Anda di halaman 1dari 95

HUBUNGAN KONSEP MANUSIA DENGAN

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT HAJI


ABDUL MALIK KARIM AMRULLAH

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi syarat
mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh

HERDIYANTI FHAUZIAH

1110011000033

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN
KEGURUAN UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015 M/1436 H
ABSTRAK
Nama : Herdiyanti Fhauziah
NIM : 1110011000033
Judul : Hubungan Konsep Manusia dengan Konsep Pendidikan Islam
Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah
Manusia merupakan makhluk paling sempurna di antara makhluk ciptaan
Allah SWT. Seiring dengan penciptaan raganya, diciptakan pula dalam dirinya
akal dan fitrah tauhid, yang nantinya dapat dikembangkan melalui proses
pendidikan. Pendidikan adalah usaha yang dilakukan secara berkesinambungan
oleh pendidik kepada peserta didik untuk mengembangkan semua aspek
kepribadian anak didik baik jasmani maupun rohaninya menuju terbentuknya
kepribadian yang utama. Namun, dalam pendidikan Islam pengertian pendidikan
dikhususkan untuk pengarahan aspek kepribadian anak didik menuju
pembentukan kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam. Berdasarkan konteks
tersebut, maka tujuan tulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana konsep
manusia menurut Hamka? Dan pertanyaan turunannya adalah bagaimana
hubungan konsep manusia dengan konsep pendidikan Islam menurut Hamka?.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan deskriptif analisis dan kajian pustaka. Setelah data terkumpul dan
tercatat dengan baik, maka langkah selanjutnya adalah menganalisa data. Proses
analisa dilakukan dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai
sumber, kemudian data tersebut dianalisis dan dipelajari secara cermat dan
dideskripsikan yang selanjutnya memberikan gambaran dan penjelasan serta
uraian.
Konsep manusia menurut Hamka adalah, bahwa manusia merupakan khalifah
fi al-ardh sekaligus ‘abd Allah yang berkewajiban untuk taat dan mengabdi
kepada-Nya semata. Menurutnya ketika lahir, potensi manusia belum diketahui
dan hanya membawa insting (gharizah) atau fitrah, kemudian potensi tersebut
akan berkembang setelah manusia lahir dan melakukan serangkaian interaksi
dengan lingkungannya. Dalam diri manusia terdapat tiga unsur utama yang dapat
menopang tugasnya sebagai khalifah fi al ardh dan ‘abd Allah. Ketiga unsur
utama tersebut adalah akal, hati, dan pancaindera (penglihatan, pendengaran,
penciuman, perasa, dan peraba) yang terdapat pada jasadnya. Dengan itu manusia
dapat beribadah dan bertakwa kepada Tuhannya guna menjadi manusia yang
sempurna. Konsep manusia ini tercermin pada perumusan konsep pendidikan
Islam Hamka, baik makna, tujuan, materi, dan unsur pendidikan lainnya.
Pemikiran tentang pendidikan Islam Hamka berpijak pada integralitas fitrah,
yakni mengoptimalkan seluruh potensi yang ada pada anak didik.

i
ABSTRACT

Name : Herdiyanti Fhauziah


NIM 1110011000033
Title : Hubungan Konsep Manusia dengan Konsep Pendidikan
Islam Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah

Human being is the most perfects creature among the creatures of Allah
SWT. Along with the creation of his body, also created in his a mind and
disposition of monotheism, which will be developed through a process of
education. Education is a continuous work done by educators for learners to
develop all aspects of the personality of the students both physically and
spiritually towards the formation of a major personality. However, in Islamic
education the meaning of educational is devoted to directing students towards the
formation of personality in accordance with the teachings of Islam. Based on the
context, the purpose of this paper is to investigate how the concept of man
according to Hamka? And derivatives question is how the concept of human
relations with the concept of Islamic education by Hamka?.
The method used is a qualitative research method with a descriptive approach
of analysis and library research. Once the data is collected and recorded properly,
then the next step is to analyze the data. The analysis process is done by reviewing
all available data from various sources, then the data is analyzed and studied
carefully and described here in after provides an overview and explanation and
description.
The concept of man in Hamka is, that man is a caliph fi al-ard at once 'abd
Allah are obliged to obey and serve Him alone. According to him at birth, human
potential is unknown and only bring instinct (gharizah) or nature, then the
potential of the human will develop after birth and conducted a series of
interactions with the environment. In humans, there are three main elements that
can sustain his duties as caliph fi al-ard and 'abd Allah. The three main elements
are mind, heart, and senses (sight, hearing, smell, taste, and touch) found on his
body. With those man can worship and devoted to his Lord in order to become a
perfect human. This concept is reflected in the formulation of the concept of
Islamic education by Hamka, at the meaning, purpose, materials, and other
educational elements. Hamka’s minds about Islamic education is grounded on
integralitas of nature, which optimizes all the potential in students.

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya. Shalawat dan salam saya sanjungkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta para pengikutnya sampai akhir zaman.

Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada kedua
orang tua dan keluargaku tercinta Ayahanda Yusri, Ibunda Sobriyah yang selalu
mendoakanku dan mendidikku dengan penuh keikhlasan, keridhaan dan kesabaran
serta kasih sayang hingga saat ini. Dan kepada adik-adikku (Chika, Zanky, Zaskia,
Natasya, dan Sabian) yang selalu memberikan semangat dalam menuju hidup
yang penuh keberkahan, semoga Allah SWT senantiasa menuntun dan menjaga
mereka dalam menuju keridhaan-Nya.

Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini berkat bantuan serta dukungan dari
berbagai pihak yang secara tulus ikhlas memberikan bantuannya baik secara moril
maupun materil. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan dan
menghaturkan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan.
2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M.Ag, Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam.
3. Drs. Abdul Haris, M.Ag, Dosen pembimbing skripsi yang dengan tulus ikhlas
telah memberikan bimbingan, bantuan serta motivasinya untuk
menyelesaikan skripsi ini.
4. Prof. Dr. H. Armai Arief, M.Ag, Dosen Penasehat Akademik dan para dosen
yang telah memberikan ilmunya kepada penulis dari awal perkuliahan hingga
selesainya skripsi ini.
5. Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

iii
membantu penulis dalam mengumpulkan bahan-bahan referensi untuk
menyelesaikan skrpsi ini.
6. Kawan-kawan yang memberikan keceriaan dalam kehidupan dengan tawa
dan canda, para mahasiswa PAI khususnya PAI A angkatan 2010 -Shofa,
Aqiela, Puji, Niesa, Alis, Upik, Endang, Isma, Mba Uni, Yully, Ziah, Reren,
Eva, Eby, Fitri, Wiwid, Fufah, Tia, Firda, Maesaroh, Fahmi, Henry, Zaki,
Teguh, Makky, Fadly, Basyir, Haris, Tejo, Suhail, Rahman, Fauzul, Roaz,
Taqien, Deri-, Aniez (PAI D), Amel (PAI D), Imah (PAI D), Mae (PAI B),
Kiki (PAI D), segenap kawan-kawan yang secara langsung maupun tidak
langsung telah ikut serta membantu dan memberikan dukungan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dengan menengadahkan tangan dan mengucap syukur Alhamdulillah hanya


kepada Allah SWT, penulis memohon semoga amal baik yang sudah diberikan
menjadi amal shaleh dan diterima disisi-Nya. Akhirnya tiada kata lain yang lebih
berarti selain sebuah harapan semoga penelitian ini dapat bermanfaat khususnya
bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.

Jakarta, 13 Februari 2015

Penulis

Herdiyanti Fhauziah

iv
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN UJIAN MUNAQASAH

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING

SURAT PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK............................................................................................................i

ABSTRACT.........................................................................................................ii

KATA PENGANTAR.........................................................................................iii

DAFTAR ISI........................................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.........................................................1


B. Identifikasi Masalah................................................................8
C. Pembatasan Masalah...............................................................9
D. Perumusan Masalah................................................................9
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitan.............................................9

BAB II KAJIAN TEORI

KONSEP MANUSIA DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian Manusia dan Pendidikan Islam.............................10


1. Manusia............................................................................10
2. Pendidikan Islam.............................................................13
B. Manusia Dalam Pendidikan Islam..........................................15
1. Kedudukan Manusia dalam Islam...................................15
2. Proses Penciptaan Manusia..............................................16
3. Tugas Hidup Manusia......................................................21
v
4. Potensi Manusia...............................................................22
5. Tujuan Hidup Manusia....................................................23
6. Manusia Sebagai Subjek dan Objek Pendidikan.............24
C. Hasil Penelitian yang Relevan................................................27

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu Penelitian.....................................................................29
B. Metode dan Jenis Penelitian...................................................29
C. Sumber data............................................................................30
D. Teknik Pengumpulan Data......................................................30
E. Teknik Analisis Data..............................................................31
F. Teknik Penulisan.....................................................................31

BAB IV PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

A. Biografi Hamka.......................................................................32
1. Riwayat Hidup Hamka....................................................32
2. Pendidikan Hamka...........................................................33
3. Pekerjaan dan Karya-karya Hamka.................................36
B. Konsep Manusia serta Hubungannya dengan Konsep
Pendidikan Islam Menurut Hamka.........................................41
1. Konsep Manusia...............................................................41
2. Konsep Pendidikan Islam.................................................51
a. Tujuan Pendidikan Islam............................................54
b. Materi Pendidikan Islam.............................................55
c. Guru Sebagai Pendidik...............................................58
d. Peserta Didik...............................................................59
3. Hubungan Konsep Manusia dengan Konsep Pendidikan
Islam..................................................................................61

vi
BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan.............................................................................65
B. Implikasi.................................................................................66
C. Saran.......................................................................................67

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................68

LAMPIRAN-LAMPIRAN

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan salah satu makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna yang
diberi keistimewaan bentuk serta dianugerahi dengan akal dan fikiran yang
membuatnya mampu memikirkan mengenai alasan penciptaannya di muka bumi
dan tujuan dari penciptaannya tersebut. Sesuai dengan firman Allah dalam surat
At-Taghabun ayat 3:

                  


   
    

“Dia menciptakan langit dan bumi dengan haq.Dia membentuk rupamu dan
membaguskan rupamu itu dan hanya kepada Allah-lah kembali (mu).”

Awal mula penciptaan manusia adalah dari Adam as., lalu dari sulbinya
terciptalah Hawa sebagai pasangannya dan lahirlah keturunan-keturunannya
secara terus-menerus hingga akhir zaman. Seiring bertambahnya jumlah manusia
di muka bumi ini beserta hiruk-pikuk aktivitasnya guna menyambung
keberlangsungan hidupnya di dunia, manusia lambat laun menjadi lupa akan
hakikat dirinya serta tujuan dari penciptaannya di dunia ini. Padahal Al-Qur‟an
telah memaparkan secara jelas bahwa tidaklah semata-mata Allah menciptakan jin
dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana tertera dalam
firman-Nya surat Adz-Dzariyat ayat 56:

        


 

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi
kepada-Ku.”
1
2

Ibadah dalam hal ini, sebagaimana dikatakan Toto Suharto, tidak


dimaksudkan dalam pengertiannya yang sempit, tetapi dalam pengertiannya yang
luas. Yaitu, nama bagi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah, baik berupa
perkataan maupun perbuatan. Intinya, tujuan hidup manusia adalah ibadah kepada
Allah dalam segala tingkah lakunya.1

Penciptaan manusia bukanlah tanpa tujuan. Manusia mempunyai kedudukan


sebagai „abd Allah dan khalifah yang di dalamnya terdapat tanggung jawab yang
mesti diembannya. Untuk dapat mengetahui tugas-tugas tersebut maka
pemahaman mengenai hakikat dirinya dari apa ia tercipta dan untuk apa ia
diciptakan penting untuk diketahui, semua hal tersebut terkait dengan pemahaman
mengenai konsep manusia. Setelah mengetahui jawaban mengenai hakikat dan
eksistensinya di dunia ini diharapkan ia akan mampu mengetahui arah dan tujuan
hidupnya sehingga terhindar dari kebimbangan.

Upaya untuk menyingkap hakikat manusia secara utuh telah banyak menyita
perhatian, baik dari kalangan filosof, ilmuan bahkan agamawan. Salah satunya
ialah tokoh filosof terkemuka, John Locke. Menurutnya, sebagaimana dikutip oleh
Ag.Soejono, “Pada waktu lahir anak manusia adalah kosong seperti kertas putih
belum tertulisi, pengisiannya bergantung pada pengalamannya”.2

Menurut Alexis Carrel, sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, “Mengatakan


bahwa manusia adalah makhluk yang misterius, karena derajat keterpisahan
manusia dari dirinya berbanding terbalik dengan perhatiannya yang demikian
tinggi terhadap dunia yang ada di luar dirinya.”3 Pendapat ini menunjukkan
tentang betapa sulitnya memahami manusia secara tuntas dan menyeluruh.
Sehingga setiap kali seseorang selesai memahami dari satu aspek tentang manusia,
maka muncul pula aspek yang lainnya yang belum ia bahas.

1
2
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 83
Ag. Soejono, Aliran Baru dalam Pendidikan Bagian ke-1, (Bandung: C.V. Ilmu, 1978), Cet.
X, h. 20
3
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), Cet. I, h.
29
Padahal pendefinisian mengenai hakikat manusia merupakan hal penting dan
dipandang perlu guna membantu manusia mengenal dirinya serta mampu
menentukan bentuk aktivitas yang dapat mengantarkannya pada makna
kebahagiaan yang sesungguhnya. Namun, upaya tersebut gagal dan manusia
hanya mampu menyingkap hakikat dirinya pada batas instrumen bukan pada
substansi. Saat menemui jalan buntu tersebut, manusia sadar akan keterbatasannya
dan mencoba mengenal dirinya melalui pendekatan agama. Hal ini dikarenakan
dalam unsur penciptaan manusia terdapat unsur-unsur ilahiah yang substansinya
hanya Allah yang mengetahui.

Menurut Abuddin Nata, “Sesungguhnya berbicara tentang manusia tanpa


instrumen iman kepada Allah sama artinya membicarakan sesuatu yang rumit dan
cenderung tanpa jawaban yang pasti. Manusia adalah makhluk yang memiliki
„unsur ke-Ilahian‟, maka tidak mungkin mendalami manusia tanpa melibatkan
Allah.”4

Secara psikologis, upaya menyingkap hakikat manusia ini merupakan masalah


yang krusial dan penting, terutama dalam proses pendidikannya. Sebab jika tidak,
manusia akan kehilangan kendali dan keliru menganggap dirinya superior, dan
cenderung menafikan kekuatan makhluk lain termasuk kekuasaan Tuhan. Dampak
buruk lain yang dapat diakibatkan dari kesalahan persepsi ini antara lain adalah
pelanggaran norma-norma, dan kerusakkan lainnya yang dapat diperbuat manusia.
Selain itu, dapat pula muncul sifat pesimis dan rendah diri yang mengakibatkan
manusia tidak tergerak untuk menggali dan mengembangkan segala potensi yang
telah dianugerahkan Tuhan padanya.

Salah satu cara mengetahui dan mempelajari konsep manusia adalah melalui
pendidikan. Karena pendidikan merupakan sarana pengembangan kepribadian
manusia agar seluruh aspek manusia (aspek keimanan, syariat, dan penghambaan)
menjelma dalam sebuah harmoni dan saling menyempurnakan.Lewat penjelmaan
itu, seluruh potensi manusia dipadukan dan dicurahkan demi mencapai suatu

4
Ibid., h. 52
tujuan. Segala upaya, perilaku, dan getar perasaan, senantiasa bertitik tolak dari
tujuan tersebut.

Menurut Mohammad Nor Syam, Pendidikan dalam wujudnya selalu


bertujuan membina kepribadian manusia, baik demi ultimate goal maupun bagi
tujuan-tujuan dekat. Tujuan akhir pendidikan ialah kesempurnaan pribadi.
Prinsip ini terutama berpangkal pada asas self realisasi, yakni merealisasi
potensi-potensi yang sudah ada di dalam martabat kemanusiaannya. Potensi-
potensi itu baik berupa potensi-potensi intelektual, mental, rasa, karsa, maupun
kesadaran moral, bahkan juga aspek-aspek keterampilan fisik dan
perkembangan jasmaniah.5

Menurut Jalaluddin dan Abdullah Idi, Manusia merupakan salah satu makhluk
hidup yang sudah ribuan abad lamanya menghuni bumi. Sebelum terjadi proses
pendidikan di luar dirinya, pada awalnya manusia cenderung berusaha melakukan
pendidikan pada dirinya sendiri, di mana manusia berusaha mengerti dan mencari
hakikat kepribadian tentang siapa diri mereka sebenarnya. Dalam ilmu mantiq,
manusia disebut sebagai hayawan al-nathiq (hewan yang berpikir). Berpikir di
sini maksudnya adalah berkata-kata dan mengeluarkan pendapat serta pikiran.6

Persoalan yang kemudian muncul adalah cara pandang atau konsep manusia
yang digunakan menentukan konsep-konsep lanjutan pada suatu disiplin ilmu atau
aliran tertentu. Begitu juga apabila menelaah pendidikan, maka setiap aliran, teori
atau sistem pendidikan berakar pada sebuah pandangan falsafah manusia yang
digunakan.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, Prasetya dalam bukunya Filsafat


Pendidikan untuk IAIN, STAIN, PTAIS, mengemukakan bahwa, “Corak
pendidikan itu erat hubungannya dengan corak penghidupan, karenanya jika corak
penghidupan itu berubah, berubah pulalah corak pendidikannya, agar si anak siap
untuk memasuki lapangan penghidupan itu.”7

5
Mohammad Nor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 179
6
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat, dan Pendidikan,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 130-131
7
Prasetya, Filsafat Pendidikan untuk IAIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka Setia, 1997), h.
15
Sebagai contoh apa yang terjadi dalam tradisi pendidikan di Barat yang
berdasarkan pada filsafat positivistik sehingga pendidikan menjadi bebas nilai.
Manusia dalam pendidikan dipandang sebagai objek yang tidak jauh berbeda
dengan makhluk hidup lainnya. Perbedaannya hanya dalam fungsi berfikir,
kemudian dikatakanlah bahwa manusia adalah binatang yang berfikir. Kemudian
pemikiran ini melahirkan pandangan dan sikap hidup materialisme. Puncak
kepuasan manusia terletak pada pemuasan materi. Materialisme dan sekuler
berjalan seiring dan berkaitan satu sama lain.

Kesalahan pemahaman yang telah dilakukan ilmuwan dalam memandang


manusia berakibat pada manusia itu sendiri. Karena pada kenyataannya tidak
semua kehidupan manusia dapat dirasionalkan. Banyak bagian dari kehidupan
manusia yang tidak dapat dirasionalkan yang hadir dalam kehidupan manusia
seperti cinta, seni, kematian dan sebagainya.

Menurut Fadillah Suralaga, “Pandangan yang bersifat antroposentris ini jauh


berbeda dengan pandangan Islam dalam melihat manusia dari segi hakikat jati diri
substansi manusia. Dalam pandangan Islam pada diri manusia terdapat tiga unsur
yang saling berinteraksi dengan kuat yaitu, jasad, jiwa, dan ruh.”8 Menurut Hamka
ketiganya merupakan unsur penggerak dan sekaligus memberikan arti bagi
keberadaan manusia di muka bumi. Bila salah satu di antaranya tidak difungsikan
secara optimal dan proposional, maka akan sangat berpengaruh bagi pembentukan
kepribadian peserta didik sebagai hamba-Nya yang mulia.9 Ketidak sempurnaan
unsur pada diri manusia inilah (aspek ruh) yang tidak tersentuh oleh pendidikan
yang berlangsung di Barat.

Di samping memahami konsep manusia diperlukan pula adanya pemahaman


mengenai konsep pendidikan Islam. Dikarenakan tujuan hidup ini pada akhirnya
akan bersinggungan dengan tujuan pendidikan Islam, karena pendidikan pada
dasarnya bertujuan memelihara kehidupan manusia. Seperti pendapat M. Natsir

8
Fadhilah Suralaga, dkk, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2005), Cet. I, h. 17
9
Samsul Nizar,Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. I, h. 126
sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, “Bahwa dengan mengacu pada surat
Adz-Dzariyat ayat 56 yang artinya Dan Aku (Allah) tidak menjadikan jin dan
manusia, melainkan untuk menyembah Aku, menurutnya rumusan tujuan
pendidikan pada hakikatnya sama dengan tujuan hidup manusia, yaitu
menghambakan diri kepada Allah.”10 Dengan demikian, tujuan hidup muslim
sebenarnya merupakan tujuan akhir pendidikan Islam.

Para ahli pendidikan Muslim pada umumnya sependapat bahwa teori dan
praktek Kependidikan Islam harus didasarkan pada konsepsi dasar tentang
manusia. Menurut Ali Ashraf, sebagaimana dikutip oleh Samsul Nizar,
mengatakan bahwa, “Pendidikan Islam tidak akan dapat dipahami secara jelas
tanpa terlebih dahulu memahami penafsiran Islam tentang pengembangan
inidividu seutuhnya.”11 Apabila pemahaman tentang manusia tidak jelas, maka
berakibat tidak baik pada proses pendidikan itu sendiri. Pembicaraan diseputar
persoalan ini adalah merupakan sesuatu yang sangat vital dalam pendidikan.
Tanpa kejelasan tentang konsep ini, pendidikan akan meraba-raba.

Pendidikan Islam merupakan pengembangan pikiran, penataan perilaku,


pengaturan emosional, hubungan peranan manusia di dunia ini, serta bagaimana
manusia mampu memanfaatkan dunia sehingga mampu meraih tujuan kehidupan
sekaligus mengupayakan perwujudannya.

Memahami kondisi demikian, maka diperlukan konsep baru tentang manusia


yang mempunyai landasan kuat dan jelas, sehingga manusia dipandang dan
ditempatkan secara benar dalam arti sesungguhnya. Oleh karena itu, untuk
menjelaskan mengenai konsep manusia dan konsep pendidikan Islam secara lebih
mendalam, penulis mengambil pemikiran mengenai materi tersebut dari salah satu
tokoh cendikiawan tanah air yang sangat menguasai perihal konsep manusia dan
pendidikan Islam yang telah diterapkannya pula sebagai bentuk usaha
memperbaiki dan memajukan mutu pendidikan di Indonesia, khususnya di tanah

10
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), h. 83
11
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 21
Minangkabau. Namun, pemikirannya mengenai konsep manusia dan hubungannya
dengan konsep pendidikan Islam yang dicetuskannya ini masih kurang
terpublikasikan secara meluas. Tokoh cendikiawan yang dimaksud penulis di sini
ialah Hamka.

Hamka, merupakan salah seorang tokoh pembaharu Minangkabau yang


berupaya menggugah dinamika umat dan seorang mujaddid yang unik. Ia juga
sosok cendekiawan Indonesia yang memiliki pemikiran membumi dan bervisi
masa depan. Pernyataan ini tidaklah berlebihan jika kita melihat betapa banyak
karya dan buah pikiran Hamka yang turut mewarnai dunia, khususnya Islam.
Keterlibatan Hamka di berbagai aspek keilmuan menunjukkan bahwa beliau
adalah sosok yang cerdas, penuh inspiratif dan masih banyak hal lain yang dapat
kita adopsi untuk mencetak generasi-generasi masa depan seperti Hamka. Meski
di kalangan sebagian intelektual masih ada yang meragukan posisinya sebagai
pendidik dan pemikir pendidikan Islam, salah satunya Abdul Rahman Wahid.
Karena berdasarkan karya-karya yang dihasilkannya, orang-orang cenderung
memposisikannya sebagai mufasir melalui Tafsir al-Azhar-nya, sastrawan melalui
roman-romannya, sejarawan melalui sejarah Islamnya, sufi melalui Tasawuf
Modern-nya, dan da‟i dengan kemampuan retorikanya yang baik.

Namun, bila melihat lintas sejarah kehidupannya ia merupakan pendidik yang


cukup konsisten dan berhasil. Keikutsertaannya dalam memperkenalkan
pembaruan pendidikan di Indonesia dengan melakukan modernisasi kelembagaan
dan orientasi materi pendidikan Islam saat mengelola Tabligh School dan
Kulliyatul Muballighin di Makassar dan Padangpanjang merupakan salah satu
bukti kecemerlangan pemikirannya tentang pendidikan dan dimensi-dimensi
ajaran Islam yang bersifat dinamis, inovatif, dan revolusioner. Padahal jika diteliti
latar belakang pendidikannya, ia merupakan sosok ulama produk pendidikan
tradisional (surau).

Oleh karena itu, penulis merasa tertarik untuk meneliti konsep manusia serta
implementasinya terhadap konsep pendidikan Islam yang dicetuskan oleh Hamka,
karena penulis ingin mengetahui lebih dalam lagi mengenai pemikiran yang
dicetuskannya, serta pengetahuan lain yang dimilikinya yang sementara ini
penulis belum ketahui.

Bertolak dari hal tersebut, maka dari itu penulis tertarik untuk membahas
masalah ini dalam sebuah karya ilmiah berbentuk skripsi yang berjudul
“Hubungan Konsep Manusia dengan KonsepPendidikan Islam Menurut Haji
Abdul Malik Karim Amrullah”

B. Identifikasi Masalah

Di antara masalah yang terkait dalam penulisan karya ilmiah ini adalah:

1. Kurangnya pemahaman mengenai konsep manusia dalam mengetahui


hakekat dan eksistensinya sebagai manusia.
2. Kurangnya pemahaman terhadapkonsep pendidikan Islam untuk
diaktualisasikan dalam kehidupan.
3. Kurangnya pemahaman mengenai pentingnya pemahaman konsep manusia
yang benar sebagai titik tolak perumusan konsep pendidikan Islam.
4. Kurang tersosialisasikannya pendapat Hamka terhadap pemikiran
mengenai konsep manusia dan pendidikan Islam yang telah memberikan
kontribusi pada perkembangan hidup manusia terutama dalam hal
pendidikan Islam.

C. Pembatasan Masalah

Agar permasalahan tidak melebar, maka pada penulisan skripsi ini, dibatasi
hanya pada konsep manusia dan hubungannya dengan konsep pendidikan Islam
menurut Hamka.

D. Perumusan Masalah

Dari beberapa uraian singkat di atas, maka permasalahan yang dapat penulis
rumuskan adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep manusia menurut Hamka?
2. Bagaimana hubungan antara konsep manusia dan konsep pendidikan Islam
menurut Hamka?
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitan
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk menyelesaikan tugas akhir perkuliahan.
b. Untuk mendeskripsikan konsep manusia menurut Hamka.
c. Untuk menguraikan hubungan antara konsep manusia dan konsep
pendidikan Islam menurut Hamka.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
a. Mengungkapkan pemikiran Hamka yang selama ini penulis belum
ketahui.
b. Memberikan kontribusi dalam menambah khazanah ilmu pengetahuan
khususnya pendidikan Islam.
BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. Pengertian Manusia dan Pendidikan Islam


1. Manusia

Manusia merupakan salah satu makhluk Allah yang paling istimewa dan
pada dirinya diberikan potensi (fitrah) yang membuatnya dapat menjalani
kehidupannya di dunia dan dapat mengolah sumber daya yang telah
dianugerahkan Allah untuk mempermudah keberlangsungan hidupnya di
dunia, serta mampu menjadikan kemegahan alam semesta tersebut sebagai
perenungan dan bukti akan besarnya kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.

Untuk memahami hakikat sebenarnya dari manusia, diperlukan adanya


pemahaman yang mendalam dan ketinggian pemikiran karena manusia
merupakan makhluk yang kompleks dan memiliki banyak sisi berbeda yang
sulit untuk digeneralkan.

Menurut Mohammad Irfan dan Matsuki HS, “Al-Qur’an


memperkenalkan tiga istilah kunci (key term) yang mengacu pada makna
pokok manusia, yaitu basyar, al-insan, dan al-nas. Ahli lain menambahkan
istilah lain yang mengacu pada makna manusia yaitu Adam yakni,
representasi manusia.”1

Menurut Fadilah Suralaga, dkk, kata basyar berasal dari kata yang
pada mulanya berarti menampakkan sesuatu dengan baik dan indah. Dari
akar kata yang sama lahirlah kata basyarah yang berarti kulit. Manusia
dinamai basyar karena memiliki kulit yang jelas, dan berbeda dengan kulit
binatang yang lain. Proses kejadian manusia sebagai basyar, melalui
tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.2

1
Mohammad Irfan dan Matsuki HS, Teologi Pendidikan Tauhid Sebagai Paradigma
Pendidikan Islam (Jakarta: Friska Agung Insani, 2000), Cet. I, h. 55.
2
Fadilah Suralaga, dkk, Psikologi Pendidikan dalam Persepektif Islam, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2005), Cet. I, h. 11

10
11

Firman Allah dalam surat Al-Ruum ayat 20:

            
  

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah,
kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.”

Adapun pengertian manusia sebagai insan, sebagaimana dipaparkan oleh


Fadilah Suralaga, dkk, “Kata insan diambil dari kata uns yang berarti jinak,
harmonis, dan nampak. Kata insan dalam Al-Qur’an digunakan untuk
menunjukkan kepada manusia dengan segala totalitasnya, jiwa dan raga.
Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain. Akibat perbedaan
fisik, mental dan kecerdasan.”3
Selanjutnya, menurut Mohammad Irfan dan Matsuki HS, “Konsep al-nas
mengacu pada manusia sebagai makhluk sosial. Manusia dalam arti al-nas ini
paling banyak disebut Al-Qur’an, yakni sebanyak 240 kali. Menariknya,
dalam mengungkapkan manusia sebagai makhluk sosial, Al-Qur’an tidak
pernah melakukan generalisasi.”4
Sejak dulu para pakar telah mencoba meneliti perihal makhluk yang
bernama manusia dengan menggunakan berbagai teori yang bersumber dari
logika dan penggunaan istilah yang bermacam-macam. Penggunaan istilah ini
di ambil dari kebiasaan-kebiasaan manusia dalam menjalani kehidupannya.
Menurut Achjar Chalil dan Hudaya Latuconsina, para filsuf
mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang cenderung terus-
menerus mencipta (uncountable creator). Para ahli ilmu sosial mengatakan
bahwa manusia adalah makhluk yang cenderung berkumpul (zoon
politicon) sehingga merasa tersiksa kalau diasingkan dari pergaulan
antarmanusia. Ahli jiwa mengatakan bahwa manusia itu adalah makhluk
yang memiliki perasaan (feeling), makhluk yang berpikir (thinking) dan
berkeinginan (willing). Para ahli ilmu biologi mengatakan bahwa manusia
itu tersusun dari unsur-unsur hayati.5

3
4
Ibid., h. 11-12
Mohammad Irfan dan Matsuki HS, op. cit., h. 61
5
Achjar Chalil dan Hudaya Latuconsina, Pembelajaran Berbasis Fitrah, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2009), Cet. II, h. 51-52
Pengertian tentang manusia di atas menunjukkan bahwa manusia
merupakan makhluk yang memiliki kebebasan dalam hal menentukan
keinginan dan tindakannya dan juga memiliki kreativitas yang terus-menerus
berkembang. Pernyataan yang serupa juga dikemukakan oleh beberapa ahli
diantaranya:
Menurut Daniel Djuned dalam bukunya Antropologi Al-Qur‟an.
Mengatakan bahwa para ulama klasik, baik filsuf, mutakallimin, ataupun
ahli ushul melihat manusia hanya sebagai hamba Allah yang diberi akal
dan dilengkapi dengan sejumlah potensi atau istitha‟ah, kebebasan
memilih atau berkehendak (freewill) dan bebas bertindak (freeact) yang
berimplikasi dengan adanya tanggung jawab, meskipun mereka sedikit
berbeda dalam analisis tentang bagaimana potensi itu diberikan Tuhan.6

Menurut Aristoteles, sebagaimana dikutip oleh Jalaluddin dan Abdullah


Idi, “Manusia adalah hewan berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya
dan berbicara berdasarkan akal pikirannya.”7
Menurut Mutahhari, “Manusia adalah makhluk paradoksal. Pada dirinya
terdapat sifat-sifat baik dan jahat sekaligus. Tetapi sifat-sifat itu hanyalah hal-
hal yang potensial. Berdasarkan potensi-potensi yang dimilikinya, manusia
harus membentuk dirinya. Kemampuan membentuk diri adalah khas manusia;
tidak ada makhluk lain yang memiliki kemampuan seperti itu.”8
Menurut M. Arifin, dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islam. “Islam
juga memandang manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang di dalam
dirinya diberi kelengkapan-kelengkapan psikologis dan fisik yang memiliki
kecenderungan ke arah yang baik dan yang buruk.”9
Menurut Jalaluddin dan Abdullah Idi, dalam tinjauan Islam, manusia
adalah pribadi atau individu yang berkeluarga, selalu bersilaturahmi dan
pengabdi Tuhan. Manusia juga pemelihara alam sekitar, wakil Allah swt.
di atas muka bumi ini. Manusia dalam pandangan Islam selalu berkaitan

6
Daniel Djuned, Antropologi Al-Qur‟an, (Jakarta: Erlangga, 2011), h. 88
7
Jalaluddin dan Abdullah Idi, Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat, dan Pendidikan, (
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012), h. 129
8
Murtadha Mutahhari, Perspektif Al-Qur‟an Tentang Manusia dan Agama, (Bandung: Mizan,
1997),Cet. IX, h. 32
9
M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), h. 14
dengan kisah tersendiri, tidak hanya sebagai hewan tingkat tinggi yang
berkuku pipih, berjalan dengan dua kaki dan berbicara.10
Allah SWT. menayatakan dalam firman-Nya surat asy-Syams ayat 1-7:

   g      g      g  
     


   g    g      g    
 

 g  

“Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan
siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta
pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya).”

Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Allah


yang diberi keistimewaan dibanding seluruh ciptaan-Nya yang lain, pada
dirinya telah dibekali potensi-potensi (kesempurnaan akal dan fisik), beserta
kemampuan untuk mengarahkan potensi-potensi tersebut ke arah kebaikan
ataupun keburukan.
Dari beberapa pendapat para ahli yang telah dikemukakan oleh penulis,
dapat disimpulkan bahwa manusia merupakan makhluk Tuhan yang
dianugerahi dengan berbagai potensi serta diberikan kebebasan untuk berpikir
dan bertindak, Adakalanya pemikiran dan tindakannya itu mengarah kepada
keburukan dan dapat berakibat pada pengerusakkan alam. Namun, dapat pula
mengarah kepada kebaikkan yang akan membawa kemaslahatan untuk
dirinya, sesama makhluk, maupun alam semesta.

2. Pendidikan Islam
Pengertian pendidikan Islam menurut rumusan Seminar Nasional tentang
Pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960, sebagaimana dikutip oleh M.
Arifin ialah “Sebagai pengarahan dan bimbingan terhadap pertumbuhan
ruhani dan jasmani manusia menurut ajaran Islam dengan hikmah

10
Jalaluddin dan Abdullah Idi, op. cit., h. 129-130
mengarahkan, membelajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi
berlakunya semua ajaran Islam.”11
Dari hasil konferensi Pendidikan Islam se-Dunia kedua tahun 1980 di
Islamabad, Pakistan, sebagaimana dikutip oleh A. Fatah Yasin, “Pendidikan
Islam adalah suatu usaha untuk mengembangkan manusia dalam semua
aspeknya, baik aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, dan ilmiah
baik secara individual maupun kolektif menuju ke arah pencapaian
kesempurnaan hidup sesuai dengan ajaran Islam.”12
Menurut Ahmad D. Marimba, “Pendidikan Islam adalah bimbingan
jasmani rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada
terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.”13
Menurut A. Fatah Yasin pendidikan Islam merupakan pendidikan
yang integral dan berkesinambungan serta mencakup semua aspek
kepribadian manusia. Aspek-aspek yang diperhatikan oleh pendidikan
Islam adalah: jasad, akal, akidah, emosi, estetika, dan sosial. Karena itu,
pendidikan Islam harus diarahkan untuk pengembangan aspek-aspek
tersebut kepada hal-hal yang bermanfaat dalam kehidupan manusia.
Dengan kata lain, pendidikan Islam ingin membentuk manusia yang
menyadari dan melaksanakan tugas-tugas dan kekhalifahannya serta
memperkaya diri dengan khazanah ilmu pengetahuan tanpa mengenal
batas. Namun juga menyadari bahawa hakikat keseluruhan hidup dan
pemilikan ilmu pengetahuan yang dimaksud tetap bersumber dan bermuara
kepada Allah.14

Maka dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa


pendidikan Islam adalah suatu usaha yang dilakukan secara
berkesinambungan untuk mengembangkan semua aspek kepribadian manusia
baik jasmani maupun rohani, untuk kemudian diarahkan kepada pembentukan
kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam.

11
M. Arifin, op. cit., h. 13-14
12
A. Fatah Yasin, Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UIN-Malang Press,
2008), h. 24
13
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Al Ma’arif,
1980), Cet. IV, h. 23
14
A. Fatah Yasin, op. cit., h. 108
B. Manusia dalam Pendidikan Islam
1. Kedudukan Manusia dalam Pendidikan Islam
Menurut Umiarso dan Zamroni, dalam konsepsi Al-Qur’an, manusia
menempati posisi yang sangat mulia dan terhormat di jagat raya ini, bahkan
kemuliannya lebih tinggi dibandingkan dengan malaikat dan makhluk ciptaan
Allah lainnya. Oleh karena itu, manusia memiliki tanggung jawab yang besar
sebagai mandataris Allah (khalifah Allah fi al ardh) dalam mengatur tata
kehidupan di dunia.15
Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT. dalam surat Al-Baqarah ayat
30
:

               



       
    

                   


    
 

   

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku


hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau
hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya
dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui.”

Kata khalifah berasal dari bahasa Arab “khalafa” yang berarti pengganti,
istilah ini pertama kali digunakan setelah wafatnya Nabi Muhammad saw.
yakni sebagai sebutan bagi para pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi.
Kedudukan seluruh manusia sebagai khalifah yang disebutkan Allah dalam
firman-Nya di atas, tidaklah dimaksudkan bahwa seluruh manusia bertugas
sebagai wakil atau pemimpin umat dalam hal pemerintahan. Akan tetapi
khalifah di sini memiliki arti bahwa setiap manusia memiliki tanggung jawab
untuk dapat mengolah dan menaburkan benih-benih kebaikan sebagai wakil
Tuhan di muka bumi.
15
Umiarso dan Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan Timur,
(Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011), h. 65
Ibnu Arabi mengatakan, sebagaimana dikutip oleh Yunasril Ali,
bahwa jabatan khalifah itu hanya milik insan kamil, karena pada dirinya -
dari aspek batin- terproyeksi pula nama-nama dan sifat-sifat ilahi. Yang
dimaksud khalifah di sini bukan semata-mata jabatan dalam pemerintahan
yang secara lahir merupakan tugas memimpin/mengendalikan
pemerintahan dalam suatu wilayah negara (khalifah al-zhahiriyah), tetapi
lebih ditekankan pada pengertian khalifah yang kedudukannya sebagai
wakil (na‟ib) Allah. Atau lebih spesifik lagi, sebagai manifestasi nama-
nama dan sifat-sifat Allah di muka bumi (al khalifah al ma‟nawiyah)
hingga kenyataan adanya Tuhan terlihat padanya.16
Manusia selaku khalifah Allah di bumi, menurut Hasan Langgulung
sebagaimana dikutip oleh Toto Suharto, mempunyai beberapa karakteristik
sebagai berikut:
a. Manusia semenjak awal penciptaannya adalah baik secara fitrah. Ia
tidak mewarisi dosa karena Adam meninggalkan surga.
b. Interaksi antara badan dan ruh menghasilkan khalifah, karakteristik ini
yang membedakan manusia dengan makhluk lain.
c. Manusia selaku khalifah memiliki kebebasan berkehendak (free will),
suatu kebebasan yang menyebabkan manusia dapat memilih tingkah
lakunya sendiri.
d. Manusia dibekali akal yang dengan akal itu manusia mampu membuat
pilihan antara yang benar dan yang salah.17

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan penulis di atas, dapat


disimpulkan bahwa manusia memiliki kedudukan sebagai khalifah Allah di
bumi, yakni bertugas memanifestasikan nama-nama serta sifat-sifat Allah di
muka bumi ini, hingga kenyataan adanya Allah adalah benar adanya. Dan
kedudukan tersebut hanya dapat diemban oleh insan kamil, yakni manusia
yang memiliki keutamaan di sisi Tuhan maupun di sisi makhluk-Nya.

2. Proses Penciptaan Manusia


Manusia diciptakan Tuhan melalui serangkaian proses alami yang
berlangsung dalam beberapa tahap. Proses penciptaan manusia dijelaskan
Allah dalam firmannya surat Al-Mu’minun ayat 12-14:

16
Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn „Arabi oleh Al-
Jili, 17
(Jakarta: Paramadina, 1997), h. 80
Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011), Cet. I, h. 84-
85
                  
   


                


    
 

                       


     
 

“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal)
dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal
darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang
belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan
dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci Allah, pencipta yang paling baik.”

Dilihat dari proses penciptaannya, Al-Qur’an menyatakan proses


penciptaan manusia dalam dua tahapan yang berbeda, yaitu: Pertama, disebut
dengan tahapan primordial. Kedua, disebut dengan tahapan biologi. Tahap
primordial terjadi pada manusia pertama, Adam as. Ia diciptakan oleh Allah
dari al-tin (tanah), al-turob (tanah debu), min shal (tanah liat), min hamain
masnun (tanah lumpur hitam yang busuk) yang dibentuk Allah dengan
seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkan ruh dari-Nya ke dalam diri
(manusia) tersebut. Selanjutnya, tahapan biologi yang dapat dipahami secara
sains-empirik. Di dalam proses ini, manusia diciptakan dari inti sari tanah
yang dijadikan air mani (nutfah) yang tersimpan dalam tempat yang kokoh
(rahim). Kemudian nutfah itu dijadikan darah beku („alaqah) yang
menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut kemudian dijadikannya
segumpal daging (mudghah) dan kemudian dibalut dengan tulang-belulang
lalu kepadanya ditiupkan ruh.
Menurut Samsul Nizar, “Hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim
menyatakan bahwa ruh dihembuskan Allah swt ke dalam janin setelah ia
mengalami perkembangan 40 hari nuthfah, 40 hari „alaqah dan 40 hari
mudghah.”18
18
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 15
Menurut Musa Asy’arie, sebagaimana dikutip oleh Toto Suharto,
“Terdapat empat tahap proses penciptaan manusia, yaitu tahap jasad, tahap
hayat, tahap ruh, dan tahap nafs.”19 Berikut penjelasan keempat tahapan ini:

a. Tahap jasad

Al-Qur’an menjelaskan bahwa permulaan penciptaan manusia adalah


dari tanah (turab) (QS. Al-Hajj: 5), yaitu tanah berdebu. Al-Quran
terkadang menyebut tanah ini dengan istilah tin (QS. Al-An’am: 2) dan
terkadang juga dengan istilah salsal (QS. Al-Rahman: 14). Namun yang
jelas, yang dimaksud dengan tanah ini adalah saripatinya atau sulalah
(QS. Al-Mu’minun: 12). Penciptaan dari tanah ini tidak berarti bahwa
manusia dicetak dari bahan tanah, seperti orang membuat patung dari
tanah. Penciptaan ini bermakna simbolik, yaitu sari pati yang membentuk
tumbuhan atau binatang yang kemudian menjadi bahan makanan bagi
manusia.

Jadi, awal mula terciptanya janin di rahim seorang ibu ialah


bersumber dari percampuran sperma laki-laki dengan sel telur perempuan
yang semuanya itu merupakan hasil dari olahan makanan yang mereka
cerna setiap harinya. Dan semua makanan tersebut dihasilkan dari dalam
bumi, sehingga proses penciptaan manusia dari tanah hanya merupakan
istilah maknawiyah saja. Proses penciptaan manusia dari tanah yang
bersifat zhahiriyah hanya pernah terjadi pada proses penciptaan manusia
yang paling awal, yakni Nabi Adam as.

b. Tahap hayat

Menurut Toto Suharto, awal mula kehidupan manusia menurut


Al-Qur’an adalah air, sebagaimana kehidupan tumbuhan dan binatang
(QS. Al-Anbiya: 30). Maksud air kehidupan disini adalah air yang
hina atau sperma (QS. As-Sajdah: 8). Sperma ini kemudian membuahi

19
Toto Suharto, op. cit., h. 82
sel telur yang ada dalam rahim seorang ibu. Sperma inilah yang
merupakan awal mula hayat (kehidupan) seorang manusia.20
Pernyataan bahwa awal mula kehidupan di muka bumi ialah
bersumber dari air juga pernah diungkapkan oleh filosof bernama Thales,
hal ini dikarenakan segala unsur dalam makhluk hidup, air pasti menjadi
salah satu kebutuhan dan menjadi bagian dari dirinya. Baik itu hewan,
tumbuhan maupun manusia.

Pada proses terjadinya manusia, air sebagai sumber kehidupan yang


dimaksudkan adalah air sperma yang dihasilkan kaum lelaki, di
dalamnya terdapat zat-zat hidup yang nantinya akan membuahi sel telur.
Sehingga jasad janin yang nantinya akan tumbuh dalam rahim sang ibu
akan dapat hidup dan memiliki karakteristik makhluk hidup pada
umumnya, seperti membutuhkan makanan, bergerak, bernafas, dan
menanggapi rangsang.

c. Tahap ruh

Kata ruh berasal dari kata ar-rih yang berarti angin. Oleh karena itu,
ar-ruh disebut juga an-nafs, yaitu napas atau nyawa. Menurut ibn Atsir,
sebagaimana dikutip oleh Umiarso dan Zamroni, “Ruh itu dipakai dalam
berbagai arti, tetapi yang paling umum ialah sesuatu yang dijadikan
sandaran bagi jasad.”21

Menurut I.R. Poedjawijatna, “Kebanyakan ahli filsafat Yunani


berpendapat bahwa ruh itu merupakan satu unsur yang halus, yang dapat
meninggalkan badan. Jika dia pergi dari badan, dia kembali ke alamnya
yang tinggi, meluncur ke angkasa luar dan tidak mati, sebagaimana
ungkapan Phytagoras kepada Diasgenes.”22

20
21
Ibid.
Umiarso dan Zamroni, op. cit., h. 77
22
I.R. Poedjawijatna, Manusia dengan Alamnya (Filsafat Manusia), (Jakarta: Bina Aksara,
1983), Cet. III, h. 67
Adanya proses peniupan ruh yang ditiupkan Tuhan dalam diri
manusia dan kemudian diiringi dengan pemberian pendengaran,
penglihatan, dan hati merupakan bukti bahwa yang menjadi pimpinan
dalam diri manusia adalah ruh. Ruhlah yang kiranya dapat membimbing,
pendengaran, penglihatan dan hati untuk memahami kebenaran.

Menurut I.R. Poedjawijatna juga, “Islam juga memandang


permasalahan ruh merupakan suatu hal yang terbatas untuk dipelajari
secara mendalam. Hal itu menjadi landasan bukti walaupun banyak ilmu
yang telah dimiliki oleh manusia, namun sampai kapanpun ia tidak akan
bisa melebihi Tuhannya, dalam masalah ruh.”23

Menurut Zuhairini, dkk, Islam berpendapat bahwa manusia terdiri


dari dua substansi yaitu materi yang berasal dari bumi dan ruh yang
berasal dari Tuhan. Maka hakikat pada manusia adalah ruh itu,
sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh untuk
menjalani kehidupan material di alam yang material bersifat sekunder
dan ruh adalah primer, karena ruh saja tanpa jasad yang material, tidak
dapat dinamakan manusia. Malaikat adalah makhluk ruhaniyah
(bersifat ruh semata) tidak memiliki unsur jasad yang material. Tetapi
sebaliknya unsur jasad yang material saja tanpa ruh, maka juga bukan
manusia namanya. Hewan adalah makhluk yang bersifat jasad
material yang hidup. Manusia tanpa ruh, tidak lebih dari hewan.24
Jadi, ruh merupakan suatu unsur halus yang melekat pada jasad.
Manusia bisa dikatakan hidup apabila ruhnya masih melekat pada
jasadnya. Namun, bila ruhnya tersebut telah meninggalkan jasadnya,
maka telah berakhirlah kehidupannya di muka bumi ini.

Oleh karena itu, pada hakikatnya jiwa manusia yang telah hidup sejak
zaman azali hingga di dunia akhirat nanti hanyalah ruhnya saja, adapun
jasadnya yang tampak di muka bumi ini hanya merupakan alat atau wadah
sebagai bukti yang jelas akan kehidupannya di muka bumi.

23
Ibid.
24
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 2004), h. 77
d. Tahap nafs

Menurut Toto Suharto, kata nafs dalam Al-Qur’an mempunyai


empat pengertian, yaitu nafsu, napas, jiwa, dan diri (keakuan). Dari
keempat pengertian ini, Al-Qur’an lebih sering menggunakan kata
nafs untuk pengertian diri (keakuan). Diri atau keakuan adalah
kesatuan dinamik dari jasad, hayat dan ruh. Dinamikanya terletak
pada aksi atau kegiatannya. Kesatuannya bersifat spiritual yang
tercermin dalam aktivitas kehidupan manusia.25
Dalam diri manusia, terdapat jasad sebagai wadah bagi ruh dan
dengan gabungan keduanya kemudian menjadi hiduplah jasad tersebut.
Gabungan unsur-unsur tersebut nantinya akan menghasilkan sebuah aksi
atau tindakan. Dengan adanya aksi tersebutlah baru manusia dapat
dikatakan hidup. Oleh karena itu, dalam hidupnya manusia selalu
bergerak, bersosialisasi dan tidak pernah berhenti untuk berkreativitas
dan mengelola sumber daya alam guna menjaga keberlangsungan
hidupnya dan melestarikan alam semesta.

3. Tugas Hidup Manusia


Tugas manusia dalam pandangan Islam adalah memakmurkan bumi
dengan jalan memanifestasikan potensi Tuhan dalam dirinya. Dengan kata
lain, manusia sesungguhnya diperintahkan untuk mengembangkan sifat-sifat
Tuhan menurut perintah dan petunjuk-Nya. Sifat-sifat Tuhan ini dalam
bahasa agama biasa disebut Al-Asma Al-Husna, yang berjumlah 99. Sebagai
contoh, Tuhan adalah Maha Pengasih (Ar-Rahman) maka manusia
diperintahkan untuk bersifat asih terhadap dirinya dan makhluk lain.
Menurut Toto Suharto, Satu hal yang perlu dikemukakan di sini
adalah bahwa sifat-sifat Tuhan itu hanya dapat dimanifestasikan oleh
manusia dalam bentuk dan cara yang terbatas. Hal ini, selain karena watak
keterbatasan manusia, juga dimaksudkan agar manusia tidak mengaku
dirinya sebagai Tuhan. Seyogyanya manusia menganggap proses
perwujudan sifat-sifat Tuhan ini sebagai suatu amanah, agar manusia
mempunyai tanggung jawab yang besar dalam melaksanakan tugas ini.26

25
Toto Suharto, op. cit., h. 83
26
Ibid., h. 85-86
Jadi, proses perwujudan sifat-sifat Tuhan ini hanyalah sebagai contoh
kecil dari keluasan sifat-sifat Tuhan Yang Maha Besar. Oleh karena itu,
manusia seyogyanya tidak bersifat sombong dan superior dengan
menganggap bahwa dirinya telah mencapai puncak dari semua sifat-sifat baik
yang melekat pada nama-nama Tuhan.

4. Potensi Manusia
Untuk dapat menjalankan fungsi kekhalifahannya, manusia dibekali
Tuhan dengan berbagai potensi. Potensi-potensi ini diberikan Tuhan kepada
manusia sebagai suatu anugerah, yang tidak diberikan Tuhan kepada makhluk
lain. Potensi-potensi ini dalam bahasa agama disebut dengan fitrah.
Di dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim
disebutkan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah. Kedua
orangtuanyalah yang memungkinkan ia menjadi Yahudi, Nasrani, atau
Majusi. Hadis ini mengisyaratkan bahwa manusia semenjak lahir sudah
dibekali dengan berbagai potensi yang disebut dengan fitrah. Fitrah adalah
suatu istilah dari bahasa Arab yang berarti tabiat yang suci atau baik, yang
khusus diciptakan Tuhan bagi manusia. menurut Toto Suharto, “Fitrah
kiranya merupakan modal modal dasar bagi manusia agar dapat
memakmurkan bumi ini. Fitrah juga merupakan potensi kodrati yang dimiliki
manusia agar berkembang menuju kesempurnaan hidup. Keberhasilan
manusia dalam hal ini dapat dilihat dari kemampuannya untuk
mengembangkan fitrah ini.”27
Berdasarkan dengan potensi (fitrah) yang dibekalkan Tuhan kepada
manusia, para ahli filsafat telah memberikan berbagai predikat kepada
manusia. Menurut Zuhairini, Prediket tersebut antara lain:
a. Manusia adalah “homo sapiens” artinya makhluk yang mempunyai
budi.
b. Manusia adalah “animal rational” artinya binatang yang berpikir.

27
Ibid., h. 86
c. Manusia adalah “homo laquen” yaitu makhluk yang pandai
menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran manusia dan perasaan
dalam kata-kata yang tersusun.
d. Manusia adalah “homo faber” artinya makhluk yang tukang, dia
pandai membuat perkakas atau disebut juga “tool making animal”
yaitu binatang yang pandai bekerja sama, bergaul dengan orang lain
dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
e. Manusia adalah “homo economicus” artinya makhluk yang tunduk
pada prinsip-prinsip ekonomi dan bersifat ekonomis.
f. Manusia adalah “homo religious” yaitu makhluk yang beragama. Dr.
M.J. Langeveld seorang tokoh pendidikan bangsa Belanda,
memandang manusia itu sebagai “animal educadum dan animal
educabile” yaitu bahwa manusia itu adalah makhluk yang harus
dididik dan dapat dididik. Di samping itu manusia juga sebagai
“homo planemanet” artinya untuk itu maka unsur rohaniah
merupakan syarat mutlak untuk terlaksananya program-program
pendidikan.28
Jadi, potensi atau fitrah merupakan bekal khusus yang telah disiapkan
Tuhan untuk kelangsungan hidup manusia di bumi. Dengan potensi-potensi
yang berbeda tersebut manusia akan saling belajar dan membantu satu sama
lain guna mengoptimalkan potensi-potensi yang dimiliki diri mereka masing-
masing hingga menuju kesempurnaan hidup. Namun, kesempurnaan tersebut
hanya mampu dicapai oleh orang-orang yang mampu mengenali dan
menggali secara benar potensi-potensi yang terdapat dalam diri mereka.

5. Tujuan hidup manusia


Al-Qur’an menjelaskan bahwa tidaklah semata-mata Allah menciptakan
jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. Firman Allah dalam
surat Adz-Dzariyat ayat 56:

        


     

28
Zuhairini, dkk, op. cit, h. 82-83
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.”

Menurut Toto Suharto, “Ibadah (pengabdian) dalam hal ini tidak


dimaksudkan dalam pengertiannya yang sempit, tetapi dalam pengertiannya
yang luas. Yaitu, nama bagi segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah,
baik berupa perkataan maupun perbuatan. Intinya, tujuan hidup manusia
adalah ibadah kepada Allah dalam segala tingkah lakunya.”29
Tujuan hidup ini pada akhirnya akan bersinggungan dengan tujuan
pendidikan Islam, karena pendidikan pada dasarnya bertujuan memelihara
kehidupan manusia. Dengan demikian, tujuan hidup muslim sebenarnya
merupakan tujuan akhir pendidikan Islam.

6. Manusia Sebagai Subjek dan Objek Pendidikan


Menurut Langeveld, sebagaimana dikutip oleh Madyo Eko Susilo dan
RB Kasihadi, “Manusia itu adalah „animal educandum‟ (makhluk yang
harus dididik) dan „homo educandus‟ (makhluk yang dapat mendidik).”30
Dari hakikat ini jelas bahwa pendidikan itu merupakan keharusan mutlak bagi
manusia.
Hal ini sesuai dengan kandungan Al-Qur’an surat Al’Alaq ayat 1-5:

                   


       

                


   

“Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah


menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmu-lah Yang Maha
Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan perantara kalam, Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya.”

Agama Islam mendorong umatnya agar menjadi umat yang pandai,


dimulai dengan belajar baca tulis dan diteruskan dengan belajar berbagai
macam ilmu pengetahuan. Islam di samping menekankan kepada umatnya

29
30Toto
MadyoSuharto, op. cit.,Dan
Eko Susilo h. 83
RB Kasihadi, Dasar-Dasar Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara,
2001), h. 18
untuk belajar juga menyuruh umatnya untuk mengajarkan ilmunya kepada
orang lain. Jadi Islam mewajibkan umatnya belajar dan mengajar. Menurut
Zuhairini, dkk, “Melakukan proses belajar dan mengajar adalah bersifat
manusiawi, yakni sesuai dengan harkat kemanusiaannya, sebagai makhluk
homo educandus, dalam arti manusia itu sebagai makhluk yang dapat dididik
dan mendidik.”31
a. Manusia sebagai subjek pendidikan
Menurut Ahmad D. Marimba, “Yang dimaksud dari manusia sebagai
subjek pendidikan adalah manusia dalam perannya sebagai pendidik,
secara umum pendidik adalah mereka yang memiliki tanggung jawab
mendidik. Mereka adalah manusia dewasa yang karena hak dan
kewajibannya melaksanakan proses pendidikan.”32

Menurut Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Umiarso dan


Zamroni, „Makhluk yang paling mulia di muka bumi ialah manusia.
Sedangkan, yang paling mulia penampilannya adalah kalbunya. Guru
atau pengajar selalu menyempurnakan, mengagungkan, dan
mensucikan kalbu itu serta menuntunnya untuk dekat dengan Allah.‟ Ia
juga menambahkan, „Seseorang yang berilmu kemudian bekerja
dengan ilmunya itu, dialah yang dinamakan orang besar di bawah
kolong langit ini. Ia bagai matahari yang mencahayai orang lain,
sedangkan ia sendiri pun bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang
baunya dinikmati orang lain, ia sendiri pun harum.‟33
Pendidik, selain bertugas melakukan transfer of knowledge, juga
adalah seorang motivator dan fasilitator bagi proses belajar peserta
didiknya. Menurut Hasan Langgulung sebagaimana dikutip oleh Toto
Suharto, “Dengan paradigma ini, seorang pendidik harus dapat memotivasi
dan memfasilitasi peserta didik agar dapat mengaktualisasikan sifat-sifat
Tuhan yang baik, sebagai potensi yang perlu dikembangkan.”34
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Luqman ayat 13:

31
Zuhairini, dkk, op. cit., h. 99
32
Ahmad. D. Marimba, op. cit., h. 37
33
Umiarso dan Zamroni, op. cit., h. 85
34
Toto Suharto, op. cit., h. 116
                 
    


   

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi


pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah,
Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar.”

Dari beberapa pendapat yang dikemukakan penulis di atas, dapat


disimpulkan bahwa manusia sebagai subjek pendidikan adalah merupakan
seorang pendidik, dalam hal ini pendidik tugas seorang pendidik bukanlah
sekedar melakukan transfer ilmu saja, melainkan juga sebagai penanam
nilai-nilai moral pada diri peserta didik.

b. Manusia sebagai objek pendidikan


Menurut Toto Suharto, “Manusia sebagai objek pendidikan yakni
manusia dalam perannya sebagai peserta didik, peserta didik dalam
paradigma berarti orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah
potensi dasar (fitrah) yang perlu dikembangkan.”35
Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 31:

        g      


     

  

    



“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
kemudian mengemukakannya kepada para malaikat. Lalu mereka berkata:
"Sebutkanlah kepada-ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-
orang yang benar!."
Menurut Umiarso dan Zamroni, ayat ini menggambarkan pada kita
betapa fitrah manusia sebagai peserta didik sudah diaplikasikan oleh
manusia pertama, yaitu Adam, sebagaimana Allah mengajarkan kepada
Adam nama-nama benda secara keseluruhan. Dialog tersebut menjadi
35
Ibid., h. 119
indikasi betapa proses pendidikan mempunyai urgenitas tersendiri dalam
Islam.36
Akan tetapi menurut Zakiah Daradjat, dkk, “Fungsi murid dalam
interaksi belajar-mengajar adalah sebagai subjek dan objek. Sebagai
subjek, karena murid menentukan hasil belajar dan sebagai objek, karena
muridlah yang menerima pelejaran dari guru”.37
Jadi, manusia sebagai objek pendidikan ialah saat manusia berada
pada posisi sebagai penerima materi atau ilmu. Namun, tetap saja hasil
akhirnya ditentukan oleh mereka sendiri sebagai subjek penentu.

C. Hasil Penelitian yang Relevan


Tulisan-tulisan tentang Hamka sudah banyak dikaji orang, begitu juga tentang
penelitian mengenai tokoh ini, dikarenakan tokoh ini memiliki pengaruh besar di
bidangnya dengan bukti karya-karyanya yang masih terus diterbitkan dan dikaji
hingga saat ini.
Berikut merupakan beberapa penelitian terkait dengan Hamka berkenaan
masalah pendidikan, yaitu:
1. Nilai-Nilai Pendidikan Islam Dalam Buku Tasawuf Modern Buya Hamka
skripsi karya Rini Setiani mahasiswa PAI, dalam penelitian karya
ilmiahnya ini peneliti mencoba mengulas nilai-nilai Islam yang dapat
diaplikasikan dalam khazanah pendidikan Islam yang terkandung dalam
buku Tasawuf Modern karya Hamka. Dari penelitian ini pula dapat
diketahui setidaknya terdapat tiga pembahasan pokok mengenai nilia-nilai
pendidikan Islam, yaitu pendidikan keimanan, pendidikan akhlak, dan
pendidikan spiritual.
2. Pemikiran Hamka tentang Pendidikan Islam, skripsi karya Ajeng
Pramiswari mahasiswi PAI, dalam penelitian karya ilmiah ini peneliti
memaparkan bahwa tujuan hidup manusia merupakan tolak ukur
pendidikan Islam, dalam hal ini, tujuan hidup manusia yang dirumuskan

36
Umiarso dan Zamroni, op. cit., h. 83
37
Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), Cet-I, h. 268
Hamka adalah untuk beribadah, maka segala proses pendidikan pada
akhirnya bertujuan agar dapat menuju dan menjadikan peserta didik
sebagai abdi Allah dengan cara mengenal dan mencari keridhoan Allah,
membangun budi pekerti untuk berakhlak mulia, serta mempersiapkan
peserta didik untuk hidup secara layak dan berguna di tengah-tengah
komunitas sosialnya.

Dari dua penelitian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti pandangan Hamka
mengenai konsepnya tentang manusia dan hubungannya dengan konsep
pendidikan Islam yang dirumuskannya. Karena pada dasarnya setiap konsep
pendidikan yang dirumuskan oleh suatu tokoh tidak akan pernah terlepas dari
gagasan mereka tentang manusia, karena manusia merupakan subjek dan objek
kajian dari pendidikan itu sendiri, jadi pemahaman tentang konsep manusia secara
mendalam mutlak dipahami oleh para penggagas pendidikan, dalam penelitian ini
adalah Hamka. Dan karena belum ditemukan penelitian yang membahas
mengenai konsep manusia dan implikasinya terhadap konsep pendidikan Islam
menurut Hamka.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu Penelitian

Penelitian yang berjudul “Hubungan Konsep Manusia dengan Konsep


Pendidikan Islam Menurut Haji Abdul Malik Karim Amrullah” ini dilaksanakan
dalam waktu beberapa bulan, dengan pengaturan waktu sebagai berikut: bulan
September 2014 sampai bulan Februari 2015 digunakan untuk pengumpulan data
mengenai sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari teks book yang ada di
perpustakaan, serta sumber lain yang mendukung penelitian.

B. Metode dan Jenis Penelitian

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan metode penelitian


kepustakaan (library research). Sesuai dengan pokok masalah yang telah
dirumuskan, data dan informasi yang dihimpun dalam penelitian ini bersifat
kualitatif. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan metode kualitatatif. Dalam
penyajian data digunakan metode deskriptif analisis. Metode deskriptif digunakan
untuk menguraikan dan menggambarkan data dan informasi yang diperoleh dalam
bentuk kalimat yang disertai dengan kutipan-kutipan data.

Dalam proses mengumpulkan bahan kepustakaan, peneliti melakukannya


dengan cara membaca, menelaah buku-buku, surat kabar dan bahan-bahan
informasi lainnya terutama yang berkaitan dengan manusia dan pendidikan Islam.

29
30

C. Sumber Data

Menurut Lexy J. Moleong, “Sumber data utama dalam penelitian kualitatif


ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen
dan lain-lain.”1

Adapun sumber data tersebut adalah:

1. Menurut Saefudin, “Data primer adalah data utama dari berbagai referensi
atau sumber-sumber yang memberikan data langsung dari tangan
pertama”2. Dalam hal ini sumber data primer yang digunakan adalah buku-
buku karya Hamka sebagai sumber acuan utama, antara lain: Hamka,
Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998, dan Hamka, Lembaga
hidup, Jakarta: Djajamurni, 1962.
2. Menurut Sugiyono, “Sumber data sekunder sebagai data pendukung yaitu
berupa data-data tertulis baik itu buku-buku maupun sumber lain yang
memiliki relevansi dengan masalah yang dibahas.” 3Dalam hal ini sumber
data sekunder yang digunakan antara lain buku Memperbincangkan
Dinamika Intelektual Dan Pemikiran HAMKA Tentang Pendidikan Islam
karangan Samsul Nizar dan Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan
karangan Suwito dan Fauzan, Tafsir Al-Azhar: Dimensi Tasawuf HAMKA
karangan Abdul Rouf, dan lain sebagainya.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik dan alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah Studi Pustaka (Library Research), menurut Sugiyono “studi pustaka yaitu
studi yang dilakukan dengan mempelajari literatur yang ada hubungannya dengan
masalah yang diteliti dengan mengumpulkan data-data melalui bahan bacaan

1
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2014), h.
157
2
Saefudin Azwar, Metodologi Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 89
3
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D, (Bandung:
Alfabeta, 2012), h. 309
seperti teks book, dan artikel yang memiliki relevansi dengan penelitian ini guna
mendapatkan landasan teori.”4

E. Teknik Analisis Data

Menurut Lexy J. Moleong, “Analisis data adalah upaya yang dilakukan


dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya
menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan
pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa
yang dapat diceritakan kepada orang lain.”5

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik Analisis Isi (Content


Analysis), yaitu menggunakan deskriptif analisis. Dalam catatan deskriptif ini
peneliti memberikan informasi faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa
adanya dan mencakup penggambaran secara rinci dan akurat terhadap berbagai
dimensi yang terkait dengan semua aspek penelitian, yaitu mengenai konsep
manusia dan hubungannya dengan konsep pendidikan Islam menurut Hamka.
Kemudian setelah itu, dengan mengambil materi-materi yang relevan dengan
permasalahan yang akan dibahas, kemudian peneliti menganalisis data tersebut,
sehingga menghasilkan suatu kesimpulan.

F. Teknik Penulisan

Teknik atau metode penulisan ini berpedoman pada Pedoman Skripsi


Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2014. Teknik penulisan juga mengacu kepada buku
Metode Penelitian Pendidikan karya Prof. Dr. Sugiyono dan juga mengacu
kepada buku Metodologi Penelitian Kualitatif karya Prof. Dr. Lexy J Moelong,
M.A.

4
5
Ibid., h. 309
Lexy J. Moleong, op. cit., h. 248
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Biografi Hamka
1. Riwayat Hidup Hamka

Menurut Samsul Nizar, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka),


lahir di sungai Batang, Maninjau (Sumatera Barat) pada hari Minggu, tanggal
16 Februari 1908 M/13 Muharram 1326 H dari kalangan keluarga yang taat
beragama. Ayahnya bernama Haji Abdul Karim Amrullah atau dikenal
dengan sebutan Haji Rasul bin Syeikh Muhammad Amrullah (gelar Tuanku
Kisai) bin Tuanku Abdul Saleh. Haji Rasul merupakan salah seorang ulama
yang pernah mendalami agama di Mekkah, pelopor kebangkitan Kaum Mudo,
dan tokoh Muhammadiyah di Minangkabau. Sementara ibunya bernama Siti
Shafiyah binti Haji Zakakaria (w. 1934). Dari genelogis ini dapat diketahui,
bahwa ia berasal dari keturunan yang taat beragama dan memiliki hubungan
dengan generasi pembaharu Islam di Minangkabau pada akhir abad XVIII
dan awal abad XIX. Ia lahir dalam struktur masyarakat Minangkabau yang
menganut sistem matrilinear. Oleh karena itu, dalam silsilah Minangkabau ia
berasal dari suku Tanjung, sebagaimana suku ibunya.1

Menurut Herry Mohammad, dkk, nama Hamka melekat setelah ia untuk


pertama kalinya menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada tahun 1927.2
Menurut Abdul Rouf, nama asli Hamka adalah Abdul Malik. Lalu diberi gelar
buya oleh para penganut faham Muhammadiyah di Minangkabau, yang
menunjukkan bahwa orang itu memiliki kedalaman ilmu dalam pengetahuan
agama. Panggilan tersebut setara dengan panggilan kyai di Pulau Jawa. Nama

1
Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran HAMKA tentang
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), Cet. I, h. 15-18
2
Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema
Insani), 2006, h. 60

32
33

Hamka merupakan singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, yang
juga merujuk kepada nama ayahnya, Haji Abdul Karim Amrullah. 3 Menurut
Floriberta Aning S, dalam bukunya yang berjudul 100 Tokoh yang Mengubah
Indonesia, pada tahun 1929 Hamka menikah dengan Siti Raham binti Endah
Sutan dan kemudian dari hasil perkawinan tersebut mereka dikaruniai 12
orang anak, 2 diantaranya meninggal dunia. Dan pada tahun 1973 ia menikah
untuk yang kedua kalinya dengan seorang perempuan asal Cirebon, yaitu Hj.
Siti Chadijah setelah ditinggal wafat istri pertamanya satu setengah tahun
sebelumnya. Hamka dikenal sebagai salah satu tokoh organisasi Islam
modern Muhammadiyah. Bahkan Hamka bisa disebut sebagai tokoh utama
berdirinya organisasi itu di wilayah Sumatera Barat.4

2. Pendidikan Hamka
Menurut Samsul Nizar, sejak kecil Hamka menerima dasar-dasar agama
dan membaca Al-Qur‟an langsung dari ayahnya. Ketika usia 6 tahun, ia
dibawa ayahnya ke Padangpanjang. Pada usia 7 tahun, ia kemudian
dimasukkan ke sekolah desa dan mengenyam pendidikan di sana selama 3
tahun lamanya. Ia juga memiliki hobi menonton film yang kemudian banyak
memberinya inspirasi untuk mengarang.5
Pendidikan formal yang dilaluinya sangat sederhana. Mulai tahun 1916
sampai 1923, ia belajar agama pada lembaga pendidikan Diniyah School di
Padangpanjang, serta Sumatera Thawalib di Padangpanjang dan di Parabek.
Walaupun pernah duduk di kelas VII, akan tetapi ia tidak memiliki ijazah.
Guru-gurunya pada waktu itu antara lain; Syeikh Ibrahim Musa Parabek,
Engku Mudo Abdul Hamid Hakim, Sutan Marajo, dan Syeikh Zainuddin
Labay el-Yunusiy.

3
Abdul Rouf, Tafsir Al Azhar: Dimensi Tasawuf HAMKA, (Selangor: Piagam Intan SDN.
BHD, 2013), Cet. I, h. 19
4
Floriberta Aning S, 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh
yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20, (Jakarta: Pt. Buku Kita, Cet. III,
2007), h. 81
5
Samsul Nizar, op. cit., h. 25-26
Pelaksanaan pendidikan waktu itu masih bersifat tradisional dengan
menggunakan sistem halaqah. Pada tahun 1916, sistem klasikal baru
diperkenalkan di Sumatera Thawalib Jembatan Besi. Hanya saja, pada saat itu
sistem klasikal yang diperkenalkan belum memiliki bangku dan alat belajar
mengajar lainnya. Materi pendidikan masih berorientasi pada pengajian kitab-
kitab klasik, seperti nahwu, sharaf, manthiq, bayan, fiqh, dan sejenisnya.
Pendekatan pendidikan dilakukan dilakukan dengan menekankan pada aspek
hafalan. Pada waktu itu, sistem hafalan merupakan cara yang paling efektif
bagi pelaksanaan pendidikan. Meskipun kepadanya diajarkan membaca dan
menulis huruf Arab dan Latin, akan tetapi yang lebih diutamakan adalah
mempelajari kitab-kitab Arab klasik dengan standar buku-buku pelajaran
sekolah agama rendah di Mesir. Pendekatan pelaksanaan pendidikan tersebut
tidak diiringi dengan belajar menulis secara maksimal. Akibatnya banyak di
antara teman-temannya yang fasih dalam membaca kitab, akan tetapi tidak
bisa menulis dengan baik.
Di antara metode-metode yang digunakan guru-gurunya, hanya metode
pendidikan yang digunakan Zainuddin Labay el Yunusiy yang menarik
hatinya. Pendekatan yang dilakukan gurunya ini, bukan hanya mengajar
(transfer of knowledge), akan tetapi juga melakukan proses “mendidik”
(transformation of value). Melalui Diniyah School Padangpanjang yang
didirikannya, ia telah memperkenalkan bentuk lembaga Islam modern dengan
menyusun kurikulum pendidikan yang lebih sistematis, memperkenalkan
sistem pendidikan klasikal dengan menyediakan kursi dan bangku tempat
duduk siswa, menggunakan buku-buku di luar kitab standar, serta
memberikan ilmu-ilmu umum seperti : bahasa, matematika, sejarah, dan ilmu
bumi.
Secara formal, pendidikan yang ditempuh Hamka tidaklah tinggi. Hanya
sampai kelas 3 di sekolah desa, lalu, sekolah agama yang ia jalani di
Padangpanjang dan Parabek juga tak lama, hanya selama tiga tahun.
Selebihnya ia belajar sendiri. Kesukaannya di bidang bahasa membuatnya
cepat sekali menguasai Bahasa Arab. Dari sinilah ia mengenal dunia secara
lebih luas, baik hasil pemikiran klasik Arab maupun Barat. Karya para
pemikir Barat ia dapatkan dari hasil terjemahan ke Bahasa Arab. Lewat bahas
pula Hamka kecil suka menulis dalam bentuk apa saja. Ada puisi, cerpen,
novel, tasawuf, dan artikel-artikel tentang dakwah.
Ketertarikannya terhadap ilmu pengetahuan, tidak hanya seputar ilmu-
ilmu Islami, namun juga terhadap ilmu-ilmu umum semakin berkembang saat
ia bekerja di perpustakaan milik gurunya Engku Zainuddin dan Engku Dt.
Sinaro yang bernama Zinaro. Selain dipekerjakan untuk membantu melipat
kertas, gurunya juga memperbolehkannya untuk membaca buku-buku di
perpustakaan tersebut. Pada saat itulah ia mulai berkenalan dengan buku-
buku karya Plato, Aristoteles, Phytagoras, Plotinus, Ptolemaios, dan ilmuan
lainnya dari berbagai bidang ilmu.
Dalam menerima berbagai informasi dan ilmu pengetahuan ia sangat
menunjukkan kehati-hatiannya, namun tak menutup kemungkinan juga
baginya untuk terkadang ia mengambil pendapat ilmuan Barat yang
pandangannya bersifat positif bagi pembangunan dinamika umat (Islam).
Sistem pendidikan tradisional dilingkungan tempat tinggalnya
membuatnya merasa kurang puas dan ia berniat untuk melanjutkan
pendidikannya di tanah Jawa, ia lalu mendalami kitab-kitab klasik dan ilmu
lainnya di Yogyakarta. Guru yang amat besar jasanya dalam mengajarinya
tentang ilmu agama pada waktu itu adalah A.R. Sutan Mansur. Ia juga sering
melakukan diskusi guna memperluas wawasannya bersama para kawannya,
salah satunya ialah Muhammad Natsir. Di tempat ini pula, ia mulai
berkenalan dengan ide pembaruan gerakan Serikat Islam dan
Muhammadiyah.
Kemudian, pada tahun 1925, ia melanjutkan pendidikannya di
Pekalongan, di sini, ia tinggal dan bersama iparnya A.R. St. Mansur dan
mulai mempelajari ilmu tentang Islam yang dinamis maupun ilmu politik dari
iparnya tersebut. Di sini pula ia berkenalan dengan ide-ide pembaruan
Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha yang berupaya
mendobrak kebekuan umat. Ide-ide pembaruan para tokoh ini juga turut
mewarnai wacana pembaruan yang dilakukannya. Dan pada bulan Juni di
tahun yang sama, ia kembali ke kampung halamannya di Maninjau dengan
membawa semangat dan waawasan yang baru tentang Islam yang dinamis.
Diantara guru-guru dan teman seperjuangan Hamka antara lain; Haji
Rasul (ayahnya), Syeikh Ibrahim Musa, R.M. Surjopranoto, A.R. Sutan
Mansur (dewan penasehat Muhammdiyah 1962-1980), H. Fachroedin (wakil
ketua P.B. Muhammadiyah), K.H. Mas Mansur, H.O.S. Cokroaminoto (yang
mengajarinya tentang peradaban Barat), A. Hasan, M. Natsir, K.H. Ahmad
Dahlan (pendiri organisasi Muhammadiyah), K.H. Ibrahim, K.H. Mukhtar
Bukhari, dan K.H. Abdul Mu‟thi.

3. Riwayat Pekerjaan dan Karya-Karya Hamka


Menurut Samsul Nizar, Pada tahun 1925, sekembalinya Hamka dari
perjalanan intelektualnya di tanah Jawa, ia kembali ke Maninjau dan mulai
berpidato di muka umum, ia menambah wawasannya dengan berlangganan
surat kabar dari Jawa yang memperkenalkannya dengan ide-ide pembaruan
dan pergerakan umat Islam. Dan untuk memperkenalkan semangat modernis
tentang wawasan Islam “baru” tersebut ia membuka kursus pidato yang diberi
nama “Tabligh Muhammadiyah”. Kumpulan pidato-pidatonya tersebut
kemudian ia himpun menjadi sebuah buku berjudul “Khatib al-Ummah”.6
Menurut Rusydi Hamka, kegiatan politik Hamka bermula pada tahun
1925 ketika Hamka menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun
1945, Hamka membantu menentang usaha kembalinya Penjajah Belanda ke
Indonesia melalui pidato dan menyertai geriliya di dalam hutan Medan. Pada
tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional,
Indonesia. Beliau juga menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi
pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudian
diharamkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1960.7

6
Ibid., h. 28-29
7
Rusydi Hamka, Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka, (Jakarta: Pustaka Panji Mas,
1989), h. 7
Menurut Irfan Hamka, jabatan atau pekerjaan yang pernah diemban
Hamka selama hidupnya antara lain, menjabat sebagai Konsultan
Muhammadiyah Sumatera Barat pada tahun 1943, menjadi Ketua Front
Pertahanan Nasional (FPN) pada tahun 1947, menjadi Ketua Sekretariat
Bersama Badan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK) di tahun 1948, menjadi
Pegawai Negeri pada Departemen Agama RI di Jakarta pada tahun 1950,
pada tahun 1955 sampai 1957 terpilih sebagai Anggota Konstituante Republik
Indonesia, pada tahun 1960 menjabat sebagi Pengurus Pusat Muhammadiyah,
menjadi Dekan Fakultas Usuluddin Universitas Prof. Moestopo Beragama
pada tahun 1968, menjabat sebagi Ketua MUI pada tahun 1975 hingga 1981,
dan di tahun yang sama pula ia menjabat sebagai Ketua Umum Yayasan
Pesantren Islam Al-Azhar selama dua periode.8
Menurut Irfan Hamka pula, sebagai seorang intelektual yang produktif di
zamannya, Hamka juga mendapatkan berbagai gelar kehormatan.
Penghargaan yang pernah didapatnya antara lain; gelar Doctor Honoris Causa
dari Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Lalu gelar Doctor Honoris Causa
dari Universitas Prof. Moestopo Beragama, dan kemudian mendapat gelar
yang sama dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun 1974. Bahkan
setelah wafatnya ia mendapat Bintang Mahaputera Madya dari Pemerintah RI
di tahun 1986, dan mendapat penghormatan sebagai Pahlawan Nasional di
tahun 2011.9
Menurut Samsul Nizar, Hamka memiliki peran yang luas dalam
pembaruan Islam di Makassar dan Minangkabau. Ia menawarkan model
pendidikan Islam yang reformis. Bahkan melalui ide-ide pembaruannya, ia
membuka wawasan intelektual umat Islam dan mensejajarkan pendidikan
Islam dengan pendidikan yang dikelola Pemerintah Kolonial. Ia mencoba
melakukan periodesasi perjalanan intelektualnya dalam empat periode, antara
lain. Pertama, masa munculnya konversi intelektual. Proses ini terjadi tatkala
ia melihat adanya ketimpangan terhadap pola pemikiran umat Islam yang

8
9
Irfan Hamka, Ayah, (Jakarta: Republik, 2013), h. 290
Ibid.
jumud, serta pendidikan Islam yang hanya berorientasi pada bangsa Arab dan
dikotomis. Kedua, tahap pencarian identitas dan pembentukan wawasan
intelektual. Masa ini dipengaruhi oleh pemikiran ketika ia belajar di
Pekalongan dan Jogjakarta. Persentuhannya dengan ide-ide Islam modernis
yang berkembang waktu itu, telah ikut mempengaruhi warna dan dinamika
pemikirannya. Ketiga, tahap pengembangan intelektual awal. Masa ini adalah
setelah kembali dari Jawa. Dinamika ini bisa dilihat dari upayanya
mengembangkan ide pembaruan, baik ketika di Minangkabau maupun Medan
dan Makassar. Proses tersebut dilakukan melalui wadah Muhammadiyah
maupun karya-karyanya. Keempat, tahap pengembangan intelektual kedua
dan pemaparan pemikiran-pemikiran pembaruannya. Masa ini diawali ketika
berangkat ke Jakarta, dan terutama pada tahun 1952 sampai akhir hayatnya,
ketika zaman Jepang, Hamka memang sempat mendapat posisi sebagai
anggota Syu Kai (Dewan Perwakilan Rakyat), setelah banyak sekali
pelarangan yang dilakukan Jepang terhadap perkumpulan dan majalah yang
dipimpinnya. Dan sikap kompromi mau bekerja sama dengan Jepang ini juga
yang memunculkan sikap sinis terhadap dirinya, hingga akhirnya ia pergi ke
Padangpanjang pada tahun 1945 hingga tahun 1949. Sesudah perjanjian
Roem Royen, ia ingin mengembangkan dakwah dan pemikirannya ke Jakarta
dan mulai melakukan aktivitasnya sebagai koresponden majalah
Pemandangan dan Harian Merdeka. Ia kemudian mengarang karya
autobiografinya Kenang-kenangan Hidup, tahun 1950.10
Hamka adalah seorang pemimpin politik, dan agamawan, sastrawan,
wartawan (jurnalistik) yang moderat dan diterima oleh semua lapisan dan
golongan masyarakat, beliau wafat pada 24 Juli 1981 (1401 H), dengan
meninggalkan karya pena yang sangat banyak jumlahnya.
Menurut Hery Sucipto, sebagai bukti penghargaan yang tinggi di bidang
keilmuan, perserikatan Muhammadiyah kini telah mengabadikan namanya

10
Samsul Nizar, op. cit., h. 45-46
sebagai nama Perguruan Tinggi yang ada di Yogyakarta dan Jakarta:
Universitas Hamka (UHAMKA).11
Menurut Samsul Nizar, berdasarkan karya-karya yang dihasilkannya,
orang-orang cenderung memposisikan Hamka sebagai mufasir melalui Tafsir
Al-Azhar-nya, sastrawan melalui roman-romannya, sejarawan melalui sejarah
Islamnya, sufi melalui Tasawuf Modern-nya, dan da‟i dengan kemampuan
retorikanya yang baik. Namun, bila melihat lintas sejarah kehidupannya ia
juga merupakan pendidik yang cukup konsisten dan berhasil.
Keikutsertaannya dalam memperkenalkan pembaruan pendidikan di
Indonesia dengan melakukan modernisasi kelembagaan dan orientasi materi
pendidikan Islam saat mengelola Tabligh School dan Kulliyatul Muballighin
di Makassar dan Padangpanjang merupakan salah satu bukti kecemerlangan
pemikirannya tentang pendidikan dan dimensi-dimensi ajaran Islam yang
bersifat dinamis, inovatif, dan revolusioner. Padahal jika diteliti latar
belakang pendidikannya, ia merupakan sosok ulama produk pendidikan
tradisional (surau).12
Lebih dari seratus buku telah dikarangnya yang meliputi: sejarah, filsafat,
novel dan masalah-masalah Islam. Selain itu ia juga dipandang sebagai
pengajar tasawuf modern di Indonesia. Berikut adalah beberapa karya-karya
Hamka, antara lain:
a. Autobiografi
Kenang-Kenangan Hidup, Jilid I, II, III, IV, Cet. 4. Jakarta: Bulan
Bintang, 1979. Dalam buku ini ia mengisahkan secara terperinci
mengenai kisah hidupnya dari kecil hingga dewasa, bahkan hingga hal-
hal yang sangat prinsipil seperti sisi-sisi kehidupan keluarganya.

b. Biografi
Ayahku; Riwayat Hidup Dr. H. Abdul Karim Amrullah dan
Perjuangannya. Jakarta: Pustaka Widjaja, 1958. Melalui karyanya ini ia

11
Hery Sucipto, Tajdid Muhammadiyah, (Jakarta: Grafindo, 2005), h. 158
12
Samsul Nizar, op. cit., h. 2
berupaya memaparkan secara rinci kepribadian dan sepak terjang
ayahnya Haji Abdul Karim Amrullah atau dikenal dengan sebutan Haji
Rasul. Bahkan lebih jauh, ia mengawali karyanya dengan memaparkan
sejarah perkembangan dan pergerakan umat Islam di Minangkabau pada
awal abad XIX.

c. Filsafat dan Keagamaan


1) Falsafah Hidoep. Djakarta: Poestaka Pandji Masyarakat, 1950.
Dalam karyanya ini ia memaparkan tentang makna hidup, ilmu,
akal, hukum alam (sunnatullah), adab kesopanan, kesederhanaan,
keberanian, keadilan, persahabatan, dan fungsi Islam sebagai
pembentuk hidup.
2) Lembaga Hidup, Jakarta: Djajajmurni, 1962. Dalam karyanya ini ia
mencoba mengupas tentang makna kewajiban serta fungsi dan tata
cara pelaksanaan kewajiban tersebut, lalu diakhiri dengan
pemaparan sosok Nabi Muhammad SAW.
3) Lembaga Budi, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983. Sesuai dengan
judul buku ini, di dalamnya dipaparkan secara rinci mengenai
makna budi dan perkara-perkara yang dapat merusak budi tersebut,
selain itu ia juga menyisipkan sedikit pengalaman-pengalaman
hidupnya.
4) Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983. Dalam buku ini
ia mencoba memaparkan permasalahan tasawuf dengan bahasa
yang lebih sederhana dan mudah untuk dipahami masyarakat
umum. Ia juga menjelaskan tentang perlunya penghayatan
keagamaan yang mendalam, namun, tidak perlu melakukan
pengasingan diri (uzlah), melainkan tetap aktif terlibat dalam
masyarakat.
5) Tafsir Al-Azhar, Juz I Sampai Juz XXX. Jakarta: Pustaka Panjimas,
1986.
d. Adat dan Kemasyarakatan
1) Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Jakarta: Tekad, 1963.
Yang berisi kritikkan terhadap banyaknya adat Minangkabau yang
dianggapnya sudah menyimpang dari ajaran Islam.
2) Islam dan Adat Minangkabau. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984.

e. Sejarah Islam
1) Pembela Islam (Tarikh Sayyidina Abubakar Shiddiq). Medan:
Pustaka Nasional, 1929.
2) Ringkasan Tarikh Ummat Islam. Medan: Pustaka Nasional, 1929.
3) Sedjarah Islam Di Soematera. Medan: Pustaka Nasional, 1950.
4) Sejarah Umat Islam, 4 Jilid. Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

B. Konsep Manusia serta Hubungannya dengan Konsep Pendidikan Islam


Menurut Hamka
1. Konsep manusia
a. Pengertian manusia dan fitrah manusia menurut Hamka
Manusia merupakan salah satu di antara banyak makhluk ciptaan
Allah SWT. Tujuan dan bentuk penciptaan manusia itu sendiri amatlah
berbeda dengan makhluk selainnya, manusia dianugerahi keistimewaan
berupa bermacam-macam potensi dan kelebihan yang tidak dimiliki oleh
makhluk ciptaan Allah lainnya. Untuk menghasilkan bibit-bibit manusia
yang unggul dan berpotensi baik ini tidaklah terjadi secara tiba-tiba tanpa
melalui suatu proses terlebih dahulu, akan tetapi dibutuhkan suatu usaha
dan ikhtiar yang dimulai sedari dini, yakni sejak manusia masih berada
dalam kandungan.
Menurut Hamka, “Dalam kandungan seorang ibu tercipta „Lembaga
(cetakan) Hidup‟ yang akan dituangkan seketika manusia itu terlahir di
dunia kelak.”13 Jadi, dalam rahimlah masa penentuan nasib, masa
membentuk lembaga. Lembaga yang salah, tiada akan menghasilkan

13
Hamka, Lembaga Hidup, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1997), h. 2
yang benar. Maka dari itu diusahakan lembaga tidak menjadi sekedar
lembaga yang tidak pernah diusahakan dalam menuangkannya. Bagi
Hamka, manusia harus berusaha agar hal-hal yang diusahakannya sesuai
dengan ketentuan yang disediakan Tuhan untuk manusia.
Pada Al-Qur‟an terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk
penyebutan manusia, yakni; al-basyar, an-nas, al-insan, dan bani Adam.
Istilah penyebutan tersebut didasari atas perbedaan manusia dengan
makhluk-makhluk Allah lainnya baik dalam hal bentuk, serta potensi-
potensi yang dianugerahkan pada diri manusia, seperti akal pikiran, kalbu
dan juga nafsu yang berguna untuk mempelajari dan memahami alam
semesta.
Setelah manusia terlahir di dunia, meski ia terlihat lemah dan tak
berdaya. Namun, sebenarnya sudah terdapat potensi-potensi atau fitrah
yang terdapat di dalam dirinya. Sebagaimana dikemukakan oleh Samsul
Nizar, bahwa dalam hal proses penciptaannya, manusia merupakan
makhluk Allah yang paling sempurna, ia telah dianugerahkan dengan
berbagai fitrah yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Dalam perspektif
pendidikan Islam fitrah manusia dimaknai dengan sejumlah potensi yang
menyangkut kekuatan-kekuatan manusia. Kekuatan tersebut meliputi
kekuatan hidup, kekuatan rasional (akal), dan kekuatan spiritual
(agama).14Ketiga kekuatan ini bersifat dinamis dan saling terkait satu
sama lain (integral).
Dalam Al-Qur‟an kata fitrah dinukilkan Allah SWT. dalam surat ar-
Ruum ayat 30:

             


       
 

                


    


14
Samsul Nizar, Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama, 2001), h. 135
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu, tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.”

Dalam menafsirkan ayat di atas, Hamka memaknai kata fitrah


sebagai “Rasa asli (murni) yang berada dalam jiwa setiap manusia yang
belum dipengaruhi oleh faktor lainnya, kecuali mengakui kekuasaan
tertinggi di alam ini (Allah).”15Menurutnya pula, “Pada dasarnya fitrah
manusia adalah senantiasa tunduk kepada Zat yang hanif (Allah) melalui
agama yang disyari‟atkan padanya.”16

Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Abu „Ala al-Maududi


sebagaimana dikutip oleh A. Susanto. Menurutnya, “Manusia adalah
hamba Allah yang diciptakan dengan dibekali berbagai potensi,
kemampuan atau sifat dasar, yaitu as-sam‟u (pendengaran), al-bashir
(penglihatan), dan al-fuad (akal pikiran).”17 Apabila manusia dapat
mengaktualisasikan dan memfungsikan ketiga potensi tersebut secara
maksimal, manusia tersebut akan mencapai derajat yang tinggi, mampu
menciptakan bermacam-macam ilmu pengetahuan sehingga layak untuk
menjadi pemimpin, sebagai khalifah di muka bumi ini.

Menurut Samsul Nizar, Fitrah dalam Islam tidaklah sama dengan


teori Tabularasa John Locke, yang menyatakan manusia lahir tanpa
potensi. Konsep fitrah manusia dalam Islam juga berbeda jauh dengan
teori Nativisme A. Scophenhour yang menistakan adanya pengaruh
dari luar diri manusia. Selain dua teori tersebut, konsep fitrah dalam
Islam juga berlainan dengan teori Konvergensi William Stern, sebab
dalam Islam perkembangan potensi manusia itu bukan semata-mata
dipengaruhi oleh lingkungan semata dan tidak bisa ditentukan melalui
pendekatan kuantitas. Kepribadian manusia terbentuk atas peran
potensi yang dimilikinya dan juga keterlibatan lingkungan di
sekitarnya, selain itu faktor hidayah yang diberikan Allah kepada
setiap hamba yang dikehendakinya juga turut serta membentuk
kepribadian manusia.18

15
16
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998), Jilid 7, h. 5516
Ibid, h. 5515
17
A. Susanto, Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), h. 76.
18
Samsul Nizar, op. cit., h. 136
Dalam pandangan Islam, manusia tidaklah terlahir dengan tanpa
membawa potensi apapun dan juga sebaliknya, dengan menafikan
pengaruh lingkungan bagi pengembangan potensi-potensi yang telah
terdapat pada dirinya. Melainkan telah ada potensi atau fitrah dalam diri
manusia sejak mereka dilahirkan, dan potensi atau fitrah tersebut akan
dapat berkembang dengan baik melalui perantara dan bantuan pendidikan
dari lingkungan disekitarnya.
Menurut Hamka ketika lahir, potensi anak belum diketahui. Pada
masa ini seorang anak hanya membawa insting (gharizah), seperti
menangis, merasakan haus, lapar, dan lain sebagainya. Dengan perangkat
fisik tersebut secara bertahap mengalami perkembangan ke arah yang
lebih baik. Proses manusia mengembangkan potensinya secara efektif
dan efesien adalah melalui pendidikan. Proses ini dimulai sejak manusia
lahir sampai perkembangannya mengalami kefakuman, yaitu dengan
adanya kematian.19
Hal senada juga dituturkan oleh ibnu Hazm, sebagaimana dikutip
oleh A. Susanto, yakni, “Manusia difitrahkan tidak mempunyai
pengetahuan tentang kehidupannya sewaktu dilahirkan. Kemudian
perjalanan hidupnya menuntut untuk bertindak melawan kegundahan.
Dan ia mulai mencapai pemenuhan hajat hidupnya yang berupa ilmu,
yaitu indra, asumsi, intuisi, dan akal pikiran”.20
Jadi, dapat disimpulkan bahwa manusia merupakan makhluk Allah
yang dibekali dengan berbagai potensi atau fitrah yang istimewa. Fitrah
manusia ini pada dasarnya masih merupakan wujud „ilmi, yaitu berupa
embrio dalam ilmu Tuhan, yang kemudian akan berkembang setelah
manusia lahir dan melakukan serangkaian interaksi dengan
lingkungannya. Perasaan akan adanya Yang Maha Kuasa juga adalah
fitrah manusia. jadi, bila saat tumbuh dan berkembang menjadi manusia
dewasa, seseorang menyimpang dari fitrah asalnya yakni berbuat

19
20
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jilid 6, op. cit., h. 4665-4667
A. Susanto, op. cit., h. 41
kebajikan dan tunduk atas perintah Khaliknya, maka ia telah menyalahi
fitrahnya tersebut.

b. Potensi manusia menurut Hamka

Pada waktu dilahirkan, setiap manusia telah dianugerahi potensi-


potensi yang berbeda antara satu dengan lainnya. Potensi itu sendiri
merupakan bakat atau kemampuan khusus yang dimiliki manusia sebagai
sebuah anugerah dari Tuhan sebagai bekal untuk menjalankan tugasnya
sebagai hamba dan khalifah Tuhan di muka bumi ini.

Menurut Hamka, “Pada diri setiap anak (manusia), terdapat tiga


unsur utama yang dapat menopang tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh
maupun „abd Allah. Ketiga unsur utama tersebut adalah akal, hati, atau
kalbu (roh) dan pancaindera (penglihatan dan pendengaran) yang
terdapat pada jasadnya.”21Perpaduan ketiga unsur tersebut membantu
manusia (peserta didik) untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan
membangun peradabannya, memahami fungsi kekhalifahannya, serta
menangkap tanda-tanda kebesaran Allah. Dalam hal ini, ia mengutip
firman Allah SWT, surat al-Mulk ayat 23:

              


     
 

 

“Katakanlah: „Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan bagi


kamu pendengaran, penglihatan dan hati‟. (tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.”

Begitu juga dalam pandangan Hasan al-Banna sebagaimana dikutip


oleh A. Susanto, “Manusia terdiri dari beberapa unsur pokok, yaitu1)
jasmani atau badan, 2) hati (qalb), 3) akal.”22

21
22
Hamka, Tafsir Al-Azhar, jilid XIV. op. cit., h. 274
A. Susanto, op. cit., h. 64
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap manusia,
sejak dilahirkan ke dunia telah memiliki akal, jasad, dan jiwa sebagai
sebuah bekal (potensi) pribadinya masing-masing yang dapat digunakan
untuk mempelajari dan memahami hakikat alam semesta sebagai bentuk
tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT. di muka bumi. Di sini
penulis akan memaparkan macam-macam potensi manusia menurut
Hamka, yakni:

1) Jasad
Menurut Hamka, jasad (jism) manusia merupakan tempat di mana
jiwa (al-qalb) berada, meskipun jiwa merupakan tujuan utama bagi
manusia, namun tanpa jism, jiwa tidak akan berkembang secara
sempurna. Melalui wasilah jism, jiwa manusia akan berkembang secara
sempurna.
Begitu juga Menurut Zakiah Daradjat, “Dimensi fisik merupakan
dimensi yang mempunyai bentuk dan terdiri dari seluruh perangkat:
badan, kepala, kaki, tangan, dan seluruh anggota luar dan dalam, yang
diciptakan oleh Allah dalam bentuk dan kondisi yang sebaik-baiknya.
Bahkan manusia adalah makhluk Allah yang paling baik.”23

Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surat at-Tin ayat 4:

      


 


“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik- baiknya.”
Jasad manusia merupakan materi yang terikat dengan hukum alam,
yang dapat merasakan sehat, sakit, kuat dan lemah, yang semuanya itu
tergantung pada kebijakan manusia itu sendiri dalam merawat tubuh atau
jasadnya selagi ia masih hidup. Kemampuan dan daya tahan tubuh tiap
manusia berbeda antara satu dengan lainnya, biasanya kaum lelaki
memiliki kekuatan dan ketahanan tubuh yang lebih kuat dibandingkan

23
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta: CV Ruhama,
1995), Cet. 2, h. 2
dengan kaum wanita yang cenderung lebih lemah. Oleh karena itu,
pengetahuan tentang perawatan tubuh mutlak diperlukan oleh setiap
manusia agar dapat menjalani tugas dan aktivitas kehidupannya dengan
baik.
Menurut Hamka, terdapat dua cara yang dapat ditempuh manusia
untuk memelihara tubuhnya, yaitu: pertama, sederhana dalam makan
dan minum. Kedua, mengetahui ilmu kesehatan. Memelihara
kesehatan tubuh adalah penting. Jika tubuh tidak sehat, hanya akan
memengaruhi aspek diri manusia yang lainnya, yaitu kesehatan akal,
bahkan akhirnya akan berdampak pada kesehatan busi (akhlak).24

Menurut Zakiah Daradjat dalam bukunya Pendidikan Islam dalam


Keluarga dan Sekolah, “Kebutuhan fisik jasmaniah merupakan
kebutuhan pertama atau disebut juga kebutuhan primer, seperti makan,
minum, seks, dan sebagainya, tidak dipelajari manusia, sudah fitrahnya
sejak lahir. Jika kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak dipenuhi, akan
hilanglah keseimbangan fisiknya.”25
Jadi, dapat disimpulkan bahwa jasad manusia merupakan wadah
tempat bersemayamnya jiwa manusia selagi ia hidup di dunia ini, yang
terdiri dari seluruh anggota fisik tubuh manusia baik luar maupun dalam.
Dan terdapat beberapa kebutuhan jasad yang mesti terpenuhi guna
menjaga kesehatan jasad seperti, makan, minum dan lain sebagainya.
Pemeliharaan kesehatan jasad ini mutlak diperlukan, karena kesehatan
jasad akan mempengaruhi potensi atau unsur diri manusia lainnya baik
itu akal maupun jiwanya.
2) Jiwa
Pembicaraan mengenai konteks jiwa pada manusia, sesungguhnya
merujuk pada sisi dalam diri manusia yang berpotensi baik dan buruk.
Pada hakikatnya potensi positif manusia lebih kuat dari pada potensi
negatifnya, hanya saja daya tarik keburukannya lebih kuat dari pada daya
tarik kebaikannya. Sehingga, jiwa manusia berada pada posisi yang

24
Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 40
25
Zakiah Daradjat, op. cit., h. 19
lemah, yang digambarkan dengan sifat-sifat bodoh dan kegelapan dan
cenderung membawa kepada kejahatan. Agar manusia dapat memperoleh
keberuntungan, jiwa harus diluruskan dengan mendidiknya sesuai akhlak
Islam. Salah satu faktor penting yang dapat meluruskan jiwa seseorang
adalah bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu agar terhindar dari
kebodohan. Selain itu, pendidikan jiwa pun membutuhkan kesungguhan
hati, kesabaran, dan pengetahuan yang matang.
Menurut ibnu Sahnun sebagaimana dikutip oleh A. Susanto,
“Pendidikan kejiwaan adalah suatu yang penting untuk menghubungkan
manusia dengan penciptanya. Pendidikan kejiwaan ditekankan untuk
membentuk kepribadian anak agar memiliki kepribadian yang
sempurna.”26
Dalam pandangan Hamka tentang pendidikan jiwa (al-qalb) dan
jasad (jism), ia kelihatannya terpengaruh pada pandangan Plato dan
Prancis Bacon. Hal ini terlihat dari sandaran teoritis yang dipergunakan
dalam Lembaga Hidup. Di antaranya, ia mengutip pendapat Plato yang
menyebutkan, bahwa dalam melaksanakan pendidikan, maka ada dua
latihan yang perlu dikembangkan, yaitu: pertama, melatih tubuh dengan
gymnastic supaya tubuh kuat dan sehat. Kedua, melatih jiwa dengan
musik, agar jiwa memperoleh ketentraman dan mampu merasakan
sesuatu.27
3) Akal
Kata akal dalam Bahasa Indonesia berarti pikiran atau intelek (daya
atau proses pikiran yang lebih tinggi berkenaan dengan ilmu
pengetahuan). Dalam Bahasa Indonesia perkataan akal menjadi kata
majemuk akal pikiran.
Kedudukan akal dalam Islam, adalah sangat penting, karena akallah
wadah yang menampung akidah, syari‟ah serta akhlak dan
menjelaskannya. Kita tidak akan pernah dapat memahami Islam tanpa

26
27
A. Susanto, op. cit., h. 57
Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 40-41
mempergunakan akal. Dan dengan mempergunakan akal dengan baik dan
benar sesuai dengan petunjuk Allah, manusia akan merasa selalu terikat
dan dengan sukarela mengikatkan diri kepada Allah SWT.
Pandangan Hamka mengenai akal, baginya akal adalah laksana
sentral listrik dalam pribadi insan, yang harus dipenuhi oleh waterkratch
(tenaga air) dan bahan lainnya, sehingga dapat menimbulkan nyala pada
lampu-lampu pancaindera. Kekayaan tenaga air tersebut merupakan hasil
dari penyelidikan, percobaan dan pengalaman. Tujuan yang dikehendaki
akal ialah tujuan yang bersifat mulia dan utama, namun jalan yang harus
dilalui amatlah sukar.28
Menurutnya Zakiah Daradjat, “Akal merupakan pembeda antara
manusia dengan makhluk Allah swt yang lain. Dengan akal, manusia
memahami, mengamati, berpikir dan belajar. Serta dengan akal itu
manusia merencanakan berbagai kegiatan besar dan kecil, serta
memecahkan berbagai masalah.”29
Menurut Harun Nasution sebagaimana dikutip oleh Mohammad
Daud Ali, Perkataan akal dalam Bahasa Arab mengandung beberapa
arti, di antaranya mengikat dan menahan. Makna akar katanya adalah
ikatan. Ia juga mengandung arti mengerti, memahami dan berpikir.
Para ahli filsafat dan ahli ilmu kalam mengartikan akal sebagai daya
(kekuatan, tenaga) untuk memperoleh pengetahuan, daya yang
membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dengan orang
lain, daya untuk mengabstrakkan (menjadikan tidak berwujud) benda-
benda yang ditangkap oleh pancaindera.30

Untuk menjadikan potensi akal manusia agar dapat berkembang


dengan baik dan sempurna, maka dibutuhkan peran pendidikan akal guna
mengaktifkan saraf-saraf pengetahuan yang telah dianugerahkan Tuhan
pada setiap manusia.
Menurut Hamka, “Apabila bertambah tinggi perjalanan akal, maka
bertambah banyak alat pengetahuan yang dipakai, pada akhirnya

28
29
Hamka, Tasawuf Modern, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), h. 123
Zakiah Daradjat, op. cit., h. 5
30
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008),
h. 385
bertambah tinggi pulalah martabat iman dan Islam seseorang,
sebagaimana sabda Nabi SAW. „Agama itu ialah akal, dan tidak ada
agama pada orang yang tidak berakal‟.”31
Pandangan Hamka ini sejalan dengan pemikiran beberapa tokoh
pendidikan Islam, antara lain:
a) Menurut ibnu Qayyim sebagaimana dikutip oleh A. Susanto,
“Akal adalah pemberian yang paling utama dari Tuhan. Oleh
karena itu, akal merupakan pancaran dari Tuhan. Pada saat
manusia melakukan hal yang bertentangan dengan nilai-nilai
ketuhanan maka sesungguhnya ia telah menyimpang dari maksud
sebenarnya Tuhan memberikan atau melimpahkan nikmat itu
kepadanya.”32
b) Menurut Ibnu khaldun sebagaimana dikutip oleh Ismail Said Ali,
“Akal tidak akan terbentuk secara sempurna kecuali dengan
tambahan yang dihasilkannya dari masyarakat.”33
c) Menurut Zakiah Daradjat, “Akal adalah suatu daya yang amat
dahsyat yang dikaruniakan Allah kepada manusia. Oleh karena itu
pendidikan akal, hendaknya memperhatikan pembinaan daya akal
dan melatihnya, agar dapat digunakan untuk kebaikan.”34
Jadi, dapat disimpulkan bahwa akal merupakan sebuah karunia yang
khusus diberikan Allah SWT. hanya kepada umat manusia. Oleh karena
itu, akal merupakan pancaran dari Tuhan, dan setiap yang berasal dari
Tuhan pastilah ditujukan untuk hal-hal kebaikan. Maka, bila akal
manusia digunakan untuk kemaksiatan dan berpikiran jahat lainnya,
sesungguhnya ia telah menyimpang dari jalan yang dimaksudkan oleh
Tuhan. Untuk menghindari hal tersebut, pendidikan akal mutlak
diperlukan, seperti dengan melakukan berbagai penyelidikan dan

31
32
Hamka, Filsafat Ketuhanan, (Surabaya: Karunia, 1985), h. 10
A. Susanto, op. cit., h. 35
33
Said Isamail Ali, Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh, (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 2010), Cet. I, h. 69
34
Zakiah Daradjat, op. cit., h. 7
percobaan. Hasil dari pendidikan tersebut dimaksudkan untuk menguak
kebesaran dan kekuasaan Tuhan akan alam jagat raya ini, yang nantinya
dapat mengarahkan perbuatan manusia menuju kepada kebaikan dan
kemantapan iman.
Perkembangan jiwa manusiapun akan lebih baik bila didukung oleh
potensi akal. Karena dalam hal ini, akal berfungsi mengolah informasi
terhadap fenomena yang didapat melalui pancaindera yang kemudian
dihasilkan dalam bentuk kesimpulan yang dapat dirasakan oleh jiwa. Hal
ini hanya dapat dilakukan oleh manusia yang berpikir merdeka dan
menggunakan potensi akalnya secara maksimal.
Menurut Samsul Nizar, “Pandangan Hamka tentang akal ini,
terpengaruh dari pandangan Huizingan seorang filosof Belanda. Namun,
secara substansial, pendekatan yang dilakukannya telah mengalami
reduksi dan penyaringan sesuai dengan kerangka ajaran Islam. Untuk itu,
jika ditelusuri, pandangannya tersebut telah bernuansa Islami.”35
“Menurut Hamka, di samping ketiga potensi di atas, manusia juga
memerlukan agama, baik sebagai pemenuhan psikis maupun penuntun
dinamika akalnya. Dengan tuntunan agama, manusia akan lebih banyak
mengetahui rahasia Allah, baik yang bersifat fisik maupun metafisik,
serta senantiasa tunduk kepada ketentuan-Nya.”36

2. Konsep pendidikan Islam


Menurut Abuddin Nata, dalam bahasa Arab, pendidikan disebut
dengan istilah ta‟lim, tarbiyah dan ta‟dib. Ta‟lim mengesankan proses
pemberian bekal pengetahuan, tarbiyah mengandung pengertian proses
pembinaan dan pengarahan bagi pembentukan kepribadian dan sikap
mental, sedangkan ta‟dib mengandung arti proses pembinaan terhadap
sikap moral dan estetika dalam kehidupan yang lebih mengacu pada
peningkatan martabat manusia.37

35
36
Samsul Nizar, Memperbincangkan…, op. cit., h. 125
Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 230
37
Abuddin Nata, Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2005), h. 9
Dalam hal pendefinisian makna pendidikan, Hamka cenderung
menggunakan dua istilah saja, yakni ta‟lim dan tarbiyah. Penggunaan istilah
ta‟lim diambilnya dari Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 3:

         g   


           
   

   


 

“Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,


kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah
kepadaku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"

“Menurut Hamka, kata ta‟lim pada ayat tersebut mengandung makna


bahwa pendidikan merupakan proses pentransferan seperangkat pengetahuan
yang dianugerahkan Allah kepada manusia (Adam).”38 Pendidikan pada
definisi ini didapat dengan menggunakan potensi yang telah dianugerahkan
oleh Allah kepada seluruh manusia, yakni potensi pancaindera dan akal yang
dapat berguna bagi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai khalifah di
muka bumi ini sekaligus menyibak rahasia-rahasia yang terdapat di alam
semesta. Dengan kata lain, kata ta‟lim dapat pula diartikan sebagai suatu
proses terus-menerus yang diusahakan manusia semenjak lahir.
Istilah kedua yang digunakan Hamka dalam definisi pendidikan ialah
tarbiyah. Dalam penjelasannya ia mengutip ayat Al-Qur‟an surat al-Isra‟ ayat
24:

        y 


    g 

“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan
ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua
telah mendidikku di waktu aku kecil".

Berdasarkan ayat di atas Hamka memaknai tarbiyah sebagai “Perbuatan


pemeliharaan yang dilakukan kedua orang tua terhadap anaknya. Proses ini
dilakukan dengan sabar dan penuh kasih sayang, guna membantu anak dari
38
Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz I,op. cit., h. 156
ketidak berdayaannya sampai ia mampu mandiri, baik secara pisik maupun
psikis.”39 Dari penjelasan tersebut, terlihat bahwa dalam penggunaan istilah
tarbiyah ia cenderung memposisikan pendidikan sebagai transmisi nilai dan
misi tertentu.
Hal ini senada dengan pemikiran Hasan al-Banna, sebagaimana dikutip
oleh A. Susanto. Bahwa menurutnya, istilah at-tarbiyah dan at-ta‟lim sering
digunakan dalam pendidikan. At-tarbiyah adalah proses pembinaan dan
pengembangan potensi manusia melalui pemberian berbagai ilmu
pengetahuan yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran agama. Dalam penggunaan
kata at-tarbiyah ini, Hasan al-Banna sering pula menggunakannya untuk
pendidikan jasmani, pendidikan akal, dan pendidikan qalb (hati). Sedangkan
at-ta‟lim adalah proses transfer ilmu pengetahuan agama yang menghasilkan
pemahaman keagamaan yang baik pada anak didik sehingga mampu
melahirkan sifat-sifat dan sikap-sikap yang positif. Sifat dan sikap positif
yang dimaksud adalah; ikhlas, percaya diri, kepatuhan, pengorbanan dan
keteguhan.40
Makna pendidikan menurut Hamka bukanlah sekedar mengajar (transfer
of knowledge) melainkan juga mendidik (transformation of value). Oleh
karena itu, Hamka membedakan makna pendidikan dan pengajaran.
Menurutnya, pendidikan adalah “Serangkaian upaya yang dilakukan pendidik
untuk membantu membentuk watak, budi, akhlak, dan kepribadian peserta
didik.” Sementara pengajaran adalah “Upaya untuk mengisi intelektual
peserta didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan.”41 Perbedaan kedua
pengertian tersebut hanya terletak pada makna saja bukan secara esensi.
Karena keduanya merupakan suatu kesatuan yang bersifat integral dan tak
dapat dipisahkan, dalam proses pendidikan pasti terdapat pengajaran dan
begitu juga sebaliknya.
Menurut Zakiah Daradjat, sebagaimana dikutip oleh A. Tafsir, “Hakikat
pendidikan mencakup kehidupan manusia seutuhnya. Pendidikan Islam yang

39
Ibid., h. 4036-4037
40
A. Susanto, op. cit., h. 65.
41
Hamka, Tafsir Al-Azhar, juz. I, op. cit., h. 202
sesungguhnya tidak hanya memperhatikan satu segi saja, seperti segi akidah,
ibadah atau akhlaknya saja, melainkan mencakup seluruhnya; bahkan lebih
luas dari semua itu.”42
Jadi, berdasarkan pendapat yang dikemukakan penulis di atas,
pendidikan Islam adalah serangkaian upaya yang dilakukan oleh pendidik
kepada peserta didik, baik dalam hal mengisi intelektual peserta didik dengan
berbagai macam ilmu pengetahuan dan agama, juga dalam hal menanamkan
nilai-nilai moral dan kebaikan kepada mereka. Sehingga diharapkan setelah
mengenyam pendidikan ini para peserta didik akan mampu bersikap baik dan
positif.
Pentingnya manusia mencari ilmu pengetahuan, menurut Hamka,
bukan hanya untuk membantu manusia memperoleh penghidupan yang
layak, tetapi lebih dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu mengenal
Tuhannya, memperhalus akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari
keridhaan Allah. Hanya dengan bentuk pendidikan yang demikian,
manusia akan memperoleh ketentraman (hikmat) dalam hidupnya.43

Ini berarti, pendidikan dalam pandangan Hamka terbagi dua bagian;


pertama, pendidikan jasmani, yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan
kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. Kedua, pendidikan
ruhani, yaitu pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu
pengetahuan dan pengalaman yang didasarkan kepada agama.
Adapun konsep pendidikan Islam menurut Hamka adalah:
a. Tujuan pendidikan Islam
Tujuan merupakan masalah pokok dalam pendidikan, karena tujuan
dapat menentukan setiap gerak, langkah dan aktivitas dalam pendidikan.
Penetapan tujuan pendidikan berarti penentuan arah yang akan dituju dan
sasaran yang hendak dicapai melalui proses pendidikan.
“Adapun tujuan pendidikan Islam menurut Hamka adalah mengenal
dan mencari keridhaan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak
mulia, serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup layak dan berguna

42
Ahmad Tafsir, Epistimologi untuk Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: Fak Tarbiyah Iain
Gunung Djati, 1995). h. 98-99
43
Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 54
ditengah-tengah komunitas sosialnya.”44 Bila dilihat, tujuan pendidikan
ini memiliki dua tujuan utama, yakni mencapai kebahagiaan di dunia
maupun di akhirat dengan cara berusaha sebaik mungkin dan beribadah
kepada Allah SWT. guna mencari keridhaan-Nya untuk menjadi hamba-
Nya yang taat.
Pendapat serupa juga dituturkan oleh Hasan al-Banna sebagaimana
dikutip oleh A. Susanto, “Menurutnya tujuan pendidikan adalah untuk
mengantarkan anak didik agar mampu memimpin dunia dan
membimbing manusia lainnya kepada ajaran Islam yang syamil atau
komprehensif, serta memperoleh kebahagiaan di atas jalan Islam.”45
Hal inilah yang menjadi keunggulan pendidikan Islam dibandingkan
dengan pendidikan umum lainnya, yakni bahwa tujuan dari pendidikan
tidak hanya sebatas untuk mencari kebahagiaan dunia saja, melainkan
juga untuk mencapai kebahagiaan di akhirat kelak.
Menurut Baharuddin, dkk, “Tujuan pendidikan dalam konsep Islam
harus mengarah pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa
aspeknya yaitu tujuan dan tugas hidup manusia, memperhatikan sifat-
sifat dasar manusia, tuntutan masyarakat, dan dimensi-dimensi ideal
Islam.”46

b. Materi pendidikan Islam


Dalam orientasi pemikiran biasanya terdapat dua pembagian materi
pendidikan, yang pertama berorientasi pada pengembangan akal dan
yang kedua berorientasi pada pengembangan rasa atau agama.
Menurut Hamka, materi pendidikan yang baik ialah yang
memadukan kedua aspek tersebut. Pendidikan yang didasarkan agama
akan menumbuhkan keyakinan kepada ketentuan Allah dan menjadi
nilai kontrol perilakunya. Sementara pendidikan akal akan membantu

44
Ibid, h. 197
45
A. Susanto, op. cit., h. 66
46
Baharuddin, Umiarso, dan Sri Minarti, Dikotomi Pendidikan Islam Historisitas dan
Implikasi pada Masyarakat Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), Cet. I, h. 145
peserta didik membangun peradaban umat secara dinamis sesuai
dengan nilai-nilai ajaran agama yang diyakininya.47

Dalam hidup ini, menurut Hamka terdapat dua prinsip dasar yang
dapat menunjang dan menjadikan kemajuan dan kejayaan manusia, yaitu
prinsip keberanian dan prinsip kemerdekaan berpikir. Kedua prinsip ini
menimbulkan berbagai macam pengetahuan dan tanpa keduanya ilmu
pengetahuan tidak pernah muncul serta kejayaan manusia hanya berada
dalam angan-angan. Berdasarkan prinsip tersebut Hamka membagi
materi pendidikan Islam dalam empat macam, yaitu:
1) Ilmu-ilmu agama, seperti tauhid, fiqh, tafsir, hadis, nahwu, bayan,
mantiq, akhlak, dan sebagainya. Menurut Hamka melalui muatan
materi keagamaan, diharapkan akan menjadi alat kontrol sekaligus
ikut mewarnai pembentukan kepribadian peserta didik.48 Seyogyanya
dalam setiap lembaga pendidikan selalu mengedepankan muatan
materi pendidikan keagamaan, namun, bukan sebatas mengajar, akan
tetapi mendidik agar didapat pengetahuan agama yang mendalam.
2) Ilmu-ilmu umum, menurut Hamka seperti ilmu sejarah, filsafat,
kesusateraan, ilmu hitung, ilmu bumi, ilmu falak, ilmu tubuh, ilmu
jiwa, ilmu masyarakat, ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu pemerintahan,
dan lain sebagainya.49 Dengan ilmu-ilmu tersebut diharapkan manusia
akan mampu memperluas wawasan berpikirnya guna menyelidiki dan
menganalisa ayat-ayat Tuhan di semesta alam ini dan membangun
peradaban yang rahmatan lil „alamin sebagai bentuk
pengejawantahannya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.
3) Keterampilan praktis, menurut Hamka seperti baris berbaris akan
menjadikan peserta didik hidup lebih teratur dan bisa di atur. Selain
itu kegiatan seperti memanah, berperang, berenang, berkuda akan
membuat tubuh peserta didik menjadi sehat dan kuat.50 Namun dalam

47
48
Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 203
Ibid., h. 204
49
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992), h. 192-193
50
, Falsafah Hidup, (Medan: Pustaka Islamiyah, 1950), h. 75
pelaksanaannya, seyogyanya dilakukan dalam nuansa yang edukatif
guna menunjang tercapainya tujuan pendidikan (Islam).
4) Kesenian, seperti ilmu musik, menggambar, menyanyi dan memahat.
Menurut Hamka dengan ilmu-ilmu tersebut, peserta didik akan
memiliki rasa keindahanm senantiasa memperhalus budi rasanya
(etika) dengan kebenaran (al-haq).51 Dalam bukunya Pandangan
Hidup Muslim, Hamka juga menuturkan “Pandanglah Tuhan melalui
jendela keindahan, karena kunci keindahan dalam diri manusia adalah
sabar dan tawakal, serta melihat seluruh persoalan sebagai jalan untuk
mendekatkan diri kepada Allah.”52

Pemikiran materi pendidikan Islam Hamka ini tidak jauh berbeda


dengan pemikiran ibnu khaldun. Namun, dalam pengkategorisasian ilmu,
ibnu Khaldun sebagaimana dikutip oleh Said Ismail Ali, hanya membagi
ilmu menjadi dua; ilmu-ilmu transendental (al-ulum an-naqliyah) dan
ilmu-ilmu rasional (al-ulum al-„aqliyah). Berikut penjelasannya:

1) Ilmu-ilmu transendental adalah ilmu yang dinukil manusia dari


pembuatnya dan yang diwariskan ke generasi-generasi berikutnya.
Yang terdiri dari ilmu-ilmu agama beserta semua ragamnya dan ilmu-
ilmu pembantu yang digunakan untuk mengkajinya, seperti ilmu
bahasa, nahwu (gramatika), dan ilmu-ilmu lainnya.
2) Ilmu-ilmu rasional merupakan buah kerja pemikiran dan perenungan
manusia. ia sudah menjadi tabiat manusia dari sisi bahwa manusia
memiliki pemikiran. Ia tidak memiliki keterkaitan dengan agama,
tetapi setiap penganut agama mempelajari dan mendiskusikannya. Ia
sudah ada semenjak penciptaan terjadi. Ilmu-ilmu ini disebut dengan
ilmu filsafat dan hikmah.53
Jadi, pada konsep pendidikan Islam, materi pendidikan yang
diberikan tidak hanya mengedepankan pendidikan akal semata, akan

51
, Lembaga Hidup, op. cit., h. 201-202
52
Hamka, Pandangan Hidup Muslim, op. cit., h. 80
53
Said Ismail Ali, op. cit., h. 103
tetapi harus diimbangi pula dengan muatan materi keagamaan guna
memenuhi semua kebutuhan manusia, baik jasmani maupun rohani.

c. Guru sebagai pendidik


Peran pendidik dalam proses pendidikan memiliki andil yang sangat
besar, karena pendidik merupakan salah satu faktor utama penentu
keberhasilan tercapainya tujuan pendidikan. Karena pendidik ibarat
motor penggerak yang mengarahkan dan memotivasi peserta didik untuk
terus mengembangkan potensi-potensi dasar mereka menjadi sebuah
kemampuan dan keahlian yang dapat bermanfaat bagi kehidupan mereka
semua di masa depan.
Menurut Hamka, tugas seorang pendidik pada umumnya adalah
membantu mempersiapkan dan mengantarkan peserta didik untuk
memiliki ilmu pengetahuan yang luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat
bagi kehidupan masyarakat secara luas.
Agar dapat melaksanakan tugas tersebut dengan baik, maka terlebih
dahulu seorang pendidik mesti memiliki beberapa syarat, yakni “Menurut
Hamka seorang pendidik dituntut untuk memperluas wawasan
keilmuannya, memperhalus budi pekertinya.”54 Menurutnya pula,
“Pendidik harus memperluas pengalamannya, bijaksana, pemaaf, tenang
dalam memberikan pengajaran, tidak cepat bosan dalam memberikan
pelajaran terutama terhadap materi pelajaran yang kurang dimengerti
peserta didik, serta memperhatikan kondisi (baik fisik maupun psikis)
peserta didik.”55

Menurut ibnu Sahnun, sebagaimana dikutip oleh A. Susanto,


pendidik tidak hanya terbatas pada pendidikan dan pengajaran, namun
lebih dari itu seorang pendidik hendaklah berperan sebagai orang tua
bagi anak didik. ia juga mempersyaratkan kepada pendidik tentang
perilaku pendidik yang harus dimiliki, yaitu perilaku mulia, di mana
pendidik dapat menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidik
hendaknya berperilaku yang dapat memberikan suri tauladan kepada
54
Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 13
55
Ibid, h. 190
anak didiknya, seperti ikhlak, takwa, mempunyai rasa tanggung
jawab, dan sopan santun.56
Pendapat serupa juga dikemukakan oleh Zakiah Daradjat, yakni:
Menurut Zakiah Daradjat, dkk, Pekerjaan guru agama adalah luas,
yaitu untuk membina seluruh kemampuan-kemampuan dan sikap-
sikap yang baik dari murid sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini berarti
bahwa, perkembangan sikap dan kepribadian tidak terbatas
pelaksanaannya melalui pembinaan dalam kelas saja. Dengan kata
lain, tugas dan fungsi guru dalam membina murid tidak terbatas pada
interaksi belajar mengajar saja.57

Jadi, Guru dengan perannya sebagai seorang pendidik (subyek


pendidikan), tidak hanya dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas
dalam bidang ilmu pengetahuan yang diajarkannya saja. Namun, ia juga
harus memenuhi kualifikasi sebagai seorang guru yang baik dan bermoral
tinggi, karena tugas utama seorang guru bukan hanya sekedar menjadi
fasilitator dalam pentransferan ilmu kepada para peserta didik semata,
akan tetapi, lebih dari itu, ia juga harus mampu menjadi motivator
penyemangat dan pantas untuk dijadikan panutan dalam hal berbicara
dan bertingkah laku.

d. Peserta didik
Pendidikan ada karena faktor manusia yang butuh kepada ilmu-ilmu
pengetahuan agar mereka dapat menjalani hidup dengan baik, dengan
cara mewarisi pengetahuan dan budaya yang telah dimiliki oleh para
generasi sebelumnya. Para pengenyam pendidikan inilah yang disebut
dengan peserta didik.
Menurut Fadhilah Suralaga, dkk, dalam sistem pendidikan, peserta
didik sering dikenal dengan istilah murid yang berasal dari bahasa Arab
arada-yuridu-iradatan, muridan yang berarti orang yang menginginkan
(the willer). Dalam bahasa Arab terdapat dua istilah lagi, yakni;
tilmidz

56
A. Susanto, op. cit., 60
57
Zakiah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), Cet. I, h. 264
dan thalib, kata tilmidz sering diidentikkan dengan murid yang belajar di
madrasah, sedangkan kata thalib lebih menggambarkan perilaku aktif,
mandiri dan kreatif yang tidak terlalu banyak bergantung pada guru.58
“Menurut Hamka, hidup adalah cita-cita. Cita-cita menjadikan
manusia untuk senantiasa berjuang mempertahankan eksistensinya agar
tercapai apa yang dituju dengan sempurna.”59 Pernyataan ini erat
kaitannya dengan pengertian peserta didik, peserta didik mestilah
seseorang yang memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur, sedang alat yang
dipergunakan untuk mencapainya tak lain adalah melalui proses
pendidikan.
Menurut M. Arifin sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata, “Anak
didik adalah mahkhluk yang sedang dalam proses perkembangan dan
pertumbuhan menurut fitrahnya masing-masing. Mereka memerlukan
bimbingan dan pengarahan yang konsisten menuju ke arah optimal
kemampuannya fitrahnya.”60
Berdasarkan pandangan di atas, peserta didik dapat diartikan sebagai
seseorang yang tengah memerlukan pengetahuan atau ilmu, bimbingan
dan pengarahan guna mengoptimalkan potensi dalam dirinya, dan untuk
mencapai hal tersebut dibutuhkan usaha dan semangat yang tinggi.
Dalam menjelaskan sikap yang harus dimiliki seorang peserta didik,
Hamka mengutip firman Allah surat Al-Isra‟ ayat 24:

               


    y 



“Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan


dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana
mereka berdua telah mendidikku sewaktu aku kecil.”

58
Fadhillah Suralaga, dkk, Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN
Jakarta
59
Pres, 2005), Cet. I, h. 111-112
Hamka, Falsafah Hidup, op. cit., h. 252-253
60
Abuddin Nata, Filsafat pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h. 131
Menurut Hamka, di dalam ayat tersebut dijelaskan tentang etika
yang harus dimilki oleh seorang peserta didik. Yakni meskipun seorang
anak atau peserta didik telah berhasil memiliki ilmu pengetahuan dan
kedudukan yang tinggi, akan tetapi dihadapan orang tua maupun
pendidik hendaklah ia merendahkan diri dan menunjukkan akhlak mulia.
Sikap yang demikian dapat memperhalus rasa kemanusiaan dan
pengabdian peserta didik, baik kepada orang tuanya, guru-gurunya,
ataupun terhadap Khaliknya.61
Peserta didik hendaknya menyadari akan kekurangan dirinya dan
berupaya untuk memperbaiki dengan cara meningkatkan mutu ilmu
pengetahuan yang dimilikinya. Proses peningkatan ilmu ini bukan hanya
dilakukan melalui interaksi dengan pendidik, akan tetapi dapat juga
dilakukan melalui belajar sendiri.

e. Hubungan konsep manusia dengan konsep pendidikan Islam menurut


Hamka
Adapun hubungan antara konsep manusia dengan konsep pendidikan
Islam adalah:
1) Tujuan pendidikan Islam
Tujuan penciptaan manusia menurut Hamka yaitu untuk
mengabdi dan beribadah kepada Allah serta untuk memelihara ketiga
komponen potensi yang dimiliki manusia (akal, jiwa dan jasad). Hal
inilah yang melandasi tujuan pendidikan Islam yang diusungnya.
Tujuan pendidikan Islam menurut Hamka adalah mengenal dan
mencari keridhaan Allah, membangun budi pekerti untuk berakhlak
mulia, serta mempersiapkan peserta didik untuk hidup layak dan
berguna ditengah-tengah komunitas sosialnya. Atau dengan kata lain
bertujuan untuk mencari kebahagiaan di dunia dan di akhirat melalui
kerja keras dan ibadah kepada Allah SWT.

61
Hamka, Lembaga Hidup, op. cit., h. 181
2) Materi pendidikan Islam
Dalam hal perumusan materi pendidikan Islam, menurut Hamka
materi yang dipelajari haruslah berorientasi pada pengembangan akal
dan pengembangan rasa atau agama. Karena pendidikan yang
didasarkan pada muatan nilai agama akan menumbuhkan keyakinan
pada ketentuan-ketentuan Allah dan akan menjadi nilai kontrol
perilakunya. Sementara pendidikan akal akan membantu peserta didik
membangun peradaban umat secara dinamis sesuai dengan nilai-nilai
ajaran agama yang diyakininya.
Dalam hal perumusan materi pendidikan Islam tersebut, Hamka
menyandarkan dari konsep fitrah manusia yang digagasnya. Manusia
menurut hamka memiliki tiga potensi utama, yakni akal, jiwa dan
jasad. Melalui ilmu-ilmu agama peserta didik akan mampu
membentuk kepribadiannya menjadi lebih baik, selanjutnya dengan
ilmu-ilmu umum wawasan intelektual peserta didik akan semakin luas
dan berkembang, dengan materi ketrampilan praktis (olahraga) akan
menjaga kebugaran tubuh dan stamina peserta didik, dan yang terakhir
dengan materi kesenian akan semakin memperhalus rasa (jiwa)
peserta didik.
3) Guru sebagai pendidik
Menurut Hamka pendidik haruslah seseorang yang luas
wawasannya serta memiliki berbagai perangai yang baik, karena tugas
seorang pendidik adalah membantu mempersiapkan dan
mengantarkan peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan yang
luas, berakhlak mulia, dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat
secara luas.
Hal ini sejalan dengan tugas manusia menurut Hamka, yakni
sebagai khalifah. Baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain.
Hendaknya sebelum menuangkan ilmu kepada orang lain terlebih
dahulu pendidik haruslah mengisi potensi yang ada dalam dirinya
yakni akal, jiwa dan jasadnya agar ia tak hanya menjadi seorang
pengajar atau pentransfer ilmu semata, namun juga dapat menjadi
pendidik yang dapat menanamkan nilai-nilai moral kepada peserta
didiknya.
4) Peserta didik
Peserta didik menurut pandangan Hamka mestilah seseorang yang
memiliki cita-cita yang tinggi dan luhur. Oleh karena itu mereka
haruslah memiliki sifat rendah hati dan rasa keingintahuan yang
tinggi.
Konsep ini berkaitan erat dengan konsep fitrah manusia yang
digagasnya, bahwa manusia yang telah dianugerahi dengan berbagai
potensi istimewa (akal, jiwa, dan jasad) haruslah menjaga dan
mengembangkan potensi-potensinya tersebut sehingga dapat
mengenal Tuhannya dan dapat memanfaatkan sumber daya alam yang
diciptakan Tuhan untuknya, sebagai suatu cita-cita yang tinggi dan
luhur.

Dari beberapa pemikiran Hamka yang telah penulis kemukakan terkait


dengan masalah konsep manusia juga konsep pendidikan Islam di atas,
penulis dapat menarik kesimpulan bahwa dalam merumuskan konsep
pendidikan Islam, pemikiran Hamka berpijak pada konsep manusia yang
dirumuskannya.

Manusia menurut Hamka merupakan makhluk Allah yang memiliki tugas


di muka bumi ini sebagai seorang hamba sekaligus khalifah, dan karenanya
manusia berkewajiban untuk menaati dan mematuhi semua ketentuan yang
telah ditetapkan Allah baginya. Karena tujuan penciptaan manusia adalah
untuk mengabdi kepada Allah, maka Allah telah menyiapkan berbagai
potensi untuk bekal manusia dalam mengemban dan menjalankan tugasnya
tersebut, potensi-potensi tersebut menurut Hamka yakni berupa akal, jiwa dan
jasad.
Untuk dapat memaksimalkan semua potensi yang telah dianugerahkan
Allah kepada manusia, maka manusia harus berusaha, salah satunya melalui
proses pendidikan. Oleh karena itu, menurut Hamka pendidikan yang dijalani
haruslah yang mengedepankan segala potensi yang dimiliki manusia, dalam
kata lain suatu sistem pendidikan haruslah berdasarkan konsep manusia. Hal
senada juga dipaparkan oleh Muhammad Nor Syam dalam bukunya Filsafat
Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila.

Menurutnya, Pendidikan dalam wujudnya selalu bertujuan membina


kepribadian manusia, baik demi ultimate goal maupun bagi tujuan-tujuan
dekat. Tujuan akhir pendidikan ialah kesempurnaan pribadi. Prinsip ini
terutama berpangkal pada asas self realisasi, yakni merealisasi potensi-
potensi yang sudah ada di dalam martabat kemanusiaannya. Potensi-
potensi itu baik berupa potensi-potensi intelektual, mental, rasa, karsa,
maupun kesadaran moral, bahkan juga aspek-aspek keterampilan fisik dan
perkembangan jasmaniah.62
Apabila dilihat dari pemikiran pendidikan Islam Hamka di atas,
semuanya berpijak pada integralitas fitrah manusia, yakni mengedepankan
semua potensi yang dimiliki manusia baik akal, jiwa dan jasadnya. Karena
menurut Hamka, pendidikan Islam seharusnya diformat secara sistematis dan
proporsional dan mengacu pada konsep fitrah peserta didik. Oleh karena itu,
jenis pendekatan pendidikan yang digunakan Hamka adalah pendekatan
integralistik (keseluruhan).

62
Mohammad Nor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1986), h. 179
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan berdasarkan fakta, maka


untuk menjawab rumusan masalah yang ada penulis menyajikan kesimpulan
berupa:

1. Konsep manusia menurut Hamka adalah bahwa manusia merupakan


khalifah fi al-ardh sekaligus ‘abd Allah yang berkewajiban untuk taat dan
mengabdi kepada-Nya semata. Manusia pada saat lahir belum diketahui
potensinya, namun hanya memiliki insting (gharizah/fitrah) saja. Dan
pada diri setiap anak (manusia) pula Allah menganugerahinya dengan tiga
unsur utama yang dapat menopang tugasnya sebagai khalifah fi al-ardh
maupun ‘abd Allah. Ketiga unsur utama tersebut adalah akal, hati, atau
kalbu (roh) dan pancaindera (penglihatan dan pendengaran) yang terdapat
pada jasadnya. Dengan perpaduan ketiga unsur tersebut manusia dapat
memperoleh ilmu pengetahuan, membangun peradabannya, memahami
fungsi kekhalifahannya, serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah.
2. Hubungan antara konsep manusia dengan konsep pendidikan Islam
menurut Hamka sangatlah terkait satu sama lain dan tak dapat dipisahkan.
Pemikiran pendidikan Islam Hamka berpijak pada integralitas fitrah
manusia. Menurutnya, pendidikan Islam seharusnya diformat secara
sistematis dan proporsional dan mengacu pada konsep fitrah peserta didik.
Jenis pendekatan pendidikan yang digunakan Hamka adalah pendekatan
integralistik (keseluruhan) baik jasmani maupun rohani. Makna
pendidikan Islam menurutnya adalah proses mentransfer sejumlah ilmu
dan sekaligus membentuk watak pribadi peserta didik, sesuai dengan nilai-
nilai ajaran Islam. Tujuan pendidikan Islam menurut Hamka ialah untuk

65
66

memelihara ketiga komponen potensi yang dimiliki manusia (akal, jiwa


dan jasad). Dalam masalah materi pendidikan menurut Hamka, hendaknya
mengacu pada pengembangan akal (filsafat) dan rasa (agama), atau dengan
kata lain dapat disebut juga sebagai aspek jasmani dan rohani. Dalam
memandang peran guru sebagai pendidik menurut Hamka, pendidik
haruslah seseorang yang luas wawasannya serta memiliki berbagai
perangai yang baik. Adapun dalam memaknai peserta didik, menurut
Hamka peserta didik mestilah seseorang yang memiliki cita-cita yang
tinggi dan luhur. Oleh karena itu mereka haruslah memiliki sifat rendah
hati dan rasa keingintahuan yang tinggi.

B. Implikasi
1. Manusia merupakan makhluk materi sekaligus immateri yang berarti
terdiri dari aspek jasmani dan rohani, oleh karena itu pendidikan yang
dilaksanakan seyogyanya juga mengedepankan kedua aspek tersebut
(integral). Ilmu yang diberikan haruslah yang dapat memuaskan dahaga
akal dan jiwa (agama), agar manusia dapat menemukan kebenaran hakiki
sekaligus mencapai makna kebahagiaan yang sesungguhnya.
2. Dalam Al-Qur’an dijelaskan secara tegas bahwa tujuan penciptaan
manusia adalah untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah, maka
dengan sebab tugasnya tersebut manusia memiliki peran sebagai khalifah
dan ‘abd Allah di muka bumi ini. Allah juga menganugerahi manusia
dengan potensi (akal, jiwa, jasad) untuk membantu mereka dalam
melaksanakan tugasnya tersebut, dan untuk mengoptimalkan potensi-
potensi tersebut maka pendidikan Islam sebagai sarana haruslah
merupakan sebuah upaya yang diarahkan untuk mengembangkan ketiga
potensi tersebut agar manusia dapat bermanfaat bagi dirinya dan juga
lingkungan sekitarnya.
C. Saran

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih banyak


kekurangan yang perlu ditambah dan diperbaiki. Untuk itu dengan penuh
kerendahan hati dan tidak bermaksud untuk menggurui, penulis ingin menuliskan
beberapa saran

1. Setiap orang perlu memahami konsep tentang manusia, karena dengan


tanpa mengenal terlebih dahulu siapa dirinya dan apa hakikat dari
penciptaannya tersebut, maka niscaya mereka hanya akan menjadi
manusia perusak di muka bumi, karena dalam menjalani kehidupannya
mereka hanya memuaskan akal dan nafsu mereka belaka tanpa
memperdulikan kebahagiaan hidup yang hakiki.
2. Perumusan ataupun pelaksanaan pendidikan, keduanya mesti mengacu
kepada konsep manusia. Karena dalam pelaksanaan pendidikan, manusia
merupakan aspek inti yang memiliki peran yang sangat penting baik itu
sebagai subjek maupun objek pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan
yang baik adalah yang dapat mengarahkan manusia menjadi makhluk yang
berbudi pekerti luhur serta dapat mengembangkan segala potensi atau
bakat yang mereka miliki.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an dan Terjemahannya. Departemen Agama Republik Indonesia.


Surabaya: Karya Agung, 2006.
Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2008.
Ali, Said Ismail. Pelopor Pendidikan Islam Paling Berpengaruh. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar, Cet. I, 2010.
Ali, Yunasril. Manusia Citra Ilahi Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn
‘Arabi oleh Al-Jili. Jakarta: Paramadina, 1997.
Arifin, M. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bina Aksara, 1987.

Azwar, Saefudin. Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.

Baharuddin, Umiarso, dan Sri Minarti, Dikotomi Pendidikan Islam Historisitas


dan Implikasi pada Masyarakat Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
Cet. I, 2011.
Chalil, Achjar, dan Latuconsina, Hudaya. Pembelajaran Berbasis Fitrah. Jakarta:
Balai Pustaka, Cet. II, 2009.
Daradjat, Zakiah. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta: CV
Ruhama, Cet. II, 1995.
, dkk. Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam. Jakarta: Bumi
Aksara, Cet. I, 1995.
Djuned, Daniel. Antropologi Al-Qur’an. Jakarta: Erlangga, 2011.

Hamka. Falsafah Hidup. Medan: Pustaka Islamiyah, 1950.

. Filsafat Ketuhanan. Surabaya: Karunia, 1985.

. Lembaga Hidup. Jakarta: Djajamurni, 1962.

. Pandangan Hidup Muslim. Jakarta: PT Bulan Bintang, 1992.

. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1998.

. Tasawuf Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.

68
69

, Irfan. Ayah. Jakarta: Republik, 2013.


, Rusydi. Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka. Jakarta: Pustaka
Panji Mas, 1989.
Irfan, Mohammad, dan HS, Matsuki. Teologi Pendidikan Tauhid sebagai
Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta: Friska Agung Insani, Cet. I, 2000.
Jalaluddin, dan Idi, Abdullah. Filsafat Pendidikan Manusia, Filsafat, dan
Pendidikan. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2012.
Marimba, Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT Al
Ma’arif, Cet. IV, 1980.
Mohammad, Herry, dkk. Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta:
Gema Insani, 2006.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja


Rosdakarya, 2014.
Mutahhari, Murtadha. Perspektif Al-Qur’an tentang Manusia dan Agama.
Bandung: Mizan, Cet. IX, 1997.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. I,
1997.
. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2005.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis dan
Praktis. Jakarta: Ciputat Press, 2002.
. Memperbincangkan Dinamika Intelektual dan Pemikiran
HAMKA tentang Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, Cet. I, 2008.
. Pengantar Dasar-Dasar Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2001.

Poedjawijatna, I.R. Manusia dengan Alamnya (Filsafat Manusia). Jakarta: Bina


Aksara, Cet. III, 1983.
Prasetya. Filsafat Pendidikan untuk IAIN, STAIN, PTAIS. Bandung: Pustaka Setia,
1997.
Rouf, Abdul. Tafsir Al Azhar: Dimensi Tasawuf HAMKA. Selangor: Piagam Intan
SDN. BHD, Cet. I, 2013.

S, Floriberta Aning. 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat


Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di
Abad
20. Jakarta: PT. Buku Kita, Cet. III, 2007.
Soejono, Ag. Aliran Baru dalam Pendidikan Bagian ke-1. Bandung: C.V. Ilmu,
Cet. X, 1978.

Sucipto, Hery. Tajdid Muhammadiyah. Jakarta: Grafindo, 2005.


Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif, kualitatif, dan R&D.
Bandung: Alfabeta, 2012.
Suharto, Toto. Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.

Suralaga, Fadhilah, dkk. Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam. Jakarta:


UIN Jakarta Press, Cet. I, 2005.
Susanto, Ali. Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah, 2009.

Susilo, Madyo Eko, dan Kasihadi, RB. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: Bumi
Aksara, 2001.
Syam, Mohammad Nor. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1986.
Tafsir, Ahmad. Epistimologi untuk Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Fak
Tarbiyah Iain Gunung Djati, 1995.

Umiarso, dan Zamroni. Pendidikan Pembebasan dalam Perspektif Barat dan


Timur. Jogjakarta: Ar Ruzz Media, 2011.
Yasin, A. Fatah. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam. Yogyakarta: UIN-Malang
Press, 2008.
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. III, 2004.

Anda mungkin juga menyukai