MAKALAH
Dibuat guna memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pengampu :
Prof. Dr. ilzamudin, M.A
Dr. Agus Gunawan
Dr. H bazzari Syam MPd.
Disusun oleh:
Nurdin Rivaldy
223625001
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
TAHUN 2022M/1444 H
KATA PENGANTAR
Dan mudah-mudahan Allah SWT melindungi dari kesalahan diri kami dan
dari keburukan amal kami, karena siapa saja yang di sesatkan oleh-Nya maka
tidak seorangpun yang bisa memberi petunjuk baginya dan barang siapa saja
yang diberi petunjuk oleh-Nya maka tidak seorangpun dapat menyesatkannya.
Kami mohon maaf apabila ada kesalahan dan kekurangan dalam makalah
ini. Saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun sangat kami
harapkan agar dalam pembuatan makalah berikutnya dapat lebih baik lagi.
Bekasi,
Penyusun
Nurdin Rivaldy
A. Pendahuluan
Pendidikan merupakan kebutuhan esensi setiap manusia sebagai bekal
dalam menghadapi kehidupan sehari-harinya. Pendidikan dalam Islam
bersumber dari Al Quran dan Al Hadist yang bertujuan untuk membentuk
manusia seutuhnya sebagai hamba yang beriman dan bertakwa kepada Allah
SWT., sehingga nilai-nilai kehidupan terpelihara sesuai dengan ketentuan Allah
SWT., dan Nabi Muhammad SAW., agar terwujudnya kebahagiaan di dunia dan
akhirat. Dalam bahasa Arab dikenal dengan tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib yang
memiliki makna mendekati pendidikan.1 Kata tarbiyah dalam Al Quran terdapat
pada surat Bani Israil ayat 24, yang artinya “…Hai Tuhanku, sayangilah keduanya
sebagaimana mereka mendidiku diwaktu kecil”, berangkat dari ayat tersebut
Ahmad Tafsir mengartikan tarbiyah sebagai memelihara, membesarkan dan
mendidik yang termasuk di dalamnya makna mengajar. 2 Sehingga tarbiyah
dapat didefinisikan sebagai proses pembimbingan potensi manusia baik itu akal,
jasmani, maupun ruhani dengan maksimal sebagai bekal mengarungi kehidupan
di masa depan.3
Kata ta’lim terdapat pada surat Al Baqoroh ayat 32, yang artinya “Dan Allah
mengajarkan Adam segala macam nama, kemudian ia berkata kepada malaikat:
beritahukan Aku nama-nama semua itu jika kamu benar”. Berdasarkan ayat
tersebut ta’lim bermakna pengajaran yaitu proses tranfer ilmu pengetahuan
yang menitik beratkan pada aspek peingkatan intelektualitas manusia. 4
Sedangkan menurut Muhammar Naquib Al-Attas, ta’dib mengarah pada kata
adab dan variatifnya yang memiliki arti pembentukan tatakrama atau tindakan
yang dikhususkan obyeknya manusia. 5
Berdasarkan pengertian tiga kata diatas dapat dirangkum bahwa
pendidikan Islam adalah proses usaha membimbing dan mengembangkan
potensi akal, jasmani, dan ruhani manusia melalui transfer ilmu pengetahuan
dan nilai-nilai Islam sehingga terbentuknya karakter dan akhlak mulia seorang
muslim sebagai bekal hidup di dunia dan akhirat. Sejalan dengan penjelasan
Abd. Rahman Getteng tentang pengertian pendidikan Islam yaitu usaha untuk
mengembangkan potensi jasmani dan rohani sehingga tercapai dengan baik
tujuan penciptaan manusia yaitu sebagai hamba Allah dan khalifah di dunia. 6
Selain itu, Islam sangat menekankan umatnya untuk menuntut ilmu
sebagaimana banyaknya seruan untuk belajar yang dapat ditemukan di dalam Al
Quran dan hadits. Misalnya dalam Al Quran surat Al Mujadalah ayat 11 yang
artinya “Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-
lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi
kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah,
niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Dalam ayat tersebut menjelaskan bahwa
Allah SWT akan meninggikan derat orang-orang yang beriman dan berilmu
sehingga manusia dimotivasi untuk terus meningkatkan imannya dan ilmunya
melalui proses pendidikan. Di dalam hadits Rosulullah SAW yang diriwayatkan
1
Aminuddin Mamma, “Orientasi Pendidikan Dalam Perspektif Islam,” Al-Riwayah : Jurnal
Pendidikan 7, no. 1 (2015): 101.
2
Ahmad Tafsir, Metodik Khusus Pendidikan Islam, Catakan 1. (Bandung: Remaja Rosdakarya,
1995).
3
Mamma, “Orientasi Pendidikan Dalam Perspektif Islam.”
4
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Cet. 1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001).
5
Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh Haidar Baqir.
(Bandung: Mizan, 1986).
6
Abd. Rahman Getteng, Pendidikan Islam Dalam Pembangunan, Cet. I. (Ujung Pandang: Yayasan
al-Ahkam, 1997).
oleh Ibnu Majah yang artinya ”Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim baik
muslim laki-laki maupun perempuan”, menunjukan bahwa bagi seorang muslim
menuntut ilmu adalah wajib sebagai bekal mereka hidup di dunia dan akhirat.
Selain menuntut ilmu merupakan kewajiban menyampaikan ilmu atau
mengajarkan ilmu pengetahuan melalui pendidika Islam juga merupakan
kewajiban bagi setiap muslim yang berilmu. Dengan banyaknya ulama yang
menyampaikan ilmu pengetahuan Islam menjadikan Islam semakin berkembang
dan luas dalam konteks aplikasinya di kehidupan sehari-hari sehingga muncul
beberapa madzhab yang berbeda-beda dalam memandang hukum dalam Islam
sesuai dengan prespektif dan sudut pandang ulamanya. Perkembangan ilmu
pengetahuan di dunia juga mempengaruhi orientasi Islam yang sudah ada
sehingga orientasi Islam terus berkembang sebagaimana yang dijelaskan oleh
Sherin Saadallah mengutip dari Hjarpe yang membagi orientasi Islam menjadi
empat yaitu orientasi sekularis, tradisionalis, modernis, dan fundamentalis. 7
Perkembangan orientasi Islam tentunya akan berpengaruh juga pada
orientasi pendidikan Islam yang ada, sebagaimana dijelaskan oleh ade Miftahul
Irfan bahwa ada tiga pola reformasi orientasi yang terjadi dalam pendidikan
Islam, yaitu (1) pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan
modern barat, (2) pendidikan Islam yang berorientasi pada sumber Islam yang
murni, dan (3) pendidikan Islam yang berorientasi pada nasionalisme. 8 Maka
pada penelitian ini akan dijelaskan empat orientasi Islam, tiga orientasi
pendidikan Islam dan upaya sekolah Islam terpadu dalam mengembalikan
orientasi pendidikan Islam di Indonesia.
Sesungguhnya problema sistem pendidikan Islam di Indonesia saat ini
cenderung memiliki keunikan yang tidak sama dengan problema yang dihadapi
oleh bangsa lain. Keunikan faktor-faktor geografis, demografi, sejarah, dan
kemajuan sosial ekonomi, pendidikan dan budaya dapat memicu munculnya
problema bagi pendidikan Islam di Indonesia. Sekarang pertanyaannya,
mampukah sistem pendidikan Islam di Indonesia menjadi center of excellence
bagi perkembangan IPTEK yang tentunya tidak bebas nilai yang merujuk pada
ajaran al-Quran dan al-Sunnah. Selain itu, pendidikan Islam kontemporer sudah
seharusnya menjadi pusat pembaharuan pemikiran Islam yang benar-benar
mampu merespon tantangan zaman. Maka untuk menanggapi berbagai
tantangan bagi pendidikan Islam di Indonesia, terdapat beberapa problema yang
seharusnya diketengahkan dan dirasa dianggap penting untuk dibincangkan,
antara lain sebagai berikut:
9
Tilaar H.A.R, Membenahi Pendidikan Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 2002).
politik, teologi, sosial, dan kebudayaan menjadi alasan yang dapat kita lihat
dalam sejarahnya.10
B. Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif melalui studi pustaka dengan
menggunakan dua pendekatan, yaitu pendekatan deskriptif dan komparatif. 11
Metode analisis deskriptif yang digunakan bermaksud mengungkap awal mula
munculnya Sekolah Islam Terpadu di Indonesia melalui kajian literatur dengan
cara mengumpulkan, mengklasifikasikan, dan menganalisi data-data dari
berbagai sumber yang relevan kemudian dilakukan pengamatan dan
observasi. Kriyantono menjelaskan bahwa penelitian kualitatif yaitu penelitian
12
2. Orientasi Tradisionalis
Secara etimologi, tradisional mengandung arti bahwa kecenderungan untuk
melakukan sesuatu berdasarkan yang dilakukan oleh pendahulu karena masa
lampau dipandang sebagai suatu bentuk otoritas yang telah mapan. 23
Tradisionalisme dalam Islam merupakan bentuk ketaatan umat Islam terhadap
warisan Islam tradisional, baik berdasarkan pemikiran madzhab yang empat
maupun tata cara kehidupan Islam tradisional lainnya. Kaum tradisionalis
menolak adanya perubahan apa pun dalam Islam, karena Islam sejati
berdasarkan ajaran Nabi Muhammad SAW yang bersumber dari Al Quran dan
hadits melalui hasil interpretasi dari ijtihad ulama empat madzhab dan
dipertahankan dalam tradisi Islam.24 Paham tradisional banyak dianut oleh
masyarakat Indonesia dan yang paling popular diantaranya madzhab Syafi’i
yang telah menjadi madzhab paling banyak penganutnya serta menjadi tradisi
yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Kaum tradisionalisme menganggap kedudukan akal yang rendah ditambah
dengan merasa cukup dengan pengetahuan agama Islam yang mereka miliki
sehingga membatasi diri dari mempelajari agama Islam dengan lebih dalam lagi
19
Parangrangi, “Sekularisme Dalam Perkembangan Islam.”
20
Parangrangi, “Sekularisme Dalam Perkembangan Islam.”
21
Parangrangi, “Sekularisme Dalam Perkembangan Islam.”
22
Parangrangi, “Sekularisme Dalam Perkembangan Islam.”
23
Henni Marlinah, Pemikiran Islam Tradisional dan Modern di Indonesia (Study Komparatif
Pemikiran Harun Nasution dan Rasyidi dalam Perspektif Teologis), 2018, accessed October 5, 2022,
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/39383.
24
Saadallah, “Muslim Orientations and Views on Education.”
dan berfokus pada rutinitas ibadah yang telah menjadi tradisi yang ada,
akhirnya berdampak pada munculnya sikap taqlid yang semakin berkembang di
dalam masyarakat.25 Seorang muslim yang taqlid terkadang melaksanakan
ajaran agama Islam hanya berdasarkan tradisi yang telah berjalan dari generasi
ke genarasi tanpa melihat dasar hukum dan ketentuan perintahnya dalam Al
Quran, hadits, dan ijma’ ulamanya.
Mereka juga memandang bahwa manusia adalah makluk lemah yang tidak
dapat berbuat sesuai dengan kemauannya karena kehendak dan kekuasaan
Tuhan atas manusia adalah mutlak. 26 Menurut Harun Nasution kriteria teologi
tradisional dibagi menjadi tiga yaitu, Pertama, mengakui kelemahan akal untuk
mengetahui sesuatu, kedua, mengakui ketidakbebasan dan ketidakpastian
manusia dalam berkehendak dan berbuat, dan ketiga, mengakui semua yang
terjadi di alam semesta ini adalah menurut kehendak mutlak Allah, sehingga
adanya ketidakpastian sunatullah dan hukum kausalitas yang tidak diketahui
oleh manusia.27
Dalam konteks sosial budaya di Indonesia, Islam tradisionalis sangat lekat
dengan kalangan pedesaan, dimana banyak terdapat pesantren dengan peranan
dan kepribadian seorang kyai yang sangat berpengaruh dan kharismatik. Kaum
tradisionalis Indonesia sering digolongkan ke dalam organisasi sosial
keagamaan terbesar bernama NU, sebuah organisasi keagamaan yang didirikan
pada tahun 1926 di Surabaya, oleh beberapa ulama pengasuh pesantren, di
antaranya K.H. Hasyim Asy'ari (Tebu Ireng) dan K. Wahab Hasbullah (Tambak
Beras).28
3. Orientasi Modernis
Perkembangan dan perubahan dalam Islam sulit untuk dicegah karena
pengaruh globalisasi berupa kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
mendorong ke dalam modernisasi. 29 Perkembangan ilmu pengetahuan barat
sangat berpengaruh pada perubahan orientasi Islam, ditambah lagi melalui
kemajuan teknologi mempercepat proses internalisasi faham-faham modernis
yang bersumber dari liberalis ke dalam agama Islam, sehingga orientasi
tradisional Islam secara bertahap terkikis oleh perkembangan zaman menuju
modernisasi. Perkembangan ilmu pengetahuan barat dan kemajuan teknologi
yang telah menjadi kebutuhan hidup manusia, menjadi hal yang baru dan
menjadi materi baru dalam ruang ijtihad para ulama sebagai proses akulturisasi
budaya barat dan Islam sehingga proses masuknya budaya barat yang ke dalam
Islam melalui filterisasi syariat atau ketentuan Islam yang bersumber dari Al
Quran, hadits, dan ijma ulama yang ketat.
Selain itu, dengan bertambahnya jumlah kaum muda terdidik yang
menerima pengetahuan ilmiah menyuburkan sikap skeptis dan kritis pada
agama dan tradisi.30 Kaum muda terdidik dengan pengetahuan baru yang
25
Marlinah, Pemikiran Islam Tradisional dan Modern di Indonesia (Study Komparatif Pemikiran
Harun Nasution dan Rasyidi dalam Perspektif Teologis).
26
Marlinah, Pemikiran Islam Tradisional dan Modern di Indonesia (Study Komparatif Pemikiran
Harun Nasution dan Rasyidi dalam Perspektif Teologis).
27
Marlinah, Pemikiran Islam Tradisional dan Modern di Indonesia (Study Komparatif Pemikiran
Harun Nasution dan Rasyidi dalam Perspektif Teologis).
28
Marlinah, Pemikiran Islam Tradisional dan Modern di Indonesia (Study Komparatif Pemikiran
Harun Nasution dan Rasyidi dalam Perspektif Teologis).
29
M. D. Huda B. Maunah A. Taufik, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam, 1st ed.
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), accessed October 5, 2022,
https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=544568.
30
B. Maunah, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam.
mereka miliki secara bertahap melihat tradisi Islam yang berlangsung perlu
adanya perubahan ke dalam modernisasi. Kaum modernis berpandangan bahwa
cara-cara tradisional tidak seharusnya dipatuhi secara kaku dan buta, tetapi kita
harus memahami pesan-pesan moral yang terkandung dalam tradisi dan
berusaha mewujudkan pesan tersebut sesuai dengan kondisi sosial budaya yang
ada saat ini. 31
Pada akhir abad ke-19 kaum modernis muslim menyadari kebutuhan bagi
pembaruan dalam pemerintahan, hubungan-hubungan sosial dan pendidikan.
Mereka berpandangan bahwa pintu ijtihad dalam Islam perlu dibuka karena
suatu pertimbangan bahwa dibutuhkannya penyesuaian-penyesuaian hukum
dalam pengaturan hidup praktis, tetapi tetap sesuai dengan prinsip-prinsip etika
yang terkandung dalam Al Quran dan Al Hadits. Tokoh-tokoh yang mewakili
pemikiran ini diantaranya yaitu Sayyid Ahmad Khan (wafat tahun 1898),
Jamaluddin Al- Afghani (wafat athun 1897), Muhammad Abduh (wafat tahun
1905) dan sorang filsuf dan sejarawan Shibli Baumani (wafat tahun 14). 32
Orientasi modernis mendorong seorang muslim untuk condong ke dalam
faham materialisme barat yang bersifat duniawi, disisi lain dia juga harus tetap
menjaga nilai-nilai jaran Islam yang bersifat ukhrowi. Jika terlalu condong pada
kehidupan duniawi dan meninggalkan ukhrowi maka ia akan masuk ke dalam
jurang kesesatan, sedangkan jika terlalu condong ke dalam kehidupan ukhrowi
semata dengan meniggalkan kehidupan duniawi maka akan berakibat pada
ketertinggalan. Oleh karena itu, untuk menjaga keseimbangan dalam rangka
mewujudkan kemajuan umat Islam dengan tetap berpegang teguh pada nilai-
nilai Islam diperlukan langkah-langkah sebagai berikut :
a. Umat Islam harus menempa keimanan/keyakinan, kebenaran, dan
kemurnian akidah Islam.
b. Umat Islam harus menguasai sains dan teknologi sebagai kunci menjadi
bangsa yang unggul dalam bidang ekonomi, industri, militer, dan politik.
c. Umat Islam harus mampu mencapai sosial dan ekonomi yang memadai,
dengan bekerja keras dan meninggalkan kemalasan sehingga tidak lagi
menjadi umat yang lemah, yang bergantung kepada bangsa lain dan
berusaha semaksimal mungkin dengan teknologi mutakhir untuk menggali
dan memanfaatkan sumber daya alam.
d. Umat Islam harus menjaga persatuan dan kesatuan umat Islam (Ukhuwah
Islamiyah) dan jangan mudah di adu domba hanya dengan masalah
perbedaan paham, etnis, dan golongan.
e. Menyiapkan generasi muda Islam sebagai penerus yang memiliki
kemampuan berfikir jauh kedepan diberbagai bidang, baik bidang teknologi,
politik, ekonomi, hukum, militer, sosial budaya, yang tetap berpegang teguh
pada nilai-nilai Islam, sehingga mampu menginspirasi perubahan yang
terjadi dan mampu menguasai perubahan tersebut.33
4. Orientasi Fundamentalis
Secara etimologi fundamentalisme berasal dari kata fundament yang berarti
dasar. Sedangkan secara terminologi fundamentalisme memiliki arti sebagai
aliran pemikiran keagamaan yang menafsirkan teks keagamaan dengan rigid
31
B. Maunah, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam.
32
B. Maunah, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam.
33
B. Maunah, Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme Islam.
dan literalis.34 Istilah fundamentalisme pada awalnya digunakan oleh kaum
Kristen pada awal abad ke-20 M sebagai pembeda dari kaum Protestan yang
lebih liberal, rusak dan menyimpang dari keimanan Kristen. 35 Fundamentalisme
muncul dalam Islam sebagai respon atas munculnya persolaan-persoalan
globalisasi, fragmentasi, dan benturan peradaban, namun dalam
perkembangannya mengalami pemutarbalikan (distorsi) makna dimana sering
digunakan sebagai istilah yang negatif sehingga meimbulkan suatu kesan
tertentu, misalnya fanatisme, ekstremisme, atau bahkan terorisme dalam
mewujudkan dan mempertahankan keyakinan keagamaan mereka.
Ada beberapa pandangan yang berbeda mengenai faktor penyebab
munculnya fundamentalisme walaupun Sebagian besar memiliki beberapa
kesamaan. Menurut Hamid dan Hilal Dessauki ada empat faktor utama yang
menyebabkan munculnya fundamentaslime, yaitu faktor budaya, sejarah, sosial
dan politik.36 Faktor budaya yaitu kegagalan kaum tradisionalis dalam
memberikan respon terhadap sekularisasi, dan kegagalan kaum intelektual-
modern merumuskan sinteses Islam dan modernitas. Keagresifan sikap elit
politik barat, ideologi sekuler yang mengalami kemunduran, Krisi
berkepanjangan di Palestina, instabilitas politik dunia arab, pemurnian agama
oleh Muhammad Abdul Wahab, dan tokoh-tokoh modernis lainnya seperti
abduh dan al Afgani sebagai faktor sejarah awal yang memberikan pengaruh
baik positif maupun negative terhadap munculnya fundamentalisme. 37
Fundamentalisme memiliki beberapa karakter sebagai ciri gerakannya,
diantaranya yaitu Pertama, kecenderuagan mereka yang menginterpretasikan
secara literal teks-teks suci agama. Kaum fundamentalis beranggapan bahwa
kesucian agama akan tereduksi jika menerima pemahaman kontekstual atas teks
agama. Kedua, menolak pluralisme dan relativisme, karena bagi mereka,
pluralisme merupakan distorsi pemahaman terhadap ajaran agama. Ketiga,
Tafsir agama sebagai monopoli kebenaran. Kaum fundamentalis biasanya
cenderung menganggap dirinya sebagai pemegang otoritas penafsir agama yang
paling absah dan paling benar, sehingga cenderung mengaggap sesat kelompok
yang tidak sealiran dengan mereka. Keempat, gerakan fundamentalisme
mempunyai korelasi dengan fanatisme, ekslusifisme, intoleran, radikalisme dan
militanisme. Kaum fundamentalisme selalu mengambil bentuk perlawanan
terhadap ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agama.
34
Muhammad Wasith Achadi, “Fundamentalisme Dalam Islam,” Al Ghazali 3, no. 1 (June 27,
2020): 74–88.
35
Achadi, “Fundamentalisme Dalam Islam.”
36
Achadi, “Fundamentalisme Dalam Islam.”
37
Yusril Ihza Mahendra, Modernisasi Dan Fundamentalisme Dalam Islam (Jakarta: Paramadina,
1999).
pola pendidikan yang dikembangkan oleh dunia Barat. Seperti sebelumnya
dunia Barat telah menyerupai dan mengembangkan sistem pendidikan dunia
Islam. Dalam hal ini, upaya reformasi pendidikan Islam adalah dengan
mendirikan sekolah-sekolah dengan pola sekolah Barat baik sistem maupun isi
pendidikannya. Selain itu, pengiriman mahasiswa ke dunia Barat, khususnya ke
Prancis untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern banyak
digalakkan oleh penguasa di berbagai negara Islam.38
Reformasi pendidikan dengan Pola Barat ini, awalnya muncul di Turki
Usmani pada akhir abad ke-17 setelah kalah perang dengan berbagai negara
Eropa Timur saat itu, yang menjadi cikal bakal munculnya upaya sekularisasi
Turki yang berkembang kemudian dan membentuk Turki modern. Sultan
Mahmud II, merupakan pelopor reformasi pendidikan Islam di Turki. Pola
reformasi pendidikan yang berorientasi ke Barat juga tampak pada upaya
Muhammad Ali Pasha di Mesir yang berkuasa pada tahun 1805-1848. Ia resmi
menjadi Pasya sebagai wakil resmi Sultan Turki di Mesir. Namun, ia menyatakan
dirinya sebagai penguasa otonom, independen dari pemerintahan sultan.
Muhammad Ali memainkan peran dalam mengusir pasukan Prancis dari Mesir.
Dia buta huruf, tetapi dia tahu betapa pentingnya arti pendidikan dan ilmu
pengetahuan bagi kemajuan dan kekuatan suatu negara. Muhammad Ali Pasha,
untuk memperkuat posisinya dan sekaligus melakukan reformasi pendidikan di
Mesir dengan mendirikan berbagai sekolah yang meniru sistem pendidikan dan
pengajaran Barat. Di sekolah-sekolah ini, berbagai macam ilmu diajarkan seperti
yang ada di Barat. Bahkan untuk memenuhi tenaga guru, ia mendatangkan guru-
guru dari Barat (terutama dari Perancis). Selain itu, Muhammad Ali mengirim
beberapa muridnya ke Barat, dengan tujuan agar mereka menguasai ilmu
pengetahuan Barat, untuk kemudian dikembangkan di Mesir.
45
Kurniawan, “Dikotomi Agama Dan Ilmu Dalam Sejarah Umat Islam Serta Kemungkinan
Pengintegrasiannya,” STAIN KUDUS 1 (2013), ,
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Fikrah/article/view/309.
46
Seyyed Hossein Nasr, Pengetahuan Dan Kesucian. Translated by Suharsono (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 1997).
47
Seyyed Hossein Nasr, Sains Dan Peradaban Di Dalam Islam, Trans. J. Mahyudin (Bandung:
Pustaka, 1968).
nyata, terukur, teramati, pasti dapat diprediksi, dan dapat diulang. Positivistik
barat tidak dapat menjangkau hal hal yang bersifat metafisika, sebagaimana
yang diyakini oleh Nasr. Hal tersebut menjadi cacat dalam perkembangan ilmu
pengetahuan di barat, karena tidak semua pengetahuan dapat didekati dengan
menggunakan pendekatan positivistik seperti alam gaib, kehidupan setelah
kematian dan lain sebagainya.
Melihat fakta yang terjadi dalam konsep yang berkembangan di barat, Nasr
merasa perlu untuk melakukan islamisasi ilmu dalam rangka mengembangkan
teori positivistik yang hanya terbatas pada suatu yang nampak saja guna dapat
menangkap ilmu pengtahaun yang tak bisa diukur secara wujud bendanya.
Dengan adanya islamisasi ilmu maka perkembangan ilmu pengetahuan untuk
menjangkau hal-hal yang tak nampak akan lebih mudah serta memasukkan
value (nilai) dalam upaya pengembagan ilmu pengtahuan. Karena bagian dari
positivistik adalah bebas nilai (value free) yang hal tersebut sering kali
melanggar norma-norma kemanusiaan. Dengan islamisasi ilmu pengetahuan
maka pengembangan ilmu pengetahuan akan memasukkan nilai (value bound)
dalam pengamabangannya untuk kesejahteraan umat manusia.
Seyyed Husein Nasr memfokuskan dirinya untuk mengakaji masalah
masalah yang berkaitan dengan ajaran agama Islam. Keinginan tersebut muncul
bukan di awal-awal masa studinya akan tetapi keinginan tersebut justru muncul
di puncak pendidikannya (doktoral) setelah berdiskusi dan bertemu dengan
banyak orang. Meski berlawanan dengan objek kajiannya pada bachelor dan
magister yang lebih pada pengkajian ilmu sains. Namun menurut hemat
pemakalah keinginan tersebut justru muncul ketika ia melihat bahwa dalam
dunia modern ada/muncul dikotomi antara pendidikan agama dan sains yang
menurut Nasr kedua ilmu tersebut tidaklah terpisah karena antara satu dengan
yang lain saling menguatkan serat memiliki keterikatan yang erat.
Pemikiran Hossein Nasr secara tajam mengkritisi kondisi muslim dan
bagaimana seharusnya Islam diterapkan dari berbagai bidang politik, filsafat,
seni hingga pendidikan. Menurut Nasr pendidikan Islam tidak boleh
memisahkan (ilmu) agama dan sains, meski dalam hal ini ia menekankan
pendidikan agama pada pendidikan dasar (TK hingga SMP) dan sains pada
jenjang berikutnya (SMA hingga perguruan tinggi). Pemisahan pendidikan
agama pada pendidikan dasar dan sains pada pendidikan selanjutnya bukan
merupakan dikotomi kelas pengajaran agama dan sains namun konten atau
muatan masing masing ilmu artinya agama dan sains tetap diajarkan dalam
lembaga pendidian Islam dengan porsi yang berbeda.
51
Dr. Barusdi Anhar, “Orientasi Pendidikan Islam Kontemporer Dan Dinamis,” BARUSDI ANHAR
(January 1, 2019), accessed October 6, 2022,
https://www.academia.edu/38489067/ORIENTASI_PENDIDIKAN_ISLAM_KONTEMPORER_DAN_DINA
MIS.
52
Daulay, Dinamika Pendidikan Islam Di Asia Tenggara.
53
Made Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia (Jakarta:
Rineka Cipta, 2007).
54
Pidarta, Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak Indonesia.
Demikian pula standarisasi pada pendidikan Islam kontemporer
harapannya adalah membentuk pribadi muslim seutuhnya, memanusiakan
manusia serta mengembangkan seluruh potensi manusia baik dalam bentuk
jasmaniyah maupun rohaniyah,55 baik aspek akal, hati dan amal. Lebih detailnya
tujuan pendidikan Islam Kontemporer adalah adanya keseimbangan
kepribadian dalam diri seorang muslim Pada prinsipnya dasar dan tujuan
pendidikan Islam kontemporer adalah al Quran dan Sunnah Nabi, namun
menurut Abdur Rohman an-Nahlawi (1979:20) al-Quran sebagai sumber dari
norma pendidikan Islam, bukan hanya sebagai dasar pendidikan Islam. 56 Di atas
kedua pilar ini kemudian lahirlah visi, misi, Renstra serta tujuan pendidikan
Islam kontemporer. Pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia tidak boleh
berhenti dalam makna yang ideal namun harus ada proses keberlanjutan.
Pendidikan Islam harus mencari format baru untuk dapat terus survive dan
relevan di setiap perkembangan zaman. Karena memahami hakikat Islam yang
sholih likulli azminah wa amkinah akan lebih bermakna jika segala kemampuan
dan usaha dapat menyelesaikan segala permasalahan kehidupan umat manusia
saat ini.
Kesatuan dalam disiplin ilmu saat ini tentu menjadi kunci utama agar
dapat survive dan bertahan hidup di era kontemporer. Umat muslim harus
menyadari betapa pentingnya penguasaan keahlian dan keilmuan dalam
berbagai bidang yang lebih luas. Kehidupan umat manusia tidak hanya berkutat
dalam satu ranah semata, akan tetapi meliputi sejumlah ranah lainnya. Sebagai
contoh, persoalan pendidikan Islam tidak cukup hanya dilihat dari perspektif
Pendidikan Islam semata wayang, namun perlu pendekatan ilmu ekonomi
bangsa, politik, budaya, bahkan harus dikembalikan pada pemahaman terhadap
ajaran-ajaran agama Islam. Memandang permasalahan dari satu segi saja sama
halnya dengan menyederhanakan sebuah masalah. Proses pendidikan Islam
harus mampu melihat persoalan yang muncul di masyarakat dari berbagai
perspektif. Sebagai contoh, banyaknya tenaga pendidik di luar profesi sebagai
guru tidak dapat dilihat dari aspek profesionalisme dan etos kerja guru saja,
namun perlu dikaitkan dengan masalah kebijakan pemerintah yang belum
menghargai profesi sebagai guru, atau rendahnya penghargaan masyarakat
terhadap profesi guru. Maka oleh karena itu pendidikan dan kehidupan pranata
sosial harus dibangun dengan cara menguasai ilmu-ilmu selain teologi agama;
yaitu dialektika sosial, antroplogi, fisika, biologi, lingkungan hidup, pembagunan
dan lain sebagainya.
Dunia Pendidikan Islam dituntut menyeimbangkan dengan visi pendidikan
dunia, dimana UNESCO menggarisbawahi arah pendidikan saat ini setidaknya
menyeimbangkan bagaimana Learning to think (belajar bagaimana bepikir),
Learning to do (belajar hidup atau bagaimana berbuat/bekerja), Learning to be
(belajar bagaimana tetap hidup atau sebagai Learning to live together (belajar
untuk hidup bersama).57 Untuk terlaksana tujuan pendidikan Islam kontemporer
sudah saatnya lembaga pendidikan Islam dasar, menengah hingga perguruan
tinggi Islam harus tampil sebagai lembaga alternatif yang memiliki ciri dan
keunggulan tersendiri.58 Di samping itu, disadari bahwa kejayaan Islam masa
lalu adalah sebagai kekuatan untuk membangkitkan spirit dalam
menumbuhkembangkan tradisi ilmiah demi kemajuan pendidikan Islam
kontemporer yang mampu menyelesaikan problematika umat manusia.
55
Daulay, Dinamika Pendidikan Islam Di Asia Tenggara.
56
Mangun Budiyanto, Ilmu Pendidikan Islam (Yogyakarta: Ombak, 2013).
57
Anhar, “Orientasi Pendidikan Islam Kontemporer Dan Dinamis.”
58
Muhammad Siroz, Agenda Strategis Pendidikan Islam (Yogyakarta: AK Group, 2004).
Konsep pendidikan Islam sangat mementingkan SDM yang berkualitas,
sekaligus mementingkan kualitas kehidupan duniawi dan ukhrawi secara
integral. Noeng Muhadjir menyebutnya sebagai sosok manusia integral-
integratif.59 Menurut Arifin, pada dasarnya tujuan pendidikan Islam adalah
merealisasikan Muslim yang beriman bertakwa, dan berilmu pengetahuan, serta
mengabdi kepada-Nya.60 Al-Abrasyi bahkan merinci, bahwa tujuan (umum)
pendidikan Islam senantiasa memperhatikan lima aspek, yaitu: (a) budi pekerti
sebagai ruh dari pendidikan Islam; (b) memperhatikan agama dan dunia; (c)
memperhatikan segisegi manfaat, dan tidak semata-mata memperhatikan segi
keagamaan, akhlak, dan kerohanian; (d) mempelajari ilmu semata-mata untuk
ilmu saja; (e) mewujudkan pendidikan kejuruan dan pertukangan dalam upaya
memperoleh rizki.61 Makna penting dari pandangan al-Abrasyi adalah, baik sains
agama maupun sains pengetahuan dan teknologi adalah sama pentingnya bagi
ummat Islam dalam mengembangkan tugas mulia sebagai khalifah di muka
bumi.
59
Noeng Muhadjir, “Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam Dalam Perspektif Modern,
Makalah Seminar Internasional Modernisasi Pendidikan Islam, Sistem, Metodologi, Dan Materi,”
Pondok Modern Gontor Ponorogo (1996).
60
Abdullah Idi, Pengembangan Kuirikulum: Teori Dan Praktek (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999).
61
Toto Suharto and Abdullah Idi, “Revitalisasi Pendidikan Islam” (Yogyakarta: Tiara Wacana,
2006), hal. 139.
pengembangan pendidikan (di masa mendatang) merupakan permasalahan
utama. Tolak ukurnya hanya pada sumber daya manusia yang berkualitas.
Produtivitas dan intektualitas individual akan mampu meningkatkan daya saing
di bidang pendidikan, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Maka senada
yang disebutkan oleh Azyumardi Azra, bahwa pembaharuan pendidikan pada
esensinya adalah pembaharuan pemikiran dan perspektif intelektual. 62
Sesuai dengan arus perkembangan zaman, maka posisi pendidikan Islam di
wilayah Indonesia secara garis umum sudah mengalami perkembangan yang
dinamis dan fleksibel. Pada mulanya pendidikan Islam hanya terpusat di masjid,
langgar, surau, meunasah, dayah dan pesantren (pondok) yang lebih
mengutamakan sisi pendidikan keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab
kuning. Kemudian orientasi tersebut berkembang dengan berdirinya lembaga
formal pendidikan sekolah dan madrasah di bawah naungan kementrian
pendidikan dan kebudayaan dan kementrian agama di Indonesia.
Di antara prinsip-prinsip yang ideal dalam pendidikan Islam dapat
dijelaskan sebagai berikut : mengajarkan peserta didik berpikir bebas dalam
belajar, kemerdekaan dan demokrasi dalam mengajar, model dan orientasi
pembelajaran yang berbasis masalah, permakluman terhadap perbedaan
individu anak didik dalam memberikan pelajaran dan mengajar, perhatian
terhadap bakat anak didik, menguji kecakapan dan mental mereka, berbicara
kepada mereka sesuai dengan tingkat akalnya, bergaul dengan mereka secara
baik dengan penuh rasa kasih sayang, memperhatikan segi akhlak, mendorong
dilakukannya diskusidiskusi ilmiah, memperhatikan pendidikan berpidato,
perdebatan-perdebatan secara dialogis dengan memperhatikan kelancaran
dalam berbicara, mendirikan banyak perpustakaan, melengkapinya dengan
buku-buku dan referensi yang aktual, berharga dan kekinian dengan tetap
mendorong pelajar dan mahasiswa mengambil manfaat dari buku-buku yang
bernilai tersebut.63
Dalam teori pendidikan, bahwa proses transfer ilmu pengetahuan dapat
diklasifikasikan menjadi tiga dasar utama : 1) transfer ilmu; 2) transfer nilai; 3)
transfer perbuatan tingkah laku.64 Secara teoritis, prinsip-prinsip pendidikan
Islam seperti yang penulis gambarkan di atas dituntut oleh adanya
keseimbangan dalam pendidikan Islam yang kemudian diklasifikasikan ke dalam
berbagai ragam pranata kehidupan beragama sebagai berikut : 1) Keseimbangan
Teologi; 2) Keseimbangan ritual keagamaan; 3) Keseimbangan moralitas dan
budi pekerti;654) Keseimbangan dalam keterampilan.
Disadari ataupun tidak, bahwa segi keilmuan yang dikembangkan
pendidikan- Islam-hingga saat ini hanya berorientasi pada ranah theosentris
ilmu ilmu ketuhanan dan kurang menaruh pada ranah antrophosentris yaitu
ilmu-ilmu umum dan kealaman. Sampai beberapa abad kondisi ini terus
berlanjut dengan nuansa kenormatifannya-sedang saat yang bersamaan bahwa
pintu ijtihad ditutup menganggap segala hal sudah final. Sedangkan dunia barat
sudah mulai beralih kepada antroposentris dan ilmu-ilmu profan dengan terus
sampai ke sini melahirkan beragam penemuan baru. Hal tersebut didasari atas
tumbuh dan suburnya nilai-nilai intelektual yang dimiliki oleh dunia Barat. Dari
sini ironisnya seperti dikatakan Amin Abdullah “hampir-hampir tidak ada satu
62
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi Dan Modernisasi Di Tengah Tantangan Milenium II
(Jakarta: Kencana, 2012).
63
Muhammad ‘Athiyyah al-Abrasyi, Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia,
2003).
64
Daulay, Dinamika Pendidikan Islam Di Asia Tenggara.
65
Abu Yazid, Islam Moderat (Jakarta: Erlangga, 2014).
pun umat Islam yang yang menorehkan tinta emas dalam pengembangan ilmu
pengetahuan”.66 Umat Islam menjadi umat konsumtif, serta ilmu pengetahuan
pun berubah kiblat tidak lagi di dunia Islam tetapi dunia barat yang sempat
berguru pada Islam.
Saat ini umat Islam akan dihadapkan dengan persaingan global yang terbuka
lintas negara. Di depan mata semua orang sedang mempersiapkan agenda
gelombang perekonomian global yang sudah di depan mata seperti AFTA (Asean
Free Trading Area) dan MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Jika masih tidak
menyadari dan mempertimbangkan situasi ini, umat Islam Indonesia dipastikan
tidak akan berperan banyak di sana. Pendidikan sebagai kunci strategis dalam
mempersiapkan sumber daya yang mampu bersaing di kancah global harus
mulai mensetting dan berani meningkatkan kapasitas keilmuan kontemporer
yang tidak lagi terjadi dikotomisasi keilmuan dan sudah saatnya memperkokoh
kembali berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Maka dalam hal ini penulis rasa
perlu diketengahkan model pendidikan Islam kontemporer/ pembaharuan
pendidikan Islam berbasis kreatifitas dalam menghadapi dunia industri di era
kontemporer khususnya.
Kesadaran dalam orientasi pendidikan Islam kontemporer telah tumbuh
dalam benak para intelektual muslim di Indonesia. Dengan maraknya berbagai
seminar lintas lokal, nasional bahkan dalam kancah internasional telah
memberikan angin segar dalam pertautan dunia pendidikan Islam. Upaya
mengembangkan khazanah intelektual dari empat unsur di atas diharapkan
melahirkan banyak para pemerhati yang care terhadap gejolak pendidikan di
Indonesia. Apalagi pendidikan Islam pasca reformasi memiliki keleluasaan
dampak dari kebijakan otonomi dan desentralisasi yang berpengaruh pada
berbagai institusi dan lembaga pendidikan Islam di tanah air. Kolaborasi pada
setiap elemen instansi memperkuat sejatinya lembaga pendidikan Islam yang
selalu dinantikan sebagai format pendidikan bagi masyarakat muslim di
Indonesia yang akan melahirkan output lulusan yang berkontribusi nyata dan
berpengaruh dalam kancah dunia industri di masa mendatang. Beberapa agenda
penting yang seharusnya dipertahankan dan diperkokoh secara terus-menerus
dalam menyahuti pendidikan Islam kontemporer, antaranya yaitu :
66
M. Amin Abdullah, “Profil Kompetensi Akademik; Lulusan Program Pascasarjana Perguruan
Perguruan Tinggi Islam Dalam Era Masyarakat Berubah” (Makalah presented at the Pertemuan dan
Konsultasi Direktur Program Pasca Sarjana Perguruan Tinggi Agama Islam, Hotel Setiabudi, Jakarta,
November 25, 2002).
67
Daulay, Dinamika Pendidikan Islam Di Asia Tenggara.
2. Reorientasi Pendidikan Islam Berbasis Dialog
Inti cita-cita pendidikan Islam adalah terbentuknya manusia yang beriman,
cerdas, kreatif, dan memiliki keluhuran budi. Tugas utama pendidikan adalah
upaya secara sadar untuk mengantarkan manusia pada cita-cita tersebut, dan
pendidikan Islam juga memiliki fungsi mengarahkan kehidupan dan
keberagamaan manusia ke arah kehidupan Islami yang ideal.39 Maka sudah
selayaknya dasar pendidikan Islam kontemporer diarahkan kepada dua sasaran,
yaitu :
a. Kepada pemuda, yaitu pewarisan ajaran Islam kepada generasi muda;
b. Kepada masyarakat yang belum menerima ajaran Islam dengan dakwah
Islam.68
68
Veithzal Rivai Zainal and Fauzi Bahar, Islamic Education Management; Dari Teori Ke Praktik
(Jakarta: Rajawali Press, 2015).
69
Yazid, Islam Moderat.
70
Yazid, Islam Moderat.
G. Kesimpulan
Indonesia memiliki berbagai keunggulan untuk mampu berkembang
menjadi negara maju. Keanekaragaman sumber daya alam, flora dan fauna,
kultur, penduduk serta letak geografis yang unik merupakan modal dasar yang
kuat untuk melakukan pengembangan di berbagai sektor kehidupan yang pada
saatnya dapat menciptakan daya saing yang unggul di kancah dunia
internasional. Dalam berbagai hal, kemampuan bersaing tersebut tidak hanya
membutuhkan keunggulan dalam hal mutu akan tetapi juga memerlukan upaya‐
upaya pengenalan, pengakuan, serta penyetaraan sektor‐sektor yang relevan
baik secara bilateral, regional maupun internasional. Upaya modernisasi Islam
kini telah menjadi agenda nasional sebagaimana tercermin pada spirit yang
terkandung dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Di dalam Undang-Undang tersebut dapat dijumpai
berbagai strategi peningkatan mutu pendidikan dalam rangka menjawab
tantangan modernis dan tantangan globalisasi.31 71 Selain itu, terdapat pula
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang peran Guru dan Dosen;
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2007, tentang sertifikasi Guru dan
Dosen. Sejalan dengan itu terdapat pula PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan. Berbagai undang-undang dan peraturan pada intinya
diarahkan pada upaya meningkatkan mutu pendidikan.72
Sebagai sebuah kebijakan pembaharuan pendidikan, desentralisasi dan
otonomisasi dalam lembaga pendidikan Islam harus dimanfaatkan sebagai
model dalam upaya menciptakan pendidikan Islam yang kreatif (berdaya cipta)
dalam melaksanakan pendidikan di masing-masing lembaga. Lembaga
pendidikan Islam memberikan tawaran nuansa baru dan pendidikan Islam yang
berdaya saing bagi kehidupan dunia kerja. Keleluasaan dan kewenangan yang
demikian memberikan kebebasan untuk mandiri dan mampu berdiri tanpa
harus selalu menunggu bantuan dari pemerintah. Walaupun demikian peran
pemerintah juga memiliki andil yang besar dalam memajukan pendidikan Islam
di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
71
Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2013).
72
Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam.
Abdullah, M. Amin. “Profil Kompetensi Akademik; Lulusan Program
Pascasarjana Perguruan Perguruan Tinggi Islam Dalam Era Masyarakat
Berubah.” Makalah presented at the Pertemuan dan Konsultasi Direktur
Program Pasca Sarjana Perguruan Tinggi Agama Islam, Hotel Setiabudi,
Jakarta, November 25, 2002.
al-Abrasyi, Muhammad ‘Athiyyah. Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam. Bandung:
Pustaka Setia, 2003.
Achadi, Muhammad Wasith. “Fundamentalisme Dalam Islam.” Al Ghazali 3, no. 1
(June 27, 2020): 74–88.
Al-Attas, Muhammad Naquib. Konsep Pendidikan Islam. Diterjemahkan oleh
Haidar Baqir. Bandung: Mizan, 1986.
Ali, A. Mukti. Ijtihad Dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan Dan
Muhammad Iqbal. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Anhar, Dr. Barusdi. “Orientasi Pendidikan Islam Kontemporer Dan Dinamis.”
BARUSDI ANHAR (January 1, 2019). Accessed October 6, 2022.
https://www.academia.edu/38489067/ORIENTASI_PENDIDIKAN_ISLAM
_KONTEMPORER_DAN_DINAMIS.
Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam; Tradisi Dan Modernisasi Di Tengah
Tantangan Milenium II. Jakarta: Kencana, 2012.
B. Maunah, M. D. Huda, A. Taufik. Sejarah Pemikiran Dan Tokoh Modernisme
Islam. 1st ed. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005. Accessed October 5,
2022. https://opac.perpusnas.go.id/DetailOpac.aspx?id=544568.
Budiyanto, Mangun. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Ombak, 2013.
Daulay, Haidar Putra. Dinamika Pendidikan Islam Di Asia Tenggara. Jakarta:
Rineka Cipta, 2009.
Getteng, Abd. Rahman. Pendidikan Islam Dalam Pembangunan. Cet. I. Ujung
Pandang: Yayasan al-Ahkam, 1997.
H.A.R, Tilaar. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, 2002.
Idi, Abdullah. Pengembangan Kuirikulum: Teori Dan Praktek. Jakarta: Gaya Media
Pratama, 1999.
Iqbal, Abu Muhammad. Pemikiran Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015.
Irfan, Ade Miftahul. “Reforms In Islamic Education.” Disertasi, UIN Sultan
Maulana Hasanuddin, 2022.
Jalaluddin. Teologi Pendidikan. Cet. 1. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Jamaluddin, Muhammad. “Muhammad Jamaluddin, Rekonstruksi Pendidikan
Islam Dalam Perspektif Muhammad Abduh, (Jurnal Pendidikan Islam),
Nomor 1 (2019), 110.” Jurnal Pendidikan Islam I (2019): 110.
Kriyantono, Rachmat. “Riset Komunikasi.” Jakarta: kencana prenada media
group (2006).
Kurniawan. “Dikotomi Agama Dan Ilmu Dalam Sejarah Umat Islam Serta
Kemungkinan Pengintegrasiannya.” STAIN KUDUS 1 (2013). ,
http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Fikrah/article/view/309.
Lubis, Ahmadi. “Sekolah Islam Terpadu Dalam Sejarah Pendidikan Islam di
Indonesia.” Jurnal Penelitian Sejarah Dan Budaya 4, no. 2 (July 17, 2019):
1077–1095.
Mahendra, Yusril Ihza. Modernisasi Dan Fundamentalisme Dalam Islam. Jakarta:
Paramadina, 1999.
Mamma, Aminuddin. “Orientasi Pendidikan Dalam Perspektif Islam.” Al-
Riwayah : Jurnal Pendidikan 7, no. 1 (2015): 101.
Marlinah, Henni. Pemikiran Islam Tradisional dan Modern di Indonesia (Study
Komparatif Pemikiran Harun Nasution dan Rasyidi dalam Perspektif
Teologis), 2018. Accessed October 5, 2022.
https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/39383.
Muhadjir, Noeng. “Sistem Penyelenggaraan Pendidikan Islam Dalam Perspektif
Modern, Makalah Seminar Internasional Modernisasi Pendidikan Islam,
Sistem, Metodologi, Dan Materi.” Pondok Modern Gontor Ponorogo (1996).
Nasr, Seyyed Hossein. Pengetahuan Dan Kesucian. Translated by Suharsono.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
———. Sains Dan Peradaban Di Dalam Islam, Trans. J. Mahyudin. Bandung:
Pustaka, 1968.
Nata, Abuddin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Parangrangi, Tomo. “Sekularisme Dalam Perkembangan Islam” (n.d.): 7.
Pidarta, Made. Landasan Kependidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak
Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 2007.
Rahman, Arif. “Reformasi Dan Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia.”
Jurnal Literasi Volume VII, No. 2 (2016).
Saadallah, Sherin. “Muslim Orientations and Views on Education.” Springer
International Publishing AG 7 (2017). https://doi.org/10.1007/978-3-
319-64683-1_17.
Siroz, Muhammad. Agenda Strategis Pendidikan Islam. Yogyakarta: AK Group,
2004.
Sudaryono. Metode Penelitian Pendidikan. Pertama. Jakarta: Prenada Media,
2016.
Suharto, Toto, and Abdullah Idi. “Revitalisasi Pendidikan Islam.” hal. 139.
Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006.
Tafsir, Ahmad. Metodik Khusus Pendidikan Islam. Catakan 1. Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1995.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka
Bahasa, 2008.
Yazid, Abu. Islam Moderat. Jakarta: Erlangga, 2014.
Zainal, Veithzal Rivai, and Fauzi Bahar. Islamic Education Management; Dari
Teori Ke Praktik. Jakarta: Rajawali Press, 2015.
Zulhairini. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1997.