Anda di halaman 1dari 114

PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PERSPEKTIF HADITS

(KAJIAN HADITS SHAHIH BUKHARI)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah

Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

Ridha Rofidah

(11160110000074)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021
LEMBAR PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING

PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PERSPEKTIF HADITS

(KAJIAN HADITS SHAHIH BUKHARI)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah

Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Oleh:

Ridha Rofidah

(11160110000074)

Menyetujui,

Dosen Pembimbing Skripsi

Dr. Abdul Ghofur MA.

NIP. 19681208 199703 1 00 3

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI

Skripsi berjudul “Pendidikan Keluarga Dalam Perspektif Hadits (Kajian


Hadits Shahih Bukhari)” disusun oleh Ridha Rofidah NIM.
11160110000074, Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang
berhak untuk diujikan pada siding munaqasah sesuai ketentuan yang
ditetapkan oleh fakultas.

Jakarta, 11 Desember 2020

Yang Mengesahkan,

Pembimbing

Dr. Abdul Ghofur MA.

NIP. 19681208 199703 1 00 3


ABSTRAK
Ridha Rofidah (11160110000074), “Pendidikan Keluarga Dalam
Perspektif Hadits (Kajian Hadits Shahih Bukhari)”

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pendidikan di dalam


keluarga terhadap anak dan pendidikan tentang berkeluarga dalam
menjalankan kehidupan keluarga. Adapun metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif dengan jenis penelitian studi kepustakaan (Library Research).
Penelitian ini juga menggunakan metode deskriptif analisis yang bertujuan
memberikan gambaran dan keterangan secara jelas, objektif, sistematis, dan
analitis mengenai pendidikan keluarga dalam perspektif hadits yang terdapat
dalam hadits shahih bukhari.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan keluarga terhadap


anak dan pendidikan tentang berkeluarga dapat tercapai dengan baik apabila
orang tua dan juga bertambah peran sebagai suami dan isteri beserta anak
keturunannya mampu memahami, melaksanakan, dan memberikan ajakan
positif dari segala kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak maupun
terhadap masing-masing perannya di dalam keluarga. Karena, peran orang
tua sebagai pendidik pertama dan utama yang sangat berpengaruh untuk
anaknya dalam menjalankan kehidupan selanjutnya dan disertai dengan
kerja sama antar semua anggota di dalam keluarga. Dengan demikian,
secara umum tujuan dari pendidikan keluarga itu sendiri untuk menjalankan
kehidupan menjadi keluarga harmonis berlandaskan unsur sakinah,
mawaddah, dan rahmah serta mencetak anak generasi keturunannya menjadi
anak yang sholeh sholehah, bertaqwa, berakhlak karimah, serta sehat
jasmani dan sehat rohani.

Kata Kunci : Pendidikan Terhadap Anak, Pendidikan Berkeluarga


ABSTRACT
Ridha Rofidah (11160110000074), “Pendidikan Keluarga Dalam
Perspektif Hadits (Kajian Hadits Shahih Bukhari)”

This aims of this research is to determine education in the family for


children and education about family life in running family. The research
method used in this research is to use a qualitative research approach with
the type of library research research (Library Research). This study also
uses a descriptive analysis method that aims to provide a clear, objective,
systematic, and analytical description and explanation of family education
in the perspective of the hadith contained in the hadith sahih bukhari.

The results showed that family education for children and education
about family can be achieved well if the parents and also the increased roles
as husband and wife and their offspring are able to understand, implement,
and provide positive invitations of all obligations and responsibilities to the
child and to each other. -Each role in the family. Because, the role of
parents as first and foremost educators is very influential for their children
in carrying out their next life and is accompanied by cooperation between
all members in the family. Thus, in general the purpose of family education
itself is to live a life into a harmonious family based on the elements of
sakinah, mawaddah, and rahmah and to produce children from generations
of descendants who are pious, pious, have good character, and are
physically healthy and spiritually healthy.

Key words: Education for Children, Family Education

v
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah rabbil ‘alamin segala puji kehadirat Allah SWT yang


telah memberikan nikmat iman, islam, dan ikhsan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya dan semoga dapat
memberi manfaat bagi yang membacanya. Tak lupa shalawat serta salam
selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi besar kita, Nabi Muhammad Saw,
beserta keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa


tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang dialami. Namun, berkat do’a,
motivasi, perjuangan, kesungguhan hati, dan masukan-masukan positif dari
berbagai pihak untuk menyelesaikan skripsi ini dapat teratasi. Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Allah SWT, yang selalu memberikan kesehatan, kemudahan, serta


nikmat nan karunia yang luar biasa kepada penulis.
2. Orang tua penulis, Ayahanda H. Ahmad Sutisna, S.Pd.I, dan
Ibunda Nurani Mardani tercinta, yang telah mendidik dan
membimbing anak-anaknya termasuk penulis dengan selalu
memberikan dukungan, arahan, wejangan, motivasi baik secara
moril maupun materil, dan tak luput jua yang paling utama selalu
menghantarkan doa-doa terbaik nan tulus untuk penulis mengejar
impian dan cita-cita.
3. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A., selaku
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Jajaran Wakil
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yakni Bapak Prof. Dr.
Zulkifli, M.A., selaku Wakil Rektor I Bidang Akademik, Bapak
Prof. Dr. Ahmad Rodoni, M.M., selaku Wakil Rektor II Bidang
Administrasi Umum, Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, M.Ag,
selaku Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, dan Bapak Prof.

vi
Dr. Andi. M. Faisal Bakti, M.A, selaku Wakil Rektor IV Bidang
Kerjasama.
4. Ibu Dr. Sururin, M.Ag., Selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbyah dan
Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Drs. Abdul Haris, M.Ag dan Bapak Drs. Rusdi Jamil,
M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama
Islam.
6. Bapak Dr. Abdul Ghofur, MA, selaku Dosen Pembimbing Skripsi
yang telah meluangkan waktunya, memberikan ilmunya, banyak
memberikan bantuan, arahan, dan saran-saran kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Prof. Dr. Ahmad Syafi’I Noor, selaku Dosen Pembimbing
Akademik yang telah banyak membantu dan selalu memberikan
arahan, masukan, nasiha-nasihat selama studi.
8. Kakak Kandung beserta Kakak Ipar tercinta Ahmad Hidayat,
Muhammad Fikri Syahruddin, Laila Novia Fakhriyati, Suci
Nanda, Farabi Febriansyah, dan Rina Triana yang tidak pernah
bosan untuk menyemangati dan memberikan bantuan serta doa
selama masa studi dan pengerjaan skripsi sampai selesai.
9. Keponakan tercinta Shabira Afizah Rumaisha, Muhammad
Ziandru AlFarizi dan Muhammad Fatih AlFarabi, yang selalu
memberikan hiburan, canda tawa kepada penulis selama masa
studi dan pengerjaan skripsi, serta mengasah ilmu pengtehauan
penulis dalam memberikan suri tauladan.
10. Ibu Hj. Dra. Juhda, yang telah meminjamkan referensi buku yakni
buku Shahih Bukhari Terjemah kepada penulis sehingga penulis
dapat menggunakannya sebagai referensi dalam penelitian ini.
11. Sahabat fillah Halimaturrahmi, Sofiah, Qoshirotun Thorfi, dan
Fairuz Nadia, yang selalu menemani penulis dari awal studi
dengan terus menciptakan tawa dan kebahagian dalam kehidupan
dan banyak selalu ada ketika penulis dalam situasi dan kondisi

vii
apapun serta tempat penulis untuk bertukar pikiran selama masa
studi dan pengerjaan skripsi sampai selesai.
12. Sahabat dan Kakak Tingkat terbaik, Shofi Sa’diah, Novia Syifa,
Kak Nur Indah, Kak Elmiani, Kak Tunjung, Kak Husnul, Kak
Yaza, yang selalu berkenan untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan, menciptakan canda tawa dan selalu memberikan
motivasi semangat dan bantuan kepada penulis.
13. Teman-teman PAI angkatan 2016 dan Kakak Kelas PAI yang
tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu, terimakasih telah
memberikan bantuan, pembelajaran, tempat untuk bertukar
pikiran, dan doa selama masa studi dan pengerjaan skripsi.
14. Teman-teman beserta Kakak-kakak dalam Organisasi semua yang
pernah penulis ikuti sehingga memberikan penulis wadah untuk
belajar berorganisasi dan menambah jaringan pertemanan.

Tanpa mengurangi rasa hormat, ucapan terimakasih juga haturkan


kepada pihak-pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang
telah membantu penulis dalam skripsi ini, semoga semua pihak-pihak yang
telah membantu penulis dalam skripsi ini dihitung sebagai amal jariyah,
aamiin ya robbal allamin.

Demikianlah skripsi ini dibuat, walaupun penulis sudah berusaha


dengan sebaik mungkin untuk meminimalisir kekurangan, akan tetapi pasti
ditemukan kekurangan dan kelemahan. Harapan besar semoga skripsi ini
bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi siapa saja yang
membaca, serta penulis mengharapkan kritikan dan saran yang membangun
dari semua pihak sehingga terjadi satu sinergi yang pada akhirnya akan
dapat lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Jakarta, 16 November 2020

Peneliti

viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Transliterasi merupakan aspek berbahasa yang penting dalam penulisan


skripsi mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, karena banyak istilah Arab, nama orang, nama tempat,
judul buku, nama lembaga dan lain sebagainya, yang aslinya ditulis dengan
huruf Arab dan harus disalin ke dalam huruf latin. Pedoman Transliterasi
yang digunakan untuk huruf-huruf yang tidak ada padanannya dalam bahasa
Indonesia adalah:

1. Konsonan

2. Vokal Tunggal
Vokal Tunggal Vokal Rangkap

Contoh : (tempat di bawa tabel vocal lengkap)

َ ‫َكت‬
َ‫َب‬ = kataba َ ‫َكي‬
َ‫ْف‬ = kaifa

ix
َ‫ف‬
َ ‫ع ِر‬
ُ = ‘urifa َ‫َح ْو َل‬ = haula

3. Madd (Panjang)

Contoh :

ََ‫ََكان‬ = kâna َ‫قِ ْي َل‬ = qîla

‫دَ َعا‬ = da’a َ‫يَقُ ْو ُل‬ = yaqûlu

4. Tâ’ Marbûţah

Tâ’ Marbûţah hidup transliterasinya adalah /t/.

Tâ` Marbûţah mati transliterasinya adalah /h/.

Kalau pada suatu kata yang akhir katanya adalah Tâ` Marbûţah diikuti
oleh kata yang menggunakan kata sandang al, serta bacaan kedua kata itu
terpisah maka Tâ` Marbûţah itu ditransliterasikan dengan /h/. Contoh:

= hadîqat al-hayawânât atau hadîqatul hayawânât

= al-madrasat al-ibtidâ`iyyah, atau al-madrasatul


ibtidâ`iyyah.

‫حمزة‬ = Hamzah

5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah/tasydîd ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf
yang diberi tanda syaddah (digandakan).
Contoh:

x
= ‘allama = yukarriru

= kurrima = al-maddu
6. Kata Sandang
a. Kata sandang diikuti oleh huruf Syamsiyah ditransliterasikan dengan
huruf yang mengikuti dan dihubungkan dengan tanda
sambung/hubung.
Contoh:
= aş - şalâtu
b. Kata sandang diikuti oleh huruf Qamariyah ditransliterasikan sesuai
dengan bunyinya.
Contoh:
َ‫الفَلَ ُق‬ = al-falaqu ُ ‫اح‬
َ‫ث‬ ِ ‫ =َال َب‬al-bâhiśu
7. Penulisan Hamzah
a. Kata hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan dan ia
seperti alif,
Contoh:

َُ‫أَك َْلت‬ َ‫ي‬ ُ


= akaltu َ ‫ = أ ْو ِت‬ûtiya

b. Kata sandang diikuti oleh huruf Qamariyah ditransliterasikan sesuai


dengan bunyinya.
Contoh:

َ‫ت َأ ْ ُكلُ ْو َن‬ = ta’kulûna َ‫َش ْيء‬ = syai’un

8. Huruf Kapital
Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata
sandangnya.
Contoh:

‫القُ ْرآن‬ = al-Qur’ân َ‫ي‬


ْ ‫ال َم ْسعُو ِد‬ = al-Mas’ûdî

= al-Madînatul Munawwarah

xi
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................. iv

ABSTRACT ............................................................................................................ v

KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ..................................................... ix

DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ......................................................................................... 19

C. Pembatasan Masalah ........................................................................................ 19

D. Rumusan Masalah ............................................................................................ 20

E. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 20

F. Manfaat Penelitian ............................................................................................ 21

BAB II KAJIAN TEORI ....................................................................................... 22

A. Kajian Teori ................................................................................................... 22

1. Konsep Keluarga Harmonis .......................................................................... 22

2. Konsep Pendidikan Anak Dalam Keluarga ..................................................... 26

3. Tujuan Pendidikan Keluarga .......................................................................... 29

4. Proses Dalam Lingkungan Pendidikan Keluarga ............................................. 31

5. Ruang Lingkup Pendidikan Keluarga ............................................................. 33

B. Hasil Penelitian yang Relevan ........................................................................ 34

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................... 38

A. Objek dan Waktu Penelitian.............................................................................. 38

B. Metode Penelitian ............................................................................................ 38

xii
C. Fokus Penelitian ............................................................................................... 39

D. Sumber Data .................................................................................................... 40

E. Prosedur Penelitian ........................................................................................... 40

BAB IV PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PERSPEKTIF HADITS .............. 42

A. Pendidikan Keluarga Terhadap Anak................................................................. 42

1. Hadits Tentang Anak Terlahir Dalam Keadaan Fitrah ......................................... 42

a. Teks Dan Terjemah........................................................................................... 42

b. Syarah Hadits ................................................................................................... 42

2. Hadits Tentang Santun ...................................................................................... 55

a. Teks Dan Terjemah........................................................................................... 55

b. Syarah Hadits ................................................................................................... 56

B. Pendidikan Tentang Berkeluarga ....................................................................... 66

3. Hadits Tentang Kriteria Memilih Pasangan untuk Berkeluarga ............................ 66

a. Teks Dan Terjemah........................................................................................... 66

b. Syarah Hadits ................................................................................................... 66

4. Hadits Tentang Tanggung Jawab dan Kewajiban Setiap Anggota Keluarga. ......... 74

a. Teks Dan Terjemah........................................................................................... 74

b. Syarah Hadits ................................................................................................... 74

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 84

A. Kesimpulan ..................................................................................................... 84

B. Saran ............................................................................................................... 86

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 88

LEMBAR UJI REFERENSI .................................................................................. 93

xiii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada hakikatnya, pendidikan keluarga mengandung dua makna yang


saling berkaitan. Pertama, pendidikan di dalam keluarga terhadap anak,
Kedua, pendidikan tentang berkeluarga.1 Maksud dari makna Pertama;
pendidikan di dalam keluarga terhadap anak; yaitu pendidikan terhadap
anak-anak yang lahir di dalam keluarga atau anak-anak yang menjadi
tanggungan keluarga tersebut.2 Maksud dari makna Kedua; pendidikan
tentang berkeluarga; yaitu pendidikan tentang cara menyelenggarakan
kehidupan keluarga untuk membangun keluarga harmonis yang
berlandaskan unsur sakinah, mawaddah, dan rahmah.3 Akan tetapi, pada
kenyataannya di masyarakat dalam memaknai pendidikan keluarga itu
sendiri cenderung lebih kepada salah satu dari dua makna tersebut.
Maksudnya, apabila membahas mengenai pendidikan keluarga, hasilnya
sebagian besar lebih cenderung hanya kepada pembahasan terkait
pendidikan terhadap anak ataupun sebaliknya, yakni pendidikan tentang
berkeluarga saja. Jarang ditemukan pembahasan mengenai pendidikan
keluarga yang mencakup dari dua makna sekaligus.

Secara umum, dapat diketahui bahwasanya antara pendidikan


keluarga terhadap anak dan pendidikan tentang berkeluarga merupakan
satu-kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Karena, antara satu dari dua
makna tersebut merupakan satu-kesatuan yang penting dan selalu
berjalan berdampingan. Maka dari itu, pada hakikatnya apabila
membahas terkait makna dari pendidikan keluarga haruslah sekaligus

1
Muhammad Ali, dkk., Ilmu Dan Aplikasi Pendidikan; Bagian IV
Pendidikan Lintas Bidang, (Bandung: Sandiarta Sukses, 2016), h. 80.
2
Ibid.,
3
Ibid.,

1
mencakup dua makna tersebut. Karena, jikalau dalam memaknai hal
tersebut lebih cenderung hanya kepada salah satu makna saja, akan
mempersempit pemahaman terkait pendidikan keluarga itu sendiri.
Sebagai contoh, apabila hanya mengetahui lebih dominan kepada salah
satu maknanya, seperti pendidikan terhadap anak saja. Alhasil, antara
pasangan suami dan isteri tersebut tidak maksimalnya dalam
menjalankan kehidupan berkeluarga. Dengan demikian, cenderung lebih
banyak membuka kesalahpahaman yang berujung banyaknya
permasalahan yang terjadi dalam menjalankan kehidupan berkeluarga.

Padahal, perihal peran suami dan isteri di dalam kehidupan


berkeluarga tidak hanya berperan sebagai orang tua ataupun dapat
dikatakan sebagai ayah dan ibu saja, melainkan juga memiliki peran lain
yang terpisah dari masing-masing peran di dalam keluarga yang mana
pada hakikatnya seperti peran suami dan isteri itu sendiri. Idealnya,
dalam memaknai pendidikan keluarga haruslah didalamnya mencakup
dua makna sekaligus. Sehingga, hakikat tujuan dari makna pendidikan
keluarga dapat tercapai dan meminimalisirkan kesalahpahaman dari
berbagai permasalahan yang terjadi. Dengan demikian, antara suami
isteri yang berperan sebagai orang tua dan juga berperan sebagai suami
dan isteri beserta anak keturunannya mampu bekerja sama dalam
menjalankan kehidupan untuk membentuk keluarga harmonis yang
berlandaskan unsur sakinah, mawaddah, dan rahmah serta mencetak
generasi selanjutnya menjadi anak yang sholeh-sholehah, berakhlakul
karimah, bertaqwa dan sehat jasmani serta rohani.

Pada makna pertama, pentingnya proses pendidikan yang


berlangsung didalam keluarga terhadap anak-anak yang lahir didalam
keluarga tersebut dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan lingkungan
pertama yang dikenali oleh seorang anak. Dalam lingkungan keluarga,
anak akan belajar mengenali kararakter dari anggota keluarganya
sehingga membentuk pola perilaku yang kemudian akan menjadi

2
kebiasaan dalam hidupnya. Sehingga nantinya akan menjadi karakter
yang melekat pada anak tersebut sebagai bagian dari ciri khas
kepribadiannya. Model inilah yang sesungguhnya menjadi esensi utama
dalam pendidikan yang sebagian besar proses pembentukannya terjadi
dalam keluarga. Oleh karena itu, di dalam keluarga peran orang tua lah
yang paling penting sebagai lingkungan sosial pertama bagi anak
keturunannya yang ditemui dalam dunia nyata.

Para orang tua berserta anak-anak keturunannya mengalami segala


kejadian yang dilakukan bersama-sama dan terus berulang-ulang di
dalam keluarga dengan tempat naungan yang disebut rumah, sehingga
akan menyerap dan menjadi suatu kebiasaan dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. Dikarenakan bahwa pada hakikatnya, anak di dalam keluarga
memiliki sifat meniru, mencontoh, mengikuti bahkan sampai percis
bagaimana yang dilakukan dan dikatakan oleh kedua orang tuanya. Maka
dari itu, peran orang tua haruslah masuk sebagai suri tauladan yang
terbaik untuk anak-anak keturunannya. Bagi setiap orang tua, dalam
segala perbuatan dan perkataan saat berkomunikasi antar sesama anggota
di dalam keluarga haruslah menggunakan dan sesuai dengan syariat islam
agar apabila anak meniru, mengikuti tidak akan keluar dari koridor
syariat islam. Selain itu, dikarenakan peran orang tua berfungsi sebagai
media transformasi nilai-nilai yang sangat berpengaruh dalam
pertumbuhan dan perkembangan anak. Transformasi itulah yang pada
umumnya bersifat informal guna menjadi ajang pembentukan sikap dan
kepribadian dikemudian hari. Sebab itulah sangat pentingnya peran orang
tua dalam menentukan pembentukan pada diri seorang anak dari segala
aspek diawal kehidupannya.

Selain itu, dapat dikatakan jua bahwa anak merupakan cikal bakal
suatu generasi baru dalam keluarga sebagai aset bangsa, negara, dan
agama dimasa yang akan datang guna meneruskan cita-cita perjuangan
dan perkembangan. Oleh karena itu, anak haruslah tumbuh dan

3
berkembang menjadi sosok yang sehat, kuat, dan beriman lagi bertaqwa.
Maka, peran orang tua lah yang harus masuk kedalam dunia anak
tersebut. Semua itu merupakan kewajiban orang tua untuk anak-anaknya
yang berada di dalam keluarga tersebut guna anak-anak keturunannya
mampu tumbuh dan berkembang secara sempurna meliputi seluruh aspek
baik jasmani, akal, dan rohani. Termasuk juga dalam perihal
pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anaknya untuk
4
ketercapainya tujuan yang telah ditetapkan.

Kemudian, dikatakan juga bahwa anak adalah anugerah terindah dan


termahal bagi setiap orang tua. Sulit ketika diminta, dan tidak bisa ditolak
ketika Allah swt sudah menghendaki kelahirannya, karena kehadirannya
merupakan sebuah rahasia sang pencipta. Ada yang diberikan
kepercayaan untuk terlahirnya anak keturunannya oleh Allah swt begitu
cepat, akan tetapi ada juga yang diberikan kepercayaan untuk terlahirnya
anak keturunannya dalam waktu menurut manusia dikatakan lama, akan
tetapi menurut Allah swt adalah waktu yang tepat. Dengan demikian,
karena Allah swt mengetahui segala sesuatu yang terbaik untuk setiap
umatNya. Maka, mengapa dapat dikatakan bahwa kepercayaan diberikan
anak keturunan dalam keluarga oleh Allah swt sebagai amanah dan
anugerah yang terindah bagi orang tua. Oleh karena itu, sudah sepatutnya
anak dalam naungan keluarga tersebut harus dijaga, dididik, dan dibina
dengan baik oleh orang tua sehingga menjadi anak-anak yang berkualitas
serta memiliki kekuatan dan ketahanan sebagai bekal mengarungi hidup
di masa dewasanya.5

Sedangkan pada makna yang kedua, pentingnya proses pendidikan


yang berlangsung tentang berkeluarga, dapat dikatakan bahwa peran

4
Devi Vionita Wibowo, “Konsep Pendidikan Islam Pada Anak Usia Dini Dalam Kitab
Tarbiyatul Aulad Fil Islam Karangan Abdullah Nashih Ulwan”, Skripsi UIN Maulana Malik
Ibrahim Malang, 2018, tidak dipublikasikan.
5
Abdullah Nashih Ulwan, Lihat dalam Harpansyah, ”Pendidikan Anak Dalam Perspektif
Abdullah Nashih Ulwan (Telaah Atas Kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam)”, Skripsi UIN Raden
Fatah Palembang, 2017, tidak dipublikasikan.

4
yang masuk adalah seluruh anggota di dalam keluarga. Setiap anggota di
dalam keluarga memiliki kewajiban dan tanggung jawabnya dalam
kehidupan berkeluarga. Oleh karena itu, lingkup keluarga adalah lingkup
pendidikan yang pertama dan utama untuk setiap anggota di dalamnya.
Dengan demikian, landasan tauhid keluarga harmonis diterapkan pada
proses pemilihan pasangan, dalam proses pencapaian kesejahteraan dan
kebahagiaan, serta dalam proses pemecah masalah yang dihadapi oleh
suatu keluarga. Maka, landasan tauhid dalam kehidupan keluarga
menumbuhkan perasaan tenteram, mendorong motivasi keberhasilan,
meluruskan arah dalam kebingungan, serta meredam frustasi dalam
kehidupan sehingga menghindarkan kesalahpahaman yang terjadi dan
meminimalisirkan faktor-faktor permasalahan yang terjadi dalam
kehidupan berkeluarga.6

Selain itu, untuk setiap anggota di dalam keluarga tumbuh dan


berkembang sesuai dengan potensinya yang mana menghadirkan kasih
sayang dan menghindari segala bentuk kekerasan.7 Kemudian, karena
keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat, keluarga harus dapat
mencerminkan masyarakat yang ideal yaitu masyarakat yang
berkemajuan, berdaya dan bahagia lahir-batin. Sehingga dalam
kehidupan berkeluarga akan terwujud masyarakat yang berkemajuan,
berdaya dan bahagia lahir-batin.8 Terealisasi untuk setiap anggota di
dalam keluarga sehingga merasa aman dan tentram pada suasana
kehidupannya baik secara perorangan maupun kelompok yang mana rasa
aman dan tenteram menyangkut hidup jasmani dan rohani. Sehingga
harus saling memiliki dan tumbuh dorongan untuk memperhatikan
kebahagian dan kemajuan untuk setiap anggota di dalam keluarga.
Dengan demikian, akan terciptanya selalu keluarga harmonis yang
mengandung didalamnya unsur sakinah, mawaddah, dan rahmah.

6
Majelis Tarjih dan Tardid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih
Muhammadiyah 3, (Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2018), h. 360-361.
7
Ibid., h. 361.
8
Ibid., h. 369.

5
Komponen itulah yang jua menjadi esensi sangat penting dalam
pembangunan pendidikan terkhususnya pada pendidikan tentang
berkeluarga.

Dari penjabaran dua makna perihal pendidikan keluarga terhadap


anak dan pendidikan tentang berkeluarga, maka dapat peneliti simpulkan
bahwasanya setiap anggota di dalam keluarga baik suami yang
bertambah peran menjadi sosok ayah, kemudian isteri yang menambah
peran jua menjadi seorang ibu serta anak yakni memiliki peran penting
masing-masing dan saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Terjadinya keterkaitan tersebut, guna melahirkan dan melaksanakan
makna pendidikan keluarga itu sendiri untuk ketercapainya tujuan dalam
kehidupan berkeluarga sesuai syariat Islam. Selain itu, dapat juga
meminimalisirkan kesalahpahaman dari dua makna tersebut yakni
pendidikan terhadap anak dan pendidikan tentang berkeluarga. Dengan
demikian, jarang terjadinya permasalahan yang muncul saat menjalankan
kehidupan keluarga. Karena, setiap anggota di dalam keluarga tersebut
mampu bekerjasama antara satu dengan lainnya guna memahami,
melaksanakan serta memberi ajakan positif dalam memaknai hakikat dua
makna dari pendidikan keluarga itu sendiri.

Hadirnya keluarga sebagai lembaga pendidikan pertama dan utama


yang tentunya diharapkan mampu menjadi motor penggerak dalam
proses pendidikan. Hal ini berarti, orientasi utama dalam kehidupan
keluarga seyogyanya mencerminkan nilai-nilai pendidikan, sehingga
seluruh rutinitas dalam setiap anggota di dalam keluarga termasuk ketika
berada didalam rutinitas masyarakat, akan berdampak pada proses
pemanusian manusia (Humanisasi) yang baik sebagai tujuan utama
dalam proses pendidikan.9 Oleh karena itu, keluarga berperan sebagai
sektor paling utama dan peletak dasar pendidikan untuk setiap anggota di
dalam keluarga guna mendapatkan pendidikan dan bimbingan sejak awal
9
Syahrial Labaso, “Konsep Pendidikan Keluarga Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Hadis”,
Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. XV, No. 1, Juni 2015, h. 53.

6
untuk membentuk paradigma kehidupannya. Maka, bentuk aktivitas
pendidikan dalam keluarga mendukung segala proses perkembangan bagi
setiap anggotanya baik dalam hal berkomunikasi dan berinteraksi dengan
manusia lainnya, jua berupaya mengenal dirinya, dan berusaha
mengkonstruksi kehidupannya. Hal ini merupakan proses yang secara
alamiah lahir sebagai suatu kesatuan utuh dalam dimensi kehidupan
manusia.

Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa proses pendidikan dalam segi


sosial sedemikian penting tercipta untuk pertama kalinya sebagai dasar
proses pembentukan kepribadian manusia adalah berawal dari pendidikan
keluarga. Istilah keluarga itu sendiri menurut struktural, didefinisikan
berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota keluarga, seperti
orang tua, anak, dan kerabat lainnya. Definisi ini memfokuskan pada
siapa yang menjadi bagian dari keluarga.10 Kemudian secara fungsional,
keluarga didefinisikan dengan penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas
dan fungsi-fungsi psikososial.11 Fungsi-fungsi tersebut mencakup
perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi, dan
pemenuhan peran-peran tertentu. Defenisi ini memfokuskan pada tugas-
tugas yang dilakukan oleh keluarga.12

Sedangkan pengertian keluarga secara transaksional, yaitu keluarga


didefinisikan sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman melalui
perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga
(family identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-
cita masa depan. Definisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga
melaksanakan fungsinya. 13 Dari beberapa pengertian diatas, dapat
disimpulkan bahwasanya keluarga adalah sekelompok oang yang terdiri

10
Budi Lazarusli, dkk., “Penguatan Peran Keluarga Dalam Pembentukan Kepribadian
Anak Melalui Seminar Dan Pendamping Masalah Keluarga”, Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat, Vol. 5, No. 1, 2014, h. 3
11
Ibid.,
12
Ibid.,
13
Ibid., h. 4.

7
atas kepala keluarga serta anggotanya yang di dasari pada sebuah ikatan
pernikahan antara bapak dan ibu sehingga terciptanya generasi
selanjutnya yang hidup dalam satu tempat tinggal dengan aturan yang
harus ditaati bersama-sama dan sangat mampu mempengaruhi antar
anggotanya guna terwujudnya tujuan yang sudah di tetapkan. Tujuan
tersebut pastinya akan mengandung unsur sakinah, mawaddah, dan
rahmah sesuai syariat Islam yang mana pastinya selalu berpedoman
kepada al-Qur’an dan hadits. Dalam proses pemberian pendidikan itu
sendiri, pada hakikatnya lingkup keluarga masuk kedalam kategori
pendidikan informal. Karena secara teoritis, proses penyelenggaraan
pendidikan dibangun diatas tiga pilar utama yakni keluarga, masyarakat,
dan sekolah/pemerintah.

Sedangkan dalam perspektif Islam, pemberian bekal pendidikan bagi


setiap manusia menjadi sebuah keniscayaan. 14 Sebab, proses pendidikan
pada hakikatnya berfungsi mengelola dimensi potensi jasmani dan ruhani
yang terdapat pada diri setiap manusia.15 Pengelolaan dimensi potensi
jasmani, membawa dampak bahwa kepekaan panca indera, ketelitian,
kejelian, dan sebagainya turut mempengaruhi proses belajar dan
mengajar serta aktivitas mencari pengetahuan lainnya. 16 Sedangkan,
pengelolaan dimensi potensi ruhani, lebih bersifat spiritual
17
transcendental. Sehingga, proses pendidikan diharapkan mampu
melestarikan dan menyempurnakan kecenderungan-kecenderungan yang
baik dan menggantikan atau mengendalikan kecenderungan-
kecenderungan jahat menuju kecenderungan-kecenderungan positif.18

Secara teoritis, dari ketiga proses penyelenggaran pendidikan yang


telah dibahas sebelumnya, dapat dikatakan bahwa keluarga dipandang

14
Abdul Khobir, Hakikat Manusia dan Implikasinya Dalam Proses Pendidikan, Forum
Tarbiyah, Vol. 8, No. 1, 2010, h. 8.
15
Ibid.,
16
Ibid.,
17
Ibid.,
18
Ibid.,

8
sebagai pendidikan yang sangat berpengaruh dalam proses pembentukan
anggotanya termasuk perihal proses pembentukan anak.19 Keberadaan
keluarga sebagai lembaga sosial pertama yang terbentuk dalam pranata
kehidupan manusia dipandang sangat memberikan pengaruh dalam
mendesain kepribadian manusia sebagai individu dan sekaligus makhluk
sosial yang baik dilingkungannya. Maka dari itu, pemberian pendidikan
untuk keluarga tidak hanya sangat berpengaruh kepada anak-anak yang
menjadi tanggungan keluarga tersebut, melainkan jua sangat berpengaruh
kepada pasangan suami dan isteri serta anak keturunannya dalam
membina keluarga agar menjadi keluarga yang harmonis, Sebagaimana
contoh kehidupan keluarga Rasulullah beserta para isterinya.

Akan tetapi, sangat disayangkan bahwa pada kenyataannya di


lingkungan masyarakat hakikat dari makna pendidikan keluarga baik
pendidikan di dalam keluarga terhadap anak, maupun pendidikan tentang
berkeluarga, ditemukan banyaknya kesalahpahaman hakikat dari makna
pendidikan keluarga itu sendiri. Sebab, secara umum tidak maksimalnya
dalam memahami dan melaksanakan serta memberikan ajakan positif
secara mendalam hakikat dari makna pendidikan keluarga tersebut.
Dengan bahasa lain, dapat dikatakan bahwa kurangnya pengetahuan dan
pemahaman mengenai islam yang sesuai syariat, baik dari segi al-qur’an
dan hadits terkait segala hal tentang keluarga maupun pemberian
pendidikan kepada keluarga. Sehingga, kurang mampu melaksanakan
dan memberikan contoh serta masukan-masukan positif secara langsung
terkait hal tersebut. Dengan demikian, dalam menjalani kehidupan akan
sering terjadinya permasalahan-permasalahan yang bermunculan dalam
menjalan kehidupan keluarga.

Apalagi di zaman sekarang ini, terdapat adanya virus yang terkenal


dengan sebutan ”covid 19” yang bukan hanya melanda negara Indonesia
saja, melainkan seluruh dunia. Terjadinya “covid 19” ini, pastinya
19
Syahrial Labaso, “Konsep Pendidikan Keluarga Dalam Perspektif Al-Qur’an dan
Hadis”, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. XV, No. 1, Juni 2015, h. 53.

9
banyak memberikan dampak ataupun pemerosotan dalam segala sektor,
termasuk dalam sektor pendidikan. Setiap lembaga pendidikan dalam
segala tingkat baik dari tingkat kanak-kanak sampai perguruan tinggi dan
setingkatnya ditiadakannya pembelajaran di lembaga pendidikan.
Melainkan, semua terpusat pada pembelajaran yang dilakukan secara
daring/online (pembelajaran jarak jauh). Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa semua pembelajaran anak-anak yang biasanya di
sekolah melainkan akan dikembalikan di rumah. Oleh karena itu, peran
orang tua menjadi kunci utama dalam pembelajaran anak sehingga minat
belajar anak tidak menurun meskipun proses pembelajaran tidak
dilangsungkan dengan tatap muka di sekolah. Keterlibatan peran orang
tua menjadi hal yang sangat penting dalam membantu anak dari
keterbatasan belajar, meningkatkan hubungan sosial anak dan
mengajarkan anak mengenai kesadaran akan minat belajar walaupun
keberlangsungan sekolah tidak di lembaga pendidikan melainkan hanya
di rumah maisng-masing saja.

Idealnya, peran orang tua merupakan contoh terbaik dalam


mengajarkan nilai-nilai kehidupan kepada anak saat pandemi “covid 19”
ini berlangsung. Karena, anak memiliki kebiasaan yang dicontohkan dari
kebiasaan kedua orang tuanya. Sehingga, fungsi edukatif orang tua
sangat penting dalam proses pemberian pendidikan dengan selalu
membimbing dan mendidik anak-anak keturunannya. Dengan demikian,
walapun pembelajaran yang biasanya anak-anak selalu mendapatkan di
sekolah, dikarenakan pandemi “covid 19” ini, maka pada masa sekarang
tempat pembelajarannya lah yang berbeda dimana dipindahkan di rumah
masing-masing. Oleh karena itu, disinilah peran orang tua yang harus
masuk dalam pendidikan anaknya di dalam keluarga. Sehingga, tujuan
dari sekolah akan tetap dapat tercapai walapun hanya di rumah saja.

Sayangnya, telah menjadi mainstream yang kuat dalam masyarakat


ketika adanya pandemi ”covid 19” ini terlihat betapa peran orang tua

10
merasa kewalahan dikarenakan kurang bahkan tidak pahamnya tentang
hakikat dari kewajiban dan tanggung jawab sebagai peran orang tua yang
pada sebenarnya merupakan pendidik untuk anak-anak keturunannya di
dalam keluarga. Hal itu terjadi dikarenkan banyaknya faktor-faktor yang
mendukung terjadinya hal tersebut, mulai dari kurangnya perhatian orang
tua terhadap pendidikan anaknya dikarenakan para orang tua yang sibuk
dengan pekerjaannya masing-masing. Maka, pada awalnya akan
membuat para orang tua lebih menaruh kepercayaan untuk memberikan
anak-anak yang menjadi naungan di dalam keluarga tersebut dengan
sepenuhnya kepada pihak sekolah. Selian itu, karena kurangnya
pengetahuan dan pemahan orang tua sehingga kurang maksimal dalam
mendampingi anak-anaknya untuk proses pembelajaran jarak jauh yang
berlangsung di rumah. Kemudian dikarenakan faktor ekonomi yang mana
tidak adanya dana orang tua untuk membeli buku bahkan untuk dapat
membeli paket data untuk anak-anaknya dalam proses pembelajaran yang
berlangsung di rumah. Dapat juga dikarenakan banyaknya pekerjaan
rumah yang harus dilakukan para orang tua sehingga tidak maksimalnya
dalam membantu serta mendampingi anak-anak keturunannya dalam
proses pembelajaran jarak jauh yang berlangsung di rumah dan masih
banyak faktor-fator lainnya yang biasanya akan terjadi saat proses
pembelajaran anak-anak masih tetap berlangsung jarak jauh di rumah
masing-masing. Dengan demikian, akan berpengaruh terhadap
pemerosotan dalam keberhasilan pendidikan anak di dalam keluarga.
Sehingga tujuan pembelajaran untuk anak-anak keturunannya akan sulit
tercapai oleh setiap masing-masing individu anak.

Hakikatnya, jauh sebelum virus covid 19 ini muncul dan menjadi


wabah di Indonesia bahkan seluruh dunia, telah banyak juga ditemukan
dalam masyarakat kesalahpahaman memahami makna dari pendidikan
keluarga itu sendiri, baik makna pendidikan keluarga terhadap anak
maupun makna pendidikan tentang berkeluarga. Hal itu terjadi karena
banyaknya faktor-faktor pendukung terjadinya hal tersebut yang

11
menyebabkan berbagai permasalahan yang terjadi. Diantara faktor-faktor
terjadinya kesalahpamaham dalam memaknai pendidikan keluarga
terhadap anak yakni pertama Faktor penyalahgunaan fisik anak.

Faktor penyalahgunaan fisik anak akan menyebabkan seringnya


orang tua berperilaku membentak tidak baik bahkan sampai memukul
anak-anaknya diluar batas wajar. Dengan demikian, akan berdampak
kepada anak yang tidak menuruti maupun berbakti kepada kedua orang
tua nya sendiri. Maksudnya, semua yang berasal dari kedua orang tua
baik perihal nasihat berupa perbuatan maupun perkataan tidak akan
didengar serta dilaksanakan. Bahkan lebih parahnya akan berdampak di
luar lingkup keluarga, dimana anak akan melakukan tindakan yang tidak
sesuai dengan syariat islam seperti kekerasan, penyiksaan dan
penyalahgunaan narkoba yang terjadi di kalangan pelajar yang mana
akan kembali berperan sebagai anak ketika di dalam lingkup keluarga. 20

Terjadinya dampak-dampak permasalahan anak dalam naungan


keluarga tersebut dikarenakan anak yang menjadi naungan dalam
keluarga kurang bahkan tidak mendapatkan kasih sayang yang tulus dan
lebih dalam segala bentuk dari kedua orang tuanya sendiri, melainkan
seringnya mendapatkan hal-hal yang tidak baik bahkan sampai kepada
kekerasan seperti selalu dimarahi, selalu mendapatkan pukulan dari orang
tuanya sampai kepada diluar batas wajar. Dengan demikian, pastinya
akan berdampak kepada anak yang menjadi naungan dalam keluarga
tersebut untuk meniru apa yang selalu dilakukan dan yang menjadi
kebiasaan dari kedua orang tuanya.

Selanjutnya faktor kurangnya pengetahuan dan pemahaman dari


kedua orang tua yang menyebabkan banyaknya anak-anak yang putus
sekolah, meningkatnya angka pengangguran yang tidak terdidik,
lemahnya persaingan dalam ranah tenaga kerja, dan secara umum akan
20
Endang Purwaningsih, “Keluarga Dalam Mewujudkan Pendidikan Nilai Berbagai
Upaya mengatasi Degradasi Nilai Moral”, Jurnal Pendidikan Sosiologi dan Humaniora, Vol. 1,
No. 1,, 2010, h. 43.

12
berdampak tidak baik dalam proses pembelajaran anak-anak di lingkup
kehidupan keluarga maupun secara khusus dalam proses pembelajaran
anak-anaknya untuk mendukung lembaga pendidikan pemerintah.
Sehingga, anak tersebut merasa kurang bahkan tidak mendapatkan
pertolongan serta arahan yang baik dari kedua orang tuanya sendiri.
Seperti contoh yakni dengan kurangnya pengetahuan dan pemahaman
dari orang tua, ketika anak bertanya perihal tugas sekolah akan tetapi
kedua orang tua tidak mampu membantu anaknya dikarenakan kurang
mengetahui secara mendalam dan tidak mengerti pertanyaan yang
menjadi tugas dari anaknya serta contoh-contoh lainnya yang sangat
banyak ditemukan dalam lingkup kehidupan keluarga.

Kemudian, dari faktor lemahnya peran sosial budaya masyarakat


dan kesibukan orang tua yang menyebabkan membiarkan anak bermain
serta bergaul tanpa kontrol yang baik dari kedua orang tuanya. Dengan
demikian, menjadikan komunikasi antar orang tua dan anak menjadi
tidak baik, bahkan sering terjadinya hubungan yang tidak harmonis
antara kedua orang tua dan anak-anaknya sampai berakhir kepada
pertengkaran antar sesama. Selanjutnya, dari faktor desakan dan tarikan
ekonomi orang tua dalam memenuhi kebutuhan yang menyebabkan anak
sebagai alat/objek komersialisasi orang tua untuk mendapatkan
penghasilan dengan jalan-jalan yang tidak sesuai dengan syariat islam.
Seperti mencuri, berbohong, meminta-minta, bertindak kasar dalam
segala hal, dan lainnya.

Terakhir, faktor jauh dari agama, inilah yang menyebabkan


terpusatnya dari segala faktor. Karena, pada hakikatnya apabila iman dan
islam tidak tertanam dalam diri, maka menjadikan manusia adalah orang-
orang yang merugi. Sehingga dalam makna pendidikan keluarga terhadap
anak, maka peran kedua orang tua amat sangat penting sebagai peran
yang pertama dan utama dalam mendidik dan membimbing anak-
anaknya sesuai syariat islam, baik dalam perkataan maupun perbuatan.

13
Dengan kurangnya keyakinan agama yang tertanam dalam diri, akan
menyebabkan para anak-anak kurang bahkan tidak ingin melaksanakan
segala aktivitas baik perkataan maupun perbuatan sesuai syariat islam.
Seperti contoh, malas untuk melaksanakan ibadah shalat fardhu sesuai
tuntunan syariat islam maupun ibadah serta aktivitas sunnah lainnya yang
termuat dalam syariat Islam. Dengan demikian, akan terjadinya
ketidakmaksimalan dalam ketercapaian tujuan dari makna pendidikan di
dalam keluarga terhadap anak yang lahir di dalam keluarga atau anak-
anak yang menjadi tanggungan keluarga itu sendiri.

Sedangkan yang kedua, perihal makna dari pendidikan tentang


berkeluarga banyak jua ditemui dalam masyarakat kesalahpahaman yang
menyebabkan berbagai faktor-fakor tidak sesuainya dengan makna pada
hakikatnya. Diantara faktor-faktor tersebut yakni dari segi perekonomian
yang belum mapan, menyebabkan kerja yang belum menetap sehingga
sosok Bapak kurang maksimal dalam menafkahi keluarganya dengan
tidak mampu untuk membelikan kebutuhan sandang, pangan, papan
secara maksimal. Selain itu, mampu merenggangkan komunikasi antar
pasanagan suami dan isteri sehingga muncul saling bertengkar antar
keduanya. Kemudian akan lebih parahnya, apabila sosok isteri yang lebih
unggul dari pada sosok suami khususnya dalam perihal perekonomian
keluarga. Dengan demikian, akan menyebabkan rasa angkuh dan rasa
meninggi seorang isteri tersebut, sehingga peran isteri lebih merasa
berkuasa dalam lingkup keluarga dan menyebabkan rasa kepemimpinan
dalam keluarga adalah hak milik seorang isteri. Karena ia mempunyai
dan menghasilkan banyak uang dalam perekonomian keluarga. Padahal
sudah diketahui bersama, menurut syariat di dalam Islam bahwa sosok
peran pemimpin dalam keluarga yang sebenarnya adalah sosok peran
seorang suami.

Selanjutnya, dari segi perbedaan watak/kepribadian yang terlalu


tajam, mampu menyebabkan seringnya terjadi pertengkaran antara suami

14
dan isteri. Dengan demikian, akan menyebabkan komunikasi antar
keduanya renggang sehingga kurang mampu untuk menyelesaikan
berbagai permasalahan didalam kehidupan keluarga melalui jalan yang
baik serta bermusyawarah, sebagaimana sesuai syariat islam bahwa
setiap permasalahan harus diselesaikan dengan bertabayyun terlebih
dahulu. Terakhir adalah Faktor jauh dari agama. Sekian banyaknya
faktor-faktor yang terjadi, bahwa faktor yang sangat berpengaruh dalam
kesalahpahaman memaknai pendidikan tentang berkeluarga adalah faktor
jauh dari agama. Karena, pada hakikatnya segala bentuk perbuatan dan
aktivitas yang dilakukan harus berdasarkan pengetahuan dan pelaksanaan
sesuai syariat islam.

Maka dari itu salah satu perbuatan yang sangat penting dilakukan
sebelum memutuskan untuk menikah membanguan keluarga harmonis
yakni haruslah memilih calon suami maupun calon isteri yang paling
utama dari segi agama. Dikarenakan bersama agama yang selalu melekat
dalam hati, diri, dan perbuatan niscaya segala bentuk perbuatan maupun
aktvitas serta permasalahan dapat terselesaikan dan berjalan dengan baik.
Selain itu, niscaya akan memahami betul serta melaksanakan bagaimana
seharusnya peran dari bapak, ibu, maupun anak yang berada di dalam
keluarga tersebut sesuai tuntunan di dalam syariat islam. Selanjutnya,
apabila faktor jauh dari agama itu terjadi, juga akan mampu
menyebabkan sampai kepada tindakan perceraian. Dikarenakan, setiap
faktor-faktor terjadinya kesalahpahaman dari makna pendidikan tentang
berkeluarga, faktor inilah yang dapat mengcover sebagai perwakilan dari
seluruh faktor yang terjadi. Dengan demikian, banyak bermunculan
permasalahan-permasalahan didalamnya. Diantaranya adalah
permasalahan tentang ekonomi, anak, tindakan perselingkuhan
(ketidaksetiaan) atas dasar hawa nafsu saja, problem kesehatan,
perbedaan prinsip dalam pengelolaan keluarga, kesenjangan sosial,
perbedaan dalam pilihan politik, bahkan perceraian tersebut juga

15
disebabkan oleh faktor kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).21
Sehingga dapat dikatakan bahwa sampai terjadinya tindakan perceraian
tersebut, mewakilkan semua faktor-faktor terjadinya perihal
kesalahpahaman dalam memaknai makna dari pendidikan keluarga baik
pendidikan terhadap anak maupun pendidikan tentang berkeluarga yang
sudah dipaparkan pada pembahasan sebelumnya.

Sebuah contoh lain dari segi agama, apabila dalam diri setiap calon
pasangan suami maupun isteri tidak berselimuti akan agama, maka
kurang mampu memaham, melaksanakan serta memberikan ajakan
positif nan baik untuk hakikat dari makna pendidikan tentang berkeluarga
itu sendiri. Satu dari banyaknya contoh bahwasanya ketika pasangan
suami isteri telah memutuskan untuk menikah guna membangun
keluarga, akan tetapi tidak adanya unsur agama yang melekat dalam diri
masing-masing individu, maka hakikat untuk mencapai tujuan keluarga
harmonis akan sulit tercapai. Demikian juga apabila suami dan isteri
telah menikah dan memiliki anak yang menjadi naungan di dalam
keluarga, maka status suami bertambah menjadi seorang bapak. Apabila
bapak tersebut tidak terikatnya agama di dalam diri, maka seorang bapak
akan sulit untuk mendidik anaknya, termasuk dalam perihal beribadah.
Salah satu contoh yakni seorang bapak jarang bahkan ada pula yang tidak
pernah mengajak anaknya pergi bersama-sama untuk melaksanakan
shalat di masjid serta perbuatan atau aktivitas maupun ibadah fardhu a’in
dan sunnah lainnya.

Padahal sudah diketahui bersama bahwasanya didalam Islam pada


hakikatnya kewajiban seorang laki-laki untuk melaksanakan shalat
adalah di masjid. Selain itu masih banyak lagi contoh-contoh lainnya
yang dapat ditemukan terkait hal dalam kehidupan berkeluarga. Tidak
hanya peran bapak, akan tetapi perang ibu di dalam keluarga. Apabila
seorang ibu tiada terekatnya agama di dalam diri, maka sulit untuk

21
Kemenag, Mencegah Badai Keluarga Indonesia, 2018, (https://kemenag.go.id).

16
mendidik anaknya sesuai syariat islam. Sebuah contoh, seorang ibu yang
jarang bahkan tidak pernah mengajarkan anaknya terkhusus anak
perempuannya untuk belajar memasak. Padahal, dapat diketahui secara
umum bahwasanya memasak bagi perempuan merupakan suatu hal yang
wajib. Karena, ketika ia menikah dengan sosok laki-laki yang menjadi
suaminya, pastilah isteri akan memasak untuk suaminya sendiri.
Walaupun banyak jua laki-laki yang berstatus suami tidak memberatkan
perihal tersebut bahkan mau untuk membantu isterinya termasuk untuk
perihal memasak.

Akan tetapi pada sewaktu-waktu dalam kondisi dan keadaan tertentu,


seorang isteri akan dituntut untuk mampu memasak. Oleh karena itu,
tugas seorang ibu ketika sudah memiliki anak tak lepas harus selalu
mendidik, membimbing, dan mengajarkan anaknya yang sholeh-sholehah
berakhlakul karimah taat dan taqwa kepada Allah dalam melaksanakan
perintahNya dan semangat dalam menjauhi segala laranganNya. Dengan
demikian, pada hakikatnya apabila peran suami dan isteri telah Allah
karuniakan anak generasi keturunannya sudah sepatutnya harus saling
bekerja sama untuk mendidik, membimbing, dan mengajarkan anak
keturunannya dalam segala hal sesuai syariat islam. Sehingga mampu
mencetak anak generasi keturunannya menjadi anak yang sholeh-
sholehah berakhlakul karimah, taat dan bertaqwa kepada Allah dalam
melaksanakan segala perintahNya dan semangat dalam menjauhi semua
laranganNya serta mampu menghadapi masa depan yang akan datang
dengan selalu berlandaskan agama didalam diri dan sehat jasmani dan
rohaninya.

Selain itu, setiap anggota di dalam keluarga termasuk bapak, ibu dan
bahkan anak yang menjadi naungan keluarga tersebut yakni ketika
menjalankan kehidupan berkeluarga jua sepatutnya harus saling bekerja
sama. Karena, peran masing-masing yang dimiliki oleh setiap anggota di
dalam keluarga mempunyai keterkaitan antar sesama. Bekerja sama yang

17
dimaksud adalah bekerja sama dalam segala hal termasuk perihal saling
menyayangi, saling mengasihi, saling menjaga, saling menolong, saling
memberikan arahan, saling memberikan contoh maupun pembiasan yang
baik, saling memberikan bimbingan, dan saling memberikan didikan
yang selalu berpedoman kepada syariat islam. Dengan demikian, akan
meminimalisirkan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam
kesalahpahaman memaknai pendidikan tentang berkeluarga secara
khusus dan pendidikan keluarga secara umum.

Sudah menjadi pengetahuan umum di dalam Islam yakni bagi setiap


anggota di dalam keluarga harus selalu menjaga keharmonisan dan
kerukunan di rumah tempat tinggal bersama. Dengan demikian, sudah
sepatutnya rumah tempat naungan bersama untuk menjalankan
kehidupan keluarga tersebut haruslah mampu layaknya seperti surga bagi
setiap anggota keluarga didalamnya. Oleh karena itu, sangat pentingnya
pemberian pendidikan yang pertama dan utama adalah dimulai dari
lingkup keluarga. Pemberian pendidikan yang disertai dengan
pemahaman serta pelaksanan dan ajakan postif nan baik yang saling
bekerjasama antara anggota satu dengan lainnya di dalam keluarga, akan
menjadikan setiap anggota didalamnya menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa sehingga membentuk pribadi yang insan kamil dan
berakhlakul karimah sebagaimana sesuai syariat islam.

Dengan demikian, dalam menjalankan kehidupan berkeluarga dan


berinteraksi dengan masyarakat akan jarang ditemukan kesalahpahaman
dalam memaknai pendidikan keluarga itu sendiri, sehingga jarang
terjadinya permasalahan-permasalahan yang bermunculan. Dikarenakan
setiap anggota di dalam keluarga mempertahankan keharmonisan dan
kerukunan dengan cara saling bekerja sama untuk selalu mengedepankan
landasan agama sehingga terciptanya unsur saling menyayangi, saling
mengerti, saling tolong-menolong, saling memberikan motivasi dan
ajakan postif dalam menjalani kehidupan bersama-sama maupun

18
menjalani kehidupan sesuai perannya masing-masing di dalam
keluarga.Apabila suasana tersebut telah tertanam dan terlaksana dengan
baik oleh setiap masing-masing anggota di dalam keluarga, maka rumah
yang menjadi naungan tempat tinggal bersama layaknya surga niscaya
akan tercapai. Karena makna luas dari surga bahwa apabila setiap
anggota di dalam keluarga akan merasa nyaman, tentram, dan bahagia
apabila lama berada di dalam rumah dan jarang terjadinya
kesalahpahaman dengan bermunculnya berbagai macam permasalahan-
permasalahan di dalamnya. Tidak hanya itu, yang paling utama adalah
mampu bekerja sama sesuai syariat islam sehingga cita-cita untuk kekal
hadir membersamai kembali tidak hanya di dunia melainkan kelak di
kehidupan yang kekal abadi yakni akhirat dalam satu tempat yang sangat
ummat muslim cita-citakan adalah surga. Berdasarkan latar belakang
inilah, menggugah penulis untuk meneliti hal tersebut yang ingin
diangkat menjadi sebuah penelitian skripsi dengan judul : “Pendidikan
Keluarga Dalam Perspektif Hadits (Kajian Hadits Shahih
Bukhari)”.

B. Identifikasi Masalah
1. Kurangnya pemahaman dari orang tua tentang pengetahuan dan
pemaknaan hakikat dasar dari pendidikan terhadap anak.
2. Kurangnya pemahaman akan kewajiban dan tanggung jawab peran
orang tua dalam pendidikan terhadap anaknya.
3. Kurangnya contoh-contoh perilaku dan perbuatan yang baik dari
orang tua dalam pendidikan terhadap anaknya.
4. Kurangnya ajakan positif dan baik dari orang tua dalam pendidikan
terhadap anaknya.
5. Kurangnya pemahaman akan kewajiban dan tanggung jawab peran
suami, isteri maupun anak dalam pendidikan tentang berkeluarga.

19
6. Kurangnya contoh-contoh perilaku yang baik dari masing-masing
peran suami, isteri maupun anak dalam pendidikan tentang
berkeluarga.
7. Kurangnya pemahaman tentang hadits-hadits yang berisi pendidikan
terhadap anak maupun pendidikan tentang berkeluarga.

C. Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang telah disebutkan diatas
dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah yakni berupa
Pendidikan keluarga dalam perspektif hadits (Kajian hadits shahih
bukhari) terkait kewajiban dan tanggung jawab orang tua dan seluruh
anggota di dalam keluarga dalam ranah membangun keluarga harmonis
berdasarkan unsur sakinah,mawaddah dan rahmah serta mencetak anak
generasi keturunannya menjadi anak yang sholeh sholehah taqwa
berakhlakul karimah lagi sehat jasmani dan rohani. Dengan fokus
penelitian yakni adapun yang di maksud dengan pendidikan keluarga
dalam perspektif hadits adalah hadits-hadits pendidikan keluarga yang
ada di dalam hadits shahih bukhari.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi dan pembatasan masalah yang telah
disebutkan di aats, maka adapun rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pendidikan di dalam keluarga terhadap anak ?


2. Bagaimana pendidikan tentang berkeluarga dalam menjalankan
kehidupan sehingga terciptanya keluarga harmonis yang
berlandaskan unsur sakinah, mawaddah, dan rahmah ?

E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dilakukannya
penelitian ini adalah sebagai berikut:

20
1. Untuk mengetahui pendidikan di dalam keluarga terhadap anak
2. Untuk mengetahui dan melaksanakan pendidikan tentang
berkeluarga dalam menjalankan kehidupan sehingga
terciptanya keluarga harmonis yang berlandaskan unsur
sakinah, mawaddah, dan rahmah

F. Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat.
Adapun manfaat penelitian ini antara lain sebagai berikut :

1. Bagi penulis sebagai salah satu acuan dan wawasan kelak


dalam menerapkan metode penggalian hadits beserta syarahnya
saat telah berkeluarga maupun sebelum berkeluarga guna
menghidupkan dan meluruskan makna yang benar dalam
pendidikan keluarga sesuai syariat islam berdasarkan Al-Qur’an
dan Hadits.
2. Bagi Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah
dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dapat
memperkaya khazanah pengetahuan khususnya dalam hadits
tarbawi mengenai pendidikan keluarga.
3. Bagi setiap keluarga sebagai salah satu acuan untuk mengetahui
makna pendidikan keluarga baik terhadap anak maupun
pendidikan keluarga untuk menjalankan kehidupan sehingga
terciptanya keluarga harmonis yang berlandaskan unsur
sakinah, mawaddah serta mencetak anak yang sholeh-sholehah,
taqwa, berakhlakul karimah, lagi sehat jasmani rohani
4. Bagi pembaca dapat menjadi salah satu rujukan dalam
menerapkan pendidikan keluarga yang berperan sebagai anak
maupun berperan sebagai calon dan sudah berperan sebagai
setiap anggota dalam keluarga. Serta, memperkaya khazanah
pengetahuan tentang hakikat dari pendidikan keluarga.

21
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kajian Teori

1. Konsep Keluarga Harmonis


Keluarga harmonis adalah dambaan setiap insan dalam
memasuki kehidupan berkeluarga. Bagi masyarakat muslim di
Indonesia, istilah keluarga harmonis cukup populer. Karena tujuan
dari berkeluarga adalah untuk mewujudkan ketenteraman atau
ketenangan dengan berlandaskan unsur sakinah, mawaddah, dan
rahmah. Sebagaimana dalam salam satu firman Allah Swt Q.S Ar-
Rum: 21 yang berbunyi:

ِ ِ ‫وِمن آَيتِِه أَ ْن خلَق لَ ُكم ِمن أَنْ ُف ِس ُكم أ َْزو‬


َ ‫اجا لتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها َو َج َع َل بَْي نَ ُك ْم َم َوَّد ًة َوَر ْحَ ًة ۚ إِ َّن ِِف ََٰذل‬
‫ك‬ ً َ ْ ْ ْ َ َ َ ْ َ
‫ََل ََي ٍت لَِق ْوٍم يَتَ َف َّك ُرو َن‬

Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia


menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir.

Dari ayat tersebut, bahwa kata sakinah memiliki arti tenang dan
tenteram. Selanjutnya sakinah dimaknai sebagai kedamaian,
ketenteraman, kekompakan, dan kehangatan. Terwujudnya
kesakinahan merupakan hasil dari berkembangnya mawaddah dan
rahmah dalam keluarga. Mawaddah dimaknai sebagai rasa saling
mencintai dan menyayangi dengan penuh rasa tanggung jawab

22
anatara suami-isteri. Rahmah bermakna rasa saling simpati yaitu
adanya saling pengertian, penghormatan dan tanggung jawab antar
satu dengan yang lainnya. 22 Pendapat M. Quraish Shihab di atas,
menunjukkan bahwa keluarga harmonis memiliki indikator untuk
setia dengan pasangan hidup, menepati janji, dapat memelihara nama
baik; saling pengertian, dan berpegang teguh pada agama.23

Dalam ketercapainya keluarga harmonis tidak serta merta datang


begitu saja melainkan harus ada usaha dan syarat untuk
mencapainya. Kalbu harus disipakan dengan kesabaran dan
ketaqwaan, karena landasan unsur sakinah, mawaddah, dan rahmah
diturunkan Allah ke dalam Kalbu. Unsur sakinah mawaddah dan
rahmah dapat diperoleh setelah melalui beberapa Fase, bermula dari
mengosongkan kalbu dari segala sifat tercela dengan cara menyadari
dosa yang telah diperbuat dan memutuskan hubungan yang kelam
dengan masa lalu, disusul dengan mujahadah atau perjuangan
melwan sifat-sifat yang tercela dan mengedapankan sifat terpuji,
mengedpanan yang baik dengan yang buruk, sambil memohon
pertolongan pada Allah dengan berdzikir mengingat-Nya. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwasanya sebagai upaya untuk
menghiasi diri dengan ketabahan dan taqwa.24

Setiap manusia Allah berikan hakikat saling berpasangan antara


laki-laki dan perempuan, maka dari itu jalan untuk bersatu adalah
dengan cara menikah untuk membangun keluarga harmonis
berlandaskan unsur sakinah, mawaddah, dan rahmah. Menurut M.
Quraish Shihab, membangun keluarga bukan hanya didorong oleh
desakan naluri seksual, tetapi jauh lebih dari semua itu yang mana

22
Majelis Tarjih dan Tardid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Putusan Tarjih
Muhammadiyah 3, (Yogyakarta, Suara Muhammadiyah, 2018), h. 359.
23
Amanah Badriatin, “Konsep Keluarga Harmonis Menurut M. Quraish Shihab”, Skripsi
IAIN Ponorogo, 2019, tidak dipublikasikan.
24
M.Quraish Shihab, Pengantin al-Qur’an: Kalung Permata Buat Anak-Anakku, (J
akarta: Lentera Hati, 2010), h. 81.

23
dorongan untuk meraih ketenangan. Ketenangan itu didambakan
oleh suami setiap saat, termasuk saat ia meninggalkan rumah dan
anak istrinya, dan dibutuhkan oleh isteri pula, lebih ketika suami
meninggalkannya keluar rumah. Ketenangan serupa dibutuhkan juga
oleh anak-anak, bukan saja saat mereka berada ditengah keluarga,
melainkan sepanjang masa. Inilah hakikat yang menjadi dasar
keluarga harmonis.25

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ciri utama didalam


keluarga harmonis adalah adanya cinta kasih yang selamanya antara
suami dan istri, memperhatikan prinsip terutama saling membantu
dan melengkapi dalam pembagian tugas antara suami dan istri dalam
urusan keluarga maupun urusan publik sesuai kesepakatan bersama.
Demikian pula di dalam keluarga terdapat peraturan-peraturan baik
yang rinci maupun global yang mengatur individu-individu maupun
keseluruhannya sebagai satu kesatuan. Islam memberikan ajaran
agar rumah menjadi tempat naungan dalam setiap anggota keluarga
menjadi surga yang dapat menciptakan kententraman, ketenangan,
dan kebahagiaan. Sehingga akan mengantisipasi pengaruh budaya
luar yang tidak baik. Inilah ciri khas keluarga harmonis dimana
suami dan istri berserikat dalam naungan keluarga untuk berkhidmat
kepada aturan dan beribadah kepada Allah SWT.

Menurut M. Quraish Shihab, suatu keluarga yang berlandaskan


unsur mawaddah adalah suatu keluarga yang memiliki kelapangan
jiwa, dan kekosongan hati untuk melakukan hal-hal yang tidak
disyariatkan oleh agama. Hal ini memperjelas bahwa dalam suatu
keluarga dibutuhkan adanya kelapangan jiwa seperti dapat menerima
segala kelebihan dan kekurangan yang ada pada pasangan masing-
masing. Kriteria lain yang mempunyai mawaddah adalah bahwa

25
M.Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Tematik Atas Berbagai Persoalan
Umat, (Jakarta: Mizan 1996), h. 254.

24
didalam keluarga tersebut terdapat kekosongan untuk melakukan
hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama, dalam artian bahwa
didalam keluarga tersebut selalu mengedepankan nilai-nilai agama
sebagai pedoman dan arahan dalam membina keluarga. Agama
dijadikan sebagi kiblat dalam menyelesaikan masalah yang
muncul.26

Sedangkan, untuk unsur rahmah adalah kondisi psikologis yang


muncul di dalam hati akibat menyaksikan ketidakberdayaan
sehingga mendorong yang bersangkutan untuk memberdayaknnya.
Karena itu dalam kehidupan keluarga, masing-masing suami dan istri
akan bersungguh-sungguh bahkan bersusah payah demi
mendatangkan kebaikan bagi pasangannya serta menolak segala hal
yang mengganggu dan mengeruhkannya. 27 Menurut shihab adanya
rahmat atau kasih sayang merupakan salah satu kriteria yang mesti
dipenuhi dalam suatu keluarga. Kasih sayang merupakan salah satu
kriteria yang mesti dipenuhi dalam suatu keluarga. Kasih sayang
yang dimaksud adalah perasaan saling mengasihi, menyayangi,
menghormati, menghargai, saling memaafkan kesalahan, saling
membantu, tidak mendzalimi, tidak berbuat kasar, tidak menyakiti
perasaan antara anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya. 28

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas dapat disimpulakan


bahwasanya kriteria keluarga harmonis menurut Muhammad
Quraish Shihab adalah keluarga yang tenang, terdapat kekosongan
untuk melakukan hal-hal yang tidak dibenarkan oleh agama. Dalam
artian bahwa di dalam keluarga selalu mengedepankan nilai-nilai
agama sebagai pedoman dan arahan dalam membina keluarga.
Agama dijadikan sebagai acuan dalam menyelesaikan masalah yang

26
Ibid., h. 276.
27
Abdul Kholik, Konsep Keluarga Sakinah Perspektif M. Quraish Shihab, Vol. 2, No. 2,
2017
28
Ibid.,

25
muncul, perasaan saling mengasihi, menyayangi, menghormati,
menghargai, saling memaafkan kesalahan, saling membantu, tidak
mendzalimi, tidak berbuat kasar, tidak menyakiti perasaan antara
anggota keluarga yang satu dengan yang lainnya.

2. Konsep Pendidikan Anak Dalam Keluarga


Anak adalah amanah dan anugerah yang Allah berikan dalam
hidup untuk setiap masing-masing keluarga. Kehadiran anak didalam
kehidupan keluarga bertujuan untuk diasuh, di besarkan, dididik agar
anak mampu mengabdi kepada sang pencipta, sehingga mampu
menjadi anak-anak yang sholeh sholehah bertaqwa berakhlakul
karimah serta sehat jasmani dan rohani. Selain itu, anak juga
merupakan bagian terpenting dari seluruh proses pertumbuhan
manusia, karena pada masa anak-anak sesungguhnya karakter dasar
seseorang dibentuk. Dengan demikian masih harus diberikan taraf
perkembangan dan diberikan bimbingan serta pembinaan dari kedua
orang tuanya.

Menurut Abdullah Nashih Ulwan, bahwa anak adalah sebagai


makhluk yang pada prinsipnya memiliki akal yang sehat yang harus
dimanfaatkan untuk mencari ilmu. Sedangkan dalam konsep
psikologi, anak yaitu mereka yang sedang berada dalam
perkembangan masa prenatal.29 Dalam Al-Qur’an disebutkan salah
satunya bahwa anak adalah buah hati keluarga dengan iringan doa
dan harapan akan menjadi pemimpin atau imam bagi oang-orang
yang bertaqwa. Sebagaimana sesuai dengan salah satu firman Allah
Q.S Al-Furqan: 74 yang berbunyi:

‫ُي إِ َم ًاما‬ ِ ِ ٍ ُ ‫ب لَنَا ِم ْن أ َْزو ِاجنَا وذُ ِرََّيتِنَا قَُّرةَ أ َْع‬ ِ َّ


َ ‫اج َعلْنَا للْ ُمتَّق‬
ْ ‫ُي َو‬ َ َ ْ ‫ين يَ ُقولُو َن َربَّنَا َه‬
َ ‫َوالذ‬

29
Siti Khotimah, “Konsep Pendidikan Anak Menurut Abdullah Nashih Ulwan”, Skripsi
UIN Raden Intan Lampung, 2020, tidak dipublikasikan.

26
Artinya: Dan orang orang yang berkata: "Ya Tuhan kami,
anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami
sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi
orang-orang yang bertakwa.

Pendidikan anak adalah salah satu cara untuk memberikan


pondasi bagi anak-anak atau mencegah dampak negatif yang tidak
diharapkan, apabila pondasi yang diberikan oleh orang tua kepada
anak-anak mereka sudah kuat maka pada masa remaja anak sudah
mempunyai bekal ilmu di dalam jiwa mereka untuk menghadapi
berbagai tantangan. Ibnu Sina mengatakan suatu kewajiban pertama
ialah mendidik anak denga sopan santun dan membiasakan dengan
perbuatan terpuji sejak mulai di sapih, sebelum kebiasaan jelek
mepengaruhinya. Jika terpaksa harus mendidik dengan hukuman
sebaiknya peringatan dan ancaman lebih dulu. Jangan menindak
anak denga kekerasan tetapi dengan kehalusan , lalu diberi motivasi
dan persuasi dan kadang-kadang dengan muka masam atau dengan
cara agar ia kembali pebuatan baik, atau kadang-kadang dipuji
didorong keberaniannya untuk berbuat baik.30

Sedangkan, Pendapat Al-Ghazali tentang mendidik anak


bahwasanya pendidikan anak dimulai sejak lahir. Disiplin pribadi
merupakan asas dari pendidikan akhlak. Hendaknya para orang tua
yang berperan sebagai pendidik untuk mengikuti kaidah
membiasakan anak dengan disiplin pada waktu makan, berpakaian
dan tidurnya. Tujuannya ialah untuk menumbuhkan jasmaniah anak
agar kuat dan mampu mananggung kesulitan hidupnya. Selain itu,
Ibnu Khaldun juga berpendapat bahwa tidak cukup para orang tua
hanya membekali anak dengan pemahaman tentang ilmu
pengetahuan saja, akan tetapi agar mereka menjadi orang yang

30
Mohammad A. Khalfan, Anakku Bahagia Anakku Sukses, (Jakarta: Pustaka Setia,
2014), h. 4.

27
berimu pengetahuan lagi menambah kemapuannya dalam belajar,
wajib memberikan metode dalam penyajian ilmu yang diberikan
kepada anak keturunannya.31

Jadi dapat disimpulkan bahwasanya perintah memelihara anak


dan setiap anggota di dalam keluarga adalah satu bentuk usaha dari
pendidikan itu sendiri. Pendidikan harus bermula dari rumah, dalam
hal ini ayah dan ibu kepada anak-anaknya. Kemudian, kedua orang
tua bertanggung jawab terhadap anak-anak dan juga pasangan
masing-masing sebagaimana masing-masing bertanggung jawab atas
kelakuannya. Ayah dan ibu itu sendiri tidak lah cukup untuk
menciptakan satu keluarga yang diliputi oleh nilai-nilai agama, akan
tetapi juga disertai dengan menciptakan hubungan keluarga yang
harmonis. Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai agama merupakan
bagian yang tak terpisahkan juga dari pendidikan anak yang
dibarengi oleh keteladanan orangtua. Dengan demikian, menurut
quraish shihab bahwa pemberian pendidikan untuk anak-anak
keturunannya meliputi pemberian pendidikan akidah, ibadah, akhlak,
al-qur’an, puasa dan haji, dan fiqih.

Menurut Ahmad Tafsir ada beberapa hal yang harus


diperhatikan dalam pendidikan anak di dalam keluarga dimana
kondisikan kehidupan di dalam keluarga menjadi kehidupan Muslim
dalam segala hal. Contohnya ialah kehidupan yang sederhana, tidak
iri kepada orang lain, dan jujur. Lakukan seluruh perintah Allah yang
wajib dan yang sunah, yakni shalat, zikir, do’a-do’a akan makan,
sesudah makan, sesudah makan, akan tidur, berpakaian, akan pergi,
masuk rumah, dan sebagainya. Usahakan agar anak mengetahui hal
tersebut dan usahakan agar juga mau untuk melakukannya, dan
menjadi suatu kebiasaan baik yang selalu dilaksanakan. Selanjutnya,
sejak kecil anak-anak sering dibawa ke masjid untuk mengikuti

31
Arifin, Perbandingan pendidikan Islam, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002), h. 233.

28
shalat, mengaji. Dengan demikian, akan mempengaruhi jiwa anak
dan kelak ketika ia tumbuh dan berkembang menjadi dewasa, ia akan
rajin untuk pergi ke masjid melaksanakan ibadah fardhu maupun
sunnah lainnya. Kemudian, adakan pepujian di rumah atau di masjid
berupa banyaknya ucapan seperti salawat, do’a-do’a, dan ayat-ayat
Al-Qur’an. Selain itu, saat liburan sekolah tiba maka masukkan anak
ke pesantren kilat. Lalu, sedini mungkin sampai terus tumbuh
berkembang semakin dewasa para anak-anak di dalam keluarga
untuk mampu terlibat pada setiap kegiatan keagamaan di kampung
halamannya masing-masing, seperti panitia Ramadhan, panitia zakat
fitrah, panitia idul fitri, panitia qurban, panitia pengajian anak-anak,
mengurus khatib, atau mengurus majelis ta’lim dan lain sebagainya.

3. Tujuan Pendidikan Keluarga


Tujuan adalah sasaran yang akan dicapai oleh seseorang atau
sekelompok orang yang melakukan sesuatu kegiatan . Selain itu,
tujuan juga dapat dikatakan sebagai segala sesuatu yang memiliki
maksud untuk mengarahkan ketercapainya tujuan yang diciptakan.32
Dengan demikian, tujuan pendidikan dalam keluarga ialah dimana
anak dan anggota keluarga dapat tumbuh dan berkembang
semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya untuk menjadi
mandiri dalam masyarakat dan dapat menjadi insan produktif bagi
dirinya sendiri dan lingkungannya.33 Selain itu, tujuan pendidikan
keluarga adalah terbentuknya manusia yang beriman, bertakwa, dan
berilmu pengetahuan sehingga menjadi insan kamil.34

32
Kemdikbud, KBBI Daring, 2016, (https://kbbi.kemdikbud.go.id/)
33
Prof. Dr. Supriyono, M.Pd., dkk., Op. Cit., h. 90-91.
34
Syaiful Bahri Djamarah, Pola asuh orang tua dan komunikasi dalam keluarga: upaya
membangun citra membentuk pribadi anak, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), h. 25. Lihat juga dalam
Muhammad Ubaidillah, “Konsep Fitrah Menurut Hadits Fitrah Dan Implikasinya Dalam
Pendidikan Keluarga Pada Akidah Anak”, Skripsi pada UIN Wali Songo Semarang, 2018, tidak
dipublikasikan.

29
Selain itu, tujuan pendidikan dalam keluarga jua termasuk salah
satu upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui
pengalaman seumur hidup. Karena, pendidikan dalam keluarga
memberikan keyakinan agama, nilai budaya yang mencakup nilai,
moral, dan aturan pergaulan serta pandangan, ketrampilan dan sikap
hidup yang mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara kepada anggota keluarga yang bersangkutan. 35

Sedangkan, secara naluriah dan instinktif, pendidikan keluarga


akan memberikan tujuan tentang keyakinan agama, nilai budaya,
nilai moral, dan ketrampilan. Keyakinan agama adalah pendidikan
tentang internalisasi nilai-nilai agama, keyakinan agama, tata cara
beribadah dan perilaku sebagai umat beragama baik secara
transenden maupun secara horizontal.36 Setiap keluarga atau orang
tua pasti menginginkan anak keturunannya memiliki keyakinan
agama yang sama dengan dirinya, bahkan kalalu bisa mampu
melebihi dalam hak iman dan ketaqwaaanya. 37 Kemudian,
pendidikan keluarga jua bertujuan untuk membekali setiap anggota
keluarganya agar dapat hidup sesuai dengan tuntutan nilai-nilai
agama, pribadi dan lingkungan sehingga mampu melaksanakan
kewajiban dan tanggung jawab dengan baik dan seimbang. 38

Nilai budaya berkaitan dengan nilai-nilai dan perilaku


berbudaya sesuai dengan konteks sosial budaya dimana yang
bersangkutan hidup, disertai dengan proyeksi seperti apa situasi
zaman ketika anak-anaknya dewasa kelak. Demikian juga nilai moral
adalah nilai-nilai yang bisa menjadikan seseorang berperilaku etis
dan estetik, sesuai dengan konteks lingkungan fisik dan sosial di

35
Siti Rahmah, “Peran Keluarga Dalam Pendidikan Akhlak”, Jurnal Ilmu dan Teknik
Dakwah, Vol. 4, No. 7, 2016, h. 14.
36
Prof. Dr. Supriyono, M.Pd., dkk., Op. Cit., h. 57-58.
37
Ibid.,
38
Delia Delitri, “Konsep Pendidikan Islam Dalam Keluarga Menurut Prof. Dr. Zakiah
Daradjat”, Skripsi UIN Raden Intan Lampung, 2018, tidak dipublikasikan.

30
mana yang bersangkutan hidup. Sedangkan pelajaran keterampilan
adalah yang terkait dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan
hidup untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikis, dan sosial.39

Jadi, dari beberapa tujuan pendidikan dalam keluarga yang telah


dipaparkan sebelumnya, dapat peneliti simpulkan bahwasanya
pendidikan dalam keluarga pada hakikatnya bertujuan menanamkan
dasar-dasar pengetahuan secara lahiriah maupun batiniah melalui
berbagai upaya agar terlahir manusia yang beriman dan bertaqwa
sehingga menghasilkan suatu kepribadian yang berakhlak karimah
dan unggul dalam berbagai bidang dengan termuatnya unsur-unsur
sakinah mawaddah dan rahmah dalam menjalankan kehidupan
keluarga. Dengan demikian pastinya semua harus sesuai dengan
ajaran syariat islam.

4. Proses Dalam Lingkungan Pendidikan Keluarga


Secara imperatif, proses pendidkan di dalam keluarga harus bisa
berjalan dengan sendirinya dalam pergaulan antar anggota keluarga
termasuk pergaulan antara orang tua dan anak yang diwarnai oleh
adanya kewibawaan orang tua dan rasa persahabatan antara orang
tua yang diwarnai dengan rasa tanggung jawab dan kasih sayang. 40
Dengan demikian, dalam keadaan tersebut di kehidupan berkeluarga
sudah sepatutnya orang tua dalam keluarga sudah benar-benar
memahami arti pernikahan untuk menjalankan kehidupan
berkeluarga secara mendalam, sehingga setiap anggota di dalam
keluarga dapat membentuk keluarganya guna mampu memahami
segala tugas, peranan, tanggung jawab dan kewajiban dalam setiap
masing-masing perannya maupun dalam setiap kerjasama antar
peran guna ketercapainya tujuan yang sudah ditetapkan.

39
Ibid., h. 56-57.
40
Muhammad Ali, dkk., Ilmu Dan Aplikasi Pendidikan; Bagian IV Pendidikan Lintas
Bidang, (Bandung: Sandiarta Sukses, 2016), h. 90-91.

31
Maka, dalam konteks pendidikan dalam keluarga bahwa orang
tua adalah pendidik utama terhadap anak-anaknya, khususnya segala
pengetahuan tentang kehidupan. Dengan kata lain, pendidikan dalam
keluarga merupakan segala usaha yang dilakukan oleh orang tua
secara naluriah melalui proses informal yang melebur dengan
kehidupan. Setiap keluarga akan memiliki ciri khasnya masing-
masing, karena input (masukan) juga berbeda-beda sehingga akan
berproses secara khusus, dan akan menghasilkan output (keluaran)
yang spesifik juga.41

Selain itu, pendidikan keluarga termasuk kedalam kategori


pendidikan informal. Pendidikan informal adalah proses pendidikan
yang cakupannya sangat luas, penting dan dominan, yang
berlangsung sepanjang hayat, di mana saja dan kapan saja, melalui
segala bentuk interaksi sehari-hari yang terjadi antara individu
dengan lingkungannya; proses tersebut bisa berlangsung tanpa
disadari oleh yang bersangkutan bahwa ia telah belajar atau telah
membelajarkan.42

Artinya, dapat disimpulkan bahwasanya melalui interaksi antara


anggota di dalam keluarga terjadi penanaman dan perubahan yang
melekat didalam diri setiap anggota keluarga menyangkut segala
perihal wawasan, pemahaman, sikap, nilai-nilai, dan/atau perilaku.
Sehubungan dengan semua itu, dalam penanaman dan perubahan
yang melekat dalam diri setiap anggota di dalam keluarga untuk
menjalankan kehidupan haruslah disadari dengan nyata maupun
tidak, bahkan disengaja ataupun kebetulan. Dengan demikian,
konsep pendidikan informal itulah yang dijadikan sebagai proses
dalam lingkungan kehidupan keluarga.

41
Prof. Dr. Supriyono, M.Pd., dkk., Op. Cit., h. 62-63.
42
Ibid., h. 100.

32
5. Ruang Lingkup Pendidikan Keluarga
Dalam ranah ruang lingkup pendidikan keluarga banyak sekali
aneka ragamnya. Namun secara umum, bahwa ruang lingkup
pendidikan keluarga biasanya harus sesuai dengan landasan dan
makna kehidupan yang sesungguhnya beserta fungsi dan tugas yang
berperan sebagai lingkungan pendidikan yang pertama.

Secara sederhana ruang lingkup dari pendidikan keluarga adalah


sebagai berikut ini:

1) Unsur dan nilai yang terliput dalam kebudayaan dimana


keluarga itu hidup.
2) Nilai dan perilaku pergaulan sosial psikologis antar insani di
dalam lingkungan keluarga dan masyarakat; di dalamnya terliput
pendidikan sopan santun, bahasa dan perangkat komunikasi
lainnya.
3) Kehidupan yang bermoral dalam tuntutan norma susila yang
berlaku dalam kehidupan kehidupan keluarga dan
masyarakatnya sehingga terbebas dari pelanggaran moral.
4) Kehidupan beragama dalam mempersiapkan diri menjadi
seorang umat yang beriman dan bertaqwa untuk berkembang
menjadi insan husnul khotimah.
5) Pembinaan kehidupan psikologis yang berkaitan dengan
perkembangan kepribadian individu yang utuh terpadu dengan
ciri adanya watak yang kuat, jujur, dan adil.
6) Pengembangan kemampuan kecakapan hidup atau life skils,
khususnya kecakapan hidup sehari-hari untuk orang yang sehat,
bersih dan disiplin secara fisik, sosial, mental, dan moral.43

B. Hasil Penelitian yang Relevan


Dalam suatu penelitian diperlukan hasil-hasil penelitian yang relevan
untuk mendukung serta memperkuat penelitian yang sedang dilakukan
43
Muhammad Ali, dkk., Op. Cit., h. 91-92.

33
ini. Berikut ini beberapa hasil penelitian yang relevan adalah sebagai
berikut :

1. Skripsi Delia Delitri (1411010276), mahasiswi Universitas


Islam Negeri Raden Intan Lampung Fakultas Taribyah dan
Keguruan Jurusan Pendidikan Agama Islam dengan judul:
“Konsep Pendidikan Islam Dalam Keluarga Menurut Prof. Dr.
Zakiah Darajat”. Skripsi ini membahas tentang pemikiran
konsep pendidikan keluarga menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat
yang mengatakan bahwa pembentukan identitas anak menurut
Islam, dimulai jauh sebelum anak diciptakan. Islam memberikan
berbagai syarat dan ketentuan pembentukan keluarga, sebagai
wadah yang akan mendidik anak sampai umur tertentu yang
disebut sebagai baligh berakal. Dengan demikian dapat
dipahami bahwa pembinaan kepribadian anak telah mulai dalam
keluarga sejak ia lahir, bahkan sejak dalam kandungan.
Kepribadian yang masih dalam permulaan pertumbuhan sangat
peka dan mendapatkan unsur pembinanya melalui pengalaman
yang dirasakan, baik melalui pendengaran, penglihatan,
perasaan, dan perlakuan yang diterimanya. 44 Persamaan
penelitian Delia Delitri dengan skripsi ini yaitu sama-sama
membahas tentang pendidikan keluarga. Perbedaannya terletak
pada analisis Delia yakni mengenai konsep pemikiran Prof. Dr.
Zakiah Darajat terhadap pendidikan keluarga, sedangkan
peneliti menganalisis pendidikan keluarga dari sudut pandangan
hadits dalam shahih bukhari pada beberapa riwayat perawi.
Selain itu, pada penelitian Delia cangkupan kajian teori berpusat
pada pendidikan terhadap anak, sedangkan pada skripsi ini
cangkupan kajian teori ialah berpusat secara menyeluruh sesuai
dengan makna pendidikan keluarga itu sendiri yakni mengenai
44
Delia Delitri, “Konsep Pendidikan Islam Dalam Keluarga Menurut Prof. Dr. Zakiah
Darajat”, Skripsi pada UIN Raden Intan Lampung, 2018, tidak dipublikasikan.

34
pendidikan di dalam keluarga terhadap anak dan pendidikan
tentang berkeluarga untuk menjalani kehidupan menjadi
keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.

2. Skripsi Durrotun Nasihah (103111110), mahasiswi UIN Wali


Songo Semarang Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Jurusan
Pendidikan Agama Islam dengan judul: “Makna Pendidikan
Keluarga Dalam Al-Qur’an Surah Al-Saffat ayat 100 sampai
102”. Skripsi ini menarik kesimpulan bahwa, makna pendidikan
keluarga yang terdapat pada Al-Qur’an surah al-Sāffāt ayat 100
sampai 102, berupa materi pendidikan keluarga yaitu pendidikan
aqidah dan akhlak, pola asuh orang tua yang bersifat demokratis,
interaksi pendidikan dengan metode dialogis. Rangkaian
pendidikan berupa interaksi pendidikan dengan metode dialogis,
maksudnya bahwa orang tua yang baik adalah ayah-ibu yang
pandai menjadi sahabat sekaligus teladan bagi anaknya sendiri.
Karena sikap bersahabat dengan anak mempunyai peranan besar
dalam mempengaruhi jiwa sang anak. Selanjutnya berupa
pemahaman terhadap kondisi anak sesuai dengan usianya, patuh
dan pasrah terhadap perintah Allah SWT, ikhlas menerima
cobaan dan kekuatan do’a yang dipanjatkannya. 45 Persamaan
penelitian Durrotun Nasihah dengan skripsi ini sama-sama
membahas tentang pendidikan keluarga. Perbedaannya pada
skripsi Durrotun Nasihah ini terletak pada pengidentifikasian
dan penjelasan pembahasan yang dikaji yakni membahas hanya
kepada makna dari pendidikan keluarga terhadap anak,
sedangkan pembahasan pada skripsi ini kajian teori berpusat
secara menyeluruh sesuai dengan makna pendidikan keluarga itu
sendiri yakni mengenai pendidikan di dalam keluarga terhadap

45
Durrotun Nasihah, “Makna Pendidikan Keluarga Dalam Al- Qur’an Surah Al-Saffat
ayat 100 sampai 102”, Skripsi pada UIN Wali Songo Semarang, 2015, tidak dipublikasikan.

35
anak dan pendidikan tentang berkeluarga untuk menjalani
kehidupan menjadi keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Selain itu, perbedaannya juga kepada perspektif dalam sajian
objek yang terkandung. Dalam penelitian Durrotun Nasihah,
sajian objek yang termuat dalam perspektif ayat-ayat yang ada
di dalam al-Qur’an, sedangkan penelitian ini kepada sajian objek
yang termuat dalam perspektif hadits-hadits shahih bukhari.

3. Skripsi Afwan Sahab (1511010206), mahasiswa UIN Raden


Intan Lampung Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Jurusan
Pendidikan Agama Islam dengan judul: “Pendidikan
Berkeluarga Dalam Islam Studi Pemikiran Syeikh Muhammad
Nawawi Al-Bantani Dalam Kitab Uqdullujain Fii Bayani
Huqquizzaujain”. Skripsi ini menarik kesimpulan bahwa, cara
berkeluarga sesuai tuntunan Islam dan banyak sekali pasangan
suami istri belum mengetahui tugas dan tanggung jawab
berkeluarga. Pendidikan dalam berkeluarga sangatlah penting
untuk menjawab problematika yang terjadi saat ini. Kitab
Uq dullujain f bay ni Huq qizzaujain Karya yang buat oleh
Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani merupakan salah satu
kitab yang bisa menuntun suami-istri dalam berkeluarga. Kitab
tersebut menerangkan secara gamblang mengenai pendidikan
berkeluarga, dan menjelaskan hak serta kewajiban suami
terhadap istri maupun hak serta kewajiban istri terhadap suami.46
Persamaan penelitian Afwan Sahab dengan skripsi ini terletak
pada kajian teori tentang pendidikan keluarga secara umum.
Perbedaannya terletak pada analisis Afwan terhadap makna
pendidikan keluarga hanya dari pendidikan tentang berkeluarga,
sedangkan peneliti menganalisis makna pendidikan keluarga
46
Afwan Sahab, “Pendidikan Berkeluarga Dalam Islam Studi Pemikiran Syeikh
Muhammad Nawawi Al-Bantani Dalam Kitab Uqdullujain Fii Bayani Huqquizzaujain”, Skripsi
pada UIN Raden Intan Lampung, 2019, tidak dipublikasikan.

36
dari makna pendidikan keluarga itu sendiri yakni mengenai
pendidikan di dalam keluarga terhadap anak dan pendidikan
tentang berkeluarga untuk menjalani kehidupan menjadi
keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Selain itu, perbedaan
penelitian terletak pada objek yang diteliti. Afwan meneliti
pendidikan keluarga menurut Muhammad Nawawi al-Bantani,
sedangkan peneliti objek kajiannya yang di teliti tentang
pendidikan keluarga dalam perspektif hadits yang termuat dalam
hadit-hadits shahih bukhari.

37
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Objek dan Waktu Penelitian


Objek dalam penelitian ini adalah kajian hadits dalam hadits shahih
bukhari tentang pendidikan keluarga. Waktu penelitian yang dilakukan
peneliti terhitung sejak 6 April 2020 – 16 November 2020.

B. Metode Penelitian
Metode berasal dari Bahasa Yunani methodos yang berarti cara
atau jalan yang ditempuh. Metode dalam upaya ilmiah menyangkut cara
kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan.47 Sedangkan metode penelitian adalah cara mengetahui
sesuatu untuk menemukan, mengembangkan atau menguji kebenaran
secara sistematik, logis dan empiris menggunakan metode ilmiah. Secara
singkat dikatakan metodologi penelitian adalah ilmu yang mempelajari
metode (cara) penelitian.48 Hasil suatu penelitian berupa karya tulis
ilmiah.49

Adapun penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian


kualitatif dengan jenis penelitian studi kepustakaan (Library Research).
Studi/riset pustaka yaitu lebih dari pada sekedar melayani fungsi-fungsi
dari memperoleh informasi penelitian, memperdalam kajian atau
mempertajam metodologi, sekaligus riset pustaka memanfaatkan sumber
perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya. 50 Tak hanya itu,
akhirnya riset pustaka tentu saja tidak hanya sekedar urusan membaca

47
Surahman, dkk., Metodologi Penelitian, (Jakarta: Kementerian Kesehatan RI, 2018), h.
2.
48
Ibid.,
49
Ibid.,
50
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2014), h. 1-2.

38
dan mencatat literatur atau buku-buku sebagaimana yang sering dipahami
banyak orang selama ini, melainkan serangkaian kegiatan yang
berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan
mencatat serta mengolah bahan penelitian.51 Penelitian ini juga
menggunakan metode deskriptif analisis yang bertujuan memberikan
gambaran dan keterangan yang secara jelas, objektif, sistematis, analitis
dan kritis mengenai pendidikan keluarga dalam perspektif hadits yang
terdapat dalam hadits shahih bukhari.52

Dengan demikian, peneliti melakukan penelitian tentang


bagaimana pendidikan di dalam keluarga terhadap anak dan bagaimana
pendidikan tentang berkeluarga dalam menjalankan kehidupan sehingga
terciptanya keluarga harmonis yang berlandaskan unsur sakinah,
mawaddah, dan rahmah serta mencetak generasi anak keturunannya
menjadi anak-anak yang sholeh-sholehah, bertaqwa, berakhlakul
karimah, lagi sehat jasmani dan rohani.

C. Fokus Penelitian
Fokus penelitian adalah mempersempit masalah, sehingga peneliti
mampu mengetahui secara mendalam apa yang menjadi fokusnya dalam
penelitian di lapangan. Penelitian tersebut diselidiki secara menyeluruh
dan secara khusus serta dalam bagian yang mendukung atau menambah
kejelasan makna dalam situasi di lapangan. Setelah mengetahui dan
memahami secara mendalam dan menyeluruh dari apa yang terjadi
dilapangan kemudian menghasilkan hipotesis atau teori baru dari yang
terjadi di lapangan.53

51
Ibid., h. 3.
52
Ahmad Zakaria, “Nilai-Nilai Pendidikan Taharah (Telaah Kitab Ihya Ulumu ad-Din
Karya al-Ghazali)”, Skripsi pada Univrsitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2017, tidak
dipublikasikan.
53
Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian Gabungan,
(Jakarta: Prenada Media Group, 2014), h. 367.

39
Berdasarkan penjelasan mengenai fokus penelitian di atas, maka
penulis memfokuskan penelitian ini adalah adapun yang di maksud
dengan pendidikan keluarga dalam perspektif hadits adalah hadits-hadits
pendidikan keluarga yang ada di dalam hadits-hadits shahih bukhari.

D. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian kualitatif terdiri atas sumber primer
dan sekunder. Sumber primer adalah sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data, dan sumber sekunder adalah
sumber yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data,
misalnya lewat orang lain dan dokumen.54 Penelitian ini merupakan
penelitian studi pustaka, maka sumber data dalam penelitian ini adalah
literatur-literatur yang terkait. Sumber data primer didapatkan dari Buku
Hadits Shahih Bukhari Terjemah, Buku Ringkasan Hadits Shahih
Bukhari, Buku Tarbiyatul Aulad, Buku Hadits Tarbawi, Buku Tafsir Al-
Qur’an Tematik, dan Buku Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas
Berbagai Persolan Umat.

Buku data sekunder di dapatkan dari berbagai buku bertema


pendidikan dan pendidikan keluarga seperti buku Tarbiyatul Aulad:
Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam karya Dr. Abdullah Nashih
Ulwan, buku Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis; VI karya Ngalimin
Purwanto, buku Ilmu dan Aplikasi Pendidikan karya Muhammad Ali,
buku Pendidikan Keluarga; Konsep dan Strategis karya Safrudin Aziz,
buku Pendidikan Keluarga Perspektif Masa Kini karya Prof. Dr.
Supriyono, dkk., buku dan sumber-sumber lain yang relevan.

E. Prosedur Penelitian
Dalam metode ini, terdapat prosedur yang harus ditempuh untuk
mencapai hasil yakni sebagai berikut:

54
Sugiyono, Metode Penelitia: Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, (Jakarta, Alfabeta,
2016), h. 225.

40
1. Menerjemahkan hadits-hadits ke dalam Bahasa Indonesia
dengan tetap mencantumkan haditsnya.
2. Mengulas isi hadits menggunakan buku-buku yang berikaitan
dengan syarh hadits shahih Bukhari.
3. Menelaah hadits dengan cara mengaitkannya dengan al-qu’an
maupun hadits lainnya yang memuat kandungan dari syarh
hadits yang menjadi pembahasan pada penelitian ini, serta
buku-buku pendidikan secara umum dan buku-buku pendidikan
keluarga secara khusus. Seluruh data yang terkumpul dianalisis
dengan tetap mempertahankan keaslian teks yang
memaknainya. Yang menjadi fokus utama dalam penelitian
skripsi ini adalah pembentukan teori dalam kajian ini, sedapat
mungkin oleh penulis akan didasarkan kepada data yang
ditemukan dari hadits-hadits tersebut.
4. Penarikan kesimpulan. Setelah data yang terkumpul di reduksi
dan selanjutnya disajikan, maka langkah yang terakhir dalam
menganalisis data penelitian ini adalah penarikan kesimpulan
atau verifikasi. Dari data yang diperoleh penulis mencoba untuk
mengambil kesimpulan untuk menjawab rumusan masalah.

41
BAB IV

PENDIDIKAN KELUARGA DALAM PERSPEKTIF HADITS

A. Pendidikan Keluarga Terhadap Anak

1. Hadits Tentang Anak Terlahir Dalam Keadaan Fitrah

a. Hadits dan Terjemah


ِ ٍ ِ َِّ ‫ول‬ َّ ‫ع ْن أَِب ُهَريَْرةَ َر ِض َي‬
ُ‫ فَأَبَ َواه‬،‫ " َما م ْن َم ْولُود إََِّّل يُولَ ُد َعلَى الْفطَْرِة‬:‫اَّلل‬ ُ ‫ قَ َال َر ُس‬:‫ قَ َال‬،ُ‫اَّللُ َعنْه‬

َّ‫ ُُث‬،َ‫ َه ْل ُُِتسو َن فِ َيها ِم ْن َج ْد َعاء‬،َ‫ أ َْو ُُيَ ِج َسانِِه َك َما تُْن تَ ُج الْبَ ِه َيمةُ ََبِ َيمةً ََجْ َعاء‬،‫صَرانِِه‬
ِ َ‫ي ه ِودانِِه أَو ي ن‬
ُ ْ َ َُ
‫ين الْ َقيِ ُم‬ ِ ِ‫اَّلل الَِِّت فَطَر النَّاس علَي هاف َّل تَب ِديل ِِللْ ِق اللَّ ِهق ذَل‬
َِّ َ‫ فِطْرة‬:‫ول‬
ُ ‫ك الد‬
َ َ َ ْ َْ َ َ َ َ ُ ‫يَ ُق‬

Artinya : Dari Abu Hurairah ra., ia berkata, Rasulullah SAW


bersabda: “setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci. Ayah dan
ibunyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi
sebagaimana binatang ternak memperanakkan seekor binatang yang
sempurna anggota tubuhnya. Apakah anda melihat anak binatang itu
ada yang cacat (putus telinganya atau anggota tubuhnya yang lain)”
(HR. Bukhari).

b. Syarah Hadits

Hadits di atas menjelaskan bahwa pada hakikatnya setiap


manusia terlahir dalam keadaan fitrah. Maksudnya adalah ketika
setiap anak yang terlahir di dunia, maka semua itu merupakan atas
izin dari Allah Swt. Anak yang telah Allah takdirkan untuk terlahir
di dunia, sedari awal tidaklah mengetahui segala hal apapun. Akan
tetapi, semenjak awal anak yang berada didalam kandungan telah
ditiupkan ruh kedalam setiap janin masing-masing, disitulah Allah
Swt telah memberikan jiwa kefitrahan pada diri masing-masing anak

42
tersebut. Sifat asal yang telah Allah berikan adalah kebaikan dan
keburukan, sebagaimana salah satu dalam firman Allah yakni Q.S
AS-Syams : 8 yang berbunyi sebagai berikut:

َ ‫فَأَ ْْلََم َها فُ ُج‬


‫ورَها َوتَ ْق َو َاها‬

Artinya: Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan)


kefasikan dan ketakwaannya.

Maksud dari ayat tersebut bahwasanya dapat disimpulkan


apabila sifat kebaikan yang telah Allah ilhamkan di dalam diri terus
dijaga dengan sebaik-baiknya, maka akan beruntung sehingga
terbentuklah kepribadian yang sholeh sholehah lagi baik
sebagaimana dapat memahami dan melaksanakan sesuai dengan
syariat ajaran agama islam. Dengan demikian, apabila Allah telah
anugerahkan anak di dalam keluarga, maka haruslah dijaga,
dibimbing dan dididik dengan sebaik-baiknya agar anak tersebut
mampu menjaga kefitrahan yang baik dalam dirinya. Sehingga
mampu menjadi anak yang sholeh-sholehah, berakhlakul karimah,
bertaqwa lagi sehat jasmani dan rohani. Oleh karena itu ketika anak
terus tumbuh dan berkembang, maka mampu membentuk
kepribadian yang baik dalam menghadapi kehidupannya
sebagaimana sesuai dengan syariat ajaran agama islam.

Kata fitrah itu sendiri memiliki makna secara etimologis berarti


sifat asal, kesucian, bakat, dan pembawaan.55 Sedangkan secara
terminologi fitrah adalah tabiat yang siap menerima agama Islam. 56
Selanjutnya, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pada
umumnya di artikan sebagai sifat asal, bakat, pembawaan, perasaan

55
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam , (Jakarta: Ciputat
Pres, 2002), h. 7-8
56
Ibid.,

43
agama.57 Kemudian, Fitrah menurut bahasa berarti ciptaan, sifat
pembawaan manusia (yang ada sejak lahir).58 Sedangkan fitrah
secara istilah berati suatu kekuatan atau kemampuan (potensi yang
terpendam) yang menetap dalam diri manusia sejak awal
kejadiannya, untuk komitmen terhadap nilai-nilai keimanan
kepadaNya, cenderung kepada kebenaran, dan potensi itu merupakan
ciptaan Allah Swt.59

Dari beberapa pengertian fitrah tersebut, dapat disimpulkan


bahwasanya fitrah adalah sesuatu hal yang dibawa oleh manusia
sejak lahir ke alam dunia yang dapat dikatakan sebagai sifat dasar
yang melekat di dalam diri setiap manusia. Oleh karena itu, fitrah
dalam diri seorang bayi yang baru lahir adalah sifat dasar atau dapat
dikatakan sifat yang melekat dalam diri masing-masing anak
tersebut. Akan tetapi, fitrah yang melekat dalam diri bayi tersebut
bukan berarti akan tetap suci dan bersih, melainkan dalam
berjalannya waktu akan mengalami perubahan sesuai dengan
keadaan dan situasi yang dihadapi dalam kehidupannya. Dengan
demikian, peran kedua orang tualah yang harus masuk ke dalam
kehidupan anak tersebut baik semenjak anak tersebut didalam
kandungan lalu lahir ke dunia sampai terus tumbuh dan berkembang
menjadi remaja, dewasa dan sampai kepada pernikahannya.

Orang tua adalah sosok pertama dan utama bagi anak bayi yang
baru lahir di kehidupan keluarga. Sosok orang tua lah sebagai dasar
dan acuan untuk anak-anak keturunannya yang berada di dalam
keluarga. Sehingga, peran orang tua haruslah memahami dengan
betul dan baik untuk setiap kewajiban dan tanggung jawabnya serta

57
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2003), dalam Abdul Majid Khon, Hadits Tarbawi: Hadits-Hadits Pendidikan, (Jakarta, Prenada
Media Group, 2012), h. 238.
58
Abdul Khobir, ”Hakikat Manusia dan Impilkasi dalam Proses Pendidikan Jurnal Forum
Tarbiyah, Vol. 8, No. 1, h. 12.
59
Ibid.,

44
mampu melaksanakan segala kewajiban dan tanggung jawabnya
sebagai orang tua untuk anak-anak keturunannya. Selain itu, karena
orang tua adalah suri tauladan untuk setiap anak-anak keturunanya.
Oleh karena itu, pembentukan dan pembiasaan setiap masing-masing
anak mengikuti sebagaimana kedua orang tuanya. Apabila kedua
orang tuanya mampu mendidik, menjaga, membimbing sesuai
syariat islam dengan selalu mampu menjadi contoh teladan yang
baik untuk anak-anak keturunannya, maka anak-anak yang ada di
dalam keluarga tersebut mampu menjaga kefitrahan baik yang ada di
dalam dirinya. Sehingga sifat asal kefitrahan baik yang ada dalam
dirinya mampu selalu terjaga dengan baik untuk setiap perjalanan
kehidupannya dimasa mendatang.

Akan tetapi, kefitrahan dalam diri anak akan dapat mengalami


perubahan sesuai dengan keadaan dan situasi yang dihadapi.
Sehingga apabila anak bayi yang baru lahir tersebut berada pada
lingkungan keluarga yang berada ditengah masyarakat yang kurang
baik dan mendukung, maka dengan sejalannya waktu ketika anak
terus tumbuh dan berkembang menjadikan kefitrahan baik dalam diri
anak dapat berubah dan tujuan dari pendidikan terhadap anak dengan
mencetak anak generasi menjadi anak yang sholeh-sholehah
bertaqwa, berakhlakul karimah lagi sehat jasmani dan rohani akan
sulit tercapai dengan baik. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwasanya apabila anak yang menjadi naungan keluarga tersebut
berada pada lingkungan yang baik, maka anak akan tumbuh dalam
kebaikan iman yang tulus, budi pekerti yang utama, mencintai
keutamaan dan kebaikan. Sedangkan, apabila anak tersebut berada
pada lingkungan yang tidak baik, sehingga menyebabkan kesesatan
dan kerusakan untuk diri anak itu sendiri.60

60
Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad: Pedoman Pendidikan Anak dalam
Islam, (Semarang, CV Asy-Syifa’, 1993), h. 49.

45
Dengan demikian, pada masa anak yang baru lahir ke dunia
maka peran orang tua yang harus masuk dalam pemberian
pendidikan terbaik untuk anak-anak tersebut. Anak bayi yang lahir di
dunia dalam kehidupan keluarga merupakan manusia sempurna yang
telah Allah ciptakan sehingga orang tuanya harus mampu
memberikan kewajiban dan tanggung jawabnya yang baik lagi benar
untuk setiap perkembangan anaknya. Setiap perkembangan yang
dilalui anak-anak yang berada dalam keluarga tersebut, maka perang
orang tua untuk memberikan kewajiban dan tanggung jawabnya
dengan baik dan sesuai syariat islam dalam memberikan pendidikan
untuk segala aspek yang berada pada anak-anak tersebut baik dari
segi aspek jasmani, keimanan, ibadah dan intelektualnya.

Dari segi aspek jasmani, peran kedua orag tua terhadap anak-
anak yang berada dalam keluarga bahwa pada sebenarnya
pendidikan jasmani sudah dilaksanakan sebelum anak-anak keturuan
tersebut lahir ke dunia, yakni melalui kesehatan yang
berkesinambungan dengan ibu dan janin yang ada di dalam
kandungan. Selain itu, para ibu dengan bantuan para bapak yang
mencari nafkah mampu memberikan makanan yang baik lagi halal
dan asupan bergizi yang sempurna selama masa ibu dalam masa
mengandung. Semua akan berpengaruh terhadap kesehatan janin
yang berada dalam kandungan. Sehingga, ketika anak tersebut lahir
ke dunia, tanggung jawab dan kewajiban orang tua terhadap
kesehatan jasmani anak-anak yang ada di dalam keluarga tersebut
akan tetap terjaga dan terus menjadi perhatian yang serius untuk para
orang tuanya.

Cara yang harus diperhatikan oleh para ibu dalam menjaga


kesehatan jasmani pada anak bayi yang baru lahir di keluarganya
adalah dengan memberikan peluang yang cukup untuk memberikan
air susu ibu (ASI). Karena dengan asi akan memberikan dampak

46
positif terhadap terpenuhinya kebutuhan jiwa akan kasih sayang dan
rasa aman. Anak bayi yang baru lahir belum memiliki kesadaran dan
daya intelektual, ia hanya mampu menerima rangsangan yang
bersifat biologis dan psikologis melalui air susu ibunya. Dengan
demikian, seorang bayi harus menyusu dari seorang ibu yang baik
dan memberikannya makanan yang halal, karena anggota badan bayi
akan terbentuk dari air susu ibunya. Jika makanan itu dihasilkan dari
barang yang halal, maka akan terbentuklah akhlak yang baik pada
diri sang bayi, begitupun sebaliknya. Dengan demikian, para bapak
untuk selalu semangat dan terus berupaya untuk mencari nafkah
dengan cara yang baik lagi halal guna keberkahan akan terlimpah
untuk orang-orang terkasihnya di dalam keluarga.

Selain pemberian asi yang baik, juga dalam menjaga kebersihan


pakaian, tubuh dan tempat tinggal. Dengan demikian akan
melindungi sang bayi yang berada dalam keluarga dari serangan
dingin, panas, terjatuh, kebakaran, tenggelam, serta bahan-bahan
lainnya yang membahayakan sang bayi tersebut. Kemudian, dalam
memberikan pendidikan jasmani juga terealisasikan dalam peluang
untuk istirahat yang diperlukan untuk kesehatan dan tidur yang
cukup bagi sang bayi. . Pada siang hari bayi ditidurkan di luar kamar
dengan udara yang lebih segar, kecuali bila hujan, banyak angin atau
hawa terlalu dingin. Sinar matahari pagi sangat baik untuk bayi,
dengan demikian para orang tua jangan lupa untuk selalu menjemur
sang bayi dibawah sinar matahari yang diselimuti dengan bahan
pelindung seperti kain, jangan langsung terkena sinar matahari.
Lakukan semua kebiasaan menjemur dengan baik akan tetapi jangan
lupa biasakanlah dengan perlahan-lahan.

Kemudian, ketika sang bayi tersebut terus tumbuh dan


berkembang, maka jangan lupa untuk selalu sediakan makanan yang
cukup lagi sehat serta mengandung unsur-unsur makanan pokok dan

47
kalori yang sesuai dengan tingkat umur anak-anak yang berada
dalam naungan di dalam keluarga tersebut. Memberikan suntikan
untuk melawan penyakit-penyakit menular seperti polio, difteria,
campak, lumpuh, batuk dan sebagainya. Mengadakan pemeriksaan
dokter terhadap berbagai alat-alat tubuh. Memberikan peluang untuk
pergerakan badan dan mengajarkan serta mendidik akan dengan
berbagai kegiatan serta permainan yang berfaedah guna dapat
menolong pertumbuhan dan penguatan otot-otot, dan berbagai
anggota tubuhnya. Memberikan pengetahuan tentang konsep-konsep
kesehatan dan tidak boleh lupa, untuk para orang tua dalam
memberikan contoh yang baik dalam kebersihan. Dengan semua
usaha kewajiban dan tanggung jawab yang diberikan oleh kedua
orang tua, niscaya anak-anak yang menjadi naungan di dalam
keluarga tersebut mampu menjadi anak-anak yang sehat wal’afiat
dalam jasmani dan kekuatan fisiknya.

Selanjutnya dalam segi keimanan, yang dimulai sejak anak lahir


bahkan sejak anak tersebut belum lahir masih berada dalam
kandungan. Dikarenkan, apabila terabaikan maka akan sulitlah bagi
anak menghadapi perubahan cepat yang ada dalam dirinya, yang
tidak jarang membawa kegoncangan emosi. Dari luar si anak akan
menghadapi pengaruh yang dibawa oleh alat-alat komunikasi, baik
media elektronik maupun media cetak dan hubungan langsung yang
dibawa oleh tamu-tamu diluar dirinya yang mempunyai kebudayaan
dan cara hidup yang tidak sejalan dengan budaya dalam keluarga
bahkan mungkin bertentangan dengan ajaran agama islam. Dengan
demikian peran orang tua harus mampu mengetahui lagi
melaksanakan segala kewajiban dan tanggung jawabnya kepada
anak-anak yang menjadi naungan di dalam keluarga tersebut
termasuk dalam pemberian keimanan untuk anak-anak
keturunannya.

48
Dalam pemberian pendidikan keimanan, para orang tua harus
memperkenalkan kepada anak-anaknya terhadap nilai-nilai yang
terkandung di dalam rukun iman (baik iman kepada Allah swr,
kepada malaikat, kitab Allah, rasul, hari akhir, dan takdir Allah).
Pengenalan tersebut dapat diungkapkan pada waktu dan situasi yang
sesuai, sebagaimana sesuai dengan perkembangan anak-anak
keturunannya. Pada sang bayi baru lahir, pemberian pendidikan
keimanan dapat terealisasikan identik dengan suara dari kedua orang
tuanya yang mana para bapak mengadzani anak bayi yang baru lahir
di telingan sang bayi tersebut. Dengan pemberian adzan tersebut
guna pengenalam keimanan pertama sang bayi kepada illahi rabb
yakni Allah Swt. Dengan pemberian adzan kepada sang bayi,
disitulah pemberian pengenalan dalam kalimat keimanan kepada
Allah Swt. Selain itu, dengan dikumandangkannya adzan di telingan
sang bayi, akan memberikan pendidikan keimanan berupa
pengenalan kalimat-kalimat tauhid lagi kalimat khair (baik).
Sehingga kalimat-kalimat adzan tersebut dapat terserap dengan baik
ke dalam diri serta sanubari sang bayi, sehingga ketika sang bayi
terus tumbuh dan berkembang seiring berjalannya waktu sehingga
dapat dikatakan menjadi anak dalam balutan perkembangan menuju
remaja, dewasa sampai kepada pernikahan, maka akan terealisasikan
menjadi anak yang kepribadian sholeh-sholehah lagi bertaqwa dan
berakhalakul karimah dalam menghadapi kehidupannya dimasa yang
akan mendatang.

Selain itu, juga dimulai terealisasi dengan pengenalan


bagaimana tata cara beroda yang baik nan khusyuk kepada Allah
Swt, kemudian terealisas dengan pemberian tata cara membaca Al-
Qur’an yang baik lagi tartil. Selanjunya, dengan pemberian bacaan
tentang cerita-cerita atau kisah sejarah orang-orang penting pada
waktu mereka kecil dulu, misalnya sejarah Nabi dan sahabat Rasul

49
yang mendorong anak-anak untuk menirunya. Cara tersebut dapat
diberikan sesuai dengan perkembangan umur setiap anak-anak
keturunannya. Dapat disayangkan banyaknya para orang tua dalam
mendidik anak-anaknya mengikuti sebagaimana orang tua dulu
mendidik dirinya. Padahal, suasana, lingkungan hidup, dan kemajuan
ilmu pengetahuan terus berkembang dan berubah demikian, sehingga
media massa, baik yang bersifat elektronik maupun media cetak, dan
pengaruh hubungan langsung dengan budaya asing tidak dapat
dielakkan dan ikut mencampuri pendidikan anak-anak. Dengan
demikian, penggalaan pendidikan keimanan untuk anak-anak yang
menjadi naungan di dalam keluarga tersebut harus selalu disenga dan
dipersipakan dengan sebaik mungkin dan tak luput harus selalu
sesuai dengan ajaran agama islam.61

Dalam pemberian pendidikan keimanan, bahwa para orang tua


tidak boleh berhenti hanya sampai kepada pemberian informasi saja,
melainkan harus juga diupayakan sampai anak-anak tersebut mampu
melaksanakan apa yang diketahuinya sebagaimana sesuai dengan segala
perintah Allah swt. Hal ini sesuai dengan tiga tujuan pembelajaran yakni
mengetahui (knowing), mampu melaksanakan atau mengerjakan yang ia
ketahui itu (doing), yang akhirnya menjad satu dengan kepribadiannya
(being). Dalam pemberian pendidikan keimanan harus selalu
membutuhkan evaluasi secara terus-menerus agar anak-anak yang menajdi
naungan di dalam keluarga tersebut tidak lupa ataupun lalai dalam
menjalankan berbagai ibadah yang merupakan konsekuensi keimanannya
kepada Allah Swt. Evaluasi yang tepat untuk anak-anak dapat berupa
menguji hapalan, menguji pemahaman dan melakukan praktek ibadah.
Karena pada hakikatnya, keimanan merupakan pondasi utama dalam
tertanam dalam jiwa guna membentuk perilaku mulia di kemudian
hari. Sehingga, Pondasi keimanan anak pada fase perkembangan
dapat dibentuk melalui interaksi orang tua dengan sang bayi yang

61
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islami (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2008), cet.
ke-3, hlm. 229.

50
tersu tumbuh dan berkembng menjadi anak remaja, dewasa sampai
kepada pernikahan.

Dengan demikian, dapat terealisasikan melalui penanaman nilai-


nilai mulia (akhlakul karimah) secara berkesinambungan. anak yang
dibina dengan nilai-nilai agama jiwanya akan tenteram. Mereka
cenderung mengalami kondisi mental yang stabil ketika menghadapi
persoalan kehidupan yang berat. Generasi yang kuat dan tangguh
akan dapat mudah menyesuaikan diri dengan lingkungannya karena
kepribadian dalam dirinya telah terbentuk oleh norma yang dibangun
dari pondasi keimanan. Namun sebaliknya, apabila anak
keturunannya berada pada kondisi keluarga yang tidak harmonis,
secara bertahap kepribadian yang suci yang telah diletakkan Allah
SWT pada jiwa remaja dan fitrahnya akan hilang. Akhirnya perasaan
kasih sayang tidak dapat berkembang dan bahkan akan hilang sama
sekali. Jika kasih sayang telah hilang dalam jiwa, maka anak –anak
keturunnanya akan tumbuh menjadi generasi yang tidak baik suatu
hari nanti. Sehingga sangat pentingnya pembinaan jiwa agama pada
anak yang harus disadari oleh para orang tua sebagai bagian dari
perwujudan kewajiban dan tanggung jawab dalam memberikan
pendidikan bagi anak-anaknya.

Dalam konteks ini pembentukan kepribadian anak


membutuhkan adanya kerjasama antara kedua orang tua baik bapak
maupun ibu terhadap anak-anak keturnannya. Pendidikan keimanan
yang diberikan dalam keluarga dapat menjadi perisai bagi anak
dalam melanjutkan pendidikan berikutnya di lingkungan yang
berbeda. Pembentukan keluarga yang berimanan merupakan tujuan
utama dalam membentuk keluarga yang memiliki cinta kasih sayang
dan ketentraman untuk setiap anggota di dalam keluarga. Dengan
demikian akan membentuk kepribadian yang lemah lembut,
kesopanan akhlak dan kehormatan perilaku. Berangkat dari konsep

51
dasar pendidikan dalam keluarga, para orang tua pada dasarnya
harus mampu bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan
kepada anggota keluarganya guna mencapai tujuan keluarga islami
lagi harmonis berlandasrkan unsur sakinah, mawaddah dan rahmah.
Sehubungan dengan hal itu, untuk mampu mencapai peran maksimal
kepada aturan-aturan yang mengikat antara orang tua dengan
anggota keluarganya termasuk yang utama adalah terhadap anak-
anak keturunannnya yang ada di dalam keluarga tersebut.

Kemudian dari segi pendidikan ibadah, bahwasanya pendidikan


ibadah mencakup selaga tindakan dalam kehidupan sehari-hari, baik
yang berhubungan dengan Allah swt (habl min Allah), maupun yang
berhubungan dengan sesama manusia (habl min al-Nas). Hubungan
dengan Allah swt yang paling besar sesudah tauhid keimanan kepada
ilahi rabb yang mana adalah mendirikan shalat. Pelaksanaan ibadah
harus dibiasakan semenjak anak dalam naungan keluarga tersebut
masih kecil. Setiap anak dalam keluarga harus memiliki sikap
disiplin guna sebagai apek yang penting untuk kekuatan serta
kepatuhan dalam aturan-aturan syariat islam termasuk didalamnya
dalam hal ibadah. Karena, Islam mengajarkan kepada setiap umatnya
agar hidup harus disiplin dengan bekerja keras, bersungguh-sungguh,
jujur, hidup teratur, dan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya agar
memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Dengan sisiplin
juga merupakan pangkal dari keberhasilan.

Oleh karena itu, kewajiban dan tanggung jawab orang tua dalam
memberikan pendidikan tentang shalat harus sesuai dengan
bimbingan, arahan serta ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan
pelaksanaan shalat. Selain ibadah shalat yang dilakukan masinh-
maisng di rumah, cara pembinaan yang baik lain terkhususnya bagi
anak laki-laki dalam keluarga adalah dengan mengajak anaknya
untuk melaksanakan shalat berjamaah. Tidak lupa jua, para orang tua

52
harus mampu mengajarkan pertama kali yaitu tata cara ibadah shalat.
Setelah anak mulai dikenalkan adanya kewajiban dalam
melaksanakan salat, maka para orang tua selaku pendidik di dalam
keluarga mulai mengajarkan praktik dari shalat itu sendiri. Anak
mulai dikenalkan syarat sahnya shalat, rukunnya dan larangan-
larangannya termasuk bagaimana didalamnya perihal shalat
berjamaah yang dilaksanakan pada umumnya di masjid. Karena
dengan ibdaha shalat adalah sarana untuk mengikat hubungan batin
antara seorang hamba dengan Sang Pencipta yakni Allah Swt, dan
juga sebagai penguat benteng pertahanan dari godaan setan yang
tengah berupaya menanamkan sifat-sifat pembakangannya terhadap
perintah Allah. Serta, shalat juga merupakan bentuk syiar Islam yang
diajarkan Rasulullah Saw kepada setiap umatNya. Dengan demikian,
apabila anak yang baru lahir terus tumbuh dan berkembang
bertambah usia, maka haruslah ditanamkan pengenalan dan
pelaksanaan ibadah shalat baik shalat fardhu maupun shalat-shalat
sunnah lainnya.

Selain melaksanakan ibadah shalat, pemberian pendidikan


ibadah oleh para orang tua kepada anak-anak keturunannya adalah
dengan membimbing, memberitahukan, mendidik anak-anak
keturunannya untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang baik
(amar ma’ruf) dan menjauhi segala perbuatan-perbuatan yang buruk
(nahi munkar) serta harus mampu berlaku sabar saat menghadapi
segala ujian, cobaan dan musibah yang menimpa diri setiap anak
terutama bersabar dari perbuatan-perbuatan orang lain yang tidak
merasa senang dengan ajakan kebaikan. Semua terealisasi tidak
hanya dengan berbagai pengetahuan saja, akan tetapi juga kepada
hal-hal yang mampu bersifat membangkitkan. Dengan demikian,
mampu teralisasi dalam pelaksanaan bagi setiap masing-masing anak
yang ada di dalam keluarga dengan baik sesuai dengan ajaran syariat

53
agama islam. Membangkitkan tekad untuk menegakkan hal-hal yang
ma’ruf serta mencegah segala hal-hal yang munkar terhadap seluruh
anak-anaknya agar mampu dipahami, dihayati, dan dikerjakan
dengan baik oleh para anak keturunannya dalam kehidupan sehari-
hari.

Terakhir dari segi intelektual, bahwasanya intelegensi bukanlah


variasi yang berdiri sendiri dalam diri masing-masing individu. Akan
tetapi, mengalami pertumbuhan dan perkembangannya dari berbagai
faktor. Faktor pertama dan utama adalah dari faktor keluarga yakni
kedua orang tuanya. Pemberian pendidikan intelektual untuk anak-
anak yang menjadi naungan di dalam keluarga terbagi sesuai
perkembangan anak-anak keturunannya. Pada masa prenatal, adalah
masa dimana anak tersebut masih dalam kandungan. Pada masa
tersebut, peran orang tua terutama ibu sangatlah penting dalam
memperhatikan pengaturan makanan, menjaga kesehatan dan
ketenangan batin. Sehingga bayi yang ada didalam kadungan
bersama dengan ibunya akan mengalami kolerasi hubungan antar
sesama. Dengan demikian, pengaruh pendidikan berkolerasi positif
terhadap tingkat intelegensi remaja pasca kelahiran

Cara-cara yang dilakukan para orang tua terutama ibu terhadap


penanaman serta peningkatan intelegensi anak-anak keturunannya
yang masih dalam kandungan adalah dengan memperdengarkan
disekitar perut ibunya dengan lantunan ayat-ayat al-Qur’an dari
surah permulaan hingga surah akhir dalam interval waktu tertentu.
Maka, setelah bayi itu dilahirkan ia memiliki kapasitas intelegensi
yang baik. Daya tangkapnya terhadap al-Qur’an sangat mudah dan
cepat dikarenakan telah memiliki pemetaan dalam memory semacan
kognitif terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang telah di perdengarkannya
saat masih dalam kandungan ibunya. Kemudian, pada masa post-
natal, masa dimana setelah dilahirkan dalam kandungan maka sangat

54
pentingnya peran orang tua dalam membantu perkembangan taraf
intelegensinya dengan menanamkan jiwa kasih sayang, menjaga
kesehatan remaja, dan membina kreativitas remaja baiknkreativitas
bermain, berbicara, dan kreativitas berpikir. Perkembangan
intelegensi yang cepat akan berlangsung pada anak yang berusia dua
tahun pertama dan kedua. Oleh karena itu, untuk membina
intelegensi anak-anak keturunan tersebut, para orang tua harus
mampu menyediakan lingkungan yang kreatif dengan memperkecil
adanya peluang negative dikarenakan pengaruh lingkungan pada
masa ini adalah sangat dominan untuk diri anak-anak tersebut.

Selanjutnya pada masa pasca post-natal, dimana anak-anak terus


tumbuh dan berkembang dalam usia lima tahun keatas. Pada masa
ini, pengaruh lingkungan keluarga cukup besar. Oleh karen itu, jika
semakin tinggi kualitas yang dimiliki para orang tua, maka
cenderung semakin tinggi juga IQ anak-anak tersebut. Apabila di
dalam rumah memiliki jumlah buku, majalah, dan materi belajar
tercukupi bahkan melebihi batasan yang baik, lalu jumlah pengakuan
yang diterima anak keturunannya dari kedua orang tua atas prestasi
akademiknya, maka semua akan membantu menjaga dan
mengembangan kecerdasan intelektual yang dimiiki oleh masing-
masing individu pada anak-anak keturunannya yang menjadi
tanggungan di dalam keluarga tersebut.

2. Hadits Tentang Santun

a. Hadits dan Terjemah

, ‫ فَ َرَّد َد َها ِمَر ًار‬: ‫ أ َْو ِص ِ ِْن قَ َال‬: ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم‬
َّ ‫صلَّىى‬ ِ ِ‫َن َر ُجالً قَ َال للِن‬
َ ‫َّب‬ َّ ‫َيب ُهَريَْرةَ َر ِضي للاُ َعنْهُ أ‬
َ ِ ‫َع ْن أ‬
‫ب‬ْ‫ض‬ َ ‫ َّلَ تَ ْغ‬: ‫قَ َال‬

55
Artinya :َ Abu Hurairah meriwayatkan bahwa seseorang berkata
kepada Rasulullah saw., “Berilah aku wasiat”. Rasulullah saw
bersabda, “Janganlah kamu marah”. Dan orang itu mengulangi
permintaannya beberapa kali, dan Rasulullah saw senantiasa bersabda,
“Janganlah kamu marah”. (H.R Al-Bukhari).

b. Syarah Hadits
Dari hadits tersebut, dapat disimpukan bahwasanya Islam
dengan kaidah-kaidah yang yuriprudental universal dengan prinsip-
prinsip edukatif yang kekal, telah meletakkan pokok dan metode
dalam mengembangkan personalitas anak. Perkembangan ini
meliputi akidah, moral, fisikal, mental, spiritual, dan sosial. 62 Oleh
karena itu, jika para orang tua yang berperan jua sebagai pendidik
didalam lingkup keluarga menggunakan prinsip-prinsip yang jelas
sesuai syariat islam dalam membentuk generasi anak selanjutnya,
maka anak generasi dalam tanggungan keluarga tersebut menjadi
anak yang tidak seperti sebelumnya, melainkan akan mencapai
kekuatan akidah, keluhuran akhlak, kekuatan jasmani dan
kematangan akal.63 Dengan demikian, hakikat tujuan dari pendidikan
keluarga terhadap anak untuk mencetak generasi selanjutnya menjadi
anak-anak yang sholeh sholehah, bertaqwa lagi berakhlakul karimah
serta sehat jasmani dan rohani akan dapat tercapai.

Sifat-sifat asasi yang harus dimiliki oleh orang tua yang


berperan jua sebagai pendidik diantaranya adalah sifat ikhlas, sifat
takwa, sifat berberilmu, sifat santun, dan sifat memiliki rasa
tanggung jawab.64 Maka, para orang tua yang ikut serta berperan
sebagai pendidik didalam lingkup keluarga harus memiliki sifat-sifat
asasi tersebut guna membantu untuk meninggalkan segala

62
Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad: Pedoman Pendidikan Anak dalam
Islam, (Semarang, CV Asy-Syifa’, 1993), h. 176.
63
Ibid.,
64
Ibid., h. 159-163.

56
kecenderungan yang negatif dan akan berganti serta menanggapi
dengan segala kecenderungan-kecenderungan yang postif. Karena
dari sifat-sifat pokok tersebut dapat menolong para orang tua yang
ikut serta berperan sebagai pendidik untuk keberhasilan dalam
menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya kepada setiap anak,
serta membantu untuk membentuk dan memperbaikinya. Salah satu
sifat asasi yang sangat penting dimiliki oleh orang tua adalah santun.

Para orang tua yang memiliki sifat santun, akan berdampak baik
kepada anaknya dengan selalu memberikan setiap tanggapan melalui
perbuatan dan perkataan yang baik lagi indah. Seperti contoh, jika
anak melakukan kesalahan janganlah langsung diberi hukuman,
melainkan coba realisasikan sikap santun. Dalam artian, santun
dalam mengambil keputusan terhadap permasalahan tersebut seperti
memberikan tanggapan dan arahan yang baik dan sesuai dalam
bentuk perkataan maupun perbuatan bahwa hal yang dilakukan salah
dan jangan dilakukan kembali. Oleh karena itu, santun merupakan
salah satu kaidah yang harus dimiliki oleh setiap manusia terkhusus
bagi yang mengemban amanah sebagai orang tua dengan secara
otomatis ikut serta berperan sebagai pendidik untuk anak-anaknya.

Dengan demikian, apabila sifat santun telah tertanam dalam diri,


maka akan mampu dilaksanakan dan mampu memberikan ajakan
positif guna menghasilkan contoh dan kebiasaan dalam bentuk sikap
yang baik disegala aktivitas kepada anak yang menjadi tanggungan
keluarga, sehingga anak tersebut secara otomatis akan selalu terhiasi
dengan akhlak-akhlak terpuji dalam setiap aktvitas yang
dilakukannya. Tak hanya itu, anak juga mampu menjauhi segala
perangai-perangai tercela yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Dengan begitu, hakikat tujuan dari makna pendidikan keluarga
terhadap anak akan mudah terlaksana dengan baik.

57
Pada hakikatnya, santun memiliki makna yang berarti halus dan
baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sabar dan tenang; sopan;
penuh rasa belas kasihan; suka menolong. 65 Kemudian, kesantunan
(politeness), kesopansantunan atau etiket dapat disebut sebagai
tatacara, adat, atau kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. 66
Dengan demikian santun merupakan aturan perilaku yang ditetapkan
dan disepakati bersama oleh suatu masyarakat tertentu sehingga
sikap santun sekaligus menjadi prasyarat yang disepakati oleh
perilaku sosial.67 Dalam ajaran agama islam, memberikan perhatian
yang besar kepada sifat santun ini dikarenakan kesantunan
merupakan keutamaan spiritual dan moral yang paling besar dengan
mengakibatkan manusia dalam puncak keluhuran akhlak.68
Sebagaimana sesuai dalam salah satu firman Allah yakni al-Qur’an
Surah Asy-Syura: 43, yang berbunyi sebagai berikut :

‫ك لَ ِم ْن َع ْزِم ْٱْل ُُموِر‬ ِ


َ ‫صبَ َر َو َغ َفَر إِ َّن َٰذَل‬
َ ‫َولَ َمن‬

Artinya :َ Tetapi orang yang bersabar dan memaafkan,


sesungguhnya (perbuatan) yang demikian itu termasuk hal-hal yang
diutamakan.(Q.S Asy-Syura: 43).69

Dari ayat tersebut dapat disimpukan bahwasanya setiap manusia


yang membuat keburukan untuk diri orang lain, maka orang yang
mendapatkan efek tidak baik tersebut janganlah membalas kembali
dengan keburukan. Akan tetapi, dengan sungguh-sungguh selalu
tertancam dalam diri sifat santun baik santun dalam perilaku maupun
santun dalam perkataan/berbicara untuk menyelesaikan setiap

65
Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam Elvita Yeni, dkk., “Pola Pengajaran Kesantunan
Berbahasa Anak Di Lingkungan Keluarga”, Jurnal Tarbiyah, Vol. 25, No. 1, 2018, h. 44.
66
Siti Mislikhah, “Kesantunan Bahasa”, Jurnal Ar-Rani Ar-Raniry: International Journal
of Islamic Studies, Vol. 1, No.2, 2014, h. 287.
67
Ibid.,
68
Abdullah Nashih Ulwan, Op., Cit, h. 184.
69
Kemenag, Al-Qur’an Kemenag RI, 2020, (https://quran.kemenag.go.id/).

58
permasalahan. Apabila hal tersebut berhasil terlaksana dengan baik,
maka akan dengan sendirinya muncul sikap sabar dan memaafkan.

Oleh karena itu, dengan sabar dan memaafkan justru membuat


hati menjadi lebih tenang dan ikhlas. Dengan sabar dan memaafkan
juga akan melatih diri setiap manusia untuk mendapatkan ridho dan
keberkahan dari Allah swt. Dengan demikian, niscaya allah akan
mencurahkan rahmat kepada setiap hambanya dengan terealisasi
melalui meningkatnya keimanan dalam diri setiap manusia menurut
pandangan dan disisi Allah swt. Karena pada sesungguhnya bahwa
penilaian yang indah lagi benar dan haqiqi adalah penilaian menurut
Allah swt.

Dengan penilain menurut Allah yang terealisasi untuk selalu


berusaha meningkatkan iman, islam dan ikhsan, maka Allah akan
memudahkan jalan untuk segala sesuatu yang akan dilaksanakan.
Tidak hanya itu, bahwa Allah juga berjanji kepada kita semua yakni
umat islam bahwasanya apabila kita benar-benar melaksanakan
semua perintahnya dan menjauhi larangannya dengan cara terus
berusaha dan beristiqomah untuk meningkatkan iman, islam dan
ikhsan dalam diri, apabila berhasil maka niscaya akan mendapatkan
keindahan hidup untuk kekal abadi dan sangat diimpikan untuk
setiap manusia yakni surga baginya. Dengan demikian, diakhir hidup
kelak pastinya akan mendapatkan keadaan meninggal dengan
keadaan yang sangat baik, indah dan selalu diimpikan bagi setiap
muslim yakni dengan jalan husnul khotimah.

Selain itu, apabila setiap manusia yang membuat keburukan untuk


diri orang lain, haruslah tertanam sifat santun baik santun dalam
perilaku maupun santun dalam perkataan/berbicara untuk
menyelesaikan setiap permasalahan. Dengan begitu memunculkan
bersikap sabar dan memaafkan bahkan kepada bersikap untuk tidak

59
membalas keburukan yang dilakukan orang lain tersebut dengan
keburukan kembali, melainkan membalasnya dengan segala
keindahan dan kebaikan. Walaupun demikian secara nyatanya akan
sulit terlaksana, akan tetapi apabila terus berusaha dengan selalu
tertanam dalam diri sikap sabar serta tak luput selalu berdoa, maka
Allah akan mempermudah dan membantu untuk selalu istiqomah
dalam menyikapi dan menghadapi berbagai jalan serta permasalahan
dalam menjalani kehidupan.

Santun secara umum dapat dibagi tiga, yaitu santun berpakaian,


santun berbuat, dan santun berbahasa.70 Santun berpakaian
(berbusana, berdandan) adalah kemampuan seseorang untuk
berpakaian sesuai tempat dan cara dimana dia berada. Ada dua hal
yang perlu diperhatikan.71 Pertama, berpakaianlah yang sopan
ditempat umum dan kedua, berpakaianlah yang rapi dan sesuai
dengan keadaan. Selanjutnya, santun perbuatan adalah tata cara
bertindak atau gerak-gerik ketika menghadapi sesuatu atau dalam
situasi tertentu, misalnya ketika menerima tamu, bertamu ke rumah
orang, duduk di ruang kelas, menghadapi orang yang kita hormati,
berjalan di tempat umum, menunggu giliran (antre), makan bersama
di tempat umum, dan sebagainya.72

Terakhir santun berbahasa, santun berbahasa/berbicara akan


tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata
cara berbahasa.73 Ketika berkomunikasi, kita tunduk pada norma-
norma budaya, tidak hanya sekedar menyampaikan ide yang kita
pikirkan. Tata cara berbahasa harus sesuai dengan unsur-unsur
budaya yang ada dalam masyarakat tempat hidup dan dipergunannya
suatu bahasa dalam berkomunikasi. Apabila tata cara berbahasa
70
Elvita Yeni, dkk., “Pola Pengajaran Kesantunan Berbahasa Anak Di Lingkungan
Keluarga”, Jurnal Tarbiyah, Vol. 25, No. 1, 2018, h. 44.
71
Ibid.,
72
Ibid.,
73
Ibid.,

60
seseorang tidak sesuai dengan norma-norma budaya, maka ia akan
mendapatkan nilai negatif, misalnya dituduh sebagai orang yang
sombong, angkuh, tak acuh, egois, tidak beradat, bahkan tidak
berbudaya.74

Itulah mengapa pentingnya, peran orang tua harus harus


berperan aktif dalam membimbing, mendidik, membina,
mengajarkan, dan membantu anak keturunannya untuk selalu
berpakaian, berbuat, dan berbicara/berkata sesuai dengan syariat
islam. Pada masa anak tersebut masih dalam kandungan ibunya, sifat
santun dalam bahasa ini harus selalu dilaksanakan dengan baik oleh
orang tuanya khususnya kepada ibu yang mengandung anaknya di
dalam perut. Dari bahasa-bahasa dengan kalimat-kalimat khair lagi
indah yang dilontarkan dan dibicarakan ibunya dengan selalu diusap
perutnya dengan penuh kelembutan dan ketenangan, maka anak yang
ada didalam kandungan tersebut akan merasakan keindahan tersebut.
Sehingga ketika anak bayi tersebut lahir ke dunia sampai dalam
perkembangan menuju remaja, dewasan sampai kepada pernikahan,
ia berusaha belajar dan merekam segala aktivitas berbicara dari
lingkungan tempat ia tinggal termasuk yang bersumber dari kedua
orang tuanya. Oleh karena itu, apabila ingin membentuk anak-anak
keturunannya menjadi anak yang berkalam baik lagi bertutut kata
yang baik dan indah, maka perlunya peran orang tua untuk
membimbing, mengajarkan, mendidiknya agar kelak apabila anak
tersebut berada dalam lingkungan luar kelyarga, mampu tetap
menjaga kalam berbicaranya dengan baik, sopan lagi sesuai dengan
syariat ajaran agama islam.

Selain sifat santun dalam bahasa, diperlukan jua sifat santun


dalam berbuat. Pada sifat santun dalam berbuat ini, apabila anak
tersebut semakin hari terus tumbuh dan berkembang, sehingga

74
Ibid.,

61
semakin hari segala panca indera yang dimilikinya akan berfungsi
dengan baik sebagaimana fungsinya masing-masing. Dengan
demikian, peran orang tua harus mampu memberikan contoh yang
sangat baik dalam segala aktivitas dan perbuatan yang dilakukan
terhadap anak-anak keturnannya, baik di depan anak-anaknya
maupun diluar hadapan anak-anaknya. Ketika anak tersu tumbuh dan
berkembang maka semakin waktu panca indera akan berfungsi,
dengan itulah anak pastinya akan melihat, mencontohkan, menirukan
bagaimana perbuatan dan aktivitas yang dilakukan oleh kedua orang
tuanya. Dengan demikian, sudah menjadi kewajiban dan tanggung
jawab kedua orang tua dalam segala aktivitas dan perbuatan harus
dilakukan dengan baik dan sesuai dengan syariat ajaran agama islam.
Sehinga mampu mencetak anak keturunannya menjadi anak yang
sholeh-sholehah berakhlakul karimah lagi bertaqwa dengan mampu
melaksanakan segala perintah Allah Swt dan menjauhi segala
laranganNya.

Selanjutnya, ketika anak yang berada dalam kandungan tersebut


semakin hari terus tumhuh dan berkembang sehingga menjadikan
anak tersebut dalam perkembangan remaja, dewasa sampai pada
taraf menuju pernikahan. Dari perkembangan itulah, peran orang tua
juga harus serius dalam pemberian pendidikan santun dalam
berpakaian untuk anak keturunannya. Penggunaan pakaian serta
busana yang digunakan oleh setiap kedua orang tua di dalam
keluarga, hauslah berpacu kepada pedoman syariat ajaran agama
islam. Penggunaan pakaian maupun busana menurut syariat ajaran
agama islam bahwasanya apabila menggunakan pakaian maupun
busana haruslah dalam keadaan layak pakai lagi bersih dan pastinya
harus menutup aurat baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan.
Dengan demikian, orang tua harus mengajarkan tentang pemahaman
menggunakan pakaian dan busana yang sesuai dengan syariat islam

62
kepada para anak keturunanya. Tidak hanya memberikan
pemahaman tentang hal tersebut saja, melainkan juga kepada
pelaksanaannya.

Dengan maksud, agar para orang tua menjadi sosok contoh


pertama yang baik dalam perihal berbusana. Sehingga anak-anak
mereka dapat melihat, merekam, melaksanakan, dan mengikuti
berbusana yang baik lagi bersih dan pastinya sesuai dengan syariat
agama islam. Apabila anak-anak keturunannya mampu menjaga dan
menutup auranya secara baik dengan balutan pakaian dan busana
yang baik, maka semua akan menjadi dampak yang baik jua untuk
kedua orang tuanya dimana anak tersebut mampu menjaga kedua
orang tuanya tidak hanya di dunia, melainkan saat berada di akhirat.
Semua itu merupakan penggalan dan pembiasaan yang harus
dilakukan oleh setiap orang tua kepada anak-anak keturunannya
karena tugas orang tua selain sebagai pendidik, pemberi bimbingan,
pemberi pendidikan, juga sebagai suri tauladan yang mana contoh
terbaik untuk anak-anak keturnannya agar tujuan dari pendidikan
terhadap anak dapat mudah tecapai dengan baik dan sesuai harapan
masing-masing orang tua yang berpacu sesuai syariat islam.

Selanjutnya, dalam ranah pemberian penegasan sampai kepada


penghukuman untuk anak-anak yang menjadi naungan dalam
keluarga, harus digaris bawahi dan diambil benang merahnya
bahwasanya pemberian pendidikan berupa penegasan dan bahkan
kepada pemberian hukuman yakni pada hakikatnya dilarang untuk
menggunakan metode tersebut. Dengan catatan, dikecualikan dalam
keadaan yang sangat darurat. Akan tetapi, sebaiknya tidak segera
menggunakan bentuk pukulan dikarenakan masih banyak cara dan
metode pemberian pendidikan untuk anak seperti mengeluarkan
ancaman untuk penegasan, berupa peringatan, dan meminta tolong
kepada orang-orang yang disegani untuk mendekat. Dengan jalan

63
seperti itu, niscaya akan memudahkan para anak keturunan dalam
naungan keluarga untuk merubah dirinya.

Jadi dapat disimpulkan bahwasanya terkait pemberian


pendidikan berupa hukuman oleh orang tua yang berperan sebagai
pendidik hendaknya bijaksana dalam menggunakan cara hukuman
yang sesuai, tidak bertentangan dengan tingkat kecerdasan anak,
pendidikan dan pembawaannya. Maka, pemberian pendidikan
berupa hukuman adalah cara yang paling terakhir. Dengan maksud
bahwa dalam pemberian pendidikan kepada anak terdapat berbagai
cara untuk memperbaiki dan mendidik anak-anak yang berada dalam
naungan keluarga. Dengan demikian, kewajiban para orang tua harus
menggunakan semua cara terlebih dahulu sehingga tiada
menghasilkan hal yang tidak baik, melainkan mampu menciptakan
kelurusan dalam kebengkokan anak, meningkatkan derajat moral dan
sosialnya serta membentuk manusia secara utuh. Sebagaimana sesuai
yang diajarkan oleh Rasulullah saw.

Oleh karena itu, para orang tua dapat membawa anak dalam
naungan tersebut sampai tujuan yang diharapkan untuk menjadi
manusia Mu’min dan bertaqwa. Oleh karena itu diantara cara atau
metode pemberian pendidikan yakni dengan menunjukkan kesalahan
melalui pengarahan, menunjukkan kesalahan melalui
keramahtamahan, menunjukkan kesalahan dengan memberikan
isyarat, menunjukkan kesalahan dengan kecaman, menunjukkan
kesalahan dengan memukul, dan menunjukkan kesalahan dengan
memberikan hukuman yang menjerakan.75

Cara atau metode pemberian pendidikan diatas yakni diurutkan


dari tingkatan yang kecil sampai kepada yang besar. Kemudian,
perihal pemberian pendidikan melalui metode menunjukkan

75
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam: Pedoman Pendidikan Anak dalam
Islam, (Semarang: CV Asy-Syifa, 1993), h. 159-163.

64
kesalahan dengan memukul dapat di garis bawahi bahwasanya
memiliki persayaratan untuk sampai melakukan kepada tahap
tersebut. Diantara persyaratan memberikan hukuman pukulan adalah
sebagai berikut ini:

a) Tidak terburu-buru untuk menggunakan metode pukulan,


kecuali setelah memberikan dan menggunakan semua metode
lembut dan mendidik lainnya dalam tingkatan yang wajar.
b) Tidak memukul, ketika dalam keadaan sangat marah,
dkarenakan menimbulkan bahaya terhadap anak.
sebagaimana sesuai dengan wasiat rasulullah melalui hadits
kedua ini.
c) Ketiak semua usaha dengan pemberian metode atau cara
yang lembut dan baik tidak berpengaruh, maka hendaknya
jiaklau ingin menggunakan cara atau metode memukul
harusah menghindari anggota badan yan peka, seperti kepala,
muka, dada, dan perut.
d) Pukulan pertama untuk hukuman, hendaknya tidak terlalu
keras dan tidak menyakitkan, pada kedua tangan atau kaki.
e) Tidak memukul anak sebelum ia berusia sepuluh tahun.
f) Jika kesalahan anak adalah untuk pertama kalinya,
hendaknya dibei kesempatan terlebib dahulu untuk bertobat
dari perbuatan yang telah dilakukan, dan memberi
kesempatan untuk meminta maaf terlebih dahulu serta diberi
kelapangan untuk didekati dengan penengah tanpa diberikan
hukuman dengan mengambil janji untuk tidak mengulangi
kesalahannya.

65
g) Hendaknya memukul anak dengan tangannya sendiri, tidak
menyarankan kepada pihak manapun maupun benda
apapun.76

B. Pendidikan Tentang Berkeluarga

3. Hadits Tentang Memilih Calon Pasangan Untuk Berkeluarga

a. Hadits dan Terjemah

َ‫صلَّى للاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم قَ َال تُْن َك ُح الْ َم ْرأَةُ ِْلَ ْربَ ٍع لِ َماْلِا‬ ِ
َ ‫َيب ُهَريَْرَة َرض َي للاُ َعْنهُ َع ْن النَّ ِب‬ِ ‫َع ْن أَبِ ِيه َع ْن أ‬
ِ ِ ِ ِِ ِ ِ
ْ َ‫َولَ َسبِ َها َوَجَاَْلاَ َولديْن َها فَاظَْف ْر بِ َذات الدي ِن تَ ِرب‬
‫ت يَ َد َاك‬

Artinya :َ Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah saw bersabda:


"Wanita dinikahi karena empat hal: karena harta-bendanya, karena
status sosialnya, karena keindahan wajahnya, dank arena ketaatannya
kepada agama. Pilihlah wanita yang taat kepada agama, maka kamu
akan berbahagia.(H.R Bukhari).

b. Syarah Hadits
Pada hakikatnya, setiap manusia Allah ciptakan di muka bumi
ini dengan berpasang-pasangan agar merasa tentram. Sebagaimana
salah satu ayat didalam Al-Qur’an yakni Q.S Ar-Rum ayat 21 yang
berbunyi :

ِ ِ ‫وِمن آَيتِِه أَ ْن خلَق لَ ُكم ِمن أَنْ ُف ِس ُكم أ َْزو‬


َ ‫اجا لتَ ْس ُكنُوا إِلَْي َها َو َج َع َل بَْي نَ ُك ْم َم َوَّد ًة َوَر ْحَ ًة ۚ إِ َّن ِِف ََٰذل‬
‫ك‬ ً َ ْ ْ ْ َ َ َ ْ َ
‫ََل ََي ٍت لَِق ْوٍم يَتَ َف َّك ُرو َن‬

Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia


menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya
diantaramu rasa kasih(mawadah) dan sayang(rahmah).

76
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fil Islam: Pedoman Pendidikan Anak dalam
Islam, (Semarang: CV Asy-Syifa, 1993), h. 166-168.

66
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-
tanda bagi kaum yang berfikir.77

Dapat disimpulkan dari ayat tersebut bahwasanya manusia


diciptakan Allah berpasang-pasangan agar dapat saling menyayangi,
saling menerima dan memberi antara satu dengan yang lainnya untuk
memperoleh ketentraman jiwa dalam rangka menunjang
penghambaan kepada Allah SWT.78 Pernikahan adalah suatu ikatan
lahir dan batin antara laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama
dalam suatu bahtera rumah tangga yang mana akan mendapatkan
keturunan menurut syariat islam.79

Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa ketika dua insan telah
memutuskan menikah untuk membangun keluarga, sudah pastilah
berlandaskan unsur kasih (mawadah), rasa sayang (rahmah) baik
suami terhadap isteri, ataupun isteri terhadap suami dan bahkan
ketika telah mendapatkan keturunan menurut syariat islam maka
para anak-anak kepada orang tuanya dalam satuan rumah tangga
tersebut. Sebelum terlaksananya ikatan sebuah pernikahan tersebut,
didalam islam memberikan pendidikan dengan gambaran untuk
memilih calon pasangan yang tepat sesuai syariat islam. Pendidikan
untuk memilih pasangan sebelum akad pernikahan didalam islam
tidak hanya saat ingin memilih calon suami, akan tetapi jua saat
ingin memilih calon isteri sebagaimana pada hadits diatas yang telah
diterangkan sebelumnya.

77
Kementerian Agama Republik Indonesia, al-Qur’an Kemenag, 2019,
(https://quran.kemenag.go.id/).
78
A.M Ismatullah, “Konsep Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah Dalam Al-Qur’an:
Prespektif Penafsiran Kitab Al-Qur’an Dan Tafsirnya”, Jurnal Pemikiran Hiukum Islam, Vol.
XIV, No. 1, 2015, h. 2.
79
Siti Salmi, “Nilai Edukasi Kasih sayang Dalam Kehidupan Rumah Tangga Rasulullah
Saw”, Skripsi pada UIN Ar-Raniry Darussalam Banda Aceh, 2016, h. 1, tidak dipublikasikan.

67
Pada hadits tersebut dapat disimpulkan bahwasanya ketika
seorang laki-laki ingin menikahi seorang perempuan, maka tugas
laki-laki adalah mencari kriteria perempuan sesuai syariat islam yang
sebagaimana termuat dalam hadits diatas. Kriteria perempuan yang
ingin dinikahkan harus memenuhi 4 kriteria yakni dari segi hartanya,
keturunannya, kecantikannya, dan segi agamanya. Akan tetapi, dari
4 kriteria tersebut yang paling utama adalah dari segi agamanya agar
merasa beruntung. Dikatakan beruntung, apabila seseorang memilih
wanita karena agamanya, maka hidup berkeluarga akan tentram.
Dengan maksud, ketika memang seorang wanita dapat memahami
ajaran agama islam beserta aturan yang ada didalamnya, maka tujuan
untuk kehidupan berkeluarga akan mudah tercapai. Dengan
demikian, apabila terjadi sebuah permasalahan didalam keluarga
akan mampu diselesaikan secara lembut, baik dan kekeluargaan
sesuai dengan syariat islam. Maka dari itu pentingnya wanita harus
memperdalam ilmu agama dan tak luput juga bahwa agama menjadi
landasan berkehidupan untuk dirinya agar kelak ketika sudah
menikah tujuan untuk menjalankan kehidupan berkeluarga menjadi
keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah atas berpedoman
kepada al-Qur’an dan hadits terlaksana dengan akan baik dan tetap
terjaga.

Menurut sosiologis sendiri, terdapat banyak kesatuan sosiologis


yang dibuat dan dijalani oleh manusia dalam kelompok-kelompok
keterikatan sosial seperti kesatuan atas unsur-unsur kesamaan darah,
daerah, bahasa, bangsa, hobi, ideologi, agama, dan lainnya. Dari
kesatuan-kesatuan yang ada itu yang paling tinggi adalah kesatuan
yang terbentuk atas unsur kesamaan keyakinan agama.80 Setiap
individu secara bersama-sama meyakini satu keyakinan pada yang
absolut, yaitu Allah yang Maha Agung. Dengan kesadaran terhadap

80
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik, (Jakarta, Kamil
Pustaka, 2014), Jilid. 2, h. 8.

68
yang absolut itulah menjadi perekat yang kuat terhadap persatuan
dan keterikatan bersama atas dasar keimanan antara laki-laki dan
perempuan untuk membina keluarga baru.81

Oleh karena itu, dalam landasan keimanan dan ketaqwaan


kepada Allah Swt yang terbentuk gambaran didalam diri masing-
masing agar ketika memulai untuk membangun kehidupan
berkeluarga menjadi keluarga harmonis yang berlandaskan sakinah,
mawaddah, dah rahmah sehingga memudahkan untuk berkomunikasi
dan mereduksi berbagai potensi konflik keluarga, maka betapa
pentingnya sebelum memutuskan untuk menikah, terlebih dahulu
memilih kriteria pasangan yang utama adalah dari segi agama.
Sehingga wanita yang telah dipilih dan dinikahkan dapat
menjalankan segala kewajiban dan tanggung jawabnya sebagai
seorang isteri terhadap suami maupun berperan sebagai orang tua
untuk anak-anaknya yang mana berperan sebagai ibu untuk anak-
anaknya.

Dengan memilih dan mendapatkan isteri sholehah merupakan


sesuatu yang sangat didambakan oleh laki-laki, bahkan terkadang
bisa mengalahkan hal-hal lain yang jua menjadi cita-citanya. Sebab,
kehadiran isteri sholehah dapat bekerjasama membangun keluarga
sakinah, mawaddah, dan rahma. Tidak hanya itu, kehadirannya akan
menjadi faktor utama dalam merealisasikan cita-citanya yang lain
termasuk perihal anak. Apabila anak tersebut lahir dari seorang ibu
yang sholehah, maka anak tersebut akan ada sifat pembawaan yang
sama jua seperti kedua orang tuanya. Sehingga kemungkinan besar,
anak keturunannya tersebut mampu membentuk menjadi anak-anak
yang sholeh-sholehah.

81
Ibid.,

69
Oleh karena itu, pentingnya memilih wanita sholehah untuk
dinikahkan agar kelak menjadi isteri sholehah yang dapat menjaga,
mendidik, merawat setiap keturuanan yang telah Allah hadirkan
dikehidupan berkeluarga. Sehingga apabila anak tersebut lahir dalam
keluarga yang berkehidupan sesuai syariat, maka anak tersebut
mampu menjadi anak yang sholeh-sholehah beriman dan bertaqwaan
kepada Allah Swt dengan selalu menjalankan segala perintahNya
dan menjauhi laranganNya. Kemudian, seorang isteri sholehah
mampu mengarahkan, memotivasi, mendidik anak-anak
keturunannya untuk selalu mengarah kepada illahi rabb (Allah Swt),
baik anak tersebut semenjak dalam kandungan sampai terus tumbuh
dan berkembang menjadi dewasa yang kemudian sampai kepada
sebuah pernikahan yang secara dasar peran dan tanggung jawab ibu
dan bapak telah usai. Walaupun pada kenyataannya, ketika anak
tersebut sudah menikah akan tetapi peran orang tua untuk selalu
memotivasi, mengarahkan, dan mendidik selalu dilaksanakan guna
menjadikan disetiap kehidupan berkeluarga anak-anaknya menjadi
keluarga yang teguh akan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah
swt sehingga menjadi keluarga harmonis yang berlandaskan unsur
sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Selain itu, memilih wanita sholehah untuk dinikahkan agar kelak


menjadi isteri sholehah yang mana tidak hanya untuk berfokus
kepada keturunan yang telah Allah hadirkan dalam kehidupan
berkeluarga, melainkan agar tujuan dari keluarga harmonis dengan
berlandaskan unsur sakinah, mawaddah, dan rahmah dapat tercapai.
Dengan demikian, mampu melaksanakan segala kewajiban dan
tanggung jawabnya secara baik dan benar dalam peran baik sebagai
ibu maupun sebagai isteri dari suami yang telah menikahkannya.
Sehingga, wanita sholehah yang sudah menikah dan memiliki
keluarga, mampu mengatur waktu dengan sebaik-baiknya untuk

70
berbagai peran yang dimiliki dalam keluarganya, yakni peran
sebagai isteri dan peran sebagai ibu. Karena, pada haikatnya seorang
wanita yang apabila telah menikah, maka harus mampu multitalent.
Maksudnya adalah ia harus mampu dan bisa dalam segala hal dan
berbagai kondisi untuk menjalani kehidupan berkeluarga yang telah
dibangunnya, baik kepada sang suami maupun kepada anak-anak
yang menjadi naungan di dalam keluarga.

Disamping itu, kehadiran isteri solehah jua menjadikan laki-laki


senantiasa merasakan tentram hatinya dan terhormat. Oleh karena itu
pentingnya memilih wanita sholehah agar kelak mampu ikut
berusaha dan berkerjasama dalam peran multitalent (peran isteri &
peran ibu), guna ketercapainya kewajiban dan tanggung jawab
menurut syariat islam. Dengan demikian, makna dari pendidikan
keluarga secara umum dan pendidikan tentang berkeluarga harmonis
dapat tercapai dengan baik dan sesuai syariat islam. Dalam
membangun kehidupan keluarga yang harmonis atas dasar sakinah,
mawaddah, dan rahmah dengan berpedoman kepada al-Qur’an dan
hadits, tidak hanya peran isteri sholehah yang penting tetapi jua
peran suami sholeh sangat dibutuhkan dan didambakan. Oleh karena
itu, betapa penting jua memilih kriteria suami yang sholeh sebelum
menikah membangun keluarga. Sebagaimana dalam salah satu hadits
yang berbunyi :

‫اد‬ ِ ‫ض ْو َن ُخلَُقهُ َوِديْنَهُ فَ َزِو ُج ْوهُ إِ ْن َل تَ ْف َعلُوا تَ ُك ْن فِْت نَةٌ فىِاَّلَ ْر‬
ٌ ‫ض َوفَ َس‬ َ ‫إِذَا َاَت ُك ْم َم ْن تَ ْر‬

ٌ ْ‫َع ِري‬
)‫ (رواه ابن ماجه والاكم عن أيب هريرة‬.‫ض‬

Artinya : Jika datang kepada kalian seseorang yang kalian


senang dengan akhlak dan agamanya, maka nikahkan anakmu
dengan orang itu, jika tidak (dengan pertimbangan demikian), maka

71
akan terjadi fitnah dimuka bumi dan kerusakan-kerusakan baru. (H.R
Ibnu Majah dan Al-Hakim dari Abu Hurairah).

Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwasanya untuk


mengingatkan agar tidak terpedaya oleh penampilan fisik-material,
maka perempuan harus menjatuhkan pilihannya kepada lelaki yang
baik agamanya. Jika tidak, akan mempercepatnya timbulnya
berbagai konflik. Oleh karena itu mengapa pentingnya memilih
calon suami yang sholeh berakhlak mulia, karena senantiasa
menunjukkan ketulusan cintanya yang diwujudkan dengan
memenuhi kewajiban lahir dan batin dengan sebaik-baiknya. Sebab,
hakikatnya seorang perempuan yang telah dinikahkan olehnya
adalah sebuah amanah Allah yang harus dijaga dan dibimbing
dengan penuh kelembutan, cinta dan kasing sayang.

Dapat dikatakan jikalau cinta didasarkan pada hal-hal yang


bersifat lahiriyah, cinta itu pun dapat hilang pada saat sifat-sifat
tersebut hilang. Karena itu, Islam menunjukkan bahwa memilih
calon suami harus didasarkan pada budi pekerti atau akhlak sang
calon. Dengan akhlak yang mulia, dapat tumbuh saling mengerti
secara sehat, melaksanakan kewajiban dan haknya masing-masing,
mengerti kewajiban terhadap masyarakat, terhadap Allah, dan
sebagainya. Suami yang terpuji dalam pandangan Islam ialah yang
memiliki sifat kemanusiaan yang utama, sifat kejantanan yang
sempurna, ia memandang kehidupan dengan benar, melangkah pada
jalan lurus sesuai syariat Islam. Itulah sebabnya, Bagi para pemudi
hendaknya memperhatikan yang utama karena di sisi suaminyalah
kebahagiaan istri dan keamanannya. Dengan ini, Islam juga
memberikan barometer yang lurus untuk membenarkan kehidupan
dan menyelamatkan kehidupan dari keterlebihan ukuran nafsu,
kekayaan, kekuasaan, dan mementingkan kecantikan/ketampanan.

72
Maka, Islam sangat menganjurkan agar seorang wanita memilih
suami yang berakhlak baik, sholeh, serta taat dalam menjalankan
agama. Itulah yang menjadikan seorang laki-laki terlihat istimewa.
Karena laki-laki yang bertakwa dan sholeh mampu mengetahui
hukum-hukum Allah.82 Dengan demikian pada akhirnya ia akan
dapat menjalankan segala kewajibannya dengan sempurna dalam
membangun kehidupan berkeluarga baik kehidupan keluarga
terhadap anaknya maupun kehidupan berkeluarga untuk
ketercapainya tujuan sakinah mawaddah, dan rahmah bersama
dengan isterinya. Dalam hal ini, dapat ditemukan bahwa pemberian
pendidikan keimanan untuk setiap anggota di dalam keluarga,
pemberian pendidikan ibadah untuk anak dan jua untuk suami isteri
tersebut. Selain itu pemberian pendidikan fisik, dan dilanjuti dengan
pemberian pendidikan intelektual untuk pasangan suami dan isteri
dalam keluarga disertai juga untuk anak keturunanya.

Selain itu, yang terpenting dari calon suami dan calon isteri
memiliki peran penting untuk memberikan pendidikan keluarga
kelak apabila telah melangsungkan pernikahan dan membangun
keluarga. Dengan cara, memberikan pendidikan pembiasaan agar
suami isteri tersebut selalu saling istiqomah untuk menjalankan
segala perintanya dan menjauhi larangannya dalam lingkup
kehidupan berkeluarga. Dilanjuti dengan pemberian keteladanan,
pemberian motivasi, pemberian tanggung jawab dalam pendidikan
iman, tanggung jawab dalam pendidikan ibadah, tanggung jawab
dalam pendidikan ibadah dan akhlak serta sosail untuk masing-
masing anggota di dalam keluarga. Dengan begitu, unsur sakinah,
mawaddah, dan rahmah sesuai pedoman al-qur’an dan hadits tetap
terlandaskan dan tercapai dengan baik dalam kehidupan berkeluarga.

82
Muhammad Utsman al-Khasyat , Muslimah Ideal Dimata Pria, (Jakarta : Pustaka
Hidayah , 2010) , h. 35.

73
4. Hadits Tentang Kewajiban dan Tanggung Jawab Setiap Anggota
Keluarga

a. Hadits dan Terjemah

‫ول َع ْن َر ِعيَّتِ ِه‬


ٌ ُ‫اَّللُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم أَنَّهُ قَ َال « أََّلَ ُكل ُك ْم َر ٍاع َوُكل ُك ْم َم ْسئ‬ َّ ‫صلَّى‬َ ‫َّب‬ِ ِ‫َع ِن ابْ ِن عُ َمَر َع ِن الن‬
‫ول َعنْ ُه ْم‬ ٌ ُ‫الر ُج ُل َر ٍاع َعلَى أ َْه ِل بَْيتِ ِه َو ُه َو َم ْسئ‬
َّ ‫ول َع ْن َر ِعيَّتِ ِه َو‬
ٌ ُ‫اس َر ٍاع َو ُه َو َم ْسئ‬ ِ َّ‫فَاْل َِمريُ الَّ ِذى َعلَى الن‬

ُ‫ول َعنْه‬ ٌ ُ‫ت بَ ْعلِ َها َوَولَ ِد ِه َوِه َى َم ْسئُولَةٌ َعْن ُه ْم َوالْ َعْب ُد َر ٍاع َعلَى َم ِال َسيِ ِد ِه َو ُه َو َم ْسئ‬ ِ ‫اعيةٌ علَى ب ي‬ ِ
َْ َ َ ‫َوالْ َم ْرأَةُ َر‬
‫ول َع ْن َر ِعيَّتِ ِه‬ٌ ُ‫أََّلَ فَ ُكل ُك ْم َر ٍاع َوُكل ُك ْم َم ْسئ‬

Artinya: "Abdullah bin Umar RA berkata bahwa Rasulullah


SAW telah bersabda, “Ketahuilah: kalian semua adalah pemimpin
(pemelihara) dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya. Pemimpin
akan dimintai pertanggung jawabannya tentang rakyat yang
dipimpinnya. Suami adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan
dimintai pertanggung jawabannya tentang keluarga yang
dipimpinnya. Isteri adalah pemelihara rumah suami dan anak-
anaknya. Budak adalah pemelihara harta tuannya dan ia bertanggung
jawab mengenai hal itu. Maka camkanlah bahwa kalian semua
adalah pemimpin dan akan dituntut (diminta pertanggung jawaban)
tentang hal yang dipimpinnya.(H.R Bukhari).

b. Syarah Hadits
Dari hadits tersebut dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya
setiap manusia memiliki pertanggung jawaban kelak dihadapan
Allah swt. Dibalik pertanggung jawaban tersebut, terdapat peran
sebagai pemimpin, baik kepala pemerintah pemimpin terhadap
rakyatnya, suami pemimpin bagi keluarganya, isteri pemelihara
rumah untuk suami dan anak-anaknya, serta budak pemelihara harta
tuannya. Oleh karena itu, setiap pemimpin dituntut untuk senantiasa
bertanggung jawab atas segala hal yang dipimpinnya.

74
Dalam konteks pembahasan perihal kehidupan tentang
berkeluarga, dimana suami pemimpin untuk keluarganya dan isteri
pemelihara rumah untuk suami dan anak-anaknya guna
ketercapainya tujuan kehidupan berkeluarga yang harmonis atas
dasar sakinah, mawaddah, dan rahmah. Oleh karena itu, salah satu
cara agar keharmonisan tetap terbangun dan terjaga selalu dengan
adanya kewajiban dan tanggung jawab diantara masing-masing
anggota keluarga. Adanya kewajiban dan tanggung jawab ini, guna
masing-masing anggota didalam keluarga sadar akan perihal tersebut
kepada satu sama lain, sehingga dengan pelaksanaannya setiap
anggota keluarga akan terpenuhi. Kewajiban dan tanggung jawab
yang selalu diterapkan dengan baik dan sesuai kebutuhan setiap
masing-masing keluarga, maka sebagai salah satu sarana untuk
mewujudkan tujun kehidupan berkeluarga. Selain itu, kewajiban dan
tanggung jawab dapat terlaksana dengan baik, juga sebagai sarana
interaksi dan relasi antar anggota keluarga agar terciptanya
komunikasi dan pergaulan yang baik sehingga tertanam rasa kasih
sayang dalam keluarga.

Dalam perihal pendidikan didalam keluarga guna pendidikan


terhadap anak yakni apabila kewajiban dan tanggung jawab peran
kedua orang tua telah tertanam dan terlaksana dengan baik sesuai
syariat islam, maka kedua orang tua mampu memberikan
pemahaman ilmu sesuai syariat islam terhadap anak-anaknya yang
didukung dengan melaksanakan kewajiban dan tangguang jawab
untuk anak-anaknya yang dibarengi dengan contoh-contoh perilaku
yang baik guna ketercapainya tujuan pendidikan keluarga itu sendiri.
Selain itu, perihal pendidikan berkeluarga guna menjalankan
kehidupan keluarga yang harmonis, maka peran suami isteri mampu
melaksanakan semua kewajiban dan tanggung jawab disetiap
masing-masing individu maupun bekerjasama untuk melaksanakan

75
kewajiban dan tanggung jawab sebagai sepasang suami isteri yang
didukung dengan contoh-contoh perilaku yang baik antar suami dan
isteri dalam menjalankan kehidupan berkeluarga.

Sebagaimana dalam firman Allah surah al-Baqarah/2: 187 yang


berbunyi sebagai berikut ini :

‫اس َّْلُ َّن ۗ َعلِ َم‬ ِ


ٌ َ‫اس لَّ ُك ْم َوأَنتُ ْم لب‬
ِ ِ ِ ِ ُ َ‫ٱلرف‬
ٌ َ‫ث إ َ ََٰل ن َسآئ ُك ْم ۚ ُه َّن لب‬
ِ َ‫أ ُِح َّل لَ ُكم لَي لَة‬
َّ ‫ٱلصيَ ِام‬ ْ ْ
ِ
ُ ‫اب َعلَْي ُك ْم َو َع َفا َعن ُك ْم ۖ فَٱلََْٰ َن بََٰش ُر‬
‫وه َّن َوٱبْتَ غُوا َما‬ ُ ‫ٱَّللُ أَنَّ ُك ْم ُكنتُ ْم ََتْتَانُو َن أ‬
َ َ‫َنف َس ُك ْم فَت‬ َّ

‫َس َوِد ِم َن‬ ِ ِ ‫ط ْٱْلَب ي‬


ْ ‫ض م َن ٱ ِْلَْيط ْٱْل‬
ُ َْ ُ ْ‫ٱِلَي‬
ْ ‫ُي لَ ُك ُم‬
َ َّ َ‫ٱَّللُ لَ ُك ْم ۚ َوُكلُوا َوٱ ْشَربُوا َح َّ ََّٰت يَتَ ب‬
َّ ‫ب‬ َ َ‫َكت‬
ِِ ِ
َ ‫وه َّن َوأَنتُ ْم ََٰعك ُفو َن ِِف ٱلْ َم ََٰسجد ۗ تِْل‬
ِ ِ ِ
‫ك‬ ُ ‫ٱلْ َف ْج ِر ۖ ُُثَّ أَِتوا ٱلصيَ َام إِ ََل ٱلَّْي ِل ۚ َوََّل تُبََٰش ُر‬
ِ ‫ٱَّللُ ءَايََٰتِ ِهۦ لِلن‬
‫َّاس لَ َعلَّ ُه ْم يَتَّ ُقو َن‬ َّ ‫ُي‬ُ ِ َ‫ك يُب‬
ِ
َ ‫وها ۗ َك ََٰذل‬
َِّ ‫ح ُدود‬
َ ُ‫ٱَّلل فَ َال تَ ْقَرب‬ ُ ُ

Artinya : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa


bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu,
dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui
bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah
mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah
untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih
dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu,
sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka
janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.83

Dari ayat tersebut, dapat disimpulkan bahwa pasangan suami


dan isteri adalah seperti pakaian yang sangat penting dalam
83
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik, (Jakarta:
Kamil Pusataka, 2014), Jilid. 3, h. 36.

76
kehidupan manusia yang tidak bisa lepas dengannya, termasuk
dalam lingkup kehidupan keluarga. Pasangan suami dan isteri
merupakan sebuah pakaian yang berupa saling berkebutuhan anatar
satu dengan lainnya. Dengan itu, setiap pasangan suami dan isteri
haruslah melaksanakan kewajibannya dan bukan menuntut haknya.
Maka, laki-laki yang berperan suami itu sebagai pelindung bagi
perempuan yang berperan sebagai isteri. Begitupun, perempuan yang
berperan sebagai isteri, dimana menjaga diri ketika suaminya tidak
ada, karena Allah telah menjaganya. Oleh karena itu, melalui
kepemimpinan suami-isteri yang saling menjaga dan memelihara
disertai pembagian tugas yang komprehensif dan saling melengkapi,
atas dasar cinta dan kasih sayang, di harapkan akan terbangun
keluarga yang kokoh dan kuat, serta melahirkan keluarga harmonis
yang sejahtera serta selamat di dunia maupun di akhirat.84

Peran suami dalam kehidupan berkeluarga yakni sebagai kepala


keluarga. Kewajiban suami menjadi pelindung bagi perempuan
memiliki dua hal, pertama, hal yang bersifat natural karena
pemberian dari Allah. Ini berupa bentuk fisik dan tenaga laki-laki
pada umumnya. Kedua, hal yang bersifat sosial, karena merupakan
sesuatu yang diusahakan yang mana berupa harta benda yang
dinafkahkan bagi anggota keluarga yang lain yaitu isteri dan anak.85
Nafkah suami terhadap isteri meliputi segala keperluan hidup, baik
makanan, tempat tinggal, dan segala pelayanannya yang mana
disesuaikan dengan kemampuan suami dan adat kebiasaan
masyarakat setempat. Sebagaimana termuat salah satu surah didalam
Al-Qur’an yakni surah at-Talaq/65:7 yang berbunyi sebagai berikut
ini yakni:86

84
Ibid., h. 37.
85
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik, (Jakarta, Kamil
Pustaka, 2014), Jilid. 2, h. 63.
86
Ibid., h. 65.

77
‫ف للاُ نَ ْف ًسا اَِّلَّ ماَ اَََتاَ َسيَ ْج َع ُل‬ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ
ُ ‫ليُ ْنف ْق ذُ ْو َس َعة َوَم ْن قُد َر َعلَْيه ِرْزقُهُ فَلْيُ ْنف ْق ِمَّا اَتَهُ للاُ َليُ َكل‬
‫للاُ بَ ْع َد عُ ْس ٍر ي ْسًرا‬
Artinya: “Hendaklah suami yang mampu memberikan nafkah
menurut kemampuannya, dan suami yang disempitkan rezekinya
hendaklah memberi nafkah dari ahrta yang diberikan Allah
kepadanya. Allah tidak memberikan beban kepada seseorang
melainkan sesuai dengan apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelas akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan. (at-
Talaq/65:7).َ
Dapat disimpulkan bahwa nafkah itu merupakan kewajiban
suami terhadap anak isterinya yang mana juga menunjukkan bahwa
nafkah bukan sekedar untuk makan, dan minum, tetapi untuk
kebutuhan hidup lainnya yang bersifat sekunder maupun primer
disesuaikan dengan kemampuan ekonomi suami. Oleh karena itu,
suami memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap
keluarganya, begitupula dengan isteri yang memiliki kewajiban dan
tanggung jawabnya. Suami dan isteri dalam kehidupan berkeluarga
tidak hanya berjalan masing-masing, akan tetapi suami dan isteri jua
memiliki peran kewajiban dan tanggng jawab untuk sama-sama
mencapai tujuan mencetak generasi keturunannya yang sholeh
sholehah.
Dari semua kewajiban dan tanggung jawab suami, suami
tersebut lebih idealnya mencontohkan bagaimana kehidupan
Rasulullah yang berperan sebagai suami untuk isteri bahkan
keluarganya. Karena, pada hakikatnya Rasulullah di muka bumi ini
adalah sebagai uswatun hasanah (suri tauladan), dan rahmatan lil-
‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Artinya, sosok kesempurnaan
kemanusiaan yang perlu dicontoh dan teladan bagi seluruh dimensi
kehidupan terutama dalam bidang pendidikan secara umum dan

78
pendidikan kehidupan keluarga secara khusus. 87 Diantaranya adalah
sosok suami idaman yang mana bersikap adil, romantis, hangat dan
akrab, pengertian, senang membantu isteri, sabar dan pemaaf, bersih,
rapi, wangi, dan hidup sederhana.88
Peran isteri dalam kehidupan berkeluarga yakni sebagai sosok
yang mengandung, melahirkan, dan menyusui, yang merupakan
fungsi seimbang dari mencari nafkah pada suami.89 Maka, dapat
disimpulkan bahwasanya peran isteri dalam kepemimpinannya di
dalam keluarga mengarah kepada penguatan keluarga itu sebagai
institusi pendidikan pertama yang melahirkan generasi yang kuat,
shaleh dan shalehah, yang termasuk pada zurriyyah tayyibah
(keturunan yang baik). Tidak hanya itu, peran isteri dalam kehidupan
berkeluarga secara meyeluruh adalah meliputi pasangan bagi
suaminya secara biologis, menjadi pasangan untuk suaminya secara
psikologis, menjadi manajer dalam mengatur rumah tangga,
mengandung anak, melahirkan dan menyusui anak, merawat dan
membesarkan anak yang tidk hanya sebatas untuk kebutuhan fisik
saja, melainkan meliputi semua aspek pertumbuhan dan
perkembangan anak sehingga mampu hidup mandiri, cerdas, dan
memiliki keterampilan hidup yang memadai untuk menjalani
kehidupannya.90
Antara suami dan isteri harus diiringi dengan kewajiban dan
tanggung jawab bersama-sama untuk ketercapainya tujuan dari
kehidupan tentang berkeluarga. Dalam kewajiban dan tanggung
jawab bersama dari suami dam isteri perlu niat dan usaha dari kedua
belah pihak, sehingga tercapainya segala hal yang mengarah pada
pembentukan keharmonisan keluarga seperti saling setia, menjaga

87
Muslim Life Style Community, Ensiklopedia Nabi Muhammad Saw Sebagai Pendidik,
(Jakarta: Lentera Abadi, 2011), h. 3, 6.
88
Muhammad Syafii Antonio, dkk., Ensiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad
Saw: Menata Keluarga Harmonis. (Jakarta: Tazkia Publishing, 2010), h. 130.
89
Ibid., h. 66.
90
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Op. Cit., Jilid. 3, h. 90-97.

79
rahasia keluarga, saling membantu, saling menyayangi, dan
lainnya.91 Salah satu tujuan untuk kehidupan berkeluarga dengan
meneruskan keturuan yang sholeh-sholehah. Oleh karena itu,
kewajiban dan tanggung jawab dalam keluarga bertambah yang
mana tidak hanya suami dan isteri, melainkan jua antara orang tua
kepada anak begitupun anak-anak yang berada di dalam keluarga
kepada kedua orang tuanya.
Dalam Islam, memandang anak sebagai manusia yang memiliki
potensi yang harus dikembangkan. Oleh karena itu, anak sebagai
amanah harus dibimbing dan diarahkan agar terbentuk pribadi yang
diinginkan, sehingga tercapai tujuan pendidikan yang selaras dengan
tujuan hidup manusia.92 Anak adalah amanah dari Allah yang
dititipkan kepada orang tuanya. Istilah amanah ini mengimplikasikan
keharusan menghadapi dan memperlakukannya dengan sungguh
hati-hati, teliti, dan cermat.93 Apabila kedua orang tua berhasil
merealisasikan tanggung jawabnya sebagai orang tua, sebagai
pendidik pertama dan utama, maka anak akan tampil dalam
wajahnya yang ketiga, yaitu sebagai hiasan kehidupan di dunia dan
sampai di akhirat.94
Dengan demikian, tugas utama orang tua adalah mendidik
keturunanya, juga memperhatikan aspek fisik dan psikis anak
sehingga anak tumbuh dengan normal dalam menjalani
kehidupannya. Jika anak di dalam naungan keluarga tersebut dapat
tumbuh dan berkembang dengan normal dan sehat menjadi anak
yang sholeh-sholehah dan berakhlakul karimah serta sehat jasmani
maupun rohani, maka tandanya kedua orang tua melaksanakan
tanggung jawab yang diberikan oleh Allah dengan baik. Karena,

91
Ibid.,
92
Andi Safar Danial, “Peran Dan Tanggung Jawab Orang Tua Tentang Pendidikan Anak
Dalam Perspektif Hadits”, Skripsi pada UIN Alauddin Makasar, 2018, h. 24, tidak dipublikasikan.
93
Ibid.,
94
Ibid.,

80
mampu dan terus berusaha serta beristiqomah untuk mendidik,
membimbing, mengajarkan anak keturunannya sesuai syariat islam.
Selain itu, kedua orang tua juga bertanggung jawab atas
pendidikan dan pengasuhan anak-anaknya secara fisik, orang tua
juga bertanggung jawab atas pendidikan dan pembinaan ruhani dan
mental anak. Orang tua harus bekerja keras untuk membersihkan
jiwa anak-anaknya, mendidik akhlak, membina ibadah anak kepada
Allah swt. dan menambah iman dalam hati anak sejak dini.
Sehingga, akan mencetak anak keturunannya menjadi anak yang
sholeh sholehah berakhlakul karimah dan beriman serta bertaqwa
untuk dirinya sendiri maupun untuk kedua orang tuanya dan untuk
umat secara luas. Karena, segala sesuatu yang dihasilkan dari anak
sholeh sholehah merupakan satu hal yang sangat luar biasa indah.
Dengan menjadi anak yang sholeh sholehah mampu menjaga dirinya
serta menjaga dan menolong keluarga dan orang tuanya secara
khusus di akhirat kelak dengan selalu melangitkan doa-doa indah
kepada Allah swt. Baik untuk orang tua yang masih hidup di dunia
bersama anak keturunannya yang sholeh sholehah, maupun untuk
orang tua dari anak keturunan sholeh sholehah yang telah tiada
dipanggil oleh Allah Swt.
Dalam kehidupan berkeluarga, relasi antara kedua orang tua
dengan anak harus adanya kasih sayang antar sesama sebagai dasar
fitrah manusia. Kasih sayang orang tua bahkan diberikan kepada
anaknya sejak anak masih dalam kandungan. Sebab, kewajiban dan
tanggung jawab orang tua terhadap anaknya berkewajiban untuk
merawat, memelihara, dan mendidik anak dari mulai persiapan
kehamilan, pemeriksaan kesehatan janin, melahirkan secara aman,
merawat, memelihara, dan mengawasi perkembangannya serta
mendidiknya agar menjadikan anak yang sholeh, sholehah,
berpengetahuan luas yang tertanam rasa keimanan dan ketaqwaan
didalam diri. Maka, peran kedua orang tua secara umum untuk

81
melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab terhadap anaknya
merupakan hal yang wajib dilakukan guna mencetak anak keturunan
dan generasi penerus yang taat dan beriman.
Selanjutnya, peran anak didalam kehidupan berkeluarga jua
memiliki kewajiban dan tanggung jawab kepada kedua orang tuanya.
Sudah sepatutnya bahwa setiap anak harus berbakti dan berbuat baik
kepada kedua orang tuanya. Berbuat baik kepada kedua orang tua
dalam segala hal, baik dalam perkataan tutur kata dan bahasa
maupun dalam perbuatan. Seperti contoh setiap anak dalam
berkomunikasi dengan kedua orang tuanya harus menggunakan
suara yang lembut dan sopan, tidak berakata ah kepada kedua orang
tua, tidak membentak kedua orang tua, memberikan penghormatan
dan kasih sayang dalam suasana kerendahan hati, dan senantiasa
selalu berdoa untuk kedua oang tua agar memperoleh rahmat,
karunia, berkah, dan ridho dari Allah Swt atas jerih payahnya dalam
merawat, mendidik, membesarkan, membimbing para anak
keturunan yang menjadi naungan di dalam keluarga.
Tak kalah penting, anak juga harus mampu mewarisi nilai-nilai
islam dari kedua orang tuanya dan mampu mengembangkan segala
sisi islami dari kedua orang tuanya. Dengan demikian mampu
meneruskan perjuangan dari kedua orang tuanya untuk selalu
mensyiarkan ajaran islam di jalan kebenaran sesuai syariat islam.
Selain itu juga, harus mampu menjadi anak yang menjaga diri dari
pergaulan. Dengan maksud, mampu membatasi pandangan terhadap
lawan jenis yang bukan mahram, karena islam bertujuan membangun
masyarakat yang sehat dan bersih. Sehingga perilaku menjaga diri
dan kehormatan ini harus ditanamkan sejak kecil agar mengkristal
sebagai sikap hidup dalam diri untuk kehidupan setiap masing-
masing individu. Selanjutnya, Pewarisan yang paling dasar dari
kedua orang tua untuk anaknya adalah akidah yang benar dan kokoh.
Karena, akidah yang benar dan kokoh harus menjadi landasan dari

82
semua aktivitas manusia.95 Dengan akidah yang benar dan kokoh,
mampu menjadi penegak dalam menjalankan kehidupan sesuai
syariat islam.
Sehubungan hal tersebut dapat diketahui bahwa pemberian
pendidikan tentang berkeluarga adalah dengan pemberian
pendidikan keimanan untuk setiap anggota keluarga. Apabila iman
dalam diri sudah tertanam, maka tujuan dari kehidupan berkeluarga
akan tercapai. Sehingga menghasilkan keberkahan dan ridho dari
Allah swt dalam menjalankan kehidupan berkeluarga yang
terebentuk menjadi keluarga yang hamonis. Dilanjuti dengan
pemberian pendidikan fisik agar setiap anggota di dalam keluarga
tetap sehat jasmani dan rohani sehingga dalam melaksanakan setiap
kewajiban dan tanggung jawab akan berjalan dengan lancar dan
ikhlas atas ridha Allah swt, sehingga segala apapun yang dilakukan
untuk kehidupan berkeluarga akan terasa indah tanpa adanya
keterpaksaan dan beban. Kemudian, dengan pemberian pendidikan
intelektual, guna terciptanya setiap anggota di dalam keluarga selalu
dekat kepada Allah swt sehingga selalu menjalankan perintahNya
dengan rasa haru bahagia tanpa beban dan menjauhi laranganNya
dengan penuh semangat dan ikhlas.
Selanjutnya, dengan pemberian pendidikan pembiasaan/contoh.
Antara masing-masing individu dalam keluarga harus bekerja sama
untuk memahami, memberikan pembiasaan ataupun contoh yang
baik serta melaksanakan langsung setiap kewajiban dan tanggung
jawabnya, sehingga hakikat tujuan dari makna pendidikan tentang
berkeluarga untuk menjalankan kehidupan membentuk keluarga
harmonis yang berlandasrkan unsur sakinah, mawaddah, dan rahmah
serta mencetak generasi keturunannya menjadi anak yang sholeh-
sholehah, berakhlakul karimah, taqwa lagi sehat jasmani dan rohani.

95
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Tafsir Al-Qur’an Tematik, (Jakarta, Kamil
Pustaka, 2014), Jilid. 3, h. 99-102.

83
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Pendidikan di dalam keluarga terhadap anak mencakup kewajiban
dan tanggung jawab peran kedua orang tua terhadap anak keturunan di
dalam keluarga tersebut. Dari penelitian ini termuat dua hadits yang
mencakup perihal hal tersebut. Dengan itu, dapat di simpulkan bahwa
pendidikan keluarga terhadap anak bahkan dimulai saat anak tersebut
masih dalam kandungan sampai kepada saat di lahirkan dan terus tumbuh
serta berkembang menjadi dewasa dengan berakhirnya anak-anak
keturunan di dalam keluarga akan melaksanakan pernikahan. Walaupun
demikian, hakikat pada orang tua akan tetap memberikan pendidikan
terbaik dengan tetap mendidik, membimbing, mengarahkan, dan
menyayangi sepenuh hati kepada anak-anak keturunannya.
Selanjutnya, dalam pelaksanaan pendidikan keluarga terhadap anak,
peran orang tua jua harus mampu memberikan pendidikan terbaik dalam
segala aspek kepada anaknya. Guna, terciptanya anak yang sholeh-
sholehah berakhlakul karimah yang selalu taat dan taqwa kepada Allah
sehingga dengan haru gembira melaksanakan perintahNya serta dengan
semangat dan ikhlas menjauhi segala laranganNya. Karena, pada
dasarnya peran orang tua lah sebagai pendidik pertama dan utama yang
sangat berpengaruh untuk anak keturunannya menjalankan kehidupan
selanjutnya.
Dengan demikian, apabila para orang tua mampu memahami,
melaksnakan, dan memberikan ajakan positif kepada anak sehingga
ketercapainya tujuan dari makna pendidikan keluarga terhadap anak,
maka secara otomatis akan meminimalisirkan kesalah pahaman yang
banyak trejadi di lingkungan masyarakat. Sehingga terus berkurangnya

84
permasalahan-permasalahan yang sering terjadi dalam menjalankan
kehidupan bersama-sama. Guna memperkuat hal tersebut, sangat
dibutuhkan juga pemberian pendidikan untuk anak keturunannya.
Pemberian pendidikan dari para peran orang tua terhadap anak
keturunannya adalah mengandung beberap aspek. Dianataranya adalah
aspek pemberian pendidikan jasmani, aspek pemberian pendidikan
keimanan, aspek pemberian pendidikan ibadah, dan aspek pemberian
pendidikan intelektual.
Selanjutnya, makna dari pendidikan tentang berkeluarga bahwa
peran setiap anggota di dalam keluarga saling berhubungan antar satu
dengan lainnya. Maksudnya, bahwa pendidikan tentang berkeluarga
dapat terlaksanakan dengan baik dan sesuai apabila peran bapak, ibu, dan
anak ikut serta didalamnya. Karena keluarga berperan sebagai sektor
paling utama dan peletak dasar pendidikan untuk setiap anggota di dalam
keluarga guna mendapatkan pendidikan dan bimbingan sejak awal untuk
membentuk paradigma kehidupannya. Sehingga, bentuk aktivitas
pendidikan dalam keluarga mendukung segala proses perkembangan bagi
setiap anggotanya baik dalam hal berkomunikasi dan berinteraksi dengan
manusia lainnya, jua berupaya mengenal dirinya, dan berusaha
mengkonstruksi kehidupannya. Hal ini merupakan proses yang secara
alamiah lahir sebagai suatu kesatuan utuh dalam dimensi kehidupan
manusia.
Dengan demikian tujuan dari pendidikan tentang berkeluarga yakni
mampu menjalankan kehidupan untuk membentuk keluarga yang
harmonis dengan berlandaskan unsur sakinah, mawaddah, dan rahmah
sesuai pedoman syariat islam yang termuat dalam al-qur’an dan hadits
tercapai. Dengan peran masing-masing anggota dalam keluarga mampu
bekerja sama untuk memahami, melaksanakan, dan memberikan ajakan
positif dalam setiap kewajiban dan tanggung jawab, sehingga dalam
pandangan dan lingkungan masyarakat mampu meminimalisirkan
kesalah pamahan untuk memaknai pendidikan tentang berkeluarga. Oleh

85
karena itu, mengurangi berbagai macam permasalahan-permasalahan
jarang terjadi saat menjalankan kehidupan berkeluarga.
Sehubungan dengan hal itu, untuk memperkuat hal tersebut, sangat
dibutuhkan juga pemberian pendidikan antar sesama anggota di dalam
keluarga yakni dalam aspek pemberian pendidikan keimanan, aspek
pemberian pendidikan ibadah, akhlak dan sosial, pendidikan pembiasaan,
pendidikan keteladanan, contoh, dan pembiasaan, pemberian pendidikan
motivasi, pemberian pendidikan intelektual, dan pemberian pendidikan
fisik.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah dipaparkan di atas, terdapat
beberapa saran dari penulis sebagai berikut :

1. Bagi Orang Tua


Menyadari bahwa pentingnya peran orang tua sebagai salah satu
pendidik untuk keluarganya. Peran orang tua di dalam keluarga
mempunyai kewajiban dan tanggung jawab yang tidak boleh
dilupakan dan bahkan harus dijalankan dengan baik sebagaimana
hakikatnya peran sebagai orang tua guna pendidikan untuk anak
keturunannya. Karena, pada dasarnya peran orang tua lah sebagai
pendidik pertama dan utama yang sangat berpengaruh untuk anak
keturunannya. Maka, sebagai orang tua harus mampu menjalankan
dan merealisasikan kewajiban dan tanggung jawab sesuai syariat dan
hadit-hadits dengan baik.
Sehubungan dengan itu, contoh suri tauladan yang harus dilihat
oleh setiap orang tua adalah baginda kita, Nabi Muhammad SAW.
Sudah sepatutnya setiap orang tua mampu mengetahui dan
melaksanakan perannya sebagai orang tua sesuai cerminan
Rasulullah dalam kehidupan berkeluarga, baik kepada para isterinya,
anak-anaknya bahkan kepada para sahabat dan ummatnya.

86
2. Bagi Suami dan Isteri
Harus menyadari bahwa pentingnya juga peran suami maupun
isteri dalam kehidpan berkeluarga. Pada setiap peran dalam keluarga
memiliki kewajiban dan tanggung jawab masing-masing. Walaupun
demikian, dalam segi lain setiap anggota di dalam keluarga harus
bekerja sama untuk membangun dan menjalankan kehidupan agar
tujuan dari pendidikan tentang berkelurga itu sendiri dapat tercapai
yakni dengan mampu menjalankan kehidupan menjadi keluarga yang
harmonis dengan berlansakan unsur sakinah, mawaddah, dan rahmah
serta mencetak genarasi anak keturunannya menjadi anak-anak yang
sholeh-sholehah, berakhlakul karimah, taat, dan taqwa kepada Allah.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Mengingat masih banyaknya pembahasan tentang kehidupan
keluarga ini yang masih condong kepada pendidikan untuk anak saja
ataupun sebaliknya. Padahal sesuai teori dan kenyataannya bahwa
pendidikan keluarga tak hanya pendidikan untuk anak jua, akan
tetapi pendidikan untuk berkeluarga dalam setiap anggota di
dalamnya agar mampu menjalankan kehidupan menjadi keluarga
harmonis. Sehingga hakikat tujuan dari pendidikan keluarga secara
dua makna tersebut dapat tercapai dan agar mampu memberi
tambahan pemahaman dan pengetahuan. Maka dari itu, perlu
dilakukan penelitian yang intensif oleh para peneliti selanjutnya.
Selain itu, para peneliti juga mampu mengumpulkan sebanyak-
banyaknya bacaan terkait judul penelitian ini guna menambah
wawasan dan memperbanyak sudut pandang.

Akhirnya, dengan mengucapkan Al-hamdu lillahi rabbil’alamin,


penelitian ini dapat terselesaikan. Semoga skripsi ini mampu membawa
manfaat sehingga menambah wawasan ilmu pengetahuan dan
perkembangan pendidikan dalam segala bidang mata kuliah terkhususnya
dalam bidang hadits tarbawi.

87
DAFTAR PUSTAKA

Agama RI, Litbang dan Diklat Kementerian. Tafsir Al-Qur’an


Tematik II. Jakarta, Kamil Pustaka. 2014.

. Tafsir Al-Qur’an Tematik III. Jakarta, Kamil


Pustaka. 2014.

Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail. Shahih Bukhari.


Beirut Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1992.
Ali, Muhammad, dkk. Ilmu Dan Aplikasi Pendidikan; Bagian IV
Pendidikan Lintas Bidang. Bandung: Sandiarta Sukses. 2016.

Al-Khasyat, Muhammad Utsman. Muslimah Ideal Dimata Pria.


Jakarta : Pustaka Hidayah. 2010.

Amanah, Badriatin. “Konsep Keluarga Harmonis Menurut M.


Quraish Shihab”, Skripsi IAIN Ponorogo. 2019. tidak
dipublikasikan.

Arifin. Perbandingan pendidikan Islam. Jakarta: PT Rineka Cipta.


2002.

Antonio, Muhammad Syafii., dkk. Ensiklopedia Leadership &


Manajemen Muhammad Saw: Menata Keluarga Harmonis.
Jakarta: Tazkia Publishing. 2010.

Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam.


Jakarta: Ciputat Pres. 2002.

Community, Muslim Life Style. Ensiklopedia Nabi Muhammad Saw


Sebagai Pendidik. Jakarta: Lentera Abadi. 2011.

88
Danial, Andi Safar. “Peran Dan Tanggung Jawab Orang Tua Tentang
Pendidikan Anak Dalam Perspektif Hadits”, Skripsi pada UIN
Alauddin Makasar, 2018, h. 24, tidak dipublikasikan.

Delitri, Delia. “Konsep Pendidikan Islam Dalam Keluarga Menurut


Prof. Dr. Zakiah Darajat”, Skripsi pada UIN Raden Intan
Lampung, 2018, tidak dipublikasikan.

Djamarah, Syaiful Bahri. Pola asuh orang tua dan komunikasi dalam
keluarga: upaya membangun citra membentuk pribadi anak.
Jakarta: Rineka Cipta. 2014.

Hamidy, Zainuddin, dkk. Terjemahan Hadits: Shahih Al-Bukhori


Jilid I, II, III & IV. Kuala Lumpur: Klang Book Centre, 2005.

Harpansyah. ”Pendidikan Anak Dalam Perspektif Abdullah Nashih


Ulwan (Telaah Atas Kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam)”, Skripsi
UIN Raden Fatah Palembang, 2017, tidak dipublikasikan.

Ismatullah, A.M. “Konsep Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah Dalam


Al- Qur’a: Prespektif Penafsiran Kitab Al-Qur’an Dan
Tafsirnya”, Jurnal Pemikiran Hiukum Islam, Vol. XIV, No. 1,
2015.

Kalimayatullah, Rifansyah, dkk. “Pendidikan Kesantunan di


Lingkungan Keluarga”, Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, Vol.
8, No. 2, 2017.

Kemdikbud. KBBI Daring. 2016. (https://kbbi.kemdikbud.go.id/)


Kemenag. Al-Qur’an Kemenag RI,. 2020.
(https://quran.kemenag.go.id/).

Kemenag. Mencegah Badai Keluarga Indonesia. 2018.


(https://kemenag.go.id).

89
Khalfan, Mohammad A. Anakku Bahagia Anakku Sukses. Jakarta:
Pustaka Setia. 2014.

Kholik, Abdul. Konsep Keluarga Sakinah Perspektif M. Quraish


Shihab, Vol. 2. No. 2. 2017.

Khobir, Abdul. ”Hakikat Manusia dan Impilkasi dalam Proses


Pendidikan Jurnal Forum Tarbiyah, Vol. 8, No. 1.

Khon, Abdul Majid. Hadits Tarbawi: Hadits-Hadits Pendidikan.


Jakarta, Prenada Media Group. 2012.

Khotimah, Siti. “Konsep Pendidikan Anak Menurut Abdullah Nashih


Ulwan”, Skripsi UIN Raden Intan Lampung, 2020. tidak
dipublikasikan.

Labaso, Syahrial. “Konsep Pendidikan Keluarga Dalam Perspektif


Al- Qur’an dan Hadis”, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol.
XV, No. 1, Juni 2018.

Lazuardi, Budi, dkk. “Penguatan Peran Keluarga Dalam


Pembentukan Kepribadian Anak Melalui Seminar Dan
Pendamping Masalah Keluarga”, Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat, Vol. 5, No. 1, 2014.

Mislikhah, Siti. “Kesantunan Bahasa”, Jurnal Ar-Rani Ar-Raniry:


International Journal of Islamic Studies, Vol. 1, No.2, 2014.

Muhammadiyah, Majelis Tarjih dan Tardid Pimpinan Pusat.


Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah 3. Yogyakarta, Suara
Muhammadiyah. 2018.

Nasihah, Durrotun. “Makna Pendidikan Keluarga Dalam Al- Qur’an


Surah Al-Saffat ayat 100 sampai 102”, Skripsi pada UIN Wali
Songo Semarang, 2015, tidak dipublikasikan.

90
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka. 2003.

Prof. Dr. Supriyono, M.Pd., dkk. Pendidikan Keluarga Dalam


Perspektif Masa Kini. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan RI. 2015.

Purwaningsih, Endang. “Keluarga Dalam Mewujudkan Pendidikan


Nilai Berbagai Upaya mengatasi Degradasi Nilai Moral”, Jurnal
Pendidikan Sosiologi dan Humaniora, Vol. 1. No. 01, 2010.

Rahmah, Siti. “Peran Keluarga Dalam Pendidikan Akhlak”, Jurnal


Ilmu dan Teknik Dakwah, Vol. 4, No. 7, 2016.

Rasyid, Khorul. “Kepemimpinan Menurut hadits Nabi SAW”,


Skripsi pada IAIN Raden Intan Lampung, 2016.

Sahab, Afwan. “Pendidikan Berkeluarga Dalam Islam Studi


Pemikiran Syeikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Dalam Kitab
Uqdullujain Fii Bayani Huqquizzaujain”, Skripsi pada UIN
Raden Intan Lampung, 2019, tidak dipublikasikan.

Salmi, Siti. “Nilai Edukasi Kasih sayang Dalam Kehidupan Rumah


Tangga Rasulullah Saw”, Skripsi pada UIN Ar-Raniry
Darussalam Banda Aceh. 2016.

Shihab, M. Quraish. Pengantin al-Qur’an: Kalung Permata Buat


Anak-Anakku.

. Wawasan al-Qur’an; Tafsir Tematik Atas Berbagai


Persoalan Umat. Jakarta: Mizan. 1996.

Sugiyono. Metode Penelitia: Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.


Jakarta, Alfabeta, 2016.

91
Surahman, dkk. Metodologi Penelitian. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI. 2018.

Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islami. Bandung: Remaja


Rosdakarya. 2008.

Ubaidillah, Muhammad. “Konsep Fitrah Menurut Hadits Fitrah Dan


Implikasinya Dalam Pendidikan Keluarga Pada Akidah Anak”,
Skripsi pada UIN Wali Songo Semarang, 2018, tidak
dipublikasikan.

Ulwan, Abdullah Nashih. Tarbiyatul Aulad Fil Islam: Pedoman


Pendidikan Anak dalam Islam. Semarang: CV Asy-Syifa. 1993.

Wibowo, Devi Vionita. “Konsep Pendidikan Islam Pada Anak Usia


Dini Dalam Kitab Tarbiyatul Aulad Fil Islam Karangan
Abdullah Nashih Ulwan”, Skripsi UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang, 2018, tidak dipublikasikan.

Yeni, Elvita, dkk. “Pola Pengajaran Kesantunan Berbahasa Anak Di


Lingkungan Keluarga”, Jurnal Tarbiyah, Vol. 25, No. 1, 2018.

Yusuf, Muri. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan


Penelitian Gabungan. Jakarta: Prenada Media Group. 2014.

Zakaria, Ahmad. “Nilai-Nilai Pendidikan Taharah (Telaah Kitab Ihya


Ulumu ad-Din Karya al-Ghazali)”, Skripsi pada Univrsitas
Muhammadiyah Yogyakarta, 2017, tidak dipublikasikan.

Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan


Pustaka Obor Indonsia. 2014.

92
LEMBAR UJI REFERENSI
Nama : Ridha Rofidah

NIM 11160110000074

Fakultas : Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

Jurusan : Pendidikan Agama Islam

Judul : Pendidikan Keluarga Dalam

Perspketif Hadits (Kajian Hadits

Shahih Bukhari).

Dosen Pembimbing : Dr. Abdul Ghofur, MA.

Judul Buku No. Halaman Paraf


No. Kutipan Skripsi Pembimbing
BAB I
1. Muhammad Ali, dkk., Ilmu 1,2 dan 3 1
dan Aplikasi Pendidikan,
Bagian IV Pendidikan Lintas
Bidang, Sandiarta Sukses,
2016, h. 80.
2. Devi Vionita Wibowo, “Konsep 4 4
Pendidikan Islam Pada Anak
Usia Dini Dalam Kitab
Tarbiyatul Aulad Fil Islam
Karangan Abdullah Nashih
Ulwan”, Skripsi UIN Maulana
Malik Ibrahim Malang, 2018,
tidak dipublikasikan.
3. Harpansyah, ”Pendidikan Anak 5 4
Dalam Perspektif Abdullah
Nashih Ulwan (Telaah Atas
Kitab Tarbiyatul Aulad Fil
Islam)”, Skripsi UIN Raden
Fatah Palembang, 2017, tidak
dipublikasikan.

93
4. Syahrial Labaso, “Konsep 6 dan 16 5 dan 8
Pendidikan Keluarga Dalam
Perspektif Al-Qur’an dan
Hadis”, Jurnal Pendidikan
Agama Islam, Vol. XV, No. 1,
Juni 2015, h. 53.
5. Budi Lazarusli, dkk., “Penguatan 7, 8, 9 6 dan 7
Peran Keluarga Dalam dan 10
Pembentukan Kepribadian Anak
Melalui Seminar Dan
Pendamping Masalah Keluarga”,
Jurnal Pengabdian Kepada
Masyarakat, Vol. 5, No. 1, 2014,
h. 3, 4.
6. Majelis Tarjih dan Tardid
Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, Himpunan
Putusan Tarjih Muhammadiyah
3, (Yogyakarta, Suara
Muhammadiyah, 2018), h. 360-
361.

7. Abdul Khobir, Hakikat Manusia 11, 12, 7 dan 8


dan Implikasinya Dalam Proses 13, 14
Pendidikan, Forum Tarbiyah, dan 15
Vol. 8, No. 1, (2010), h. 81.
8. Endang Purwaningsih, “Keluarga 17 10
Dalam Mewujudkan Pendidikan
Nilai Berbagai Upaya mengatasi
Degradasi Nilai Moral”, Jurnal
Pendidikan Sosiologi dan
Humaniora, Vol. 1, No. 1,, 2010,
h. 43.
9. Kemenag, Mencegah Badai 18 14
Keluarga Indonesia, 2018,
(https://kemenag.go.id).
BAB II
1. Muhammad Ali, dkk., Ilmu Dan 19, 20, 21, 22, 28,
Aplikasi Pendidikan; Bagian IV 21, 24, 29 dan 30
Pendidikan Lintas Bidang, 38, 39,
(Bandung: Sandiarta Sukses, 40 dan 41
2016), h. 80, 90, 91.
2. Prof. Dr. Supriyono, M.Pd., dkk., 22, 23, 22, 23, 26
Pendidikan Keluarga Dalam 28, 29, dan 27
Perspektif Masa Kini, (Jakarta: 31, 34,
Kementerian Pendidikan dan dan 35
Kebudayaan RI, 2015), h. 57, 58,
62, 63, 91, 92, 100.

94
3. Syahrial Labaso, “Konsep 25, 26 23
Pendidikan Keluarga Dalam dan 27
Perspektif Al-Qur’an dan
Hadis”, Jurnal Pendidikan
Agama Islam, Vol. XV, No. 1,
Juni 2015, h. 53.
4. Amanah, Badriatin, “Konsep 23 23
Keluarga Harmonis Menurut M.
Quraish Shihab”, Skripsi IAIN
Ponorogo, 2019, tidak
dipublikasikan.

5. M. Quraish Shihab, Pengantin 23 24


al-Qur’an: Kalung Permata Buat
Anak-Anakku.

6. M.Quraish Shihab, Wawasan al- 24 25


Qur’an; Tafsir Tematik Atas
Berbagai Persoalan Umat,
Jakarta: Mizan, 1996.

7. Abdul Kholik, Konsep Keluarga 25 27


Sakinah Perspektif M. Quraish
Shihab, Vol. 2, No. 2, 2017

8. Siti Khotimah, “Konsep 26 29


Pendidikan Anak Menurut
Abdullah Nashih Ulwan”,
Skripsi UIN Raden Intan
Lampung, 2020, tidak
dipublikasikan.

9. Mohammad A. Khalfan, Anakku 27 30


Bahagia Anakku Sukses,
(Jakarta: Pustaka Setia, 2014), h.
4.

10. Arifin, Perbandingan 29 31


pendidikan Islam, (Jakarta: PT
Rineka Cipta, 2002), h. 233.

11. Kemdikbud, KBBI Daring, 2016, 30 26


(https://kbbi.kemdikbud.go.id/)

95
12. Muhammad Ubaidillah, 32 26
“Konsep Fitrah Menurut Hadits
Fitrah dan Implikasinya Dalam
Pendidikan Keluarga Pada
Akidah Anak”,
Skripsi pada UIN Wali Songo
Semarang, 2018, tidak
dipublikasikan.
13. Siti Rahmah, “Peran Keluarga 33 26
Dalam Pendidikan Akhlak”,
Jurnal Ilmu dan Teknik Dakwah,
Vol. 4, No. 7, 2016, h. 14.
14. Delia Delitri, “Konsep 36, 37 27 dan 31
Pendidikan Islam Dalam dan 42
Keluarga Menurut Prof. Dr.
Zakiah Darajat”, Skripsi pada
UIN Raden Intan Lampung,
2018, tidak dipublikasikan.
15. Durrotun Nasihah, “Makna 43 32
Pendidikan Keluarga Dalam Al-
Qur’an Surah Al-Saffat
ayat 100 sampai 102”, Skripsi
pada UIN Wali Songo Semarang,
2015, tidak dipublikasikan.
16. Afwan Sahab, “Pendidikan 44 33
Berkeluarga Dalam Islam Studi
Pemikiran Syeikh Muhammad
Nawawi Al-Bantani Dalam Kitab
Uqdullujain Fii Bayani
Huqquizzaujain”, Skripsi pada
UIN Raden Intan Lampung,
2019, tidak dipublikasikan.
BAB III
1. Surahman, dkk., Metodologi 45, 46 34
Penelitian, (Jakarta: dan 47
Kementerian Kesehatan RI,
2018), h. 2.
2. Mestika Zed, Metode 48 dan 49 34, dan 35
Penelitian Kepustakaan,
(Jakarta, Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2014), h. 1-2.
3. Ahmad Zakaria, “Nilai-Nilai 50 35
Pendidikan Taharah (Telaah
Kitab Ihya Ulumu ad-Din
Karya al-Ghazali)”, Skripsi
pada Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta,
2017, tidak dipublikasikan.

96
4. Muri Yusuf, Metode 51 35
Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif, dan Penelitian
Gabungan, (Jakarta:Prenada
Media Group, 2014), h. 555,
367.
5. Sugiyono, Metode Penelitian 52 36
Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D, (Bandung: Alfabeta,
2018), h. 9, 42, 225.

BAB IV
1. Khorul Rasyid, “Kepemimpinan 54 38
Menurut hadits Nabi SAW”,
Skripsi
pada IAIN Raden Intan
Lampung, 2016, tidak
dipublikasikan
2. Armai Arief, Pengantar Ilmu dan 55 dan 56 39
Metodologi Pendidikan Islam ,
(Jakarta: Ciputat Pres, 2002), h. 3-
8 dalam Muhlisin, “Konsep Fitrah
Manusia Menurut Manusia Prof.
Dr. Achmadi Dan Implementasinya
Dalam Pendidikan Akhlak Anak
(Analisis Filosofis)”, Skripsi pada
Institut Agama Islam Negeri
Walisongo Semarang, 2008, tidak
dipublikasikan.
3. Majid Khon, Hadits Tarbawi: 57 39
Hadits-Hadits Pendidikan,
(Jakarta, Prenada Media
Group, 2012), h. 238.
4. Abdul Khobir, ”Hakikat 58 dan 59 39
Manusia dan Impilkasi dalam
Proses Pendidikan Jurnal
Forum Tarbiyah, Vol. 8, No.
1, h. 12.
5. Dr. Abdullah Nashih Ulwan, 60, 64, 41, 45, 46,
Tarbiyatul Aulad: Pedoman 65, 66, 48, 53, dan
Pendidikan Anak dalam Islam, 67, 71, 70
(Semarang, CV Asy-Syifa’, 78 dan 79
1993), h. 49, 159, 163, 166,
168, 176, dan 184.

97
6. Kementerian Agama Republik 61, 72 42, 48, dan
Indonesia, al-Qur’an dan 86 58
Kemenag, 2019,
(https://quran.kemenag.go.id/).
7. Surahman, dkk., Metodologi 45, 46 34
Penelitian, (Jakarta: dan 47
Kementerian Kesehatan RI,
2018), h. 2.
8. Mestika Zed, Metode 48 dan 49 34, dan 35
Penelitian Kepustakaan,
(Jakarta, Yayasan Pustaka
Obor Indonesia, 2014), h. 1-2.
9. Ahmad Zakaria, “Nilai-Nilai 50 35
Pendidikan Taharah (Telaah
Kitab Ihya Ulumu ad-Din
Karya al-Ghazali)”, Skripsi
pada Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta,
2017, tidak dipublikasikan.
10. Litbang dan Diklat 62, 63, 43, 44, 68,
Kementerian Agama RI, 93, 94, 69, 71, 72
Tafsir Al-Qur’an Tematik III, 100, 101 dan 75
(Jakarta, Kamil Pustaka, dan 105
2014), Jilid. 3, h. 36, 87, dan
88.
11. Elvita Yeni, dkk., “Pola 68, 73, 44, 50, 56,
Pengajaran Kesantunan 74, 75, dan 57.
Berbahasa Anak Di 76, 77,
Lingkungan Keluarga”, Jurnal 83, dan
Tarbiyah, Vol. 25, No. 1, 84.
2018, h. 44, 50.
12. Siti Mislikhah, “Kesantunan 69 dan 47 dan 48
Bahasa”, Jurnal Ar-Rani Ar- 70
Raniry: International Journal of
Islamic Studies, Vol. 1, No.2,
2014, h. 287.
13. Rifansyah Kalimayatullah, 80, 81, 55 dan 56
dkk., “Pendidikan Kesantunan dan 82
di Lingkungan Keluarga”,
Jurnal Pendidikan Anak Usia
Dini, Vol. 8, No. 2, 2017, h. 2,
7, 51.

98
14. Ahmad Tafsir, Filsafat 50 61
Pendidikan Islami (Bandung:
Remaja Rosdakarya. 2008), cet.
ke-3, hlm. 229.

15. Zainuddin Hamidy, dkk., 85 57


Terjemahan Hadits: Shahih
Al-Bukhori Jilid I, II, III & IV,
(Kuala Lumpur: Klang Book
Centre, 2005), No. 1588, Jilid
IV, h. 10.
16. A.M Ismatullah, “Konsep 87 58
Sakinah, Mawaddah, dan
Rahmah Dalam Al-Qur’an:
Prespektif Penafsiran Kitab
Al-Qur’an Dan Tafsirnya”,
Jurnal Pemikiran Hiukum
Islam, Vol. XIV, No. 1, 2015,
h. 2.
17. Siti Salmi, “Nilai Edukasi 88 58
Kasih sayang Dalam
Kehidupan Rumah Tangga
Rasulullah Saw”, Skripsi pada
UIN Ar-Raniry Darussalam
Banda Aceh, 2016, h. 1, tidak
dipublikasikan.
18. Litbang dan Diklat 89, 90, 60, 66, 69,
Kementerian Agama RI, 92, 95, dan 70.
Tafsir Al-Qur’an Tematik dan 96.
II, (Jakarta, Kamil
Pustaka, 2014), Jilid. 2, h.
36, 87, dan

99

Anda mungkin juga menyukai