Anda di halaman 1dari 7

PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM DI MESIR

Posted by Ansar Zainuddin on 10:34:00 PM

A. Pendahuluan

Mesir, sebagai pusat pemerintahan dinasti Fatimiyah yang didirikan pada tanggal 17 Sya’ban

358 H/969 M oleh Jawhar al-Siqili[1]digambarkan oleh para sejarawan sebagai salah satu pusat

peradaban Islam. Bentuk kota ini hampir merupakan segi empat. Di sekelilingnya dibangun

pagar tembok besar dan tinggi, yang sampai sekarang masih ditemui peninggalannya.

Dalam beberapa pembahasan mengenai Islam periode pertengahan, dijumpai keterangan bahwa

mesir pernah dikuasai oleh dinasti Fatimiyah, dinasti Ayyubiyah dan dinastik Mamalik. Ketiga

dinasti ini masing-masing memiliki kecenderungan sendiri dalam menjalankan roda

pemerintahannya, baik dari segi administrasi, politik, maupun teologi atau faham

keagamaannya. Perbedaan tersebut tentu saja mempengaruhi produk kebuayaan dan

peradabannya, termasuk aspek ri dalam menjalankan roda pemerintahannya, baik dari segi

administrasi, politik, maupun teologi atau faham keagamaannya. Perbedaan tersebut tentu saja

mempengaruhi produk kebuayaan dan peradabannya, termasuk aspek pendidikannya. Dengan

demikian, dapat dikatakan bahwa kajian mengenai Mesir pada abad pertengahan sungguh sangat

luas cakupan pembahasannya. Untuk itu, tulisan ini membatasi kajiannya pada saat Mesir di

bawah kekuasaan dinasti Fatimiyah. Selanjutnya, tulisan ini akan difokuskan lagi pada aspek

pendidikan dan lembaga-lembaga intelektual masa dinasti Fatimiyah di Mesir. Dengan demikian

tulisan ini berangkat dari dua permasalahan, bagaimana pelaksanaan pendidikan di Mesir pada

masa dinasti Fatimiyah? Dan lembaga-lembaga intelektual apa saja yang diselenggarakan oleh

dinasti Fatimiyah di Mesir?. Untuk menjawab kedua permasalahan ini, pembahasan akan

diawalindengan mengungkap sejarah dan perkembangan dinasti Fatimiyah.

B. dinasti Fatimiyah: Sejarah dan Perkembangan


kekuasaan dinasti Abbasiyah di Bagdad menjelang akhir abad ke-10 M dicatat mulai

melemah, daerah kekuasaannya yang luaspun tak mampu dikoordinasikan lagi. Akibatnya,

terbukalah peluang bagi sejumlah kelompok yang selama ini merasa tertindas, seperti Syaih,

khawarij dan kaum Mawali untuk melakukan kegiatan politik.[2] Kelompok Syi’ah Ismailiyah

misalnya, memanfaatkan peluang ini untuk mengkonsolidasikan gerakannya, dan pada tahun 909

M, Abdullah b. Maymun memproklamirkan berdirinya khilafah Fatimiyah yang terlepas dari

kekuasaan Abbasiyah. Gerakan Maymun ini mula-mula tidak menampakkan yang jelas hingga

muncullah Abu Abdullah al-Husayn yang secara aktif dan terang-terangan melancarkan dakwah

Fatimiyah.

Dinasti ini disebut dinasti Fatimiyah, karena ia mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari

pasangan Ali b. Abi Thalib dan Fatimah b. Rasul Allah swt. Menurut mereka, Abu Abdullah al-

Husayn al-Mahdi, pendiri dinasti inimerupakan cucu Ismail b. Ja’far al-Shadiq. Sememnatar

Isma’il dikenal sebagai Imam Syiah yang ketujuh. Namun musuh-musuh dinasti fatimiyah,

seperti kelompok pendukung Abbasiyah, kelompok yang berafiliasi ke dinasti Umayyah di

Andalusia, kelompok Khawarij dan Bar-bar menolak bahwa asal-usul mereka dar Ali b. Abi

Thalib.

Dinasti ini berkuasa di Afrika utara dan Mesir selama 262 tahun, yaitu sejak tahun 297-567

H/909- 1171 M. dari keempat belas khalifah yang pernah memimpin dinasti Fatimiyah ini

berdasarkan fungsi dan peran yang dimainkan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga fase: pertama,

fase koordinasi dan ekspansi (297-341 H/909-953 M), kedua, fase kejayaan (341-411 H/953-

1021 M), dan ketiga fase kemunduran (411-567 H/1021-1171 M).

Pada fase konsolidasi dan ekspansi, ketiga khalifah pertama –Ubaidillah, al-Qa’im dan al-

Mansur melakukan konsolidasi terus menerus sambil merintis ekspansi wilayah kekuasaan. Al-

Mahdi di awal kepemimpinannya berhasil menumpas Abu Abdullah al-Husayn yang bermaksud

merebut jabatan khalifah, dan berekspansi ke seluruh Afrika yang terbentang dari perbatasan

Mesir sampai dengan wilayah Fes di Maroko. Lima tahun kemudian, ia telah berhasil menduduki

Alexandria, Malta, Syria, Sardinia dan Corsica. Pada tahun 920 M, ia mendirikan kota baru di
pantai Tunisia dan menjadikannya sebagai ibukota Fatimiyah. Sementara al-Qa’im memulai

tugasnya dengan mengirim dua pasukan, masing-masing ke Perancis dan Mesir. Di Perancis,

pasukannya berhasil menduduki Genoa dan seluruh wilayah sepanjang pantai Calabria.

Sementara di Mesir, pasukannya dikalahkan oleh dinasti Ikhsidiyah, sehingga mereka terusir dari

Alexandria. Sedangkam khalifah ketiga, al-Masur berhasil menghancurkan kekuatan Abu Yazid

yang sebelumnya mengalahkan pasukan ayahnya. Dengan kemenangan ini, al-Mansur telah

menduduki seluruh wilayah Afrika sebagai kekuasaannya. Bahkan ia berhasil membangun

sebuah kota yang sangat megah di wilayah perbatasan Susa’ yang dinamakan kota al-

Mansuriyah.[3]

Sementara fase kejayaan, berlangsung selama 68 tahun. Di masa khalifah al-Mu’izz dinasti

Fatimiyah, melalui panglima perang ahmad b. Hasan, berhasil menduduki wilayah Sicilia, dan

melalui panglima perang Jawhar berhasil menduduki Mesir, pada tahun 969 dengan tanpa

perlawanan yang berarti. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan dinasti Ikhsidiyah di

Mesir, dan Mesir memasuki era baru di bawah pemerintahan Fatimiyah. Kota Mesir ini, pada

athun 973 M kemudian diputuskan sebagai ibukota dinasti Fatimiyah. Setelah pindah di ibukota

yang baru ini, selanjutnya, ia mendirikan Universitas Kedokteran di kota Palermo, Sicilia,

mendirikan Masjid al-Azhar di Mesir, yang belakangan dijadikan sebagai akademi al-Azhar, dan

membenahi sistem pemerintahan , dengan membagi wilayah propinsi menjadi sejumlah wilayah

distrik dan mempercayakannya kepada pejabat yang cakap.

Al-Aziz, mengukuhkan kedudukan dinasti Fatimiyah sebagai imperium yang cukup berwibawa

dan disegani. Di bawah kepemimpinannya, luas kekeuasaan dinasti Fatimiyah membentang dari

wilayah Eufrat sampai dengan Atlantik. Dari segi ini, dinasti Fatimiyah telah mengungguli

kebesaran Abbasiyah di Baghdadyang sedang dalam kemundurannya di bawah kekuasaan

Buwaihiyah. Prestasi lainnya, ia mendirikan golden Palace, the Pearl Pavilion dan masjid

Karafa di kota Kairo. Dia pula yang menjadikan masjid al-azhar sebagai akademi. Kebijakannya

yang kontraversial antara lain, ia mengangkat pejabat penting dari non muslim seperti Isa b.

Nastur dan Manasah, memberi penghormatan kepada pendeta Ibrahim di kalangan istana, bahkan
memberinya izin mendirikan gereja di luar Fustat. Sedangkan pada masa al-Hakim, beberapa

kebijakan kontraversial ayahnya sedikit demi sedikit diperkecil. Misalnya, ia menghancurkan

seluruh gereja Kristen di Mesir dan menyita tanah dan harta kekeyaan mereka. Lebih jauh ia

memaksa umat Kristen memilih tiga alternatif: menjadi muslim, atau meninggalkan tanah air,

atau berkalung dengan salib raksasa sebagai simbol kehancuran mereka. Karya monumental al-

Hakim adalah berupa mesjid, perguruan, observatorium dan gedung Dar al-Hikmah yang

dilengkapi dengan perpustakaannya.[4]

Sedang fase kemunduran berlangsung selama 150 tahun. Pada fase ini terjadi beberapa keadaan

yang menyebabkan dinasti Fatimiyah lambat laun menjadi lemah. Diantaranya adalah

munculnya pemimpin boneka, terjadi kekalahan dalam peperangan, terjadi musibah dan bencana

kelaparan dan terjadi konflik internal.[5] Munculnya pemimpin boneka dilatarbelakangi oleh

usia para khalifah pengganti yang masih muda belia, seperti al-Zahir ketika menggantikan

ayahnya –al-Hakim- ia berusia 16 tahun, sehingga pusat kekuasaan dipegang oleh bibinya yang

bernama Sitt al-Mulk. Al-Mustansir ketika menjadi khalifah berusia 7 tahun, sehingga pusat

kekuasaan dipegang ibunya. Al-Zafir berusia 17 tahun sehingga tampuk pemerintahan

dikendalikan oleh Abu al-Hasan b. al-Salar.

Akibat logis dari keadaan ini, para khalifah umumnya tak mampu menghadapi musuh-musuh

yang menyerangnya. Diantaranya pemberontakan al-Bassasiri, serangan raja Yerussalem dan

permusuhan antara militer Negro dengan militer Turki, sehingga pada tahun 1068 M militer

Turki dengan panglima Nasir berhasil menduduki kota Kairo. Keadaan ini diperparah dengan

musibah dan bencana kelaparan serta konflik internal, seperti perebutan jabatan antara Nizar dan

adiknya, putra al-Muntasir, yang dimenangkan al-Musta’li dan al-Amir dengan kemenakannya,

yang dimenangkan kemenakannya, al-Hafiz. Dalam keadaan seperti ini datanglah Salahuddin al-

Ayyubi, pejuang dalam perang salib. Tak lama kemudian, pada tahun 1171 M, al-Azid, khalifah

dinasti Fatimiyah terakhir diturunkan dari jabatannya oleh Salahuddin. Dengan demikian dinasti

Fatimiyah ini berakhir.


C. Pendidikan dan Pengajaran di Masa Dinasti Fatimiyah

Di muka telah disinggung bahwa dinasti Fatimiyah merupakan dinasti yang beridiologi

Syi’ah, sementara ia berhadapan dengan masyarakat Mesir yang berfaham Sunni. Menghadapi

persoalan ini dinasti Fatimiyah mencoba menggariskan program-program dan menyusun

kekuatan untuk menghalau kekuatan mereka. Menurut Ahmad Syalabi, program dinasti

Fatimiyah meliputi dua tahap. Tahap pertama adalah tahap pelaksanaan pengajaran dan

pembentukan undang-undang atau peraturan, sedangkan tahap kedua adalah tahap dakwah secara

rahasia.

Uraian berikut ini tidak akan mengkaji kedua tahap di atas, melainkan hanya akan

mengkaji satu tahap saja, yaitu tahap pengajaran dan pendidikan yang akan difokuskan pada dua

hal: pertama karakteristik ideologi dinasti Fatimiyah dan kedua usaha untuk mensosialisasikan

ideologi tersebut.

1. Karakteristik Ideologi Dinasti Fatimiyah

Menurut Bayard Dodge,[6] ada empat karakteristik ideologi dinasti Fatimiyah yang

membedakan dengan ideologi Sunni. Keempat ideologi ini penting untuk disosialisasikan dan

diajarkan oleh para khalifah kepada masyarakat Mesir.

Pertama, tentang al-Washy, yaitu kepercayaan bahwa setiap nabi mempunyai seorang washy,

yaitu orang yang dipercayai sebagai wakilnya, setelah nabi itu wafat. Menurut mereka Allah

sendirilah yang memilih washyitu untuk Nabi-Nya. Adapun Washy untuk Nabi Muhammad

adalah Ali b. Abi Thalib. Hal ini didasarkan pada sabda Rasul Allah di “Ghadir Khum”:
“Wahai kaum Muslimin, ketahuilah bahwa kedudukan Ali terhadapku adalah sama halnya
dengan kedudukan Harun terhadap Musa, hanya saja sesudahku tak akan ada Nabi lainnya lagi.
Ali inilah yang akan menjadi wali kamu sesudah wafatku. Maka siapa-siapa yang mengakui
bahwa aku ini adalah pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya juga, dan barangsiapa yang
mengakui bahwa aku adalah walinya, maka Ali ini adalah juga walinya dan amirnya”.

Kemudian Nabi mengankat tangannya tinggi-tinggi sehingga kelihatan ketiaknya yang putih, lalu

beliau berdoa: Ya Allah, temanilah orang yang menemaninya dan musuhilah orang yang
memusuhinya, tolonglah orang yang menolongnya dan tinggalkanlah orang yang

meninggalkannya dan jadikanlah kebenaran itu selalu menyertainya.[7]

Sesudah Ali wafat, maka putenya yang bernama Hasan menggantikannya. Dengan

demikian, al-Hasan merupakan orang pertama menjadi imam sesudah washy. Akan tetapi

sesudah al-Hasan wafat, maka jabatan sebagai imam tersebut tidaklah berpindah kepada putera-

puteranya, melainkan kepada saudaranya, yaitu al-Husayn, mengingat hubungannya yang khusus

dengan Rasul Allah, Ali dan Fatimah. Sesudah al-Husayn wafat maka jabatan imam itu pindah

kepada turunannya, yang demikian itu menurut mereka berdasarkan firman Allah: orang-orang

yang mempunyai hubungan kerabat itu sebahagiannya lebih berhak terhadap sesamanya

daripada yang bukan kerabat.[8]

Ketaatan terhadap washy dan imam-imam sesudahnya haruslah merupakan yang mutlak

tanpa ragu-ragu. Dalam hubungan ini, al-Nu’man meriwayatkan dari abu Ja’far Muhammad b.

Ali bahwa ia pernah berkata mengenai firman Allah yang berbunyi: “Hai orang-orang yang

beriman, taatlah kamu kepada Allah, dan taat pulalah kepada Rasul, dan kepada ulil-

amri daripada kamu.[9] yang dimaksud dengan taat kepada ulil amri ialah taat kepada para

imam.

Kedua, tentang ishmah, yaitu kepercayaan bahwa para imam itu tidak mungkin berbuat

dosa. Kepercayaan ini didasarkan kepada ishmah para nabi, dimana mereka tidak mungkin

berbuat kesalahan-kesalahan, baik kesalahan kecil maupun kesalahan besar. Dasar-dasar

kepercayaan ini mutlak bagi kaum Syi’ah, sebab andaikata Rasul itu tidak ma,sum dari

kesalahan-kesalahan tentulah kepercayaan orang kepadanya akan berkurang, dan kalau demikian

halnya tak ada faedahnya pengutusan Rasul tersebut. Mengingat bahwa Rasul itu ma’sum maka

para imam juga ma’sum. Menurut mereka seandainya para imam tersebut dapat berbuat salah,

niscaya ia tak akan dapat melaksanakan tugas-tugasnya sebagai pemimpin, sebab itu ia harus

bersifat ma’sum, yaitu terhindar dari kesalahan-kesalahan. Dan dalil yang mereka gunakan untuk

itu ialah firman Allah: “Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu,

ya ahl al-Bayt, dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.[10]


Lebih jauh, menurut mereka, para imam tersebut adalah pemeliharasyara’ dan

pelaksanaannya. Kebutuha terhadap imam adalah semata-mata bertujuan untuk melindungi

orang-orang yang teraniaya.

[1]Ketika itu Jawhar al-Siqili menyebut Mesir dengan sebutan al-Qahirah, sebuah kota
yang bermula dari kota Fustat, yang selanjutnya pada tahun 973 M atas perintah Khalifah al-
Mu’iz dijadikan sebagai ibukota pemerintahan dinasti Fatimiyah. Lebih lanjut, lihat Philip K.
Hitti, History of the Arabs, (London: The Macmillan Press Ltd., 1974), h. 619.
[2]Kafrawi Ridwan, dkk., (ed.) “Dinasti Fatimiyah”, dalam Ensiklopedi Islam, Jilid 2,
(Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1993), h. 4-6.
[3]K. Ali, “A Study of Islamic History”, alih bahasa, Ghufran A. Mas’adi, Sejarah
Islam: Tarikh Pramodern, (Jakarta: Srigunting, 1996), h. 326-328.
[4] K. Ali, Sejarah Islam, h. 333-334. Dan bandingkan dengan Bayard Dodge, al-
Azhar: A Millenium of Muslim Learning, (Wahingthon D. C.: The Middle East Institute, 1961), h.
19-29.
[5] W. Montgomery Watt, “The Majesty that Was Islam”, alih bahasa, Hartono
Hadikusumo, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana, 1990), h. 253-254.
[6] Dodge, al-Azhar, h. 13-15, lihat juga Ahmad Syalabi, Sejarah Pendidikan Islam, h.
404-421
[7] Syalabi, Sejarah …., h. 407.
[8] Q. S. al-Anfal: 76
[9] Q.S al-Nisa: 59
[10] Q. S. al-Ahzab: 33
http://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/12/perkembangan-peradaban-islam-di-mesir.html

Anda mungkin juga menyukai