Anda di halaman 1dari 26

ISLAMIC EDUCATION AND ORIENTATION IN INDONESIA

ORIENTASI PENDIDIKAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA

MAKALAH
Dibuat guna memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Filsafat Pendidikan Islam

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. ilzamudin, M.A
Dr. Agus Gunawan
Dr. H bazzari Syam MPd.

Disusun oleh:
Nurdin Rivaldy
223625001

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
TAHUN 2022M/1444 H
KATA PENGANTAR

Assalamu‘alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh

Dengan mengharapkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang Maha


Pengasih dan Maha Penyayang, Maha Pemberi Petunjuk kepada kita melalui
hamba_Nya yang terpilih Nabi Muhammad Saw.

Dan mudah-mudahan Allah SWT melindungi dari kesalahan diri kami dan
dari keburukan amal kami, karena siapa saja yang di sesatkan oleh-Nya maka
tidak seorangpun yang bisa memberi petunjuk baginya dan barang siapa saja
yang diberi petunjuk oleh-Nya maka tidak seorangpun dapat menyesatkannya.

Sholawat dan salam semoga di limpahkan kepada baginda Nabi Besar


Muhammad SAW. Yang telah menunjukan kita ke jalan yang lurus serta, para
keluarga dan sahabatnya serta umatnya yang iman padanya.

Berkat Rahmat, Hidayah, dan Inayah-Nya penulis dapat menyusun dan


menyelesaikan makalah ini, Kami sampaikan terima kasih kepada dosen dan
semua pihak yang membantu kami dalam proses penyusunan makalah ini.

Kami mohon maaf apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam makalah
ini. Saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun sangat kami
harapkan agar dalam pembuatan makalah berikutnya dapat lebih baik lagi.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi semuanya. Amin


yaa robbal’alamin.

Wassalamu‘alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.

Bekasi,
Penyusun

Nurdin Rivaldy

A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan kebutuhan esensi setiap manusia sebagai bekal
dalam menghadapi kehidupan sehari-harinya. Pendidikan dalam Islam
bersumber dari Al Quran dan Al Hadist yang bertujuan untuk membentuk
manusia seutuhnya sebagai hamba yang beriman dan bertakwa kepada Allah
SWT., sehingga nilai-nilai kehidupan terpelihara sesuai dengan ketentuan Allah
SWT., dan Nabi Muhammad SAW., agar terwujudnya kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Dalam bahasa Arab dikenal dengan tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib yang
memiliki makna mendekati pendidikan.1 Kata tarbiyah dalam Al Quran terdapat
pada surat Bani Israil ayat 24, yang artinya “…Hai Tuhanku, sayangilah keduanya
sebagaimana mereka mendidiku diwaktu kecil”, berangkat dari ayat tersebut
Ahmad Tafsir mengartikan tarbiyah sebagai memelihara, membesarkan dan
mendidik yang termasuk di dalamnya makna mengajar. 2 Sehingga tarbiyah
dapat didefinisikan sebagai proses pembimbingan potensi manusia baik itu akal,
jasmani, maupun ruhani dengan maksimal sebagai bekal mengarungi kehidupan
di masa depan.3
Kata ta’lim terdapat pada surat Al Baqoroh ayat 32, yang artinya “Dan Allah
mengajarkan Adam segala macam nama, kemudian ia berkata kepada malaikat:
beritahukan Aku nama-nama semua itu jika kamu benar”. Berdasarkan ayat
tersebut ta’lim bermakna pengajaran yaitu proses tranfer ilmu pengetahuan
yang menitik beratkan pada aspek peingkatan intelektualitas manusia. 4
Sedangkan menurut Muhammar Naquib Al-Attas, ta’dib mengarah pada kata
adab dan variatifnya yang memiliki arti pembentukan tatakrama atau tindakan
yang dikhususkan obyeknya manusia. 5
Berdasarkan pengertian tiga kata diatas dapat dirangkum bahwa
pendidikan Islam adalah proses usaha membimbing dan mengembangkan
potensi akal, jasmani, dan ruhani manusia melalui transfer ilmu pengetahuan
dan nilai-nilai Islam sehingga terbentuknya karakter dan akhlak mulia seorang
muslim sebagai bekal hidup di dunia dan akhirat. Sejalan dengan penjelasan
Abd. Rahman Getteng tentang pengertian pendidikan Islam yaitu usaha untuk
mengembangkan potensi jasmani dan rohani sehingga tercapai dengan baik
tujuan penciptaan manusia yaitu sebagai hamba Allah dan khalifah di dunia. 6
Selain itu, Islam sangat menekankan umatnya untuk menuntut ilmu
sebagaimana banyaknya seruan untuk belajar yang dapat ditemukan di dalam Al
Quran dan hadits. Misalnya dalam Al Quran surat Al Mujadalah ayat 11 yang
artinya “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-
lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa
Allah SWT akan meninggikan derat orang-orang yang beriman dan berilmu
sehingga manusia dimotivasi untuk terus meningkatkan imannya dan ilmunya
melalui proses pendidikan. Di dalam hadits Rosulullah SAW yang diriwayatkan
1
Aminuddin Mamma, “Orientasi Pendidikan Dalam Perspektif Islam,” Al-Riwayah : Jurnal
Pendidikan 7, no. 1 (2015): 101.
2
Ahmad Tafsir, Metodik Khusus Pendidikan Islam, Catakan 1. (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1995).
3
Mamma, “Orientasi Pendidikan Dalam Perspektif Islam.”
4
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Cet. 1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).
5
Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Haidar Baqir.
(Bandung: Mizan, 1986).
6
Abd. Rahman Getteng, Pendidikan Islam Dalam Pembangunan, Cet. I. (Ujung Pandang: Yayasan
al-Ahkam, 1997).
oleh Ibnu Majah yang artinya ”Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim baik
muslim laki-laki maupun perempuan”, menunjukan bahwa bagi seorang muslim
menuntut ilmu adalah wajib sebagai bekal mereka hidup di dunia dan akhirat.
Selain menuntut ilmu merupakan kewajiban menyampaikan ilmu atau
mengajarkan ilmu pengetahuan melalui pendidika Islam juga merupakan
kewajiban bagi setiap muslim yang berilmu. Dengan banyaknya ulama yang
menyampaikan ilmu pengetahuan Islam menjadikan Islam semakin berkembang
dan luas dalam konteks aplikasinya di kehidupan sehari-hari sehingga muncul
beberapa madzhab yang berbeda-beda dalam memandang hukum dalam Islam
sesuai dengan prespektif dan sudut pandang ulamanya. Perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia juga mempengaruhi orientasi Islam yang sudah ada
sehingga orientasi Islam terus berkembang sebagaimana yang dijelaskan oleh
Sherin Saadallah mengutip dari Hjarpe yang membagi orientasi Islam menjadi
empat yaitu orientasi sekularis, tradisionalis, modernis, dan fundamentalis. 7
Perkembangan orientasi Islam tentunya akan berpengaruh juga pada
orientasi pendidikan Islam yang ada, sebagaimana dijelaskan oleh ade Miftahul
Irfan bahwa ada tiga pola reformasi orientasi yang terjadi dalam pendidikan
Islam, yaitu (1) pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan
modern barat, (2) pendidikan Islam yang berorientasi pada sumber Islam yang
murni, dan (3) pendidikan Islam yang berorientasi pada nasionalisme. 8 Maka
pada penelitian ini akan dijelaskan empat orientasi Islam, tiga orientasi
pendidikan Islam dan upaya sekolah Islam terpadu dalam mengembalikan
orientasi pendidikan Islam di Indonesia.
Sesungguhnya problema sistem pendidikan Islam di Indonesia saat ini
cenderung memiliki keunikan yang tidak sama dengan problema yang dihadapi
oleh bangsa lain. Keunikan faktor-faktor geografis, demografi, sejarah, dan
kemajuan sosial ekonomi, pendidikan dan budaya dapat memicu munculnya
problema bagi pendidikan Islam di Indonesia. Sekarang pertanyaannya,
mampukah sistem pendidikan Islam di Indonesia menjadi center of excellence
bagi perkembangan IPTEK yang tentunya tidak bebas nilai yang merujuk pada
ajaran al-Quran dan al-Sunnah. Selain itu, pendidikan Islam kontemporer sudah
seharusnya menjadi pusat pembaharuan pemikiran Islam yang benar-benar
mampu merespon tantangan zaman. Maka untuk menanggapi berbagai
tantangan bagi pendidikan Islam di Indonesia, terdapat beberapa problema yang
seharusnya diketengahkan dan dirasa dianggap penting untuk dibincangkan,
antara lain sebagai berikut:

a. Radikalisasi Pemahaman Agama Islam


Islam sebagai agama keselamatan. Ia merupakan rahmat bagi seluruh alam
jagat raya ini. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. Surat Al-Anbiya ayat 107
yang berbunyi “ wamaa arsalnaaka illa rahmatan lil’aalamiin“ yang artinya: “Dan
Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi seluruh alam”. Ayat ini menunjukkan bahwa Islam sebagai agama rahmah,
islam selalu menjunjung tinggi aspek-aspek kehidupan. Pemahaman ajaran
agama Islam moderat tanpa rasa radikalisasi membawa pengaruh yang subjektif
bagi kepentingan hidup dalam keberagaman.
Radikalisme memang tidak bisa disamakan dengan terorisme, karena
terorisme identik dengan tindak kriminal sedangkan radikalisme terkait dengan
7
Sherin Saadallah, “Muslim Orientations and Views on Education,” Springer International
Publishing AG 7 (2017), https://doi.org/10.1007/978-3-319-64683-1_17.
8
Ade Miftahul Irfan, “Reforms In Islamic Education” (Disertasi, UIN Sultan Maulana Hasanuddin,
2022).
paham atau sifat keberagamaan. Sejatinya radikalisme memang tidak boleh
dipandang sebelah mata atau dibiarkan tumbuh subur karena radikalisme
merupakan satu tahapan menuju terorisme. Sebagaimana dikutip fanani dalam
rizal sukma (2004) bahwa “radicalism is only one step short of terrorism”
Memang pada umumnya para teroris yang melakukan tindakan destruktif dan
bom bunuh diri mempunyai pemahaman yang radikal terhadap berbagai hal
khususnya agama. Fenomena paham radikalisme dan terorisme telah menjalar
keseluruh penjuru dunia termasuk indonesia. Hal ini ditandai dengan maraknya
tindakan teror yang melanda indonesia 15 tahun terakhir. Mulai dari teror bom
bali I, bom bali II, hotel J.W Marriot, hotel Rits Carlton, bom buku hingga bom
panci yang baru-baru ini terjadi di Bekasi sebagai sarana pencapaian gelar
“syahid”.

b. Multi budaya dan Etnik


Multi budaya daerah memang memperkaya khazanah budaya dan
menjadi modal yang berharga untuk membangun Indonesia yang multi etnis.
Namun kondisi ragam budaya dan tradisi tersebut sangat berpotensi memecah
belah dan menjadi lahan subur bagi konflik serta kecemburuan sosial. Tidak
adanya komunikasi dan pemahaman pada berbagai kelompok budaya lain ini
justru dapat menjadi konflik lintas etnik. Sebab dari konflik-konflik yang terjadi
selama ini di Indonesia di latar belakangi oleh adanya keragaman identitas etnis,
agama, dan ras. Keragaman ini dapat digunakan oleh provokator untuk dijadikan
isu yang memancing persoalan-persoalan sehingga menimbulkan konflik.
Dalam mengantisipasi hal itu, keragaman yang ada harus diakui sebagai
sesuatu yang mesti ‘ada’ dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Selanjutnya,
diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat terkoreksi
secara dini untuk ditempuh langkah-langkah pemecahannya, termasuk di
dalamnya melalui pendidikan Islam kontemporer. Dengan adanya pendidikan
Islam kontemporer diharapkan masing-masing warga daerah tertentu bisa
mengenal, memahami, menghayati, dan bisa saling berkomunikasi dengan
konsisten dengan tetap memupuk nilai-nilai ukhwah.

c. Pergeseran Kebijakan Kekuasaan : dari Sentralisasi ke Disentralisasi


Ledakan reformasi dan demokratisasi melahirkan sejumlah tantangan
baru di era pendidikan Islam modern saat ini. Peralihan kebijakan kekuasaan
dari pendidikan yang terpusat menjadi pendidikan kedaerahan terlokalisasi
secara mandiri sehingga membawaki dampak positif bagi pengayaan dan
kearifan pendidikan lokal secara komperehensif. Bila menilik masa orde baru,
kebijakan yang terkait dengan pendidikan masih tersentral, maka kini tidak lagi.
Pendidikan Islam dalam lintas daerah merupakan sebuah khazanah tersendiri
bagi bangsa Indonesia, tidak dapat disetrum oleh kebijakan pusat, melainkan
diformulasikan dalam konteks kebijakan pendidikan dan kebudayaan pada
masing-masing daerah.
Kemudian lagi timbul masalah lainnya yaitu mengerucutnya konsep
“putra daerah” tanpa disadari menjadi hembusan angin segar bagi tiap-tiap
daerah dalam hal partisipasi aktif membangun daerahnya masing-masing.
Kehadiran sosok putra daerah menjadi sorotan publik dalam memajukan bidang
pendidikan, ekonomi dan politik di daerah masing-masing di samping sebagai
pemerataan kemampuan untuk menempati posisi-posisi tertentu di
pemerintahan. Namun harapan adanya asas-asas dan landasan penyetaraan
putra daerah di lintas daerah diperlukan dalam sebuah ketentuan dan kebijakan
tertentu.
Fenomena putra daerah jangan sampai di kemudian hari dijadikan
sebagai angin ribut sebagai upaya merebut kekuasaan baik di dalam lingkungan
pendidikan maupun di bidang pemerintahan. Isu kedaerahan jangan menjadi
arti sempit untuk memperoleh keuntungan yang bersifat pribadi seperti
keinginan untuk memperoleh jabatan, popularitas dan dukungan masyarakat
daerah sehingga fenomena tersebut berubah menjadi nuansa konflik di tengah-
tengah daerah itu sendiri. Di samping itu, negara juga patut mengembangkan
“dialog lintas daerah secara moderat” sebagai obat penyejuk bagi warga Negara
di Indonesia.

d. Kurangnya SDM di bidang Ilmu Teknologi dan Sains


Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama komunikasi dan
transformasi, menjadikan dunia semakin sempit dan tanpa batas serta
persaingan (competition) semakin tinggi. Hal ini berakibat munculnya budaya
global dalam bidang ekonomi, perdagangan menuju kepada terbentuknya pasar
bebas, baik dalam kawasan ASEAN, Asia Pasifik bahkan akan meliputi seluruh
dunia. Dalam bidang politik, semakin kurang adopsi nilai-nilai musyawarah
serta mufakat, pada bidang budaya akan terjadi pertukaran budaya antar
bangsa, dan di bidang sosial akan muncul semangat konsumtif yang tinggi. 9 Hal
ini disebabkan pabrik-pabrik yang memproduksi kebutuhan konsumeris akan
berusaha memproduk barang-barang baru yang dapat merangsang manusia
untuk memilikinya. Dunia pendidikan Islam masih kekurangan aset SDM dalam
bidang teknologi dan sains karena keterbelakangan trend scientik yang belum
mampu dieleminir melalui upaya kompetitif dan kooperatif.

e. Darurat Nalar Kritis


Kesadaran kritis hanya dapat diperoleh dari membaca yang baik dan benar.
Buku dan karya ilmiah yang mampu menuntun seseorang mendapatkan
kesadaran yang objektif. Buku yang tertulis berdasarkan perenungan. Menulis
buku dan karya ilmiah adalah kerja sunyi yang membutuhkan ketekunan.
Sejalan dengan itu, membaca buku dan menulis karya ilmiah juga merupakan
ritual berat yang hanya mampu dilakukan orang-orang yang tekun. Mereka
membaca tidak hanya sekedar mendapatkan ilmu dan pengalaman, namun jauh
lebih dari itu untuk mengasah nalar kritis yang berwujud di dalam diri
seseorang. Nalar kritis dan kesadarannya muncul atas asahan dan kebiasaan
membaca dengan benar/ shahih. Kebiasaan itu akan memantulkan alam bawah
sadar untuk memahami logika sebuah informasi. Melalui kesadaran dan nalar
kritis seseorang tidak akan mudah menerima sejumlah berita yang pada
kenyataannya bersifat hoax. Kesadaran membaca yang sehat akan
menyelamatkan seseorang dari stigma persangkaan orang lain terhadap kita.
Dalam posisi yang sama, kita juga akan terbebas dari berita palsu (hoax). Salah
satu jalannya adalah dengan memperbaharui sumber bacaan buku atau karya
ilmiah yang otoritatif sehingga mendorong seseorang berpikir dengan kritis
terhadap suatu berita yang telah beredar di tengah-tengah kita.
Dari sejumlah problema yang meliputi pendidikan Islam di Indonesia di atas
maka kehadiran pembaharuan pendidikan Islam kontemporer diberikan
kesempatan yang seluas-luasnya bagi para intelektual muslim dalam
menemukan konsep dan model pembaharuan pendidikan Islam. Terdapat
sejumlah faktorfaktor di luar yang pastinya mengalami benturan baik aspek

9
Tilaar H.A.R, Membenahi Pendidikan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 2002).
politik, teologi, sosial, dan kebudayaan menjadi alasan yang dapat kita lihat
dalam sejarahnya.10

B. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif melalui studi pustaka dengan
menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan deskriptif dan komparatif. 11
Metode analisis deskriptif yang digunakan bermaksud mengungkap awal mula
munculnya Sekolah Islam Terpadu di Indonesia melalui kajian literatur dengan
cara mengumpulkan, mengklasifikasikan, dan menganalisi data-data dari
berbagai sumber yang relevan kemudian dilakukan pengamatan dan
observasi. Kriyantono menjelaskan bahwa penelitian kualitatif yaitu penelitian
12

yang menggambarkan suatu masalah atau fenomena yang lebih mementingkan


analisis dan hasilnya dapat digeneralisasi.13

C. Orientasi Pemikiran Agama Islam


1. Orientasi Sekularis
Orientasi sekularis dengan tegas memisahkan antara agama dan politik
serta menuju pada degradasi agama yang diarahkan ke ruang privat dan konteks
individualistis. Sekularis juga berpendapat bahwa perumusan landasan hukum
dimasyarakat dan penataannya berdasarkan sistem nilai baik untuk mereka
yang beriman maupun yang tidak beriman. 14 Kaum sekularis muslim
mendukung pernyataan tersebut dengan premis bahwa di dalam Al Quran surat
Al Baqoroh ayat 256 dijelaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama,
sedangkan implikasi agama dalam tatanan negara dan masyarakat dapat
mengakibatkan bentuk paksaan.15 Siapapun dengan agama yang berbeda dapat
menjadi warga negara yang sama, hal ini bisa terjadi jika negara tidak ikut
campur dalam urusan agama, sehingga faham sekularisme secara umum
berpandangan bahwa agama tidak ikut campur dalam persoalan keduniaan
meliputi politik dan sosial budaya.16 Jadi agama hanya mengatur kegiatan ritual
ibadah seseorang saja, sedangkan standar etika dan tingkah laku seseorang
dalam masyarakat diambil dari nilai-nilai selain dari sumber nilai agama.
Sekularisme menawarkan faham demokasi dan pemerintahan demokratis,
mereka menerapkan pluralisme, kebebasan politik, dan pergantian
pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip demokratis, sehingga penerapan
syariat Islam dalam pemerintahan tidak dapat dilakukan karena menurut
mereka penggabungan agama dan pemerintahan akan membatasi kebebasan
dalam berdemokrasi.17 Kaum sekularisme berkeinginan membuka jalan
masuknya ide-ide liberalisme Barat diantaranya yaitu pemerintahan parlemen,
konstitusioanlisme, pluarisme intelektual, dan kebebasan sipil, walaupun secara
bertahap dan difilter meyesuaikan dengan prinsip-prinsip agama Islam. 18
Sekularisme dalam Islam adalah kondisi dimana diterimanya hukum dan
istitusi sosial serta politik selain Islam dalam kehidupan umum sebagaimana
10
Arif Rahman, “Reformasi Dan Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia,” Jurnal Literasi
Volume VII, No. 2 (2016).
11
Sudaryono, Metode Penelitian Pendidikan, Pertama. (Jakarta: Prenada Media, 2016).
12
Ahmadi Lubis, “Sekolah Islam Terpadu Dalam Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia,” Jurnal
Penelitian Sejarah Dan Budaya 4, no. 2 (July 17, 2019): 1077–1095.
13
Rachmat Kriyantono, “Riset Komunikasi,” Jakarta: kencana prenada media group (2006).
14
Saadallah, “Muslim Orientations and Views on Education.”
15
Saadallah, “Muslim Orientations and Views on Education.”
16
Tomo Parangrangi, “Sekularisme Dalam Perkembangan Islam” (n.d.): 7.
17
Saadallah, “Muslim Orientations and Views on Education.”
18
Parangrangi, “Sekularisme Dalam Perkembangan Islam.”
dijelaskan oleh Fazlur Rahman. 19 Hukum dan nilai sosial dalam kehidupan
masyarakat bertahap bergeser yang awalnya bersumber dari nilai-nilai agama
Islam menuju ide-ide sukulerisme barat yang mengandalkan hasil interpretasi
dari akal dan budaya yang berkembang. Umat Islam diarahkan hanya bergelut
dalam ritula-ritual ibadah saja sehingga tidak ikut serta dalam mengatur dan
membangun nilai-nilai peradaban di dalam masyarakat dan pemerintahan. Hal
tersebut sebenarnya tidak sejalan dengan prinsip ajaran Islam yang rahmatan
lil’aalamin dan universal, yang mengatur segala bidang kehidupan dan masuk ke
dalam setiap sendi-sendi kehidupan manusia sehingga manusia mengamalkan
seluruh ajaran dan ketentuan (syariat) Islam. Hal ini didukung oleh para ilmuan
Islam yaitu para teolog (mutakallim), mufassirin, filosof Islam, sejarawan dan
lainya, walaupun mereka berfokus pada kajian agama Islam di bidangnya
masing-masing.20
Para ulama yang memiliki peran penting dalam internalisasi nilai-nilai Islam
di kehidupan masyarakat menjadi terbatasi dengan adanya faham sekularisme.
Peran ijtihad ulama sebagai prinsip gerakan Islam dalam mengimplementasikan,
menjabarkan dan mengkolerasikan ajaran agama Islam yaitu syariat dan akhlak
dengan persoalan-persoalan baru yang muncul dimasayarakat akibat dari
perkembangan zaman sehingga terjadi akulturisasi dan modernisasi. 21 Ketika
terjadinya kemandekan pemikiran Islam dan ditutupnya pintu ijtihad maka
tercatat sekularisme masuk kedalam sejarah Islam menawarkan ide-ide
sekularisme barat sehingga mempengaruhi generasi baru kaum intelektual,
penulis, ulama dan profesional. Ide sekularisme pada awalnya muncul di Eropa
berdasarkan falsafat yang berkembang diantaranya yaitu positifisme,
pragmatisme, fenomenologi, dan eksistensialisme yang diserap dari filsafat
Yunani kuno yang mereka gunakan sebagai suatau metode dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan segala penerapannya. 22

2. Orientasi Tradisionalis
Secara etimologi, tradisional mengandung arti bahwa kecenderungan untuk
melakukan sesuatu berdasarkan yang dilakukan oleh pendahulu karena masa
lampau dipandang sebagai suatu bentuk otoritas yang telah mapan. 23
Tradisionalisme dalam Islam merupakan bentuk ketaatan umat Islam terhadap
warisan Islam tradisional, baik berdasarkan pemikiran madzhab yang empat
maupun tata cara kehidupan Islam tradisional lainnya. Kaum tradisionalis
menolak adanya perubahan apa pun dalam Islam, karena Islam sejati
berdasarkan ajaran Nabi Muhammad SAW yang bersumber dari Al Quran dan
hadits melalui hasil interpretasi dari ijtihad ulama empat madzhab dan
dipertahankan dalam tradisi Islam.24 Paham tradisional banyak dianut oleh
masyarakat Indonesia dan yang paling popular diantaranya madzhab Syafi’i
yang telah menjadi madzhab paling banyak penganutnya serta menjadi tradisi
yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Kaum tradisionalisme menganggap kedudukan akal yang rendah ditambah
dengan merasa cukup dengan pengetahuan agama Islam yang mereka miliki
sehingga membatasi diri dari mempelajari agama Islam dengan lebih dalam lagi
19
Parangrangi, “Sekularisme Dalam Perkembangan Islam.”
20
Parangrangi, “Sekularisme Dalam Perkembangan Islam.”
21
Parangrangi, “Sekularisme Dalam Perkembangan Islam.”
22
Parangrangi, “Sekularisme Dalam Perkembangan Islam.”
23
Henni Marlinah, Pemikiran Islam Tradisional dan Modern di Indonesia (Study Komparatif
Pemikiran Harun Nasution dan Rasyidi dalam Perspektif Teologis), 2018, accessed October 5, 2022,
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/39383.
24
Saadallah, “Muslim Orientations and Views on Education.”
dan berfokus pada rutinitas ibadah yang telah menjadi tradisi yang ada,
akhirnya berdampak pada munculnya sikap taqlid yang semakin berkembang di
dalam masyarakat.25 Seorang muslim yang taqlid terkadang melaksanakan
ajaran agama Islam hanya berdasarkan tradisi yang telah berjalan dari generasi
ke genarasi tanpa melihat dasar hukum dan ketentuan perintahnya dalam Al
Quran, hadits, dan ijma’ ulamanya.
Mereka juga memandang bahwa manusia adalah makluk lemah yang tidak
dapat berbuat sesuai dengan kemauannya karena kehendak dan kekuasaan
Tuhan atas manusia adalah mutlak. 26 Menurut Harun Nasution kriteria teologi
tradisional dibagi menjadi tiga yaitu, Pertama, mengakui kelemahan akal untuk
mengetahui sesuatu, kedua, mengakui ketidakbebasan dan ketidakpastian
manusia dalam berkehendak dan berbuat, dan ketiga, mengakui semua yang
terjadi di alam semesta ini adalah menurut kehendak mutlak Allah, sehingga
adanya ketidakpastian sunatullah dan hukum kausalitas yang tidak diketahui
oleh manusia.27
Dalam konteks sosial budaya di Indonesia, Islam tradisionalis sangat lekat
dengan kalangan pedesaan, dimana banyak terdapat pesantren dengan peranan
dan kepribadian seorang kyai yang sangat berpengaruh dan kharismatik. Kaum
tradisionalis Indonesia sering digolongkan ke dalam organisasi sosial
keagamaan terbesar bernama NU, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan
pada tahun 1926 di Surabaya, oleh beberapa ulama pengasuh pesantren, di
antaranya K.H. Hasyim Asy'ari (Tebu Ireng) dan K. Wahab Hasbullah (Tambak
Beras).28

3. Orientasi Modernis
Perkembangan dan perubahan dalam Islam sulit untuk dicegah karena
pengaruh globalisasi berupa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mendorong ke dalam modernisasi. 29 Perkembangan ilmu pengetahuan barat
sangat berpengaruh pada perubahan orientasi Islam, ditambah lagi melalui
kemajuan teknologi mempercepat proses internalisasi faham-faham modernis
yang bersumber dari liberalis ke dalam agama Islam, sehingga orientasi
tradisional Islam secara bertahap terkikis oleh perkembangan zaman menuju
modernisasi. Perkembangan ilmu pengetahuan barat dan kemajuan teknologi
yang telah menjadi kebutuhan hidup manusia, menjadi hal yang baru dan
menjadi materi baru dalam ruang ijtihad para ulama sebagai proses akulturisasi
budaya barat dan Islam sehingga proses masuknya budaya barat yang ke dalam
Islam melalui filterisasi syariat atau ketentuan Islam yang bersumber dari Al
Quran, hadits, dan ijma ulama yang ketat.
Selain itu, dengan bertambahnya jumlah kaum muda terdidik yang
menerima pengetahuan ilmiah menyuburkan sikap skeptis dan kritis pada
agama dan tradisi.30 Kaum muda terdidik dengan pengetahuan baru yang
25
Marlinah, Pemikiran Islam Tradisional dan Modern di Indonesia (Study Komparatif Pemikiran
Harun Nasution dan Rasyidi dalam Perspektif Teologis).
26
Marlinah, Pemikiran Islam Tradisional dan Modern di Indonesia (Study Komparatif Pemikiran
Harun Nasution dan Rasyidi dalam Perspektif Teologis).
27
Marlinah, Pemikiran Islam Tradisional dan Modern di Indonesia (Study Komparatif Pemikiran
Harun Nasution dan Rasyidi dalam Perspektif Teologis).
28
Marlinah, Pemikiran Islam Tradisional dan Modern di Indonesia (Study Komparatif Pemikiran
Harun Nasution dan Rasyidi dalam Perspektif Teologis).
29
M. D. Huda B. Maunah A. Taufik, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam, 1st ed.
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), accessed October 5, 2022,
https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=544568.
30
B. Maunah, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam.
mereka miliki secara bertahap melihat tradisi Islam yang berlangsung perlu
adanya perubahan ke dalam modernisasi. Kaum modernis berpandangan bahwa
cara-cara tradisional tidak seharusnya dipatuhi secara kaku dan buta, tetapi kita
harus memahami pesan-pesan moral yang terkandung dalam tradisi dan
berusaha mewujudkan pesan tersebut sesuai dengan kondisi sosial budaya yang
ada saat ini. 31
Pada akhir abad ke-19 kaum modernis muslim menyadari kebutuhan bagi
pembaruan dalam pemerintahan, hubungan-hubungan sosial dan pendidikan.
Mereka berpandangan bahwa pintu ijtihad dalam Islam perlu dibuka karena
suatu pertimbangan bahwa dibutuhkannya penyesuaian-penyesuaian hukum
dalam pengaturan hidup praktis, tetapi tetap sesuai dengan prinsip-prinsip etika
yang terkandung dalam Al Quran dan Al Hadits. Tokoh-tokoh yang mewakili
pemikiran ini diantaranya yaitu Sayyid Ahmad Khan (wafat tahun 1898),
Jamaluddin Al- Afghani (wafat athun 1897), Muhammad Abduh (wafat tahun
1905) dan sorang filsuf dan sejarawan Shibli Baumani (wafat tahun 14). 32
Orientasi modernis mendorong seorang muslim untuk condong ke dalam
faham materialisme barat yang bersifat duniawi, disisi lain dia juga harus tetap
menjaga nilai-nilai jaran Islam yang bersifat ukhrowi. Jika terlalu condong pada
kehidupan duniawi dan meninggalkan ukhrowi maka ia akan masuk ke dalam
jurang kesesatan, sedangkan jika terlalu condong ke dalam kehidupan ukhrowi
semata dengan meniggalkan kehidupan duniawi maka akan berakibat pada
ketertinggalan. Oleh karena itu, untuk menjaga keseimbangan dalam rangka
mewujudkan kemajuan umat Islam dengan tetap berpegang teguh pada nilai-
nilai Islam diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Umat Islam harus menempa keimanan/keyakinan, kebenaran, dan
kemurnian akidah Islam.
b. Umat Islam harus menguasai sains dan teknologi sebagai kunci menjadi
bangsa yang unggul dalam bidang ekonomi, industri, militer, dan politik.
c. Umat Islam harus mampu mencapai sosial dan ekonomi yang memadai,
dengan bekerja keras dan meninggalkan kemalasan sehingga tidak lagi
menjadi umat yang lemah, yang bergantung kepada bangsa lain dan
berusaha semaksimal mungkin dengan teknologi mutakhir untuk menggali
dan memanfaatkan sumber daya alam.
d. Umat Islam harus menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam (Ukhuwah
Islamiyah) dan jangan mudah di adu domba hanya dengan masalah
perbedaan paham, etnis, dan golongan.
e. Menyiapkan generasi muda Islam sebagai penerus yang memiliki
kemampuan berfikir jauh kedepan diberbagai bidang, baik bidang teknologi,
politik, ekonomi, hukum, militer, sosial budaya, yang tetap berpegang teguh
pada nilai-nilai Islam, sehingga mampu menginspirasi perubahan yang
terjadi dan mampu menguasai perubahan tersebut.33

4. Orientasi Fundamentalis
Secara etimologi fundamentalisme berasal dari kata fundament yang berarti
dasar. Sedangkan secara terminologi fundamentalisme memiliki arti sebagai
aliran pemikiran keagamaan yang menafsirkan teks keagamaan dengan rigid

31
B. Maunah, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam.
32
B. Maunah, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam.
33
B. Maunah, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam.
dan literalis.34 Istilah fundamentalisme pada awalnya digunakan oleh kaum
Kristen pada awal abad ke-20 M sebagai pembeda dari kaum Protestan yang
lebih liberal, rusak dan menyimpang dari keimanan Kristen. 35 Fundamentalisme
muncul dalam Islam sebagai respon atas munculnya persolaan-persoalan
globalisasi, fragmentasi, dan benturan peradaban, namun dalam
perkembangannya mengalami pemutarbalikan (distorsi) makna dimana sering
digunakan sebagai istilah yang negatif sehingga meimbulkan suatu kesan
tertentu, misalnya fanatisme, ekstremisme, atau bahkan terorisme dalam
mewujudkan dan mempertahankan keyakinan keagamaan mereka.
Ada beberapa pandangan yang berbeda mengenai faktor penyebab
munculnya fundamentalisme walaupun Sebagian besar memiliki beberapa
kesamaan. Menurut Hamid dan Hilal Dessauki ada empat faktor utama yang
menyebabkan munculnya fundamentaslime, yaitu faktor budaya, sejarah, sosial
dan politik.36 Faktor budaya yaitu kegagalan kaum tradisionalis dalam
memberikan respon terhadap sekularisasi, dan kegagalan kaum intelektual-
modern merumuskan sinteses Islam dan modernitas. Keagresifan sikap elit
politik barat, ideologi sekuler yang mengalami kemunduran, Krisi
berkepanjangan di Palestina, instabilitas politik dunia arab, pemurnian agama
oleh Muhammad Abdul Wahab, dan tokoh-tokoh modernis lainnya seperti
abduh dan al Afgani sebagai faktor sejarah awal yang memberikan pengaruh
baik positif maupun negative terhadap munculnya fundamentalisme. 37
Fundamentalisme memiliki beberapa karakter sebagai ciri gerakannya,
diantaranya yaitu Pertama, kecenderuagan mereka yang menginterpretasikan
secara literal teks-teks suci agama. Kaum fundamentalis beranggapan bahwa
kesucian agama akan tereduksi jika menerima pemahaman kontekstual atas teks
agama. Kedua, menolak pluralisme dan relativisme, karena bagi mereka,
pluralisme merupakan distorsi pemahaman terhadap ajaran agama. Ketiga,
Tafsir agama sebagai monopoli kebenaran. Kaum fundamentalis biasanya
cenderung menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas penafsir agama yang
paling absah dan paling benar, sehingga cenderung mengaggap sesat kelompok
yang tidak sealiran dengan mereka. Keempat, gerakan fundamentalisme
mempunyai korelasi dengan fanatisme, ekslusifisme, intoleran, radikalisme dan
militanisme. Kaum fundamentalisme selalu mengambil bentuk perlawanan
terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama.

D. Orientasi Pendidikan Islam


1. Pendidikan Islam Yang Berorientasi Kepada Pola Pendidikan Modern
Barat
Mereka berpandangan bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup
yang dialami oleh Barat sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern yang telah mereka capai. Mereka juga berpendapat bahwa
apa yang dilakukan oleh bangsa Barat saat ini tidak lain adalah perkembangan
ilmu pengetahuan dan budaya yang pernah berkembang di dunia Islam. Atas
dasar ini, maka untuk mengembalikan kekuatan dan kejayaan umat Islam,
sumber kekuasaan dan kemakmuran harus dikuasai kembali. Ini penguasaan
tersebut harus dicapai melalui suatu proses pendidikan sehingga harus meniru

34
Muhammad Wasith Achadi, “Fundamentalisme Dalam Islam,” Al Ghazali 3, no. 1 (June 27,
2020): 74–88.
35
Achadi, “Fundamentalisme Dalam Islam.”
36
Achadi, “Fundamentalisme Dalam Islam.”
37
Yusril Ihza Mahendra, Modernisasi Dan Fundamentalisme Dalam Islam (Jakarta: Paramadina,
1999).
pola pendidikan yang dikembangkan oleh dunia Barat. Seperti sebelumnya
dunia Barat telah menyerupai dan mengembangkan sistem pendidikan dunia
Islam. Dalam hal ini, upaya reformasi pendidikan Islam adalah dengan
mendirikan sekolah-sekolah dengan pola sekolah Barat baik sistem maupun isi
pendidikannya. Selain itu, pengiriman mahasiswa ke dunia Barat, khususnya ke
Prancis untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern banyak
digalakkan oleh penguasa di berbagai negara Islam.38
Reformasi pendidikan dengan Pola Barat ini, awalnya muncul di Turki
Usmani pada akhir abad ke-17 setelah kalah perang dengan berbagai negara
Eropa Timur saat itu, yang menjadi cikal bakal munculnya upaya sekularisasi
Turki yang berkembang kemudian dan membentuk Turki modern. Sultan
Mahmud II, merupakan pelopor reformasi pendidikan Islam di Turki. Pola
reformasi pendidikan yang berorientasi ke Barat juga tampak pada upaya
Muhammad Ali Pasha di Mesir yang berkuasa pada tahun 1805-1848. Ia resmi
menjadi Pasya sebagai wakil resmi Sultan Turki di Mesir. Namun, ia menyatakan
dirinya sebagai penguasa otonom, independen dari pemerintahan sultan.
Muhammad Ali memainkan peran dalam mengusir pasukan Prancis dari Mesir.
Dia buta huruf, tetapi dia tahu betapa pentingnya arti pendidikan dan ilmu
pengetahuan bagi kemajuan dan kekuatan suatu negara. Muhammad Ali Pasha,
untuk memperkuat posisinya dan sekaligus melakukan reformasi pendidikan di
Mesir dengan mendirikan berbagai sekolah yang meniru sistem pendidikan dan
pengajaran Barat. Di sekolah-sekolah ini, berbagai macam ilmu diajarkan seperti
yang ada di Barat. Bahkan untuk memenuhi tenaga guru, ia mendatangkan guru-
guru dari Barat (terutama dari Perancis). Selain itu, Muhammad Ali mengirim
beberapa muridnya ke Barat, dengan tujuan agar mereka menguasai ilmu
pengetahuan Barat, untuk kemudian dikembangkan di Mesir.

2. Pendidikan Islam yang Berorientasi Pada Sumber Murni Islam


Muhammadbin Abd al-Wahab memprakarsai pola reformasi ini. Kemudian
diumumkan kembali oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh (akhir
abad ke-19 M). Menurut Jamaluddin al-Afghani, memurnikan ajaran Islam
dengan kembali kepada Al-Qur'an dan Hadits dalam arti yang sebenarnya adalah
tidak mungkin.39 Dia percaya bahwa Islam cocok untuk semua bangsa, segala
usia, dan semua keadaan. Pola ini menyatakan bahwa Islam itu sendiri
merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan peradaban dan ilmu
pengetahuan modern. Islam sendiri penuh dengan ajaran dan terutama
mengandung potensi untuk membawa pertumbuhan dan kemakmuran serta
kekuatan bagi umat manusia. Dalam hal ini, Islam telah membuktikannya pada
masa kejayaannya. Di sana merupakan pertentangan antara ajaran Islam dengan
kondisi yang dibawa oleh perubahan zaman dan kondisi yang berubah.
Penyesuaian dapat diperoleh dengan membuat penafsiran baru terhadap ajaran
Islam, sebagaimana tertuang dalam Al-Qur'an dan Hadist. Untuk interpretasi ini
diperlukan ijtihad, oleh karena itu ijtihad harus dibuka. Bentuk reformasi yang
diharapkan dari model ini adalah hilangnya dari dikotomi antara pendidikan
Eropa dan pendidikan tradisional di Mesir.
Keharusan membuka ijtihad dan pemberantasan peniruan lebih jauh
membutuhkan kekuatan akal. Perlu pendidikan intelektual. Menurut
Muhammad Abduh, Al-Qur'an tidak hanya berbicara kepada hati tetapi juga
pikiran mereka. Islam, menurutnya, adalah agama yang rasional, dan dalam
Islam akal memiliki kedudukan yang tinggi. Keyakinan akan daya nalar
38
Zulhairini, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1997).
39
Zulhairini, Sejarah Pendidikan Islam.
merupakan dasar peradaban suatu bangsa dan merupakan alasan bagi kemajuan
dan ilmu pengetahuan. Menurut Muhammad Abduh juga, bahwa sains modern
dan Islam sejalan, karena dasar sains modern adalah sunnatullah. 40 Sebaliknya,
dasar Islam adalah wahyu Tuhan. Keduanya berasal dari Tuhan. Oleh karena itu,
umat Islam harus menguasai keduanya. Umat Islam harus mempelajari dan
mengutamakan ilmu pengetahuan modern selain ilmu agama.

3. Pendidikan Islam yang Berorientasi Nasionalisme


Faktor yang menyebabkan bangkitnya reformasi. Pertama, motor penggerak
Islam yang memotivasi umatnya untuk melakukan reformasi (tajdid), dan juga
kondisi umat Islam yang tertinggal di bidang pendidikan. Kedua, pengaruh para
reformis dari Timur Tengah, seperti Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh,
hingga Rasyid Ridha. Tekanan dan perlakuan buruk dari kolonial belanda telah
melahirkan pola reformasi dalam hal nasionalisme. Nasionalisme muncul
bersamaan dengan perkembangan pola kehidupan modern. Itu dimulai di Barat.
Negara-negara Barat mengalami perkembangan nasionalisme yang kemudian
berujung pada politik. Ini mendorong negara-negara Timur dan negara-negara
terjajah lainnya untuk mengembangkan nasionalisme mereka. Umat Islam
menemukan fakta bahwa mereka terdiri dari berbagai bangsa dengan latar
belakang dan sejarah perkembangan budaya yang berbeda. Mereka hidup
bersama dengan pemeluk agama lain tetapi sebangsa. Hal ini juga mendorong
berkembangnya rasa nasionalisme di dunia Islam. Disana juga merupakan suatu
keyakinan di kalangan umat Islam reformisme, bahwa pada hakikatnya ajaran
Islam dapat diterapkan dan oleh semua waktu dan tempat. Oleh karena itu,
gagasan reformasi yang berorientasi pada nasionalisme berada di bawah ajaran
Islam. Kelompok nasionalisme ini, berusaha memperbaiki kehidupan umat Islam
dengan memperhatikan situasi dan kondisi objektif umat Islam yang
bersangkutan. Dalam upaya ini, tidak hanya mengambil unsur-unsur budaya
Barat yang maju, tetapi juga memilih barang-barang dari warisan budaya bangsa
yang bersangkutan.

E. Gagasan Sayyed Husein Nasr Terhadap Orientasi Pendidikan Islam


a. Gagasan Pendidikan Islam Hossein Nasr
Gagasan Pendidikan Islam Hossein Nasr Seyyed Hossein Nasr menyatakan
bahwa pendidikan Islam bukan hanya pengajaran (ta’lim), namun lebih dari itu.
Pendidikan Islam sudah seharusnya mampu melatih seluruh potensi pada diri
siswa (tarbiyah). Selanjutnya Nasr juga menyatakan bahwa “guru” tidak cukup
didefinisikan dengan muallim (penyampai pengetahuan) namun lebih tepat
dengan murabbi (pelatih jiwa dan kepribadian). Dengan demikian, pendidikan
Islam melatih pikiran, jiwa dan keseluruhannya. Ia tidak pernah memandang
pengehuan (transfer of knowledge) tanpa dibarengi dengan kematangan moral
dan spiritual.41 Dalam konteks pendidikan saat ini model pendidikan Nasr dapat
ditarik pada pendidikan kognitif, afektif dan psikomotorik. Ketiga aspek
diajarkan secara seimbang dan tidak didominasi oleh sebagaian saja. Dengan
semacam ini, akan diperoleh manusia yang memiliki kualitas intelektual dan
kualitas spiritual sehingga antara pikir dan dzikir dapat berjalan bersama.
Menurut Nasr, pendidikan Islam harus meliputi segala kehidupan muslim.
Pertama pendidikan dari keluarga yang mengajarkan dasar-dasar dari
40
Muhammad Jamaluddin, “Muhammad Jamaluddin, Rekonstruksi Pendidikan Islam Dalam
Perspektif Muhammad Abduh, (Jurnal Pendidikan Islam), Nomor 1 (2019), 110,” Jurnal Pendidikan
Islam I (2019): 110.
41
Abu Muhammad Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015).
pengetahuan agama, adat dan budaya. Pada masa sekolah awal sebaiknya anak
dimasukkan ke sekolah-sekolah agama untuk membangun pengetahuan dan
kemampuan keagamaan. Selanjutnya memasuki madarasah dan dilanjutkan ke
jenjang universitas.42 Selain itu di beberapa lembaga pendidikan memiliki
alur/tingkat pendidikan berjenjang sehingga materi yang diterima akan semakin
berkembang pula meskipun demikian kurikulum sudah ditetapkan dan
distandarkan negara. Masjid yang merupakan tempat ibadah umat Islam
sebaiknya terintegrasi dengan lembaga pendidikan. Dengan adanya tempat
ibadah serta pengkajian al-qur’an dan agama nilai nilai ilmu pengetahan tidak
terlepas dari ajaran agama Islam. Hal tersebut akan membuat atmosfir dimana
ilmu agama yang menjadi dasar dan semangat dalam mempelajari ilmu sains,
begitu juga sebaliknya ajaran-ajaran sains akan memperkuat keagamaan siswa
yang mempelajarinya. Berkenaan dengan kurikulum secara general Nasr
mengklasifikasinya menjasi dua kategori, yaitu;
a. Sains keagamaan yang meliputi; hukum ilahi (syariah), prinsip-prinsip
(ushul), Islamic jurisprudence (fiqh), tafsir, hadis dan tauhid
b. Sains intelektual yang meliputi; matematika, sain kealaman, filsafat, logika dan
lain sebagainya.43
Di beberapa sekolah, pengajaran dua kategori ini disampaikan secara
integrasi sehingga mampu mengantarkan siswa pada keduanya. Selain itu yang
menjadi dari model kurikulum di atas adalah mampu mengantarkan siswa unutk
memperoleh kebijaksanaan ilahi (al Hikmah al Ilaiyah) Model pembelajaran
pendidikan Islam seperti yang disampiakan di atas bagi Seyyed Hossein Nasr
memiliki tujuan untuk menghantarkan peserta didik untuk mencapai
pengetahuan tertinggi tentang tuhan yang merupakan tujuan hidup manusia.
Kesimbangan ilmu sains dan ilmu agama akan mampu mengantarkan manusia
untuk mendapatkan kebahagiaan hidup di dunia, sedangkan tujuan ultimatnya
adalah kebahagiaan hidup yang abadi di alam baka (akhirat). 44 Melihat urgensi
pendidikan dalam pengembangan mutu SDM umat Islam, Nasr menambahkan
bahwa sistem pendidikani Islam klasik telah mampu melahirkan ulama’
sekaligus intelek sepatut menjadi model bagi pengembangan model pendidikan
saat ini agar pendidikan tidak kehilangan ruhnya baik kepada tuhan maupun ke
sesama makhluk dalam arus dunia modern. Jika hal tersebut dapat diwujudkan
maka kebangkitan umat Islam sebagai bangsa terbaik dapat diukir kembali
dalam sejarah peradaban manusia.

b. Islamisasi ilmu Pengetahuan


Konflik yang terjadi antara agama dan sains menimbulkan dikotomi keilmuan
antara ilmu agama dan sains, seakan-akan dua ilmu ini tidak akan pernah
berjalan bersama. Hal tersebut terjadi hingga saat ini sehingga muncul ide-ide
untuk menggabungkan antara agama (khususnya agama Islam) dengan sain
dalam bingkai “Islamisasi sains”. Salah satu tokoh yang mengusung ide tersebut
adalah Seyyed Hossein Nasr seorang tokoh muslim yang sering mengkritisi
keadaan serta permasalahan yang terjadi dalam tubuh umat Islam. Selain
Hossein Nasr ada beberapa tokoh yang juga mengusung ide tersebut seperti Al
Faruqi dan Naquib Al Attas melihat kenyataan bahwa pada hakikatnya Islam
mendorong umatnya untuk mempelajari sains.
Permasalahan/konflik antara agama dengan sain bukan bersumber dari
ajaran agama Islam Islam. Permasalahan tersebut muncul pada abad
42
Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam.
43
Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam.
44
Iqbal, Pemikiran Pendidikan Islam.
pertengahan ketika otoritas gereja menjatuhkan hukuman kepada Galileo Galilei
pada tahun 1663. Hukuman tersebut dilatar belakangi oleh teori Copernicus
(bahwa bumi dan planet-planet mengelilingi matahari [heliosentris]) oleh
Galileo Galilei. Teori tersebut berlawan dengan teori Ptolomeus yang didukung
oleh Aristoteles dan otoritas gereja yang meyakini bahwa bumi sebagai pusat
alam semesta (geosentris). Seseorang tentu tidak bisa mempercayai kedua teori
tersebut akibatnya apabila ia mempercayai kebenaran agama (kristen) akan
belawan dengan kebenaran ilmu pengetahuan, sedangkan apabila mengikuti
kebenaran ilmu pengetahuan akan mengingkari kebenaran agama dan dituduh
sebagai kafir.45 Hal inilah yang menjadi awal dikotomi antara agama (kristen)
dan sains. Terdapat kesalahan istilah yang seharusnya hanya berlaku untuk
agama kristen namun digeneralisasikan dengan kata agama yang berdampak
memberi stimulus bahwa semua agama berlawanan dengan sains.
Sejarah dikotomi agama di barat menyebar hingga paradigma tersebut kini
menjadi paradigma global termasuk agama Islam. Dalam ajaran agama Islam hal
tersebut sudah pasti menjadi paradigma yang bertolak belakang karena agama
Islam menganjurkan manusia unutk mengemabngkan ilmu pengetahuan. Salah
satu tokoh muslim yang intens menanggapi permasalahan tersebut adalah
Seyyed Hossein Nasr. Ia menolak dikotomi keilmuan karena sesungguhnya
anatara agama Islam dan sains saling berhubungan. Bahkan kandungan ajaran
agama Islam memerintahakan umat Islam untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan.
Nama kitab suci umat Islam berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Al
Qur’an (bacalah), Al Furqan (ketajaman) dan Ummul Kitab (induk kitab). Al
Qur’an sendiri mengacu secara praktis dalam setiap babnya untuk
mementingkan inteleksi dan ilmu pengetahuan dan ayat pertama kali
diturunkan dengan bacaan (iqra’), mengimplikasikan pengetahuan dan sains
(ilm menjadi ta’lim (mengajar) dan allama (memahami). 46
Seyyed Hossein Nasr dalam mengemukakan gagasan Islamisasi sains, Ia
menulis buku dengan judul Science and Civilisation in Islam (Sains dan
Peradaban di Dalam Islam) pada tahun 1968 dan diterbitkan oleh Hardvard
University Press, Cambridge, Massachusetts. Dalam buku tersebut ia
mengungkapkan perkembangan sains dan agama pada masa kejayaan Islam
dapat berjalan secara harmonis. Bagaimana para ulama mengembangkan sains
dengan spirit keagamaan sehingga tujuan dari pengembangan keilmuan tersebut
sejalan dengan tujuan agama yaitu menuju Allah SWT. Dalam perumpamaan itu
ia mengumpamakan bahwa sains yang dipelajari oleh para ulama seperti ranting
dalam sebuah pohon yang memiliki satu kesatuan dengan batangnya. 47

c. Kritik Nasr Terhadap Ilmu Pengetahuan Barat


Hossein Nasr tinggal di barat cukup lama sejak menginjak usia 12 tahun
paska perang dunia ke-II seperti yang telah di jelaskan pada pembahasan
sebelumnya. Dari hal tersebut ia memberikan kritik terhadap
pemahaman/konsep ilmu pengetahuan yang tumbuh dan berkembang di barat.
Ia menilai bahwa ilmu pengetahuan (sains) barat bercirikan positivistik artinya

45
Kurniawan, “Dikotomi Agama Dan Ilmu Dalam Sejarah Umat Islam Serta Kemungkinan
Pengintegrasiannya,” STAIN KUDUS 1 (2013), ,
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Fikrah/article/view/309.
46
Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan Dan Kesucian. Translated by Suharsono (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997).
47
Seyyed Hossein Nasr, Sains Dan Peradaban Di Dalam Islam, Trans. J. Mahyudin (Bandung:
Pustaka, 1968).
nyata, terukur, teramati, pasti dapat diprediksi, dan dapat diulang. Positivistik
barat tidak dapat menjangkau hal hal yang bersifat metafisika, sebagaimana
yang diyakini oleh Nasr. Hal tersebut menjadi cacat dalam perkembangan ilmu
pengetahuan di barat, karena tidak semua pengetahuan dapat didekati dengan
menggunakan pendekatan positivistik seperti alam gaib, kehidupan setelah
kematian dan lain sebagainya.
Melihat fakta yang terjadi dalam konsep yang berkembangan di barat, Nasr
merasa perlu untuk melakukan islamisasi ilmu dalam rangka mengembangkan
teori positivistik yang hanya terbatas pada suatu yang nampak saja guna dapat
menangkap ilmu pengtahaun yang tak bisa diukur secara wujud bendanya.
Dengan adanya islamisasi ilmu maka perkembangan ilmu pengetahuan untuk
menjangkau hal-hal yang tak nampak akan lebih mudah serta memasukkan
value (nilai) dalam upaya pengembagan ilmu pengtahuan. Karena bagian dari
positivistik adalah bebas nilai (value free) yang hal tersebut sering kali
melanggar norma-norma kemanusiaan. Dengan islamisasi ilmu pengetahuan
maka pengembangan ilmu pengetahuan akan memasukkan nilai (value bound)
dalam pengamabangannya untuk kesejahteraan umat manusia.
Seyyed Husein Nasr memfokuskan dirinya untuk mengakaji masalah
masalah yang berkaitan dengan ajaran agama Islam. Keinginan tersebut muncul
bukan di awal-awal masa studinya akan tetapi keinginan tersebut justru muncul
di puncak pendidikannya (doktoral) setelah berdiskusi dan bertemu dengan
banyak orang. Meski berlawanan dengan objek kajiannya pada bachelor dan
magister yang lebih pada pengkajian ilmu sains. Namun menurut hemat
pemakalah keinginan tersebut justru muncul ketika ia melihat bahwa dalam
dunia modern ada/muncul dikotomi antara pendidikan agama dan sains yang
menurut Nasr kedua ilmu tersebut tidaklah terpisah karena antara satu dengan
yang lain saling menguatkan serat memiliki keterikatan yang erat.
Pemikiran Hossein Nasr secara tajam mengkritisi kondisi muslim dan
bagaimana seharusnya Islam diterapkan dari berbagai bidang politik, filsafat,
seni hingga pendidikan. Menurut Nasr pendidikan Islam tidak boleh
memisahkan (ilmu) agama dan sains, meski dalam hal ini ia menekankan
pendidikan agama pada pendidikan dasar (TK hingga SMP) dan sains pada
jenjang berikutnya (SMA hingga perguruan tinggi). Pemisahan pendidikan
agama pada pendidikan dasar dan sains pada pendidikan selanjutnya bukan
merupakan dikotomi kelas pengajaran agama dan sains namun konten atau
muatan masing masing ilmu artinya agama dan sains tetap diajarkan dalam
lembaga pendidian Islam dengan porsi yang berbeda.

F. Orientasi Pendidikan Islam Kontemporer


1. Memaknai Pendidikan Islam Kontemporer
Secara bahasa kata kontemporer adalah segala hal yang berkaitan dengan
keadaan dan kejadian yang terjadi pada saat ini. 48 Secara umum kontemporer
juga dimaknai terhadap sesuatu yang baru, kecenderungan terhadap perbaikan,
merekontruksi serta memperkokoh kembali nilai-nilai pendidikan Islam di era
kontemporer. Dalam arti yang lebih luas lagi, Pendidikan Islam kontemporer
dapat diartikan sebagai pembaharuan pendidikan dan proses pendidikan yang
tujuan utamanya untuk memperbaharui struktur lembaga pendidikan agar
peserta didik baik pria maupun wanita, peserta didik yang berkebutuhan
khusus, dan peserta didik yang merupakan anggota dari kelompok ras, etnis, dan
kultur yang bermacam-macam itu memiliki kesempatan yang sama dalam
mencapai prestasi akademis di lembaga pendidikan Islam.
48
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pustaka Bahasa, 2008).
Pendidikan Islam kontemporer menurut analisa penulis merupakan bagian
menjawab berbagai problema atau tantangan yang muncul di tengah
masyarakat yang terjadi di Indonesia akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kegiatan memperkenalkan gagasan atau ide-ide baru sebagai
pengembangan pendidikan Islam yang diarahkan pada trend positif dan
selanjutnya pembaharuan tersebut menjadi warisan keilmuan dari generasi “X”
ke generasi “Z” di masa akan datang. Hakikat pembaharuan sendiri adalah
perubahan yang dimodernisasi. Sebagai contoh lembaga pesantren di Indonesia
misalnya, pembaharuan pendidikan Islam pada awal abad ke-20 baru dapat
diterima di kalangan terbatas sedangkan banyak dari institusi pesantren masih
berpegang teguh pada tradisi lama.49 Artinya, masuknya ide-ide pembaharuan
pada lembaga pendidikan di Indonesia tidak serta merta dapat langsung
diterima oleh masyarakat muslim setempat.
Contoh lainnya misalnya dalam persepsi pemikiran, gagasan pembaharuan
Islam sendiri adalah usaha mempublish nilai-nilai yang bertalian erat dengan
Islam dan pembaharuan yang cenderung disalahtafsirkan oleh orang lain; atau
suatu upaya pemikiran yang mendeskreditkan nilai-nilai keberagaman dan umat
Islam dalam wilayah yang mayoritas umat Islam. Gerakan pembaharuan yang
dibawa oleh Muhammad Abduh adalah satu contoh sebuah gerakan yang
bertujuan menyadarkan umat Islam dan membangkitkan ghirah kaum muslimin
di dunia yang menuntut kemurnian Islam serta membebaskan diri dari
kebekuan dan kejumudan dalam berpikir.50
KH. Ahmad Dahlan di pulau Jawa telah menyadarinya atas ketertinggalan
umat Islam dalam pendidikan yang telah mencapai titik “jenuh”. Makna
pemahaman dari pembaharuan KH. Ahmad Dahlan yang beliau inginkan adalah
melakukan reformasi dan dekonstruksi terhadap pendidikan Islam yang
merupakan aktualisasi dari kesadaran agar menarik diri dari “sumur dangkal”
ketertinggalan. Pembaharuan pendidikan Islam yang terjadi di wilayah
Indonesia agaknya dimaknai sedikit berbeda dari Negara muslim dunia lainnya.
Pendidikan Islam Kontemporer diperankan banyak oleh kesadaran masyarakat
muslim intelektual di Indonesia di mana peran tersebut juga tidak terlepas dari
dukungan pemerintah Indonesia.
Peran masyarakat Muslim intelektual serta pemerintah memiliki hubungan
emosional dan spiritual yang kuat saling menguatkan satu sama lain. Dan
seterusnya, dari dampak arus kemajuan tersebut secara evolutif membawaki
implikasi yang positif pada lembaga pendidikan Islam yang tradisional,
pendidikan Islam terpadu dan madrasah secara merata di samping
meningkatnya suhu dan jumlah lembaga pendidikan Islam dewasa ini di
Indonesia. Dewasa ini pendidikan Islam di Indonesia telah mengakomodir
seluruh lini kehidupan bermasyarakat. Pendidikan Islam sejatinya telah menjadi
lembaga akademik, pendidikan Islam sebagai spirit/ nilai, pendidikan Islam
sebagai aktifitas dakwah, sebagai basis sosial muslim, sebagai lembaga politik
Islam dan milik masyarakat secara bersama.
Sebagai tuntutan dari kemajuan arus zaman, maka beberapa Negara yang
bermayoritas muslim, seperti Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam mulai
memunculkan gagasan-gagasan, ide serta cita-cita untuk mengadopsi
pembaharuan pendidikan Islam yang sesuai dengan perkembangan dan
kemajuan zaman. Agaknya ada empat hal yang sangat substansial dari
pembaharuan pendidikan Islam yang semestinya diformulasikan. Pertama,
49
Haidar Putra Daulay, Dinamika Pendidikan Islam Di Asia Tenggara (Jakarta: Rineka Cipta, 2009).
50
A. Mukti Ali, Ijtihad Dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan Dan Muhammad
Iqbal (Jakarta: Bulan Bintang, 1990).
penetapan standarisasi lembaga pendidikan Islam, kedua, pembaharuan
metodologi pembelajaran, ketiga, integrasi ilmu pengetahuan wahyu, akal dan
sains, keempat, manajemen pendidikan Islam kontemporer yang berbasis IT. 51
Pembahasan yang substansial dari pendidikan Islam Kontemporer yaitu
menuntut adanya pengelolaan manajemen yang berbasis manajemen
pendidikan serta penggunaan metode dan media pengajaran modern yang
mempu memberikan keseimbangan antara ilmu agama dan ilmu umum. Dengan
demikian, kesadaran mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum merupakan
fenomena yang muncul dalam dunia pendidikan Islam di Asia Tenggara 52
khususnya di Indonesia dari sekian ide-ide pembaharuan lainnya. Selain itu,
sebagai wujud realisasi misi lembaga pendidikan Islam kontemporer yang
unggul dan bermartabat, maka upaya pemerintah Indonesia dalam memenuhi
standar kelayakan sebuah lembaga pendidikan yang berkualitas semestinya
jangan sampai tertinggal. Untuk mewujudkan pendidikan Islam yang unggul
maka banyak hal yang harus dipersiapkan, di antaranya yaitu akreditasi
lembaga pendidikan Islam, sertifikasi tenaga pendidik yang berpengalaman,
sokongan sarana dan prasarana secara merata pada masing-masing lembaga
yang telah terakreditasi, media IT bagi pembelajaran di kelas, perpustakaan
berbasis OJS, laboratorium yang memadai, lingkungan yang kondusif bagi
pembelajaran, beasiswa pendidikan yang selektif, dana penelitian yang terus-
menerus digalakkan.

2. Tujuan Pendidikan Islam Kontemporer


Pendidikan Islam memiliki nilai yang strategis dalam pembentukan suatu
bangsa. Pendidikan juga akan menempatkan jaminan kelangsungan hidup
bangsa tersebut. Pendidikan Islam tidak hanya berfungsi untuk how to know,
dan how to do, melainkan how to be dan how to live together. Sesuai dengan PPRI
No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional Pendidikan Pasal 26
Ayat 1 disebutkan pendidikan dasar bertujuan untuk meletakkan dasar: 1)
kecerdasan; 2) pengetahuan; 3) kepribadian; 4) Akhlak Mulia; 5) keterampilan
hidup mandiri; 6) mengikuti pendidikan lebih lanjut.53
Kini coba kita simak beberapa ragam ahli ilmu pendidikan yang berbicara
tentang tujuan pendidikan secara umum. Misalnya, Made Pidarta dalam seminar
hasil penelitian menemukan bahwa ahli pendidik mutakhir menyerang sistem
pendidikan saat ini dengan mengatakan bahwa ada upaya-upaya
mempertahankan kaum kapitalis dengan cara mendidik anak-anak agar siap
melayani industri, perdangangan dan jasa tanpa memperhatikan kebebasan dan
hak-hak anak.54 Kini jika dikaitkan pandangan para ahli pendidikan di atas
dengan pandangan tujuan pendidikan di Indonesia, tampaknya tidak jauh
berbeda dengan tujuan pendidikan nasional kita. tujuan pendidikan Indonesia
adalah membentuk manusia seutuhnya. Melalui kegiatan pendidikan dan
pengembangan memberikan deviden kepada seseorang berupa keahlian,
keterampilan yang selanjutnya akan menjadi aset “siap pakai” yang berharga
bagi masyarakat.

51
Dr. Barusdi Anhar, “Orientasi Pendidikan Islam Kontemporer Dan Dinamis,” BARUSDI ANHAR
(January 1, 2019), accessed October 6, 2022,
https://www.academia.edu/38489067/ORIENTASI_PENDIDIKAN_ISLAM_KONTEMPORER_DAN_DINA
MIS.
52
Daulay, Dinamika Pendidikan Islam Di Asia Tenggara.
53
Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta:
Rineka Cipta, 2007).
54
Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.
Demikian pula standarisasi pada pendidikan Islam kontemporer
harapannya adalah membentuk pribadi muslim seutuhnya, memanusiakan
manusia serta mengembangkan seluruh potensi manusia baik dalam bentuk
jasmaniyah maupun rohaniyah,55 baik aspek akal, hati dan amal. Lebih detailnya
tujuan pendidikan Islam Kontemporer adalah adanya keseimbangan
kepribadian dalam diri seorang muslim Pada prinsipnya dasar dan tujuan
pendidikan Islam kontemporer adalah al Quran dan Sunnah Nabi, namun
menurut Abdur Rohman an-Nahlawi (1979:20) al-Quran sebagai sumber dari
norma pendidikan Islam, bukan hanya sebagai dasar pendidikan Islam. 56 Di atas
kedua pilar ini kemudian lahirlah visi, misi, Renstra serta tujuan pendidikan
Islam kontemporer. Pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia tidak boleh
berhenti dalam makna yang ideal namun harus ada proses keberlanjutan.
Pendidikan Islam harus mencari format baru untuk dapat terus survive dan
relevan di setiap perkembangan zaman. Karena memahami hakikat Islam yang
sholih likulli azminah wa amkinah akan lebih bermakna jika segala kemampuan
dan usaha dapat menyelesaikan segala permasalahan kehidupan umat manusia
saat ini.
Kesatuan dalam disiplin ilmu saat ini tentu menjadi kunci utama agar
dapat survive dan bertahan hidup di era kontemporer. Umat muslim harus
menyadari betapa pentingnya penguasaan keahlian dan keilmuan dalam
berbagai bidang yang lebih luas. Kehidupan umat manusia tidak hanya berkutat
dalam satu ranah semata, akan tetapi meliputi sejumlah ranah lainnya. Sebagai
contoh, persoalan pendidikan Islam tidak cukup hanya dilihat dari perspektif
Pendidikan Islam semata wayang, namun perlu pendekatan ilmu ekonomi
bangsa, politik, budaya, bahkan harus dikembalikan pada pemahaman terhadap
ajaran-ajaran agama Islam. Memandang permasalahan dari satu segi saja sama
halnya dengan menyederhanakan sebuah masalah. Proses pendidikan Islam
harus mampu melihat persoalan yang muncul di masyarakat dari berbagai
perspektif. Sebagai contoh, banyaknya tenaga pendidik di luar profesi sebagai
guru tidak dapat dilihat dari aspek profesionalisme dan etos kerja guru saja,
namun perlu dikaitkan dengan masalah kebijakan pemerintah yang belum
menghargai profesi sebagai guru, atau rendahnya penghargaan masyarakat
terhadap profesi guru. Maka oleh karena itu pendidikan dan kehidupan pranata
sosial harus dibangun dengan cara menguasai ilmu-ilmu selain teologi agama;
yaitu dialektika sosial, antroplogi, fisika, biologi, lingkungan hidup, pembagunan
dan lain sebagainya.
Dunia Pendidikan Islam dituntut menyeimbangkan dengan visi pendidikan
dunia, dimana UNESCO menggarisbawahi arah pendidikan saat ini setidaknya
menyeimbangkan bagaimana Learning to think (belajar bagaimana bepikir),
Learning to do (belajar hidup atau bagaimana berbuat/bekerja), Learning to be
(belajar bagaimana tetap hidup atau sebagai Learning to live together (belajar
untuk hidup bersama).57 Untuk terlaksana tujuan pendidikan Islam kontemporer
sudah saatnya lembaga pendidikan Islam dasar, menengah hingga perguruan
tinggi Islam harus tampil sebagai lembaga alternatif yang memiliki ciri dan
keunggulan tersendiri.58 Di samping itu, disadari bahwa kejayaan Islam masa
lalu adalah sebagai kekuatan untuk membangkitkan spirit dalam
menumbuhkembangkan tradisi ilmiah demi kemajuan pendidikan Islam
kontemporer yang mampu menyelesaikan problematika umat manusia.
55
Daulay, Dinamika Pendidikan Islam Di Asia Tenggara.
56
Mangun Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ombak, 2013).
57
Anhar, “Orientasi Pendidikan Islam Kontemporer Dan Dinamis.”
58
Muhammad Siroz, Agenda Strategis Pendidikan Islam (Yogyakarta: AK Group, 2004).
Konsep pendidikan Islam sangat mementingkan SDM yang berkualitas,
sekaligus mementingkan kualitas kehidupan duniawi dan ukhrawi secara
integral. Noeng Muhadjir menyebutnya sebagai sosok manusia integral-
integratif.59 Menurut Arifin, pada dasarnya tujuan pendidikan Islam adalah
merealisasikan Muslim yang beriman bertakwa, dan berilmu pengetahuan, serta
mengabdi kepada-Nya.60 Al-Abrasyi bahkan merinci, bahwa tujuan (umum)
pendidikan Islam senantiasa memperhatikan lima aspek, yaitu: (a) budi pekerti
sebagai ruh dari pendidikan Islam; (b) memperhatikan agama dan dunia; (c)
memperhatikan segisegi manfaat, dan tidak semata-mata memperhatikan segi
keagamaan, akhlak, dan kerohanian; (d) mempelajari ilmu semata-mata untuk
ilmu saja; (e) mewujudkan pendidikan kejuruan dan pertukangan dalam upaya
memperoleh rizki.61 Makna penting dari pandangan al-Abrasyi adalah, baik sains
agama maupun sains pengetahuan dan teknologi adalah sama pentingnya bagi
ummat Islam dalam mengembangkan tugas mulia sebagai khalifah di muka
bumi.

3. Model Pengembangan Pendidikan Islam Kontemporer dan


Orientasinya
Berbicara masalah pendidikan tidak terlepas dengan masalah
pengembangan. Pengembangan adalah suatu proses mendapatkan pengalaman,
keahlian dan sikap untuk meraih sukses sebagai pemimpin dalam organisasi
tertentu. Kegiatan pengembangan ditujukan untuk membantu seseorang untuk
dapat memenuhi kebutuhan yang akan datang, tentunya dengan memerhatikan
tupoksi yang dihadapi sekarang. Pengembangan merupakan suatu proses
menuju arah pembaharuan. Sebagaimana dalam sebuah ungkapan “no change no
future”. Tentunya isu pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari perkembangan pemikiran Islam sendiri. Kontribusi besar yang
membawa ruh segar dalam semangat melakukan pembaharuan terlahir dari
semangat-semangat kritik pembaharuan yang dilakukan oleh kalangan Islam
sendiri. Hal ini tidak lain berangkat dari kesadaran atas keterbelakangan
kejumudan dalam berfikir dari segala hal.
Beberapa intelektual dan pemikir Islam di belahan dunia Islam seperti
Maududi di Pakistan, Abdul Wahhab di Saudi, Muhammad Abduh di Mesir, Gulen
Fattah di Turki dan lainnya, mereka memberikan gagasan penting sebagai
bentuk kritik ambivalensi pelaksanaan bagi pendidikan umat Islam yang bersifat
kaku, tekstualis, dan rigid. Hal ini tentu berimbas pada wajah pendidikan Islam
pada waktu itu. Apalagi di dunia Islam, pengajaran pendidikan Islam di awal
abad pertengahan kecenderungan yang dilihat hanya berorientasi pada aspek
kognitif, dengan kurang menimbangkan dua aspek lainnya; afektif dan
psikomotorik. Pada era kompetitif dewasa ini, semua negara berusaha
meningkatkan kualitas pendidikannya masing-masing. Kualitas pendidikan
merupakan salah satu indikator kesejahteraan masyarakat suatu negara. Melalui
pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan sumber daya manusia yang
lebih berkualitas yang mampu mengelola sumber daya alam secara efektif dan
efisien. Adanya perbedaan antara kegiatan pendidikan (saat ini) dengan

59
Noeng Muhadjir, “Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam Dalam Perspektif Modern,
Makalah Seminar Internasional Modernisasi Pendidikan Islam, Sistem, Metodologi, Dan Materi,”
Pondok Modern Gontor Ponorogo (1996).
60
Abdullah Idi, Pengembangan Kuirikulum: Teori Dan Praktek (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999).
61
Toto Suharto and Abdullah Idi, “Revitalisasi Pendidikan Islam” (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2006), hal. 139.
pengembangan pendidikan (di masa mendatang) merupakan permasalahan
utama. Tolak ukurnya hanya pada sumber daya manusia yang berkualitas.
Produtivitas dan intektualitas individual akan mampu meningkatkan daya saing
di bidang pendidikan, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Maka senada
yang disebutkan oleh Azyumardi Azra, bahwa pembaharuan pendidikan pada
esensinya adalah pembaharuan pemikiran dan perspektif intelektual. 62
Sesuai dengan arus perkembangan zaman, maka posisi pendidikan Islam di
wilayah Indonesia secara garis umum sudah mengalami perkembangan yang
dinamis dan fleksibel. Pada mulanya pendidikan Islam hanya terpusat di masjid,
langgar, surau, meunasah, dayah dan pesantren (pondok) yang lebih
mengutamakan sisi pendidikan keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab
kuning. Kemudian orientasi tersebut berkembang dengan berdirinya lembaga
formal pendidikan sekolah dan madrasah di bawah naungan kementrian
pendidikan dan kebudayaan dan kementrian agama di Indonesia.
Di antara prinsip-prinsip yang ideal dalam pendidikan Islam dapat
dijelaskan sebagai berikut : mengajarkan peserta didik berpikir bebas dalam
belajar, kemerdekaan dan demokrasi dalam mengajar, model dan orientasi
pembelajaran yang berbasis masalah, permakluman terhadap perbedaan
individu anak didik dalam memberikan pelajaran dan mengajar, perhatian
terhadap bakat anak didik, menguji kecakapan dan mental mereka, berbicara
kepada mereka sesuai dengan tingkat akalnya, bergaul dengan mereka secara
baik dengan penuh rasa kasih sayang, memperhatikan segi akhlak, mendorong
dilakukannya diskusidiskusi ilmiah, memperhatikan pendidikan berpidato,
perdebatan-perdebatan secara dialogis dengan memperhatikan kelancaran
dalam berbicara, mendirikan banyak perpustakaan, melengkapinya dengan
buku-buku dan referensi yang aktual, berharga dan kekinian dengan tetap
mendorong pelajar dan mahasiswa mengambil manfaat dari buku-buku yang
bernilai tersebut.63
Dalam teori pendidikan, bahwa proses transfer ilmu pengetahuan dapat
diklasifikasikan menjadi tiga dasar utama : 1) transfer ilmu; 2) transfer nilai; 3)
transfer perbuatan tingkah laku.64 Secara teoritis, prinsip-prinsip pendidikan
Islam seperti yang penulis gambarkan di atas dituntut oleh adanya
keseimbangan dalam pendidikan Islam yang kemudian diklasifikasikan ke dalam
berbagai ragam pranata kehidupan beragama sebagai berikut : 1) Keseimbangan
Teologi; 2) Keseimbangan ritual keagamaan; 3) Keseimbangan moralitas dan
budi pekerti;654) Keseimbangan dalam keterampilan.
Disadari ataupun tidak, bahwa segi keilmuan yang dikembangkan
pendidikan- Islam-hingga saat ini hanya berorientasi pada ranah theosentris
ilmu ilmu ketuhanan dan kurang menaruh pada ranah antrophosentris yaitu
ilmu-ilmu umum dan kealaman. Sampai beberapa abad kondisi ini terus
berlanjut dengan nuansa kenormatifannya-sedang saat yang bersamaan bahwa
pintu ijtihad ditutup menganggap segala hal sudah final. Sedangkan dunia barat
sudah mulai beralih kepada antroposentris dan ilmu-ilmu profan dengan terus
sampai ke sini melahirkan beragam penemuan baru. Hal tersebut didasari atas
tumbuh dan suburnya nilai-nilai intelektual yang dimiliki oleh dunia Barat. Dari
sini ironisnya seperti dikatakan Amin Abdullah “hampir-hampir tidak ada satu

62
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi Dan Modernisasi Di Tengah Tantangan Milenium II
(Jakarta: Kencana, 2012).
63
Muhammad ‘Athiyyah al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia,
2003).
64
Daulay, Dinamika Pendidikan Islam Di Asia Tenggara.
65
Abu Yazid, Islam Moderat (Jakarta: Erlangga, 2014).
pun umat Islam yang yang menorehkan tinta emas dalam pengembangan ilmu
pengetahuan”.66 Umat Islam menjadi umat konsumtif, serta ilmu pengetahuan
pun berubah kiblat tidak lagi di dunia Islam tetapi dunia barat yang sempat
berguru pada Islam.
Saat ini umat Islam akan dihadapkan dengan persaingan global yang terbuka
lintas negara. Di depan mata semua orang sedang mempersiapkan agenda
gelombang perekonomian global yang sudah di depan mata seperti AFTA (Asean
Free Trading Area) dan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Jika masih tidak
menyadari dan mempertimbangkan situasi ini, umat Islam Indonesia dipastikan
tidak akan berperan banyak di sana. Pendidikan sebagai kunci strategis dalam
mempersiapkan sumber daya yang mampu bersaing di kancah global harus
mulai mensetting dan berani meningkatkan kapasitas keilmuan kontemporer
yang tidak lagi terjadi dikotomisasi keilmuan dan sudah saatnya memperkokoh
kembali berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Maka dalam hal ini penulis rasa
perlu diketengahkan model pendidikan Islam kontemporer/ pembaharuan
pendidikan Islam berbasis kreatifitas dalam menghadapi dunia industri di era
kontemporer khususnya.
Kesadaran dalam orientasi pendidikan Islam kontemporer telah tumbuh
dalam benak para intelektual muslim di Indonesia. Dengan maraknya berbagai
seminar lintas lokal, nasional bahkan dalam kancah internasional telah
memberikan angin segar dalam pertautan dunia pendidikan Islam. Upaya
mengembangkan khazanah intelektual dari empat unsur di atas diharapkan
melahirkan banyak para pemerhati yang care terhadap gejolak pendidikan di
Indonesia. Apalagi pendidikan Islam pasca reformasi memiliki keleluasaan
dampak dari kebijakan otonomi dan desentralisasi yang berpengaruh pada
berbagai institusi dan lembaga pendidikan Islam di tanah air. Kolaborasi pada
setiap elemen instansi memperkuat sejatinya lembaga pendidikan Islam yang
selalu dinantikan sebagai format pendidikan bagi masyarakat muslim di
Indonesia yang akan melahirkan output lulusan yang berkontribusi nyata dan
berpengaruh dalam kancah dunia industri di masa mendatang. Beberapa agenda
penting yang seharusnya dipertahankan dan diperkokoh secara terus-menerus
dalam menyahuti pendidikan Islam kontemporer, antaranya yaitu :

1. Sertifikasi Guru dan Dosen


Perlunya sertifikasi bagi pendidik baik guru dan dosen, bukan saja
dipandang memenuhi persyaratan sebuah profesi yang menuntut adanya
kualifikasi minimum dan sertifikasi, selain itu yang dimaksudkan agar guru dan
dosen dapat diberi tunjangan profesi oleh Negara. Tunjangan profesi itu
diperlukan sebagai syarat mutlak sebuah profesi agar penyandang profesi dapat
hidup layak dan memadai, apalagi hingga saat ini guru dan dosen masih
tergolong kelompok yang berpengahasilan rendah yang harus dibantu dalam
meningkatkan kesejahteraan melalui undang- undang No. 18 Tahun 2007. 67
Keberadaan tenaga pendidik yang berkualitas merupakan syarat mutlak
hadirnya sistem dan praktik pendidikan yang bermutu, hampir semua bangsa di
dunia selalu mengembangkan kebijakan yang mendorong keberadaan guru yang
berkualitas

66
M. Amin Abdullah, “Profil Kompetensi Akademik; Lulusan Program Pascasarjana Perguruan
Perguruan Tinggi Islam Dalam Era Masyarakat Berubah” (Makalah presented at the Pertemuan dan
Konsultasi Direktur Program Pasca Sarjana Perguruan Tinggi Agama Islam, Hotel Setiabudi, Jakarta,
November 25, 2002).
67
Daulay, Dinamika Pendidikan Islam Di Asia Tenggara.
2. Reorientasi Pendidikan Islam Berbasis Dialog
Inti cita-cita pendidikan Islam adalah terbentuknya manusia yang beriman,
cerdas, kreatif, dan memiliki keluhuran budi. Tugas utama pendidikan adalah
upaya secara sadar untuk mengantarkan manusia pada cita-cita tersebut, dan
pendidikan Islam juga memiliki fungsi mengarahkan kehidupan dan
keberagamaan manusia ke arah kehidupan Islami yang ideal.39 Maka sudah
selayaknya dasar pendidikan Islam kontemporer diarahkan kepada dua sasaran,
yaitu :
a. Kepada pemuda, yaitu pewarisan ajaran Islam kepada generasi muda;
b. Kepada masyarakat yang belum menerima ajaran Islam dengan dakwah
Islam.68

3. Bersahabat dengan Sains dan teknologi


Era teknologi informasi dan komunikasi yang datang menyisakan sasaran
tantangan yang harus dihadapi secara bersama. Tantangan tersebut adalah
perubahan dalam semua lini dan aspek kehidupan manusia. Sebagai
implikasinya, laju informasi dan sistem komunikasi bukan saja sulit disaring
namun lebih parahnya lagi mengikis nilai-nilai kemanusiaan dalam pranata
kehidupan umat beragama sehari-hari.69 Ilmu Teknologi dan informasi
merupakan hal yang sudah tidak bisa dipisahkan lagi dari kehidupan manusia
modern. Manfaat dan kemudahan yang ditawarkan secara pragmatis membuat
manusia begitu melekat dengan ilmu teknologi dalam kesehariannya. Sehingga
dalam hari-harinya mendorong manusia untuk mengembangkan teknologi dan
memanfaatkannya dalam bidang pengembangan pendidikan dalam substansi
multimedia.

4. Pengembangan Kesadaran Diri Kritis yang berdaya Cipta


Akal dan nalar manusia dalam Islam menempati posisi strategis dan
terhormat. Sub kata Fikr dalam berbagai frase tidak kurang disebutkan dalam 18
pokok pembahasan dalam al-Quran. 70 Bahkan dalam Pendidikan Agama Islam
untuk mencapai teori ma’rifatullah mesti ditempuh melalui rasio, begitu pula
untuk memahami dalil-dalil syar’i dalam Islam, maka aspek nalar kritis
mempunyai peran sangat penting dalam Islam. Mengembangkan cara berpikir
kritis dan kreatif merupakan kerangka dasar seumur hidup untuk mencari rasa
kepekaan dalam kemanusiaan. Tugas ini menjadi kewajiban seluruh elemen;
baik peserta didik maupun pendidik sendiri.

5. Pendidikan Islam Kejuruan


Sesungguhnya ruang lingkup pendidikan Islam tidaklah sempit sebagaimana
anggapan orang. Pendidikan Islam tidak hanya terbatas pada sifat ukhrawi
semata melainkan dituntut adanya keseimbangan/ balancing antara kebutuhan
dunia dan pencapaian orientasi di akhirat. Hal tersebut juga bentuk perintah
dari Allah SWT kepada Baginda Rasulullah saw agar tidak memikirkan
kepentingan akhirat saja melainkan di sana banyak kepentingan dunia yang
semestinya dipenuhi. Beliau memikirkan untuk beramal di samping juga bekerja
untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

68
Veithzal Rivai Zainal and Fauzi Bahar, Islamic Education Management; Dari Teori Ke Praktik
(Jakarta: Rajawali Press, 2015).
69
Yazid, Islam Moderat.
70
Yazid, Islam Moderat.
G. Kesimpulan
Indonesia memiliki berbagai keunggulan untuk mampu berkembang
menjadi negara maju. Keanekaragaman sumber daya alam, flora dan fauna,
kultur, penduduk serta letak geografis yang unik merupakan modal dasar yang
kuat untuk melakukan pengembangan di berbagai sektor kehidupan yang pada
saatnya dapat menciptakan daya saing yang unggul di kancah dunia
internasional. Dalam berbagai hal, kemampuan bersaing tersebut tidak hanya
membutuhkan keunggulan dalam hal mutu akan tetapi juga memerlukan upaya‐
upaya pengenalan, pengakuan, serta penyetaraan sektor‐sektor yang relevan
baik secara bilateral, regional maupun internasional. Upaya modernisasi Islam
kini telah menjadi agenda nasional sebagaimana tercermin pada spirit yang
terkandung dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Di dalam Undang-Undang tersebut dapat dijumpai
berbagai strategi peningkatan mutu pendidikan dalam rangka menjawab
tantangan modernis dan tantangan globalisasi.31 71 Selain itu, terdapat pula
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang peran Guru dan Dosen;
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2007, tentang sertifikasi Guru dan
Dosen. Sejalan dengan itu terdapat pula PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Berbagai undang-undang dan peraturan pada intinya
diarahkan pada upaya meningkatkan mutu pendidikan.72
Sebagai sebuah kebijakan pembaharuan pendidikan, desentralisasi dan
otonomisasi dalam lembaga pendidikan Islam harus dimanfaatkan sebagai
model dalam upaya menciptakan pendidikan Islam yang kreatif (berdaya cipta)
dalam melaksanakan pendidikan di masing-masing lembaga. Lembaga
pendidikan Islam memberikan tawaran nuansa baru dan pendidikan Islam yang
berdaya saing bagi kehidupan dunia kerja. Keleluasaan dan kewenangan yang
demikian memberikan kebebasan untuk mandiri dan mampu berdiri tanpa
harus selalu menunggu bantuan dari pemerintah. Walaupun demikian peran
pemerintah juga memiliki andil yang besar dalam memajukan pendidikan Islam
di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

71
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2013).
72
Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam.
Abdullah, M. Amin. “Profil Kompetensi Akademik; Lulusan Program
Pascasarjana Perguruan Perguruan Tinggi Islam Dalam Era Masyarakat
Berubah.” Makalah presented at the Pertemuan dan Konsultasi Direktur
Program Pasca Sarjana Perguruan Tinggi Agama Islam, Hotel Setiabudi,
Jakarta, November 25, 2002.
al-Abrasyi, Muhammad ‘Athiyyah. Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam. Bandung:
Pustaka Setia, 2003.
Achadi, Muhammad Wasith. “Fundamentalisme Dalam Islam.” Al Ghazali 3, no. 1
(June 27, 2020): 74–88.
Al-Attas, Muhammad Naquib. Konsep Pendidikan Islam. Diterjemahkan oleh
Haidar Baqir. Bandung: Mizan, 1986.
Ali, A. Mukti. Ijtihad Dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan Dan
Muhammad Iqbal. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Anhar, Dr. Barusdi. “Orientasi Pendidikan Islam Kontemporer Dan Dinamis.”
BARUSDI ANHAR (January 1, 2019). Accessed October 6, 2022.
https://www.academia.edu/38489067/ORIENTASI_PENDIDIKAN_ISLAM
_KONTEMPORER_DAN_DINAMIS.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam; Tradisi Dan Modernisasi Di Tengah
Tantangan Milenium II. Jakarta: Kencana, 2012.
B. Maunah, M. D. Huda, A. Taufik. Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme
Islam. 1st ed. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005. Accessed October 5,
2022. https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=544568.
Budiyanto, Mangun. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ombak, 2013.
Daulay, Haidar Putra. Dinamika Pendidikan Islam Di Asia Tenggara. Jakarta:
Rineka Cipta, 2009.
Getteng, Abd. Rahman. Pendidikan Islam Dalam Pembangunan. Cet. I. Ujung
Pandang: Yayasan al-Ahkam, 1997.
H.A.R, Tilaar. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Idi, Abdullah. Pengembangan Kuirikulum: Teori Dan Praktek. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999.
Iqbal, Abu Muhammad. Pemikiran Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015.
Irfan, Ade Miftahul. “Reforms In Islamic Education.” Disertasi, UIN Sultan
Maulana Hasanuddin, 2022.
Jalaluddin. Teologi Pendidikan. Cet. 1. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Jamaluddin, Muhammad. “Muhammad Jamaluddin, Rekonstruksi Pendidikan
Islam Dalam Perspektif Muhammad Abduh, (Jurnal Pendidikan Islam),
Nomor 1 (2019), 110.” Jurnal Pendidikan Islam I (2019): 110.
Kriyantono, Rachmat. “Riset Komunikasi.” Jakarta: kencana prenada media
group (2006).
Kurniawan. “Dikotomi Agama Dan Ilmu Dalam Sejarah Umat Islam Serta
Kemungkinan Pengintegrasiannya.” STAIN KUDUS 1 (2013). ,
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Fikrah/article/view/309.
Lubis, Ahmadi. “Sekolah Islam Terpadu Dalam Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia.” Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya 4, no. 2 (July 17, 2019):
1077–1095.
Mahendra, Yusril Ihza. Modernisasi Dan Fundamentalisme Dalam Islam. Jakarta:
Paramadina, 1999.
Mamma, Aminuddin. “Orientasi Pendidikan Dalam Perspektif Islam.” Al-
Riwayah : Jurnal Pendidikan 7, no. 1 (2015): 101.
Marlinah, Henni. Pemikiran Islam Tradisional dan Modern di Indonesia (Study
Komparatif Pemikiran Harun Nasution dan Rasyidi dalam Perspektif
Teologis), 2018. Accessed October 5, 2022.
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/39383.
Muhadjir, Noeng. “Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam Dalam Perspektif
Modern, Makalah Seminar Internasional Modernisasi Pendidikan Islam,
Sistem, Metodologi, Dan Materi.” Pondok Modern Gontor Ponorogo (1996).
Nasr, Seyyed Hossein. Pengetahuan Dan Kesucian. Translated by Suharsono.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
———. Sains Dan Peradaban Di Dalam Islam, Trans. J. Mahyudin. Bandung:
Pustaka, 1968.
Nata, Abuddin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Parangrangi, Tomo. “Sekularisme Dalam Perkembangan Islam” (n.d.): 7.
Pidarta, Made. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak
Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Rahman, Arif. “Reformasi Dan Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia.”
Jurnal Literasi Volume VII, No. 2 (2016).
Saadallah, Sherin. “Muslim Orientations and Views on Education.” Springer
International Publishing AG 7 (2017). https://doi.org/10.1007/978-3-
319-64683-1_17.
Siroz, Muhammad. Agenda Strategis Pendidikan Islam. Yogyakarta: AK Group,
2004.
Sudaryono. Metode Penelitian Pendidikan. Pertama. Jakarta: Prenada Media,
2016.
Suharto, Toto, and Abdullah Idi. “Revitalisasi Pendidikan Islam.” hal. 139.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Tafsir, Ahmad. Metodik Khusus Pendidikan Islam. Catakan 1. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1995.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka
Bahasa, 2008.
Yazid, Abu. Islam Moderat. Jakarta: Erlangga, 2014.
Zainal, Veithzal Rivai, and Fauzi Bahar. Islamic Education Management; Dari
Teori Ke Praktik. Jakarta: Rajawali Press, 2015.
Zulhairini. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.

Anda mungkin juga menyukai