Anda di halaman 1dari 112

KONSEP PENDIDIKAN TAUHID

YANG TERKANDUNG DALAM SURAT AL-AN’AM


AYAT 74-83
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)

Oleh
Yohanna Makatangin
NIM 1111011000073

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2015
ABSTRAK
NAMA: YOHANNA MAKATANGIN, NIM: 1111011000073, KONSEP
PENDIDIKAN TAUHID YANG TERKANDUNG DALAM SURAT AL-
AN`AM AYAT 74-83

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguraikan bagaimana konsep


pendidikan tauhid yang terkandung dalam surat al-An’am ayat 74-83 yang
meliputi : Definisi pendidikan tauhid, urgensi pendidikan tauhid, materi
pendidikan tauhid, asas pendidikan tauhid, tujuan pendidikan tauhid, dan metode
pendidikan tauhid berdasarkan kajian tafsir ayat tersebut.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan teknik analisis kajian
melalui studi kepustakaan (Library research). Sumber data yang digunakan
adalah al-Qur’an beserta terjemahannya dan beberapa literatur yang berkaitan
dengan tema yang kemudian diuraikan dengan menggunakan metode tafsir tahlili.
Adapun hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :Pendidikan tauhid adalah
segala macam usaha yang baik bagi diri sendiri atau orang lain yang bertujuan
untuk menyadarkan manusia sebagai hamba Allah dengan mensucikan diri dari
segala bentuk kesyirikan, Urgensi pendidikan tauhid ialah agar manusia tidak
tersesat dalam kedzaliman, manusia senantiasa berjalan pada jalan lurus yang
akan mengantarkannya pada tujuan hidupnya yang sesungguhnya yaitu beriman,
dan bertaqwa kepada Allah.Tujuan pendidikan tauhid adalah membantu manusia
untuk menjadi orang-orang yang yakin, mendapat keamanan serta petunjuk dari
Allah, dan mendapat derajat yang layak di sisi Allah, iman, islam, dan ihsan.Tiga
materi pendidikan tauhid yang terkandung dalam ayat-ayat ini adalah sebagai
berikut: pertama : Ma’rifat Dzat Allah sebagai Satu-Satu-Nya Tuhan yang harus
disembah, kedua : Pembuktian keEsa-an Allah melalui perenungan terhadap alam
semesta, dan ketiga : Penanaman rasa takut pada Allah serta ketaqwaan kepada-
Nya yaitu dengan cara menjalankan segala perintahNya saja dan menjauhi segala
larangan-Nya.Dalam memperoleh hakikat akan Allah, manusia dapat
menempuhnya melalui jalur rakyu atau akal berikut dengan hati nurani. Setelah
al-Qur’an dan hadist akal juga dapat dijadikan dasar dalam merujuk proses
pelaksanaan pendidikan tauhid. Beberapa metode pendidikan tauhid yang
dilakukan nabi Ibrahim dalam kisah ini adalah sebagai berikut : menegur,
membimbing, mencari sendiri ( dengan melihat, mengumpamakan, merenungkan,
mengeksplorasi, mengevaluasi, membuat kesimpulan), menjadi suri tauladan,
berargumentasi, dan mengancam. Semua metode tersebut diterapkan dengan sikap
yang berani dan tegas.

Kata Kunci: Konsep Pendidikan, Pendidikan Tauhid.

i
ABSTRACT
NAME: YOHANNA MAKATANGIN, NIM: 1111011000073, THE CONCEPT
OF MONOTHEISM’S EDUCATION WHICH IMPLIED IN SURAH AL-
AN’AM VERSE 74-83

The purpose of this research is to describe the concept of monotheism’s


education which implied in surah al-an’am verse 74-83. Those are: Definition of
monotheims’s education, urgency of monotheims’s education, content of
monotheism’s education, principle of monotheims’s education, purpose of
monotheims’s education, and the last is methode of monotheism’s education
based on exclamanation of that verse talked about..
The kind of this research is qualitative’s research with analysis technique. Al-
qur’an with the translation and another literature which related to topic used to
be data’s source so that will be described with tahlili exclamanation methode.
The results of this research are : 1, Monotheism’s education means making
people realize that they are servant of Allah, so they must sanctify their self from
every polytheism with every single effort but also in a good way. 2, urgency of
monotheim’s education is to get people in the right side of way, so they can devout
and pious to Allah as the truth’s purpose of their life. 3, the purpose of
monotheism’s education is to help people to be faithful, then they will feel safety
because of guidance from Allah, beside, Allah will place them on top level. 4,
there are 3 substance of monotheism’s education, they are : knowing Allah as the
only One God deserve to worship, verificating that Allah is the only One God by
contemplation the entire world., and establishing the feeling of afraid and loyal to
Allah by doing Allah’s order, and avoiding Allah’s prohibition. 5, to get the
essence of Allah, human should take intellect way along with heart, after al-
Qur’an and hadist, mind can be used to be basis to rever implementation of
monotheim’s education. 6, some methode of Ibrahim’s monotheism education
which implied in ibrahim’s story are : warning, guidance, searching by own self,
being a good model, casing, threaten. Those methodes applied with a courageous
and clear.

Keywords : Education’s Concept, Monotheism’s Education.

ii
KATA PENGANTAR

‫بسم اهلل الرّحمن الرّحيم‬

Assalamu’alaikum Warahmatullâhi Wabarakâtuh

Kiranya tiada kalimat yang pantas diucapkan selain Alhamdulillâh, yang


merupakan kalimat terindah yang dapat penulis sampaikan. Segala puji hanya
bagi Allah, merupakan manifestasi rasa syukur terhadap kehadirat Ilâhi Rabbi
dengan rahmat dan hidâyahnya telah menghadiahkan anugerah yang begitu
mahal nilainya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Şalawat dan salâm semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda Nabi


Muhammad Saw, orang yang begitu mencintai kita sehingga diakhir hayatnya
yang beliau sebut dan kenang hanyalah kita umatnya.

Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Jurusan Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.

Menyadari bahwa suksesnya penulis dalam menyelesaikan skripsi ini


bukan semata-mata karena usaha penulis sendiri, melainkan tidak lepas dari
bantuan beberapa pihak, baik batuan moril ataupun materil. Oleh karena itu
sudah menjadi kepatutan untuk penulis sampaikan penghargaan yang tulus
dan terima kasih yang tak terhingga kepada:

1. Orang tua tercinta, yaitu: Bunda Rosidah dan ayahanda Makatangin


Gustin (Alm) yang telah merawat, mendidik putra-putrinya dengan
tulus ikhlas, dan mencukupi kebutuhan moril dan materil serta
membimbing, memotivasi dan memohonkan kemudahan bagi penulis
dalam setiap doanya. Sungguh merupakan pengorbanan yang tak
terhitung nilainya dan tak terbalas bagi penulis. Semoga ibunda dan

iii
ayahanda senantiasa selalu dalam perlindungan, keridhoan, dan
keberkahan Yang Maha Kuasa.
2. Bapak Prof. Dr. H. Dede Rosyada, MA. selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.Ag selaku Dekan Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan (FITK).
4. Bapak H. Dr. Abdul Majid Khon, M.Ag. Dan ibu Hj. Marhamah
Saleh, Lc. MA selaku ketua dan sekretaris Jurusan Pendidikan Agama
Islam. Semoga kebijakan yang telah dilakukan selalu mengarah
kepada kontinuitas eksistensi mahasiswanya.
5. Bapak Prof. Dr. Salman Harun, MA. selaku pembimbing skripsi yang
telah memberikan perhatian, bimbingan, nasehat, kritik dan saran,
serta motivasi yang besar dalam proses penulisan skripsi ini.
6. Bapak Fauzan, MA selaku dosen pebimbing akademik yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan pelayanan konsultasi bagi
penulis.
7. Seluruh dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan yang telah
memberikan ilmunya sehingga penulis dapat memahami berbagai
materi perkuliahan.
8. Staf Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan dan
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
menyediakan berbagai referensi yang menunjang dalam penulisan
skripsi ini.
9. Nenekku, Ma inah yang selalu mendoakan senantiasa mendukung
cucuknya untuk terus berusaha dalam menggapai apa yang dicita-
citakan penulis. Terima kasih emma, Allah menyayangimu.
10. Adikku tersayang, Andhika Yogaswara Makatangin yang selalu
memberikan semangat begitu juga doa kepada penulis, semoga kita
selalu menjadi anak-anak yang bisa membanggakan kedua orang tua
kita.

iv
11. Ebeku tersayang, Tante Marlina yang tiada henti memberikan
dukungan dan doa kepada penulis, semoga kebahagiaan, kesehatan
dan kesuksesan selalu menyertaimu be.
12. Senior terkece, Njur dan Titi yang secara sukarela memberikan arahan
dan bimbingan bagi penulis. Jasa kalian tak terbalaskan. Semoga
Allah juga senantiasa mempermudah urusan kalian.
13. Kepada sahabat yang selalu sedia untuk memberikan nasehat, arahan,
serta semangatnya untuk penulis, yaitu: Gita Diana, Faturrohmah
Aviciena, Anisya Ulfah, Elok Durrotul, Isnin Nadra, Haifa
Khairunnisa, Nur Baiti, Tiarani Rimawaddah, Putik Giri, Fauziah
Suparman, Ainun Novita, Gita Handayani, dan Yolla Diatry Marlian.
Assallah yuwaffiquna, yunajjihuna, wa yuqowwina.
14. Teman-teman sejawat jurusan PAI angkatan 2011, khususnya sahabat
TWO PAI (PAI B) yang selalu ada untuk menemani membimbing dan
terus memberikan semangat kepada penulis, dan juga ketua kelas yang
sangat bertanggung jawab terhadap anggotanya Faisal Zamzami
semoga semua kerja kerasmu mendapat balasan setimpal dari Allah.
15. Semua pihak yang tidak penulis sebutkan satu persatu yang telah
berjasa membatu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang
telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapat balasan
pahala dan rahmat Allah SWT. Dan semoga apa yang telah ditulis dalam
skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Âmîn Yâ Robbal `Âlâmîn.

Jakarta, 09-10- 2015

Yohanna Makatangin

v
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB – LATIN

Transliterasi kata-kata Arab yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini


berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

1. Konsonan Tunggal
No. Huruf Arab Huruf Latin No. Huruf Arab Huruf Latin
1 ‫ا‬ Tidak 16 ‫ط‬ ţ
dilambangkan
2 ‫ب‬ b 17 ‫ظ‬ ť
3 ‫ت‬ t 18 ‫ع‬ ‘
4 ‫خ‬ ś 19 ‫غ‬ ġ
5 ‫ج‬ j 20 ‫ف‬ f
6 ‫ح‬ h 21 ‫ق‬ q
7 ‫خ‬ kh 22 ‫ك‬ k
8 ‫د‬ d 23 ‫ل‬ l
9 ‫ذ‬ ż 24 ‫م‬ m
10 ‫ر‬ r 25 ‫ن‬ n
11 ‫ز‬ z 26 ‫و‬ w
12 ‫س‬ s 27 ‫ه‬ h
13 ‫ش‬ sy 28 ‫ء‬ `
14 ‫ص‬ ş 29 ‫ي‬ y
15 ‫ض‬ đ 30 ‫ة‬ h

2. Vokal Tunggal
Tanda Huruf Latin
َ‫ـ‬ a
ِ‫ـ‬ i
‫ُـ‬ u

vi
vii

3. Vokal Rangkap
Tanda dan Huruf Huruf Latin
ْ‫ـَي‬ ai
ْ‫ـَـو‬ au

4. Mâdd
Harakat dan Huruf Huruf Latin
َ‫ــا‬ â
ْ‫ــِي‬ Î
ْ‫ـُـو‬ ȗ

5. Tâ’ Marbuţah
Tâ’ Marbuţah hidup translitrasiya adalah /t/.
Tâ’ Marbuţah mati transliterasinya adalah /h/.
Jika pada suatu kata yang akhir katanya adalah Tâ’ Marbuţah diikuti oleh
kaya sandang al, serta kata kedua itu terpisah maka Tâ’ Marbuţah itu
ditransliterasikan dengan /h/.
Contoh:
‫ = حديقة الحيوانات‬hadîqat al-hayawânât atau hadîqatul hayawânât
‫= المدرسة اإلبحدائيّة‬ al-madrasat al-ibtidâ`iyyâh atau al-madrasatul
ibtidâ`iyyâh

6. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah/tasydid ditransliterasikan dengan huruf yang sama dengan huruf
yang diberi tanda syaddah (digandakan).
َ‫عَّلَم‬ Ditulis ‘allama
ُ‫يُكَّرِر‬ Ditulis yukarriru

7. Kata Sandang
a. Kata sandang diikuti oleh huruf Syamsiyah ditransliterasikan dengan
huruf yang mengikuti dan dihubungkan dengan kata sambung/hubung.
viii

Contoh:
ُ‫ّصالَة‬
َ ‫ = ال‬aş-şalâtu
b. Kata sadang diikuti dengan hufuf Qamariyah ditransliterasikan sesuai
dengan bunyinya. Contoh:
ُ‫ = الفََّلك‬al-falaqu

8. Penulisan Hamzah
a. Bila hamzah terletak di awal kata, maka ia tidak dilambangkan dan ia
seperti alif, contoh:
ُ‫ = أكَ ّْلث‬akaltu َ‫ = ُأوْجِي‬ȗtiya
b. Bila di tengah dan di akhir, ditransliterasikan dengan aprostof, contoh:
‫ = جَأكّلون‬ta’kulȗna ٌ‫ = شَيْئ‬syai`un

9. Huruf Kapital
Huruf kapital dimulai pada awal nama diri, nama tempat, bukan pada kata
sandangnya. Contoh:
‫ = القّرآن‬al-Qur`ân
‫ = المدينة المنوّرة‬al-Madînatul Munawwarah
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN SKRIPSI
LEMBAR PERNYATAAN
ABSTRAK ................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR .............................................................................................. iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................................... 9
C. Pembatasan Penelitian ....................................................................................10
D. Perumusan Masalah .......................................................................................10
E. Tujuan Penelitian ..........................................................................................10
F. Manfaat Penelitian .........................................................................................10

BAB II : KAJIAN TEORITIK


A. Acuan Teori ....................................................................................................11
1. Pendidikan ................................................................................................11
2. Tauhid ......................................................................................................16
3. Pendidikan Tauhid ...................................................................................19
4. Pendidikan Tauhid di Sekolah .................................................................38
B. Hasil Penelitian Yang Relevan .......................................................................40

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN


A. Objek dan Waktu Penelitian ...........................................................................42
B. Fokus Penelitian .............................................................................................42
C. Pendekatan Penelitian ....................................................................................42
D. Sumber Data ...................................................................................................43

ix
x

E. Metode Penelitian ...........................................................................................43


F. Metode Penulisan ...........................................................................................45

BAB IV: TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


A. Sekilas Mengenai Surat al-An’am ................................................................ 46
B. Tafsir dan Temuan Konsep Pendidikan Tauhid Surat al-An’am ayat 74-83 . 46
C. Tabel Temuan Konsep Pendidikan Tauhid Q.S. al-An`am 74-83 ................. 69
D. Analisis Konsep Pendidikan Tauhid ............................................................. 71

BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................................... 88
B. Saran ............................................................................................................... 89

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 92


LAMPIRAN ..............................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Umat manusia dicipta dalam pluralitas di berbagai aspek kehidupan,


mulai dari sosial, budaya, ekonomi sampai agama. Mereka tersebar di seantero
jagad raya. Terpisah di berbagai pulau dan benua. Terhimpun oleh berbagai
macam faktor. Diantaranya ras, budaya, bahasa, warna kulit, sejarah dan lain
sebagainya. Dari berbagai macam ras, budaya, bahasa tersebut terbentuklah
komunitas manusia yang masing-masing memiliki peradaban sendiri. Ada
yang sama, hampir sama atau bahkan berbeda sama sekali. Entah kelompok
itu terbentuk dengan nama bangsa, negara, suku, masyarakat, atau yang
lainnya. Terlepas dari perbedaan makna antara istilah bangsa, negara, suku,
masyarakat atau komunitas, semua itu diatur oleh suatu sistem norma sosial.
Dalam wikipedia dikatakan bahwa: “norma sosial berarti sistem nilai atau
prinsip yang menjadi patokan perilaku suatu masyarakat agar hubungan di
antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang
diharapkan”1
Berbagai ummat menganut bermacam-macam aturan hukum, adat istiadat
dan juga melakukan berbagai macam cara beribadat sesuai dengan keadaan
yang berbeda-beda pula, namun keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
(Tauhid) merupakan unsur kebenaran yang tidak pernah mengalami
perubahan.
Tuhan bukanlah monopoli suatu bangsa atau agama tertentu. Semua
penjuru adalah milik-Nya. Semua agama pada hakikatnya adalah satu, karena
Tuhan dari agama itu satu, dan agama yang satu itu menurut khalifah Abdul
Hakim adalah fitrah yang diberikan kepada manusia”.2

1
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Norma_sosial, diakses pada hari kamis 6 Agustus 2015, pukul
17,06 WIB
2
Khalifah Abdul Hakim, Hidup yang Islami Menyeharikan Pemikiran Transendental Akidah
dan Ubudiyah, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), cet ke-1, h. 92

1
2

Namun, arah wajah kita di saat melakukan peribadatan ataupun disaat


lainnnya relatif bersifat abstrak. Allah berfirman :

               
   
 
“Timur dan barat adalah milik Allah, oleh karena itu ke arah manapun
engkau menghadapkan mukamu, disitulah wajah Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Luas dan Maha Mengetahui”. (Q.S Al-Baqoroh : 115 )

Islam adalah agama monoteis (tauhid) dan agama penyembahan


kepada Tuhan Yang Esa. Islam dengan tauhid sebagai landasannya,
memiliki sistem tata sosial yang bersumber dari tauhid. Tauhid merupakan inti
dan segalanya dalam islam. Kandungan ayat-ayat al Quran berkisar tentang
tauhid. Segala aturan, hukum, perintah dan manhaj bersumber dari tauhid.
Dengan berdasarkan kesaksian ayat-ayat al-Quran , dakwah terhadap
tauhid bukanlah golongan agama Islam, tapi seluruh nabi-nabi Tuhan
mengundang dan mengajak manusia pada pengesaan Tuhan dan tauhid.
Seluruh agama-agama Ilahi dulunya merupakan agama tauhid. Al-Qur'an
mengungkapkan secara jelas hakikat sejarah ini dengan firman-Nya:

          


"Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama (untuk) kamu semua;
agama yang satu, dan Aku adalah Rabb-mu, maka sembahlah Aku." –
(Q.S.Al-anbiya: 92)
Begitu pula tidak ada satu ummat pun yang terdahulu maupun yang
belakangan, kecuali Allah telah mengutus dalam ummat tersebut seorang
Rasul. Dan seluruh Rasul itu sepakat dalam menyerukan dakwah dan agama
yang satu, yaitu beribadah kepada Allah saja sebagaimana dalam firman-Nya:

           


          
3

 
      
    
.
“Dan sungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk
menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu", maka
di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan
ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya.
Maka berjalanlah kamu dimuka bumi dan perhatikanlah bagaimana
kesudahan orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul).”(Q.S An-Nahl :
36)
Dalam ayat lain disebutkan pula:

              

 
"Dan Kami tidak mengutus seorang rasul, sebelum kamu (Muhammad),
melainkan Kami wahyukan (pula) kepadanya: 'Bahwasanya tidak ada Ilah
(yang hak), melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku'."
– (Q.S. Al-Anbiya : 25)
Setiap kali terjadi kesyirikan pada suatu ummat , Allah utus seorang Nabi
untuk mengembalikan manusia kepada aqidah Tauhid dan beriman kepada-
Nya semata, tidak menyekutukan-Nya serta menyingkirkan kesyirikan dan
penyimpangan yang ada pada mereka.
Mereka semua membawa ajaran yang prinsip-prinsipnya sama. Mereka
semua, sejak Rasul pertama sampai dengan Rasul terakhir datang membawa
ajaran Islam, agama yang satu sumbernya dan satu dalam prinsip-prinsip
ajarannya. Karena itu hendaknya manusia harus menjaga keutuhan agama ini
serta memelihara persatuan ummat manusia dengan tidak saling bertentangan
dan berpecah belah.
Menurut Hamka “Pada dasarnya fitrah manusia merasai adanya Maha
kuasa”.3 percaya bahwa Allah lah Sang Pencipta, Pemberi Rizki,
Menghidupkan dan Mematikan, hanya Dialah yang berkah disembah, hakikat
3
Hamka, Filsafat Ketuhanan, ( Surabaya: Karunia 1985), h. 29
4

kepercayaan tentang adanya Tuhan tersemat dalam sanubari manusia, Allah


berfirman :

               

    


   
“fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”.( Q.S. Ar-Ruum : 30)

Selama manusia mengikuti fitrahnya berati ia berjalan pada jalan yang


lurus. Tetapi dia tidak tahu jalan. Akhirnya manusia menyembah apa yang
ditakutinya atau dipandangnya berpengaruh. Kemudian muncul orang-orang
sakti, manusia berkata merekalah yang sanggup dan kuasa berhubungan
dengan Yang Maha Kuasa. Oleh karena itu, merekalah yang menentukan
ibadat dan pemujaan, sehingga kepercayaan fitrah yang suci itu telah dikotori
oleh sesama manusia sendiri.
Oleh sebab itu, dengan sendirinya timbullah pemerintahan yang
sewenang-wenang. Kehormatan diri pribadi manusia, harta bendanya, tujuan
hidupnya, ditentukan dan dikekang oleh kehendak orang-orang sakti tadi,
seperti dalam firmanNya:

   


      

"Dan mereka telah memotong-motong urusan (agama) mereka di antara


mereka. Kepada Kami-lah masing-masing golongan itu akan kembali." –
(Q.S. Al-Anbiya : 93)
Bapak Quraish Shihab menjelaskan ayat tersebut dalam bukunya Tafsir
al-Mishbah:
Meskipun peringatan dan nasihat telah berulang disampaikan namun
banyak manusia yang mengikuti hawa nafsunya dan bertikai, mereka telah
memotong-motong urusan agama mereka di antara mereka sehingga lahir
banyak firqah, yakni kelompok yang saling berselisih dan bertengkar, atau
5

menjadikan ajaran agama yang utuh berkeping-keping, masing –masing


mengambil sebagian dan meninggalkan sebagian yang lain. Kelak mereka
akan mengetahui akibat perbuatan mereka, karena semua kelompok itu,
apapun keadaanya hanya kepada kami saja akan kembali untuk kami adili
lalu masing-masing dari mereka akan menerima sanksi dan ganjaran atas
usaha mereka.4
Dari apa yang dikatakan oleh bapak Quraisy Shihab di atas maka dapat ditarik
kesimpulan bahwa jika urusan agama telah terpotong-potong maka peradaban
manusia akan mundur, surut ke belakang dan hiduplah manusia dalam
kegelapan.
Sejarah penyebaran syirik terulang pada umat ini disebabkan para penyeru
kesesatan. Sebab lain yang tak kalah penting adalah pembangunan kuburan-
kuburan dalam rangka pengagungan terhadap para wali dan orang-orang
shalih secara berlebihan. Dengan demikian maka kuburan menjadi tempat
pengagungan lantas menjadi berhala yang disembah selain Allah. Berbagai
amalan diperuntukkan bagi kuburan baik berupa doa, penyembelihan, nadzar
dan yang selainnya.
Itulah fenomena sejarah perjalanan agama umat manusia sampai zaman
ini. Hari-hari belakangan ini kesyirikan telah sedemikian dahsyat melanda
kaum muslimin. Sedikit sekali di antara mereka orang yang mengerti tentang
tauhid dan bersih dari syirik.
Namun, dengan ajaran Tiada Tuhan selain Allah, akan membebaskan
setiap manusia dari beribadah kepada sesama makhluk menjadi ibadah hanya
kepada Allah. Manusia tidak berserikat satu dengan yang lainnya, manusia
tidak akan berkelompok-kelompok dan berselisih akan kebenaran yang haq,
manusia terbebas dari belenggu perbudakan sesama manusia, pada sisi lain ia
pun terbebas dari rasa lebih tinggi dari manusia lainnya, dari dalam dirinya
tumbuh kesadaran bahwa ia sama dengan manusia lainnya. Sesama manusia
tidak ada terkuat atau terlemah. Semua makhluk adalah hamba Allah, baik
secara individual maupun kelompok, komunitas atau bangsa.

4
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah Pesan-Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta
:Lentera Hati 2002), Vol. 8, h. 504
6

Itulah yang dinamai Tauhid.yaitu menyatukan kepercayaan. Tidak


terpecah-pecah kepada yang lain. Alam seluruhnya ini diatur oleh satu
pengatur, menurut satu aturan. Segala yang ada ini takluk kepada hukum-
hukum yang satu. Hanya Allah semata-mata yang menjadi pusat tujuan hidup.

    


          

 
"Sekiranya ada di langit dan di bumi ilah-ilah selain Allah, tentulah
keduanya (langit dan bumi) itu sudah rusak (dan) binasa. Maka Maha Suci
Allah yang mempunyai 'Arsy (kedudukan yang sangat tinggi dan mulia),
daripada apa yang mereka sifatkan." – (Q.S. Al-Anbiya : 22)
Umat manusia itu pun satu adanya. Sama-sama makhluk yang diberi oleh
Allah akal dan pikiran. Tidak ada kelebihan seseorang daripada seseorang
yang lain, melainkan dengan teguh kepercayaannya dan taqwanya kepada
Allah Yang Maha Esa itu.
Sesungguhnya Allah menyebut tauhid sebagai ruh dan cahaya, sebagai
pedoman bagi kehidupan hakiki, karena tauhid menerangi jalan bagi
pengikutnya mengeluarkan mereka dari kegelapan syirik kepada cahaya iman,
sebagaimana firman Allah ta’ala:

   


        

   


  
(Dialah) yang Maha Tinggi derajat-Nya, yang mempunyai 'Arsy, yang
mengutus Jibril dengan (membawa) perintah-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya, supaya Dia
memperingatkan (manusia) tentang hari Pertemuan (hari kiamat). (Q.S al-
Mu’min ; 15)

Kehidupan tauhid berarti kehidupan yang diwarnai dengan penyerahan


diri dari sesuatu yang kurang jelas kepada yang lebih jelas, penyerahan
keinginan –keinginan pribadi yang tak bernilai kepada yang bernilai,
7

penyerahan segala yang fana kepada yang abadi, serta penyerahan segala yang
bersifat khusus kepada yang bersifat universal. Seluruh aspek kehidupan orang
yang bertauhid senantiasa terbimbing dan terbentuk oleh pemahaman itu.
Penyerahan diri dalam pengertian inilah yang merupakan satu-satunya sarana
untuk melestarikan dan memelihara kehidupan. Keyakinan dan sikap hidup
inilah yang merupakan makna yang dimaksud dari kata tauhid. Semua makna
yang berlawanan dengannya bukan saja menafikan tetapi sekaligus
mengahancurkan keberadaannya.

Tauhid mempunyai peran besar terhadap hidup manusia, karena dengan


tauhid lah manusia dapat memahami arti dan tujuan hidup mereka. Marilah
kita lihat di dalam kehidupan kita pada zaman yang katanya modern ini,
banyak manusia yang hidup tanpa tujuan yang jelas, mereka bekerja siang
malam banting tulang hanya untuk mendapatkan harta yang banyak, dengan
harta itulah mereka berusaha memuaskan hawa nafsunya yang tak kunjung
puas dengan apa yang telah mereka lakukan, padahal Allah telah berfirman
dalam ayat-Nya,

       

”Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan hanya untuk beribadah
kepadaku”. (Q.S. Adz- Zariyat ; 56)
Kita mendapatkan perkara tauhid sebagai barang langka di kehidupan
sebagian masyarakat muslimin sekarang ini. Tidak dengan mudah kita
menemuinya walaupun mereka mengaku sebagai muslimin. Maka perlu untuk
membangkitkan kembali semangat bertauhid di tengah umat ini. Karena
tauhid adalah hak Allah yang paling wajib untuk ditunaikan oleh manusia.
Oleh karena itu, tauhid adalah pegangan pokok dan suatu hal yg sangat
menentukan bagi kehidupan manusia. Dia merupakan landasan bagi setiap
amal yang dilakukan oleh seorang hamba. Menurut tuntunan islam, hanya
tauhid lah yang akan mengantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan
kebahagiaan yang hakiki di alam akhirat nanti.
8

Dengan dasar bahwa tauhid amat penting bagi kehidupan manusia,


perlulah kita sebagai ummat muslimin mengkaji kembali makna tauhid
sesungguhnya, untuk kemudian diinterpretasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu Nabi dan Rasul yang mendapat amanah dalam mengembang
risalah Alllah tersebut adalah nabi Ibrahim as. Metode yang dipakai Nabi
Ibrahim as dalam upaya memurnikan akidah umat manusia pada zamannya
diabadikan dalam al-Qur’an yang sekaligus sebagai simbol kepada manusia
yang hidup dan hadir pada zaman sekarang ini, bahwa cara yang dilakukan
Nabi mulia tersebut perlu dikaji secara mendalam dan direkonstruksi ulang
sehingga pendekatan yang cermat dan brilian itu dapat bermakna di jaman
yang sekarang ini, dimana manusia tidak lagi menyembah berhala tapi beralih
kepada penyembahan pekerjaan, harta dan wanita. Dimana kebahagiaan dan
waktunya dihabiskan hanya untuk mendapatkan perhiasan tersebut.
Menurut tafsir al-Mishbah kandungan singkat surat al-An’am ayat 74-83
merupakan ayat-ayat yang menuntun Nabi Muhammad saw dan ummat Islam,
bagaimana bersikap terhadap orang-orang musyrik yang mempersekutukan
Allah SWT seperti dicontohkan oleh pengalaman Nabi Ibrahim as ketika
5
menghadapi persoalan yang sama agar dapat diteladani. Sedikit ulasan
singkat tentang isi kisah dalam QS. al-An’am ayat 74-83 yaitu, bahwa Nabi
Ibrahim as mengingatkan pada ayahnya atau lebih tepat disebut orang tua yang
pada ayat tersebut bernama Azar dan kaumnya tentang kesesatan menyembah
berhala. Serta hujjah yang digunakan dalam menghadapi kaumnya yang tidak
mempercayai Allah SWT sebagai Tuhan semesta alam. Hal tersebut
merupakan contoh dalam menegakkan kallamullah dengan mengajarkan
tauhid pada manusia secara tegas berdasarkan konsep yang telah dituliskan
dalam al-Qur’an oleh Allah SWT melalui utusan-Nya.
Oleh karena itu skripsi ini akan mencoba mengkaji, menganalisis, dan
melihat kembali pendekatan yang diterapkan Nabi Ibrahim dalam
mengabdikan pesan-pesan Tuhannya di muka bumi, sehingga dapat dipahami

5
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an vol 4,
(Jakarta : Lentera Hati, 2001), h. 154
9

dan di amalkan manusia yang hadir dan hidup di jaman sekarang ini.
Karenanya, pembahasan pokok pada skrpsi ini adalah bagaimana metode
pendidikan Tauhid Nabi Ibrahim as. Di dalam al-Qur’an ? oleh karena itu,
untuk lebih fokus pada pembahasan dalam skripsi, penulis mengambil judul
“Konsep Pendidikan Tauhid yang Terkandung dalam surat Al-An’am
Ayat 74-83”
B. Identifikasi Masalah
Adapun masalah-masalah yang penulis temukan dalam karya ilmiah ini
adalah sebagai berikut ;
1. Adanya perselisihan manusia disebabkan oleh kesyirikan
2. Terdapat banyak pelencengan akan tauhid
3. Perlunya tauhid murni bagi kehidupan manusia
C. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari melebarnya pembahasan dalam tulisan ini, maka
penulis perlu memberikan batasan permasalahan sebagai berikut :
1. Tafsir ayat al-Qur’an surat QS. al-An’am ayat 74-83.
2. Konsep pendidikan tauhid yang terkandung dalam QS. al-An’am ayat
74-83
D. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari pembahasan ini adalah : “ Bagaimana
konsep pendidikan tauhid berdasarkan kajian tafsir surat al-An’am ayat 74-83
yang meliputi : definisi pendidikan tauhid, urgensi pendidikan tauhid, materi
pendidikan tauhid, asas pendidikan tauhid, tujuan pendidikan tauhid, dan
metode pendidikan tauhid ?.
E. Tujuan Penelitian
Adapaun tujuan diadakannya penelitian ini adalah : Untuk
mendeskripsikan konsep pendidikan tauhid berdasarkan tafsir QS. al-An’am
ayat 74-83.
10

F. Manfaat penelitian
a. Secara Teoritik
Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan dalam konsep pendidikan tauhid, serta memberikan
kontribusi bagi dunia pendidikan khususnya dalam pendidikan Agama
Islam.
b. Secara Praktis
Penelitian ini dapat memberikan masukan bagi para pendidik, orang
tua, serta umat islam agar senantiasa mengajarkan tauhid pada anak-anak,
keluarga, dan masyarakat agar mereka dapat mengetahui dan
mempraktekkan ajaran tauhid yang sesuai dengan ajaran yang benar.
BAB II

KAJIAN TEOROTIK

A. Acuan Teori
1. Pendidikan
a. Pengertian Pendidikan

Pendidikan merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia.


Dengan pendidikan itulah manusia dapat maju dan berkembang
dengan baik, melahirkan kebudayaan dan peradaban positif yang
membawa kebahagiaan dan kesejahteraan hidup mereka, hal ini
menyebabkan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin
tinggi pula tingkat kebudayaan dan peradabannya.
Menurut Muhibin Syah, “kata pendidikan berasal dari kata dasar
didik atau mendidik, yang secara harfiah berarti memelihara dan
memberi latihan”.1 Di dalam kamus al-Munawwir, “kata pendidikan
juga berasal dari kata rabba-yurabbi-tarbiyatan, berarti mendidik,
mengasuh, dan memelihara”.2
Dalam bahasa Arab, pendidikan juga sering diartikan dari kata
„Allama‟ dan „Addaba‟. Kata allama berarti mengajar (menyampaikan
pengetahuan), memberitahu, mendidik. Sedang kata addaba lebih
menekankan pada melatih, memperbaiki, menyempurnakan akhlak
(Sopan santun) dan berbudi baik.3 Namun kedua kata tersebut jarang
digunakan untuk diterapkan sebagai wakil dari kata pendidikan, sebab
pendidikan itu harus mencakup keseluruhan, baik aspek intelektual,
moralitas atau psikomotorik dan afektif.
Dengan demikian, ada tiga istilah pendidikan dalam konteks Islam
yang digunakan untuk mewakili kata pendidikan, yaitu tarbiyah,
ta‟lim, dan ta‟dib. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, kata tarbiyah

1
Muhibin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru , (Bandung : PT Remaja
Rosdakarya, 2003) , cet-8 , h. 32
2
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir, (Yogyakarta: PP. al-Mmunawwir, 1989), h.
504
3
Ibid, h. 461 dan 1526

11
12

dipandang paling tepat untuk mewakili kata pendidikan, karena kata


tarbiyah mengandung arti tumbuh, berkembang, memelihara, merawat,
mengatur, dan menjaga eksistensinya, kesemuanya ini telah mewakili
makna „pendidikan‟ secara keseluruhan.
Kata pendidikan juga berpadan dengan „education‟ yang berarti
membimbing : sebagaimana pendapat John dewey, “the word
education means just a process of leading or bringing up”.4 Kata
tersebut kemudian diartikan ke dalam bahasa Indonesia yang berarti
pendidikan ialah membimbing kemampuan, potensi dan fitrah yang
tersimpan dalam diri anak untuk mencapai kedewasaan.
Dalam ensiklopedia pendidikan, pendidikan dalam arti yang
universal adalah “perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk
mengalihkan pengetahuannya, pengalamanya, kecakapnnya serta
keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya
agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun
rohaniah.”5
Dalam kitab at Tarbiyah wa Thariq at Tadris dijelaskan bahwa :

‫ فالتبية اذن‬.‫إ ّن التبية ىي املؤثرات املختلفة الىت توجو و تسيطر على حياة الفرد‬
6
‫توجيو للحياة او تشكيل لطريقة معيشتنا‬
Pendidikan adalah berbagai macam pengaruh guna menghadapi
hidup seseorang. Jadi pendidikan berarti menyongsong kehidupan atau
pembentukan pola hidup kita.
Adapun pendidikan menurut rumusannya al-Ghazali yaitu:
Pendidikan yang benar merupakan sarana untuk mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Pendidikan juga dapat mengantarkan manusia

4
John Dewey, Democracy and Education, (New York : The Masmillan company, 1964), h. 10
5
Soganda Poerbakawatja dan Harahap, Ensiklopedia Pendidikan, (Jakarta : Gunung Agung
1981), cet-2, h. 257
6
Shaleh Abdul Aziz, at Tarbiyah wa Thuruq Tadris, (Mesir : Darul Ma‟arif), h. 13
13

untuk menggapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pendidikan juga


sarana untuk menebar keutamaan7
Pengertian pendidikan dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang
sistem pendidikan nasional Bab 1, pasal 1 ayat 1, dijelaskan bahwa:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat bangsa dan negara.8
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pada hakikatnya
pendidikan adalah ikhtiar manusia untuk membantu dan mengarahkan
pertumbuhan dan perkembangan fitrah (kemampuan dasar) atau
potensi manusia agar berkembang sampai titik maksimal sesuai dengan
tujuan yang dicita-citakan.

b. Tujuan Pendidikan

Suatu usaha atau kegiatan dapat terarah dan mencapai sasaran


sesuai dengan yang diharapkan maka harus ada tujuannya, demikian
pula dengan pendidikan. Suatu usaha apabila tidak mempunyai tujuan
tentu usaha tersebut dapat dikatakan sia-sia belaka. Dengan kata lain
tujuan adalah sesuatu yang ingin dicapai setelah usaha atau kegiatan itu
selesai.
Apabila pendidikan dipandang sebagai suatu usaha melalui proses
yang bertahap dan bertingkat maka usaha atau proses itu akan berakhir
manakala tujuan akhir pendidikan sudah tercapai. Namun demikian,
tujuan pendidikan bukanlah sesuatu yang berbentuk tetap dan statis,
tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang,
berkenaan dengan seluruh aspek kehidupannya.

7
Asrorun Niam Sholeh, Reorientasi Pendidikan Islam Mengurai Relevansi Konsep al-Ghazali
dalam Konteks Kekinian, (Jakarta : eLsas 2006), h. 57
8
Anas Salahudin dan Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter Pendidikan berbasis Agama
& Budaya Bangsa, (Bandung : Pustaka Setia 2013), cet. Ke-1, h. 80
14

Tujuan pendidikan menurut pendapat Oemar Hamalik adalah


“seperangkat hasil pendidikan yang tercapai oleh peserta didik setelah
diselenggarakannya kegiatan pendidikan. Seluruh kegiatan pendidikan,
yakni bimbingan pengajaran, dan/ atau latihan diarahkan untuk
mencapai tujuan pendidikan”.9 Pendapat ini bila dianalisis, pada
dasarnya tujuan pendidikan adalah maksud belajar yang
dikomunikasikan secara jelas, meliputi tingkah laku dan kondisi-
kondisi tertentu yang diharapkan muncul di dalamnya setelah
dilaksanakannya proses belajar mengajar.
Sedangkan tujuan pendidikan menurut UU Pendidikan Nasional
No. 20 tahun 2003 pasal 3 “untuk mengembangkan potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
manidir, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab “. 10
Tujuan pendidikan menurut pendapat Al-Ghazali, sebagaimana
yang dikutip oleh Asrorun Niam “ dua hal penting sebagai orientasi
pendidikan pertama, mencapai kesempurnaan manusia untuk secara
kualitatif mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kedua, mencapai
kesempurnaan manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan
akhirat”.11
Sedang menurut Abdul Fattah Jalal, tujuan pendidikan ialah
terwujudnya manusia sebagai hamba Allah. Oleh karena itu pendidikan
haruslah menjadikan seluruh manusia (sekali lagi seluruh manusia)
untuk menjadi manusia yang menghambakan diri kepada Allah, yang
dimaksudkan dengan menghambakan diri ialah beribadah kepada
Allah. 12

9
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, (Jakarta : Bumi Aksara, 2013),cet-13 h. 3
10
Anas Salahudin dan Irwanto Alkrienciehie, op.cit., h. 41
11
Asrorun Niam Sholeh, op.cit., h. 78
12
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : PT Remaja Rosda
Karya, 2007), h. 46
15

Tujuan pendidikan menurut kedua pendapat di atas, pada dasarnya


adalah tujuan yang berkaitan dengan pendidikan yang bercorak Islam.
Dalam hal ini Islam menghendaki agar manusia didik mampu
merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang digariskan oleh
Allah. Tujuan hidup manusia dalam Islam ialah beribadah.

c. Lembaga pendidikan
Lembaga pendidikan atau bisa kita sebut dengan lingkungan
pendidikan adalah tempat seseorang memperoleh pendidikan secara
langsung atau tidak langsung. Bila kita perhatikan secara seksama,
lembaga pendidikan atau wadah berlangsungnya proses pendidikan
yang ada di sekitar kita ada tiga, yaitu : keluarga, sekolah, dan
masyarakat. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ki hajar Dewantara
bahwasannya ketiga lembaga tersebut sebagai tri pusat pendidikan.13
1. Keluarga

Keluarga merupakan unit pertama dan institusi pertama dalam


masyarakat. Anak dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga,
lingkungan keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang
pertama, karena dalam keluarga inilah anak pertama-tama
mendapatkan didikan dan bimbingan melalui ayah dan ibunya.
Sebagian besar dari kehidupan anak berada di dalam keluarga,
dalam asuhan orang tuanya, oleh karenanya lingkungan keluarga
bukan hanya lembaga pendidikan pertama namun juga yang paling
utama.
Dengan demikian jelaslah bahwa orang yang pertama dan
utama bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup dan
pendidikan anak adalah orang tua.

13
Hasbullah, Dasar-Dasar Pendidikan (edisi revisi), (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
2013), h. 37
16

2. Sekolah
Sekolah sengaja disediakan atau dibangun khusus untuk tempat
pendidikan, sekolah merupakan lembaga pendidikan utama yang
kedua atau “lanjutan setelah keluarga”14. Pendidikan di sekolah
biasanya disebut pendidikan formal karena ia adalah pendidikan
yang mempunyai dasar, tujuan, isi, metode, alat-alatnya disusun
secara jelas, sistematis, dan distandarisasikan.
Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah yang lahir dan
berkembang secara efektif dan efisien dari dan oleh serta untuk
masyarakat, merupakan perangkat yang berkewajiban memberikan
pelayanan kepada masyrakat dalam mendidik warga negara.
Sekolah dikelola secara formal yang berpegang pada falsafah dan
tujuan pendidikan
3. Masyarakat
Dalam buku „Dasar-Dasar ilmu Pendidikan‟, masyarakat
diartikan sebagai “satu bentuk tata kehidupan sosial dengan tata-
nilai dan tata-budaya sendiri”.15 Dalam arti sederhana, masyarakat
berarti lingkungan sosial yang berada di sekitar keluarga :
kampung, desa, marga, suku, pulau, dan sebagainya.
Dalam konteks pendidikan, masyarakat merupakan lingkungan
ketiga setelah keluarga dan sekolah. Pendidikan yang dialami
dalam masyrakat ini, telah mulai ketika anak-anak untuk beberapa
waktu setelah lepas dari asuhan keluarga dan berada di luar dari
pendidikan sekolah. Dengan demikian, berarti pengaruh pendidikan
tersebut tampaknya lebih luas.
2. Tauhid
a. Pengertian Tauhid

Kata tauhid berasal dari kata kerja wahhada, yang berarti


16
“mengesakan, menyatakan atau mengakui Yang Maha Esa”.

14
Ibid., h. 36
15
Ibid., h. 55
16
Munawwir, op. cit., h. 1542
17

maksudnya ialah keyakinan atau pengakuan terhadap keesaan Allah,


Zat Yang Maha Mutlak. Menurut Muhammad bin Abdul Wahab secara
istilah pengertian Tauhid :
Tauhid adalah meyakini keesaaan Tuhan, menganggap hanya ada
satu Tuhan, yaitu Allah Rabbul alamin. Tidak ada yang disebut
Tuhan. Atau dianggap sebagai Tuhan, atau dinobatkan sebagai
Tuhan, selain Allah SWT. Jadi semua yang ada di alam semesta ini,
adalah makhluk belaka. Lain tidak. Tidak boleh ada kepercayaan
yang menyelinap dalam hati, bahwa selain-Nya ada yang pantas
atau patut buat dipertuhan. Pula nama Tuhan selain Allah, wajib
tidak ada. Jika masih ada sedikit saja kepercayaan selain-Nya, harus
segera dikikis habis. Inilah yang disebut kepercayaan monoteisme.
Yakni hanya percaya pada “satu Tuhan.17
Dari kedua definisi tauhid di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
tauhid ialah Keyakinan tentang satu atau Esanya Zat Allah, tidak hanya
percaya bahwa Allah ada, yang menciptakan seluruh alam semesta
beserta pengaturannya, tetapi haruslah percaya kepada Allah dengan
segala ketentuan tentang Allah meliputi sifat, asma` dan af`al-Nya.
Dengan demikian, tauhid adalah suatu bentuk pengakuan dan
penegasan bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, Zat Yang Maha
Suci yang meliputi sifat, asma`dan af`al-Nya.

b. Macam-macam Tauhid

Dalam buku ensiklopedia Islam yang disusun oleh tim penulis


IAIN Syarif Hidayatullah menyebutkan para ulama membagi tauhid
kepada “dua kategori yaitu : tauhid rububiyah dan tauhid ubudiyah”.18
Sedangkan menurut Muhammad bin Abdul Wahab menyebutkan
bahwa tauhid dibagi pada “dua bagian yaitu pertama Tauhid Uluhiyah
dan kedua Tauhid Rububiyah”.19 Maka penulis menyimpulkan bahwa
tauhid dibagi kepada 3 macam yaitu : Tauhid uluhiyah, tauhid
rububiyah, dan tauhid ubudiyah.
17
Moehammad Thahir Badrie, Syarah Kitab al-Tauhid Muhammad bin Abdul Wahab, (Jakarta
: PT Pustaka Panjimas 1984), h.24 - 25
18
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan
1992), h. 934
19
Moehammad Thahir Badrie, op.cit., h. 25
18

Menurut Muhammad bin Abdul Wahab Tauhid uluhiyah ialah:


Kepercayaan untuk menetapkan bahwa sifat ketuhanan itu
hanyalah milik Allah belaka dengan penyaksian bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah yang dilahirkan dengan mengucapkan kalimat
thayibah “Laa ilaaha illallah”. Selain itu ia hanya berbakti kepada-
Nya saja. Jika ia mendapat musibah, ia lari, mengadu dan berserah
diri Cuma kepada-Nya jua. Kalau mengerjakan suatu amalan, maka
tujuan utamanya hanyalah Dia semata. Singaktnya, adalah
“kepercayaan bahwa Tuhan yang mencipta alam ini adalah Allah
dan hanya berbakti kepada-Nya saja.”20
Secara singkat definisi tauhid uluhiyah adalah “mengesakan Allah
SWT sebagai Tuhan yang wajib disembah dan ditakuti”.21
Dalam kamus Istilah Islam, tauhid Rububiyah diartikan sebagai
“mengesakan Allah sebagai pencipta segala makhluk dan yang
melimpahkan segala karunia yang tak terhingga”.22 Tauhid Rububiyah
ialah keyakinan dan pengakuan bahwa hanya ada satu Tuhan yang
menciptakan dan memelihara segenap alam ini. Semua aktivitas alam
semesta ini tidak terlepas dari kebesaran dan kekuasaan Allah sebagai
Rabb . Allah tidak membutuhkan bantuan siapapun untuk mengurus
alam ini.
Dan yang terakhir yaitu tauhid ubudiyah atau yang juga dapat
disebut dengan tauhid ibadah menurut Moh. E. Hasim adalah
“mengesakan Allah dalam penyembahan: iyyaka na‟budu wa iyyaaka
nasta‟iin = hanya kepada-Mu saja kami menyembah dan hanya
kepada-Mu saja kami mohon pertolongan”.23
Maka tauhid ubudiyah adalah kelanjutan dari tauhid uluhiyah dan
rububiyah. ketauhidan itu tidak hanya pengakuan bahwa Allah Satu-
satunya Pencipta, namun ketauhidan tersebut harus sejalan dengan
semua aktivitas seorang hamba. Keyakinan tersebut harus diwujudkan
melalui ibadah, amal saleh yang langsung ditujukan kepada Allah

20
Ibid.
21
Moh. E. Hasim, Kamus Istilah Islam, (Bandung : Penerbit Pustaka 1987), h. 159
22
Ibid.
23
Ibid., h. 158-159
19

SWT tanpa perantara, serta hanya untuk Dia lah segala bentuk
penyembahan dan pengabdian.

3. Pendidikan Tauhid
a. Pengertian Pendidikan Tauhid

Setelah terlebih dahulu dijabarkan tentang tauhid beserta


lingkupannya maka akan diungkapkan pula pengertian tentang
pendidikan tauhid.
Pendidikan tauhid merupakan cabang dari pendidikan Islam.
Pendidikan tauhid lebih menekankan pada pengenalan Allah sebagai
Tuhan semesta alam. Sedangkan pendidikan Islam memiliki ruang
lingkup yang lebih luas dan lebih mendalam dibandingkan pendidikan
tauhid. Pendidikan islam di sekolah terdiri dari beberapa macam
pembelajaran, diantaranya yaitu: tafsir al-Qur‟an, akidah, hadist, fiqih,
akhlak, serta sejarah kebudayaan Islam. Oleh karenanya di sekolah,
pendidikan tauhid dimasukkan ke dalam satu kategori, yaitu
pendidikan Islam. Sebagaimana yang dikatakan oleh Maka pendidikan
tauhid dapat juga kita sebut dengan pendidikan Islam.
Secara sederhana pendidikan tauhid atau pendidikan Islam
mempunyai arti suatu proses bimbingan untuk mengembangkan dan
memantapkan kemampuan manusia dalam mengenal keesaan Allah.
Menurut Armai Arief pendidikan Islam adalah :
Sebuah proses dalam membentuk manusia-manusia muslim yang
mampu mengembangkan potensi yang dimilikinya untuk
mewujudkan dan merealisasikan tugas dan fungsinya sebagai
khalifah Allah SWT., baik kepada Tuhannya, sesama manusia dan
sesame makhluk lainnya. Pendidikan yang dimaksud selalu
berdasarkan kepada ajaran al-Qur‟an dan al-Hadist.24

Pendidikan yang dimaksud ialah agar manusia dapat


menggunakan serta memanfaatkan instrumen-instrumen yang

24
Armai Arief, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, (Jakarta : Ciputat Pers
2002), h. 40
20

dipinjamkan Allah kepadanya. Yaitu akal pikiran, hati, dan tubuh


secara bersama-sama menjalankan apa yang dikehendaki Penciptanya,
dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
Pendidikan tauhid yang berarti membimbing atau
mengembangkan potensi (fitrah) manusia dalam mengenal Allah ini,
menurut pendapat Yusran Asmuni, “akan menanamkan keikhlasan
pada diri seseorang dalam setiap tindakan atau perbuatan
25
pengabdiannya”. Sehingga , manusia akan senantiasa berserah diri
hanya kepada Allah atas segala karunia baik ataupun buruk yang
menimpanya dalam hidup.
Dengan pendidikan tauhid ini, manusia akan menjadi manusia
hamba, bukan menjadi manusia yang dehumanis, kemudian timbul
rasa saling mengasihi, tolong menolong, memberikan hartanya yang
lebih kepada mereka yang membutuhkan, selalu waspada terhadap tipu
daya dunia dan manusia zalim, dapat berlaku sederhana (zuhud) dan
hati yang wara` serta sebagainya.
Dengan deimikian pendidikan tauhid mempunyai makna yang
dapat kita pahami sebagai upaya untuk menampakkan atau
mengaktualisasikan potensi yang dimiliki oleh setiap manusia, yang
dalam bahasa islamnya potensi ini disebut dengan fitrah. Salah satu
fitrah manusia adalah fitrah beragama, maka dari itu pendidikan tauhid
lebih diarahkan pada pengembangan fitrah keberagamaan seseorang
sebagai manusia tauhid.
Dengan kata lain, pendidikan tauhid adalah usaha mengubah
tingkah laku manusia berdasarkan ajaran tauhid dalam kehidupan
melalui bimbingan, pengajaran, dan pelatihan dengan dilandasi oleh
keyakinan kepada Allah semata.
Hal ini sesuai dengan karakterisik ajaran Islam sendiri yaitu,
mengesakan Allah dan menyerahkan diri kepada-Nya. Allah lah yang

25
M. Yusran Asmuni, ilmu Tauhid , (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993), h. 42
21

mengatur hidup dan kehidupan umat manusia dan seluruh alam. Dialah
yang berhak dan dimintai pertolongan-Nya.

b. Pentingnya Pendidikan Tauhid


Tauhid merupakan masalah yang paling mendasar dan utama
dalam Islam. Namun demikian, masih banyak dari kalangan awam
yang belum mengerti, memahami, dan menghayati sebenarnya akan
makna dan hakikat dari tauhid yang dikehendaki Islam, sehingga tidak
sedikit dari mereka secara tidak sadar telah terjerumus ke dalam
pemahaman kepada keyakinan yang keliru atau salah diartikan.
Ummat Islam harus memahami dan mengerti risalah yang dibawa oleh
Rasulullah saw.
Tauhid merupakan dasar peradaban Islam, sebab esensi peradaban
Islam adalah agama Islam. Sementara esensi ajaran Islam itu sendiri
adalah tauhid, yaitu suatu afirmasi atau pengakuan bahwa Allah adalah
Maha Esa, Raja, Pencipta yang Mutlak , dan Penguasa alam semesta.
Tauhid memliki implikasi yang sangat penting dalam sitem dan
struktur amal dalam Islam. Dengan tauhid, seorang muslim akan
menjadikan Allah sebagai tujuan awal dan akhir, dimana seluruh
rangkaian apa yang diperbuat di kehidupannya, semata mata karena
Allah dan untuk Allah.
Menurut pendapat Amin Rais:
Pandangan dunia tauhid itu bukan saja mengesakan Allah seperti
yang diyakini oleh kaum monoteis , melainkan juga mengakui
kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusiaan
(unity of mankind), kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance),
dan kesatuan tujuan hidup (unity of purpose of life), yang semua itu
merupakan derivasi dari kesatuan ketuhanan (unity of godhead)”. 26
Ungkapan kalimat tauhid adalah kalimat thayyibah Laa ilaaha
illallah, yang berarti tiada Tuhan selain Allah. Dengan mengucapkan
kalimat Laa ilaaha illallah ini, manusia tahu dan memutlakan Allah

26
M. Amin Rais , Cakrawala Islam antara Cita da Fakta, (Bandung ; Mizan, 1987), cet-1, h.
18
22

Yang Maha Esa sebagai khalik dan menafikan selain-Nya sebagai


ciptaan-Nya (makhluk). Dengan dasar ini maka pendidikan tauhid
menjadi sesuatu yang vital dalam kehidupan manusia, sebab dengan
dibekali dasar tauhid manusia akan selalu ingat kepada Allah. Orang
yang berpaling dari pengetahuan tentang tauhid akan tersesat karena
akan selalu mengikuti pikiran-pikiran yang salah yang akan
menjerumuskan kelembah kemusyrikan.
Pendidikan tauhid sangatlah penting, karena mempunyai relevansi
dengan konsep tauhid itu sendiri. Menurut Jalaluddin rahmat,
pengajaran tauhid menjadi penting karena beberapa hal :
(a) Tauhid mendasari seluruh pemikiran kita tentang dunia, tauhid
adalah welthanschaung kita. (b) Secara otomatis, konseptualisasi
tauhid menyiratkan konseptualisasi syirik yang mempunyai
implikasi-implikasi sosial. (c) Tauhid adalah konsepsi Islam yang
dapat dipertentangkan dengan sekularisme, humanisme, atau
eksistensialisme. 27

Awal munculnya manusia sampai sekarang, ajaran tauhid masih


tetap komitmen untuk membebaskan manusia dari keterikatan yang
membelenggu kehidupan menuju kemerdekaan yang hakiki dan tinggi,
yang semua itu akan berorientasi pada pengakuan akan keesaan Allah.

Jadi, pendidikan tauhid menjadi sangat penting, hal ini


disebabkan:

a. Tauhid akan mengantarkan manusia kepada derajat yang mulia,


dan kesempurnaan (insan kaa`mil)
b. Dengan muculnya berbagai fenomena kesyirikan dewasa ini,
kesyirikan dapat melunturkan fitrah manusia yang tidak
menutup kemungkinan dapat hilang sama sekali, sehingga
manusia akan kehilangan jati dirinya.

27
Jalaluddin Rahmat, Islam alternative Ceramah-Ceramah di Kampus, (Bandung : Mizan,
1986), h. 178
23

Manusia yang kehilangan pegangan hidup akan merana secara


mental dan spiritual. Mereka akan mudah melakukakan hal-hal yang
tidak mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan. Apabila hal ini dibiarkan
berlanjut terus-menerus maka pada akhirnya akan mengahancurkan
peradaban ummat manusia.
Dengan demikian pendidikan tauhid begitu penting bagi
keberlangsungan hidup manusia, sebagaimana pentingnya kedudukan
dan fungsi tauhid itu sendiri dalam Islam. Begitu besarnya pengaruh
tauhid atas kehidupan manusia. Orang yang menolak tauhid akan
hidup sengsara di dunia dan akhirat.
Oleh karena itu, pendidikan tauhid hendaknya dilakukan sedini
mungkin, setiap manusia sudah memiliki fitrah bertuhan sejak ia lahir
di dunia, maka hendaknya kita perlu melestarikan dan menjaganya.
Fitrah manusia (Tauhid) ini perlu dibina hingga ketauhidannya
semakin sempurna agar ia menjadi manusia tauhid yang benar-benar
mencintai Allah di atas segalanya.

c. Materi Pendidikan Tauhid

Islam mengajarkan bahwa proses pendidikan ketauhidan dimulai


sejak anak itu lahir ke dunia. Ketika seorang anak dilahirkan, islam
mengajarkan agar orangtuanya mendengungkan azan ke telinga anak
tersebut, dengungan azan ini menunujukan bahwa pendidikan tauhid
sudah dimulai sebab azan berisi ajaran ketauhidan. Dengan kata lain,
islam mengajarkan agar suara pertama yang disengarkan anak begitu ia
lahir ke dunia adalah suara yang mengandung pendidikan ketauhidan.
Ajaran seperti ini dipraktekan langsung oleh Nabi muhammad SAW.
Dalam sebuah hadist diriwayatkan :

‫ رأيت رسول هللا صلّى هللا عليو و سلّم أذّن ىف‬: ‫عن عبيدهللا ابن أيب رافع عن ابيو قال‬
‫علي حني ولدتو فاطمة‬
ٍّّ ‫أذن احلسن بن‬
24

Dari Ubaidillah bin Abi Rafi‟ dari ayahnya, ia berkata, “saya


melihat Rasulullah SAW mendengungkan azan shalat di telinga
Hasan bin Ali ketika ia dilahirkan fatimah. (HR.Tirmuzi) 28
Ajaran tauhid bukanlah monopoli ajaran Nabi Muhammad, akan
tetapi ajaran tauhid ini merupakan prinsip dasar dari semua agama
samawi. Para nabi dan rasul diutus oleh Allah untuk menyeru kepada
pengesaan Allah dan meninggalkan dalam penyembahan selain Allah.
Walaupun semua nabi dan rasul membawa ajaran tauhid, namun
ada perbedaan dalam hal pemaparan tentang prinsip-prinsip tauhid. Hal
ini dikarenakan tingkat kedewasaan berfikir masing-masing umat
berbeda sehingga, “Allah menyesuaikan tuntunan yang dianugerahkan
kepada para nabi-Nya sesuai dengan tingkat kedewasaan berpikir umat
mereka”.29
Pemaparan tauhid mencapai puncaknya ketika Nabi Muhammad
diutus untuk melanjutkan perjuangan nabi sebelumnya. Pada masa itu
uraian al-Qur`an tentang Tuhan dimulai dengan pengenalan perbuatan
dan sifat Tuhan yang terlihat dari wahyu pertama turun,30 yaitu yang
diawali dengan kata iqra` (Bacalah).

           

            

     


1. bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan,
2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah,
4. yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam
5. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
(Q.S al-Alaq, ayat 1-5)

28
Yusran Asmuni. Op.cit., h. 43
29
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`an Tafsir Maudhu`i Atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung : Mizan, 1996), h. 19
30
Ibid., h. 23
25

Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai tauhid dalam pendidikan


model Islam merupakan masalah pertama dan utama yang
dikedepankan sehingga semua orientasi proses pendidikan akhirnya
akan bermuara pada pengakuan akan kebesaran Allah SWT. Adapun
materi pendidikan tauhid yaitu :

1. Adanya Wujud Allah


Bila kita perhatikan alam ini maka kita akan mendapatkan
adanya persesuaian dengan kehidupan manusia dan makhluk lain.
Persesuaian ini bukanlah suatu yang kebetulan melainkan
menunjukkan adanya penciptaan yang rapi dan teratur yang
berdasarkan ilmu dan kebijaksanaan. Sebagaimana siang dan
malam, matahari dan bulan, empat musim, hewan dan tumbuhan
serta hujan. Hal ini menampakkan kebijaksanaan Tuhan
Dengan memperhatikan penciptaan manusia, hewan, dan
lainnya, menunjukkan bahwa makhluk-makhluk tersebut tidak
mungkin lahir dalam wujud dengan sendirinya. Gejala hidup pada
beberapa makhluk juga berbeda-beda. Misalnya tumbuh-
tumbuhan hidup, berkembang, dan berubah. Hewan juga hidup
dengan mempunyai insting, dapat bergerak, berkembang, makan
dan mengeluarkan keturunan. Manusia pun demikian, akan tetapi
manusia mempunyai kelebihan yaitu dapat berfikir. Hal ini
menunjukkan adanya penciptaan yang mengehendaki supaya
sebagian makhluk-Nya lebih tinggi daripada sebagian yang lain.

Selain itu, seseorang bisa mengetahui keberadaan sesuatu


tanpa harus melihatnya secara materi. Dalam kehidupan sehari-
hari ini seseorang bisa mengakui bahwa untuk mengetahui adanya
angin dapat dengan cara merasakannya dan melihat bekas-
bekasnya. Seseorang mengakui adanya nyawa tanpa melihatnya ,
sehingga hal ini cukup menguatkan asumsi bahwa untuk
26

membuktikan adanya Tuhan tidak harus dengan pembuktian


material.
Dari beberapa uraian di atas dapat dipahami, bahwa untuk
meyakinkan adanya Tuhan (wujud Allah), akal pikiran hendaknya
diarahkan pada fenomena alam, namun mata hati manusia jauh
lebih tajam dan dapat lebih meyakinkan daripada pandangan kasat
mata, karena dalam jiwa manusia sudah tertanam fitrah untuk
mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian segala sesuatu itu
pasti ada yang menciptakan, yaitu Allah Zat Yang Maha Pencipta.

2. Keesaan Allah
Dalam bukunya „Ilmu Tauhid‟ Yusran Asmuni mengutip
perkataan Sayyid Sabiq yang menjelaskan tentang maksud ke-
Esaan Allah :
Keesaan Allah SWT tidak hanya keesaan pada zat-Nya, tapi
juga esa pada sifat dan af`al (Perbuatan)-Nya. Yang dimaksud
dengan esa pada Zat ialah Zat Allah itu tidak tersusun dari
beberapa bagian dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Esa pada sifat
berarti sifat Allah tidak sama dengan sifat-sifat yang dimiliki
oleh makhluk-Nya. Esa pada af`al berarti tidak seorang pun
yang memiliki perbuatan sebagaiman perbuatan Allah. Ia
Maha Esa dan menyendiri dalam hal menciptakan, membuat,
mewujudkan, dan membentuk sesuatu..31

Keesaan Zat Allah menurut Murtadha Muttahari adalah Dia


tidak memiliiki padanan dan sesuatu yang serupa dengan-Nya;
tidak ada suatu apapun yang berada pada tingkat Zat Allah
SWT.32 Sementara menurut Quraish Shihab yang manganalisa
kata ahad (Esa), ia menggolongkan keesaan Allah menjadi empat
yaitu : keesaaan zat, keesaaan sifat, keesaan perbuatan dan
keesaan dalam beribadah kepada-Nya.33

31
M. Yusran Asmuni, op.cit., h.17
32
Murtadha Muttahari , Keadilan Ilahi Asas Pandangan Dunia Islam, Terj. Dari Al-Adl Al
Ilahi, ( Bandung: Mizan 1995), h. 27
33
M. Quraish Shihab, op cit., h. 33
27

Dengan demikian dapat dipahami bahwa yang dinamakan


Esa dalam ajaran Islam adalah tidak atau bukan terdiri dari oknum
ganda baik pada nama, sifat, maupun zat-Nya. Allah adalah Maha
Esa, Zat Yang Maha Suci, tiada Tuhan selain Allah.

3. Hikmah Mengenal Allah


Seseorang yang mengenal sesuatu yang telah memberikan
manfaat pada dirinya maka ia akan mempunyai kesan atau
hikmah terhadap sesuatu itu. Demikian juga apabila seseorang
mengenal Tuhan melalui akal dan hatinya maka ia akan
merasakan buah kenikmatan dan keindahan yang tercermin dalam
dirinya.
Mengenal (ma`rifat) kepada Allah adalah ma`rifat yang
paling agung. Ma‟rifat inilah yang merupakan fundamen tempat
tegaknya segala kehidupan kerohanian. Hamzah Yaqub
mengatakan: “Ma`rifah melahirkan keyakinan yang sebulat-
bulatnya tanpa dapat digoncangkan lagi., misalnya ma‟rifah
tentang 2 + 2 = 4. Keyakinan ini tidak akan luntur selama fikiran
tetap normal, keyakinan yang demikian itu juga melahirkan
kepuasan, ketenangan, dan ketentraman.”34
Pengalaman ketauhidan yang tercermin pada diri manusia
disebabkan seseorang telah mengetahui dan menginsafi kebenaran
kedudukan Allah, ia menyadari akan keagungan dan kebesaran-
Nya sehingga dari sini segala apa yang dilakukan akan
mengarahkan tujuan pandangannya ke arah yang baik dan benar.
Buah mengenal (ma`rifat) akan adanya Allah ini, diantaranya
akan tersimpul dalam bentuk sikap sebagai berikut:
(1)Kemerdekaan jiwa dari kekuasaan orang lain (2) iman dapat
membangkitkan keberanian di dalam jiwa dan keinginan untuk
terus maju, menganggap enteng kematian dan menggandrungi

34
Hamzah Yaqub, Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin (Tashawwuf dan
Taqarrub), (Jakarta : CV Atisa, t.t.), h. 177
28

mati syahid demi membela kebenaran(3) iman menetapkkan


keyakinan bahwa Allah lah yang Maha Pemberi Rizqi dan
bahwasannya rezeki tidak dapat dipercepat karena kerasukan
orang yang rakus, dan tidak pula dapat ditolak oleh kebencian
orang yang benci (4) Adanya ketenangan dan ketentraman hati
(5) Keimanan dapat meningkatkan kekuatan maknawiyah
manusia dan menghubungkan dirinya dengan conttoh tauladan
tertinggi, yaitu Allah yang menjadi sumber kebaikan,
kebajikan, dan kesempurnaan. 35

Dengan demikian seorang yang yakin akan keesaan Allah,


mempunyai sikap hidup optimis yang jauh lebih kuat
dibandingkan dengan orang kafir yang menyekutukan Allah
sebagai satu-satunya Rabb, pencipta alam semesta beserta isinya
ini. Keimanan dapat mengubah manusia yang asalnya lemah
menjadi kuat, menumbuhkan kebaikan dalam bersikap,
meningkatkan kemauan, serta memberikan pengharapan yang
dapat direalisasikan dan dibuktikan dalam perbuatan nyata.

d. Dasar Pendidikan Tauhid

Dasar merupakan fundamental dari suatu bangunan atau bagian


yang menjadi sumber kekuatan. Ibarat pohon, dasarnya adalah akar.
Maksud dari dasar pendidikan di sini ialah pandangan yang mendasari
seluruh aspek aktivitas pendidikan, karena pendidikan merupakan
bagian yang sangat penting dalam kehidupan. Dasar pendidikan yang
dimaksud di sini adalah nilai-nilai tertinggi yang dijadikan pandangan
oleh suatu masyarakat itu berlaku sehingga dapat diketahui betapa
penting keberadaan dasar pendidikan sebagai tempat pijakan. Dengan
demikian setiap usaha, kegiatan dan tindakan yang disengaja untuk
mencapai suatu tujuan harus mempunyai landasan tempat berpijak
yang baik dan mapan.
Mohammad Ali Daud mengatakan dalam bukunya Pendidikan Agama

35
Sayyid Sabiq, Aqidah Islam, terj Ali Mahmudi dan Aunur Rafiq Shaleh, (Jakarta : Robbani
Press 2006), h. 128-133
29

Islam, “bahwa pendidikan Islam / tauhid memiliki dua sumber utama


dalam pengajarannya, yaitu al-Qur‟an dan Hadist, tetapi untuk ajaran
Islam ada sumber tambahan atau sumber pengembangan yaitu
rakyu/akal”36. Pendidikan tauhid sebagai suatu usaha membentuk
insan kamil harus mempunyai landasan ke mana semua kegiatan
pendidikan dikaitkan dan diorientasikan.
Dasar pendidikan tauhid juga merupakan dasar pendidikan Islam,
karena pendidikan tauhid merupakan salah satu bagian dari pendidikan
Islam, sehingga dasar dari pendidikan ini tidak lain adalah pandangan
hidup yang islami, yang pada hakikatnya merupakan nila-nilai luhur
yang bersifat transendental dan universal yaitu al-Qur`an dan Hadist.
Adapun uraian dasar pendidikan tauhid adalah sebagai berikut:
1. al-Qur‟an

Di dalam al-Qur`an terdapat banyak ajaran yang berkenaan


dengan kegiatan atau usaha pendidikan tauhid. Misalnya dalam
surat luqman ayat 13, menerangkan kisah luqman yang mengajari
anaknya tentang tauhid,

         


   

 
   
“dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar". (Q.S. Luqman : 13)
Pengajaran yang disampaikan Luqman kepada anaknya,
merupakan dasar pendidikan tauhid yang melarang berbuat syirik,
karena pada hakikatnya pendidikan tauhid adalah pendidikan yang

36
Mohammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Rajawali Prers, 2008), h. 90
30

berhubungan dengan kepercayaan aakan adanya Allah dengan


keesaan-Nya, sehingga timbul ketetapan dalam hati untuk tidak
mempercayai selain Allah. Kepercayaan itu dianut karena
kebutuhan (fitrah) dan harus merupakan kebenaran yang ditetapkan
dalam hati sanubarinya.
Pemberian pengajaran tauhid pada diri manusia, pada
hakikatnya adalah menumbuhkan dan mengembangkan
pengetahuan manusia dalam memahami tauhid tersebut sebab,
setiap manusia sudah dibekali fitrah tauhid oleh Allah.
Sebagaimana firman-Nya :

          

          

     


“Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama
Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah
Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia
tidak mengetahui”. (Q.S. ar-Ruum : 30)
Ayat di atas menegaskan bahwa manusia diciptakan oleh Allah
dengan dibekali fitrah tauhid, yaitu fitrah untuk selalu mengakui
dan meyakini bahwa Allah itu Maha Esa, yang menciptakan alam
semesta beserta pengaturannya dan wajib untuk disembah. Oleh
karena itu, untuk menjadikan fitrah ini tetap ada dan kuat, maka
diperlukan suatu upaya untuk selalu menumbuh kembangkandalam
kehidupan pemiliknya dengan melalui pendidikan tauhid, agar
manusia selalu ingat dan dekat kepada Tuhannnya.
31

2. Hadist
Hadist merupakan dasar kedua setelah al-Qur`an. Hadist beisi
petunjuk untuk kemaslahatan hidup manusia dan untuk membina
umat menjadi manusia seutuhnya atau muslim yang bertaqwa.
Inilah tujuan pendidikan yang dicanangkan dalam Islam.
Dalam sejarah pendidikan Islam, Nabi Muhammad telah
memberikan pendidikan secara menyeluruh di rumah-rumah dan di
masjid-masjid. Salah satu rumah sahabat yang dijadikan tempat
berlangsungnya pendidikan yang pertama adalah rumahnya Arkam
di Mekkah, sedang masjid yang digunakan untuk kegiatan
pembelajaran adalah masjid Nabawi di Madinah.
Adanya kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh Nabi
Muhammad dan dilanjutkan oleh pengikutnya, merupakan realisasi
sunnah Nabi Muhammad sendiri. Adapun hadist yang berkaitan
dengan pendidikan tauhid ialah

‫عن أىب ىريرة أنّو كان يقول قال رسول هللا صلى هللا عليو و سلّم ما من مولود إال‬
‫ رواه مسلم‬.‫يولد على الفطرة فأبواه يهود انّو و ينصر انّو و ميجسانو‬
Dari Abu Huraira, ia berkata : Rasulullah saw. Bersabda tidak
ada seorang anak pun kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah
(suci), maka orang taunyalah yang menjadikannya Yahudi,
Nasrani, dan majusi. (Muttafaq alaih).37

3. Rakyu / Akal

Manusia adalah makhluk paling sempurna bila dibandingkan


dengan makhluk lainnya di muka bumi ini. Meskipun sama sifatnya
sebagai makhluk, namun ada hal yang membedakan manusia
dengan makhluk lainnya, hal yang dimiliki manusia sehingga
membedakannya dengan yang lain ini adalah akal.

Akal merupakan karunia Allah terbesar bagi manusia, dengan


akal manusia mempunyai kesempatan untuk menentukan
37
Abdul Majid Khon, Hadis Tarbawi : Hadis-Hadis Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2014),
Cet-2, h. 235
32

kehidupannya di masa yang akan datang. Karena dengan akal


manusia dapat membedakan yang benar dan yang salah, yang baik
dan juga yang buruk.
Akal merupakan bahasa serapan dari bahasa arab yang berarti
aql. Menurut M. Daud Ali “akal dalam bahasa asalnya
dipergunakan juga untuk menerangkan sesuatu yang mengikat
manusia dengan Tuhan, akar kata aql mengandung makna
ikatan”38. Di dalam kepustakaan dasar ketiga ini sering disebut
dengan kata “ra‟yu dan ijtihad”39
Adapun kata ijtihad menurut M. Daud Ali adalah:
usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh seseorang
atau beberapa orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan
pengalaman tertentu yang memenuhi syarat untuk mencari,
menemukan, dan menetapkan, nilai, dan norma yang tidak jelas
atau tidak terdapat patokannya di dalam al-Qur‟an dan al-
Hadist.40
Hasil dari ijtihad itu disebut dengan ijma‟. Ijma tersebut itulah
yang dijadikan sandaran yang dapat dilihat dari berbagai sudut
pandang dalam menentukan hukum-hukum Islam.

e. Tujuan Pendidikan Tauhid

Pendidikan tauhid sebagai salah satu aspek pendidikan Islam


mempunyai andil yang sangat penting dalam mencapai tujuan
pendidikan Islam. Menurut Zakiah daradjat yang dikutip oleh Nur
Uhbiyati dalam buku Ilmu pendidikan Islam bahwa tujuan pendidikan
Islam atau yang juga bisa disebut dengan pendidikan tauhid adalah:
tujuan dari hasil pendidikan Islam secara keseluruhan adalah yang
kepribadian seseorang yang membuatnya menjadi insan kamil
dengan pola taqwa, insan kamil artinya manusia utuh rohani dan
jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar dan normal
karena takwanya kepada AllahSWT, sehingga dapat menghasilkan
manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya, serta

38
Muhammad Daud Ali, op.cit., h. 120-121
39
Ibid., h. 121
40
Ibid.
33

senang dan gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran islam


untuk kepentingan hidupnya di dunia dan akhirat.41

Dengan demikian, tujuan dari pendidikan tauhid adalah


tertanamnya akidah tauhid dalam jiwa manusia secara kuat, sehingga
nantinya dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sesuai
dengan ajaran Islam. Dengan kata lain, tujuan dari pendidikan tauhid
pada hakikatnya adalah untuk membentuk manusia tauhid. Manusia
tauhid diartikan sebagai manusia yang memiliki jiwa tauhid yang dapat
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari melalui prilaku yang
sesuai dengan realitas kemanusiaaanya dan realitas alam semesta, atau
manusia yang dapat mengaktualisasikan nilai-nilai Ilahiyah.

f. Metode Pendidikan tauhid

1. Pengertian Metode Pendidikan Tauhid

Armai Arief menyebutkan bahwa “metode berasal dari dua


suku kata yaitu meta yang artinya melalui atau melewati dan hodos
yang artinya jalan atau cara. Jadi metode artinya suatu jalan yang
dilalui untuk mencapai tujuan.42 Dalam bahasa Arab kata metode
diungkapkan dalam berbagai kata. Terkadang digunakan kata
atthariqah, manhaj, dan alwashilah. Thariqah berarti jalan, manhaj
berarti sistem, dan washilah berarti perantara atau mediator.43 Oleh
karena itu, yang dimaksud dengan metodologi adalah “ilmu tentang
jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan”.44
Dalam penggunaan metode pendidikan islam (Tauhid) yang
perlu dipahami adalah bagaimana seseorang pendidik dapat
memahami hakikat metode dalam relevansinya dengan tujuan
utama pendidikan Islam yaitu terbentuknya pribadi yang beriman
yang senantiasa siap sedia mengabdi kepada Allah swt. Tujuan

41
Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), cet-2, h. 41
42
Armai Arief, op.cit., h. 40
43
Munawwir, op.cit., h. 848, 1468, 1559
44
Nur Uhbiyati, op.cit., h. 99
34

diadakan metode adalah menjadikan proses dan hasil belajar


mengajar ajaran Islam lebih berguna dan berhasil untuk
menimbulkan kesadaran peserta didik untuk mengamalkan
ketentuan ajaran Islam melalui teknik motivasi yang menimbulkan
gairah belajar peserta didik secara mantab. Uraian itu menunjukkan
bahwa fungsi metode pandidikan Islam adalah mengarahkan
keberhasilan belajar, memberi kemudahan kepada peserta didik
untuk belajar berdasarkan minat, serta mendorong usaha kerja sama
dalam kegiatan belajar mengajar antara pendidik dengan peserta
didik.

2. Macam-Macam Metode Pendidikan Tauhid

Dalam bukunya „pendidikan Islam di rumah, sekolah, dan


masyarakat‟ Abdurrahman an-Nahlawi mengatakan bahwa:
Pada dasarnya metode pendidikan Islam sangat efektif dalam
membina kepribadian anak didik dan memotivasi mereka
sehingga aplikasi metode ini memungkinkan puluhan ribu kaum
mukminin dapat membuka hati manusia untuk menerima
petunjuk Ilahi dan konsep-konsep peradaban Islam. Selain itu,
metode pendidikan Islam akan mampu menempatkan manusia
diatas luasnya permukaan bumi dan dalam masa yang tidak
diberikan kepada penghuni bumi lainnya.45

Menurut A. Fatah Yasin dalam bukunya Dimensi-Dimensi


Pendidikan Islam ada 7 macam metode pendidikan Islam,
diantaranya adalah : “Metode hiwar, metode Qishah, metode
amtsal, metode teladan, metode mau‟izdah, metode pembiasaan,
dan metode targhib dan tarhib”46.

45
Abdurrahman An Nahlawi, Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat (Jakarta :
Gema Insani, 1995), 204
46
A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang : UIN Malang Press, 2008) Cet-
1, h. 144-145
35

a. Metode Hiwar
Adalah pendidikan yang dilakukan dengan cara berdiskusi
“Bertanya dan lalu menjawab”47sebagaimana yang digunakan
oleh Al Qur‟an dan hadits-hadits nabi. Dialog inipun terbagi
dalam 3 macam, yakni : dialog khitabi dan ta‟abudi (bertanya
dan lalu menjawab) dialog deskriftif dan dialog naratif
(menggambarkan lalu mencermati), dialog argumentatif
(berdiskusi lalu mengemukakan alasan), dan dialog nabawi
(menanamkan rasa percaya diri, lalu beriman). Untuk yang
terkhir ini, dialog Nabawi sering dipraktekkan oleh sahabat
ketika mereka bertanya sesuatu kepada Rosulullah.
b. Metode Kisah
Metode kisah disebut juga metode cerita yakni cara
mendidik dengan mengandalkan bahasa, baik lisan maupun
tertulis dengan menyampaikan pesan dari sumber pokok sejarah
Islam, yakin Al-qur‟an dan Hadits.
Pentingnya metode kisah diterapkan dalam dunia
pendidikan karena dengan metode ini, akan memberikan
kekuatan psikologis kepada peserta didik, dalam artian bahwa
dengan mengemukakan kisah-kisah nabi kepada peserta didik,
mereka secara psikologis terdorong untuk menjadikan nabi-nabi
tersebut sebagai uswah (suri tauladan).
Kisah-kisah dalam Al-qur‟an dan Hadits, secara umum
bertujuan untuk memberikan pengajaran terutama kepada
orang-orang yang mau menggunakan akalnya. Relevansi antara
cerita Qur‟ani dengan metode penyampaian cerita dalam
lingkungan pendidikan ini sangat tinggi. Metode ini merupakan
suatu bentuk teknik penyampaian informasi dan instruksi yang
amat bernilai, dan seorang pendidik harus dapat memanfaatkan

47
Ibid.
36

potensi kisah bagi pembentukan sikap yang merupakan bagian


terpenting dalam pendidikan Qur‟ani dan Nabawi.
c. Metode Perumpamaan
Metode ini, disebut pula metode “amsal” yakni cara
mendidik dengan “memberikan perumpamaan-perumpamaan
yang diungkapkan Al-qur‟an untuk diketahui dan diresapi
peserta didik”48 sehingga mudah dalam memahami suatu
konsep. Metode ini memiliki tujuan psikologi edukatif, yang
ditunjukkan oleh kedalaman makna dan ketinggian maksudnya.
d. Metode Keteladanan
Metode ini, disebut juga metode meniru yakni suatu
metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik
memberikan contoh teladan yang baik kepada anak didik.
Dalam Al-qur‟an, kata teladan dimaknai dengan kata uswah
yang kemudian diberikan kata sifat dibelakangnya seperti sifat
hasanah yang berarti teladan yang baik. Metode keteladanan
adalah suatu metode pendidikan dan pengajaran dengan cara
pendidik memberikan contoh teladanan yang baik kepada anak
didik agar ditiru dan dilaksanakan. Dengan demikian metode
keteladanan ini bertujuan untuk menciptakan akhlak al-
mahmudah kepada peserta didik. Seperti pada Surah Q.S Al-
Ahzab ayat 21:

         


 

         


“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan dia banyak menyebut Allah.”

48
Ibid.
37

e. Metode Ibrah dan Mau‟izhah


Metode ini disebut juga metode “nasehat”49 yakni suatu
metode pendidikan dan pengajaran dengan cara pendidik
memberi motivasi. Metode Ibrah atau mau‟izhah (nasehat)
sangat efektif dalam pembentukan anak didik terhadap hakekat
sesuatu, serta memotivasinya untuk bersikap luhur, berakhlak
mulia dan membekalinya dengan prinsip-prinsip Islam.
Menurut Al-qur‟an, metode nasehat hanya diberikan kepada
mereka yang melanggar peraturan dalam arti ketika suatu
kebenaran telah sampai kepadanya, mereka seolah-olah tidak
mau tau kebenaran tersebut terlebih melaksanakannnya.
Pernyataan ini menunjukkan adanya dasar psikologis yang kuat,
karena orang pada umumnya kurang senang dinasehati, terlebih
jika ditunjukkan kepada pribadi tertentu.
f. Metode Pembiasaan
Ialah “metode yang digunakan pendidik dengan cara
memberikan pengalaman yang baik yang dialami para tokoh
untuk ditiru dan dibiasakan”50metode pembiasaan merupakan
metode yang paling sering digunakan di sekolah. Metode ini
biasanya terangkum dalam peraturan tata tertib sekolah, seperti
membiasakan anak didik untuk datang tepat waktu, memakai
pakaian yang syar‟i dan rapih, dan berbagai macam hal positif
lainnya. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dapat terbiasa
menjalankan disiplin dimanapun ia berada sebagaimana ia
menjalankan disiplin tersebut di sekolah.
Metode pembiasaan selalu diiringi dan bergandengan
dengan pemberian ganjaran dan hukuman. Apabila peserta
didik melanggar peraturan pembiasaan tersebut maka ia akan
dikenai hukuman. Kecendrungan manusia apabila melakukan

49
Ibid.
50
Ibid.
38

kesalahan kemudian dibiarkan begitu saja (tidak ada yang


meng-Islah) atau tidak ada yang menegurnya, maka ia akan
terbiasa melakukan kesalahan tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa pemberian ganjaran dan hukuman berfungsi sebagai
pengingat bagi peserta didik yang melakukan kesalahan agar ia
tidak membiasakan hal buruk dalam kesehariannya.
g. Metode Targhib dan Tarhib
Metode ini, disebut pula metode “ancaman” dan atau
“intimidasi” yakni suatu metode pendidikan dan pengajaran
dengan cara pendidik memberikan hukuman atas kesalahan
yang dilakukan peserta didik. Istilah targhib dan tarhib dalam
Al-Qur‟an dan As-Sunnah berarti ancaman atau intimidasi
melalui hukuman yang disebabkan oleh suatu dosa kepada
Allah dan Rosulnya.

4. Pendidikan Tauhid di Sekolah

Pendidikan tauhid di sekolah umum seringkali dimasukkan dalam


satu mata pelajaran yang disebut pendidikan agama. Pendidikan agama
tersebut merupakan kumpulan dari ilmu-ilmu keislaman seperti : Aqidah,
akhlak, fiqih, sejarah kebudayaan Islam, serta Qur‟an dan hadist. Oleh
karenanya pendidikan tauhid juga bisa kita sebut dengan pendidikan
agama.
Sekolah merupakan institusi khusus yang menyelenggarakan suatu
pendidikan. Melalui sekolah anak mengenal dunia yang lebih luas. Kalau
dalam lingkungan anak mengenal ayah, ibu, adik dan kakak serta
familinya, maka dalam sekolah kini anak mengenal sosok guru mereka,
bermain bersama teman-teman dari berbagai kelompok masyarakat. Di
sekolah suasana pendidikan tetap diciptakan dengan sengaja, sehingga
lebih khusus dan terarah.
39

Sekolah sebagai institusi sosial, yang berfungsi sebagai lembaga


pelimpahan tanggung jawab mengenai anak. Sebab tidaklah mungkin
setiap orang tua dapat memberikan pendidikan pada anak secara optimal
dan menyeluruh hanya dengan mengandalkan pendidikan keluarga.
Bagaimanapun kemampuan manusia (orang tua) terbatas. Mungkin
mereka memiliki pengetahuan serta keterampilan yang cukup untuk
mendidik anaknya, tetapi mereka tidak banyak memiliki waktu. Untuk
itulah para orang tua mempercayakan pelimpahan sekaligus tugas dan
tanggung jawabnya kepada pihak sekolah. dan termasuk dalam hal ini
adalah pelimpahan tanggung jawab pendidikan, tauhid.
Atas dasar itulah sekolah dengan seluruh perangkatnya harus dapat
menciptakan suasana yang mendorong terbentuknya nuansa tauhid pada
diri anak didik. Melalui pendidikan tauhid di sekolah, anak diharapkan
dapat lebih mengenal dan memahami konsep-konsep keimanan secara
teoritis, serta mampu menerapkannya secara praktis dalam kehidupan
nyata.
Guru sebagai orang yang terlibat langsung dalam praktik pendidikan
sekolah, harus dapat memiliki abilitinya yang cukup mapan dalam
pengetahuan dan ketrampilan atas apa yang ia ajarkan. Jika seorang guru
mengajarkan keimanan, menyuruh anak untuk menjalankan shalat dan
lain-lain, akan tetapi ia tidak pernah melakukan shalat maka jangan
pernah berharap anak didik mau untuk melaksanakan salat. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Zakiah Daradjat:

Guru masuk ke dalam kelas, membawa seluruh unsur kepribadiannya,


agamanya, akhlaknya, pemikirannya, sikapnya, dan ilmu pengetahuan
yang dimilikinya. Penampilan guru, pakaiannya, caranya berbicara,
bergaul dan memperlakukan anak, bahkan emosi dan keadaaan
kejiwaan yang sedang dialaminya, ideologi dan paham yang dianutnya
pun terbawa tanpa disengaja ketika ia berhadapan dengan anak
didiknya. Seluruhnya itu akan terserap oleh si anak tanpa disadari oleh
guru dan orang tua.51

51
Zakiah Daradjat, Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, (Jakarta : Ruhama 1993),
h. 77
40

Di lain sisi ada pula sebagian anak yang sama sekali tidak
mendapatkan pendidikan agama dari kedua orang tuanya disebabkan
orang tua mereka pun tidak menjalankan aturan agama di rumahnya. Hal
ini menyebabkan mereka pun acuh terhadap agama. Dalam kasus ini guru
agama mendapat tugas yang cukup berat dalam meninformasikan nilai –
nilai agama kepada peserta didik. Ketertarikan peserta didik terhadap
pelajaran agama tergantung kepada guru agama itu sendiri. Seperti yang
dikatakan oleh Zakiah Daradjat :

Jika guru agama mempunyai kepribadian yang menarik, serta mampu


membawakan pendidikan agama sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangan jiwa anak dapat pula menyajikan pelajaran agama
sedemikian rupa, sehingga menarik minat anak , maka anak tadi akan
tertarik kepada agama. Dan demikianlah sebaliknya dengan guru yang
tidak memenuhi syarat.52

Maka dari itu, pendidikan agama akan berjalan lancar dan sukses
mencapai tujuannya, jika suasana sekolah secara keseluruhan membantu.
Semua guru dalam semua mata pelajaran, perhatian kepala sekolah,
jangan sampai bertentangan dengan tujuan pendidikan agama, dalam
membina jiwa agama pada anak didik. Tentunya pendidikan agama itu
dilakukan secara khusus oleh guru agama yang memenuhi syarat-syarat
kepribadian, teknis, dan ilmiah di atas.

B. Hasil Penelitian yang Relevan


Berdasarkan penelusuran penulis terhadap karya ilmiah skripsi/disertasi
di perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa yang membahas
tentang Konsep Pendidikan Tauhid yang terkandung dalam surat al-An‟am
ayat 74-83 belum penulis temukan secara khusus. Namun yang menggunakan
istilah pendidikan tauhid, terdapat sebuah skripsi milik Nurul Utami Bahri
(2013), Fakultas Tarbiyah, Jurusan Pendidikan Agama Islam, yang berjudul
“Nilai- Nilai Pendidikan Tauhid Dalam Kisah Nabi Ibrahim (Kajian Tafsir

52
Zakiah Daradjat, Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental , h. 97-98
41

Surat Ash-Shaffat Ayat 100-110). Dalam skripsinya, Saudari Nurul


menguraikan pendidikan tauhid yang lebih difokuskan pada anak .
menurutnya, orang tua yang dapat memberikan pendidikan tauhid kepada
anaknya akan dapat membentuk karakter anak menjadi anak yang taat kepada
Allah SWt, dan juga pada orang tuanya.
Skripsi saudara Muhammad Nizar (2006), Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, Jurusan Tafsir Hadist, yang berjudul “Wasiat Nabi Ibrahim dan Nabi
Ya‟kub terhadap Anak-anaknya dalam al-Qur`an (Analisa atas Penafsiran
Sayyid Quthb dalam Surat al-Baqoroh ayat 132-133”. Dia menjelaskan sedikit
tentang tauhid, kemudian dia menyatakan bahwa orang tua adalah faktor yang
paling penting dalam pembentukan tauhid anak. Nabi Ibrahim dan Nabi
Ya‟kub yang merupakan satu silsilah keturunan memerankan adegan wasiat
aqidah kepada anaknya karena orang tua memiliki tanggung jawab untuk terus
memelihara kelangsungan dan keutuhan akidah anak sampai akhir hayat.
Kemudian skripsi berjudul “Tauhid dan Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam
Pandangan Nurkholis Majid” yang ditulis oleh Anwar Sodik (2008), Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat, Jurusan Aqidah Filsafat. Sedikit menyinggung
tentang tauhid dan nilai-nilai kemanusiaan, disebutkan bahwa tauhid dan nilai
yang dimaksud adalah pendapat Nurkholis Majid, ia beranggapan bahwa
seseorang tidaklah dikatakan bertauhid kecuali jika disertai dengan sikap
pasrah dan keimanan yang murni.
Namun penelitian pada tulisan tetap memiliki perbedaan dengan skripsi-
skripsi di atas secara teori, dan objek, penelitian pada tulisan ini difokuskan
untuk mencari konsep pendidikan tauhid yang diambil dari kisah Nabi Ibrahim
beserta paman dan kaumnya.
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN
A. Objek dan Waktu Penelitian

Objek yang dibahas pada penelitian ini adalah pendidikan tauhid yang
terkandung ayat-ayat al-Qur’an khususnya dalam surat al-An’am ayat 74-
83.
Adapun waktu penelitian dilakukan selama satu semester terhitung
dari tanggal 1 April 2015.

B. Fokus Penelitian

Berdasarkan judul, maka penulis memfokuskan pada konsep


pendidikan tauhid yang terkandung dalam surat al-An’am ayat 74-83 yang
sifatnya mendeskripsikan dan menganalisa tentang pendidikan tauhid
dalam surat al-An’am ayat 74-83.

C. Pendekatan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan data penelitian kualitatif


dengan menggunakan metode konten analisis dengan menggunakan teknik
analisis kajian melalui studi kepustakaan (Library Research)
Karena penelitian ini merupakan library research, maka sumber data
pada penelitian ini adalah literatur-literatur yang berkaitan. Sebagaimana
yang dikatakan oleh H.M Sayuthi, “Sumber data penelitian kualitatif ialah
tindakan dan perkataan manusia dalam latar yang bersifat alamiah. Sumber
data lainnya ialah bahan-bahan pustaka, seperti : dokumen, arsip, koran,
majalah, jurnal ilmiah, buku, laporan tahunan dan lain sebagainya.”1

1
H.M. Sayuthi Ali., Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada Press, 2002), h. 63

42
43

D. Sumber Data

Sumber data pada penelitian ini berasal dari literatur-literatur yang


berkaitan dengan tema dalam penelitian ini. Sumber-sumber tersebut
terdiri dari data primer, yaitu kitab suci dan kitab-kitab tafsir al-Qur’ȃn
yang menjelaskan pengertian surat al-An’am ayat 74-83, diantaranya:

1. Al-Qur’an dan Terjemahannya


2. Tafsir Al-Mishbah (M. Quraish Shihab)
3. Tafsir al-Lubab (M.Quraish Shihab)
4. Shafwatut Tafasir (M. Ali ash-Shabuni)
5. Tafsir Nurul Qur’an (Allamah Kamal Faqih)

Dan data sekunder, yaitu dari buku-buku yang membahas mengenai


tauhid, diantaranya :

1. Kamus Munawwir
2. Membumikan al-Qur’an (M.Quraish Shihab)
3. Ilmu Tauhid (Yusran Asmuni)
4. Ensiklopedia Islam
5. Dimensi-Dimensi Pendidikan Islam (A. Fatah Yasin)

E. Metode Penelitian

Adapun analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah


menggunakan analisis metode tafsir tahlili, yaitu metode penafsiran ayat-
ayat al-Qur’an yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan uraian-
uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an dengan
mengikuti tertib susunan/urutan surat-surat dan ayat-ayat al-Qur’an itu
sendiri dengan sedikit banyak melakukan analisis di dalamnya. Menurut
M. Alfatih Suryadilaga metode tafsir tahlili menafsirkan ayat secara runtut
dengan uruatan mushaf, untuk itu ia mengurakan kosakata dan lafaz,
44

menjelaskan arti yang dikehendaki, juga unsur-unsur i’jaz dan balaghah,


serta kandungannya dalam berbagai aspek pengeathuan dan hukum.2
Metode tahlili merupakan metode paling tua, metode ini paling
banyak dipakai para muffasir klasik, namun di masa sekarang pun tafsir
model ini masih dominan. Tafsir tahlili menonjolkan pengertian dan
kandungan lafadz, hubungan ayat dengan ayat, sebab-sebab nuzulnya,
hadist-hadist nabi, aqwal sahabat atau tabi’in, dan pendapat mufassirin
lainnya yang ada kaitannya dengan ayat-ayat yang akan diterangkan
artinya tersebut.
Lebih rinci lagi, Abd al-Hayy al-Farmawy mengatakan bahwa tafsir
tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud menjelaskan kandungan
ayat-ayat al-Qur’an dari seluruh aspeknya. Di dalam tafsirnya, penafsir
mengikuti urutan ayat, membahas mengenai asbabun nuzul dan dalil-dalil
yang berasal dari Rasul, sahabat atau tabi’in yang kadang-kadang
bercampur baur dengan pendapat penafsir sendiri dan diwarnai oleh latar
belakang pendidikannya. 3
Dalam melakukan penafsiran, muffasir memberikan perhatian
sepenuhnya atas semua aspek yang terkandung dalam ayat yang
ditafsirkannya dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap
bagian ayat. Berbagai aspek yang dianggap perlu oleh seorang muffasir
tajzi’iy/yahlily diuraikan, yang tahapan kerjanya yaitu dimulai dari :

1. Bermula dari kosakata yang terdapat pada setiap ayat yang akan
ditafsirkan sebagaimana urutan dalam al-Qur’an , mulai dari surat
al-Fatihah dan surah an-Nass.
2. Menjelaskan makna yang tekandung pada setiap potongan ayat
dengan menggunakan keterangan yang ada pada ayat lain, atau
dengan menggunakan hadist Rasulullah SAW atau dengan

2
M. Alfatih Suryadilaga,dkk, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Teras, 2005), cet-1, h. 42
3
Didin Saefuddin Buchori, Pedoman Memahami Kandungan al-Qur’an , (Bogor : Granada
Sarana Pustaka, 2005) h. 208
45

menggunakan penalaran rasional atau berbagai disiplin ilmu


sebagai sebuah pendekatan.
3. Menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan
hukum mengenai suatu masalah, atau lainnya sesuai dengan
kandungan ayat tersebut.

Ada beberapa macam pendekatan dalam metode tafsir tahlili,


diantaranya adalah tafsir bi al ma’tsur, tafsir bi al-ra’y, tafisr al-sufi, tafsir
al-fiqhi, tafsir al-falasafi, tafisr al- ilmi dan tafsir al- adabi al ijtima’i 4.
Dilihat dari cara penafsirannya, penulis menggunakan pendekatan tafsir bi
al-ra’y yaitu tafsir penafsiran al-Qur’an dengan ijtihad dan penalaran5
dalam mengurai dan menjelaskan makna perkata secara runtut ayat-per
ayat.
Analisis metode tahlili yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi
ini, yang membahas surat al-An’am ayat 74-83 yang berkaitan dengan
tauhid, maka penulis menganlisis penjelasan mengenai pendidikan tauhid
yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut dengan mencari sumber-sumber
yang dapat menjelaskan makna dan penafsiran dari surat al-An’am ayat
74-83.

F. Metode Penulisan

Secara teknis penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku


Pedoman Akademik Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.

4
M. Alfatih Suryadilaga,dkk, loc.cit.
5
Ibid., h 43
BAB IV

TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Sekilas mengenai Surat al-An’am


Surat al-An‟am merupakan “surat ke 6, terdiri dari 165 ayat yang berarti
binatang ternak, surat ini merupakan kelompok surat makiyyah”.1menurut al-
Qurthubi, pendapat “mayoritas ulama mengatakan bahwa surat ini surat
makiyyah, sedangkan ibnu Abbas dan Qatadah berpendapat surat ini
seluruhnya surat makiyyah kecuali dua ayat, yaitu : ayat 91,dan ayat 141”.2
Dalam mustadrak yang dikutip oleh jalaluddin as-Suyuthi dikatakan bahwa
“al hakim menyebutkan hadist yang ia nyatakan shahih ; Abdullah bin
Mas‟ud meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda, “surah al-An‟am
diturunkan dengan diiringi 70.000 malaikat.”3
Dalam surat al-An‟am dapat dijumpai pembahasan yang berkisah seputar
pokok-pokok dakwah Islam seperti permasalahan akidah, dan ketuhanan.
Sebagaimana yang dikatakan M. Ali ash- Shabuny bahwa “surat ini (al-
An‟am) mengandung berbagai masalah besar tentang dasar-dasar akidah,
masalah uluhiyah, risalah, wahyu, kebangkitan dan pembalasan”. 4 Maka tidak
mengherankan jika surat ini diturunkan di mekkah, di tengah orang-orang
musyrik yang masih menyembah berhala dan mengingkari Allah.

B. Tafsir dan Temuan Konsep Pendidikan Tauhid Surat al-


An’am 74-83 per Ayat
1. Ayat 74

      


       

  
    

1
Jalaluddin as-Suyuthi, Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul, diterjemahkan oleh Tim Abdul
Hayyie, Sebab Turunnya ayat al-Qur’an, (Jakarta: Gema Insani 2008), h. 229
2
Al Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta : Pustaka Azzam, 2008), cet-1, h. 908
3
Jalaluddin as-Suyuthi, loc.cit.
4
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Shafwatut Tafasir, diterjemahkan oleh Yasin, Tafsir-Tafsir
Pilihan jilid 2 Al-Maa’idah-Yusuf, (Jakarta : Pustak al-Kautsar, 2011), Cet-1, h.129

46
47

“dan (ingatlah) di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya, Aazar,


"Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan?
Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang
nyata."
Dalam bukunya Tafisr al-Mishbah, Quraish Syihab menjelaskan
bahwa: “kata ab‟ yang dimaksud dalam ayat ini bukanlah ayahnya,
melainkan bisa jadi menunjuk pada pamannya”.5 Sementara itu Allamah
Kamal Faqih mengatakan bahwa “beberapa hadist Islam menyebutkan
bahwa ayah dan leluhur Rasulullah saw. Hingga hadrat Adam as.
seluruhnya adalah penganut ajaran tauhid”.6 Maka kata ab di atas bukan
berarti ayah, “tercatat dalam kitab-kitab sejarah bahwa ayah nabi Ibrahim
bernama Tarukh, bukan Azar”.7
Kemudian Quraish Syihab menyatakan bahwa :
Ia tidak sependapat dengan mereka yang memahami kata Azar sebagai
makian, karena hal ini bertentangan dengan sifat ajaran Islam yang
selalu mengajak berdakwah dengan hikmah dan peringatan yang
menyentuh serta diskusi yang sebaik-baiknya. Bahwa kalimatnya tegas
adalah wajar, dan dibenarkan karna ini adalah masalah akidah, yang
merupakan persoalan prinsip.8
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami kata ab‟ pada ayat ini,
maka Azar bisa berarti ayah, atau paman dari Nabi Ibrahim as.
Apabila kita fahami dengan gamblang ayat di atas, agaknya kita akan
setuju bahwa perkataan nabi Ibrahim kepada pamannya merupakan
perkataan sindiran. Nabi Ibrahim bertanya sembari menyindir pamannya
yang dengan bodohnya menyembah sesuatu yang mustahil dapat
mendatangkan kebaikan, keburukan kepadanya. Penulis mengatakan
mustahil mendatangkan kebaikan dan keburukan karena sejatinya berhala-
berhala yang paman dan kaumnya sembah adalah benda yang mereka buat
sendiri dengan tanganya. Hal ini menandakan bahwa berhala-berhala

5
M. Quraish Syihab, Tafsir al-Mishbah Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur‟an Vol 4, (Jakarta :
Lentera Hati ), cet-1, h. 155 & 157.
6
Allamah Kamal Faqih dan tim ulama, Nur al-Qur’an: An Enlightening Commentary into the
Light of the Holy Qur’an, diterjemahkan oleh Sri Dwi Hastuti dan Rudy Mulyono, Tafsir Nurul
Quran: Sebuha Tafsir Sederhana Menuju Cahaya al-Qur’an jilid 5, (Jakarta : Al-Huda, 2004), cet-
1, h. 208
7
Ibid.
8
M. Quraish Syihab, loc.cit.
48

tersebut lemah, tidak kuasa, dan tidak mampu dibandingkan manusia yang
menciptakannya itu. Lalu bagaimana bisa sesuatu yang lebih lemah, dan
lebih tidak kuasa itu bisa disebut sebagai Tuhan ?. Tuhan semestinya
menciptakan bukan diciptakan. Tuhan semestinya lebih Kuat, lebih Kuasa,
lebih Mampu, lebih Pintar, lebih Besar, dan melebihi segala-galanya dalam
hal apapun dibanding manusia itu sendiri. Maka jelas bahwa paman nabi
Ibrahim beserta kaumnya telah melakukan kesalahan dengan menyembah
berhala yang derajatnya bahkan lebih rendah dari manusia.
Meskipun perkataan tersebut adalah perkataan sindiran, bukan berarti
nabi Ibrahim telah berbuat tidak sopan atau tidak baik kepada orang
tuanya. Namun nabi Ibrahim telah berbuat benar dengan memberitahukan
pamanny bahwa ia telah berjalan di jalan yang salah. Maka menjadi wajar
dan wajib bagi nabi Ibrahim berkata dengan tegas kepada pamannya untuk
meninggalkan jalan tersebut sebagai tanda kasih sayang anak kepada orang
tuanya yang tidak ingin pamannya berjalan di jalan yang salah. Hal ini
sesuai dengan apa yang dikatakan Allamah Kamal Faqih bahwa: “dalam
menghadapi dan berhubungan dengan orang lain, patokannya adalah
kebenaran, bukan usia, pengalaman, maupun banyaknya orang”9.
Hal ini merupakan pesan kepada seluruh ummat manusia bahwa orang
yang melakukan kesalahan haruslah diingatkan, dan dibenarkan, terlebih
dalam masalah akidah. Kewajiban bagi kita untuk berani mengingatkan
orang yang berbuat salah, meskipun orang itu adalah teman, keluarga
bahkan orang tua kita sendiri. Sejatinya, berdakwah haruslah kepada
kerabat-kerabat terdekat terlebih dahulu, maka apabila kita mengabaikan
kesalahan mereka tersebut, menandakan bahwa kita ikut menjerumuskan
mereka ke jalan yang salah.
Temuan Konsep:

9
Allamah Kamal Faqih, loc.cit.
49

Perkataan nabi Ibrahim kepada orang tuanya  

“apakah kamu menjadikan berhala sebagai tuhan-tuhan” menjadikan


berhala sebagai Tuhan adalah perbuatan yang salah (tidak sejalan dengan
tauhid), maka dari itu, nabi Ibrahim mengingatkan pamannya yang telah
berbuat salah yang menganggap berhala sebagai Tuhan. Mengingatkan
orang yang berbuat salah (dalam berkeyakinan) adalah bentuk dari
pendidikan tauhid.

 
Kemudian pada kata   sesungguhnya aku

melihat engkau dan kaummu berada dalam kesesatan yang nyata. Upaya
nabi Ibrahim dalam mengingatkan pamannya tersebut disampaikan dengan
cara teguran, beliau memberi penjelasan bahwa hal yang dilakukan
pamannya beserta kaumnya merupakan kesesatan.

2. Ayat 75

        

  
“dan Demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda
keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi dan (kami
memperlihatkannya) agar Dia Termasuk orang yang yakin”.

Menurut Allamah Kamal “istilah malakut dalam al-Qur‟an merupakan


turunan dari kata mulk dimana terdapat dua kata sandang ditambahkan
sebagai penekanan dan pelebihan”10. Sedang menurut M. Ali ash-Shabuni
“malakuut, malak, wawu, dan ta‟ berfungsi mubalaghah (membesar-

10
Ibid., h.210
50

besarkan) dalam menyifati”11 Maka maksud dari kata malakut pada ayat
ini adalah “pemilik sebenarnya dan absolut dari langit dan bumi”12
Quraish Shihab melanjutkan penjelasannya :
Apa yang disampaikan nabi Ibrahim, dan apa yang terdapat dalam jiwa
dan pikirannya menghasilkan keyakinan yang sedemikian kukuh
merupakan hasil bimbingan Allah yang telah memperlihatkan pada nabi
Ibrahim kepemilikan-Nya di langit dan di bumi. Kepemilikan-Nya yang
amat sempurna dan kukuh tersebut mengarahkan jiwa nabi Ibrahim ke
arah yang mengantar beliau menyadari seluruh wujud bersumber dari
Allah SWT.13
Perkataan nabi Ibrahim kepada pamannya merupakan buah
kepercayaannya kepada Allah yang telah didapatkannya melalui arahan
atau petunjuk Allah kepadanya. Petunjuk tersebut adalah segala wujud
yang ada di langit dan di bumi beserta segala keteraturan dan ketetapan
yang berlaku di dalamnya. Seperti beberapa penciptaan yang dibuat
berpasang-pasangan, pria dan wanita, siang dan malam, terang dan gelap,
panas dan dingin, dan berbagai hal lainnya yang menandakan bahwa
penciptaan yang dicipta oleh Pencipta ini amat rapih, tidak berdiri sendiri,
melengkapi satu dengan yang lainnya, saling berkaitan, dan bekerja sesuai
dengan tugasnya masing-masing.
Lalu kemudian petunjuk-petunjuk tersebut diperlihatkan kepada nabi
Ibrahim agar dia termasuk orang-orang yang yakin. Quraish Shihab
menjelaskan “kalaupun ketika itu beliau telah yakin, maka itu baru sampai
pada tingkat ilmul yaqin, belum ainul yaqin, apalagi haqqul yaqin”.14 Itu
berarti, ketika nabi Ibrahim berkata kepada pamannya ia pun belum
memiliki kepercayaan yang penuh, kemudian Allah membantunya untuk
mengukuhkan kepercayaannya tersebut dengan membuat nabi Ibrahim
melihat kepada penciptaan-Nya yang amat indah dan sempurna. Sehingga
nabi Ibrahim dapat percaya dengan sepenuh hatinya. Sebagaimana yang
dikatakan Quraish Shihab “Allah SWT menjadikan Nabi Ibrahim as.

11
Muhammad Ali Ash-Shabuni, op.cit., h.190
12
Ibid.
13
Quraish Shihab, op.cit., h 158-159
14
Ibid.
51

Masuk dalam kelompok almuqinin, yakni orang-orang yang telah sangat


mantap keyakinannya”.15
Temuan Konsep:

Pada kata  memperlihatkan terdapat metode pendidikan tauhid

yaitu dengan cara diperlihatkan atau ditunjukkan.

Kemudian pada kata  tanda-tanda keagungan

(kami yang terdapat) di langit dan bumi adalah bahan ajar atau objek yang
dijadikan nabi Ibrahim sebagai pelajaran dalam mendidik kaumnya, tanda-
tanda keagungan tersebut yang akan menunjukkan pada kekuasaaan Allah,
sehingga, kepemilikan yang ada di langit dan di bumi ini dapat dijadikan
sebagai salah satu materi pendidikan tauhid.

Dan pada kata   agar Dia Termasuk orang yang yakin

merupakan tujuan dari pendidikan tauhid tersebut. Agar manusia dapat


beriman dan bertaqwa hanya kepada Allah sesuai dengan tujuan
pendidikan tauhid, maka manusia harus percaya dan yakin terlebih dahulu
kepada Allah SWT dengan seyakin-yakinnya kepercayaan, sehingga
manusia dapat dengan sebenar-benarnya beriman dan bertaqwa kepada
Allah SWT.

3. Ayat 76
               

 
  
“ketika malam telah gelap, Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia
berkata: "Inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam Dia
berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam."

15
Ibid., h. 160
52

Menurut al-Wahidi makna janna yang dikutip oleh M. Ali ash-


Shabuni adalah : “malam telah gelap dan malam telah menjadi gelap, dan
dikatakan segala sesuatu dalam bahasa Arab adalah janna dan ajanna dari
janna terdapat lafazh jannah, jin, junun, dan janin, semua lafazh ini
kembali kepada makna aslinya yaitu tertutup”16
Menurut Quraish Shihab “proses bimbingan Allah tersebut bermula
pada malam hari”.17 ketika malam menutupi bumi dan sekitarnya, nabi
Ibrahim melihat ke atas (ke langit) didapatinya satu bintang yang paling
benderang, yaitu bintang kejora. Sebagaimana yang dikatakan Quraish
Shihab “ karena kaumnya (nabi Ibrahim) adalah kaum shabiah, agaknya
beliau saat itu menunjuk ke bintang kejora atau venus yang disembah
kaumnya itu”.18
Namun kemudian bintang itupun tenggelam seiring terbitnya
matahari, yang berarti bintang itu dapat menghilang pada waktunya.
Quraish Shihab melanjutkan penjelasannya “tenggelam dan hilangnya dari
pandangan bintang tersebut lebih menunjukkan kelemahan serta
ketiaadaan kekuasaannya”.19 Menurut Allamah Kamal Faqih “sesuatu
yang timbul dan tenggelam adalah objek yang mengikuti beberapa aturan,
dan posisinya pun tergantung kepada yang mengatur mereka, maka sesuatu
yang bergerak adalah yang bisa dicipta, dan sesuatu yang dapat dicipta itu
pasti bukanah Tuhan”20. Dengan demikian, sangat jelas bahwa bintang
yang mereka sembah bukanlah Tuhan Yang sesungguhnya. Tuhan pastilah
selalu Ada dalam keadaan dan situasi apapun, selalu Hadir dalam setiap
waktu kapanpun itu. Ia akan selalu melihat, mengawasi, dan menjaga
makhluknya siang dan malam, Ia akan Ada bersama makhluk-Nya
kapanpun dan dimanapun makhluk-Nya berada.

16
Muhammad Ali Ash-Shabuni, loc.cit.
17
Quraish Shihab, loc.cit.
18
Ibid., h. 161
19
Ibid.
20
Allamah Kamal Faqih, op.cit., h. 212
53

Quraish Shihab lebih lanjut lagi menjelaskan bahwa “pernyataan nabi


Ibrahim laa uhibbul aafilin mengisyaratkan bahwa sesuatu yang disembah
seharusnya dikagumi dan dicintai, sehingga yang tidak mencintai sesuatu
tidaklah wajar mengabdi kepadanya”.21 Bintang adalah benda yang dapat
tenggelam atau menghilang pada waktu tertentu, jika demikian, maka ia
tidak tetap, tidak stabil, dan sesutu yang tidak stabil maka ia tidak abadi.
Nabi Ibrahim tidak menyukai akan hal itu, seolah-olah ia berkata:
bagaimana mungkin kita tunduk, menyembah, dan mengabdi kepada
sesuatu yang bahkan kita sendiri pun tidak menyukainya, serta tidak
mencintainya. Menurut Allamah Kamal Faqih sesuatu yang dapat dicintai
adalah “ Dia yang tidak tertawan pada tempat, waktu, dan keragaman dan
juga tidak terikat pada kesementaraan, keterbatasan, dan jumlah yang
banyak”22Kata-kata nabi Ibrahim tersebut merupakan penolakan untuk
tidak bersama-sama mengikuti kaumnya yang menyembah bintang.
Temuan Konsep:

Pada kata  Dia melihat sebuah bintang (lalu) Dia

berkata: "Inilah Tuhanku". Hal ini menunjukkan bahwa cara memperoleh


pendidikan tauhid tidak selalu harus disediakan, namun juga dapat dicari
sendiri, dengan cara melihat dan memperhatikan alam semesta. Penisbatan
nabi Ibrahim akan Allah terhadap benda-benda langit merupakan salah
satu metode amtsal.

Pada kata    Saya tidak suka kepada yang tenggelam.

Merupakan pernyataan bahwa kebenaran sejatinya dapat dirasa, ditimbang


dengan hati, akal dan hati dapat membedakan yang benar dan yang salah.

21
Quraish Shihab, op.cit., h.162
22
Allamah Kamal Faqih, op.cit, h. 213
54

4. Ayat 77
              

  


    
“kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: "Inilah
Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata:
"Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku,
pastilah aku Termasuk orang yang sesat."

M. Ali ash-Shabuni mengutip perkataan al-Azhari akan makna


bazighon yang berkata bahwa : “seakan-akan lafazh ini diambil dari ‫البزغ‬
yaitu terbelah, karena bulan dengan sinarnya dapat memecahkan
kegelapan”23. sedangkan makna ‫أفل‬ menurut M. Ali Shabuni adalah
“menghilang”24
Quraish Shihab melanjutkan penjelasannya :
Setelah terbukti bahwa bintang yang cahayanya sangat kecil dalam
mata telanjang manusia di bumi tidak wajar dipertuhan, nabi Ibrahim
as. mengalihkan pandangan kepada yang cahayanya terlihat lebih
terang, maka tatkala dia melihat bulan terbit pada awal terbitnya,
bagaikan sesuatu yang membelah kegelapan malam dia berkata “inilah
dia Tuhanku yang kucari”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, diapun
tidak puas dan menilai bulan tidak wajar dipertuhankan dengan alasan
yang sama.25

Dengan alasan bahwa kaum nabi Ibrahim menyembah sesuatu yang


bercahaya di langit, maka untuk mengingkari kepercayaan mereka tersebut
nabi Ibrahim harus menggunakan perumpamaan yang semisal dengan apa
yang mereka sembah, maka nabi Ibrahim menunjuk bulan, sesuatu yang
lebih besar dan lebih terang dibandingkan bintang. Apabila menurut
mereka tuhan adalah sesuatu yang bercahaya di langit, maka bulan lebih
layak dan lebih tepat disebut sebagai tuhan dibandingkan dengan bintang
yang bentuknya lebih kecil dan cahayanya lebih redup daripada bulan.
Menurut Quraish Shihab :

23
Muhmmad Ali ash-Shabuni, loc.cit.
24
Ibid.
25
Quraish Shihab, op.cit., h 162-163
55

kata hadza pada ayat ini, ayat lalu, dan yang akan datang bukan saja
untuk menunjuk sesuatu tertentu, tetapi juga mengandung makna
bahwa yang ditunjuk itu adalah sesuatu yang sebelumnya telah dicari,
lalu kini telah ditemukan. Ini serupa dengan ucapan seseorang apabila
mencari sesuatu –katakanlah buku tertentu-kemudian menemukannya
maka ketika itu dia akan berkata „ini dia buku saya” yakni yang saya
cari.26

Namun ternyata, bulan yang lebih besar dan lebih terang itupun sama
saja seperti bintang, ia menghilang ketika waktunya telah habis. Nabi
Ibrahim kembali tidak puas karena tidak kunjung menemukan jawabannya
akan Tuhan.
Akhirnya nabi Ibrahim pun berkata “sesungguhnya jika Tuhanku tidak
memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang
sesat”. Maksud dari perkataannya ini adalah “isyarat penolakan
penyembahan bintang-bintang yang lebih dari ucapan yang lalu. Kalau
dalam ayat yang lalu beliau hanya menyatakan ketidaksukaan, disini beliau
telah menetapkan kesesatan bagi yang menyembah bulan apalagi bintang-
bintang.27
Temuan konsep :

Pada kata      dia melihat bulan terbt dia

berkata: "Inilah Tuhanku". Sama seperti ayat sebelumnya, kalimat ini


merupakan cara nabi Ibrahim dalam memperoleh jawaban akan hakikat
Allah dengan terus mencari jawaban yang benar. Pada tingkat ini nabi
Ibrahim bukan hanya saja memperhatikan namun juga mengoreksi dan
mengevaluasi pencariannya tersebut.

Pada kata  memberi petunjuk kepada, merupakan kata kerja yang

berarti mendapat hidayah (melalui akal) yang berarti pendidikan tauhid

26
Ibid., h 163
27
Ibid.
56

juga bisa berasaskan pada akal. Dengan kata lain akal merupakan asas
dalam pendidikan tauhid.

 
Kemudian pada kata       adalah letak

pentingnya pendidikan tauhid, yaitu agar tidak “Termasuk orang yang


sesat”.

5. Ayat 78
         
   

     


  
“kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, Dia berkata: "Inilah
Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam,
Dia berkata: "Hai kaumku, Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa
yang kamu persekutukan”.

Para ulama berbeda pendapat mengapa nabi Ibrahim menggunakan


kata hadza untuk menunjuk matahari. Sebagaimana yang kita ketahui
bahwa matahari (syams) adalah kelompok kata muannats. Maka kata yang
tepat untuk menyebut “ini” pada ayat di atas adalah dengan menggunakan
kata hadzihi. Menurut Quraish Shihab ada yang berpendapat bahwa ini
disebabkan oleh “bahasa masyarakat nabi Ibrahim as. Yang tidak
mengenal bentuk mudzakar atau maskulin dan muannats atau feminin”.28
Setelah bintang dan bulan kini nabi Ibrahim beralih kepada matahari
yang bentuknya jauh lebih besar dan cahayanya jauh lebih terang dari
keduanya. Ia menunjuknya sambil berkata seolah-olah jawabannya kali ini
adalah jawaban yang paling benar. Namun ternyata jawaban yang
ketiganya ini pun masih salah, faktanya matahari yang paling besar pun
sama seperti bintang dan bulan, ia hanya terbit di pagi hari dan tenggelam
di sore hari.

28
Ibid., h. 165
57

Maka nabi Ibrahim menutup kesimpulannya dengan berkata: “hai


kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari penyembahan bintang,
bulan, matahari, dan apa saja yang kamu persekutukan dengan Tuhan
Yang Maha Esa, Tuhan Yang sesungguhnya”.29
Inilah akhir kesimpulan nabi Ibrahim terhadap pencariannya akan
Tuhan Yang sesungguhnya. Bahwa ia tidak sepakat dengan kaumnya
yang menyatakan bahwa Tuhan adalah benda bercahaya di langit. Karena
benda-benda tersebut hanya mumkinul wujud. Hal ini bertolak belakang
dengan sifat ketuhanan yang sifatnya wajibul wujud. Maka kesimpulan
nabi Ibrahim adalah Tuhan bukanlah sesuatu yang ada di langit dan
bercahaya.
Temuan konsep :

Pada kata      dia melihat maathari teribt dia

berkata: "Inilah Tuhanku". Setelah nabi Ibrahim terus mencari dengan


cara mengamati dan memperhatikan, kemudian beliau merenungkan
hingga akhirnya ia menyimpulkan bahwa Tuhan bukanlah sesuatu yang
ada di langit.

Pada kata 


  
  Sesungguhnya aku berlepas diri dari

apa yang kamu persekutukan. Perkataan nabi Ibrahim kepada kaumnya


tersebut merupakan pernyataan bahwa ia menolak ikut serta dengan
kaumnya untuk berbuat syirik. Penolakan nabi Ibrahim untuk
menyekutukan Allah adalah metode dalam menyampaikan pendidikan
tauhid, yaitu dengan cara memberikan contoh yang baik (suri tauladan)
bagi kaumnya.
Ayat 79

29
Ibid., h. 164
58

         


  

 
  
 
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang
menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang
benar, dan aku bukanlah Termasuk orang-orang yang
mempersekutukan tuhan”.

Menurut Quraish Shihab kata ‫ حنيف‬biasa diartikan dengan “lurus” atau


cenderung kepada sesuatu”30 sedang menurut al-Biqa‟i kata hanif berarti
“kecenderungan kepada fitrah atas dasar dalil dan dengan mudah lagi
lemah lembut, bukan atas dasar taqlid”31. Dan menurut Allamah Kamal
Faqih: “hanif, lurus atau teguh, berasal dari kata hanafa yang artinya
sungguh-sungguh dan tanpa sedikitpun menyimpang”32
Sedangkan istilah fathara menurut Allamah adalah :
Mencipta, bermakna awal membebaskan. Arti ini juga merujuk pada
beberapa makna yang ditemukan di dalam ilmu pengetahuan modern.
Sebagaimana pandangan yang sering dikutip, pada awalnya alam
semesta berbentuk satu massa (single mass). Setelah itu, massa tersebut
terpencar menjadi beberapa bagian dan muncullah bintang-bintang dan
planet-planet satu persatu33

Secara singkat Quraish Shihab menjelaskan ayat ini :


Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku yakni seluruh jiwa, raga
dan totalitasku kepada yang menciptakan langit dan bumi dengan
isinya, termasuk semua benda-benda angkasa seperti matahari, bintang,
dan bulan. Aku menghadapkan wajahku cenderung kepada agama yang
benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Tuhan, yakni bukan menganut apa yang dianut oleh kaumnya bahkan
oleh siapapun yang mengakui dalam hati, atau ucapan atau
perbuatannya bahwa ada penguasa atau pemberi pengaruh terhadap
sesuatu selain Allah SWT..34

Kemudian nabi Ibrahim berkata bahwasannya ia telah haqqul yaqin


(menetapkan kepercayaannya), akan meninggalkan apa yang menjadi
30
Ibid.
31
Ibid., h. 165
32
Allamah Kamal Faqih, op.cit., h. 216
33
Ibid.
34
Quraish Shihab., op.cit., h. 164
59

kepercayaan kaumnya dalam penyembahan kepada sesuatu yang bukan


semestinya dari berhala dan seluruh benda-benda di langit. Ia amat yakin
bahwa Tuhan Yang sesungguhnya bukanlah seperti apa yang kaumnya
sembah. Quraish Shihab menambahkan bahwa pada saat itulah nabi
Ibrahim menemukan Allah SWT”35 Maksudnya yaitu, akhirnya ia
menemukan jawaban yang benar mengenai Tuhan Yang sesungguhnya.
Kepercayaan yang kuat inilah yang akhirnya nabi Ibrahim dapatkan
setelah bimbingan dari Allah SWT. Pada akhirnya, nabi Ibrahim berada
pada jalannya yang benar. Yaitu jalan untuk bertauhid, jalan yang diridhoi
Allah, jalan yang selama ini ia cari, jalan yang akan menuntunnya kepada
keselamatan dunia dan akhirat.
Maka nabi Ibrahim menyatakan dirinya bukanlah lagi bagian dari
mereka yang telah menyekutukan Allah Sang Maha Pencipta. Ia telah
menemukan jalan yang benar, maka sekarang ia akan berjalan di jalan
yang benar itu, dan meninggalkan jalan salah yang selama ini ia ketahui.
Temuan Konsep :
Pernyataan nabi Ibrahim Sesungguhnya aku menghadapkan diriku
kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung
kepada agama yang benar juga merupakan bentuk dalam mengamalkan
ajaran tauhid, yaitu berserah diri hanya kepada Allah SWT.
Selain itu, dalam pernyataannya tersebut terkandung metode dalam
proses pendidikan tauhid, yaitu dengan memberi contoh/ arahan kepada
jalan yang lurus, yaitu berserah diri sepenuhnya kepada Allah SWT.
Setelah nabi Ibrahim menolak ajakan perbuatan syirik, kemudian beliau
memberikan arahan pada kaumnya untuk berjalan pada jalan yang benar
yaitu dengan berserah diri dan beribadah kepada Allah SWT.
6. Ayat 80

35
M. Quraish Shihab, Al-Lubab makna, tujuan, dan pelajaran dari surah-surah al-Qur’an,
(Tangerang: Lentera Hati, 2012), cet-1, h. 350
60

 
              
 

          


  

    


 
“dan Dia dibantah oleh kaumnya. Dia berkata: "Apakah kamu hendak
membantah tentang Allah, Padahal Sesungguhnya Allah telah memberi
petunjuk kepadaku". dan aku tidak takut kepada (malapetaka dari)
sembahan-sembahan yang kamu persekutukan dengan Allah, kecuali di
kala Tuhanku menghendaki sesuatu (dari malapetaka) itu. pengetahuan
Tuhanku meliputi segala sesuatu. Maka Apakah kamu tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) ?"

Dengan pertanyaan nabi Ibrahim yang tegas tersebut tentunya telah


menyinggung perasaan kaumnya. Mereka merasa bahwa merekalah yang
benar akan penyembahan kepada tuhan mereka. Mereka merasa Nabi
Ibrahim lah yang telah melenceng dari jalan yang lurus, maka mereka pun
tidak tinggal diam, mereka membantah nabi Ibrahim serta mengancamnya
akan malapetaka yang akan menimpanya apabila ia bersikeras dengan
pendapatnya tersebut.
Quraish Shihab berpendapat bahwa kata “wahajahu qaumuhu
menunjukkan adanya dua pihak yang saling berargumentasi untuk
menguatkan pandangannya dan mematahkan pandangan lawannya”.36
Disinilah tejadi perdebatan pandangan antara nabi Ibrahim dan kaumnya.
Setelah kaumnya mengancam nabi Ibrahim akan perkataannya itu,
nabi Ibrahim kembali melanjutkan bantahannya dengan berkata “apakah
kamu membantahku tentang Allah, padalah sesungguhnya Ia telah
memberi petunjuk kepadaku” menurut Quraish Shihab “kata wa qod
hadaani merupakan argumentasi tersendiri ; seakan-akan Nabi Ibrahim as.
berkata : “Allah telah menganugerahkan aneka petunjuk kepadaku berupa
bukti-bukti bahwa Dia Maha Esa”.37

36
Quraish Shihab, op.cit., h. 167
37
Ibid., h.168
61

Penulis mengartikan penjelasan Quraish Shihab tersebut seolah-oleh


nabi Ibrahim berkata : apakah kalian akan tetap mengelak dari kebenaran
yang telah aku sampaikan, kebenaran yang datang melalui cahaya logika
serta bukti-bukti yang amat jelas, bukti yang aku dapatkan melalui
berbagai macam petunjuk yang telah diberikan Allah kepadaku ? Allah
Tuhanku, Tuhan kita semua ? petunjuk ini pastinya datang dari-Nya
karena hanya Dia yang Kuasa untuk memberiku petunjuk itu. Dialah Allah
Tuhan Yang Maha Esa. Inilah kebenaran yang kita cari-cari itu. Maka aku
tidak akan takut dengan apa yang kalian sembah, apa yang kalian
persekutukan dengan Allah, kecuali jika Tuhanku menghendaki.
Pada kata illa yang terdapat pada ayat di atas menurut Quraish Shihab:
“merupakan salah satu unsur penting dalam keberagamaan, yakni bahwa
seorang beragama tidak boleh menetapkan sesuatu yang berkaitan dengan
masa depan kecuali dengan mengaitkannya kepada Allah SWT”.38 Orang
mukmin yang sesungguhnya tidak akan berkata mengenai sesuatu di masa
depan yang tidak ia ketahui. Cukuplah pengetahuan itu hanya Allah Yang
Tahu. Karena hanya Ia-lah yang Maha Mengetahui dan Maha
Berkehendak. Dia dapat menghendaki sesuatu yang tidak dapat
dikehendaki oleh makhluknya.
Dengan demikian, nabi ibrahim telah menyatakan bahwa ia tidak takut
akan suatu hal apapun itu, kecuali kehendak Tuhannya. Bahwa bisa saja di
kemudian hari ada malapetaka yang mengenainya akibat dari perbuatannya
tersebut, namun perkara itu bukan datang dari tuhan yang kaumnya
sembah, melainkan datang atas kehendak Allah SWT Yang Maha
Berkehendak.
Kemudian nabi Ibrahim berkata “afala tatadzakkaruun? Apakah kamu
tidak mengingatnya ? maksud dari mengingat disini adalah mengingat
fitrah manusia untuk beragama atau berkepercayaan. Seolah-olah nabi
Ibrahim berkata: Kalian telah memilikinya di dalam diri kalian, maka
mengapa kalian tidak mengingatnya?. Sebagaimana Quraish Shihab

38
Ibid.
62

katakan bahwa “persoalan-persoalan aqidah bersumber dari fitrah manusia,


keterlibatan nafsu dan aneka syahwat itulah yang mengaburkan fungsi
fitrah itu sehingga membelokkan mereka dari aqidah murni dan
melupakannya”39.
Temuan Konsep :

Pada kata  yang bermakna apakah kamu mendebatku ?. Debat

merupakan metode dalam pelaksanaan pendidikan tauhid dengan cara


berargumentasi.

  yang bermakna memberikan hidayah kepadaku.


Pada kata 

hidayah yang diberikan Allah kepada nabi Ibrahim datangnya melalui akal
sehingga nabi Ibrahim dapat menyimpulkan pencariannya akan Tuhan.

kemudian pada kata    yang bermakna dan aku

tidak takut terhadap apa yang kamu persekutukan merupakan materi dari
pendidikan tauhid, materi tersebut tergambarkan pada isi pesan nabi
Ibrahim yang tersirat dalam ayat ini, yaitu bahwa yang berhak dan layak
ditakuti itu hanya Allah SWT. kecuali di kala Tuhanku menghendaki
sesuatu (dari malapetaka) itu. Setelah takut, hamba-Nya senantiasa
berserah diri atas segala keputusan apapun yang Allah kehendahi
untuknya.

 
Dan pada    yang bermakna apakah kamu tidak

mengingatnya ? mengingat adalah kata kerja yang juga menggunakan akal


dalam prosesnya. kata tanya atau pertanyaan yang terdapat dalam kalimat
diatas dapat dijadikan metode dalam pendidikan tauhid itu sendiri. Maka

39
Ibid., h. 169
63

dapat disimpulkan bahwa akal dapat dijadikan metode dan juga asas dalam
merujuk pada konsep pendidikan tauhid.

7. Ayat 81
     
   
  

   
       
   

 
   
“bagaimana aku takut kepada sembahan-sembahan yang kamu
persekutukan (dengan Allah), Padahal kamu tidak takut
mempersekutukan Allah dengan sembahan-sembahan yang Allah
sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk
mempersekutukanNya. Maka manakah di antara dua golongan itu yang
lebih berhak memperoleh keamanan (dari malapetaka), jika kamu
mengetahui?

Bagaimana mungkin aku takut kepada berhala yang kalian sembah itu
? ia bukanlah Tuhan yang akan mendatangkan keburukan kepadaku. Maka
untuk apa aku takut kepadanya ? justru kalian lah yang harus merasa takut,
karena sesungguhnya kalian yang telah menyekutukan Allah. Hanya Allah
yang dapat mendatangkan kebaikan dan keburukan, tetapi kalian malah
melakukan hal yang bahkan Allah pun tidak memerintahkannya. Kalian
lah yang terancam akan siksa-Nya. Dan jika seperti ini, beritahu kepadaku
siapa di antara kita yang lebih berhak mendapatkan perlindungan dari
Allah ? manakah di antara kita yang lebih berhak atas keamanan dan
ketenangan ?.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa “sikap dan perbuatan mereka
menunjukkan bahwa mereka pada hakikatnya tidak mengetahui, maka
langsung saja nabi Ibrahim melanjutkan dengan menjawab pertanyaannya
itu pada ayat selanjutnya”40
Temuan Konsep :

40
Ibid., h. 171
64

Pada kata 
     bagaimana aku takut kepada

sembahan-sembahan yang kamu persekutukan (dengan Allah. Adalah


bentuk keberanian nabi Ibrahim menyangkal dan melawan ancaman
kaumnya. Sehingga nabi Ibrahim mengancam balik pada kaumnya
(menakuti) dengan mengatakan bahawa yang akan mendapatkan
malapetaka adalah mereka sendiri. Keberanian nabi Ibrahim tersebut
dapat dijadikan contoh dalam menyampaikan ajaran tauhid, yaitu dengan
tegas, dan berani.

Pada kata 
   yang bermakna padahal kamu tidak takut,

merupakan bagian dari cara nabi Ibrahim dalam mendidik kaumnya


dengan cara menakuti mereka akan malapetaka yang akan menimpanya
akibat kesyrikan yang mereka perbuat.

Pada kata  


     
  tidak menurunkan hujjah

kepadamu untuk mempersekutukanNya. Keberanian nabi Ibrahim untuk


melawan kesyirikan dan kebathilan didasari dengan imannya yang kuat
kepada Allah. Kalimat diatas merupakan sifat yang iimani atau diyakini
oleh nabi Ibrahim, yaitu hanya meyakini dan menjalankan apa yang
diperintahkan Allah. Sifat yang diimani nabi Ibrahim merupakan materi
dari pendidikan tauhid.

Pada kata   yang bermakna lebih berhak atas perasaaan

aman menunjukkan tujuan pendidikan tauhid bagi kaum nabi Ibrahim saat
itu, tujuan pendidikan tersebut disampaikan dengan “metode bertanya”
langsung kepada kaumnya agar mereka berfikir sendiri sehingga mereka
mendapat jawaban dengan sendirinya pula.
65

Kemudian pada kata  adalah kata kerja yang juga

menggunakan akal dalam prosesnya, setelah nabi Ibrahim menyebutkan


kesalahan kaumnya kemudian menunjukkan jalan yang benar, beliau
memerintahkan kaumnya untuk berfikir matang-matang, mencermati,
siapa sebenarnya di antara nabi Ibrahim dan kaumnya yang telah
menyimpang dari jalan yang lurus. Maka penulis menyimpulkan akal
memang dapat dijadikan asas bagi pendidikan tauhid.

8. Ayat 82

  
             

 
“orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk”.

Menurut pendapat beberapa ahli tafsir dan juga beberapa hadist dan
riwayat yang dikutip oleh Allamah Kamal Faqih menyebutkan bahwa
“makna zulmun pada ayat ini berarti kezaliman. Buktinya terdapat pada
surat luqman:31, …sesungguhnya kemusyrikan adalah kezaliman yang
sangat besar”41
Menurut Quraish Shihab kata lam yalbasu pada ayat di atas
mengandung makna “melakukan dua hal yang serupa tetapi tidak sama
dalam satu waktu. Yang pertama mengakui ketuhanan Allah SWT, serta
kewajarannya untuk disembah, dan kedua mengakui kewajaran selain-Nya
untuk disembah”.42Artinya ialah, mengakui adanya Allah dan meyakini
bahwa Ia-lah yang patut untuk disembah namun disisi yang lain juga
mempercayai ada hal lain yang dapat dipintai pertolongannya, atau

41
Allamah Kamal Faqih, op.cit., h. 222
42
Quraish Shihab, op.cit., h. 172
66

meyakini akan sesuatu yang dapat membawa malapetaka darinya maka


sama saja demikian itu telah mencampur adukan iman. Sebagaimana pada
kasus kaum nabi Ibrahim ini menurut Sulaiman at-Tharawana
menyebutkan “pengulangan kisah kaum nabi Ibrahim yang kita jumpai di
al-Qur‟an selalu menyebutkan bahwa kaum nabi Ibrahim sebenarnya
tidak mengingkari Allah. Tapi mereka menyekutukan Allah dengan
„tuhan-tuhan‟ mereka yang terdiri dari patung, bintang dan setan”.43
Sebagai contoh fenomena yang ada pada hari belakangan ini, seorang
yang mengaku muslim namun melakukan ziarah kubur pada makam orang
besar dengan tujuan untuk mendapatkan keberkahan. Bukankah itu sama
saja dengan mencampur adukan iman dengan syirik seperti yang
disebutkan pada ayat ini ?. Sejatinya hanya Allah satu-satu Nya yang dapat
memberikan segala sesuatu dan mendatangkan segala sesuatu, jika
manusia menginginkan sesuatu, maka yang perlu ia lakukan adalah
meminta kepada Allah, karena Dia Maha Mendengar lagi Maha Memberi.
Lebih lanjut lagi Quraish Shihab menjelaskan makna ulaika lahumul
amnu:
Mengandung makna bahwa mereka sangat wajar mendapat rasa aman
yang sifatnya istimewa hanya khusus bagi mereka. Seakan-akan segala
keamanan dalam segala aspeknya akan mereka peroleh. Karena itu
pakar bahasa menyatakan bahwa redaksi semacam ini juah lebih dalam
dan mantap maknanya dari pada seandainya ayat ini menyatakan
ulaikal lahumul aaminun mereka itulah orang-orang yang aman.44

Hanya bagi orang-orang yang percaya kepada Allah saja lah yang
akan mendapatkan kemanan serta hidayat “(petunjuk jalan menuju arah
yang benar dan baik)”45 Yaitu orang-orang beriman yang meminta segala
sesuatunya hanya kepada Allah, dan ia pun hanya takut kepada Allah.
Tidak ada di dunia ini yang layak ditakuti dan layak dimintai pertolongan
kecuali Allah SWT.

43
Sulaiman ath-Tharawana, Dirosah Adabiyah fil Qishshah al-Qur’aniyah, diterjemahkan oleh
Agus Faishal Kariem & Anis Maftukhin dalam Rahasia Pilihan Kata dalam al-Qur’an, (Jakarta:
Qisthi Press, 2004), Cet ke-1, h. 100
44
Quraish Shihab, loc.cit.
45
Ibid., h. 173
67

Temuan Konsep :

Pada kata      yang bermakna tidak

mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik),


mengisyaratkan bahwa orang beriman pun bisa saja melakukan kesyirikan,
maka pendidikan tauhid juga diperuntukan bagi orang-orang yang beriman
namun mereka telah menyimpang dengan mencampuradukkan iman
mereka dengan kesyirikan.

Pada kata 


     yang bermakna bagi

merekalah keselamatan dan mereka itulah yang mendapat petunjuk .juga


merupakan penegasan bahwa tujuan pendidikan tauhid adalah untuk
memperoleh perasaan aman dan petunjuk dari Yang Maha Kuasa. Yaitu
Allah SWT.

9. Ayat 83
 
     
      

  
      
“dan Itulah hujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim untuk
menghadapi kaumnya. Kami tinggikan siapa yang Kami kehendaki
beberapa derajat. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha
mengetahui”.

Pada akhir ayat ini Quraish Shihab menjelaskan :


Pertama : tilka yakni itu ucapan dan penjelasan yang dikemukakan nabi
Ibrahim dalam rangkaian ayat ini dan selainnya adalah hujjah dalil dan
penjelasan yang amat kokoh lagi sangat tinggi kedudunkannya. Kedua :
Hujjah yakni bukti yang sangat jelas yang dianugerahkan Allah SWT
kepada nabi Ibrahim as. menjadikan beliau mampu membungkam
lawan-lawan beliau dengan argumentasi yang jelas.

Seluruh bukti-bukti yang dikemukakan nabi Ibrahim itulah yang


menjadi alasan bagi nabi Ibrahim untuk tidak lagi mengikuti kaumnya
68

dalam menyekutukan Allah. Bukti-bukti tersebut datang dari Yang Maha


Kuasa. Allah lah Yang telah mengarahkan nabi Ibrahim dalam berfikir
sehingga ia dapat berdebat dengan tegas, lugas, dan tanpa keraguan ketika
melawan dan mengalahkan kaumnya. Karena bukti-bukti tersebut datang
dari Yang Maha Benar. Tidak akan ada seorang pun yang dapat melawan
dan menandingi kebenaran Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
Maka dengan ini, atas kebijakan dan kekuasan Allah, Ia telah
meninggingakan derajat nabi Ibrahim, Allah meninggikan kemuliaannya
karena Ia menghendakinya. Ia akan menghendaki bagi siapa saja yang Ia
inginkan. Dan nabi Ibrahim lah orang yang terpilih itu. Tuhanmu (Tuhan
kita semua) itu adalah Tuhan yang Maha Bijkasana lagi Maha Mengetahui
Menurut Qurish Shihab penggunaan kata Rabb dalam kata Rabbaka
“biasanya dapat menyentuh yang taat dan yang durhaka, yang mukmin dan
yang kafir”.46
Dengan ini Allamah Kamal Faqih menyimpulkan bahwa : “orang -
orang beriman yang zalim tidak akan diberi petunjuk. Demikian pula
orang-orang yang adil yang tidak beriman”47 Maka orang mukmin tidaklah
cukup hidup dengan imannya saja, namun ia juga harus berbuat adil dan
tidak berbuat zalim karena iman tanpa adil adalah kosong, dan adil tanpa
beriman adalah bohong.
Temuan Konsep :

Pada kata 


 yang bermakna hujjah kami merupakan argumen

yang kuat yang datangnya dari Allah. Seluruh rangkaian argumen yang
dibawakan oleh nabi Ibrahim tersebut besertakan dengan metode, materi,
dan tujuan yang terkandung di dalamnya adalah konsep pendidikan tauhid
yang terkandung dalam ayat-ayat ini.

46
Ibid., 174
47
Allamah Kamal Faqih, op.cit., h. 224
69

Pada kata      yang berarti Kami berikan kepada

Ibrahim untuk menghadapi kaumnya. Merupakan penegasan bahwa semua


apa yang telah disampaikan nabi Ibrahim kepada kaumnya mengenai Allah
yaitu „hujjah‟ atau kekuatan argumen yang terdapat pada ayat-ayat
sebelumnya , adalah proses pendidikan tauhid nabi Ibrahim yang
diperuntukkan bagi paman, dan kaumnya yang datangnya dari Allah SWT.

Pada kata      yang bermakna Kami tinggikan siapa

yang Kami kehendaki beberapa derajat. Adalah tujuan dari pendidikan


tauhid. Karena nabi Ibrahim telah mengamalkan ajaran tauhid, maka Allah
tinggikan derajat baginya. Allah akan meninggikan derajat siapa saja yang
Ia kehendaki selama ia mengamalkan ajaran tauhid.

C. Tabel Temuan Konsep Pendidikan Tauhid Q.S. al-An’am 74-


83

Ayat Pengertian Urgensi Materi Asas Tujuan Metode


74     
Menegur
Sesembahan
  (yang
disembah)
Mengingatkan
orang yang berbuat
salah (dalam
berkeyakinan)
75  

Memperlihatkan / Menunjukkan

membimbing 

Menjadi
Tanda-tanda orang
keagungan yang
Allah di sapenuh
70

langit dan di nya


bumi percaya
76 Mencari

  sendiri,
Mencari kebenaran melihat,
Perasaan (amtsal)
memperhatikan
dan merasakan
77 Agar tidak Terus mencari,

menjadi merenungkan,
orang yang (eksplorasi dan
sesat Hidayah evaluasi)
78 memberi
 contoh untuk
tidak berbuat
 syirik.
Menolak perbuatan menjadikan
syirik diri sebagai
(suri tauladan)
79 Memberikan
 arahan/
petunjuk pada
Menemukan jalan yang
sendiri kebenaran benar.
setelah pengalaman
yang salah
80  , 

Mempertahankan Beragumentasi,
pendapat,    dan bertanya
menunjukkan 
kebenaran dengan
melawan dan   
Hidayah,
menafikkan dan
kesyrikkan Takut hanya menging
kepada at
Allah,
kemudian
berserah
diri kepada-
Nya
81 Menjalanka Menakuti
n perintah Mengeta musyrikin akan
Allah hui siksa Allah.
(ancaman)
82 Mendap
71

at rasa
aman &
petunjuk
dari
Allah
83 Datangnya dari

Allah


Ditinggi
kan
derajatn
ya oleh
Allah

D. Analisis Konsep Pendidikan Tauhid dalam Surat al-An’am 74-


83
Sebagaimana yang telah penulis temukan pada tiap-tiap ayat di atas, yaitu
kata-kata yang mencerminkan konsep pendidikan yang terdiri dari definisi
pendidikan tauhid, pentingnya pendidikan tauhid, materi pendidikan tauhid,
asas pendidikan tauhid, tujuan pendidikan tauhid, dan metode pendidikan
tauhid, maka pada bab ini penulis akan mengulas satu-persatu temuan konsep
tersebut secara mendalam.

1. Definisi Pendidikan Tauhid

Menurut al-Ghazali empat rukun yang mendasari pembinaan iman


yaitu “ makrifat kepada Dzat-Nya, Sifat-Sifat-Nya, af‟al-Nya, dan
mengenai Syariat”48 dari keseluruhan makna yang terkandung dalam kisah
nabi ibrahim ini adalah proses mengenali dan mengetahui akan Dzat Allah,
Sifat-Sifat-Nya begitu juga dengan af‟al-Nya. 3 hal diantaranya, penulis
temukan pada beberapa ayat yang penulis rangkum di bawah ini.
Apabila kita merujuk pada surat al-An‟am pada ayat 74, ketika nabi
Ibrahim berusaha meluruskan sudut pandang pamannya dengan menegur,

48
Hamdani Ihsan & A. Fuad Hasan, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : CV Pustaka Setia,
1998), h. 237
72

bahwa ia melihat pamannya telah salah dalam mengenal Tuhan, teguran


nabi Ibrahim dalam memperingatkan pamannya yang berbuat salah
tersebut merupakan aktualisasi dari definisi pendidikan tauhid. Usaha nabi
Ibrahim dalam membimbing dan mengajak pamannya untuk meninggalkan
berhala dan menyembah kepada Allah adalah hal yang telah dilakukannya
untuk kesekian kalinya. Hal ini dapat dilihat pada Surat Maryam ayat 42-
45, ketika nabi Ibrahim dengan lembutnya berkata pada pamannya untuk
meninggalkan berhala. Maka perkataan nabi Ibrahim yang kesekian
kalinya itu adalah wujud dari usahanya untuk merubah tingkah laku
pamannya yang berbuat syirik, dan usahanya tersebut merupakan maksud
dari pendidikan tauhid.
Jika Allah tidak menunjukkan kepada nabi Ibrahim arahan atau
bimbingan-Nya agar ia mendekati kebenaran, pastinya nabi Ibrahim
bersama-sama paman dan kaumnya terus melakukan kesyirikan
(kesalahan). Oleh karena itu Allah membimbing nabi Ibrahim agar ia
mencari kebenaran tersebut dengan melihat kekuasaan Allah di langit dan
di bumi. Sama seperti layaknya pendidikan, pendidikan haruslah
dimunculkan, ditunjukkan dan disebarkan, sehingga manusia dapat
mengetahui yang benar dan yang salah, dari pendidikan mereka dapat
menentukkan jalan benar mana yang akan mereka pilih untuk ditempuh
agar mereka sampai pada kehidupan yang layak di dunia dan di akhirat.
Pada ayat selanjutnya, nabi Ibrahim berkata kepada kaumnya
mengenai keraguannya pada benda-benda yang dianggap oleh kaumnya
sebagai tuhan. keraguannya tersebut dijelaskannya dengan menyertakan
argumen kuat di dalamnya. Keraguan nabi Ibrahim di mulai dengan
pencariannya akan konsep Tuhan pada benda –benda langit, yaitu pertama
pada bintang yang tergambar pada ayat 76 “dia melihat pada bintang”.
Pencariannya akan Tuhan adalah bentuk proses pencarian kebenaran yang
sekaligus merupakan pendidikan bagi dirinya sendiri dan juga bagi
kaumnya.
73

Kemudian pada ayat-78 ketika nabi Ibrahim berkata pada kaumnya


“sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan” juga
merupakan bentuk dari definisi pendidikan tauhid, yaitu dengan cara
penolakan (dalam berbuat syirik) setelah ia terus mencari, memperhatikan
dan merenungkan, mengevaluasi kesalahan, sampailah ia pada jawaban
yang benar, pengalamnnya yang salah menghantarkannya pada jawaban
yang selama ini dicarinya. Kesimpulan nabi Ibrahim akan konsep Tuhan
yang disampaikan pada kaumnya adalah bentuk dari pendidikan tauhid.
Selanjutnya pada ayat-79 ketika nabi Ibrahim berkata Sesungguhnya
aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan
bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar adalah bentuk dari
pembenaran , setelah nabi Ibrahim menolak perbuatan syirik, maka nabi
Ibrahim menunjukkan jalan yang benar. Kedua hal tersebut merupakan
„hujjah‟ (Argumen kuat) yang dimaksudkan pada ayat-83. Argumen
tersebut disampaikan kepada kaumnya dalam rangka menyeru yang bathil
kepada yang haqq, maka seruan tersebut adalah bagian dari pendidikan
tauhid.
Dan terakhir pada ayat 80 ketika nabi Ibrahim mendebat kaumnya
dengan tegas dan berani menunjukkan perlawanannya yang sunguh-
sungguh kepada kaumnya atas perbuatan syirik. seluruh apa yang
disampaikan nabi Ibrahim kepada kaumnya, sebenarnya dimaksudkan agar
mereka sadar atas kesalahan mereka. Maka perlawanan dan penafikkan
nabi Ibrahim pada kesyrikkan juga merupakan bagian dari pendidikan
tauhid. Keberanian nabi Ibrahim tersebut dapat dijadikan contoh bagi
orang tua dan guru-guru dalam proses pendidikan tauhid sekarang ini.
Bila kita bandingkan definisi pendidikan tauhid pada zaman dahulu
dan zaman sekarang ini, maka kita akan mendapatkan perbedaan dalam
objek pelaksanaan pendidikan tauhid. Pendidikan tauhid nabi ibrahim
diperuntukkan bagi kaumnya yang sejak awal telah turun menurun
menyembah berhala. Hal ini menunjukkan bahwa orang yang ia didik
adalah orang yang awam akan tauhid sejak awalnya. Sedangkan
74

pendidikan tauhid di zaman ini condong diperuntukkan bagi kaum


muslimin yang sedari kecil telah meraba dan mengeyam pendidikan tauhid
di lingkungan sekitarnya, namun dikarenakan kurangnya pemahaman
mereka akan definisi “tauhid”, kaum muslimin pun melakukan
penyimpangan dari tauhid. Sejatinya pendidikan tauhid diperuntukkan bagi
siapa saja ummat manusia di muka bumi ini yang telah menyimpang dari
fitrahnya untuk bertauhid, dan juga bagi yang telah bertauhid agar
tauhidnya semakin sempurna.
Disamping terdapat perbedaan dalam objek, terdapat pula perbedaan
dalam subjek. Pada umumnya pendidikan disampaikan oleh orang yang
lebih tua secara umur, atau lebih matang secara pengalaman dan lebih
banyak pengetahuannya dibandingkan dengan orang yang dididiknya
(objek). Pada kisah ini justru nabi Ibrahim lah yang telah menyampaikan
pendidikan tauhid kepada ayahnya. Maka jelas bahwa nabi Ibrahim tidak
mungkin lebih tua dan lebih banyak pengalamannya dibandingkan
ayahnya. Meskipun demikian nabi Ibrahim lebih banyak pengetahuannya
karena ia mendapatkan hidayah (pendidikan tauhid) tersebut dari Allah
SWT.
Sekarang ini, seringkali pendidikan tauhid dapat dilihat dan dirasakan
hanya pada tempat-tempat tertentu, seperti sekolah atau majelis
(pengajian) saja. Bahkan pada umumnya, orang tua yang sekalipun
sepenuhnya betanggung jawab atas kemurnian akidah anaknya,
menyerahkan tanggung jawabnya tersebut pada lembaga pendidikan. Di
lain hal, jarang sekali ditemukan pendidikan tauhid yang diselenggarakan
bagi kaum non muslim, padahal merupakan kewajiban bagi kita semua
(ummat muslim khususnya) untuk menyeru dan mendakwah pada
kebenaran.
kisah nabi Ibrahim ini menginsprasi kita ummat manusia pada zaman
sekarang, bahwa pendidikan tauhid dapat dilakukan dimana saja (tidak
terbatas tempat), kepada siapa saja (tidak terbatas usia dan agama), dan
oleh siapa saja selama ia memegang teguh pada kemurnian tauhid. Setiap
75

insan di dunia bertanggung jawab dalam menyeru dan mengamalkan


tauhid bagi dirinya sendiri, dan orang-orang sekitarnya.
Pendidikan tauhid bukan saja sesuatu yang disuguhkan atau
diselenggarakan dari pihak tertentu, usaha yang kita lakukan bagi diri
sendiri dan orang lain agar berubah menjadi lebih baik juga merupakan
bagian dari pendidikan. Pendidikan tersebut dapat kita cari sendiri dengan
memanfaatkan instrumen-instrumen yang telah Allah pinjamkan kepada
kita. Kita dapat mencarinya dengan cara mengamati, berfikir, dan
merenungkan alam sekitar kita, perenungan tersebut akan membawa kita
pada hakikat kebenaran, karena sejatinya, instrumen yang kita gunakan
merupakan karunia dari Yang Maha Benar.

2. Pentingnya Pendidikan Tauhid

Urgensi pendidikan tauhid ini tergambar pada ayat 77 yang berbunyi


“agar tidak termasuk orang-orang sesat”. Pada ayat itu dijelaskan bahwa
hidayah yang diberikan Allah kepada nabi Ibrahim merupakan jalan agar
ia tidak termasuk orang-orang sesat, orang yang berjalan pada jalan yang
sesat pastinya tidak akan pernah sampai pada tujuannya karena mereka
salah jalan. Sesat yang disebutkan pada ayat ini adalah perumpamaan bagi
orang-orang yang berbuat syirik dalam peribadatan dan penyembahan.
Peribadatan dan penyembahan kepada Allah adalah jalan benar untuk
menggapai ridho-Nya. Hanya keridhoan Allah yang akan membawa
manusia pada keselamatan di dunia dan di akhirat. Maka orang-orang yang
tidak berjalan pada jalan yang benar akan berada pada kesesatan, dan
orang yang sesat tidak akan selamat.
Dalam kisah ini, sesungguhnya nabi Ibrahim mengajak kaumnya agar
mereka mau mengamalkan tauhid dan meninggalkan segala bentuk
penyembahan yang menyekutkan Allah, agar mereka pun mendapatkan
keselamatan, ketenangan dan petunjuk oleh Allah. Jika mereka mendapat
perlindungan Allah niscaya mereka akan melakukan hal bodoh dengan
menyembah berhala. Hal itu disebabkan oleh akal mereka yang rusak, akal
76

rusak melahirkan perilaku yang rusak pula, dan perilaku rusak akan
menjerumuskan manusia pada kegelapan. Maka Nabi Ibrahim diutus
kepada mereka dengan tujuan untuk mengajarkan tauhid, beliau mencoba
untuk meluruskan kembali jalan salah yang telah ditempuh kaumnya.
Disinilah letak pentingnya pendidikan bagi kehidupan. Sebagaimana yang
dikatakan Yusran Asmuni “tauhid tidak hanya sekedar memberikan
ketentraman batin dan menyelamatkan manusia dari kesesatan dan
kemusyrikan, tetapi juga berpengaruh besar terhadap pembentukan sikap
dan perilaku keseharian seseorang. Ia tidak hanya berfungsi sebagai
akidah, tetapi berfungsi pula sebagai falsafah hidup”.49
Apabila kita meninjau kisah di atas, maka terlihat adanya perbedaan
antara urgensi pendidikan tauhid pada zaman dahulu dan zaman sekarang
ini. Urgensi tauhid pada zaman dahulu ialah untuk menunjukkan ummat
manusia pada jalan yang benar. Meski manusia memiliki fitrah atau naluri
untuk bertuhan, namun mereka tidak tahu jalan yang harus ditempuhnya.
Maka Ajaran tauhid yang di bawa para rasul merupakan bekal, pondasi
bagi ummat manusia dalam mengawali hidup keberagamaannya. Berbeda
pada zaman modern ini, pendidikan tauhid berorientasi untuk meluruskan
kembali pemahaman manusia akan makna tauhid yang hakiki. Melihat
fenomena sekarang ini, masih banyak dijumpai orang yang percaya akan
kekuatan batu, pohon pohon besar, makam orang soleh dan sebagainya,
hal ini menandakan bahwa manusia telah mengulang kembali kesalahan
ummat terdahulu. Setelah apa yang telah dicontohkan oleh para Rasul
beribu tahun yang lalu, tentunya ada beberapa penyimpangan yang
dilakukan oleh ummat muslim khususnya dalam pengamalan „Tauhid‟ di
kesehariannya.

Maka terlihat jelas bahwa benar pendidikan tauhid teramat penting


bagi keberlangsungan hidup manusia di kemudian hari. Andai saja Allah
tidak mengutus para Nabi dan Rasul untuk menyeru ummat manusia

49
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta : PT Raja Grafindo,1996), cet-3, h. 7
77

kepada jalannya yang lurus, mengembalikan manusia kepada fitrahnya


yang hakiki untuk menyembah Allah, maka kita (ummat muslim) tidak
dapat menikmati nikmatnya Iman dan Islam sekarang ini. Jika manusia
pada zaman itu terus dalam kebiasaannya menyembah apa yang tidak
semestinya mereka sembah maka kemungkinan kita ummat manusia pun
masih melakukan hal yang sama pada zaman ini sebagai warisan kebiasaan
dari pada leluhur terdahulu.
Pendidikan tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim kepada kaumnya
merubah pola pikir, menjelaskan bahwa ajaran tauhid adalah kebenaran
yang dapat ditimbang kebenarannya dengan akal yang logis. Maka
kebenaran haruslah diungkap, disuarakan sehingga mereka mau berfikir
bahwa mereka telah melakukan hal salah dengan menyembah berhala, dan
menyekutukan Allah sebagai akibat dari buah pikir mereka yang salah itu.
Oleh karenanya kesalahan ini tidak boleh berlanjut, tidak boleh berulang
oleh generasi ummat manusia nantinya. Pendidikan tauhid Nabi Ibrahim
bertujuan untuk membawa perubahan dan pembenaran yang baik bagi
kaumnya, kita dan anak cucu kita kelak
Maka pentingnya pendidikan tauhid ini seharusnya menjadi
pertimbangan untuk didahulukan daripada pendidikan disiplin ilmu yang
lain. Selain itu pendidikan tauhid juga harus menjadi dasar pendidikan
ilmu pasti, ilmu sosial dan politik, sains dan teknologi, ilmu ekonomi,
biologi, olahraga, dan sebagainya. Sehingga segala jenis pendidikan yang
dipraktekkan manusia tersebut mempunyai tujuan luhur yang sifatnya
tidak hanya duniawi tapi juga ukhrowi

3. Materi Pendidikan Tauhid


Penulis menemukan tiga materi yang dibahas dalam proses
pendidikan tauhid nabi Ibrahim yang terdapat dalam ayat-ayat diatas.
Pertama yaitu Allah yang patut disembah pada ayat-74, kedua
kepemilikan Allah atas alam semesta (seluruh apa yang di langit dan di
bumi beserta isinya) yang tersirat pada ayat-75 yang berbunyi tanda-tanda
78

keagungan (kami yang terdapat) di langit dan bumi. Dan ketiga yaitu
menjalankan perintah Allah yang terkandung pada ayat-81 yang berbunyi
Allah sendiri tidak menurunkan hujjah kepadamu untuk
mempersekutukanNya. Ketiga hal tersebut dapat dijadikan materi
tambahan dalam pendidikan tauhid selain tiga materi yang sudah penulis
sebutkan pada bab sebelumnya yaitu : meyakini adanya wujud Allah,
meyakini keesaan Allah, dan hikmah mengenal Allah.
Pada ayat-74, nabi Ibrahim menegur pamannya yang menyembah
berhala. Berhala adalah sesuatu yang di buat dan diadakan oleh manusia,
maka tidak mungkin berhala tersebut dipertuhankan, sama halnya pada
jaman sekarang, patung-patung dewa, binatang yang dianggap dewa,
pohon pohon keramat, makam orang sholeh, ataupun orang-orang sakti
bukanlah hal yang dapat dimintai apapun daripadanya, karena mereka
bukan Tuhan. Hal yang menjadi penting dan paling utama untuk dibahas
dalam pendidikan tauhid adalah siapakan Tuhan yang benar dan layak
untuk disembah itu?. Sipakah Tuhan yang dapat dimintai pertolongan,
Yang dapat mendatangkan malapetaka? Jawabannya tidak lain adalah
Allah SWT.
Kedua, mengenai kepemilikan Allah atas alam semesta yaitu kita
melihat dan memperhatikan lebih dalam alam semesta ini, merenungkan
segala keteraturan dan ketetapan yang berlaku di dalamnya maka kita
akan sampai pada kesimpulan bahwa pemilik jagad raya ini amat Hebat,
yaitu Allah SWT. Terlebih kita akan semakin bersyukur karena seluruh
yang ada di langit dan di bumi adalah karuni yang Allah sediakan untuk
kita ummat manusia. Dengan pengetahuan ini maka akan membawa
manusia pada penyerahan diri dan penyembahan hanya pada Yang Maha
Kuasa.
Ketiga, menjalankan perintah Allah, yaitu kelanjutan dari keyakinan
yang pada Maha kuasa atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tidak
cukup dengan hanya mengimani, mempercayai adanya Allah dan
meyakini kekuasaan-Nya saja, tapi juga harus diiringi sesudahnya dengan
79

menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya. Hal ini yang


akan menjadikan manusia menjadi insan kamil atau manusia sempurna.
Maka manusia cukup dengan melakukan semua yang Allah kehendaki,
dan tidak sedikitpun melakukan apa yang tidak Ia kehendaki manusia
akan mendapatkan kesempurnaan dalam hidup di dunia dan di akhirat.
Seluruh perkataan nabi Ibrahim yang disampaikan kepada Azar dan
kaumnya tidak lain hanya membahas tentang proses mengetahui Tuhan
Yang sesungguhnya. Permasalahan yang mereka perdebatkan adalah
kesimpangsiuran akan Tuhan mana yang layak dan harusnya mereka
sembah.
Apabila kita mengulas kembali pada kisah-kisah rasul, tentunya kita
tahu bahwa seluruh misi dan visi rasul-rasul Allah adalah untuk
menegakkan „Tauhid‟, mengenalkan Allah, dan memberitahukan ummat
manusia bahwa Ada Yang telah menciptakan dan menghidupkan kita,
sehingga kita wajib untuk menyembah-Nya. Melihat adanya kesamaan
tugas tersebut, maka pastinya ada keseragaman ajaran, isi, dan materi
yang di bawa oleh para rasul dalam mengemban tugasnya untuk
mewujudkan misi tersebut namun dalam cara, waktu, dan kondisi yang
berbeda-beda.

4. Asas Pendidikan Tauhid

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa asas pendidikan tauhid atau


yang kita kenal dengan pendidikan Islam ada dua yakni : al-Qur‟an dan
as-Sunnah. Meski demikian Islam tidak mengesampingkan akal sebagai
karunia terbesar Allah bagi ummat manusia. Akal tidak disebut secara
eksplisit sebagai asas bagi pendidikan tauhid. Namun, dalam memahami
konteks al-Qur‟an dan as-Sunnah, akal berperan penting dalam
mengartikan perintah dan larangan yang Allah maksudkan di dalamnya.
Abuddin Nata mengutip perkataan imam al-Syathibi dalam bukunya
Pendidikan dalam Perspektif Islam yang mengatakan bahwa “salah satu
80

tujuan kehadiran agama adalah melindungi hak manusia untuk berfikir


(al-aql)”50

       


  
   

     


          

  


  

“dan Dia-lah Tuhan yang membentangkan bumi dan menjadikan gunung-
gunung dan sungai-sungai padanya. dan menjadikan padanya semua
buah-buahan berpasang-pasangan, Allah menutupkan malam kepada
siang. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan.” (Q. S. Ar‟Ra‟ad : 3 )

Melalui surat al-An‟am ayat 74-83 dipahami bahwa Nabi Ibrahim as


mengalami proses pencarian Tuhan dengan memaksimalkan logika. Hal
ini tergambar pada ayat-77 yang berbunyi Sesungguhnya jika Tuhanku
tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku Termasuk orang yang
sesat. Kemudian pada ayat-80 yang berbunyi Maka Apakah kamu tidak
dapat mengambil pelajaran (daripadanya). Kedua kata : petunjuk
(yahdinii) dan mengambil pelajaran atau mengingat (tatadzakkaruun)
merupakan kata kerja yang menggunakan akal dalam prosesnya.
Di samping itu penulis menemukan landasan lain yang terkandung
dalam kisah nabi Ibrahim ini yaitu perasaan yang digambarkan pada ayat -
76 yang berbunyi : Saya tidak suka kepada yang tenggelam. Perkataan
nabi Ibrahim tersebut menggambarkan ketidaksukaannya terhadap benda
langit (yang dianggap kaumnya sebagai tuhan) karena ia meredup atau
menghilang. Ketidaksukaannya ini merupakan buah hasil pikir yang
kemudian ditimbang dengan hati dan dimunculkan melalui perasaan. Hal
ini menunjukkan bahwasannya perasaan (akal dan hati) yang tidak

50
Abuddin Nata, Pendidikan dalam Perspektif al-Qur`an, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2005),
cet-1, h. 22
81

dicampur adukkan dengan nafsu dapat melahirkan kebenaran, dengan


kebenaran inilah manusia dapat berpegang kepadanya.
Meskipun demikian, proses pencarian tersebut adalah hidayah yang
diberikan Allah kepadanya. Beliau merenungkan dan memikirkan tentang
keadaaan, peristiwa serta objek benda yang dia lihat, sehingga dia
berkesimpulan bahwa semua yang dilihatnya itu adalah ciptaan yang
diciptakan Pencipta Yang Maha Hebat Yang mengadakan semua itu.
Dialah Tuhan Yang Menciptakan manusia dan alam raya ini secara
keseluruhan , dan Dia adalah Tuhan Yang tidak ada samanya, tidak
terjangkau dan tersembunyi tapi dirasakan kehadiran dan kasih sayang
pada diri setiap makhluk.
Metode yang dilakukakan Ibrahim as dalam menemukan dan
meyakini Tuhan yang sebenarnya menjadi pesan kepada generasi yang
sesudahnya untuk mengoptimalkan penggunaan akal dalam menemukan
Tuhan. Melalui pembacaan terhadap alam raya secara seksama dan
mendalam akan ditemukan betapa hebat dan mengagumkannya Allah
SWT sebagai sebab dari semua yang ada. Hal ini pula dapat menjadi
contoh terhadap pendidik untuk mengarahkan pengoptimalan potensi akal
manusia. Mereka perlu diarahkan untuk senantiasa merenungkan dan
memikirkan seluruh dogma agama yang diterimanya tidak hanya
menerimanya dengan mentah-mentah tanpa olah pikir sebelumnya.
Menemukan Tuhan dengan olah pikir sebelumnya akan menimbulkan
kesan yang luar biasa pada diri orang tersebut mengenai Tuhannya karena
penemuannya melalui proses dan dia mengalami sendiri.

5. Tujuan Pendidikan Tauhid

Terdapat tiga tujuan pendidikan tauhid yang penulis temukan pada


ayat-ayat di atas, yaitu pada ayat-75 yang berbunyi agar Dia Termasuk
orang yang yakin, kemudian pada ayat-82 yang berbunyi mereka Itulah
yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang
mendapat petunjuk, dan terakhir pada ayat-83 yang berbunyi Kami
82

tinggikan siapa yang Kami kehendaki beberapa derajat. Tiga tujuan


pendidikan tauhid tersebut adalah : agar menjadi orang-orang yang yakin,
agar mendapat keamanan dan petunjuk, dan terakhir yaitu agar
ditinggikan derajatnya oleh Allah SWT.
Untuk mendapatkan keyakinan yang teguh pada Allah SWT, manusia
harus terlebih dahulu mengenal dan mengetahui siapa Tuhannya, dengan
mengenal dan mengetahui siapa Tuhannya maka manusia dengan
sendirinya percaya akan kebesaran dan kekuasaan Allah atas dirinya.
Maka pendidikan tauhid bertujuan untuk menggiring manusia pada
keyakinan tersebut, bagi mereka yang tidak percaya menjadi percaya, dan
bagi mereka yang sudah percaya akan semakin percaya, sehingga
bertambahlah imannya dan ketaqwaannya pada Allah, Tuhan semesta
alam.
Sebagaimana yang telah penulis bahas sebelumnya mengenai
pentingnya pendidikan tauhid yang terkandung dalam ayat 82, mereka
itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang
yang mendapat petunjuk. maka tujuan pendidikan tauhid juga memiliki
kesinambungan dengan hal tersebut.
Apabila manusia tidak mendapat perlindungan dan petunjuk baik
dalam hidupnya, maka ia akan hidup dalam ketidaktenangan, ia akan
selalu waswas, ketakutan, maka hidupnya pun akan berujung pada ketidak
bahagiaan. Dengan demikian akan muncul perilaku yang tidak baik dari
dirinya (akhlak sayyi’ah) yang disebabkan oleh ketidak tenangan hatinya
tersebut. Ia pun tidak tahu jalan mana yang harus ditempuhnya dalam
hidup, dikarenakan Allah tidak memberinya petunjuk. Disinilah tujuan
pendidikan tauhid bagi manusia. Pendidikan tauhid akan mengarahkan
manusia untuk senantiasa bertawakkal kepada Allah, menyerahkan segala
perkara hanya kepada Allah, sehingga ia akan lebih ikhlas menjalani
hidup meskipun ia didera dengan banyak macam ujian dan cobaaan,
dengan keihklasan tersebutlah manusia akan merasa tenang, ia merasa
tenang karena ia memiliki Allah dalam hidupnya.
83

Terakhir, setelah manusia menjadi orang-orang yang yakin dengan


keyakinan penuh kepada Allah, maka ia akan mendapatkan ketenangan
dan petunjuk dari-Nya. Disinilah Allah akan meninggikan derajat orang-
orang tersebut. Manusia akan sampai pada titik di mana ia akan merasa
bahwa sungguh besar karunia yang Allah berikan kepadanya. Kesyukuran
manusia yang amat dalam ini meninggikan derajatnya di mata Allah.
Karena dengan kesyukuran inilah manusia akan berperilaku sesuai dengan
kodratnya sebagai makhluk yang paling sempurna dan istimewa.
Muhammad Zen mengatakan “kepribadian muslim ini akhirnya tidak
akan terlepas dari tiga aspek yaitu : Iman, Islam, dan Ihsan.”51 Maka
pendidikan tauhid berorientasi untuk membantu ummat manusia
menggapai ketiga hal tersebut.
Pendidikan tauhid menyentuh segala aspek kehidupan manusia, baik
itu pada aspek kognisinya, afeksinya dan juga psikomotoriknya.
Pendidikan tauhid sebagai landasan bagi pendidikan Islam juga
mempunyai tujuan yang lebih luas, yaitu bahwa pendidikan Islam harus
mencakup segala kebutuhan hidup manusia yang tentunya didasari nilai-
nilai ketauhidan. Sehingga pendidikan Islam dituntut untuk melahirkan
insan-insan yang senantiasa berbuat dan bersikap dalam kebaikan pada
dirinya, pada tuhannya, pada sesama makhluk dan pada lingkungan
sebagai wujud konkret sebagai insan yang beriman. Dengan tujuan
pendidikan tauhid yang mulia ini menjadikan pendidikan tauhid bukan
lagi sebagai kebutuhan, melainkan kewajiban yang harus ditempuh dan
didapat oleh setiap insan di dunia.
Sebagaimana yang dikatakan Yusran Asmuni :
Orang yang bertauhid berarti orang yang memiliki pegangan hidup
yang jelas, dan dengan tauhid, sebenarnya, terpenuhi salah satu
kebutuhan rohaniah manusia, yang dapat membawanya kepada
kebahagiaan hidup dunia dan ukhrawi. Jadi, mempercayai adanya
Allah Yang Maha Esa merupakan kunci untuk memperoleh
kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.52

51
Hamdani Ihsan & A. Fuad Hasan, op.cit., h. 70
52
Yusran Asmuni, op.cit., h. 41
84

Disamping hal di atas, penulis juga menemukan tujuan pendidikan


tauhid lain yang terkandung pada kisah nabi Ibrahim ini, yaitu untuk
menyatukan pemahaman, keyakinan, prinsip, dan pola hidup. Pendidikan
tauhid yang di bawa oleh Nabi Ibrahim tentunya agar mempersatu
kaumnya pada saat itu agar tidak terpecah belah dalam hal peribadatan.
Ketidakseragaman dalam hal keyakinan akan memicu banyak
perdebatan. Ummat manusia akan selalu berselisih untuk membenarkan
keyakinan yang dimilikinya masing-masing. Lain halnya apabila ummat
manusia hanya memiliki satu aturan, satu prinsip, satu keyakinan maka
segala macam perselisihan dan perdebatan niscaya tidak akan terjadi.
Karena mereka tidak akan berselisih dalam memperdebatkan kebenaran.
Mereka sepakat bahwa kebenaran mutlak milik Allah SWT.

6. Metode Pendidikan Tauhid

Metode pendidikan pada kisah nabi Ibrahim ini langsung dapat terlihat
pada ayat pertama kajian skripsi ini, yaitu pada ayat-74 ketika nabi
Ibrahim menegur pamannya yang telah menyekutukan Allah. Biasanya
pendidikan dilakukan dengan metode pemberitahuan pada arahan baik
yang selayaknya dilaksanakan, namun pada kisah ini pendidikan juga
bermakna pemberitahuan pada kesalahan yang harus dibenarkan.
Sebagaimana yang telah penulis bahas pada bab sebelumnya bahwa
salah satu metode pendidikan Islam / pendidikan tauhid ialah dengan
metode amtsal . Setelah penulis telaah kisah nabi Ibrahim pada ayat-ayat
di atas, penulis menyimpulkan bahwa nabi Ibrahim menggunakan metode
amtsal dalam memperjelas kesalahan kaumnya. Hal ini tergambar jelas
pada ayat-76,77,dan 78 yang menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim
menggunakan benda-benda langit dalam perumpamaaanya menjelaskan
dan menerangkan definisi Allah.
Di samping itu nabi Ibrahim melakukan dengan sendirinya proses
pendidikan tauhid tersebut, beliau mencari , memperhatikan,
85

merenungkan, mengevaluasi prosesnya itu, dan terakhir ia berkesmipulan


pada jawaban yang menurutnya benar. Tidak sampai di situ, proses
pencariannya itupun disampaikan kepada kaumnya dengan harapan
kaumnya dapat mengikuti dirinya / meniru untuk bersama-sama
meninggalkan kesyrikan. Meniru adalah fitrah manusiawi, kebanyakan
orang mudah terpengaruh dengan orang lain sesuai apa yang dikatakan.
Selain itu bahasa tubuh lebih cepat masuk dan diterima dibandingkan
dengan bahasa lisan. Maka nabi Ibrahim menjadikan dirinya sebagai
contoh (suri tauladan) bagi paman dan kaumnya untuk kembali pada jalan
yang lurus.
Pada awalnya nabi Ibrahim menyamakan objek yang dijadikan
kaumnya sebagai tuhan. Ia menyetarakan dirinya dengan kaumnya tersebut
sebagai penyembah benda-benda langit, seolah ia menerima terhadap
penisbatan benda-benda langit sebagai Tuhan. Hal ini bertujuan agar nabi
Ibrahim dapat dengan mudah menyangkal hujjah kaumnya itu.
Pada umumnya manusia hanya akan percaya kepada penjelasan orang
lain yang sejenis, sepemikiran, atau sepemahaman dengannya. Dan nabi
Ibrahim melakukan hal itu. Alasan seperti ini merupakan salah satu
metode yang baik dalam berdakwah, metode ini dapat membangunkan
fitrah manusia, serta menggerakkan akal dan pikiran.
Kemudian penulis menemukan adanya metode dialog dalam kisah ini
dikarenakan terdapat komunikasi dua arah di dalamnya, hal ini tergambar
dalam ayat 80 yang berbunyi : wa haaj juhu , yang berarti dibantahnya
Nabi Ibrahim oleh kaumnya. Terjadi perdebatan antara kedua belah pihak,
menandakan bahwa keduanya sama-sama berargumen dalam menguatkan
pandangannya dan mematahkan pandangan lawannya.
Perdebatan yang terjadi antara nabi Ibrahim dan pamannya pun bukan
semata mata terjadi begitu saja. Namun nabi Ibrahim telah menyampaikan
pesan berkali-kali dengan halus kepada orang tuanya (Azar) agar mau
meninggalkan apa yang disembahnya. Meski ditolak namun nabi Ibrahim
tetap menjawab dengan halus kepada pamannya itu.
86

             

  
             

   


“berkata bapaknya: "Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, Hai Ibrahim?
jika kamu tidak berhenti, Maka niscaya kamu akan kurajam, dan
tinggalkanlah aku buat waktu yang lama". berkata Ibrahim: "Semoga
keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu
kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku”. (Q.S.
Maryam 36-37)
Pada kalimat Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan yang terdapat pada ayat -78 dan dilanjutkan dengan kalimat
Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan
langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar yang
terdapat pada ayat-79 menyiratkan bahwasannya penyeru (Nabi Ibrahim)
dalam mendidik kaumnya juga adalah sebagai pelaku bagi dirinya sendiri.
Seorang guru tidak dapat menjadi pendidik bagi muridnya jika ia tidak
dapat mendidik dirinya sendiri. Menurut H. M. Arifin “metode pemberian
contoh dan teladan adalah metode yang cukup besar pengaruhnya dalam
mendidik anak”.53

Dan terakhir pada ayat 81, pada kalimat Maka manakah di antara
dua golongan itu yang lebih berhak memperoleh keamanan (dari
malapetaka), jika kamu mengetahui? Seolah nabi Ibrahim sedang
menakuti / mengancam kaumnya akan malapetaka yang akan menimpa
mereka karena kesyrikan yang mereka lakukan. dilihat dari caranya,
penulis menyimpulkan bahwa nabi Ibrahim menggunakan metode targhib
wa tarhib yaitu metode mengancam akan siksa Allah atas dosa yang

53
H. M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan
interdisipliner, (Jakarta : Bumi Aksara, 2003), cet-1. h. 74
87

dilakukakan. Dalam pendidikan sekarang ini dapat dilakukan dengan cara


memberikan hukuman atas kesalahan yang dilakukan peserta didik,
sehingga mereka dapat jera dan senantiasa tidak melakukannya dan
mengulangi kesalahannya lagi di kemudian.

Pada dasaranya seluruh metode yang dilakukan nabi Ibrahim ini


sesuai dengan apa yang telah Allah perintahkan dalam surat an-Nahl ayat
125 yaitu : menyeru kepada jalan yang lurus, dan membantah dengan
bantahan yang baik. Ayat tersebut berbunyi:

   


      
   

         


     

   


“serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya
Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk..
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan pada analisis penulis pada bab sebelumnya, maka penulis
menyimpulkan bahwa konsep pendidikan tauhid yang tekandung dalam surat
al-An’am ayat 74-83 adalah sebagai berikut :
Dari poin-poin di atas, penulis menarik kesimpulan secara menyeluruh yaitu :

1. Pendidikan tauhid adalah segala macam usaha yang baik bagi diri sendiri
atau orang lain yang bertujuan untuk menyadarkan manusia sebagai
hamba Allah dengan mensucikan diri dari segala bentuk kesyirikan
2. Urgensi pendidikan tauhid ialah agar manusia tidak tersesat dalam
kedzaliman, manusia senantiasa berjalan pada jalan lurus yang akan
mengantarkannya pada tujuan hidupnya yang sesungguhnya yaitu
beriman, dan bertaqwa kepada Allah.
3. Tujuan pendidikan tauhid adalah membantu manusia untuk menjadi
orang-orang yang yakin, mendapat keamanan serta petunjuk dari Allah,
dan mendapat derajat yang layak di sisi Allah, iman, islam, dan ihsan.
4. Tiga materi pendidikan tauhid yang terkandung dalam ayat-ayat ini adalah
sebagai berikut: pertama : Ma’rifat Dzat Allah sebagai Satu-Satu-Nya
Tuhan yang harus disembah, kedua : Pembuktian keEsa-an Allah melalui
perenungan terhadap alam semesta, dan ketiga : Penanaman rasa takut
pada Allah serta ketaqwaan kepada-Nya yaitu dengan cara menjalankan
segala perintahNya saja dan menjauhi segala larangan-Nya.
5. Dalam memperoleh hakikat akan Allah, manusia dapat menempuhnya
melalui jalur rakyu atau akal berikut dengan hati nurani. Setelah al-Qur’an
dan hadist akal juga dapat dijadikan dasar dalam merujuk proses
pelaksanaan pendidikan tauhid.
6. Beberapa metode pendidikan tauhid yang dilakukan nabi Ibrahim dalam
kisah ini adalah sebagai berikut : menegur, membimbing, mencari sendiri

88
89

( dengan melihat, mengumpamakan, merenungkan, mengeksplorasi,


mengevaluasi, membuat kesimpulan), menjadi suri tauladan,
berargumentasi, dan mengancam. Semua metode tersebut diterapkan
dengan sikap yang berani dan tegas.
7. Secara spesifik al-An`am 74-83 menyebutkan dua metode pendidikan
tauhid yaitu mengajak ( ‫ ) دعوة‬dan diskusi ( ‫)جمادلة‬. Sebagaimana yang

disebutkan dalam surat an-Nahl : 125 “serulah (manusia) kepada jalan


Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah
mereka dengan cara yang baik”

B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan yang telah penulis
paparkan, maka ada dua hal yang ingin penulis sampaikan sebagai bahan
masukan dan saran dalam upaya meningkatkan pendidikan Islam khususnya.
Adapun saran tersebut adalah :
Pertama, pendidikan pertama yang harus anak dapati sedari kecil tidak
lain adalah pendidikan tauhid, hal pertama yang harus disampaikan dan
diketahui anak adalah semua tentang Allah. Dengan pendidikan tauhid anak
akan mengetahui tujuan hidupnya, sehingga ia senantiasa berada dalam
kebahagiaan di dunia maupun di akhirat.
Kedua, pendidikan tidak terfokus bagi ummat muslim saja, namun
pendidikan tauhid juga diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia di muka
bumi. Menjadi kewajiban bagi kita, ummat muslim untuk menyeru mereka
yang telah menyekutukan Allah dalam peribadatan. Karena hanya Allah SWT
yang patut dan layak disembah.
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Abdul Shaleh.at Tarbiyah wa Thuruq Tadris. Mesir : Darul Ma’arif

Al Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi,Jakarta : Pustaka Azzam, 2008. cet-1


Ali, H.M. Sayuthi.Metodologi Penelitian Agama Teori dan Praktek, Jakarta : Raja
Grafindo Persada Press, 2002.
Ali, Mohammad Daud. Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Rajawali Prers, 2008.

An Nahlawi, Abdurrahman.Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat


Jakarta : Gema Insani, 1995.
Arief, Armai. Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam. Jakarta : Ciputat
Pers, 2002.
Arifin, H.M. Ilmu Pendidikan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner. Jakarta : Bumi Aksara, cet-1
Ash-Shabuni, Muhammad Ali.Shafwatut Tafasir, diterjemahkan oleh Yasin,
Tafsir-Tafsir Pilihan jilid 2 Al-Maa’idah-Yusuf. Jakarta : Pustak al-Kautsar,
2011, Cet-1.
Ash-Shabuny, M. Ali. Qabas min Nurul Qur’an Dirasah Tahliliyah Muwassa’ah
bi Ahdaaf wa Maqaashid As-Suwar Al-Karimah, diterjehmahkan oleh
Kathur Suhardi, Cahaya al-Qur’an Tafsir Tematik Surat al-Baqarah-al-
An’am. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000, cet-1, h. 303
Asmuni, M. Yusran.ilmu Tauhid.Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993.

as-Suyuthi, Jalaluddin. Lubaabun Nuquul fii Asbaabin Nuzuul, diterjemahkan oleh


Tim Abdul Hayyie, Sebab Turunnya ayat al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani,
2008.
ath-Tharawana,Sulaiman.Dirosah Adabiyah fil Qishshah al-Qur’aniyah,
diterjemahkan oleh Agus Faishal Kariem & Anis Maftukhin dalam Rahasia
Pilihan Kata dalam al-Qur’an. Jakarta: Qisthi Press, 2004, Cet ke-1.
Badrie, Moehammad Thahir.Syarah Kitab al-Tauhid Muhammad bin Abdul
Wahab. Jakarta : PT Pustaka Panjimas 1984.
Buchoni, Didin Saefuddin. Pedoman Memahami Kandungan al-Qur’an. Bogor :
Granada Sarana Pustaka, 2005.
Daradjat, Dzakiah. Pendidikan Agama dalam Pembinaan Mental. t.t.

92
93

Daradjat, Zakiah. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah.Jakarta :


Ruhama, 1993.

Dewey, John.Democracy and Education.New York : The Masmillan company,


1964.
E. Hasim, Moh. Kamus Istilah Islam. Bandung : Penerbit Pustaka, 1987.

Faqih, Allamah Kamal. dan tim ulama, Nur al-Qur’an: An Enlightening


Commentary into the Light of the Holy Qur’an, diterjemahkan oleh Sri Dwi
Hastuti dan Rudy Mulyono.Tafsir Nurul Quran: Sebuha Tafsir Sederhana
Menuju Cahaya al-Qur’an jilid 5. Jakarta : Al-Huda, 2004, cet-1.

Hakim, Abdul Khalifah.Hidup yang Islami Menyeharikan Pemikiran


Transendental Akidah dan Ubudiyah. Jakarta: CV. Rajawali, 1986, cet-1

Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara, 2013,cet-


13
Hamka.Filsafat Ketuhanan. Surabaya: Karunia, 1985

Hasbullah.Dasar-Dasar Pendidikan (edisi revisi).Jakarta : PT Raja Grafindo


Persada, 2013.
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Norma_sosial,

Ihsan, Hamdani. Dan Ihsan, Fuad. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung : Pustaka
Setia, 1998, cet-1
Khon, Abdul Majid Khon. Hadis Tarbawi : Hadis-Hadis Pendidikan. Jakarta:
Kencana, 2014, Cet-2.
Munawwir, Ahmad Warson.Kamus al-Munawwir.Yogyakarta: PP. al-
Mmunawwir, 1989.

Muttahari, Murtadha. Keadilan Ilahi Asas Pandangan Dunia Islam. Terj. Dari Al-
Adl Al Ilahi, Bandung: Mizan, 1995.
Nata, Abuddin. Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur`an. Jakarta :UIN Jakarta
Press, 2005, Cet-1
Poerbakawatja, Soganda dan Harahap.Ensiklopedia Pendidikan. Jakarta : Gunung
Agung 1981, cet-2.
Rahmat, Jalaluddin. Islam alternative Ceramah-Ceramah di Kampus.Bandung :
Mizan, 1986.
94

Rais, M. Amin. Cakrawala Islam antara Cita da Fakta. Bandung ; Mizan, 1987,
cet-1.

Sabiq, Sayyid. Aqidah Islam, terj Ali Mahmudi dan Aunur Rafiq Shaleh, Jakarta :
Robbani Press, 2006.

Salahudin, Anas. dan Alkrienciehie, Irwanto.Pendidikan Karakter Pendidikan


berbasis Agama & Budaya Bangsa.Bandung : Pustaka Setia, 2013, cet-1.
Shihab, M. Quraish. Al-Lubab makna, tujuan, dan pelajaran dari surah-surah al-
Qur’an. Tangerang: Lentera Hati, 2012, cet-1.
Shihab, M. Quraish.Tafsir Al-Mishbah Pesan, Kesan dan Keserasian Al-
Qur’an.Jakarta: Lentera Hati, 2001, Vol. 4
Shihab, M. Quraish.Tafsir al-Mishbah Pesan-Kesan dan Keserasian Al-Qur’an.
Jakarta:Lentera Hati, 2002, Vol. 8
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur`an Tafsir Maudhu`i Atas Pelbagai
Persoalan Umat. Bandung : Mizan, 1996.
Sholeh, Asrorun Niam.Reorientasi Pendidikan Islam Mengurai Relevansi Konsep
al-Ghazali dalam Konteks Kekinian.Jakarta : eLsas, 2006.
Suryadilaga, M. Alfatih. Dkk. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta : Teras, 2005,
cet-1.
Syah, Muhibin.Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2003 , cet-8.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung : PT Remaja
Rosda Karya, 2007.
Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah.Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta:
Djambatan, 1992.
Uhbiyati, Nur.Ilmu Pendidikan Islam. Bandung : CV Pustaka Setia, 1999,cet-2.

Yaqub, Hamzah Yaqub.Tingkat Ketenangan dan Kebahagiaan Mukmin


(Tashawwuf dan Taqarrub).Jakarta : CV Atisa, t.t.

Yasin, A. Fatah. Dimensi-dimensi Pendidikan Islam. Malang : UIN Malang Press,


2008, Cet-1.

Anda mungkin juga menyukai