demikian, terbentuklah pemerintahan dinasti

Fatimiyah di Afrika Utara dengan al-Mahdi sebagai khalifah pertamanya.3

B. Perkembangan dinasti Fatimiyah

1. Periode Afrika Utara

Kehadiran dinasti Fatimiyah ini menjadi pesaing bagi dinasti Abbasyiah di

Baghdad dan dinasiti Umayyah di Andalusia. Dinasti Fatimiyah telah menorehkan

tinta emas prestasi yang sangat luar biasa terhadap sejarah Islam di dunia. Bukti

dari prestasi dinasti Fatimiyah ini terlihat dari tempat-tempat yang menjadi pusat

peradaban Islam. Tidak hanya Baghdad, Spanyol, Samarkand akan tetapi dengan

lahirnya dinasti Fatimiyah menjadikan Mesir sebagai pusat peradaban Islam.4

Dinasti Fatimiyah mempunyai kekuasaan yang sangat luar biasa dan

terbagi ke dalam dua periode. Yakni periode Afrika Utara (909-974 M.) dan

periode Mesir (975-1171 M.). Dinasti Fatimiyah berkuasa selama dua abad yakni

65 Tahun pusat kerajaannya di Afrika Utara dan 196 tahun menjadikan Mesir

sebagai pusat kerajaan hingga dinasti ini mengalami kemunduran.

Pada periode Afrika Utara, misi utama dinasti Fatimiyah adalah perluasan

wilayah kekuasaan. Dua tahun semenjak penobatannya sebgai khalifah, Al-Mahdi

langsung melancarkan gerakan perluasan wilayahnya ke seluruh Afrika yang

terbentang dari Mesir sampai dengan wilayah Fes di Maroko. Pada tahun 914 M.

ia menduduki Alexandria. Kota-kota lainnya seperti Malta, Syria, Sardinia,

Corsica, dan sejumlah kota lainnya jatuh dalam kekuasaannya pada tahun 920 M.

Al-Mahdi kemudian mendirikan ibu kota baru dinasti Fatimiyah di pantai Tunisia

dan kota ini dinamakan kota Mahdiniyah. Al-Mahdi juga ingin menaklukkan

3
A. Munir, Samsul, Sejarah Peradaban Islam, h. 225
4
Moh. Nurhakim, Jatuhnya sebuah Tamaddun (Jakarta: Kementrian Agama Indonesia,
direktur Jendral pendidikan Islam, Direkorat Pendidikan Tinggi Islam 2012) h. 111
6

Andalusia dengan strategi bekerja sama dengan Muhammad bin Hafsun yang

merupakan pimpinan pemberontak di Andalusia. Demikian pula dengan Mesir

yang dikuasai oleh daulah Ikhsyidi yang yang telah lama memerintah disana yang

mulai melemah. Namun keinginannya itu belum berhasil sampai ia meninggal

dunia pada tahun 934 M.5

Dengan meninggalnya Al-Mahdi bukan berarti penaklukan wilayah yang

menjadi misi utama dinasti Fatimiyah berhenti pula. Kekhalifahan Al-Mahdi

(w.934 M.) diganti oleh putranya yang bernama Abu al-Qasim Muhammad.

Khalifah Al-Qasim memiliki karakter yang lebih keras dalam penaklukan wilayah

dari pada pendahulunya. Para pasukan Al-Qasim dalam menaklukkan wilayah

tidak segan-segan melakukan pembunuhan, penyiksaan, pembakaran kapal-kapal

musuh, dan merampas para budak. Di awal kekhalifahan Al-Qasim dia hendak

menaklukkan pantai selatan Prancis. Dalam misinya kali ini al-Qasim membawa

pasukannya yang sangat banyak dan berhasil menduduki Genoa dan wilayah

sepanjang pantai Calabria. Pada tahun 945 M. dinasti Fatimiyah telah menguasai

Tunisia secara keseluruhan bahkan daerah sekililingnya dan Sicilia.

Tidak hanya dipantai selatan Prancis, pada saat bersamaan al-Qa’im juga

melancarkan ekspansinya ke Mesir namun dapat dihalau oleh pasukan Ikhsydi

sampai-sampai mereka juga terusir dari Alexandria yang pernah menjadi wilayah

kekuasaannya. Selain ancaman dari dinasti lain, al-Qa’im juga mendapat ancaman

dari pihak aliran Khawarij yang pada saat itu dipimpin oleh Abu Yazid Makad.

Puncak peperangan antara pasukan Abu Yazid dengan pasukan al-Qa’im terjadi

pada tahun 946 M. di Susa’. Pada peristiwa ini khalifah dinasti Fatimiyah

menghembuskan nafas terakhirnya.

5
A. Munir, Samsul, Sejarah Peradaban Islam, h. 256
7

Dengan meninggalnya al-Qa’im maka jabatan kekhalifahan beralih kepada

Abu Thahir Ismail (al-Mansur) yang merupakan putra sulung al-Qa’im. Pada saat

penobatan kekhalifannya, al-Mansur berusia 30 Tahun. Berbeda dengan

ayahandanya yang mengandalkan keberaniannya berperang dalam menaklukkan

wilyah, al-Mansur yang mempunyai sifat sangat baik, bijak, dan cerdas sehingga

sifat-sifatnya itulah yang dijadikan sebagai senjata dalam memperluas wilayah

kekuasaannya.

al-Mansur (w. 953 M) menjadi Khalifah selama tujuh tahun yakni dari

tahun 946-952 M., ia secara resmi diangkat menjadi khalifah pada tanggal 12

April 946 M. Sementara kondisi di Ifriqiya ketika al-Manshur (w. 953 M)

menjadi khalifah sangatlah kacau dan kondisi pemerintahan sangat sulit, hal ini

disebabkan karena dinasti Fatimiyah sedang mendapatkan serangan dari Abu

Yazid dan para pengikutnya, sampai akhirnya al-Mansur (w. 953 M) dan

pasukannya tersudutkan disebuah sudut ibukotanya. Dengan keadaan yang

demikian al-Manshur (w. 953 M) harus berjuang keras agar bisa melawan

pasukan Abu Yazid. Al-Manshur (w. 953 M) berhasil menghancurkan kekuatan

pasukan Abu Yazid, ia tidak putus asa dan berjuang keras untuk mempertahankan

dinasti Fatimiyah. Tidak hanya Abu Yazid yang berbuat onar akan tetapi anaknya

juga sering membuat keributan. Namun dengan segala keberaniannya al-Manshur

(w. 953 M) mampu mengatasi perlawanan Abu Yazid beserta putera dan

pasukannya. Seluruh wilayah di Afrika Utara masih bisa diamankan dan masih

tetap tunduk di bawah naungan dinasti Fatimiyah. Al- Manshur (w. 953 M)

membangun sebuah kota yang sangat megah di perbatasan Susa’ yang diberi nama

kota al-Manshuriyah. Pada tahun 953 M. khalifah al-Manshur meninggal dan ia

menunjuk puteranya yang bernama Abu Tamim Ma’ad (Mu’iz li dinillah).


8

2. Periode Mesir

Mu’iz li dinillah merupakan sosok khalifah yang mewarisi sifat-sifat

khalifah sebelumnya (al-Mansur). Oleh karena itu ia telah sanggup mengalahkan

kekuasaan Bani Ikhsyidi di Mesir, dan Mesir dapat ditaklukkan yang telah

menjadi cita-cita nenek moyangnya dahulu dengan bantuan hamba sahayanya,

Jauhar, orang sicilia. Setelah beroleh beberapa kemenangan di negeri lain. Pada

tahun 355 H. tentara al-Mu’iz memasuki negeri mesir yang ketika itu Mesir tidak

sekuat dahulu lagi, terlebih lagi setelah kematian rajanya, Kaful al-Ikhsyidi.

Ketika tentara itu masuk boleh dikatakan tidak ada perlawanan lagi, kota itu

menyerah.6

Jauhar mendirikan kota al-Qahirah (Kairo) sebagai lambang kemenangan.

Setelah teguh kedudukan Jauhar di Mesir pada tahun 969 M./355 H. barulah al-

Mu’iz datang di Mesir pada tahun 361 H. sesudah ia terlebih dahulu mengatur

negeri Afrika di bawah pimpinan panglima-panglima perangnya. Untuk

memimpin seluruh Afrika, ia mengangkat seorang gubernur jendral bernama

Yusuf Ibn Balkin Ibn Ziri Ibn Munad as-Shanhaji. Negeri Sicilia diperintah oleh

seorang gubernur bernama Abu Qasim Ali Ibn Hasan Ibn Ali. Tripoli Timur

diperintah oleh Abdullah Ibn Yakhlif al-Kattami. Setelah itu, baginda pun

berangkat ke Mesir.7

Sesampainya di Iskandariah, ia disambut dengan upacara besar oleh

penduduk negeri, dielu-elukan oleh pahlawannya yang masygur (Jauhar ash-

Shiqili). Jauhar pula yang mendirikan masjid Jami’ul Kahhirah (Kairo) yang

belakangan diubah namanya Masjid al-Azhar. Setelah itu, masuklah baginda ke

al-Qahirah. Sejak saat itu periode Afrika beralih ke periode Mesir.8


6
Hamka, Sejarah Umat Islam (Cet. 1; Jakarta: Gema Insani, 2016), h. 242.
7
Hamka, Sejarah Umat Islam, h. 243
8
Hamka, Sejarah Umat Islam, h. 243
9

Keberhasilan al-Muiz (w. 975 M) menguasai Mesir sangat berdampak bagi

keadaan sosial Mesir, kala itu mayoritas penduduk merupakan penganut Sunni

sementara al-Muiz penganut Syiah Ismailiyah. Ketika itu di Mesir berkembang

empat madzhab fikih yakni: Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambali. Demi

mempertahankan kekuasaannya, al-Muiz (w. 975 M) kemudian mengambil

kebijakan agar saling mengayomi antara paham Syi’ah dan penduduk paham

Sunni dengan cara mengangkat hakim dari golongan Sunni dan hakim dari

golongan Syi’ah. Dua tahun setelah Dinasti Fatimiyah menjadikan Kairo sebagai

ibukota, al-Aziz (w. 996 M) diangkat menjadi khalifah menggantikan sang ayah

dan semenjak itu keadaan Mesir semakin membaik. Awal pemerintahan khalifah

al-Aziz (w. 996 M) masih mengandalkan panglima Jauhar ash-Shiqili untuk

melakukan perluasan kekuasaan hingga pada tahun 976 M. menugaskannya untuk

pergi ke Damaskus. Tiga tahun setelah Damaskus dikuasai al-Aziz (w. 996 M)

kemudian menaklukan Palestina dan Hijaz. Sementara wilayah Syam bagian

Utara belum bisa mereka taklukan. al-Aziz meninggal pada tahun 996 M.

Sepeninggal Al-Aziz, khalifah Fatimiyah dijabat oleh anaknya yang

bernama Abu al-Mansur al-Hakim. Ketika naik tahta ia baru berusia sebelas

tahun. Selama tahun-tahun pertama al-Hakim berada di bawah pengaruh seorang

gubernur yang bernama Barjawan. Dikemudian hari al-Hakim menghukum mati

Barjawan dikarenakan penyalahgunaan kekuasaan negara. Bukan hanya Barjawan

menjadi korban hukuman mati yang dilakukan oleh al-Hakim tetapi pejabat-

pejabat yang cakap tenpa alasan yang jelas juga di hukum mati.9

Selain para pejabatnya yang merasakan ketidak adilan al-Hakim,

masyarakat yang tidak seiman dengan khalifah merasakan pula keintoleranan al-

Hakim. Dalam sepuluh tahun masa pemerintahannya, kaum Yahudi dan Nasrani

9
A. Munir, Samsul, Sejarah Peradaban Islam, h. 260
10

merasa kehilangan hak-haknya sebagai warga negara sehingga mereka pun

melakukan perlawanan. Dengan sifat otoriter yang dimiliki oleh al-Hakim

sehingga dia mengeluarkan maklumat untuk menghancurkan seluruh geraja yang

ada di sekitar Mesir dan menyita tanah dan harta para umat Nasrani. Ada juga

kesepakatan yang disepakati secara paksa oleh umat Nasrani dari keputusan

khalifah yaitu menjadi muslim, atau meninggalkan tanah air, atau berkalung

dengan salib raksasa sebagai simbol kehancuran mereka.10

Di balik sikap intoleran dan keotoriteran khalifah al-Hakim, sebenarnya

dia adalah pribadi yang taat terhadap agama yang dipelukya. al-Hakimlah yang

mendirikan sebuah tempat pemujaan suku aliran Druz di Lebanon. Selain itu ia

juga mendirikan beberapa masjid, perguruan, dan pusat observasi di Syiria. Pada

tahun 1306 M. al-Hakim menyelesaikan pembangunan Dar Al-Hikmah (gedung

pusat ilmu pengetahuan) sebagai sarana penyebaran teologi Syi’ah, sekaligus

untuk kemajuan.11

C. Kemunduran Dinasti Fatimiyah

1. Faktor Internal

Setelah al-Hakim meninggal pada tahun 1021 M. kondisi Dinasti

Fatimiyah sudah mulai banyak goncangan terlebih ketika khalifah az-Zahir (1021-

1036 M.) putra al-Hakim merasakan banyak cobaan diantaranya bencana banjir

yang melanda Mesir, beberapa daerah hingga kekurangan makanan dan beberapa

harga barang melonjak dan membuat penduduk menderita. Raja juga menjadi

boneka ditangan mentrinya.

10
A. Munir, Samsul, Sejarah Peradaban Islam, h. 260
11
A. Munir, Samsul, Sejarah Peradaban Islam, h. 260
11

Situasi kerajaan semakin memburuk setelah az-Zahir digantikan oleh

anaknya yang bernama Abu Tamim Ma’ad yang bergelar al-Mustansir (1036-

1095) yang baru berusia tujuh tahun sehingga masa awal pemerintahannya berada

sepenuhnya ditangan ibunya. Pada masa ini kekuasaan Fatimiyah mengalami

kemunduran secara drastis. Selanjutnya, musibah krisis berlangsung sedikitnya

tujuh tahun sehingga menghabiskan cadangan perekonomian negara. Sedemikian

parah musibah krisis ini sehingga kesulitan pangan benar-benar terjadi dimana-

mana. Setelah masa krisis ini berakhir, Mesir diserang wabah penyakit.

Sepeninggal al-Mustansir pada tahun 1095M, imperium Fatimiyah dilanda

konflik antar putra khalifah. Dengan keadaan seperti itu maka para mentri

kerajaan menggunakan situasi tersebut dalam memperkuat kekuasaannya. Fase ini

dimulai dengan konflik antara putra al-Mustansir, yaitu Nizar putra sulung al-

Mustanshir dan Ahmad Abul Qasim yang masih kecil ditunjuk sebagai putra

mahkota oleh menteri Al-Afdhal Badar al-Jamali.12

Pada masa ini, di Mesir ada sosok al-Hasan bin ash-Shabah, petus

propaganda sekte Ismailiyah di Asfahan. ia datang ke Mesir untuk mempelajari

mazhab Ismailiyah. Ketika ia melihat persengketaan, sementara al-Hasan

berpendapat bahwa pengangkatan Nizar sebagai khalifah setelah bapaknya telah

sesuai dengan hukum dalam ajaran Syi’ah Ismailiyah. Al-Hasan mengemukakan

pendapatnya ini di Mesir sehingga mengancam pamor Badar al-Jamali. Lantas al-

Jamali dan istrinya bersekongkol memenjarakannya dan membuangnya ke

Maroko, namun kapal yang dinaiki al-Hasan berlabuh ke pesisir Syam karena

angina yang begitu kencang. Lantas, al-Hasan turun di perbatasan Aka dan

12
Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam 1, terj. (Jakarta:Pustaka
Al-Kautsar, 2013), h. 421
12

kembali ke negerinya mengumumkan kepemimpinan al-Mustanshir dan putranya

(Nizar).13

Pada fase ini, para menteri memiliki kekuasaan terhadap kendali

pemerintahan. Malah karena begitu berpengaruhnya para menteri, al-Afdhal lah

yang mengangkat Abu Ali bin al-Musta’li yang masih berusia lima tahun pasca

kematian al-Musta’li tahun 495 H/. Setelah diangkat menjadi khalifah maka dia

digelari al-Amin. Setelah al-Amin tumbuh dewasa, ia tidak memiliki kuasa dalam

mengendalikan pengaruh menterinya sehingga dia berencana membunuhnya.

Hingga akhirnya pada tahun 515 H. berhasil membunuh mentrinya.14

Pada tahun 542, khalifah terbunuh dan kedudukannya digantikan oleh

saudaranya Abdul Majid Abul Maimun al-Hafizh, hanya saja para tentara

melancarkan pemberontakan dan mengangkat Abu Ali Ahmad bin al-Afdhal

sebagai menteri. Dengan diangkatnya Abu Ali sebagai menteri sehingga ia

memonopoli kekuasaan dan pengaruh sampai-sampai khalifah pun dipenjarakan.

Abu Ali terus mengendalikan kerajaan hingga tewas dibunuh oleh sekte

Ismailiyah tahun 526 H. Kemuadian sekte Ismailiyah mengeluarkan al-Hafizh dari

penjari dan kembali menduduki kursi kekhalifahan.15

Pada tahun 529 H, Bahram al-Armani seorang Nasrani yang menjabat

sebagai gubernur al-Gharbiyah berhasrat menduduki posisi menteri. Lantas ia

berangkat ke Kairo mengepuk ibu kota kerajaan tersebut dengan maksud al-

Hafidz mengangkatnya sebagai menterinya. Setelah Bahram menduduki menteri

khalifah al-Hafidz, orang-orang Armenia berimigrasi ke Mesir hingga Mesir

didominasi oleh orang-orang Armenia. Selain itu, para pejabat yang beragama

13
Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam 1, h.421
14
Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam 1, h.421
15
Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam 1, h.422
13

Nasrani mendirikan kereja di samping rumah mereka. Namun hal tersebut tidak

berlangsung lama setelah datangnya Ridhwan bin Walkasyi, gubernur al-

Gharbiyah yang berhasil mengusir Bahram dan menggantikan jabatannya sebagai

mentri pada tahun 530 H. Hanya saja ia ingin memakzulkan al-Hafidz, sehingga

pecah perselisihan diantara keduanya yang berakhir dengan terbunuhnya Ridhwan

tahun 542 H.16

2. Faktor eksternal

Penghancuran gereja-gereja yang dilakukan pada periode al-Hakam

rupanya memiliki dampak besar bagi kerajaan Fatimiyah. Gereja Qiyamat di al-

Quds yang dihancurkan oleh al-Hakam menjadi salah satu sebab terjadinya perang

salib. Hal itu terlihat setelah pasukan Salib telah menguasai Antokia sampai Bait

al-Maqdish pada masa kekhalifahan al-Musta’li.17

Kemunduran itu semakin terlihat setelah periode Al-Mustanshir Billah

dimana ibundanyalah yang mengendalikan kekhalifahan. Karena ibunya adalah

mantan budak dari orang yahudi sehingga mengangkat beberapa menteri Yahudi,

termasuk Shadaqah bin Yusuf al-Falahi dan Abu Said at-Tustari. Menteri-menteri

tersebut memberikan kedudukan kepada orang-orang yang seagama dengan

menterinya sehingga kaum muslim menjadi lemah. Pada periode al-mustansir

Billah pula para pejabat dinasti Fatimiyah diusir oleh Dinasti Saljuk dari Suriah.

Fatimiyah juga diusir dari sicilia oleh bangsa Norman di bawah pimpinan Roger

pada tahun 461 H/1068 M.18

Di penghujung kekuasaan dinasti fatimiyah rivalitas untuk meraih posisi

menteri semakin memuncak. Sebagian pelaku telah meminta bantuan kepada para
16
Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam 1, h.422
17
Susmihara, Dinasti Fatimiyah (Muncul, Perkembangan, dan Kehancuran, h.54
18
Dar Al-‘ilm. Atlas Sejara Islam: Dari Masa Permulaan Hingga Kejayaan Islam (Jakarta:
Kaysa Media, 2011), h. 118-119
14

penguasa negara-negara tetangga. Syawur, seorang menteri yang dicopot

kedudukannya pada tahun 558 H oleh seorang panglima tentara bernama

Dhargman, meminta perlindungan kepada Nuruddin Mahmud (penguasa

Damaskus) agar mengirimkan kekuatan yang dapat membantunya mengembalikan

pengaruhnya, Syawur berjanji memberikan sepertiga pajak Mesir kepada

Damaskus. Penguasa Damaskus menyepakati tawaran Syawur sehingga

dikirimlah ekspedisi ke Mesir di bawah pimpinan Asaduddi Syairukuh dan

berhasil mengalahkan Dhargram pada tahun 559 H. yang merupakan oposisi dari

Syawur. Namun Syawar tidak menepati janjinya kepada sekutunya, malah ia

menyuruh Asaduddin kembali ke Syam. Pada saat bersamaan, Syawur mengirim

utusan kepada raja Eropa di Baitul Maqdis meminta bantuan serta melakukan adu

domba terhadap Nuruddin Mahmud (khalifah di Syam). Karena hasutan yang

dilakukan oleh Syawur maka raja prancis segera mengirimkan bantuan dan

berhasil mengusir Asaduddin ke Syam.19

Dengan penghianatan yang dilakukan oleh Syawur atas Nuruddin

Mahmud maka Asaduddin kembali diutus ke Mesir menyerang Syawur. Syawur

mengetahui keberangkatan pasukan Asaduddin sehingga dia meminta bantuan

kepada raja Eropa menghadapi pasukan Asaduddin yang kedua kalinya.Maka

bertemulah kedua pasukan tersebut disuatu tempat yang dikenal dengan nama Al-

Babain. Dalam pertempuran kali ini kemenangan berpihak pada pasukan

Asaduddin, hanya saja mereka tidak mampu meneruskan perjalanan ke Kairo dan

hanya menguasai wilayah Sha’id dan menarik pajak dari penduduknya.

Selanjutnya, pasukan Asaduddin meneruskan perluasan wilayahnya ke Iskandaria

hingga akhirnya pasukan Asaduddin menguasai Iskandaria dan mempercayakan

Salahuddin Yusuf bin Najmuddin Ayyub yang tidak lain adalah anak saudara

19
Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam 1, h.422
15

Asaduddin sendiri. Ternyata kekuatan Eropa dan orang Mesir kembali melakukan

blokade terhadap Iskandaria sehingga Asaduddin menolong Salahuddin

membebaskan pemblokadean itu dan orang-orang Mesir dan Eropa meminta

perjanjian damai sementara Asaduddin menerima perjanjian damai tersebut

dengan syarat bangsa Eropa tidak ada lagi yang menetap di Mesir. 20

Setelah kembalinya Asaduddin ke Syam, rupanya perjanjian itu dihianati

oleh menteri Mesir dan pasukan Eropa bahkan mereka kembali membuat

perjanjian baru. Diantara kesepakatan dalam perjanjian itu adalah pasukan Eropa

membangun barak tentara di Kairo. Dan kunci pintunya dipegang oleh pasukan

berkuda mereka untuk mencegah serangan pasukan Nuruddin kepada mereka.

Kedua belah pihak juga bersepakat bahwa setiap tahun pasukan salib memperoleh

200.000 dinar dari pendapatan Mesir.21

Karena keserakaan yang dilakukan pasukan Eropa terhadap orang-orang

Mesir, maka Syarwu menggunakan strategi untuk melakukan tipu daya terhadap

orang-orang Eropa dimana menteri Mesir itu membakar Fusthath sehingga tempat

itu tidak bisa ditempati oleh pasukan salib kemudian menyurati pasukan Eropa

akan kekhawatirannya jika pasuka Eropa memasuki Mesir pasti pasukan

Nuruddin akan datang untuk mendudukinya. Syawur memberi sinyal untuk

melakukan perdamaian dengan jaminan dengan menyerahkan beribu-ribu dinar.22

Saat Syawur berhasil menipu pasukan Eropa, ia mengirimkan utusan

kepada Nuruddin memohon bantuan dan berjanji melepaskan sepertiga pajak

Mesir dan mempersilahkan Asaduddin Syairukuh dan pasukannya menetap

diwilayahnya. Sedangkan para tentara mendapatkan alokasi pajak di luar sepertiga

20
Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam 1, h.423
21
Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam 1, h.423
22
Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam 1, h.423
16

yang akan diperoleh Nuruddin. Dengan kesepakatan itu maka pasukan Asaduddin

memasuki mesir pada bulan Rabi’ul akhir tahun 564 H. kedatangannya disambut

hangat oleh para penduduk dan diterima khalifah al-Adhid serta dianugrahi posisi.

Selanjutnya, Asaduddin Syairukuh menjadi mentri al-Adhid, dan pada masa

posisinya sebagai menteri ini berhasil memegang kendali pemerintahan juga

berhasil membunuh Syawur.23

Tiga bulan setelah memasuki Kairo, Asaduddin menghembuskan nafas

terahirnya lalu diganti oleh Shalahuddin Yusuf bin Ayyub sebagai menteri Mesir.

Langkah awal yang dilakukan Salahuddin dalam menaikkan pamornya adalah

mendermakan harta untuk rakyat sehingga mereka mencintainya sehingga para

rakyat mudah menerima instruksi agar nama Nuruddin disebut dalam pidato

setelah nama khalifah Fatimiyah. Tindakan Shalahuddin ini mengancam orang-

orang yang memiliki kepantingan untuk melanggengkan daulah Fatimiyah,

sehingga mereka membuat makar dan sepakat untuk mengirim surat kepada

pasukan Eropa agar datang ke Mesir. Makar mereka adalah apabila pasukan

Salahuddin keluar menghadapi pasukan Eropa, maka pasukan Salahuddin yang

tersisa di Mesir ditangkap dan setelah itu bergabung bersama pasukan Eropa

untuk memeranginya.24

Pasukan Eropa telah lama mengawasi Nuruddin dan usaha ekspansinya di

Mesir. Mereka memandang usaha Nuruddin mengancam eksistensinya. Untuk itu,

mereka mempersiapkan penyerangan baru ke Mesir dengan meminta bantuan

kepada imperium Byzantium. selanjutnya pasukan Eropa menuju ke arah Dimyar

dan dibantu oleh armada laut Byzantium yang dibekali dengan lokistik dan

perlengkapan perang. Sementara dipihak lawan, Salahuddin telah mengutus

23
Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam 1, h.424
24
Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam 1, h.425
17

pasukan di bawah pimpinan Taqiyuddin Umar dan Khalid Syihabuddin Mahmud

untuk menyongsong pasukan Eropa sembari meminta bantuan kepada Nuruddin

dan permohonan itu dipenuhi oleh penguasa Damaskus. Demikian pula dengan

khalifah al-Adhid, ia memberi bantuan harta kepada Salahuddin selama blokade

pasukan Eropa ke Dimyar. Akhirnya pada bulan Ra’biul awal tahun 565 H

pasukan Eropa mengalami kelemahan dan kembali ke tempat semulanya.25

Setelah meyakini bahwa kekuatannya kembali stabil, Shalahuddin

mengalihkan perhatiannya untuk menghapus paham Syia’ah Ismailiyah dan

kembali menggunakan paham Sunni. Salahuddin membangun beberapa madrasah

dan mempertahankan Universitas al-Azhar sebagai tempat pengajaran ajaran

Islam sesuai dengan aliran Sunni. Sementara khalifah al-Adhid dalam kondisi

sakit dan meninggal dunia pada tanggal 10 Muharram tahun 567 H. Dengan

demikian, berakhirlah Daulah Fathimiyah di Mesir.

25
Tim Riset dan Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam 1, h.425
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan-pemaran sebelumnya dalam pembahasan, dapat

ditarik kesimpulaan bahwa:

1. Berdirinya dinasti Fatimiyah tidak lepas dari faktor keagamaan dimana

aliran Syiah mengalami disintegrasi oleh khalifah Abbasyiah yang beraliran

Sunni. Sementara di dalam aliran Syi’ah sendiri tejadi perbedaan paham

menyangkut pengganti Ja’far al-Shadiq sebagai imam Syi’ah sehingga

terbentuklah dua sekte yaitu sekte Imamiyah dan sekte Ismailiyah. Sekte

Ismailiyah inilah yang mendirikan dinasti Fatimiyah setelah Abdullah al-husain

merebut ibu kota dinasti Aghlabiyah di Afrika Utara, kemuadian al-Husain

menyerahkan kekuasaannya itu kepada Ubaidillah al-Mahdi. al-Mahdi kemudian

memproklamirkan diri sebagai Imam Ismailiyah dan mendirikan dinasti Fatimiyah

di Afrika Utara.

2. Perkembangan dinasti Fatimiyah dibedakan menjadi dua periode, yaitu

periode Afrika Utara dan periode Mesir. Pada periode Afrika Utara, misi utama

yang dilakukan oleh para khalifah adalah perluasan wilayah kekuasaan.

Sementara periode Mesir misi utamanya adalah membangun peradaban di Mesir

yang hampir-hampir menyaingi peradaban yang ada di Baghdad di bawah

kekhalifahan Abbasyiah.

3. Dinasti Fatimiyah mulai mengalami benih-benih kemundurannya

setelah kekhalifahan al-Hakim yang bersifat intoleran tehadap orang-orang

Nasrani. Kemunduran dinasti ini semakin jelas setelah para khalih telah menjadi

boneka bagi para menteri-menterinya sehingga boleh dikata menterilah yang

18
19

mengkoordinasi kerajaan. Hal inilah yang menggerakkan para calon-calon menteri

mengambil bantuan dari kerajaan tetangga hingga dinasti Fatimiyah dikuasai oleh

kerajaan lain sebagai tanda kehancuran dinasti fatimiyah.


DAFTAR PUSTAKA

Dar Al-‘Ilm. Atlas Sejara Islam: Dari Masa Permulaan Hingga Kejayaan Islam;
Jakarta: Kaysa Media, 2011

Hamka. Sejarah Umat Islam Cet.I; Jakarta: Gema Insani, 2016

Munir Amin, Samsul. Sejarah Peradaban Islam Cet. v; Jakarta: AMZAH, 2015

Sahputra Napitupulu, Dedi dan Soliha Titin Sumanti. Lembaga pendidikan tinggi
Al-Azhar: Mengenang peradaban Islam MAsa Fatimiyah (297-567
H./909-1171 M.). JUSPI vol. 1 no. 2 (2017)

Susmihara. Dinasti Fatimiyah (Muncul, Perkembangan, dan Kehancuran). Jurnal


Rihlah vol. v no. 2 (2016)

Tim riset dan Studi Islam Mesir. Ensiklopedi Sejarah Islam 1 ter. Cet.I; Jakarta:
Pustaka Al-Kautsar, 2013

20

Anda mungkin juga menyukai