Anda di halaman 1dari 88

PERINGATAN !!!

Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai


bahan referensi

2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap


bila Anda mengutip dari Dokumen ini

3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan


pelanggaran keras terhadap etika moral
penyusunan karya ilmiah

4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah

Selamat membaca !!!

Wassalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh

UPT PERPUSTAKAAN UNISBA


TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EKSPLOITASI
SEKSUAL PADA ANAK BERDASARKAN HUKUM
PERLINDUNGAN ANAK DAN HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam ( S.H.I )
Pada Fakultas Syari’ah Jurusan Ahwal Al - Syakhshiyyah

Oleh :
Hamidah Ayu Ningsih
Nomor Pokok : 1001099004

FAKULTAS SYARI’AH
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
2004 M
PENGESAHAN

Skripsi ini telah dimunaqasahkan oleh tim penguji munaqasah pada

tanggal 02 Oktober 2004, dan telah diterima sebagai salah satu syarat guna

memperoleh gelar sarjana Strata Satu ( S 1) pada Fakultas Syari’ah Jurusan

Ahwal Al – Syakhshiyyah Universitas Islam Bandung.

Bandung, 02 September 2004 Masehi.

Panitia Ujian Munaqasah

Ketua Sekretaris

(H.M. Zainuddin, Drs. Lc., Dipl.,MH.) (H.A. Rifa’i Hasbi, Drs. M.Ag.)

Tim Penguji

1. H.A. Rifa’i Hasbi, Drs. M.Ag. :( )


2. HM. Zainuddin, Drs., Lc. Dipl.,MH. :( )

3. HA. Latief Ahmad, Lc. :( )

i
PERSETUJUAN

Disetujui Oleh

Pembimbing I Pembimbing II

(HC.Najmuddin, Drs., MH.) (N. Eva Fauziah, Dra., M.Ag.)

Mengetahui

Ketua Jurusan
Ahwal Al- Dekan Fakultas Syari’ah
Syakhsiyyah Universitas Islam Bandung
Universitas Islam Bandung

(Drs.H.A.Rifa’i Hasbi.M.Ag.) (H.M. Zainuddin, Lc.,Dipl.,MH.)

ii
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan puji dan syukur ke

hadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala akan segala rahmat dan karunia yang telah

dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

Skripsi ini dibuat dan diajukan sebagai syarat kelengkapan masa perkuliahan di

jurusan Ahwal Al-Syakhshiyyah, Fakultas Syari’ah Universitas Islam Bandung.

Skripsi ini membahas masalah pengeksploitasian seksual pada anak-anak dengan

cara mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya juga mempekerjakannya

sebagai pekerja seksual.

Dalam penyusunan skripsi ini, tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang

penulis jumpai. Hal ini disebabkan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan

penulis sehingga masih banyak kekurangan baik dari segi isi maupun pembahasan

walaupun penulis telah berusaha dengan segala daya dan upaya untuk

menyelesaikan skripsi ini semaksimal mungkin.

Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh bantuan tenaga

dan pikiran dari semua pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Ibundaku dan Ayahanda (Alm) tercinta yang telah mendidik penulis dari

kecil hingga dewasa dengan penuh ketulusan dan kasih sayang, dalam

iii
mendorong dan memberi motivasi kepada penulis baik berupa moril dan

materil.

2. Mertuaku Mama Oya dan Papa Asep, yang telah memberikan semangat

untukku untuk menyelesaikan skripsi ini juga pengertian dan kasih

sayangnya yang ga’ ada duanya.

3. Bapak HC. Najmuddin, Drs., MH dan Ibu N. Eva Fauziah, Dra., M.Ag. yang

telah membimbing penulis dengan penuh ketekunan, kesabaran, dan

keikhlasan selama masa bimbingan hingga selesainya penyusunan skripsi ini,

semoga amal baiknya yang diberikan mendapat balasan yang setimpal dari

Allah SWT.

4. Bapak H.M. Zainuddin, Lc., Dipl., MH. selaku dekan Fakultas Syari’ah

Universitas Islam Bandung.

5. Ibu Neneng Nurhasanah, Dra. selaku dosen wali yang selalu memberi

motivasi, dorongan serta pengarahan pada penulis.

6. Para bapak dan ibu dosen serta asisten dosen yang telah mendidik dan

membina penulis selama studi di Fakultas Syari’ah Universitas Islam

Bandung.

7. Seluruh staf bagian administrasi, Akademik dan bagian Perpustakaan yang

telah membantu penulis dalam menyelesaikan studi di Universitas Islam

Bandung.

8. Suamiku Iman Firmansyah yang selalu melimpahkan kasih sayangnya yang

tulus dan ikhlas pada penulis serta anakku “Muhammad Leviansyah” (U’re

my everything....).

iv
9. Mang Nunu dan Bi wati, makasih ya.............

10. Rekan-rekan angkatan ’99 yang telah memberikan motivasi kepada penulis

dalam penulisan skripsi ini, antara lain: Dina, Neneng, Aliyah, Noey, Astri,

Irma, Lies, Risti, Lia, Nur, Ela dan rekan-rekan angkatan ’99 yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu, dan satu teman seperjuanganku Mia

(2000).

11. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah

banyak berjasa dalam menunjang keberhasilan penulis.

12. Penulis menyadari bahwa skripsi ini sangatlah jauh dari kesempurnaan,

untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak demi

perbaikan skripsi ini. Akhirnya hanya kepada Allah SWT. segala kebaikan

bersumber dan tanpa rahmat-Nya segala sesuatu tidak akan sempurna.

Harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah hasanah

ilmu pengetahuan kita. Amien.

Alhamdulillahirabbil’alamin

Wassalam,

Bandung, 30 Juli 2004

Penulis

v
ABSTRAK

Hamidah Ayu Ningsih. 1001099004. Tinjauan Yuridis Terhadap Eksploitasi


Seksual Pada Anak Berdasarkan Hukum Perlindungan Anak dan Hukum Islam

Setiap perilaku anggota masyarakat dalam menghadapi kehidupannya sehari-


hari sebenarnya telah diatur oleh nilai-nilai norma tertentu khususnya norma-norma
hukum. Nilai atau norma tersebut sebenarnya bertujuan untuk menciptakan masyarakat
yang tertib, adil dan makmur. Namun tujuan tersebut tidak selamanya terwujud
disebabkan oleh beberapa hal seperti faktor ekonomi, pendidikan, sosial dan
sebagainya. Salah satu yang menghambat tujuan tersebut dan sekarang semakin marak
terjadi adalah eksploitasi seksual pada anak di bawah umur. Perbuatan ini merupakan
perbuatan yang keji dan akan berakibat buruk pada orang yang menjadi korban.
Tujuan penulisan ini untuk memberikan gambaran tentang pengeksploitasian
seksual pada anak menurut UU Perlindungan Anak dan Hukum Islam serta masuk
tidaknya eksploitasi seksual pada anak kepada tindak kriminal menurut UU
Perlindungan Anak dan Hukum Islam. Dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode deskriptif analitis dan teknik kepustakaan (studi literatur).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindak eksploitasi seksual pada anak yang
diperoleh dari data yang ditulis dalam Jurnal Perempuan telah memenuhi unsur-unsur
perbuatan eksploitasi seksual yakni melanggar kesusilaan atau kesopanan, melakukan
perbuatan keji serta perbuatan itu berkaitan langsung dengan lingkungan nafsu birahi
dan kelamin. Dalam UU Perlindungan Anak, tindak eksploitasi seksual pada anak
tersebut dimasukkan kepada tindak kriminal karena melanggar Pasal 81 ayat (1) dan (2),
Pasal 82, Pasal 83 dan Pasal 88. Sementara dalam Hukum Islam, ada yang termasuk
kepada tindak kriminal dan ada juga yang tidak termasuk tindak kriminal tergantung
kepada jenis perbuatannya apakah melanggar aturan yang telah ditetapkan Hukum
Pidana Islam. Adapun jenis sanksi hukum berdasarkan UU Perlindungan Anak adalah
hukuman penjara dan denda. Sementara dalam Hukum Islam adalah rajam, cambuk,
qishash (hukum balas kematian) dan diyat, pengasingan serta ta’zir.
Kesimpulannya adalah eksploitasi seksual pada anak adalah tindakan
memanfaatkan tenaga seseorang untuk dijadikan pekerja seksual secara berlebihan
untuk keuntungan diri sendiri baik yang bersifat materiil atau non materiil. Menurut UU
Perlindungan Anak, perbuatan eksploitasi seksual pada anak termasuk pada tindak
kriminal karena telah melanggar pasal-pasal yang telah disebutkan sebelumnya dan
dapat dihukum dengan hukuman penjara selama 3 (tiga) – 15 (lima belas) tahun dan
denda sebanyak Rp.60.000.000,00 – Rp.300.000.000,00. Sementara dalam Hukum
Islam diberikan sanksi hukuman had yaitu jilid dan pengasingan bagi pelaku ghairu
muhshan, sedangkan hukuman rajam berlaku bagi pelaku muhshan; sanksi hukuman
qishash berupa hukum balas kematian atau pelukaan dan bila dimaafkan diganti dengan
membayar sejumlah diyat; dan sanksi ta’zir yang diserahkan kepada hakim jenis dan
bentuk hukumannya sesuai dengan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Untuk
menanggulangi masalah ini sebaiknya orang tua, lembaga pendidikan dan lembaga
hukum memberikan perlindungan, pengajaran (akhlak, agama, moral) terhadap anak
dan memberikan hukuman yang seberat-beratnya pada pelaku supaya jera dan menjadi
pelajaran bagi calon pelaku lainnya sebagai upaya tindak preventif.

vi
DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN i

LEMBAR PERSETUJUAN ii

KATA PENGANTAR iii-v

ABSTRAK vi

DAFTAR ISI vii-viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Identifikasi Masalah 11

C. Tujuan Penelitian 11

D. Kerangka Pemikiran 12

E. Metode dan Teknik Penelitian 15

F. Sistematika Pembahasan 16

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG EKSPLOITASI SEKSUAL PADA

ANAK MENURUT UU PERLINDUNGAN ANAK

DAN HUKUM ISLAM

A. Pengertian Eksploitasi Seksual Pada Anak 17


1. Menurut UU Perlindungan Anak 17

2. Menurut Hukum Islam 20

B. Bentuk-bentuk Eksploitasi Seksual Pada Anak 23

1. Menurut UU Perlindungan Anak 23

2. Menurut Hukum Islam 25

vii
C. Unsur-Unsur Perbuatan Eksploitasi Seksual Pada Anak 26
1. Menurut UU Perlindungan Anak 26

2. Menurut Hukum Islam 31

D. Aspek Hukum Tindak Pidana Eksploitasi Seksual Pada -

Anak 37

1. Menurut UU Perlindungan Anak 37

2. Menurut Hukum Islam 40

E. Sanksi Hukum Eksploitasi Seksual Pada Anak 45

1. Menurut UU Perlindungan Anak 45

2. Menurut Hukum Islam 48

BAB III ANALISIS EKSPLOITASI SEKSUAL PADA ANAK

DITINJAU DARI UU PERLINDUNGAN ANAK DAN

HUKUM ISLAM

A. Tindakan Kriminal Eksploitasi Seksual Pada Anak 53

1. Menurut UU Perlindungan Anak 53

2. Menurut Hukum Islam 58

B. Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Eksploitasi Seksual 66

1. Menurut UU Perlindungan Anak 66

2. Menurut Hukum Islam 68

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan 73
B. Saran 75

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

viii
BABI

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam suatu keluarga berbangsa dan bernegara, kita mengenal institusi

terkecil yaitu keluarga yang merupakan unit terkecil dalam masyarakat, di mana

anak tumbuh dan kembang secara wajar menuju generasi muda yang potensial

untuk pembangunan nasional. Pada dasarnya anak adalah titipan Illahi yang harus

kita pelihara sejak dalam kandungan sampai dewasa. Anak adalah tunas harapan

bangsa yang akan melanjutkan eksistensi nusa dan bangsa Indonesia. Pada

merekalah terletak masa depan kita. Anakpun menjadi dambaan keluarga yang

diharapkan supaya mendapatkan keturunan yang berkualitas lebih baik.

Kehadiran seorang anak di tengah-tengah keluarga dapat menambah

keharmonisan. Anak sebagai seorang makhluk yang butuh perhatian dan kasih

sayang. Anak adalah golongan rawan karena lemah tak berdaya sebab belum

mempunyai kemampuan untuk melengkapi dan mengembangkan dirinya sendiri

agar dapat melaksanakan kewajibannya sebagai warga negara yang

bertanggungjawab. Lingkungan keluarga yang bahagia, saling mengasihi dan

menghargai menjadikan anak mudah mendapatkan kesejahteraan lahir dan batin

yang akan menjadi dasar untuk perkembangan kehidupan mereka selanjutnya.

Oleh sebab itu, anak perlu disiapkan dalam pembinaan, pengembangan jasmani

dan mental.

1
2

Berdasarkan UU Perlindungan Anak Pasal 20, yang wajib memberikan

perlindungan kepada anak adalah Negara, Pemerintah, masyarakat, keluarga, wali

dan lembaga sosial agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi

secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta

mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Hukum Islam juga memberikan hak-hak anak yang mutlak, antara lain

seperti:

a. Hak untuk mendapatkan perlindungan sejak masih dalam kandungan atau

rahim ibunya. Secara umum ada dalam Al Quran surat Al-Israa: 31 yang

melarang membunuh anak termasuk ketika masih dalam kandungan. Ayat

tersebut adalah:

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut


kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga
kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar”.
(Depag, 1997: 428).

b. Hak untuk disusui selama dua tahun terdapat dalam surat Al Baqarah: 233

yaitu:
3

Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh,
yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban
ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
ma`ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar
kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan
karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan warispun
berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua
tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak
ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh
orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
(Depag, 1997: 57).

Selain surat Al-Baqarah: 233 ada pula surat Al-Ahqaaf ayat 15, yaitu:

Artinya: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua
orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah,
dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya
sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia
4

telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo`a:


"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni`mat Engkau yang
telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya
aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah
kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak
cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.
(Depag, 1997: 824).

C. Hak untuk mendapatkan nafkah dari orang tua, terdapat dalam hadist yang

diriwayatkan oleh Abu Hurairah yaitu:

Artinya: Dari Abu Hurairah. Ia berkata: Telah datang seorang laki-laki


kepada Nabi SAW, lalu berkata: Ya Rasulullah! ada pada saya satu
dinar. Sabdanya:“Belanjakan dia buat dirimu”. Ia berkata: Ada
pada saya satu dinar lagi. Sabdanya: “Belanjakan dia buat
anakmu”. Ia berkata: Ada pada saya satu lagi. Sabdanya:
“Belanjakan dia buat isterimu”. Ia berkata: Ada pada saya satu
lagi Belanjakan dia buat pelayanmu”. Ia berkata: Ada pada saya
satu lagi. Sabdanya: “Engkau lebih tahu”. (Hassan, 1987: 566).

D. Hak untuk diberikan pendidikan, ajaran, pembinaan, tuntutan dan akhlak yang

benar. Dalam hadist berikut ini, orang tua adalah sebagai pendidik utama.

Artinya: “Setiap anak dilahirkan dalam fitrah. Hanya ibu-bapaknya lah


yang menjadikan mereka yahudi, nasrani, atau majusi”. (Sabiq, 1987:
182).

Adapun contoh pendidikan yang benar telah dilakukan oleh Luqman, seperti

terdapat pada surat Luqman ayat 13-19, yaitu:


5

Artinya: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia


memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar".Dan Kami perintahkan
kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya;
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu,
hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu
untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada
pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti
keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya
6

kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang


telah kamu kerjakan. (Luqman berkata): "Hai anakku,
sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan
berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah
akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha
Halus lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan
suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka)
dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang
menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal
yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan
mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu
berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan
sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu.
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (Depag,
1997: 654).

Selain itu, Al Quran menggambarkan pula hak-hak dasar kemanusiaan

yang tidak seorang pun, kelompok atau bangsa manapun yang bisa membatasi

bahkan menekan hak-hak tersebut. Hak-hak dasar manusia yang jelas-jelas

digariskan dalam Al Quran itu antara lain:

1. Hak hidup;

2. Hak milik;

3. Hak perlindungan kehormatan;

4. Keamanan dan kesucian kehidupan pribadi;

5. Hak keamanan kemerdekaan pribadi;

6. Hak perlindungan hukum dari kesewenang-wenangan;

7. Hak menyatakan pendapat dan kebebasan berekspresi;

8. Hak kebebasan berserikat;

9. Hak kebebasan bertempat tinggal;

10. Hak persamaan kedudukan di masyarakat;


7

11. Hak mendapatkan keadilan;

12. Hak menyatakan penghidupan yang layak;

13. Hak memperoleh pengetahuan. (Juraidi, 2003: 75).

Sedangkan Khalid N. Ishaque, seperti dikutip Abdurrahman Wahid,

merumuskan tentang pokok-pokok hak-hak azasi manusia dalam Islam,

sebagaimana telah tertuang dalam Al Quran, adalah sebagai berikut:

1. Hak untuk memperoleh perlindungan;

2. Hak memperoleh keadilan;

3. Hak memperoleh persamaan perlakuan;

4. Hak memperoleh kemerdekaan;

5. Hak menyatakan pendapat;

6. Hak atas perlindungan, dll. (Juraidi, 2003: 81).

Semua uraian di atas menegaskan bahwa anak mempunyai hak-hak yang

harus dipenuhi. Dalam suatu hadist lebih dirinci hak-hak anak dari orang tuanya,

yakni:

1. Memberi nama dengan nama yang baik;

2. Menyembelih hewan aqiqah;

3. Mengkhitankannya;

4. Memberi kasih sayang;

5. Memberi nafkah (biaya hidup dan biaya pendidikan serta lain sebagainya);

6. Memberikan pendidikan dan pengajaran, terutama dalam hal-hal yang

berkenaan dengan akhlak Islam;

7. Menikahkan setelah dewasa. (Effendi, 2002: 52).


8

:Prinsip-prinsip tersebut antara lain dikemukakan dalam hadist

)‫ﻖ اﻟَﻮ اِﻟﺪ َﻋ َﻠْﻲ َو َﻟِﺪ ﻩ َأْن ُﻳَﺤ ﺴﱢَﻦ اْﺳ ُﻤ ﻪ َو َأْن ُﻳَﻌ ﻠﱢَﻤ ُﻪ اﻟِﻜَﺘَﺒﺔ َو أْن ُﻳَﺰ وﱢَﺟ ُﻪ ِإَذ ا َﺑَﻠﻎ (رواﻩ اﺑﻦ اﻟﻨﺠﺎري‬
‫ِإنﱠ ِﻣ ْﻦ َﺣ ﱢ‬

Artinya: “Sebagaimana dari kewajiban atas anak-anaknya ialah memberikan


anaknya nama yang baik, ajarkan dia menulis dan kawinkan dia
.apabila telah dewasa”. (H.R. Ibnu Najjar)

‫ﻖ اﻟَﻮ اِﻟﺪ َﻋ َﻠْﻲ َو َﻟِﺪ ﻩ َأْن ُﻳَﺤ ﺴﱢَﻦ اْﺳ ُﻤ ﻪ َو َأ ﱠدَﺑُﻪ َو َأْن ُﻳَﻌ ﻠﱢَﻤ ُﻪ اﻟِﻜَﺘَﺒﺔ َو اﻟ ﱢﺴَﺒﺎَﺣ ُﺔ َو اﻟﺮﱢ َﻣ َﻴُﺔ َو أْن َﻻ ﻳﺮزُﻗﻪ ِإﻻﱠ َﻃْﻴًﺒﺎ َو أْن ُﻳَﺰ ﱢوَﺟ ُﻪ إَذ ا َأْد َر ك‬
‫َﺣ ﱢ‬

)‫(رواﻩ اﻟﺤﺎآﻢ‬

Artinya: “Kewajiban bapak kepada anaknya ialah memberikan dia nama yang
,baik, mengajarkan dia kesopanan yang baik, mengajarkan dia menulis
berenang dan memanah, jangan beri makan kecuali barang yang baik
.dan kawinkan dia apabila telah dewasa”. (H.R. Al-Hakim)

Anak-anak di bawah umur yang semestinya memandang dunia dengan

mata berbinar , hidup aman-tentram di bawah perlindungan dan kasih sayang

keluarganya sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, tiba-tiba harus

,tercerabut dari hak dasarnya masuk ke dalam situasi yang eksploitatif dan kejam

.menjadi objek sindikat pekerja seks anak

pemerintah lembaga data dan Statistika Pusat Biro nupanam,

mengidentifikasikan “Jumlah anak untuk dijadikan pekerja seksual saat ini

berjumlah 18% di Asia dan 2,4 juta anak berusia 10-14 tahun aktif secra

ekonomi”. (Joni, 1993 : 3). Keadaan itu ditunjang dengan situasi krisis yang tak

kunjung usai sehingga mengakibatkan anak-anak perempuan yang menjadi korban

situasi dan rawan serta diperlakukan dengan tidak manusiawi. Hal ini dibuktikan

dengan jaringan pekerja seks anak di beberapa negara Asia sebagaimana yang
9

dikutip Himah Sholihah (2003: 100-101) dari ESCPAT dalam Koran Tempo

yaitu:

1. Negara Indonesia telah mencapai sekitar 30% (sekitar 40-70 ribu anak) anak-

anak yang terjerumus pada pekerja seks berusia di bawah 18 tahun. Mereka

tersebar di beberapa daerah, seperti: Batam, Bali serta beberapa kota lain yang

menjadi fasilitas wisata. Selain karena ditipu, faktor kemiskinan menjadi

alasan utama anak-anak di bawah umur untuk digunakan menjadi pekerja

seks.

2. Di negara Singapura sering digunakan sebagai daerah tempat transit

penyelundupan wanita untuk dijadikan pekerja seks dari Malaysia, Thailand

atau Indonesia. Sementara itu, pelanggan seks dari Singapura biasanya

menyeberang ke Riau (Indonesia) untuk belanja seks dari pekerja seks berusia

di bawah 18 tahun.

3. Sedangkan di Malaysia, pada tahun 2000, polisi Malaysia berhasil menahan

sekitar 3.607 pekerja seks yang datang dari luar Malaysia dan pada tahun

2002, mereka berhasil membongkar kasus pekerja seks yang melibatkan 372

anak-anak berusia di bawah 18 tahun dari Thailand dan Indonesia.

Keterlibatan anak-anak tersebut bukanlah berdasarkan motivasi

kesukarelaan, melainkan atas dasar paksaan dan jebakan. Ini sangat pas atau

sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam berbagai konvensi anak-anak di

bawah umur 18 tahun tidak dalam kapasitas untuk memutuskan sesuatu, apalagi

menandatangani suatu kontrak kerja.


10

Berdasarkan data-data korban dari eksploitasi seksual pada anak, rata-rata

mereka berumur di bawah 18 tahun, usia 10-12 tahun yang sebelumnya sama

sekali tidak mengenal seks karena memang usianya yang masih belia dipaksa

untuk melakukan hubungan seks akibat dipekerjakan menjadi pekerja seks

komersial.

Berdasarkan laporan hasil dari Jurnal Perempuan (2003: 27,16,64,53,52)

tindakan eksploitasi seksual pada anak yang sering terjadi di masyarakat adalah:

1. Membujuk anak perempuan dengan diiming-imingi gaji yang besar padahal

akan dipekerjakan sebagai pekerja seksual;

2. Kekerasan seksual, dalam bentuk perkosaan;

3. Memaksa anak laki-lakinya untuk melakukan sodomi;

4. Membujuk anak-anak untuk dijadikan pekerja seksual sebagai mata

pencaharian;

5. Pelaku mendekati anak perempuan, memacarinya, lalu memperdayai agar mau

menyerahkan keperawannya setelah itu dijual ke germo.

Eksploitasi seksual komersial pada anak adalah istilah yang sering

digunakan untuk merujuk kepada penggunaan seks anak dan mempertukarkannya

dengan imbalan baik berupa uang atau balas jasa. Imbalan ini dapat diterima

langsung oleh orang yang dapat keuntungan komersial dari seksualitas anak.

Ketidakdewasaan anak mengakibatkan dirinya tereksploitasi salah satunya secara

seksual serta disalahgunakan sehingga hak anak semakin terabaikan.

Berdasarkan uraian di atas ternyata ada masalah yang menarik untuk di

kaji yang berkaitan dengan masalah pengeksploitasian seksual pada anak yang
11

dituangkan dalam judul TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EKSPLOITASI

SEKSUAL ANAK BERDASARKAN HUKUM PERLINDUNGAN ANAK

DAN HUKUM ISLAM.

B. Identifikasi Masalah

Agar lingkup pembahasan lebih terarah dan tidak melampaui batas apa

yang seharusnya dibahas maka peneliti membatasi permasalahan pada hal-hal

berikut:

1. Apakah yang dimaksud dengan eksploitasi seksual pada anak menurut UU

Perlindungan Anak dan Hukum Islam ?

2. Apakah pengeksploitasian seksual pada anak termasuk kepada tindak kriminal

ditinjau dari UU Perlindungan Anak dan Hukum Islam ?

3. Bagaimana sanksi hukum terhadap pelaku eksploitasi seksual pada anak

dalam UU Perlindungan Anak dan Hukum Islam ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam tulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui maksud dari eksploitasi seksual pada anak menurut UU

Perlindungan Anak dan Hukum Islam.

2. Untuk mengetahui eksploitasi seksual pada anak termasuk kepada tindak

pidana kriminal ditinjau dari UU Perlindungan Anak dan Hukum Islam.

3. Untuk mengetahui sanksi hukum terhadap pelaku eksploitasi seksual pada

anak dalam UU Perlindungan Anak dan Hukum Islam.


12

D. Kerangka Pemikiran

Berbicara mengenai masalah eksploitasi seksual pada anak bukan semata-

mata persoalan medis, namun juga menyangkut banyak segi, antara lain: agama,

psikis dan hukum. Namun yang akan dikaji dalam penelitian ini hanya yang

berkaitan dengan hukum dan agama, khususnya hukum Islam dan UU

Perlindungan Anak.

Perbuatan eksploitasi seksual pada anak merupakan bentuk tindakan

kemanusiaan yang paling keji dan sangat melukai perasaan. Anak yang berada

dalam situasi darurat, salah satunya dalam keadaan tereksploitasi secara ekonomi

dan atau seksual, harus mendapatkan perlindungan khusus dari pemerintah,

lembaga negara dan masyarakat. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 66 UU

Perlindungan Anak yaitu “Perlindungan khusus bagi anak yang tereksploitasi

secara ekonomi dan atau seksual merupakan kewajiban dan tanggung jawab

pemerintah dan masyarakat”. (Umbara, 2003: 32).

Di dalam Hukum Pidana Positif, khususnya pada Pasal 296 dijelaskan

bahwa “Barangsiapa dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan

perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai

mata pencaharian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama

satu tahun empat bulan atau denda paling banyak seribu rupiah”. (Moeljatno,

1999: 108).

Melihat isinya, pasal di atas memang tidak membahas atau menulis kata

“eksploitasi seksual”, tetapi bila mengkaji isi kandungan pasal tersebut,


13

nampaknya pasal ini dapat dikategorikan sebagai pasal yang membahas masalah

eksploitasi seksual. Hal ini dapat dilihat pada kalimat “Barangsiapa dengan

sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain

dengan orang lain dan menjadikannya sebagai mata pencaharian atau kebiasaan”.

Dalam buku penjelasan undang-undangnya dinyatakan secara tegas bahwa

pasal ini berbicara tentang pekerjaan mucikari yang menyediakan tempat untuk

melacur sebagai lahan usaha.

Berdasarkan pasal di atas, pelakunya diancam dengan hukuman penjara

paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan atau denda seribu rupiah.

Penjelasan yang lebih rinci tentang masalah eksploitasi seksual terdapat

pada Pasal 78, 82 dan 88 UU Perlindungan Anak yakni:

Pasal 78: Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak
dalam situasi darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60,
anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok
minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi secara ekonomi
dan atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi
korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya, anak korban penculikan, anak korban
perdagangan, atau anak korban kekerasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan
pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan atau paling banyak
Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 82: Setiap orang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman
kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian
kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah).
Pasal 88: Setiap orang yang mengeksploitasikan ekonomi dan atau seksual
anak dengan maksud untuk menguntungkan dirinya sendiri atau
orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
14

(sepuluh) tahun dan atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00


(dua ratus juta rupiah).

Semua pasal di atas membahas masalah larangan eksploitasi seksual pada

anak terutama Pasal 88 yang secara tegas menyatakan akan dipidana dengan

pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda sebesar

Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) bagi orang yang mengeksploitasi

seksual anak dengan tujuan menguntungkan dirinya sendiri atau menguntungkan

orang lain.

Di dalam hukum Islam, eksploitasi seksual tidak pernah dikenal. Istilah

yang terkenal dalam hukum Islam adalah tindak pidana zina yang diancam dengan

hukuman had, baik dicambuk 100 kali bagi pezina yang masih lajang (ghairu

muhshan) atau dirajam hingga meninggal bagi pezina yang sudah menikah

(muhshan). Ketentuan memberi hukuman terhadap pelakunya pun diperlukan

syarat-syarat tertentu yang sangat ketat.

Dengan demikian, eksploitasi seksual yang akan dibicarakan dalam hukum

Islam hanya menyangkut persoalan-persoalan seksual di luar nikah saja karena

jika dalam ikatan nikah yang sah, nampaknya tidak akan ada eksploitasi seksual,

sebab melakukan hubungan seks merupakan kewajiban bersama antara suami dan

isteri yang sah.

Selanjutnya, berhubung yang melakukan pengeksploitasian seksual itu

bukan hanya “pengguna” saja tetapi orang yang mengambil keuntungan untuk diri

sendiri seperti mucikari, termasuk kepada melakukan perbuatan eksploitasi

seksual maka perlu ada hukuman bagi mereka karena dampak negatif dari
15

perbuatannya lebih luas bagi ketentraman dan kesehatan sosial, masyarakat

sehingga perlu pengkajian yang lebih mendalam.

E. Metode dan Teknik Penelitian

Dalam mengadakan penelitian mengenai masalah eksploitasi seksual

terhadap anak, penulis menggunakan metode deskriptif, yang bertujuan untuk

mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Di dalamnya terdapat upaya

mendeskripsikan, mencatat, analisis dan menginterpretasikan kondisi-kondisi yang

sekarang ini terjadi atau ada. Dengan kata lain bertujuan untuk memperoleh

informasi-informasi mengenai keadaan saat ini, dan melihat kaitan antara variabel-

variabel yang ada. Penelitian ini tidak menguji hipotesa atau tidak menggunakan

hipotesa, melainkan hanya mendeskripsikan informasi apa adanya sesuai dengan

variabel-variabel yang diteliti, sehingga merupakan kesimpulan yang konkret dari

tahapan-tahapan dan perbandingan-perbandingan yang dikumpulkan dari berbagai

data khususnya melalui studi literatur. (Mardalis, 1989: 26)

Adapun teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui “book

survey” dengan pengumpulan data dari bahan-bahan bacaan baik Al Quran,

beberapa hadist, UU Perlindungan Anak, majalah, koran dan bahan-bahan lain

yang ada hubungannya dengan masalah eksploitasi seksual pada anak.


16

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini sebagai berikut:

Bab 1, Pendahuluan. Bab ini membahas Latar Belakang Masalah, Identifikasi

Masalah, Tujuan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metode dan Teknik Penelitian

dan Sistematika Penulisan.

Bab II, Tinjauan Umum Tentang Eksploitasi Seksual Pada Anak. Bab ini

membahas Pengertian Eksploitasi Seksual pada Anak, Bentuk-bentuk Eksploitasi

Seksual, Aspek Hukum Tindak Pidana Eksploitasi Seksual pada Anak, Sanksi

Hukum Tindak Pidana Eskploitasi Seksual pada Anak.

Bab III, Analisis Eksploitasi Seksual pada Anak ditinjau dari UU Perlindungan

Anak dan hukum Islam.

Bab IV, Penutup. Dalam bab akhir dari skripsi ini, memuat tentang kesimpulan

dan saran.
B A B II

TINJAUAN UMUM TENTANG

EKSPLOITASI SEKSUAL PADA ANAK BERDASARKAN UU

PERLINDUNGAN ANAK DAN HUKUM ISLAM

A. Pengertian Eksploitasi Seksual Anak

1. Menurut UU Perlindungan Anak

Pengertian dari kata eksploitasi seksual pada anak terbagi menjadi tiga

bagian yaitu eksploitasi, seksual dan anak. Ketiga bagian itu akan dibahas secara

terpisah yang pada akhirnya akan menjadi satu makna.

“Pengertian eksploitasi menurut bahasa adalah pemanfaatan untuk

keuntungan sendiri, pengisapan, pemerasan tenaga orang lain”.(Idris, 1988: 30).

Sedangkan makna eksploitasi menurut terminologi adalah “kecenderungan yang

ada pada seseorang untuk menggunakan pribadi lain demi pemuasan kebutuhan

orang pertama tanpa memperhatikan kebutuhan pribadi kedua”. ( Kartono, 2001:

180).

Menurut UU Perlindungan Anak bahwa eksploitasi adalah “tindakan atau

perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak untuk memperoleh

kepentingan pribadi, keluarga atau golongan”. (Umbara, 2003: 50).

“Pengertian seksual secara bahasa adalah proses penggabungan dua sel

gamet yang dihasilkan induk jantan dan betina, sehingga menghasilkan zigot yang

akan tumbuh dan berdiferensi menjadi individu baru”. (Idris, 1988: 474).

17
18

Ada pula yang mendefinisikan pengertian dari seksualitas itu sendiri

adalah peninjauan dari segi kejiwaan tentang cara–cara seseorang memenuhi dan

mendapatkan kepuasan dalam menyalurkan dorongan seksnya. “Pengalaman

seksual secara normal ialah heteroseksualitas, yaitu menyalurkan dorongan seks

dan memperoleh kepuasan dengan jenis kelamin berlawanan dan dengan cara-cara

normal juga”. ( Shadily,1991: 3060).

Pengertian seksual menurut terminologi adalah menyinggung hal

reproduksi/perkembangbiakan lewat penyatuan dua individu yang berbeda yang

masing–masing menghasilkan sebutir telur dan sperma atau secara umum,

menyinggung tingkah laku, perasaan, atau emosi yang berasosiasi dengan

perangsangan alat kelamin, daerah–daerah erogenus, atau dengan proses

perkembangbiakan. ( Kartono, 2001: 459).

Menurut Dede Oetomo bahwa seks adalah perbuatan yang melibatkan

kenikmatan saraf-saraf di tubuh dan acapkali terlampau terpaku pada organ tubuh

yang dipahami sebagai alat kelamin tetapi juga melibatkan organ lain seperti

tangan, dada, sela paha, mulut dan dubur. (Oetomo, 2003: 1).

Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas, nampaknya tidak ada

perbedaan pendapat, karena definisi seksual semuanya mengacu pada perbuatan

yang dilakukan oleh dua individu yang berbeda yang melibatkan kenikmatan pada

saraf-saraf di tubuh.

Sekalipun demikian, mempelajari seksualitas pada manusia berarti

mempelajari keseluruhan proses pembentukan diri seseorang. Fenomena seks

yang multidimensional mencakup hampir seluruh aspek dalam diri manusia, baik
19

itu aspek biologis, psikologis, sosial, behavioral, klinis maupun aspek sosio-

kultural. Aspek-aspek ini terintegrasikan seluruhnya dalam perilaku seksual

manusia. Identitas seksual mempunyai dasar yang paling nyata dan lengkap yaitu

tubuh dan jiwa.

Pengertian anak secara bahasa adalah manusia yang masih kecil (belum

dewasa) (Ali, 1994: 35). Sedangkan pengertian anak secara terminologi adalah

“seseorang yang belum mencapai tingkat kedewasaan, bergantung pada sifat

referensinya. Istilah tersebut bisa berarti seorang individu di antara kelahiran dan

masa pubertas, atau seorang individu di antara kanak-kanak (masa pertumbuhan,

masa kecil) dan masa pubertas.” (Kartono, 2001: 83).

Selain itu ada pula yang mendefinisikan bahwa anak adalah kelompok

manusia muda yang batasan usianya tidak selalu sama di berbagai negara. Di

Indonesia, sering dipakai batasan umur anak dari 0 – 21 tahun. Dengan demikian,

dalam kelompok anak akan termasuk bayi, anak balita dan anak usia sekolah.

Dalam berbagai perbedaan penentuan batasan umur anak ini, umumnya disepakati

oleh masa anak karena merupakan masa yang dilalui oleh setiap orang untuk

menjadi manusia dewasa. (Nugroho, 1988: 4).

Masa anak ditandai oleh proses tumbuh kembang, yang meliputi aspek

fisik, biologis serta mental, emosional dan psikososial. (Nugroho, 1988: 4).

UU Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1) mendefinisikan seseorang yang

belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Artinya,

anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
20

perkawinan, berada di bawah kekuasaan orang tua selama mereka tidak dicabut

kekuasaannya.

2. Menurut Hukum Islam

Pengertian eksploitasi dalam hukum Islam tidak ada pengkajian yang

khusus, hanya saja jika melihat dari berbagai pengertian yang telah diungkapkan

di atas bahwa pengertian eksploitasi itu adalah memanfaatkan tenaga seseorang

secara berlebihan untuk keuntungan diri sendiri baik yang bersifat materiil atau

non materiil.

Sedangkan pengertian seks adalah upaya untuk reproduksi lantaran

kebutuhan akan keberlangsungan spesies (khususnya manusia). (Smith, 1994:

357). Dan pengertian anak dalam hukum Islam sangat beragam definisinya,

diantaranya Undang-undang Perkawinan menyebutkan batasan umur anak apabila

telah mencapai umur 18 tahun, atau sudah menikah meskipun di bawah umur 18

tahun.

Kompilasi Hukum Islam menyatakan bahwa batasan usia dewasa yang

mewajibkan orang tua untuk melakukan pemeliharaan yakni pada Pasal 98 ayat

(1) yang menentukan batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa

adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau

belum pernah melangsungkan perkawinan.

Batasan umur anak yang terdapat dalam KHI tidak ada perbedaan dengan

UU No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dalam UU tersebut dinyatakan

bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)

tahun dan belum pernah kawin.


21

Dalam hukum Islam, batasan umur anak yang dikatakan dewasa adalah

apabila telah berumur 15 tahun atau telah bermimpi dan keluar air mani bagi anak

laki-laki dan bagi wanita telah datangnya haid, maka yang demikian telah sampai

kewajiban syara (taklifi). (Effendy, 2000: 390).

Dalam hadist shahih disebutkan bahwa:

Artinya: ”Dari Ibnu Umar r.a ia meminta kepada Rasulullah saw. untuk menjadi
tentara pada waktu perang uhud, sedang dia ketika itu berusia 14
tahun. Beliau tidak membolehkan. Kemudian dia kemukakan pula
permohonan pada peperangan. Khandak dan dia telah berusia 15
tahun. Beliau mengabulkan permohonannya”. (Bukhari, t.t: 73).

Berdasarkan uraian di atas bahwa batasan umur anak yang dianggap telah

dewasa adalah sejak ada tanda-tanda perubahan badaniah baik bagi anak pria

maupun wanita, yang disebut sebagai akil baligh dalam melaksanakan

pertanggungjawabannya (Kusumah, 1986: 12).

Berbeda dengan hukum adat bahwa tidak ada ketentuan yang pasti kapan

seseorang dapat dianggap dewasa dan wenang bertindak. Hasil penelitian

Soepomo tentang Hukum Perdata Jawa Barat dijelaskan bahwa ukuran

kedewasaan seseorang dapat diukur dari segi:

1. Dapat bekerja sendiri (mandiri);

2. Cakap untuk melakukan apa yang disyaratkan dalam kehidupan

bermasyarakat dan bertanggung jawab;

3. Dapat mengurus harta kekayaannya sendiri;

4. Telah menikah;
22

5. Berusia 21 tahun.

Selama di tubuhnya berjalan proses pertumbuhan dan perkembangan,

orang itu masih menjadi anak dan baru menjadi dewasa bila proses perkembangan

dan pertumbuhan itu selesai. Jadi, batasan umur anak-anak adalah sama dengan

permulaan menjadi dewasa, yaitu 18 tahun untuk wanita dan 20 tahun untuk laki-

laki.

Seperti telah dijelaskan di atas, hukum adat tidak mengenal ukuran umur.

Apabila seorang anak telah matang pikirannya, atau telah cukup kuat tenaga

badannya untuk mencari nafkah sendiri, atau sudah matang untuk dapat hidup

bersama dengan anggota jenis kelamin lain, maka ia dianggap telah dewasa.

Ada pula batasan kedewasaan seseorang berdasarkan KUH Perdata Pasal

330 bahwa anak adalah mereka yang belum berumur 21 tahun dan belum kawin.

Apabila kawin sebelum berumur 21 tahun dan perkawinan terputus sebelum

mencapai umur 21 tahun, mereka tetap dianggap sudah dewasa.

Uraian di atas, nampak ada perbedaan pendapat dalam menentukan batas

maksimal umur anak sehingga ada kesan terjadi pengelompokan pengertian anak.

Berhubung pengelompokan pengertian eksploitasi seksual pada anak

memiliki aspek yang sangat luas. Karena dapat diterjemahkan untuk mendekati

eksploitasi seksual pada anak secara benar menurut sistem kepentingan agama,

hukum, sosial, dari masing-masing bidang pengertian anak di berbagai cabang

ilmu akan berbeda-beda secara substansial, fungsi, makna dan tujuannya maka

pengertian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pengertian eksploitasi

seksual pada anak menurut sistem kepentingan hukum dan agama yang tertuang
23

dalam UU Perlindungan Anak, KHI dan hukum Islam yaitu maksimal berumur 21

tahun.

Berdasarkan uraian di atas, pengertian eksploitasi seksual pada anak adalah

tindakan yang dilakukan secara berlebihan untuk mengeruk keuntungan diri

sendiri dengan memperkerjakan anak di bawah umur 21 tahun sebagai pekerja

seks.

B. Bentuk – bentuk Eksploitasi Seksual pada Anak

1. Menurut UU Perlindungan Anak

Bentuk – bentuk eksploitasi terbagi menjadi dua macam, yaitu:

1. Eksploitasi fisik, diantaranya:

a. Pekerja/buruh anak di sektor industri atau perusahaan yang berbahaya.

b. Pengemisan anak terlantar (anak jalanan).

2. Eksploitasi seksual, diantaranya:

a. Prostitusi anak.

b. Sodomi anak.( Soeaidy, 2001: 17).

Sedangkan menurut Suyanto (2003: 51) bentuk dari eksploitasi seksual

untuk kepentingan prostitusi bisa juga berupa pemanfaatan anak untuk

kepentingan pornografi, pencabulan, jasa layanan seksual dan praktek pedhofil

yaitu daya tarik seksual yang dirasakan oleh seorang dewasa terhadap seorang

anak. Selain itu menurut Suyanto, bahwa di daerah Semarang ada juga bentuk

tindak kekerasan seksual yang lazim dialami anak-anak perempuan adalah

melayani laki-laki dalam jumlah banyak dalam 1 (satu) kali booking ( 4-7 orang)
24

atau tindikhan, yaitu melayani laki-laki yang alat kelaminnya memakai anting-

anting.

Tipe–tipe prostitusi atau PSK (Pekerja Seks Komersial) dapat

diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu: a. Prostitusi terbuka versus

terselubung.

Prostitusi pada anak usia di bawah umur yang bekerja di tempat atau

industri seks terselubung ini diikat dengan kontrak kerja, ditempatkan di

penampungan sendiri, dijajakan atau dipamerkan di dalam suatu ruangan atau

tempat di mana tamu atau pembeli dapat melihat dan memilih mereka.

Kondisi kerja mereka menunjukan ciri-ciri “bonded”, yaitu disekap dan tidak

diperbolehkan keluar dari tempat kerja dan penampungan tanpa seijin

pengawas atau mucikari.

Sebagian jenis prostitusi ini memberlakukan kontrak kerja pada para

penjaja seks selama 6 bulan. Kontrak dapat diperpanjang di tempat kerja atau

dipindahkan ke lokalisasi terselubung lain, atau jika mereka tidak

memperpanjang kontrak dan keluar dari tempat kerjanya beralih menjadi

pekerja seks “free-lancer”.

b. Freelancer versus terikat.

c. Kelas ekonomi bawah versus menengah atas.

Dari ketiga uraian tadi, biasanya tempat yang dijadikan transaksi anak

yang dijadikan sebagai Pekerja Seks Komersial adalah panti pijat, bar, karaoke,

rumah bordil dan tempat hiburan lainnya.


25

2. Menurut Hukum Islam

Bentuk – bentuk eksploitasi seksual menurut hukum Islam salah satunya

diantaranya adalah melakukan perbuatan sodomi. Selain prostitusi, ada juga

pelayanan seks konvensional, oral dan anal. Anak laki-laki harus bisa berprofesi

sebagai homo dan hetero karena ada layanan-layanan khusus, dan hal ini memiliki

resiko yang tinggi bagi kesehatan mereka. Tidak hanya itu, korban pun pernah

mengalami pengalaman kekerasan fisik sebanyak 25 % dilakukan oleh mucikari

dan 16 % oleh pelanggan. (Amiruddin, 2003: 123).

Kasus sodomi yang dilakukan oleh penderita pedhofilia juga telah terjadi,

bahkan dalam hitungan per hari kasus ini banyak/sering diberitakan melalui media

massa, umumnya terjadi pada anak laki-laki berusia 9-12 tahun. Ancaman yang

ringan pada anak-anak dengan sedikit iming-iming yang sudah cukup efektif

untuk menutup perbuatannya.

Seorang homo melakukan hubungan seksual dengan cara sodomi atau

liwath. Istilah ini diambil dari kisah pada zaman Nabi Luth yang kaumnya suka

melakukan hubungan abnormal ini, yaitu dengan cara memasukkan penis ke

dalam anus teman kencannya. Islam dengan tegas melarang perbuatan tersebut

dan menyamakannya dengan zina.

Homoseksual dapat berpengaruh pada perkembangan jiwa, daya pikir, dan

akhlak. Sayid Sabiq menerangkan hal itu dalam Fiqh sunnah:

1. Pengaruh Homoseksual terhadap Jiwa

Perbuatan homoseks dapat merusak jiwa. Seorang homo akan bertindak

sebagai seorang wanita, sementara raganya pria. Ketidaksesuaian ini akan


26

menimbulkan efek psikologis yang besar sehingga jiwanya terganggu. Dia

kemudian mendandani dirinya seperti kaum wanita dan menganggap

pasangannya seorang pria. Padahal keduanya pria sehingga melakukan lewat

anus.

2. Pengaruh Homoseksual terhadap Daya Pikir

Seorang pengidap homo bisa menderita lemah syahwat yang diikuti

dengan lemah mental, seperti mudah tersinggung dan malas bermasyarakat.

Akhirnya dia tidak bisa berfikir dengan jernih dan aktivitasnya lebih banyak

dipengaruhi oleh emosi.

3 Hubungan Homoseksual dengan Akhlak

Pengidap homoseksual pasti bertabiat jelek, karena tidak bisa

membedakan yang baik dan yang buruk. Akal sehatnya sebagai orang normal

sudah tidak ada lagi. Pikirannya lebih diisi oleh pemuasan nafsu melalui

hubungan sejenis. Dengan nafsunya itu mereka tega melakukan perbuatan

maksiat dengan anak-anak, seperti yang kita dengar beritanya.

C. Unsur-unsur Perbuatan Eksploitasi Seksual pada Anak

1. Menurut UU Perlindungan Anak

Menurut R.Susilo bahwa unsur-unsur perbuatan eksploitasi seksual adalah

1. adanya suatu perbuatan yang melanggar kesusilaan atau kesopanan;

2. adanya suatu perbuatan keji;

3. perbuatan itu merupakan perbuatan yang berhubungan dengan lingkungan

nafsu birahi dan kelamin. (Susilo, 1996: 183).


27

Menurut Hukum Adat bahwa kesalahan kesopanan adalah semua

kesalahan yang mengenai tata tertib tingkah laku sopan santun di dalam

pergaulannya dengan anggota kerabat dan masyarakat. Sedangkan kesusilaan

adalah semua kesalahan yang menyangkut watak budi pekerti pribadi seseorang

yang bernilai buruk dan perbuatannya mengganggu keseimbangan masyarakat

tetapi khususnya mengenai kelamin seks seseorang (Hadikusuma, 1989: 70).

Kesusilaan berarti rasa kesopanan yang berkaitan dengan nafsu kekelaminan.

Jenis-jenis perbuatan eksploitasi seksual yang melanggar kesusilaan atau

kesopanan, diantaranya adalah:

1. Pandangan cabul pada anak dengan melihat dari atas ke bawah pada bagian-

bagian tertentu;

2. Mendekap anak dengan penuh gairah atau syahwat;

3. Meraba bagian anggota tubuh tertentu untuk kepuasan seks dirinya;

4. Menggesekan tubuhnya ke tubuh anak perempuan;

5. Memasukkan penis ke dalam vagina dan atau dubur;

6. Memaksa anak untuk melakukan oral seks, dan sebagainya.

Kejahatan kesusilaan yang diatur dalam KUH Pidana terdapat pada bab 10

buku KUHP. Bila dilihat bab XIV buku II tersebut memuat 2 (dua) macam tindak

pidana, yang pertama berupa kejahatan melanggar kesusilaan (Pasal 281-299

KUHP), sedangkan bentuk yang kedua berupa kejahatan melanggar kesopanan

yang bukan kesusilaan (Pasal 300-303 KUHP).

Dalam kejahatan kesusilaan yang diatur dalam Pasal 281 sampai dengan

pasal 299 KUHP dapat dibedakan menjadi beberapa bagian sebagai berikut:
28

a. Kejahatan kesusilaan yang bersifat non sexual coxion (Pasal 281-283 KUHP).

b. Kejahatan kesusilaan yang bersifat hubungan seksual (Pasal 284-289 KUHP)

c. Kejahatan kesusilaan yang bersifat homoseksual ( Pasal 292 KUHP).

Pelanggaran terhadap kesopanan di muka umum dan terhadap kesopanan

dengan kehadiran orang lain tanpa dikehendaki, perkosaan, persetubuhan dengan

wanita dalam keadaan tidak sadarkan diri atau dalam keadaan lemah, penyerangan

secara nyata terhadap kesopanan, tindakan-tindakan cabul dengan seseorang

dalam keadaan tidak sadarkan diri atau keadaan lemah, perdagangan wanita,

sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 281, 284, 285 sampai dengan Pasal 290,

Pasal 292 sampai dengan Pasal 297 merupakan kejahatan terhadap kesusilaan atau

kesopanan yang paling tepat, berhubung perbuatan-perbuatan cabul tersebut

tampak sebagai akibat nafsu seksuil, tampak sifat seksuilnya berkembang secara

tak sadar. Perbuatan-perbuatan tersebut dapat menimbulkan bahaya bagi

kelestarian kehidupan masyarakat.

Berikut ini macam-macam tindak kesusilaan atau kesopanan menurut KUH

Pidana, yaitu:

1. Merusak kesusilaan dihadapan umum, (Pasal 281 sampai dengan Pasal 303

KUHP);

2. Pornografi, (Pasal 282 KUHP). Berisi tentang tulisan, gambar atau patung atau

barang yang berisi atau menggambarkan sesuatu hal yang menyinggung rasa

susila dari orang yang membacanya atau melihatnya.

3. Membujuk orang yang belum dewasa untuk bersetubuh dengan orang lain,

(Pasal 288 KUHP);


29

4. Perbuatan cabul dengan orang pingsan, (Pasal 290 KUHP);

5. Membujuk orang yang belum berumur 15 tahun untuk dicabuli, (Pasal 291

KUHP);

6. Dengan perbuatan menggerakan orang yang belum dewasa berbuat cabul,

(Pasal 293 KUHP). Pada pasal ini dijelaskan untuk melakukan atau

membiarkan dilakukannya perbuatan cabul dengan dia secara:

a. Memberi hadiah atau menjanjikan akan memberi uang atau barang;

b. Menyalahgunakan kekuasaannya yang tumbuh dari hubungannya dengan

orang yang belum dewasa;

c. Menipu.

Unsur kedua yang termasuk eksploitasi seksual pada anak adalah adanya

suatu perbuatan keji. Perbuatan keji menurut R.Susilo adalah “perbuatan dengan

adanya kekerasan atau ancaman kekerasan untuk melakukan persetubuhan dengan

perempuan yang bukan isterinya”. Sehingga, perbuatan keji terjadi apabila adanya

perkosaan. Perkosaan diartikan sebagai: “Menimbulkan dengan kekerasan,

menggagahi, memaksa dengan kekerasan”. (Poerwadarminta, 1986: 114).

R. Susilo menyatakan bahwa seseorang diperkosa “Bila seorang

perempuan yang dipaksa dengan keadaan sedemikian rupa pada akhirnya tidak

dapat melawan lagi dan terpaksa mau melakukan persetubuhan tersebut”.

(Susilo, 1983: 20). Dengan demikian menurut Susilo seseorang diperkosa bila

dalam keadaan dipaksa, tidak dapat melawan dan ada keterpaksaan dalam

melakukannya.

Berikut ini macam-macam tindak perbuatan keji, yaitu:


30

1. Perbuatan zina, (Pasal 284 KUHP);

2. Perkosaan, (Pasal 285 KUHP);

3. Bersetubuh dengan wanita pingsan, di luar perkawinan, (Pasal 286 KUHP);

4. Bersetubuh dengan seseorang yang masih di bawah umur, (Pasal 287 KUHP).

Untuk melakukan persetubuhan dengan anak yang di bawah umur dengan cara

membujuk atau melakukannya perbuatan cabul;

5. Membujuk orang yang belum dewasa untuk bersetubuh dengan orang lain

(Pasal 288 KUHP);

6. Perbuatan cabul dengan kekerasan atau ancaman kekerasan (Pasal 289

KUHP). Yang dimaksud dengan “perbuatan cabul” ialah segala perbuatan

yang melanggar kesusilaan atau perbuatan keji yang berhubungan dengan

nafsu kelamin, misalnya: bercium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan,

meraba-raba buah dada dan sebagainya;

7. Bersetubuh dengan anak di bawah umur dari jenis kelamin yang sama (Pasal

292 KUHP);

8. Perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dilakukan orang tua atau

yang mempunyai hubungan (Pasal 294 KUHP);

9. Memudahkan anak di bawah umur untuk berbuat cabul (Pasal 295 KUHP);

10. Mata pencaharian mengadakan atau memudahkan perbuatan cabul (Pasal 296

KUHP).

Adapun unsur ketiga yakni perbuatan yang berhubungan dengan

lingkungan nafsu birahi dan kelamin.


31

Macam-macam perbuatan yang berhubungan dengan lingkungan nafsu

birahi menurut KUHP adalah:

1. Berpekerjaan atau berkebiasaan sengaja mengadakan atau memudahkan

perbuatan cabul dengan orang lain, (Pasal 296 KUHP);

2. Memperdagangkan wanita dan anak laki-laki yang belum cukup umur, (Pasal

297 KUHP);

3. Melakukan pengguguran pada seorang wanita yang sedang hamil dengan

mengobatinya atau dengan diobatinya, (Pasal 299 KUHP).

2. Menurut Hukum Islam

Berdasarkan dengan tindak kesusilaan dalam hukum Islam, dalam

AlQur’an Allah telah memerintahkan kepada umat-Nya untuk menundukkan

pandangan jika ada pemandangan yang menimbulkan birahi, yakni melalui

firman-Nya dalam Q.S 24: 30-31:


32

Artinya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah


mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah
kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali
kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka,
atau putera-putera mereka, atau putera -putera suami mereka, atau
saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara laki-
laki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan
(terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang
aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar
diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah
kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung. (Depag, 1997: 547).

Dalam ayat di atas bahwa Allah SWT telah melarang perempuan dan

juga laki-laki melihat pada apa yang telah diharamkan. Allah juga telah

memerintahkan mereka untuk menjaga kesucian mereka. Karena itulah,

perempuan harus menutupi aurat dan menyembunyikan perhiasan serta kecantikan


33

alaminya kecuali dari pandangan sanak saudara mereka yang telah disebutkan di

dalam ayat diatas.

Adapun bentuk konkrit dari tindak kesusilaan menurut hukum Islam, diantaranya:

1. Perbuatan melanggar kesusilaan di muka umum;

2. Tentang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan, memperdengarkan

dan sebagainya tulisan gambar, benda dan rekaman yang merusak atau

melanggar perasaan kesusilaan;

3. Mengenai persetubuhan dengan anggota sendiri (incest);

4. Mengenai pengguguran kandungan;

5. Tentang menjual atau memberi minuman keras yang memabukkan;

6. Mengenai orang yang mengeksploitasi anak-anak di bawah umur untuk

melakukan pengemisan dan sebagainya

Sedangkan macam-macam tindak perbuatan keji pada unsur kedua menurut

hukum Islam:

1. Perbuatan zina, yang terdapat dalam Q.S 17: 32, yaitu:

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (Depag,
1997: 429).

2. Melacurkan hamba sahaya, terdapat dalam Q.S 24: 33, yaitu:


34

Artinya: “Dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk


melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian,
karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan
barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka)
sesudah mereka dipaksa (itu)”. (Depag, 1997: 549).

3. Melakukan perbuatan sodomi:

4. Rasulullah bersabda:

(‫ﺪﻤﺣأ‬ ‫)ﻩارو‬ ‫ًﺎَﺛَﻼﺛ‬ ‫َﺎهﱠَدر‬ ‫َو‬ ‫ٍْطُﻮ ﻟ‬ ‫ْمَﻮ ﻗ‬ ‫ِﻞَﻤ ﻋ‬ ‫َﻦ ْﻣ‬ ‫ﷲُا‬ ‫َﻦ ََﻌﻟ‬

Artinya: “Semoga Allah melaknat seseorang yang berani melakukan


perbuatan kaum Luth (sodomi), kata-kata ini diulang sebanyak tiga
kali. (Thabbarah, 1984: 126).

5. Khusus perbuatan cabul yang dilakukan dengan sesama pria (male homosex).

Perbuatan ini dilarang dalam Q.S 7: 81, yaitu:

Artinya: “Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu


(kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah
kaum yang melampaui batas”. (Depag, 2003: 234).

6. Perkosaan

Peristiwa ini pernah terjadi pada zaman Khalifah Umar bin Khattab yaitu

Ubaidullah atau Abu Syamhah. Pada saat Ubaidullah dalam keadaan mabuk,

dia melihat wanita yang sedang tidur lalu menzinainya sampai wanita ini

hamil. Peristiwa ini termasuk dalam tindakan perkosaan. (Doi, 2002: 314)
35

7.

Artinya: “Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-
orang yang melampaui batas”. (Al-mu’minun, 23: 7).

Menurut tafsir Ruhul Bayan kata-kata (Yang di balik itu)

ditafsirkan sebagai perbuatan zina, homosexual dan sebagainya. Sedangkan

kata-kata artinya mereka meninggalkan yang halal dan memilih

yang haram.

Maksud dari ayat ini adalah orang-orang supaya memelihara farjinya dari

perbuatan haram seperti berzina atau sodomi, dan mereka hanya mendekati

isterinya atau suaminya. Barang siapa yang menerima apa yang telah dihalalkan

Allah kepadanya maka tidak ada celaan dan dosa atasnya. Barang siapa yang

memilih selain isteri atau suaminya dan budak sahaya maka mereka itulah orang-

orang yang melampaui batas. (Ar-rifa’i, 2000: 408).

Adapun unsur ketiga yakni perbuatan yang berhubungan dengan

lingkungan nafsu birahi dan kelamin.

Bentuk-bentuk perbuatan yang berhubungan dengan lingkungan nafsu

birahi dan kelamin menurut hukum Islam adalah:

1. Memandang lawan jenis yang bukan haknya.

a. Kisah Ibnu Abbas yang melirik 2 (dua) kali terhadap wanita yang bukan

mahramnya.
36

b. Membuka aurat yang seharusnya ditutupi terdapat dalam Q.S 24: 31

dikatakan yaitu:

Artinya: “...dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang


(biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan
kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya...”. (Depag, 1997: 548).

Dalam ayat tersebut, dijelaskan bahwa wanita dilarang memperlihatkan

perhiasan (aurat) kepada orang yang bukan mahramnya.

2. Melakukan hubungan seks di luar persetubuhan dengan isteri dan hamba

sahaya. Seperti yang difirmankan dalam Q.S 23: 5-7, yaitu

Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap


isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa
mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang
melampaui batas”. (Depag, 1997: 526).
37

3. Membunuh anak termasuk di dalamnya menggugurkan kandungan atau

abortus. Seperti yang dinyatakan dalam Q.S 17: 31 yaitu:

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut


kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan
juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu
dosa yang besar”. (Depag, 1997: 428).

Berdasarkan bahasan di atas, perbuatan yang melanggar asusila diawali

dengan bentuk pandangan dan atau perbuatan cabul sampai melakukan bentuk

pemaksaan untuk menyetubuhi seorang perempuan.

D. Aspek Hukum Tindak Pidana Eksploitasi Seksual pada Anak

1. Menurut Undang – Undang Perlindungan Anak

Pada uraian sebelumnya, telah dijelaskan bahwa perbuatan eksploitasi

seksual pada anak termasuk ke dalam masalah tindakan yang berkenaan dengan

kesusilaan.

Kesusilaan merupakan suatu aspek dari moral yang memuat anasir-anasir

seks seorang manusia dengan cara memandangi anak dengan pandangan cabul,

mendekap anak dengan penuh gairah, meraba-raba bagian tubuh tertentu,

menggesekan tubuhnya ke tubuh anak perempuan, memasukkan penis ke dalam

vagina atau dubur, memaksa anak untuk melakukan oral seks. Dengan demikian
38

menurut M. Sudrajat Bassar bahwa suatu pergaulan akan menjadi tindak pidana

apabila perbuatan itu:

1. Melawan hukum;

2. Merugikan masyarakat;

3. Dilarang aturan pidana;

4. Pelakunya diancam dengan hukuman pidana (Bassar, 1986: 2).

“Sesuatu yang dianggap melawan hukum apabila perbuatan yang oleh

aturan pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar

aturan tersebut”. (Bassar, 1986: 2).

Hal ini terbukti dengan anak yang di bawah umur 18 (delapan belas) tahun

yang dipekerjakan sebagai pekerja seksual dengan cara ditipu, disekap, dipaksa

dan kemudian dijual pada germo untuk dijadikan pekerja seksual secara

berlebihan dan mereka mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya.

Perbuatan tersebut sangat melanggar aturan yang terdapat dalam UU

Perlindungan Anak dan hukum Islam, karena anak yang dibawah umur masih

berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dari orang tua, negara,

pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya.

Selain perbuatan tersebut melawan hukum, perbuatan tersebut juga

termasuk yang merugikan masyarakat. Karena, perbuatan tersebut bertentangan

dengan atau menghambat akan terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat.

Selain merugikan masyarakat juga merugikan jiwa dan mental anak tersebut.
39

Dalam UU Perlindungan Anak telah dinyatakan bahwa perbuatan

eksploitasi seksual pada anak dilarang dan diancam dengan pidana, yang terdapat

dalam Pasal 66 ayat (3), bahwa:

“Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh


melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)”. (Umbara, 2003: 32).

Sedangkan ancaman pidananya menurut UU Perlindungan Anak dalam


pasal 88: “Apabila setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak
dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan atau denda paling banyak
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”. (Umbara, 2003: 41).

Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum

Pidana, pada umumnya mengandung dua macam unsur, yaitu:

a. Unsur subyektif

b. Unsur Obyektif.

Dengan hal tersebut di atas, Leden Marfaung menjelaskan pengertian dari

unsur subyektif dan obyektif sebagai berikut:

Unsur subyektif adalah unsur yang melekat pada pelaku tindak pidana

dalam hal ini termasuk juga suatu terkandung dalam hatinya. Adapun unsur-unsur

subyektif dari suatu tindak pidana adalah:

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan;

2. Maksud pada suatu percobaan atau poging;

3. Merencanakan terlebih dahulu;

4. Perasaan takut.

Unsur obyektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan

tertentu, di mana dalam keadaan tersebut sesuatu perbuatan telah dilakukan.


40

Unsur-unsur obyektif dari unsur tindak pidana adalah

a. Sifat melanggar hukum;

b. Kualitas dari sipelaku;

c. Kausalitas adalah hubungan suatu tindakan sebagai penyebab dengan

kenyataan sebagai akibat (Marfaung, 1991: 5).

Kejahatan terhadap kesusilaan dalam KUHP dapat dikelompokkan menjadi:

1. Kejahatan terhadap kesopanan seksuil;

2. Kejahatan terhadap kesusilaan seksuil;

3. Kejahatan terhadap penggunaan minuman yang memabukkan;

4. Kejahatan tentang penyerahan anak-anak yang diperuntukkan guna

melakukan:

- Permainan ketangkasan yang berbahaya;

- Pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya atau merugikan kesehatan.

5. Penganiayaan hewan;

6. Perjudian. (Anwar, 1986: 210).

Kesusilaan dalam kejahatan sub 1 sampai dengan 6 mempunyai pengertian

yang luas sekali. Semestinya hanya perbuatan-perbuatan yang melanggar norma-

norma kesusilaan seksuil saja tergolong dalam kejahatan terhadap kesusilaan.

Sebagian besar berpendapat bahwa kesusilaan meliputi perbuatan-perbuatan yang

tidak senonoh di dalam pergaulan masyarakat.

2. Menurut Hukum Pidana Islam


41

Tindak pidana dalam hukum Islam dikenal dengan istilah “Al-Jinayah”

yang berarti perbuatan dosa kejahatan atau pelanggaran. Kitab Al-Jinayah dalam

fiqih membahas macam-macam jarimah dan ancaman hukumnya.

Pengertian tindak pidana, sama dengan pengertian jarimah menurut

hukum Islam. Yang dimaksud dengan jarimah adalah larangan-larangan hukum

yang diberikan oleh Allah, yang pelanggarannya membawa kepada hukuman yang

ditentukan. Larangan hukum berarti melakukan perbuatan yang dilarang atau

tidak melakukan suatu perbuatan yang diperintahkan. Dengan demikian, suatu

kejahatan adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh syariat. Dengan kata lain,

melakukan (commission) atau tidak melakukan (ommission) suatu perbuatan yang

membawa kepada hukuman yang telah ditentukan oleh syariat adalah kejahatan.

(Santoso, 2003: 20).

Yang mendorong suatu perbuatan dianggap jarimah, ialah apabila

perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat baik

jasad (anggota badan atau jiwa), harta benda, keamanan, tata aturan masyarakat,

nama baik, perasaan ataupun hal-hal lain yang harus dipelihara dan dijunjung

tinggi nilai keberadaannya.

Menurut Ahmad Hanafi ada empat kemungkinan dalam membagi kerja

sama dalam berbuat jarimah:

1. Pelaku melakukan jarimah bersama-sama orang lain (mengambil bagiannya

dalam melaksanakan jarimah). Artinya, secara kebetulan melakukan bersama-

sama;

2. Pelaku mengadakan persepakatan dengan orang lain untuk melakukan


42

jarimah;

3. Pelaku menghasut (menyuruh) orang lain untuk melakukan jarimah;

4. Orang yang memberi bantuan atau kesempatan jarimah dengan berbagai cara,

tanpa turut serta melakukannya. ( Hakim, 2000: 55).

Seseorang yang berbuat jarimah harus diberi hukuman atas perbuatannya

itu. Sebab hukuman itu sendiri bukan suatu kebaikan bahkan suatu pengrusakan

bagi si pelaku jarimah sekurang-kurangnya, namun hukuman tersebut diperlukan

sebab bisa membawa keuntungan yang konkret bagi masyarakat agar perbuatan

yang sama tidak ditiru orang lain.

Esensi untuk menerapkan hukuman bagi pelaku tindak pidana atau

jarimah, antara hukum Islam dan hukum positif, bertemu dalam suatu pendirian,

dalam suatu tujuan yaitu, terpeliharanya kepentingan masyarakat, ketentraman

hidup dan kelangsungan hidup masyarakat. (Hanafi, 1967: 4).

Jarimah dapat dibagi menjadi beberapa macam dan jenis dengan aspek

yang ditonjolkan. Pada umumnya para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek

berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh Al Qur’an atau

al-Hadist. Atas dasar inilah jarimah terbagi menjadi tiga macam, yaitu:

1. Jarimah Hudud

adalah suatu jarimah yang bentuknya telah ditentukan syara sehingga terbatas

jumlahnya, dan juga ditentukan hukumannya secara jelas, baik menurut Al

Quran dan As-Sunnah. Jarimah ini termasuk dalam jarimah yang menjadi hak

Allah. Adapun jarimah yang termasuk dalam kelompok hudud menurut, para

ulama, ada tujuh macam jarimah, yaitu perzinaan, qadzaf atau (menuduh
43

orang berzina), asyrib atau minum-minuman keras, hirabah atau pembegalan,

al-baghyu atau pemberontakan, dan riddah atau keluar dari agama Islam.

2. Jarimah Qishash/Diyat

Jarimah ini adalah suatu perbuatan tindak pidana yang diancam hukuman

qishash atau hukuman diyat yang keduanya sudah ditentukan batasan-

batasannya dalam syara dan tidak melampaui batas terrendah ataupun

tertinggi. Jenis-jenis jarimah qishash terdiri atas lima macam. Dua jarimah

masuk dalam kelompok jarimah qishash yaitu, pembunuhan sengaja dan

pelukaan dan penganiayaan sengaja. Adapun tiga jarimah termasuk dalam

kelompok diyat, yaitu pembunuhan tidak disengaja, pembunuhan semi

sengaja, dan pelukaan (penganiayaan) tidak sengaja. Di samping itu, diyat

merupakan hukuman pengganti dari hukuman qishash yang dimaafkan.

3. Jarimah Ta’zir

Yaitu orang yang melakukan tindak pidana tetapi tidak mencukupi syarat-

syarat untuk dihadd (dihukum) atau kaffarat diyat (denda). Jadi hukum Ta’zir

ini dalam Islam diserahkan sepenuhnya kepada hakim. Jarimah ta’zir yang

ditentukan syara di antaranya adalah khianat, suap-menyuap, memasuki rumah

orang lain tanpa izin, makan-makanan tertentu, ingkar janji, menipu

timbangan, riba, berjudi dan sebagainya.

Pada hakikatnya jarimah dapat dipersamakan dengan jenis larangan atau

perintah dalam hukum pidana positif yang dikualifikasikan sebagai bentuk

perbuatan pidana atau tindak pidana atau straafbaat feit atau delik.
44

Jika suatu atau karakter ketiga jenis jarimah tersebut dikaji secara

mendalam, maka dapat dikatakan, bahwa hanya jarimah ta’zir yang dapat

dianggap sepadan dengan delik dalam hukum pidana. Sementara itu, jarimah

hudud dan jarimah qishash lebih dogmatis dan telah menjadi hak Allah yang tidak

mungkin diubah atau dikurangi oleh manusia. Hal ini berbeda dengan delik

hukum pidana yang sifatnya dapat diubah, dikurangi, dihapuskan, dan

diperbaharui sesuai dengan kepentingan hukum atau masyarakat yang senantiasa

tumbuh dan berkembang. (Ahmad, 1996: 158).

Adapun aspek tindak pidana dari eksploitasi seksual pada anak dalam

hukum Islam terlihat dalam jarimah hudud, zina. Zina adalah “Memasukkan penis

(zakar, bahasa Arab) kedalam vagina (farj, bahasa Arab) bukan miliknya (bukan

isterinya) dan tidak ada unsur syubhat (Keserupaan atau kekeliruan).” (Al-

Jurjani, 1938: 101). Kesamaan unsur pada kedua perbuatan tersebut ada pada

masalah pelanggaran kesusilaan atau kesopanan, perbuatan keji serta perbuatan

yang berhubungan dengan nafsu birahi dan kelamin diantaranya adalah berupa

pandangan cabul pada anak dengan melihat dari atas ke bawah, mendekap anak

dengan penuh gairah, meraba bagian anggota tubuh tertentu untuk kepuasan seks

dirinya, menggesekan tubuhnya ke tubuh anak perempuan, memasukkan penis ke

dalam vagina dan atau dubur, memaksa anak untuk melakukan oral seks, dan

sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang telah disebutkan diatas semuanya

mengarah pada perbuatan zina, sehingga diindikasikan pengeksploitasian seksual

pada anak serupa dengan jarimah zina. Hal ini terbukti dengan Q.S 17: 32, yaitu:
45

Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”. (Depag,
1997: 429).

Sekalipun dalam jarimah zina bersifat umum dan tidak mengkhususkan pada

anak-anak tapi di dalam ada unsur-unsur seksualitasnya seperti yang telah

dikemukakan sebelum nya.

E. Sanksi Hukum Eksploitasi Seksual Pada Anak

1. Menurut UU Perlindungan Anak

Dalam hukum pidana Indonesia bentuk hukum yang akan diterima pelaku

kejahatan bisa bermacam-macam tergantung dari jenis perbuatannya. Berdasarkan

Pasal 10 KUH Pidana, sanksi hukum itu berupa:

a. Pidana pokok terdiri dari:

1. Pidana mati;

2. Pidana penjara;

3. Pidana kurungan; dan

4. Pidana denda.

b. Sedangkan pidana tambahan terdiri dari:

1. Perbuatan terhadap hak-hak tertentu;

2. Perampasan barang-barang tertentu; dan

3. Pengumuman putusan hakim.


46

Sanksi hukum yang akan diterima pelaku kejahatan seksual sangat

beragam. Misalnya dalam UU Perlindungan Anak Pasal 82 dinyatakan bahwa:

Setiap orang yang sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan,


memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun
dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp.
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit
Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). (Umbara, 2003: 39).

Berdasarkan Pasal 82 di atas apabila seseorang dengan melakukan perbuatan yang

telah dijelaskan di atas secara sengaja maka di penjara paling lama 15 (lima

belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak

Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp.60.000.000,00

(enam puluh juta rupiah). Sanksi tersebut diberikan/dijatuhkan kepada pelaku

kejahatan seksual pada anak secara langsung. Namun, pemberian sanksi hukum

itu tidak hanya menimpa pelaku kejahatan seksual saja tapi orang yang

mengambil keuntungan untuk diri sendiri atau untuk orang lain serta orang yang

mengetahui dan secara sengaja membiarkan anak tereksploitasi secara seksual

akan diberikan sanksi berupa pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan

atau denda paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) sebagaimana

yang dinyatakan dalam Pasal 88 UU Perlindungan Anak, yaitu:

Setiap orang yang mengeksploitasikan ekonomi atau seksual anak dengan


maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan atau denda
paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). (Umbara, 2003:
41).

Dalam pasal ini pelaku akan dikenakan sanksi dengan maksud untuk

menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan cara mengeksploitasikan


47

seksual pada anak maka sanksinya berupa pidana penjara selama 10 (sepuluh)

tahun atau denda Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Sedangkan dalam Pasal 78 UU Perlindungan Anak dinyatakan bahwa:

Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi
darurat, anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 (anak yang menjadi
pengungsi, anak korban kerusuhan, anak korban bencana alam dan anak
dalam situasi konflik bersenjata), anak yang berhadapan dengan hukum,
anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang tereksploitasi
secara ekonomi atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat
adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, anak korban
perdagangan, anak korban kekerasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
59, padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda
paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

Berdasarkan Pasal 78 UU Perlindungan Anak di atas, sanksi hukumnya di

pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak

Rp.100.000.000,00. (seratus juta rupiah) apabila orang itu mengetahui dan secara

sengaja membiarkan atau tidak memberi pertolongan kepada anak yang

tereksploitasi secara seksual.

Selain dalam UU Perlindungan Anak, KUH Pidana pun menjelaskan

sanksi-sanksi hukum yang berkaitan dengan kesusilaan. Ada pun sanksi hukum

dalam Pidana Positif diantaranya:

a. Perkosaan yang dikenakan sanksi pidana penjara selama dua belas tahun,

(Pasal 285 KUHP);

b. Bersetubuh dengan wanita pingsan, di luar perkawinan dikenakan sanksi

pidana penjara selama sembilan tahun, (Pasal 286 KUHP);

c. Bersetubuh dengan seseorang yang masih di bawah umur yang dikenakan

sanksi pidana penjara selama sembilan tahun, (Pasal 287 KUHP);


48

d. Membujuk orang yang belum dewasa untuk bersetubuh dengan orang lain

yang dikenakan sanksi pidana penjara selama empat tahun, jika

mengakibatkan luka-luka dipidana penjara selama delapan tahun dan apabila

mengakibatkan mati maka dijatuhkan pidana penjara selama dua belas tahun,

(Pasal 288 KUHP);

e. Perbuatan cabul dengan kekerasan atau ancaman kekerasan maka dijatuhkan

hukuman pidana penjara selama sembilan tahun, (Pasal 289 KUHP);

f. Bersetubuh dengan anak di bawah umur dari jenis kelamin yang sama

dikenakan sanksi lima tahun, (Pasal 292 KUHP);

g. Perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dilakukan orang tua atau

yang mempunyai hubungan dikenakan sanksi tujuh tahun, (Pasal 294 KUHP);

h. Memudahkan anak untuk berbuat cabul dikenakan sanksi pidana penjara

selama empat tahun, (Pasal 295 KUHP);

i. Bersetubuh dengan anak di bawah umur dari jenis kelamin yang sama

dikenakan sanksi lima tahun, (Pasal 292 KUHP);

j. Perbuatan cabul dengan orang yang belum dewasa dilakukan orang tua atau

yang mempunyai hubungan dikenakan sanksi tujuh tahun, (Pasal 294 KUHP);

k. Memudahkan anak untuk berbuat cabul dikenakan sanksi pidana penjara

selama empat tahun, (Pasal 295 KUHP).

Berdasarkan uraian di atas, sanksi hukum bagi pelaku eksploitasi seksual

pada anak dan bagi mucikari hanya mencakup pada pidana pokok saja, yaitu

pidana penjara dan pidana denda. Sanksi hukumnya baik itu sanksi pidana denda
49

atau pidana penjara sangat beragam tergantung dari pelanggaran yang dilakukan

oleh pelaku.

2. Menurut Hukum Islam

Pada pembahasan terdahulu telah dijelaskan bahwa eksploitasi seksual

pada anak dikategorikan atau diserupakan dengan perbuatan zina, karena unsur-

unsur yang terdapat pada eksploitasi seksual serupa atau hampir serupa dengan

zina sehingga sanksi hukumannya pun disesuaikan dengan sanksi hukum yang

terdapat dalam sanksi jarimah zina.

Menurut Hukum Pidana Islam, sanksi hukum yang akan diterima si pelaku

bermacam-macam, secara umum terbagi kepada tiga bagian yakni:

1. Sanksi hukum had, bisa berbentuk hukuman cambuk (dera atau jilid), rajam,

pengasingan, potong tangan, dan lain-lain;

2. Sanksi hukum qishash berbentuk hukum balas kematian atau pelukaan; dan

3. Sanksi hukum ta’zir yang tidak ditentukan jenis dan bentuk hukumannya

secara pasti dan rinci dalam Alqur’an maupun al-Hadist. Hukumannya

diserahkan kepada hakim (negara).

Adapun sanksi hukum bagi pelaku zina baik pria maupun wanita diancam

dengan hukuman had berupa hukum cambuk atau rajam tergantung status

pelakunya apakah masih lajang (perawan atau jejaka) atau sudah menikah (dalam

hukum Islam dikenal dengan zina muhshan ataupun ghairu muhshan).

Zina muhshan yaitu orang yang sudah baligh, berakal, merdeka, sudah

pernah campur dengan jalan yang sah. Hukumannya terhadap muhshan rajam
50

(dilontar dengan batu yang sederhana sampai mati). Hukuman ini disandarkan

pada hadist Nabi SAW.

‫ًْﻼِﻴَﺒﺳ ﱠُﻦ َﻬﻟ ﷲُا َﻞَﻌ ﺟ َﺪ ْﻗ ﱢﻲَﻨﻋ ْاُو ُﺬ ﺧ ﱢﻲَﻨﻋ ْاُو ُﺬ ﺧ ﱢﻲَﻨﻋ ْاُو ُﺬ ﺧ‬. ‫َةْﺪَﻠُﺟ ْﺮ ِﻜْﺒِﺎﻟ ﺑ ْﺮ ِﻜﺒﻟُا‬

‫َةرَﺎِﺠ ﺤِﺎﻟ ﺑ‬ ‫ْﻢ ﺟﱠﺮﻟَاُو‬ ‫َﺔﺋِﺎٍﻣ‬ ‫َُةْﺪَﻠﺟ‬ ‫ِﺐﻴﱠﺜِﺎﻟ ﺑ‬ ‫ِﺐﻴﱠﺜﻟَاُو‬ ‫َﺔَﻨٍﺳ‬ ‫ْﻲ َﻔُﻧ‬ ‫َو‬ ‫ٍَﺔﺋِﺎﻣ‬

Artinya: Terimalah dariku! Terimalah dariku! Terimalah dariku! Allah telah


memberi jalan kepada mereka. Bujangan yang berzina dengan
bujangan dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu tahun. Dan
orang yang telah kawin yang berzina didera seratus kali dan dirajam
dengan batu. (H.R. Muslim dari Ubadah bin Shamit).

Zina ghairu muhshan (yang tidak termasuk syarat-syarat di atas) seperti

gadis dengan bujang, hukumannya terhadap mereka dipukul seratus kali dan di

buang keluar negeri satu tahun lamanya. Hukuman ini didasarkan pada Al Qur’an

surat An-Nur, 24 ayat 2, yaitu:

Artinya: Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah
tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah
belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan)
agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan
hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (Depag, 1997: 543).
51

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa eksploitasi seksual

pada anak diserupakan dengan perbuatan zina namun harus dilihat per kasus,

karena orang yang mengeksploitasi seksual pada anak bisa menggunakan berbagai

cara seperti memasukan kelamin ke dalam vagina, menyodomi lewat dubur,

memeluk dan meraba-raba saja atau hanya mencicipi uang hasil pelacuran anak

tersebut.

Untuk kasus yang memasukan alat kelamin ke dalam vagina dapat

diancam dengan hukum rajam atau cambuk sebanyak 100 (seratus) kali karena hal

ini sama dengan zina seperti yang dikemukakan Al-Jurjani (1938; 101) dalam

bukunya yang berjudul Masail Fiqhiyah yakni “memasukkan penis (zakar, bahasa

Arab) kedalam vagina (farj, bahasa Arab) bukan miliknya (bukan isterinya) dan

tidak ada unsur syubhat (keserupaan atau kekeliruan)”. Untuk kasus sodomi,

dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Maliki dan Ahmad menyatakan bahwa

hukuman bagi pelaku sodomi adalah rajam sampai mati baik pelakunya muhshan

atau ghairu muhshan. Sementara menurut Syafi’i, hukumannya sama seperti

hukuman untuk zina, yaitu kalau ia muhshan dihukum rajam dan jika ghairu

muhshan dihukum dera 100 (seratus) kali (Santoso, 2003: 25). Sedangkan untuk

kasus lainnya seperti memeluk, meraba atau mengambil uang hasil pelacuran anak

tersebut (mucikari) dalam aturan hukum Islam perbuatan tersebut dilarang, hal

tersebut sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Aun bin Hujaiz, yaitu:
52

Artinya: “Telah diriwayatkan dari Rafi’i bin Hujaiz: ia berkata, aku telah
mendengar Nabi SAW bersabda. Seburuk-buruknya usaha adalah
mengambil upah dari hasil perzinaan dan penjualan anjing dan
mengambil upah dari pembekaman”.

Kandungan dari hadis tersebut dikatakan bahwa seburuk-buruk usaha adalah

mengambil keuntungan dari hasil perzinaan (mucikari), hanya saja sanksi hukum

bagi seorang mucikari tidak dibahas dalam hadis tersebut, maka sanksi hukuman

yang tidak ada ketentuannya dalam Alqur’an dan Hadist dikenakan sanksi hukum

tertentu yang dirumuskan oleh hakim (Negara), sanksi hukumnya jatuh kepada

sanksi hukum ta’zir yang ditetapkan oleh hakim (Negara).


BAB III

ANALISIS EKSPLOITASI SEKSUAL PADA ANAK DITINJAU DARI

UU PERLINDUNGAN ANAK DAN HUKUM ISLAM

A. Tindakan Kriminal Eksploitasi Seksual pada Anak

1. Menurut UU Perlindungan Anak

Berdasarkan uraian bab yang telah dibahas, seperti yang dikemukakan R.

Susilo bahwa eksploitasi seksual akan menyangkut adanya suatu perbuatan yang

melanggar kesusilaan atau kesopanan; adanya suatu perbuatan keji; serta

perbuatan itu berkaitan dengan lingkungan nafsu birahi.

Berdasarkan laporan hasil dari Jurnal Perempuan ( 2003: 27,16,64,53,52)

tindakan eksploitasi seksual pada anak yang sering terjadi di masyarakat adalah:

1. Membujuk anak perempuan dengan diiming-imingi gaji yang besar padahal

akan dipekerjakan sebagai pekerja seksual;

2. Kekerasan seksual, dalam bentuk perkosaan;

3. Memaksa anak laki-lakinya untuk melakukan sodomi;

4. Membujuk anak-anak untuk dijadikan pekerja seksual sebagai mata

pencaharian, dan lain-lain.

5. Pelaku mendekati anak perempuan, memacarinya, lalu memperdayai agar mau

menyerahkan keperawanannya setelah itu dijual ke germo.

53
54

Sedangkan hasil laporan dari Baihaqi dalam buku Anak Indonesia

Teraniaya ( 1998: 3,10 ) tindakan eksploitasi seksual pada anak yang sering terjadi

di masyarakat adalah:

1. Menjual anak kandung kepada germo untuk dijadikan pekerja seksual;

2. Membujuk anak kandung untuk melakukan persetubuhan.

Melihat tindakan-tindakan tersebut di atas maka tindakan tersebut dapat

digolongkan menjadi lima kelompok, yaitu:

1. Mengiming-imingi pekerjaan dengan gaji yang besar;

2. Kekerasan seksual;

3. Memaksa anak untuk melakukan sodomi;

4. Memperdayai anak perempuan atau pacar dengan melakukan hubungan

seksual dan kemudian dijual kepada germo, dan

5. Membujuk anak untuk melakukan hubungan seksual.

Di dalam Pasal 82 dijelaskan bahwa perbuatan tipu muslihat, serangkaian

kebohongan atau membujuk anak melakukan atau membiarkan dilakukan

perbuatan cabul dikategorikan sebagai tindak pidana. Jika melihat pasal di atas,

nampaknya membujuk anak perempuan dengan diiming-imingi gaji besar padahal

akan dipekerjakan sebagai pekerja seksual termasuk melakukan tipu muslihat atau

kebohongan terhadap orang lain, dalam hal ini anak perempuan, sehingga orang

yang melakukan tindakan tersebut akan ditindak pidana. Dengan demikian,

perbuatan itu termasuk kepada tindakan kriminal. Begitu pula dengan perbuatan

kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan termasuk melanggar Pasal 82 di atas.


55

Tindakan melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan (kelompok

pertama), kekerasan seksual baik dalam bentuk perkosaan atau sodomi (kelompok

kedua dan ketiga) tidak hanya melanggar UU Perlindungan Anak Pasal 82 saja

tetapi melanggar UU Perlindungan Anak Pasal 81 ayat (1) yaitu sebagaimana

yang dimaksud dalam Pasal 81 ayat (2) yaitu “setiap orang yang dengan sengaja

melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara

dan denda”.

Pada kasus kelompok keempat yakni memperdayai anak perempuan atau

pacar dengan melakukan hubungan seksual dan kemudian dijual kepada germo

telah melanggar Pasal 81 ayat (1) yang dijelaskan dalam Pasal 81 ayat (2) dan

Pasal 82 yang telah dijelaskan sebelumnya, juga melanggar Pasal 83 dan Pasal 88

yang menyatakan “Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik

anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara dan

denda”. atau “Setiap orang yang mengeksploitasi seksual anak dengan maksud

untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara

dan denda”. Sementara untuk kasus kelompok kelima yaitu membujuk anak untuk

melakukan hubungan seksual, maka tindakan tersebut melanggar UU

Perlindungan Anak Pasal 81 ayat (1) sebagaimana yang diterangkan pada pasal di

atas.

Sedangkan menurut KUH Pidana Pasal 293 ayat (1) dijelaskan bahwa

barang siapa dengan memberi atau menjanjikan uang atau barang,

menyalahgunakan kekuasaan yang timbul dari hubungan keadaan, atau dengan


56

penyesatan sengaja menggerakkan seorang belum cukup umur dan baik tingkah

lakunya, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dengan

dia, padahal tentang belum cukup umurnya itu diketahui atau selayaknya harus

diduga, maka diancam dengan pidana penjara. Melihat pasal di atas, nampaknya

membujuk anak perempuan dengan diiming-imingi gaji besar padahal akan

dipekerjakan sebagai pekerja seksual (kelompok pertama) termasuk perbuatan

yang melakukan kebohongan atau tipu muslihat pada anak perempuan dengan

menjanjikan berupa uang. Maka orang yang melakukan tindakan ini akan

dikenakan sanksi pidana. Dengan demikian, perbuatan itu termasuk tindakan

kriminal.

Selain mengiming-imingi gaji besar pada anak padahal akan dipekerjakan

sebagai pekerja seksual, kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan (kelompok

kedua) juga telah melanggar Pasal 285, 289 KUH Pidana yakni, “barang siapa

dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh

dengan dia di luar pernikahan, diancam karena melakukan perkosaan maka

diancam dengan pidana penjara” atau “barang siapa dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan

dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang

kehormatan kesusilaan, maka diancam dengan pidana penjara”. Dalam kedua

pasal tersebut dikatakan bahwa apabila memaksa wanita dengan kekerasan untuk

melakukan persetubuhan, seperti merangkul wanita sedemikian keras, sehingga

akhirnya tidak dapat melawan lagi dan menyerah untuk disetubuhi termasuk

sebagai tindakan kriminal.


57

Pada kasus kelompok ketiga yaitu memaksa anak melakukan sodomi

sebagaimana diterangkan dalam Pasal 292 KUH Pidana yaitu “orang yang cukup

umur, yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sama kelamin yang

diketahui atau sepatutnya harus diduga, bahwa belum cukup umur, maka diancam

dengan pidana penjara, dikategorikan sebagai tindakan kriminal pula karena telah

melanggar KUH Pidana Pasal 292 di atas.

Sementara pada kasus keempat, yaitu memperdayai anak perempuan atau

pacar dengan melakukan hubungan seksual lalu dijual ke germo, telah melanggar

Pasal 287 ayat (1). Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa “barangsiapa

bersetubuh dengan seorang wanita di luar pernikahan, padahal diketahui atau

sepatutnya harus diduga, bahwa umurnya belum lima belas tahun, atau kalau

umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, diancam dengan pidana

penjara”. Tindakan tersebut juga melanggar Pasal 289 yang telah dijelaskan

sebelumnya serta Pasal 290 ayat (2) dan (3) yaitu “barangsiapa melakukan

perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahui atau sepatutnya harus diduga,

bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak ternyata, bahwa

belum mampu dikawin dan barangsiapa membujuk seseorang yang diketahui atau

sepatutnya harus diduga bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau

umurnya tidak ternyata, bahwa belum mampu dikawin, untuk melakukan atau

membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar pernikahan

dengan orang lain” atau melanggar Pasal 296 dan Pasal 297 yaitu “barangsiapa

dengan sengaja menghubungkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang

lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencaharian atau kebiasaan,
58

diancam dengan pidana penjara” serta “Perdagangan wanita dan perdagangan

anak laki-laki yang belum cukup umur diancam dengan pidana penjara”.

Pada tindak eksploitasi seksual kelima yakni membujuk anak untuk

melakukan hubungan seksual telah melanggar Pasal 290 ayat (3) KUH Pidana dan

Pasal 293 ayat (1) KUH Pidana sebagaimana yang telah dijelaskan di muka.

Berdasarkan uraian diatas, nampaknya UU Perlindungan Anak begitu pula

KUH Pidana memasukkan seluruh tindakan yang dilaporkan dalam Jurnal

Perempuan atau Baihaqi termasuk kepada tindak kriminal yang harus

mendapatkan sanksi.

2. Menurut Hukum Islam

Menurut hukum Islam sebagaimana yang telah dibahas pada bab

sebelumnya, tindakan-tindakan yang telah dibahas di atas ada yang termasuk

kepada tindakan kriminal seperti melakukan hubungan seksual di luar nikah dan

melakukan sodomi, sementara tindakan lainnya harus ditelusuri lagi apakah

termasuk kepada tindakan kriminal atau tidak.

Pada kelompok pertama, perbuatan membujuk anak dengan mengiming-

imingi gaji besar padahal akan dipekerjakan sebagai pekerja seksual merupakan

perbuatan yang dilarang dalam syariat Islam, karena termasuk pada penipuan.

Dalam Q.S al-Maidah, 5: 1 dinyatakan bahwa setiap akad harus ditunaikan oleh

akid(pembuat akad)nya. Ayat tersebut adalah

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”.


59

Pada teks ayat di atas, terdapat kalimat yang berarti

tunaikanlah aqad-aqad. Kalimat ini terdiri dari dua kata yakni kata

dan kata . Isim masdar dari kata adalah al-wafa. Sementara kata

sudah termasuk isim masdar tapi dalam bentuk jama; adapun bentuk

mufradnya adalah . Arti al-wafa adalah melaksanakan tuntutan janji

dan arti al- aqdu adalah janji yang dilihat, yang diserupakan dengan ikatan tali

dan sebagainya. Sedangkan maksudnya mencakup segala perkara yang telah

ditetapkan Allah swt kepada hamba-hamba Nya, berupa kewajiban, hukum-

hukum agama serta ikatan-ikatan di antara mereka berupa akad, amanat,

muamalat dan sebagainya wajib dipenuhi (Al-Buruswi, 1997: 115).

Apabila dilihat dari kaidah ushul fiqih, memenuhi janji yang diperintahkan

dalam ayat tersebut adalah wajib, karena ada kaidah yang menyatakan

(pokok dalam perintah adalah wajib). Oleh sebab itu, ucapan akad harus

direalisasikan dalam bentuk tindakan nyata termasuk didalamnya perbuatan yang

menjanjikan seseorang akan diberi pekerjaan harus direalisasikan sesuai dengan

ucapan janjinya.

Apabila ada seseorang yang membujuk anak dengan diiming-imingi gaji

besar, padahal dalam kenyataannya akan dipekerjakan sebagai pekerja seksual

berarti dia telah melakukan kebohongan dan penipuan. Berdasarkan sabda

Rasulullah saw orang yang berdusta, tempat kembalinya di neraka yakni:

‫رﺎﱠﻨﻟا‬ ‫ِﺞْﻟُﻮ ﻳ‬ ‫َﻲ َﻠ ﱠﻋ‬ ‫ِبَﺬْﻜ ﻟا‬ ‫ﱠِن َﺈﻓ‬ ‫َﻲ َﻠ ﱠﻋ‬ ‫ْاُﻮ ِﺑْﺬ َﻜﺗ‬ ‫َﻻ‬
60

Artinya: “Janganlah kamu berdusta kepadaku, karena sesungguhnya orang


yang berdusta kepadaku akan kujerumuskan ke dalam api neraka.”
(Muhammad, t.t: 13).

Berdasarkan uraian di atas, tindakan berbohong atau menipu termasuk

perbuatan dosa yang diancam dengan siksa neraka. Hadis di atas memang tidak

menyebutkan sanksi kongkrit di dunia, namun bila tindakan tersebut diindikasikan

akan merugikan pihak orang lain, dalam hal ini anak perempuan atau masyarakat

pada umumnya karena akan dijadikan sebagai pekerja seksual, nampaknya

tindakan berbohong dan menipu tersebut harus diancam dengan hukuman tertentu

supaya jera dan tidak mengulangi perbuatan tersebut. Kalau melihat jenis-jenis

tindakan pidana Islam yang telah dibahas pada bab sebelumnya, baik perbuatan

berbohong atau menipu tidak termasuk kepada tindakan pidana yang

menyebabkan timbulnya sanksi pidana had atau qishash. Namun kalau melihat

peluang yang diisyaratkan dalam hukum pidana Islam seperti adanya jarimah

ta’zir, nampaknya perbuatan tersebut, khususnya yang menyangkut tindakan-

tindakan pada kelompok pertama di atas dapat dimasukan kepada tindak pidana

ta’zir.

Adapun kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan dapat dikategorikan

kepada dua macam tindak pidana. Dalam hukum pidana Islam, tindak kekerasan

termasuk kepada jarimah qishash al-jarh al-amd (tindak pelukaan secara sengaja),

sementara perkosaannya bisa dikategorikan kepada jarimah zina sebab tindak

perkosaan adalah memaksa seorang perempuan yang bukan isterinya untuk

melakukan hubungan seks dengannya.


61

Tindak perkosaan yang dilakukan dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan merupakan perbuatan yang sangat merugikan individu korban dan

masyarakat apalagi dilakukan terhadap anak di bawah umur yang mengakibatkan

keperawanannya hilang dan kesuciannya ternoda serta merusak jiwa dan masa

depannya sehingga perbuatan ini termasuk pada tindakan kriminal yang patut

dikenakan hukuman seberat-beratnya.

Mengenai tindak kekerasannya, berhubung kasusnya mengarah kepada

perkosaan, maka sanksi qishashnya bukan dengan melakukan hukum balas yang

sama dengan perbuatan yang diterima oleh korban sebab kekerasan yang

mengarah pada perkosaan dikhawatirkan termasuk kepada perbuatan-perbuatan

yang mendekati perzinaan, padahal dalam Al Quran surat Al-Israa, 17: 32

ditegaskan bahwa mendekati perbuatan zina sangat dilarang. Oleh karena itu,

hukumannya bisa diganti dengan hukuman lain yakni membayar sejumlah diyat

yang ditentukan oleh hakim besar atau kecilnya sebagai pembayar ganti rugi yang

diderita korban.

Pada kasus kelompok ketiga, yaitu melakukan perbuatan sodomi.

Perbuatan sodomi merupakan perilaku seks yang menyimpang yang dilakukan

dengan sesama jenis untuk memuaskan nafsu birahi dengan memasukkan alat

kelamin melalui dubur. Dalam hukum Islam, sodomi merupakan perbuatan dosa

besar. Nabi SAW pernah bersabda:


‫ص ِﻲ ﺒ ﱡ‬.‫م‬: ‫َﺔَﻨٍﺳ ْﻒ ﻟَأ رﺎّﱠﻨﻟِا ِﻲ ﻓ َﻲ َﺎﻟَﻌ ْﺗ ﷲُا َب َﺬ ﻋ َةَﻮَﻬِﺸ ٍﺑ ًﺎَﻣ ُﻼﻏ ِﻞ َﺒﻗ َﻦ ْﻣ‬
‫ﱠﻨﻟا لَﺎﻗ‬

Artinya: Telah bersabda Nabi SAW: “Barangsiapa yang mencium seorang anak
lelaki dengan bersyahwat, niscaya Allah yang Maha Agung akan
62

menghukumnya di neraka selama seribu tahun”. ( Abu Isa Muhammad,


1337: 46).

Adapula hadis Nabi riwayat khamsah (lima ahli hadis kecuali Al-Nasa’i) dari Ibnu

Abbas, yang mengatakan bahwa:

‫ِﻪﺑ‬ ‫ْل ُﻮ ْﻌ َﻔﻤﻟَاو‬ ‫ِﻞ ﻋَﺎﻔﻟا‬ ‫اُﻮ ُﻠْﺘﻗَﺎﻓ‬ ‫ْطُﻮٍﻟ‬ ‫ِْمَﻮ ﻗ‬ ‫َﻞ َﻤ ﻋ‬ ‫َُﻞْﻤَﻌ ﻳ‬ ‫ْﻩُﻮُﻤ ْﺗَﺪَﺟ و‬ ‫َﻦ ْﻣ‬

Artinya: ”Barangsiapa menjumpai orang yang berbuat homosex seperti kaum


Luth, maka bunuhlah si pelaku dan yang diperlakukan (pasangannya).
(Zuhdi, 1987: 44).

Isi kedua hadis di atas secara gamblang menyatakan bahwa perbuatan

kaum Luth (sodomi) harus dihukum baik dengan sanksi hukum di dunia seperti

dibunuh atau sanksi hukum di akhirat seperti disiksa di neraka selama seribu

tahun. Kedua hadis tersebut menunjukkan bahwa perbuatan sodomi termasuk

kepada tindak kriminal, khususnya tindak pidana had karena hukumannya sudah

ditentukan oleh Allah SWT. yakni membunuh pelaku sodomi baik yang berperan

sebagai laki-laki ataupun sebagai wanita. Hanya dalam kasus sodomi di atas,

berhubung ada salah satu pihak yang menjadi korban yaitu anak-anak kecil yang

dipaksa melayani perbuatan tersebut, nampaknya yang diberi sanksi hanya orang

yang memaksa orang lain untuk berbuat sodomi baik sudah menikah atau masih

perjaka.

Sementara pada kasus kelompok keempat yakni memperdayai anak

perempuan atau pacar dengan melakukan hubungan seksual dan kemudian dijual

kepada germo dalam hukum pidana Islam bisa dikategorikan menjadi tiga bentuk

tindakan kriminal, yaitu: pertama adalah tindakan memperdayai anak perempuan


63

atau pacar; Kedua adalah melakukan hubungan seksual; Ketiga adalah menjual

anak kepada germo untuk dijadikan sebagai pekerja seksual.

Dalam hukum pidana Islam, tindakan memperdayai anak termasuk kepada

tindakan penipuan karena memperdayai seseorang berarti berusaha supaya mau

menuruti kehendak yang memperdayainya, dengan diberi atau diiming-imingi

sesuatu agar anak mau melakukan hubungan seksual. Maka perbuatan ini

sebagaimana yang sudah dibahas sebelumnya termasuk kepada tindakan kriminal.

Sedangkan bentuk yang kedua yaitu melakukan hubungan seksual. Dalam

hukum pidana Islam, bahwa seseorang yang memasukkan penis ke dalam vagina

yang bukan miliknya serta tidak ada unsur syubhat dinamakan telah melakukan

perbuatan zina. Maka, perbuatan ini dapat dikategorikan kepada perbuatan

jarimah zina. Adapun bentuk yang ketiga yaitu menjual anak untuk kepentingan

nafsu birahi bertentangan dengan prinsip-prinsip umum hukum Islam apalagi

dimaksudkan untuk kepentingan nafsu birahi tanpa ikatan nikah.

Ajaran Islam memang mengenal istilah perbudakan, yang bisa diperjual-

belikan atau dimiliki sendiri sebagaimana yang diriwayatkan Bukhari berikut ini:

‫لَﺎﻗ َﺔْﻔَﻴُﺤﺟ ِﻲ َﺑأِ ْﻦ ﺑ ْن َﻮ ِﻋ َﻦ ْﻋ‬: ‫لَﺎَﻘﻓُ ﻪْﺘَﺄَﻟَﺴ ُﻓ ًﺎﻣَﺎَﺠ ﺣ ًاْﺪ َﺒﻋ َيَﺮ ْﺘِﺷ إ‬: ‫َﻲ َﻬﻧ‬
‫و َﺔِﻤ ﺷَاﻮﻟاِ َﻦ ﻋ َﻲ َﻬﻧَ و ﱢ ﱠمﺪﻟاِ َﻦ َﻤ ﺛَ وِ ْﺐ َﻠْﻜ ﻟاِ َﻦ َﻤ ﺛ َﻦ ْﻋ ﱠﻢَﻠَﺳَو ِ ْﻪَﻴَﻠﻋ ﷲُا َﻞ ﺻ ِﻲ ﺒﱠﻨﻟاَﱡ‬
‫ﱠرَﻮ ُﺼﻤﻟُا َﻦ َﻌ ﻟ َو ِﻪِﻠْآُﻮ ﻣ َو َﺎﺑﱢﺮﻟا ِﻞ َآو َﺔْﺻ ُﻮ ْﺷ َﻮ ﻤﻟِا‬

Artinya: “Telah diriwayatkan dari Aun bin Abi Juhaifah, ia berkata: Aku
telah melihat bapakku membeli seorang budak tukang bekam, lalu
aku menanyakan hal itu kepada bapakku dan ia menjawab: Nabi
saw. telah melarang menjual anjing, dan darah dan Nabi saw.
melarang mentato dan orang yang ditato, memakan riba dan orang
yang memberi makan dari hasil riba dan Nabi saw. melaknat
seorang pelukis”. (Abdullah Muhammad bin Ismail, t.t: 126).
64

namun dalam ajaran Islam bukan dimaksudkan untuk melestarikan perbudakan

tetapi hanya sebagai jalan untuk menghilangkan perbudakan yang sudah

membudaya di masyarakat saat itu. Hal ini dapat dilihat pada beberapa kasus

antara lain sanksi hukum yang ditimpakan kepada pelanggar syar’i, ada berupa

hukuman membebaskan hamba sahaya; atau jika hamba sahaya hamil oleh

tuannya maka anaknya secara otomatis menjadi orang merdeka. Oleh karena itu,

sekalipun istilah perbudakan dikenal dalam ajaran Islam akan tetapi bukan berarti

melegitimasi perbuatan menjual seseorang apalagi status orang tersebut adalah

orang merdeka (bukan hamba sahaya) yang mempunyai hak yang sama dengan

orang merdeka lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, tindak penjualan seseorang bisa dikategorikan

kepada tindak kriminal apalagi kalau dilihat dari tujuannya yang dimaksudkan

untuk pemuas nafsu birahi seseorang.Penentuan masuk tidaknya kepada tindak

kriminal ditentukan oleh keputusan hakim. Dengan demikian, tindak penjualan ini

digolongkan kepada tindak jarimah ta’zir.

Kasus yang terakhir adalah membujuk anak untuk melakukan hubungan

seksual. Perbuatan membujuk anak agar anak mau melakukan hubungan seksual,

merupakan perbuatan terlarang karena termasuk kepada perbuatan yang tercela.

Upaya membujuk anak untuk mau melakukan hubungan seksual bertentangan

dengan kandungan ayat Al Quran Surat Ali Imran, 3: 104, yaitu:


65

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari
yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”.

Dalam isi ayat tersebut ditegaskan bahwa kita harus menjadi umat yang

bisa mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang munkar bukan

menjadi umat sebaliknya yang mengajak kepada perbuatan munkar serta melarang

berbuat baik. Apabila perbuatan tersebut akan menganggu hak Allah dan hak si

anak tersebut, nampaknya harus dimasukkan kepada upaya melakukan jarimah

zina, yang hukumannya tidak dalam bentuk sanksi had karena belum melakukan

perbuatan zina. Namun, jika berhasil membujuk anak untuk melakukan hubungan

seks maka berdasarkan ayat tersebut harus diberi sanksi had, yakni dicambuk dan

dirajam sampai meninggal, sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadis riwayat


‫ُِْﻢ ﺟﱠﺮﻟَاو َﺔﺋِﺎٍﻣ ْﺪَﻠُﺟ ِﺐﻴﱠﺜِﺎﻟ ﺑ ِﺐﻴﱠﺜﻟَاُو َﺔَﻨٍﺳ ْﻲ َﻔُﻧ َو َﺔﺋِﺎٍﻣ ْﺪ ِﻠُﺟ ْﺮ ِﻜﺒِﺎﻟ ﺑ ْﺮ ِﻜﺒﻟُا‬

Artinya: “Perawan dan bujang dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu
tahun, sedangkan tsayyib (mereka yang sedang atau telah menikah)
dijilid seratus kali dan dirajam”.

B. Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Eksploitasi Seksual

1. Menurut UU Perlindungan Anak

Berdasarkan uraian pada sub judul sebelumnya, nampaknya kelima

kelompok tindakan eksploitasi seksual tersebut digolongkan kepada tindakan

kriminal karena telah melanggar aturan-aturan yang terdapat dalam UU

Perlindungan Anak atau hukum Islam. Menurut Bassar (1986; 2) dalam Hukum

Positif , “Suatu perbuatan akan menjadi tindak pidana bila melawan hukum,
66

merugikan masyarakat, dilarang aturan pidana dan pelakunya diancam dengan

sanksi pidana” dengan kata lain “Sesuatu yang dianggap melawan hukum apabila

perbuatan yang oleh aturan pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barang

siapa yang melanggar aturan-aturan “tersebut” (Bassar, 1986; 20) atau apabila

perbuatan tersebut mengakibatkan kerugian bagi orang lain atau masyarakat baik

jasad (anggota badan atau jiwa), harta benda, keamanan, tata aturan masyarakat,

nama baik, perasaan atau hal-hal lain yang harus dipelihara dan dijunjung tinggi

nilai keberadaannya (Hakim, 2000; 17).

Berdasarkan UU Perlindungan Anak, perbuatan mengiming-imingi

pekerjaan dengan gaji besar padahal akan dipekerjakan sebagai pekerja seksual

(kelompok pertama) akan dikenakan sanksi pidana penjara sebagaimana yang

terdapat Pasal 82 yaitu dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima

belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp

300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam

puluh juta rupiah). Ancaman pidana penjara ini berlaku pula bagi orang yang

melakukan kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan (kelompok kedua).

Tindakan melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan (kelompok

pertama), kekerasan seksual baik dalam bentuk perkosaan atau sodomi (kelompok

kedua dan ketiga) ini tidak hanya melanggar UU Perlindungan Anak pasal 82 saja

tetapi melanggar UU Perlindungan Anak Pasal 81 ayat (1) dan (2) yang dikenakan

sanksi pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga)

tahun dan denda paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan

paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).


67

Pada kasus kelompok keempat yakni memperdayai anak perempuan atau

pacar dengan melakukan hubungan seksual dan kemudian dijual ke germo, maka

perbuatan tersebut telah melanggar Pasal 81 ayat (1) yang dijelaskan dalam Pasal

81 ayat (2); Pasal 82 yang telah diuraikan sebelumnya serta melanggar Pasal 83

dan Pasal 88 yang akan dipidana dengan “pidana penjara paling lama 15 (lima

belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp

300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam

puluh juta rupiah)” atau dipidana dengan “pidana penjara paling lama 10

(sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah)”.

Sementara untuk kasus yang kelima yaitu membujuk anak untuk

melakukan hubungan seksual melanggar Pasal 81 ayat (1) sebagaimana yang

diterangkan pada Pasal 81 ayat (2) yaitu dipidana dengan pidana penjara paling

lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling

banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp

60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Selain itu pula dalam KUH Pidana dikenakan sanksi bagi orang yang

dewasa melakukan perbuatan mengiming-imingi pekerjaan dengan gaji besar

padahal akan dipekerjakan sebagai pekerja seksual (kelompok pertama) terutama

pada anak perempuan maka dikenakan sanksi pidana penjara paling lama lima

tahun sebagaimana telah melanggar Pasal 293 ayat (1) KUH Pidana. Sedangkan

perbuatan kekerasan seksual (kelompok kedua) dalam bentuk perkosaan

melanggar Pasal 285 KUH Pidana dan 289 KUH Pidana yaitu dipidana dengan
68

pidana penjara paling lama dua belas tahun atau dengan pidana penjara paling

lama sembilan tahun.

Pada kasus kelompok ketiga yaitu memaksa anak untuk melakukan

sodomi diancam pidana penjara paling lama lima tahun, sebagaimana yang

terdapat pada Pasal 292. Sedangkan kasus kelompok keempat, memperdayai anak

perempuan atau pacar dengan melakukan hubungan seksual lalu dijual ke germo

melanggar Pasal 287 ayat (1) KUH Pidana diancam dengan pidana penjara paling

lama sembilan tahun; Pasal 289 KUH Pidana dengan pidana penjara paling lama

sembilan tahun; Pasal 290 ayat (2) dan (3) KUH Pidana diancam dengan pidana

penjara paling lama tujuh tahun; Pasal 296 KUH Pidana diancam dengan pidana

penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak seribu

rupiah; serta Pasal 297 KUH Pidana diancam dengan pidana penjara paling lama

enam tahun.

Sementara untuk kasus kelima yaitu membujuk anak untuk melakukan

hubungan seksual telah melanggar Pasal 290 ayat (3) dan Pasal 293 ayat (1) KUH

Pidana yaitu diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun dan diancam

dengan pidana penjara paling lama lima tahun. .

2. Menurut Hukum Islam

Sanksi hukum menurut ajaran Islam, sebagaimana yang telah dibahas pada

bab terdahulu ada yang berbentuk sanksi had, qishash dan ta’zir. Pada sub judul

sebelumnya, kasus pada kelompok pertama tidak termasuk kepada tindakan yang

diancam hukuman had atau qishash tapi ditekankan supaya dimasukkan kepada

tindak pidana ta’zir karena dikhawatirkan akan merugikan pihak orang lain baik si
69

korban atau masyarakat pada umumnya. Oleh sebab itu, bentuk sanksinya

diserahkan kepada hakim dan disesuaikan dengan jenis tindak pidananya.

Bentuk sanksi hukum yang ditetapkan oleh hakim bisa ringan, sedang atau

berat tergantung kepada jenis tindak pidananya, yang jelas tujuan utama

pemberian hukuman dapat tercapai yakni untuk memelihara ketertiban

masyarakat, mencegah terulangnya tindak pidana; sebagai upaya mendidik dan

pengajaran serta menghukum pelaku sebagai balasan atas perbuatannya. (Hakim,

2000: 64)

Kasus kelompok kedua yakni kekerasan seksual dalam bentuk perkosaan,

sebagaimana telah dibahas terdahulu, dikategorikan kepada dua macam tindak

pidana yakni jarimah qishash al-jarh al-amd (tindak pelukaan secara sengaja) dan

jarimah zina. Sanksi hukum pada kategori pertama, biasanya dalam hukum pidana

Islam akan dibalas dengan tindakan serupa sesuai dengan jenis kekerasan yang

diterima korban. Namun, berhubung perbuatan kekerasan yang dilakukan pada

kasus ini mengarah pada tindak pidana (jarimah) zina, namun nampaknya sanksi

hukum yang berbentuk hukum balas tersebut tidak tepat dilaksanakan sebab akan

merugikan si korban. Selain itu, tindak balasan ini bertentangan dengan salah satu

tujuan hukum Islam yakni terpeliharanya kehormatan ( ‫ ) ْض َﺮ ﻌﻟا ْﻆِﻔُﺣ‬seseorang.

Dengan demikian, hukuman yang pantas bagi pelaku bisa diganti dengan ganti

rugi yang bersifat materil yakni membayar sejumlah diyat dan atau ditambah

dengan sanksi hukum ta’zir yang ditetapkan hakim.

Apabila kekerasan seksual ini dilanjutkan dengan tindak perkosaan maka

si pelaku dapat diancam dengan hukuman had cambuk 100 kali atau hukum rajam
70

tergantung status pelakunya apakah masih lajang (ghairu muhshan) atau sudah

menikah (muhshan). Sedangkan si korban, walaupun secara teoritis dia berzina,

namun karena dilakukan atas dasar paksaan orang lain dan dia sendiri menjadi

korban hawa nafsu orang lain maka dia tidak diancam sanksi had cambuk atau

rajam seperti si pelaku.

Dengan demikian, pelaku kekerasan seksual berupa perkosaan mempunyai

dua sanksi hukum yang berbeda. Dua macam atau lebih sanksi hukum untuk satu

orang dan perbuatan yang sama diperbolehkan dalam Islam sebagaimana riwayat

hadis:

Artinya: Dari Anas bin Malik r.a. katanya: “Bahwa sekumpulan orang dari suku
Urainah datang kepada Rasulullah s.a.w. di Madinah, tetapi udara di
Madinah tidak sesuai dengan mereka. Rasulullah s.a.w. mengatakan
kepada mereka: “Kalau kamu mau, kamu boleh pergi kepada onta
sedekah, supaya kamu dapat meminum susunya dan kencingnya.” Lalu
mereka lakukan, dan mereka menjadi sehat. Kemudian mereka
menghadapkan serangan kepada pengembala onta, mereka bunuh dan
mereka keluar (murtad) dari agama Islam dan mereka halau (membawa
lari) onta Rasulullah s.a.w. Peristiwa yang demikian sampai beritanya
kepada Nabi s.a.w. lalu Nabi menyuruh supaya mereka dikejar dan
dibawa kepada beliau. Hukumannya tangan dan kaki mereka dipotong,
mata mereka dicukil dan mereka dibiarkan di panas terik sampai mati”.
(Fachruddin, 1979: 90).
71

Pada kasus kelompok ketiga, sanksi hukum perbuatan sodomi sudah jelas

bentuk hukumannya yakni dibunuh sebagaimana yang diriwayatkan dalam hadis

Rasulullah SAW. bersabda:

‫ِﻪﺑ‬ ‫ْل ُﻮ ْﻌ َﻔﻤﻟَاو‬ ‫ِﻞ ﻋَﺎﻔﻟا‬ ‫اُﻮ ُﻠْﺘﻗَﺎﻓ‬ ‫ْطُﻮٍﻟ‬ ‫ِْمَﻮ ﻗ‬ ‫َﻞ َﻤ ﻋ‬ ‫َُﻞْﻤَﻌ ﻳ‬ ‫ْﻩُﻮُﻤ ْﺗَﺪَﺟ و‬ ‫َﻦ ْﻣ‬

Artinya: “Barangsiapa di antara kamu menemukan seseorang yang melakukan

perbuatan yang dikerjakan kaum Luth (yaitu sodomi), maka bunuhlah dia yang di

atas maupun yang di bawah”.

Berdasarkan hadis di atas, baik orang yang berada di atas atau orang yang

berada di bawah (berperan sebagai laki-laki atau perempuan) semuanya harus

dibunuh. Namun, pada kasus kelompok ketiga ini sebagaimana pada kasus

kelompok kedua salah seorangnya ada yang menjadi korban sehingga sanksi

hukum mati ini harus dipilah lagi menurut niatnya. Bagi si korban tentu tidak ada

niat untuk melakukan perbuatan sodomi sehingga dia bisa lepas dari jerat hukum

sanksi mati ini, tapi bagi si pelaku karena perbuatan sodomi dilakukan secara

sengaja maka sanksi mati berlaku baginya sesuai dengan perintah hadis di atas.

Melihat jenis sanksi tindak kriminal pada kasus kelompok keempat, sanksi

hukum pada kasus kelompok keempat ada dua macam yaitu sanksi ta’zir dan

sanksi had. Pada bentuk tindak pidana pertama dan ketiga dikenai sanksi hukum

ta’zir karena pada kedua bentuk tindak pidana tersebut tidak ditemukan secara

tegas pelarangan dan penyebutan sanksinya. Sementara pada bentuk tindak pidana

yang kedua dikenai sanksi pidana had karena melanggar larangan syara perzinaan
72

sehingga sanksi hukumnya bisa dera 100 kali atau rajam tergantung status

pelakunya apakah masih lajang atau sudah menikah.

Adapun sanksi hukum pada kasus kelompok yang kelima, upaya

membujuk anak kandung dapat diberi sanksi hukum ta’zir yang bentuk dan

jenisnya diserahkan kepada hakim, sehingga orang tua anak tersebut menjadi jera

mengulangi perbuatan tersebut. Namun bila sudah melakukan hubungan seksual

dapat ditambah dengan sanksi hukum had yakni dirajam sampai meninggal seperti

yang ditegaskan dalam hadis:

Artinya: “Perawan dan bujang dijilid seratus kali dan diasingkan selama satu

tahun, sedangkan tsayyib (mereka yang sedang atau telah menikah) dijilid seratus

kali dan dirajam”.


B A B IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari pembahasan yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya,

maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Perbuatan eksploitasi seksual menurut UU Perlindungan Anak yaitu tindakan

atau perbuatan memperalat, memanfaatkan, atau memeras anak di bawah

umur 18 tahun dengan dipekerjakan sebagai pekerja seksual untuk

memperoleh keuntungan pribadi, keluarga, atau golongan baik materiil

ataupun non materiil. Sedangkan perbuatan eksploitasi seksual menurut

hukum Islam tidak ada pengertian secara khusus, namun kalau melihat unsur-

unsurnya seperti adanya suatu perbuatan yang melanggar kesusilaan atau

kesopanan; adanya suatu perbuatan keji serta perbuatan itu merupakan

perbuatan yang berhubungan dengan lingkungan nafsu birahi dan kelamin

maka perbuatan eksploitasi seksual mengarah kepada jarimah perzinaan yakni

melakukan persetubuhan antara laki-laki dan perempuan secara sengaja, yang

bukan miliknya dan tidak ada syubhat.

2. Pengeksploitasi seksual pada anak yang berupa, antara lain mengiming-imingi

pekerjaan dengan gaji besar; melakukan kekerasan seksual; memaksa anak

untuk melakukan sodomi; memperdayai anak perempuan atau pacar dengan

melakukan hubungan seksual dan kemudian dijual kepada germo serta

73
74

membujuk anak untuk melakukan hubungan seksual. Maka kelima perbuatan

tersebut termasuk kepada tindak kriminal, karena perbuatan-perbuatan tersebut

melanggar UU Perlindungan Anak Pasal 81 ayat (1) dan (2), Pasal 82, Pasal

83 serta Pasal 88. Sementara menurut Hukum Islam tindak eksploitasi seksual

ada yang termasuk tindak kriminal dan ada juga yang tidak termasuk tindak

kriminal, karena apabila seseorang melakukan ancaman kekerasan atau

merayu kepada anak di bawah umur untuk melakukan hubungan seksual dan

berhasil menggauli anak tersebut, perbuatan tersebut dapat dikatakan tindak

kriminal karena telah melanggar Q.S. Al-Israa, 17: 32; Q.S. Al-Mu’minun: 5-

7; Q.S. Al-Israa: 31, 33; Al-A’raaf: 81 dan hadis riwayat al-Tirmidzi dari Abu-

Hurairah tentang larangan mencium anak lelaki yang dilakukan oleh sesama

jenisnya dan larangan berbuat sodomi. Namun apabila tidak sampai

melakukan hubungan seksual dan tidak merugikan pihak yang bersangkutan

maka tindakan tersebut tidak dapat dikatakan tindak kriminal. Hanya untuk

upaya pencegahan, perbuatan tersebut bisa diberikan sanksi supaya pelakunya

menjadi jera.

3. Berdasarkan UU Perlindungan Anak, sanksi hukum bagi pelaku tindak pidana

eksploitasi seksual adalah hukuman penjara dan denda. Lamanya hukuman

penjara sangat bervariasi tergantung kepada jenis tindakannya. Sanksi

hukuman penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat adalah

3 (tiga) tahun. Begitu pula dengan hukuman denda besar kecilnya denda

tergantung kepada tindak kriminalnya yang paling banyak adalah Rp

300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit adalah Rp


75

60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Sementara menurut hukum Islam,

tindak pidana bagi mucikari dapat diancam dengan hukuman ta’zir dan pelaku

eksploitasi seksual pada anak di bawah umur dapat diancam dengan hukuman

had yakni jilid dan pengasingan berlaku bagi pelaku pezina ghairu muhshan,

sedangkan hukuman bagi pelaku pezina muhshan berlaku hukum rajam dan

apabila melakukan tindak pelukaan secara sengaja maka pelaku menerima

hukuman sesuai dengan apa yang diterima korban tidak boleh melebihi apa

yang dilakukan pelaku terhadap korban, seperti yang terdapat dalam Q.S. Al-

Maidah: 45; sanksi hukum diyat sebagai sanksi hukum/pengganti dari

hukuman pokok (qishash) yang dimaafkan atau karena suatu sebab tidak dapat

dilaksanakan; dan sanksi hukum ta’zir yang tergantung kepada jenis tindakan

yang dilakukan si pelaku. Untuk sanksi hukum ta’zir, pelaksanaannya

diserahkan kepada hakim dengan memperhatikan kualitas tindak pidana yang

dilakukan, situasi kondisi pelaku dan motivasi yang mendorong terjadinya

tindak pidana.

B. Saran

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, ada beberapa

saran yang diajukan penulis kepada berbagai pihak yakni:

1. Orang tua harus mengawasi, memperhatikan, melindungi anak-anaknya dalam

pergaulan masyarakat serta mengajarkan kepada anaknya untuk berkata

“tidak” terhadap berbagai ajakan orang lain baik yang dikenal dan tidak

dikenal.
76

2. Perlu kiranya lembaga pendidikan memberikan pengarahan agama, moral,

akhlak dan pengawasan terhadap anak-anak di bawah umur akan bahaya seks

bebas.

3. Perlunya pendidikan bagi masyarakat dalam rangka mencegah perbuatan

eksploitasi seksual pada anak.

4. Lembaga hukum khususnya jaksa dan hakim menuntut dan memutus hukuman

yang seberat-beratnya kepada pelaku eksploitasi seksual pada anak supaya jera

dan menjadi pelajaran bagi calon pelaku lainnya (tindak preventif).


DAFTAR PUSTAKA

Abu Abdillah Muhammad, , Darul Fikri, Beirut, t.t.

Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1990.

A. Hassan Tarjamah Bulughul Maram, C.V Diponegoro, Bandung, 1981.

Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, Akademindo Pressindo, Bandung, 1999.

Afif Abdul Fattah Thabbarah, Dosa dalam Pandangan Islam, Risalah, Bandung, 1980.

Adriana Venny, Jurnal Perempuan 29, SMKG Desa Putera, Jakarta, 2003.

Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi 6, C.V Toha Putera,

Semarang, 1970.

Anshori Umar, Fiqh Wanita, C.V Asy-Syifa, Semarang, 1981.

Asmaran As, Pengantar Studi Akhlak, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1992.

Budi Handrianti, Nana Mintarti, Seks Dalam Islam, Jakarta, Puspa Swara, 1997.

Humaidi Tatapangarsa, Akhlak Mulia, Surabaya, Bina Ilmu, 1980.

Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, Bumi Aksara, Jakarta, 1990.

Juraidi, Jerat Perbudakan Masa Kini, Bina Purna Pariwara, Jakarta, 2003.

Kartini Kartono, Kamus Lengkap Psikologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001.

Masjdfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Haji Masagung, Jakarta, 1987.

Moeljanto, KUHP Dan KUHAP, Bumi Aksara, Jakarta, 1996.

Mu’ammal Hamaidy, Imron Am, Umar Fanany, Terjemah Nailul Authar, PT. Bina Ilmu,

Surabaya, 1993.

Muhamad Joni, Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam

Perspektif Konvensi Hak Anak, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.


Muslich Shabir, 400 Hadits Pilihan Tentang Akidah, Syari’ah dan Akhlak, PT. Al

Ma’arif, Bandung, 1986.

Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam, Pustaka Setia, Bandung, 2000.

Rudi Gunawan, Mendobrak Tabu Sex, Kebudayaan dan Kebejatan Manusia, Galang

Press, Yogyakarta, 2000.

Rahman I. Doi, Penjelasan lengkap hukum-hukum Allah, Raja Grafindo Persada, Jakarta,

2000.

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru,

Jakarta, 1983.

Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Dengan Pasal, Eresco, Bandung,

1985.

Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Dalam KUHP, C.V Ramadja Karya,

Bandung, 1986.

Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1980.

Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Bina Ilmu,

Surabaya, 1990.

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Insani, Jakarta,

2003. UU Perlindungan Anak, Citra Umbara, Bandung, 2003

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahas Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989.

Van Bemellen, Hukum Pidana II, Bina Cipta, Bandung, 1986.

Anda mungkin juga menyukai