Anda di halaman 1dari 306

PEMIKIRAN DAKWAH MUHAMMAD ABDUH

DALAM TAFSIR AL-MANÂR

Disertasi
Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan
Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh
Gelar Doktor dalam Ilmu Agama Islam

Oleh
Syukriadi Sambas
NIM: 97.3.00.1.09.03.0241

Promotor:
1. Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf
2. Prof. Dr. Zainun Kamal, MA

SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009
KATA PENGANTAR

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.


Disertai segala kerendahan hati, penulis panjatkan puji syukur ke hadhirat
Allah Yang Maha Kuasa, karena atas karunia dan rahmat-Nya penulis dapat
menyelesaikan disertasi yang berjudul PEMIKIRAN DAKWAH MUHAMMAD
ABDUH DALAM TAFSIR AL-MANÂR, sebagai tugas akhir untuk menempuh
ujian-ujian dalam menyelesaikan Program Pendidikan Doktor (S-3) pada Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Masalah pokok yang dijawab dalam disertasi ini adalah pertanyaan: apa
sajakah substansi hakikat, dasar hukum, tujuan dan unsur-unsur dakwah sebagai
proses perbaikan dan mencari solusi problem mad’u, bentuk dakwah dan pola
kaderisasi profesional dalam mewujudkan keberlangsungan dakwah dalam Tafsir
Almanar.
Penulis menyadari sepenuhnya, tentunya hasil penelitian ini memiliki
banyak kekurangan dalam berbagai hal, terutama dalam penelaahan teori-teori
yang digunakan. Namun atas motivasi, ketekunan dan kearifan bimbingan yang
diberikan oleh pembimbing serta staf pengajar pada Sekolah Pascasarjana UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, akhirnya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.
Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-
tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf dan Prof. Dr. Zainun Kamal, MA.
selaku promotor, yang di tengah-tengah kesibukan sehari-hari masih
menyediakan waktu untuk memberikan bimbingan dan petunjuk yang
sangat berharga selama penulisan disertasi ini dengan penuh kesabaran dan
kearifan. Begitu juga Bapak-bapak dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah banyak memberikan petunjuk dan masukan bidang pemikiran
Islam yang sangat berguna bagi penulisan disertasi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Komaruddin Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah,
Prof. Dr. Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pasacasarjana UIN Syarif
Hidayatullah, yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti Program Pascasarjana. Begitu pula kepada Bapak Dr. Fu’ad
Jabali Deputi Direktur Bidang Akademik dan Kerjasama, Dr. H. Ujang
Thalib, MA Deputi Direktur Bidang Administrasi dan Kemahasiswaan,
dan Bapak Prof. Dr. Suwito, MA Deputi Direktur Bidang Pengembangan
Kelembagaan, seluruh staf pengajar, seluruh staf perpustakaan, dan
seluruh staf tata usaha Program Pascasarjana UIN Syahid yang telah
memberikan bantuan dan segala fasilitas kepada penulis, sehingga
memperlancar penyelesaian studi bagi penulis.
3. Bapak Prof. Dr. H. Endang Soetari Ad, M.Si, pendahulu Prof. Dr. Nanat
Fatah Natsir, MS. rektor UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan Drs. H.
Ahmad Subandi, dekan Fakultas Dakwah IAIN SGD (saat itu tahun
1997M) dan Prof. Dr. Asep Muhyidin, MA, dekan Fakultas Dakwah UIN
SGD sekarang, yang telah memberikan izin dan tugas belajar kepada
penulis disertai pemberian dorongan moral dari awal mengikuti
pendidikan sampai dengan penyelesaian tugas akhir ini.
4. Para Penguji, Bapak Prof. Dr. Suwito, MA, Prof. Dr. H. M. Yunan Yusuf,
Prof. Dr. Zainun Kamal, MA, Prof. Dr. Sutjipto, Prof. Dr. H. Rif’at Syauqi
Nawawi, MA yang telah berkenan membahas, mengoreksi, dan
memberikan saran-saran yang diperlukan untuk perbaikan disertasi ini.
5. Kepada ayahanda H. Abdullah (wafat 2007 dalam usia 91 tahun) dan
ibunda Hj. Zainab tercinta yang telah mengasuh, membesarkan dan
mendidik penulis, dan yang terus menerus memberikan dorongan lahir dan
batin serta sepanjang saat tetap mendo'akan penulis yang tidak dapat
penulis balas. Penulis hanya dapat mempersembahkan terima kasih atas
jerih payah keduanya, dan semoga Allah memberikan maghfirah, rahmat,
dan hidayah-Nya kepada keduanya sepanjang masa di dunia dan di akhirat
nanti.
6. Bapak H. Dada Rosyada, SH, M.Si., dan Drs. H. Tjetje Subrata, M.Si.,
yang telah memberikan dorongan dan bantuan moril dan materil dalam
penyelesaian akhir penyusunan disertasi dan ujian promosi. Semoga Allah

xi
SWT. membalas kebaikan keduanya dan memberikan kehidupan yang
barokah dan selamat duniawi dan ukhrawi.
7. Sdr. Drs. Dindin Solahudin, MA. yang telah membantu teknis pengetikan
penyelesaian disertasi ini dengan penuh kesabaran. Begitu pula Sdr. Dr.
Busyrol Karim, Prof. Dr. H. T. Fuad Wahab, dan Prof. Dr. H. Mohammad
Hatta sahabat seperjuangan peserta Program S-3 Bebas Terkendali
angkatan 1997M yang telah memberikan semangat dan berdiskusi dalam
menyelesaikan tugas-tugas perkuliahan.
8. Akhirnya ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan
kepada isteri tercinta Hj. M. Mintarsih dan anak-anak tersayang Indira
Sabet Rahmawaty S.IP, M.Ag, Alex Muhammad Musthafa S. Sos.I, Mela
Mustika Amalia S.Pd.I, Arif Syamsul Alam, Ade Rahmat Sani'a Mandala,
dan Ida Nur'arafah, yang dengan penuh kesabaran, kesetiaan, dan kasih
sayang selalu mendorong penulis untuk menyelesaikan disertasi ini.
Dengan iringan do'a dan harap kepada Allah SWT, kiranya atas budi baik,
bantuan, dan bimbingan yang telah penulis terima dari berbagai pihak dapatlah
menjadi amal saleh bagi mereka dan mendapat ridha serta balasan yang berlipat
ganda dari Allah SWT.

Bandung, 29 Mei 2009

Penulis,
Syukriadi Sambas

xii
ABSTRAK
Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa, pemikiran dakwah Muhammad
Abduh dalam tafsir al-Manâr secara epistemologis bercorak rasional. Dakwah
yang bersumber pada al-Quran dan Sunnah Rasul Allah adalah perilaku rasional
(perpaduan antara ‘aql dan qalb) berupa proses internalisasi, transmisi,
transformasi, dan difusi Islam, sebagai upaya memeperbaiki dan mengatasi
problem psikologis dan sosiologis mad’u melalui implementasi al-Islâm dalam
melakukan hubungan dengan dirinya sendiri, hubungan dengan Allah, dan
hubungan dengan sesama manusia untuk memperoleh kehidupan yang selamat-
sejahtera lahir-batin di dunia dan di akhirat. Temuan ini memperkuat temuan
Ahmad Fuad al-Ahwâni (al-Madâris al-Falâsifah, 1965) bahwa, Muhammad
Abduh adalah seorang pemikir yang mendakwahkan pembaharuan pemikiran
keagamaan dengan jalan kembali kepada Islam yang autentik menurut sumber
utamanya, yaitu al-Qur’ân dan Sunnah Rasul Allah, berupa ishlâh (perbaikan,
reformasi) kehidupan beragama, akhlak, pemikiran, akal dan naluri kesucian.
Penelitian yang sama dengan Ahmad Fuad al-Ahwâni, adalah penelitian A.
Mukti Ali (Alam Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah, 1995) antara lain
menurutnya bahwa, pemikiran dalam penafsiran al-Qur’ân, Abduh memadukan
antara rasional (sentuhan akal), dengan emosional (sentuhan qalb) dalam
kerangka dakwah.
Temuan penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelum dan sesudah
Muhammad Abduh, yaitu adanya dua martabat level dakwah, yaitu: pertama,
tablîgh futûhât (difusi Islam kepada non muslim) dan martabat kedua menjadi dua
jalur: (1) al-da’wah al-‘âmmah al-kulliyyah dengan tiga macam bentuk: (a)
tablîgh ta’lîm; (b) irsyâd; dan (c) tathbîq hukum, dan (2) al-da’wah al-juziyyah al-
khâshshah dengan tiga macam bentuk (a) nafsiyah; (b) fardiyah; dan (c) tadbîr-
tamkin ummah. Menurut fungsinya, level dan bentuk dakwah ini sebagai proses
ishlâh dan tajdîd kehidupan umat. Hal ini merupakan kontribusi aspek ontologis
kajian ilmu dakwah. Aspek ontologis dakwah mengenai transformasi Islam dalam
bentuk amar ma’ruf nahy munkar terdapat persamaan dengan para pemikir
sebelum dan sesudah Muhammad Abduh, seperti Ibn Taymiyah dan Abdul Karim
Zaidan, yang menyebutkannya sebagai al-hisbah dan al-ihtisâb.
Temuan penelitian ini membantah pemikiran internal umat Islam yang
secara ontologis memandang dakwah secara sempit dan bukan objek kajian
disiplin ilmu dalam Islam. Bantahan ini didukung oleh al-Bayanuni (2001), dan
membantah pemikiran eksternal dari para orientalis non muslim yang menuduh
bahwa penyebaran Islam dilakukan dengan cara paksaan, peperangan, dan
penjajahan. Tuduhan ini bertentangan dengan prinsip metodologis dakwah sebagai
perilaku rasional berdasarkan al-Quran dan Sunah Rasul Allah.
Tipe penelitian ini merupakan kajian kepustakaan dengan menggunakan
metode analisis isi dengan kategori substansi, yaitu menganalisis apa yang
dikemukakan oleh Muhammad Abduh mengenai pemikiran dakwah dan pola
kaderiasi dâ’i profesional dalam teks tafsir Almanar, yang disistemisasikan dalam
prinsip-prinsip struktur dakwah dari sumber data primer, yaitu Tafsir Almanar dan

xiii
sumber data sekunder, yaitu kepustakaan yang berhubungan dengan esensi
pemikiran Abduh mengenai pemikiran dakwah dan pola kaderisasi dâ’i
profesional. Kemudian dianalisis dengan menggunakan logika deduktif, pemikiran
dakwah, dan teori komunikasi. Sedangkan pemeriksaan keabsahan data
menggunakan konfirmasi referensi dan konsistensi pemikiran logis.

xiv
ABSTRACT

The finding in this research indicates that Muhamad Abduh’s thought of the
mission in the interpretation of al-Manâr epistemologically is a kind of rational
thought. The mission that is based on al Qur’an and the Prophet of Allah’s
Traditions is a rational manner (combination of ‘aql and qalb), that is a process of
internalization, transmission, transformation, and diffusion of Islam. It is as an
effort to correct and overcome the psychological as well as sociological problems
of mad’u by implementing al-Islâm in his relation with himself, his God, his
fellow beings to obtain the welfare physically as well as mentally, now in this
world and in the hereafter. This finding strengthens what Ahmad Fuad al-Ahwani
found in al-Madâris al-Falâsifah (1965) stating that Muhamad Abduh is a thinker
missionizing the renewal of the religious idea by returning to Islam which is
authentic based on its primary source, namely al-Quran and the Prophet Traditions
in the form of ishlâh (reformation) of the religious life, behavior, idea, mind, and
chastity instinct.
The similar research done by Ahmad Fuad al-Ahwani is Mukti Ali’s
research, Alam Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah (1995), stating that in
interpreting al-Quran he combines rational (aql) and emotional (qalb) touch in the
framework of the mission.
The finding of this research is different from the finding of the research
before and after Muhamad Abduh’s; there are two qualities of the mission level;
fisrt, tablîg futûhat (the defussion of Islam to non muslim), and the second quality
becomes two branches: (1) al-da’wah al-âmmah al-kuliyyah that consists of 3
forms: (a) tablîg ta’lîm, (b) irsyâd, and (c) tathbîq hukm, and (2) al-da’wah al-
juziyyah al-khâshshah that consists of 3 forms: (a) nafsiyah, (b) fardiyah, and (c)
tadbîr tamkîn ummah. According to their functions, the levels and the forms of the
mission as the process of ishlâh and tajdîd of the life of muslim. It is as a
contribution of the ontological aspect of the mission (da’wah) studies. The
ontological aspect of the mission concerning the transformation of Islam in the
form of amar ma’rûf nahy munkar has the similarity with the thinkers before and
after Muhamad Abduh, such as Ibn Taymiah and Abdul Karim Zaidan, who were
called as al-hisbah and al-ihtisâb.
The finding of this research refuses the internal thinking of the Muslim,
which is ontologically views the mission short-sightedly and not as the object of
the study in Islam. The refusal is supported by al-Bayanuni (2001) and refuses the
external non-Muslim orientalists that accused that the spreading of Islam was
done by force, war, and colonization. The accusation is in contradicted with the
principal of the method of the mission as the rational behavior/manner based on
al-Qur’an and the Tradition of the prophet of Allah.
This type of research takes bibliography study by employing content
analytical method of substance category, that is analyzing what is told by
Muhamad Abduh concerning the idea of the mission and the pattern of the
caderisation of the professional da’i in the text of Tafsir Al-manâr, being
systematized in the principals of the mission structures taken from the primary
sources of data, that is Tafsir Al-manâr and the secondary sources of data, that is

xv
bibliography relating to the essential idea of Abduh concerning the idea of the
mission and the pattern of professional dâ’i caderisation. While the inspection of
the authenticity of the data applies the reference conformation and logical idea
consistency.

xvi
‫خالصة‬
‫يشري ىذا البحث ال أن رأي حممد عبد ىف الدعوة االسالمية كما جاء ىف تفسري انار‬
‫يتسم باالتا العقلي‪ .‬وأن الدعوة االسالمية من مصدريا األصليني القران الكرو والسنة النبوية‬
‫الشريفة متثل نشاطا عقليا يقوم بالتوفيق بني العقل والقلب‪ ،‬كمحاولة لتصحيح مشكالت ادعوين‬
‫ومعالتا نفسيا واجتمعيا بوسيلة ثقيق الدين االسالمي ىف عالقتم مع انفسم ومع الل ومع‬
‫البشر مجيعا للوصول إل السعادة الدنيوية واألخروية‪.‬‬
‫‪ )1965‬أن‬ ‫ويؤكد ىذا البحث ما قالو فؤاد األىوا ىف كتابو القيم ادارس الفلسفية (‬
‫امياة حممد عبد واحد من افكرين الذى دعا إل إصالح األفكار الدينية عن طريق العودة إل الدين‬
‫اإلسالمي األصيل طبقا صدريو األصليني القر ن الكرو والسنة النبوية الشريفة ىف إصالح‬
‫الدينية واألخالق والفكر والعقل والفطرة‪.‬‬
‫وباالضافة إل ما قام بو فؤاد األىوان‪ ،‬ىناك حبث خر قام بو عبد اعطى على ىف كتابو‬
‫حول الفكر االسالمى امديث ىف الشرق األوسط ( ‪ )1995‬أشار فيو أن حممد عبد قام بالتوفيق‬
‫بني العقل والقلب ىف تفسري للقر ن الكرو حسب إطار الدعوة اإلسالمية‪.‬‬
‫وخيتلف ىذا البحث مما قبل حممد عبد وبعد من أن الدعوة اإلسالمية ينقسم ىف الرتبة‬
‫إل قسمني‪ :‬األول تبليغ الفتوحات والثان الدعوة العامة الكلية والدعوة الزئية اناصة‪ .‬فالدعوة‬
‫العامة الكلية تتكون من تبليغ التعليم واإلرشاد وتطبيق امكم‪ .‬أما الدعوة الزئية اناصة فتتكون من‬
‫الدعوة النفسية والدعوة الفردية ومتكني األمة‪ ،‬وىذ األقسام من الدعوة من حيث وظيفتا كعملية‬
‫لإلصالح والتجديد مياة األمة‪ .‬وىذا ىو اإلسام اإلضاىف الديد لدراسة حقيقة علم الدعوة‪.‬‬
‫وحقيقة الدعوة حول ثويل اإلسالم عن طريق األمر باعروف والني عن انكر يتساوى فيا‬
‫افكرون قبل حممد عبد وبعد كابن تيمية وعبد الكرو زيدان ومسوىا بامسبة واالحتساب‪.‬‬
‫ونتيجة ىذا البحث رد على رأي كثري من اسلمني الذين رأوا الدعوة اإلسالمية بصفة‬
‫ضيقة وأنا خارجة عن إطار العلوم االسالمية‪ ،‬كما أيد ىذا الرد البيانو ( ‪ .)2001‬وكذلك رد‬
‫على افرتاء كثري من استشرقني الذين قالوا إن انتشار اإلسالم كان باإلكرا والقتال واإلستعمار‪،‬‬
‫وىذا اإلفرتاء يتعارض مع ابادئ انجية للدعوة اإلسالمية كنشاط عقلي على حسب ما ورد ىف‬
‫القران الكرو والسنة النبوية الشريفة‪.‬‬

‫‪xvii‬‬
‫ونوع ىذا البحث ىو البحث اكتىب باستخدام طريق ثليل احملتوى وىو ثليل رأي حممد‬
‫عبد ىف الدعوة اإلسالمية وأسلوب تنشئة الداعى احملرتف كما ورد ىف تفسري انار‪ ،‬وتصنيفو على‬
‫حسب مبادئ علم الدعوة ىف تفيسر انار كمصدر أّوم واؤلفات اتعلقة ب راء حممد عبد ىف‬
‫الدعوة اإلسالمية وأسلوب تنشئة الداعى احملرتف كمصدر ثانوي‪ ،‬ويستخدم ىف ىذا التحليل علم‬
‫انطق وعلم الدعوة ونظرية اإلعالم‪ ،‬كما يستخدم ىف كشف صحة مواد ىذا البحث العودة ال‬
‫اصادر واالعتماد على الفكر انطقى‪.‬‬

‫‪xviii‬‬
PEDOMAN
TRANSLITERASI DAN SINGKATAN
A. Transliterasi

a. Konsonan

‫ا‬ alif a
‫ب‬ ba b
‫ت‬ ta t
‫ث‬ tsa ts
‫ج‬ jim j
‫ح‬ ha h
‫خ‬ kha kh
‫د‬ dal d
‫ذ‬ dzal dz
‫ر‬ ra r
‫ز‬ zai z
‫س‬
‫ش‬ sin s
‫ص‬ syin sy
‫ض‬ shad sh
‫ط‬ dhad dh
‫ظ‬
tha th
‫ع‬
‫غ‬ zha zh
‫ف‬ 'ain '
‫ق‬ ghain gh
‫ك‬ fa f
‫ل‬ qaf q
‫م‬ lam l
‫ن‬ mim m
‫و‬
 nun n
‫ء‬ waw w
‫ي‬ ha h
hamzah '
ya Y

b. Vokal Pendek c. Vokal Panjang d. Diftong e. Pembauran

=a ‫= ا‬â ‫ = أو‬aw ‫ = الـ‬al-


=i ‫=ى‬î ‫ = أى‬ay ‫ = الشمس‬al-
syams
=u ُ‫ = و‬û ‫ = و الـ‬wa al-

xix
Contoh: ‫ = قال‬qâla
‫ = قيل‬qîla
‫ = قولوا‬qûlû

B. Singkatan
1. SWT = Subhânahu Wa Ta’âlâ
2. SAW = Shallâ al-Lâh ‘alaih wa sallam
3. w. = wafat
4. H. = Hijriyah
5. M. = Masehi
6. tt. = tanpa tahun
7. ed. = editor
8. terj. = terjemahan
9. dkk. = dan kawan-kawan
10. hlm. = halaman
11. jld. = jilid
12. KAW = Karrama la-Lâh wajhah
13. Peny. = penyunting
14. Pen. = penerjemah
15. l. = lahir
16. a.s. = ‘alaih al-salâm.

xx
DAFTAR ISI

SURAT PERNYATAAN ............................................................................ ii


PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................. iii
KATA PENGANTAR ................................................................................. x
ABSTRAK ................................................................................................... xiii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ xvii
DAFTAR ISI ................................................................................................ xix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................ 1
B. Identifikasi, Rumusan, dan Pembatasan Masalah ..................... 24
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................. 25
D. Penelitian Terdahulu ................................................................. 27
E. Metode Penelitian...................................................................... 31
F. Sistematika Pembahasan .......................................................... 35
BAB II SEKILAS BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH DAN DAKWAH
ISHLÂHIYAH
A. Situasi Sosial Politik dan Budaya di Mesir ............................... 37
B. Identitas Diri, Riwayat Pendidikan, dan Karya......................... 41
C. Aktivitas Dakwah Ishlâhiyyah ................................................. 50
BAB III HAKIKAT, DASAR HUKUM, TUJUAN DAN UNSUR DAKWAH
A. Hakikat Dakwah........................................................................ 69
B. Dasar Hukum Dakwah .............................................................. 80
C. Tujuan Dakwah ......................................................................... 81
D. Unsur-unsur Dakwah ................................................................ 84
1. Mawdhu' Dakwah: Hakikat dan Karakteristik Islam ........... 84
2. Da'i dan Mad'u: Hakikat, Karakteristik Manusia dan Umat 96
3. Media dan Prinsip Metode Dakwah ..................................... 142
BAB IV BENTUK DAKWAH DAN KADERISASI DÂ’I PROFESIONAL
A. Al Da’wah al- ’Âmmah al-Kulliyyah ....................................... 162
B. Al Da’wah al-Juziyyah al-Khâshah .......................................... 170

xxi
C. Al Da’wah al -Ummah .............................................................. 193
D. Kaderisasi Dâ’i Profesional...................................................... 206

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 223
B. Rekomendasi ............................................................................. 227
DAFTAR PUSTAKA. .................................................................................. 229
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar Teks Ayat Alquran ......................................................... 244
Lampiran 2. Sebagian Teks Data Penelitian .................................................. 261
Lampiran 3. Tabel ayat al-Quran yang memuat kata kerja akal dan al-Albab 267
Lampiran 4. Gambar Bagan ........................................................................... 270
Lampiran 5. Riwayat Hidup ........................................................................... 271

xxii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Muhammad Abduh1 (1849-1905) menurut Robert De. Lee, ia telah
melakukan reformasi doktrin Islam dengan menempatkan penalaran pada
tempatnya, Islam dan panalaran yang benar sama-sama mencerminkan kebenaran,
dan diantara keduanya tidak mesti dipertentangkan.2 Pengakuan yang sama
dikemukakan oleh Ahmad Fuad Ahwani walaupun Muhammad Abduh
terpengaruh oleh Ibu Sina dalam hal metafisika, tetapi ia memiliki pembaharuan
pemikiran keagamaan yang mandiri, hal ini sebagaimana ditegaskannya bahwa
Muhammad Abduh adalah seorang pemikir yang mendakwahkan pembaharuan
pemikiran keagamaan dengan jalan kembali kepada Islam yang otentik menurut
sumber utamanya, yaitu Al-Qur‘an dan sunnah Rasul Allah SWT. Cara yang
ditempuh untuk kembali kepada sumber utama Islam yang otentik itu,
Muhammad Abduh mengajukan upaya ishlâh (perbaikan): (1) kehidupan
beragama, (2) akhlak, (3) pemikiran, (4) keluar dari taklid dan kebekuan berpikir,
3
(5) penggunaan akal, dan (6) naluri kesucian. Dengan demikian, Muhammad
Abduh adalah ―mujaddid (modernis)‖ dan ―mushlih (reformis)‖ pada zamannya di
Mesir.4

1
Namanya Muhammad, ayahnya Abduh dan kakeknya Hasan Khoerullah, jadi nama
lengkap Abduh itu Muhammad ibn Abduh ibn Hasan Khoerullah. Kemudian kata Ibn yang
menghubungkan nisbah anak dengan ayahnya dibuang; lihat Thahir al-Thanahi,ed. Muzakirat al-
imam Muhammad Abduh, (Mesir: Dâr al-Hilal, tt, hlm. 21-22; lihat pula Rif‘at Syauqi Nawawi ,
Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh; Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, (Jakarta: Paramadina,
2002) hlm. 21. Mengenai aturan membuang (al-Hadzfu) mudhaf atau mudhaf ilaih dalam gramar
‗arabiyah dibolehkan; lihat Jamâl al-Dîn bin Hisyam al-Anshari, Mughni al-Labîb, jld II,
Maktabah Dâr al-Ihya al-Kutub al-‗Arabiyyah, tt), hlm. 164-165.
2
Lihat Robert De Lee, Mencari Islam Autentik, trj. Overcoming Tradition and Modernity:
the Search for Islamic Authenticity, oleh Ahmad Baikuni, (Bandung: Mizan, 2000), hlm. 93-94.
3
Ahmad Fuad Ahwani, Al-Madâris al-Falsafiyyah (Kairo: Maktabah Mishr, 1965), hlm.
148. Tajdîd (pembaharuan) dan ishlâh (perbaikan) pemikiran dan kehidupan umat manusia
merupakan esensi dari dakwah para rasul Allah pada zamannya masing-masing. Selanjutnya lihat
Muhammad Ahmad al-‗Adawy, Da’wah al-Rusul ilâ al-Lâh Ta’âlâ (Mesir: Mushthafa al-Bab al-
Halaby wa Aulâdih, 1935), hlm. 4-5.
4
Lihat Philip K. Hitti, History of the Arab, Cet. X (New York: St. Martin‘s Place, 1968),
hlm. 754.
2

Dalam pada itu, menurut Azyumardi Azra bahwa, ―pemikiran


pembaharuan Muhammad Abduh jelas bersifat multidimensi. Tokoh-tokoh dan
gerakan pembaharuan yang dipengaruhinya di berbagai penjuru di dunia Muslim
sering mengambil hanya dimensi tertentu dari pemikirannya.‖5 Unsur-unsur dari
multidimensi dalam pendapat Azyumardi Azra itu antara lain, seperti yang
diuangkapkan oleh Ahmad Fuad Ahwani. Mengacu kepada pendapat ini,
pemikiran dalam bidang dakwah Islam termasuk salah satu dimensi pemikiran
pembaharuan Muhammad Abduh yang jarang mendapat perhatian para penulis
tentang Muhammad Abduh, sebab dalam pengantar Risâlah Tawhîd, salah satu
karya tulis Muhammad Abduh, Rasyid Ridha menyatakan tentang posisi gurunya
dalam hubungannya dengan dakwah Islam, Muhammad Abduh diakuinya sebagai
pengarang yang sanggup mereformasi sistem dakwah Islam menurut metode yang
memenuhi syarat ulama kalam, yaitu cara menarik orang secara rasional,
mengajak orang membahas persoalan dengan berpikir. Oleh karena itu buku
Risâlah Tawhîd yang ditulisnya berisikan penjelasan hakikat agama Islam yang
memenuhi syarat-syarat yang layak pada masa ini, yang belum pernah dilakukan
orang seperti itu di antara pemimpin-pemimpin Islam sebelumnya.6
Dalam kaitannya dengan dakwah Islam ini, Muhammad Abduh mengakui
posisi dirinya bahwa ―Saya bukan seorang imam yang diikuti, saya bukan seorang
pemimpin yang ditunduki. Saya adalah jiwa dakwah, dan jiwa dakwah itu tetap
ada pada saya. Saya tidak henti-hentinya mengajak kepada kepercayaan saya
dalam beragama.‖7 Berdasar atas pengakuannya sebagai jiwa dakwah (rûh al-
Dakwah) maka Muhammad Abduh tentunya memiliki pembaharuan pemikiran
dalam bidang dakwah Islam, sebab menurutnya, bahwa Islam ditegakkan dan
disebarluaskan melalui dakwah yang metodenya mengacu pada argumen rasional
(hujjah) dan argumen demonstratif (burhân), bukan dengan pedang, kekuatan
militer, dan anak panah sebagaimana dituduhkan oleh orang-orang jâhiliyyah dan

5
Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga
Posmodernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), hlm. x.
6
Rasyid Ridha dalam Muhammad Abduh, Risâlah Tawhîd, cet. Ke 17 (Mesir: Maktabah
al-Qahirah, 1060), hlm. 13.
7
Thahir Al-Thanâhi, ed Mudzakirât al-Imâm Muhammad Abduh, (Mesir, Dâr al-Hilal, tt)
hlm. 20.
3

musuh-musuh Islam. Hal ini ditegaskan oleh Muhammad Abduh bahwa, apakah
benar penilaian tentang mereka bahwa mereka (umat Islam) menegakkan
agamanya (al-Dîn) dengan pedang dan kekuatan militer bukan dengan bimbingan
(al-Irsyâd) dan dakwah? Tidak, sebab dalam Islam tidak ada pendapat seperti itu.
Muhammad Abduh menilai mereka sebagai penipu yang tolol atau musuh yang
pura-pura tidak mengetahui.8
Kemudian, Muhammad Abduh juga menegaskan pemikirannya bahwa
dakwah semata-mata dilakukan melalui hujjah (argumen rasional) dan burhân
(argumen demonstratif), bukan dengan pedang dan golok.9
Dari sudut pandang dakwah, dalam pernyataan Muhammad Abduh
tersebut, terdapat term-term dakwah, yaitu dîn, al-irsyâd, al-da’wah, jâhil, al-
hujjah, dan al-burhân. Kemudian, apa makna term-term ini dan bagaimana
Muhammad Abduh memposisikannya dalam struktur sistem dakwah. Hal ini
menarik untuk dikaji melalui penelitian. Dan acuan teori untuk memahami makna
term-term tersebut dapat menggunakan teori dilâlah lafazh terhadap makna
menurut para pakar ilmu mantik.10 Sedangkan posisinya dalam rukun dakwah,
dengan menggunakan perbandingan dengan pendapat para pakar dakwah tentang
unsur-unsur yang mesti ada dalam proses dakwah, yaitu da’i (pelaku dakwah),
maudhu’ (materi ajaran Islam), uslûb (metode), washîlah (media), dan mad’u
(sasaran penerima dakwah), unsur-unsur ini adalah substansi rukun dakwah.11
Muhammad Abduh juga membantah tuduhan musuh Islam yang
menyatakan bahwa Islam mengajarkan perang sebagai sesuatu yang bertentangan
dengan kasih-sayang Tuhan. Bahkan mereka mengklaim bahwa akidah Islam

8
Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 191 surah al-Baqarah. Ayat ini
memuat ketentuan qital dan bahaya fitnah. Muhammad Abduh, Tafsîr al-Manâr, Jld. II (Beirut:
Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 209, selanjutnya disebut Al-Manâr.
9
Al-Manâr, jld II, hlm. 215.
10
Antara lain menurut ‗Abidullah bin Fadhal al-Khabishy, Syarh al-Khabishy ‘ala Matn
Tahdzîb al-Manthiq wa al-Kalâm lî Sa’id al-Taftazany (Mesir: Maktabah Muhamad Ali Shabih,
1965), hlm. 10-12, Zainun Kamal, Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, Disertasi
(Jakarta: Fak. Pascasarjana IAIN Syahid, 1995), hlm. 22-44, dan Muhammad al-Sayyid al-Jalind
dan Al-Sayyid al-Hijr, Dirâsat fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts, (Kairo: Maktabah al-Zahra, tt)
hlm. 73-80.
11
Unsur-unsur dakwah ini sebagaimana ditunjukkan dari pemahaman kandungan ayat 125
surah al-Nahl yang memuat bagian dari ketentuan dakwah.
4

berbahaya bagi peradaban. Padahal, menurut Muhammad Abduh, perang


diperbolehkan dalam ajaran Islam dalam rangka membela diri, membela hak, dan
memelihara keberlangsungan dakwah Islam. Sebab, Islam mengajarkan cinta
kasih yang luas berlaku bagi seluruh alam, lalu Muhammad Abduh
mengemukakan beberapa pokok pemikirannya tentang prinsip-prinsip perang
dalam kerangka dakwah, bahwa, pertama, perang (al- Qitâl) disyariatkan untuk
mempertahankan kebenaran dan membela para pengusungnya, memelihara
dakwah dan menyebarkannya; kedua, Raja (al-Mulûk) atau pemerintah (al-
Umarâ) yang mengklaim dirinya berperang demi agama hendaknya ia
menghidupkan dakwah Islam dan mempersiapkan berbagai perangkat dan sarana
dakwah yang diperlukan berupa pengembangan ilmu, teknologi, dan pemikiran
sesuai dengan tuntutan zaman dan perkembangan ilmu pengetahuan; ketiga, raja
mengupayakan persiapan yang matang guna menjaga dakwah Islam dari
rongrongan musuh; dan keempat, orang yang mengetahui kondisi dan peran para
dâ’i di tengah-tengah masyarakatnya dan cara-cara melindungi mereka hendaknya
mengetahui apa yang mesti dilakukan berkenaan dengan dakwah Islam
sebagaimana mestinya pada zaman ini. 12
Prinsip-prinsip perang yang diungkapkan oleh Muhammad Abduh diatas
memuat argumen bantahannya terhadap pendapat ngawur para musuh Islam—
termasuk orang-orang yang menisbatkan diri kepadanya—yang mengira bahwa
Islam ditegakkan dengan pedang, bantahan atas pendapat orang-orang pandir
fanatik yang beranggapan bahwa Islam bukan agama ilahiyah lantaran Tuhan
Yang Maha Pengasih tidak memerintahkan penumpahan darah dan bahwa sistem
keyakinan Islam berbahaya bagi peradaban. Semua itu merupakan omong-kosong
yang ngawur dan Islam sendiri merupakan kasih-sayang universal bagi sekalian
alam.13
Dalam pernyataan Muhammad Abduh tersebut, terdapat beberapa hal yang
unik dan menarik untuk dikaji lebih lanjut, yaitu apa dan bagaimana posisi qitâl

12
Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 195 surah al-Baqarah, ayat ini
memuat ketentuan infaq di jalan Allah, ihsan dan larangan membuat kerusakan. Al-Manâr, jld. II,
hlm. 216.
13
Al-Manâr, jld II, hlm.216.
5

(perang) itu dalam dakwah? Apa dan bagaimana peran al-mulûk (para raja) dan
al-umarâ (aparat pemerintah) dalam menyiapkan kader da’i profesional?
Kemudian apa sajakah inti ajaran Islam sebagai rahmat bagi sekalian alam? Dan
bagaimana metode penyajiannya dalam proses dakwah? Analisis atas jawaban
persoalan-persoalan ini secara proporsional dipahami dengan menggunakan
pendekatan yang diajukan oleh Azyumardi Azra, yaitu pendekatan apologetik
(pembelaan diri), identifikatif (inventarisasi problem dan mencari solusinya), dan
affirmative (penegasan kembali kepercayaan kepada Islam dan menguatkan
kembali eksistensi masyarakat Muslim).14
Selanjutnya Muhammad Abduh meyakini bahwa mendakwahi manusia
kepada al-khair, memerintah perkara yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran
adalah perintah bagi semua muslim dan bagi muslim yang melaksanakannya
menjadi khairu ummah yang memiliki keimanan yang hakiki, yaitu keimanan
yang disertai kepatuhan jiwa dan dibuktikan dengan pengamalan ajaran Islam.15
Menurut Muhammad Abduh bahwa dakwah dapat digolongkan kepada
tiga martabat (―peringkat‖), yaitu: peringkat pertama (al-martabah al-ûla), berupa
dakwah kepada al-khayr yang dilakukan oleh umat Islam terhadap semua umat
agar mereka bersama-sama melaksanakan cahaya dan petunjuk al-khayr (al-
Islâm). Hal ini merupakan tahapan dakwah dalam peringkat pertama, yang diawali
dengan menyeru manusia kepada al-Islâm terlebih dahulu, jika mereka
menerimanya maka dilanjutkan dengan memerintah mereka agar melaksanakan
perkara yang ma’rûf dan mencegah mereka dari perkara yang mungkar; 16
Peringkat kedua (al-martabah al-tsâniyah), yaitu dakwah berupa amar
ma’rûf dan nahy munkar di kalangan kaum muslimin, sebagian dari mereka
mendakwahi yang lainnya kepada al-khayr begitu pula amar ma’rûf dan nahy
munkar; bagi peringkat kedua ini terdapat dua jalur dakwah yaitu: (1) al-dakwah
al-‘âmmah al-kulliyah (―dakwah universal‖) dengan menjelaskan (bayân), jalan-
jalan al-khayr, menerapkannya dalam kehidupan manusia, dan memberikan

14
Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme,
hingga Posmodernisme, hlm. v-vi.
15
Lihat al-Manâr, jld IV, hlm. 64.
16
Lihat al-Manâr, jld IV, hlm. 27.
6

contoh-contoh yang berpengaruh pada kejiwaan dengan mempertimbangkan


situasi dan kondisi mad‘unya. Dakwah ini menurut Muhammad Abduh mesti
dilakukan oleh khawwash al-ummah (―komunitas khusus‖) yang terdidik dan
terlatih yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang rahasia-rahasia
hukum, hikmah agama dan pemahamannya. Berdasar kepada kualitas keilmuan
mereka khawwash al-ummah ini secara spesifik melakukan implementasi hukum-
hukum Allah untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan mad’u dimanapun dan
kapanpun; dan (2) al-dakwah al-juziyyah al-khâshshah (―dakwah parsial‖) yaitu
dakwah yang berlangsung antar individu yang sudah saling mengenal baik yang
pandai maupun yang bodoh dengan menunjukkan kebaikan dan memotivasinya,
mencegah kejelekan dan memperingatkannya. Didalam jalur kedua ini termasuk
taushiyah dengan yang haq dan taushiyah dengan shabar, sesuai dengan kualitas
kemampuannya dalam menjalankan kewajiban umum dakwah.17
Muhammad Abduh tidak menyebutkan hukum Islam dalam jalur pertama
dari al-dakwah al-‘âmmah al-kulliyah tersebut, tetapi hukum-hukum Allah SWT.
Hal ini mengandung arti bahwa materi dakwah bukan hanya hukum yang
terkandung dalam syariat Islam yang diyakini mengatur tata kehidupan manusia,
tetapi juga hukum perilaku alam (sunan al-kawn) menjadi bagian yang menuntut
diimplementasikan dalam kehidupan umat manusia baik sebagai dâ’i maupun
sebagai mad’u. Sedangkan implementasi syariat Islam dan hukum perilaku alam
sebagai proses dakwah dimaksudkan untuk mewujudkan macam-macam
kemaslahatan manusia di sepanjang zaman dan di manapun manusia itu berada,
dengan menjadikan dakwah sebagai proses perbaikan dan mencari solusi problem
psikologis dan sosiologis mad’u yang dihadapinya.
Dari sudut pandang sistem dakwah, penjelasan hakikat dakwah tersebut
dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh mengajukan tiga bentuk dakwah

17
Lihat al-Manâr, jld IV, hlm. 28. Paparan Abduh mengenai dakwah ini merupakan
bagian dari penafsiran Q.S.. Ali Imran:104, ayat ini memuat bagian dri ketentuan dakwah. Secara
metodologis Abduh memahami hakikat dakwah ini dengan pendekatan ―qishmah tafshiliyah”
(taksonomis) tidak dengan al-ta’rîf bi al-hadd atau al-ta’rîf bi al-rasam, yaitu menjelaskan
hakikat sesuatu dengan cara merinci dan membagi unsur-unsur dari sesuatu itu yang dalam konsep
ta’rîf merupakan macam-macam unsur yang mesti ada didalamnya. Lihat Muhammad al-Sayyid
al-Jalind dan Al-Sayyid al-Hijr, Dirâsat fî al-Manthiq wa Manâhij al-Bahts, (Kairo: Maktabah al-
Zahra, tt) hlm. 92-93.
7

menurut caranya, yaitu: (1) bentuk tathbîq, yaitu berupa implementasi ajaran
Islam dan hukum alam dalam kehidupan manusia, (2) bentuk bayân (penjelasan
lisan yang berkaitan dengan tablîgh bî ahsan al-qawl (menyiarkan Islam dalam
bentuk penjelasan bahasa lisan) kepada kelompok besar dan khalayak dengan
materi tablîgh al-khayr (al-islâm), dan (3) bentuk bayân (penjelasan lisan yang
berkaitan dengan irsyâd al-qawl (bimbingan mad‘u individu dan kelompok kecil
dengan bahasa lisan) dengan membuat contoh-contoh yang mempengaruhi
kondisi psikologis para pendengar sebagai mad’u. Muhammad Abduh juga
mengajukan bahwa situasi dan kondisi obyektif mad‘u menjadi pertimbangan
penting dalam proses dakwah dengan berbagai macam bentuknya.18
Pemahaman atas apa dan bagaimana penjelasan Muhammad Abduh lebih
lanjut mengenai tiga bentuk dakwah menurut caranya tersebut dikaji dengan
menggunakan analisis perbandingan dengan pendapat para pakar dakwah yang
lain, juga menggunakan teori komunikasi yang relevan.
Kemudian Muhammad Abduh menyebutkan al-Islâm dengan al-khayr
sebagai materi dakwah dalam penjelasan hakikat dakwah yang telah
dikemukakan. Menurutnya, al-khayr sebagai al-Islâm itu sebagaimana
ditegaskannya bahwa, yang dimaksud dengan al-khayr (kebajikan) adalah al-
Islâm sebagai agama Allah yang diturunkan melalui lisan seluruh nabi bagi
seluruh umat manusia. Ia tiada lain adalah al-ikhlâsh karena Allah SWT. dan
meninggalkan hawa nafsu menuju hukum-Nya.19
Al-Islâm yang berintikan mengesakan ke-Mahaesaan Allah, menaati
hukum-Nya dan menjauhi dominasi hawa nafsu, yang diberikan Muhammad
Abduh tersebut, menunjukkan universalitas ajaran Islam yang di bawa oleh

18
Bandingkan dengan penafsiran Q.S. Fushilat: 33 mengenai bagian dari ketentuan
dakwah oleh Abd al-Rahman al-Sa‘di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân
(Riyadh: Maktabah al-Rusydiyah, 2001), hlm. 749, dan Abd al-Munshif Mahmûd al-Fatah,
Manhâj al-Da’wah al-Islamiyah min Al-Qur’an wa al-sunnah al-Nabawiyah, (Mesir: Al-Azhar,
1419 H), hlm. 29-42.
19
Pengertian ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 104 Surah Ali Imran, ayat ini
memuat bagian dari ketentuan dakwah. Al-Manâr, jld. IV, hlm. 27.
8

seluruh nabi Allah SWT., walaupun bentuk bahasa, hukum, dan amaliahnya dapat
berbeda-beda.20
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa menurut Muhammad Abduh,
dakwah Islam yang dilaksanakan oleh Nabi Muhammad saw. sebagai nabi Allah
terakhir merupakan kelanjutan dan menyempurnakan syariat Islam dan tata susila
yang dibawa oleh para nabi Allah sebelumnya.21 Nabi Muhammad saw.
menghidupkan kembali ruh ajaran Islam berupa al-ishlâh yaitu memperbaiki dan
mencari solusi problem umat dengan mempertahankan yang baik dan
memperbaiki yang jelek. Lalu Muhammad Abduh mengemukakan beberapa
prinsip ajaran Islam sebagai materi dakwah yaitu: (1) ruh ajaran agama Islam
adalah tawhid dan ikhlas yang diungkapkan dengan istilah islâm; (2) tujuan setiap
kegiatan yang diperintahkan oleh agama tiada lain adalah perbaikan hati (ishlâh
al-Qalb) dan akal-(ishlâh al-‘Aql) melalui keselamatan keyakinan dan kebaikan
tujuan; (3) memelihara seluruh kegiatan konkret tanpa tujuan yang benar tidak
memberikan faidah apa-apa bahkan ia berbahaya tanpa itu, yang akan membuat
manusia disibukkan oleh sesuatu yang tidak bermanfaat dan menghalanginya dari
hal-hal yang berguna. 22
Dalam pada itu, untuk memahami prinsip-prinsip ajaran Islam diperlukan
penggunaan potensi akal dan kalbu secara terpadu. Sebagaimana ditegaskannya
bahwa, pertama, apa yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. hanya dapat
diketahui oleh mereka yang memiliki hati nurani (kecerdasan spiritual), dan
kedua, fungsi segala apa yang dibawa oleh nabi adalah upaya menghidupkan ruh
agama yang menjadi pijakan seluruh nabi dan rasul, menyempurnakan syariat dan

20
Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 52 surah Ali Imran, ayat ini
memuat tentang bagian kisah al-hawâriyun penolong dakwah nabi Isa a.s. Al-Manâr, jld. III, hlm.
314.
21
Syariat dan tata susila yang dibawa oleh para nabi Allah sebelum Nabi Muhammad saw.
disebut ―syar’u man qablanâ‖. Lihat Muhammad al-Hudhori Bek, Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dâr al-
Fikr, 1981), hlm. 35-36.
22
Penjelasan ini merupakan bagian dari penafsiran Q.S. al-Baqarah: 139, ayat ini memuat
bagian dari ketentuan dialog nabi Muhammad SAW dan mad‘u dengan mengedepankan hujah. Al-
Manâr, jld. I, hlm. 488.
9

tata susilanya dengan etika yang maslahat bagi sekalian manusia pada setiap
ruang dan waktu. 23
Dari sudut pandang dakwah, dalam penegasan Muhammad Abduh
mengenai ruh agama yang telah dikemukakan, ada beberapa Hal yang unik dan
menarik untuk ditelusuri lebih lanjut, yaitu apa dan bagaimana tawhîd dan ikhlâsh
sebagai rûh Islam? Apa dan bagaimana ishlâh al-qalb dan ishlâh al-‘aql sebagai
sasaran pengamalan Islam? Apa dan bagaimana sesuatu yang dihadirkan oleh
Nabi Muhammad saw. (sunnah) sebagai upaya menghidupkan rûh al-dîn yang
dibawa oleh para nabi dan rasul Allah untuk semua manusia (al-basyar)? Analisis
atas jawaban persoalan ini akan menggunakan pendekatan hikmah tasyrî’ (nilai
dan fungsi filosofis ajaran)24 dan pemikiran para pakar tentang konsep ishlâh.
Hasil analisis ini diharapkan untuk menguji apakah benar bahwa makna
25
fungsional dakwah menurut Muhammad Abduh antara lain adalah ―ishlâh”
(perbaikan dan mencari solusi problem mad’u) dan ihyâ (menghidupkan ruh
agama yang dibawa para rasul Allah).
Term ishlâh (reformasi) memiliki muatan makna fungsional yang murâdif
dengan term da’wah. Demikian menurut pemahaman Abbas al-Aqqad ketika
mengomentari perjuangan Khalifah Ali bin Abu Thalib KAW. dalam buku Syarh
Nahj al-Balâghah karya Syaikh Muhammad Abduh, buku ini menghimpun
pidato, surat-surat, dan kata-kata hikmat khalifah Ali KAW yang dihimpun oleh
Syarif Ridha.26

23
Al-Manâr, jld. I, hlm. 489.
24
Antara lain dari pemikiran Ali Ahmad al-Jurjawi dalam karyanya Hikmah al-Tasyri’ wa
Falsafatuh (Beirut: dâr al-Fikr, tt.).
25
Menurut Abd al-Rahman Al-Sa‘di, hakikat ishlâh adalah:

(Ishlâh (reformasi) adalah upaya dalam memperbaiki aqidah, akhlak dan semua keadaan manusia
yang memungkinkan tercapainya kebaikan hidup manusia. Selain itu, ia juga memperbaiki segala
urusan keagamaan, keduniawian, individu dan golongan. Sedangkan lawan dari perbaikan adalah
perusakan). Lihat Abd al-Rahman al-Sa‘dî, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-
Mannân, Riyadh: Maktabah al-Rusydiyyah, 2001(, hlm. 749.
26
Lihat Abbas al-Aqqad, Multaqi al-Nufus al-Basyariyyah dalam Muhammad Abduh,
Syarh Nahj al-Balâghah, ed. Ahmad Jad (Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadîd, 2006), hlm. 27.
10

Sebenarnya, upaya ishlâh (reformasi) dan tajdîd (pembaruan) merupakan


ciri yang menyatu dalam diri Islam. Bahkan, menurut Moshe Sharon,
sebagaimana dikutip Akh. Minhaji, bahwa kedatangan Islam itu dapat dipandang
sebagai gerakan reformasi dan pembaruan pertama yang amat menakjubkan dan
telah menyebabkan terjadinya perubahan fundamental di kalangan masyarakat
Arab ketika itu.27
Oleh karena itu, gagasan Muhammad Abduh tentang ishlâh al-qalb dan
ishlâh al-‘aql merupakan bagian metode irsyâd al-nafsî (internalisasi Islam)
dalam memperbaiki dan mencari solusi probelm psikologis mad’u pada level
intraindividu merupakan aktualisasi watak Islam yang reformis dan modernis.
Analisis atas irsyâd al- nafsî ini selain menggunakan pemikiran pakar muslim
tentang konsep nafs dalam Al-Qur‘an juga menggunakan pendekatan psikologis
dalam komunikasi, teori ini meyakini bahwa bagi pemikir yang memiliki konsep
religius pada waktu yang sama memiliki perhatian atas kehidupan dan
penghormatan terhadap rasio dan realitas problem kehidupan manusia dan
berupaya menemukan solusi-solusi baru bukan melalui irasionalitas dan
kebencian, melainkan melalui penguatan terhadap rasio dan menumbuhkan cinta
kehidupan.28
Mengingat di dalam ―Irsyâd al-nafsî‖ terdapat tehnik muhâsabah bi al-
nafs (mawas diri), maka teori interaksionisme dalam komunikasi digunakan dalam
memahami pemikiran Muhammad Abduh tentang irsyâd al-nafsî ini, teori ini
meyakini bahwa proses mawas diri bersifat sosial, karena diri melaksanakannya
bertindak atas dirinya, dan menggunakan tindakan perilaku yang sesuai dengan
situasi tertentu. Diri juga mengevaluasi kesesuaian respon tersebut dan
menyimpannya untuk dipakai sebagai referensi di masa yang akan datang. 29

27
Akh. Minhaji, ―Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah,‖ dalam Amin Rais
dkk., Muhammadiyah dan Reformasi (Yogyakarta: Majelis Pustaka PP. Muhammadiyah, 2000),
hlm. 42.
28
Lihat Eric Fromm, Revolusi Harapan, terj. The Revolution of Hope, oleh Kamdani
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. v.
29
Lihat B. Aubrey Fisher, Teori-teori Komunikasi, terj. Perspectives on Human
Communication, oleh Sujono Trimo, peny. Jalaluddin Rakhmat (Bandung: Remaja Karya, 1986),
hlm. 233.
11

Muhammad Abduh meyakini bahwa dâ’i (pelaku dakwah Islam) digelari


sebagai khayr ummah (umat terbaik) oleh Allah SWT, yang mengerjakan bentuk
dakwah amr ma’rûf (memerintah yang baik) dan nahy munkar (mencegah yang
mungkar), selain para nabi Allah, mereka adalah semua orang beriman. Mengenai
hal ini, Muhammad Abduh mengemukakan perlunya kriteria dan peran dâ’i,
yaitu: (1) mereka merupakan orang-orang beriman kepada Allah dengan tingkat
keimanan yang mengontrol akal, hati, dan perasaan mereka, menguasai
kecenderungan hawa nafsu mereka yang dijelaskan oleh Allah SWT. mengenai
keistimewaan dan ciri-cirinya dalam banyak ayat Alquran; dan (2) kualitas
keimanan dâ’i selain bermanfaat bagi dirinya sebagai penggerak (al-musayyir)
umat juga besar pengaruhnya dalam melakukan dalam perubahan (taghyîr)
formasi kehidupan di muka bumi. 30
Dari sudut pandang dakwah, dalam pernyataan Muhammad Abduh
tersebut, dapat dipahami bahwa Muhammad Abduh mengajukan selain kualitas
keimanan kepada Allah SWT. sebagai syarat seorang dâ’i, ada dua hal yang
menjadi fungsi dan peran utama dâ’i, yaitu al-musayyir (pengemudi, pengendali,
dan penggerak umat) dan taghyîr hay-ah al-ardh (pelaku perubahan kehidupan
sosial-ke arah yang lebih baik). Hal ini menjadi petunjuk bahwa bagian inti dari
gagasan Muhammad Abduh adalah da’i sebagai agen perubahan sosial (mushlih)
di tengah-tengah kehidupan umat, yang berupaya memperbaiki kehidupan agama
umat dalam berbagai bidangnya yang paradoks dengan ajaran agama, upaya ini
berfungsi sebagai ikhtiar dan gerakan merespons dan mencari solusi persoalan
internal umat Islam berupa kemerosotan pengamalan ajaran Islam dan
membentengi umat serta menolak pengaruh budaya negatif dari luar.
Muhammad Abduh mengakui bahwa dalam upaya memperbaiki
kehidupan beragama umat, perlu dilakukan gerakan amr ma’rûf dan nahy munkar
sebagai salah satu bentuk kegiatan dakwah Islam, sebab menurutnya, amr ma’rûf,

30
Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran Q.S. Ali Imran: 110, ayat ini memuat
bagian dari ketentuan dakwah. Al-Manâr, jld. IV, hlm. 58.
12

nahy munkar dan kemestian untuk menunaikan ajaran Islam itu merupakan bagian
dari bentuk dakwah Islam.31
Persoalan dalam pendapat Muhammad Abduh tentang fungsi da’i dan
salah satu bentuk dakwah tersebut yang ditelusuri lebih lanjut, adalah apa dan
bagaimana al-musayyir dan al-mughayyir sebagai fungsi da’i? Dan apa serta
bagaimana amr ma’rûf nahy munkar sebagai bagian dari bentuk kegiatan dakwah?
Analisis atas jawaban pertanyaan-pertanyaan ini menggunakan teori komunikasi
yang diambil dari teori perubahan sosial, yaitu yang meyakini bahwa paling tidak
ada empat unsur utama yang menjadi sumber perubahan, yaitu gagasan (ideas),
tokoh-tokoh besar (heroes and heroes worship), gerakan-gerakan sosial, dan
revolusi.32
Hasil analisis tersebut diharapkan menjadi argumen bahwa bagian dari
makna fungsional pemikiran dakwah menurut Muhammad Abduh adalah
perubahan ke arah situasi kehidupan umat yang lebih baik melalui upaya
perbaikan dan mencari solusi problem kehidupan umat.
Selanjutnya, menurut pengamatan Muhammad Abduh, bahwa pemikiran
dan aktivitas dakwah Islam pada zamannya menjadi bagian persoalan internal
umat Islam yang menuntut adanya upaya ishlâh al-da’wah (mereformasi dakwah).
Reformasi dakwah ini dipandang urgen oleh Muhammad Abduh, karena dakwah
bukan mengatasi masalah tetapi menimbulkan masalah. Muhammad Abduh
mengemukakan beberapa macam problem dakwah pada saat itu, yakni: (1)
menasihati individu-individu umat (nashîhah al-Afrâd), menegakkan perkara
ma‘ruf dan menjebol perkara munkar menjadi ajang menyebarkan perbedaan dan
perpecahan; (2) tidak adanya upaya menyeru kepada kerukunan dan kesatuan
umat; (3) saling menasihati menjadi penyebab terjadinya permusuhan dan
perdebatan sehingga menjadi masalah krusial hubungan persaudaraan dan
31
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 62.
32
Lihat Jalaluddin Rakhmat, Rekayasa Sosial : Reformasi atau Revolusi (Bandung:
Rosdakarya, 1999), hlm. 81. Jika esensi dakwah adalah perubahan dan perbaikan kehidupan sosial
, maka secara sosiologis dakwah berfungsi sebagai upaya reformasi, yakni proses perubahan
tatanan sosial lama secara mendasar dan cepat kepada tatanan sosial baru yang lebih baik dengan
cara damai. Lebih lanjut, lihat Salman Luthan, ―Agenda dan Strategi Reformasi Hukum,‖ dalam
Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan (ed.) Moh. Mahfud MD, dkk. (Yogyakarta: UII Press,
1999), hlm. 448.
13

persahabatan di kalangan umat. Oleh karena itu, solusinya dakwah dengan bahasa
lisan menyeru kepada kebaikan, memerintahkan ma’rûf dan menjebol
kemunkaran secara bersama-sama di kalangan muslim, harus didasarkan pada
tambatan kasih sayang dalam hati mereka dan menyelamatkan mereka dari
kehidupan siksa sehingga mereka merasakan kehadiran ajaran Islam sebagai
nikmat Allah SWT. 33
Dari bagian persoalan dakwah yang dinyatakan Muhammad Abduh
tersebut, yang dikaji lebih lanjut adalah apa dan bagaimana nashihah al-afrâd?
Apa dan bagaimana upaya ishlâh al-da’wah melalui kaderisasi da’i profesional?
Analisis atas jawaban pertanyaan ini menggunakan perbandingan dengan
pendapat pakar dakwah lain tentang konsep takwîn al-du’ât (kaderisasi da’i
profesional) dan pakar pendidikan. Da‘i profesional adalah ilmuwan muslim yang
menjadikan dakwah sebagai pekerjaannya berdasarkan keahlian yang dimilikinya
dan keahliannya itu berbasis penguasaan ilmu islam dan keterampilan
mempraktikannya.34
Adanya term al-hujjah (argumen rasional) dan al-burhân (argumen
demonstratif) dalam mendakwahkan Islam, yang diajukan oleh Muhammad
Abduh, menunjukkan bahwa Hal ihwal yang berkaitan dengan dakwah Islam
adalah termasuk kandungan alquran, sebab al-hujjah (argumen rasional) dan al-
burhân (argumen demonstratif) adalah bagian dari makna fungsional Alquran.35
Selain itu, al-hujjah dan al-burhân merupakan dua istilah yang mengacu pada
aktivitas berpikir dalam pembentukan dan menghubungkan antara konsep berupa
proposisi-proposisi tentang obyek yang dipikirkan yang menghasilkan kebenaran
ilmiah.36 Dengan demikian dapat dipahami, bahwa Muhammad Abduh

33
Al-Manâr, jld. IV., hlm. 29. Problem dakwah yang dikemukakan Abduh ini merupakan
bagian dari problem perkembangan sosial di Mesir pada zamannya, yang menjadi bagian dari
tantangan perjuangan pembaruan yang dihadapinya.
34 Lihat Abd al-Badi al-Shaqâr, Kayfa Nad’u al-Nâs, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976),

hlm. 108-109.
35
Term al-hujjah antara lain disebutkan dalam Q.S. al-An‘âm (6): 149, ayat ini memuat
penjelasan bahwa adanya rasul dan al-kitab sebagai bagian dari hujjah Allah SWT. dan al-burhân
antara lain disebutkan dalam Q.S. al-Nisâ (4): 174, ayat ini memuat penjelasan bahwa kehadiran
Nabi Muhammad SAW sebagai burhân.
36
Lihat Muhammad Sayid al-Jalind dan Sayid Rizq al-Hijr, Dirâsât fî al-Manthiq wa
Manâhij al-Bahts (Kairo: Maktabah al-Zahra, tt.), hlm. 9-10.
14

berpandangan mengenai apa dan bagaimana hakikat dakwah Islam itu mesti
dipahami dari Al-Qur‘an dengan pendekatan rasional (’aqliyyah).
Oleh karena itu Al-Qur‘an sebagai sumber pemaknaan hakikat dakwah
Islam ditegaskan oleh Muhammad Abduh bahwa unsur esensi keberadaan Al-
Qur‘an yang diyakininya, ialah (1) Al-Qur‘an adalah firman langit yang
diturunkan kepada hati nabi yang paling sempurna oleh Maha Pencipta yang
hakikat-Nya tidak dapat diketahui; (2) Al-Qur‘an di dalamnya terkandung banyak
pengetahuan yang tinggi dan kebutuhan-kebutuhan yang urgen; dan (3) Al-Qur‘an
tidak dapat diserap maknanya kecuali oleh para pemilik jiwa yang bersih (al-nufûs
al-zâkiyah) dan para pemilik akal yang jernih (al-‘uqûl al-shâfiyah) 37
Penegasan Muhammad Abduh mengenai keberadaan Al-Qur‘an tersebut
tampaknya lebih mengacu pada saat Al-Qur‘an belum dikodifikasikan dalam
mushhaf, sebab Muhammad Abduh juga mengungkapkan pemahamannya tentang
Al-Qur‘an menurut keyakinannya bahwa: (1) Al-Qur‘an itu adalah al-kitâb yang
diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw.; dan (2) Al-Qur‘an itu
termaktub dalam mushaf-mushaf yang terpelihara di dalam dada orang-orang
Islam yang menghafalnya hingga hari ini.38
Mengacu pada dua pemahaman keberadaan Al-Qur‘anyang diajukan
Muhammad Abduh tersebut, menunjukkan bahwa memahami Al-Qur‘an
hendaknya menggunakan dua instrumen metodis, yaitu ―kecerdasan intelektual‖
(al-‘uqûl al-shâfiyyah) dan ―kecerdasan spiritual‖ (al-nufûs al-zâkiyyah) secara
terpadu. Proses pemahaman ini disebut penafsiran Al-Qur‘an. Dengan demikian,
keterpaduan dua instrumen metodis ini menjadi basis epistemologis bagi
Muhammad Abduh ketika merumuskan konsep-pemikiran dakwah dalam tafsir
Almanar.
Selanjutnya menurut Muhammad Abduh, tafsir Al-Qur‘an itu hendaknya
memuat unsur esensi penafsiran Alquran, yaitu berupa pemahaman al-kitâb yang

37
Al-Manâr, Jld. I, hlm. 17. Penggunaan instrumen metodis al-nufûs al-zakiyyah dan al-
‘ûqûl al-shafiyyah dalam memahami Al-Qur‘an sebelum Abduh, antara lain sudah digunakan oleh
Taqiy al-Dîn Abi al-Abbâs Ahmad bin Taymiyah (w.728H). Lebih lanjut, lihat karyanya Kitâb al-
Nubuwwât (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 284.
38
Muhammad Abduh, Risâlah Tawhîd (Kairo: Maktabah al-Qahirah, 1960), hlm. 145.
15

dipandang sebagai ajaran dan petunjuk dari Allah bagi semua alam, yang
menggabungkan antara penjelasan urusan kemaslahatan manusia dalam
kehidupan duniawi dan urusan keselamatan kehidupan ukhrawi.39
Kemudian Muhammad Abduh juga menegaskan karakteristik pemahaman
sebagai proses penafsiran Al-Qur‘an yang unsur–unsurnya terdiri dari: (1) suatu
upaya pemikiran yang berbasis rasa yang bersih, yang terbingkai oleh pola-pola
Al-Qur‘an dengan segala kelebihannya dan terkendali oleh petuah-petuahnya
sehingga ia mengabaikan yang lainnya; (2) pemahaman itu bukan pemahaman
yang timbul dari kepasrahan buta terhadap kitab-kitab; dan (3) pemahaman itu
bukan suatu ketundukan hampa yang tidak berpangkal pada rasa dan apa yang
mengikutinya berupa kelembutan perasaan dan kehalusan nurani yang keduanya
merupakan sumber penalaran (al-ta’aqul), penyerapan (al-taatstsur), pemahaman
40
(al-fahm), dan perenungan (al-tadabbur). Dengan demikian dapat dipahami
bahwa diantara sasaran penulisan tafsir Al-Qur‘an oleh Muhammad Abduh adalah
untuk memberantas mental taklid di internal umat Islam.
Sedangkan tujuan utama penafsiran Alquran, bagi Muhammad Abduh,
adalah selain sebagai al-ihtidâ bî al-Qur’an (menjadikan Al-Qur‘an sebagai
petunjuk hidup), juga ditegaskan ketika menjelaskan peringkat tafsir, menurutnya
bahwa peringkat minimal penafsiran Al-Qur‘an itu adalah penafsiran yang
dilakukan secara global dengan tujuan agar hati menjadi; (1) mampu menyerap
keagungan Allah dan menyucikan-Nya; dan (2) membuat jiwa berpaling dari
keburukan dan cenderung pada kebajikan. 41
Muhammad Abduh menulis tafsir Al-Manâr sebagai reaksi dan jawaban
atas persoalan adanya klaim sebagian umat pada zamannya bahwa penafsiran Al-
Qur‘an itu adalah menelaah kitab-kitab tafsir karya sebagian ulama tafsir yang di

39
Al-Manâr, jld. I, hlm. 19.
40
Al-Manâr, jld. I, hlm. 27. Dalam pernyataan Abduh ini memuat term epistemologis
yang dijadikan pegangan dalam menafsirkan Al-Qur‘an dengan menggabungkan fungsi nafs dan
akal (rasa dan rasio), dan Hal ini dapat terjadi dalam mengkaji Islam, berupa penggabungan unsur
subyektif dan obyektif, keberpihakan imani dan obyektivitas akademis. Lihat Komaruddin
Hidayat, ―Oksidentalisme: Dekonstruksi terhadap Barat‖ dalam Hasan Hanafi, Oksidentalisme:
Sikap terhadap Tradisi Barat, terj. Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istidrâk oleh Najib Bukhari (Jakarta:
Paramadina, 2000), hlm. xx.
41
Al-Manâr, jld. I, hlm. 21.
16

dalamnya banyak termuat aneka ragam perbedaan pendapat sehingga fungsi


hidâyah al-Qur’an terabaikan. Mereka menganggap cukup dengan kitab fiqih
yang ada dalam menjawab tantangan zaman dan penafsiran ulang dipandang tidak
diperlukan lagi.42 Hal ini mengandung petunjuk bahwa termasuk sasaran
penulisan tafsir Al-Qur‘an oleh Muhammad Abduh adalah untuk membangkitkan
semangat ijtihad di kalangan umat Islam yang saat itu mengalami stagnasi dalam
pengembangan pemikiran tafsir.
Kemudian Muhammad Abduh juga menyadari adanya problem umat
Islam dalam menyikapi Al-Qur‘an dan ajaran Islam yang terkandung dalam Al-
Qur‘an tidak lagi menjadi rujukan kehidupan. Begitu pula tradisi umat salaf dalam
keimanan dan amal saleh tidak lagi dihiraukan. Oleh karena itu kondisi
masyarakat yang demikian itu tidak bisa dijadikan sebagai argumen yang
melemahkan posisi Alquran. 43
Oleh karena itu, penafsiran yang berorientasi kepada ihtidâ bî al-Qur’an
(menjadikan Al-Qur‘an sebagai petunjuk) merupakan kebutuhan yang selalu masa
kini mengingat universalitas ajaran yang dikandungnya berlaku dalam mengatasi
problem keumatan di sepanjang zaman. Sebab, menurut Muhammad Abduh
bahwa secara fungsional kehadiran Al-Qur‘an itu berfungsi: (1) Al-Qur‘an ini
merupakan petunjuk (hâdi) dan pembimbing (mursyîd ) hingga hari kiamat; (2)
makna-makna kandungan Al-Qur‘an berlaku umum dan bersifat komprehensif;
(3) Al-Qur‘an tidak memberikan janji (wa’d), ancaman (wa‘îd), nasihat (wa’azh)
dan arahan (irsyâd) hanya kepada segelintir orang tertentu; dan (4) muatan janji,
ancaman, berita gembira, dan peringatannya memuat akidah, akhlak, kebiasaan,
dan kegiatan yang terdapat pada berbagai masyarakat dan bangsa. Oleh sebab itu,
Muhammad Abduh mengingatkan bahwa, siapapun jangan terkecoh oleh
pendapat sebagian penafsir bahwa ayat-ayat ini berkaitan dengan orang-orang

42
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 19 dan 25.
43
Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 151 surah Ali Imran, ayat ini
memuat informasi tentang orang kafir dan musyrik yang qalbunya penuh dengan keraguan kepada
Allah dan segala yang datang dari pada-Nya. Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 179.
17

munafik yang hidup pada zaman Nabi Muhammad saw. sehingga diduga bahwa
ayat-ayat itu tidak lagi relevan meski berkaitan dengannya. 44
Ternyata urgensi orientasi penafsiran Al-Qur‘an yang digagas oleh
Muhammad Abduh tersebut didukung oleh murid Muhammad Abduh, Sayid
Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935) yang mengakui bahwa, terdapat
kebutuhan mendesak atas suatu tafsir yang pusat perhatiannya pada petunjuk
(hid âyah) Al-Qur‘an melalui cara-cara yang karakternya sesuai dengan tujuan
diturunkannya Al-Qur‘an itu sendiri, yaitu untuk memberi peringatan (al-indzâr),
warta gembira (al-tabsyîr), memberi petunjuk (al-hidâyah), dan perbaikan (al-
ishlâh). 45
Mencermati urgensi pembaharuan sikap terhadap keberadaan Al-Qur‘an
dan penafsirannya yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan Ridha
tersebut, di dalamnya juga ditemukan term-term yang berkaitan dengan sebagian
aktivitas dakwah, yaitu ishlâh (perbaikan), irsyâd (bimbingan), bayân
(penjelasan), wa’azh (nasihat), indzâr (peringatan), wa’ad dan wa’îd (reward dan
punishment), tabsyîr (kabar gembira), tanzîh al-nafs (pembersihan jiwa), dan
hujjah (argumen rasional). Dengan demikian, bahwa sebagian kandungan dalam
tafsir Al-Manâr adalah berhubungan dengan pemikiran dakwah Islam menurut
penulisnya. Asumsi ini juga didasarkan pada pendapat Muhammad Abduh sendiri,
menurutnya bahwa surat makiyyah merupakan surat-surat Al-Qur‘an yang
diturunkan pada masa awal Islam untuk kepentingan dakwah dan untuk
menjelaskan dasar-dasar agama dan prinsip-prinsip umumnya berupa: (1)
keimanan kepada Allah, hari akhir, malaikat, kitab, dan para nabi, (2)
meninggalkan berbagai keburukan, kemaksiatan, dan kemunkaran yang dikenali
oleh manusia melalui akal dan fitrahnya, dan (3) melakukan berbagai kebajikan
dan kebaikan yang diketahui menurut kemampuan penalaran dan kesungguhan

44
Pernyataan ini merupakan bagian dari penafsiran ayat 20 surah al-Baqarah, ayat ini
berkaitan dengan perumpamaan kehidupan orang kafir yang menjalani jalan yang gelap. Lihat Al-
Manâr, jld. I, hlm. 179.
45
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 10.
18

berpikir yang menjadi fungsi hati dan nurani. 46 Dengan demikian dapat dipahami
bahwa Al-Qur‘an sebagai kitab dakwah.
Term-term dakwah yang tercantum dalam urgensi penafsiran Al-Qur‘an
yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh tersebut, terdapat pula term al-wa’zhu
(ceramah peringatan), indzâr (peringatan), wa’ad (reward), wa’îd (punishment),
tabsyîr (kabar gembira), tanzîh al-nafs (pembersihan jiwa), peranan fitrah (potensi
dalam penciptaan), dan dhamir (nurani) dalam memahami kebajikan dan
kebijakan. Apa dan bagaimana posisi term-term ini dalam struktur sistem dakwah
menarik untuk dikaji lebih lanjut dengan menggunakan analisis perbandingan
dengan pemikiran pakar dakwah selain Muhammad Abduh.
Sehubungan dengan pendapat Muhammad Abduh mengenai Al-Qur‘an
sebagai kitab yang diturunkan untuk kepentingan dakwah, Sayid Kutub
berpendapat bahwa Al-Qur‘an merupakan satu-satunya tempat kembali bagi para
penyeru dakwah dalam melakukan kegiatan dakwah, dan dalam menyusun
gerakannya.47 Pendapat yang sama dikemukakan oleh Abu al-A‘la al-Maududi
juga berpendapat bahwa: ‫حركة‬ ‫ن كتاب دعىة ومنج‬#‫( انقر‬Al-Qur‘an adalah kitab
dakwah dan metode pergerakan)48.
Kemudian Muhammad Abduh juga menjelaskan argumennya bahwa
tanâsub (hubungan) kandungan Q.S. al-Baqarah dengan Q.S. Ali Imran
menggambarkan perihal dakwah Islam,yaitu: (1) masing-masing surat diawali
dengan menyebut al-kitâb dan perihal sikap manusia dalam meresponsnya, yaitu
ada yang menerima (mu’min), menolak (kâfir), dan oportunis (munâfiq). Hal ini
menunjukkan bahwa awal surah al-Baqarah merupakan informasi perjalanan
episode awal dakwah Islam. Sedangkan dalam surah Ali Imran dijelaskan pula
respons manusia terhadap Alquran, ada yang ragu (zaygh) dan ada yang yakin
(râsikh). Hal ini menunjukkan bahwa sikap itu terjadi setelah menyebarnya
dakwah Islam; (2) masing-masing surah menyebutkan klaim keyakinan Yahudi

46
Al-Manâr, jld. I, hlm. 32.
47
Sayid Kutub, Fiqh Dakwah, terjemahan Fiqh al-Da’wah: Maudhû’ât fî al-Da’wah wa
al-Harakah, oleh Suwardi Effendi (Jakarta: Pustaka Amani, 1986), hlm. 11.
48
Abu al-A‘la al-Maududi, al-Mabâdi al-Asasiyyah li Fahm al-Qur’an (Lahor: Dâr al-
‗Arubah li al-Da‘wah al-Islâmiyyah, 1960), hlm. 34.
19

dan Nasrani sebagai keyakinan yang benar, dan bahwa dakwah Islam ditujukan
kepada mereka; (3) dalam surah al-baqarah diinformasikan penciptaan Adam a.s.
dan dalam surah Ali Imran diinformasikan penciptaan Isa a.s. yang di antara
keduanya terdapat kesamaan penciptaan tanpa ayah keduanya sebagai da‘i pada
zamannya; (4) masing-masing surah memuat penjelasan tentang hukum perang
sebagai pembelaan diri, kebenaran, dan keberlangsungan dakwah Islam; (5) pesan
moral dan etik dalam do‘a yang dimuat di akhir surah al-Baqarah berkaitan
dengan permulaan dakwah yang diorientasikan pada tugas-tugas keagamaan dan
memohon perlindungan dari para penentang dakwah. sedangkan do‘a di akhir
surah Ali Imran berkaitan dengan penerimaan dakwah dan permohonan balasan
amal di akhirat; dan (6) di awal surah al-Baqarah dijelaskan bahwa kemenangan
dan keselamatan bagi orang-orang yang bertakwa. Sedangkan Hal yang sama
dimuat dalam surah Ali Imran yang ditempatkan di akhir, sehingga awal dan akhir
terdapat konsistensi yang sama tentang akibat pilihan positif terhadap pesan
dakwah Islam.49
Penafsiran ayat-ayat Al-Qur‘an yang dikerjakan oleh Muhammad Abduh
dan dituliskan oleh muridnya Rasyid Ridha dalam tafsir Almanar hanya sampai

ayat 125 surah al-Nisa, yaitu: 50 ‫ولل ما فى انسمىات وما فى االرض وكان الل‬
‫بكم شيئ محيطا‬ (Kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit dan apa yang ada

di bumi, dan adalah (pengetahuan) Allah Maha Meliputi segala sesuatu).


Dalam pada itu, salah satu misi diterbitkannya Tafsir Almanar

sebagaimana ditegaskan oleh Rasyid Ridha:51 ‫وأنشأت انمنار نذعىة انى‬


‫االصالح‬ (Dan saya menerbitkan Almanar untuk dakwah ishlâh).

Sehubungan dengan Tafsir Almanar karya Muhammad Abduh, menurut


Abdullah Syahatah bahwa, menurut corak penafsirannya termasuk penafsiran Al-

49
Lihat Al-Manâr, jld. III, hlm. 153. Mengenai tanâsub surat dengan surat dalam struktur
mushaf al-Quran, antara lain telah dikaji secara khusus oleh al-Suyuthi mengenai tanâsub antara
surat al-Baqarah dengan surat Ali-Imran ini. Lihat Jalaluddin Abdurrahman al-Suyuthi, Tanâsuq
al-Durar fi Tanâsub al-Suwar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islamiyah , 1986), hlm. 63-74.
50
Nomor ayat ini dalam mushaf Utsmani adalah ayat ke 126. Lihat Al-Manâr jld. V hlm.
440-445.
51
Al-Manâr, jld. I, hlm. 12.
20

Qur‘an yang rasional yang ditujukan pada para pemikir modern, yang hanya dapat
menerima sesuatu yang rasional.52 Sementara itu Muhammad Quraish Shihab
mengomentari Tafsir Almanar karya Muhammad Abduh sebagai salah satu kitab
Tafsir yang berorientasi sosial, budaya, dan kemasyarakatan.53
Sedangkan menurut komentar Mukti Ali tentang Tafsir Almanar, bahwa
dalam ajaran tafsirnya, Muhammad Abduh berusaha menserasikan antara Islam
dengan pandangan-pandangan kebudayaan modern dan mengikuti cara-cara
pemikiran untuk mencari persesuaian antara agama dengan teori-teori ilmiah.
Nilai yang paling besar dalam ajaran tafsirnya adalah bahwa ajaran itu
menghidupkan perasaan dan menggerakkan emosi lebih banyak daripada kepada
pembahasan masalah-masalah ilmu. ajaran tafsirnya itu lebih banyak ditujukan
kepada hati daripada ditujukan kepada ilmu dan akal, sehingga kehidupan
beragama orang akan dapat terpengaruh.54
Dari beberapa komentar mengenai tafsir Almanar tersebut dapat dipahami
bahwa penulisan tafsir Almanar terkandung maksud untuk kepentingan dakwah
dalam bentuk tulisan yang merupakan bagian dari macam kegiatan tablîgh Islâm.
Dengan demikian Tafsir Almanar merupakan sebuah teks tafsir yang lahir dalam
sebuah wacana yang memiliki banyak variabel. Hal ini didasarkan atas pendapat
Komaruddin Hidayat bahwa ―Setiap teks lahir dalam sebuah wacana yang
memiliki banyak variabel, antara lain kondisi politis, ekonomis, psikologis, dan
sebagainya;‖55 dan pendapat Abdullah Ahmed al-Naim, menurutnya bahwa
penafsiran dan praktik semua agama, termasuk Islam dipengaruhi oleh beberapa
kondisi, yaitu kondisi sosiologis dan ekonomis dari masyarakat tertentu.‖56

52
Lihat Abdullah Syahatah, Manhâj al-Imâm Muhammad Abduh fî Tafîir al-Quran al-
Karîm (Kairo: al-Majlis al-‗Alâ li Ri‘âyah al-Funûn wa al-‗Adab wa al-‗Ulûm al-Islamiyah,
1963), hlm. 84.
53
M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Quran; Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), hlm. 5. dan lihat Muhsin Abd al-hamid, Tajdîd al-Fikr al-Islâmî (Herendon,
al-Ma‘had al-‗Alamy li al-Fikr al-Islami, 1995), hlm. 106.
54
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, hlm. 491.
55
Komaruddin Hidayat, Menafsirkan Kehendak Tuhan (Jakarta: Teraju, 2004), hlm. 19.
56
Abdullah Ahmed al-Na‘im, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak
Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, terj. Toward an Islamic Reformation:
Civil Liberties, Human Rights, and International Law oleh Ahmad Suaedi dan Ahmad Anzai
(Yogyakarta, 1977), hlm. xx).
21

Variabel-variabel yang menjadi wacana dan mempengaruhi penulis tafsir


dan penafsirannya yang dikemukakan oleh dua ilmuwan tersebut tidak serta-merta
langsung terungkapkan dalam tafsir Al-Manâr secara utuh. Hal ini menuntut
penelusuran di luar teks tafsir Al-Manâr untuk mengetahui latar variabel yang
mempengaruhi pemikiran Muhammad Abduh, sehingga apa yang diungkapkan
dalam teks tafsir Al-Manâr yang berkaitan dengan hal ihwal dakwah Islam dapat
dipahami dengan pemahaman yang mendekati maksud Muhammad Abduh
sebagai penulisnya. Maka pendekatan biografis sosial penulisnya dapat
digunakan. Hal ini sejalan dengan apa yang ditempuh oleh Zainal Abidin Ahmad,
terutama ketika mengkaji tentang Negara Adil Makmur menurut Ibnu Sina (980-
1037 M).57
Kemudian bagaimana memahami kandungan teks tafsir Almanar tentang
pemikiran dakwah Islam, yang dipaparkan oleh Muhammad Abduh, hal ini dapat
menggunakan pendekatan dilâlah (teori pemaknaan), teori dakwah, psikologi
qurani dan teori komunikasi yang berkaitan dengan obyek material kajian
dakwah, yakni perilaku manusia dalam berinteraksi dengan dirinya, diri orang
lain, dan lingkungan hidupnya sebagai proses implementasi al-Islam.
Kajian yang menghadirkan kembali pemikiran dakwah Islam menurut
Muhammad Abduh yang menitikberatkan pada upaya perbaikan dan mencari
solusi problem kehidupan umat baik problem psikologis maupun problem
sosiologis sebagai suatu hal yang baru pada zamannya dipandang perlu. Sebab
masih relevan dengan kehidupan bergama umat Islam pada zaman sekarang.
Hal tersebut antara lain didasarkan atas pendapat tiga ilmuwan muslim,
yaitu: pertama, pendapat Azyumardi Azra, bahwa Islam tidak hanya memberikan
ukuran-ukuran moral, tetapi juga memberikan kesempatan kepada potensi yang
dimiliki manusia untuk ikut menentukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Potensi yang dimiliki manusia yang dapat membantunya dalam memahami dan
membenarkan norma-norma moral Islam yang bersumber dari wahyu Allah itu

57
Lihat H. Zainal-Abidin Ahmad, Negara Adil Makmur menurut Ibnu Sina (Jakarta:
Bulan Bintang, 1974), hlm. 18.
22

58
termasuk akal dan qalbu (hati nurani)-nya; kedua, pendapat Komaruddin
Hidayat, bahwa tatkala prestasi di bidang iptek dijadikan satu-satunya acuan dan
ukuran keberhasilan, maka yang terjadi adalah proses pendangkalan kualitas
hidup. Nilai-nilai kehidupan seperti kebersamaan, solidaritas sosial, kasih sayang
antarsesama, mulai tergeser dari keprihatinan dan wacana keseharian ketika
keserakahan pada materi yang disimbolkan oleh keberhasilan iptek menjadi acuan
59
yang dominan; dan ketiga, pendapat M. Yunan Yusuf, bahwa gerakan dakwah
mestinya muncul sebagai solusi untuk membawa umat kepada sesuatu yang
menghidupkan dan menyemangati, bukan mengancam dan menakut-nakuti.
Upaya menghidupkan dan menyemangati dalam arti memberikan advokasi
material maupun sepiritual yang menyejahterakan kehidupan mereka sehari-hari. 60
Dalam ketiga pendapat tersebut, bagi yang pertama terdapat kesejalanan
dengan pemikiran Muhammad Abduh mengenai perlunya menggunakan akal dan
qalbu dalam memahami teks Alquran. Pendapat yang kedua sejalan dengan
pemikiran Muhammad Abduh tentang adanya problem keumatan yang
memerlukan upaya perbaikan dan mencari solusi melalui dakwah. Sedangkan
pendapat yang ketiga sejalan dengan pemikiran Muhammad Abduh mengenai
urgensi adanya gerakan dakwah sebagai upaya mengatasi problem psikologis dan
sosiologis keumatan.
Muhammad Abduh diyakini oleh Ibrahim Imam sebagai salah seorang
ulama yang memiliki pemikiran pembaharuan dakwah Islam, yang gerakannya
disebut dakwah salafiah.61Sedangkan pemikiran dakwah yang berintikan pendapat
dan gagasan dakwah sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Karim Bakar, adalah

58
Azyumardi Azra, ―Transformasi Nilai Islam dalam Etika Sosial ‖ dalam Nurcholis
Madjid dkk. Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai
Islam menuju Masyarakat Madani, peny. M. Amin Akkas dan Hasan M. Noer (Jakarta: Media
Cita, 2000), hlm. 391.
59
Komaruddin Hidayat, ―Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern‖ dalam Nurcholis
Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam
menuju Masyarakat Madani, hlm. 98.
60 M. Yunan Yusuf, ―Tafsir Sosial atas Dakwah bi al-Hal‖ dalam Nurcholis Madjid,

Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam menuju
Masyarakat Madani, hlm. 438. Lihat Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat
(Bandung: Humaniora Utama, 2006), hlm. 50.
61 Lihat Ibrahim Imam, Ushul al-‘Ilâm al-Islâmi, (Kairo: Dâr al-Fikr al-‗arabi, 1985), hlm.

186-188.
23

aktivitas akal dalam memahami, mengkaji dan memecahkan persoalan dakwah


dengan menggunakan cara kerja akal. 62
Selain itu, Muhammad Abduh adalah salah seorang da’i dan pemikir
dakwah, karena aktivitas dakwah bagi Muhammad Abduh merupakan bagian dari
tekad dan sumpah atas nama Allah dalam perjuangan hidupnya, isi sumpah itu
sebagaimana dijelaskan oleh Utsman Amin yang dikutip oleh Firdaus AN, bahwa
Muhammad Abduh bersumpah atas nama Allah akan berpegang teguh kepada
kitab Allah (Alquran) dalam segala amal bakti dan sikap moralnya tanpa
penyimpangan dan penyesatan; Ia akan senantiasa siap memperkenankan
panggilan Tuhan dalam bentuk perintah atau larangan-Nya dan akan berdakwah
sepanjang hayatnya tanpa pamrih; Ia bersumpah akan rela mengorbankan apa
yang ada pada dirinya untuk menghidupkan rasa solidaritas Islam (ukhuwwah
islâmiyyah) yang mendalam; tidak akan mendahulukan kecuali apa yang
diprioritaskan oleh agama Allah, dan tidak akan menta‘khirkan kecuali apa yang
dikemudiankan oleh agama; tidak akan melangkahkan sesuatu langkah kalau akan
membawa kerugian bagi agama sedikit ataupun banyak; dan Ia berjanji kepada
Allah akan selalu berdaya upaya mencari segala jalan atau peluang untuk
kekuatan Islam dan kaum muslimin.63
Dari substansi sumpah Muhammad Abduh di atas dapat dipahami, bahwa
Muhammad Abduh bukan hanya memiliki pemikiran dakwah, akan tetapi juga
merealisasikan pemikirannya itu. Sehubungan dengan hal ini Rif‘at Syauqi
Nawawi mengakui bahwa ―Muhammad Abduh sesungguhnya mempunyai
komitmen yang tinggi terhadap dakwah Islam‖. Dakwahnya tidak hanya ditujukan
kepada kaum yang telah beriman, tetapi juga ditujukan untuk kaum penganut
materialisme agar mereka juga mengakui dan mengerti akan adanya malaikat.‖64
Pengakuannya ini dikemukakan ketika menganalisis pendapat Muhammad Abduh
mengenai keberadaan malaikat.

62 Lihat Abdul Karim Bakar, Muqaddimât li al-Nuhudh bi al-‘Amal al-Da’awi,

(Damaskus: Dâr al-Qalam, 2001), hlm. 13-18.


63
Firdaus AN, Syaikh Muhammad Abduh dan Perjuangannya dalam Muhammad Abduh,
Risâlah Tawhîd, terj. Firdaus AN. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), hlm. 19-20.
64
Rif‘at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah
dan Ibadah, hlm. 137.
24

Oleh karena itu, fokus persoalan penelitian mengenai apa sajakah dan
bagaimana substansi pemikiran dakwah Muhammad Abduh yang termuat dalam
Tafsir Al-Manâr adalah persoalan yang memiliki relevansi dan urgensi bagi
perbaikan dan mensolusi persoalan keumatan masa kini yang menarik untuk
dikaji.

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah


Mengacu pada latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka
masalah yang diteliti diidentifikasi, dibatasi, dan dirumuskan sebagai berikut:
1. Identifikasi Masalah
Substansi pemikiran dakwah yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh
dalam Tafsir Al Manâr, masalah yang menarik untuk dikaji meliputi:
1) Bagaimana gagasan mengenai konsep dakwah yang di dalamnya berkaitan
dengan apakah hakikat, dasar hukum, dan tujuan dakwah;
2) Apa dan bagaimana hakikat Islam dan karakteristiknya sebagai maudhû’
al-da’wah;
3) Apa dan bagaimana karakteristik manusia dan umat sebagai da’i dan
mad’u;
4) Apa sajakah bentuk-bentuk dakwah dalam mencari solusi problem mad’u
yang di dalamnya melibatkan unsur metode, media, dan sasaran masing-
masing bentuk dakwah;
5) Bagaimana pola kaderisasi da’i profesional (takwîn al-du’ât) dari aspek
urgensi, dasar, tujuan, materi, dan metodenya.
6) Bagaimana gagasan mengenai sunnah Allah yang berlaku bagi alam
semesta (hukum alam sebagai bagian dari hukum Allah dijadikan acuan
dalam merumuskan prinsip-prinsip dakwah;
7) Apasajakah substansi sunnah Allah yang berlaku bagi alam semesta
sabagai bagian dari hukum Allah dan bagaimana implementasinya dalam
proses dakwah;
25

8) Apasajakah substansi hukum Islam sebagai bagian dari hukum Allah, dan
bagaimana implementasinya dalam proses dakwah yang pernah
dicontohkan oleh para nabi dan rasul Allah;
9) Bagaimana perbandingan pemikiran dakwah yang digagas oleh
Muhammad Abduh dan pemikiran dakwah yang digagas oleh Rasyid
Ridha; dan
10) Bagaimana kenyataan gerakan dakwah masa kini di dunia Islam jika
dianalisis berdasarkan pemikiran dakwah yang digagas oleh Muhammad
Abduh.
2. Pembatasan Masalah
Mengingat banyak aspek yang berkaitan dengan substansi pemikiran dakwah,
maka dari identifikasi masalah yang telah dikemukakan, masalah penelitian
dalam disertasi ini dibatasi pada tiga persoalan substantif, yaitu:
1) Apakah hakikat, dasar hukum, tujuan dan unsur dakwah yang terdiri dari
da’i, mad’u, mawdhu’, metode dan media dakwah sebagai proses
perbaikan dan mencari solusi problem mad’u;
2) Apasajakah bentuk dakwah sebagai proses perbaikan dan mencari solusi
problem mad’u;
3) Bagaimanakah pola kaderisasi da’i profesional dalam mewujudkan
keberlangsungan dakwah dalam Tafsir Al Manâr;
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, rumusan masalah yang dikaji
difokuskan pada persoalan apasajakah gagasan dan pendapat Muhammad
Abduh mengenai hakikat, dasar hukum, tujuan dan unsur dakwah, bentuk-
bentuk dakwah dan pola kaderisasi da’i profesional dalam Tafsir Al Manâr.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Ingin memperoleh data, memahami, memperoleh kejelasan, dan
melakukan sistematisasi pendapat dan gagasan Muhammad Abduh
mengenai hakikat, dasar hukum, tujuan dan unsur dakwah sebagai
26

proses perbaikan dan mencari solusi problem mad’u dalam Tafsir Al


Manâr;
b. Ingin memperoleh data, memahami, memperoleh kejelasan, dan
melakukan sistematisasi pendapat dan gagasan Muhammad Abduh
mengenai bentuk-bentuk dakwah dalam Tafsir Al Manâr;
c. Ingin memperoleh data, memahami, memperoleh kejelasan, dan
melakukan sistematisasi pendapat dan gagasan Muhammad Abduh
mengenai pola kaderisasi da’i profesional dalam mewujudkan
keberlangsungan dakwah dalam Tafsir Al Manâr.
d. Ingin membentuk istilah dan kategorisasi dakwah sebagai objek formal
kajian ilmu dakwah yang hingga saat ini masih dalam proses
pengembangan dan memerlukan masukan-masukan istilah dan
kategorisasinya.
2. Kegunaan Penelitian
Bersumber dari pengetahuan yang diperoleh dari tujuan penelitian di atas,
diharapkan dapat dipetik kegunaan teroretis dan praktis sebagai berikut:
a. Kegunaan Teoretis
1) Bagi pengembangan ilmu dakwah memberikan informasi khazanah
pemikiran Muhammad Abduh mengenai makna istilah dan
kategorisasi yang terkandung dalam sistematisasi hakikat, dasar
hukum, tujuan dan unsur dakwah sebagai proses mencari solusi
problem mad’u, bentuk-bentuk dakwah dan pola kaderisasi da’i
profesional;
2) Bagi para peneliti pembaruan pemikiran Islam merupakan salah
satu sumbangan pemikiran untuk dikembangkan lebih lanjut dalam
meneliti karya intelektual Muhammad Abduh dari sudut pandang
yang tidak menjadi masalah yang diteliti dalam penelitian ini.
b. Kegunaan Praktis
1) Bagi pencinta dan peneliti pembaruan pemikiran Islam bidang
dakwah dapat dijadikan salah satu rujukan dalam mengembangkan
makna istilah dan kategorisasi dalam disiplin ilmu dakwah;
27

2) Bagi praktisi dakwah dapat dijadikan salah satu rujukan dalam


mencari solusi problem mad’u (keumatan) sesuai tuntutan zaman.

D. Penelitian Terdahulu
Penelitian pemikiran dan kiprah Muhammad Abduh dalam kapasitasnya
sebagai pembaharu dan reformer (mujaddid dan mushlih) dalam Islam telah
dilakukan oleh banyak cendekiawan baik dalam bentuk tulisan disertasi maupun
dalam bentuk kajian akademis lainnya.
Harun Nasution, misalnya, telah mengkaji Muhammad Abduh dari segi
teologi rasional dan perbandingannya dengan Mu‘tazilah. Kajian ini menemukan
bahwa Muhammad Abduh lebih rasional ketimbang Mu‘tazilah dengan indikator
kemampuan akal, menurut Mu‘tazilah akal mampu: (1) mengetahui Tuhan; (2)
mengetahui kewajiban terhadap Tuhan; (3) mengetahui kebaikan dan kejahatan;
dan (4) mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan
jahat, sedangkan menurut Muhammad Abduh, akal mampu (1) mengetahui Tuhan
dan sifat-sifat Nya; (2) mengetahui adanya hidup di akhirat; (3) mengetahui
kebaikan dan kejahatan; (4) mengetahui kewajiban terhadap Tuhan; (5)
mengetahui kewajiban berbuat baik dan kewjiban menjauhi peerbuatan jahat; dan
(6) mengetahui hukum-hukum.65
Abd al-Athi Muhammad meneliti pemikiran Muhammad Abduh dalam
kerangka tesis magisternya dengan judul al-Fikr al-Siyâsi li al-Imâm Muhammad
‘Muhammad Abduh.66
Arbiyah Lubis melakukan penelitian komparatif atas pemikiran dan
gerakan pembaruan Islam antara Muhammad Abduh dan Muhammadiyah.67
Amir Maliki Abi Thalkha menulis tentang Muhammad Abduh dengan
judul Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh (Kajian tentang Sistem dan

65
Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional-Mu’tazilah (Jakarta: UI-
Press , 1987), hlm. 53-56.
66
Salim Bajri, Konsep Tauhid menurut Pemikiran Muhammad Abduh (Disertasi),
(Jakarta: PPS IAIN SYAHIDA, 2000), hlm. 32.
67
Salim Badjri, Konsep Tauhid menurut Pemikiran Muhammad Abduh (Disertasi), hlm.
32.
28

Lingkungan Pendidikan) untuk kepentingan tesis magister di IAIN Syarif


Hidayatullah Jakarta.68
Ada pula penelitian pemikiran bidang tafsir Muhammad Abduh, antara
lain oleh Abdullah Mahmud Syahathah antara lain ditemukan bahwa Muhammad
Abduh mendasarkan metode tafsirnya pada prinsip-prinsip: (1) memandang
kandungan surat Al-Qur‘an merupakan satu kesatuan yang serasi; (2) universalitas
kandungan Alquran; (3) Al-Qur‘an adalah sumber pertama hukum Islam; (4)
memerangi taklid; (5) menggunakan pendekatan ilmiah dalam mengkaji dan
mengambil petunjuk Alquran; (6) menggunakan akal dalam memahami ayat-ayat
Al-Qur‘an; (7) meninggalkan pembicaraan yang terlalu panjang dalam penafsiran
Al-Qur‘an; (8) meninggalkan cerita Israiliyat dan mengikuti pendekatan al-
ma’tsur yang shahih; dan (9) menggunakan pendekatan sosiologis dalam
mengambil petunjuk Alquran.69
M. Quraish Shihab mengkaji pemikiran Muhammad Abduh dalam bidang
tafsir dari segi metode dan corak penafsiran Al-Qur‘an, diantara temuannya
bahwa Muhammad Abduh mendasarkan orientasi penafsirannya pada
memfungsikan tujuan utama dari kehadiran Al-Qur‘an sebagai petunjuk serta
memberi jalan keluar bagi problem-problem umat manusia dengan berusaha
menghindari kelemahan kitab-kitab tafsir sebelumnya melalui metode budaya
kemasyarakatan dan dengan menerapkan prinsip-prinsip baru.70
Zaenun Kamal menulis tesis tentang pengaruh pembaharuan pemikiran
Islam menurut Muhammad Abduh terhadap pemikiran pembaharuan di Indonesia
untuk tesis magister dengan judul al-Imâm Muhammad ‘Muhammad Abduh wa
Âtsâruhu fî Tajdîd al-Fikr al-Islâmi bi Indûnîsiyya.
Rif‘at Syauqi Nawawi mengkaji Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh:
Kajian Masalah Akidah dan Ibadat, temuannya antara lain bahwa:

68
Salim Badjri, Konsep Tauhid menurut Pemikiran Muhammad Abduh (Disertasi), hlm.
32.
69
Abdullah Mahmud Syahatah, al-Imâm Muhammad ‘Abduh wa Manhajuh fî al-Tafsîr Al-
Qur’an al-Karim, (Kairo: al-Jâmi‘ah al-Qâhirah, 1963).
70
Lihat M. Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar,
(Jakarta: Lentera Hati, 2006)
29

Perhatian Muhammad Abduh yang demikian besar terhadap segi petunjuk


Al-Qur‘an dilandasi oleh keyakinannya bahwa kelemahan dan kemunduran
umat Islam serta hilangnya kejayaan mereka di masa silam adalah karena
mereka berpaling dari petunjuk Al-Qur‘an. untuk memperoleh kembali
kejayaan, kepemimpinan dan kehormatan hidup, menurut pendapatnya jalan
yang harus ditempuh ialah kembali kepada petunjuk kitab suci serta
berpegang teguh kepadanya. Tanpa berpedoman kepada petunjuk Al-
Qur‘an, umat Islam dari semua generasi tidak akan memperoleh kejayaan
dan kehormatan hidup.71

Fahd bin Abdurrahman Sulaiman al-Rumi memposisikan Muhammad


Abduh sebagai penganut aliran studi rasional modern dalam penafsiran Al-Qur‘an
yang dipengaruhi oleh gagasan Jamaluddin al-Afghani, kemudian Rasyid Ridha
dan Muhammad Mushthafa al-Maraghi mengikuti dan meneruskan upaya
Muhammad Abduh dalam penafsiran Alquran. 72
Muhammad Qodri Luthfi menulis tentang Sejarah Kehidupan Muhammad
Abduh dan Cita-cita serta Pandangan-pandangannya tentang Pendidikan dan
Pengajaran dan karyanya tersebut telah diterbitkan oleh Maktab al-Tarbiyah al-
Arabi Ahl Kharib tahun 1978.73
Ahmad Amin menulis tentang Muhammad Abduh sebagai tokoh
pembaharuan dalam Islam dan diterbitkan oleh Dâr al-Kitâb al-‗Arabi, Beirut,
pada tahun 1976. Gambaran tentang sejarah hidup pergerakan dan pemikiran yang
telah dilakukannya Muhammad Abduh setidaknya telah turut membuka wawasan
Islam yang lebih modern dan progresif. Di samping tulisan-tulisan mengenai
Muhammad Abduh yang dilakukan oleh para cendekiawan juga tidak kurang
karya tulis keagamaan ditulis sendiri oleh Muhammad Abduh maupun murid-
muridnya seperti Muhammad Rasyid Ridha yang menulis tentang Târîkh al-Imâm
Muhammad ‘Muhammad Abduh terbitan Maktabah al-Manar tahun 1431 H. 74

71
Rif‘at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Akidah
dan Ibadat, (Seri Disertasi), (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 203.
72
Fahd bin Abdurrahman Sulaiman al-Rumi, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-
Hadîtsah fî al-Tafsîr, (Beirut: Muassasah Risalah Beirut tahun 1414H).
73
Lihat Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 58-59.
74
Salim Badjri, Konsep Tauhid menurut Pemikiran Muhammad Abduh (Disertasi), hlm.
35.
30

Melalui tulisan-tulisan maupun aktivitas sosialnya, Muhammad Abduh


menjadi orang yang paling dikenal, menonjol, dan dicintai di tengah-tengah
masyarakatnya, di Mesir khususnya,75 sebagai sosok termashur dan serba bisa.76
Analisis tentang Hal ini ditulis pula oleh Muhammad Imarah dalam buku
Muhammad Abduh dan Pengalaman-pengalamannya yang Sempurna yang
diterbitkan oleh al-Muassasah al-‗Arabiyah li al-Dirasat wa al-Nasyr, Beirut, pada
tahun 1972.77
Pokok pemikiran Muhammad Abduh yang menjadi dasar bagi pendapat-
pendapatnya dalam bidang pembaharuan (tajdîd dan ishlâh) dalam Islam ditulis
oleh Utsman Amin dalam buku Tokoh Pemikir Mesir al-Imam Muhammad
Abduh. Buku ini diterbitkan oleh Lajnah al-Tarjamah Dairah al-Ma‘arif al-
Islamiyyah. Juga ditemukan buku Muhammad Abduh termasuk Tokoh-tokoh di
Abad Modern oleh Ahmad Amin dengan penerbit Dar al-Kitab al-Arabi di Beirut.
Dalam memahami ajaran tawhid sebagai bagian dari pesan dakwah,
Muhammad Abduh terpengaruh oleh pemikiran rasional Mu‘tazilah. Karena
kecenderungannya kepada pemikiran rasional, ia berpendapat bahwa pemikiran
rasional adalah jalan untuk memperoleh iman yang benar dan sempurna. 78 Namun
demikian, Muhammad Abduh bukan golongan Mu‘tazilah. Terlebih-lebih dalam
memberikan argumen tentang masalah tawhid Muhammad Abduh condong pada
nash Alquran, berbicara bukan semata-mata kepada hati manusia melainkan juga
kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan tinggi.79
Penelitian terdahulu di atas menunjukkan bahwa pemikiran dakwah
Muhammad Abduh belum dikaji secara khusus, dan menunjukkan kekhasan
penelitian yang memfokuskan pada pemikiran dakwah Muhammad Abduh dalam

75
Albert Hourany, Arabic Thought in the Liberal-Age, 1798-1939 (London: Oxford
University Press, 1962), hlm. 135.
76
Majid Fakhry, A History of Muslim Philosophy (Sejarah Filsafat Islam), terj. Mulyadhi
Kartanegara (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), hlm. 464.
77
Muhammad Imarah, al-’Amâl al-Kâmilah, (Beirut: al-Muassasah al-‗Arabiyah li al-
Dirasat wa al-Nasyr, 1972).
78
Muhammad Abduh, Ilmu dan Peradaban menurut Islam dan Kristen, terj. al-Islâm wa
al-Nasraniyyah ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyyah, oleh Mahyuddin Syaf (Bandung: CV.
Diponegoro, 1992), hlm. 51.
79
Lihat Harun Nasution, Teologi Islam, hlm. 65.
31

tafsir Al-Manâr yang sejauh tinjauan hasil penelitian yang sudah dikemukakan
belum dikaji, sehingga penelitian ini menjadi penting untuk dilakukan. Selain itu,
sumber data masalah penelitian, baik primer maupun sekunder, cukup tersedia dan
relatif mudah diperoleh sehingga penelitian dapat dilakukan.

E. Metode Penelitian
Tipe dan metode yang digunakan dalam penelitian ini sejalan dengan
rumusan masalah penelitian yang telah dikemukakan, maka tipe penelitian ini
tergolong kajian kepustakaan (library research). 80 Dan metode yang digunakan
adalah metode analisis isi (content analysis atau tahlîl al-madhmûn).81
Metode analisis isi dapat digunakan dalam merekonstruksi dan
mengaktualisasikan pemikiran seseorang tentang suatu ide yang umum dan
abstrak mengenai sesuatu yang dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat yang
terjadi pada masanya. Sesuatu tersebut terdapat dalam karya tulisnya yang
terpisah dari diri penggagas.82
Metode analisis isi dalam penelitian ini dengan menggunakan analisis
konten deskriptif kritis dalam menggali dan mengungkap substansi teks
penafsiran Muhammad Abduh yang memuat pemikiran dakwah.83
Sumber data dalam penelitian ini, mengingat tipe penelitian yang
menelaah buku-buku dan tulisan-tulisan yang ada hubungannya dengan masalah
pemikiran dakwah menurut Muhammad Abduh, maka digunakan sumber data
primer dan sekunder. Sumber data primer adalah karya tulis Muhammad Abduh,
yaitu Tafsir al-Quran al-Hakim yang lebih dikenal-dengan Tafsir Al-Manâr yang
ditafsirkan oleh Muhammad Abduh dan dituliskan oleh Muhammad Rasyid

80
Lawrence R. Frey et al., Investigating Communication, An Introduction to Research
Methods, (New Jersey Prentice Hall, 199 1), h1m. 204-205, menyebutnya sebagai textual-analysis.
81
Lihat Sukarnto dkk., Pedoman Penelitian, (Yogyakarta: "LP", 1995), h1m. 15-16.
82
Lihat Consuelo G. Sevila dkk., An Introduction to Research Methods, (Pengantar
Metodologi Penelitian) Pen. Alimudin Tuwu, (Jakarta: Ul-Press, 1993), h1m. 46-55, dan Aletis S.
Tan, Mass Communication Theories and Research, (Ohio: Grid Publishing Inc., 1981), hlm. 52-
53.
83
Jika yang akan diungkap itu dampak makna pesan bagi pembaca disebut analisis konten
inferensial. Selanjutnya lihat Zauqan Abidat dkk., Al-Bahts al- 'Ilmi, Mafhumuhu, Adawâtuhu,
Asâlibuhu, (Aman: Dar al-Fikr, 1987), h1m. 211-212, dan Shalah Mushthafa al-Fawal, Manâhij
al-Bahts fi al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah (Kairo Maktabah Gharib, 1982), hlm. 140-143.
32

Ridha, yaitu hingga Q.S.. Al-Nisa ayat 125 (dalam Mushaf Utsmani, nomor ayat
125 adalah ayat ke 126) yang dimuat dalam jilid V halaman 440-441. Sedangkan
sumber data sekunder adalah buku-buku tentang tafsir al-Quran, ilmu dakwah,
pemikiran Islam, psikologi Islami, dan teori komunikasi yang relevan sebagai
rujukan dalam menganalisis masalah penelitian yang terdapat dalam sumber
primer. Buku-buku tersebut sebagaimana tertuang dalam daftar pustaka.
Unit analisis dalam penelitian ini dengan mengacu pada metode penelitian
yang digunakan, maka dilakukan penentuan unit analisis sebagai sampel masalah
penelitian yang dikaji dan dilakukan secara purposive, yaitu difokuskan pada teks
penafsiran ayat-ayat al-Quran yang memuat Hal ihwal pemikiran dakwah dalam
tafsir Al-Manâr yang ditafsirkan oleh Muhammad Abduh. Sedangkan tehnik
untuk membedakan antara penafsiran oleh Muhammad Abduh dengan penafsiran
oleh Rasyid Ridha mengacu pada penjelasan Rasyid Ridha yaitu: penafsiran

Muhammad Abduh dicirikan dengan ungkapan: ‫ قال‬, ‫ قال االستار‬, ‫ قال شيخنا‬,
‫قال االستار االماو‬ , dan ‫االستار االماو‬ . Ungkapan-ungkapan ini ditempatkan di

awal-isi penafsiran. Dan penafsiran Rasyid Ridha dicirikan dengan ungkapan:

‫ وأزيذ نا‬, ‫ وأزيذ في‬, ‫ أقىل‬, dan ‫لن‬#‫ أقىل ا‬yang ditempatkan setelah penafsiran
Muhammad Abduh, bagian teks sampel penelitian ini sebagaimana tercantum
dalam lampiran.84
Kategori unit analisis yang digunakan adalah kategori substansi (substance
categories) yaitu menganalisis apa yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh
mengenai pemikiran dakwah dalam Tafsir Al-Manâr yang disistemisasikan dalam
struktur rukun dakwah, bentuk-bentuk dakwah dan pola kaderisasi da’i
profesional. Kemudian dianalisis dengan menggunakan istidlâl (teori pemaknaan),
teori psikologi islami, dan teori komunikasi yang bersinggungan dengan obyek
material kajian dakwah.85 Dan kategori unit analisis ini merupakan eksplanasi atas

84
Lihat Al-Manâr, Jld. I, hlm. 16.
85
Mengenai penggunaan kategori substansi ini, selanjutnya lihat Philip Emmert dan Larry
L. Barker, Measurement of Communication Behavior, (New York: Longman, 1989), h1m.
199-203. Klaus Krippendorff, Content Analysis.- Introduction to Its Theory and Methodology
(Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi), Pen. Farid Wajidi, (Jakarta.- CV. Rajawali, 1991),
33

operasional konsep yang terkandung dalam masalah penelitian, yaitu sebagai


berikut:
Pemikiran Dakwah dimaksudkan sebagai hasil aktifitas akal berupa
gagasan dan pendapat mengenai hal ihwal dakwah, yaitu: hakikat, dasar hukum,
dan tujuan dakwah, hakikat dan karakteristik Islam sebagai maudhu’ dakwah,
karakteristik manusia sebagai da’i dan mad’u, karakteristik umat, media dan
prinsip metode dakwah, bentuk-bentuk dakwah berupa al-da’wah al-‘âmmah, al-
da’wah al-khâshah, dan al-da’wah al-ummah, di dalamnya meliputi irsyâd nafsi,
irsyâd fardi, tablîgh, amr ma’rûf, dan nahy munkar, dan pola kaderisasi da’i
profesional, yaitu: urgensi kaderisasi, dasar dan tujuan, metode dan materi.
Muhammad Abduh dimaksudkan sebagai mufasir dan rijâl al-da’wah
(tokoh pemikir dan pelaku dakwah) yang memiliki gagasan dan pendapat dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Quran yang mengandung pernyataan pemikiran dakwah.
Analisisnya berkaitan dengan riwayat hidup Muhammad Abduh dan dibatasi pada
―situasi sosio-politik dan kultural di Mesir,‖ riwayat hidup yang meliputi identitas
diri, riwayat pendidikan, karya tulis, dan peranan dakwah reformasi (ishlâhiyyah).
Dalam Tafsir Al-Manâr dimaksudkan sebagai salah satu karya tulis
Muhammad Abduh di bidang tafsir al-Quran bersama Muhammad Rasyid Ridha
sebagai lokus masalah penelitian.
Tehnik analisis dan pemeriksaan keabsahan data mengenai pemikiran
dakwah menurut Muhammad Abduh yang telah terkumpul dianalisis secara
deduktif dan analisis komparatif, yaitu mengurai, mengulas, dan menanggapi
gagasan dari data yang ditampilkan mengenai substansi (substance categories)
pemikiran dakwah dari penafsiran Muhammad Abduh. Dengan demikian,
diharapkan akan diperoleh jawaban terhadap permasalahan yang diajukan dalam
penelitian ini. Selanjutnya langkah operasional analisis data tersebut sebagai
berikut:
Pertama, mendeskripsikan data dengan memaparkan inti penafsiran
Muhammad Abduh tentang pemikiran dakwah yang terdapat dalam tafsir Al-

hlm. 75 dan 89; dan Alexis S. Tan, Mass Communication Theories and Research, (Ohio: Grid
Publishing Inc. 198 1), h1m. 51-53.
34

Manâr. Hal ini dilakukan dengan memilah dan memilih konsep inti penafsirannya
ke dalam struktur rukun dakwah, bentuk-bentuk dakwah dan pola kaderisasi da’i
profesional. Dengan demikian tidak keseluruhan ungkapan-ungkapan penafsiran
yang dilakukan Muhammad Abduh tersebut dipaparkan, tetapi ada yang
diungkapkan maknanya dengan cara memahami dan menarik konsep inti yang
berkaitan dengan pemikiran dakwah dalam pernyataan penafsiran Muhammad
Abduh yang pemaparannya panjang dan luas.
Kedua, mengurai, mengupas, dan menanggapi gagasan tentang pemikiran
dakwah yang dipaparkan dalam konsep inti penafsiran yang ditempuh dalam
langkah pertama dengan penalaran yang menjelaskan konsep-konsep inti dari
sudut pandang pemaknaan pernyataan dan membandingkan dengan pendapat
pakar lain tentang masalah yang berkaitan dengan pemikiran dakwah tersebut
dalam struktur sistem dakwah, yaitu menggolongkannya ke dalam kategori unsur-
unsur proses dakwah dan pola kaderisasi da’i profesional.
Ketiga, menarik kesimpulan gagasan utama tentang pemikiran dakwah
menurut pemikiran Muhammad Abduh dalam tafsir Almanar dengan mengacu
kepada langkah kedua dalam analisis kategori struktur sistem dakwah, dan pola
kaderisasi da’i profesional.
Sedangkan pemeriksaan keabsahan data mengenai pemikiran dakwah
menurut pemikiran Muhammad Abduh ditempuh dengan melalui konfirmasi
referensi, yaitu mengacukan data kepada sumbernya dan konsistensi logis sebagai
kriteria untuk menera suatu kebenaran ilmiah.86 Dalam hal ini, pemikiran
Muhammad Abduh mengenai dakwah diperiksa ulang dengan melihat sumbernya,
dan proses penstrukturan pemikiran Muhammad Abduh tersebut ditempuh dengan
cara menempatkan pemikiran Muhammad Abduh sebagai premis minor, analisis
sebagai premis mayor dan menarik konklusi dari kedua premis itu.

86
Selanjutnya, lihat Alfred North Whitehead, Fungsi Rasio (terj. Functions of Reason)
Pen. Alois A. Nugroho (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 145-146.
35

F. Sistematika Pembahasan
Penulisan disertasi ini disusun dalam lima bab dengan sistematika sebagai
berikut:
Bab pertama adalah pendahuluan, berisi uraian tentang pernyataan
pemikiran Muhammad Abduh dalam Tafsir Al-Manâr yang memuat pendapat dan
gagasan mengenai dakwah sebagai proses implementasi hukum Allah dalam
memperbaiki dan mencari solusi problem kehidupan umat pada zamannya, yang
masih relevan untuk dihadirkan kembali pada zaman sekarang. Hal ini menjadi
latar belakang masalah untuk dikaji lebih lanjut melalui penelitian yang
difokuskan pada hakikat, dasar hukum, tujuan, unsur dakwah dan pola kaderisasi
da’i profesional dalam mewujudkan keberlangsungan dakwah Islam, dengan
tujuan menemukan data, memahami, memperoleh kejelasan, dan melakukan
sistematisasi substansi pendapat dan gagasan dakwah menurut Muhammad Abduh
tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi teoretis dalam pengembangan
pembentukan peristilahan dan kategorisasi dalam disiplin ilmu dakwah. Selain itu,
secara praktis ia memberikan kontribusi bagi para praktisi dakwah dalam
memperbaiki dan mencari solusi problem mad’u yang dihadapi pada zaman
sekarang. Kemudian, untuk menunjukkan bahwa masalah yang diteliti belum
dikaji secara khusus dikemukakan beberapa hasil penelitian dan karya tulis
mengenai pemikiran pembaruan Islam menurut Muhammad Abduh dalam
tinjauan penelitian pendahulu, sejauh yang diketahui peneliti, dan metode analisis
isi digunakan dalam memperoleh data dan proses analisis isi atas teks Tafsir Al-
Manâr yang memuat pemikiran dakwah menurut Muhammad Abduh.
Bab kedua berisikan uraian mengenai situasi sosial politik dan sosial
budaya di Mesir pada saat itu yang mempengaruhi pemikiran dan perjuangan
Muhammad Abduh dalam melakukan dakwah yang menitikberatkan pada
ishlâhiyyah sebagai fokus dakwahnya, identas diri, riwayat pendidikan, dan karya
tulis yang memberikan informasi posisi Muhammad Abduh dalam menyiapkan
kiprah perjuangannya sebagai salah seorang tokoh pemikir dan pelaku
pembaharuan pemikiran Islam, yang di dalamnya berkaitan dengan basis
pemikiran dakwah Islam, dan aktivitas dakwah ishlâhiyyah yang dilakukan oleh
36

Muhammad Abduh, yang meliputi ishlâhiyyah pendidikan, sistem pengajaran,


kelembagaan pendidikan, sistem politik, jurnalistik, hukum, dan kemasyarakatan.
Bab ketiga berisikan uraian mengenai substansi pemikiran dakwah yang
meliputi komponen prinsip-prinsip dakwah, di dalamnya dikemukakan hakikat
dakwah, dasar hukum dan tujuan dakwah, hakikat Islam dan karakteristiknya
sebagai maudhû’ al-da’wah, karakteristik manusia sebagai da’i dan mad’u,
karakteristik umat sebagai medan berlangsungnya kegiatan dakwah, media dan
prinsip metode dakwah. Selanjutnya keseluruhan isi tersebut
dikonseptualisasikan.
Bab keempat berisikan uraian mengenai bentuk-bentuk dakwah yang di
dalamnya melibatkan unsur atau komponen dakwah dalam memperbaiki dan
mencari solusi problem mad’u, baik problem psikologis maupun sosiologis, yaitu
al-da’wah al-‘âmmah, al-da’wah al-khâshah, dan al-da’wah al-ummah, yang di
dalamnya meliputi tablîgh, al-dâ’iyah fi nafsih, al-da’wah al-fardiyah, amr
ma’rûf dan nahy munkar dan upaya mewujudkan keberlangsungan dakwah
melalui kaderisasi da’i profesional, yang meliputi uraian urgensi kaderisasi, dasar
dan tujuan kaderisasi, materi pengajaran kaderisasi, dan metode pembelajarannya.
Kemudian, isi dari keseluruhan uraian tersebut dikonseptualisasikan.
Bab kelima merupakan uraian kesimpulan yang memuat temuan, argumen,
persamaan dan perbedaan mengenai substansi pemikiran dakwah menurut
Muhammad Abduh yang meliputi komponen dakwah, bentuk-bentuk dakwah dan
pola kaderisasi da’i profesional yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya.
Setelah itu, dikemukakan hal-hal yang dipandang perlu untuk ditindaklanjuti dari
hasil penelitian ini, baik secara teoretis maupun praktis yang berkaitan dengan
kedakwahan sebagai saran.
BAB II
SEKILAS BIOGRAFI MUHAMMAD ABDUH
DAN DAKWAH ISHLÂHIYAH

A. Sekilas Situasi Sosial Politik dan Budaya Mesir


Perjalanan hidup seorang tokoh di bidang apapun senantiasa dipengaruhi oleh
banyak faktor, antara lain faktor situasi sosial politik dan budaya di mana tokoh itu
menjalani kehidupannya. Bagaimanapun juga, situasi Mesir baik sosial-politik
maupun budayanya begitu pula keadaan keluarga serta pengalaman pendidikan
yang dialami oleh Muhammad Abduh berpengaruh kepada dirinya yang telah
mewarisi sifat-sifat yang ada padanya berupa kecerdasan, percaya kepada diri
sendiri, ulet dalam menghadapi kesulitan, dan ingin maju dan cinta kasih. Sifat-
sifat inilah yang pada gilirannya nanti membuat Muhammad Abduh menjadi tokoh
pemikir dan pejuang pembaharuan (tajdîd) dan perbaikan (ishlâh) Islam dan
kehidupan masyarakat Mesir pada zamannya yang berpengaruh pula bagi generasi
setelahnya.1
Situasi sosial politik Mesir abad ke 18 hingga ke 19 merupakan bagian dari
wilayah imperium Utsmani. Mesir benar-benar diperintah oleh beberapa faksi
militer mamlûk setempat. Sebagaimana wilayah Utsmani lainnya, Mesir memiliki
badan-badan ulama dan tarikat sufi yang pengaruhnya besar pada rentangan abad
ke 18, disebabkan lemahnya kontrol Utsmani, persaingan antara beberapa faksi
mamlûk mengakibatkan terbengkalainya irigasi, kemerosotan pajak, dan
meningkatnya persaingan politik antarfaksi mamlûk dan kesukuan. Situasi ini
berakibat pada melemahnya pengaruh Utsmani yang membawa perubahan besar
dalam struktur sistem kemasyarakatan Mesir; yaitu membuka kesempatan bagi

1
Lihat Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah (Jakarta: Jambatan, 1995),
hlm. 429. Tajdid (pembaharuan) menurut Harun Nasution adalah pikiran, aliran, gerakan, dan
usaha mengubah paham-paham, adat istiadat, institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan
dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Lihat Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga
Posmodernisme, (Jakarta: Paramadina, 1996 ), hlm. xi, sedangkan ishlâh (perbaikan, reformasi)
adalah upaya atau gerakan memperbaiki dan mengembalikan cara berpikir dan bertindak dari
38

serangan Napoleon tahun 1798M, dan kedua membuka kesempatan bagi


intervensi pihak Inggris.2
Sebagai akibat yang pertama tersebut, menurut Harun Nasution bahwa,
dalam usaha menyaingi kegiatan ekspansi Inggris ke dunia Timur, Napoleon
Bonaparte dari Prancis, pada tahun 1798M, mengadakan ekspedisi ke Mesir, yang
sejak lama merupakan salah satu pusat terpenting dari dunia Islam. Dalam waktu
kurang dari satu bulan, seluruh negeri itu jatuh ke bawah kekuasaannya.
Persenjataan modern yang dibawanya tidak bisa diimbangi oleh persenjataan
tradisional kaum mamâlik yang pada waktu itu berkuasa di sana.3
Napoleon hadir menaklukkan Mesir bukan hanya dengan tentara, tetapi
juga membawa unsur-unsur peradaban modern Barat yang tidak dikenal di Timur.
Ia membawa ilmuwan-ilmuwan yang mendirikan lembaga ilmiah dan
laboratorium di Kairo. Di antara ilmuwan-ilmuwan itu terdapat pula kaum
orientalis yang tahu bahasa Arab dan agama Islam. Napoleon juga membawa
percetakan dalam huruf Latin dan Arab yang menyiarkan hasil-hasil penelitian
para ilmuwan tersebut, begitu pula maklumat-maklumat Napoleon sendiri. Situasi
ini mengakibatkan terjadinya kontak orang Mesir, terutama ulama-ulamanya
dengan kebudayaan yang dibawa napoleon, yang pada gilirannya di kemudian
hari, menimbulkan kesadaran dalam diri para ulama Mesir pada saat itu, bahwa
umat Islam sudah jauh ketinggalan dari orang Eropa. Hal ini antara lian disadari
oleh Abdurrahman al-Jabarti, salah seorang ulama Al-Azhar dan penulis sejarah
setelah berkunjung ke lembaga-lembaga ilmiah dan laboratorium di Prancis.4
Pendudukan Prancis tersebut berakhir dengan adanya perlawanan yang
dipelopori oleh Muhammad Ali (1765-1849M), seorang perwira Turki dalam
berperang melawan Prancis. Dan setelah Prancis keluar dari Mesir (1 Agustus
1801M), Muhammad Ali dapat merebut tampuk kekuasaan dan menjadi penguasa

kehidupan yang menyimpang kepada ajaran autentik, lihat Muhsin Abd al-Hamid, Tajdîd al-Fikr
al-Islamî, (Virginia: al-Mahad al-Âlami li al-Fikr al-Islami, 1994), hlm.96.
2
Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian III, terj. A History of Islamic
Societies, oleh Gufron A. Masudi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 101-103.
3
Harun nasution, Muhammad Abduhdan Teologi Rasional Mu’tazilah (Jakarta: UIP, 1987),
hlm. 7.
39

tunggal yang independen dan mendirikan sebuah dinasti yang memerintah Mesir
sampai tahun 1952. muhammad Ali menjadi penguasa Mesir mulai tahun 1805
sampai tahun 1849.5
Berbarengan dengan adanya kesadaran umat Islam Mesir akan
kemunduran, kelemahan, dan ketertinggalan dalam berbagai aspek kehidupan,
terutama di bidang sains modern, teknologi, dan ekonomi umat, maka situasi ini
dijadikan momentum strategis oleh Muhammad Ali dalam melakukan
pembaharuan di Mesir, dalam bidang pendidikan ia tampil memeloporinya dengan
upaya mengirim orang Mesir belajar ke Eropa,6 terutama ke Paris. Di Mesir
sendiri, ia mendirikan sekolah-sekolah modern, seperti sekolah militer (1815M),
sekolah teknik (1816M), sekolah kedokteran (1827M), sekolah apoteker (1828M),
sekolah pertambangan (1834M), sekolah pertanian (1836), dan sekolah
penerjemahan (1836M). Gerakan Muhammad Ali ini dipandang sebagai awal
terjadinya reformasi sosial di Mesir.7
Di bidang politik, sebagai penguasa tunggal, Muhammad Ali melakukan
perombakan dengan menghancurkan seluruh kekuatan politik yang berasal dari
keluarga mamlûk, begitu juga kekuasaan ulama yang pada akhir abad ke 18 turut
terlibat dalam urusan pemerintahan, secara berangsur-angsur dilumpuhkan dengan
merampas hak pajak pertanian dan wakaf mereka. Di bidang perekonomian,
Muhammad Ali melancarkan reorganisasi perekonomian secara total dengan
melakukan pengembangan perkebunan tebu dan kapas yang keduanya merupakan
komoditas yang laku dalam pasaran internasional. Guna meningkatkan pertanian
dibangunlah irigasi besar. Sementara itu, selain untuk mengolah hasil pertanian, ia
mendatangkan ahli-ahli mesin dan teknisi dari Barat dan membangun pabrik yang

4
Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduhdan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 9.
5
Rifat Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah
dan Ibadat, (Jakarta:Paramadina, 2002) hlm. 19.
6
Menurut catatan Musyarrofa, sepeti dikutip oleh Haris, bahwa pelajar Mesir yang dikirim
belajar ke Eropa itu, 230 orang ke Prancis, 95 orang ke Inggris, dan 14 orang ke negeri lainnya.
Dengan bidang ilmu yang ditekuni masing-masing, 310 orang bidang engineering dan industri, 15
orang kedokteran, 2 orang pertanian, dan 12 orang bidang humaniora. Lihat Cristianna Phelps
Harris, Nasionalism and Revolution in Egypt: the Role of the Muslim Brotherhood (London:
Mounto & Co., 1964), hlm. 18.
7
Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 10.
40

menghasilkan kapas, wol, benang tekstil, gula, kertas, barang-barang dari kulit,
dan memproduksi senjata. Semua ini, menurutnya, untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat Mesir.8
Sebagai penguasa tunggal, Muhammad Ali tidak menghadapi kesulitan
dalam usahanya membawa pembaharuan di Mesir, terutama di bidang pendidikan,
militer, dan ekonomi. Ia menjadi raja yang absolut yang menguasai sumber
kekayaan, terutama tanah, yang ada di Msir, pertanian, dan perdagangan. Di
daerah-daerah, para pegawainya juga bersikap keras dalam melaksanakan
kehendak dan perintahnya. Sehingga rakyat merasa tertindas, untuk menghindari
kekerasan yang dilakukan oleh para pegawai Muhammad Ali, rakyat di daerah ada
yang terpaksa berpindah-pindah tempat, dalam hal ini termasuk kakek dan ayah
Muhammad Abduh melakukan hal yang sama, bahkan kakek dan ayah
Muhammad Abduh pernah dipenjara lantara dituduh terlibat menentang
pemerintahan Muhammad Ali. Kebijakan pemerintahan Muhammad Ali ini
ternyata berujung dengan ketidakadilan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat
Mesir.9
Selain melahirkan keadaan sosial-ekonomi tersebut, usaha modernisasi
atau pembaharuan yang dilakukan oleh Muhammad Ali juga melahirkan dua
sistem pendidikan yang berbeda, bahkan antara yang satu dengan yang lainnya
terjadi ketegangan di kalangan pendukungnya masing-masing, yaitu: Pertama,
pendidikan yang hanya mengajarkan keagamaan dan menolak keberadaan
perubahan dan sains modern; dan kedua, sistem pendidikan sains yang menerima
sepenuhnya pengaruh dan ide Barat yang sekuler tanpa seleksi. Kemudian dari dua
sistem pendidikan yang berbeda ini, pada gilirannya, melahirkan tipe kehidupan
Muslim yang sangat berbeda. Bagi kelompok pertama, yang
mayoritas pendukungnya dari generasi tua, yang menganggap
bahwa ajaran Islam sebagaimana terformulasikan dalam karya-karya
ulama fiqh adalah ajaran yang

8
Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, hlm. 103.
9
Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan gerakan
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 585-59.
41

benar sedangkan nilai-nilai baru yang dibawa oleh sains modern tidak layak untuk
diterima.10
Sementara itu, kelompok yang menerima sains modern dan ide-ide Barat
tanpa seleksi yang kebanyakan dianut oleh generasi muda Mesir yang penguasaan
keagamaannya masih dangkal dan mengabaikan tradisi keagamaan yang dianut
oleh kelompok generasi tua. Dua tipe kehidupan Mesir ini berimplikasi pada
aspek-aspek sosial lainnya yang serba dikotomis, mempertentangkan nilai agama
dan nonagama, antara sains Barat dan ilmu agama, antara yang mempetahankan
taklid kepada pemikiran keagamaan kaum tua dengan yang mengharuskan
pembaharuan melalui ijtihad dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam suasana
sosial-politik dan budaya Mesir tersebutlah Muhammad Abduh dilahirkan.

B. Identitas Diri, Riwayat Pendidikan, dan Karya Tulis


1. Identitas Diri
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad Abduh bin Hasan
bin Khairullah. Ayahnya merupakan seorang petani yang taat beragama tetapi
bukan ulama. Mengenai asal-usulnya, Muhammad Abduh pernah bercerita bahwa,
orang-orang menyebut rumah kami sebagai rumah Turki. Saya bertanya kepada
orang tua mengapa mereka menyebut demikian. la menjawab bahwa keturunan
kami bermuara pada seorang nenek moyang dari negeri Turki. Adapun ibu saya
adalah bangsa Arab Quraisy yang silsilah keturunannya sampai pada Umar bin
Khaththab. Namun ini hanya merupakan cerita turun-temurun yang tidak
memungkinkan pembuktian.11
Muhammad Abduh dilahirkan di penghujung tahun 1265H/1849M di
daerah Syabsyir, salah satu desa di Mesir Hilir, yaitu desa Mahallah Nashr
kabupaten Al-Buhairah yang berjarak sekitar lima belas kilometer dari kota
Damanhur. Muhammad Abduh lahir dan dibesarkan di sebuah keluarga yang

10
Lihat Ira M. Lapidus, Sejarah Sosial Umat Islam, hlm. 103-104, dan Albert Hourani,
Pemikiran Liberal di Dunia Arab, hlm. 222-223.
11
Lihat Thâhir al-Tanahi (ed.), Mudzakkirât al-Imâm Muhammad ‘Muhammad Abduh
(Mesir: Dâr al-Hilal, tt.), hlm. 21.
42

merupakan bagian dari kelas kreatif di Mesir modern, keluarga yang cukup
terpandang di desanya dan dengan tradisi belajar dan kesalehan.12 Kondisi
lingkungan keluarga Muhammad Abduh di desa adalah lingkungan orang-orang
miskin, kehidupan di desa tempat tinggalnya seperti layaknya kehidupan di desa-
desa lain di Mesir, di mana penduduknya bekerja giat dan bersungguh-sungguh,
beriman kepada Allah, dan yakin di hari akhirat nanti akan mendapatkan balasan
dari-Nya.13
Muhammad Abduh menikah pada tahun 1282H/1866M, pada usia 17
tahun. Dari perkawinannya, menurut catatan Rasyid Ridha, Muhammad Abduh
tidak mempunyai anak laki-laki. Ia dikaruniai empat anak perempuan. Dua orang
puterinya, yakni yang pertama dan yang kedua, dikawinkannya ketika Muhammad
Abduh masih hidup, masing-masing dengan Muhammad Bek Yusuf dan Utsman
Affandi Yusuf, sedangkan puteri ketiga dan keempat setelah Muhammad Abduh
wafat turut dengan paman mereka, yakni Hamudah Bek Muhammad Abduh al-
Muhami.14
Ketika masa kanak-kanak, Muhammad Abduh memiliki hobi bermain
menaiki kuda, memanah, dan renang dalam suasana lingkungan hidup yang agraris
di pedesaan Mesir. Hobinya ini, pada gilirannya di kemudian hari, menjadi salah
satu faktor yang membentuk kepribadian Muhammad Abduh menjadi berani dan
tabah menghadapi masalah dalam perjuangannya setelah ia dewasa.15
Mengenai performance dan kepribadian Muhammad Abduh, sudah banyak
dikomentari oleh para penulis tentang biografi dan pemikiran Muhammad Abduh,
antara lain Albert Hourani menyebutkan tentang performance dan kepribadian
Muhammad Abduh ini, menurutnya, ia adalah seorang laki-laki tampan, tegap,
berkulit gelap, dengan penampilan yang tenang dan pesona agak melankolik. Pada

12
Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, terj. Arabic Thoughts in the Liberal Age
1788-1939, oleh Suparno dkk. (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 210.
13
Muhammad al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, terj. Al-Fikr al-Islâm al-Hadits wa
Shirâtuhu bi Isti’mâr al-Gharbiy, oleh Suadi Saad (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1986), hlm. 63.
14
Lihat Rifat Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah
Akidah dan Ibadat (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 41.
15
Lihat Ahmad Jad, “Tarjamah al-Syarif al-Imâm Muhammad Abduh” dalam Muhammad
Abduh, Syarh Nahj al-Balaghah (Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadid, 2006), hlm. 16.
43

tahun-tahun terakhir kehidupannya, ia tampak semakin lembut, dan mereka yang


mengenalnya dengan baik mengetahui benar kebaikan dan kecerdasannya serta
keindahan spiritual tertentu.16
Mukti Ali menuturkan penilaian Jamaluddin al-Afghani tentang
kepribadian Muhammad Abduh, menurutnya bahwa, Muhammad Abduh adalah
orang yang cerdas, kemampuannya baik, baik budinya, dan selalu ingin melakukan
perbaikan. Kemudian, menurut Sayid Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh
adalah orang yang penuh harga diri, menjauhi kehinaan, enggan mengerjakan hal-
hal yang remeh dan selalu cenderung untuk mengerjakan hal-hal yang mulia.
Bersama dengan rasa harga diri dan menjauhi kehinaan, ia adalah orang hidup
jiwanya, perasa, cepat kasihan kepada orang-orang yang tertimpa malapetaka dan
kesusahan. Uang yang ia miliki, baik sedikit maupun banyak, digunakan untuk
membantu orang-orang yang membutuhkan.17
Jika Muhammad Abduh termasuk yang memiliki kepribadian melankolik
sebagaimana dikemukakan Albert Hourani, dari sudut pandang psikologis, maka
orang yang memiliki tipe melankolik memiliki ciri-ciri sebagai pemikir, yang
selalu memikirkan kesempurnaan, dan amat peka, suka mendalami sesuatu
permasalahan, berbakat khusus, kreatif, suka berpikir secara sistematis, suka
membaca grafik, senang mengadakan riset, suka menganalisis, peka perasaannya,
sangat berhati-hati, dan bercita-cita tinggi.18
Ketika Muhammad Abduh wafat, E.G. Growne menulis surat turut
berduka cita kepada adik Muhammad Abduh, Hamudah Bey Muhammad Abduh,
antara lain menyatakan bahwa, selama umur saya, sudah banyak negeri dan bangsa
yang saya lihat, tetapi belum pernah saya melihat seorang juga seperti almarhum

16
Lihat Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, hlm. 218. Kepribadian adalah
sikap seseorang setelah ia menerima pendidikan dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Kepribadian seseorang dipengaruhi oleh pembawaan (karakter), pengaruh lingkungan, keturunan,
pengaruh tempat ia dilahirkan dan dibesarkan serta pendidikan yang sempat ia terima dan
sebagainya. Lihat L.T. Takhruddin, Pribadi-pribadi yang Berpengaruh (Bandung: PT. AL-
Maarif, 1996), hlm. 40-41.
17
Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah (Jakarta: Jambatan, 1995), hlm.
484-485.
18
Selanjutnya lihat Emil H. Tambunan, Kepribadian Seutuhnya (Bandung: Indonesian
Publishing House, 2006), hlm. 27.
44

itu, baik di Timur maupun di Barat. Karena tidak ada bandingannya dalam ilmu
pengetahuan, dalam kesalehan, ketajaman pikiran, kejauhan pandangan,
kedalaman pengertian tentang sesuatu. Tidak saja mengenai lahir tetapi juga
mengenai batin. Tiada bandingannya dalam kesabaran, kejujuran, kepandaian
berbicara, gemar beramal, dan berbuat kebaikan, takut kepada Tuhan dan
senantiasa berjuang di jalan-Nya, pencinta ilmu dan tempat berlindung orang-
orang fakir dan miskin.19
Kemudian, ketika Muhammad Abduh telah tiada, Rasyid Ridha meyakini,
walaupun Muhammad Abduh dengan tawadu meyakini bukan seorang pemimpin,
tetapi sejatinya ia bukan saja sebagai seorang pemimpin, bahkan ia adalah seorang
pembaharu (mujaddid) dan seorang guru yang penuh kearifan, Rasyid Ridha
menuliskan keyakinannya ini bahwa, sesungguhnya dengan wafatnya Syekh
Muhammad Abduh, umat tidak merasa kehilangan sedikitpun ajaran Islam, akan
tetapi umat kehilangan seorang pemimpin, seorang pembaharu (mujaddid) yang arif
akan kebutuhan zamannya, yang memperoleh kepemimpinannya karena keluhuran
akal budinya, pikiran dan pahamnya yang bebas, disertai semangat dan
keberanian. Dengan segala kesadaran dan keikhlasan ia memberikan ilmu yang
sebenarnya sesuai dengan hak masing-masing.20

2. Riwayat Pendidikan
Muhammad Abduh belajar membaca di rumah orang tuanya sampai
mampu menghapal Al-Quran hanya dalam tempo dua tahun. Kemudian ia pindah
belajar di Masjid Ahmadi di daerah Thantha untuk mempelajari tajwid. Namun ia
merasa tidak mendapat apa-apa setelah belajar selama satu tahun. Setelah belajar
di masjid tersebut,21 ia kemudian kembali ke Mahallah Nashr, kampung
halamannya, dan ia membantu pekerjaan ayahnya bertani. Ayahnya tidak

19
Firdaus AN, “Syaikh Muhammad Abduh dan Perjuangannya” dalam Syaikh Muhammad
Abduh, Risâlah Tauhîd (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. xiii.
20
Muhamma Rasyid Ridha, Wahyu Ilahi kepada Muhammad, terj. Al-Wahy al-
Muhammadî, oleh Yosef CD (Jakarta: Pustaka Jaya, 1987), hlm. 28.
21
Fahd bin Abd al-Rahman Sulayman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-
Tafsîr, hlm. 125.
45

menyenangi Muhammad Abduh bertani, sehingga tidak lama kemudian ia disuruh


kembali belajar oleh ayahnya.
Ketika ayahnya memaksa pergi kembali ke Thantha untuk belajar,
Muhammad Abduh membelot di tengah jalan dan memilih pergi ke Kanisah Aurin
dan bersembunyi di rumah Syaikh Darwisy Khidhr, salah seorang paman ayahnya,
penganut jawiyyah sanusiyyah.22 Ia kemudian belajar pada Syaikh Darwisy
Khidhr. Dengan metode mengajarnya, Syaikh Darwisy Khidhr berhasil
menanamkan pada diri Muhammad Abduh rasa cinta, ilmu dan upaya mencarinya,
sebagai kesenangan yang mengalahkan segala kesenangan lainnya. Setelah tinggal
limabelas hari dengan Syaikh Darwisy Khidhr, ia pergi ke Thantha karena
khawatir diketahui ayahnya.
Kepribadian Syaikh Darwisy Hidr selaku pengikut tasawuf Sanusiyah
dijelaskan oleh Mukti Ali bahwa, kepribadian Syaikh lembut yang langka terdapat
di Mesir. Ia ahli tasawuf yang bening mata hatinya, lebih luas ilmunya, yang
mengetahui masalah-masalah dunia, namun ia menjadi orang yang zuhud,
menekuni ilmu dan tidak menekuni kekayaan. Ibadah yang paling baik yang ia
lakukan adalah dzikir kepada Allah dengan hatinya dan tidak dengan mulutnya.
Juga tidak dengan wirid. Ia bekerja untuk keperluan dunia seperti orang-orang
lain. Tetapi dengan halus, lapang dada, dan cenderung untuk kebaikan. Ia adalah
orang yang melihat dunia ini sebagai jembatan menuju ke akhirat. Oleh akrena itu,
jembatan itu harus dilintasi dengan amal. Dia merasa pedih menyaksikan kealpaan
orang, kelaliman, dan ketenggelaman mereka dalam pelbagai perbuatan merusak.
Ia iba kepada mereka dan berusaha untuk menyelamatkan mereka dengan
perlahan-lahan. Hatinya penuh dengan nur dan itu tampak di air mukanya. Oleh

22
Lihat Muhammad al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, hlm. 63. Jawiyyah merupakan
sebutan bagi pusat aktivitas sufi. Sanusiyah adalah nama bagi persaudaraan (tarekat) sufi yang
didirikan oleh Syaikh Sayyid Muhammad al-Sanusi (w. 1859M) di Aljazair. Paham Sanusiyah
antara lain anti-taklid buta, keharusan kesatuan dan persatuan umat, mengikuti ijma umat Muslim
yang bersumber kepada Alquran dan sunnah nabi, dan perlu adanya keseimbangan basis ekonomi,
politik, dan semangat spiritual. Lihat Syaikh Fadhlullah Haeri, Dasar-Dasar Tasawuf, terj. The
Elements of Sufism, oleh Tim Forstudia (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), hlm. 31, dan 170-171.
46

akrena itu, penglihatannya, tindakannya, gerak dan berhentinya merupakan


pandangan yang menarik, yang menarik kepada rasa cinta dan hormat.23
Pada pertengahan Syawwal 1282 H, ia pindah ke al-Azhar untuk belajar
kepada para guru besar di sana. Namun ia menyempatkan pulang ke Mahallah
Nashr setiap akhir tahun untuk belajar kepada Syaikh Darwisy Khidhr. Saat
pulang kampung tersebut, Syaikh Darwisy Khidhr selalu menguji Muhammad
Abduh dengan pertanyaan “apa yang kamu pelajari dari Ilmu Manthiq? Ilmu
Berhitung? Dasar-dasar Ilmu Ukur?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itu membuat
Muhammad Abduh selalu berusaha mendalami ilmu-ilmu yang ditanyakan kepada
para pakar di Kairo.
Muhammad Abduh mengakui terpengaruh oleh pamannya, sebagaimana
dalam otobiografinya, bahwa Muhammad Abduh mengakui terpengaruh oleh
kepribadian pamannya itu, dan banyak pengetahuan yang menyadarkan dirinya
untuk semangat mencari ilmu dan ia menuliskan kenangannya bahwa, Saya tidak
mendapati adanya keajaiban yang mengarahkan kesadaran saya ke jalan yang
harus dipilih, kecuali Syaikh yang dalam beberapa hari membebaskan saya dari
penjara kebodohan menuju udara pengetahuan yang terbuka, dari jeratan
literalisme menuju kebebasan keilmuan yang sejati kepada Tuhan. Beliau adalah
kunci kebahagiaan saya, bila saya memiliki kebahagiaan apapun dalam hidup
saya. Ia mengembalikan bagian dari diri saya yang hilang dan membukakan
kepada saya apa yang masih tersembunyi di dalam diri saya.24
Kesibukan belajar ini terus berlangsung hingga tiba Sayid Jamaluddin
al-Afghani (w. 1897M) pada bulan Muharram 1287 H. Ia belajar dari al-Afghani
sebagian ilmu pasti, filsafat dan ilmu kalam. Ia juga mengajak orang-orang untuk
belajar kepada al-Afghani. Di bawah bimbingan al-Afghani,25 Muhammad Abduh

23
Mukti Ali, Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah, hlm. 432-433 dan lihat pula John
Obert Voll, Politik Islam Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern, terj. Islam Continuity
and Change in the Modern World, oleh Ajat Sudrajat, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1982) hlm.
143-144.
24
Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, hlm. 211.
25
Kehidupan Jamaluddin al-Afghani penuh dengan dakwah yang hangat terhadap agama,
kepada tauhid, sebagaimana tampak dalam tulisan-tulisannya dalam al-Radd ‘alâ al-Dahliyyin, al-
‘Urwah al-Wustqâ. Lihat Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, hlm. 323.
47

mempelajari buku-buku penting seperti al-Zawrâ karya Dawani mengenai tasawuf,


Syarh al-Qutb ‘ala al-Syriasiyah, al-Mathali, Sullam al-‘UIum fi al-Manthiq,
al-Hidayah, al-Isyarat, Himah al-'Ain wa Hikmah al-Isyraq fi al-Falsafah, ‘Aqaid
al-Jalal al-Dawani fi al-Tauhid, al-Taudhih ma’a al-Talwih fi al-Ushul,
al-Jugmini, Tadzkirah al-Thusi fi al-Hai-ah al-Qadimah, dan buku-buku lain
mengenai perkembangan modern.26
Pengaruh al-Afghani terhadap Muhammad Abduh segera tampak pada
semangat Muhammad Abduh untuk menulis dan mengarang. Kepada al-Afghani,
ia dan kawan-kawan mahasiswa lainnya mempelajari buku-buku mengenai
Manthiq dan Ilmu Kalam yang belum pernah mereka pelajari di al-Azhar. Kian
hari kelompok ini bertambah banyak dan terkenal di al-Azhar.
Kegiatan Muhammad Abduh dan kelompoknya dalam mendalami
buku-buku Mu'tazilah dan para Mutakallimin serta merujuk madzhabnya,
membuat cemas Syaikh Muhammad „Alaisy. „Alaisy adalah seorang „alim yang
hidup sederhana dan tidak tergoda oleh gemerlap dunia sebagaimana kebanyakan

ulama pada zamannya. Ia adalah orang yang ikhlas dan tidak menyukai bidah

yang dianggapnya dapat meruntuhkan agama. Ia menghukumi dosa besar bagi


orang yang membaca buku-buku seperti itu. Oleh karena itu, ia mengirim surat
untuk berdebat dengan Muhammad Abduh. Perdebatan tersebut berakhir dengan
pertengkaran. Menurut satu versi cerita, Muhammad Abduh meninggalkan
al-Azhar. Menurut cerita lain, ia tidak meninggalkan al-Azhar melainkan tetap di
sana, tetapi ia selalu membawa tongkat dan berkata: “Jika Syaikh datang dengan
tongkatnya, akan aku pukul dengan tongkat itu.”27
Pada tahun 1294 H, Muhammad Abduh berhasil meraih ijazah 'Alim dari
al-Azhar. la menempuh pendidikannya di al-Azhar dengan tiga tahap. Pertama,
mempelajari metode al-Azhar yang terkenal dengan kajian matan, syarh, hawasyi,

26
Fahd bin Abd al-Rahman Sulayman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-
Tafsîr, hlm. 26. Obyek kajian buku-buku yang disebutkan namanya ini berkaitan dengan disiplin
logika, metodologi, dan filsafat. Lihat pula Thâhir al-Thanâhi, Mudzâkirât al-Imâm Muhammad
Abduh, (Mesir: Dâr al-Hilâl, tt.), hlm. 28-35. Macam-macam displin ilmu ini pada gilirannya
berpengaruh kepada kerpibadian Muhammad Abduh menjadi seorang rasionalis di kemudian hari.
48

dan taqrir.28 Kedua, mempelajari metode Sayyid al-Afghani yang melepaskan


Muhammad Abduh dari keterkungkungan dengan ungkapan-ungkapan tekstual
dan membiasakannya berpikir progresif mengikuti kondisi umat Islam
kontemporer. Ketiga, ia menggabungkan pengetahuannya itu dengan ilmu-ilmu
Barat dengan membaca terjemahan buku-buku Barat. Kemudian ia mempelajari
bahasa Prancis sampai ia dapat membaca buku-buku berbahasa Prancis.29

3. Karya Tulis
Dalam hal menulis, Muhammad Abduh memang tidak mempunyai
kecenderungan menulis, bahkan ia berpendapat bahwa kata-kata yang didengar
dengan baik akan lebih berpengaruh ketimbang kata-kata yang dibaca. Argumen
dia adalah “bahwa pandangan, gerakan, isyarat, dan logat (body language) orang
yang berbicara dapat membantu pendengar memahami maksud pembicaraan,” dan
dalam pembicaraan itu “memungkinkan pendengar bertanya langsung mengenai
maksud pembicaraan yang kurang jelas. Dalam kontak tertulis, siapa yang bisa
bertanya? Pendengar itu dapat memahami 80% maksud pembicara sedangkan
pembaca hanya memahami 20% maksud penulis.”30
Pandangan Muhammad Abduh mengenai tradisi penuturan lisan di atas
mungkin saja benar. Akan tetapi, meskipun berpandangan begitu, Muhammad
Abduh meninggalkan tulisan yang banyak, yang sebagian besar berbentuk suhuf
(makalah).
Di antara karya tulis Muhammad Abduh adalah (1) Al-Wâridat, karya tulis
pertama dalam bidang ilmu kalam atau tawhid dengan metode dan gaya tasawuf;

27
Lihat Fahd bin Abd al-Rahman Sulayman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah
fi al-Tafsîr, hlm. 126.
28
Matan adalah ungkapan yang menjelaskan inti dan pokok bahasan, syarah adalah
penjelasan matan, hawasyi adalah penjelasan berupa catatan pinggir yang menjelaskan syarah, dan
taqrîr adalah catatan lanjutan untuk menjelaskan hawasyi. Selanjutnya lihat Ibrahim Anis dkk., al-
Mu’jam al-Wasîth (Mesir: Dâr al-Maarif, 1972), hlm. 853.
29
Yvonne Haddad, “Muhammad Abduh: Perintis Pembaharuan Islam” dalam Para Perintis
Zaman baru Islam, terj. Pioneers of Islamic Revival, ed. Ali Rahnema, oleh Ilyas hasan, (Bandung:
Mizan, 1995), hlm. 49.
30
Al-Manâr, jld. I, hlm. 13. Pendapat Muhammad Abduh ini mungkin berlaku bagi
masyarakat berbudaya dengar, tetapi bagi masyarakat berbudaya baca perlu diteliti
49

(2) Risâlah fi Wahdah al-Wujûd; (3) Târikh Ismail Basya; (4) Falsafah al-Ijtimâ’
wa al-Tarikh, ditulis ketika Muhammad Abduh mengajar di Dar al-Ulum dan
karya ini ternyata hilang; (5) Hâsyiyah ‘Aqâid al-Jalâl al-Dawani fi 'ilm al-kalâm,
disebarkan oleh Dar Ihya al-Kutub, al-„Arabiyah dan diedit oleh Sulaiman Dunya
dalam dua volume dengan judul Al-Syaikh Muhammad ‘Muhammad Abduh Di
antara Para Filosof dan Ahli Kalam pada tahun 1377 H; (6) Syarh Nahj
al-Balaghah, yaitu penjelasan atas buku karya Syarif Ridha mengenai pidato, kata-
kata hikmah, dan surat-surat Ali bin Thalib KAW. yang telah mengalami
berkali-kali cetak ulang; (7) Syarh Maqâmat Badi' Zaman al-Hamadzani, suatu
buku cetakan; (8) Syarh al-Bahâir al-Nashiriyah tentang manthiq; (9) Nizhâm
al-Tarbiyah wa al-Ta’lîm bi Mishr; (10) Risâlah al-Tauhîd, karya tulis
Muhammad Abduh terpenting dan paling terkenal, dicetak berulang kali dan juga
diterima dengan baik di kalangan kaum Nasrani sehingga banyak diantara mereka
yang mengusulkan agar buku ini diajarkan di sekolah-sekolah mereka setelah
membuang pembahasan tentang kenabian Muhammad. Sejumlah orang lain
mendistribusikan sebagian naskah buku ini dan membacanya dengan penuh rasa
kagum. Muhammad Abduh sendiri tidak mengizinkan siapapun untuk memberi
syarh atau hasyiyah atas buku ini. Menurut Rasyid Ridha, larangan ini disebabkan
sering terjadinya penjelasan yang justru menyamarkan maksud yang sudah jelas;
(11) Taqrîr Mahâkim al-Syar’iyah; (12) Al-Islâm wa al-Nashrâniyah ma’a al-‘Ilm
wa al-Madaniyah, dicetak berulang kali; (13) Tafsîr Juz ‘Amma; (14) Tafsîr al-
Manâr; (15) al-Kitâb wa al-Qalam; (16) al-Mudabbir al-Insânî wa al-Mudabbir
al-‘Aqlî al-Rûhâni; dan (17) al-‘Ulûm al-‘Aqliyyah wa al-Da’wah ilâ al-‘Ulûm al-
‘Ashriyyah.31
Mengenai karya tulis dalam bentuk artikel yang dipublikasikan melalui
suratkabar, telah terjadi kesimpangsiuran antara karya tulis Muhammad Abduh
dan karya tulis Al-Afghani. Kesimpangsiuran ini terjadi misalnya, dalam

31
Lihat Fahd bin Sulaiman Abdurrahman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyah al-Hadîtsah fi
al-Tafsîr, hlm. 145-146, dan Muhammad Imarah, al-Imâm Muhammad Abduh Mujaddid al-Islam,
(Beirut: Muassasah al-„Arabiyah li al-Dirâsât wa al-Nasyr, 1981), hlm. 31-44.
50

pembahasan. tema-tema fanatisme golongan, qadha-qadar, dan pan-Islamisme


dalam Al-‘Urwah al-Wutsqa. 32

C. Aktivitas Dakwah Ishlâhiyyah


Muhammad Abduh meyakini bahwa ishlâhiyyah (reformasi) adalah upaya
menghidupkan ruh dîn Islam sebagai agama dakwah yang dibawa oleh semua nabi
dan rasul Allah, mengandung sejumlah syariat dan adab untuk memperbaiki dan
mencari solusi problem yang diahadapi oleh umat (mad’u) masing-masing pada
zamannya.33
Dalam kerangka ishlâhiyah itulah Muhammad Abduh meletakkan tujuan
pemikiran dan aktivitas dakwahnya,menurutnya bahwa, dia melaksanakan dakwah
dengan tujuan utama, yaitu; pertama, pikiran dari ikatan taklid, memahami agama
menurut metode kaum salaf sebelum timbulnya perbedaan-perbedaan, kembali
kepada sumbernya yang pertama, dan memahami agama dengan pertimbangan
akal manusia yang dianugrahkan oleh Allah dalam upaya memelihara sistem
kehidupan dunia manusia menurut hikmah sunnah Allah. Dalam dakwah ini dia
berbeda dengan pendapat dua golongan besar yang membentuk umat kita, yaitu
kelompok penganut ilmu-ilmu agama semata di satu sisi, dan di sisi lain,
kelompok yang hanya mempelajari kebudayaan modern saat ini; dan kedua,
mengadakan perbaikan atau ishlâh (Bahasa Arab) yang digunakan dalam pidato
resmi kepemerintahan, penyebaran informasi melalui berbagai tulisan,
penerjemahan, dan surat-menyurat.
Selain dari kedua hal tersebut yang Muhammad Abduh serukan adalah,
menyerukan sesuatu yang menjadi tonggak kehidupan masyarakat yang mereka
akan lemah dan terhina jika tidak memiliki tonggak itu, yakni memposisikan

32
Aboe Bakar Aceh, Perbandingan Mazhab Salaf, Gerakan Salafiyah di Indonesia,
(Jakarta: Permata, 1970), hlm. 45 dan Fahd bin Abd al-Rahman Sulayman, Manhaj al-Madrasah
al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 145-146.
33
Lihat Al-Manâr jld. I, hlm. 487-489. Ishlâhiyyah (reformasi) dan tajdîdi(pembaharuan)
adalah bagian dari substansi gerakan dakwah yang dilakukan oleh para nabi dan rasul Allah SWT.
pada zamannya masing-masing. Selanjutnya lihat Muhammad Ahmad al-„Adawy, Da’wah al-Rusul
ilâ al-Lâh Ta’âlâ (Mesir: Mushthafa al-babi al-Halabi, 1935), hlm. 448-49, dan Abbas al-„Aqqad,
51

perbedaan antara hak pemerintah untuk ditaati dan hak rakyat untuk diperlakukan
secara adil. Muhammad Abduh mengaku termasuk di antara mereka yang
mengajak rakyat untuk mengetahui hak-hak mereka untuk berjuang meyakinkan
masyarakat bahwa pemerintah walaupun harus ditaati, ia manusia biasa yang bisa
bersalah dan dikuasai syahwat kecuali jika dinasihati rakyat baik dengan perkataan
ataupun perbuatan.34
Dalam pernyataan tujuan dakwah yang pertama, Muhammad Abduh
menginformasikan mengenai metode salaf sebagai metode pemikiran dakwahnya,
metode ini berintikan memahami Alquran sebagai sumber utama dakwah dengan
menggunakan akal sebagai anugrah Allah SWT. secara obyektif rasional dalam
mengintegrasikan pemikiran dikotomis yang menjadi satu problem pada
zamannya dalam mengkaji ilmu agama dan ilmu-ilmu yang berasal dari Barat
dengan mengacu pada prinsip-prinsip sunnah Allah, yaitu hukum-hukum ciptaan
Allah yang diperuntukkan bagi gerak materi dan gerak immateri.35
Istilah salaf dalam pernyataan tersebut tidak dijelaskan oleh Muhammad
Abduh secara langsung, menurut Muhammad bin Khalifah al-Tamimi, salaf
adalah sebutan bagi cara sikap, cara berpikir dan cara berperilaku generasi sahabat
nabi dan pengikut sahabat nabi dalam mengimplementasikan Alquran menurut
contoh sunnah nabi.
Metode salaf (manhaj salaf) dalam garis besarnya memiliki empat macam
kaidah, yaitu: (1) memahami makna nas-nas Alquran dan hadits secara teliti dan
berpegang teguh kepada keduanya; (2) menguatkan pemahaman nas Alquran dan

hadits dengan keterangan para sahabat dan para tabiin melalui ijtihad; (3)

mengamalkan isi ajaran Alquran menurut contoh sunnah rasul dalam berakidah,
berpikir, berbicara, dan berperilaku serta menjauhkan segala sesuatu yang

Multaqi al-Nufûs al-Basyariyyah dalam Muhammad Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balâghah
(Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadid, 2006), hlm. 27.
34
Lihat Thâhir al-Tanahi (ed.), Mudzakkirât al-Imâm Muhammad Abduh (Mesir: Dâr al-
Hilal, tt.), hlm. 18-20, dan Muhammad al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, hlm. 64.
35
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 140.
52

bertentangan dengan Alquran dan al-sunnah; dan (4) mendakwahkan Alquran dan
al-sunnah dengan lisan dan perbuatan nyata.36
Jika Muhammad Abduh menggunakan metode salafi, maka secara
metodologis dalam menjelaskan konsep dakwah menempuh empat macam kaidah
metode salaf tersebut.
Kemudian, dalam pernyataan tujuan dakwah yang ke dua, Muhammad
Abduh menginformasikan bahwa inti pemikiran dan aktivitas dakwahnya adalah
ishlâh (perbaikan) Bahasa Arab sebagai bahasa agama dan ilmu dalam kegiatan
pendidikan macam-macam pidato (khithâbah), tulisan di media cetak, dan surat-
menyurat. Selain itu, Muhammad Abduh juga menginformasikan pentingnya
menegakkan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan
pentingnya menasihati para pejabat birokrasi pemerintahan yang melakukan
kesalahan dalam menjalankan tugasnya. Dengan demikian, Muhammad Abduh
mengajukan konsep bentuk utama kegiatan dakwah menurut urutan metodisnya
berupa dakwah bi ahsan al-qaul (dakwah melalui perkataan atau dengan bahasa
lisan yang baik) dan dakwah bi ahsan al-‘amal (dakwah melalui bahasa
perbuatan), dan beberapa macam metode pelaksanaannya dalam memperbaiki dan
mencari solusi problem keumatan. Dalam merealisasikan tujuan da’wah
ishlâhiyyah, Muhammad Abduh telah melakukan ishlâhiyyah pendidikan, politik,
jurnalistik, hukum dan kemasyarakatan. Berikut secara singkat berturut-turut
dikemukakan aktivitas ishlâhiyyah yang dilakukan Muhammad Abduh.
1. Ishlâhiyyah Pendidikan
Dengan bekal ijazah sarjana yang telah diperoleh, pada penghujung tahun
1290H, dalam bidang pendidikan37, Muhammad Abduh dipercaya mengajar mata

36
Selanjutnya lihat Muhammad bin Khalifah al-Tamimi, Mu’taqad Ahl al-Sunnah wa al-
Jama’ah (Kairo: Dâr al-Salam, 1993), hlm. 53-56.
37
Pendidikan (al-tarbiyyah), menurut Muhammad al-Sayyid Muhammad Yusuf, dalam al-
Tamkîn lî al-Ummah al-Islâmiyyah fî Dhau al-Qurân al-Karîm (Mesir: Dâr al-Salâm, 1997), hlm.
95, merupakan bagian dari aktivitas dakwah. Ia menulis:

(Ia memadukan makna penyampaian, penjelasan, penghimpunan, pembangunan,


pendidikan, kaderisasi, perjuangan, menganjurkan kebaikan, dan mencegah kemunkaran).
53

kuliah sejarah di Universitas Dar al‘Ulum dan Bahasa Arab di Alsan


Khudaiwiyah, dengan tetap mengajar di Universitas Al-Azhar. Di Dar al-‘Ulum,
dengan menggunakan metode ceramah, diskusi, dan penugasan, ia mengajarkan
Muqaddimah Ibn Khaldun dengan tujuan mensosialisasikan pikiran-pikirannya
mengenai politik dan kemasyarakatan. Ia menugasi para mahasiswanya untuk
menulis sejumlah makalah agar tertanam tradisi kritis dan pembaharuan. Dengan
demikian, pikiran-pikiran Muhammad Abduh lebih diterima dan berpengaruh
daripada yang lainnya.38
Namun kegiatan Muhammad Abduh tersebut mendapat gangguan tidak
berlangsung lama, karena ia dikucilkan oleh pemerintah atas dasar hubungannya
dengan Jamaluddin al-Afghani. Ia diasingkan dan diperintahkan kembali ke
kampungnya sampai kemudian turun “amnesti.” Pemerintah dan Muhammad
Abduh ditunjuk menjadi ketua redaksi koran resmi Al-Waqâ’i al-Mishriyah.
Pada tahun 1300 H (1882 M), Muhammad Abduh dijatuhi hukuman
pengasingan atas keterlibatannya dalam gerakan ‘Urabiyah, yaitu gerakan yang
dipimpin oleh Urabi Pasya. Ia lalu pergi ke Syria dan tinggal di sana selama
pengasingan. Dalam masa itu, ia sempat pergi ke Paris selama sepuluh bulan. Di
Paris ia bersama al-Afghani menerbitkan koran Al-‘Urwah al-Wutsqâ.
Sekembalinya ke Syria ia di tempat tinggalnya mulai mempelajari Sîrah Nabi dan
membaca Tafsîr al-Kabîr karya Fakhr al-Dîn al-Râzi (544H/1150M, w.
606H/1210M). Akan tetapi ia tidak hanya membaca kitabnya melainkan ia
membaca Mushaf untuk kemudian ia tafsirkan.39
Pada tahun 1303 H la diundang mengajar di pusat pendidikan Sulthaniyah
di Beirut. Di sini ia melakukan berbagai perbaikan sistem dan materi pengajaran.

Ia menambahkan ilmu tauhid, fiqh muamalah, sejarah, logika, retorika, dan


menulis. Ia menemukan bahwa buku-buku daras kecil tentang tauhid ternyata

Dan lihat Abd al-Karim Zaidan, Ushûl al-Da’wah, Cet. 9 (Beirut: Muassasah al-Risâlah,
2001), hlm. 442-446.
38
Lihat William Montgomery Watt, Pundamentalisme Islam dan Modernitas, terj. Islamic
Fundamentalism and Modernity, oleh Taufiq Adnan Amal, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,
1997), hlm. 107-108.
39
Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 127.
54

tidak memadai dan bahwa buku-buku besar ternyata berbelit-belit dan sulit
dipahami oleh mahasiswa, sementara buku-buku menengah tidak lagi mengikuti
semangat zaman. Atas dasar temuan ini, Muhammad Abduh kemudian menyusun
Risâlah al-Tauhîd, buku yang dipandang sebagal up-to-date.40 Ia juga menyadur
kedalam Bahasa Arab buku Al-Afghani Al-Radd ‘ala al-Dahriyyîn dan membuat
syarh (komentar dan pembahasan) atas buku Nahj al-Balâghah dan Maqâmât
Badi’ al-Zamân al-Hamadzani.41 Ini hanya sebagian dari kegiatan ilmiah
Muhammad Abduh.
Adapun upaya perbaikan sistem pendidikan yang digagas Muhammad
Abduh yang ia lontarkan di Suriah dan Mesir. Di Suriah ia melontarkan rancangan
yang diawali dengan membagi manusia pada tiga lapisan dan menentukan bidang
ilmu tertentu bagi masing-masing lapisan.
Lapisan pertama terdiri dari para ahli industri, niaga, dan agraria serta
orang-orang yang mengikutinya. Buku-buku keagamaan sebagai bahan-ajar bagi
lapisan ini mesti disusun dengan orientasi sebagai berikut: (1) buku mengenai
ikhtisar aqidah Islam yang disepakati oleh ahli sunnah dengan sedikit membahas
perbedaan dan persamaan pendirian antara umat Islam dan Kristen; (2) buku

ringkas mengenal halal dan haram dan warning atas bidah; dan (3) buku sejarah

ringkas meliputi sejarah umum nabi, para shahabat, dan para khalifah untuk
kemudian dilanjutkan dengan sejarah pemerintahan Utsmaniyah. 42
Lapisan kedua terdiri dari orang-orang yang mengabdikan dirinya pada
pemerintah seperti tentara, ketua dan anggota pengadilan, dan para pengurus
administrasi. Bagi mereka mesti disusun buku ajar keagamaan sebagai berikut: (1)
Buku pengantar keilmuan yang mencakup bagian-bagian penting dalam bidang
logika, dasar-dasar penalaran, dan sedikit etika berdebat; (2) buku aqidah yang

disusun dengan argumen-rasional dan dalil qathi secara sederhana; (3) buku yang

merinci halal-haram dan baik-buruk dengan penjelasan tingkat menengah; dan (4)

40
Muhammad Abduh, Risâlah al-Tauhîd, (Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1960), hlm. 3.
41
Dalam Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 127.
42
Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 128.
55

sejarah agama yang meliputi sirah nabi dan shahabat serta penaklukan-penaklukan
oleh umat Islam sampai masa Utsmaniyah.43
Adapun lapisan ketiga terdiri dari para ulama pakar pendidikan dan
bimbingan. Bagi lapisan ketiga ini, penting untuk selalu membekali diri dan
meningkatkan wawasan keilmuannya. Dalam hal ini, Muhammad Abduh tidak
menyebutkan buku-buku tertentu melainkan dianjurkan agar memilih bidang studi
yang dapat diklasifikasi sebagai berikut: (1) bidang tafsir Al-Quran seperti tafsir
Al-Kasysyaf, Al-Qumi, Al-Naisaburi, dan para penganut metodenya; (2) bidang
Bahasa Arab; (3) bidang Hadits, dengan memperhatikan kesesuaiannya dengan al-
Quran dengan cara mengesampingkan hadits-hadits, dha’if; (4) bidang akhlaq dan
moralitas, agama, secara detail sebagaimana dilakukan Al-Ghazali dalam Ihya
‘Ulum al-Din; (5) bidang Ushul Fiqh, dengan buku terbaik dalam bidang ini
adalah Al-Muwaffaqat karya Al-Syathibi; (6) bidang sejarah baik sejarah klasik
maupun modern; (7) bidang retorika dan diplomasi; dan (8) bidang ilmu kalam
dan theologi secara umum. Lapisan ketiga ini pantas dipimpin oleh Syekh Imam
Muhammad Abduh dengan perhatian penuhnya pada aspek administrasi. Para
dosen dan peneliti direkrut untuk masuk pada lapisan ini dengan tidak membuka
pintu bagi mahasiswa kecuali setelah melalui testing yang ketat. Testing ini
difokuskan pada penguasaan bidang-bidang keilmuan di atas dan penelusuran
secara seksama sekitar latar belakang hidup yang mencerminkan keistimewaan
dalam bidang ilmu dan amal.44
Mengenai upaya ishlâhiyyah sistem pendidikan di Mesir, dapat dirujuk
upaya Muhammad Abduh yang ditujukan kepada Lord Cromer. Ia menjelaskan
pentingnya upaya perbaikan sistem pendidikan dan bahwa keperluan pemerintah
atas kemaslahatan manusia tidak kalah pentingnya dari kebutuhan pemerintah atas
kemaslahatannya sendiri. Penguasa dan rakyat ibarat sesuatu dan alatnya. Jika

43
Lihat Yvonne Haddad, dalam Ali Rahman, Para Perintis Jalan Baru Islam, terj. Pioneers
of Islamic Revival, oleh Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1995) hlm. 57-60, dan Fahd, Manhaj al-
Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 128.
44
Lihat Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas Tentang Trasformasi Intelektual, terj. Islam
and Modernity Transformation, oleh Ahsin Muhammad, (Bandung:Pustaka Salman ITB, 1985),
hlm. 81-82, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 129.
56

penguasa adalah seorang penulis, rakyat adalah pulpennya. Pulpen tidak mungkin
menorehkan tintanya, tanpa penulis dan penulis tidak mungkin menulis tanpa
pulpen. Kemudian, Muhammad Abduh menghimbau pemerintah Mesir
melakukan perbaikan sistem pendidikan. Ia memandang hal itu tidak akan sulit
direalisasikan karena bangsa Mesir adalah bangsa yang secara fitrah penurut,
cerdas, dan siap mengikuti kemajuan. Jika penguasa dianalogikan sebagai kepala,
rakyat Mesir ibarat tubuh yang patuh pada kehendak kepala. Sekali penguasa
memelopori, mereka akan serempak mengikuti. Muhammad Abduh menganjurkan
kepada para pengelola lembaga pendidikan yang dikelola pemerintah agar
menjadikan pokok-pokok agama sebagai bagian penting dari kurikulumnya.
Pokok-pokok agama ini mesti ditanamkan pada para mahasiswa dengan tidak
menyimpang sedikit pun dari prinsip-prinsip agama. Mereka tidak boleh
menentang pakar agama secara apriori karena mereka tidak mungkin melakukan
sesuatu di luar kapasitas dan otoritasnya.45
Muhammad Abduh juga mengkritik tentang berbagai lembaga pendidikan
pernerintah. Ia menilai bahwa lembaga-lembaga tersebut tidak mempelajari
ilmu-ilmu hakikat dan tidak pula menggunakan sistem pendidikan yang benar. Ia
mempersamakan situasi ini dengan zaman Ismail, ayah Khedevi Taufiq, ketika
orang-orang tidak mau memberi nafkah pada anak-anaknya dan menyuruh mereka
melatih dirinya melakukan pekerjaan-pekerjaan negara demi mendapat upah.
Adapun masalah pengajaran dan pendidikan untuk menciptakan generasi yang
maju ternyata tidak mendapat perhatian. Lembaga-lembaga pendidikan asing
menurut Muhammad Abduh memiliki kelemahan adanya perbedaan paham yang
tajam antara pengajar dan pelajar. Hal ini membuat pendidikan dan pengajaran
tidak efektif, sehingga sedikit sekali orang Mesir yang memasukkan anaknya pada
lembaga pendidikan asing. Mereka terus-menerus menasihati anak-anaknya untuk
tidak mengikuti paham para pengajar tersebut agar aqidah mereka terpelihara dari
penyimpangan pola pikir dan penyelewengan moralitas. Memang

45
Lihat Abd Allah Muhammad Syahatah, Manhaj al-Imam Muhammad Abduh Fi Tafsir al-
Quran al-Karîm, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 130.
57

lembaga-lembaga pendidikan asing ini cenderung dijauhi oleh kaum Muslimin


Mesir.46
Universitas Al-Azhar, lanjut Muhammad Abduh, merupakan lembaga
pendidikan agama, yang menarik orang-orang, baik dengan motivasi murni
mempelajari ilmu agama semata-mata mengharap pahala akhirat maupun dengan
motivasi meraih status sosial sebagai mahasiswa dan sarjana belaka. Apa yang
disayangkan Muhammad Abduh adalah tidak adanya tata tertib sebagai pedoman
pembelajaran. Para dosen tidak mempedulikan apakah mahasiswa hadir atau
absen, paham atau tidak, dan berakhlaq atau tidak. Mereka mempelajari aqidah
dengan metode yang cenderung jauh dari sasaran. Oleh karena itu, Muhammad
Abduh berbicara tentang perbaikan pendidikan di Al-Azhar. Pendidikan ini,
menurutnya harus dilakukan secara bertahap. Perbaikan dipandu oleh tata tertib
yang disusun dengan kaidah yang tepat dan relevan dengan perkembangan zaman.
Diantaranya, mahasiswa wajib menghadiri kuliah dan jika tidak, ia tidak boleh
meraih nilal bagus. Setiap dosen harus mengabsen mahasiswanya. Perbaikan juga
diarahkan pada pemantapan kurikulum, pengayaan referensi, dan menegakkan tata
tertib ujian akhir serta syarat-syaratnya.47
Muhammad Abduh juga mengupayakan ishlâhiyyah sistem pendidikan di
sekolah-sekolah swasta yang diarahkan pada para tenaga ahli pengajarnya dan
dilakukan secara bertahap. Untuk sekolah-sekolah formal dasar, menengah dan
atas, Muhammad Abduh berpendapat perlunya menanamkan semangat
ishlâhiyyah sistem pendidikan pada para murid. Tujuannya adalah agar mereka
mampu menggunakan apa yang mereka pelajari secara maksimal. Muhammad
Abduh juga berbicara masalah tenaga pengajar dan pendidik di Universitas Dâr
al-' Ulum dan prasyarat untuk pengembangannya. Ia menyarankan agar ilmu-ilmu
kearaban dan keagamaan diajarkan oleh alumni Al-Azhar karena orang-orang Dâr
al-' Ulum tidak mengerti agama dan Bahasa Arab.

46
Lihat Khoeruddin Nasution, Riba dan Poligami Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad
Abduh, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1996), hlm.11-12, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-
‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 130.
47
Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 131.
58

Muhammad Abduh berpendapat bahwa Dâr al-' Ulum dapat melepaskan


diri dari Al-Azhar dengan catatan dua belas item harus dipersiapkan. Diantaranya
adalah perbaikan kurikulum, membuang sebagian mata kuliah, merubah metode
tafsir al-Quran, seleksi pengajar dari sisi kompetensi dan kesalehan, menunjuk
penilik sekolah, mengalokasikan satu tahun masa pendidikan untuk job training
mengajar, rujukan mesti terdiri dari buku-buku terbitan terbaru, dan berbagai
pedoman penyelenggaraan pendidikan.48
Setelah itu, Muhammad Abduh melanjutkan ishlâhiyyah sistem
pendidikan di Al-Azhar yang ia juluki sebagai “kandang kuda,” “Rumah Sakit
Jiwa,” dan “bangunan roboh.” Peluang perbaikan tersebut terbuka lebar ketika
Raja Abbas II naik tahta pada tahun 1892 M. Raja Abbas yang berniat melakukan
perlawanan atas penjajahan mendekati para tokoh masyarakat dan ulama, yang
diantaranya adalah Muhammad Abduh. Pada kesempatan ini, Muhammad Abduh
mengusulkan kepada Raja agar melakukan ishlâhiyyah Al-Azhar, badan wakaf,
dan badan-badan urusan agama. Ia meyakinkan raja bahwa kemaslahatan negara,
bergantung kepada kemaslahatan lembaga-lembaga tersebut. Dan hal ini
merupakan jalan terbaik untuk meruntuhkan penjajahan.49
Merasa puas dengan penjelasan Muhammad Abduh, Abbas segera
mengeluarkan surat keputusan pembentukan dewan pembina Al-Azhar (1312 H),
yang diantara anggotanya adalah Muhammad Abduh. Abbas juga menunjuk Syekh
Hasunah untuk menjadi Syekh Al-Azhar menggantikan Syekh Anbabi yang
menentang kebijakan Abbas di atas. Kemudian ia segera memulai dengan
perbaikan sarana, hardware dan software: melengkapi alat penerangan masjid,
menugaskan dokter, membuka apotek, dan membangun fasilitas olah raga, khusus
bagi Al-Azhar. Ia juga menetapkan masa studi, evaluasi tahunan, dan pembekalan
bagi para alumni. la juga mengganti buku-buku yang kurang relevan dengan
buku-buku kontemporer yang penting. Masa studi ilmu-ilmu praktis seperti fiqh

48
Lihat John Obert Voll, Politik Islam, Kelangsungan dan Perubahan di Dunia Modern,
hlm. 230, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 132.
49
Lihat Mukti Ali, Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah, hlm. 483, dan Fahd, Manhaj
al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 132.
59

dan tafsir ditetapkan lebih lama daripada ilmu-ilmu alat seperti nahwu dan sharaf.
Dalam kurikulum juga ditambahkan ilmu akhlaq, sejarah, tata negara, ilmu-ilmu
pasti, dan perubahan-perubahan penting lainnya.50
Pada tahun 1323 H, Muhammad Abduh mengakhiri kegiatan ishlâhiyyah
di Al-Azhar, yang merupakan rangkaian akhir dalam perjuangan ishlâhiyyah
sistem pendidikan. Tak lama berselang, ia kemudian meninggal dunia, yaitu pada
tanggal 11 Juli tahun 1905M akibat penyakit kanker yang dideritanya.51
Sepanjang karir kehidupan Muhammad Abduh, ishlâhiyyah sistem
pendidikan merupakan tema perjuangannya yang paling penting. Hal ini
merupakan “tujuan agung” yang senantiasa menyedot perhatian dan pikiran
Muhammad Abduh. Menurutnya, kebangkitan Islam tidak mungkin mewujud
kecuali dengan perombakan sistem pendidikan. Ia dalam hal ini berbeda pendapat
dengan gurunya Al-Afghani. Gurunya ini berkeyakinan bahwa jalan menuju
kebangkitan Islam adalah “gerakan politik.” Dengan demikian, gerakan dakwah
Muhammad Abduh berciri khas ilmiah sedangkan dakwah Al-Afghani bercorak
politis. Namun demikian, Muhammad Abduh juga tidak berarti tanpa memiliki
semangat politik, sebagaimana kecenderungannya mendukung Al-Afghani.52
Dalam bidang tafsir, Muhammad Abduh bermaksud menghindarkan tafsir

Al-Quran dari segala hal yang bersifat israiliyyat, hadits maudhu, khurafat,
berkutat dalam hal nahwu, reduksi makna, penjelasan istilah yang berbelit-belit,
pertikaian ilmu kalam, ketetapan-ketetapan ushul fiqh, kesimpulan-kesimpulan

fiqh yang berbau taqlid, tawil kaum sufi, fanatisme golongan, terlalu banyak

cerita, ilmu pasti dan ilmu alam.53


Tentu saja membersihkan tafsir-tafsir lama dari hal-hal di atas bukan
merupakan pekerjaan mudah. Produk tafsir yang sudah ada saat itu begitu banyak

50
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manâr, Jilid I, (Beirut: Dâr
al-Fikr, tt.), hlm. 60.
51
Lihat Rifat Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah
Akidah dan Ibadat, hlm. 40.
52
Yvonne Haddad, Muhammad Abduh: Perintis Pembaharuan Islam” dalam Para Perintis
Zaman baru Islam, terj. Pioneers of Islamic Revival, ed. Ali Rahnema, oleh Ilyas hasan,, hlm. 57
53
Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manâr, Jilid I, (Beirut: Dâr
al-Fikr, tt.), hlm. 26-29
60

sehingga memerlukan dana, tenaga, dan waktu yang sangat besar. Oleh karena itu,
ia membiarkan khazanah lama ini apa adanya dengan nuansanya yang khas.
Sementara itu, ia menyusun tafsir percontohan sebagai pilot project bagi generasi
yang ada dan generasi selanjutnya.
Muridnya, yakni Muhammad Rasyid Ridha lalu mengusulkan kepada
Muhammad Abduh untuk mengajarkan tafsir Al-Quran. Muhammad Abduh
mengabulkan usul tersebut dengan mulai mengajar di Al-Azhar pada Muharram
1317H dan berakhir pada tahun 1323 H pada, tafsir ayat Wa Kâna al-Lâh bi Kulli
Syai-in Muhîthâ, yaitu Q.S. Al-Nisa (4): 126. Ini merupakan lima jilid pertama
dalam Tafsîr al-Qur'ân al-Hakîm yang dikenal pula dengan nama Tafsir Al-
Manâr. Sampai ayat ini, Muhammad Abduh kemudian meninggal dunia.
Metode Muhammad Abduh dalam mengajar tafsir adalah berkonsentrasi
pada aspek-aspek yang tidak atau kurang mendapat perhatian dalam tradisi tafsir.
Sedangkan cerita-cerita yang tidak didasari oleh dan tidak berdasar pada ayat-ayat
al-Quran, ia mengkritiknya atau meninjaunya dari perspektif Wahyu. Sebelum
menyampaikan dan menulis gagasan ini, sebenarnya Muhammad Abduh telah
membuat tafsir. Ia telah menyusun tafsir Juz ‘Amma khusus untuk para pelajar Al-
Jam’iyyah al-Khairiyyah al-Islamiyyah. Ia juga, menulis tafsir Surah Al-„Ashr
yang ia presentasikan di Aljazair. Lalu ia menyebarkannya dalam majalah
AI-Manar dan menerbitkannya secara terpisah yang berbeda dengan tafsirnya
dalam Juz „Amma.54
2. Ishlâhiyyah Sistem Politik
Memang salah satu tujuan perjuangan hidup Muhammad Abduh adalah
ishlâhiyyah politik.55 Ini tergambar dari ucapannya bahwa ”masih ada persoalan
lain dalam rangka dakwahku, sementara tak ada seorang pun yang hirau akan
masalah itu untuk memikirkannya. Masalah tersebut adalah masalah prinsip yang

54
Lihat J.M.S. Baljon, Tafsir Quran Muslim Modern, terj. Modern Muslim Koran
Interpretation (1880-1960), oleh A. Niamullah Munir, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 131.
dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 143-144
55
Menurut Muhammad Al-Ghazali, aktivitas politik termasuk bagian dari aktivitas dakwah.
Pendapatnya ini dimuat dalam karyanya Ma’a al-Lâh; Dirâsât fî al-Da’wah wa al-Du’ât (Mesir:
Matbaah Hasan, 1981), hlm. 354-355.
61

tatanan hidup sosial bergantung kepadanya.” Lalu ia menjelaskan aspek dakwah


tersebut dengan berkata: “yaitu memperjelas bahwa kewajiban rakyat tunduk pada
pemerintah dan kewajiban pemerintah adalah mewujudkan keadilan bagi rakyat.”
la menyebut dakwahnya ke arah itu sebagai “dakwah terbuka.” Mengenai
negerinya, Muhammad Abduh melukiskan bahwa “tirani sudah merajalela dan
kezhaliman telah mencengkeram negeri ini.” Sebagai seorang pengemban amanat
dakwah seperti ltu, Muhammad Abduh berterus terang bahwa, “memang saya
bukan seorang imam panutan, bukan pula seorang pimpinan yang patut dipatuhi.
Saya hanya berperan sebagal „ruh (inti) dakwah tersebut.”56
Dakwah Muhammad Abduh ini semakin menyala ketika ia bergabung
bersama Al-Afghani, yang membuatnya semakin ekstensif dan intensif. Hubungan
dengan Al-Afghani ini agak terhambat ketika ia dicekal atas keterlibatannya dalam
kegiatan dakwah tersebut dan ia tidak boleh meninggalkan negerinya. Ketika
Muhammad Abduh mendapat ampunan dan kembali aktif dalam gerakannya,
ternyata sudah ada suatu gerakan menentang penjajahan yang dipimpin oleh Urabi
Pasya pada tahun 1881M. Gerakan ini diilhami di antaranya oleh semangat
Al-Afghani terdahulu. Muhammad Abduh menolak dianggap memiliki hubungan
dengan gerakan ini bahkan ia menyerukan orang-orang agar berhati-hati dengan
gerakan ini. Ia juga mengungkapkan keborokan para pemimpin gerakan ini,
sehingga Urabi Pasya mengutus seseorang yang kemudian mengancam
Muhammad Abduh.57
Rasyid Ridha membela Muhammad Abduh, yang menolak gerakan ini
sementara ia termasuk pendukung ishlâhiyyah politik, dengan argumen bahwa
Muhammad Abduh menempuh jalan kompromi dengan pemerintah bukan dengan.
konfrontasi. Namun demikian, ketika gerakan ini mendapat sambutan masyarakat
dan memukul mundur armada Inggris di Iskandariyah, Muhammad Abduh segera
bergabung dengan gerakan ini. Setelah melakukan pemberontakan bersama
gerakan ini, Muhammad Abduh kemudian diasingkan selama tiga tahun. Ia lalu

56
Lihat Thâhir al-Tanahi (ed.), Mudzakkirât al-Imâm Muhammad Abduh, hlm. 20, dan
Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 133.
57
Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 133.
62

pergi ke Syria dan kemudian ke Paris sampai ia bertemu dengan Al-Afghani di


sana. Mereka bersama-sama menerbitkan Al-‘Urwah al-Wutsqâ yang berisi
serangan atas penjajahan Inggris, pikiran-pikiran Al-Afghani, dan
gagasan-gagasan Muhammad Abduh.58
Al-‘Urwah al-Wutsqa ternyata berusia pendek. Ia berhenti beredar sejalan
dengan putusnya hubungan antara Afghani dan Muhammad Abduh. Di satu pihak,
Afghani berpendapat bahwa gerakan pemberontakan sebagai manifestasi
perjuangan politik masih tetap relevan. Di pihak lain, Muhammad Abduh
menganggap gerakan politis itu sudah cukup dan sudah saatnya diganti dengan
gerakan ishlâhiyyah pendidikan. Berkenaan dengan hal ini, ia berkata kepada
Afghani, bahwa saya berpendapat kita mesti meninggalkan gerakan politik. Kita
mesti memasuki wilayah tertutup yang tidak diketahui seorang pun. Kita rekrut
sepuluh orang atau lebih pemuda potensial yang cerdas dan bermental sehat. Kita
didik mereka dengan cara kita dan kita arahkan mereka pada tujuan kita. Yang
sepuluh itu kemudian kita minta masing-masing mendidik sepuluh orang lain,
sehingga dalam tempo beberapa tahun kita akan memiliki seratus orang pimpinan
terdidik yang dapat memimpin perjuangan ishlâhiyyah. Dari orang-orang seperti
itulah akan muncul harapan masa depan yang membahagiakan.59
Terhadap pernyataan tersebut, Afghani kemudian menjawab: “Kamu itu
baru berencana, sedangkan kami sudah bergerak melangkah. Dan kita harus terus
bergerak selagi ada kesempatan.” Karena perbedaan pandangan ini, mereka lalu
berpisah. Muhammad Abduh lantas pulang ke Syria. Hubungan antara, guru dan
murid ini kian bertambah buruk ketika Muhammad Abduh menulis surat kaleng
kepada Afghani. Surat tersebut memuat cercaan pada orang-orang tertentu dengan
tanpa disebut namanya. Afghani sangat marah atas surat tersebut. Ia kemudian
menulis surat balasan kepada Muhammad Abduh.

58 58
Lihat HAMKA, Sa’id Djamaluddin al-Afghany, hlm. 100-101 dan Fahd, Manhaj al-
Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 133.
59
Lihat Muhammad Al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, hlm. 61-62, dan Fahd, Manhaj al-
Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 134
63

Surat itu diawali dengan mendoakan Muhammad Abduh agar memiliki

ketetapan hati, Afghani menulis dalam surat ini, bahwa Anda menulis surat
dengan tidak membubuhkan tanda tangan (surat kaleng) dan anda telah merintis
jalan berliku....Sungguh anda sedang berada dalam bahaya besar. ...Sementara di
depan anda maut menghadang. ...Kewaspadaan anda tak akan mampu
menyelamatkan anda dari bahaya tersebut dan rasa takut anda tak akan meloloskan
anda dari maut. Janganlah anda memojokkan diri anda sendiri. Jadilah filosof
yang tampak „alim dan jangan jadi anak kecil yang berkeluh kesah. ... Semoga
Allah menguatkan hati anda.60
Muhammad Abduh terus menempuh perjuangan ishlâhiyyah pendidikan.
Ia kian merasa tidak suka atas gerakan politik Afghani dan metode perjuangan
Afghani dengan mempersalahkan para kaum cendekiawan Muslim yang
bermaksud membela Islam dengan jalan politik.61 Rasa benci Muhammad Abduh
akan politik ini ditunjukkan dalam sikapnya bahwa perlu mencabut penguasaan
agama dalam proses berpolitik yang tidak mengindahkan kepentingan-kepentingan
yang terkait dengan kemajuan urusan duniawi demi kemaslahatan umat.62
Apa yang kemudian bisa kita katakan adalah bahwa Muhammad Abduh
memang meninggalkan politik, tapi sebenarnya politik itu sendiri tidak
meninggalkan Muhammad Abduh. Politik tetap saja menyita perhatian
Muhammad Abduh dan Muhammad Abduh seolah-olah menjadi kendaraan politik
yang disadari atau tidak, ternyata telah menguntungkan Inggris. Atas dasar ini
Lord Cromer berkata: “Signifikansi politis Muhammad Abduh terletak pada
kenyataan bahwa ia memperpendek jurang perbedaan antara Barat dan umat Islam.
Ia dan murid-murid sekolahnya juga layak menerima setiap bantuan dan dukungan
yang mungkin diberikan pada mereka. Dengan demikian, mereka dipandang
sebagai sekutu bagi para pemikir Eropa.”63

60
Lihat Muhammad Imarah, al-Imâm Muhammad Abduh Mujaddid al-Islam, hlm. 27-28.
61
Lihat Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 134.
62
Muhammad Abduh, Ilmu dan Peradaban Menurut Islam dan Kristen, terj. al-Islam wa al-
Nashraniyah fi al-‘Ilm wa al-Madaniyyah, oleh Mahyuddin Syaf dan A. Bakar Usman, (Bandung:
Diponegoro, 1992), hlm. 83-89.
63
Dalam Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 135.
64

Sikap dan perilaku politik Muhammad Abduh ditunjukkan dengan


diangkatnya menjadi anggota dari Majelis Syuro (Dewan Legislatif Mesir) pada
tahun 1899. Sebagai orang bukan asing dalam bidang politik, Muhammad Abduh
turut menentukan jalannya kegiatan legislatif, dan ia berhasil mengharmoniskan
komunikasi politik antara legislatif dengan pemerintah dalam wujud kerjasama
yang signifikan, yang sebelumnya sering terjadi konflik di antara kedua lembaga
politik tersebut. Muhammad Abduh terjun di bidang politik ini dalam upaya
mendidik rakyat Mesir memasuki kehidupan politik demokratis yang didasarkan
atas musyawarah.64
3. Ishlâhiyyah Jurnalistik
Muhammad Abduh juga menekuni jumalistik.65 Ia mengawali kegiatan
jumalistiknya dengan menulis pada koran Al-Ahram, kemudian pada majalah Al-
Tijârah dan Mishr, dengan mendapat dukungan dari gurunya, Al-Afghani,66 yang
memiliki saham atas penerbitan kedua majalah tersebut. Kedua majalah tersebut
dan majalah-majalah lain di Mesir, seperti Mir-ah al-Syarq, mengikuti isyarat
Al-Afghani.67
Setelah Al-Afghani diasingkan dan Muhammad Abduh mendapat
ampunan, setelah beberapa lama ia tidak mengajar, Muhammad Abduh dipercaya
untuk menjadi redaktur koran Al-Waqa’i al-Mishriyah, yaitu koran resmi.
Sebenarnya, dengan penugasan ini, mereka menginginkan agar Muhammad
Abduh berhenti dari gerakan ishlâhiyyah pendidikan. Namun, setelah terpilih
menjadi ketua redaksi, Muhammad Abduh kemudian merubah pola dan
standarnya sehingga ia menjadikannya sebagai “mimbar” untuk menyebarkan.
pikiran dan gagasannya. Ia memilih beberapa anggota redaktur yang kompeten. Ia
kemudian mendesak seluruh administrasi pemerintah untuk menulis laporan di
koran tersebut mengenai kegiatan mereka yang sudah rampung atau yang belum

64
Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi rasional Mu’tazilah, hlm. 22-23.
65
Jurnalistik ini termasuk bagian dari aktivitas tabligh Islam, dan tabligh Islam merupakan
bagian dari bentuk utama dakwah bi ahsan al-qaul. Selanjutnya lihat Abdul Latif Hamzah, al-I’lâm
fî Shadr al-Islâm (Kairo: Dâr al-Fikr al-„Arabi, 1977), hlm. 14-15.
66
Lihat Albet Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, hlm. 138 dan Fahd, Manhaj al-
Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 135.
65

beres. Ia juga menekankan bahwa pers memiliki hak untuk mengkritik aktivitas
dan laporan pemerintah. Ia juga menuntut hak pengawasan atas terbitan-terbitan
lain mengenai kritikan yang mereka sebarluaskan. Jika kritikan itu benar adanya,
orang yang bersalah mesti diberi sangsi, sedangkan jika kritikan itu bohong
belaka, pimpinan redaksi harus diperingatkan. Jika mengulangi kesalahan sampai
tiga kali, terbitan yang bersangkutan harus dilarang terbit sama sekali atau
ditangguhkan izinnya. Ia juga meminta hak untuk membuat kolom informal yang
di dalamnya Ia dapat merilis karya-karya sastra yang ia pandang bermanfaat.68
Oleh karena itu, koran Al-Waqâ’i al-Mishriyah memiliki posisi penting
dalam menyebarkan pikiran-pikiran Muhammad Abduh, yang ikut mendorong
meletusnya pemberontakan Urabiyah dan Muhammad Abduh lalu diasingkan. Ia
kemudian menerbitkan Al-‘Urwah al-Wutsqa bersama Al-Afghani. Sebagaimana
telah disinggung, gaya bahasa Al-‘Urwah al-Wutsqa ini adalah gaya bahasa
Muhammad Abduh namun pikirannya adalah pikiran Al-Afghani. Al-„Urwah
al-Wutsqa ternyata memiliki peran besar dalam menentang penjajahan Inggris.
Muhammad Abduh kemudian kembali ke Suriah dan ia bekerja sama
dengan pers Suriah seperti koran Tsamarat al-Funun di Beirut. Setelah kembali ke
Mesir, ia diajak oleh muridnya, yakni Muhammad Rasyid Ridha, untuk
menerbitkan majalah. Muhammad Abduh mengizinkan dan bekerja sama untuk
menerbitkannya dengan nama, Al-Manâr yang berorientasi pada masalah-masalah
tertentu. Dengan Al-Manâr, ia menyebarkan berbagai kajian, informasi, dan tafsir
al-Quran. 69

4. Ishlâhiyyah Hukum dan Kemasyarakatan


Muhammad Abduh juga melakukan ishlâhiyyah dalam bidang hukum

syariat. Muhammad Abduh diminta oleh pemerintah untuk menjelaskan

67
Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 135.
68
Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 137.
69
Lihat Albert Hourani, Islam in European Thought (Islam dalam Pandangan Eropa), Terj.
Imam Baihaqi dan Ahmad Baidhawi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 138-139 dan Fahd,
Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 135, dan lihat pula Albert
66

pandangannya dalam hal perbaikan sistem hukum Islam. Ia lalu menuliskan


pandangannya dalam 83 halaman tulisan. Diantara usulnya yang terpenting adalah
memperluas wilayah khusus penerapan hukum Islam dalam sistem hukum
nasional, menghilangkan monopoli madzhab hanafiyah, membentuk majlis ulama

yang berwenang menetapkan buku fiqh muamalah yang cocok untuk zaman,70
memperbaiki citra hakim dengan meningkatkan sarananya, gajinya, memberinya
kebebasan berpendapat, dan mendukung penerapan keputusannya.
Upaya ishlâhiyyah bidang hukum tersebut dilakukan pada tahun 1899 M
ketika Muhammad Abduh diangkat menjadi mufti Mesir, merupakan jabatan resmi

penting di Mesir dalam menafsirkan hukum syariat untuk seluruh Mesir. Sebab,

fatwa atau ketentuan yang diberikan mufti memberi sifat mengikat, fatwa yang
dilakukannya bukan hanya untuk keperluan resmi Mesir, tetapi juga untuk
kepentingan umum. Sebagai seorang ulama, Muhammad Abduh memperlihatkan
kesanggupan dan keberaniannya dalam mengadakan ijtihad, fatwa hasil ijtihadnya
menggambarkan ketidakterikatan pada pendapat-pendapat ulama masa-masa
sebelumnya. Misalnya, Muhammad Abduh menghalalkan hewan sembelihan
orang Nasrani dan Yahudi sebagai ahli kitab bagi umat Islam, fatwa ini
mengundang reaksi keras dari para ulama pada zamannya.71
Dalam hal ishlâhiyyah sosial, Muhammad Abduh bersama sejumlah
kawannya mendirikan Jam’iyyah al-Khairiyah al-Islamiyah. Dialah yang
menyusun AD-ART dan programnya. Tujuan organisasi mi adalah mendidik
anak-anak keluarga miskin. Pendidikan difokuskan pada aqidah, akhlak, dan amal
ibadah. Mereka juga dibantu mendapatkan mata pencaharian.72 Berkenaan dengan
ini, Muhammad Abduh telah menafsirkan Juz ‘Amma untuk pegangan para siswa.

Hourani, Islam in European Thought (Islam dalam Pandangan Eropa), Terj. Imam Baihaqi dan
Ahmad Baidhawi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 138-139.
70
Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 142.
71
Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, hlm. 21-
22.
72
Basam Tibi menilai apa yang diupayakan Muhammad Abduh merupakan bentuk modern
dari revivalisme Islam. Lebih lanjut lihat karyanya Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj.
Islam and Cultural Accommodation of Social Change, oleh Misbah Zulfa Ellizabet (Yogyakarta:
Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 34-35, dan Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-
Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 142.
67

Pada awalnya ia bermaksud melanjutkannya dengan Juz Tabârak73 namun ia


wafat sebelum niatnya kesampaian. Semangat organisasi ini berpengaruh luas dan
menghasilkan banyak sekolah yang memberi andil besar bagi pendidikan.
Muhammad Abduh juga mendirikan lembaga penerbitan buku-buku Arab.
Organisasi ini mencetak sejumlah buku keagamaan dan kearaban. Muhammad
Abduh sendiri menulis program renovasi masjid-mesjid dan dewan
pengembangnya, seperti imam, muadzin, khadam, penasihat, dan qari. Sebagian
program ini terlaksana sementara sebagian lain tidak.
Mengacu pada uraian riwayat hidup Muhammad Abduh yang telah
dikemukakan, maka dapatlah ditarik beberapa kesimpulan deskriptif bahwa
Muhammad Abduh lahir dari lingkungan keluarga yang taat beragama dan
mementingkan pendidikan bagi keluarganya. Muhammad Abduh sejak usia remaja
telah menunjukkan sikap kritisnya atas segala situasi dan kondisi lingkungan
sosial pada zamannya. Hal ini dipengaruhi oleh kenyataan lingkungan sosial
politik dan kultural Mesir dan pelajaran yang dikajinya banyak berkaitan dengan
pentingnya menggunakan potensi akal dalam memahami berbagai obyek
kehidupan sosial keagamaan. Muhammad Abduh telah menunjukkan kiprah
dakwah ishlâhiyyah dengan memperbaiki sistem pendidikan dan pengajaran,
metodologi tafsir al-Qur'an, kelembagaan pendidikan, sistem politik, jurnalistik
Islam, hukum dan kemasyarakatan.
Upaya ishlâhiyyah ini dilakukan guna membangkitkan umat Islam dari
kejumudan berpikir rasional, menentang taklid dan memajukan budaya akademik
dan kehidupan masyarakat Muslim pada zamannya. Terhadap ishlâhiyyah yang
dilakukan Muhammad Abduh terdapat kelompok yang pro dan kelompok yang
kontra. Walaupun demikian, pemikiran pembaharuan Muhammad Abduh telah
membawa pengaruh besar bagi generasi berikutnya, terutama dalam
menghidupkan kembali tradisi penalaran rasional.
Mengenai pengaruh Muhammad Abduh ini, Harun Nasution meyakini
bahwa, pendapat-pendapat dan ajaran-ajaran Muhammad Abduh telah

73
Fahd, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-Hadîtsah fi al-Tafsîr, hlm. 143.
68

mempengaruhi dunia Islam pada umumnya, terutama dunia Arab melalui


karangan-karangan Muhammad Abduh sendiri, dan melalui tulisan-tulisan
muridnya seperti Muhammad Rasyid Ridha dengan Majalah Al-Manâr dan Tafsir
Al-Manâr, Kasim Amin dengan buku Tahrîr al-Mar’ah, Farid Wajdi dengan
Dâirah al-Ma’ârif, dan karangan-karanga yang lain. Syekh Tanthawi Jauhari
dengan al-Tâj al-Murshih bi jawâhir al-Qurân wa al-’Ulum, kaum intelek atasan
Mesir seperti Muhammad Husein Haikal dengan bukunya Hayâh Muhammad,
Abu Bakar, dan sebagainya, Abbas Mahmud al-„Aqad, Ibrahim A. Kadir al-

Mazin, Mushthafa Abd al-Raziq, Ali Abd al-Raziq, dan tak boleh dilupakan Saad

Zaghlul sebagai bapak kemerdekaan Mesir. Karangan-karangan Muhammad


Abduh sendiri telah banyak diterjemahkan ke dalam Bahasa Turki, Urdu, dan
Indonesia.74
Akbar S. Ahmed mengakui bahwa, Muhammad Abduh adalah bapak
modernisme Arab dan rektor Al-azhar, dan muridnya Rasyid Ridha awal abad ini,
merupakan tokoh modernis arab yang berpengaruh.75 Sedangkan Azyumardi Azra
menilai bahwa, Muhammad Abduh pada tingkat pemikiran adalah modernis,
tetapi pada level keagamaan adalah revivalis.76
Pemikiran modernis Muhammad Abduh dicirikan antara lain dengan
pandangannya mengenai pentingnya menggunakan akal (rasio) dalam memahami
ajaran Islam dan realitas kehidupan, percaya akan adanya sunatullah, dan tidak
menolak sains modern. Sedangkan keagamaan yang revivalis Muhammad Abduh
ditunjukkan dengan perjuangan dakwahnya dalam mengembalikan kehidupan
kepada sumbernya yang utama yaitu al-Quran.

74
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hlm. 68.
75
Lihat Akbar S. Ahmed, Posmodernisme: Bahaya dan harapan bagi Islam, terj.
Postmodernism and Islam: Predicament and Promise, oleh M. Sirozi (Bandung: Mizan, 1993),
hlm. 45.
76
Lihat Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan
Antarumat (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), hlm. 183.
BAB III
HAKIKAT, DASAR HUKUM, TUJUAN
DAN UNSUR DAKWAH

A. Hakikat Dakwah
Secara metodologis, Muhammad Abduh dalam menjelaskan hakikat
dakwah dapat dikategorisasikan pada pendekatan qishmah tafshiliyah1, al-dilâlah
al-muthâbaqiyyah 2 dan al-dilâlah lainnya, yang menurut Rasyid Ridha digunakan
sesuai peruntukannya, pada suatu saat Abduh menjelaskan sesuatu dengan
menyebutkan akibatnya (al-malzûm) dan pada saat lain menyebutkan
penyebabnya (al-lâzim), sebab menjelaskan sesuatu itu mesti menurut konteksnya,
hal ini dikemukakannya ketika Abduh menjelaskan karakteristik ilmu shahih,
yaitu ilmu yang menjadi sifat pemiliknya, melekat kuat dalam jiwanya dan
merealisasikannya dalam perbuatan.
Kemudian Abduh sendiri, memberitahukan pendekatannya dalam
menjelaskan sesuatu itu ketika menafsirkan Q.S. al Fâtihah ayat ke-5 tentang
ibadah sebagai kritik Abduh kepada para mufassir lain bahwa, kebanyakan dari
mereka menafsirkan sesuatu itu hanya dengan bagian akibat-akibatnya,

mendefinisikan sesuatu hanya dengan al- tarîf bi al-rasam, bahkan ada yang

hanya dengan al-tarîf bi al-lafdz, dan dengan kata-kata yang dianggap mendekati
makna sesuatu yang dijelaskan. Oleh karena itu, menurut Abduh mestinya dalam
menjelaskan sesuatu itu bukan hanya dengan menggunakan cara penalaran

membuat tarîf, tetapi mesti memperhatikan shiyâq al-kalimah (struktur


konotatif) dalam Al-Qurân asâlib al lughah (struktur gaya bahasa) dan

1
Qishmah tafshiliyah (taksonomis) yaitu menjelaskan hakikat sesuatu dengan cara merinci
dan membagi unsur-unsur dari sesuatu itu yang dalam konsep tarif merupakan macam-macam
unsur yang mesti ada didalamnya. Lihat Muhammad al Sayyid al Jalind dan Al Sayyid Riziq al
Hijr, Dirâsat fî al Manthiq wa Manâhij al-Bahts, (Kairo: Maktabah al Zahra, tt) hlm. 92-93.
Pendekatan taksonomis merupakan bagian dari implementasi kerja akal yang dikaji dalam
manthiq. Term-term lainnya yang digunakan Abduh dalam penafsirannya dijelaskan ketika
menafsirkan QS. Al-Baqarah ayat 7, ayat ini berkaitan dengan karakteristik orang kafir. Lihat Al-
Manâr, jilid I, hlm. 144-145, teks data lamp.No 2.1
2
Al-dilâlah al- muthâbaqiyyah (signifikansi sempurna) yaitu “term yang menunjukkan
makna dengan sempurna.” Zainun Kamal, Kritik Ibn Taimiyah terhadap Logika Aristoteles,
Disertasi, (Jakarta: FPS IAIN SYAHIDA, 1995), hlm. 23.
70

memperhatikan istimâl al „arab (pengguna pemilik bahasa). Walaupun demikian,


Abduh sendiri mengakui menggunakan metode al-dilâlah al- muthâbaqah, al-
dilâlah al-tadhamun, dan al-dilâlah al-iltizâm. Sebab semuanya ini termasuk cara

kerja akal dalam memahami ma qul (objek yang dipahami).3


Ketika menjelaskan hakikat dakwah, Muhammad Abduh menggunakan
pendekatan qishmah tafshiliyah (taksonomis), yaitu menjelaskan hakikat dakwah
langsung mengacu pada proses dakwah yang dipilah dan dibagi dengan

menekankan pada interaksi dâ i dengan madu yang berbeda lingkungan dan


kualitas keberagamaannya.
Sebelum memaparkan hakikat dakwah secara taksonomis, Muhammad
Abduh terlebih dahulu menjelaskan bahwa Q.S. Ali Imran:104, memuat dasar
hukum dakwah dengan dua kategori hukum, yaitu fardhu 'ain dan fardhu kifâyah.

Bagi yang pertama, jika kedudukan kata "‫ "من‬dalam ayat tersebut sebagai

bayâniyah (penjelasan) dan yang kedua jika kata "‫ "من‬sebagai ba'dh (sebagian).

Ayat itu juga memuat perintah umum seperti halnya keumuman kandungan Q.S.
al-'Ashr. Oleh karenanya, al-tawâshi mencakup amar ma'rûf dan nahy munkar.
Pemahaman ini juga oleh Muhammad Abduh dihubungkan dengan Q.S. al-
Mâ'idah:78-79 tentang kisah Bani Israil yang dilaknat oleh Allah SWT lantaran
meninggalkan nahy munkar sebagaimana diserukan oleh Nabi Dawud A.S dan
Nabi Isa A.S. 4
Dakwah kepada al-khayr, amar ma'rûf, dan nahy munkar terdiri dari
beberapa martabat, yaitu: martabat pertama, dakwah kepada al-khayr yang
ditujukan untuk seluruh umat oleh komunitas muslim (hâzih al-ummah) agar
mereka secara bersama-sama hidup dalam suasana cahaya petunjuk al-khayr.
Dakwah martabat pertama ini berlaku secara universal, yaitu dakwah yang
dilakukan oleh para nabi Allah kepada umatnya masing-masing pada zamannya.

3
Lihat Al-Manâr, jilid I, hlm. 56 dan 74. Untuk memahami lebih lanjut term-term manthiqiyah
yang dikemukakan Muhammad Abduh ini, lihat Said al-Taftazani, Syarh al-khabisiala Tahdzib
al-Manthiq, (Mesir: Maktabah Muhammad Ali Shabih, 1965),hlm. 30-32.
4
Lihat Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm al-Syahîr bî Tafsîr
Al-Manâr, cet. Ke dua, jld. IV (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 26-27. penjelasan Abduh ini
merupakan bagian dari penafsiran QS. Ali Imran ayat 104. selanjutnya disebut Al-Manâr disertai
sebutan jilid dan halamannya.
71

Hal ini didasarkan pada makna al-khayr sebagai al-islâm yang berintikan ajaran
mengesakan Allah. Berdasarkan pada martabat dakwah pertama ini, menunjukkan
adanya kewajiban mendakwahi manusia kepada al-islâm, dilanjutkan dengan
kewajiban amar ma'rûf dan nahy munkar sebagai proses pembinaan dan
pemeliharaan kesatuan umat, serta mencegah dari perpecahan internal umat.
Dengan demikian, terjadilah suasana umat yang terdidik jiwanya, saling tolong
menolong, kebersamaan, terhindar dari kedengkian dan kezaliman.5
Martabat kedua adalah dakwah di kalangan umat Islam dengan mengajak
kepada al-khayr, amar ma'ruf dan nahy munkar. Hal ini masih bersifat umum.
Oleh karenanya, bagi martabat kedua ini memiliki dua jalan (tharîqâni), yaitu:
pertama, al-da'wah al'âmmah bi al-kulliyah (tablîgh Islam) berupa menjelaskan
(bayân) jalan-jalan al-khayr dan mengimplementasikannya (tathbîq) dalam
kehidupan empiris mad'u. Selain itu, juga membuat perumpamaan-perumpamaan
(al-amtsâl) yang berpengaruh pada kondisi psikologis mad'u dengan
mempertimbangkan kondisi objektif mereka. Bagi dakwah jalur ini mesti
dilakukan oleh da'i yang memiliki kedalaman pemahaman hukum Islam dan
hikmahnya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Q.S. al-Taubah:122 tentang
kewajiban memperdalam agama Islam dan memberikan peringatan kepada umat.
Dengan demikian, karakteristik dakwah ini merupakan upaya implementasi
hukum-hukum Allah SWT dalam mewujudkan kemaslahatan umat Islam yang
berlaku di setiap waktu dan tempat.6
Sedangkan jalur kedua dari martabat dakwah kedua adalah al-da'wah
al'juziyyah al-khâshah (dakwah partikular) berupa menunjukkan (al-dilâlah)
kepada al-khayr, memotivasi (al-hats) kepada al-khayr, mencegah (al-nahy) dari
segala keburukan dan menghindarinya (al-tahzîr), dan saling berwasiat dengan
kebenaran (al-haq) dan kesabaran. Aktivitas dakwah ini berlangsung antar-
individu internal umat Islam yang sudah saling mengenal.7

5
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 27-28.
6
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28.
7
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28, teks data catatan kaki no 5, 6, 7 dan 8 lihat lamp. no 2.2
72

Dalam paparan hakikat dakwah secara taksonomis di atas Muhammad


Abduh tidak menjelaskannya dengan pendekatan lughawî8 terlebih dahulu, tetapi

langsung menyebutkan adanya martabah dawah (peringkat dakwah) yang terdiri

dari dua macam martabat. Penyebutan adanya dua martabah dawah dalam
penjelasan hakikat dakwah oleh Muhammad Abduh ini, jika dibaca menurut teori
lingkup komunikasi9 dapat dipahami sebagai konteks dakwah atau level dakwah.
Level dakwah pertama dalam penjelasan Muhammad Abduh memuat

unsur dakwah yaitu: umat muslim (hâdzihi al-ummah) sebagai dai, semua umat

(sâir al-umam) sebagai madu, al-khayr (al-islâm) sebagai materi atau pesan, al-
islâm ini merupakan agama Allah yang disampaikan lewat lisan semua nabi-Nya
kepada seluruh umat manusia, berintikan memahaesakan Allah dan
mengembalikan egoisme diri pada hukum-Nya. Disini, Muhammad Abduh tidak
menyebutkan unsur metode dan media dakwah, walaupun demikian secara
iltizâmiyah dapat dipahami dari kalimat “lewat lisan semua nabi” bahwa unsur
media dapat berupa bahasa lisan dan perbuatan, sedangkan unsur metode dapat
dipahami dari penjelasan berikutnya.
Penjelasan level dakwah pertama ini dapat dikategorikan sebagai tablîgh
islam atau dakwah publik, namun demikian Muhammad Abduh masih menambah

penjelasan level dakwah pertama ini, yaitu bahwa dai sebagai ummah wasatha
(umat pilihan) dan sebagai khayr ummah (umat terbaik) yang diperintahkan untuk

melaksanakan amr maruf, nahy munkar, dan berperang ketika umat ini sudah
memiliki makânah (keberdayaan) yang sebelumnya wajib menegakkan shalat dan

8
Secara lughawî term da wah yang dalam bentuk fi il madhinya da â memiliki banyak arti,
yaitu: (1) thalaba (meminta), (2) ihtâja (membutuhkan), (3) wajada (menemukan), (4) shâha
(menyeru dengan suara keras), (5) nidâ (menyeru), (6) istaâna (memohon pertolongan), (7)
nadaba (menetapi), (8) raghiba (menginginkan atau menghindari), (9) ibtahala (memohon dengan
rendah diri), (10) raja (mengharap), (11) samâ (menamai), (12) nashaha (menasehati), (13) hatsa
(menghimbau), (14) saqâ (menggiring), (15) banâ (membangun), (16) hadama (merobohkan), dan
(17) sababa (menyebabkan). Lihat Ibrahim Anis dkk., al-Mu jam al-Wasîth, jld. I (Mesir: Dâr al-
Maârif, 1972), hlm. 286-287.
9
Kategori konteks diajukan oleh Stephen Little John, menurutnya konteks komunikasi
terdiri: interpersonal group, organisasional dan massa. Lihat Stephen Little John, Teories of
Human Communication (California: Wadsworth Publishing, 1989), hlm. 152. Sedangkan menurut
Larry Barker level komunikasi terdiri dari: intrapersonal, interpersonal, group kecil, publik,
organisasional dan massa. Lihat Larry Barker, Communication, (New Jersey: Prentice-Hall Inc;
1984), hlm.16.
73

menunaikan zakat. Penjelasan Muhammad Abduh ini didasarkan pada Q.S.


al-Hajj:41, tambahan penjelasan Muhammad Abduh ini dapat dikategorikan

sebagai dawah bi ahsani al-amâl, dawah bi al-tamkîn (pemberdayaan umat)


dan sebagai dakwah organisasional. Macam kegiatan dakwah ini dilakukan

setelah madu menerima Islam melalui tablîgh Islâm sebagai tahapan dalam
berdakwah.10
Masih dalam level dakwah pertama, Muhammad Abduh melanjutkan

penjelasannya mengenai fungsi amr marûf dan nahy munkar, yaitu sebagai upaya
memelihara kesatuan umat dan mencegah perpecahan umat, sebab hanya dengan
kesatuan umatlah kekuasaan atas umat lain dapat diwujudkan, sehingga upaya
pendidikan dan pembinaan kejiwaan umat bisa dilakukan, penyakit egoisme
individu dapat dimusnahkan, kedengkian dan kedzaliman di tengah-tengah umat
berubah menjadi saling tolong menolong dan bersatu padu dalam melakukan
tugas yang mulia dengan penuh kesadaran. Penjelasan Muhammad Abduh ini

dapat dikategorikan sebagai fungsi dawah jamaah (dakwah organisasional).


Level dakwah kedua dalam penjelasan Muhammad Abduh memuat unsur

dakwah, yaitu sebagian muslim sebagai dai, sebagian muslim lain sebagai madu,
yang diantara mereka saling menyeru kepada al-khayr (al-Islâm) sebagai pesan,

saling memerintah kepada yang marûf dan saling mencegah dari yang munkar.
Level dakwah kedua ini masih tampak bersifat umum, dan Muhammad Abduh
membaginya menjadi dua jalur atau saluran (thâriqâni). Jalur pertama disebut al-

dawah al-„âmmah al-kulliyyah (dakwah “universal” atau saluran “media massa”)

dan jalur kedua disebut al-dawah al-juziyyah al-khâshshah (dakwah “parsial”


atau saluran “interpersonal”).11

10
Kajian mengenai tabîigh islam lebih lanjut lihat Abd al-Lathif Hamzah, al-„Ilâm fi Shadr
Islâm, (Kairo: Dâr al-Fikr al-„Araby, 1989), hlm. 104-133. Sedangkan konsep makanah, lihat
kajian Muhammad al-Sayid Muhammad Yusuf, al-Tamkîn bi al-Ummah al-Islâmiyah fi Dhaui al-
Qurân al-Karîm, (Mesir: Dâr al-Salâm, 1997) hlm 14-94.
11
Saluran “media massa” antara lain dicirikan tidak bertatap muka, dan saluran
”interpersonal” melibatkan tatap muka. Lihat Everett M. Rogers dan F. Floyd Shoemaker,
Memasyarakatkan Ide-ide Baru, terj. Communication Of Innovations, oleh Abdillah Hanafi,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1987), hlm. 118-119, dan lihat Ibrahim Imam, Ushûl al-„Ilâm al-
Islâmi, (Kairo: Dâr al-Fikr al-Arabi, 1985), hlm. 4-56.
74

Bagi jalur pertama dijelaskan Muhammad Abduh dengan terlebih dahulu


memberikan contoh “seperti pelajaran ini” (ka hâdza al-dars), yaitu dakwah
dengan menjelaskan (bayân) ragam jalan kebaikan, mengaplikasikannya (tathbîq)
dalam berbagai situasi kehidupan manusia, dan membuat beragam perumpamaan
(al-amtsâl) yang membekas dalam jiwa (al-nufûs), sehingga orang yang
mendengarnya dapat memetik pelajaran dari perumpamaan itu menurut situasi
dan kondisi masing-masing. Lalu menurut Muhammad Abduh, dakwah jalur ini

mesti dilakukan oleh da i al-khawwash al-ummah (“komunitas khusus”) yang


memiliki pengetahuan mendalam tentang rahasia hukum, hikmah agama Islam,
dan hukumnya. Hal ini didasarkan pada Q.S. al-Tawbah:122, yang memuat
perintah bahwa mesti ada sekelompok (thâifah) yang menekuni pemahaman
mendalam (tafaquh) mengenai agama Islam, untuk kemudian memberikan
peringatan kepada masyarakatnya saat pulang ke tempat asal mereka. Secara

spesifik da i komunitas khusus ini sesuai dengan kemampuan dan kepemilikan


ilmunya melakukan dakwah berupa mengimplementasikan (tathbîq) hukum-

hukum Allah Taâla untuk mewujudkan kemaslahatan hamba-hamba-Nya pada


setiap zaman dan tempat.
Dakwah jalur pertama dari level dakwah kedua itu, dapat dikategorikan
sebagai dakwah publik atau tablîgh bi al-khithâbah dan dakwah organisasional

atau dawah bi al-tamkîn (pemberdayaan umat) yang berlangsung di kalangan


internal umat muslim.
Kemudian, jalur kedua dari level dakwah kedua, yaitu al-dawah al-
juziyyah al-khâshshah, dijelaskan oleh Muhammad Abduh sebagai dakwah yang
berlangsung di antara sesama individu sesuai kemampuan masing-masing, baik
yang pandai maupun yang bodoh, yang sudah saling mengenal dengan cara
menunjukkan (al-dilâlah) kepada kebaikan dan memotivasinya (al-hats),
mencegah dari kejelekan dan memperingatkannya, saling berwasiat dengan al-
haqq dan saling berwasiat dengan shabar. Dalam penjelasan Muhammad Abduh

ini memuat unsur dakwah yaitu: Individu muslim sebagai dai dan individu lain

sebagai madu, al-khayr (al-Islâm) sebagai pesan dan beberapa macam metode,
yaitu: al-dilâlah, al-nahy, al-tahdzîr, al-tawâshi bi al-haqq dan al-tawâshi bi al-
75

shabr, sedangkan unsur medianya berupa bahasa lisan dan bahasa perbuatan. Jalur
dakwah kedua ini, dapat dikategorikan sebagai dakwah intrapersonal atau al-

dâiyah fî nafsih, dan dakwah interpersonal atau al-dawah al-fardiyyah.


Dalam penjelasan hakikat dakwah martabat (level) yang pertama yang
dikemukakan Muhammad Abduh, termasuk tablîgh Islâm, yaitu proses

penyebaran Islam yang ditujukan kepada madu yang belum memeluk Islam.
Sedangkan dalam penjelasan hakikat dakwah martabat (level) kedua, termasuk
tablîgh Islâm yang merupakan proses pembinaan kualitas keberagamaan bagi

yang sudah memeluk Islam dengan menegakkan segala yang marûf, yaitu
sejumlah aturan ajaran Islam yang mesti diketahui dan diamalkan dalam
kehidupan nyata, berbarengan dengan nahy munkar, yaitu menjebol dan
menghindarkan kehidupan dari segala larangan ajaran Islam. Dengan demikian,
kedua penjelasan hakikat dakwah lebih menekankan pada tahapan dakwah
(marâhil al-dawah).12
Keberlangsungan pembinaan internal umat Islam dilakukan melalui
“bayân thuruq al-khayr,” yaitu proses transmisi ajaran Islam yang ditujukan
kepada kelompok besar dan kelompok yang terorganisir dengan sasaran
meningkatkan aspek pemahaman. Sedangkan untuk meningkatkan kualitas
pengamalan ditempuh melalui transformasi ajaran Islam dalam kehidupan nyata
umat yang ditunjukkan dengan ungkapan tathbîq (implementasi ajaran), baik
dalam penjelasan hakikat dakwah jalur pertama maupun jalur yang kedua dari
martabat (level) dakwah yang kedua.13 Sasaran utama implementasi ajaran Islam

12
Lihat Ali bin Shalih, Mustalzamât al-Da wah fî al-„Ashr al-Hâdhir (Jeddah: Maktabah
Layyinah, 1981), hlm. 150, hakikat dakwah menurut bentuknya dijelaskan oleh para penulis
tentang dakwah ternyata bervariasi, misalnya Toha Yahya Umar mengelompokkan kategori
hakikat dakwah ini kepada: penerangan, penyiaran, pendidikan dan pengajaran, dan indoktrinasi
Islam. Lihat Toha Yahya Umar, Ilmu Da wah (Jakarta: Widjaja, 1983), hlm. 1-2. KH. Isa Anshari
mengkategorisasikan hakikat dakwah sebagai reformasi dan modernisasi pemahaman Islam dan
kehidupan Muslim. Lihat Isa Anshari, Mujahid Da wah (Bandung: CV. Diponegoro, 1964), hlm.
74. sementara itu, Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuni mengkategorisasikan hakikat dakwah
kepada: (1) tablîgh Islam kepada semua manusia, (2) ta lîm Islam bagi umat Islam, dan (3) tathbîq
Islam dalam kenyataan kehidupan umat Islam. Lihat Abu al-Fatah al-Bayanuni, al-Madkhal fî „Ilm
al-Da wah (Beirut: Muassasah al-Risalah Nâsyidun, 2001), hlm. 34-35.
13
Bagi Muhammad Sayyid Muhammad Yusuf, transformasi ajaran Islam ini disebut
sebagai dakwah pemberdayaan umat, sebagaimana dijelaskan dalam karyanya al-Tamkîn lî al-
Ummah al-Islâmiyyah fî Dhau al-Qurân al-Karîm (Mesir: Dâr al-Salam, 1997), hlm. 95-96.
Dalam konteks ini, dakwah juga dipahami sebagai aktivitas-aktivitas kesejahteraan sosial dan
76

adalah sebagai upaya perbaikan dan mencari solusi problem kehidupan umat
dalam mewujudkan pemenuhan kebutuhan hidup ruhaniyyah dan jasadiyyah
hamba Allah yang ditunjukkan dalam ungkapan „alâ mashâlih al-„ibâd.
Kemudian Muhammad Abduh mengemukakan secara khusus salah satu
level dakwah dalam penjelasan hakikat dakwah jalur kedua, yaitu dakwah

fardiyyah, yakni interaksi antarindividu dâi dengan madu yang berlangsung


secara tatap muka dengan metode tawshiyyah bî al-haqq dan tawshiyyah bî al-
shabr, baik berupa saling menunjukkan dan saling menghimbau pada jalan
kebaikan, serta saling mencegah dari perbuatan yang dilarang ajaran Issebagai
kewajiban bagi semua individu Muslim berdasarkan kemampuan masing-
masing.14
Termasuk dakwah pemeberdayaan umat (ishlâh al-basyar) adalah amr

marûf nahy munkar, yaitu upaya dalam perbaikan kehidupan manusia sebagai
makhluk sosial (al-basyar) dan pelakunya sebagai umat pilihan yang unggul.
Karena ia merupakan masyarakat yang berada pada posisi seimbang secara
aqidah, moralitas dan kegiatan kehidupannya, juga senantiasa berupaya

melakukan perbaikan kehidupan (al-basyar) dengan jalan amr marûf nahy


munkar:15
Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa, rumusan hakikat dakwah menurut
pemikiran Muhammad Abduh secara al-dilâlah al-iltizâmiyyah16 merupakan
proses ishlâh (reformasi) dan tajdîd (pembaruan) kehidupan umat. Pendapat ini
diikuti oleh Mahmud al-„Aqqad.17 Kemudian, Muhammad Abduh memaknai term

penyebaran ajaran Islam. Lihat Akbar S. Ahmed, Rekonstruksi Sejarah Umat Islam di Tengah
Pluralitas Agama dan Peradaban, terj. Amru Ust. (Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 2002), hlm.
375.
14
Dakwah fardiyyah ini secara khusus dibahas oleh Sayyid Muhammad Nuh dalam
karyanya Fiqh al-Da wah al-Fardiyyah fî al-Manhaj al-Islâmî (Mesir: Dâr al-Wafa, 1991).
15
Al-Manâr, jld. I, hlm. 160-161. QS. 2:13, ayat ini berkaitan dengan karakteristik orang
munafiq sebagai orang syafih. Lihat Kamil, Ahdâf al-Risâlah al-Islâmiyyah, dalam al-Muhâdharât
al-„Âmmah (Mesir: Mathbaah al-Azhar, 1960), hlm. 158-159.
16
Al-dilâlah al-iltizâmiyyah adalah (signifikansi kelaziman), yaitu term yang menunjukkan
sesuatu di luar dari maknanya. Tetapi ia merupakan kelaziman atau kemestian yang tak
terpisahkan dari makna itu. Lihat Zainun Kamal, Kritik Ibn Taimiyah terhadap Logika Aristoteles,
hlm. 23. Muhammad Rasyid Ridha mengakui bahwa Abduh dalam menjelaskan suatu konsep
sering menggunakan al-dilâlah iltizâmiyyah. Lihat Al-Manâr, jld. III, hlm. 348-349.
17
Lihat Mahmud al-Aqqad, Multaqy al-Nufûs al-Basyariyyah dalam Muhammad Abduh,
Syarh Nahj al-Balâghah (Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadid, 2006), hlm. 16. Menurut Habib Boulares,
77

ishlâh ini untuk menunjukkan berbagai hal yang berkaitan dengan upaya
pembaruan, perubahan, dan perbaikan dalam mewujudkan kemaslahatan

kehidupan manusia di muka bumi, yang melibatkan unsur da i, pesan, media,

metode, dan madu, yang merupakan satu kesatuan dalam prosesnya. Sedangkan
kemaslahatan diyakini oleh Muhammad Abduh berupa segala yang mencegah
terjadinya kerusakan di muka bumi dan ia menjadi sebab kebenaran, kebaikan,
dan kestabilan kehidupan manusia menjadi lestari.18
Mengenai hakikat dakwah yang telah dikemukakan menurut pemikiran
Muhammad Abduh, ternyata berbeda dengan hakikat dakwah yang dikemukakan
oleh para pengkaji tentang dakwah selain Muhammad Abduh. Hal ini bisa terlihat
sebagai bukti adanya kekhasan itu. Misalnya dari beberapa macam rumusan
hakikat dakwah berikut ini menjadi bukti bahwa, selain Muhammad Abduh
menjelaskannya lebih terfokus pada hal-hal tertentu.
Berikut pernyataan para tokoh selain Muhammad Abduh mengenai
hakikat dakwah, yaitu: (1) menurut al-Syaikh al-Islam Ibn Taymiyah dakwah
adalah menyeru kepada keimanan atas kemahaesaan Allah dan atas segala perkara
yang dibawa oleh para utusannya, membenarkan segala perkara yang diberitakan
oleh para rasul dan mentaati segala yang diperintahkannya;19 (2) menurut al-
Sayyid Muhammad al-Wakil, dakwah adalah menghimpun manusia ke jalan yang
baik, menunjukkan mereka kepada kebenaran, memerintahkan dengan yang

marûf dan mencegah dari yang munkar. Definisi ini didasarkan pada Q.S. Ali
Imran:104. Definisi ini lebih menekankan pada macam tabligh;20 (3) Muhammad
al-Shawaf mengemukakan bahwa, dakwah adalah risalah langit yang diturunkan

ishlâh yang diartikan dengan reformasi menunjuk kepada perbaikan, kembali kepada aturan kerja
yang sebelumnya cacat, pemurnian dari penyelewengan sehingga terbuka untuk memiliki sejumlah
metode. Reformasi ini adalah khas Islam yang banyak dikembangkan di negara-negara Arab. Lihat
Habib Boulares, Islam Biang Ketakutan atau Tumpuan Harapan, terj. Islam: The Fear and The
Hope, oleh Ilham Mashuri (Bandung: Pustaka Hidayah, 2003), hlm. 208-223.
18
Al-Manâr, jld. II, hlm. 497. Keyakinan Abduh ini merupakan bagian dari penafsiran QS.
2:251-252, tema pokok ayat ini mengenai aktivitas para Rasul Allah dalam menghindarkan
kemafsadatan di muka bumi, dan bandingkan dengan pendapat Abd bin al-Hamîd bin Bâdîs dalm
karyanya Tafsîr bin Bâdîs, hlm.106-107. Kajian mengenai dakwah ishlâh, lebih lanjut lihat Manâ
al-Qathan, al-Da wah ila al-Islâm, (Damaskus: al-Maktabah al-Islâmy,1397 H) 60 halaman.
19
Lihat Ibn Taymiyah, Majma' al Fatawa, (Riyadh, tt), hlm. 157.
20
. Lihat Muhammad al-Sayyid al-Wakil, Usus al Da'wah wa Âdâb al Du'ât, (Mesir: Dâr al
Wafâ, 1986), hlm. 17.
78

ke bumi sebagai petunjuk pencipta kepada makhluknya, hidayah itu berupa agama
Allah yang kokoh dan jalannya yang lurus, sebagaimana dijelaskan dalam al-

Qurân Q.S. Ali Imran:19 dan 85.21 (4) menurut Fathi Yakan, dakwah adalah
menghancurkan berbagai bentuk kejahiliyahan, baik kejahiliyahan pemikiran,

akhlak, sistem kehidupan, dan membangun kejamaahan muslim dengan


mengaplikasikan kaidh-kaidah dengan berbagai bentuknya.22 (5) menurut Taufiq

al-Wâiy, dakwah Islam adalah menghimpun manusia ke jalan yang baik,


menunjukkan mereka kepada kebenaran dengan perkataan dan perbuatan dengan
agar menjalankan sistem kehidupan dari Allah di muka bumi, memerintah mereka

kepada yang maruf, mencegah mereka dari yang munkar, membimbing mereka

kepada jalan yang lurus dan bersabar dalam menghadapi segala tantangan hidup.23
Berbeda dengan lima macam definisi tersebut, Muhammad Nuh
mendefinisikan dakwah tidak terbatas pada pengenalan dan penyiaran Islam tetapi
juga pada pembangunan dan pembentukan umat. Oleh karenanya, menurut

Muhammad Nuh, dakwah adalah jika ditujukan kepada madu yang belum Islam
dan para pelaku dosa maka dilakukan dengan pengenalan dan penyiaran,

sedangkan jika mad unya masyarakat muslim dan mereka memelihara naluri
ketundukan atas kebenaran maka dilakukan dengan cara membangun dan
membentuk.24
Dakwah menurut „Abd Mushnif „Abd al-Fatâh memotivasi manusia
kepada kebaikan, petunjuk, tuntunan, menetapi jalan yang benar, memerintah

dengan yang marûf dan mencegah mereka dari yang munkar, untuk mendapatkan

kebahagiaan dan keselamatan hidup di dunia dan akhirat.25

21
Lihat Muhammad Mahmud al-Shawwaf, Min al Qurân Ilâ al Qurân (al Da'wah wa al
Du'ât ), hlm. 22.
22
Lihat Fathi Yakan, Al-Islam, Fikrah-Harakah-Inqilab, (Beirut: Muassasah al Risalah,
1983), hlm. 9.
23
Lihat Taufik al Wâ'iy, al-Nisâ al-Dâ'iyât, (Kuwait: Wizârah al aufaf, 1989), hlm.8.
24
Lihat Sayyid Muhammad Nuh, Fiqh al-Da wah al-Fardiyah, (Mesir: Dâr al-Wafâ, 1991),
hlm. 12.
25
„Abd Mushnif „Abd al-Fatâh, Manhâj al-Da wah al-Islamiyyah Min al-Qurân al-Karîm
wa al-Sunnah al-Nabawiyah, (Mesir: al-Azhar, 1419H), hlm. 29.
79

Dakwah Islam menurut Abu Bakar Zakaria adalah mengajar orang banyak
tentang segala sesuatu yang dapat menyadarkan mereka menurut kemampuannya
tentang urusan agama dan dunia yang dilakukan oleh para ulama.26
Dakwah Islam menurut Ahmad Ahmad Ghalwus, dakwah Islam adalah
sama dengan agama Islam itu sendiri, ia merupakan ketundukan kepada Allah dan
menjalankan ajarannya yang Dia ridhai dan merupakan sistem universal dan
ketentuan-ketentuan komprehensif mencakup kehidupan duniawi dan ukhrawi.27
Dakwah Islam menurut „Ali bin Shâlih al-Mursyid adalah sistem yang
berisikan metode, media dan teknis dalam menjelaskan dan menegakkan haq,
kebaikan, petunjuk, dan membongkar kebatilan dengan segala media dan
caranya.28
Mencermati penjelasan hakikat taksonomis rumusan dakwah menurut
Muhammad Abduh yang dibandingkan dengan pemikiran yang lainnya, maka
dapat dirumuskan hakikat dakwah menurut Muhammad Abduh antara lain adalah
pertama, mengajak manusia untuk memahami, menerima, dan mengamalkan
Islam dengan mengutamakan amr maruf nahy munkar agar mereka memperoleh
keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat dan kedua, proses
ishlâh dan tajdîd kehidupan umat berupa internalisasi, transmisi, transformasi, dan
difusi Islam guna memperoleh kehidupan haasnah di dunia dan di akhirat serta
terbebas dari siksa neraka kehidupan. Sedangkan rumusan hakikat dakwah
menurut Muhammad Abduh secara taksonomis yang berkaitan dengan dasar
hukum, tujuan dan unsur-usnsurnya dijelaskan di bagian akhir bab ini.

26
Abu Bakar Zakaria, al-Da wah Ilâ al-Islâm,dalam Nashruddin Latif Teori dan Praktik
Dawah Islamiyah, (Jakarta: CV. Multiyasa, 1391H), hlm.10.
27
Ahmad Ahmad Ghalwus, al-Da wah al-Islâmiyyah, (Kairo: Dâr al-Kitâb al-Mishri,
1987), hlm. 12-13.
28
„Ali bin Shâlih al-Mursyid, Mustalzamât al-Da wah Fi „Ashri al-Hâdhir, (Jeddah:
Maktabah Layyinah, 1989), hlm. 22. M. Yunan Yusuf merumuskan hakikat dakwah “sebagai
upaya untuk memberikan solusi Islam terhadap berbagai masalah dalam kehidupan. Masalah
kehidupan tersebut mencakup seluruh aspek, seperti aspek ekonomi, sosial budaya, hukum, politik,
sains, teknologi, dsb.” M. Yunan Yusuf, Metode Dakwah: sebuah Pengantar Kajian, dalam
Munzir dan Marjani Hefni, Metode Dakwah (Jakarta: Prenada media, 2003), hlm. xiii.
80

B. Dasar Hukum Dakwah


Dalam menentukan dasar hukum dakwah, Muhammad Abduh seperti halnya
mufassir yang lain seperti Imam al-Jalalain, Ahmad al-Shawi, dan Wahbah al-

Zuhaili, merujuk pada nash Al-Qurân yang diungkapkan dalam fiil amr (kata

kerja perintah), antara lain ketika menafsirkan Q.S. Ali Imran ayat 104 dan 110. 29
Muhammad Abduh meyakini bahwa terdapat perselisihan pendapat mengenai
firman Allah “minkum” apakah berarti “sebagian dari kamu” atau “min”
bayaniyyah?. Mufassir kita Imam Jalalain meyakini pendapat pertama karena hal itu
menunjuk pada hukum fardu kifayah sebagaimana dijelaskan dalam tafsir Al-
Kasysyâf30 dan yang lainnya. Sebagian ulama berkeyakinan dengan pendapat
kedua seraya mereka berkata bahwa maksud ayat tersebut adalah “hendaknya
kamu sekalian menjadi umat yang menyeru kepada kebaikan, menganjurkan hal-
hal baik, dan mencegah kemunkaran.31
Dari perbedaan pendapat mengenai status hukum dakwah tersebut,
Muhammad Abduh menetapkan dasar hukum dakwah sebagai fardu kifayah, yaitu
kewajiban yang ditujukan kepada individu atau kelompok tertentu yang memiliki
kualifikasi penguasaan pengetahuan kedakwahan, dan kemampuan berdakwah
secara profesional. Sedangkan dakwah sebagai fardu „ain, yaitu kewajiban yang
ditujukan bagi setiap individu Muslim (mukallaf) berdasarkan kemampuannya
masing-masing dalam melaksanakan macam-macam pelaksanaan dakwah sesuai
situasi dan kondisi yang dihadapinya. 32
Oleh karena itu, kedudukan hukum dakwah dapat dipahami sebagai
kewajiban komunal (fardhu kifayah), yakni kewajiban yang mampu dilaksanakan
oleh semua Muslim dalam suasana kebersamaan, sedangkan fardhu ain dapat
dipahami sebagai kewajiban individual, yakni kewajiban yang mampu

29
Lihat Imam al-Jalalain, Tafsîr al-Qurân al-Karim (Semarang: Thaha Putra, tt.), hlm. 58,
Ahmad al-Shawi, Hasyiyah al-„Alamah al-Shawi „alâ Tafsîr al-Jalalain (Semarang: Thaha Putra,
tt.), hlm. 171., dan Wahbah al-Zuhaili, Tafsîr al-Wajîz (Beirut: Dâr al-Fikr, 1982), hlm. 65.
30
Penjelasan Abi al-Qâsim Jâr Allah Mahmud bin „Amr al-Jamakhsyari al-Khawârizmi,
terdapat dalam karyanya, Al-Kasysyâf „an Haqâiq al-Tanzîl wa „uyun al-„Aqâwil fi Wujuh al-
Ta wil, jld.1 (Beirut: Dâr al-Marifah,tt) hlm.452.
31
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 26.
32
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 35. Penetapan Abduh ini merupakan bagian dari penafsiran Q.S.
Ali Imran ayat 104.
81

dilaksanakan secara individual. Jika dipahami demikian, implikasinya adalah


tidak akan terjadi saling melempar tanggung jawab di antara sesama individu dan
kelompok Muslim dalam melaksanakan kewajiban dakwah Islamiyah.

C. Tujuan Dakwah
Setiap tindakan apapun yang dilakukan secara sadar oleh manusia
senantiasa memiliki tujuan tertentu yang akan dicapai.33 Dakwah sebagai bagian

tindakan yang mulia yang dilakukan oleh para dâi sudah barang tentu memiliki
tujuan. Mengenal tujuan dakwah itu amat penting agar tidak terjadi penyimpangan
arah dan tujuan yang menyebabkan kekacauan dan penyimpangan dalam tindakan

dâi dalam berdakwah.


Rumusan tujuan dakwah yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh
dapat dikelompokkan menjadi tiga macam kategori tujuan dakwah, yaitu tujuan
ideal, tujuan individual, dan sosial.
Pertama, tujuan ideal dakwah, antara lain dapat dipahami dari keyakinan

Muhammad Abduh bahwa, siapa saja yang hendak berdoa kepada Allah Taala
secara global, hendaknya ia memohon kebahagiaan dunia dan akhirat serta
34
kehidupan yang baik di kedua alam tersebut. Sedangkan jalan Allah (al-Islâm)
merupakan jalan yang menghantarkan orang pada keridhaan-Nya, suatu jalan
yang dengannya Dia memelihara agama-Nya dan memperbaiki keadaan hamba-
Nya.35 Menurut Muhammad Abduh Allah mensyariatkan bagi kamu sekalian
sejumlah hukum yang dapat memperbaiki keadaan kalian dan menghantarkan
kalian pada kebahagiaan dunia dan akhirat. 36
Esensi tujuan ideal dakwah yang dipahami dari keyakinan Muhammad
Abduh tersebut adalah memperoleh ridha Allah SWT, memperoleh kebahagiaan
dan kebaikan hidup di dunia kini dan di akhirat kelak. Pendapat mengenai

33
Lihat Muhammad Abd al-„Aziz Al-Khuly, al-Adâb al-Nabâwy, (Beirut: Dâr al-fikr, tt),
hlm. 5-6.
34
Al-Manâr, jld. II, hlm. 237. Pernyataan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. 2:201, tema
pokok isi ayat ini mengenai bagian doa mumin yang menunaikan ibadah haji.
35
Al-Manâr, jld. II, hlm. 254. Penjelasan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. 2:207, tema
pokok isi ayat ini mengenai mumin yang menukarkan dirinya dengan ridha Allah SWT.
36
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 338. Pernyataan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. 4:1, tema
pokok isi ayat ini mengenai informasi penciptaan manusia, keharusan bertakwa dan silaturahim.
82

kebahagiaan di dunia dan akhirat sebagai tujuan ideal dakwah ini sama dengan
pendapat Abd al-Munshif Mahmud Abd al-Fatah menurutnya bahwa, menyeru
manusia terhadap kebaikan, petunjuk, arahan, dan konsistensi dalam beragama
dan menganjurkan mereka pada kebajikan serta mencegah mereka dari
kemunkaran agar mereka sejahtera di dunia dan berbahagia di akhirat. 37
Kedua, tujuan dakwah individual antara lain dipahami dari keyakinan
Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah:256-257 bahwa, maksud
ayat ini sejalan dengan makna ayat yang mendahuluinya tampak sangat jelas
yakni bahwa seorang mukmin tidak memiliki pengurus dan penguasa (tawliyyah)
atas keyakinannya selain Allah SWT. Jika demikian faktanya, ia berada pada jalan
yang benar untuk menggunakan hidayah yang telah dianugrahkan Allah
kepadanya sesuai dengan peruntukannya yakni indera, akal, dan agama. 38
Muhammad Rasyid Ridha menambahkan penjelasan mengenai tawliyah
atau wilâyah (perlindungan) yaitu: (1) wilâyah Allah kepada kaum mukmin, yaitu
dengan memberikan hidayah indera, akal, dan agama serta sarana alam yang
dibutuhkan dalam menjalani kehidupannya, (2) wilâyah kaum beriman kepada
Allah, yakni dengan cara mendayagunakan macam-macam hidayah dari Allah
dalam rangka ibadah, dan (3) wilâyah di antara sesama kaum beriman dengan
cara saling melindungi, saling tolong-menolong, dan saling menyelamatkan.39
Dari penjelasan tujuan individual dakwah yang dikemukakan oleh
Muhammad Abduh tersebut dapat dipahami bahwa terbentuknya pribadi muslim
yang paripurna merupakan tujuan individual dakwah, yaitu pribadi yang imannya
kokoh kuat mendayagunakan hidayah hawasî (potensi indera lahir), hidayah akal,
hidayah agama Islam, hanya Allah pelindung hidupnya, dan menetapi sunnah
Allah baik yang Qurâniyyah maupun yang Kauniyyah.

37
Abd al-Munshif Mahmud Abd al-Fatah, Manhaj al-Da wah al-Islâmiyyah min al-Qurân
al-Karîm wa al-Sunnah al-Nabawiyyah (Mesir: Jamiah al-Azhar, 1419H), hlm. 29.
38
Al-Manâr, jld. III, hlm. 40. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. 2:256-257,
tema pokok isi ayat ini mengenai larangan memaksakan keyakinan agama bagi non-muslim,
perumpamaan orang mumin, dan cara melakukan perlindungan hidup dengan konsekuensinya.
39
Al-Manâr, jld. III, hlm. 42-43. Penjelasan Rasyid Ridha ini bagian dari penafsiran Q.S.
2:256-257.
83

Ketiga, tujuan sosial dakwah menurut Muhammad Abduh antara lain dapat

dipahami dari keyakinannya bahwa, amr maruf dan nahy munkar merupakan alat

pemelihara kebersamaan dan semen perekat persatuan. 40 Kemudian masih dalam


penafsiran Q.S. Ali Imrân: 104, antara lain Muhammad Abduh meyakini bahwa,
Allah SWT. telah memerintahkan perlu adanya di antara kita komunitas yang
menyeru kepada kebaikan, memerintahkan kebajikan, dan mencegah kemunkaran
dan Allah menjelaskan bahwa mereka merupakan kalangan beruntung, sementara
masyarakat lain merugi, yang beruntung karena mereka merupakan komunitas
yang menegakkan agama dan memeliharanya, juga melalui mereka terwujudlah
persatuan yang menjadi maksud agama, Allah juga melarang kita dari perpecahan
dan pertikaian yang bisa melenyapkan persatuan umat yang berakibat
terganggunya penegakan dakwah yang maslahat. 41
Pernyataan Muhammad Abduh tersebut, menunjukkan bahwa memelihara
kesatuan komunitas Muslim yang muflihûn dan membentenginya dari
pengrusakan yang disebabkan oleh internal maupun eksternal Muslim dan
mencegah perpecahan dan pertentangan umat Muslim adalah tujuan sosial
dakwah.
Dalam memformulasikan tujuan dakwah ini, terdapat perbedaan
redkasional antara Muhammad Abduh dan para penulis lain tentang dakwah.
Namun demikian, esensi yang dikandungnya saling melengkapi dan memperkuat

antara satu formulasi dengan formulasi yang lainnya. Misalnya, Muhammad Said
Mubarak meyakini bahwa tujuan dakwah adalah menjadikan Islam sebagai
petunjuk jalan hidup oleh manusia, mengeluarkan manusia dari kegelapan
kebodohan kepada cahaya ilmu, dan mengeluarkan manusia dari kekufuran yang
kotor kepada keimanan yang suci.42 Bagi Ahmad Ahmad Ghalwusy, tujuan
dakwah itu sejatinya dalam upaya mencapai dua keadaan kehidupan, yaitu

kehidupan yang saâdah (bahagia) dan sâlimah (selamat) dengan terpenuhinya

40
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 26. Penjelasan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. 3:104.
41
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 47.
42
Lihat Muhammad Said Mubarak, al-Dawah wa al-Idârah (Madinah: Maktabah Malik
Fahd al-Wathaniyyah, 2005), hlm. 27.
84

kebutuhan ruhaniyah dan jasadiyah secara simultan.43 Sedangkan Jumah Amin


Abd al-„Aziz merumuskan tujuan dakwah kepada tiga hal, yaitu: (1) meletakkan
kerangka dasar kehidupan masyarakat Islam, (2) menjadikan masyarakat Muslim
yang dinamis reformis, dan (3) melestarikan kehidupan masyarakat Muslim yang
menegakkan kebenaran Islam dalam kehidupan nyata.44

D. Unsur-unsur Dakwah

Hakikat, dasar hukum, dan tujuan dakwah, manusia sebagai dâi dan madu,
metode dan media dakwah merupakan satu kesatuan unsur dakwah yang saling
berkaitan antara satu unsur dengan unsur yang lainnya, walaupun bisa dibedakan,
tetapi tidak bisa dipisahkan dalam realitas proses pelaksanaan dakwah. Unsur
dakwah ini menurut Abd al Hamîd bin Bâdîs disebut arkân al-dawah.45

1. Mawdhu’ Dakwah: Hakikat dan Karakteristik Islam

Posisi Islam dalam struktur sistem dakwah merupakan komponen maudhû

dakwah, yakni pesan, bahan, dan materi ajaran yang didakwahkan oleh dâ i

kepada madu dengan metode tertentu dan melalui media yang sesuai dengan

tuntutan situasi dan kondisi peristiwa-peristiwa proses pelaksanaan dakwah. 46


Berikut dikemukakan hakikat dan karakteristik Islam sebagai maudhû dakwah
menurut pemikiran Muhammad Abduh.

43
Lihat Ahmad Ahmad Ghalusy, al-Da wah al-Islâmiyyah: Ushûluhâ wa Wasâiluhâ
(Kairo: Dar al-Kitab al-Mishry, 1987), hlm. 33.
44
Lihat Jumah Amin Abd al-Aziz, al-Da wah al-Islâsmiyyah: Qawâ id wa Ushûl (Kairo: Dar
al-Dawah, 1999), hlm. 20-21.
45
Lihat Abd al Hamîd bin Bâdîs, Tafsîr bin Bâdis fi Majâlis al Tadzkîr Min Kalâm al
Hakîm al Khabîr, (Beirut: Dar al Fikr, 1979), hlm. 521-533. Prinsip struktur sistem dakwah ini
merupakan mafhum dari isyarat QS. Yûsuf:108 dan an-Nahl:125, yang menggambarkan proses
da wah islâmiyah dengan melibatkan semua unsurnya. Hal ini jika dibaca menurut pertanyaan
paradifmatik dari Lasweels Model sebagaimana dikutip oleh Onong Ukhyana Effendi, merupakan
jawaban dari: Siapa Mengatakan apa Melalui Saluran Apa kepada Siapa dengan Efek Apa (Who
Say What in Wich Chanel to Whom What Effect). Lihat Onong Ukhyana Effendi, Ilmu, Teori dan
Filsafat Komunikasi (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm.253.
46
Hal ini sebagaimana diyakini oleh Abd al-karim Zaydan bahwa

dalam karyanya Ushûl al-Da wah (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2001), hlm. 5.
85

a. Hakikat Islam
Muhammad Abduh berpendapat bahwa Islam adalah al-dîn (agama) yang
dibawa oleh semua nabi Allah sebagai bukti kebaikan Allah kepada al-basyar
(manusia sebagai makhluk sosial). Inti agama adalah tata aturan hidup yang sesuai
dengan kebutuhan hidup manusia baik ruhaniyah maupun jasadiyah. Muhammad
Abduh percaya bahwa, agama merupakan karya Tuhan sebagai perwujudan
kebaikan-Nya terhadap manusia. Ia diwahyukan melalui salah seorang nabi di
antara mereka yang bukan merupakan usaha dan perbuatannya bahkan ia tidak
bisa meraihnya dengan cara mendalami atau mempelajarinya (ia tiada lain kecuali
wahyu yang diturunkan). 47 Atas pendapatnya ini Muhammad Abduh bersrgumen
bahwa, “Sesungguhnya agama (al-dîn) yang benar menurut Allah adalah Islam.”
Islam di sini mencakup seluruh agama yang dibawa oleh para nabi karena Islam
merupakan substansinya yang bersifat universal dan bersesuaian meski bentuk-
bentuk kewajiban dan kegiatannya berbeda-beda. Para nabi, seluruhnya,
menyerukan dan mewasiatkan Islam.48
Dalam pernyataan tentang hakikat dîn Islam tersebut, Muhammad Abduh
tidak menjelaskan dari sudut etimologisnya, tetapi berupa ungkapan yang
menguraikan kedudukan dîn Islam bagi manusia dan kehadiran dîn Islam bukan
ciptaan para nabi Allah, sebagaimana dituduhkan oleh para penentang dakwah
para nabi Allah. Oleh karenanya, Rasyid Ridha memberikan penjelasan
etimologis dîn Islam ketika mengomentari penjelasan gurunya, menurutnya
bahwa, agama secara etimologis adalah balasan, kepatuhan, ketundukan atau
sebab adanya balasan. Para ulama berpendapat bahwa apa yang menjadi
kewajiban manusia disebut syariat dari sisi peletakan dan penjelasannya, disebut
dîn (agama) dari segi ketundukan dan ketaatan terhadap pembuat syariat, dan

disebut millah dari segi kewajiban-kewajiban secara umum. Kata „islâm

merupakan bentuk mashdar dari kata „aslama yang bermakna tunduk dan

47
Al-Manâr, jld. II, hlm. 69. Abduh mengacu antara lain pada Q.S. al-Najm (53):4, ayat ini
mengenai apa yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW adalah wahyu Allah SWT, dan al-
Baqarah (2): 165 dalam menjelaskan makna al-dîn, ayat ini mengenai bagian perilaku orang
beriman dan orang musyrik.
48
Al-Manâr, jld. III, hlm. 257. Dalam memahami dien Islam ini, Abduh mengacu pada Q.S.
Ali Imran (3):19, ayat ini mengenai Islam agama dari Allah.
86

berserah diri, juga bermakna „addâ (menunaikan) seperti dalam contoh ungkapan
berikut:“Saya menunaikan sesuatu kepada Si Fulan jika saya melaksanakannya,”

juga bermakna „dakhala (masuk) dalam kedamaian. Kata „islâm dengan harakat
fathah atau kasrah bermakna kebaikan dan keselamatan, serta gerakan yang bersih
dari sesuatu. 49
Kemudian, Muhammad Abduh mengemukakan dua macam sasaran utama
dîn Islam sebagai peraturan Allah bagi manusia, yaitu menurutnya bahwa, Allah
mensyariatkan agama untuk dua hal pokok, yaitu:
Pertama, penyucian ruh dan pemurnian akal dari keyakinan-keyakinan
menyimpang dengan kekuatan gaib bagi segenap makhluk dan kemampuannya
untuk berperilaku di alam ini guna penyelamatan dari ketundukan dan
penyembahan kepada sesama makhluk atau yang lebih rendah lagi dalam hal
kapasitas dan kesempurnaannya; dan
Kedua, memperbaiki hati dengan tujuan yang baik dalam berbagai
kegiatan dan memurnikan niat karena Allah bukan karena manusia. Ketika dua
tujuan ini terwujud, terlepaslah fithrah dari ikatan-ikatan yang mengungkungnya
sehingga tidak bisa sampai pada kesempurnaan secara individual dan komunal.

Lagipula, kedua hal ini merupakan substansi maksud dari kata „islâm. Adapun
kegiatan-kegiatan ibadah disyariatkan guna mendidik ruh perintah ini terhadap
ruh penciptaan. Oleh karena itu, dipersyaratkan adanya niat dan keikhlasan. Sekali
terdidik dengan baik, mudahlah bagi pemiliknya untuk menunaikan segala
kewajiban moral dan keadaban yang dengannya ia sampai pada „al-madinah al-
fadhilah dan perwujudan cita-cita kaum bijak. 50
Dari penjelasan Muhammad Abduh tentang hakikat Islam dari segi status
keberadaan dan sasarannya, terdapat beberapa dimensi utama yang terkandung
dalam hakikat Islam yang mencirikan keberadaannya, yaitu: (1) peraturan buatan

49
Al-Manâr, jld. III, hlm. 257. Makna etimologis ini, lebih lanjut, bandingkan dengan Abd
al-Wadud Yusuf, Tafsîr al-Mu minîn (Beirut: Dâr al-Fikr, 1960), hlm. 40-41, dan Khalid Abd al-
Rahman al-„Ak, Shafwah al-Bayân li Ma âni al-Qurân al-Karîm (Beirut: Dâr al-Salam, 1994),
hlm. 52.
50
Al-Manâr, jld. III, hlm. 257-258. Penjelasan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Ali
Imran (3):18, ayat ini mengenai pelaku syahadah ilahiyah; Allah, malaikat dan ilmuwan.
87

Allah SWT.,51 (2) bukti kebaikan Allah kepada manusia sebagai makhluk sosial,
(3) berlaku universal bagi semua nabi Allah, (4) penjernihan jiwa dari
kemusyrikan dan penyelamatan akal dari kejumudan, (5) perbaikan hati dengan
menempatkan tujuan dan tekad yang tulus karena Allah SWT semata dalam
semua tindakan pengamalan ajaran, (6) mendidik jiwa dengan beribadah kepada
Allah yang berhak diibadati, dan (7) peradaban terlahir dari perilaku keruhanian
manusia dalam menjalankan ajaran.52
Menurut Muhammad Abduh, Islam memiliki tiga macam asas utama yang
mencirikan universalitas inti ajarannya yang dibawa oleh para nabi Allah dan para
rasul-Nya. Dan siapa saja yang mengingkari dan meninggalkan tiga asas utama
ini, maka ia dihukumi sebagai murtad, yakni orang yang keluar dari status sebagai
Muslim dan kembali menjadi non-Muslim. Mengenai tiga macam asas utama
Islam, Muhammad Abduh menyatakan bahwa, keluar dari Islam (murtad) adalah
keluar dari tiga asasnya yang fundamental, yakni: (1) keimanan bahwa alam raya
yang sempurna ini merupakan kesatuan tatanan-Nya dan kecermatan ketentuan-
Nya. Ia merupakan Tuan (Rabb) dan Tuhan (Ilâh) yang menciptakannya dan
menyempurnakannya dengan kekuasaan-Nya dan hikmah-Nya tanpa pembantu
dan perantara. Tidak ada kekuatan lain yang bisa mengutak-atik alam kecuali
orang yang mendapat petunjuk-Nya dengan memunculkan sunnah-sunnah-Nya
pada berbagai sesab atau yang disebabkan. Maka haruslah mereka menyembah
Allah saja dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Prinsip ini
merupakan puncak pemikiran akal manusia dalam berkeyakinan dan
membersihkan diri dari beragam khurafat dan pikiran sesat; (2) keimanan
terhadap alam gaib dan kehidupan akhirat. Keimanan ini merupakan salah satu
rukun prestasi keluhuran diri manusia yang tidak bisa mencapai alam itu kecuali

51
Pengertian dîn Islam sebagai peraturan buatan Tuhan digunakan oleh Said bin
Muhammad Basyan. Ia menulis:
dalam karyanya Busyrâ al-Karîm bi Syarh Masâil al-Ta lîm (Jeddah, Al-Haramayn, tt.), hlm. 4.
52
Bandingkan dengan Khurshid Ahmad, Pesan Islam, terj. Islam: Its Meaning and
Message, oleh Ahsin Mohammad (Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1983), hlm. 326-
327, tentang esensi Islam, dan Khurshid Ahmad dkk., Islam Sifat, Prinsip Dasar dan Menuju
Kebenaran, terj. The Islamic Foundation, oleh A. Nashir Budiman (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1995).
88

kesempurnaan dan kesadaran bahwa keberadaan mereka lebih sempurna dan lebih
kekal ketimbang apa yang dapat mereka perkirakan; dan (3) amal saleh yang
membawa manfaat bagi pelakunya dan sekalian manusia.53
Maka ketiga prinsip utama yang dibawa oleh setiap nabi dan rasul ini tidak
ada manusia yang meninggalkannya setelah mengetahuinya dan mengambilnya
kecuali akan terjerembab ke dalam kenistaan. Ia tidak akan memperoleh
kesempurnaan apapun di dunia dan akhirat, malahan termasuk orang berjiwa
kotor dan memiliki ruh yang gelap yang tidak memiliki tempat di akhirat kecuali
ruang kenistaan dan kehinaan.54
Dalam pernyataan Muhammad Abduh tersebut, dapat dipahami bahwa,
kecerdasan akal dan kejernihan jiwa manusia merupakan akibat dari
merealisasikan tiga pilar dan asas utama agama Islam, dan sebaliknya, manusia
akan menjadi nista, hina, dan rugi jika meninggalkan tiga pilar dan asas utama
agama Islam ini, yaitu: (1) keimanan akan adanya Allah SWT. Pencipta semesta
alam dan segala hukumnya, (2) keimanan akan adanya alam gaib dan kehidupan
akhirat, dan (3) amal saleh yang bermanfaat bagi pelakunya dan orang lain.55
Tiga asas utama agama Islam yang diyakini Muhammad Abduh
menunjukkan adanya integrasi antara penggunaan akal dalam memahami hukum-
hukum alam, di satu sisi, dan, di sisi lain, penguatan hati dalam meyakini hukum-
hukum dalam ajaran agama Islam yang mengatur kehidupan alam manusia.
Pemikirannya ini menyiratkan adanya pengaruh dari pemikiran-pemikiran
sebelumnya yang pernah ia pelajari. Misalnya, pemikiran Ibn Rusyd (1126-
1198M) yang terlebih dahulu telah melakukan hal yang sama. 56

53
Al-Manâr, jld. II, hlm. 318-319. Penjelasan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-
Baqarah (2):217, ayat ini mengenai ketentuan peperangan di jalan Allah dan konsekuensi orang
murtad dan kafir. Tawhid Allah merupakan puncak pemikiran akal manusia dalam pandangan
Abduh ini, lebih lanjut bandingkan dengan Abul Qasim al-Khuli, Menuju Islam Rasional: Sebuah
Pilihan Memahami Islam, terj. Rationality of Islam, oleh Dede Azwar N. (Jakarta: Hawra
Publisher, 2003).
54
Al-Manâr, jld. II, hlm. 319.
55
Tiga pilar dan asas utama Islam ini bagi Waqar Ahmed Husaini merupakan tritunggal
kaum muslimin dalam mengembangkan syariat Islam. Lihat karyanya Sistem Pembinaan
Masyarakat Islam, terj. Environmental Systems Engineering, oleh Anas Mahyuddin (Bandung:
Pustaka ITB, 1983), hlm. 78-79.
56
Lihat Abu al-Walid bin Rusyd, Fashl al-maqâl fî mâ bayn al-Hikmah wa al-Syariah min
al-Ittishâl (Mesir: Dâr al-maarif, 1969), hlm. 22-23.
89

Dalam proses dakwah, inti ajaran Islam yang dijadikan materi dakwah
bagi seluruh umat manusia, menurut Muhammad Abduh terdapat empat macam,
hal ini dikemukakan ketika menafsirkan Q.S. al-Bâqarah (2): 21, yaitu (1) tawhid
ulûhiyyah dengan menyembah Allah sendiri serta memperhatikan tawhid
rubûbiyyah; (2) Al-Qurân sebagai ayat-Nya yang agung dan agama-Nya yang
terperinci; (3) kenabian Muhammad SAW. yang diutus dengan membawa Al-
Qurân ini, dan (4) balasan di akhirat atas kekufuran dan tindakan-tindakan yang
mengikutinya dengan neraka dan terhadap keimanan dan tindak-tanduk yang
mengikutinya dengan balasan surga.57
Mengenai bidang akidah sebagai materi dakwah tersebut telah dikupas
secara rinci dalam karya Muhammad Abduh Risâlah Tawhîd.

b. Karakteristik Islam
Karakteristik Islam dimaksudkan sebagai sifat khas dan prinsip-prinsip
yang dimiliki Islam yang dengannya ia berbeda dengan yang non_Islam. Berikut
dikemukakan beberapa sifat khas Islam menurut pandangan Muhammad Abduh.
Pertama, Islam merupakan dîn al-fithrah (agama fitrah). Prinsip ini
dijelaskannya ketika Muhammad Abduh menafsirkan Q.S. al-Baqarah (2):138,
bahwa ayat ini mengisyaratkan bahwasanya dalam Islam tidak diperlukan upaya
membedakan seorang Muslim dari yang lainnya dengan kegiatan-kegiatan yang
dibuat-buat seperti salib dalam kasus Nasrani, misalnya. Apa yang menjadi
identitas seorang Muslim adalah apa yang disematkan oleh Allah dalam dirinya
berupa fithrah lurus yang mewujud dalam bentuk keikhlasan, cinta kebaikan,
keseimbangan, dan niat baik. Sesungguhnya, dalam tradisi Al-Qurân, Islam itu
merupakan agama seluruh nabi sebagaimana ia juga merupakan agama fithrah.58

57
Al-Manâr, jld. I, hlm. 183. Bandingkan dengan uraian mengenai empat pokok agama
Islam oleh Muhammad bin Shalih al-Utsamain, Syarah Tsalâtsah al-Ushûl (Ryadh: Dâr al-
Tsuraya, 1994), hlm. 12-15.
58
Al-Manâr, jld. I, hlm. 486 dan Al-Manâr, jld. IV, hlm. 348. Ketika menafsirkan QS. Al-
Rum (30):30, al-Sadi menjelaskan hakikat fitrah sebagaimana ia menulis:
90

Kedua, Islam merupakan agama ummah wasathâ (umat siger-tengah).


Prinsip ini dijelaskan Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah
(2):143. Menurutnya bahwa bagi umat Islam, Allah telah menghimpun dalam
aspek agamanya dua kebenaran yakni kebenaran ruh dan jasad. Maka Islam itu
bersifat ruhani dan jasmani. Bahkan jika mau, saya berpendapat bahwa
masyarakat Islam itu diberi seluruh hak kemanusiaan. Manusia itu terdiri atas
jasad dan ruh, hewan dan malaikat. Maka seolah-olah Allah berfirman: “Kami
menjadikan kamu sekalian sebagai umat pertengahan.” 59
Ketiga, Islam merupakan agama keadilan dalam semua aspek kehidupan
baik ruhaniyah maupun jasadiyah. Prinsip ini dijelaskan Muhammad Abduh
ketika menafsirkan Q.S. Ali Imran (3):19, bahwa Allah SWT memberikan
persaksian semacam itu seraya tegak dalam keadilan karena Dia Maha Adil dalam
hal agama, syariat, dalam hal alam dan kealaman. Termasuk di antara yang
pertama adalah penetapan keadilan dalam akidah seperti tawhid yang merupakan
titik-tengah antara anti-tuhan dan kemusyrikan. Termasuk di antara yang kedua
adalah hukum-hukum penciptaan dalam alam raya dan manusia yang
menunjukkan hakikat akidah yang tegak di atas asas keadilan. Maka siapa saja
yang melihat pada hukum-hukum tersebut dan tatanannya yang detail, akan
tampaklah baginya keadilan universal Allah. Menegakkan keadilan semacam ini

merupakan sinyal terhadap bukti akan kebenaran persaksian Allah Taala dalam
makhluk hidup dan alam raya, karena kesatuan organisasi dalam keadilan tersebut
menunjukkan kesatuan penciptanya. Hal ini membantah penafsiran sebagian
mufasir atas maksud persaksian yang dipahami sebagai wujud persaksian itu

Abd al-Rahman bn Nâshir al-Sadi, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân
(Riyadh: Maktabah al-Rusyd, 2001), hlm. 641. Selanjutnya al-Sadi dab Taysîr.
59
Al-Manâr, jld. II, hlm. 4-5. Selain ummah wasathâ, karakteristik Islam bagi Yusuf
Qaradhawi adalah Robbâniyyah (ketuhanan), insâniyyah (kemanusiaan), syumûl (universal),
waqi iyyah (kontekstual), wudhûh (jelas), thathawwur wa tsabât (integrasi antara transformasi dan
konsistensi). Selanjutnya lihat Yusuf Qaradhawi, Karakteristik Islam Kajian Analitik, terj. Al-
Khashâish al-„Âmmah lî al-Islâm, oleh Rofi Munawwar,Lc. dan Tajuddin (Surabaya: Risalah
Gusti, 1995), hlm. 1-241.
91

adalah penciptaan sesuatu yang menunjukkan keesaan berupa tanda-tanda alam


dan makhluk hidup.60
Muhammad Abduh percaya bahwa, hukum-hukum Allah SWT. berkenaan
dengan ibadah, adab, dan berbagai amal diletakkan di atas dasar keadilan antara
kekuatan ruhani dan badani dan antara sesama manusia satu sama lain. Itulah
sebab mengapa Allah memerintahkan untuk dzikir dan syukur kepada-Nya dalam
salat dan ibadah lainnya guna meningkatkan kemuliaan ruh dan menyucikannya.
Allah juga membolehkan hal-hal yang baik dan perhiasan untuk memelihara
kesehatan badan dan mendidiknya. Allah juga melarang sikap ekstrem dalam
beragama dan berlebihan dalam hal duniawi. Itulah keadilan. Ini merupakan
bentuk keadilan dalam ibadah dan kegiatan duniawi. Adapun keadilan dalam hal
adab dan moral, amat jelas dalam Al-Qurân seperti jelasnya perintah adil dalam
pemutusan hukum. Allah berfirman “Sesungguhnya Allah memerintahkan
keadilan dan kebajikan...” (QS. 16:90) dan Dia juga berfirman: “Jika kamu
sekalian memutuskan hukum di tengah manusia, hendaknya memutuskan hukum
secara adil..” (QS. 4:58). 61
Keempat, Islam merupakan agama anti-kezaliman. Prinsip ini dijelaskan
oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah (2):258, bahwa yang
dimaksud dengan kezaliman dalam kasus ini adalah penyimpangan dari cahaya
ilahi yaitu cahaya akal yang menjadi pedoman operasional akal dalam jalan
agama. Maka siapa pun yang menzalimi dirinya dengan memadamkan lampu
tersebut lalu ia berjalan tertatih-tatih dalam kegelapan, maka ia tidak mendapat
petunjuk dalam perjalanannya menuju jalan lurus (al-shirât al-mustaqîm) yang
menghantarkannya kepada kebahagiaan. Alih-alih, ia tersesat dari jalan lurus
hingga ia binasa tak tentu tujuan. 62

60
Al-Manâr, jld. II, hlm. 256. Karakteristik Islam sebagai agama keadilan ini bis
dibandingkan dengan pendapat Sayid Quthb tentang ciri khusus citra Islam, lihat Sayid Quthb,
Ciri Khusus Citra Islam dan Landasannya, terj. Al-Khashâis al-„Âmmah li al-Islâm oleh Abu
Laila dan Muhammad Thahir, (Bandung:Pt. Al-Maarif, 1988), hlm. 63-287.
61
Al-Manâr, jld. III, hlm. 256.
62
Al-Manâr, jld. III, hlm. 47. Menurut al-Sadi, al-zhulm adalah:
(lawan dari keadilan dan ia mencakup kezaliman seseorang terhadap dirinya sendiri dengan
beragam kemaksiatan dan kemusyrikan, serta
92

Kelima, Islam merupakan agama yang mementingkan keseimbangan


mencari kebaikan duniawi dan ukhrawi. Prinsip ini dijelaskan oleh Muhammad
Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah (2):207, bahwa sesungguhnya Islam
mendorong kita untuk mencari kesenangan duniawi melalui cara-cara yang baik,
sebagaimana ia mendorong kita untuk mengejar kebahagiaan akhirat. Bahkan hal
itu diperkuat sedemikian rupa. Mencari kesenangan duniawi melalui berbagai
jalan yang baik yang disyariatkan dan fungsional tidaklah menghilangkan
keridhaan Allah SWT. Kita boleh menikmatinya secara halal sambil kita tetap
mendapat pahala dan ridha Allah SWT. 63
Keenam, Islam merupakan agama yang memberikan kebebasan memilih
dan tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam. Prinsip ini dijelaskan oleh
Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah (2):256, bahwa Allah
menjelaskan buat mereka bahwa pemaksaan itu terlarang dan bahwa pokok
dakwah Islam adalah menjelaskannya sehingga tampak jelas antara jalan terarah
dan jalan sesat dan bahwa manusia kemudian diberi kebebasan untuk menerima
atau tidak menerima seruan dakwah itu. 64
Ketujuh, Islam merupakan agama yang mencintai kedamaian dan
keamanan. Prinsip ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S.
Al-Nisa (4):86, bahwa ditetapkannya ucapan salam kaum Muslim adalah “salâm”
guna mensosialisasikan bahwa agama mereka merupakan agama kedamaian dan
keamanan dan bahwa mereka merupakan masyarakat pengusung kedamaian dan
cinta keselamatan. 65 Karakteristik Islam yang ketujuh ini sama dengan pendapat
Abdul Rozak Naufal, bahwa Islam mengajarkan cinta damai, cinta keamanan, dan
anti perbudakan, anti rasialisme dan sukuisme sebagai penyebab kekacauan dan
pertengkaran umat.66

kezaliman terhadap orang lain dalam hal darah, harta, dan kehormatan mereka). Al -Sadi, Taysîr,
hlm. 943.
63
Al-Manâr, jld. II, hlm. 256.
64
Al-Manâr, jld. III, hlm. 39.
65
Al-Manâr, jld. V, hlm. 311.
66
Selanjutnya lihat Abdul Rozak Naufal, al-Quran dan Masyarakat Modern, (Jakarta:
Mutiara, 1981), hlm. 22-43.
93

Kedelapan, Islam merupakan agama yang menjunjung tinggi persaudaraan


antarindividu dan sosial, dengan implementasi secara bertahap. Prinsip ini
dijelaskan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan Q.S. al-Baqarah (2):256
dan menghubungkannya pada Q.S. Al-Nur ayat 27, bahwa sesungguhnya Islam
merupakan agama semua orang. Di antara tujuannya adalah menebarkan
keluhuran adabnya dan keunggulan nilai-nilainya di tengah manusia meski
dengan cara bertahap. Islam mendekatkan satu manusia sama lain agar mereka
menjadi masyarakat manusia yang bersaudara. 67
Kesembilan, Islam merupakan agama yang mampu dilaksanakan, ringan
dan tidak sulit. Prinsip ini dijelaskan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan
Q.S. Al-Baqarah (2):286, bahwa “Allah tidak memberikan kewajiban kecuali
sesuai dengan kemampuan manusia”. Kemampuan adalah sesuatu yang manusia
mampu melakukannya tanpa susah-payah dan kesulitan. Maksudnya adalah

bahwa, sejatinya Allah dan sunnah-Nya berkaitan dengan pensyariatan agama,


Allah tidak membebani kepada hamba-hamba-Nya dengan tugas-tugas di luar
kemampuannya.68
Hakikat, sasaran, dan prinsip-prinsip Islam yang menjadi sifat khas yang
melekat dalam islam sebagai materi dan agama dakwah yang telah dikemukakan

oleh Muhammad Abduh mencakup aspek hikmah al-tasyrî, yakni tujuan, dan

nilai guna yang dikandung dalam syariat Islam sebagai agama samawi yang

universal. Sebab, hikmah al-tasyrî yang mencakup empat macam persoalan


pokok terdapat dalam pemikiran Muhammad Abduh, sebagaimana dikaji oleh Ali

Ahmad al-Jurjawi, menurutnya bahwa, seluruh syariat samawi tertuju pada empat
hal, yaitu: (1) mengenal, mengesakan, dan memuliakan Allah serta menyebut-Nya
dengan sifat-sifat kesempurnaan, sifat-sifat yang wajib bagi-Nya, sifat-sifat yang
mustahil bagi-Nya, dan sifat-sifat yang boleh bagi-Nya; (2) tata cara pelaksaan
ibadah kepada-Nya yang mencakup pengagungan terhadap-Nya, mensyukuri
nikmat-Nya yang tidak bisa kita menghitungnya “Jika kamu sekalian menghitung

67
Al-Manâr, jld. V, hlm. 313.
68
Al-Manâr, jld. III, hlm. 145. Prinsip ini dalam ushûl al-fiqh disebut “taqlîl al-takâlîf,”
“Adam al-haraj,” dan “al-tadarruj fî al-tasyrî.” Lihat Abd Wahab al-Khalaf, „Ilm Ushûl al-Fiqh
(Kairo: Maktabah al-Azhar, 1942), hlm. 64-68.
94

nikmat Allah, kalian tidak akan kuasa menghitungnya,”; (3) himbauan untuk

melakukan amar maruf nahy munkar berperangai dengan etika yang mulia, moral
yang bersih, dan nilai-nilai luhur yang mengangkat manusia ke berbagai martabat
kemuliaan dan keluhuran, seperti solidaritas menolong orang butuh, menjaga
tetangga, memegang teguh amanah, sabar, dan semacamnya, yang itu semua
merupakan nilai-nilai keunggulan yang agung; dan (4) memberi sangsi pelanggar
batas dengan legislasi undang-undang menyangkut relasi sosial sehingga
organisasi sosialnya tidak tercela dengan masalah stabilitas untuk melaksanakan
sang-sangsi tersebut (yang diabaikan pada aman sekarang) dan perangkat hukum
lainnya yang berkaitan dengan organisasi kehidupan mereka. Keempat hal ini
merupakan tujuan diturunkannya berbagai syariat agama samawi. 69

Selain memuat aspek hikmah tasyri, corak pemikiran Muhammad Abduh


dalam memahami hakikat, sasaran, dan prinsip-prinsip Islam memuat pilar-pilar
modernisme Islam (tajdîd). Hal ini dipahami dari pemikiran Muhammad Abduh
yang didalamnya terdapat ciri kemodernisan, yaitu bahwa, manusia hendaknya
menguasai alam, tidak dikuasai alam, dengan menggunakan nalar dalam
memahami hukum alam dan hukum kehidupan manusia. Hal ini dimaksudkan
untuk mewujudkan keadilan dalam semua aspek kehidupan dan menyadari akan
kezaliman sebagai penyebab kegagalan sistem sosial kehidupan manusia dalam
sejarah kehidupan manusia.70
Selain itu, apa yang menjadi karakteristik Islam sebagai pesan dakwah

membuat imbauan pesan yang dapat memenuhi kebutuhan madunya, baik


imabauan rasional, emosional, rasa takut, ganjaran dan motivasional.71

69
Lihat Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyrî  wa Falsafatuh (Beirut: Dar al-Fikr, tt.),
hlm. 7.
70
Selanjutnya, mengenai corak pemikiran modern ini, lihat Hasan Hanafi, Oposisi Pasca
Tradisi, terj. Humûm al-Fikr al-Wathan, oleh Khairan Nahdiyyin (Yogyakarta: Syarikat Indonesia,
2003), hlm. 90-91, dan Gustave E. Von Grunebaum, Islam Kesatuan dalam Keragaman, terj.
Unity and variety in Muslim Civilization, oleh Effendi N. Yahya (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan,
1983), hlm. 274-394 dan Azim Nanji (ed.), Peta Studi Islam Orientalisme dan Arah Baru Kajian
Islam di Barat, terj. Mapping Islamic Studies: Genealogy, Continuity, and Change, oleh
Muamirotun (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), hlm. 325-327.
71
Selanjutnya lihat Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remadja
Rosdakarya, 1994), hlm. 297.
95

Mengenai pesan dakwah bagi madu yang sudah beragama Islam, yang
disebut ummah al-ijâbah, menurut Rasyid Ridha bahwa, hukum-hukum syariat
yang bersifat praktis, baik yang berhubungan dengan masalah ibadah maupun

yang berhubungan dengan masalah muamalah menjadi materi dakwah dalam


rangka pembentukan umat. Hal ini sebagaimana terkandung dalam Q.S. al-
Bâqarah yang ringkasannya menurut Rasyid Ridha, yaitu: (1) menegakkan shalat
dan menunaikan zakat, yang bagi para pelakunya memperoleh pujian (ayat 3,
110); (2) pengharaman sihir sebagai fitnah dan kekufuran; (3) hukum-hukum
qishas dan hikmahnya bagi para pelakunya (ayat 178, 179); (4) ketentuan wasiat
bagi kedua orang tua dan para kerabat (ayat 181, 182); (5) hukum-hukum shaum
dan perinciannya (183-187); (6) pengharaman memakan harta manusia dengan
cara yang batal dan ketentuan hukum bagi pelanggarnya (ayat 188); (7) fungsi-
fungsi bulan untuk pelaksanaan agama, seperti waktu untuk shaum, haji, dan
ketentuan „iddah (189); (8) ketentuan-ketentuan perang sebagai upaya
membentengi dan melindungi agama, (ayat 190-195, 216-218, dan 224-252) ; (9)
perintah untuk mendayagunakan harta di jalan Allah dengan segala fungsi-
fungsinya (ayat 195, 254, dan 196-203); (10) ketentuan hukum haji dan umrah
(ayat 196-203); (11) ketentuan pendayagunaan harta bagi orang-orang yang
berhak memperolehnya (ayat 215, 219, dan 273); (12) pengharaman minuman
keras dan judi (ayat 219); (13) ketentuan pemeliharaan anak yatim (ayat 220);
(14) pengharaman terhadap mukmin laki-laki menikahi wanita-wanita musyrik
dan perempuan muslimat dinikahi orang-orang musyrik (ayat 221); (15)
pengharaman bersetubuh bagi suami istri yang istrinya sedang haid (ayat 222,
223); (16) ketentuan hukum bersumpah atas nama Allah (ayat 224,225); (17)
ketentuan hukum al-„ilâ (bersumpah tidak akan mencampuri isteri) (ayat
226,227); (18) ketentuan hukum yang berkaitan dengan kehidupan suami isteri
(ayat 228-237 dan 241); (19) ketentuan hukum riba dan bahayanya (ayat 275-

280); (20) ketentuan agama mengenai persaksian dalam muamalah (ayat 282 dan

283); (21) ketentuan hukum amalia berdoa kepada Allah sebagai akhir dari surat
al-Bâqarah.72

72
Al-Manâr, jld. I, hlm. 109-110.
96

Macam-macam hukum syariat Islam tersebut menjadi bagian dari objek

kajian dakwah yang memfokuskan pada unsur maudhu dakwah dan disiplin ilmu
yang mempelajarinya adalah fikih dan ushul fikih. Dalam ilmu dakwah dua
macam disiplin ilmu ini termasuk dasar-dasar teoritik materi dakwah.

2. Da’i dan Mad’u: Hakikat, Karakteristik Manusia dan Umat


Manusia dan umat dalam rukun dakwah merupakan bagian dari komponen

dakwah yang kepadanya taklîf syariat Islam diperuntukkan, baik sebagai dâ i

maupun sebagai madu.73 Oleh karenanya, maka uraian mengenai hakikat


manusia, menurut Muhammad Abduh, dibatasi pada keberadaan manusia sebagai
mukallaf dakwah yang memiliki potensi nafs, dan dari nafs inilah terjadinya
perilaku manusia dalam kehidupan beragama. Sebab, Muhammad Abduh percaya
bahwa manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki kemampuan berpikir
melalui penalaran (al-hay al-nâthiq) maju-mundurnya kualitas kehidupannya
bergantung kepada proses perubahan nafs yang dimilikinya, ke arah mana
perubahan itu ditujukan dan berangkat dari pengaruh apa perubahan itu terjadi.

Pandangan Muhammad Abduh diistinbâth dari QS. Al-Radu: 11 dan Qs, al-
Anfal:53. Walaupun tidak menyebutkannya, terhadap ayat ini Muhammad Abduh
berpandangan bahwa, sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada pada
masyarakat berupa kenikmatan kecuali mereka mengubah sendiri apa yang ada
pada nafs mereka, sehingga hal ini mengakibatkan perubahan pada kegiatan-
kegiatan mereka. 74
Berikut beberapa pandangan Muhammad Abduh mengenai hakikat
manusia dan umat.

a. Hakikat Manusia
Muhammad Abduh mengakui bahwa manusia merupakan bagian dari alam
ciptaan Allah SWT. Keberadaan manusia terdiri dari kesatuan jasad (fisik, badan

73
Lihat Abd al-karîm Zaidan, Ushûl al-Da wah, hlm. 5-6.
74
Lebih lanjut lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 54 dan 164 mengenai taghyîr anfûs, dan
Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 142-144 tentang hubungan fungsi
qolam dalam memperoleh ilmu bagi manusia sebagai al-hay al-nâthiq.
97

kasar) dan ruh (nonfisik, badan halus). Ia dilengkapi dengan macam-macam


hidayah dan alat kehidupan sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.
Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa,
sesungguhnya manusia itu merupakan perpaduan jasad dan ruh, hewan dan

malaikat.75 Sementara itu, kata „al-nâs merupakan nama bagi jenis manusia.

Menurut suatu pendapat, kata tersebut berasal dari kata „unâs, lalu dibuang

hamzahnya ketika ditambahkan padanya alif dan lâm.76


Lalu Muhammad Abduh menegaskan bahwa, telah diciptakan untuk
manusia sejumlah indera untuk merasakan berbagai hal dan akal sebagai petunjuk
terhadap apa yang dirasakan oleh indera. Allah menggelar bagi manusia sejumlah
hukum agama dan tuntunan moral yang tidak terjangkau oleh kapasitas akal
mereka guna hidup secara terarah dan terpelihara kemaslahatannya dari
kemungkinan buruk dan memperkuatnya dengan janji dan ancaman. Maka,
siapapun yang kemudian terjebak ke dalam hal-hal buruk yang membahayakan
dan menyakiti dirinya, sehingga akibatnya, ia mendapat sangsinya, ia termasuk
orang yang mezalimi dirinya karena Allah tidak pernah menzalimi siapapun. 77
Dalam pandangan Muhammad Abduh tersebut, Ia menyebutkan unsur
jisim (fisik, badan kasar), ruh (nonfisik, badan halus), hayawan (hewan), dan
malak (malaikat) sebagai esensi manusia. Sedangkan dalam ungkapan ketiga,
Muhammad Abduh menyebutkan kelengkapan keberadaan manusia berupa
hidayah hawasi (pancaindera), hidayah akal dan hidayah al-dîn (agama) yang
membimbing penggunaan indera dan akal dalam menjalankan tugas hidup
kemanusiaan.

75
Al-Manâr, jld. II, hlm. 4-5. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Baqarah
(2):143, ayat ini mengenai fungsi Rasul dan umatnya menjadi saksi kebenarannya bagi manusia.
76
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 322. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Nisa
(4):1. Al-Qurân menggunakan term al-nâs sebanyak 240 kali, al-insân 65 kali, ins 18 kali, unâs 5
kali dan basyar 36 kali, yang dalam tradisi tafsir dipandang sebagai kata-kata yang sinonim untuk
menunjuk makhluk hidup berakal yang tidak buas dan sebagai makhluk sosial. Lebih lanjut lihat
Aisyah Abdurrahman, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Al-Qurân, terj. Maqâl fî al-Insân, oleh
M. Adib al-Arief (Yogyakarta: 1997), hlm. 7-22 dan Muhammad Fuad Abd al-Baqi, al-Mu jam
al-Mufahras lî Alfâzh al-Qurân al-Karîm (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-„Arabi, 1995), hlm. 12-21,
93-94, dan 726-729.
77
Al-Manâr, jld. V, hlm. 106. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Nisa
(4):40, ayat ini mengenai sifat adil Allah ang tidak mendzalimi hamba-Nya.
98

Jisim (fisik) atau jasad manusia terdiri dari jutaan jenis sel dan berbagai
macam benda mati. Sel-sel itu adalah makhluk hidup. Gerak-gerik dan kegiatan
sel sebagai makhluk hidup yang tunduk kepada sunnah Allah SWT (hukum yang
mengatur gerak alam ciptaan-Nya).78
Ruh (badan halus) berupa ether yang sejati hakikatnya merupakan urusan
Allah SWT. Ruh adalah makhluk hidup ciptaan-Nya. Ketika ruh menyatu dengan
jasad, manusia menjadi hidup di alam dunia. Hidup itu sendiri dicirikan dengan
gerak, tidak diam. Mengenai ruh ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa, ruh
merupakan jisim halus (ether) dalam bentuk jasad bentukan yang merupakan
unsur pembentuk manusia di dunia. Melalui perantaraan jisim ether tersebut ruh
bersemayam dalam jasad material ini. Jika seseorang mati dan ruhnya keluar, ruh
itu keluar bersama jisim ether dan tetap bersamanya. Ia merupakan jisim yang
tidak berubah, tidak berganti, dan tidak bersulih. Adapun jisim terindera ini, ia
bisa berpindah dan berganti pada setiap sekian tahun. 79
Ruh (badan halus atau soul) dipakai untuk keadaan ruh belum bersatu
dengan jasad. Apabila persatuan telah nyata, ini disebut nafs atau jiwa. Nafs inilah
pada gilirannya menjadi pendorong terjadi sikap dan perilaku manusia.80 Ruh itu
juga merupakan sesuatu yang substantif serta responsif, sesuatu yang berdiri
sendiri, yang hidup dan menghidupi, sesuatu yang mempertanggungjawabkan
semua perbuatan manusia di hadapan Allah SWT di alam akhirat. Hidup
merupakan sifat-keadaan yang diciptakan oleh Allah Maha Pencipta menurut
kehendak-Nya.81
Muhammad Abduh meyakini bahwa makhluk hidup itu terdapat dua
bagian. Pertama, al-hayâh al-hissiyyah (hidup inderawi) yang dimiliki tumbuh-
tumbuhan (nabatât) dan hewan (hayawânât), baik hewan ternak dan semacamnya,

maupun manusia dari segi jasadiahnya. Kedua, al-hayâh al-manawiyyah (hidup

78
Lihat Muhammad al-Sayid Arnûth, al-Ijâz al-„Ilmî fî al-Qurân al-Karîm (Kairo:
Madbuly, 1989), hlm. 231-233 dan Zuardin Azzaino, Asas-asas Psikologi Ilahiah: Sistem
Mekanisme Hubungan Roh dan Jasad (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1990), hlm. 3.
79
Al-Manâr, jld. II, hlm. 38-39. Pendapat Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Baqarah
(2):154, ayat ini mengenai ruh para syuhada yng tetap hidup.
80
Lihat Syafaat, Pengantar Studi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1964), hlm. 32-33.
81
Lihat S. Komarulhadi, Insan Dilihat dari Beberapa Dimensi (Sala: PTDI, 1975), hlm. 79.
99

maknawi atau immateri) yang terdiri dari tiga macam, yaitu al-hayâh al-„aqliyyah
(kehidupan rasional), al-hayâh al-„ilmiyyah (kehidupan ilmiah), dan al-hayâh al-
rûhiyyah al-dîniyyah (kehidupan pembangkit keagamaan). Tiga macam hidup
yang terakhir ini dimiliki oleh manusia yang karenanya manusia memiliki daya
mengetahui („ilm), berkehendak (irâdah), daya mampu (al-qudrah), daya
mendengar (al-samu), daya melihat (al-bashar), dan saya berbicara (al-kalâm).82
Kemudian, Allah SWT memberikan hidayah sebagai kelengkapan hidup
kepada manusia. Hidayah secara etimologis diartikan oleh Muhammad Abduh
sebagai dilâlah, yaitu menurut bahasa berarti dilâlah (memberi petunjuk) secara
lemah lembut terhadap sesuatu yang mengantarkan pada suatu yang diinginkan.83
Kemudian, sejalan dengan arti etimologisnya sebagaimana disebut di atas,
menurut Muhammad Abduh, terdapat lima macam hidayah yang diberikan kepada
manusia dan hewan, sebagian ada yang hanya diberikan kepada manusia secara
khusus sebagai pembeda dari yang bukan manusia. Berikut penjelasan kelima
macam hidayah dimaksud.
Pertama, hidâyah al-wijdân al-thabîî wa al-ilhâm al-fithrî (hidayah
perasaan hati instinktif dan inspirasi naluri). Hidayah ini diberikan kepada
manusia sejak kelahirannya berupa instink, misalnya menangis karena lapar dan
sakit. Hal ini tidak pernah diajarkan oleh kedua orang tuanya. Semua hewan yang
84
hidup diberi hidayah ini oleh Allah SWT. Ahmad Musthafa al-Maraghi
berpendapat sama dengan Muhammad Abduh mengenai hidayah yang pertama ini
dan menyebutnya dengan hidayah ilham.85

Kedua, hidâyah al-hawâs wa al-masyâir (hidayah indera dan emosi).


Hidayah ini berupa potensi kognitif indera lahir, yaitu pendengaran (telinga),
penglihatan (mata), penciuman (hidung), perasa (lidah), dan peraba (kulit).

82
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 73-74. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-
Fatihah:1.
83
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 62. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-
Fatihah: 6.
84
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 62-63.
85
Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jld.I., (Beirut: Dar al-Fikr, tt)
hlm. 35. Ali Muhammad Hasan al-Amâri menyebutnya sebagai hidayah gharizah, lihat karyanya
al-Qurân wa al-Thabâ iât al-Nafsiyyah, (Riyadh:al-Lajnah Âmmah li al-Quraân wa al-Sunnah,
1966), hlm. 22.
100

Hidayah ini juga diberikan oleh Allah SWT. , selain kepada manusia, juga kepada
hewan yang hidup selain manusia yang pertumbuhannya lebih cepat ketimbang
manusia, sebab bagi manusia berlaku prinsip tadarruj (berangsur-angsur).86
Ketiga, hidâyah al-„aql (hidayah akal). Bagi manusia sebagai makhluk
sosial (al-basyar) tidak cukup dengan hidayah instink dan potensi inderawi,
karena dua macam hidayah ini sering melakukan kesalahan kognitif dalam
mengetahui obyek. Keduanya terbatas tidak mampu membuat analisis dan
generalisasi keragaman obyek tahu dalam kehidupan sosial. Oleh karenanya,
diberikan hidayah akal yang mampu memahami, mengerti, membetulkan
kesalahan dan menunjukkan seba-sebab terjadinya kesalahan yang dialami oleh
potensi instink dan potensi hawasi. Akal ini hanya diberikan kepada manusia
tidak kepada hewan. Dengan akal ini manusia memiliki kebebasan berkehendak
dan memilih sesuatu sikap dan tindakan terhadap obyek yang dihadapinya. 87 Ibn
Qayyim dan Muhammad Sulaiman al-Asyqâri berpendapat bahwa hidâyah al-dîn
hanya diberikan kepada manusia yang berakal, dan karena akal itulah manusia
menjadi objek taklif hidâyah al-dîn.88
Makna etimologis term 'aql sebagai bagian dari hidayah Allah berdasarkan
isyarat al-Quran yang semuanya menggunakan kata kerja mengandung makna

memahami, mengerti, dan merenungkan sesuatu secara mendalam segala ma qûl


(obyek yang dipahami). Menurut Sayid Abul Majd, al-Quran mengisyaratkan
term turunan dan sinonim kata-kata yang semakna dengan 'aql, yaitu: (1) al-fikr
(berpikir), (2) al-ra'y (berpendapat), (3) al-nazhar (memperhatikan), (4) tadabbur
(berpikir mendalam), (5) al-fiqh (memahami), (6) al-rusyd (kesadaran), (7) al-
dzikr (mengingat), (8) al-lub (kecerdasan), (9) al-nuhd (mengekang), (10) al-hijr
(mencegah), (11) al-qalb ("hati"), (12) al-fu'âd (sentuhan hati), (13) al-hikmah
(kebijakan), (14) al-burhân (argument demonstratif), (15) al-bayyinah (penyajian

86
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 63.
87
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 63.
88
Lihat Ibn Qayyim al-Jawzi, Tafsir al-Qayyim, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), hlm. 9 dan
Muhammad Sulaiman al-Asyqari, Zubdah al-Tafsîr, (Riyadh: Dâr al-Nafâis, 2004), hlm. 7.
101

penjelasan), dan (16) al-huda (petunjuk).89 Keanekaragaman makna akal ini


menunjukkan keragaman fungsi akal bagi pemiliknya, yang membedakan
kediriannya dari makhluk hidup lain yang tidak berakal dalam mengatasi berbagai
macam problem kehidupannya.90
Mufasir al-Zamakhsyari memaknai kata kerja 'aql dalam tafsirnya dengan
(1) menggunakan kecerdasan (tafathn), (2) memahami (fahm) (3) mengikat
pengertian (dhabath), (4) memikirkan secara mendalam (nazhar), (5) mengambil
pelajaran (i'tibâr), (6) mengetahui ('ilm).91 Tafsir ini menjadi salah satu rujukan
bagi Muhammad Abduh. Bagi al-Fairuzâbâdi, term-term yang dipilih bagi makna
kata kerja akal dalam tafsirnya adalah: (1) menyadari dalam hati atau kesadaran

hati (al-dzikri), (2) membenarkan (tashdiq), (3) mengetahui (ilm). dan


(memahami (fahm).92
Muhammad Abduh juga menjadikan Tafsir al-Jalalayn sebagai salah satu
acuannya ketika menjelaskan kosa kata dalam penafsiran term-term tertentu.
Imam al-Jalalayn menafsirkan makna kata kerja akal dengan: (1) memikirkan

secara mendalam (tadabbur), (2) mengetahui (ilm), (3) memahami (fahm) dan (4)

mempercayai (iman).93 Termasuk mufasir pengikut Muhammad Abduh, Ahmad


Musthafa al-Maraghi memaknai kata kerja akal dengan menggunakan makna: (1)
memahmi (faqh), (2) mengikat pengertian (dhabt), (3) memikirkan secara
mendalam (tadabbur), (4) memperhatikan (nazhar), (5) memahami (idrâk), dan
(6) membedakan (tamyîz).94

89
Lihat Sayid Abul Majd, "al-Malakat al-'Aqliyyah fl al-Qur'ân al-Karîm" dalam al-
Muhâdharah al-'Âmmah, (Mesir. Mathba'ah al-Azhar, 1960), hlm 80-81, dan Ibrahim Anis dkk.,
al-Mu'jam al-Washit, (Kairo: Dar al-Ma'arif, I960), hlm 616.
90
Lihat Hasan Muhammad Musa, Qâmus Qurâni (Kairo: Maktabah Khalil Ibrahim, 1966),
hlm. 343
91
Lihat Abu al-Qasim Jar al-Lah Mahmud ibn 'Amr al-Zamakhsyari al-Khawarizmi, al-
Kasyf 'an Haqâiq al-Tanzîl wa „Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta wîl, (Beirut: Dar al-Ma'arif, tt.),
hlm. 277, 289, 291, dan 326.
92
Lihal Abu Thahir Muhammad bin Ya'qub al-Fairuzabadi al-Sairazi, Tanwîr al-Miqbas min
Tafsîr Ibn 'Abbas, (Jedah: al-Haramayn, tt.), hlm. 7, 9, dan 18.
93
Lihat Jalal al-Din al-Mahally dan Jalal al-Din al-Suyuthy, Tafsir al-Qur'ân al-'Azhîm,
(Indonesia: Dâr Ihya al-Kutub al-'Arabiyah, tt.), hlm. 11, 23, dan 37.
94
Lihat Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tqfsir al-Marâghi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), jld. I,
hlm. 145, 149, dan jld II, hlm. 33-37. Mufasir Wahbah al-Juhaili mengikuti al-Maraghi memaknai
kata kerja akal ini dalam tafsirnya al-Tafsir al-Wajiz 'ala Hamisy al-Qurân al-'Azhîm, sebagai
ringkasan Tafsir al-Munîr karya yang sama tentang tafsir secara tahlîli.
102

Rumusan deskriptif hakikat akal yang dikemukakan oleh Muhammad

Abduh ketika menafsirkan ayat al-Quran yang memuat kata kerja aql dan term

al-albâb (term kata kerjaaql dan al-albâb terlampir dalam lampiran 3) menurut
pemahaman penulis, dapat dirumuskan menjadi 10 (sepuluh) macam rumusan,
yaitu sebagai berikut:
Pertama, akal adalah bagian dari hidayah Allah kepada manusia selain
hidayah indera eskternal (al-hawâs al-zhâhirah) kesadaran hati (wijdân), dan
agama (al-dîn). Dengan hidayah-hidayah ini manusia dapat meningkatkan kualitas
kehidupannya secara berangsur-angsur (tadarruj).95
Dalam rumuan pertama ini, Muhammad Abduh memposisikan akal
sebagai salah satu hidayah Allah kepada manusia. Dengan hidayah akal ini
manusia menjadi mukallqf dari hidayah al-dîn (tata aturan hidup dan kehidupan
manusia). Empat macam hidayah ini merupakan sistem yang mendasari aktivitas
manusia dalam mengetahui sesuatu yang menjadi obyek tahu yang akan
mengantarkan kepada kebenaran yang sebenarnya. Sebab, hidayah memiliki
muatan makna bayân (penjelasan), dilâlah (proses pemahaman), tawfîq
(penyesuaian dan mencocokkan), dan ilhâm (intuisi kognitif) atas segala sesuatu
yang menjadi obyek penalaran sebagai aktivitas potensi akal. Hakikat hidayah ini
merupakan bagian dari muatan maknanya yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim al-
Jawzi.96
Pancaindera memiliki kemampuan mencerap obyek tahu, dan melalui
jendela pancaindera ini makna-makna obyek tahu itu diabstraksikan oleh akal,
kemudian diendapkan dalam memori sebagai makna sesuatu yang diketahui
melalui fungsi kesadaran hati (wijdân). Said Syekh menjelaskan term wijdân ini
sebagai "kognisi-kognisi intuitif, yaitu pemahaman melalui indera-indera dalam
(al-hawâs al-bâthinah) tentang makna-makna dan signifikasi-signifikasi berbagai
benda.97

95
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:44, lihat al-Manar, jld. I, hlm.288.
96
Lihat Ibn Qayyim al-Jawzi, al-Tafsîr al-Qayyim, (Libanon: Dar al-Fikr, 1988), hlm. 9.
97
M. Said Syeikh, Kamus Filsafat Islam (A Dictionary of Muslim Philosophy), terj.
Machnun Husein, (Jakarta: Rajawali Press, 1991), hlm. 181.
103

Term al-dîn (agama) sebagai salah satu macam hidayah disatukan ke


dalam penjelasan hakikat akal, tampaknya Muhammad Abduh ingin menegaskan
bahwa akal dan agama itu saling melengkapi. Tidak ada pertentangan di antara
keduanya. Hal ini memperkuat pandangannya mengenai perjuangan reformasi
yang digelar pada zamannya dalam memberantas belenggu kejumudan (taklid
buta).98 Sebab, salah satu rumusan hakikat agama adalah " tatanan hidup manusia
buatan Allah bagi orang yang berakal. Dengan aktualisasi daya ikhtiarnya,
manusia memperoleh kebahagiaan dan keselamatan hidup di dunia kini dan di
akhirat kelak.99
Kedua, akal merupakan fithrah (sifat dasar yang melekat dalam penciptaan
insan) dan 'ahd al-Lâh (perjanjian ketuhanan) di alam ruh.100
Dalam rumusan hakikat akal yang kedua ini, Muhammad Abduh
mengaitkan akal dengan fithrah dan 'ahd al-Lâh. Hal ini menunjukkan bahwa akal
ada sejalan dengan perjalanan hidup manusia sejak awal penciptaannya.
Perjanjian ke-Tuhanan di alam ruh adalah peristiwa transendental di mana
manusia mengakui adanya Pengada yang Maha Esa, yaitu Allah SWT ketika di
alam ruh. Pengakuan ini inhern menjadi potensi diri dalam ruh yang immaterial.
Keinhernan yang diletakkan dalam penciptaan ini merupakan bagian dari makna
fithrah. Jadi, ia adalah pengakuan tauhîdullâh.101 Dalam perjalanan hidupnya,
manusia mengalami alam ruh, rahim, dunya, barzah (antara dunia dan akhirat),
dan alam akhirat.102 Para filosof Barat pun mengakui adanya potensi kognitif
(akal) di dalam ruh manusia yang berkemampuan memahami obyek tahu ketika
manusia mengetahui sesuatu. Dengan potensi ini pula manusia menjadi sadar akan

98
Pendapatnya ini sejalan dengan pendapat Ibn Rusyd. Selanjutmya lihat Muhammad Yusuf
Musa, Bayna al-Dîn wa al-Falsafah fi Ra'y Ibn Rusyd wa Falsafah al-'Ashr al-Wasîth, (Beirut:
Al-Ashr al-Hadits, 1988), hlm. 102-103.
99
Lihat Said bin Muhammad Ba'syan, Busyra al-Karîm fi Masâ'il al-Ta'lîm. (Jedah: al-
Haramayn, tt.), hlm 4,
100
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:44. Lihat al-Manâr, jld.I, hlm.
290.
101
Potensi fitrah dalam ruh ini dikaji oleh Ibn Qayyim al-Jawzi dalam bukuinya Rûh li Ibn
al-Oayyim, (Beirut: Dar al-Qalam, 1403H).
102
Mengenai peristiwa yang dialami dalam masmg-masing alam ini, lihat Hadhari Nawawi,
Hakikat Manusia menurut Islam, (Surabaya. al-Ikhlas, 1993), sebanyak 407 halaman.
104

perlunya moral agama dalam menjalankan fungsi hidupnya yang tidak bisa
mengadakan keadaan dirinya.103
Mengaitkan 'aql dengan rûh dan fithrah dalam penjelasan Muhammad
Abduh yang kedua ini menunjukkan bahwa akal berkaitan dengan persoalan ada
yang keberadaannya immaterial bagian dari obyek tahu dalam aktivitas beipikir
manusia pemilik akal. Term-term rûh, fithrah, dan 'aql ini menjadi kajian dalam
disiplin psikologi Islam. 104 Selain itu, obyek akal akan berhubungan dengan obyek
yang berupa materi (mâddah), sebab term fithrah dan bentuk kata kerjanya
digunakan untuk menunjukkan penciptaan benda-benda empirikal berupa langit
dan bumi beserta segala yang ada di dalam dan di antara keduanya (Q.S. al-
An'am: 79 dan al-Anbiya: 56). Dalam kaitan adanya benda-benda material ini,
fithrah diartikan sebagai penciptaan segala yang ada dari tiada oleh Pengada,
yaitu Allah SWT yang Maha Pengada.105
Ketiga, akal memiliki muatan makna fungsional dan karakter yang sejalan
dengan term qalb, ada yang tenang (muthmainnah). la patuh kepada ketentuan
Tuhan (muhbit) dan, sebaliknya, yaitu ketika akal didominasi oleh pengaruh
potensi yang menyuruh kepada perilaku buruk (nafs ammarah bi al-sû)106.
Dalam rumusan akal yang ketiga ini, Muhammad Abduh menegaskan
kaitan akal dengan perilaku eksternal sebagai refleksi dari perilaku internal yang
subyek dan sumber perilaku itu adalah qalb dan nafs. Ketiga instrumen ruhiyah
manusia ini saling pengaruh-mempengaruhi. Akal dalam fungsinya sebagai tali
kekang, dapat mengendalikan aktivitas qalb dan nafs ke arah yang sesuai dengan
kehendak Allah dan ajaran din. Qalb yang disebut "hati" di antaranya berkarakter
fluktuatif. Begitu pula nafs menerima pengaruh daya tarik perangai rendah
tuntutan biologis (jasadiyah). Oleh karena itu. hati selain berfungsi sebagai locus
103
Lihat Van Der Weij, Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia (Gmie Filosofen over de men),
terj. K.Bertens, (Ycgyakarta Kanisius, 2000), hkr.. 174-177
104
Lihat A.A.Wahab, An Introduction to Islamic Psychology, (Delhi: Institute of Objective
Studies, 1996), hlm. 2-3, dan Yusuf Qardhawi, Al-Quran Berbicara tentang Akal dan Ilmu
Pengetahuan (AI-'Aql wa al-'IIm fi al-Qurân al-Karî m), terj. Abdulhay al-Katani dkk., (Jakarta:
Gema Insani Press, 1999), hlm. 44,
105
Lihat Muhammad Ismail Ibrahim, Mu'jam al-Alfâdzh wa al-I'Iâm al-Qurâniyyah, (Kairo:
Dâr al Fikr al-'Araby, 1969), hlm 402-403, dan Muhammad Hasan al-'Amari, al-Qurân wa al-
Thabai al-Nafsiyyah, (Al-Raudhah: al-Majlis al-A'la li al-Syuûn al-Islamiyyah, 1966), hlm 34-35.
106
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. 2:44. Lihat al-Manâr, jld.I, hlm. 301.
105

ilmu juga locus perilaku internal yang mendorong perilaku eksternal melalui
medium jasad manusia pemilik hati.107
Qalb didefinisikan, oleh al-Tibrizi, sebagai budi halus yang bersinar di
dalam struktur batin manusia sebagai tempat perilaku terpuji yang menyuruh
berbuat baik dan dapat mengenal Allah SWT.108 Al-Tibrizi membagi qalb ini
menjadi tiga macam: (1) qalb 'âm, yaitu potensi yang bergerak mengitari dan
berhubungan dengan keutamaan duniawi dan berkemampuan mentaati ketentuan
yang diperuntukkan baginya, (2) qalb khâsh, yaitu potensi yang bergerak di
sekitar akibat keutamaan duniawi, dan (3) qalb akhâsh al-khâsh, yaitu potensi
yang menerangi di Sidrah al-Muntahâ akar perilaku betah dalam beribadah dan
mendekatkan diri kepada Maha Penciptanya yang Maha Dekat.109
Sedangkan Nafs menurut al-Tibrizi adalah budi halus yang gelap dan
berada di dalam struktur batin manusia sebagai tempat munculnya perilaku tercela
yang menyuruh berbuat buruk. Sama seperti qalb. al-Tibrizi membagi nafs ini
menjadi tiga peringkat: (1) nafs 'âm, potensi jiwa yang mendorong berbuat buruk,
berdasarkan (Q.S. Yusuf: 53), (2) nqfs khâsh, yaitu potensi jiwa yang menyesali
dirinya, berdasarkan (Q.S. al-Qiyamah: 2), dan (3) nafs akhâsh al-khâsh, yaitu
potensi jiwa yang tenang yang secara total telah tunduk patuh kepada Allah SWT
dan memperoleh ridha-Nya, berdasarkan (Q.S. al-Fajr: 27). Potensi yang pertama
disebut nafs al-ammârah bi al-sû, yang kedua nafs al-lawwâmah, dan yang ketiga
nqfs al-muthmainnah.110

107
Lihat William C. Chittik, Tuhan Sejati dan Tuhan-tuhan Palsu ('The .Sufi Paith of
Knowledge: Ibn Arabi's Metaphisics of Imagination), terj. Achmad Nidjam dkk., (Yogyakarta:
Qalam, 2001), hlm. 294-295, dan Ibrahim Basywai, Nasy'ah ai-Tashawuf aI-lsldmi. (Mesir. Dâr
al-Ma'ârif, 1969), hlm, 58-62.
108
Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Malik al-Asy'ary al-Tibrizi, Sirâj al-Qulûb dalam
Abd al-Lathif Muhammad Abd, Sittu Rasâil min al-Turâts al-'Araby, (Kairo: Maktabah Nahdhah
al-Mishriyyah, 1981), hlm. 90.
109
Lihat al-Tibrizi, Sirâj al-Qulûb dalam Abd al-Lathif Muhammad Abd, Sittu Rasâil min
al-Turâts al-'Araby, hlm. 91. Qalb yang ketiga inilah yang disebut al-Quran sebagai qalb salîm,
(Q.S. al-Syuara: 89 dan Q.S. al-Shaffat: 84). Tingkatan jiwa ini dimiliki oleh para nabi, wali
Allah, shâlihîn, dan mu  minîn yang muhbitîn. Selanjutnya lihat Sayid Abd al-'Aziz al-Darini,
Thaharah al-Qulûb wa al-Khudhû li 'Alam al-Guyûb, (Jedah: al-Haramayn, tt), hlm. 243.
110
Lihat al-Tibrizi, Sirâj al-Qulûb dalam Abd al-Lathif Muhammad Abd, Sittu Rasâil min
al-Turâts al-'Araby, hlm. 89, dan lihat Rifat Syauqi Nawawi , Kepribadian Qurani, (Jakarta: WNI
Press, 2009), hlm. 57-58.
106

Mengacu pada pendapat al-Tibrizi, maka kedudukan 'aql muthmainnah


dan muhbit berada pada peringkat qalb akhâsh al-khâsh dan nqfs akhâsh al-khâsh.
Penjelasan hal ini juga dikemukakan oleh Muhammad Abduh ketika menafsirkan
Q.S. al-Syams ayat 8-10. Menurutnya, tazkiyah al-nafs adalah proses
menaklukkan pengaruh nafs peringkat pertama dalam diri manusia berakal.111
Keempat, akal adalah memahami (fahm) rahasia-rahasia hukum Allah dan
mengambil manfaat dengan mematuhi aturan yang diperuntukkan bagi manusia
berakal.112
Penjelasan dalam rumusan hakikat akal yang keempat ini, Muhammad
Abduh menggunakan fungsi kinerja akal berupa memahami terhadap obyek yang
dipahami yang terdiri dari rahasia-rahasia hukum Allah (sunan al-kawn dan sunan
al-khalq) dan mengambil manfaat dari obyek yang dipahami dan menunduki
aturan Allah bagi manusia. Hal ini menunjukkan bahwa akal berkemampuan
memahami obyek material di balik materi melalui jendela indera pendengaran.
Term fahm digunakan untuk mengetahui proses mempersepsi makna sesuatu (al-
syai) yang tersimbolkan dalam bentuk kata. Sesuatu yang ditunjuk oleh kata itu
dapat berupa materi dan immateri dalam kerangka sarwa keadaan yang ada.113
Rahasia-rahasia hukum Allah adalah segala nilai manfaat dan tidak
manfaat di balik bentuk ukuran sesuatu dan tuntunan perilaku manusia dan
perilaku alam selain manusia, yang kesemuanya berpulang pada kebutuhan dan
kepentingan hidup manusia. Sesuatu yang diperintahkan mengandung nilai
manfaat jika dilakukan dan madharat jika ditinggalkan. Begitu pula, sesuatu yang

111
Lihat Muhammad Abduh, Tafsir Juz 'Amma, (Beirut: Dar Ibn Zaidun, 1989), hlm. 110-
113. Tafsir ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Muhammad Baqir dan diberi
pengantar oleh M. Quraish Shihab dengan penerbit Mizan, Bandung, tahun 1998. Akal yang
tercerahkan melalui tazkiyyah ini berkemampuan menangkap makna-makna yang diisyiaratkan
dalam simbol bahasa dan gerak benda, dan disebut perilaku mutawassimîn (Q.S. al-Hijr. 75).
112
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:73. Lihat al-Manâr, jld.I, hlm.
351.
113
Selanjutnya lihat Muhammad Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, (Beirut. Dar al-
Fikr, 1993), jld. 1, hlm. 224, dan Abu Hilal al-'Askari, al-Lum'ah min al-Furûq, (Surabaya; al-
Maktabah al-Tsaqafiyah, tt.), hlm. 10.
107

dilarang mengandung nilai madharat jika dilakukan dan bermanfaat jika


ditinggalkan.114
Muhammad Rasyid Ridha menguraikan secara mendalam mengenai
karakteristik hukum Allah yang berupa dîn Islâm yang di dalamnya terkandung
pemenuhan kebutuhan manusia dalam menegakkan aktivitas akal. Menurutnya,
tidak kurang dari sepuluh macam karakter Islam sebagai hukum Allah bagi
manusia berakal, yaitu sebagai (1) dîn al-fithr (agama fitrah), (2) dîn al-'aql
(agama rasional), (3) dîn al-fikr (agama pemikiran), (4) dîn al-'ilm (agama
ilmiah), (5) dîn al-hikmah (agama kebijaksanaan), (6) dîn al-burhân (agama
argumen demonstratif), (7) dîn al-hujjah (agama alasan), (8) dîn al-wijdan (agama
kesadaran hati), (10) dîn al-istiqlâl (agama kemerdekaan).115
Kelima, akal adalah daya nalar kecerdasan jiwa (al-nafs al-nâthiqah) yang
secara umum sejalan dengan muatan makna qalb. Qalb itu sendiri merupakan
suatu subyek aku yang ditunjuk pemiliknya ketika menampakkan diri sebagai
perpaduan potensi sanubari atau kecerdasan jiwa dan potensi nalar. Di dalam nafs
nathiqah itu tercakup daya kesadaran jiwa (wijdan), nalar ('aql), dan rûh yang
saling mempengaruhi di antara ketiganya ketika melakukan peran kognisi. 116
Mengenai daya nalar kecerdasan jiwa dan ruh dalam rumusan hakikat akal
yang kelima tersebut, Muhammad Abduh mengakui adanya pengaruh sesuatu
yang immateri terhadap yang immateri. Hal ini sejalan dengan pendapat Abu al-
hasan ibn Yusuf al-Amiri, bahwa terdapat empat macam arus pengaruh, yang
salah satunya adalah pengaruh immateri (nafs) terhadap immateri (nafs). Pengaruh
lainnya adalah pengaruh immateri (nafs) terhadap materi (jism), pengaruh jism
terhadap nafs, pengaruh nafs terhadap jism, dan pengaruh jism terhadap jism.
Contoh bagi yang pertama adalah pengaruh nasihat, yang kedua seperti sihir
penyebab penyakit fisik, yang ketiga seperti bunyi benda, dan yang keempat
seperti daya magnetis. Selanjutnya, al-Amiri menegaskan bahwa Allah SWT

114
Selaniutnya lihat Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri' wa Falsafatuh. (Beirut: Dar
al-Fikr. tt.), hlm. 7-10.
115
Term-term ini dapat dikaji dalam karya Muhammad Rasyid Ridha, al-Wahy al-
Muhammadi, (Beirut. al-Maktabah al-Islami, 1971), sebanyak 430 halaman.
116
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:73. Lihat al-Manâr, jld.I, hlm. 351
dan QS. Al-Baqarah: 164, Lihat al-Manâr, jld. II, hlm. 84.
108

meliputi dan menguasai segala yang ada dengan liputan taqdir. Jiwa dikuasai oleh
akal dan akal tunduk kepada Maha Penciptanya.117

Ibn Sabin menjelaskan nqfs nâthiqah adalah potensi yang dimiliki oleh
manusia, selain nafs hewani dan nabati, yang berkemampuan menerima ilmu dan
kelembutan watak (hilm), mengetahui perbedaan nilai baik-buruk, menyenangi
kebaikan dan membenci keburukan. Nafs nâthiqah ini tetap hidup setelah fisik
kembali ke asalnya (mati). Nafs ini juga disebut sebagai al-nafs al-hikmiyah yang
berkemampuan menangkap hakikat wujud dan menganalisisnya dalam struktur
keilmuan.118
Term nafs nâthiqah ini merupakan potensi internal insan yang
berkemampuan memahami makna yang terindera. Oleh karenanya, menurut Ibn
Sina, nafs ini juga disebut akal yang berkemampuan ganda, yaitu daya
mengetahui dan daya menggerakkan untuk berperilaku eksternal. Kemampuannya
untuk mengetahui sesuatu lebih kuat ketimbang kemampuan indera.119
Keenam, akal adalah alat memahami sesuatu, pembeda eksistensi manusia
dari yang bukan manusia, berkemampuan mengkaji dan mengetahui hukum
kausalitas alam, memilah dan memilih nilai manfaat dan madharat di balik realitas
yang ada di balik rahasia keberadaan realitas alam dan hukumnya yang diciptakan
oleh Allah SWT, dan menjadikan keberadaan alam itu sebagai dalîl akan
keberadaan pembuatnya (Pengadanya), yaitu Allah SWT.120
Dalam rumusan hakikat akal yang keenam tersebut, Muhammad Abduh
lebih merinci kemampuan akal sebagai alat dalam memahami obyek tahu berupa
wujud alam, hukum-hukumnya, dan rahasia nilai manfaat dan madharat yang
berada di balik semua obyek tahu yang dapat diketahui oleh akal yang bermuara
pada pengetahuan keberadaan Maha Pencipta dan mentauhidkan-Nya. Rumusan

117
Selanjutnya lihat Evett K. Rowson, A Muslim Philosopher on the Soul and It's Fate: Al-
Amiri's Kitab al-Amad 'ala al-Abad, (New Haven: The American Oriental Society, 1988), hlm. 88
dan 122.
118
Lihat Abu al-Wafa al-Ghaynimi al-Taftazani, Ibn Sabin wa Falsafah al-Tashawuf,
(Beirut: Dâr al-Kitab al-Lubnani, 1973), hlm. 352-353.
119
Lihat Sayyed Hossein Nasr , Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, Pen. Ach. Maimun
Syamsuddin, (Yogyakarta: IRCiSod, 2006), hlm. 75-76.
120
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:164. Lihat al-Manâr, jld.II, hlm.
63-64 dan QS. Al-Baqarah: 179, Lihat al-Manâr, jld. II, hlm. 133.
109

ini sejalan dengan pendapat Naquib al-Attas yang berpendapat bahwa akal adalah
suatu substansi ruhaniyah yang memungkinkan diri rasional mengenali kebenaran
dan mampu membedakannya dari kepalsuan. Akal merupakan identitas diri yang
mendasari hakikat manusia yang diisyaratkannya ketika menyatakan aku bagi
dirinya.121
Term Fahm dimaksudkan sebagai quwwah mudrikah (daya memahami dan
mengetahui). Dengan menyebutkan term ini Muhammad Abduh ingin
menunjukkan kinerja akal dalam berhubungan dengan obyek di luar dirinya
adalah idrâk (memahami dan mengetahui). Secara eksplisit Muhammad Abduh
memasukkan ke dalam term fahm ini unsur merasakan sesuatu secara benar
(dzawq salîm) dan kehalusan kesadaran (luthf al-wijdân) sebagai pusat aktivitas
kinerja akal.122 Dalam hal ini Muhammad Abduh mengikuti pendapat Fakhr al-
Din al-Razi.
Term al-syu'ûr, al-fahm, dan al-hikmah (memahami rahasia sesuatu)
merupakan bagian dari penjelasan konsep idrâk sebagai kinerja akal diajukan oleh
Fakhruddin al-Razi. Menurutnya, indikator idrâk itu terdiri dari: (1) sampainya
pengetahuan pada hakikat obyek tahu (al-liqa wa al-wushûl), (2) menyadari

obyek tahu (al-syuûr) (3) mempersepsi obyek tahu (al-tashawwur), (4)


mengingat makna obyek tahu (al-hifzh), (5) menghadirkan kembali ingatan makna
obyek tahu (al-tadzakur), (6) suasana kembalinya ingatan makna obyek tahu (al-
dzikr), (7) mengetahui makna satuan obyek tahu secara parsial (al-ma'rifah), (8)
memahami makna simbol bahasa yang terdengar (al-fahm), (9) mengetahui
maksud pengguna bahasa (al-fiqh), (10) mengetahui makna bahan kesimpulan (al-
dirâyah), (11) mengetahui hakikat dan kegunaan obyek tahu (hikmah), (12)
meyakini obyek tahu (al-yaqîn), (13) merekam makna obyek dalam memori (al-
dzihn), (14) proses menghubungkan makna parsial menjadi kesatuan makna suatu
konsep (al-fikr), (15) menyerap makna obyek dalam jiwa (al-hads), (16) lintasan
makna dalam jiwa (al-khâtir), (17) kecerdasan menyerap makna yang sampai
pada yang dituju (al-dzakâ), (18) menyusun argumen yang akurat (al-fathânah),
121
Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam dan Filsafat Sains (Islam and the
Philosophy of Science), terj. Saeful Muzani, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 41.
122
Lihat al-Manâr, jld. I, hlm. 27.
110

(19) menduga makna obyek tahu (al-wahm), (20) menduga keras makna obyek
tahu (al-zhan), (21) imajinasi makna obyek terindera (al-khayâl), (22) mengetahui
obyek tahu secara langsung (al-badîhah), (23) mengetahui hubungan makna antar
obyek tahu secara langsung (al-awaliyat), (24) memahami obyek tahu secara
mendalam dan berulang-ulang (al-ruwyah), (25) menangkap makna nilai manfaat
obyek tahu (al-kayasah), (26) menguji akurasi makna obyek tahu (al-tajribah),
(27) menyusun satuan makna obyek menjadi keputusan rasional (al-ra'yu), dan
(28) menangkap makna internal obyek tahu dari yang eksternal (al-farasah).123
Memasukkan wujud alam beserta hukum-hukumnya, yang dapat diketahui
akal sebagai dalil keberadaan Allah yang menciptakannya, menjadi pembeda
pengetahuan berwawasan tauhid dari pengetahuan yang dikotomis sekuler. Dalil
sebagai sesuatu yang memandu ke arah yang dituju, yaitu kebenaran obyektif
rasional, spiritual, dan emosional yang terdapat dalam obyek tahu, berupa alam
yang tercipta oleh Pencipta, disebut dalil kosmologis keberadaan Pengada yang
ada sebagai obyek tahu.124
Ketujuh, akal adalah perpaduan daya kemampuan berpikir dalam otak dan
daya memahami dalam jiwa mengenai sesuatu yang dituju oleh subyek yang
diketahui (al-sya'i) yang berdampak pada perilaku.125
Dalam rumusan hakikat akal yang ketujuh tersebut, Abduh lebih
menekankan pada mekanisme kerja esensi akal dalam mengetahui obyek tahu (al-
sya'i) sebagai suatu sistem berpikir yang melibatkan unsur al-ma'na, al-dimâgh,
al-dzihn, al-nâfs, tadabbur, dan ta'ammul. Term-term ini dapat dijelaskan sebagai
berikut.
Pengertian al-ma'na, menurut Ibrahim Anis dkk., adalah sesuatu yang
ditunjukkan oleh kata tertentu.126 Sedangkan menurul Ibn Sina, makna adalah
123
Lihat Muhammad Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, jld. 1, hlm. 223-227, dan
Abu Ali Fadhl bin al-Hasan al-Thabrusi, Majma  al-Bayân fi Tafsîr al-Qurân, (Beirut: Dar al-Fikr,
1994), hlm 157-158.
124
Lihat Muhammad ibn Shahih al-Utsymin, Syarh Tsalâtsah al-Ushûl, (Riyad. Dar al-
Tsiraya, 1994), hlm. 14-15.
125
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah: 242. Redaksi rumusan akal ini
lengkapnya adalah

. al-Manâr, jld II, hlm. 453.


111

sesuatu yang diketahui oleh jiwa melalui cerapan indera, walaupun sesuatu itu
tidak diketahui terlebih dahulu oleh indera.127
al-Dimâgh (otak) adalah suatu alat di dalam tubuh manusia, yang selain
berfungsi menerima kenyataan dari segala peristiwa dan keadaan di luar badan,
juga menjadi alat untuk menyatakan hadirat manusia sebagai makhluk yang sadar
akan diri sendiri dan alam di sekeliilingnya.128
al-Dzihn difenisikan oleh Abu Hilal al-'Askari sebagai lawan dari
buruknya pemahaman, dan ia berarti sesuatu yang menyatakan tentang adanya
hafalan sesuatu yang diketahui.129
al-Nafs adalah potensi jiwa penalaran dalam diri manusia berapa daya
mcngetahui (quwwah 'aqliyyah, quwwah mudrikah, nafs nâthiqah) yang disebut
pula dengan qalb.130
Tadabbur yaitu memahami akibat-akibat obyek tahu secara mendalam dan
berpikir adalah kinerja daya nalar dalam mengetahui arti yang terkandung dalam
obyek tahu.131
Ta'ammul adalah merenungkan obyek tahu secara cermat dalam
memperoleh pengetahuan yang terjadi dalam durasi waktu tertentu.132
Pernyataan konsep dimagh dan nqfs dalam rumusan hakikat akal dalam
pendapat Muhammad Abduh menunjukkan bahwa adanya akal bukan di otak
semata, dan di dalam jiwa semata, tetapi bcrada di dalam keduanya sebagai satu
kesatuan.. Mengenai di mana tempat keberadaan akal ini dalam struktur ruhaniyah
manusia, berbeda dari pendapat Imam al-Syafi'i, akal berada di qalb berupa nûr
(cahaya) yang menunjukkan bukan materi. Sedangkan menurut Imam Hanafi,

126
lbrahim Anis dkk, Qamûs al-Muhîth, hlm. 633.
127
Muhammad Abd al-Karim al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr,
tt.), hlm. 474.
128
Lihat Paryana Suryadipura, Alam Pikiran Manusia, (Jakarta: Bumi Aksara, 1993),
hlm. 7.
129
Abu Hilal al-'Askari, al-Lum'ah min al-Furûq, (Surabaya Maktabah al-Tsaqafiyah, tt.),
hlm. 9.
130
Lihat Abu Hamid ibn Muhammad al-Gazali, Risâ lah al-Laduniyyah, dalam al-Qushû r
al-'Awali, (Mesir: Maktabah al-Jundi, 1970), hlm. 101.
131
Abu Hilal al-Askari, al-Lum'ah min al-Furûq,hlm. 7.
132
lihat Abd al-Rahman al-'Aysawi, al-Islâm wa 'ilâj al-nafs, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986),
hlm. 41. dan Abu Hilal al-Askari, al-Lum'ah min al-Furûq, hlm. 7.
112

Imam Ahmad, dan pada umumnya pakar kedokteran, letaknya berada di dimâgh
(otak).133
Otak manusia yang beratnya rata-rata 1500 gram terdiri dari tiga bagian,
yaitu pangkal otak, otak kecil, dan otak besar. Pangkal otak terdiri dari susunan
sel-sel simpul saraf (ganglioncellen) yang besar-besar. Otak kecil yang berukuran
kira-kira sebesar jeruk manis dan tergantung pada bagian bawah dari otak besar
mempunyai susunan serat-serat yang menghubungkannya dengan otak besar dan
sumsum punggung yang sangat kompleks, sehingga belum dapat diketahui
semuanya. Sedangkan otak besar terletak di bagian depan pangkal otak, yaitu di
dalam rongga kepala. la tidak dapat tumbuh ke arah kehendaknya sendiri, tetapi
tumbuh seperti tanduk kambing jantan, mula-mula ke arah depan, kemudian
membelok ke atas dan ke belakang dan akhirnya ke bawah dan ke depan lagi.
Bagian depannya disebut belah dahi, bagian tengah disebut belah pinggir, bagian
belakang disebut belah kepala belakang, dan bagian bawah disebut belah
pelapisan.134
Jumlah sei-sel otak yang dimiliki masing-masing individu manusia
berbeda-beda banyaknya. Perbedaan inilah yang membedakan tingkat kecerdasan
masing-masing individu dalam memperoleh sejumlah obyek tahu melalui kegiatan
berpikir sebagai produk dari proses-proses bio-kimia yang terjadi di dalam otak.
Dan jumlah sel otak ini kira-kira sepuluh milyar sel otak.135
Menurut Isaac Asimov, seperti yang dikutip oleh Jean Marie Stine, bahwa
sel otak manusia itu sebanyak 200 milyar. la dapat menggunakan 100 milyar
informasi, memiliki gerak pikiran berkecepatan 300 mil per jam, dan memiliki
lebih dari 100 trilyun hubungan yang mungkin dibangun.136

133
Selanjutnya lihat Abd al-Rahman al-Shafuri, Nuzhah al-Majâlis wa Muntakhab al-
Nafâis, (Jakarta; Dinamika Utama, tt.), hlm 271, dan Imam al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-
Dîn, (Beirut: Dar al-Fikr, 1955), hlm 20-21. Muhammad Husayn al-Thabathaba'i berpendapat ada
di otak. Lihat al-Mizan fi Tafsîr al-Quran, (Beirut:Muassasah al-'Alamy, 1991), hlm. 53.
134
Selanjutnya lihat Paryana Suryadipura, Alam Pikiran Manusia , hlm 8-10.
135
Lihat Muhammad Mahmud Abdul Kadir, Biologi Iman (Biylujiyah al-iman), tei]
Rusjdi Malik, Cet 3, (Jakarta: Al-Hidayah, 1983). hlm 13.
136
Lihat Jean Marie Stine, Mengoptimalkan Daya Pikir, (Anonim: Delapratasa
Publishing, 2001), hlm. xxvi.
113

Perbedaan jumlah sel otak yang dimiliki oleh manusia membawa


perbedaan dalam kualitas dan kuantitas penguasaan obyek tahu. Menurut al-
Darini, terdapat tiga peringkat kemampuan manusia dalam menggunakan potensi
akal memikirkan obyek tahu: (.1) ilmuwan, yang mampu memikirkan segala alam
tercipta sebagai obyek pikir dan mampu mengambil keputusan ilmiah dan apa
yang dipikirkannya yang berujung pada meyakini adanya Maha Pencipta dirinya
dan obyek yang dipikirkannya, yaitu Allah SWT; (2) manusia bersyukur, yang
mampu memikirkan wujud lahir obyek tahu dan mengambil manfaat dari
keberadaannya; dan (3) manusia pekerja, yang mampu memikirkan apa yang
mesti diperbuat sebagai tugas kehambaannya.137
Begitu pula, manusia dengan daya ikhtiar yang dimilikinya tidak sama
mendayagunakan potensi akal dalam mengetahui obyek tahu dan terjadi
pemaknaan pada aspek-aspek tertentu yang membawa wujud perbedaan kualitas
dan kuantitas kepemilikan pengetahuan masing-masing inidividu manusia. Hal ini
bergantung pada penggunaan alat, bidang, bentuk, soal, dan obyek yang dipilih
dalam berpikir serta tujuan yang akan diperoleh. Situasi ini membawa adanya
tingkat pikiran manusia.138
Kedelapan, akal adalah potensi pikir yang dapat tercerahkan oleh cahaya
(nur) ketakwaan dan berkemampuan memanfaatkan fungsinya sesuai
139
peruntukannya. Akal ini merupakan akal besar yang disinari dengan kesadaran
ilahiah (dzikir Allah).140
Konsep penjelas utama dalam rumusan hakikat akal yang kedelapan,
Muhammad Abduh menggunakan cahaya yang mencerahkan (nûr), ketakwaan,
akal besar, dan kesadaran ilahiah. Term-term ini tennasuk lazim digunakan oleh
para filosof muslim dalam memahami hakikat akal, baik menurut akal maupun
menurut sumber al-Quran dan al-Hadits.

137
Abd al-Aziz al-Darini, Thaharah al-Qulûb wa al-Khudhû li 'Alam al-Guyûb hlm. 31.
138
Paryana Suryadipura, Manusia dengan Atomnya dalam Keadaan Sehat dan Sakit,
(Jakarta:Bumi Aksara, 1994), hlm. 235.
139
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:197. Lihat al-Manâr, jld. II,
hlm. 229.
140
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Ali Imran:7. Lihat al-Manâr jld.III, hlm.
171-172.
114

Esensi akal sebagai nûr (cahaya) dikemukakan oleh Sayidina Ali KW dan
Ibn Abbas. Kedua sahabat ini berpendapat bahwa Allah SWT menciptakan akal
dari nûr yang berkemampuan memahami dan mengetahui obyek tahu.
Kegiatannya itu melahirkan sejumlah ilmu.141
Al-Mawardi mengatakan bahwa akal merupakan substansi halus yang
berkemampuan menganalisis dan membeda-bedakan esensi obyek tahu. Akal ini
disebutnya sebagai al-'aql al-ghârizi, yaitu potensi yang melekat dan menyatu
dengan watak penciptaan dan dapat ditransmisikan melalui pewarisan watak
secara genetis. Sedangkan akal yang berkemampuan mengetahui obyek tahu
melalui upaya maksimal dalam meneliti, mengkaji, dan menganalisis obyek tahu
disebut al-'aql al-muktasab. Nûr sebagai esensi akal ini diisyaratkan dalam Q.S.
al-Nur. 35 dan dalam salah satu sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa "akal itu
cahaya di dalam qalb yang dapat membedakan yang hak dari yang batil."142
Akal yang tercerahkan dengan cahaya ketakwaan dan sinar ilahiah, juga
dikaji oleh Imam al-Ghazali ketika menafsirkan Q.S al-Syams: 7-9 dan Q.S. al-
Nur. 40, bahwa fungsi nûr itu dapat memperoleh ilmu sebagai nûr juga.143 Oleh
karenanya akal dapat memahami wahyu yang disebut juga sebagai nûr yang
menerangi jalan hidup dan kehidupan manusia dalam menjalankan tugas
ke'abidan dan kekhalifahan.144 Akal yang tercerahkan ini, menurut Ibn Miskawih,
adalah al-quwwah al-nâthiqah (fakultas berpikir) yang terhindar dari dominasi al-
quwwah al-ghadhabiyyah (fakultas amarah), dan al-quwwah al-syahwaniyyah
(fakultas naluri biologis).145
Akal yang tercerahkan ini disebut pula sebagai akal yang sehat sebagai
lawan dari akal yang sakit yang tidak tercerahkan oleh cahaya ilahiyah. Akal sehat
141
Lihat Abd al-Rahman al-Shafuri, Nuzhah al-Majâlis wa Muntakhâb al-Nafâis, hlm
270
142
Lihat Imam al-Mawardi, Adab al-Dunya wa al-Dîn, hlm 20-22.
143
Lihat Imam al-Ghazali, Risalah al-Ladunniyah, hlm. 122.
144
Selanjutnya lihat Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, (Psychology of Sufism), terj. Arif
Rahmat, (Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 1998), hlm. 176, dan Yusuf al-Qardhawy, Al-Quran
dan al-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam (al-Marja'iyah al-'UIya fi al-Islâm li al-Qurân wa
al-Sunnah), terj. Badruddin Fannani, (Jakarta: Robbani Press, 1997), hlm. 359.
145
Lihat Ibn Miskawih, Menuju Kesempurnaan Akhlak (Tahdzib al-Akhlaq), terj. Zaenul
Kamal, (Bandung. Mizan, 1994), hlm. 43-44. Suwito mengkaji pemikiran Ibn Miskawaih
mengenai konsep pendidikan sebgai disertasi, lebih lanjut lihat Suwito, Konsep Pendidikan Akhlak
menurut Ibn Miskawaih ,(Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1995)
115

inilah yang dapat bergerak ke arah mendekati Pcnciptanya yang Maha Suci,
senang dalam ketaatan, mencintai kebenaran, dan benci kebatilan. 146
Akal kabîr, jika dikaitkan dengan struktur otak instrumen bersemayamnya
daya pikir sebagaimana dijelaskan oleh Paryana Suryadipura, maka "akal kabir
sejalan dengan fungsi akal besar. Otak sebagai pusat kesadaran kognitif disebut
pula dengan dua sebutan yaitu "alam shagîr" dam "alam kabîr”. Hal ini
dikemukakan oleh Bahaudin Mughary, menurutnya bahwa, otak manusia
mempunyai atau terdiri dari dua pusat. Pertama, adalah pusat yang menuju ke
alam lahir (logis, corporiil, materiil, riil) yang memiliki kemampuan untuk
melakukan hubungan, dengan dunia luar atau yang disebut "alam saghîr". Pusat
yang kedua berfungsi mengadakan hubungan dengan dunia dalam yaitu alam yang
irriil, immateriil, abstrak, metafisis, yang juga disebut sebagai "alam kabîr”.147
Kesembilan, akal adalah alat memperoleh hikmah (wisdom). la merupakan
neraca setimbang (al-mîzân al-Qisth) yang mampu menimbang semua getaran
hati (khawâthir) berupa idea, gagasan, kehendak, dan pengetahuan. la mampu
membedakan (yumayyizu) antara pembentukan konsep satuan pengetahuan berupa
pembentukan konsep (tashawwurât) dan pembentukan keputusan (tashdîqât).148
Dalam rumusan hakikat akal kesembilan tersebut, Abduh lebih
menekankan pada aktualisasi metode kerja akal dalam memperoleh pengetahuan,
berupa tata aturan berpikir logis menurut aturan logika (manthîq). Hal ini
ditunjukkan dengan konsep utama sebagai penjelas hakikat akal, yaitu al-mîzân
al-qisth, al-khawâthir, al-mudrakât, yumayyiz bih, al-tashawwurât dan al-
tashdîqât.
al-mîzân al-qisth, yang secara lughawi berarti timbangan yang setimbang
untuk menimbang sesuatu secara setimbang antara timbangan dan yang

146
Lihat Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut al-Ouran (The Holy Quran and the
Sciences of Nature), terj. Agus Effendi, (Bandung. Mizan, 1989), hlm. 102-103, dan Evert K.
Roswon, A Muslim Philosopher on The Soul and Its Fate: Al-Amiri's Kitab al-Amad 'ala al-Abad,
hlm. 154-160.
147
Bahaudin Mudhary, Setetes Rahasia Alam Tuhan Melalui Peristiwa Metafisika al-
Mi'raj, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1996), hlm 124-125.
148
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Al-Baqarah:269.
. Lihat al-Manâr, jld III, hlm. 75.
116

ditimbang, dijadikan oleh Muhammad Abduh sebagai penjelas hakikat akal. Hal
ini menunjukkan bahwa akal berfungsi dan mampu menimbang sesuatu yang
abstrak sebagai obyek tahu guna menemukan kebenaran obyektif rasional, sebab
al-qisth juga berarti keadilan yang berarti memposisikan sesuatu sesuai posisi
peruntukannya.149
Term al-mîzân digunakan oleh Imam Ghazali sebagai sebutan bagi proses
berpikir logis dengan menggunakan disiplin logika dalam menimbang dan
menemukan hakikat suatu obyek yang dipikirkan oleh akal. Mizan ini disebut pula
sebagai mîzân al-Qur'an (tata pikir menurut al-Qur'an) dan mîzân ruhani (tata
pikir dunia makna). Obyek mîzân al-Qur'an ada lima macam, yaitu: (1) ma'rifah
tentang Allah. (2) malaikat, (3) kitab, (4) rasul, dan (5) mulk al-Lâh, yakni
kerajaan Allah.150
Mîzân al-Qur'an, sebagai tata aturan berpikir logis, dibagi oleh Imam al-

Ghazali menjadi lima macam, yaitu: (1) mîzân al-ta âdul al-kubra (penalaran
dengan menggunakan pola syakal awal dari qiyas iqtirani) , (2) mîzân al-ta'âdul
al-awsath (penalaran dengan menggunakan pola syakal tsani dari qiyas iqtirani),
(3) mîzân al-ta'âdul al-ashghar (penalaran dengan menggunakan pola syakal
tsalis dari pola qiyas istitsnai), (4) mîzân al-talâzum (penalaran dengan

menggunakan pola hukum kausalitas itsbat), dan (5) mîzân al-taânud (penalaran

dengan menggunakan pola hukum kausalitas nafy).151 Penjelasan istilah-istilah ini


dapat digunakan menjadi bagian analisis epistemologis dalam mengembangkan
ilmu dakwah.
Al-khawâthir berarti lintasan-lintasan pikiran. Term ini merupakan bentuk
jama' dari al-khâthir, yaitu segala sesuatu yang terlintas dalam hati dan pikiran.152
Dengan memasukkan term ini ke dalam penjelasan hakikat akal menunjukkan
bahwa mekanisme kerja akal melibatkan aspek daya qalb yang berkemampuan
memahami sesuatu.

149
Lihat Ibn Qayim al-Jawzi, al-Tafsîr al-Qayyim, hlm. 184.
150
Lihat Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali, al-Qisthas al-Mustaqîm, dalam al-
Qushûr al-'Awali, (Mesir: Maktabah al-Jundi, 1970), hlm 14-15.
151
Lihat Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali, alQisthas al-Mustaqîm,hlm. 18.
152
Ibrahim Anis dkk.. al-Mu  jam al-Wasith,, jld. I. hlm. 243
117

Al-mudrakât berarti segala sesuatu yang diketahui oleh pikiran. la


merupakan bentuk jama' dari al-mudrak. Dimasukkannya term ini menunjukkan
bahwa mekanisme kerja akal melibatkan potensi daya nalar, yaitu kemampuan
perseptif atau kognitif. Dalam filsafat Islam, potensi ini disebut al-quwwah al-
mudrikah, yaitu kemampuan perseptif atau kemampuan kognitif. la terdiri dari
dua macam: eksternal (zâhir) dan internal (bâtin). Yang disebut pertama meliputi
pancaindera (al-hawâsul khamsah) yaitu daya peraba, perasa, penciuman,
penglihatan, dan pendengaran; dan yang disebut belakangan mencakup indera-
indera dalam, yaitu akal sehat (al-hissul al-musytarik), kemampuan formatif (al-
quwwat al-mutasawwirah), ingatan (al-quwwah al-mutadzakirah), dan
kemampuan estimatif (al-quwwa al-mutawahhimah). Obyek-obyek yang
diketahui melalui indera-indera luar disebut wajdaniyyat (intuisi-intuisi). Apa
yang dipersepsi pertama kali dengan indera-indera luar dan kemudian oleh indera-
indera dalam, adalah bentuk obyek-obyek yang dapat diindera, dan apa yang
dipersepsi dengan indera-indera dalam sendiri adalah makna dari suatu benda.153
Yumayyiz bih, berarti dapat membedakan sesuatu yang menjadi obyek
yang dipikirkan oleh akal. Dengan memasukkan term ini, Muhammad Abduh
ingin menunjukkan bahwa akal berkemampuan membedakan obyek tahu, memilih
dan memilah mana yang baik dan yang tidak baik. Menurut hasil penelitian Harun
Nasution tentang kemampuan dan kekuatan akal dalam pembicaraan persoalan
teologis, ternyata Muhammad Abduh menempatkan kekuatan akal lebih banyak
ketimbang kelompok Mu'tazilah, Asy'ariyah, Maturidiyyah, Samarkand, dan
Matundiyyah Buchara. Hal ini dikaitkan dengan persoalan hubungan akal dengan
wahyu dalam mengetahui sesuatu obyek tahu sebagai basis epistemologis.154
Berkaitan dengan kekuatan akal dapat mengetahui kewajiban berbuat baik
dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat, Azyumardi Azra berpendapat bahwa
”Potensi yang dimiliki manusia yang dapat membantunya dalam memahami dan

153
Syekh Said, Kamus Filsafat Islam, (Jakarta:Rajawali Press, 1992), hlm. 122.
154
Lihat Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teori Rasional Mu  tazilah,(Jakarta: UI
Press, 1987) hlm 56-57.
118

membenarkan norma-norma moral Islam yang bersumber pada wahyu Allah itu
temasuk akal dan qalbu (hati nurani)-nya”.155
Al-tashawwurât dan al-tashdîqât berarti pembentukan konsep dan
pembentukan keputusan dalam proses berpikir. Dengan memasukkan kedua term
tata aturan berpikir ini ke dalam penjelasan hakikat akal, Muhammad Abduh ingin
menunjukkan tentang bentuk mekanisme kerja akal dalam mengetahui obyek tahu
melalui tashawwur dan tashdiq.
Tashawwur dan tashdiq didefinisikan oleh Said al-Taftazani, bahwa
Tashawwur adalah memahami makna obyek tahu dengan tidak menghubungkan
dengan makna obyek tahu yang lainnya. Tashdiq adalah memahami hubungan
antara satu makna obyek tahu dengan yang lainnya dengan menetapkan antara
satu makna obyek tahu kepada yang lainnya. Yang pertama merupakan kegiatan
pembentukan pengertian (ta'rîf dan qawl syarh) dan yang kedua merupakan
kegiatan pembentukan dailîl dan hujjah. Al-Jurjani mendefinisikan tashawwur
dan tashdîq, bahwa Tashawwur adalah diperolehnya gambaran sesuatu di dalam
memori. Mengetahui sesuatu hakikat dengan tidak menetapkan tetapnya sesuatu
atau tidak tetapnya sesuatu atas suatu hakikat. Sedangkan Tashdiq adalah pilihan
menetapkan suatu kebenaran kepada obyek yang diberitakan.156
Kesepuluh, akal adalah sinonim dengan lub dengan alasan bahwa lub
merupakan tempat daya hidup sesuatu, tempat keistimewaan dan kegunaannya.
Sedangkan keistimewaan daya hidup manusia adalah daya akalnya. Setiap akal
memungkinkan untuk dapat mengambil kegunaan dari hasil memperhatikan ayat-
ayat Allah dan menjadikannya sebagai dalil atas kekuasaan Allah dan mengambil
hikmahnya.157
Dalam rumusan penjelasan hakikat akal yang kesepuluh tersebut, Abduh
menyamakan hakikat akal dengan hakikat lub, yang secara lughawi berarti

155
Azyumardi Azra, ”Transformasi Nilai Islam dalam Etika Sosial” dalam Kehampaan
Spiritualitas Masyarakat Modern, ed. Nurcholis Madjid dkk., (Jakarta: Mediacita, 2000), hlm.
391.
156
Lihat Abdullah bin Fadhl al-Khabishi, Syarh al-Khabishi 'ala Matn Tahdzîb
al-Manthiq, (Mesir: Jami'ah al-Azhar, 1965), hlm. 9, dan Hasan Darwisy al-Quwsyini, Syarh  ala
Matn al-Sulam,(Surabaya: Maktabah Said bin Nabhan,tt) hlm. 10.
157
Penjelasan ini bagian dari penafsiran QS. Ali Imran:190. Lihat al-Manâr, Jld. IV,
hlm.296.
119

mempunyai biji, berotak, benak, dan hati. Bentuk jama' dari kata lub adalah
albab, sementara ism fa'ilnya adalah labib.158 Dan lub berfungsi sebagai simbol
keunggulan kehidupan manusia yang mampu memikirkan secara mendalam ayat-
ayat Allah sebagai obyek tahu dan mengambil faidah dan hikmah dari hasil
pemikirannya itu. Ini kemudian bermuara pada pengakuan akan adanya Maha
Pencipta, yaitu Allah SWT.
Muhammad Ismail Ibrabim menjelaskan arti kata lub ini, bahwa Lub-
lubabah berarti memiliki akal. la adalah esensi segala sesuatu. Esensi dari segala
sesuatu adalah kemurnian esensinya, atau substansi dan esensi sesuatu, seperti biji
kenari dan sebangsanya yang berada di tengah-tengah benda itu. Lub juga berarti
akal karena ia merupakan substansi manusia. Bentuk jama'nya adalah albâb.159
Dengan memasukkan "kemampuan memikirkan sesuatu secara mendalam
sehingga mampu memperoleh dan mengambil faidah dalil dan hikmah menjadi
khâshshâh (keunggulan pembeda manusia dari yang bukan manusia)" sebagai
penjelas hakikat akal, Muhammad Abduh hendak menunjukkan bahwa akal
memiliki keunggulan dalam memahami obyek tahu sebagai potensi yang hanya
dimiliki oleh pemilik akal. Kemampuan ini, menurut Fakhruddin al-Razi, disebut
sebagai al-quwwah al-bashîrah atau al-quwwah al-'aqliyah yang dimiliki manusia
selain al-quwwah al-bashîrah atau al-quwwah al-hâssah (daya pencerapan indera
lahir, atau daya sensasi). Dua daya ini masing-masing memiliki macam-macam
kemampuan menurut peruntukannya yang berbeda di antara keduanya.160
Setelah diketahui akal dapat mengetahui dirinya, sesuatu di luar dirinya,
dan tahu proses mengetahuinya, maka dakwah merupakan bagian dari sesuatu di
luar dirinya yang menjadi obyek yang dapat diketahuinya. Implikasi dari konsep
akal menurut Muhammad Abduh terhadap pemikiran dakwah antara lain tampak

dalam mengkategorikan madu yang mesti dihadapi dengan metode hikmah

adalah madu uqala (orang yang cerdik pandai). Dan dapat dipahami pula, bahwa
Muhammad Abduh telah memberikan kontribusi epistimologis bagi

158
Lihat Alias A Elias dan Edward E. Elias, Qamûs al-Jayb, terj. Ali Almascatie,
(Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1983), hlm. 938-939.
159
Muhammad Ismail Ibrahim, Mu'jam al-Alfâdzh wa al-I'Iâm al-Qurâniyyah, hlm. 468.
160
Fakhruddin al-Razi, Fakhr al-Din al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, jld.XII, hlm. 226-229.
120

pengembangan kajian dakwah Islam sebagai bagian dari disiplin ilmu dalam
Islam, dengan menerapkan kaidah-kaidah manthiqiyah dalam pembentukan
konsep dan argumen keilmuan dakwah sebagai disiplin ilmu yang interdisipliner.
Karakteristik epistimologis yang diajukan Muhammad Abduh bercorak rasional
taksonomis tidak rasional dikotomis.
Namun akal juga terbatas, karena terkadang tidak mampu menentukan
kebenaran di luar wilayah jangkauannya. Keterbatasan ini terjadi terutama ketika
akal didominasi oleh pengaruh hawa dan syahwat. Untuk mencapai kebenaran
dan kebahagiaan perjalanan hidup hakiki menurut pencipta manusia, dengan
demikian, memerlukan hidayah lain yang membimbingnya, yakni macam hidayah
keempat yaitu hidâyah al-dîn. 161
Keempat, hidâyah al-dîn (hidayah agama). Hidayah al-dîn ini memberikan
petunjuk penjelasan dan bimbingan tentang jalan kehidupan yang dapat
mengantarkan kepada kebahagiaan dan keselamatan sejati bagi manusia berakal.
Hidayah ini juga memperingatkan jalan kehidupan yang dapat mengantarkan
kepada kesesatan dan kecelakaan hidup. Terhadap dua jalan ini manusia berakal
dengan potensi kebebasan kehendak dan kebebasan memilih dapat menentukan
pilihannya jalan mana yang akan ditempuh dari kedua jalan kehidupan itu dengan
risikonya masing-masing.162
Mencermati pandangan Muhammad Abduh mengenai konsep akal,
kebebasan berkehendak, kebebasan memilih dalam menentukan tindakan bagi
manusia dan peran hidayah dalam agama Islam tersebut, dapat digolongkan ke
dalam teori pilihan rasional atau paradigma tindakan rasional yang diajukan oleh
James S. Coleman (W. 1995M), teori ini antara lain menegaskan bahwa, nilai dan
norma yang bersumber pada kepercayaan mendasari niyat atau kehendak, dan
kehendak ini melahirkan pilihan tindakan seseorang, ketika menentukan pilihan,
rasiolah yang berperan untuk bertindak dan tindakannya itu guna mencapai tujuan
sesuai nilai dan norma yang diyakininya. Kemudian, suatu tindakan atau pilihan

161
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 63.
162
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 63-64.
121

dapat dikategorikan rasional, jika mengikuti premis yang mendasar dan


menjastifikasi pelaksanaannya.163
Kemudian Muhammad Abduh mengakui bahwa ada satu macam lagi

hidayah selain keempat hidayah tersebut, yaitu hidâyah al-iânah wa al-tawfîq


(hidayah perbantuan dan pertepatan). Sehubungan dengan hidayah ini,
Muhammad Abduh meyakini bahwa, masih ada hidayah yang lain, yakni apa
yang diungkapkan oleh Allah SWT: „Mereka itu orang-orang yang diberi petunjuk

oleh Allah, maka ikutilah petunjuknya.164 Apa yang dimaksud dengan hidayah di
sini bukanlah hidayah yang telah disebut terdahulu. Hidayah dalam ayat-ayat

terdahulu itu bermakna „dilâlah yang berfungsi untuk menghentikan manusia


pada ujung dua jalan kecelakaan dan keselamatan sambil menjelaskan hal-hal
yang bisa meratakan jalan ke arah keduanya. Hidayah ini diberikan oleh Allah

secara „cuma-cuma kepada seluruh manusia. Adapun hidayah yang ini bersifat
lebih khusus ketimbang yang tadi. Hidayah ini dimaksudkan sebagai perbantuan
dan pertepatan kepada manusia untuk berjalan pada jalan kebaikan dan
keselamatan sambil terarah dengan baik. Hidayah ini tidak diberikan kepada
sembarang orang sebagaimana indera, akal, dan syariat agama. 165
Muhammad Abduh memberikan catatan bahwa antara macam hidayah
kelima ini dengan hidayah al-dîn tidak ada pertentangan, sebab hidayah yang
diberikan menjadi kewenangan Nabi SAW. adalah memberikan petunjuk kepada
kebaikan (al-khayr) dan kebenaran (al-haq), yakni jalan yang lurus (al-shirâth al-
mustaqîm), nama lain dari dîn al-islâm. Sedangkan memberikan dan menjadikan
orang menerima dan mencocokkan tata lakunya dengan al-islâm tidak menjadi
kewenangan Nabi SAW., tetapi merupakan hak prerogatif Allah SWT, yang

dengan hak-Nya ini Allah memerintahkan kepada manusia untuk berdoa sebagai
bukti status kehambaan manusia di hadapan Allah SWT Maha Pencipta. Dengan

163
Lihat George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Modern
Sociological Theory, oleh Alimandan (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 391-402.
164
Q.S. Al-Anâm (6):90.
165
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 64. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-
Fatihah:6. Hidayah al-tawfîq ini disebut juga sebagai al-hidâyah al-qalbiyyah al-bâthiniyyah
(hidayah hati batin). Lihat Abu Bakar Jabir al-Jazairy, Aysar al-Tafâsîr lî Kalâm al-„Âly al-Kabîr,
jld. I (Mesir: Dar al-Salam, 1992), hlm. 15.
122

demikian, menurut Muhammad Abduh, bahwa arti „ihdinâ al-shirâth al-

mustaqîm berilah kami petunjuk yang disertai oleh perbantuan gaib dari sisi-Mu
yang memelihara kami dari kesesatan dan kesalahan. Permohonan ini tidak

merupakan doa pertama kita kepada Allah kecuali disebabkan kebutuhan kita

terhadapnya lebih besar ketimbang kebutuhan kita terhadap hal-hal lainnya.166


Jalan yang lurus (al-shirâth al-mustaqîm) dipahami oleh Muhammad
Abduh sebagai totalitas sesuatu yang menghantarkan kita kepada kebahagiaan
dunia akhirat dalam bentuk akidah, adab, hukum, dan ajaran-ajaran. 167
Dalam membuat kategori macam-macam hukum bagian dari unsur ajaran
Islam, Muhammad Abduh mengikuti kategori fuqahâ, yaitu wâjib, mandûb,
mubâh, harâm, dan makrûh. Macam-macam hukum ini merupakan sistem nilai
dan norma bagi kahidupan manusia berakal yang menuntut untuk
diimplementasikan secara sungguh-sungguh dan berupaya menundukkan segala
tantangan yang datang dari potensi syahwat dan hawâ yang negatif dalam diri
individu manusia.
Syahwat (keinginan, kecenderungan), dipahami oleh Muhammad Abduh

bahwa, kata „syahawât merupakan bentuk plural dari kata „syahwah yaitu
kecenderungan jiwa dengan merasakan kebutuhan atas sesuatu yang dianggapnya
menyenangkan.168
Hawâ (kecondongan jiwa) dapat memalingkan dari berbuat adil terhadap
sesuatu dan adil ini merupakan salah satu karakteristik Islam. Term hawâ ini ada
yang digabungkan dengan term nafs yang negatif menjadi hawâ al-nafs yang
mengacu pada situasi potensi atau daya kejiwaan manusia yang mendorong
kepada hal yang negatif dan dapat mempengaruhi kejernihan akal yang menjadi
penyebab munculnya perbuatan negatif. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad
Abduh menyatakan, adapun sebab yang mengakibatkan orang yang sudah

166
Al-Manâr, jld. I, hlm. 65. Berdoa secara psikologis merupakan ekspresi fithrah diniyah
(naluri keagamaan) manusia, dan bagian dari macam beribadah kepada Maha Pencipta manusia,
lihat Ali Muhammad Hasan al-Amâri, al-Qurân wa al-Thabâ iât al-Nafsiyyah, hlm. 105-108.
167
Al-Manâr, jld. I, hlm. 65.
168
Al-Manâr, jld. III, hlm. 238. Ungkapan ini bagian dari penafsiran Q.S. Ali Imran (3):14,
ayat ini mengenai adanya kecenderungan manusia mengenai perhiasan duniawi. Lihat pula Al-
Manâr, jld. III, hlm. 239 dan 246-247.
123

mengetahui hidayah kemudian meninggalkannya tidak diragukan lagi merupakan


suatu situasi nafsani yang kuat seperti iri-dengki, perlawanan, ambisi kekuasaan,
kesombongan, nafsu syahwat yang mengalahkan akal, primordialisme, dan
perkataan yang memperturutkan hawa nafsu. 169
Kemudian menurut Muhammad Abduh, hidâyah hawâsî disebut pula
sebagai al-quwwah al-zhâhirah (daya kognisi lahir) dan hidâyah „aqal sebagai al-
quwwah al-bâthinah (daya kognitif dalam). Masing-masing memiliki aktivitas
sesuai peruntukannya, yakni mengetahui obyek-tahu yang berwujud materi dan
immateri. Adapun yang menyertai dua macam hidayah ini, yaitu hawâ al-nafs,
yang mendorong lahirnya al-syahwah al-bâthiniyah (keinginan biologis dan
hewani). Dengan dorongan keinginan inilah manusia bisa berperilaku seperti al-

anâm (hewan ternak) bahkan lebih jahat. Oleh karena itu, dengan hidayah akal
yang memiliki quwwah al-tamyîz (daya pembeda antara yang hak dan yang batil)
dan quwwah al-ikhtiyâriyyah (daya memilih), manusia dihadapkan pada pilihan
apakah mau melakukan tazkiyyah al-nafs (menyucikan jiwa) atau tadsiyyah al-
nafs (mengotori jiwa). Bagi yang pertama melahirkan perilaku baik dan yang
kedua melahirkan perilaku jelek.170
Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, kebahagiaan dan kerugian,
keselamatan dan kecelakaan manusia ditentukan oleh perilaku dan pilihannya
sendiri. Dalam hal ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa urusan dan
keputusannya terpulang pada usaha dan upaya manusia. Di antara wujud kasih-
sayang Allah SWT kepadanya adalah bahwa Allah memberikan ilham kepada
sebagaian anggota manusia dan mengajarinya berbagai jalan petunjuk. Maka,
siapa yang menempuh jalan tersebut beruntung dan berbahagialah dan siapa yang
menyalahinya akan merugi dan celaka.171

169
Al-Manâr, jld. V, hlm. 416. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al-Nisa:
115, ayat ini mengenai ancaman bagi orang yang tidak mengikuti ajaran Islam.
170
Lihat Syaikh Muhammad Abduh, Tafsîr Juz „Amma (Beirut: Dâr Ibn Zaydun, 1989),
hlm. 110-111. Penjelasan ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Syams: 7-10 dan Al-Manâr, jld. II,
hlm. 242, jld. IV, hlm. 448.
171
Al-Manâr, jld. I, hlm. 285. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al-Baqarah:
38-39, ayat ini mengenai bagian kisah Adam A.S dan balasan bagi orang yang mengikuti petunjuk
dan orang kafir.
124

Dengan term yang berbeda mengenai kategorisasi nafs yang dimiliki


manusia, sebelum Muhammad Abduh telah banyak dikaji oleh para filosof
Muslim di bidang pemikiran akhlak dan tasawuf. 172 Mereka pada umumnya ada
yang membagi kepada tiga macam kategori nafs dan ada yang membaginya
menjadi enam macam kategori nafs sebagai hasil istinbâth (penalaran deduktif
pada teks) Al-Qurân yang menyinggung masalah nafs. Al-Tabrizi173 meyakini
bahwa ada tiga macam nafs sebagai daya yang terdapat dalam qalb manusia dan ia
merupakan tempat daya dorong perilaku tercela dan buruk, yaitu: (1) al-nafs al-
ammârah bi al-syar (jiwa pendorong pada keburukan), (2) al-nafs al-lawwâmah
(jiwa pendorong pada penyesalan), dan (3) al-nafs al-muthmainnah (jiwa yang
tenang). Ketiga macam nafs ini melahirkan perilaku empiris melalui instrumen
pancaindera dan anggota badan lahir, baik yang tercela maupun yang terpuji. Bagi
yang pertama, Al-Tabrizi mengacu pada Q.S. Yusuf: 53, yang kedua mengacu
pada Q.S. al-Qiyâmah: 2, dan yang ketiga mengacu pada Q.S. al-Fajr: 27.174
Dalam pada itu, nafs menurut Muhammad al-Sayid Arnaûth ada enam
macam peringkat, yaitu: (1) al-nafs al-ammârah bî al-sûi yang disebut maqâm

zhulumât al-aghyâr (tampat kezaliman pada orang-orang lain). Nafs ini


mendorong pada perilaku tercela dan buruk karena kecondongan wataknya pada
keinginan-keinginan jasad (biologis). Ia tidak mau pada kebaikan. Ini merupakan
peringkat nafs terendah; (2) al-nafs al-lawwâmah yang disebut maqâm hudûts al-
anwâr (tempat munculnya cahaya-cahaya). Nafs ini setelah mengikuti dorongan
nafs ammârah segera muncul kesadaran pada dirinya dengan menyesali apa yang
telah dilakukannya. Nafs ini lebih atas derajatnya daripada nafs yang pertama; (3)

172
Misalnya, Ibn Sina dan Ibn Miskawaih yang pernah dipelajari oleh Abduh dan juga
diajarkan melalui kegiatan belajar-mengajarnya. Lebih lanjut lihat Abu al-Fatah Muhammad Abd
al-Karim al-Syahratsani, al-Milal wa al-Nihal (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 472-477, Muhammad
Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj. Al-Dirâsah al-Nafsâniyah „inda
al-„Ulamâ al-Muslimin, oleh Gazi Saloom (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm. 144-148, dan
Ibn Miskawih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Tahdzîb al-Akhlâq, oleh Helmi Hidayat,
Pengantar Zainun Kamal (Bandung: Mizan, 1944), hlm. 35-43.
173
Lihat Ahmad bin Muhammad bin al-Malik al-Asyari al-Tabrizi, Sirâj al-Qulûb, ed. Abd
al-Lathif Muhammad al-„Ayd dalam Sittu Rasâil min al-Turâts al-„Arabi al-Islâmi (Kairo:
Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1981), hlm. 89-90.
174
Zainun Kamal mengajukan hal yang sama dengan tiga macam nafs ini. Lihat Zainun
Kamal, Antara Sukma Nurani dan Sukma Dzulmani, dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah, ed. Budhi Munawar-Rahman (Jakarta: Paramadina, 1994), hlm. 203-204.
125

al-nafs al-mulhamah (jiwa terinspirasi) yang disebut maqâm dark al- asrâr fî al-
khayr wa al-syar (tempat mengetahui beagam rahasia kebaikan dan keburukan).
Nafs ini berkemampuan mengetahui dan membedakan antara sesuatu yang baik
dengan sesuatu yang buruk dan menjadi basis pertimbangan potensi ikhtiar untuk
mengambil putusan pilihan perilaku; (4) al-nafs al-muthmainnah yang disebut
sebagai maqâm al-tawâzun al-nafsî (tempat keseimbangan jiwa). Nafs ini
berkemampuan mendorong kepada perilaku terpuji dan baik, dengan
menggantikan sifat-sifat yang tercela, seperti rasa cinta, kasih sayang, lemah-
lembut, harga diri, dan kedermawanan; (5) al-nafs al-radhiyyah (jiwa yang
menerima) yang disebut sebagai maqâm nail al-washl (tempat memperoleh
hubungan). Nafs ini berkemampuan membentuk ketenangan jiwa dengan
menundukkan dorongan dan sifat-sifat tercela dalam dirinya. Ia merasa betah dan
rela dalam menjalani kewajiban dan meninggalkan segala larangan yang akan
mengotori dirinya; dan (6) al-nafs al-mardhiyyah (jiwa yang diridhai) yang
disebut dengan maqâm tajâlî al-mawâhib al-ilâhiyyah (tempat tampaknya segala
pemberian Tuhan). Nafs ini berkemampuan dalam mewujudkan situasi jiwa selain
ridha juga ikhlas (tulus) dalam menerima dan meyakinkan apa yang ditaklifkan
pada dirinya oleh Allah SWT Maha Pencipta, segala perintah-Nya dilaksanakan
dan segala larangan-Nya ditinggalkan. 175
Arnaûth seperti halnya Abu Yusuf bin Hasan al-„Amiri meyakini adanya
pengaruh dan mempengaruhi antara nafs yang bersifat immateri dengan jasad
yang bersifat materi. Di sinilah peranan dakwah Islamiyah berlangsung dalam
sistem kehidupan psikologis manusia. Menurut Al-Amiri, bahwa ketika wujud
materi dan immateri berinteraksi, maka ada empat macam pengaruh, yakni: (1)
pengaruh materi terhadap materi, (2) pengaruh materi terhadap immateri, (3)
pengaruh immateri terhadap immateri, dan (4) pengaruh immateri terhadap
materi.176

175
Lihat Muhammad al-Sayyid Arnaûth, al-Ijâz al-„Ilmy fî al-Qurân al-Karîm, hlm. 388-
389 dan lihat pula Paryana Suryadipura, Alam Pikiran (Jakarta: Bumi Aksara, 1993), hlm. 55-58.
176
Lihat Everett K. Roswon, A Muslim Philosopher on the Soul and Its Fate: Al-„Amiri s
Kitâb al-Amad alâ al-Abad (New York: American Oriental Society, 1988), hlm. 122-126.
126

Muhammad Abduh, seperti halnya mufassir lain, meyakini bahwa manusia


dengan berbekal hidayah gharîzah, hawâsî, „aql, agama, dan tawfîq diberikan
amanat dan kewajiban yang melekat dalam fungsi dan peranannya sebagai hamba
Allah („abd al-Lâh) dan khalifah-Nya di muka bumi. Sehubungan dengan hal ini,
Muhammad Abduh menyatakan bahwa Allah memerintahkan seluruh hamba-Nya
untuk menyembah Allah saja seraya memurnikan agama bagi-Nya. Allah juga
memberikan arahan kepada mereka dengan memberitahukan bahwa Allah
memberikan anugrah penciptaan yang sama kepada mereka dan kepada generasi
sebelum mereka untuk beramal secara mandiri. 177
Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, maka manusia, dengan
bekal daya tersebut, tidak terbatas potensi dan keinginannya, tidak pula terbatas
ilmu dan amalnya. Meski masing-masing individu lemah, ia bisa bekerjasama
dalam alam secara tidak terbatas atas izin dan rekayasa Allah. Sebagaimana Allah
memberinya anugrah-anugrah dan hukum-hukum alam tersebut agar tampaknya
dengannya serba rahasia penciptaan-Nya dan kerajaan-Nya di muka bumi juga
menundukkan gejala-gejala alam, Allah juga memberinya sejumlah hukum dan
ajaran yang mengikat berbagai aktivitas dan moralitasnya, suatu ikatan yang di
luar makar anggota dan kelompoknya satu sama lain. Hukum dan ajaran tersebut
membantu manusia untuk sampai pada kesempurnaan karena ia mengarahkan dan
membina akal yang memiliki kelebihan-kelebihan tadi. Atas dasar ini semua,
Allah menjadikannya khalifah di muka bumi. Ia merupakan makhluk paling
bermoral dengan predikatnya sebagai khalifah tersebut. 178
Dari pandangan Muhammad Abduh tersebut, sebagai kesimpulan
deskriptifnya dapat dipahami bahwa akal menjadi keistimewaan manusia sebagai
khalifah-Nya di muka bumi dalam mengelola kehidupan dan lingkungan alam
dengan berbagai macam sumber dayanya untuk kepentingan dan sarana beribadah
kepada Allah SWT. Sebagai hamba Allah, manusia mengemban amanat agar ia

177
Al-Manâr, jld. I, hlm. 185. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Baqarah:
21, ayat ini mengenai perintah ibadah hanya kepada Allah SWT.
178
Al-Manâr, jld. I, hlm. 260. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-Baqarah:
30, ayat ini mengenai informasi rencana Allah menjadikan Adam sebagai khalifah di muka bumi
kepada malaikat.
127

hanya tunduk, patuh, taat, dan berbakti kepada dan karena Allah, menlenyapkan
segala macam syirik dan pertuhanan kepada hawa nafsu, harta benda dunia,
benda-benda alam, makhluk halus, sesama manusia, dan sebagainya. Dengan
demikian aktualisasi aktivitas akal ke dalam prilaku pengamalan Islam merupakan
dakwah transformatif rasional.
Sebagai khalifah Allah, manusia mengemban amanat pelaksanaan aturan
Allah di muka bumi agar membina kemakmuran, peradaban, dan kebudayaan
menurut aturan-aturan dan petunjuk-petunjuk yang terkandung dalam hidayah
agama yang membimbing akal manusia. Namun demikian, karena manusia
memiliki potensi hawâ al-nafs yang berkemampuan untuk tidak taat, maka
sebagai hamba dan khalifah Allah manusia ada yang menentukan pilihannya
dengan kezaliman dan kerusakan di muka bumi.
Manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya, menurut al-Mawardi, jika
akal manusia dapat menaklukkan syahwatnya, maka ia akan lebih baik ketimbang
malaikat. Jika syahwatnya yang menaklukkan akalnya, maka ia akan lebih jelek
ketimbang binatang. Hal ini sebagaimana terungkap dalam pernyataan al-Mawardi
bahwa, Allah menyusun malaikat dari akal tanpa syahwat, menyusun binatang
dari syahwat tanpa akal, dan merakit manusia dari keduanya. Siapa saja yang
akalnya mengatasi syahwatnya, ia akan lebih baik daripada malaikat. Siapa saja
yang syahwatnya menguasai akalnya, ia akan lebih buruk daripada binatang. 179
Selain itu, manusia diajarkan al-bayân oleh Allah swt. Sebagai pembeda
dengan yang bukan manusia, al-bayân ini sebagaimana diyakini oleh al-Syaukani
ketika menafsirkan Q.S. Al-Rahman:1-4, yaitu sebagai kemampuan
berkomunikasi, dan dakwah Islam adalah “komunikaksi Islam”.180

179
Abu Hasan Ali al-Mawardi, Adâb al-Dunya wa al-Dîn (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 36.
180
Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual:Refleksi Seorang Cendikiawan Muslim
(Bandung: Mizan, 1991), hlm. 97. Kajian dakwah sebagai “komunikasi Islam” antara lain
dilakukan oleh R. Agus Toha Kuswata, dalam karyanya Komunikasi Islam dari Zaman ke Zaman,
( Jakarta: Arikha Media Cipta, 1990) 126 hlm, dan M. Tata Taufik, Etika Komunikasi Islam:Kritik
terhadap Konsep Komunikas Barat, (Bandung:Sahifa, 2008), 267 hlm.
128

b. Karakteristik Manusia sebagai Dâ’i


Sebagaimana telah dijelaskan dalam status hukum dakwah, bahwa dakwah
adalah kewajiban bagi Muslim dan mukmin menurut kadar kemampuannya
masing-masing. Kemampuan manusia itu sendiri ditentukan oleh kualitas dan
kuantitas aktualisasi potensi nafs yang dimilikinya. Hanya manusia yang berada

dalam posisi nafs muthmainnah yang berposisi sebagai dâ i. Dalam aktualisasinya
nafs muthmainnah pun akan berbeda derajat dan kualitasnya yang membuat status

individu dâi menjadi berbeda. Dalam garis besarnya, dâi ini terbagi dua, yaitu
nabi dan rasul Allah dan umatnya.
Nabi dan rasul Allah, menurut Muhammad Abduh adalah sama. Kedua
status itu berintikan pemberitaan dan penyampaian hidayah agama Allah SWT.
kepada manusia pada zamannya masing-masing.181 Muhammad Abduh meyakini
bahwa nabi dan rasul Allah terakhir adalah Nabi Muhammad SAW yang diutus
untuk seluruh manusia. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh
berargumen bahwa, jika Allah memberimu keistimewaan dengan nikmat-nikmat
yang banyak ini dan Dia mengutusmu kepada segenap manusia serta
menjadikanmu nabi penutup, maka seharusnyalah kamu menjadi orang yang
paling tinggi rasa syukurnya di antara sekalian manusia. Umatmu pun seharusnya
melakukan hal yang sama agar dengan karunia tersebut mereka menjadi
masyarakat terbaik di tengah-tengah manusia dan menjadi teladan bagi mereka
dalam berbagai kebaikan. 182
Macam-macam nikmat dan keutamaan yang diberikan Allah SWT kepada
Nabi Muhammad SAW adalah al-kitâb, al-hikmah, ilmu tentang hakikat
peristiwa, perkara ghaib, perlindungan Allah dari orang-orang yang memusuhinya
dan yang lainnya.
Muhammad Abduh meyakini bahwa kehadiran rasul Allah merupakan
bagian dari kebutuhan umat manusia, bahkan ia merupakan akal dan petunjuk

181
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 466. Pendapat Muhammad Abduh ini sama dengan
pendapat Said bin Muhammad Basyan, lihat karyanya Busyrâ al-Karîm bi Syarh Masâil al-
Ta lîm, hlm. 5.
182
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 402. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al-Nisa:
113, ayat ini mengenai perlindungan Allah kepada Nabi Muhammad SAW dari musuh dan Allah
memberikan Nabi kitab, hikmah dan ilmu yang belum diketahuinya.
129

umat dalam memahami dan menyikapi persoalan-persoalan di luar jangkauan


kemampuan hidayah hawâsi dan akal dengan cara beriman dan menerima
persoalan-persoalan tersebut. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh
menyatakan adapun sesuatu yang memungkinkan untuk diketahui tapi sulit
diusahakan melalui indera dan akal, atau sulit didefinisikan, maka ia merupakan
persoalan yang kita membutuhkan seorang petunjuk yang mengabarkan dari Allah
SWT untuk kita meraihnya darinya atas dasar keimanan dan penyerahan diri. Oleh
sebab itu, kami berpendapat bahwa rasul itu laksana akal bagi umat dan hidayah
di balik hidayah indera, instink, dan akal.183

Sifat-sifat utama yang dimiliki oleh nabi dan rasul Allah sebagai dâi dan
muballigh selain sidiq (jujur), fathânah (cerdas), amânah (terpercaya), dan tablîgh

(transparan), adalah al-syajâah yaitu keberanian dalam menjalankan tugas

dakwah Islam ketika berhadapan dengan madu yang memusuhinya. Mengenai

sifat al-syajâah ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa, bukti-bukti tersebut


menunjukkan sesungguhnya Allah memberi nabi potensi keberanian, sesuatu yang
tidak Allah berikan kepada selainnya di antara semesta alam. 184
Muhammad Abduh meyakini bahwa umat nabi wajib menaati apa yang
dicontohkannya dalam melaksanakan tablîgh Islam. Hal ini menurutnya bahwa,
ketaatan mereka terhadapmu bersifat wajib karena engkau merupakan muballigh
utusan Allah. Ketaatan itu merupakan ketaatan kepada Allah. Siapapun yang taat
kepada-Nya tidak akan berbahaya baginya perlawanan orang yang melawannya.
185

Kemudian, Muhammad Abduh juga berpendapat bahwa apa yang menjadi

tugas rasul menjadi sifat baginya sebagai dâ i dan muballigh petugas Allah, yaitu:
(1) menjelaskan tanda-tanda kekuasaan Allah dalam ciptaan-Nya, (2) menyucikan
jiwa dari perilaku rendah, (3) mengajarkan al-kitâb, dan (4) mengajarkan al-

183
Al-Manâr, jld. II, hlm. 204-205. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al-
Baqarah: 189, ayat ini mengenai adanya waktu tertentu pelaksanaan ibadah dan tata pergaulan.
184
Al-Manâr, jld. V, hlm. 305. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al-Nisa: 84,
ayat ini mengenai perintah berperang di jalan Allah. Selain sifat-sifat rasul yang disebutkan ini,
Rasul juga bersifat tawadhu (santun) dan hayâ (malu), lihat Radhi al-Dîn al-Thabrâsi, Makârim al-
Akhlâk, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), hlm. 13-20.
185
Al-Manâr, jld. V, hlm. 305. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran Q.S. al-Nisa: 84.
130

hikmah dan mengajarkan hal-ihwal kejiwaan dan hukum-hukum ilahiyah yang

semula belum diketahui. Pendek kata, dâ i seyogyanya memiliki keunggulan sifat

dan perilaku dalam merealisasikan hidayah agama di hadapan mad u.186


Selain nabi dan para rasul Allah, manusia sebagai dâ i adalah umat para
nabi dan rasul Allah, yang terakhir umat Nabi Muhammad SAW, yaitu semua

orang yang beriman (al-muminûn), yang memiliki sifat khas sebagaimana


dikemukakan Muhammad Abduh bahwa, mereka adalah kaum beriman kepada
Allah dengan keimanan yang mengatasi akal, hati, rasa mereka dan menguasai
dorongan-dorongan hawa nafsu mereka sehingga iman menjadi pedoman
perjalanan hidupnya dalam keadaan apapun. Keimanan inilah yang diberi oleh
Allah keistimewaan-keistimewaan dan sifat-sifatnya dalam banyak ayat dan
tampak berbagai faidah dan dampaknya dalam perubahan keadaan bumi di tangan
mereka. 187

Beberapa karakteristik dâ i yang dikemukakan Muhammad Abduh

tersebut meliputi sifat nafsiyah dan sifat ijtimâiyyah. Sifat yang pertama berupa

keimanan yang menguasai „aql, qalb, dan masyâir (rasio, hati, dan rasa) serta
menundukkan dorongan hawa nafsu. Sifat yang kedua berupa kemampuan
menggerakkan dan melakukan perubahan kehidupan sosial ke arah yang lebih

maju. Sifat-sifat dâi ini, menurut „Aly bin Shalih al-Mursyid, dapat digolongkan
menjadi tiga kategori, yaitu: (1) sifat nafsiyyah (karakter personal), (2) sifat

jasadiyah (karakter ragawi), dan (3) sifat ijtimâiyyah (karakter sosial). Unsur-
unsur yang terkandung dalam tiga kategori sifat ini dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, sifat nafsiyyah terdiri dari (1) penguasaan ilmu-ilmu Islam, (2)
pengamalan ilmu Islam yang sudah diketahuinya, (3) ikhlash dalam beramal, (4)
istiqâmah dalam menjalankan tugas, (5) al-„afw (pemaaf) dan al-tasâmuh
(toleran), (6) al-tawâdhu (sopan santun), (7) al-„iffah (apik dalam urusan
duniawi), (8) al-quwah (berdaya), dan al-„azimah (kokoh pendirian), (9) al-shabr,

186
Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 27-31. Sifat-sifat ini bagian dari penafsiran Q.S. Al-
Baqarah: 151, ayat ini mengenai tugas Rasul Allah,
187
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 58. Ungkapan Abduh ini bagian penafsiran Q.S. Ali Imran: 104.
Term „aql bersinonim dengan term hilm (kerendahan hati), nuhâ (mencegah dari perilaku
madarat), lubb (inti sesuatu), hijr (menentang), dan qalb (hati). Lihat Hasan Muhammad Musa,
Qamus Qurâny (Kairo: Maktabah Halil Ibrahim, 1966), hlm. 343.
131

(10) al-qanâah (sederhana tidak rakus urusan duniawi), (11) quwah al-bayân
(kekuatan retorika), (12) al-waqâr (respek) dan al-razânah (kesungguhan), (13)
al-taqwâ, (14) al-shidq (jujur), (15) al-hilm (bijak), (16) al-wiqâyah (menjaga
diri) dan al-hadzr (waspada), dan (17) al-amânah (terpercaya);
Kedua, sifat jasadiyah terdiri dari (1) sifat jasmani yang terhindar dari

penyakit yang membuat madu menjadi tidak simpati dan menjauhkan diri dari

dâi, (2) menarik dalam penampilan, (3) berpakaian yang sesuai dengan nilai-nilai
Islam, dan (4) menampilkan keteladanan dalam aktivitas fisik. Ketiga, sifat

ijtimâiyyah terdiri dari (1) husn al-khuluq (berakhlak mulia), (2) shahbah khiyâr
(pandai bergaul), (3) al-mahabbah (cinta, kasih sayang), (4) al-wafâ bi al-„ahd

(menepati janji), (5) al-karam wa al-sakhâ (dermawan), (6) al-sajâah (berani),


dan (7) al-nizhâm (disiplin dan teratur).188

Dilihat dari kualitas pelaksanaan dakwah, ada dâi yang hanya berdakwah
menurut kemampuan dan kesempatan yang tidak mmenjadikan dakwah sebagai

kegiatan utamanya. Ada pula dâi yang dakwah itu sendiri menjadi kegiatan

utamanya. Bagi kategori dâ i yang kedua ini, menurut Muhammad Abduh, mesti

terlebih dahulu menjalani takwîn al-duât (proses kaderisasi dâ i), sehingga

menjadi thâifah (kelompok khusus) sebagai “dâ i profesional” yang menguasai


berbagai persyaratan keilmuan, keterampilan berdakwah, dan memiliki sifat-sifat
nafsiyyah, jasadiyyah, dan ijtimâiyyah.189

Tergolong kepada dâi kategori khusus sebagaimana yang diajukan oleh

Muhammad Abduh, penggolongan dâ i menurut materi dan cara penampilan


dakwah. Penggolongan ini dilakukan oleh Ahmad al-Shawy dan Manâ al-Qathan,

yaitu: (1) dâi mutakallim yang meendakwahkan tawhid Allah dengan bahasa,

baik lisan maupun tulisan, seperti al-Asyary dan al-Maturidi, serta para

pengikutnya, (2) dâi mujâhid dan syuhadâ, yang mendakwahkan Islam dengan

perbuatan seperti perang melawan musuh dalam rangka membela diri, (3) dâi

188
Lihat Aly bin Shalih al-Mursyid, Mushthalahât al-Da wah fî al-„Ashr al-Haâdhir, hlm.
211-235.
189
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28-30. Abduh mengacu pada Q.S. al-Taubah: 122, ayat ini
mengenai keharusan adanya sekelompok khusus yang mendalami agama, sebagai alasan
pentingnya Takwîn al-du ât, selain dari term kuntum dan wa l-takun kalimat awal ayat 104 dan
110 Surah Ali Imran.
132

fuqahâ yang mendakwahkan syariat Islam seperti Imam madzhab yang empat:

Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam al-Syafii, dan Imam Ahmad, (4) dâi

shufi yang mendakwahkan ajaran tashawuf Islam seperti al-Junaidi, dan (5) dâi

khuthabâ yang menjelaskan ajaran Islam melalui pidato.190


Dari beberapa pendapat yang sejalan dengan Muhammad Abduh mengenai

pentingnya sifat-sifat nafsiyah, jasadiyah dan ijtimaiyah bagi dai, menunjukkan

bahwa, sifat-sifat itu akan menjadikan da i menjadi kredible. Jika dai kredible,

maka akan besar peluang untuk dapat mempengaruhi madu. Sebab, sifat–sifat

bagi dai menyangkut ethos yang diperlukan dalam proes dakwah.191


Oleh karena itu, kredibilitas dai merupakan bagian dari faktor yang ikut
menentukan keberhasilan dakwah dengan berbagai bentuknya.

c. Hakikat Manusia sebagai Mad’u

Manusia sebagai madu berhubungan dengan kualitas dan derajat


aktualisasi potensi nafs yang dimiliki manusia dalam menyikapi hidayah agama
Islam, apakah potensi akalnya yang dominan ataukah hawa nafsunya. Jika potensi
akalnya yang dominan, maka manusia menerima hidayah agama Islam. Tetapi,
terjadi perbedaan dalam kualitas pengamalannya dan tingkat komitmennya
sehingga diperlukan bimbingan dan perbantuan untuk meningkatkannya. Manusia

yang demikian adalah madu dengan kategori ummah ijâbah (individu komunitas
manusia yang menerima hidayah agama) dan sebagai Muslim. Sedangkan
manusia yang potensi hawa nafsunya dominan, ia menolak kehadiran hidayah
agama Islam, tetapi masih berhak untuk menerima informasi tentang perlunya
merubah cara menyikapi hidayah agama yang memang diperuntukkan bagi semua

manusia berakal. Manusia yang kedua ini adalah madu dengan kategori ummah

dawah (individu komunitas manusia yang berhak menerima hidayah agama

190
Lihat Ahmad al-Shawy al-Mâliki, Hâsyiyah al-„Alamah al-Shawi „alâ Tafsîr al-
Jalâlalin, hlm. 25 dan Manâ al-Qathan, al-Da wah ilâ al-Islâm (Beirut: al-maktab al-Islamy,
1397), hlm. 14-15, dan Muhammad Khalil Haras, Da wah al-Tawhîd (Beirut: Dâr al-Kutub al-
„Ilmiyah, 1986).
191
Hal ini didasarkan pada keyakinan pakar komunikasi mengenai ethos sebagai sumber
kredibilitas komunikator. Selanjutnya lihat Raymond S. Ross, Understanding Persuation
Foundation and Practice, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1985), hlm. 54.
133

Islam). Madu kategori kedua ini ada yang sudah menganut agama non-Islam
atausama sekali tidak mengakui agama, bahkan menolak semua agama sebagai
agamanya.192
Muhammad Abduh mengemukakan tentang manusia sebagai madu ini
dari macam-macam sudut pandang kualitas kejiwaan manusia dalam menyikapi
hidayah agama Islam. Peristilahannya dibangun dari peristilahan yang digunakan
dalam Al-Qurân. berikut pandangan Muhammad Abduh mengenai macam-macam

manusia sebagai madu.

Pertama, madu al-dhâllûn, yaitu yang sesat dalam mencari kebenaran dan

keliru menggunakan sesuatu yang diyakini sebagai kebenaran. Madu yang


tergolong pada macam ini ada empat tipe, yaitu (1) manusia yang sama sekali
belum menerima informasi Islam, atau ada yang pernah menerimanya tapi belum
dapat memahaminya, dan ia masih mengandalkan kemampuan kognisi indera
lahir dan potensi akal, (2) manusia yang sudah sampai kepadanya infromasi Islam,
dan menjadikannya sebagai obyek untuk dipikirkan dan dikaji, tetapi belum
menerimanya sebagai keyakinan untuk diamalkan, (3) manusia yang sudah
sampai kepadanya informasi Islam dan ia menerima dan membenarkannya, tetapi
tidak disertai dengan pemahaman yang mendalam dan ia terjebak oleh penguasaan
dorongan hawa nafsunya yang mengakibatkan terjadinya kekeliruan dan kesesatan

dengan mengadakan bid ah (mengada-ada) dan khurafat (penyimpangan) dalam


beragama yang bertentangan dengan ajaran dasar Islam sebagaimana terkandung
dalam Al-Qurân dan dicontohkan oleh generasi klasik Islam yang saleh, dan (4)
manusia yang sudah menerima informasi Islam, tetapi keliru dan melakukan
kesalahan dengan sengaja dalam memahami ajaran islam.193 Adanya keragaman
kualitas penerimaan informasi Islam berimplikasi pada keragaman sikap dan
perilaku manusia dalam kehidupan beragama ini diakui juga oleh Abdul Aziz
Qârah.194

192
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 107. Dua kategori mad  u ini diajukan oleh Rasyid Ridha
ketika meringkaskan pokok-pokok kandungan Q.S. al-Baqarah dari sudut pandang dakwah.
193
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 440. Kategori ini bagian penafsiran QS. Al-Fatihah.
194
Abdul Aziz Qârah, al-Islâm wa Tafâdhul al-Qabâil wa al-Syuûb, (Madinah al-
Munawarah: Maktabah al-Malik Fahd, 1414 H), hlm. 36-37.
134

Kedua, madu al-kâfirûn, yaitu orang yang mengingkari kebenaran ajaran


Islam dan menutupinya serta menolaknya dengan kesadaran dirinya. Perilaku
permusuhan menjadi salah satu cirinya.195 Perilaku kufur merupakan sumber
munculnya kerusakan dan menghancurkan kepribadian kemanusiaannya.196

Ketiga, madu al-munâfiqûn, yaitu orang yang dalam lisan dan


penampakan lahirnya beriman, tetapi di dalam hatinya kufr. Ia mengkalim menipu
Tuhan dan rasul-Nya. Padahal ia menipu dirinya sendiri walaupun ia tidak
menyadarinya, memperolok-olokan, dan fasâd adalah bagian cirinya.197 Selain
perilaku kemunafikan yang dikemukakan oleh Muhammad Abduh, yang
merupakan indikator kemunafikan seseorang adalah suka berdusta, ingkar janji,
mengkhianati amanah dan senang bermusuhan terhadap sesama manusia. 198
Keempat, madu al-musyrikûn, yaitu orang yang menjadikan makhluk
Allah dalam posisi Allah, dan menjadikan hawa nafsu dan produk pemikiran yang
didominanasinya menjadi sesuatu yang ditundukinya menyertai pengakuan akan
keberadaan Allah SWT sebagai Maha Pencipta.199 Syirik ini, ada syirik akbar dan
syirik ashghar. Yang pertama sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abduh
ini, dan yang kedua seperti riyâ.200

Kelima, madu Yahudi dan Nashrani, al-maghdhûb dalam Surah al-


Fatihah adalah Yahudi dan al-dhâllîn adalah Nashrani. Yahudi dimaksudkan
sebagai komunitas manusia yang menyimpangkan ajaran tauhid Allah yang
universal yang dibawa oleh nabi Allah Musa a.s., yaitu ajaran yang terkandung
dalam kitab Taurat, begitu pula Nashrani yang menyimpangkan ajaran yang
termuat dalam kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa a.s.201

195
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 394. Bagian penafsiran QS. Al-Baqarah: 97-98, ayat ini
mengenai orang yang memusuhi Allah, malaikat, dan para rasul adalah musuh Allah.
196
Lihat Sayid Sabiq, Islâmunâ ,(Beirut: Dâr al-Fikr, 1982), hlm. 36-37.
197
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 148-149. Kategori ini bagian penafsiran QS. Al-Baqarah: 8-
10, ayat ini mengenai indikator orang munafiq.
198
Lihat Muhammad Abd Aziz al-Khûli, al-Adâb al-Nabawi, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), hlm.
14-15.
199
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 440. Kategori ini bagian penafsiran QS. Al-Baqarah: 118-
119, ayat ini mengenai informasi perilaku orang musyrik dan peran Rasul Allah.
200
LIhat Muhammad Anwar Ahmad al-Baltazi, Min Washâya al-Qurân al-Karîm, (Kairo:
Dâr al-Turâts al-Araby, 1987), hlm. 63-86.
201
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 428, 443-444. Kategori ini bagian penafsiran QS. Al-
Baqarah: 113, 120, ayat ini mengenai perilaku orang Yahudi dan Nashrani.
135

Keenam, mad u al-mujrimûn, yaitu manusia yang melakukan dosa,


melanggar larangan agama Islam, yang bagi pelakunya diperintahkan melakukan
tobat, baik tobat dari dosa besar maupun dosa kecil. 202 Dosa besar adalah perilaku
menyimpang dari ajaran yang diancam dengan hukum di dunia dan siksa di
akhirat contohnya melanggar larangan membunuh dan menyekutukan Allah SWT.
203

Ketujuh, madu dilihat dari kualitas kepemilikan pengetahuan dan sikap


keberagamaan, Muhammad Abduh mengelompokkan menjadi tiga macam

kelompok, yaitu: (1) al-„uqalâ, yaitu madu cendekiawan atau ilmuan yang tidak

menolak hidayah agama, (2) al-„awâm, yaitu madu berpengetahuan sederhana,


dan (3) al-mutawâsithîn, yaitu orang yang memiliki pengetahuan di atas orang
awam, tetapi di bawah hukamâ (filosof).204

Kategorisasi dan karakteristik madu dari sudut pandang selain yang telah
dikemukakan tersebut dapat dianalogikan jika secara substantif terdapat titik
persamaan, sebab Muhammad Abduh lebih menitikberatkan pada aspek
aktualisasi potensi nafs manusia sebagai pusat ishlâh dan taghyîr bagi manusia.

Dalam hal ini, Muhammad Abduh merujuk QS. Al-Radu (11): 11 dan QS. Al-
Anfâl (8): 53.
Dari sudut pandang perubahan sosial, taghyîr (perubahan), ishlâh

(perbaikan) dan tajdîd (pembaruan) kehidupan madu yang diajukan oleh


Muhammad Abduh dengan menjadikan aktualisasi nafs (jiwa) manusia sebagai

madu adalah sejalan dengan beberapa ilmuwan sosial mengenai terjadinya


perubahan sosial. Misalnya Wilbert Moore dan Evert E. Hagen, berpandangan
bahwa, perubahan sosial tidak akan terjadi tanpa perubahan dalam kepribadian
yang akan menimbulkan perubahan pola-pola perilaku dan interaksi sosial.205

202
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 300-301. Kategori ini bagian penafsiran QS. Al-Baqarah: 44,
ayat ini mengenai bagian dari macam perilaku dosa, tidak mengamalkan apa yang diperintahkan
kepada orang lain.
203
Lihat Syamsuddin al-Zahabi, al-Kabâir, (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), hlm.8.
204
Lihat Al-Manâr, jld. III, hlm. 263. Kategori ini bagian penafsiran QS. Al-Nahl: 125 dan
Ali Imran: 21-22.
205
Lihat Melbert Moore, Order an Change Essays in Comparative Sociology, (New Yoork:
John Wiley and Sons, 1967), hlm. 3 dan Evert E Hagen, On The Theory of Social Change, (Home
136

Dari paparan Muhammad Abduh mengenai madu yang telah

dikemukakan, madu dapat dikelompokkan menjadi sembilan macam, yaitu: (1)


al-dhâlûn, orang-orang yang sesat; (2) al-kâfirûn, orag-orang yang menutupi dan
menolak kebenaran; (3) al-munâfiqûn, orang-orang oportunis; (4) al-musyrikûn,
orang-orang yang menyekutukan Allah SWT; (5) Yahudi dan Nashrani; (6) al-
mujrimûn, orang-orang yang berdosa; (7) al-„uqalâ, ilmuwan yang tidak menolak
kebenaran; (8) al-awâm, orang-orang yang berpengetahuan sederhana; dan (9) al-
mutawâsithûn, orang-orang yang berpengetahuan di atas al-awâm, tetapi di bawah
hukamâ (filosof).
Sebelum Muhammad Abduh, „Abd Allah bin Alwi al-Hadâd (w. 1132H)

telah mengemukakan madu secara variatif, menurutnya terdapat delapan macam

ketegori madu, yaitu: (1) al-„ulamâ, para ilmuwan; (2) ahl zuhd wa al-„ibâd,
golongan ahli zuhud dan ibadah; (3) ahl al-mulk wa al-sulthanah, golongan

penguasa dan pemerintah; (4) ahl al-tijârah wa al-shinaât, golongan pedagang

dan pegawai; (5) ahl al-fakr wa al-dhaf wa al-maskanah, golongan kaum lemah

dan miskin; (6) al-atba min al-awlâd wa al-nisâ wa al-mamâlik, golongan

keluarga dan hamba; (7) ahl al-thaah wa ahl al-mashiyah min al-„âmmah,
golongan ahli taat dan durhaka dari kalangan awam; dan (8) man lam yustajab

lidawah Allah wa rasûlih wa lam yumin bi Allah wa al-yawm al-akhir, golongan


orang yang belum mau menerima dakwah Allah dan Rasul-Nya, belum beriman
kepada Allah dan hari akhir. 206

Mengenai macam-macam madu tersebut, menurut responnya dapat


dikategorikan kepada:
Pertama, berdasarkan Q.S. al-Nahl:125, ada madu yang sesat (man
dhalla) karena dia menolak petunjuk ajaran yang didakwahkan, dan ada yang
menerima petunjuk ajaran yang didakwahkan (al-muhtadîn);

Kedua, berdasarkan Q.S. Fathir:32, yaitu madu yang menerima ajaran


yang didakwahkan secara optimal dan maksimal disebut sâbiq bi al-khayrât,

wood: Dorsey Press, 1962) hlm.35, dan Robert H. Lawer, Persfektif Tentang Perubhan sosial, terj.
Perspectives on Social Change, oleh Alimandan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), hlm. 3 dan 101.
206
Abd Allah bin Alwi al-Hadad, al-Da wah al-Tâmmah wa al-Tazkirah al-Âmmah,
(Surabaya: Mathbaah bin Said,tt.), hlm. 3-4.
137

madu yang menerima ajaran yang didakwahkan, tapi belum mengamalkan secara

optimal dan maksimal disebut muqtashid dan madu yang menolak ajaran yang
didakwahkan disebut dzâlim li nafsih.
Ketiga, berdasarkan keputusan ketika memandang Islam yang
didakkwahkan sebagai sesuatu yang baru, akan terjadi respon dengan tiga
kategori, yaitu: (1) adopter pemula; (2) mayoritas adopter agak lambat; (3)
adopter yang paling terlambat (laggard).207

d. Karakteristik Umat
Term ummah diungkapkan langsung dalam nash Al-Qurân Surah Ali
Imran ayat 104 dan 110 yang mewajibkan dakwah. Posisi ummah ini berdimensi
tiga, sebagai subyek, obyek, dan sasaran yang akan dicapai oleh dakwah itu
sendiri.

Makna ummah secara etimologis merupakan derivasi dari (amma –

yaummu) yang berarti menuju, menumpu dan meneladani. Dari akar kata yang

sama lahir antara lain kata um yang berarti „ibu dan imâm yang berarti pemimpin,
karena keduanya menjadi teladan, tumpuan pandangan dan harapan anggota
masyarakat.208
Muhammad Abduh dengan merujuk isyarat ayat-ayat Al-Qurân yang
memuat term ummah mengelompokkan maknanya menjadi lima macam makna,

yaitu: (1), ummah berarti al-millah, yakni al-„aqâid wa ushûl al-syarîah (agama
atau keyakinan dan pokok-pokok syariat) sebagaimana diisyaratkan dalam QS.
Al-Anbiyâ (21): 92, ummah berarti al-jamâah (komunitas manusia), sebagaimana

diisyaratkan dalam QS. Al-Arâf: 181 dan Ali Imran: 104; terhadap dua ayat
tersebut, Muhammad Abduh menegaskan: Kata tersebut tidak berarti jamaah
secara mutlak, melainkan ia bermakna jamaah yang terikat dengan ikatan sosial
yang membuat mereka dipandang sebagai satu, dan kepada mereka bisa
diterapkan satu nama seperti nama ummah; (3) ummah berarti al-sinîn, yaitu

207
Lihat Everett M. Rogers dan F. Floyd Shoemaker, Dilfusion Of Innovations, (New
York: The Free Press, 1983), hlm. 247.
208
Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 325.
138

rentangan waktu, sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Hûd: 8 dan Yusuf: 45; (4)
ummah berarti al-Imâm al-ladzî yuqtadâ bih (pemimpin yang diteladani),
sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Al-Nahl: 120; dan (5) ummah berarti ihda

umam al-marûfah (salah satu komunitas yang terkenal), sebagaimana


diisyaratkan dalam QS. Ali Imran: 110. Terhadap makna ini, Muhammad Abduh
menambahkan komentarnya bahwa, arti yang terakhir ini tidak keluar dari makna
jamaah sebagaimana yang telah kami kemukakan. Hanya saja ia dibuat lebih
khusus oleh „urf (kebiasaan). 209
Dari kelima makna ummah tersebut, dapat dipahami bahwa esensi makna
umat adalah kelompok manusia yang diikat oleh satu ikatan yang mencirikan
keberadaannya. Ikatan ini dapat berupa sistem nilai yang bersumber dari ajaran
agama atau produk budaya („urf). Umat terdiri atas individu-individu yang
berinteraksi di antara sesamanya dan ada yang berperan sebagai pemimpin ada
pula yang dipimpin. Dalam struktur sistem dakwah pemimpin tergolong pada

kategori sebagai dâ i jika menampakkan perilaku dari nafs muthmainnah yang


dimilikinya. Demikian pula sebaliknya.
Abu Bakar Jabir al-Jazairi berpandangan sama dengan pandangan
Muhammad Abduh, tapi berbeda dalam cara memaknai term ummah ketika
menafsirkan QS. Ali Imran 104. Ia mengemukakannya secara singkat yang isinya
terdapat persamaan dengan pandangan Muhammad Abduh bahwa ummah adalah
sekumpulan manusia atau makhluk lainnya yang terikat dengan suatu ikatan jenis,
bahasa, atau agama. Urusan mereka menjadi satu, yang diaksud ummah di sini
adalah kaum pejuang dan kondisi amar maruf nahyi munkar. 210

Fungsi khayr ummah sebagai komunitas dakwah, sebagai dâi kelompok,


dan sebagai sasaran situasi dan kondisi yang akan dibangun melalui dakwah
Islam. Digambarkan oleh Muhammad Abduh bagaikan satu tubuh dan bagaikan

209
Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 276. Dalam Al-Qurân term ummah juga digunakan untuk
menunjuk keberadaan kelompok selain manusia, misalnya QS. Al-Anâm: 38 menyebut adanya
ummah dâbbah (komunitas hewan) dan ummah thairah (komunitas burung).
210
Abu Bakar Jabir al-Jazairy, Al-„Aly al-Kabir, jld. I, hlm. 356. Secara sosiologis,
komunitas adalah suatu kelompok manusia yang menempati suatu kawasan geografis, yang terlibat
dalam aktivitas ekonomi, politik, dan juga membentuk suatu satuan sosial yang memiliki nilai-
nilai tertentu serba kebersamaan. Lihat Judistira K. Garna, Ilmu-ilmu Sosial: Dasar, Konsep,
Posisi (Bandung: PPs Unpad, 1996), hlm. 147.
139

satu bangunan. Hal ini terjadi jika tata nilai Islam sebagai agama dakwah
diwujudkan dalam kenyataan hidup individu Muslim dalam berinteraksi dengan
dirinya dan dengan sesamanya.
Oleh karena itu, khayr ummah adalah satu situasi dan kondisi kelompok
manusia Muslim yang menegakkan nilai-nilai keutamaan syariat sesuai
peruntukannya yang menjadi pembangkit umat yang hidup dinamis, maju, dan
bermartabat. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa
sesungguhnya ruh yang kepadanya Allah meitipkan seluruh syariat ilahiah seperti
membetulkan pemikiran, menajamkan penalaran, menata hawa nafsu, membatasi
tarikan-tarikan syahwat, memasuki segala sesuatu dari pintunya, mencari segala
yang diinginkan dengan mengikuti hukum kausalitas, menjaga kepercayaan,
mengusung persaudaraan, kerjasama dalam kebaikan, saling menasihati ihwal
kebaikan dan keburukan, dan pokok-pokok keutamaan lainnya, ruh itu merupakan
sumber kehidupan bangsa-bangsa dan sumber kebahagiaannya di dunia sebelum
akhirat.211
Dari paparan Muhammad Abduh tersebut di atas, dipahami bahwa,
terdapat sepuluh macam indikator kualitatif sistem nilai yang menjadi esensi
khayr ummah yang disebut sebagai ushûl al-fadhâil (pokok-pokok keutamaan),

rûh hayâh al-umam (jantung kehidupan bangsa-bangsa), dan mashdar saâdah al-
umam (sumber kebahagiaan bangsa-bangsa), yaitu: (1) benar dalam penalaran atas
obyek pengetahuan abstrak, (2) beres dalam penalaran atas obyek pengetahuan
empiris, (3) mengendalikan dorongan hawa nafsu, (4) mengendalikan keinginan
dorongan kebutuhan biologis, (5) proporsional dalam mengatasi berbagai
persoalan, (6) mencari keinginan yang baik menurut ketentuan kausalitas, (7)
memelihara amanah, (8) menegakkan rasa persaudaraan, (9) saling tolong-
menolong dalam kebaikan, dan (10) saling menasihati dalam melakukan kebaikan

211
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 163. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Ali Imran:
144, ayat ini mengenai kedudukan Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah sebagaimana Rasul
sebelumnya. Mengenai karakteristik khayr ummah ini, selanjutnya lihat Ali Abdul Halim
Mahmud, Maa al-„Aqîdah wa al-Harakah wa al-Manhaj fî Khayr Ummah Ukhrijat li al-nâs
(Mesir: Dâr al-Wafa, 1992).
140

dan meninggalkan keburukan. Kesemuanya ini merupakan upaya mewujudkan


kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Secara sosiologis, pemikiran Muhammad Abduh tentang konsep umat
menganut sosiologi sarat nilai (value-laden) dan nilai itu adalah nilai Islam.
Dengan demikian, Muhammad Abduh menolak sosiologi bebas-nilai (value-free).
Muhammad Abduh tergolong penganut tipe teori evaluatif yang meyakini bahwa

tidak ada teori yang bebas-nilai, sebab „bebas-nilai adalah nilai yang diyakini.
Para nabi hadir mustahil tidak membawa dan memperjuangkan nilai. Akan tetapi,
nilai yang dianut oleh masing-masing komunitas diakui akan berbeda-beda jika
sumber acuannya produk budaya manusia. 212 David J. Gray, seperti dikutip oleh
Ilya Ba-Yunus dan farid Ahmad, berpendapat yang sama tentang tidak adanya

„bebas-nilai dalam sosiologi. Bahkan, menurutnya, “bahwa sosiologi yang bebas-


nilai adalah sebuah doktrin kemunafikan dan ketakbertanggungjawaban.”213
Nilai merupakan ukuran kebaikan, kemudahan, dan kebenaran yang
menjadi rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan, menjadi landasan dan
pendorong bagi perubahan, sebab para nabi dan mujahid (pejuang Islam) sebagai

dâi bertugas untuk mempertahankan kebenaran dan menyelamatkan umat dari


kematian spiritual. Oleh karena itu, bagi Muhammad Abduh, selain sepuluh
macam indikator kualitatif khayr ummah, nilai universal ajaran Islam yang dibawa
oleh nabi dan rasul Allah adalah menjadi acuan dan pendorong dalam
menghidupkan ummah di sepanjang zaman dalam tataran realitas kehidupan umat

menuju pencapaian nilai saâdah (kebahagiaan) ideal, individual, dan komunal,


bukan hanya di dunia kini melainkan juga di akhirat kelak.214
Muhammad Abduh meyakini bahwa nilai persaudaraan dan gotong-
royong atau saling tolong-menolong dalam mencapai tujuan yang sama yaitu

212
Lihat Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontemporer, terj. Contemporary Sociological
Theory, oleh Yasogawa (Jakarta: CV. Rajawali, 1992), hlm. 14-16.
213
Lebih lanjut, lihat Ilyas Ba-Yunus dan Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat
Kontemporer, terj. Islamic Sociology: An Introduction, oleh Hamid Basyaib (Bandung: Mizan,
1997), hlm. 37-38.
214
Mengenai sistem nilai ini, selanjutnya lihat H.G. Sarwar, Filsafat Al-Quran, terj.
Philosophy of Quran, oleh Zainal Muhtadin Mursyid (Jakarta: CV. Rajawali, 1989), hlm. 171-222,
dan Abu Bakar A. Bagader (ed.), Islam dalam Perspektif Sosiologi Agama, terj. Islam and
Sociological Perspectives, oleh Machnun Husein (Yogyakarta: Tititan Ilahi Press, 1983), hlm. 10-
11.
141

saâdah merupakan bagian dari indikator kualitatif umat. Maka, pandangan


Muhammad Abduh tentang konsep umat yang diajukannya dilihat dari segi relasi
sosial tergolong pada kategori jenis masyarakat paguyuban (gemeinschaft).215
Keberadaan khayr ummah, menurut Muhammad Abduh, akan tetap tegak
jika sistem nilai Islam diimplementasikan dalam realitas kehidupan sosial, dan
gerakan realisasinya ini merupakan proses dakwah Islam. Muhammad Abduh juga
meyakini bahwa akhlak karimah merupakan perekat penyebab tegaknya khayr
ummah, di dalamnya terjadi penegakkan hak dan kewajiban individual,216 antara
individu dan komunal sesuai tuntunan ajaran Islam sebagai agama dakwah.
Ukhuwwah Islamiyah, akhlak karimah, dan penegakan hak dan kewajiban di
antara sesama individu di dalam ummah merupakan bagian dari esensi anatomi
masyarakat Islam.217
Mengenai penegakan hak dan kewajiban individual dan komunal dalam
struktur keumatan, menunjukkan penting adanya pemimpin yang memiliki fungsi
kepemimpinan, yaitu: (1) kepemimpinan sebagai fokus proses-proses kelompok;
(2) kepemimpinan sebagai kepribadian beserta efeknya; (3) kepemimpinan
sebagai pengupayaan pemenuhan; (4) kepemimpinan sebagai pelaksanaan
mempengaruhi; (5) kepemimpinan sebagai perilaku; (6) kepemimpinan sebagai
bentuk persuasi; (7) kepemimpinan sebagai hubungan kekuasaan; (8)
kepemimpinan sebagai alat untuk mencapai tujuan; (9) kepemimpinan sebagai
efek interaksi; (10) kepemimpinan sebagai peranan yang berbeda; dan (11)
kepemimpinan sebagai pemrakarsa.218
Mencermati penjelasan konsep ummah yang dimajkan Muhammad Abduh

dengan analisis sosiologis, maka interaksi dai dengan madu dalam struktur
215
Masyarakat paguyuban dicirikan oleh adanya interaksi sosial yang melibatkan relasi
primer yang rapat dan tatap-muka, tradisi dan tujuan yang sama. Selanjutnya lihat Judistira K.
Garna, Ilmu-ilmu Sosial, hlm. 148-149.
216
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 72, 311, 367, dan 370. Mengenai hak-hak dalam system
ummah, selanjutnya lihat Musthafa Husni Assibai, Sosialisme Islam, terj. Isytirâkiyah al-Islamy,
oleh Abdai Ratomy (Bandung: CV. Diponegoro, 1969).
217
Kajian mengenai anatomi masyarakat Islam ini, lebih lanjut lihat Yusuf al-Qaradawy,
Anatomi Masyarakat Islam, terj. Malâmih al-Mujtama al-Muslim al-ladzî Nansyuduh, oleh
Setiawan Budi Utomo (Jakarta: Pustaka al-kautsar, 1999), dan Ruben Levy, Susunan Masyarakat
Islam, terj. The Social Structure of Islam, oleh H.A. Lujito (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986).
218
Lihat Ralph M. Stogdill, Handbook Of Leadership, (New York: The Free Fresh, 1974),
hlm. 7-15.
142

keumatan terjadi aktivitas dakwah yang dikategorikan sebagai bentuk dakwah


ummah.

3. Media dan Prinsip Metode Dakwah


a. Media Dakwah
Media dakwah (washîlah al-dawah) merupakan salah satu komponen atau
unsur dalam struktur sistem dakwah. Ia berada dalam posisi yang mengantarai dan

menghubungkan materi dakwah antara dâi dengan madu, baik berupa benda

(mâddah) atau bukan benda (manawiyyah) yang berfungsi sebagai saluran yang
dilewati materi dakwah dalam proses dakwah guna mencapai tujuan dakwah.219
Dalam bahasa Arab, metode dakwah ini menggunakan term tharîqah (jalan) dan
washîlah (perantara).

Muhammad Abduh tidak menjelaskan washîlah dawah secara etimologis,

tetapi langsung menjelaskan dengan contoh. Menurutnya, washîlah dawah dapat

berupa masâjid (masjid), maâbid (rumah ibadah), manâzil (rumah

singgah/pemondokan), masâkin (rumah tinggal), dan maâhid (lembaga).220


Beberapa macam media dakwah ini tergolong ke dalam kategori washîlah
mâdiyyah. Muhammad Abduh juga memasukkan tulisan berupa buku, majalah,

suratkabar, dan bahasa lisan,221 sebagai washîlah mâdiyyah dawah, dalam

kategori yang dimajukan Muhammad Said Mubarak. Sedangkan yang tergolong

pada washîlah manawiyyah adalah sifat-sifat dan perbuatan dâ i. Sehubungan


dengan hal ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa, rasul itu tiada lain kecuali

219
Menurut Muhammad Said Mubârak, dengan merujuk QS. Al-Maidah (5): 35 dan al-Isra
(17): 57, ayat ini mengenai perilaku iman, jihad di jalan Allah dan berdoa sebagai macam
wasilah, washîlah al-da wah adalah: (segala sesuatu yang dijadikan
perantara guna mewujudkan tujuan-tujuan tertentu dan mewujudkan sasaran- sasarannya).
Terdapat dua macam wasilah. Pertama washilah mâdiyyah, yaitu masjid, lembaga- lembaga
pendidikan, dan pusat aktivitas keislaman, bahasa lisan, bahasa tulisan, dan gerakan badaniah,
alat-alat elektronik, barang-barang cetakan. Kedua, washîlah ma nawiyyah, seperti sifat- sifat yang
melekat pada pribadi dâ i, situasi waktu dan kondisi ruang. Lihat Muhammad Said Mubarak,
al-Da wah wa al-Idârah, hlm. 46-47, dan lihat Abu Bakar Jabir al-Jazairy, Aysar al- Taf^asir,
jld. I, hlm. 627.
220
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 29.
221
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 13 dan jld. III, hlm. 348. Macam-macam media dakwah ini
pada intinya adalah lisan, tulisan, lukisan, audio, audio-visual, alat elektronik, dan perbuatan. Lihat
Shalahuddin Sanusi, Ilmu Da wah (Bandung: PTDI Uswah Hasanah, tt.), hlm. 11.
143

perantara yang menyampaikan kitab Allah. Alasannya, karena ilmu yang benar
adalah ilmu yang merupakan deskripsi mengenai alam dan karakter yang melekat
dalam dirinya. Kegiatan-kegiatan itu tiada lain adalah cerminan sifat-sifat dan
karakter-karakter itu. 222
Kehadiran Muhammad Abduh pada zamannya yang telah melakukan
aktivitas ishlâhnya sebagai fokus utama dakwah yang diperjuangkannya, macam-
macam media dakwah yang terdapat pada saat itu telah digunakannya, baik

mâdiyyah maupun yang ma  nawiyyah. Prinsip-prinsip penggunaan macam-

macam media secara terperinci tidak dijelaskan.223 Muhammad Abduh hanya


mengemukakan bahwa ‫( ونكم مقام مقال‬setiap tempat ada topik perbincangannya
yang mengena). Walaupun demikian, secara implisit, makna prinsip-prinsip
penggunaan media dakwah ini, Muhammad Abduh memasukkan ke dalam
penjelasan mengenai prinsip-prinsip metode dakwah.

b. Prinsip-prinsip Metode Dakwah


Dalam suatu perintah untuk melakukan sesuatu, di balik perintah itu
terdapat petunjuk bagaimana sesuatu itu dilakukan, akan halnya dalam perintah
dakwah. Bagaimana dakwah ini dilakukan berhubungan dengan metode dakwah.
Term metode oleh para penulis tentang dakwah disebut manhaj, tharîqah, ushlûb,
dan sabîl.224
Muhammad Abduh mengemukakan metode dakwah menurut prinsip-
prinsipnya dengan merujuk QS. Al-Nahl (16): 125 ketika menafsirkan QS. Ali
Imran (3): 21, mengeni penegasan ancaman siksa yang pedih bagi orang-rang
yang mengingkari ayat-ayat Allah, membunuh para nabi-Nya tanpa hak dan
membunuh orang-orang yang memerintahkan menegakkan keadilan. Menurutnya
bahwa, sesungguhnya dakwah nabi, sejalan dengan keistimewaannya berupa

222
Al-Manâr, jld. III, hlm. 348.
223
Kajian mengenai prinsip-prinsip penggunaan media dakwah ini, selanjutnya lihat
Muhammad Said Mubarak, al-Dawah wa al-Idârah, hlm. 48-58, Muhammad Abd al-Fatah al-
Bayânûny, al-Madkhal ilâ „Ilm al-Dawah, hlm. 201-347, dan Ahmad Ahmad Ghalwus, al-
Dawah al-Islâmiyyah: Ushûluhâ wa Wasâiluhâ, hlm. 276-363.
224
Lihat Abd al-Munshif Mahmud Abd al-Fatah, Manhaj al-Dawah al-Islâmiyah min al-
Qurân al-Karîm wa al-Sunnah al-Nabawiyah, hlm. 60-66, dan Husayn Muhammad Yusuf, Sabîl
al-Da wah (Kairo: Dâr al-Itisham, 1979), hlm. 49-54.
144

topangan ilahi dan pengaruh jiwa wahyu, memiliki tiga prinsip dan mmetode
penampilan dakwah yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya „Serulah
ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, nasihat yang baik, dan bantahlah dengan cara
yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Maha mengetahui siapa yang tersesat
dari jalan-Nya dan Dia Maha Mengetahui siapa orang-orang yang mendapat

petunjuk. Hikmah di sini berarti metode dakwah yang digunakan terhadap kaum
berpikir dan kaum cendekiawan yang senang berargumen. Nasihat digunakan
terhadap kaum awam. Debat dengan cara lebih baik digunakan terhadap kalangan
menengah yang belum sampai pada derajat hikmah dan belum keluar dari tingkat

mauizhah secara mudah. Mereka masih suka berdiskusi meski tidak sempurna,
sehingga perlu dihadapi dengan perlakuan yang baik dalam berdebat dan
berbincang sesuai dengan tingkat pemikirannya. 225
Selanjutnya menurut Muhammad Abduh bahwa, ada tiga macam prinsip
metode yang menjadi basis bagi semua macam metode dakwah dalam teknik

operasionalnya, yaitu al-hikmah, al-mauizhah al-hasanah, dan mujâdalah al-

husnâ, yang diperuntukkan bagi mendakwahi tiga macam madu yang memiliki

karakteristik masing-masing. Al-hikmah diperuntukkan dalam menghadapi madu


„uqalâ (rasionalis) dan ahl al-nazhar (pemikir) dengan cara mengedepankan

macam-macam al-burhân (bukti) dan al-hujjah (argumen). Al-mauizhah al-

hasanah (nasihat yang baik) diperuntukkan dalam menghadapi madu awam yang
berpikiran sederhana. Kelompok ini menempati posisi terbanyak di kalangan
umat, antara lain dengan nashîhat atau tawshiyah.226 Mujâdalah al-husnâ
(berdebat secara santun) diperuntukkan dalam menghadapi madu yang tergolong
al-mutawâsithîn (kelas menengah) yang belum sampai ke tingkat pencapaian

hikmah tetapi tidak tunduk pada cara al-mauizhah.

225
Al-Manâr, jld. III, hlm. 263. QS. Al-Nahl (16): 125 ini, merupakan bimbingan Allah
kepada nabi Muhammad saw. dan umatnya cara melaksanakan kewajiban dakwah dalam bentuk
prinsip-prinsipnya, Yusuf Ali menyebutnya sebagai principles of religious teachings which are
good for all time (prinsip-prinsip ajaran agama yang baik bagi setiap zaman). Lebih lanjut lihat A.
Yusuf Ali, The Theology of the Holy Qurân Text, Translation, and Commentary (USA: Amana
Corp., 1983), hlm. 689.
226
lihat Abduh, Tafsîr Juz „Amma, hlm. 175-177.
145

Pemahaman adanya metode dalam kandungan QS. Al_nahl: 125 melalui


makna yang dikandung dalam bî al-hikmah, sebab bî merupakan bagian dari kata

al-jar atau tergolong pada bagian dari al-hurûf al-maânî, yaitu huruf yang
memiliki padanan kata bermakna. Di antara maknanya adalah al-ilshâq

(mendekatkan, menyambungkan), al-tadiyah (melewatkan), al-istiânah (alat


bantu pekerjaan), dan al-muqâbalah (mempertukarkan).227
Dengan demikian metode dakwah adalah cara mendekatkan dan

menyambungkan al-islâm kepada madu, cara melewatkan al-islâm melalui media

kepada madu, alat yang membantu sampainya al-islâm kepada madu, dan cara

mempertukarkan al-islâm kepada madu dengan sesuatu yang bukan al-islâm.


Menurut Muhammad Abduh, pengertian metode dakwah antara lain jalan
228
atau cara yang menghantarkan kepada kebenaran (al-haqq). Senada dengan
pendapat Muhammad Abduh, pengertian metode dakwah yang dimajukan
Muhammad Abu al-Fatah al-Bayânûny, yang menggunakan term uslûb dan asâlîb

untuk metode, menurutnya asâlîb al-dawah adalah jalan atau cara yang

ditempuh juru dakwah dalam melaksanakan dakwahnya. 229


Sebelum Muhammad Abduh, Imam Ghazali (w. 505H) dan Ibn Qayyim
al-Jauziyyah (w. 751H) telah menjelaskan mengenai tiga macam prinsip metode
dakwah ini. Imam Ghazali meyakini bahwa tiga macam prinsip metode dakwah
yang ditunjukkan dalam QS. Al-Nahl 125 merupakan isyarat akan adanya tiga

macam karakteristik madu yang dihadapi dalam melaksanakan kewajiban


dakwah Islam yang menjadi pedoman bagi juru dakwah agar berdakwah sesuai
peruntukannya.

227
Lihat Jamal al-din bin Hisyam al-Anshary, Mughny al-Labîb, jld. I (Indonesia: Dâr Ihya
al-Kutub alArabiyah, tt.), hlm. 96-97.
228
Al-Manâr, jld. I, hlm. 66. Al-haq adalah Allah dan segala sesuatu yang datang dari Allah
berupa wahyu yang disampaikan kepada para utusannya. Lihat Musthafa Mahmud, Allah antara
Yang Ada dan Tiada, terj. Al-Wujûd wa al-„Adam, oleh Abu Bakar Basymeleh (Surabaya: Media
Idaman, 1982), hlm. 20-30. Menurut kajian Mahmud Musa, al-haq adalah Allah, al-hikmah, al-
islâm, al-syarîah, al-qurân, âyât Musa, al-„ilm al-shâlih, al-„adl, al-shidq, al-nashr, al-ba ts, dan
al-dîn. Lebih lanjut lihat Mahmud Musa, Qâmûs Qurânî (Kairo: Mathbaah Khalil Ibrahim, 1966),
hlm. 174-176.
229
Muhammad Abu al-Fatah al-Bayanuni, al-madkhal ilâ „Ilm al-Da wah, hlm. 242. Ia juga
menyebut bahwa tiga macam metode yang ditunjukkan dalam QS. Al-Nahl 125 itu sebagai
(induk metode dasar).
146

Menurut Imâm al-Ghazali bahwa, al-hikmah digunakan untuk menghadapi

madu al-„ulamâ al-kâmilûn (kaum cendekia yang sempurna) yang memiliki


pemikiran yang sehat dan penglihatan yang tajam dalam mencari hakikat segala

sesuatu. Hal ini dilakukan dengan cara menunjukkan al-dalâil al-qathiyyah al-

yaqîniyyah (bukti-bukti yang pasti dan meyakinkan). Al-mauizhah digunakan

dalam menghadapi madu ashhâb al-fithrah al-salîmah al-ashliyyah (penyandang

fitrah yang murni dan asli). Madu ini merupakan kelompok manusia yang
terbanyak yang belum sampai pada derajat kemuliaan, bahkan mereka sering

terjebak pada tindakan tercela. Dakwah mauizhah di sini dilakukan dengan cara

nashîhah dan taushiyah. Mereka berada pada posisi di tengah antara madu

kelompok pertama dan kelompok madu yang ketiga, yaitu ashâb al-jidâl (ahli

berdebat), khishâm (bertelingkah), dan mu ânadah (berselisih pendapat), dengan


cara berdiskusi yang baik dan santun. 230
Pasangan penggunaan tiga macam prinsip metode dakwah dalam

menghadapi tiga macam madu ini, bagi Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, agak berbeda
dalam memberikan karakteristiknya, yang lebih menekankan pada aspek

responnya, yaitu: (1) al-hikmah digunakan untuk menghadapi mad u cendekia

yang menerima kebenaran dan tidak menentangnya; (2) al-mauizhah al-hasanah

digunakan untuk menghadapi madu yang menerima kebenaran dari kalangan


orang yang lupa dan tertinggal dalam keilmuan Islam dan penegakannya; dan (3)

al-mujâdalah digunakan untuk menghadapi madu yang cendekia tetapi menolak


dan menentang kebenaran.231
Dari ketiga pendapat mengenai tiga macam prinsip metode dakwah dan

tiga macam tipe madu yang dihadapinya, baik menurut Muhammad Abduh, al-
Ghazali, dan Ibn al-Qayyim, jika digambarkan menunjukkan “kurva normal.”

230
Lihat Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Gazali, al-Qisthâs
alMustaqîm dalam al-Qushûr al-„Alawaly, jld. I, ed. Muhammad Musthafa Abu al-Alâ (Mesir:
Maktabah al-Jundi, 1970), hlm. 11.
231
Lihat Ibn al-Qayyim al-Jawziyah, Al-tafsîr al-Qayyim (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988) hlm.
34. Al-hikmah ini sebagai prinsip-prinsip metode dakwah, lebih lanjut lihat Said bin Ali al-
Qahthani, Dawah Islam Dawah Bijak, terj. Al-Hikmah fî al-Da wah ilâ al-Lâh, oleh Masykur
Hakim dan Ubaidillah (Jakarta: Gema Insani Press, 1994).
147

Bagi madu „uqalâ mustajib dan muânid masing-masing berimbang. Lebih

banyak kelompok madu „awâm.232


Selanjutnya, tiga macam prinsip metode dakwah: (a) al-hikmah, (b) al-

mauizhah hasanah, dan (c) al-mujâdalah al-husnâ dijelaskan oleh Muhammad


Abduh sebagai berikut:

1). Al-Hikmah
Muhammad Abduh meyakini bahwa term al-hikmah memiliki banyak
makna. Antara lain Muhammad Abduh menyatakan bahwa, hikmah merupakan
ilmu yang disertai dengan rahasia-rahasia hukum dan manfaatnya yang
membangkitkan kegiatan mengamalkan ilmu tersebut. Sebagian ulama
233
memaknainya sebagai sunnah.
Dalam ungkapan Muhammad Abduh di atas, hikmah digunakan untuk
menunjuk ilmu yang bermanfaat tentang rahasia-rahasia hukum yang
membangkitkan pada pengamalannya, dan al-sunnah.234
Muhammad Abduh juga mengartikan hikmah ketika menafsirkan QS. Al-
Baqarah 269 menurutnya bahwa, hikmah di sini berarti ilmu yang valid dan
menjadi sifat yang melekat dalam jiwa dan mengendalikan keinginan yang
mengarahkannya pada pengamalan ilmu.235
Sebelum Muhammad Abduh, al-Fairuzzabadi (w. 817 H) berpendapat
yang esensinya sama dengan ungkapan Muhammad Abduh di atas. Selain term al-
hikmah berarti al-Quran dan al-sunnah bagi al-fairuzzabadi, term al-hikmah
adalah akurasi perkataan, perbuatan dan pendapat. 236

232
Komposisi ini perlu dikaji pada tataran empirik melalui penelitian khusus.
233
Al-Manâr, jld. II, hlm. 29. Term al-hikmah dalam QS. Al-Baqarah 269 dimaksudkan
sebagai ilmu tentang Al-Qurân dan al-sunnah. Lihat Muhammad Sulayman Abd Allah al-Asyqar,
Zubdah al-Tafsîr (Riyadh: Dâr al-Tadmuriyah, 2004), hlm. 45. Secara lughawi, hikmah berarti al-
„adl, al-„ilm, al-hilm, al-nubuwwah, al-qurân, al-injîl, al-sunnah, al-„ilah, al-tajribah, al-ishabah,
dan al-khayr. Kemudian lihat Muhammad Abd al-Fatah al-Bayânûni, al-Madkhal fî „Ilm al-
Dawah, hlm. 24-25.
234
Al-sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW berupa
perkataan, perbuatan, dan persetujuan atas suatu perkara. Lihat Abd al-Wahâb Khalaf, „Ilm Ushûl
al-Fiqh, hlm. 36.
235
Al-Manâr, jld. III, hlm 75.
236
Lihat Abu Thahir Muhammad bin Yaqûb al-Fairuzzabadi, Tanwîr al-Miqbâs min Tafsîr
Ibn „Abbâs (Jedah: al-haramayn, tt.), hlm. 31 dan 175.
148

Berbeda dengan pendapat Muhammad Abduh dan al-Fairuzzabadi di atas,


pengertian al-hikmah yang diyakini oleh Ibn al-Qayim al-Jawziyah, menurutnya
bahwa hikmah berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya yang patut. 237
Ketika menafsirkan QS. Ali Imran 164, term al-hikmah dalam ayat ini,
dinyatakan oleh Muhammad Abduh yaitu, adapun hikmah adalah rahasia serba
urusan, pemahaman atas berbagai hukum, penjelasan kemasalahatan di dalamnya,
dan jalan menuju pengamalannya. Itulah pemahaman yang mampu
menggairahkan pengamalan. Hikmah juga berarti pengamalan yang
memungkinkan pemahaman atas hukum-hukum tadi atau metode penelusuran
dalil dan pencarian berbagai hakikat melalui serba buktinya. Metode ini tiada lain
adalah metode Al-Qurân dan sunnahnya dalam hal akidah, moral, dan juga
ibadah.238
Al-hikmah sebagai prinsip metode dakwah dalam paparan Muhammad
Abduh di atas memuat kategori lain yaitu sebagai metode Al-Qurân dan sunnah
Al-Qurân dalam mendakwahkan aspek ajaran Islam, yaitu al-„aqâid, al-adâb dan
al-„ibâdah. Esensi al-hikmah menurut Muhammad Abduh meliputi: (1) rahasia-
rahasia segala sesuatu; (2) pengetahuan mendalam mengenai hukum-hukum; (3)
penjelasan nilai guna yang terkandung dalam hukum; (4) cara-cara pengamalan
hukum; (5) pemahaman mendalam mengenai hukum sebagai pembangkit
perbuatan,; (6) pengamalan hukum dapat menyampaikan kepada pemahaman
mendalam tentang hukum; (7) macam-macam metode istidlâl (penalaran dalam
pengambilan keputusan); dan (8) al-burhân argumen demonstratif sebagai cara
memahami segala hakikat pengetahuan.239
Macam-macam esensi al-hikmah di atas diimplementasikan secara
obyektif-proporsional dalam proses dakwah menurut dan sesuai dengan bentuk

237
Tafsîr al-Qayyim, hlm. 345.
238
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 223. Term bî al-hikmah dalam QS. Al-nahl 125 diartikan oleh
Muhammad Karim Rajih sebagai (dengan cara perlakuan yang tepat dan
akurat, yaitu dalil kebenaran yang menghilangkan keraguan). Lebih
lanjut lihat karyanya Audhah al-Bayân fî Syarh al-Mufradât wa Jumal al-Qurân (Beirut: Dâr al-
Marifah, 1983), hlm. 60 dan 232.
239
Bandingkan dengan pendapat al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jâwi, al-Tafsîr al-Munîr,
jld. 1 (Bandung: CV. Al-Maarif,tt.) hlm. 468.
149

kegiatannya, baik dalam dawah bi ahsan al-qaul, dawah bi ahsan al-„amal, dan

dawah al-nafsiyah sebagaimana diisyaratkan dalam QS. Fushilat 33.


Kemudian, dalam pengertian al-hikmah yang dimajukan Muhammad
Abduh yang memuat delapan macam esensi hikmah, terdapat tiga macam esensi
yang berhubungan dengan metode penalaran sebagai pekerjaan akal, yaitu: fqih,
bayân, thuruq al-istidlâl, dan barâhîn sebagai bentuk plural dari burhân. Berikut
penjelasan empat term dari esensi hikmah ini.
Pertama, fiqh atau al-fiqh menurut Al-Askary adalah ilmu tentang topik
perbincangan sesuai dengan jalan pemikirannya yang berbeda dari ilmu itu
sendiri. Oleh sebab itu, tidaklah patut dikatakan bahwa Allah memahami karena
Dia tidak bisa disebut sebagai melakukan pemikiran (permenungan mendalam).
Lalu ia menegaskan, bahwa sesungguhnya ilmu itu adalah mengetahui sesuatu
dan meyakininya secara obyektif dan meyakinkan. 240
Kedua, bayân merupakan bagian dari term metodologis dalam pekerjaan
akal ketika memahami dan menerangkan obyek pengetahuan yang dikajinya.
Muhammad Abd al-jabiri menggunakan term bayânî selain term burhânî dan
irfânî sebagai sistem pengetahuan dalam formasi nalar Arab.241 Term al-bayân
juga digunakan dalam disiplin ilm al-fiqh, usûl al-fiqh, dan balâghah. Oleh
karenanya, pengertian al-bayân ini dibatasi pada dua arti yaitu al-bayân sebagai

al-tarîf dan al-dalîl, yang penggunaannya dapat digunakan dalam tablîgh al-
islâm ketika menjelaskan ajaran Islam sebagai materinya, melalui lisan, tulisan,
dan perbuatan.

Al-bayân sebagai al-tarîf dijelaskan oleh Muhammad Husni Abd al-


Hakim adalah mengeluarkan sesuatu dari bentuknya yang abstrak menjadi
berbentuk konkret dan jelas. Sedangkan al-bayân sebagai al-dalîl adalah dalil
yang dengan penalarannya yang benar di dalamnya mengantarkan kepada
pengetahuan atas sesuatu yang didalilinya. 242

240
Lihat Abu Hilal al-Askary, al-Lum ah min al-Furûq (Surabaya: al-Maktabah al-
Tasaqafiyah, tt.), hlm. 9 dan 11.
241
Penelaahan lebih lanjut, lihat Muhammad Abd al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, terj.
Takwîn al-„Aql al-„Araby, oleh Imam Khoiri (Yogyakarta: IRCiSod, 2003).
242
Muhammad Husni Abd al-Hakim, al-Ijmâl wa al-Bayân (Kairo: Jamiah al-Azhar,
1982), hlm. 37.
150

Dalîl merupakan keterangan yang memberikan petunjuk atas perkara yang


dicari yang bersumber dari pendengaran dan penalaran. Yang pertama berupa al-
kitâb dan al-sunnah dan yang kedua berupa nazhar (pemikiran mendalam) dan

taammul (perenungan mendalam). Dalil ini digunakan dalam menggambarkan

ajaran Islam oleh dâi ketika melaksanakan kewajiban dakwah sesuai dengan
tuntutan situasi dan kondisi madu yang dihadapinya. 243
Sumber al-bayân adalah sunnah utusan Allah SWT dan dari sumber ini
melahirkan macam-macam kegiatan bayân. Muhammad al-Asqari, sebagaimana
dikutip oleh Muhammad Husni Abd al-Hakim berpendapat bahwa, sesungguhnya
Allah, Dzat yang tampak agung hikmah-Nya, menjadikan Rasul SAW. sebagai
manusia teladan bagi al-kitâb yang menjabarkan melalui tingkah-laku, kegiatan,
perasaan, dan pemikirannya berbagai prinsip dasar metode qurani dan makna-
maknanya. 244
Berdasarkan atas penelaahan sunnah rasul Allah SWT oleh para ulama,
terdapat delapan macam al-bayân menurut tehniknya, yaitu: (1) al-bayân bî al-

qaul (penjelasan dengan perkataan), (2) al-bayân bî al-fiil (penjelasan dengan


perbuatan), (3) al-bayân bî al-taqrîr (penjelasan dengan persetujuan), (4) al-
bayân bî mâ hamma bih (penjelasan dengan sesuatu yang tersirat), (5) al-bayân bî
al-isyârah (penjelasan dengan tanda petunjuk), (6) al-bayân bî al-kitâbah
(penjelasan melalui tulisan), (7) al-bayân bî al-tarki (penjelasan dengan tidak
melakukan), dan (8) al-bayân bî al-tanbîh „alâ al-„illah (penjelasan dengan
peringatan yang beralasan). Subyek instrumen dari kedelapan macam al-bayân ini
berfungsi sebagai media dakwah dan aktualisasi aktivitasnya sebagai metode
dakwah.245
Ketiga, thuruq al-istidlâl, Muhammad Abduh berpendapat bahwa metode-
metode penalaran dalam mengambil keputusan atau penyimpulan dengan
mengajukan alasan yang kuat dalam menetapkan sesuatu yang dituju adalah

243
Lebih lanjut lihat Muhammad bin Shalih al-„Utsaymin, Syarh Tsalâtsah al-Ushûl
(Riyadh: Muassasah al-Jarisy, 1994), hlm. 14-15.
244
Muhammad Husni Abd al-Hakim, al-Ijmâl wa al-Bayân, hlm. 38.
245
Pendapat ini dikutip dari pendapat Imâm al-Zarkâsyi, lihat Muhammad Husni Abd al-
Hakim, al-Ijmâl wa al-Bayân, hlm. 38.
151

bagian dari esensi al-hikmah dalam dakwah. Muhammad Abduh menjelaskan


perlunya menerapkan metode penalaran ini ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah
111 dan menghubungkannya dengan QS. Yusuf 108, menurutnya bahwa Al-
Qurân mengajarkan kepada ahlinya agar mereka menuntut sekalian manusia untuk
menggunakan argumen (al-hujjah) karena Al-Qurân menempatkan mereka pada
posisi argumentasi yang sama. Ia juga mendorong orang yang meyakininya untuk
menuntut lawan-lawanya berargumen dan menyerunya kepadanya. Jalan inilah
yang ditempuh oleh kaum salaf umat Islam yang saleh. Mereka berpendapat atas
dasar dalîl dan menuntut dalil dari yang lain. Mereka melarang melakukan
penalaran (al-istidlâl) tanpa dasar dalil. Kemudian datanglah generasi penerus
yang tidak saleh. Mereka memutuskan sesuatu secara taklid dan meerintahkan
bertaklid. Mereka mencegah orang menelusuri bukti-bukti (al-burhân)
ketidakbenaran taklid. Sehingga, seolah-olah Islam itu keluar dari batasannya atau
berbalik ke arah lawannya. Segeralah orang-orang yang mengerti bahwa Islam
berbeda dari agama-agama lain menyerang taklid dan menekankan perlunya data
dan dalil. Orang-orang lalu mengetahui kemerdekaan berpikir, sambil berdiskusi
tentang hal itu, menyerukan umat Islam untuk kembali kepada dalil dan mencela
kecenderungan untuk memercayai informasi tanpa dalil.246
Dalam ungkapan Muhammad Abduh di atas, terdapat term al-istidlâl dan
al-dalîl, al-hujjah, dan al-burhân sebagai perangkat metodologis penalaran ilmiah

dalam mendakwahkan al-islâm kepada madu „uqalâ. Berikut penjelasan singkat


term ini yang dirangkum dari para pengkaji manthiq:
Pertama, Al-istidlâl dan dalîl. Istidlâl adalah iqâmah al-dalîl li itsbât al-
dalîl (menegakkan dalil untuk menetapkan apa yang dikehendaki) dan dalîl adalah
mâ yarsyudu ila al-mathlûb (sesuatu yang mengarahkan pada apa yang
dikehendaki). Terdapat dua macam istidlâl, pertama istidlâl al-mubâsyir dan
kedua istidlâl ghayr al-mubâsyir. Pengertian istidlâl macam pertama adalah
iqâmah al-dalîl „ala al-mathlub mubâsyiratan ay mustaqîman (menegakkan dalil
atas sesuatu yang dikehendaki secara langsung atau linier). Ini meliputi tiga cara:

246
Al-Manâr, jld. I, 425. Pandangan Muhammad Abduh ini sarat dengan substansi teori
paradigma tindakan rasional.
152

(1) al-qiyâs (silogisme), (2) al-istiqrâ (induksi), dan (3) al-tamtsîl (penampilan
contoh). Ketiga macam ini menjadi isi dari al-hujjah (argumen logis). Pengertian
yang kedua adalah iqâmah al-dalîl „ala mâ yalzumu al-mathlûb li itsbâtihi
(menegakkan dalil atas sesuatu yang memestikan adanya sesuatu yang
dikehendaki guna menetapkannya). Ini meliputi tiga cara: (1) tanâqud, (2) „aks
mustawi, dan (3) aks al-maqîdh;
Kedua, al-hujjah, secara lughawi berarti al-ghalabah (mengalahkan).
Secara ishtilâhi, hujjah berarti al-dalîl al-dâl „alâ al-mathlûb (dalil yang
menunjukkan pada sesuatu yang dikehendaki). Jika keterangan dimaksudkan
untuk menunjuk pada penggambaran sesuatu tanpa adanya penetapan sesuatu

padanya, disebut tarîf (definisi). Jika ada penetapan pada sesuatu yang ditunjuk
disebut tashdîq (proposisi). Hujjah ini meliputi tiga macam cara: (1) al-qiyâs, (2)
al-istiqrâ, dan (3) al-tamtsîl. Inti penalaran dalam al-qiyâs adalah menetapkan
ketentuan umum kepada bagian-bagiannya, istiqrâ menetapkan hukum yang
terdapat dalam bagian kepada umum, dan tamtsîl menetapkan bagian kepada
bagian yang lain atas adanya titik persamaan.
Ketiga, al-burhân, secara lughawi berarti al-dalîl (penunjuk), secara

ishthilâhi, al-burhân adalah al-dalîl al-qathiy al-murakkab min mqaddimât


yaqîniyah (penunjuk yang pasti yang terdiri atas premis-premis yang valid) dan
muqaddamât yaqîniyyah (premis-premis yang valid) ini meliputi: (1) al-awaliyât,
(2) al-musyâhadât, (3) al-mujarrabât, (4) al-hadatsiyât, (5) al-mutawâtirât, dan
(6) al-wijdâniyât. Al-burhân ini ada dua macam: (1) al-burhân al-limiyyî, yaitu

al-istidlâl min al-„illah ila al-malûl (mencari dalil dari alasan menuju obyeknya)

dan (2) al-burhân al-Inayyi, yaitu al-istidlâl min al-malûl ilâ al-„illah (mencari
dalil dari obyek menuju alasan). 247
Muhammad Abduh melontarkan kritikan terhadap para pembaca Al-Qurân
yang hanya menekankan pada cara dan keindahan bacaannya. Mereka

247
Lihat Zainun Kamal, Kritik Ibn Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, hlm. 54-63,
Muhammad Nur al-Ibrahimy, „Ilm al-Manthiq (Surabaya: Maktabah Said bin Nashim Nabhan,
tt.), hlm. 86-87, Muhammad Sayid al-Jalind dan Rizq al-Hajr, Dirâsât fî al-Manthiq wa Manâhij
al-Bahts (Kairo: Maktabah al-Zahra, tt.), hlm. 107-116, dan Muhammad Anwar al-Badkhasyani,
Tashîl al-Manthiq (Karaci: Idârah al-Qurân wa al-„Ulum al-Insâniyah, 1988), hlm. 88-89.
153

mengabaikan makna apa yang dibacanya padahal Al-Qurân merupakan petunjuk


kehidupan yang pemahaman term-term yang dikandungnya memerlukan
penggunaan dilâlah lafzhiyyah, tadhamun, muthâbaqah, dan iltizâm.248 Tiga
macam dilâlah ini merupakan kegiatan penalaran pembentukan konsep
(tashawwur) dan pembentukan keputusan (tashdîq).
Muhammad Rasyid Ridha sebagai murid Muhammad Abduh meyakini
bahwa kehadiran Nabi Muhammad SAW pada zamannya, dirinya sendiri menjadi
al-burhân bagi umatnya: pertama, burhân bis îratihi al-„ilmiyyah (bukti
kebenaran dengan perjalanan dan kegiatan hidupnya) dan kedua, burhân fi

dawatihi al-„ilmiyyah al-syariyyah (bukti kebenaran melalui dakwahnya yang


ilmiah dan membawa syariat). Berkenaan dengan yang kedua ini, Nabi
Muhammad SAW., menurut Muhammad Abduh, telah memberikan contoh
penggunaan al-hujjah dalam lima macam metode, yaitu dengan memberikan
argumen rasional dan argumen demonstratif berupa: (1) bayân al-hujaj al-
kawniah al-„aqliah (menjelaskan argument-argumen kealaman yang rasional); (2)

bayân al-syarâi al-„amaliah (menjelaskan segala syariat praktis); (3) bayân al-
hikmah al-adâbiah (menjelaskan hikmah etik); (4) bayân al-siy sah al-hurriyyah
(menjelaskan politik kemerdekaan); dan (5) bayân al-siyâsah al-ijtimaiah
(menjelaskan politik kemasyarakatan).249
Dari pemikiran Muhammad Abduh mengenai hakikat hikmah, dapat
dipahami bahwa, dakwah rasional merupakan kekhasan pemikiran Muhammad
Abduh tentang dakwah, rasionalitas dakwah ini dipandang urgen dalam
mempengaruhi media, yang dalam term komunikasi disebut logos, yaitu
pendekatan rasional dalam mempengaruhi komunikasi.250

2). Al-Mau’izhah al-Hasanah

Term al-mauizhah disebut juga dengan term al-wazh, secara lughawî, al-

mauizhah berarti al-nashîhah (nasehat, ketulusan), al-dzikr (peringatan), dan al-

248
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 74.
249
Lihat Al-Manâr, jld. VI, hlm. 99. Ini merupakan bagian penafsiran Rasyid Ridha atas
QS. Al-Nisa 174, ayat ini mengenai kehadiran nabi Muhammad sebagai burhân.
250
Lihat Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, hlm. 86-87.
154

washiyah (wasiat, pesan penting). Dan al-hasanah berarti kebaikan dari al-

sayyiah (keburukan). Dengan demikian, al-mauizhah al-hasanah berarti nasihat,


peringatan, dan pesan yang baik.251 Muhammad Abduh menjelaskan pengertian

term al-wazh antara lain, yaitu wazh adalah nasihat dan peringatan akan
kebaikan dan kebenaran dengan cara yang menyentuh hati dan memotivasi untuk
beramal.252
Nasihat dan peringatan dengan kebaikan dan kebenaran yang terkandung
dalam Islam agama dakwah, dilakukan dengan menggunakan bahasa lisan
maupun tulisan dan bahasa perbuatan. Oleh karenanya, al-„Uqaili mengajukan

pendapatnya mengenai pengertian al-mauizhah al-hasanah ini sebagai kata-kata


yang baik, yang menggerakkan jiwa dan berkesan dalam perasaan, dan membuat
jiwa mau menerima mendengar kebenaran. Ia menerimanya atas izin Allah Yang
Mahagagah dan Mahaperkasa. Uqaili memasukkan „dengan izin Allah „azza wa

jalla dalam pengertian mauizhah hasanah di atas merujuk pada QS. Al-Ahzâb
(33): 46.253
Muhammad Abduh melontarkan kritiknya bahwa, penggunaan bahasa

lisan dan tulisan merupakan esensi mauizhah hasanah banyak dilanggar oleh

para dâi dan muballigh pada zamannya. Nasihat banyak menyinggung perasaan

madu dan saling menjelekkan sehingga jiwa umat semakin jauh dari saling
mencintai di antara sesama dan menimbulkan konflik horizontal, retaknya
persaudaraan dan perpecahan umat. 254
Oleh karena itu, Muhammad Abduh menyeru agar tuntunan Al-Qurân

mengenai penggunaan bahasa dan perbuatan dalam merealisasikan mauizhah


hasanah dipatuhi, yaitu: menggunakan tutur-kata yang lemah-lembut, sopan dan
santun, bahasa yang sesuai dengan nilai keluhuran bahasa Al-Qurân sebagai kitab
dakwah, memuji dan mencaci pada tempatnya, memberikan informasi solusi
persoalan kehidupan yang penuh optimisme, memberikan motivasi dan

251
Lihat al-Bayânûny, al-Madkhal ilâ „Ilm al-Da wah, hlm. 258.
252
Al-Manâr, jld. II, hlm. 404. Ungkapan Abduh ini bagian penafsiran QS. Al-Baqarah 232,
ayat ini mengenai peran mawidzah dalam mengatasi konflik keluarga.
253
Ahmad bin „Abd al-Wahâb al-„Uqayli, al-Tharîq ilâ al-Jannah: „Ilm wa Dalîl, hlm. 188.
254 254
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 29.
155

membangkitkan semangat menegakkan akidah yang bebas dari belenggu bidah


dan khurafat, bebas dari belenggu taklid, memberi contoh akhlak mulia dan
menentang segala intervensi budaya non-Islam yang merusak tatanan hidup umat
Islam, menyeru dan memberi contoh menegakkan keadilan, persaudaraan dan
memajukan peradaban sesuai tuntunan Al-Qurân menurut contoh sunah rasul dan
generasi salaf yang saleh.255
Muhammad Abduh meyakini bahwa taushiyah merupakan bagian dari

prinsip mauizhah hasanah, antara lain menurutnya taushiyah adalah sebagaimana


dapat dipahami dari konotasi bahasa dan penggunaannya pada tempo dulu dan
sekarang, adalah sesuatu yang anda pesankan kepada orang lain berupa kegiatan
pada masa mendatang baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Lalu
Muhammad Abduh menambahkan penjelasannya bahwa wasiat adalah
memberikan pesan dengan nada peringatan kepada orang lain untuk sesuatu yang
bisa ia kerjakan. 256
Ketika menafsirkan QS. Al-„Ashr, Muhammad Abduh antara lain
mengemukakan esensi utama dari taushiyah adalah perintah berbuat amal saleh
dan melarang berbuat amal batil.257

3). Al-Mujâdalah al-Husnâ


Ada sementara mufasir yang berpendapat bahwa al-mujâdalah al-husnâ
tidak termasuk prinsip metode dakwah, dengan alasan gramatikal bahwa kalimat

tersebut tidak diathafkan kepada al-hikmah dan al-mauizhah al-hasanah, tetapi


merupakan awal kalimat. Muhammad Abduh tidak mengikuti pendapat tersebut.
Menurutnya, al-mujâdalah al-husnâ termasuk rpinsip metode dakwah, sebab jidâl
merupakan bagian dari fithrah insâniyyah yang diinformasikan oleh Allah SWT.

Oleh karenanya, untuk menghadapi tipe mad u yang gemar mengaktualisasikan

255
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 399-400 dan Al-Manâr, jld. V, hlm. 230-231. Lihat pula al-
Bayânûni, al-Madkhal ilâ „Ilm al-Da wah, hlm. 259.
256
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 404-405. Ungkapan Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-
Nisa 11, ayat ini mengenai washiyah dalam ketentuan warits.
257
Lihat Abduh, Tafsir al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 176.
156

potensi jidâl pada dirinya hendaknya digunakan jalan al-mujâdalah al-husnâ


ini.258
Secara lughawi al-mujâdalah atau al-jidâl, menurut al-Bayânûni, berarti
al-munâqasyah, al-munâzharah, al-muhâwarah (diskusi dan dialog akademis)
dan al-ladadu fi al-khushûmah (perang argumentasi). Sedangkan secara ishthilâhi,
al-jidâl adalah bantahan seseorang terhadap lawan-lawanya mengenai kekeliruan
pendapatnya dengan argument atau sejenisnya. 259
Pengertian lughawi dan ishthilâhi tentang al-jidâl ini dijelaskan oleh al-
„Uqayli, menurutnya bahwa, jidâl secara etimologis adalah perang argumentasi
dan kemampuan untuk melakukannya. Makna generik jidâl adalah kecamuk
peperangan. Secara terminologis, jidâl berarti perang kata-kata dalam suasana
pertikaian dengan suasana permusuhan yang sengit.260
Mengingat al-jidâl dalam nash Al-Qurân surah al-Nahl 125 diberi

keterangan dengan sifat „yang lebih baik maka al-jidâl ini ada yang tidak baik
dan tercela (madzmûm), yaitu untuk mencari kemenangan dan menebar
permusuhan terhadap lawan jidâlnya. Sedangkan jidâl yang lebih baik dan terpuji
(al-mamdûh) ditujukan untuk mencari kebenaran dan menegakkannya serta
menebarkan persaudaraan dan kemitraan. Dalam pengertian inilah, jidâl
digunakan sebagai prinsip metode dakwah Islam. Jika jidâl madzmûm
mengedepankan sentimen mengabaikan argumen, maka jidâl mamdûh
mengedepankan argumen mengabaikan sentimen. Oleh karenanya, kalangan
ulama Islam membedakannya dengan menggunakan istilah mudzâkarah (diskusi)
untuk jidâl mamdûh dan mukhâshamah untuk jidâl madzmûm. Selain itu juga

digunakan istilah mukâbarah (adu kesombongan) dan munâzaah


(percekcokan/pertikaian).261
Munâzharah merupakan aktivitas potensi akal manusia dengan
mencurahkan daya upaya dalam memahami, mencari, dan menegakkan kebenaran

258
Lihat Al-Manâr, jld. III, hlm. 263-264.
259
Lihat al-Bayânûni, al-Madkhal ilâ „Ilm al-Da wah, hlm. 262.
260
Lihat al-„Uqayli, al-Tharîq ilâ al-Jannah: „Ilm wa Dalîl, hlm. 192.
261
Selanjutnya lihat Abd al-Rasyid al-Jughûry, al-Rasyîdiyyah (Mesir: Mushthafa al-Babi
al-Halabi, 1350H), hlm. 12-17. Selanjutnya disebut al-Rasyîdiyyah.
157

yang bersumber pada nash (teks Al-Qurân dan hadits) dan konteks yaitu tatanan
sunnah Allah (hukum alam) dalam realitas alam materi dan alam immateri, yang
menurut para fuqahâ disebut ijtihâd. Munâzharah digunakan secara proporsional

dalam menghadapi madu „uqalâ yang tidak menolak kebenaran, dan „uqalâ yang

menolak kebenaran. 262


Abd al-Rasyid al-Jûngûry (w. 1083H) mengajukan pemikirannya
mengenai etika munâzharah yang ringkasnya yaitu, bagi pelaku munâzharah
(munâzhir) hendaknya menguasai materi yang dimunâzharahkan secara baik dan
benar, tidak tergesa-gesa dalam mengemukakan pendapat, menghilangkan
sentimen pribadi, berbicara sesuai proporsinya, tidak mencampuradukkan dalîl

qathiyyah dengan dalîl zhanniyyah dan menguasai cara-cara berbicara yang baik,
benar, dan sopan. Hal-hal ini hendaknya menjadi karakteristik kepribadian
munâzhir. Kemudian, etika teknis dalam proses munâzharah hendaknya: (1) tidak
terlalu ringkas dalam menyampaikan pendapat; (2) tidak terlalu panjang dalam
membahas persoalan; (3) tidak menggunakan istilah-istilah asing bagi lawan
bicara; (4) tidak menggunakan term yang ambigue tanpa ada penyerta yang
menjadi acuan dalam pemahaman; (5) tidak berbicara di luar konteks
pembicaraan; (6) tidak menertawakan lawan bicara dan tidak menggunakan nada
suara yang keras, tidak menggunakan ungkapan orang sufahâ; (7) tidak
menampilkan perilaku yang menakutkan lawan bicara; (8) tidak mengejek dan
merendahkan lawan bicara; (9) meluruskan niat menegakkan kebenaran,
menjauhkan sentimen, tidak bermaksud menjatuhkan lawan dalam waktu singkat;
(10) memperhatikan kesopanan perfromence pun hendaknya dipelihara. Misalnya,
cara duduk hendaknya sesuai dengan tata kesopanan yang dianut bersama, tidak
bermunâzharah ketika lapar dan dahaga; dan (11) mengendalikan hawa nafsu, dan
jauhkan perilaku emosi dan marah. 263

262
Selanjutnya lihat Muhammad Imarah, Karakteristik Metode Islam, terj, Ma âlim al-
Manhaj al-Islâmi, oleh Saefullah Kamalie (Jakarta: Media Dakwah, 1994), hlm. 143-192.
263
Selanjutnya lihat al-Rasyîdiyah, hlm. 107-110, dan kajian lebih sistematis mengenai
prosedur munâzharah ini lebih lanjut lihat Muhammad al-Amin al-Syinqithi, Adâb al-Bahtsi wa
al-Munâzharah (Kairo: Maktabah Ibn Taymiyah, tt.).
158

Sebagai dâ i pemikir, Muhammad Abduh telah memberikan gambaran


implementasi munâzharah yang dapat dikategorikan pada jidâl mahmûd dalam
karya tulisnya al-Islâm wa al-Nashrâni fi al-„Ilm wa al-Madaniyyah.264
Dari paparan dan analisis metodologis perumusan hakikat, dasar hukum,
tujuan, dan unsur dakwah menurut Muhammad Abduh yang telah dikemukakan,
dapat dikonseptualisasikan rumusan kesimpulannya secara taksonomis kepada
aspek epistimologis, ontologis dan aksiologis bagi pengembangan disiplin ilmu
dakwah yaitu: aspek epistimologis dakwah bersumber pada al-Quran, sunnah
Rasul, realitas empiris aktivitas dakwah dalam rentang sejarah dan produk ijtihad
ilmuwan dakwah yang dirumuskan dengan menggunakan kaidah manthiqiyah
sebagai kaidah kerja akal dalam memahami dan mengkonseptualisasikan dakwah
sebagai objek kajiannya. Aspek ontologis, hakikat dakwah adalah perilaku
rasional berupa internalisasi, transmisi, transformasi, dan difusi Islam sebagai
proses ishlâh dan tajdîd kehidupan umat guna memperoleh kehidupan yang
hasanah di dunia dan di akhirat serta terbebas dari siksa neraka kehidupan.
Kemudian secara taksonomis, hakikat dakwah sebagai bagian dari sesuatu
yang ada terdiri dari: a) dakwah menurut martabatnya (levelnya): level pertama,

dakwah universal (dawah hâdzihi al-ummah) yang dilakukan oleh para nabi dan

umatnya yang ditujukan kepada madu non-Muslim; dan level kedua, dakwah

yang berlangsung di lingkungan umat Muslim (al-dawah al-„âmmah al-


kulliyyah) dalam upaya meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan
ajaran Islam, dan b) dakwah menurut fungsinya: (1) dakwah sebagai proses
implementasi (tathbîq) ajaran Islam dalam memperbaiki dan mencari solusi
problem kehidupan umat; dan (2) dakwah sebagai proses ishlâh (reformasi) yaitu
tajdid (pembaruan), dan taghyir (perubahan) kehidupan ummah, yang sasarannya
meliputi: (a) memperbaiki tata hubungan hidup manusia dengan Allah SWT.; (b)
memperbaiki tata hubungan hidup individu dengan dirinya sendiri; dan (c)

264
Syekh Muhammad Abduh, Ilmu dan Peradaban Menurut Islam dan Kristen, Penerj.
Mahyuddin Shaf dan A. Bakar usman, (Bandung: CV. Diponegoro, 1992).
159

memperbaiki hubungan hidup individu dengan individu lain dalam kelompok atau
masyarakat dan memberikan solusi atas segala problem yang dihadapinya.
Kemudian bentuk dakwah menurut jalur atau bentuk pelaksanaannya

(kuantitas dâi dan madu ketika berinteraksi dalam proses dakwah) dari martabat

kedua: (1) Dawah „Âmmah Kulliyyah, yaitu interaksi dâi dengan madu yang
berupa kelompok besar (dakwah lewat saluran media massa) dan massa, baik
secara tatap muka maupun bermedia; yang menurut cara pelaksanaannya, terdiri
dari: (a) Tablîgh Islam (bayân thuruq al-khayr), penyiaran dan penerangan Islam

yang ditujukan kepada non-Muslim dan Muslim; (b) Amr marûf nahy munkar
sebagai upaya transformasi (tadbîr) dan pemberdayaan (tamkîn) Islam ke dalam
kehidupan nyata individu, kelompok, dan masyarakat sebagai dakwah ummah;

dan (2) Dawah juziyyah khâshshah (dakwah lewat saluran intra dan

interpersonal), disebut pula sebagai al-dâiyah fi nafsih, yaitu interaksi dâi

dengan madu dalam dirinya sendiri, dan dawah fardiyah, yaitu interaksi dâ i

dengan mad u seorang, dua orang, tiga orang, dan kelompok kecil. Cara
pelaksanaannya ini ditempuh dengan: (a) Al-dilâlah „alâ al-khayr, yaitu memberi
petunjuk dan bimbingan pemahaman dan pelaksanaan Islam; (b) Al-hatstsu „alâ
al-khayr, yaitu memberikan motivasi kepada madu untuk meningkatkan
pemahaman dan pengamalan Islam; (c) Al-nahy „an al-syar, yaitu saling
mencegah dari perbuatan yang bertentangan atau dilarang Islam (al-khayr); (d) Al-
tahdzîr „an al-syar, yaitu saling memperingatkan dalam menjauhkan diri dari
perbuatan yang dilarang Islam; (e) Al-tawâshî bî al-haq, saling berwasiat dengan
kebenaran ajaran; dan (f) Al-tawâshî bî al-shabr, saling berwasiat dengan
kesabaran dalam menjalankan keataatan, meninggalkan larangan, dan mengatasi
berbagai ujian kehidupan.
Dasar Hukum Dakwah adalah Fardu „ain bagi masing-masing individu
muslim sesuai kemampuannya, dan fardu kifayah bagi komunitas muslim terdidik
atau khawâsh al-ummah. Sedangkan Tujuan Dakwah terdiri dari tujuan ideal,
yaitu memperoleh ridha Allah dan ia selamat hidup duniawi dan ukhrawi; tujuan
individual, yaitu menjadi pribadi muslim paripurna; dan tujuan sosial, yaitu
terbentuknya khayru ummah dan ummah wasatha.
160

Hakikat dan karakteristik Islam sebagai pesan dakwah Islam, yang


merupakan agama Allah yang universal memiliki karakteristik sebagai: (1) agama
al-fithrah; (2) agama ummah wasatha; (3) agama al-„adalah; (4) agama anti
kezaliman; (5) agama tawâzun; (6) agama al-huriyah; (7) agama al-salâm; (8)
agama al-ukhuwah; dan (9) agama al-yusr.
Hakikat dan karakteristik manusia sebagai da i dan madu, bahwa manusia
adalah bagian dari makhluk Allah, yang memiliki jasad dan ruh. Di dalam
ruhaniahnya oleh Allah diberikan potensi akal, syahwat atau hawâ. Selain itu,
diberikan pula hidayah gharizah, hawâsi, dîn, dan tawfiq (kemampuan
mencocokkan diri dengan ajaran Islam menurut daya ikhtiarnya).
Ketika ruh menyatu dengan jasad disebut nafs, dan nafs ini terdiri dari
nafs muthmainnah, nafs lawwâmah, dan nafs amârah. Penampakkan nafs dalam
prilaku lahir oleh pemiliknya berbeda-beda, tergantung pada penggunaan daya
ikhtiar masing-masing. Bagi yang memfungsikan nafs muthmainnah berposisi

sebagai dai dan ia akan kredible dihadapan madunya, sedangkan yang

memfungsikan nafs lawwâmah, dan nafs amârah berfungsi sebagai madu.

Dai terdiri dari dai „profesional dan dai „konvensional, bagi dai mesti
memiliki sifat nafsiyah, jasadiyah, dan ijtimaiyah, sedangkan macam-macam

madu adalah al-dhâlûn, al-kâfirûn, al-musyrikûn, Yahudi dan Nasrani, al-


mujrimûn, al-„uqalâ, al-awwâm dan al-matawashithûn.

Karakteristik Ummah, bahwa Ummah merupakan dai komunitas, khoiro


ummah dan ummatan wasatha, berfungsi pula sebagai medan berlangsungnya
dakwah dan tujuan sosial dakwah. Ummah dari semantiknya adalah al-millah, al-
„aqâid, dan ushûl al-syarîah (agama, keyakinan, dan pokok agama), kemudian

al-jamaah (komunitas terorganisir), al-sinîn (waktu), al-imâm (pemimpin), dan

ummah al-marûfah (komunitas tertentu).


Media dan prinsip Metode Dakwah, bahwa Media dakwah, selain bahasa

lisan dan bahasa perbuatan, mengacu pada sarananya, yaitu masâjid, maâbid,

manâzil, masâkin, dan maâhid. Prinsip metode dakwah mengacu pada Al-

Qurân, yaitu al-hikmah, al-mawizhah al-hasanah, dan mujâdalah yang ahsan.


Bagi tiga prinsip metode ini, masing-masing memiliki perangkat dan teknik
161

operasionalnya. Secara khusus, al-hikmah mengandung prinsip memadukan


antara pendekatan ethos, pathos dan logos sesuai peruntukannya.
Aspek aksiologis, menegakan kebenaran objektif ilmiah (qâiman bi al-

qisth) dakwah yang berbasis tawhid Allah dan upaya mensyukuri nimat akal
sebagai salah satu hidayah Allah SWT kepada manusia.
BAB IV
BENTUK DAKWAH
DAN KADERISASI DA’I PROFESIONAL

Bentuk dakwah mengacu pada keberadaan interaksi dâ i dengan madu secara


kuantitatif dengan menggunakan metode dan media tertentu dalam
mengimplementasikan al-Islâm, sebagai ikhtiar memperbaiki dan mencari solusi
(ishlâh) problem kehidupan yang dialami madu, yang prinsip struktur sistemnya
menurut Muhammad Abduh sebagaimana yang telah dijelaskan, yaitu meliputi

bentuk dakwah: (1) al-da wah al-„âmmah al-kulliyyah, yaitu berupa tablîgh Islam

dan macam-macamnya, (2) al-dakwah al-khâshah, terdiri dari al-dâiyah fî nafsih


(al-dawah al-nafsiyah atau irsyâd al-nafs), dan al-dawah al-fardiyyah (al-irsyâd

al-fardî), dan (3) al-dawah al-ummah, terdiri dari amr marûf nahy munkar dan
taghyîr al-munkar. Masing-masing bentuk ini memiliki metode operasionalnya.
Berikut uraian dan analisis bentuk-bentuk dakwah dimaksud.

A. al-Da’wah al-‘Âmmah al-Kulliyyah

Muhammad Abduh menjelaskan istilah al-dawah al-âmmah al-kulliyyah


ini sebagai bayân thuruq al-khayr (menjelaskan jalan-jalan Islam) kepada
khalayak dan merealisasikannya (tathbîq) dalam kehidupan manusia serta
membuat macam-macam perumpamaan (al-amtsâl) yang berpengaruh pada

kejiwaan madu, sehingga mereka dapat mengambil pelajaran dari perumpamaan


itu.1 Bayân mempunyai pengertian sama dengan al-balâgh atau al-tablîgh dan al-
ilâm (penyiaran informasi kepada khalayak).2

1
Selanjutnya lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28-29. Mengenai al-amtsâl sebagai cara
menjelaskan sesuatu yang bersifat abstrak dengan sesuatu yang bersifat konkrit adalah bagian yang
diinformasikan al-Qurân. Lebih lanjut lihat Musthafa Abd al-Qâdir Athâ, AL-amtsâl Min al-Kitâb
Wa al-Sunnah (Beirut: Muasasah al-Kutub al-Tsaqâfiyah,1989) 216 hlm.
2
Menurut Abd al-Badi Shaqr al-da wah al-„ammah adalah penyampaian al-Islâm dengan
bahasa lisan kepada publik (madu jamaah) secara tatap muka untuk mempengaruhi mereka.
Lihat Abd al-Badi Shaqr, Kayfa Nadû al-Nâs (Kairo: Maktbaha Wahbah, 1976), hlm. 23-107.
Selanjutnya disebut Shaqr. Lebih lanjut tentang kajian al-ilâm ini lihat Abd al-Lathif Hamzah, al-
Ilâm fî Shadr al-Islâm (Kairo: Dâr al-Fikr al-„Arabi, 1977), hlm. 104-105, dan Aminan al-Shawi
dan Abd al-Aziz Syaraf, Nazhariyyah al-I lâm fî al-Dawah al-Islâmiyyah (Al-Fujâlah: Maktabah
Mishr, tt.), hlm. 16-21.
163

Tablîgh Islâm menurut Muhammad Abduh dapat menggunakan bahasa


lisan. Sebab, Tablîgh dengan bahasa lisan ini merupakan bagian dari perintah
Allah kepada utusannya, yang disebutnya sebagai al-tablîgh al-syafâhi.3
Muhammad Abduh juga memberikan alasan urgensi penggunaan bahasa lisan,

menurutnya bahwa, bahasa lisan (al-kalâm al-masmû) lebih besar pengaruhnya


pada kejiwaan yang mendengarkannya ketimbang bahasa tulisan (al-kalâm al-

maqrû). Karena melihat pembicara, gerakannya, isaratnya, dan logatnya (lahjah)


dalam berbicara, semua itu dapat membantu pemahaman atas maksud
pembicaraannya. Lagi pula, komunikasi lisan memungkinkan pendengar bertanya
langsung mengenai hal-hal yang masih belum jelas dari pembicaraannya. Jika
pesan itu tertulis, siapa yang hendak ditanya? Pendengar dapat memahami 80%
maksud pembicara sementara pembaca hanya memahami 20 dari pesan yang
hendak disampaikan penulis.4
Dalam pendapat Muhammad Abduh mengenai efektifitas al-kalâm al-
masmû diatas, terdapat aspek melihat gerakan, isyarat dan logat (lahjah)

pembicara, mempengaruhi (yutsar) dan pemahaman (yufham) merupakan bagian


sesuatu yang melekat dalam khithabah (public speaking). Walaupun Muhammad
Abduh tidak secara rinci dan langsung menyebutkan unsur-unsur tersebut sebagai
indikator efektifitas tablîgh bi al-khithabah, namun dapat dipahami demikian.
Menurut teori Speaking Dell Hyms yang mempecayai bahwa terdapat
delapan aspek yang menjadi faktor efektifitas public speaking, hal ini dapat
diterapkan dalam tablîgh bi al-khithabah, yaitu berupa aspek yang terkandung
dalam akronim speaking itu sendiri, yang terdiri dari: (1) situation (situasi); (2)
participants (para peserta); (3) ends (tujuan-tujuan); (4) act sequences (pola

3
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 483. Mengenai term tabligh bersinonim dengan term bayan
dijelaskan oleh Ibrahim Imam, selanjutnya lihat karyanya al-Ushûl al-„Ilâm al-Islâmy, (Kairo: Dâr
al-Fikr al-Araby, 1985), hlm. 13
4
Al-Manâr, jld. I, hlm. 13. Pendapat Muhammad Abduh ini perlu diadakan penelitian
empirik nilai validitasnya, sebab akan berbeda antara „masyarakat dengar dan „masyarakat baca
dalam merespon penampilan khithâbah.
164

aktivitas); (5) keys (kunci); (6) intrumentalities (peralatan); (7) norms (norma-
norma); dan (8) genre (aliran-aliran).5
Penjelasan mengenai delapan faktor tersebut, yaitu sebagai berikut:
Pertama, situasi (situations): penggunaan (waktu, tempat dan lingkungan
fisik), latar psikologi dan kebufayaan dalam suatu kesempatan dan kejadian
dengan perilaku komunikasi yang sedang dipelajari;
Kedua, peserta (participant): tidak hanya pembicara dan pendengar, tetapi
juga individu-individu lainnya. Dalam beberapa budaya “sumber asli pesan” akan
mendelegasikan suatu kelompok kedua untuk menyampaikan pesan itu. Dalam
kebudayaan lain seorang pembicara yang muncul untuk menyampaikan sesuatu,
seseorang itu biasanya menginformasikan seseorang yang dituju untuk dapat
didengar oleh kelompok ketiga. Dengan demikian ada tiga orang yang terlibat
walaupun hanya dua orang yang mungkin berbicara. Sebagaimana Hyms
tunjukkan bahwa model diadik yang umum dari si pembicara dan pendengar.
Ketiga, tujuan (ends): Hasil atau tujuan. Beberapa tujuan mungkin dicapai
dalam situasi tertentu, dan tidak diperbolehkan dalam situasi yang lain, bentuk
pembicaraan tergantung kepada tujuan akhir yang diinginkan;
Keempat, urutan pola aktifitas pembicaraan (act sequences): Isi pesan
dalam bentuk pesan, seringkali penelitian mencatat isi dari suatu topik yang
dibicarakan;
Kelima, kunci (keys): tekanan, sikap atau semangat dari aktifitas berbicara
tertentu;
Keenam, peralatan (instrumentalities): Jalur atau saluran untuk bentuk-
bentuk pembicaraan, yang berupa media transmisi pesan. Apakah pesan itu
dibicarakan, ditulis atau divisualisasikan;
Ketujuh, norma (norms): Norma-norma bagi interaksi yang memberi tahu
para peserta komunikasi untuk bertindak dalam hubungannya yang satu dengan
yang lain, dan norma interpretasi yang menunjukkan sistem nilai dan sistem
kepercayaan; dan

5
Lihat Dell Hymes, Foundatiouns in Sociolingustic; An Ethnographic Approach,
(Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1974), hlm. 49-66.
165

Kedelapan, aliran (genres): kategori-kategori (seperti sajak, mitos, cerita,

pepatah, tebakan), hukuman (sumpah serapah), doa, pidato, kuliah, surat, dan
formulir. Setiap genre memiliki seperangkat aturan yang berbeda yang mengatur
penggunaan dan mengatur formasinya, diperlukan kecermatan dalam mengenali
genre yang penting, yang ada dalam komunikasi.6
Shaqr sependapat dengan Muhammad Abduh, bahwa bahasa lisan lebih
kuat pengaruhnya ketimbang bahasa tulisan, bahasa lisan ini dapat menggerakkan
dan memberi dampak bagi kehidupan para pendengarnya. Tetapi Shaqr tidak
memberi persentasenya.7
Dakwah „âmmah ini menurut Rasyid Ridha dapat ditujukan kepada madu

yang bukan Muslim dan madu yang Muslim yang memerlukan peningkatan

wawasan pengetahuan keislaman. Madu nonMuslim oleh Rasyid Ridha disebut

ummah al-dawah (kelompok manusia yang belum menganut Islam dan berhak

memperoleh informasi Islam). Sedangkan madu Muslim disebut ummah al-


ijâbah (kelompok manusia yang sudah menerima Islam dan berhak menerima
informasi Islam).8

Al-dawah al-„âmmah semakna dengan “komunikasi publik” atau


“komunikasi massa”, oleh karenanya ia dapat dipahami sebagai proses dakwah

yang berlangsung dalam suasana dâ i menyampaikan Islam kepada madu jamaah


(orang banyak) melalui bahasa lisan dan tulisan. Jika madu jamaah berupa

kelompok besar dan dihadapi oleh dâi secara tatap muka dengan menggunakan
bahasa lisan, maka disebut tablîgh bî al-khithâbah, baik al-dîniyyah maupun al-

tatsîriyah. Jika tidak bertatap muka dengan menggunakan bahasa tulisan (media
cetak) disebut tablîgh bî al-kitâbah, dan untuk kondisi sekarang dapat pula
menggunakan media elektronik dengan macam-macamnya, seperti televisi, radio,
film, dan yang lainnya, maka disebut tablîgh bî al-kahribâi. Bentuk dakwah ini

6
Lihat Sarah Trenholm, Human Communication Theory, hlm.236.
7
Lihat Shaqr, Kayfa Nadû al-Nâs hlm. 35. Kajian komperhensif mengenai historis dan
macam-macam khitabah, lebih lanjut lihat Ihsan al-Nash, al-Khitâbah al-„Arabiyah fi „Ashriha al-
Dzahabi, (Mesir: Dâr al-Ma ârif, 1953), 418 hlm.
8
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 106-107.
166

merupakan implementasi kewajiban menyebarluaskan informasi Islam kepada


orang banyak atau khalayak yang melekat dalam karakteristik Islam. 9
Muhammad Abduh mengajukan kritik bahwa pada zamannya banyak
khuthabâ (para penceramah agama) yang menasihati orang lain, tetapi membuat
umat menjadi saling bermusuhan, bahkan terpecah belah lantaran mereka
menghadirkan materi nasihat yang bersifat saling menjelekkan dan mengklaim
dirinya yang benar. Di samping itu menurut Muhammad Abduh, banyak khuthabâ
yang mendikotomikan unsur duniawi dan ukhrawi, jika hal ini tidak diperbaiki
akan berakibat khusrân al-mubîn (kerugian yang nyata).10
Sebelum Muhammad Abduh al-Mawardi berpendapat bahwa: Khithâbah
yang baik adalah jika memenuhi syarat, antara lain; (1) bahasa yang digunakan
dapat dipahami oleh audiens dan menyentuh kepentingannya dalam memperoleh
perkara yang bermanfaat dan menghindarkan perkara yang madarat; (2) tepat
situasi dan kondisi dalam merangkai bahasa lisan; (3) panjang-pendek penyajian
ditentukan oleh situasi dan kondisi berlangsungnya khithâbah; dan (4) memilih
dan memilah kata-kata yang menarik dan menyentuh pikiran dan perasaan.11
Selain syarat tersebut, khithâbah yang baik dalam tabligh Islam adalah jika
memenuhi etika teknis penggunaan bahasa lisan, antara lain, yaitu: (1) tidak
mengungkap pujian yang berlebihan terhadap seseorang; (2) tidak
mengungkapkan bahasa yang membangkitkan kebencian dan kecintaan yang
berlebihan; (3) mengungkapkan sesuatu dengan prioritas yang sudah
dilakukannya oleh diri pembicara; (4) memelihara kefasihan dalam
mengungkapkan huruf demi huruf dalam pembicaraannya; (5) menghindari
ungkapan yang kotor dan jorok; dan (6) menampilkan contoh-contoh yang relevan
dengan topik pembicaraan, dan dapat dicerna oleh akal sehat.12

9
Kajian mengenai penggunaan media massa modern dalam dakwah lebih lanjut lihat
Muhammad Saîd Mubârak, al-Dawah wa al-Idârah, (Madinah al-Munawarah: Maktabah al-
Malik Fahd al-Wathaniyah, 2005), hlm. 175-187.
10
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 29 dan 384. Mengenai khitâbah al-dîniyyah dan al-
ta tsîriyah, lihat „Abd Allah Syahatah, al-Da wah al-Islâmiyah wa al-„ilam al-Dîni, (Kairo: al-
Hayiah al-Mishriyah al- Âmmah li al-Kitâb, 1978), hlm. 19-31.
11
Selanjutnya lihat al-Mawardi, Adâb al-Dunya wa al-Dîn (Beirut: dâr al-Fikr, tt.), hlm.
266-267
12
Selanjutnya lihat al-Mawardi, Adâb al-Dunya wa al-Dîn, hlm. 268-276.
167

Menurut al-Khuly, macam-macam khithâbah dalam tablîgh Islam adalah,


pertama, berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah mahdhah yang meliputi

khutbah salat: jumat, idul fitri, idul adha, gerhana matahari, gerhana bulan, dan
istisqâ, dan, kedua, berkaitan dengan penyelenggaraan peringatan hari besar
bersejarah, forum ilmiah di lembaga-lembaga pendidikan dengan semua
tingkatannya. 13
Sebagaimana sudah dimaklumi bahwa, khithâbah itu ada khithâbah al-

diniyah dan khithâbah al-tatsîriyah. Khithâbah al-diniyah yang paling banyak

dilakukan adalah khutbah jumat yang memiliki syarat dan rukun tertentu. Syarat
dimaksudkan sebagai sesuatu yang mesti dipenuhi sebelum khithâbah itu
dilakukan, sedangkan rukun sesuatu yang mesti ada dan dipenuhi ketika
berlangsungya khithâbah.

Hal-hal yang termasuk syarat bagi khutbah jumat antara lain sebagai
berikut:
Pertama, memiliki kesiapan jiwa. Hal ini penting mengingat khutbah

jumat merupakan bagian dari rangkaian ibadah mahdhah. Kesiapan jiwa ini
berupa kepribadian yang mencintai tugas khutbah, memiliki niat yang ikhlas dan
keberanian untuk tampil di hadapan orang banyak;
Kedua, memiliki pengetahuan dan pandangan materi khutbah yang luas,
hal ini menuntut khatib untuk mempelajari topik-topik yang akan dikhutbahkan.
Dan selalu berlatih untuk merakit bahan-bahan khutbah dalam bentuk teks atau
catatan-catatan untuk disampaikan dalam khutbah tanpa teks; dan
Ketiga, menguasai dan terampil dalam menggunakan bahasa, baik bahasa
tutur maupun bahasa tulis.
Selain tiga syarat tersebut mengacu juga pada syarat-syarat yang
ditentukan oleh pendekatan fikih.
Sedangkan yang termasuk rukun khutbah adalah: (1) mengemukakan puji

kepada Allah SWT. baik dalam bentuk ungkapan jumlah filiyah maupun jumlah
khabariyah; (2) menyampaikan shalawat kepada utusan Allah SWT. baik dalam

13
Selanjutnya lihat al-Khuly, Ishlâh al-Wa zh al-Dîni, hlm. 19. Mengenai kajian dan contoh
khithabah rasul Allah terakhir antara lain dilakukan oleh Muhammad Khalil al-Khathîb dalam
karyanya al-Khuthab al-Rasûl, (Kairo: Dâr al-Fadhilah, 1983), 322 hlm.
168

bentuk ungkapan jumlah filiyah maupun jumlah khabariyah; (3) menyampaikan

washiat taqwa yang redaksinya bisa langsung mengutip ayat al-Qurân atau

dengan ungkapan yang esensinya diambil dari makan ayat al-Qurân tentang

takwa; (4) membaca salah satu ayat al-Qurân yang menjadi rujukan topik

bahasan dalam khutbah, yang disebut dengan bâdi barâah al-istihlal; dan (5)
berdoa untuk mukminin dan mukminat.14

Sementara itu, khutbah jumat menurut strukturnya terdiri dari


muqadimah, uraian dan penutup, yang penjelasannya sebagai berikut:
Pertama, muqadimah, yang berisikan rukun-rukun khutbah yang sudah
dikemukakan di atas. Dalam hal ini, khatib hendaknya mampu menyampaikan
dengan bahasa dan nada yang baik dan jelas serta suara yang menunjukkan
kewibawaan;
Kedua, uraian, yang merupakan isi dari topik khutbah, yang menuntut
khatib untuk mampu secara piawai menjelaskan berbagai macam pandangan dan
buktibukti disertai dengan dalil, baik naqli maupun aqli. Penguraian ini dapat
dilakukan dengan pendekatan deduktif dan induktif secara bergantian. Uraian
khutbah tersebut dipandang bagus jika memenuhi ketentuan teknik penguraian
sebagai berikut: (1) uraian merupakan kesatuan yang utuh dari kandungan topik
khutbah; (2) uraian dikemukakan secara tertib, yaitu antara satu permasalahan
dengan masalah yang lain diuraikan secara bersambung dan saling berkait

sehingga dapat dicerna secara mudah oleh jamaah; (3) uraian hendaknya
memberikan pemahaman yang jelas tentang berbagai macam unsur yang
terkandung dalam bagian-bagian materi khutbah; dan (4) menyampaikan bukti-
bukti yang logis untuk menguatkan penjelasannya begitu pula memberikan

contoh-contoh yng relevan dengan mengambil pelajaran dari kisah al-Qurân,


perjalanan nabi dan rasul, para sahabat dan para ulama, baik salaf maupun khalaf
yang saleh.15

Tablîgh Islam bagi ummah dawah (nonmuslim) selain khithâbah dan


kitâbah juga dapat dilakukan dengan bimbingan, konsultasi, diskusi, dan dialog
14
Abdullah Syahatah, al-Da wah al-Islâmiyyah wa al-„Ilam al-Dîni, (Mesir: al-Hayah al-
Mishriyyah al-„Ammah, 1978), hlm. 20.
15
Abdullah Syahatah, al-Dawah al-Islâmiyyah wa al-„Ilam al-Dîni, hlm. 27-28.
169

yang memenuhi prinsip-prinsip metode mujâdalah yang baik. Etika utama

tablîgh terhadap madu nonmuslim adalah memberikan kebebasan ikhtiar dan


tidak ada paksaan, argumen logis, dan bukti empiris karakteristik Islam sebagai
agama dakwah hendaknya dikedepankan. Tablîgh Islam ini disebut futûhât
(penyebaran, perluasan pengikut) yaitu menghadirkan Islam ke tengah-tengah
komunitas nonmuslim tanpa kekerasan, tanpa paksaan, dan tanpa peperangan, dan
muballigh sebaiknya bertempat tinggal di tempat baru yang menjadi medan
berlangsungnya futûhât.16
Muhammad Abduh dalam Risâlah Tawhîd percaya bahwa kehadiran rasul
sebagai muballigh membawa dan menyampaikan Islam agama fitrah, yakni
tuntuan merealisasikan pengakuan manusia di alam ruh bahwa Allah SWT adalah
Tuhan Maha Pencipta yang berhak diibadati, merupakan kebutuhan manusia.
Persoalan-persoalaan hakikat perjalanan manusia setelah berpisah dari jasadnya
diperlukan penjelasan yang datang dari Maha Pencipta melalui utusan-Nya karena
akal manusia tidak dapat memahami hakikat yang sebenarnya tentang kekekalan
hidup di akhirat nanti. Ketika akal manusia didominasi oleh pengaruh syahwat
dan hawa nafsunya, diperlukan adanya pemberi peringatan dan tuntunan agar
kembali kepada fitrahnya. Hal ini menjadi alasan bahwa tablîgh Islam perlu
ditujukan kepada semua manusia termasuk yang nonmuslim.17
Sebelum Muhammad Abduh, al-Shawy berpendapat bahwa kehadiran
dakwah Islam adalah membentengi fitrah manusia dari kesesatan, dan
menggantikan kesesatan dengan petunjuk kebenaran, akrena fithrah ashliyah
manusia adalah ahl al-hudâ bukan ahl al-dhalâlah. Hal ini menurut al-Shawy

diisyaratkan dengan ungkapan respon madu yang positif terhadap Islam dalam

bentuk isim dan respon negatif menggunakan bentuk fiil dalam QS. Al-nahl 125.
Hal ini menjadi alasan adanya kewajiban tablîgh Islam kepada semua manusia
termasuk madu ummah dawah (nonmuslim).18

16
Selanjutnya lihat Ahmad al-Shawi, Hâsyiyah al-„Alamah al-Shawi „alâ Tafsir al-Jalalain,
jld. IV, hlm. 359-361.
17
Lihat Muhammad Muhammad Abduh, Risâlah Tawhîd, hlm. 90-108. dan kehadiran buku ini
bagian dari tabligh bi al-Kitâbah oleh Muhammad Abduh.
18
Lihat al-Shawy, Hâsyiyah al-„Allâmmah al-Shawy „alâ Tafsîr al-Jalalayn, jld. II, hlm.
333.
170

B. al-Da’wah al-Juziyyah al-Khâshah

Menurut Muhammad Abduh, al-Dawah al-Juziyyah al-Khâshah ini


bagian dari level dakwah kedua, yang dapat dipahami sebagai implementasi ajaran
Islam pada tingkat diri sendiri (intraindividu), antarindividu, dan kelompok kecil

di lingkungan ummah ijâbah merupakan esensi dari al-dawah al-khâshah dalam

upaya memperbaiki dan mencari solusi (ishlâh) problem kehidupan mad u yang

dihadapinya menurut tingkatan masing-masing, ketika dâi berinteraksi dengan

madu dalam suasana tatap muka. Kategorisasi dakwah ini meliputi: (a) al-dâiyah

fî nafsih (internalisasi Islam pada tingkat intraindividu), (b) al-dawah al-


fardiyyah. Berikut penguraian masing-masing kategori dakwah dimaksud.

1. al-Dâ’iyah fî Nafsih
Pemikiran Muhammad Abduh yang dapat dipahami memuat penjelasan
al-dâiyah fî nafsih 19 (dakwah intrapersonal), yaitu ketika Muhammad Abduh
menafsirkan Q.S. Al-Nisâ: 48-49, Muhammad Abduh menyatakan bahwa, hikmah
tidak diampuninya dosa syirik, karena sesungguhnya agama tidak disyariatkan
kecuali untuk menyucikan jiwa manusia (al-tazkiah al-nufus al-nas), menyucikan
ruh mereka (tathir arwahihim), dan meningkatkan akal mereka (tarqiyah
„uqulihim). Sementara syirik merupakan puncak kejatuhan akal manusia,
pemikiran dan juga jiwanya. Dari kemusyrikan terlahirlah berbagai kehinaan dan
kotoran yang merusak manusia pada tingkat individu dan kelompok karena syirk
merupakan wujud pengangkatan sejumlah orang atau sebagian makhluk yang
lebih rendah dari mereka atau serupa dengan mereka ke tingkat yang mereka
mengkultuskannya, tunduk kepadanya, dan merasa rendah dengan anggapan
bahwa apa yang dipertuhankannya itu memiliki kekuasaan tinggi di atas hukum
alam dengan segala kausalitasnya. Mereka juga menganggap bahwa

19
Ungkapan Muhammad Abduh yang semakna dengan term ini, adalah tahdzib anfus
(mendidik jiwa) dan tazkiah nafs (menyucikan jiwa), lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 184, 186, bahkan
Muhammad Abduh menegasan urgensi yang semakna dengan al-daiyah fi nafsih ini yaitu “bal
lianna al-mursyid al-„am mahalun li qudwah al-awam”, pernyataan ini diungkapkan ketika
menghubungkan penafsiran Q.S. Ali-Imran:104 dengan Q.S. al-Maidah: 105 tentang kualitas diri
mukmin dalam menghadapi tantangan kehidupannya, lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 30. Problem-
problem ini antara lain: syirk, wahn (lemah dalam berbagai hal, seperti pemangkiran, etos kerja),
al-hazn (sedih), hasad (dengki) dan sebagainya. Teks data mengenai hal ini lihat lamp. no. 2.4
171

menyenangkan dan menaati tuhan-tuhan sekutu itu juga sama dengan atau bagian
dari ketaatan kepada Allah SWT sendiri. Kekeliruan keagamaan inilah apa yang
menyebabkan penindasan dan perbudakan oleh para pemimpin agama dan dunia
terhadap sejumlah kelompok atau bangsa. Mereka juga bertindak layaknya
seorang tuan yang memaksa hamba sahayanya yang hina-dina dalam
memperlakukan mereka berkaitan dengan jiwa, harta, kemaslahatan, dan
kemanfaatannya. Ia juga mencegahmu dari konsekuensi hal itu berupa moralitas
rendah dan keburukan yang merajalela semisal kehinaan, kerendahan, kenistaan,
kepalsuan, kebohongan, kemunafikan, dan sebagainya.20 Kajian mengenai tazkiah
al-nufus yang disebut juga dengan tarbiyah al-nufus sebelum Muhammad Abduh
telah dikemukakan antara lain oleh Imam al-Ghazali (450-505 H), Ibn Qayim al-
Jauziyah (691-751H) dan Ibn Rajab al-Hambali (736-795 H).21
Dari penjelasan Muhammad Abduh tersebut, dapat dipahami bahwa,

interaksi dâi-madu pada tingkat intraindividu dalam upaya mengamalkan al-


islâm dengan cara-cara yang sesuai petunjuk ajaran untuk memperbaiki dan

mencari solusi problem kejiwaannya disebut al-dâiyah fî nafsih. Dengan

demikian dâ i dan madunya adalah dirinya sendiri, dan dapat disebut sebagai
proses internalisasi ajaran Islam oleh individu Muslim.

Pemikiran Muhammad Abduh mengenai al-dâiyah fî nafsih atau al-

dawah al-nafsiyah ini lebih banyak disorotinya dalam Al-Manâr ketimbang yang
lainnya, sebab menurut Muhammad Abduh, fungsi agama Islam yang banyak
diabaikan oleh individu muslim pada zamannya adalah tazkiyah al-nufûs
(penyucian jiwa), tathhîr al-arwâh (penyucian ruh), dan tarqiyah al-„uqûl
(peningkatan akal).
Bagi Muhammad Mâhir Mahmud „Amar menyebutnya dengan irsyâd al-
nafs, yakni internalisasi Islam pada tingkat intraindividunya sendiri dan memberi

20
. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS. Al-Nisa 48-49, tentang
penegasan Allah mengenai syirik (menyekutukan Allah dengan yang selain-Nya) sebagai dosa
besar yang tidak akan diampuni dan penegasan mengenai bagian fungsi ajaran Islam sebagai
pensucian diri manusia dari aqidah dan amaliah yang batal. Lihat Al-Manâr, jld. V, hlm. 148-149,
teks data mengenai hal ini lihat lamp. no. 2.5
21
Lihat Ahmad Muhammad Kanan, Tazkiah al-Nufus, (Beirut: Dar al-Qalam, tt.), hlm. 9-
68.
172

perbantuan individu lain agar melakaukan hal sama, yang dikategorikan dalam
istilah psikologis sebagai konseling. Hal ini memiliki peranan penting dalam
kehidupan individu muslim, sebab di antara fungsi kehadiran agama Islam bagi
manusia adalah sebagai upaya menghidupkan hati pemeluknya agar tidak
dimatikan oleh dorongan dan dominasi potensi syahwat dan hawa nafsunya.22
Term al-dâiyah fî nafsih dapat pula disebut al-dawah al-nafsiyah seperti
diajukan oleh Shaqr yang digunakan untuk menunjuk aktivitas internalisasi Islam

oleh individu muslim sebagai persyaratan utama bagi dâi sebelum mendakwahi
individu lain.23
Muhammad Rasyid Ridha menambahkan penjelasan Muhammad Abduh
mengenai fungsi Islam yang ruh utamanya adalah tawhid Allah, ketika
menafsirkan QS. Ali Imran 18-19. Ridha menyatakan bahwa, demikianlah Allah
menasyariatkan agama Islam untuk dua hal pokok:
Pertama, menjernihkan ruh dan memurnikan akal dari keyakinan-
keyakinan yang keliru atas kekuasaan gaib bagi sejumlah makhluk dan
kemampuannya untuk beroperasi di alam raya ini agar tidak tunduk dan
menyembah sesamanya atau bahkan yang lebih rendah daripadanya dalam hal
kesiapan dan kesempurnaan;
Kedua, memperbaiki hati agar memiliki tujuan yang baik dalam setiap
kegiatan dan niat tulus karena Allah bukan karena manusia. Bila kedua hal ini
terwujud terbebaslah fitrah manusia dari ikatan-ikatan yang merintanginya untuk
sampai pada kesempurnaan personal dan sosial. Kedua hal ini merupakan ruh

yang hendak dicapai dari kata „islâm. Adapun ibadah-ibadah ritual disyariatkan
guna mendidik ruh Islam tersebut pada tingkat moralitas. Oleh sebab itu,
dipersyaratkan di sini niat dan keikhlasan. Sekali ruh ini terdidik, mudahlah bagi
pemiliknya untuk menunaikan seluruh kewajiban moral dan keadaban yang

22
Lihat Muhammad Mâhir Mahmud „Anwar, Malâmih „Ilm Nafs al-Islâmy (Saudi Arabia:
Dâr al-Nahdhah al-„Arabiyah, 1983), hlm. 2-3 dan Musfir bin Said al-Zahrani, al-Tawjîh wa al-
Irsyâd al-nafsî (Mekah: Bahadur Press, 1421H).
23
Shaqr, Kayfa Nad  u al-Nâs, hlm. 107-112.
173

menghantarkannya kepada suatu masyarakat madani dan terwujudlah cita-cita


kaum bijak. 24
Dari pemikiran Muhammad Abduh dan Ridha di atas, dapat dipahami
bahwa, keduanya percaya terdapat beberapa gangguan kesehatan mental dan
penyakit kejiwaan individual dan sosial yang diakibatkan dari situasi kejiwaan
yang mengindikasikan adanya kemenangan potensi nafs amârah dalam struktur
keruhaniannya. Oleh karenanya sasaran utama dakwah nafsiyah merupakan upaya

ishlâh perilaku ruh, nafs, dan akal madu dengan mengimplementasikan Islam
pada tingkat intraindividu. Sebab, perilaku lahir merupakan ekspresi dan
manifestasi dari perilaku potensi batin.
Selanjutnya menurut Muhammad Abduh, gangguan kesehatan mental dan
penyakit kejiwaan individual dan sosial pada intinya bersumber pada perilaku
syirk (menyekutukan Allah SWT.). solusinya, Muhammad Abduh percaya, hanya
25
dengan tawhid yaitu mengesakan kemahaesaan Allah SWT. Mengenai perilaku
lahir manusia merupakan manifestasi dari perilaku potensi batin adalah bagian
dari sunnah Allah, dalam hal ini, Muhammad Abduh menegaskan, sesungguhnya
apa yang diketahui dari hukum alam berkaitan dengan manusia adalah bahwa
keyakinan-keyakinannya dalam relung hatinya memiliki daya dorong kuat
terhadap perilaku secara fisikal. Padahal iman tiada lain kecuali keyakinan yang
tertanam kuat dalam akal yang mendominasi hati. Tidak ada amal kecuali terlahir
dari pemikiran akal atau instink hati. Maka seluruh kegiatan orang beriman pasti
mengikuti keimanannya. Ia tidak lepas dari iman atau tidak mau patuh padanya
kecuali karena lupa atau tidak mengetahui. 26
Sebelum Muhammad Abduh, Zayn al-Din al-Baghdadi mengemukakan
pandangan yang sama, menurutnya bahwa, gerakan fisik mengikuti gerakan hati
dan keinginannya. Jika gerakan dan keinginannya hanya karena Allah semata,
baiklah jasad dan seluruh pergerakannya. Jika gerakan dan keinginan hati bukan

24
Al-Manâr, jld. III, hlm. 257-258.
25
Tawhid ini juga berlaku dalam kegiatan pengembangan keilmuan dalam Islam sebagai
solusi penyakit pandangan dikotomi ilmu. Selanjutnya lihat M. Yunan Yusuf, “Tauhid Ilmu:
Solusi untuk Dikotomi,” dalam Hendar Riyadi (ed.), Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam
Pendidikan (Bandung: PW. Muhammadiyah dan Nuansa, 2000), hlm. 132-139.
26
Al-Manâr, jld. III, hlm. 250.
174

karena Allah, rusaklah jasad dan seluruh keinginannya sesuai dengan tingkat
kerusakan hati.27
Muhammad Abduh juga percaya bahwa, muncul dan terjadinya kehendak,
sikap, dan perilaku manusia bersumber pada dua macam pengaruh internal dalam
nafsnya. Hal ini ia nyatakan bahwa, setiap orang, yang berupaya merenungkan
dirinya dan menimbang pikiran-pikirannya ketika ia berpikir tentang sesuatu yang
mengandung potensi kebenaran dan kebaikan dan juga mengandung potensi
kebatilan dan keburukan, akan merasakan bahwa dalam dirinya terdapat suatu
konflik batin seolah-olah masalah tersebut sedang menjadi bahan perbahasan
suatu majelis musyawarah. Ada pikiran yang diterima ada pula yang ditolak. Ada

yang berkata: „Kerjakanlah! Yang lain beda lagi: „Jangan dilakukan!” Hingga
kemudian menanglah salah satu sudut pemikiran dan unggullah salah satu pikiran.
Yang satu ini lebih menetap dalam diri kita. Ia kita namai sebagai kekuatan dan
pemikiran—pada hakikatnya, ia merupakan suatu makna yang tak terjangkau
substansinya dan suatu ruh yang tak terpikirkan hakikatnya—tak terlalu jauh
bahwa Allah menamainya malak (atau dinamai sebab-sebabnya sebagai
malaikat).28
Rasyid Ridha memberikan komentar atas pandangan Muhammad Abduh
di atas, sama dengan Imam Gazali yang sebelum Muhammad Abduh sudah
mengemukakan penjelasan penyebab terjadinya kehendak, sikap, dan perilaku
manusia bersumber pada kondisi terang dan gelapnya qalb manusia yang
disebabkan oleh dua macam pengaruh, menurut Imam Gazali bahwa, terdapat dua
sebab atas terang atau gelapnya hati. Sebab yang terbersit dan mendorong ke arah
kebaikan disebut malaikat sementara sebab yang terbersit dan mendorong ke arah
keburukan disebut setan. Kecenderungan hati yang membuat hati siap menerima
ilham kebaikan dinamai taufiq sementara kecenderungan yang membuat hati mau

27
Zayn al-Din al-Baghdadi, Jâmi  al-„Ulûm wa al-Hikam (Beirut: Dâr al-Fikr, tt.), hlm. 66.
28
Al-Manâr, jld. I, hlm. 268. Pandangan Muhammad Abduh ini menggambarkan proses
komunikasi intrapersonal yang meyakini adanya stimulus dari internal dan eksternal kejiwaan
manusia. Lebih lanjut lihat Larry Barker, Communication, hlm. 113-119. Mengenai terjadinya
kehendak ini, lebih lanjut bandingkan dengan Jaudat Said, Bertindak Menurut Kehendak Ilahi, terj.
Al-„Amal: Qudrah wa Irâdah, oleh Luqman Junaedi (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm. 87-
119.
175

menerima keburukan dinamai ighwâ (godaan) atau khudzlân (kehinaan). Hal ini
karena setiap makna yang berbeda membutuhkan nama yang berbeda pula.29
Ketika menafsirkan QS. Al-Syams (91): 9-10, Muhammad Abduh juga
mengemukakan pendapatnya bahwa di dalam nafs manusia Allah memberikan
daya akal yang dapat membedakan antara sesuatu yang baik dan yang jelek.
Selain itu, Allah juga memberikan daya mampu untuk bebas memilih dan
mengambil keputusan mana yang akan diikuti dari dua jalan yang diketahui oleh
akal tersebut, yang masing-masing pilihan memiliki risiko, yaitu jika yang dipilih
itu kebaikan, maka keuntungan yang akan diperoleh dan sebaliknya. Proses
pemilihan keputusan ini, bagi yang berisiko keuntungan disebut tazkiyah al-nafs
(menyucikan jiwa) dan bagi yang berisiko kerugian disebut tadsiyah al-nafs
(mengotori jiwanya). Sedangkan cara perilaku yang ditempuh, bagi yang pertama
melalui ketaatan atas segala perintah, dan menolak serta meninggalkan segala
larangan ajaran Islam.30
Menurut Muhammad Abduh, kebebasan memilih yang dimiliki manusia
pemberian Allah SWT yang dapat mengantarkan perjalanan hidupnya kepada
kebahagiaan adalah jika kebebasan memilih itu berjalan dalam kondisi tuntunan
syara. Dalam hal ini, ia menegaskan bahwa, bukanlah kebahagiaan manusia itu
terletak pada kebebasan ala binatang melainkan pada kebebasan yang berada
dalam ranah syariat. Maka siapa pun yang mengikuti petunjuk Allah, tidak syak
lagi ia akan merasakan kesenangan yang benar-benar baik dan menghadapi
dengan kesabaran segala musibah yang menimpanya dan dengan ketenangan
setiap ancaman musibah. Ia tidak merasa takut, khawatir, dan sedih.31
Mengacu pada penjelasan Muhammad Abduh mengenai sasaran
disyariatkannya Islam dan proses terjadinya kehendak, sikap dan perilaku

29
Al-Manâr, jld. I, hlm. 269. Ilhâm adalah
(menyampaikan sesuatu ke dalam hati dengan jalan emanasi yang membuat
dada menjadi lapang dan tenang, kemudian ia digunakan di sini dengan arti klarifikasi semata).
Lihat al-Shawi, Hâsyiyah al-„allâmah al-Shawi „alâ Tafsîr al-Jalâlain, jld. IV, hlm. 322. Bagi
Rasyid Ridha, ilham melalui malaikat dan yang dari setan disebut wiswâs (bisikan). Lihat Al-
Manâr, jld. I, hlm. 267.
30
Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm, Juz „Amma, hlm. 110-111.
31
Al-Manâr, jld. I, hlm. 286.
176

manusia, begitu pula pendapat Imam Gazali dan Rasyid Ridha yang telah

dikemukakan, maka esensi dawah nafsiyah (internalisasi Islam) adalah proses


memenangkan daya pengaruh ilhâm taqwâ terhadap ilhâm fujûr dengan cara
tazkiyah al-nafs (menyucikan jiwa) di dalam diri manusia yang berlangsung terus-
menerus sepanjang hayat dikandung badan untuk mencapai kebahagiaan dan
ketenangan jiwa.
Mengenai lhâm taqwâ dan ilhâm fujûr dijelaskan oleh Muhammad Abduh,
menurutnya bahwa, lhâm fujûr adalah menyampaikan sesuatu yang
32
menghantarkan jiwa pada kerugian dan kebinasaan. Sedangkan Ilhâm taqwâ
adalah menyampaikan sesuatu yang memelihara jiwa dari akibat yang buruk.
Selain menggunakan term tazkiyah nufûs, tazkiyah arwâh, dan tazkiyah
„aql, Muhammad Abduh juga menggunakan term-term lainnya untuk
menggambarkan fungsi utama disyariatkannya Islam, yaitu: ishlâh al-nufûs33
(memperbaiki jiwa), ishlâh al-qulûb 34 (memperbaiki hati), tarbiyah nafs35
(mendidik jiwa), dan tazkiyah al-„aql36 (menyucikan akal).
Dakwah nafsiyah diyakini oleh Muhammad Abduh memiliki fungsi
sebagai upaya mencari solusi problem gangguan dan penyakit hati, yaitu antara
lain: syirk (menyekutukan Allah), nifâq (kepercayaan bohong), riyâ (motif amal
bukan karena Allah), al-syak dan al-rayb (ragu akan kebenaran yang datang dari
Allah), al-hazn (sedih negatif), al-khauf (takut negatif), al-jahl (bodoh), al-taqlîd
(ikut-ikutan), khiyânah (inkar janji), sû al-khuluq (jelek budi pekerti), al-ham
(bingung), dan yang lainnya.37
Keyakinan mengenai adanya penyakit hati, secara psikologis sama dengan
keyakinan Hasan Muhammad al-Syarqawi, menurutnya bahwa, sesuatu yang
dikategorikan sebagai penyakit hati adalah: (1) al-riyâ (motif amal bukan karena
Allah); (2) al-ghadhab (marah); (3) al-ghaflah (lupa yang disengaja); (4) al-

32
Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 110-111.
33
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 367-368.
34
Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 244.
35
Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 254
36
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 223.
37
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 154, 155, dan 184.
177

wiswâs (keraguan); (5) al-yasu (putus asa); (6) al-ghurûr (tipu daya); (7) al-„ujb
(membanggakan diri); dan (8) al-hiqd (dengki).38

Metode dawah nafsiyah sebagai upaya mencari solusi macam-macam


penyakit hati yang paling utama, menurut Muhammad Abduh, antara lain adalah
sebagai berikut:
Pertama, tawhid Allah, meyakini kemahaesaan Allah, yaitu dengan
beriman kepada-Nya yang disertai ketundukan dan kepasrahan atas segala
ketentuan hukum yang diciptakan-Nya. Dalam hal ini Muhammad Abduh
menyatakan bahwa, tauhid yang berlawanan dengan syirk merupakan suatu
pembebasan manusia dari perbudakan penghambaan kepada setiap manusia dan
benda langit dan bumi. Ia menjadikan manusia merdeka, mulia, dan gagah tidak
tunduk secara ketundukan seorang hamba kecuali kepada Dzat yang kepada
hukum-hukum-Nya semua alam raya tunduk sesuai dengan tatanan yang
ditegakkan-Nya dalam hukum kausalitas. Maka, tunduklah terhadap hukum-
hukum-Nya yang akurat dan syariat-Nya yang adil, diturunkan, dan diikuti.
Ketundukannya ini semata-mata ketundukan terhadap akal dan nalurinya, bukan
kepatuhan terhadap kemanusiaan dan sejawatnya. Adapun ketaatannya terhadap
penentu hukum merupakan wujud ketaatan pada syariat yang ia terima bagi
dirinya dan terhadap tata aturan yang ia melihat ada kemaslahatan di dalamnya,
baik bagi dirinya maupun bagi pihak lain. Ia bukan semacam pengkultusan atas
kekuasaan yang dimiliki oleh mereka, tidak pula kehinaan dan kerendahan diri di
hadapan sejumlah orang. Jika mereka konsisten dengan syariat tersebut, Dia akan
menolongnya. Bila mereka menyimpang, Dia akan mengutus suatu kelompok
guna meluruskan mereka.39
Lalu Muhammad Abduh beralasan bahwa, keyakinan akan keberadaan
Allah SWT yang Maha Esa dan mengesakan-Nya merupakan dasar utama yang
akan melahirkan kesempurnaan dalam menyucikan potensi ruhaniyah yang berupa

38
Lihat Hasan Muhammad al-Syarqawi, Nahwa „Ilm al-Nafs al-Islâmi (Iskandariyah:
Muassasah Sabâb al-Jamiah, 1984), hlm. 103-168.
39
Lihat Al-Manâr, jld. V, hlm. 149. Bagian dari penafsiran QS. Al-Nisa 48-52, beberapa
ayat ini mengenai syirik sebagai dosa, kedzaliman, kedustaan dan penyebab memperoleh lanat
Allah.
178

akal dan jiwa. Hal ini ditegaskannya bahwa, tazkiyah al-nafs tidak akan berjalan
sempurna kecuali dengan tazkiyah akal sedangkan penyucian akal tidak bisa
sempurna tanpa tauhid yang murni.40
Kedua, tadabbur (berpikir mendalam dan berulang-ulang) dan tarawâ
(berpikir mempertimbangkan secara teliti) dalam menyikapi segala obyek
pengetahuan sebagai konsekuensi logis dari keyakinan yang tawhîd khâlish. Hal
ini sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad Abduh, antara lain, termasuk ke
dalam cakupan perjanjian Allah akbar yang Dia kenakan kepada seluruh manusia
sesuai dengan fitrahnya adalah tadabbur (berpikir mendalam) dan Tarawa
(berpikir teliti). Ia menimbang segala sesuatu dengan timbangan akal dan
penalaran yang valid bukan dengan timbangan hawa nafsu dan tipu daya.41
Ketiga, shabar yaitu tabah, tangguh, dan ulet dalam mengendalikan jiwa
disertai rela, pasrah, dan semangat berikhtiar ketika menjalani ketaatan atas segala
perintah meninggalkan segala larangan ajaran Islam dan mengatasi berbagai ujian
hidup. Menurut Muhammad Abduh, bahwa, sabar yang hakiki yang dibangun atas
dasar penyerahan diri (kepada Allah) dapat terwujud dengan mengingat janji
Allah SWT adanya balasan yang baik bagi orang-orang yang sabar dalam
melakukan kebajikan yang bisa mengikat jiwa dan menghidari tarikan syahwat
yang haram yang merongrongnya. Juga sabar terwujud dengan mengingat bahwa
musibah itu perbuatan Allah dan perlakuannya bagi makhluknya, sehingga
wajiblah tunduk kepada-Nya dan berserah-diri atas perintah-Nya. Di antara
keajaiban masalah sabar ini adalah bahwa sabar menjaga manusia dari kerugian
manakala ia bersikap baik dalam segala hal sebagaimana diisyaratkan oleh surah
al-„Ashr dan dikuatkan dengan ujian. Sudah tak asing pula bahwa „siapa sabar

40
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 223. Kajian mengenai tazkiyah nafs ini, selanjutnya lihat
Muhammad bin Abdul Wahab, Mufîd al-Mustafâdah fî Kufri Târik al-Tawhîdi (Riyad: al-Riasah
al-„Ammah li al-Thabq wa al-Tarjamah, 1991), dan Ali Muhammad Hasan al-Amâri, al-Qurân wa
al-Thabâ iu al-Nafsiyah (Saudi Arabia: Dâr al-Tahrîr, 1966), hlm. 31-34.
41
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 290.
179

pasti beruntung. Kita juga bisa memaknai sabar sebagai salah satu kekuatan jiwa
yang mampu menata setiap tindakan yang dilakukannya.42
Shabar sebagai perilaku qalb dalam pandangan Muhammad Abduh di
atas, merupakan proses aktivitas potensi jiwa yang berintikan syariat Islam,
tadzakur (ingat dan sadar) akan janji Allah SWT yang akan memberikan balasan
kemenangan hidup bagi hamba-Nya yang mau dan merealisasikan sabar di dalam
dirinya.
Keempat, menegakkan ruh shalat sebagai inti dari bukti kepatuhan dan
kepasrahan kepada Allah yang menjadi indikasi pembeda antara status kesejatian
seorang Muslim dan bukan muslim, juga sebagai pilar Islam. Mengenai urgensi
menegakkan ruh salat ini, Muhammad Abduh menempatkannya sebagai urutan
kedua dalam penyajian pesan dakwah, menurutnya bahwa, setelah berdakwah
kepada arah keimanan yang mantap, ia menyeru mereka terhadap amal saleh
dengan cara-cara yang efektif dan diridhai oleh Allah SWT. Mereka memang
tersesat dengan berpegang hanya pada benda-benda lahiriah dan berhenti hanya
pada gambar-gambar. Mereka memang sudah melaksanakan salat tetapi mereka
belum menegakkan salat, karena menegakkan berarti menunaikan sesuatu secara
sempurna. Dalam hal salat, menegakkan berarti menghadap Allah SWT dengan
hati dan konsentrasi di hadapan-Nya, bersikap ikhlas bagi-Nya dalam berdzikir,

berdoa, dan memuji-Nya. Inilah ruh salat yang merupakan tujuan disyariatkannya
dan salat tidak disyariatkan sekadar formalitas. Formalitas bentuk ibadah salat itu
berubah-ubah dalam hukum Allah SWT sejalan dengan sunah para nabi-Nya,
karena ia merupakan benang merah syariat kenabian. Para nabi tidak mengajarkan
salat yang sama bentuk formalnya, namun ruh tadi tetap tidak berubah. Ruh itu
sama dari nabi ke nabi dan tidak pernah dihapus dalam suatu agama pun.43
Dari pandangan Muhammad Abduh di atas, dapat dipahami bahwa,
terdapat beberapa perilaku qalbu yang digunakan oleh potensi daya pilih quwwah

42
Lihat Al-Manâr, jld. I, hlm. 298-299. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari
penafsiran QS. Al-Baqarah 43-46, ayat-ayat ini mengenai perintah shalat, zakat dan tunduk atas
segala perintah dan larangan melupakan diri dari berbuat kebaikan.
43
Al-Manâr, jld I, hlm. 293. Kajian mengenai ruh salat antara lain dikaji oleh Syaikh
Mushafa Masyhur dalam karyanya al-Hayâh fi Mihrab al-Shalâh, diterjemahkan oleh Abu Fahmi,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1998).
180

„aqliyah di dalam diri manusia dalam upaya menyucikan ruh, akal, dan nafs,
yaitu: (1) merasakan kehadiran Allah dalam jiwa (tawajjuh); (2) meyakini akan

menemui Allah (khusyu ); (3) ketulusan motivasi segala amal (ikhlâsh); (3)

mengingat Allah (dzikr); (4) berdoa kepada Allah (duâ); dan (5) memuji Allah
(tsanâ) atas segala anugrah nikmat lahir dan batin yang telah diberikan kepada
dirinya sebagai hamba Allah SWT.44
Kemudian, Muhammad Abduh juga lebih menekankan lagi bahwa, sasaran
utama dari menegakkan ruh salat adalah upaya ishlâh nufûs al-afrâd
(memperbaiki jiwa individu) agar terwujud suasana ketenangan jiwa,
kesejahteraan lahir-batin, dan memperoleh segala kebaikan hidup menurut ajaran
Islam di dunia kini dan di akhirat kelak.45
Para penulis psikologi Islami modern percaya bahwa hikmah di balik

perintah doa, wudlu, salat, saum, tobat, sabar, dan membaca Al-Qurân adalah
bagian dari proses syifâ al-nafs (penyembuhan gangguan kejiwaan).46
Kelima, muhâsabah fî nafsih (introspeksi dan evaluasi diri) atau
muhâsabah nafsiyyah merupakan proses pemeliharaan dan penjagaan situasi
kejiwaan yang berada pada posisi nafs muthmainnah, sebab pengaruh dari internal
dan eksternal diri manusia berupa wiswâs (bisikan yang mendorong untuk
menyimpang dari situasi stabil) baik oleh jin kafir maupun oleh manusia yang
perilakunya didominasi oleh nafs ammârah sebagai pembangkit setan (jin kafir).
Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh percaya bahwa perilaku hati dan
perilaku ragawi manusia secara individual dan komunal yang akan berakibat baik
dan buruk pada berkesinambungan dan tidaknya posisi nafs muthmainnah,
sehingga upaya muhâsabah nafsiyyah menjadi amat penting sebagai bagian dari
metode irsyâd nafsi. Oleh karenanya, Muhammad Abduh antara lain menegaskan

44
Bandingkan dengan kajian Majid al-Hilâli, Fal nabda Bi Anfusinâ, (Kairo: Dâr al-
Thabaah al-Islamiyah,1994), hlm. 10-104.
45
Lihat Al-Manâr, jld I, hlm. 367-369.
46
Lebih lanjut, lihat antara lain Abd al-Rahman al-„Aysawi, al-Islâm wa „Ilâj al-Nafs (Al-
Akarithah: Dâr al-Fikr, 1986), hlm. 50-52, Hasan Muhammad al-Syarqawi, Nahwa „Ilm al-Nafs al-
Islâmi, hlm. 169-280, Taufiq „Ulwan, Mu  jizah al-Shalah (Kairo: Dâr al-Wafa, 1988), hlm. 58-59,
Saleh Bahtiar, Meneladani Akhlak Allah melalui al-Asma al-Husna, terj. Moral Healing through
the Most Beautiful Names: The Practice of Spiritual Chivalry (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 25-
28.
181

bahwa, hendaklah umat menghisab dirinya baik secara individual maupun


komunal agar kondisi mereka tidak seperti kondisi masyarakat terdahulu
sebagaimana dikabarkan Al-Qurân, sehingga mereka dihukumi sama dengan
masyarakat sebelumnya. Hal ini disebabkan balasan itu diberikan menurut
kegiatan hati dan raga, bukan menurut kesukaan orang-orang atau kelompok dan
tidak pula permusuhannya.47
Muhammad Abduh percaya bahwa salah satu dari cara muhâsabah
nafsiyyah yang paling utama adalah upaya aplikasi perintah dzikir kepada Allah,
sebab ia merupakan ruh al-dîn yang mesti mewarnai setiap amal perbuatan nyata.
Menurutnya bahwa, dzikir terpenting yang merupakan ruh agama adalah
mengingat Allah SWT. pada setiap kegiatan dari amal-amal yang tadi. Itu
merupakan sunah Al-Qurân yang menyebut penegakan salat dan khusyu di

dalamnya itu tiada lain adalah dzikir kepada Allah SWT., berdoa kepada-Nya,
dan pengaruhnya bagi perbaikan jiwa.48

Dari pemikiran Muhammad Abduh mengenai dawah nafsiyah ini, maka

dapat dikonseptualisasikan bahwa dawah nafsiyah sebagai proses internalisasi

Islam pada tingkat intraindividu Muslim yang melibatkan unsur dâi-madu


dirinya sendiri dengan cara iman yang tauhid, tadabbur-tarawa, shabar, iqâmah
rûh al-shalâh, dan muhâsabah nafsiyyah untuk mewujudkan situasi nafs
muthmainnah berupa kehidupan yang hasanah di dunia kini dan di akhirat
kelak.49

47
Al-Manâr, jld I, hlm. 297. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian penafsiran QS. Al-
Baqarah: 44, ayat ini mengenai larangan melupakan diri dari berbuat baik.
48
Al-Manâr, jld II, hlm. 242. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian penafsiran QS. Al-
Baqarah: 203. Dalam Al-Qurân surah al-Ahzâb (33) ayat 41, perintah dzikir ini diberi keterangan
dengan sebanyak-banyaknya. Kajian mengenai muhâsabah nafsiyah ini lebih lanjut lihat Majdi al-
Hilâli, Falnabda bî Anfusinâ (Mesir: Dâr al-Tauzî wa al-Nasyr al-Islamiyah, 1994), hlm. 53-55,
154-164.
49
Dalam beberapa hal proses internalisasi ini dalam sudut pandang teori komunikasi adalah
termasuk komunikasi intraindividu. Kajian lebih lanjut, lihat Larry L. Braker, Communication
(New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1984), hlm. 103-108 dan B. Aubrey Fisher, Teori-teori
Komunikasi, terj. Perspectives on Human Communication, oleh Soejono Trimo (Bandung: CV.
Remaja Karya, 1986), 231-233. Kajian teoritik mengenai intraindividu ini, antara lain dijelaskan
melalui interaksionisme simbolis oleh George Herbert Mead (1934) dan Herbert Blumer (1969),
yang percaya bahwa manusia dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, saling berhubungan,
bermasyarakat, dan buah pikiran. Tiap bentuk interaksi sosial itu dimulai dan berakhir dengan
mempertimbangkan diri manusia. Di dalam diri manusia terdapat dualisme esensi yang disebut “I”
182

2. al-Da’wah al-Fardiyah
Penjelasan Muhammad Abduh yang esensinya dapat dikategorikan kepada

al-dawah al-fardiyah ketika menggambarkan isi bentuk al-dawah al-juziyah al-


khâshah ini, menurut Muhammad Abduh adalah dakwah yang berlangsung
antarindividu baik di kalangan orang pandai maupun orang yang bodoh, di antara
kedua pihak sudah saling mengenal dengan cara: (1) dilâlah al-khayr
(memberikan petunjuk kepada kebaikan), (2) al-hats „alâ al-khayr (memotivasi
melakukan kebaikan), (3) al-nahy „an al-syar (mencegah dari kejelekan), (4) al-
tahdzîr min al-syar (memperingatkan agar menghindari kejelekan), (5) al-
tawshiyah bi al-haq (saling mengingatkan dengan kebenaran), dan (6) al-
tawshiyah bi al-shabr (saling mengingatkan dengan kesabaran), untuk
mewujudkan kemaslahatan hidup duniawi dan ukhrawi.50

Shaqr menjelaskan al-dawah al-fardiyah sebagai dakwah fardiyah, yaitu

dakwah yang diarahkan kepada satu orang madu atau satu kelompok kecil orang
(bukan dalam bentuk komunitas sebagaimana diketahui) dan biasanya terjadi
secara tidak terencana. Misalnya, pertemuan spontan, ngobrol-ngobrol, diskusi

informal kerabat kerja, lingkaran diskusi, dan semacamnya.51 Term al-dawah al-
fardiyah (dakwah antarindividu) sudah mulai digunakan dalam karya tulis tentang
dakwah Islam menurut levelnya, antara lain oleh Abd al-Badi Shaqr. Sedangkan

Abd al-Aziz al-Khuly menyebutnya dengan al-wazh al-dîni (pengajaran

keagamaan). Pendapat yang sama dikemukakan Sayid Muhammad Nuh52 dan


Ahmad bin Muhammad al-Dasm al-Adnani.53
Di dalam penjelasan Shaqr di atas, dakwah fardiyah dicirikan oleh

beberapa hal, yaitu: dapat berlangsung dalam suasana bertatap-muka antara dâi-

madu masing-masing satu orang, dapat berlangsung dâi satu orang dan

(saya) dan “me”(aku). Interaksi antara “I” dan “me” inilah di dalam diri (self) terjadi proses
menginternalisasikan segala sesuatu yang berupa stimuli, dan stimuli itu adalah pesan komunikasi itu
sendiri.
50
Lihat Al-Manar, jld.IV, hlm. 28.
51
Abd al-Badi Shaqr, Kayfa Nad  u al-Nâs, hlm. 25 dan lihat Muhammad Abd Aziz al-
Khuli, Ishlah al-Wa  adz al-Dini, (Beirut: Dar al-Fikr, 1969) hlm. 8.
52
Lihat al-Sayid Muhammad Nuh, Fiqh Da wah al-Fardiyah fi al-Manhaj al-Islamy,
(Mesir: Dar al-Wafa, 1991), hlm. 35.
53
Lihat Ahmad bin Muhammad al-Dasm al-Adnani, al-Da wah al-Islamiyah li al-Afrad wa
al-Syabaib, (Madinah al-Munawarah: Dar al-Zaman, 2008), hlm. 7.
183

madunya kelompok kecil (fiah qalîlah), dapat berlangsung dalam suasana


pertemuan yang terjadi secara tiba-tiba, yang tidak direncanakan sebelumnya,
dapat berlangsung dalam suatu majelis tertentu, pertemuan diskusi, kelompok-
kelompok pengkajian dan sebagainya. Dengan demikian, dalam pandangan Shaqr,

dakwah fardiyah terdiri atas dua macam level, ayitu dawah syakhshiyah
(interaksi antarindividu dâi-madu) dalam suasana tatap-muka dan dawah fiah
qalîlah (dâi berinteraksi dengan kelompok kecil) dalam suasana tatap-muka.54
Dalam kehidupan antar pribadi dalam kelompok, selalu beragam dalam
berbagai hal, misalnya tidak sama kemampuan berusaha, status sosial, ilmu
pengetahuan dan kepemilikan harta benda. Oleh sebab itu diperlukan adanya
interaksi di antara sesama dalam upaya mewujudkan kemaslahatan bersama. Di
sinilah peran dakwah fardiyah hadir sebagai gerakan implementasi Islam.
Mengenai pentingnya interaksi antarindividu dan antara individu di dalam
kelompok, Muhammad Abduh menegaskan bahwa, Allah memberdayakan
manusia dengan anugrahnya berupa ilmu pengetahuan dan kekuatan dalam rangka
mengatasi berbagai hambatan, mengupayakan berbagai kemungkinan, dan Allah
sendiri membantu mengatasi sebagian lain. Sebab itu, kita mesti mengupayakan
apa yang kita mampu dan mengerahkan kemampuan kita untuk bekerja secara
optimal menurut daya dan kekuatan yang kita miliki. Kita juga mesti bekerja sama
dan saling membantu satu sama lain untuk mewujudkan hal itu.55
Selain penegasan di atas, Muhammad Abduh juga meyakini bahwa,
manusia hanya bisa memperoleh harta dari orang-orang lain melalui kecerdasan
dan kerjanya bersama mereka. Ia tidak bisa kaya kecuali karena mereka dan dari
mereka. Jika salah seorang di antara mereka tidak mampu berusaha karena
kecelakaan otak dan jiwanya atau karena penyakit pada badannya, orang-orang

54
Baik Muhammad Abduh maupun Shaqr tidak menjelaskan ciri kelompok kecil (fi ah
qalîlah). Dari segi jumlah, fî ah qalîlah maksimal 20 orang. Lihat Muhammad al-Razi Fakhr al-
Din, tafsîr al-Kabîr, jld. III (Beirut: Dâr al-Fikr, 1994), hlm. 200. Batasan jumlah fî ah qalîlah ini
diajukan al-Razi ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah: 249. Dan lihat pula David O. Sears, dkk.,
Psikologi Sosial, jld II, terj. Social Psychology, oleh Michael Adrianto (Jakarta: Erlangga, 1991),
hlm. 106-109.
55
Al-Manâr, jld. I, hlm. 58. Ini bagian tafsiran QS. Al-Fatihah: 5 dan Muhammad Abduh
menghubungkan dengan QS. Al-Maidah (5): 2, ayat ini bagian dari ketentuan ibadah haji dan
printah saling tolong mneolong dalam kebaikan dan sebaliknya.
184

lain harus menuntunnya dan membantunya. Ini demi menjaga nilai-nilai sosial
yang mengikat kemaslahatan salah seorang melalui kemaslahatan orang lain. 56
Dari pandangan Muhammad Abduh di atas, dapat dikelompokkan
kategorisasi macam aktivitas dalam dakwah fardiyah kepada term-term berikut:

Pertama, al-wazh (pengajaran yang memperingatkan), yaitu dâi (wâizh)

memberikan wejangan (ceramah) kepada madu kelompok kecil tentang syariat


Islam (al-khayr) berupa petunjuk solusi atas segala problem yang dihadapinya
dengan bahasa lisan dan perbuatan. Hal ini dipahami dari ungkapan Muhammad
Abduh al-dilâlah ilâ al-khayr.
Kedua, al-nashîhah (memotivasi dan membantu), yaitu dâi (nâshih)

memotivasi dan membantu madu individu (seorang, dua orang, dan tiga orang)
dalam mengatasi problem hidup yang dihadapinya dengan bahasa lisan dan
perbuatan. Hal ini dipahami dari ungkapan Muhammad Abduh al-hats „alâ al-
khayr.

Ketiga, al-tawshiyah (imbauan pesan perintah dan larangan), yaitu dâi

(mûshî) mengimbau kepada madu individu dan kelompok kecil agar melakukan
dan tidak melakukan suatu perbuatan menurut syariat Islam dengan lisan dan
perbuatan. Hal ini dipahami dari ungkapan Muhammad Abduh al-nahy „an al-
syar (mencegah kejelekan), al-tahdzîr min al-syar (menyingkirkan kejelekan), al-
tawâshi bi al-haq (saling berpesan dengan kebenaran), dan al-tawâshi bi al-shabr
(saling berpesan dengan kesabaran).57

Tiga term aktivitas dawah fardiyah di atas diuraikan sebagai berikut:


a. al-Wa’zh
Dari penjelasan Muhammad Abduh diatas, dapat dipahami bahwa,

terdapat beberapa gangguan kejiwaan pada diri individu madu sebagai


manifestasi dari maradh al-qulûb (penyakit hati), misalnya sedih, bingung,
kebodohan, lemah semangat, putus asa, dan sebagainya, yang memerlukan

56
Al-Manâr, jld. I, hlm. 293. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS.
Al-Baqarah: 43. Dalam pernyataan Muhammad Abduh ini terdapat tiga unsur esensi da wah
fardiyah: (1) alawn (pertolongan), (2) hifzhan (pemeliharaan), dan (3) tarbath (ikatan
kepentingan).
57
Kajian tiga macam kategori ini, lebih lanjut lihat Al-„Uqaily, al-Thâriq Ilâ al- Jannah,
hlm. 174-121.
185

pertolongan dan perbantuan upaya solusinya. Madu berhak mendapatkannya

sebagai kewajiban bagi wâizh. Penjelasan Muhammad Abduh mengenai al-

Wa zh antara lain adalah bahwa, setiap wâizh hendaknya mengawali


wejangannya dengan menghidupkan harga diri dan rasa kehormatan dalam jiwa
kliennya agar siap menerima wejangan-wejangan yang akan diberikan. 58
Oleh karena itu, sebagai bagian dari etika bagi wâ izh agar mempengaruhi

jika klien (mauûzh) untuk bangkit percaya diri dalam mengatasi gangguan-
gangguan kejiwaan. Sebab, jika seseorang sudah sadar dan tumbuh harga diri dan
percaya dirinya sebagai individu yang berharga dan mulia, maka akan timbul
kemauan untuk berusaha menaklukkan dorongan-dorongan hawa nafsu dan
syahwat negatif dengan memfungsikan quwah „aqliyah dan quwah ikhtiyâriyah
dalam dirinya yang pada gilirannya melahirkan perilaku saleh, baik secara
individual maupun secara sosial. Oleh karenanya, lebih lanjut Muhammad Abduh
menegaskan bahwa, dari rasa harga diri itu, jiwa akan mendapatkan dorongan kuat
yang merupakan keistimewaan jiwa yang mulia mengatasi impul-impul hawa
nafsu dan syahwat. Sekali jiwa merasakan kemuliaan dan keluhurannya dan
melihat kerendahan yang terkandung dalam berbagai pekerjaan hina, tentu
perasaan-perasaan itu—perasaan luhur dan terhormat—enggan mendorongnya
kepada kegiatan-kegiatan rendahan. Hal itu merupakan sebagian dari media paling

kuat untuk membantu wâizh mewujudkan tujuannya pada diri orang yang
kepadanya wejangan diperuntukkan.59
Sejalan dengan pendapat Muhammad Abduh di atas adalah pendapat

mengenai al-wazh yang dimajukan oleh al-Khuly. Menurutnya bahwa, wazh


merupakan perkataan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi jiwa manusia

dengan sesuatu yang menarik berupa layatan (taziyah) terhadap orang yang
tertimpa musibah, hiburan (tasliyah) bagi orang yang sedih, keberanian bagi orang
yang penakut, kekuatan (quwah) bagi orang yang lemah, jaminan bagi orang yang

58
Al-Manâr, jld. I, hlm. 302-303. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran
QS. Al-Baqarah: 47-48, ayat ini mengenai keunggulan bani Israil dan perintah bertakwa.
59
Al-Manâr, jld. I, hlm. 303.
186

putus asa, solusi (farj) bagi orang yang bermasalah, kekayaan (ginâ) bagi orang
miskin, dan kesabaran (shabar) bagi orang yang berkecil-hati.60
Dalam pendapat al-Khuly di atas, bahasa lisan merupakan media dalam

melakukan al-wazh guna menyampaikan syariat Islam yang ditujukan kepada

madu dengan sasaran memberikan solusi problem psikologisnya berupa: (1) bagi

madu yang mendapat musibah diberikan ucapan bela sungkawa (taziyah), (2)
bagi yang sedih diberikan ucapan yang menghibur (tasliyah), (3) bagi yang takut

diberikan motivasi keberanian (syajâah), (4) bagi yang lemah diberikan dorongan
semangat (quwah), (5) bagi yang putus asa diberikan kepercayaan diri (amn), (6)
bagi yang bingung diberikan jalan keluar (farj), (7) bagi yang butuh tapi malu
meminta diberikan bantuan untuk mencukupi kebutuhannya (ghinâ), dan (8) bagi
yang menderita berkecil hati diberikan motivasi kesabaran (shabr).

Muhammad Abduh memberikan beberapa prinsip aktivitas al-wazh agar

efektif dalam mempengaruhi madu dalam memperbaiki dan mencari solusi


problem psikologis, antara lain, yaitu: (1) ucapan dan perbuatan hendaknya

menyentuh dan meluluhkan kekerasan qalbu madu; (2) memberikan motivasi


yang membangkitkan dan menggerakkan perbuatan nyata; (3) memberikan
keyakinan bahwa petunjuk hidup yang dapat menghidupkan ruhaniyah adalah Al-
Qurân dan sunah nabi Muhammad SAW.; (4) memberikan keyakinan bahwa
segala problem psikologis yang dihadapi merupakan ujian dalam kehidupan; (5)
Menyampaikan cara bersikap, berbicara, dan berperilaku yang menarik hati di
hadapan mad u; dan (6) niat yang ikhlas dalam melaksanakan al-wazh. 61
Sementara itu, Shaqr memberikan beberapa prinsip dalam pelaksanaan al-

wazh, yaitu hendaknya al-wazh memperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1)

wâizh hendaknya bersikap toleran; (2) wâizh hendaknya bersikap kasih sayang;
(3) wâizh hendaknya menghargai dan menghormati madu; (4) wâizh hendaknya

memahami karakteristik madu; (5) wâizh hendaknya memperhatikan skala

prioritas dalam mencari solusi problem; (6) wâizh hendaknya mengenalkan

60
Muhammad Abd al-Aziz al-Khuly, Ishlâh al-Wa zh al-dîni, hlm. 8.
61
Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 404-405, Al-Manâr, jld. IV, hlm, 142-144. Prinsip-prinsip
ini disarikan dari ungkapan Muhammad Abduh dalam penafsiran QS. Al-Baqarah: 232 dan QS.
Ali Imran: 138-139, ayat-ayat ini bagian dari fungsi mawidzah.
187

pemahaman syariat Islam yang otentik; (7) wâizh hendaknya memberikan


perbantuan dalam hal yang dibenarkan oleh syariat Islam; dan (8) niat yang ikhlas

melaksanakan kewajiban al-wazh.62


Pertimbangan mengenai macam-macam materi al-wazh ditentukan oleh

kondisi obyektif kebutuhan madu. Begitu pula prinsip-prinsip metodenya dengan

mengacu pada prinsip-prinsip metode hikmah dan mauizhah hasanah.63

Implementasi prinsip-prinsip al-wazh tersebut oleh waizh akan

menggerakkan dirinya menjadi kredible di hadapan madu dan akan lebih besar

efektifitas maizhah dalam mencari solusi probleh yang dihadapi madu.

b. Al-Nashîhah
Muhammad Abduh percaya bahwa perilaku individu merupakan
manifestasi dari situasi qalbnya. Misalnya, perilaku nifâq merupakan indikasi
situasi qalb yang sakit dan kesalehan merupakan indikasi dari qalb yang sehat.
Sedangkan akar timbulnya stuasi qalb yang sehat adalah pilihan quwah „aqliyah
manusia dengan menggunakan potensi nafs muthmainnah dan situasi qalb yang
sakit adalah pilihan quwh syahwat dan hawa dengan menggunakan nafs ammârah
yang membuat manusia menjadi bodoh, jelek pemahaman, dan jelek niat dalam
melakukan interaksi dengan sesama individu lain. Di sinilah perlunya nashihat
bagi individu yang qalbnya sakit dan bagi yang situasi qalbnya sehat juga
memerlukan pemeliharaan agar berkesinambungan dan meningkatkan kualitas
pemahaman dan pengamalan agamanya. Nasihat ini merupakan hak bagi mereka
yang mengalami problem psikologis dan kewajiban bagi nâshih, yaitu individu
Muslim yang posisi situasi qalbnya berada pada situasi sehat dan memfungsikan
nafs muthmainnah.64
Nashîhah dapat ditujukan kepada setiap individu dengan berbagai macam
status dan peran sosial yang dipikulnya, agar mereka memiliki jiwa mukmin yang

62
Lebih lanjut lihat Abd al-Badi Shaqr, Kayfa Nad u al-Nâs, hlm. 27-31.
63
Kajian lebih lanjut lihat Husayn Muhammad Yusuf, Sabîl al-Da wah (Mesir: Dâr al-
Itishâm, 1979), hlm. 61.
64
Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 249-251. Urgensi nashihat ini dipahami dari bagian paparan
Muhammad Abduh dalam menafsirkan QS. Al-Baqarah: 204-206. Nasihat didefinisikan oleh Abd
al-Aziz bin Ahmad al-Masudi sebagai upaya mencarikan solusi atas problem yang dihadapi orang
lain dengan ucapan dan perbuatan demi kebaikannya. Lihat karyanya, al-Nashihah Syurutuha wa
Dhawabithuha, (Riyadh: Dar al-Wathan, 1993), hlm. 8-9.
188

selalu mengamalkan hukum-hukum kehidupan menurut syariat Islam. Dalam hal


ini, antara lain Muhammad Abduh menegaskan bahwa, jiwa orang mukmin adalah
milik Allah bukan dikuasai oleh syahwat, kenikmatan hewani, dan tipuan setan.
Maka barang siapa mendahulukan syahwat di atas keridhaan Tuhannya, menaati
batasan-batasannya, dan memelihara hidayah agamanya, ia tidak memiliki
keuntungan apa-apa dari perniagaannya ini dan tiada bernilai apa-apa. Kita
sungguh telah mengetahui bahwasanya kata-kata ini akan terasa berat bagi orang-
orang yang tersilaukan dengan kehidupan duniawi, serba kesenangan, gedung-
gedung, minuman keras, dan wanita-wanita yang ada di dalamnya, meski mereka
mengaku bahwa mereka merupakan para tokoh dan abdi agama yang ikhlas,
karena kebenaran itu pahit rasanya bagi kaum kebatilan. 65
Salah satu prinsip dalam melakukan nashîhah adalah menggunakan qawl

marûf (bahasa yang sesuai dengan sistem budaya), terutama ketika menghadapi
individu yang safîh (belum atau tidak cerdas) baik karena belum dewasa berpikir
dan bertindak yang disebabkan oleh pengaruh internal dirinya dan pengaruh
lingkungan hidupnya dan safîh ini buka tabiat yang tetap. Bahkan bahasa yang
sesuai dengan sistem budaya ini juga berlaku dalam konseling (irsyâd) dan

belajar-mengajar (talîm).
Sehubungan dengan hal ini, antara lain Muhammad Abduh menyatakan

bahwa, apa yang dimaksud marûf di sini meliputi pembersihan hati dengan
memberikan pemahaman kepada orang pandir bahwa harta itu harta-Nya, tidak
ada kelebihan bagi seseorang dengan berinfak, agar mudah baginya meninggalkan

harta. Ma rûf juga mencakup nasihat, pengarahan, dan pengajaran sesuatu yang
seyogyanya diketahui oleh orang bodoh dan sesuatu yang memungkinkan ia
menerima arahan. Sebab, orang kebodohan itu seringkali menghinggapi seseorang
bukan sesuatu yang bersifat bawaan. Maka, jika ia disembuhkan melalui nasihat
dan penempaan, akan membaiklah keadaannya. 66

65
Al-Manâr, jld. II, hlm. 253. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS.
Al-Baqarah: 207, ayat ini mengenai orang yang menukarkan dirinya dengan ridha Allah.
66
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 385. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS.
Al-Nisa: 5-6, ayat ini mengenai ketentuan berbuat maruf dalam mengurus dan mengelola harta
anak yatim.
189

Dalam ungkapan Muhammad Abduh di atas, selain prinsip menggunakan


perkataan yang sesuai dan santun kepada manshûh (yang dinasihati), juga nasihat

dan tadîb (penempaan moral) berfungsi pula sebagai terapi memperbaiki perilaku
jelek agar menjadi baik.
Term nashîhah dari segi urgensi dan sebagian prinsip-prinsipnya, menurut
„Uqaily, secara lughawi, al-nashîhah berarti al-khulûsh (selai terbuat dari kurma).
Secara ishthilâhi, al-nashîhah adalah menghendaki kebaikan bagi orang yang
67
dinasihati. Sedangkan Muhammad Abd al-Aziz al-Khuly, mengutip pendapat
al-Khathabi, memberikan pengertian al-nashîhah sebagai sebuah kata inklusif,
yang artinya adalah menghimpun kepedulian terhadap orang yang dinasihati.68
Sementara itu, Abu „Amar bin Shalâh, seperti dikutip oleh Abd al-Aziz bin

Ahmad al-Masûdi, mendefinisikan al-nashîhah adalah sebuah kata inklusif yang


memuat makna upaya seorang pemberi nasihat untuk menempuh beragam jalan
kebaikan bagi orang yang dinasihatinya, baik sebatas keinginan maupun dengan
pelaksanaannya.69
Setelah mengartikan al-nashîhah dari segi lughawi dan ishthilâhi, al-

Masûdi menegaskan pendapatnya, bahwa hendaknya orang mengikhlaskan


niatnya dalam perkataan dan perbuatannya manakala ia hendak menasihati
saudaranya sesama Muslim dan yang lainnya. Nasihatnya itu tidak boleh
dimaksudkan untuk kepentingan duniawi apapun, atau untuk kemenangan diri,
atau untuk menurunkan martabat yang dinasihatinya. Ia hendaknya mengerahkan
segenap kemampuannya dalam memberikan nasihat dengan cara menggunakan
bahasa terbaik di hadapannya. 70

Dalam pendapat al-Masûdi di atas, dapat dirumuskan prinsip-prinsip


dalam melakukan nashîhah, yaitu: (1) al-nâshih hendaknya berangkat dari niat
yang ikhlas, yaitu tidak karena memenuhi kepentingan pribadi dan memandang

67
Ahmad bin „Abd al-Wahab Farh al-„Uqaily, al-Thariq ilâ al-Jannah, hlm. 174.
68
Muhammad Abd al-Aziz al-Khuly, al-Adâb al-Nabawi (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), hlm. 17.
69
Abd al-Aziz bin Ahmad al-Masûdi, al-Nashîhah: Syurûtuhâ wa Dhawâbithuhâ (Riyadh: Dâr
al-Wathan, 1993), hlm. 9.

70
Abd al-Aziz bin Ahmad al-Masûdi, al-Nashîhah: Syurûtuhâ wa Dhawâbithuhâ (Riyadh: Dâr
al-Wathan, 1993), hlm. 10.
190

rendah orang yang dinasihati, (2) bersungguh-sungguh dalam melakukan nasihat,


(3) menggunakan metode yang baik, (4) metode nasihat dapat menggunakan
bahasa lisan dan perbuatan, dan (5) individu yang dinasihati dapat ditujukan
kepada Muslim atau nonmuslim.
Pertimbangan pemilihan dan penentuan materi al-nashîhah ditentukan
oleh kondisi kebutuhan obyektif orang yang dinasihati dengan mengacu pada

prinsip hikmah dan mauizhah hasanah.

c. Al-Taushiyah
Secara lughawi, al-taushiyah atau al-îshâ adalah kata benda dari kata kerja

yang berarti memberikan pesan penting, memerintahkan melakukan sesuatu,

membuat perjanjian. Dalam bentuk mujarad (kata dasar) adalah yang berarti,

antara lain, (sampai) dan (menyampaikan, menyambungkan).71 Dalam

hal ini Muhammad Abduh memberikan penjelasan bahwa, wasiat adalah kata
benda abstrak dari kata îshâ dan taushiyah. Ia digunakan untuk sesuatu yang
dipesankan baik berupa benda atau pekerjaan. Hukumnya sunat dalam keadaan
sehat dan lebih kuat lagi tingkat hukum kesunatannya dalam keadaan sakit.
Berpesannya Allah dengan sesuatu atau tentang sesuatu sama dengan perintah-
Nya. 72
Dalam konteks hak dan kewajiban antara kedua orangtua terhadap
anaknya dan kerabat terdekat, washiyah merupakan bagian dari ajaran Islam yang
mensolusi agar tidak terjadi konflik internal keluarga dalam mewujudkan
kemaslahatan ahli waris dan keluarga besarnya. Namun demikian, mengingat
antarindividu muslim dengan individu lainnya secara sosial merupakan sudara,
maka taushiyah ini juga merupakan bagian dari ajaran Islam yang diperintahkan.

71
Lihat Ibrahim Anis dkk., al-Mu jam al-Wasîth, jld. II, hlm. 1038.
72
Lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 134-135. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari
penafsiran QS. Al-Baqarah: 180-182. Taushiyah ini sudah dilakukan oleh Lukman al-Hakim
ketika memberikan mau izhah kepada anak dan umat pada zamannya. Lihat Muhammad Anwar
Ahmad al-Baltaji, Min Washâyâ al-Qurân (Kairo: Dâr al-Turâts al-„Arabi, 1987), hlm. 21-51.
191

Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, taushiyah dengan hak dan
sabar, mencegah terjadinya kejelekan dan mengingatkan di antara sesama saudara
Muslim untuk menjauhkan diri dari perilaku salah merupakan esensi dari macam-
macam aktivitas taushiyah. Dalam hal ini, Muhammad Abduh menjelaskan
prinsip-prinsip taushiyah ini dengan mengacu pada keumuman kandungan QS.
Al-„Ashr (103):1-3, yaitu: (1) meyakini bahwa waktu dan tempat bukan penentuan
untung-rugi dan selamat-celakanya kehidupan manusia; (2) meyakini bahwa
perilaku manusialah yang mementukan nasib untung-rugi perjalanan hidupnya
dalam memilih dan mendayagunakan potensi nafsnya; (3) meyakini bahwa
perilaku manusia sebagai manifestasi potensi nafsnya dapat terjadi pluktuatif, oleh
karenanya diperlukan taushiyah di antara sesama manusia; (4) memberi contoh
meminta dan memerintahkan orang lain dengan cara hikmah untuk merealisasikan
al-haq, yaitu sesuatu yang ditetapkan berupa hakikat yang tetap atau syariat yang
benar. Ia adalah sesuatu yang ke arah itu kita dipandu oleh dalil yang pasti atau
bukti-bukti atau saksi-saksi; (5) memberi contoh meminta dan memerintahkan
orang lain dengan cara hikmah untuk bersabar dalam menaati perintah ajaran
Islam, meninggalkan segala larangannya dan dalam mengatasi segala macam
ujian hidup; dan (6) hendaknya bagi wâshî (pelaku nasihat) terlebih dahulu
mengisi jiwanya dengan al-haq dan al-shabr, serta merealisasikan amal saleh
sehingga orang yang dinasihati dapat melihat dan mengambil pelajaran, sebab jika

tidak demikian, ia termasuk yang tidak kredibel di hadapan madunya. Sebab,


tidak mungkin anda melakukan hal itu sebelum jiwa anda sendiri terisi dengan apa
yang nasihatkan, jika tidak, anda termasuk orang yang berkata tetapi tidak
melakukan apa yang dikatakannya. 73
Kredibilitas wâshî (pemberi nasihat) merupakan bagian yang ikut
menentukan keefektifan taushiyah dalam memberikan solusi atas problem
psikologis orang yang diberi taushiyah. Kredibilitas ini akan muncul jika wâshî
melakukan tahalî (mengisi nafs dengan akidah tauhid) yang mewujud dalam sikap

73
Lihat Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 175-177 dan lihat
pula M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Quran al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan
Turunnya Wahyu (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997), hlm. 471-489.
192

dan akhlak terpuji dan amal saleh, sehingga menjadi uswah hasanah (suri
tauladan) bagi mad u individu dan kelompok. 74
Sehubungan dengan tahalî yang dimajukan oleh Muhammad Abduh
sebagai esensi perilaku terpuji yang akan membentuk perilaku wâshî yang
kredibel (amanah), al-Khuly mengemukakan beberapa karakteristik bagi pelaku
wasiat yang mesti dipenuhi sebelum mewasiati orang lain, yaitu hendaknya wâshî
memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) kecerdasan akal, kesempurnaan jiwa,
dan budi perangai yang mulia dan terpuji menurut syariat Islam; (2) memahami

karakertistik kondisi obyektif madu; (3) menguasai secara mendalam materi


taushiyah yang bersumber pada Al-Qurân dan al-sunnah; (4) bersemangat dan
tidak mengenal putus asa dalam menjalankan tugas hidup; (5) sopan dan penuh

toleransi dalam bergaul antarsesama, penuh cinta-kasih dan menyayangi madu


seperti menyayangi diri sendiri; dan (6) mampu menghadapi setiap individu

madu secara proporsional sesuai dengan prinsip metode hikmah dan mauizhah
hasanah.75
Taushiyah dilihat dari segi pelakunya adalah Allah SWT, para nabi, dan
umatnya, terakhir umat Nabi Muhammad SAW. Beberapa prinsip taushiyah yang
telah dikemukakan di atas terbatas pada taushiyah yang pelakunya Muslim umat
nabi terakhir. Taushiyah
Proses al-wazh, al-nashîhah dan taushiyah dari al-dawah al-fardiyah
yang sudah dikemukakan, dari sudut pandang komunikasi termasuk komunikasi
antarpribadi yang mempunyai keunggulan berlangsung dalam suasana tatap muka
yang lebih besar peluangnya untuk mengubah sikap, pendapat dan perilaku
seseorang. Dengan demikian di dalamnya mengandung makna persuasif, yang

74
Syekh Muhammad Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 175-
177. Dalam teori komunikasi, kredibilitas ini merupakan esensi dari ethos, lihat Arthur R. Cohen,
Attitude Change and Social Influence, (New York: Basic Books.Inc,1964), hlm. 23-25.
75
Lihat Muhammad Abd al-Aziz al-Khuly, Ishlâh al-Wa  zh al-Dînî, hlm. 16-17. Mengenai
perlunya akhlak terpuji bagi dâ  I sebagai sumber kredibilitas, selanjutnya lihat Fathi Yakan, Kunci
Sukses Petugas Dakwah, terj. Qawarib al-Najât li Hayâh al-Du ât, oleh M. Hasan Baidawi
(Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1984), hlm. 146-162, dan Amin Hasan Ishlahi, Metode Dakwah
Menuju Jalan Allah, terj. Minhâj al-Da wah ilâ al-Lâh, oleh Mudzakir dan Mulyana Syarif
(Jakarta: Litera Antarnusa, 1985), hlm. 23-29, dan Sayid Muhammad Nuh, Terapi Mental Aktivis
Harakah: Telaah atas Penyakit Mental dan Sosial Kontemporer Para Da i, terj. Âfât „alâ al-
Tharîq, oleh Asad Yasin (Solo: CV. Pustaka mantiq, 1994).
193

akan efektif apabila dâi sebagai komunikator menguasai hal-hal sebagai berikut:

(1) frame of reference madu selengkapnya; (2) kondisi fisik dan mental madu
sepenuhnya; (3) suasana lingkungan pada saat terjadinya proses dakwah

antarpribadi; dan (4) tanggapan madu secara langsung


Dengan mengetahui, memahami dan menguasai hal-hal tersebut, maka

dâi akan mampu mengendalikan diri pada waktu berlangsungnya dakwah


antarindividu, yaitu, hal-hal sebagai berikut: (1) mengontrol setiap kata dan
kalimat yang diucapkan; (2) mengulangi kata-kata yang penting disertai
penjelasannya; (3) memantapkan pengucapan dengan bantuan mimik dan gerak
tangan sesuai proporsinya; (4) mengatur intonasi sebaik-baiknya; dan (5)
mengatur rasio dan perasaan
Selanjutnya, dâi ketika melakukan dakwah antarpribadi yang berlangsung
secara tatap muka, hendaklah memperhatikan etika, yaitu sebagai berikut: (1)

bersikap empatik dan simpatik; (2) menunjukkan sikap sebagai dâi terpercaya;
(3) mengutamakan tindakan sebagai pembimbing daripada sebagai pendorong;
(4) mengemukakan fakta dan kebenaran; (5) hendaklah berbicara dengan gaya
mengajak bukan dengan gaya menyuruh; (6) hindari dari memperlihatkan sikap
yang super; (7) jangan menganggap enteng hal-hal yang mengkhawatirkan; (8)
jangan mendahulukan kritik; (9) hindari dan kendalikan emosi; dan (10)
berbicaralah secara meyakinkan.76

C. al-Da’wah al-Ummah

Al-dawah al-Ummah, menurut Muhammad Abduh, merupakan kewajiban


berupa mengimplementasikan (tathbîq) hukum-hukum Allah SWT yang inti

proses penegakannya adalah tertumpu pada aktivitas amr marûf nahy munkar.

Secara fungsional, amr marûf nahy munkar dijelaskan oleh Muhammad Abduh,
yaitu: langkah pertama yang menjadi keharusan adalah menyeru manusia ke
pangkuan Islam. Jika mereka memenuhi, keharusan berikutnya adalah
menghimbau mereka akan kebaikan dan mencegahnya dari kemunkaran. Adapun

76
Penjelasan ini diadaptasi dari Onong Ukhjana Effendy, Ilmu Komunikasi; Teori dan
Praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993), hlm. 125-126.
194

alasan mengapa hal ini bisa menjaga kesatuan dan mencegah perpecahan adalah
karena umat jika bersatu untuk mencapai tujuan luhur lagi mulia ini, yakni
hendaknya menggiring umat-umat semuanya, mendidiknya dan membina jiwanya,
tidaklah ragu lagi bahwa seluruh kepentingan pribadi akan saling bertemu dan
berembuk di antara mereka. Maka, jika muncul rasa iri dan resistensi dari salah
seorang anggota masyarakat, mereka akan segera menyadari tugas mereka yang
luhur lagi mulia, yang tidak akan tercapai dengan baik kecuali melalui kerjasama
dan kebersamaan. Kesadaran ini dapat meredam kepentingan pribadi tadi dan
sembuhlah jiwa-jiwa sebelum menderita sakit.77
Urgensi dakwah ummah menjadi gerakan untuk memperbaiki dan mencari
solusi problem keumatan tersebut. Muhammad Abduh mengamati situasi umat
pada zamannya dihinggapi macam-macam penyakit umat yang berpangkal-tolak
dari taklid buta kepada pendapat mazhab bukan mengikuti perilaku Imam mazhab.
Memahami ajaran Islam dan mengamalkannya tidak merujuk pada dalil-dalil Al-
Qurân dan contoh sunnah rasul. Akibatnya, umat berada pada situasi jahiliah yang
diindikasikan antara lain dengan adanya perpecahan dan permusuhan,
subyektivisme (hawahu) menjadi hakim dalam beragama, Muslim menjadi
terkotak-kotak, masing-masing saling mengklaim bahwa mazhab yang benar
adalah mazhabnya, memusuhi umat yang berbeda pendapat, tertinggal dalam
urusan ilmu dan teknologi modern, etos kerja lemah, ekonomi jauh tertinggal,
sistem ekonomi riba melanda kaum elit Mesir. Situasi ini membuat kesatuan dan
persatuan dan nilai keadilan individual dan sosial dalam sistem keumatan yang
dikehendaki syariat Islam yang autentik berdasarkan dan menurut contoh sunnah
rasul, tidak menjadi kenyataan sosial umat Islam. 78
Dalam pemikiran Muhammad Abduh mengenai dakwah al-ummah di atas,

termuat sasaran amr marûf nahy munkar sebagai upaya memelihara kesatuan

77
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28. Ungkapan Muhammad Abduh ini merujuk QS. Al-Hajj (22):
41, ayat ini mengenai keharusan tamkin ummah.
78
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 24-25, 29 dan 30. Problem keumatan abad modern sekarang,
selain yang diamati Muhammad Abduh juga ada yang diakibatkan pengaruh budaya Barat dan
dampak negative sains dan teknologi yang tidak berbasis tauhid sebagai problem dakwah. Lihat
Abdullah Nashih Ulwan, al-Da wah al-Islâmiyyah wa al-Inqâdz al Âlami (Beirut: Dâr al-Salam,
1985), hlm. 24-34.
195

umat dan mencegah perpecahan, mendidik jiwa umat dan memusnahkan egoisme
individual seperti hasad dan kebrutalan yang bersumber pada tuntutan hawa

nafsu. Selain sasaran ini, juga Muhammad Abduh mengatakan bahwa amr ma rûf
nahy munkar merupakan upaya memperbaiki dan mewujudkan kemaslahatan
umat dengan melaksanakan segala kewajiban beragama. Kemudian Muhammad
Abduh menyatakan bahwa, tak syak lagi, bahwa dalam proses pelaksanaan
kewajiban-kewajiban tersebut terkandung perbaikan umat secara keseluruhan.79

Sebelum Muhammad Abduh, penjelasan makna fungsional amr marûf


nahy munkar ini dikemukakan oleh Taqiyudin Ibn Abbas Ahmad bin Taimiyah
(w.728H). Menurutnya bahwa, sesungguhnya nabi sendiri dan segenap kaum
beriman tidak memberikan informasi kecuali kebenaran. Mereka tidak
memerintahkan apa-apa selain keadilan, sehingga mereka menyerukan kebaikan
dan mencegah kemunkaran. Mereka mengimbau atas berbagai kemaslahatan
hamba-hamba-Nya di dunia dan akhirat. Mereka tidak mengajak pada kekejian,
tidak kezaliman, tidak kemusyrikan, dan tidak pula perkataan tanpa dasar ilmu.
Mereka merupakan delegasi penyempurnaan fitrah dan pemantapannya, bukan
untuk mengganti atau mengubahnya. Mereka tidak memerintahkan apa-apa
kecuali hal-hal yang sejalan dengan kebaikan menurut pertimbangan akal yang
diterima oleh hati yang bersih.80
Dari penjelasan Ibn Taimiyah di atas, dapat dipahami bahwa, di dalamnya

termuat prinsip-prinsip amr marûf nahy munkar sebagai tugas nabi dan umatnya
guna mewujudkan kemaslahatan segenap manusia hamba Allah SWT. di dunia
kini dan di akhirat kelak. Penyakit masyarakat yang termasuk kategori munkar
adalah perbuatan kotor, kezaliman dan syirik yang bertentangan dengan fitrah
manusia (keyakinan tauhid Allah). Bahasa lisan yang dipergunakan dalam

menegakkan marûf dan menjegal yang munkar mesti mengacu pada kecerdasan
penalaran rasional dan kesucian hati.

79
Al-Manâr, jld. I, hlm. 368. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian penafsiran QS. Al-
Baqarah: 83. Implementasi kandungan ayat ini merupakan bagian dari cara membangun umat.
80
Taqiyuddin Ibn al-„Abbas Ahmad bin Taimiyah, Kitâb al-Nubuwât (Beirut: Dâr al-Fikr,
tt.), hlm. 284.
196

Amr marûf nahy munkar merupakan bagian dari metode dawah ummah
yang esensial, yang mencirikan keberadaannya sebagai khayr ummah,
sebagaimana ditunjukkan oleh QS. Ali Imran (3): 110. Dari ayat ini menurut
Muhammad Abduh, menunjukkan bahwa,81 kebaikan dan keunggulan umat Islam
dibanding umat lain terletak pada hal-hal berikut: memerintahkan kebaikan,
mencegah kemunkaran, dan keimanan kepada Allah.

Al-marûf dan al-munkar dijelaskan oleh Muhammad Abduh bahwa,

marûf dalam penggunaannya secara umum dimaksudkan sebagai sesuatu yang


dipandang baik oleh akal dan watak yang waras. Kemunkaran adalah sebaiknya,
yaitu sesuatu yang ditolak oleh akal dan tabiat yang sehat. 82 Kemudian,

Muhammad Abduh menguatkan marûf dengan keadilan dan munkar dengan


kezaliman, menurutnya bahwa, tiada kebaikan yang paling baik selain keadilan
dan tiada kemunkaran yang paling tertolak selain kelaliman.83
Sementara itu, Semakna dengan penjelasan Muhammad Abduh, al-Sadi

menjelaskan marûf dan munkar bahwa, marûf merupakan sebuah kata benda
yang mencakup segala sesuatu yang dikenal kebaikan dan manfaatnya baik
menurut syariat maupun menurut akal. Munkar adalah kebalikannya.84
Sedangkan yang dimaksud dengan „adil, Muhammad Abduh, menurut
Rasyid Ridha, tidak memberikan penjelasannya. Al-Jurjâni, mengartikan term
„adil, yaitu, „Adil merupakan gambaran tentang sesuatu yang berada di tengah-
tengah antara ekstrem kanan dan ekstrem kiri, dan „Adalah merupakan ungkapan
tentang konsisten di atas jalan kebenaran dengan menjauhi sesuatu yang
diwaspadai agama. 85 Sedangkan al-zhulm, menurut al-Jurjani, adalah meletakkan
sesuatu bukan pada tempatnya. Secara syariat, al-zhulm merupakan ungkapan
penyimpangan dari kebenaran ke arah kebatilan. 86

81
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 57.
82
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 27.
83
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 45.
84
Abd al-Rahman bin Nashir al-Sadi, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr al-Mannân,
hlm. 944.
85
Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Tarîfât (Jeddah: al-Haramain, tt.), hlm. 147.
86
Ali bin Muhammad al-Jurjani, al-Tarîfât, hlm. 144
197

Penyebutan beriman kepada Allah setelah amr ma rûf nahy munkar,


menurut Muhammad Abduh, adalah mengandung hikmah, yaitu adapun rahasia
mengapa amr dan nahy didahulukan penyebutannya sebelum iman itu adalah
karena amr dan nahy itu merupakan sesuatu yang terpuji dalam tradisi seluruh
manusia, baik yang mukmin maupun yang kafir. Mereka semua memandang
orang yang melakukannya sebagai terhormat. Tatkala pembicaraan berada dalam
konteks keunggulan umat Islam di atas seluruh umat yang lain, baik mukmin
maupun kafir, didahulukanlah deskripsi sesuatu yang disepakati kebaikannya di

kalangan kaum mukmin dan kafir. Juga ada rahasia lain yakni bahwa amr marûf
nahy munkar itu merupakan perisai dan benteng keimanan.87
Dalam penjelasan Muhammad Abduh di atas, terkandung fungsi

menegakkan marûf dan menjebol perkara munkar sebagai upaya membentengi

dan memelihara keimanan umat terbaik. Jika tidak ada amr ma rûf nahy munkar,
maka akan terjadi robohnya tatanan keumatan. Dengan demikian, transformasi

dan institusionalisasi syariat Islam merupakan esensi dan fungsi amar marûf
nahy munkar yang wajib dilakukan oleh umat Muslim sesuai kemampuan masing-
masing individu dan status serta perannya dalam struktur keumatan, baik dengan
bahasa lisan, bahasa perbuatan, dan gerakan komunal, dengan mengacu pada

prinsip metode hikmah dan mauizhah hasanah. Pelaku amr marûf hendaknya
menguasai pengetahuan syariat Islam yang akan ditegakkannya, memeiliki

keterampilan dan kemampuan metodologis dan teknis menegakkan marûf dan


menjebol yang munkar, memiliki niat yang ikhlas, dan memiliki kepribadian
uswah hasanah.88

1. Amr Marûf

Prinsip-prinsip menegakkan marûf dalam memperbaiki perpecahan dan


permusuhan yang disebabkan oleh penyakit pemahaman dan mental taklid,

87
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 63-64
88
Kajian lebih lanjut mengenai hal ini, lihat Abd Munshif Mahmud Abd al-Fatah, Manhaj
al-Da wah al-Islâmiyah, hlm. 48-56. Imam Ghazali memandang amr marûf nahy munkar sebagai
bagian dari pokok agama, yang prosesnya melibatkan unsur pelaku, materi, metode, dan obyek. Ia
menyebutnya dengan ihtisâb (perjuangan memperoleh ridha Allah). Lebih lanjut lihat karyanya Al-
Mursyid al-Amîn ilâ Mau izhah al-Mu  minîn (Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi, tt.), hlm. 114-
119.
198

Muhammad Abduh berpesan agar memperhatikan sikap dan perilaku: (1) toleransi
atas perbedaan pendapat; (2) tidak saling mengafirkan di antara penganut paham
mazhab yang berbeda sepanjang perbedaan itu masih menerima dan tidak
menolak kitab Allah SWT.; (3) tidak mengingkari dan masih menghormati
kerasulan Muhammad SAW.; (4) menghindari polemik yang tidak etis dalam
diskusi dan pembahasan masalah baik secara lisan maupun tulisan; dan (5)
menyadari dan menjaga agar perbedaan pendapat pemahaman keagamaan tidak
membuat perpecahan dan permusuhan dengan mengembalikan segala persoalan
hukum kepada sumbernya yang autentik, melalui fungsi dan peran uli al-amr.89
Sikap dan perilaku dalam menyikapi perbedaan pendapat yang diajukan
oleh Muhammad Muhammad Abduh tersebut termasuk kajian etika berbeda
pendapat dalam Islam. Mengenai etika ini, menurut Thaha Jabir Fayyad al-Alwani
bahwa perbedaan pendapat bagian dari tradisi akademik ilmuwan muslim.90
Amr marûf sebagai upaya mewujudkan kesatuan umat, kesatuan
keorganisasian umat, dan kesatuan kepemimpinan umat dalam keragaman dicapai
melalui gerakan merealisasikan sasaran dan aspek-aspek syariat Islam. Sasaran
syariat Islam berupa pemeliharaan aqidah dan ibadah, penjaminan keselamatan
jiwa, pembinaan dan pemeliharaan kesehatan dan kecerdasan akal, pembinaan
generasi muda, pembinaan keadilan sosial dengan pemerataan kesejahteraan
sosial. Sasaran-sasaran syariat Islam ini pencapaiannya melalui aplikasi aspek-
aspek aqidah, ibadah, akhlak, keluarga, kemasyarakatan, kepemimpinan,
ekonomi, pendidikan, seni-budaya, kesehatan bio-psiko-sosio-spiritual,
keterampilan dan keamanan. Sasaran dan aspek-aspek syariat Islam ini merupakan
esensi ma rûf yang menjadi acuan sistem nilai dan norma khayr ummah.91

89
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 25.
9090
Lihat Thaha Jabir Fayyad al Alwany, Etika Berbeda Pendapat dalam Islam, terj. Adab
al-Ikhtilaf fi al-Islam oleh Ija Suntana, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001), hlm. 133.
91
Kajian lebih lanjut lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 365-370, Yusuf Qaradawi, Anatomi
Masyarakat Islam, hlm. 5-344, dan Runben Levy, terj. The Social Structure of Islam, oleh H.A.
Lujito (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), hlm. 56-100, Louise Marlow, Masyarakat Egaliter Visi
Islam, terj. Hierarchy and Egalitarianism in Islamic Thought, oleh Nina Nurmila (Bandung:
Mizan, 1999), dan Muhammad Abu Zahrah, Membangun Masyarakat Islami, terj. Tanzhîm al-
Islâm lî al-Mujtama , oleh Shodiq Noor Rohmat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994).
199

Khayr ummah dibangun melalui penerapan asas-asas wahdah al-ummah

sebagai al-marûf, yaitu: tauhid Allah, ukhuwah Islamiyah, musâwâh

(persamaan), musyâwarah, taâwun (gotong-royong), takâful ijtimâi (solidaritas


sosial), jihâd (perjuangan), ijtihâd (kreasi dan inovasi), „amal shâlih (karya yang
bernilai guna dan berhasil guna), musâbaqah fî al-khayrât (berlomba-lomba
dalam kebaikan), tasâmuh (toleransi), dan istiqâmah (keberlangsungan melalui
disiplin).92
2. Nahy al-Munkar

Prinsip-prinsip amr marûf, sebagaimana dijelaskan sebelumnya,


direalisasikan sejalan dan secara simultan dengan merealisasikan prinsip-prinsip
nahy munkar. Sesuatu disebut munkar, tidak lain sejumlah larangan syariat Islam
yang penentuannya melibatkan dan mengakui pertimbangan akal sehat manusia.
Beberapa macam kemunkaran yang diamati Muhammad Abduh pada zamnnya,
antara lain, menurutnya bahwa, induk kemungkaran yang merusak tatanan sosial
meliputi kebohongan, pengkhianatan, iri-dengki, dan penipuan. 93
Dari empat macam kemunkaran induk itu, menurut Muhammad Abduh,
akan muncul berbagai macam kemunkaran yang lain sebagai penyakit
masyarakat, seperti perzinahan (prostitusi), meminum minuman yang
memabukkan (khamar), fasâd (merusak tatanan lingkungan hidup, dan pada
gilirannya, kemunkaran itu menjadikan manusia tidak lagi menghiraukan
kewajiban beragama, tidak lagi merasakan nilai luhur kemanusiaan, tidak lagi
menjunjung tinggi sopan santun kemanusiaan dan tidak ada bedanya dengan
perilaku kehewanan.

92
Kajian lebih lanjut, lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 130, Yusuf Qaradawi, Konsep Islam
Solusi Utama Bagi Umat, terj. Al-Hill al-Islâmi Farîdhah wa Dharûrah, oleh M. Wahib Aziz
(Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), hlm. 28-177, Abu Yazid, Islam Akomodatif
Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama Universal (Yogyakarta: LKis, 2004), hlm. 42-69,
dan Azyumardi Azra, Islam Substantif Agar Umat tidak Jadi Buih (ed.) Idris Thaha (Bandung:
Mizan, 2000). Semua kandungan buku ini, dari perspektif dakwah, merupakan pemikiran strategis
kontemporer bagi pembangunan khayr ummah yang proses aplikasinya sebagai proses dakwah
ummah.
93
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 36.
200

Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh bahwa, tidak beragama, tidak
memiliki rasa malu dan rikuh, tidak beradab, nyaris tak ada bedanya antara
kelompok manusia dengan kerumunan kambing atau lembu.94
Muhammad Abduh beralasan bahwa, nahy munkar bukan fardhu kifâyah
seperti salat jenazah, tetapi wajib „ain (individual) dan sekaligus komunal
(kifâyah). Secara individual, siapapun yang menyaksikan kemunkaran
berkewajiban untuk mencegah dan mengubahnya. Dalam hal ini, Muhammad
Abduh menegaskan bahwa, manakala orang melihat kemunkaran, ia berkewajiban
untuk mencegahnya dan tidak boleh menunggu orang lain, karena bisa jadi ia
memiliki persepsi lain tentang kemunkaran yang disaksikannya.95
Kemudian menurut Muhammad Abduh, nahy munkar dapat dilakukan
dengan tiga macam cara, sebagaimana ditunjukkan dalam salah satu sabda Nabi
Muhammad SAW. yang artinya, siapa saja yang melihat kemunkaran hendaklah
ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak bisa dengan tangan, hendaklah
mengubah dengan lisannya. Bila tidak mampu dengan lisan, dengan hatinya.
Hanya saja, itu merupakan tingkat keimanan paling lemah. 96
Muhammad Abduh mengakui bahwa, terdapat perbedaan mengenai siapa
yang berkompeten untuk melaksanakan kewajiban nahy munkar dan taghyîr
munkar. Perdapat pertama meyakini bahwa wajib bagi umarâ (pemerintah,
pemimpin), pendapat kedua setiap individu menurut kemampuannya, berdasarkan
tiga macam pilihan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits nabi di atas. Media
nahy dan taghyîr munkar dapat menggunakan bahasa lisan dan perbuatan.

Dalam pada itu, Muhammad Abduh mengajukan prinsip amr marûf dan

nahy munkar, yaitu bagi mereka penganjur marûf dan pencegah munkar

hendaknya mereka menyeru dengan cara hikmah dan mauizhah hasanah.

94
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 30.
95
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 36.
96
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 34. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim,
dan empat pemilik kitab al-Sunan (Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, dan Ibn Majah). Hadits ini
termasuk shahih. Lihat Jalâl al-Dîn Abd al-Rahman al-Suyuthi, al-Jâmi al-Shaghîr fî Ahâdîts al-
Basyîr al-Nadzîr (Bandung: PT. Al-Maarif, tt.), hlm. 171.
201

Kiranya (dakwah tidak membuat) orang-orang tidak lari dari Islam atau membuat
mereka tersakiti. 97
Selain itu, Muhammad Abduh berpendapat bahwa, hendaknya dibedakan
antara nahy (mencegah) dengan taghyîr (mengubah) sebagaimana ia tegaskan
bahwa, sesungguhnya mencegah sesuatu hanya bisa dilakukan sebelum sesuatu
itu dilakukan. Jika sudah dilakukan, ia bukan mencegah melainkan
menghilangkan suatu kejadian atau mewujudkan sesuatu yang sudah terwujud.
Maka, jika anda melihat seseorang memperdaya orang gemuk, misalnya, wajiblah
anda mengubahnya dan mencegahnya dengan perbuatan jika anda mampu.
Kekuasaan dan kemampuan di sini dipersyaratkan oleh nash. Jika anda tidak
mampu melakukan hal itu, wajiblah anda mengubah dengan lisan. Hal ini tidak
berlaku khusus untuk mencegah penipuan dan mengingatkannya, melainkan
termasuk pula di dalamnya mengangkat persoalan tersebut kepada pemerintah
atau pemimpin yang bisa mencegahnya dengan kekuasaan di atas kekuasaan anda.
98

Sudah menjadi bagian dari kenyataan kehidupan bermasyarakat selalu ada


yang menjadi pemimpin dan yang dipimpin. Pemimpin ini memiliki otoritas
sebagai salah satu fungsi dari kepemimpinannya, sehingga ia dapat mempengaruhi

perilaku anggota kelompok yang dipimpinnya. Dâi dalam hal ini dapat berfungsi
sebagai pemimpin. Ketika berfungsi sebagai pemimpin maka dia akan
memperoleh kepengikutan dari anggota masyarakat yang dipimpinnya, yang
ditentukan oleh adanya beberapa faktor, misalnya adanya dorongan mengikuti
pemimpin sebagai sesuatu yang diharuskan, adanya sifat yang menjadi daya tarik
yang dimiliki pemimpin sehingga anggota menjadi kagum dan tertarik untuk
mengikutinya, dan adanya kemampuan pada pemimpin itu sendiri untuk
menggunakan teknik kepemimpinanannya. Ketika pemimpin menjalankan tugas
nahy munkar dan taghyîr munkar akan lebih besar peluang untuk berhasil apabila
ia memiliki faktor kepengikutan tersebut.

97
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 31-32.
98
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 34. Macam pendapat mengenai metode nahy munkar ini,
selanjutnya lihat Uways Wafa al-Arunjani, Manhaj al-Yaqîn „alâ Syarh Adab al-Dunya wa al-Dîn
(Jedah: al-Haramayn, tt.), hlm. 156-163.
202

Dari sudut pandang komunikasi, pertimbangan-pertimbangan


kepengikutan terhadap pemimpin ditentukan dengan lima faktor alasan, yaitu:
Pertama, kepengikutan karena naluri, hal ini terjadi disebabkan oleh
dorongan untuk menaruh kepercayaan kepada seseorang, sehingga siap bersedia
untuk melakukan tindakan tertentu yang dikehendaki orang yang memperoleh
kepercayaan itu. Orang yang menerima kepercayaan tersebut diakui sebagai
pemimpin karena dianggap mampu melindungi kepentingan atau mewujudkan
aspirasi orang yang menaruh kepercayaan tadi;
Kedua, kepengikutan karena tradisi yang disebabkan oleh kebiasaan turun
menurun. Kepengikutan jenis ini terdapat di tengah-tengah masyarakat, mereka
mengikuti pemimpin dengan tidak melakukan penilaian-penilaian kualitas
kebijakan yang dijalankan oleh pemimpin;
Ketiga, kepengikutan karena rasio, yakni kepemimpinan yang ditandai
dengan berbagai ciri ilmu pengetahuan, sebagaimana umumnya yang dimiliki oleh
setiap ilmuwan. Dalam aplikasinya bermanfaat untuk memecahkan berbagai
persoalan yang komplek, dan kepemimpinan juga didukung dan ditunjang oleh
lembaga, sehingga ia sebagai pemimpin memperoleh pengakuan sosial secara
formal;
Keempat, kepengikutan karena agama dan budi pekerti, yakni para
pengikut mengikuti pemimpin berdasarkan agama yang sewaktu-waktu bersifat
fanatik dan memandang bahwa mengikuti pemimpin sebagai pelaksanaan agama,
yang berarti pula sebagai pelaksanaan ibadah. Dalam suasana interaksi antara
pemimpin dan pengikutnya di tengah-tengah masyarakat yang
mempertimbangkan agama dan budi pekerti pemimpin akan berhasil menjalankan
kepemimpinannya apabila memenuhi beberapa hal berikut: (1) apabila mutu
keputusan yang diambil oleh pemimpin dipandang penting dan mendapat
perhatian; (2) penerimaan para bawahan menyadari bahwa keputusan yang
diambil itu adalah penting; (3) para bawahan cenderung menolak keputusan yang
diambil apabila mereka tidak dilibatkan dalam proses pengambilannya; dan (4)
para pengikut dapat dipercayai untuk memberikan perhatian pada tercapainya
tujuan yang menggambarkan mengakomodir kepentingan bersama.
203

Kelima, kepengikutan karena peraturan dan hukum, yaitu yang merupakan


tindakan bahwa pengikut diatur hak dan kewajibannya dalam aturan dan hukum
tersebut, sehingga mereka merasa terikat untuk mengikuti pemimpin.
Faktor-faktor kepengikutan tersebut dalam prakteknya dapat saja
terakumulasi atau faktor yang satu mempengaruhi faktor-faktor lainnya, serta
sangat mungkin pada satu pribadi pengikut terdapat dua atau lebih afktor
kepengikutannya. Kendati demikian, faktor-faktor tersebut merupakan hal yang
ikut menentukan jenis dan keberhasilan pemimpin.99
Di antara persyaratan bagi pelaku nahy munkar di dalam penegasan
Muhammad Abduh di atas, selain aspek kekuasaan dan kemampuan, juga
termasuk aspek penguasaan ilmu dan keadilan.
Sejalan dengan Muhammad Abduh di atas, mengenai persyaratan kuasa
dan mampu, Abd al-Fatah mengajukan pendapat tentang syarat bagi pelaku amr

marûf nahy munkar dengan mengutip pendapat Sofyan al-Tsauri, yaitu:


bahwasanya orang tidak bisa memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran
kecuali ia memiliki tiga hal, yaitu: (1) bersikap lemah lembut dalam hal
memerintahkan dan mencegah; (2) bersikap adil dalam hal memerintahkan dan
mencegah; dan (3) berilmu mengenai apa yang ia perintahkan dan apa yang ia
cegah.100
Selain taghyîr munkar melalui bahasa lisan, juga terdapat cara lain, yaitu
cara taghyîr munkar dengan qalb, menurut Muhammad Abduh yaitu, taghyîr
dengan hati adalah dalam bentuk marah atas pelaku dan tidak meridhai
perbuatannya.101
Muhammad Abduh percaya bahwa, banyak cara dan media untuk
melakukan nahy munkar selain yang telah dikemukakannya, menurutnya bahwa,

99
Lihat, Wahjosumijo, Kepemimpinan dan Motivasi, (Jakarta: Balai Aksara, 1985), hlm.
132-135.
100
Abd al-Munshif Mahmud Abd al-Fatah, Manhaj al-Dawah al-Islâmiyah, hlm. 54.
Mengenai karakteristik dâi di medan dakwah ummah dalam menunaikan nahy munkar, lebih
lanjut lihat Said bin Ali bin Wakf al-Qahthani, 9 Pilar Keberhasilan Dâ I di Medan Dakwah, terj.
Muqawamât al-Dâ iyah al-Nâjih, oleh Muzadi Hasbullah (Solo: Pustaka Arofah, 2001).
101
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 34.
204

terdapat banyak cara dan berbilang media bagi nahy munkar. Bagi setiap tempat
ada pembicaraan yang tepat seuai peruntukannya. 102
Muhammad Abduh lebih lanjut menegaskan bahwa, metode nahy munkar
selain tiga macam metode yang telah dikemukakan, adalah jihâd fî sabîl al-Lâh
(berjuang di dalan Allah) melalui pengorbanan harta benda dan jiwa raga.
Termasuk bagian dari esensi jihad ini adalah al-qitâl (perang) untuk membentengi
diri dan mewujudkan keberlangsungan dakwah Islam dari serangan dan gangguan
manusia yang memusuhi dan menghalangi jayanya dakwah Islam. Jika jalan
damai tidak disepakati dan mereka mengobarkan dan memulai memerangi umat
Islam, maka al-qitâl sebagai suatu kewajiban komunal dan masal umat Islam
direalisasikan.103
Tujuan utama diperintahkannya al-qitâl (perang) di jalan Allah adalah
untuk meninggikan Kalimah Allah, menegakkan agama Allah, dan mewujudkan
keberlangsungan dakwah. Sehubungan dengan hal ini, Muhammad Abduh
meyakini bahwa, perang di jalan Allah dilakukan dengan prinsip, yaitu: (1)
merupakan perang demi meninggikan Kalimah Allah, pengamanan agama-Nya,
dan penyebaran dakwah-Nya; (2) membela pasukan Allah agar hak mereka tidak
tersisihkan dan tidak terhalangi untuk mengurus urusannya; (3) perang di jalan
Allah bersifat lebih umum daripada perang demi agama karena perang di jalan
Allah mencakup perang mempertahankan agama dan memelihara dakwahnya; dan
(4) merupakan upaya mempertahankan diri dari serbuan manakala seorang
serakah menyerbu negeri kita dan menguras potensi-potensi tanah kita, atau
musuh yang tiran hendak menghinakan kita dan mengancam kemerdekaan kita,
meski hal itu bukan untuk membahayakan agama kita.104
Hal tersebut di atas bersifat mutlak, seolah-olah ia merupakan perintah
bagi kita untuk menyandang sifat berani dan berpenampilan penuh kekuatan dan
harga diri, agar hak-hak kita terpelihara dan kehormatan kita terjaga. Kita tidak
boleh tercerabut dari agama kita, tidak tergusur dari dunia kita, melainkan kita

102
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 35.
103
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 61-64. Pendapat Muhammad Abduh ini bagian dari
penafsiran atas QS. Ali Imran: 111, ayat ini bagian dari ketentuan perang di jalan Allah.
104
Al-Manâr, jld. II, hlm. 461.
205

tetap dalam keadaan mulia dalam hal agama dan dunia, meraih kebahagiaan di
dunia dan akhirat. Tidakkah anda melihat bahwa orang-orang yang Allah
pertunjukkan kepada kita, keadaan mereka sebagai pelajaran, kita mengingat
sunnah-Nya berkenaan dengan kematian dan kehidupan mereka. Allah tidak
menyebut bahwa mereka telah terbunuh dan membunuh demi agama. Maka,
perang untuk menjaga hakikat sama dengan perang demi memelihara kebenaran.
Semuanya merupakan jihad di jalan Allah. 105
Dalam paparan Muhammad Abduh tersebut di atas, termuat prinsip-
prinsip al-qitâl dalam menegakkan dan memelihara kebenaran guna memeproleh
keselamatan dan kebahagiaan di dunia kini dan di akhirat kelak. Ketentuan
startegis dan ketentuan operasional mengenai al-qitâl menjadi kajian fiqh Islam
dan banyak dikaji walaupun tidak secara langsung dikaitkan sebagai bagian dari
metode nahy munkar dalam kerangka dakwah ummah. Yusuf Musa sependapat
dengan pandangan Muhammad Abduh mengenai jihad dan qitâl dalam kaitannya
dengan dakwah Islam ini.106 Sebab, jihad dan qitâl dalam dakwah merupakan
bagian dari sunah Rasul Allah, Rasul telah memberikan contoh dalam memimpin
qitâl pada zamannya.
Qitâl (perang) dalam upaya membentengi kebebasan dan mewujudkan
keberlangsungan dakwah, mengacu pada prinsip-prinsip keadilan, perang hanya
dibolehkan apabila mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: (1) sebagai
pembelaan diri dari kezaliman musuh; (2) perang untuk mengokohkan sendi-sendi
perdamaian; (3) perang dilakukan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan; (4) perang dilakukan bukan untuk kepentingan pribadi; (5) perang
dilakukan bukan untuk kepentingan golongan; dan (6) perang dilakukan bukan
untuk mengejar keuntungan materil. 107

105
Al-Manâr, jld. II, hlm. 461. Ungkapan Muhammad Abduh ini bagian dari penafsiran QS.
Al-Baqarah: 243-244. Bandingkan dengan kajian al-Jurjani, al-Hikmah al-Tasyri wa Falsafatuhu,
(Beirut: Dâr al-Fikr,tt), hlm. 329-350.
106
Selanjutnya lihat Yusuf Musa, Al-Quran dan Filsafat, terj. Al-Qurân wa al-Falsafah,
oleh Ahmad Daudi (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 102-105.
107
Lihat Mahmûd Syît Khathab, al-Rasûl al-Qâid, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1989), hlm. 473-
482.
206

D. Kaderisasi Da’i Profesional

Term takwîn al-duât / tarbiyah al-duat ini digunakan sebagai realisasi dari
perintah kewajiban dakwah yang sementara ini kurang mendapat perhatian ilmuan

muslim, yaitu kalimah dan yang memberikan petunjuk sebagai amar

takwîn (perintah pembentukan) kader dâi, yaitu tenaga terpelajar, terdidik,


terlatih, dan terampil melaksanakan tugas dakwah. Dalam tatanan khayr ummah,
dâi profesional ini oleh Muhammad Abduh disebut sebagai khawâsh al-ummah
(individu terpilih dengan tugas-tugas sebagai dâi).108

Oleh karena itu, kaderisasi dâi profesional dapat dipahami sebagai upaya

menyiapkan calon-calon dâi yang memiliki keahlian teoretis dan praktis hal-
ihwal dakwah Islamiah sebagai komponen umat yang memiliki persyaratan

profesionalisme kedakwahan melalui proses takwîn al-duât yang berintikan

proses talîm (transmisi ilmu), tadrîs (pembelajaran intensif), tafaqquh


(pendalaman paham), tazwîd (pembekalan keahlian), dan tadbîr (pemberian
keterampilan manajerial).

Khawâsh al-ummah sebagai duât yang dimajukan Muhammad Abduh,


sejalan dengan pendapat Shaqr, menurutnya, bahwa, apa yang kami maksud

sebagai duât tiada lain adalah mereka yang kepentingan dakwahnya menguasai

kehidupannya atau menjadi pusat pekerjaan mereka. 109


Term takwîn al-duât untuk menyebut „pendidikan keahlian dakwah
digunakan antara lain oleh Abd al-badi Shaqr, Ahmad Ahmad Ghalwusy, dan Ali
bin Shalih al-Mursyid. 110
Muhammad Abduh menyadari betapa pentingnya menyiapkan kader-kader

dâi profesional dalam menghadapi persoalan kehidupan umat yang semakin


rumit pada zamannya. Sebab, menurut pengamatan Muhammad Abduh dan

108
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28, 36, 37 dan 44. Selain kalimah dalam QS. Ali
Imran: 104 dan dalam QS. Ali Imran: 110, juga kalimah dalam QS. Ali Imran: 79, ayat 79
ini mengenai ketentuan talim.
109
Abd al-badi Shaqr, Kayfa Nad u al-Nâs (Kairo: Maktabah Wahbah, 1976), hlm. 108.
110
Lihat Ahmad Ahmad Ghalwusy, al-Da wah al-Islâmiyah (Kairo: Dâr al-Kitab al-Mishri,
1987), hlm. 434. Selanjutnya disebut Ghalwusy, dan Ali bin Shalih al-Mursyid, Mustalzamât al-
Dawah fî al-„Ashr al-Hâdhir (Damanhur: Maktabah Layinah, 1989), hlm. 93. Selanjutnya disebut
al-Mursyid.
207

sekaligus sebagai kritiknya adanya orientasi para mahasiswa sudah mengabaikan


nilai-nilai kemaslahatan jiwa (nafs) dan perjuangan memajukan Islam. Dalam hal
ini, Muhammad Abduh menyatakan bahwa, Kita telah menyaksikan dan akan
terus menyaksikan di negeri kita bahwa para mahasiswa yang tengah mengkaji
berbagai ilmu dan seni seraya mengabaikan pendidikan jiwa tidak melakukan apa-
apa selain memperbudak orang lain. Sebagaimana berlangsung di kota Astanah
dan Kairo, dan daerah lainnya, anda melihat orang bersenang-senang mengumbar
syahwat, kesenangan, dan kemewahan. Inilah apa yang dilakukan oleh setiap
tingkat pemerintahan negeri ini. Mereka menguras kekayaan rakyat dengan
menarik korupsi, pungli, makanan ilegal. Dan setiap hal yang mereka utamakan
dari syahwat mereka tiada lain kecuali apa yang mereka belanjakan itu
memperbesar bagian pihak-pihak lain. 111
Berikut diuraikan secara singkat pemikiran Muhammad Abduh mengenai

urgensi, dasar dan tujuan, materi dan metode kaderisasi dâ i profesional (takwîn

al-duât).

1. Urgensi Kaderisasi
Muhammad Abduh percaya bahwa keberlangsungan pelaksanaan dakwah akan

terjadi jika ada kader dâi yang meneruskan dâ i sebelumnya, dan begitu juga
seterusnya. Oleh karena itu, menurut Muhammad Abduh, QS. Al-Taubah (9):122
memberikan tuntunan pentingnya melakukan kaderisasi lewat proses tafaquh fî
al-dîn.112
Dalam kandungan ayat QS. Al-Taubah (9):122, menurut Muhammad
Abduh, merupakan pembagian tugas dalam struktur khayr ummah. Tidak semua
menekuni tugas yang sama, sebab tenaga ahli yang mengurusi kehidupan
beragama umat perlu dilakukan takwîn secara profesional pula, untuk
mewujudkan keberlangsungan dakwah Islam. Menurut Muhammad Abduh,

111
Al-Manâr, jld. I, hlm. 6.
112
Terjemah dari QS. Al-Taubah: 122 adalah sebagai berikut: ”Tidaklah semestinya kaum
beriman pergi seluruhnya ke medan perang. Mengapa tidak ada sekelompok di antara yang
mendalami agama dan memberikan peringatan kepada kaumnya manakala mereka pulang ke
tengah mereka, kiranya mereka bersikap waspada”
208

kalimah liyundzirû dan yahdzarûn merupakan bagian dari aktivitas dakwah


Islam.113
Sepaham dengan pandangan Muhammad Abduh, pandangan yang

dikemukakan oleh al-Sadi ketika menafsirkan QS. Al-Taubah: 122, menurutnya


bahwa, hendaknya mereka mempelajari ilmu syariat, mengetahui pesan-pesannya,
dan memahami rahasia-rahasianya. Hendaknya mereka mengajari orang-orang
lain. Hendaknya mereka memberi peringatan kepada masyarakatnya ketika
mereka sudah kembali ke kampungnya. Dalam hal ini tampak keutamaan ilmu,
khususnya ilmu fiqih dalam agama. Ia merupakan hal terpenting. Siapa pun yang
mempelajari ilmu wajiblah menyebarkan dan menyiarkannya kepada hamba-
hamba Allah dan menansihatinya, karena penyebaran ilmu dari ilmuan merupakan
bukti keberkahan dan pahala baginya. Adapun ilmuan yang memanfaatkan
ilmunya hanya untuk dirinya sendiri, tidak berdakwah di jalan Allah dengan

hikmah dan mauizhah hasanah, tidak mengajari orang-orang bodoh ihwal apa
yang mereka belum mengetahuinya, lalu manfaat apa yang ia berikan kepada
kaum muslim? Nilai apa yang ia raih dari ilmunya? Paling-paling puncaknya ia
meninggal, maka matilah ilmu dan buahnya. Jelas ini merupakan kerugian yang
tak terkira bagi orang yang dianugrahi ilmu dan pemahaman oleh Allah.114
Dalam ayat ini juga terdapat dalil, arahan, dan peringatan halus bagi suatu
pesan penting, yakni bahwa kaum muslim mestilah mempersiapkan orang-orang
yang menunaikan pekerjaan publik untuk berbagai kemaslahatan umum.
Kelompok ini mencurahkan waktunya untuk mengurus kepentingan publik.
Mereka bekerja keras untuk itu. Mereka tidak berpaling pada urusan lain. Ini agar
kemaslahatan umum dapat terlaksana dan kepentingannya terpenuhi. Kepentingan
publik ini mesti menjadi arah pemikiran bersama dan menjadi satu tujuan bagi
segenap lapisan masyarakat. Tujuan itu adalah tegaknya kemaslahatan agama dan
dunia mereka, meski jalan yang ditempuhnya beragam dan mata pencahariannya

113
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 28. Pendapat yang sama, ddikemukkan antara lain oleh
Muhammad Sulayman “abd Allah al-„Asyqari, Zubdah al-Tafsîr, (Riyadh: Dâr al-Nafâis,2004)
hlm. 206.
114
Abd al-Rahman bin Nashir al-Sadi, Taysîr al-Karîm al-Rahman fî Tafsîr Kalâm al-
Mannân (Riyadh: Maktabah al-Rusydiyah, 2001), hlm. 355.
209

berbeda-beda. Pekerjaan itu boleh berbeda-beda, namun tujuannya tetap satu. Ini
termasuk nilai publik yang bermanfaat bagi seluruh urusan.115

Mengenai urgensi kaderisasi dâi profesional ini, al-Mursyid juga

berpendapat yang sama dengan Muhammad Abduh dan al-Sadi, sebagaimana ia


menegaskan bahwa, sudah tampak jelas pada zaman modern ini muncul sejumlah

orang yang dalam kaitan dakwah mengklaim diri sebagai dâ i. Padahal, mereka
menyesatkan dan tidak berjasa. Sebabnya terpulang pada keterbatasan mereka

dalam pembentukan dirinya sebagai dâi yang menyeru kepada agama Allah.
Sesungguhnya pada zaman modern ini, Islam lebih banyak membutuhkan tenaga

dâi yang memahami fiqh yang tak bisa ditawar-tawar dan mereka
menyebarkannya di kalangan manusia secara jelas dan lengkap. Mereka
bersungguh-sungguh berkhidmat kepadanya dan menjadikannya sebagai
kesibukan satu-satunya bagi mereka. Mereka juga menjadikannya sebagai ajang
mendekatkan diri kepada Allah Tuhan semesta alam.116

Senada dengan pendapat al-Mursyid mengenai pentingnya kaderisasi dai,


Abdullah Syahatah mengajukan pendapatnya yaitu: (1) hendaknya kader-kader

dâi memahami dan mampu menggunakan media massa modern untuk


menyebarluaskan pesan-pesan dakwah; (2) mendirikan pusat-pusat dakwah

Islamiyah untuk menyelenggarakan kegiatan pengkaderan dâi; (3) perlu

dilakukan perluasan dalam pengiriman tenaga dâi terlatih ke seluruh penjuru


dunia yang dipersiapkan secara baik; (4) mengupayakan dana dan sarana yang

diperlukan untuk kelancaran pelaksanaan dakwah oleh kader dâi; dan (5)
menciptakan suasana lingkungan yang kondusif dalam pengamalan ajaran Islam
yang penggeraknya dilakukan oleh para kader dâi terdidik.117

Mengenai urgensi kaderisasi dâi tersebut, juga didukung oleh pendapat

Fathi Yakan, menurutnya kaderisasi dâi sebagai proses pembekalan kemampuan


dan keterampilan bagi mereka sebelum terjun ke medan dakwah. Oleh karena itu
menurutnya agar proses kaderisasi dipandang sebagai upaya penanaman hal-hal

115
Abd al-Rahman bin Nashir al-Sadi, Taysîr al-Karîm al-Rahman fî Tafsîr Kalâm al-
Mannân, hlm. 356.
116
Al-Mursyid, Mustalzamât al-Da wah fî al-„Ashr al-Hâdhir, hlm. 94.
117
Abdullah Syahatah, al-Da wah al-Islâmiyyah wa al-„Ilam al-Dîni, hlm. 17.
210

seperti: (1) pemahaman agama Islam yang mendalam dengan berbagai macam
ilmu yang diperlukannya; (2) kemampuan memberikan perilaku percontohan; (3)
mental ketabahan dalam menjalankan tugas; (4) solidaritas sosial; (5)
kedermawanan kepada orang lain; (6) perilaku sopan santun dalam pergaulan; (7)
kemampuan berpenampilan baik dan menarik dalam berbicara; (8) kemampuan
pengelolaan pendayagunaan materi; dan (9) mental melayani orang lain.118

Kehadiran dai yang memiliki penguasaan ilmu agama Islam ,


keterampilan dalam melakukan pembaruan, perubahan dan perbaikan kehidupan
beragama umat sangat dibutuhkan oleh umat Islam dalam mencari solusi problem
kehidupan yang dihadapi dimanapun mereka berada.

2. Dasar Hukum dan Tujuan


Muhammad Abduh meyakini bahwa perintah dakwah yang secara manthûq
(sesuatu yang ditunjuk ungkapan) ditujukan kepada ummah dan khayr ummah

berarti upaya menjadi dan menyiapkan individu komponen umat menjadi dâi
yang profesional adalah bagian dari kewajiban pelaksanaan dakwah itu sendiri.
Dalam hal ini, Muhammad Abduh menjelaskan argumennya tentang dasar hukum

dan tujuan takwîn al-duât, yaitu, bila ternyata setiap individu umat Islam

berkewajiban menyeru kepada kebaikan dan amr marûf nahy munkar sesuai
dengan implikasi segi pertama dalam penafsiran ayat tersebut, tentu mereka juga
berkewajiban, sesuai dengan implikasi segi yang kedua ini, untuk memilih
sekelompok orang di antara mereka yang melaksanakan pekerjaan ini, agar
kelompok ini bekerja secara sempurna dan mampu menunaikannya. Jika
kelompok ini tidak ada secara alamiah sebagaimana pada zaman sahabat, tentu
upaya membentuk kelompok khusus ini menjadi suatu fardhu „ain yang setiap
orang mukallaf wajib berpartisipasi di dalamnya bersama yang lain. Tidak ada
kesulitan bagi kita mengenai hal ini. Mudah saja bagi penduduk suatu kampung

118
Lihat Fathi Yakan, al-Isti âb Fi al-Hayâh al-Dawah wa al-Dâiyah (Beirut: Muasasah
al-Risâlah, 1983), hlm. 16-62 dan bandingkan dengan konsep guru profesional dalam karya Moh.
Uzer Usman Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Rosda Karya, 2009), hlm. 14-16.
211

untuk berkumpul dan memilih sekelompok orang yang dipandang ahli untuk
mengerjakan tugas dakwah ini.119
Muhammad Rasyid Ridha mengomentari dan memperkuat argumentasi
gurunya tersebut di atas. Menurut Ridha, bahwa, mengenai ungkapan ustadz
[Muhammad Abduh] „dan mereka memilih satu orang atau lebih dari kalangan

mereka, sepertinya apa yang ia maksud dengan satu orang adalah hendaknya
yang satu orang ini bergabung dengan orang-orang terpilih di desa-desa dan
negeri lain, agar melakukan perjalanan di muka bumi guna berdakwah menyeru
kepada Islam di luar kampungnya, atau untuk menegakkan sebagian kefarduan,
syiar Islam, atau mengenyahkan sebagian kemunkaran dari negeri lain dari negeri
Islam. Jika tidak dipahami demikian, bukankah yang menjadi kewajiban
penduduk desa adalah hendaknya mereka memilih sekelompok orang yang bisa
disebut sebagai ummah dan mereka menunaikan tugas-tugas yang bisa dikerjakan
oleh setingkat ummah dengan persatuan dan kekuatan, agar mereka berwenang
menegakkan kefarduan tersebut di sana, sebagaimana hal itu menjadi kewajiban
setiap masyarakat Islam, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Sebab, arti
ummah itu termasuk juga di dalamnya ikatan dan kesatuan yang membuat para
anggotanya, meski tugas dan pekerjaannya berbeda-beda hingga dalam
menegakkan kefarduan ini tatkala pekerjaan mereka dalam hal ini bermacam-
macam, seolah-olah satu orang. Inilah tampaknya yang coba dikemukakan oleh
ustadz [Muhammad Abduh] dalam konteks ini.120
Ungkapan Muhammad Abduh, yang diperkuat oleh Ridha di atas,

menunjukkan bahwa hukum takwîn al-duât itu wajib „ain dengan dasar nash Al-
Qurân mengenai kewajiban dakwah. Kewajiban ini dalam pengertian bahwa
masing-masing individu yang mukallaf sebagai komponen dakwah berhak dan

berkewajiban menyelenggarakan takwîn al-duât dan menjadi duât (dâi

119
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 37-38. Seseorang sebagai ahli jika ia memiliki kemampuan
akademik dan melakukan tugasnya berdasarkan keilmuan yang dimilikinya. IAIN, sebagai
lembaga pendidikan tinggi Islam negeri di Indonesia memiliki peran besar dalam mengubah citra
keberadaannya sebagai lembaga dakwah menjadi lembaga akademik, termasuk akademik bidang
dakwah. Lebih lanjut, lihat Fuad Jabali dan Jamhari (peny.), IAIN: Modernisasi Islam di Indonesia
(Jakarta: Logos, 2002).
120
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 38.
212

profesional) yang betugas mengurusi urusan umat sebagai dakwah bî al-tadbîr


(rekayasa sosial). Kemudian Muhammad Abduh meyakini adanya tugas ummah,
menurutnya, termasuk dalam pekerjaan ummah ini adalah urusan-urusan publik
yang merupakan urusan pemerintah, urusan keilmuan, ragam jalan
mndapatkannya, penyebarannya, penetapan hukum, dan urusan-urusan umum
yang bersifat pribadi. Di sini dipersyaratkan ilmu mengani semua urusan itu. Dan
untuk itulah ummah ini dibentuk.121

Mengenai tujuan takwîn al-duât Muhammad Abduh mengacu pada QS.

Ali Imran: 79. Terhadap ayat tersebut, Muhammad Abduh menjelaskan, antara

lain, yaitu, maksudnya, bahwa nabi yang diberi kitab dan hukum itu
memerintahkan kepada mereka untuk menggabungkan diri kepada Tuhan secara
langsung tanpa seorang perantara dan mediator. Allah memberikan petunjuk
kepada perantara yang sesungguhnya yang menghantarkan ke sana, yakni
mengajarkan kitab dan mempelajarinya. Sebab, dengan ilmu kitab, mengajarkan
dan mengamalkannya, manusia menjadi dekat dengan Tuhan dan diridhai oleh-
Nya. Kitab itu merupakan perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
dan rasul merupakan perantara yang menyampaikan kitab.122
Dari penjelasan Muhammad Abduh di atas, dapat dipahami bahwa tujuan

takwîn al-duât adalah membentuk kader dâ i sebagai manusia rabbâni yang


diridhai Allah SWT. yang menguasai ilmu dan terampil mengamalkannya, yang
bertugas meneruskan kewajiban dakwah menurut contoh sunnah rasul sebagai

dai dan muballigh dengan berbagai fungsinya.123


Tujuan takwin al-duat yang berarti pula tarbiyah al-duat ini merupakan
bagian dari pendidikan Islam. Sedangkan di dalam tujuannya antara lain

121
Al-Manâr, jld. V, hlm. 38.
122
Al-Manâr, jld. III, hlm. 248
123
Menurut isyarat QS. Al-Ahzâb (53): 45-46, nabi dan rasul Allah berperan sebagai syahid
(saksi), mubasyir (penyampai berita gembira), nadzîr (pemberi peringatan), dâi (penyeru), dan
sirâj munîr (lampu yang menerangi). Sebagai muballigh diisyaratkan QS. Al-Maidah (5): 67.
Sedangkan tugas dan pekerjaan dari peran yang disandang oleh nabi dan rasul, menurut isarat QS.
Al-Baqarah (2): 151 adalah tilâwah ayat, tazkiyah, ta lîm al-kitâb, dan ta lîm al-hikmah.
213

mencakup agar peserta didik bukan hanya menguasai pengetahuan tetapi juga
agar berbudi rasional.124
Sementara itu, menurut Hisham Yahya al-Thalib, bahwa sasaran takwîn

al-duât diarahkan pada peningkatan: (1) kualitas rohani, (2) kualitas pengetahuan
dan pemahaman Islam yang betul, (3) pengetahuan dasar tentang ideologi dan
agama masa kini, dan (4) keterampilan dan perlengkapan dakwah.125

Kemudian, Muhammad Abduh menegaskan bahwa pelaku takwîn al-duât

adalah al-mu allim (pengajar) yang kompeten, yaitu yang memiliki pengetahuan
yang mendalam tentang materi takwîn dan ia pengamal ilmu yang dimilikinya.
Dalam hal ini, Muhammad Abduh meyakini bahwa, ayat (79 surat Ali Imran)
menyiratkan bahwa manusia bisa menjadi rabbâni dengan ilmu kitab,
mempelajarinya, mengajarkannya kepada orang-orang, menyebarkannya. Sudah
menjadi ketetapan bahwa mendekatkan diri kepada Allah tidak mungkin tercapai
kecuali dengan mengamalkan ilmu. Ilmu yang tidak memotivasi amal tidaklah
dianggap sebagai ilmu yang benar, karena ilmu yang sahih adalah ilmu yang
menjadi sifat bagi pemiliknya dan menjadi watak yang melekat dalam dirinya.
Amal itu tiada lain adalah cerminan sifat dan watak tadi. Seorang ilmuan akan
dinilai dari apa yang tertanam dalam dirinya. Siapa saja yang ilmu kitabnya hanya
menghasilkan bentuk tampilan dan khayalan, yang berkelap-kelip dalam ingatan
tetapi tidak menetap dalam ingatan dan tidak menetap dalam jiwa, tidak
memungkinkan dia untuk menjadi pengajar kitab yang mengalirkan ilmu kepada

124
Tujuan pendidikan Islam yang berbeda dengan pendidikan Barat dan Timur dirumuskan
oleh Suwito dan Fauzan, bahwa: “Pendidikan Islam lebih luas daripada sistem pendidikan di Barat
yang demokratis dan Timur yang sosialis, karena ia bertujuan untuk melatih kepekaan murid
dalam tingkah laku yang ada dalam sikap mereka terhadap lingkungan dan pendekatan bagi semua
jenis pengetahuan. Mereka dipimpin oleh nilai-nilai etika dan spiritualitas Islam. Perbedaan
lainnya terletak pada konsepnya tentang manusia. Dalam Islam. Manusia terlahir dalam keadaan
bebas dan suci, tidak menanggung doa. Jadi, tujuan kemahiran pengetahuan dalam sistem Islami
tidak hanya memuaskan keingintahuan seorang intelektual tapi untuk melatih individu-individu
yang berbudi dan rasional, dalam hal moral dan kebaikan fisik keluarga mereka, masyarakat dan
manusia secara keseluruhan. Sistem Pendidikan Islam tersebut menekankan keseimbangan antara
kebutuhan untuk mengembnagkan individu dan kebutuhan masyarakat.” Lihat Fauzan dan Suwito
(ed.), ”Perlunya Penelusuran Kembali Sejarah Sosial Pendidikan Islam”, dalam Sejarah Sosial
Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm. xv.
125
Lihat Hisham Yahya al-Thalib, Panduan Latihan Bagi Juru Dakwah, terj. Training
Guide for Islamic Workers, oleh Faruk Zabidi dan Ali Audah (Jakarta: Media Dakwah, 1996),
hlm. 4.
214

orang lain, sebagaimana ia tidak bisa mengamalkannya semestinya. Hal ini


dikuatkan oleh observasi dan eksperimen sebagaimana dalam ilmu-ilmu
keterampilan. 126
Seorang muallim akan efektif menjalankan tugas pengkaderan dâi
apabila memiliki empat ciri, sebagaimana dikemukakan oleh Davis dan Thomas
yang dikutip oleh Jamaluddin Idris, yaitu sebagai berikut:
Pertama, memiliki kemampuan yang terkait dengan iklim belajar di kelas,
yang dapat dirinci: (1) memiliki keterampilan interpersonal, khususnya
kemampuan untuk menunjukkan empati, penghargaan kepada peserta, dan
ketulusan; (2) memiliki hubungan baik dengan peserta; (3) mampu menerima,
mengakui dan memperhatikan peserta secara tulus; (4) menunjukkan minat dan
antusias yang tinggi dalam mengajar; (5) mampu untuk menciptakan atmosfer
untuk tumbuhnya kerja sama dan kohesivitas dalam dan antar kelompok peserta;
(6) mampu melibatkan peserta dalam mengorganisasikan dan merencanakan
kegiatan pembelajaran; (7) mampu mendengarkan peserta dan menghargai hak
peserta untuk berbicara dalam setiap diskusi; dan (8) mampu meminimalkan
friksi-friksi di kelas.
Kedua, kemampuan yang terkait dengan strategi manajemen
pembelajaran, meliputi: (1) memiliki kemampuan untuk menghadapi dan
menangani peserta yang tidak punya perhatian, suka menyela, mengalihkan
pembicaraan; (2) mampu bertanya atau memberikan tugas yang memerlukan
tingkatan berfikir yang berbeda untuk semua peserta.
Ketiga, memiliki kemampuan yang terkait dengan pemberian umpan balik
(feedback) dan penguatan (reinforcement), terdiri dari: (1) mampu memberikan
umpan balik yang positif terhadap respon peserta; (2) mampu memberikan respon
yang bersifat membantu peserta yang lamban belajar; (3) mampu memberikan

126
Al-Manâr, jld. III, hlm. 348. Ta lîm dan tadrîs (pengkajian akademis tentang semua
bangunan pengetahuan) merupakan wujud ketundukan semua pemikiran manusia kepada arbitrasi
Al-Qurân. Lihat Ziauddin Sardar (ed.), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, terj. „Ilm and the
Revival of Knowledge, oleh Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudyantanto (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), hlm. 56-57.
215

tindak lanjut terhadap jawaban peserta yang kurang memuaskan; (4) mampu
memberikan bantuan profesional kepada siswa jika diperlukan.
Keempat, memiliki kemampuan yang terkait dengan peningkatan diri,
terdiri dari: (1) mampu menerapkan kurikulum dan metode mengajar secara
secara inovatif; (2) mampu memperluas dan menambah pengetahuan mengenai
metode-metode pengajaran; (3) mampu memanfaatkan perencanaan guru secara
kelompok untuk menciptakan dan mengembangkan metode pengajaran yang
relevan.127

Insan rabbâni yang memperoleh ridha Allah SWT. Menurut al-Sadi


adalah kaum ulama, kaum bijak, kaum bestari yang mengajari orang banyak dan
mendidiknya melalui ilmu-ilmu kecil sebelum yang besar. Mereka mengamlkan
semua itu. Mereka menyerukan untuk beramal, berilmu, dan mengajar, yang itu
semua merupakan pokok pangkal kebahagiaan. Sebab, dengan kehilangan salah
satunya, terjadilah kekurangan dan kekeliruan.128

Dalam pandangan al-Sadi di atas, terkandung rumusan indikator insan


rabbani, yaitu sebagai: (1) „ulamâ (kaum ilmuan); (2) hukamâ (kaum bijak); (3)

hulamâ (kaum bestari); (4) muallim (pengajar); (5) murabbi (pendidik); dan (6)
„âmil (pengamal).129

Oleh karena itu, takwîn al-duât merupakan pendidikan tinggi kader

dakwah yang diharapkan menghasilkan dâi-dâi profesional yang


berkarakteristik insan rabbani.
Dalam konteks Indonesia, pendidkan nasional, kurikulum untuk abad ke-
21 Masehi, diarahkan pada upaya membangun manusia Indonesia yang non-

127
Jamaluddin Idris, Analisis Kritis Mutu Pendidikan, (Yogyakarta: Suluh Press, 2005),
hlm. 62-63. Mengenai bahan ajar sebagai bagian dari kurikulum yang perlu diberikan menurut Ibn
Miskawaih terdiri dari materi yang diperlukan oleh: (1) tubuh manusia; (2) jiwa manusia dan (3)
bagi hubungan dengan sesama manusia, lihat Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih,
ed. Jejen Musfah, (Yogyakarta: Blukar, 2004), hlm. 119.
128
Abd al-Rahman bin Nashir al-Sadi, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-
Mannân, hlm. 136. Mengenai karakteristik insan Robbani ini merupakan bagian karakteristik insan
yang dituju dalam pendidikan Islam. Selanjutnya lihat Hasan Langgulung, Beberapa Pemikiran
Tentang Pendidikan Islam, (Bandung: PT. Al-Maarif , 1995) hlm. 10-22. dan Syed Ali Ashraf,
Krisis dalam Pendidikan Islam, terj. Crisis in Muslim Eucation oleh Fadhlan Mudhafir, (Jakarta:
Mawardi Prima, 2000), hlm. 19
129
Kader dâ i profesional disebut oleh Muhammad Yusuf sebagai junûd al-da wah (tentara
dakwah). Lebih lanjut lihat karyanya Junûd al-Da wah (Mesir: Dâr al-Itishâm, 1979).
216

dikotomis sebagai pribadi yang terbentuk dari keselarasan dan keseimbangan


aspek fisik, intelektual, emosi, sosial, moral, dan spiritual.130 Indikasi-indikasi
karakteristik ini merupakan bagian dari cakupan konsep hukamâ (manusia arif
bijaksana).

3. Materi dan Metode

Guna mencapai tujuan kaderisasi dâi profesional yang telah dijelaskan, maka
perlu disajikan materi kaderisasi sebagai bahan ajarnya. Bahan ajar ini bagian dari

esensi kurikulum proses pendidikan kader dâ i profesional. Penguasaan macam-


macam ilmu yang diperlukan bagi pelaksanaan kewajiban dakwah termasuk

bagian dari kewajiban dâi profesional, sebab ia adalah komponen utama umat
Islam yang ditunjuk oleh perintah dakwah.
Macam-macam ilmu sebagai materi kaderisasi, menurut Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha adalah: (1) Ilmu yang mengkaji sumber dan materi
dakwah, yaitu: (a) „ulûm al-qurân, (b) „ulûm al-sunnah, (c) sîrah nabawiyyah, (d)
sîrah al-khulafâ al-râsyidîn, (e) sîrah salaf al-shâlihîn, dan (f) ilmu hukum Islam;

(2) Ilmu yang mengkaji hal ihwal masyarakat sebagai madu, yaitu sosiologi

mikro dan ilmu budaya lokal. Sebab, dengan ilmu ini, dâ i profesional akan
mengetahui karakteristik orang-orang yang akan didakwahinya, sejarah
kehidupannya, sistem sosialnya, dan kondisi lingkungannya; (3) Ilmu yang
mengkaji pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dalam rentangan
perjalanan sejarahnya, sehingga dapat diketahui keberadaan status akidah dan
tipologi akhlaknya, begitu pula keadaan adat istiadatnya. Itulah sebabnya Al-
Qurân banyak menampilkan gambaran kehidupan orang-orang di masa silam
untuk menjadi pelajaran bagi kehidupan generasi sekarang dan mendatang. Ilmu
ini adalah sejarah umum; (4) Ilmu yang mengkaji kondisi lingkungan fisik dan
perilaku orang atau penduduk yang menempatinya yang membentuk ekologi yang
berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Ilmu ini disebut
geografi dan demografi; (5) Ilmu yang mengkaji gejala kejiwaan individu dan

130
Lebih lanjut, lihat Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia, Kurikulum untuk Abad ke-
21 (Jakarta: Grasindo, 1994).
217

amsyarakat, sehingga dapat diketahui apakah perilaku lahir manusia itu lahir dari
kondisi nafs yang mana dalam struktur nafs insaniyah. Ilmu ini disebut psikologi;
(6) Ilmu yang mengkaji mengenai keutamaan perilaku manusia, sistem nilai yang
dianut manusia menentukan perilaku baik-buruk sbegai manifestasi dari nilai
yang dianutnya. Ilmu ini disebut ilmu akhlak; (7) Ilmu yang mengkaji sistem
budaya manusia dan peradabannya, faktor-faktor apa sajakah yang membuat
maju-mundurnya peradaban manusia penting dipahami dalam ektivitas dakwah
intra dan antarindividu. Ilmu ini disebut sosiologi makro; (8) Ilmu yang
mempelajari sistem kekuasaan, kepemimpinan dan pengelolaan kehidupan
bernegara yang antara satu negara dengan negara lainnya berbeda. Ilmu ini
disebut ilmu politik; (9) Ilmu yang mempelajari bahasa yang digunakan oleh
macam-macam umat manusia yang beraneka ragam, masing-masing etnik

memiliki bahasanya sendiri. Ilmu ini penting dikuasai dâi profesional. Jika tidak,
akan terjadi hambatan dalam melakukan komunikasi dengan mereka sebagai

madu. ilmu ini disebut ilmu bahasa; (10) Pengetahuan yang mempelajari budaya
lokal, masing-masing etnik senantiasa memiliki sistem pengetahuan lokal yang
disepakati sebagai rujukan nilai perilaku kelompok intrabudaya. Ilmu ini disebut
ilmu budaya lokal; dan (11) Pengetahuan yang mempelajari sistem kepercayaan
umat manusia yang bersumber pada tradisi keagamaan masing-masing umat
sesuai agama yang diyakininya. Keragaman agama dan pemeluknya penting
diketahui oleh dâ i. ilmu ini disebut ilmu perbandingan agama. 131
Macam-macam ilmu yang diajukan Muhammad Abduh, sebagai materi

takwîn al-duât di atas dapat dikelompokkan ke dalam kategori: (1) ilmu dasar
teoretik, ilmu sumber, dan ilmu materi dakwah, yaitu macam-macam ilmu yang
disebut Muhammad Abduh dalam nomor urut pertama; dan (2) ilmu bantu
dakwah, karena bertemu dalam obyek material ilmu dakwah, yakni perilaku
manusia dalam berinteraksi dengan dirinya, diri orang lain, dan lingkungan

131
Lihat Al-Manâr, jld. IV, hlm. 39-44. Dalam hal memajukan macam-macam ilmu ini,
Muhammad Abduh dipengaruhi oleh pemikiran Ibn Khaldun. Macam-macam ilmu ini, lebih lanjut
lihat Ibn Khaldun, Mukaddimah Ibn Khaldun, terj, Ahmadi Thaha (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1986), hlm. 521-857. Nama lengkapnya Abu Zaid bin Muhammad bin Hasan al-Hadrami al-Maliki
(l. 732, w. 808H), dan bandingkan dengan Nasim Butt, Sains dan Masyarakat Islam, terj. Science
and Muslim Society, oleh Masdar Hilmi (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996).
218

hidupnya sebagai ikhtiar mengatasi problem kehidupan melalui pengamalan


Islam. Ilmu-ilmu ini yang disebutkan Muhammad Abduh sebanyak 10 macam.
Muhammad Abduh memandang bahwa mempelajari ilmu dakwah dan
membangun ilmu dakwah sama wajibnya dengan mempelajari dan membangun
ilmu-ilmu Islam lainnya. Dalam hal ini, antara lain dipahami dari penegasan
Muhammad Abduh, bahwa, Kita mesti mengambil dalil-dalil yang telah
digunakan oleh para ahli fiqh dalam menetapkan wajibnya mempelajari bahasa
Arab, hadits, fiqh, dan ilmu ushul untuk memahami agama, sebagai dalil akan
wajibnya mempelajari berbagai metode dakwah dan hal-hal yang dibutuhkannya
pada zaman ini dengan metode teknologis. Jika ternyata dakwah pada masa-masa
awal berjalan dengan mudah tanpa tehnik pengajaran berteknologi dan tanpa
menciptakan institusi-institusi tertentu sebagaimana juga pemahaman agama
berjalan mudah tanpa pengajaran berteknologi, maka pada zaman sekarang
pemahaman agama bergantung pada proses pengajaran berteknologi. Demikian
halnya, mendakwahkan agama Islam dan menganjurkan ajaran yang dibawanya
berupa kebaikan dan apa yang diingatkannya berupa kemunkaran, juga bertumpu
pada pengajaran khusus dan pendirian lembaga-lembaga khusus yang dapat
menunaikan pekerjaan dakwah tersebut. Agama Islam ini tidak akan tersiar dan
terpelihara sebagaimana mestinya kecuali dengan dakwah ini. 132
Dalam pandangan Muhammad Abduh di atas, dapat dipahami bahwa,
perlunya mempelajari dan mengembangkan macam-macam disiplin ilmu yang
terkait dengan dakwah dengan berbagai aspeknya. Penyelenggaraan pendidikan

kader dâi profesional (takwîn al-duât) ini, dan perlunya didirikan institusi-
institusi pendidikan dakwah Islam.
Macam-macam disiplin ilmu yang telah dikemukakan disajikan dalam

proses takwîn al-duât dengan menggunakan macam-macam metode mendidik

peserta takwîn al-duât, seperti metode ceramah, diskusi, penugasan, praktikum,


dan percontohan atau metode qudwah dan uswah hasanah. Ini dilakukan dengan
mengacu pada prinsip al-hikmah.
132
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 44-45. Penegasan Muhammad Abduh mengenai wajibnya
mempelajari dakwah dengan berbagai hal yang berkaitan dengannya, memberikan kerangka dasar
urgensi keilmuan dakwah Islam, yang sementara ini belum tersistemasikan secara komprehensif.
219

Dari konsep hikmah dapat dikembangkan untuk menstrukturkan keilmuan


dakwah yang memuat aspek ontologis, apistimologis dan aksiologisnya. Namun
demikian, hal ini memerlukan kajian tersendiri atas penafsiran Muhammad Abduh
mengenai „aql dan ulu al-albâb.
Mengenai prinsip al-hikmah, Muhammad Abduh percaya bahwa, hikmah
dalam pendidikan jiwa melalui kegiatan-kegiatan yang baik dan akhlak utama
adalah hendaknya keberadaannya di dunia meningkat dan meluas, sehingga
menjadi besar kebaikannya dan orang-orang mengambil manfaat darinya.133
Muhammad Abduh meyakini bahwa takwîn al-duât penting menekankan
pada pendidikan akhlak dan adab, menurutnya bahwa, bagi dakwah terdapat
sejumlah syarat lain yang dalam konteks pendidikan para kader dakwah berkaitan
dengan akhlak dan etika yang dipersyaratkan terhadap para penyeru kepada
kebenaran. 134
Kemudian, bagi muallim (dosen) pendidik dâi, menurut Muhammad
Abduh, boleh memperoleh imbalan jasa materi dari pekerjaannya sesuai dengan
kaidah „urf di mana takwîn al-duât dilaksanakan.135

Metode takwîn al-duât juga mesti mengacu pada sunnah nabi dalam
mengajar umat pada zamannya. Pengalaman nabi sendiri selama menerima wahyu

merupakan sumber inspirasi metode takwîn al-duât. Oleh karenanya, baik


Muhammad Abduh, al-Mursyid, dan Ghalwusy memiliki pandangan yang sama
bahwa kandungan QS. Al-Dhuhâ (93): 6-8 merupakan prinsip utama yang

menjadi acuan metodologi takwîn al-duât. Secara ringkasnya adalah sebagai


berikut:136

133
Al-Manâr, jld. II, hlm. 254. Mengenai tarbiyah al-nafs ini, lebih lanjut lihat Hasan
Hafidz, dkk., Ushûl al-Tarbiyah wa „Ilm al-Nafs (Al-Jumhuriyah: Mathbaah Dar al-Jihad, 1956),
hlm. 11-13.
134
Al-Manâr, jld. IV, hlm. 44. Term akhlak dan adab yang diartikan dengan “moral” dan
“etika” menjadi kajian para pakar filsafat “moral” dan “etika” dengan beraneka ragam rumusan.
135
Al-Manâr, jld. II, hlm. 197. Di tengah masyarakat Islam Indonesia mengenai boleh dan
tidaknya seorang da i menerima jasa pelayanan dakwah masih debatable.
136
Lihat Muhammad Abduh, Tafsîr al-Qurân al-Karîm Juz „Amma, hlm. 127-128, al-
Mursyid, Mustalzamât al-Dawah fî al-„Ashr al-Hadhir, hlm. 93-99, dan Ghalwusy, al-Da wah al-
Islâmiyah, hlm. 434-440. Ketika memikul amanah sebagai rektor, salah satu obsesi kepemimpinan
Azyumardi Azra menaruh perhatian yang sama dengan prinsip al-yusr al-mâdi, bahwa
“mahasiswa yang tidak mampu dari segi finansial akan mendapat quota dalam bentuk beasiswa
yang diberikan PTN. Saya kira, setiap PTN harus mempunyai kebijakan khusus dalam rangka
220

Pertama, prinsip al-îwâ al-Qawi (perlindungan yang kokoh) yang


diistinbâth dari fa âwa, yaitu memberikan pembekalan dan perlindungan kepada

peserta takwîn al-duât dengan semangat aqidah tauhid, memberikan motivasi


semangat juang menegakkan al-haq, tangguh dan berani mengatasi dan
menghadapi tantangan dakwah dan musuh dakwah, menaklukkan nafs ammârah
dan menghilangkan penyakit al-wahn (gila dunia dan takut mati).
Kedua, prinsip al-tarbiah al-„ilmiah (pendidikan ilmiah) yang diistinbâth
dari fa hadâ, yaitu memberikan bimbingan, perbantuan, dan pembekalan
penguasaan akademik, pembekalan keterampilan praktik melalui latihan dan
penugasan, implementasi macam-macam metode dakwah, di bawah bimbingan

muallim yang ikhlas, berjiwa dedikatif, ijtihâd, dan jihâd fî sabîl al-Lâh.
Ketiga, prinsip al-yusr al-mâdî (fasilitas logistik) yang diistinbâth dari fa
aghnâ yaitu perbantuan dan persediaan kebutuhan sarana dan prasarana takwîn

al-duât, bekal hidup yang layak, sehingga peserta takwîn al-duât tidak

terganggu oleh urusan dana, biaya, dan fasilitas selama menjalani takwîn al-duât.
Sumber dana ini diambil dari sumber-sumber keuangan menurut syariat Islam
untuk pos dana fî sabîl al-Lâh.
Menurut Azyumardi Azra, bimbingan termasuk bagian dari pengertian
pendidikan dan pembekalan penguasaan akademik sebagai upaya pemenuhan
kebutuhan manusia peserta didik sebagai makhluk rasional.137
Keempat, prinsip al-tadrîj (gradual), yaitu berangsur-angsur dalam
penyajian materi, disampaikan yang lebih mudah sebelum yang sulit,
mendahulukan akidah sebelum materi syariat yang lainnya, memperhatikan

kemampuan peserta takwîn al-duât. Prinsip ini juga mengharuskan


mendahulukan yang musti didahulukan dan memerlukan kurun waktu tertentu.
Gradual dalam proses takwîn ini diistinbâth dari QS. Al-Baqarah (2): 151.138

menjalankan fungsi sosialnya.” Azyumardi Azra, Islam Substantif Agar Umat tidak Jadi Buih, ed.
Idris Thaha (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 439.
137
Lihat Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium
Baru, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 6-7.
138
Selanjutnya lihat Al-Manâr, jld. II, hlm. 30-31.
221

Dengan suksesnya takwîn al-duât, maka keberlangsungan dakwah akan


dapat berjalan menurut tatanan Al-Qurân dan sunnah nabawiyah. Dan persoalan

keumatan dapat diperbaiki dan dicari solusinya oleh para dâi profesional. Jika
gagal, akan menjadi salah satu faktor timbulnya bencana bagi keberlangsungan
kehidupan umat Islam.139
Dari paparan dan analisis mengenai bentuk dakwah dan kaderisasi dâi
profesional yang telah dikemukakan, yang dalam menjelaskannya Muhammad
Abduh menggunakan pendekatan rasional dapatlah dikonseptualisasikan rumusan
kesimpulan aspek ontologis kajian ilmu dakwah sebagai berikut:
Al-dawah al al-„âmmah al-kulliyyah merupakan proses dakwah yang

berlangsung dalam suasana dai menyampaikan al-Islâm kepada madu jamaah


atau jumhûr (orang banyak) melalui bahasa lisan dan tulisan, bertatap muka
langsung dan bermedia, yang istilah teknik operasionalnya disebut tablîgh, yang

terdiri dari khitâbah al-diniyah, khitâbah al-tatsiriah, dan khitâbah al-kitâbah

untuk mempengaruhi keadaan afektif, kognitif, dan psikomotorik madu agar


menerima Islam bagi yang nonmuslim dan dalam meningkatkan pengamalan
Islam bagi muslim.
Al-dawah al-khâshah merupakan interaksi dai madu pada tingkat
intraindividu, antar individu dan kelompok kecil dalam upaya merealisasikan

Islam, yang berfungsi mencari solusi problem sosiologis dan psikologis madu.
Cara dakwah intraindividu berupa aktifitas tawhid Allah, tadabbur,
shabar, menegakkan ruh shalat dan muhâsabah al-nafsiyah sebagai proses
internalisasi Islam pada tingkat diri sendiri. Cara akwah antar individu berupa

aktifitas al-wazh, al-nashîhah, dan al-tawshiyah dengan menggunakan bahasan

139
Sementara ini, Fakultas Dakwah di IAIN dan UIN dan jurusan dakwah di STAIN di
Indonesia sebagai penyelenggara pendidikan tinggi dakwah, menurut pengamatan penulis, jika
diacukan pada konsep takwîn al-du  ât sebagaimana diajukan Muhammad Abduh, perlu diadakan
peninjauan ulang dalam aspek penentuan mata kuliah dan asas metode pengajarannya. Misalnya,
yang sering terjadi saat ini dosen hanya memberikan ta lîm (transmisi ilmu kepada mahasiswa).
Fungsi-fungsi lainnya sebagai insan akademis yang mestinya komitmen atas etika akademisnya
sebagai dosen belum dilaksanakan. Mengenai etika akademis ini, lebih lanjut lihat Edward Shild,
Etika Akademis, terj. The Academic Ethics, oleh A. Agus Nugroho (Jakarta: Yayasan Obor, 1993).
Mengenai faktor-faktor terjadinya bencana di kalangan umat Islam, selanjutnya lihat Muhammad
Abd al-Masri, Bencana di Dunia Islam, terj. Karitsah fi al-„Alam al-Islâmi, oleh Bambang Saeful
Maarif (Bandung: Rosdakarya, 1989).
222

lisan dan perbuatan, sebagai upaya memberikan perbantuan mencari solusi

problem kehidupan madu.

Dawah al-ummah merupakan proses mengimplementasikan al-Islâm


dalam struktur kehidupan umat, sebagai indikator dari khairu ummah dan ummah

wasathâ, melalui amr marûf nahy munkar dan taghyîr munkar, yang merupakan
upaya mempertahankan keberlangsungan dakwah dan membentengi kelestarian
umat dibolehkan jihad dalam bentuk qitâl.
Takwîn al-duât sebagai kaderisasi dai profesional adalah bagian dari
kewajiban keumatan untuk mewujudkan keberlangsungan dakwah Islam melalui

pembentukan kader-kader dâi terdidik yang menguasai ilmu Islam dan


keterampilan praktis pelaksanaan kewajiban dakwah, yang dalam prosesnya
mengacu kepada prinsip al-îwâ al-qawi, al-tarbiyah al-„ilmiyah, al-yusr al-mâdi,
dan al-tadâruj.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa, secara epistimologis pemikiran
dakwah Muhammad Abduh dalam tafsir al-Manâr bercorak rasional, dakwah
yang bersumber pada al-Quran dan sunnah Rasul adalah perilaku rasional berupa
proses internalisasi, transmisi, transformasi dan difusi Islam sebagai upaya
memperbaiki dan mengatasi problem kehidupan manusia melalui implementasi
al-Islâm dalam rangka melakukan hubungan dengan dirinya sendiri, hubungan
dengan Allah, dan hubungan dengan sesama manusia untuk memperoleh
kehidupan yang selamat-sejahtera lahir-batin di dunia dan di akhirat.
Temuan tersebut memperkuat temuan Ahmad Fuad al-Ahwâni (al-
Madâris al-Falâsifah, 1965) bahwa, Muhammad Abduh adalah seorang pemikir
yang mendakwahkan pembaharuan pemikiran keagamaan dengan jalan kembali
kepada Islam yang autentik menurut sumber utamanya, yaitu al-Qur’ân dan
Sunnah Rasul Allah, berupa ishlâh (perbaikan, reformasi) kehidupan beragama,
akhlak, pemikiran, akal dan naluri kesucian.
Penelitian yang sama dengan Ahmad Fuad al-Ahwâni, adalah penelitian
M. Mukti Ali (Alam Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah, 1995) antara lain
Mukti menyatakan bahwa, pemikiran dalam penafsiran al-Qur’ân, Muhammad
Abduh memadukan antara rasio (sentuhan akal), dengan emosi (sentuhan qalb)
dalam kerangka dakwah.
Beberapa penelitian lain dalam aspek yang berbeda menunjukkan hal yang
sama bahwa, aspek-aspek yang berbeda itu bercorak rasional, yaitu antara lain:
aspek teologi, oleh Harun Nasution (Muhammad Abduh dan Teologi Rasional
Mu’tazilah, 1987); aspek tafsir, oleh M. Quraish Shihab (Rasionalitas al-Qur’ân:
Studi Kritis atas Tafsir al-Manâr, 2006) dan masalah akidah dan ibadah, oleh
Rif’at Syauqi Nawawi (Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh, Kajian Masalah
Akidah dan Ibadat, 2002). Menurut Rif’at Syauqi Nawawi bahwa, Muhammad
Abduh sesungguhnya mempunyai komitmen yang tinggi terhadap dakwah Islam.
224

Dakwahnya tidak hanya ditujukan untuk kaum yang telah beriman, tetapi juga
ditujukan untuk kaum penganut materialisme, agar mereka juga meyakini dan
mengerti akan adanya malaikat.
Kemudian temuan penelitian ini membantah pemikiran internal umat
Islam yang secara ontologis memandang dakwah secara sempit dan bukan objek
kajian disiplin ilmu dalam Islam. Bantahan ini didukung oleh al-Bayanuni (2001),
dan membantah pemikiran eksternal dari para orientalis non muslim yang
menuduh bahwa penyebaran Islam dilakukan dengan cara paksaan, peperangan,
dan penjajahan. Kesimpulan berikut menjadi bukti bantahan dimaksud
Islam sebagai agama dakwah dan materi dakwah, esensi ajarannya
memiliki karaktersitik sesuai dengan fithrah salimah manusia pemilik al-’uqûl al-
shafiyah dan al-nufûs al-zakiyah, sebagai agama yang wasathâ (siger tengah),
menegakkan keadilan, antikezaliman, menyeimbangkan urusan duniawi-ukhrawi,
menjamin kebebasan ikhtiar manusia, mencintai kedamaian dan keamanan,
menjunjung tinggi persaudaraan antarindividu dan sosial, mudah dan mampu
dilaksanakan.
Islam sebagai unsur pesan dakwah tersebut, sama dengan pendapat Montet
yang dikutip oleh Thomas W. Arnold (Sejarah Dakwah Islam, 1979), menurutnya
bahwa, secara etimologi dan sejarah, Islam adalah agama yang sangat rasional
sebagai suatu sistem yang mendasarkan keyakinan agama atas prinsip-prinsip akal
pikiran, dapat dikenakan kepada Islam dengan setepat-tepatnya. Agama Islam
memiliki seluruh ciri dari suatu himpunan doktrin yang didasarkan atas dalil yang
diterima akal.
Manusia sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya memiliki potensi ‘aql,
nafs muthmainnah, nafs lawwâmah, dan nafs ammârah. Manusia yang mampu
memfungsikan ‘aql, nafs muthmainnah berposisi sebagai dâ’i, (dâ’i ini ada yang
profesional ada yang konvesional), dan yang memfungsikan nafs lawwâmah dan
nafs ammârah berposisi sebagai mad’u dengan kualitas yang beragam, yaitu : al-
dhâlin, al-kâfirûn, al-musyrikûn, yahudi, nashrani, al-mujrimûn, al-‘uqala, al-
‘awam,dan al-mutawasithîn. Mad’u memiliki kebebasan untuk memilih dalam
merespons materi dakwah ada yang menerima dan ada yang menolak.
225

Temuan mengenai dâ’i dan mad’u dalam pemikiran Muhammad Abduh


tersebut, sama dengan para pengkaji dakwah yag lain, misalnya Ahmad Ahmad
Ghalwus (al-Da’wah al-Islâmiyah Ushûluha Wa Wasâiluha, 1987), dan Ali bin
Shâlih al-Mursyid (Mustalzâmât al-Da’wah Fi al-‘Ashr al-Hâdhir, 1989).
Media yang dilewati materi dakwah meliputi media materi berupa bahasa
lisan, tulisan, media cetak dan untuk zaman sekarang termasuk elektronik, dan
media percontohan berupa potensi kredibilitas di dalam diri dâ’i. Cara
melewatkan materi dakwah melalui media materi dan immateri mengacu pada
prinsip metode hikmah yang instrumen metodologisnya meliputi fiqh, bayân,
hujjah dan burhân (proporsi dari al-’uqûl al-shafiyah dan al-nufûs al-zakiyah),
prinsip maui’zhah hasanah, dan mujâdalah yang baik, yang penggunaannya
sesuai proporsi tuntutan situasi mad’u. Interaksi individu dalam kelompok
membentuk umat sebagai medan berlangsungnya dakwah.
Dalam hal media dan beberapa macam prinsip metode sama dengan para
pengkaji dakwah yang lain, misalnya antara lain: ‘Abd al-Munshif Mahmud ‘Abd
al-Fatah (Manhaj al-Da’wah al-Islamiyah, 1419H); dan Husain Muhammad
Yusuf (Sabîl al-Da’wah, 1977). Namun demikian, berbeda dalam hal penggunaan
konsep hikmah, Muhammad Abduh berbeda dengan pengkaji dakwah yang lain,
bagi hikmah melibatkan interumen metodologis pemikiran rasional-spritual, yaitu
fiqh, bayân, hujah dan burhân.
Dalam pada itu, walaupun instrumen metodologis esensi dari hikmah
menurut Muhammad Abduh berbeda dengan pengkaji dakwah, tetapi sama
dengan pendapat pakar komunikasi, yaitu Jalaluddin Rakhmat (Islam Aktual,
1991) menurutnya bahwa, penelitian komunikasi menunjukkan bahwa, perubahan
sikap lebih cepat terjadi dengan imbauan (appeals) emosional. Tetapi dalam
jangka lama, imbauan rasional memberikan pengaruh yang lebih kuat dan lebih
stabil. Iman segera naik lewat sentuhan hati, tetapi perlahan-lahan iman itu turun
lagi. Lewat sentuhan otak, iman naik secara lambat tetapi pasti. Dalam jangka
lama, pengaruh pendekatan rasional lebih menetap daripada pendekatan
emosional.
226

Dakwah Islam menurut bentuk pelaksanaannya dari martabat dakwah


pertama adalah dakwah ‘âmmah. Dakwah ‘âmmah meliputi dua macam kegiatan
yaitu tablîgh futûhât, yakni menyebarluaskan dan mempropagandakan Islam
kepada nonmuslim dengan prinsip kebebasan memilih keyakinan, dan tablîgh
Islam, yaitu penyiaran Islam yang ditujukan kepada komunitas muslim dan
khalayak melalui macam-macam khithâbah, dan tulisan dengan media cetak
dalam upaya meningkatkan wawasan pemahaman Islam dan pengamalannya.
Pemikiran dakwah Muhammad Abduh dari sisi macam-macam tablîgh,
sama dengan para pengkaji dakwah lainnya, misalnya antara lain: Aminah Shâwi
(Nadzriyah al’Ilam fi al-Da’wah al-Islamiyah, tt), dan Abu Bakar Zakaria (al-
Da’wah Ilâ al-Islâm, tt) sedangkan kategorisasi martabat (level) dakwah, al-
da’wah ‘âmmah, al-da’wah al-khâshah dan da’wah ummah merupakan kekhasan
bagi pemikiran dakwah Muhammad Abduh, sebab term-term yang dikembangkan
oleh ‘Abd al-Badi Shaqr (1976) baru dimunculkan belakangan. Kekhasan lainnya
adalah penekanan dakwah dari sisi fungsinya sebagai ishlâh (reformasi) dan tajdîd
(pembaruan) kehidupan umat.
Sedangkan kesimpulan berikutnya, mengenai irsyad nafsi, al-wa’dz,
taushiyah, amr ma’rûf, nahy munkar dan takwîn al-du’ât sama dengan para
pengkaji dakwah lainnya. Misalnya antara lain Shalih al-Mursyid (Mustalzâmât
al-Da’wah Fi al-‘Ashr al-Hâdhir, 1989)
Dakwah khâshah dari martabat dakwah kedua meliputi dakwah nafsiyah
atau irsyâd nafsi, yaitu internalisasi Islam pada tingkat intraindividu muslim, al-
wa’zh dan taushiyah dalam upaya meningkatkan wawasan pemahaman Islam dan
pengamalannya pada tingkat kelompok kecil.
Dakwah ummah dari martabat dakwah kedua meliputi amr ma’rûf dan
nahy munkar. Yang pertama berupa aplikasi syariat Islam dalam struktur khayr
ummah, baik individu, keluarga, kelompok, dan institusi-institusi keumatan dalam
upaya memperbaiki dan mewujudkan kemaslahatan dan kesejahteraan bersama,
dan memperoleh keselamatan hidup duniawi dan ukhrawi. Kedua, nahy munkar
merupakan gerakan memelihara keberlangsungan dakwah dan menghalau segala
tantangan yang menghambat berlangsungnya dakwah, baik yang timbul dari
227

dalam maupun dari luar, melalui kekuasaan, peringatan bahasa lisan, tulisan, dan
jika tidak berdaya maka berusaha untuk tidak terlibat dalam kemunkaran dan
menghunjamkan kebencian terhadapnya dalam hati. Selain cara ini, jihad di jalan
Allah dalam bentuk qitâl (perang) sebagai upaya membela diri dari serangan
musuh diperbolehkan.
Bagian dari tugas khayr ummah adalah menyelenggarakan takwîn al-du’ât,
yaitu proses pendidikan tinggi kader dâ’i profesional guna menyiapkan kader-
kader dâ’i yang berkarakteristik robbani yang memiliki penguasaan ilmu Islam
teoretik dan keterampilan praktik. Takwîn al-du’ât diselenggarakan oleh khayr
ummah melalui lembaga pendidikan tinggi dakwah Islam dengan melibatkan
mu’allim (dosen) yang berkarakteristik mursyid (pembimbing), cerdas, berakhlak
mulia. Bahan ajarnya berupa seperangkat pengetahuan dasar teoretik dakwah
Islam dan ilmu bantu yang diperlukan dalam dakwah Islam, yang berlangsung
dengan prinsip metode îwâ al-qawî (perlindungan, bimbingan, dan perbantuan),
tarbiyah ilmiyah (pendidikan akademik), al-yusr al-mâdi (pemenuhan kebutuhan
peserta takwîn al-du’ât dalam aspek akademik dan sarana fisik), dan al-tadrîj
(bertahap).
Dari sudut pandang al-tarbiyah al-‘ilmiyah, hakikat, dasar hukum, tujuan
dakwah dan prinsip sistem dakwah menjadi esensi dari aspek ontologis ilmu
dakwah islamiah. Esensi dari hikmah menjadi esensi dari aspek epistimologis
dakwah, dan sekaligus sebagai aksiologisnya.

B. Rekomendasi
Menyadari keterbatasan penelitian ini yang mengungkapkan pokok-pokok pikiran
Muhammad Abduh mengenai dakwah yang bersifat prinsip-prinsip nya dalam
tafsir Al-Manâr, maka diperlukan penelitian lebih lanjut pada dataran
pengembangan teoretik dakwah menurut levelnya, dan dataran empirik mengenai
dakwah sebagai proses ishlâh (reformasi), tajdîd (pembaruan), taghyîr
(perubahan) ke arah kehidupan muslim yang lebih baik, yang diperlukan sebagai
evaluasi relevansi teoretik dakwah. Selain itu, juga penting diteliti perbandingan
pemikiran dakwah antara Muhammad Abduh dengan Rasyid Ridha dari sudut
228

pandang prinsip-prinsip dakwah sebagai sunnah Allah dalam tafsir Al-Manâr. Hal
ini penting untuk memberikan kontribusi teoretik pengembangan ilmu dakwah di
Indonesia khususnya.
Penelitian ini juga merekomendasikan perlunya penelitian efektifitas
penyelenggaraan takwîn al-du’ât (pendidikan tinggi dakwah Islam), khususnya
yang ada di Indonesia, seberapa jauh dan seberapa banyak kader-kader dâ’i yang
dihasilkannya dapat berperan dalam memperbaiki dan mencari solusi problem
keumatan.
DAFTAR PUSTAKA

Alquran

Abd al-Aziz, Jumah Amin, al-Da’wah al-Islâsmiyyah: Qawâ’id wa Ushûl, Kairo:


Dar al-Dawah, 1999.

Abd al-Baqi, Muhammad Fuad, al-Mu’jam al-Mufahras lî Alfâzh al-Qurân al-


Karîm, Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-„Arabi, 1995.

Abd al-Hakim, Muhammad Husni, al-Ijmâl wa al-Bayân, Kairo: Jamiah al-


Azhar, 1982.

Abd al-Hamid, Muhsin, Tajdîd al-Fikr al-Islâmî, Herendon, al-Mahad al-„Alamy


li al-Fikr al-Islami, 1995.
Abd al-Jabiri, Muhammad, Formasi Nalar Arab, terj. Takwîn al-‘Aql al-‘Araby,
oleh Imam Khoiri, Yogyakarta: IRCiSod, 2003.
Abd al-Masri, Muhammad, Bencana di Dunia Islam, terj. Karitsah fi al-‘Alam al-
Islâmi, oleh Bambang Saeful Maarif, Bandung: Rosdakarya, 1989.
Abd, Abd al-Lathif Muhammad, Sittu Rasâil min al-Turâts al-'Araby, Kairo:
Maktabah Nahdhah al-Mishriyyah, 1981.
Abduh, Muhammad, Ilmu dan Peradaban menurut Islam dan Kristen, terj. al-
Islâm wa al-Nasraniyyah ma’a al-‘Ilm wa al-Madaniyyah, oleh
Mahyuddin Syaf, Bandung: CV. Diponegoro, 1992.
, Risâlah al-Tauhîd, Mesir: Maktabah al-Qahirah, 1960.
, Tafsîr Juz ‘Amma, Beirut: Dâr Ibn Zaydun, 1989.
dan Muhammad Rasyid Ridha, Tafsîr al-Qurân al-Hakîm al-Syahîr bî
Tafsîr al-Manâr, Jilid I, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.
Abdul Wahab, Muhammad bin, Mufîd al-Mustafâdah fî Kufri Târik al-Tawhîdi,
Riyad: al-Riasah al-„Ammah li al-Thabq wa al-Tarjamah, 1991.
Abdurrahman, Aisyah, Manusia Sensitivitas Hermeneutika Alquran, terj. Maqâl fî
al-Insân, oleh M. Adib al-Arief, Yogyakarta: 1997
Abidat, Zauqan dkk., Al-Bahts al- 'Ilmi, Mafhûmuhu, Adâwatuhu, Asâlibuhu,
Aman: Dar al-Fikr, 1987.
Abu Yazid, Islam Akomodatif Rekonstruksi Pemahaman Islam sebagai Agama
Universal. Yogyakarta: LKis, 2004.
Abu Zahrah, Muhammad, Membangun Masyarakat Islami, terj. Tanzhîm al-Islâm
lî al-Mujtama’, oleh Shodiq Noor Rohmat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994.
Abul Majd, Sayid "al-Malakat al-'Aqliyyah fl al-Qur'ân al-Karîm" al-
Muhâdharah al-'Âmmah, Mesir: Mathba'ah al-Azhar, 1960.
230

Adnani, Ahmad bin Muhammad al-Dasm al-, al-Da’wah al-Islamiyah li al-Afrad


wa al-Syabaib, Madinah al-Munawarah: Dar al-Zaman, 2008
Ahmad, H. Zainal Abidin, Negara Adil Makmur menurut Ibnu Sina, Jakarta:
Bulan Bintang, 1974.
Ahmad, Khurshid, dkk., Islam Sifat, Prinsip Dasar dan Menuju Kebenaran, terj.
The Islamic Foundation, oleh A. Nashir Budiman, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1995.
Ahmad, Khurshid, Pesan Islam, terj. Islam: Its Meaning and Message, oleh Ahsin
Mohammad, Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1983.
Ahmed, Akbar S., Posmodernisme: Bahaya dan harapan bagi Islam, terj.
Postmodernism and Islam: Predicament and Promise, oleh M. Sirozi,
Bandung: Mizan, 1993.
, Rekonstruksi Sejarah Umat Islam di Tengah Pluralitas Agama dan
Peradaban, terj. Amru Ust. Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 2002.
Ahwani, Ahmad Fuad, Al-Madâris al-Falsafiyyah, Kairo: Maktabah Mishr, 1965.
„Adawy, Muhammad Ahmad, al-, Da’wah al-Rusul ilâ al-Lâh Ta’âlâ, Mesir:
Mushthafa al-babi al-Halabi, 1935.
„Ak, Khalid Abd al-Rahman, al-, Shafwah al-Bayân li Ma’âni al-Qurân al-Karîm,
Beirut: Dâr al-Salam, 1994.
„Aysawi, Abd al-Rahman, al-, al-Islâm wa ‘Ilâj al-Nafs, al-Akarithah: Dâr al-Fikr,
1986.
Ajiry, Abu Bakar, al-, Akhlak al-‘Ulamâ, Mesir: Dâr al-Tsaqâfah, 1984.
Ali, A. Yusuf, The Holy Qurân: Text, Translation, and Commentary, USA:
Amana Corp., 1983.
Ali, Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, Jakarta: Jambatan,
1995.
Alwany, Thaha Jabir Fayyad, al-, Etika Berbeda Pendapat dalam Islam, terj.
Adab al-Ikhtilaf fi al-Islam oleh Ija Suntana, Bandung: Pustaka Hidayah,
2001.
Amâri, Ali Muhammad Hasan, al-, al-Qurân wa al-Thabâ’i’u al-Nafsiyah, Saudi
Arabia: Dâr al-Tahrîr, 1966.

Anis, Ibrahim dkk., al-Mu’jam al-Wasîth, Mesir: Dâr al-Maarif, 1972.


Anshari, Isa, Mujahid Da’wah, Bandung: CV. Diponegoro, 1964.
Anwar, Muhammad Mâhir Mahmud, Malâmih ‘Ilm Nafs al-Islâmy, Saudi Arabia:
Dâr al-Nahdhah al-„Arabiyah, 1983.
Anshary, Jamal al-Din bin Hisyam, al-, Mughny al-Labîb, jld. I, Indonesia: Dâr
Ihya al-Kutub alArabiyah, tt.
231

Aqqad, Abbas, al-, Multaqi al-Nufus al-Basyariyyah dalam Muhammad Abduh,


Syarh Nahj al-Balâghah, ed. Ahmad Jad, Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadîd,
2006.
Aqqad, Mahmud, al-, Multaqy al-Nufûs al-Basyariyyah dalam Muhammad
Abduh, Syarh Nahj al-Balâghah, Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadid, 2006.
Arunjani, Wafa, al-, Manhaj al-Yaqîn ‘alâ Syarh Adab al-Dunya wa al-Dîn,
Jedah: al-Haramayn, tt.
Askary, Abu Hilal, al-, al-Lum’ah min al-Furûq. Surabaya: al-Maktabah al-
Tasaqafiyah, tt.
Ashraf, Syed Ali, Krisis dalam Pendidikan Islam, terj. Crisis in Muslim Eucation
oleh Fadhlan Mudhafir, Jakarta: Mawardi Prima, 2000.
Asyqar, Muhammad Sulayman Abd Allah, al-, Zubdah al-Tafsîr, Riyadh: Dâr al-
Tadmuriyah, 2004.
Arnûth, Muhammad al-Sayid, al-I’jâz al-‘Ilmî fî al-Qurân al-Karîm, Kairo:
Madbuly, 1989.

As-Sibai, Musthafa Husni, Sosialisme Islam, terj. Isytirâkiyah al-Islamy, oleh


Abdai Ratomy, Bandung: CV. Diponegoro, 1969.
Attas, Syed Muhammad Naquib, al-, Islam dan Filsafat Sains (Islam and the
Philosophy of Science), terj. Saeful Muzani, Bandung: Mizan, 1995.
Azra, Azyumardi, “Transformasi Nilai Islam dalam Etika Sosial” dalam Nurcholis
Madjid dkk., Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan
Transformasi Nilai-nilai Islam menuju Masyarakat Madani, peny. M.
Amin Akkas dan Hasan M. Noer, Jakarta: Media Cita, 2000.
, Islam Substantif Agar Umat tidak Jadi Buih, ed. Idris Thaha, Bandung:
Mizan, 2001.
, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme, hingga
Posmodernisme, Jakarta: Paramadina, 1996.
, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002.
______,Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru,
Jakarta: Logos, 1999.
Azzaino, Zuardin, Asas-asas Psikologi Ilahiah: Sistem Mekanisme Hubungan Roh
dan Jasad, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1990.
Badkhasyani, Muhammad Anwar, al-, Tashîl al-Manthiq, Karaci: Idârah al-Qurân
wa al-„Ulum al-Insâniyah, 1988.
Baghdâdî, Zayn al-Dîn, al-, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.
Bâhŷ, Muhammad, al-, Pemikiran Islam Modern, terj. Al-Fikr al-Islâm al-Hadits
wa Shirâtuhu bi Isti’mâr al-Gharbiy, oleh Suadi Saad, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1986.
232

Baltaji, Muhammad Anwar Ahmad, al-, Min Washâyâ al-Qurân, Kairo: Dâr al-
Turâts al-„Arabi, 1987.
Bayanuni, Muhammad Abu al-Fatah, al-, al-Madkhal fî ‘Ilm al-Da’wah, Beirut:
Muassasah al-Risalah Nâsyidun, 2001.

Basyan, Said bin Muhammad, Busyrâ al-Karîm bi Syarh Masâil al-Ta’lîm,


Jeddah, Al-Haramayn, tt.
Bagader, Abu Bakar A. (ed.), Islam dalam Perspektif Sosiologi Agama, terj. Islam
and Sociological Perspectives, oleh Machnun Husein, Yogyakarta: Tititan
Ilahi Press, 1983.
Bahtiar, Saleh, Meneladani Akhlak Allah melalui al-Asma al-Husna, terj. Moral
Healing through the Most Beautiful Names: The Practice of Spiritual
Chivalry, Bandung: Mizan, 2007.
Baljon, J.M.S., Tafsir Quran Muslim Modern, terj. Modern Muslim Koran
Interpretation (1880-1960), oleh A. Niamullah Munir, Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1991.
Ba-Yunus, Ilyas dan Ahmad, Farid, Sosiologi Islam dan Masyarakat
Kontemporer, terj. Islamic Sociology: An Introduction, oleh Hamid
Basyaib, Bandung: Mizan, 1997.
Basywai, Ibrahim, Nasy'ah al-Tashawuf aI-lslâmi, Mesir. Dâr al-Ma'ârif, 1969.
Bek, Muhammad al-Hudhori, Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dâr al-Fikr, 1981.
Boulares, Habib, Islam Biang Ketakutan atau Tumpuan Harapan, terj. Islam: The
Fear and The Hope, oleh Ilham Mashuri, Bandung: Pustaka Hidayah,
2003.
Braker, Larry L., Communication, New Jersey: Prentice-Hall Inc., 1984.
Butt, Nasim, Sains dan Masyarakat Islam, terj. Science and Muslim Society, oleh
Masdar Hilmi, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996.
C. Chittik, William, Tuhan Sejati dan Tuhan-tuhan Palsu ('The Sufi Paith of
Knowledge: Ibn Arabi's Metaphisics of Imagination), terj. Achmad
Nidjam dkk., Yogyakarta: Qalam, 2001.
Charon, Joel M., Symbolic Interactionalism: An Introduction, An Interpretation,
An Integration, New Jersey: Engliwood Cliff, 1979.
Darini, Sayid Abd al-'Aziz, al-, Thaharah al-Qulûb wa al-Khudhû li 'Alam al-
Guyûb, Jedah: al-Haramayn, tt.
Emmert, Philip dan Larry L. Barker, Measurement of Communication Behavior,
New York: Longman, 1989.
Elias, Alias A dan Edward E. Elias, Qamûs al-Jayb, terj. Ali Almascatie,
Bandung: PT. Al-Ma'arif, 1983.
233

Fairuzzabadi, Abu Thahir Muhammad bin Yaqûb, al-, Tanwîr al-Miqbâs min
Tafsîr Ibn ‘Abbâs, Jedah: al-Haramayn, tt.
Fakhr al-Din, Muhammad al-Razi, Tafsîr al-Kabîr, jld. III, Beirut: Dâr al-Fikr,
1994.
Fakhry, Majid, A History of Muslim Philosophy (Sejarah Filsafat Islam), terj.
Mulyadhi Kartanegara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1987.
Fatah, Abd al-Munshif Mahmud Abd, al-, Manhaj al-Da’wah al-Islâmiyah min
al-Qurân al-Karîm wa al-Sunnah al-Nabawiyah.
Fawal, Shalah Mushthafa, al-, Manâhij al-Bahts fi al-‘Ulûm al-Ijtimâ’iyyah, Kairo
Maktabah Gharib, 1982.
Firdaus AN, “Syaikh Muhammad Abduh dan Perjuangannya” dalam Syaikh
Muhammad Abduh, Risâlah Tauhîd, Jakarta: Bulan Bintang, 1996.
Fisher, B. Aubrey, Teori-teori Komunikasi, terj. Perspectives on Human
Communication, oleh Sujono Trimo, peny. Jalaluddin Rakhmat, Bandung:
Remaja Karya, 1986.
Frey, Lawrence R., et al., Investigating Communication, An Introduction to
Research Methods, New Jersey Prentice Hall, 1991.
Fromm, Eric, Revolusi Harapan, terj. The Revolution of Hope, oleh Kamdani,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.
Garna, Judistira K., Ilmu-ilmu Sosial: Dasar, Konsep, Posisi, Bandung: PPs
Unpad, 1996.
Gazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad, al-, Al-Mursyid
al-Amîn ilâ Mau’izhah al-Mu’minîn, Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi,
tt.
______, al-Qisthâs alMustaqîm dalam al-Qushûr al-‘Alawaly, jld. I, ed.
Muhammad Musthafa Abu al-Alâ, Mesir: Maktabah al-Jundi, 1970.
______, Risalah al-Laduniyyah, dalam al-Qushur al-'Awali, Mesir: Maktabah al-
Jundi, 1970.
Ghazali, Muhammad, al-, Ma’a al-Lâh; Dirâsât fî al-Da’wah wa al-Du’ât, Mesir:
Matbaah Hasan, 1981.
Ghalwûsî, Ahmad Ahmad, al-Da’wah al-Islâmiyyah: Ushûluhâ wa Wasâiluhâ.
Kairo: Dar al-Kitab al-Mishry, 1987.
Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains menurut al-Ouran (The Holy Quran and the
Sciences of Nature}, terj. Agus Effendi, Bandung. Mizan, 1989.
234

Grunebaum, Gustave E. Von, Islam Kesatuan dalam Keragaman, terj. Unity and
variety in Muslim Civilization, oleh Effendi N. Yahya, Jakarta: Yayasan
Perkhidmatan, 1983.
Hilâli, Majdi, al-, Falnabda bî Anfusinâ, Mesir: Dâr al-Tauzî wa al-Nasyr al-
Islamiyah, 1994.
Haddad, Yvonne, “Muhammad Abduh: Perintis Pembaharuan Islam” dalam Para
Perintis Zaman baru Islam, terj. Pioneers of Islamic Revival, ed. Ali
Rahnema, oleh Ilyas hasan, Bandung: Mizan, 1995.
Haeri, Syaikh Fadhlullah, Dasar-dasar tasawuf, terj. The Elements of Sufism, oleh
Tim Forstudia, Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003.
Hamzah, Abdul Latif, al-I’lâm fî Shadr al-Islâm. Kairo: Dâr al-Fikr al-„Arabi,
1977.
Hanafi, Hasan, Oposisi Pasca Tradisi, terj. Humûm al-Fikr al-Wathan, oleh
Khairan Nahdiyyin, Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2003.
Haras, Muhammad Khalil, Da’wah al-Tawhîd, Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah,
1986.
Harris, Cristianna Phelps, Nasionalism and Revolution in Egypt: the Role of the
Muslim Brotherhood, London: Mounto & Co., 1964.
Hagen, Evert E, On The Theory of Social Change, Home wood: Dorsey Press,
1962.
Hasan, Kamil Muhammad, Ahdâf al-Risâlah al-Islâmiyyah, dalam al-Muhâdharât
al-‘Âmmah, Mesir: Mathbaah al-Azhar, 1960.
Hidayat, Komaruddin, “Agama dan Kegalauan Masyarakat Modern” dalam
Nurcholis Madjid, Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan
Transformasi Nilai-nilai Islam menuju Masyarakat Madani, peny. M.
Amin Akkas dan Hasan M. Noer, Jakarta: Media Cita, 2000.
, “Oksidentalisme: Dekonstruksi terhadap Barat” dalam Hasan Hanafi,
Oksidentalisme: Sikap terhadap Tradisi Barat, terj. Muqaddimah fî ‘Ilm
al-Istidrâk oleh Najib Bukhari, Jakarta: Paramadina, 2000.
, Menafsirkan Kehendak Tuhan, Jakarta: Teraju, 2004.
Hikmat, Harry, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, Bandung: Humaniora
Utama, 2006.

Hitti, Philip K., History of the Arab, Cet. X, New York: St. Martins Place, 1968.
Hourani, Albert, Arabic Thought in the Liberal Age, 1798-1939. Cambridge:
Cambridge University Press, 1993.
_ , Islam in European Thought (Islam dalam Pandangan Eropa), Terj.
Imam Baihaqi dan Ahmad Baidhawi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998.
235

Husaini, Waqar Ahmed, Sistem Pembinaan Masyarakat Islam, terj.


Environmental Systems Engineering, oleh Anas Mahyuddin, Bandung:
Pustaka ITB, 1983.
Hymes, Dell, Foundatiouns in Sociolingustic; An Ethnographic Approach,
Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 1974.
Ibn Khaldun, Abu Zaid bin Muhammad bin Hasan al-Hadrami al-Maliki,
Mukaddimah Ibn Khaldun, terj, Ahmadi Thaha, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1986.
Ibn Miskawih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terj. Tahdzîb al-Akhlâq, oleh
Helmi Hidayat, Pengantar Zainun Kamal, Bandung: Mizan, 1944.
Ibn Rusyd, Abu al-Walid, Fashl al-Maqâl fî mâ bayn al-Hikmah wa al-Syari’ah
min al-Ittishâl. Mesir: Dâr al-maarif, 1969.
Ibnu Taimiyah, Taqiyuddin Ibn al-„Abbas Ahmad, Kitâb al-Nubuwât, Beirut: Dâr
al-Fikr, tt.

Ibrahimy, Muhammad Nur, al-, ‘Ilm al-Manthiq, Surabaya: Maktabah Said bin
Nashim Nabhan, tt.
Ibrahim, Muhammad Ismail, Mu'jam al-Alfâdzh wa al-I'Iâm al-Qurâniyyah,
Kairo: Dâr al Fikr al-'Araby, 1969.
Imarah, Muhammad, Karakteristik Metode Islam, terj, Ma’âlim al-Manhaj al-
Islâmi, oleh Saefullah Kamalie, Jakarta: Media Dakwah, 1994.
_, al-Imâm Muhammad Abduh Mujaddid al-Islâm, Beirut: al-Muassasah
al-'Arabiyah li al-Dirasah wa al-Nasyr, 1981.
Imam, Ibrahim, al-Ushûl al-‘Ilâm al-Islâmy, Kairo: Dâr al-Fikr al-„Araby, 1985
Ishlahi, Amin Hasan, Metode Dakwah Menuju Jalan Allah, terj. Minhâj al-
Da’wah ilâ al-Lâh, oleh Mudzakir dan Mulyana Syarif, Jakarta: Litera
Antarnusa, 1985.
Jabali, Fuad dan Jamhari (peny.), IAIN: Modernisasi Islam di Indonesia, Jakarta:
Logos, 2002.
Jad, Ahmad, “Tarjamah al-Syarif al-Imâm Muhammad Abduh” dalam
Muhammad Abduh, Syarh Nahj al-Balaghah. Kairo: Dâr al-Ghad al-Jadid,
2006.
Jalind, Muhammad Sayid dan Rizq al-Hajr, al-, Dirâsât fî al-Manthiq wa Manâhij
al-Bahts, Kairo: Maktabah al-Zahra, tt.
Jawziyah, Ibn al-Qayyim, al-, Al-Tafsîr al-Qayyim, Beirut: Dâr al-Fikr, 1988.
Ruh li Ibn al-Qayyim, (Beirut: Dâr al-Qalam, 1403H).
Jughûry, Abd al-Rasyid, al-, al-Rasyîdiyyah, Mesir: Mushthafa al-Babi al-Halabi,
1350H.
Jurjani, Ali bin Muhammad, al-, al-Ta’rîfât. Jeddah: al-Haramain, tt.
236

Jurjawi, Ali Ahmad, al-, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuh. Beirut: Dâr al-Fikr, tt.
K. Rowson, Evert, A Muslim Philosopher on the Soul and It's Fate: Al-Amiri's
Kitab al-Amad 'ala al-Abad, New Haven: The American Oriental Society,
1988.
Kadir, Muhammad Mahmud Abdul, Biologi Iman (Biylujiyah al-iman), terj.
Rusjdi Malik, Cet 3, Jakarta: Al-Hidayah, 1983.
Khabishy, Abidullah bin Fadhal, al-, Syarh al-Khabishy ‘ala Matn Tahdzîb al-
Manthiq wa al-Kalâm lî Sa’id al-Taftazany. Mesir: Maktabah Muhamad
Ali Shabih, 1965.
Khalaf, Abd Wahab, al-,‘Ilm Ushûl al-Fiqh. Kairo: Maktabah al-Azhar, 1942.
Khuli, Abu al-Qasim, al-, Menuju Islam Rasional: Sebuah Pilihan Memahami
Islam, terj. Rationality of Islam, oleh Dede Azwar N., Jakarta: Hawra
Publisher, 2003.
Khuly, Muhammad Abd al-Aziz, al-, al-Adâb al-Nabawi, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.
Kamal, Zainun, Antara Sukma Nurani dan Sukma Dzulmani, dalam
Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, ed. Budhi Munawar-
Rahman, Jakarta: Paramadina, 1994.
, Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Logika Aristoteles, Disertasi, Jakarta: Fak.
Pascasarjana IAIN Syahid, 1995.

Kanan, Ahmad Muhammad, Tazkiah al-Nufus, Beirut: Dar al-Qalam, tt.


Khabishi, Abdullah bin Fadhl, al-, Syarh al-Khabishi 'ala Matn Tahdzîb al-
Manthiq, Mesir: Jami'ah al-Azhar, 1965.
Khawarizmi, Abu al Qasim Abu Jar al-Lah Mahmud ibn 'Amr al-Zamakhsyari, al-
, al-Kasyf 'an Haqâiq al-Tanzîl wa ‘Uyûn al-Aqâwil fi Wujûh al-Ta’wîl,
Beirut: Dar al-Ma'arif, tt.
Komarulhadi, S., Insan Dilihat dari Beberapa Dimensi, Sala: PTDI, 1975.
Krippendorff, Klaus, Content Analysis.- Introduction to Its Theory and
Methodology (Analisis Isi: Pengantar Teori dan Metodologi), Pen. Farid
Wajidi, Jakarta: CV. Rajawali, 1991.
Kutub, Sayid, Fiqh Dakwah, terjemahan Fiqh al-Da’wah: Maudhû’ât fî al-
Da’wah wa al-Harakah, oleh Suwardi Effendi, Jakarta: Pustaka Amani,
1986.
Langgulung, Hasan, Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam, Bandung:
PT. Al-Maarif , 1995.
Lapidus, Ira M., Sejarah Sosial Umat Islam, Bagian III, terj. A History of Islamic
Societies, oleh Gufron A. Masudi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1999.
237

Lawer, Robert H., Persfektif Tentang Perubhan sosial, terj. Perspectives on Social
Change, oleh Alimandan Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003.
Levy, Ruben, Susunan Masyarakat Islam, terj. The Social Structure of Islam, oleh
H.A. Lujito, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Luthan, Salman, “Agenda dan Strategi Reformasi Hukum,” dalam Moh. Mahfud
MD dkk. (ed.), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, Yogyakarta:
UII Press, 1999.
Mahmud, Ali Abdul Halim, Ma’a al-‘Aqîdah wa al-Harakah wa al-Manhaj fî
Khayr Ummah Ukhrijat li al-nâs. Mesir: Dâr al-Wafa, 1992.
Mahmud, Musthafa, Allah antara Yang Ada dan Tiada, terj. Al-Wujûd wa al-
‘Adam, oleh Abu Bakar Basymeleh, Surabaya: Media Idaman, 1982.
Mahally, Jalâl al-Din dan Jalâl al-Din al-Suyuthy, al-, Tafsir al-Qur'ân al-'Azhîm,
Indonesia: Dâr Ihya al-Kutub al-'Arabiyah, tt.
Marlow, Louise, Masyarakat Egaliter Visi Islam, terj. Hierarchy and
Egalitarianism in Islamic Thought, oleh Nina Nurmila, Bandung: Mizan,
1999.
Maraghi, Ahmad Musthafa, al-, Tqfsir al-Marâghi, Beirut: Dar al-Fikr, 1974.
Mâliki, Ahmad al-Shawy, al-, Hâsyiyah al-‘Allâmah al-Shawi ‘alâ Tafsîr al-
Jalâlalin, Semarang: Thaha Putra, tt.

Masûdi, Abd al-Aziz bin Ahmad, al-, al-Nashîhah: Syurûtuhâ wa Dhawâbithuhâ,


Riyadh: Dâr al-Wathan, 1993.

Maudûdi, Abu al-Ala, al-, al-Mabâdi al-Asasiyyah li Fahm al-Qurân (Lahore:


Dâr al-„Arubah li al-Dawah al-Islâmiyyah, 1960.
Mâwardi, Abu Hasan Ali, al-, Adâb al-Dunya wa al-Dîn, Beirut: Dâr al-Fikr, tt.
Minhaji, Akh., “Reformasi Hukum Islam dalam Perspektif Sejarah,” dalam Amin
Rais dkk., Muhammadiyah dan Reformasi, Yogyakarta: Majelis Pustaka
PP. Muhammadiyah, 2000.
Miskawih, Ibn, Menuju Kesempurnaan Akhlak (Tahdzib al-Akhlaq), terj. Zaenul
Kamal, Bandung. Mizan, 1994.
Moore, Melbert, Order an Change Essays in Comparative Sociology, New York:
John Wiley and Sons, 1967.

Mubarak, Muhammad Said, al-Da’wah wa al-Idârah, Madinah: Maktabah Malik


Fahd al-Wathaniyyah, 2005.
Mudhary, Bahaudin, Setetes Rahasia Alam Tuhan Melalui Peristiwa
Metafisika al-Mi'raj, Surabaya: Pustaka Progresif, 1996.
Musa, Hasan Muhammad, Qamus Qurâny, Kairo: Maktabah Halil Ibrahim, 1966.

Musa, Mahmud, Qâmûs Qurânî, Kairo: Mathbaah Khalil Ibrahim, 1966.


238

Musa, Yusuf, Al-Quran dan Filsafat, terj. Al-Qurân wa al-Falsafah, oleh Ahmad
Daudi, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
, Bayna al-Din wa al-Falsafah fi Ra'y Ibn Rusyd wa Falsafah al-'Ashr al-
Wasîth, Beirut: Al-Ashr al-Hadits, 1988.
Mursyid, Ali bin Shalih, al-, Mustalzamât al-Da’wah fî al-‘Ashr al-Hâdhir,
Damanhur: Maktabah Layinah, 1989.

Naim, Abdullah Ahmed, al-, Dekonstruksi Syari’ah: Wacana Kebebasan Sipil,


Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, terj.
Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and
International Law, oleh Ahmad Suaedi dan Ahmad Anzai, Yogyakarta,
1977.
Najati, Muhammad Utsman, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim, terj.
Al-Dirâsah al-Nafsâniyah ‘inda al-‘Ulamâ al-Muslimin, oleh Gazi
Saloom, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Nanji, Azim (ed.), Peta Studi Islam Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di
Barat, terj. Mapping Islamic Studies: Genealogy, Continuity, and Change,
oleh Muamirotun, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003.
Nasution, Harun, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta:
UIP, 1987.
, Harun, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan gerakan,
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Nasr, Sayyed Hossein , Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, Pen. Ach. Maimun
Syamsuddin, Yogyakarta: IRCiSod, 2006.

Nawawi, Rifat Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah


Akidah dan Ibadat, Jakarta: Paramadina, 2002.
_______, Kepribadian Qurani, Jakarta: WNI Press, 2009.
Nawawi, Hadhari, Hakikat Manusia menurut Islam, Surabaya: al-Ikhlas, 1993.
Nuh, Sayid Muhammad, Fiqh al-Da’wah al-Fardiyyah fî al-Manhaj al-Islâmî,
Mesir: Dâr al-Wafa, 1991.
, Terapi Mental Aktivis Harakah: Telaah atas Penyakit Mental dan
Sosial Kontemporer Para Da’i, terj. Âfât ‘alâ al-Tharîq, oleh Asad Yasin,
Solo: CV. Pustaka mantiq, 1994.
Nurbakhsy, Javad, Psikologi Sufi, (Psychology of Sufism), terj. Arif Rahmat,
Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 1998.
Poloma, Margaret M., Sosiologi Kontemporer, terj. Contemporary Sociological
Theory, oleh Yasogawa, Jakarta: CV. Rajawali, 1992.
239

Qahthânî, Said bin Ali, al-, Da’wah Islam Da’wah Bijak, terj. Al-Hikmah fî al-
Da’wah ilâ al-Lâh, oleh Masykur Hakim dan Ubaidillah, Jakarta: Gema
Insani Press, 1994.
Qahthânî, Said bin Ali bin Wakf, al-, 9 Pilar Keberhasilan Dâ’i di Medan
Dakwah, terj. Muqawamât al-Dâ’iyah al-Nâjih, oleh Muzadi Hasbullah,
Solo: Pustaka Arofah, 2001.
Qathân, Manâ, al-, al-Da’wah ilâ al-Islâm, Beirut: al-maktab al-Islamy, 1397.
Qaradawi, Yusuf, Konsep Islam Solusi Utama Bagi Umat, terj. Al-Hill al-Islâmi
Farîdhah wa Dharûrah, oleh M. Wahib Aziz, Jakarta: Senayan Abadi
Publishing, 2004.
__ _, Anatomi Masyarakat Islam, terj. Malâmih al-Mujtama’ al-Muslim al-
ladzî Nansyuduh, oleh Setiawan Budi Utomo, Jakarta: Pustaka al-kautsar,
1999.
___ , Karakteristik Islam Kajian Analitik, terj. Al-Khashâish al-‘Âmmah lî al-
Islâm, oleh Rofi Munawwar, Lc. dan Tajuddin, Surabaya: Risalah Gusti,
1995.
_______, Al-Quran Berbicara tentang Akal dan Ilmu Pengetahuan (AI-'Aql wa
al-'IIm fi al-Qurân al-Karîm), terj. Abdulhay al-Katani dkk., Jakarta: Gema
Insani Press, 1999.
_______, Al-Quran dan al-Sunnah Referensi Tertinggi Umat Islam (al-Marja'iyah
al-'UIya fi al-Islam li al-Quran wa al-Sunnah), terj. Badruddin Fannani,
(Jakarta: Robbani Press, 1997).
Quwsyini, Hasan Darwisy, al-, Syarh ’ala Matn al-Sulam, Surabaya: Maktabah
Said bin Nabhan,tt.
Rajih, Muhammad Karim, Audhah al-Bayân fî Syarh al-Mufradât wa Jumal al-
Qurân, Beirut: Dâr al-Marifah, 1983.
Rakhmat, Jalaluddin, Rekayasa Sosial: Reformasi atau Revolusi, Bandung:
Rosdakarya, 1999.
Ridha, Muhammad Rasyid, Wahyu Ilahi kepada Muhammad, terj. Al-Wahy al-
Muhammadî, oleh Yosef CD, Jakarta: Pustaka Jaya, 1987.
Roswon, Everett K., A Muslim Philosopher on the Soul and Its Fate: Al-‘Amiri’s
Kitâb al-Amad alâ al-Abad, New York: American Oriental Society, 1988.
Said, Jaudat, Bertindak Menurut Kehendak Ilahi, terj. Al-‘Amal: Qudrah wa
Irâdah, oleh Luqman Junaedi, Bandung: Pustaka Hidayah, 2002.
Said, Syekh, Kamus Filsafat Islam, Jakarta:Rajawali Press, 1992.
Sairazi, Abu Thahir Muhammad bin Ya'qub al-Fairuzabadi, al-, Tanwîr al-Miqbas
min Tafsîr Ibn 'Abbas, Jedah: al-Haramayn, tt.
Sanusi, Shalahuddin, Ilmu Da’wah, Bandung: PTDI Uswah Hasanah, tt.
240

Sardar, Ziauddin (ed.), Merombak Pola Pikir Intelektual Muslim, terj. ‘Ilm and the
Revival of Knowledge, oleh Agung Prihantoro dan Fuad Arif Fudyantanto,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.
Sarwar, H.G., Filsafat Al-Quran, terj. Philosophy of Quran, oleh Zainal Muhtadin
Mursyid, Jakarta: CV. Rajawali, 1989.
Sears, David O. dkk., Psikologi Sosial, jld II, terj. Social Psychology, oleh
Michael Adrianto, Jakarta: Erlangga, 1991.
Sevila, Consuelo G. dkk., An Introduction to Research Methods (Pengantar
Metodologi Penelitian), pen. Alimudin Tuwu, Jakarta: Ul-Press, 1993.
Shabhi, Ahmad Ahmad, al-Falsafah al-Akhlâqiyah fî al-Fikr al-Islâmi, Mesir:
Dâr al-Maarif, 1969.
Shaqr, Abd al-Badi, Kayfa Nad’û al-Nafs, Kairo: Maktbaha Wahbah, 1976.
Shawwaf, Muhammad Mahmud, al-, Min al Qurân Ilâ al Qurân (al Da'wah wa al
Du'ât ),tt.
Shihab, M. Quraish, Rasionalitas Al-Quran; Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar,
Jakarta: Lentera Hati, 2006.

, Tafsîr al-Qur’an al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan


Turunnya Wahyu, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1997.

, Wawasan Al-Quran, Bandung: Mizan, 1996.


Shild, Edward, Etika Akademis, terj. The Academic Ethics, oleh A. Agus
Nugroho, Jakarta: Yayasan Obor, 1993.
Sukanto dkk., Pedoman Penelitian, Yogyakarta: "LP", 1995.
Sulayman, Fahd bin Abd al-Rahman, Manhaj al-Madrasah al-‘Aqliyyah al-
Hadîtsah fi al-Tafsîr, Riyadh: Muassasah al-Risâlah, 1414H.
Suryadipura, Paryana, Alam Pikiran, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
_______,Manusia dengan Atomnya dalam Keadaan Sehat dan Sakit,
Jakarta:Bumi Aksara, 1994.

Syafaat, Pengantar Studi Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1964.

Sadî, Abd al-Rahman bin Nashir, al-, Taysîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm
al-Mannân, Riyadh: Maktabah al-Rusydiyyah, 2001.
Shafuri, Abd al-Rahman, al-, Nuzhah al-Majâlis wa Muntakhab al-Nafâis,
Jakarta; Dinamika Utama, tt.
Shawi, Aminah, al-, dan Syaraf, Abd al-Aziz, Nazhariyyah al-I’lâm fî al-Da’wah
al-Islâmiyyah, Al-Fujâlah: Maktabah Mishr, tt.
241

Stine, Jean Marie, Mengoptimalkan Daya Pikir, Anonim: Delapratasa Publishing,


2001.
Suryadipura, Paryana, Alam Pikiran Manusia, Jakarta: Bumi Aksara, 1993.
Suyûthi, Jalâl al-Dîn Abd al-Rahman, al-, al-Jâmi’ al-Shaghîr fî Ahâdîts al-Basyîr
al-Nadzîr, Bandung: PT. Al-Maarif, tt.
Suwito, Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Ibn Miskawaih, Jakarta: IAIN Syarif
Hidayatullah, 1995.
______, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibn Miskawaih, Jakarta: ed. Jejen Musfah,
Yogyakarta: Blukar, 2004..
______, dan Fauzan (ed.), Sejarah Sosial Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana,
2008.
Syahratsani, Abu al-Fatah Muhammad Abd al-Karim, al-, al-Milal wa al-Nihal,
Beirut: Dâr al-Fikr, tt.
Syarqawi, Hasan Muhammad, al-, Nahwa ‘Ilm al-Nafs al-Islâmi, Iskandariyah:
Muassasah Sabâb al-Jamiah, 1984.
Syeikh, M. Said, Kamus Filsafat Islam (A Dictionary of Muslim Philosophy), terj.
Machnun Husein, Jakarta: Rajawali Press, 1991.
Syinqithi, Muhammad al-Amin, al-, Adâb al-Bahtsi wa al-Munâzharah, Kairo:
Maktabah Ibn Taymiyah, tt.

Tabrizi, Ahmad bin Muhammad bin al-Malik al-Asyari, al-, Sirâj al-Qulûb, ed.
Abd al-Lathif Muhammad al-„Ayd dalam Sittu Rasâil min al-Turâts al-
‘Arabi al-Islâmi. Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyyah, 1981.

Takhruddin, L.T., Pribadi-pribadi yang Berpengaruh, Bandung: PT. AL-Maarif,


1996.
Thabathaba'i, Muhammad Husayn, al-, al-Mizan fi Tafsîr al-Quran, Beirut:
Muassasah al-'Alamy, 1991.
Thabrasy, Radhy al-Dîn, al-, Makârim al-Akhlâq, Beirut: Dâr al-Fikr, 1978.
Thabrusi, Abu Ali Fadhl bin al-Hasan, al-, Majma’ al-Bayân fi Tafsîr al-Qurân,
Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
Thanâhi, Thâhir, al-, (ed.), Mudzakkirât al-Imâm Muhammad ‘Abduh, Mesir: Dâr
al-Hilal, tt.
Tambunan, Emil H., Kepribadian Seutuhnya, Bandung: Indonesian Publishing
House, 2006.
Tamimi, Muhammad bin Khalifah, al-, Mu’taqad Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah,
Kairo: Dâr al-Salam, 1993.
Tan, Alexis S., Mass Communication Theories and Research, Ohio: Grid
Publishing Inc. 198 1.
242

Taymiyah, Ibn Majma' al Fatawa, Riyadh, tt.


Tibi, Basam, Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial, terj. Islam and Cultural
Accommodation of Social Change, oleh Misbah Zulfa Ellizabet,
Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1999.
Tim Penyusun, Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia, Kurikulum untuk Abad
ke-21, Jakarta: Grasindo, 1994.
Ulwan, Abdullah Nashih, al-Da’wah al-Islâmiyyah wa al-Inqâdz al’Âlami.
Beirut: Dâr al-Salam, 1985.
Ulwan, Taufiq, Mu’jizah al-Shalah, Kairo: Dâr al-Wafa, 1988.
Umar, Toha Yahya, Ilmu Da’wah, Jakarta: Widjaja, 1983.
„Utsaymin, Muhammad bin Shalih, al, Syarh Tsalâtsah al-Ushûl, Riyadh:
Muassasah al-Jarisy, 1994.
Wahab, A.A., An Introduction to Islamic Psychology, Delhi: Institute of Objective
Studies, 1996.
Weij, Van Der, Filsuf-Jilsuf Besar tentang Manusia (Gmie Filosofen over de
men), terj. K.Bertens, Yogyakarta Kanisius, 2000.
Wâ'iy, Taufik, al-, al-Nisâ al-Dâ'iyât, Kuwait: Wizârah al-Aufaf, 1989.
Wakil, Muhammad al-Sayyid al-, Usus al Da'wah wa Âdâb al Du'ât, Mesir: Dâr
al Wafâ, 1986.
Whitehead, Alfred North, Fungsi Rasio (terj. Functions of Reason) oleh Alois A.
Nugroho, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Yakan, Fathi, Kunci Sukses Petugas Dakwah, terj. Qawarib al-Najât li Hayâh al-
Du’ât, oleh M. Hasan Baidawi, Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1984.
___, Al Islam, Fikrah-Harakah-Inqilab, Beirut: Muassasah al-Risalah,
1983.
Yusuf, Abd al-Wadud, Tafsîr al-Mu’minîn. Beirut: Dâr al-Fikr, 1960.

Yusuf, Husayn Muhammad, Sabîl al-Da’wah, Kairo: Dâr al-Itisham, 1979.


Yusuf, M. Yunan, “Metode Dakwah: sebuah Pengantar Kajian,” dalam Munzir
dan Marjani Hefni, Metode Dakwah, Jakarta: Prenada media, 2003.
, “Tafsir Sosial atas Dakwah bi al-Hal” dalam Nurcholis Madjid,
Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi
Nilai-nilai Islam menuju Masyarakat Madani, peny. M. Amin Akkas dan
Hasan M. Noer, Jakarta: Media Cita, 2000.
, “Tauhid Ilmu: Solusi untuk Dikotomi,” dalam Hendar Riyadi (ed.),
Tauhid Ilmu dan Implementasinya dalam Pendidikan, Bandung: PW.
Muhammadiyah dan Nuansa, 2000.
Yusuf, Muhammad al-Sayyid Muhammad, al-Tamkîn lî al-Ummah al-Islâmiyyah
fî Dhau al-Qurân al-Karîm, Mesir: Dâr al-Salâm, 1997.
243

Yusuf, Muhammad, Junûd al-Da’wah, Mesir: Dâr al-Itishâm, 1979.


Zaidan, Abd al-Karim, Ushûl al-Da’wah, Cet. 9, Beirut: Muassasah al-Risâlah,
2001.

Zahrani, Musfir bin Said, al-, al-Tawjîh wa al-Irsyâd al-nafsî, Mekah: Bahadur
Press, 1421H.
Zuhaili, Wahbah, al-, Tafsîr al-Wajîz, Beirut: Dâr al-Fikr, 1982.
Lampiran 1:

DAFTAR TEKS AYAT-AYAT ALQURAN

Teks Ayat Surat-Ayat Halaman


Al-Baqarah [2]: 191 3

Al-Nahl [16]: 125 3, 84, 135,


136, 143,
144, 145,
148, 156

Al-Baqarah [2]: 195 4

Ali Imran [3]: 104 6, 7, 70, 77,


80, 83, 130,
131, 137,
138, 170, 206


 
 
        
   
Fushilat [41]: 33 7, 149

   

Ali Imran [3]: 52 8

Al-Baqarah [2]: 139 8

Ali Imran [3]: 110 11, 80, 131,


137, 138, 206

Al-An’am [6]: 149 13

Al-Nisa [4]: 174 13


245

 
  
      
Ali Imran [3]: 151 16

  
        

    


    
    
  
    
 
Al-Baqarah [2]: 20 17


     
    
 
     

      


      
 

Al-Fatihah [1]: 5 69

Al- Baqarah [2]: 7 69

Al-‘Ashr : [103]: 1-3 70, 155

Al-Maidah (5):78 70

Al-Taubah (9): 122 71

Al-Hajj (22):41 72

Ali Imran (3) : 19 78


246

Ali Imran (3) : 85 78

Al-Baqarah [2]:201 81

Al-Baqarah [2]:207 81

Al-Nisa [4]: 1 81, 97

Al-Baqarah [2]: 256 82

Al-Baqarah [2]: 257 82

Yusuf [12] : 108 84

     
Al-Najm [53]: 4 107

Al-Baqarah [2] : 165 85

          


   
Ali Imran (3): 19 85

    


     
  
247


         



Ali Imran [3]; 18 86

Al-Baqarah [2]:217 88

Ali Imran (3): 21 89

Al-Baqarah [2]:138 89

Ar-Ruum [30]: 30 89

Al-Baqarah (2): 143 90



    
    
 
 

   
  
  
     

  
        
       

     


 
    
 

 
     
  
   
   
248

        


  
 


Ali Imran [3]: 18 90
 
 
           

           


Al-Nahl [16}: 90 91

Al-Nisa [4]: 54 91

Al-Baqarah [2]: 258 91

Al-Baqarah [2]: 207 92

Al-Baqarah [2]: 256 92, 93

Al-Nisa (4): 86 92
          

      


Al-Nuur [24]: 27 93

Al-Baqarah [2]: 286 93


249

     


      
Ar-Ra’d [13]: 11 96, 135

   


          

                 

    

Al-Anfal [8] : 53 96, 135

Al-Baqarah [2]:143 97

Al-Nisa [4]: 40 97

Al-Baqarah [2]:154 98

Al-Fatihah [1]: 1 99,

   


Al-Fatihah [1]: 6 99, 121

Al-Baqarah [2]: 44 102, 103

Al-An’am [6]:79 104


250

Al-Anbiya [21] : 56 104

Yusuf [12]: 53 105, 124

Al-Qiyamah [75]: 2 105, 124

Al-Fajar [89]: 27 105, 124

Asy-Syu’ara [26]:89 105

Ash-Shaffat [37]: 84 105

Al-Syams [91] : 9- 105


10

Al-Hijr [15] : 75 106

Al-Baqarah [2] : 73 106

Al-Baqarah [2] : 164 107, 108

Al-Baqarah [2] : 79 108


251

Al-Baqarah [2] : 242 110

Al-Baqarah [2] : 197 113

Ali Imran [3] : 7 113

Al-Nuur [24] : 35 114

Al-Nuur [24] : 40 114

Al-Baqarah [2]: 269 115

Ali Imran [3] : 190 118


252

Al-An’am [6] : 90 121

Ali Imran [3] : 14 122

Al-Nisa [4]: 115 123

Al-Baqarah [2] :38- 123


39

Al-Baqarah [2] : 21 126

Al-Baqarah [2] :30 126

A-Rahman [55] : 1-4 127

Al-Nisa [4]: 113 128


253

Al-Baqarah [2]: 189 129

Al-Nisa [4]: 84 129

Al-Baqarah [2]:151 130

Al-Baqarah [2]: 97- 134


98

Al-Baqarah [2]: 8-10 134

Al-Baqarah [2]: 118- 134


119
254

Al-Baqarah [2]:113- 134


120

Ali Imran [3]: 21-22 135


255

Fathir [35]:32 136

Al-Anbiya [21]: 92 137

Al-‘Araf [7]:181 137

Hud [11]: 8 138

[16]:120 138

              


Ali Imran [3]: 144 139

                

    
   
     

Al-Maidah [5]: 35 142

Al-Isra [17]: 57 142

   
      
Ali Imrân [3]: 21 143

     

 
      

Al-Baqarah [2]: 269 147

Ali Imran [3]: 164 148


256

Al-Baqarah [2]; 111 151

Yusuf [12]: 108 151

Al-Baqarah [2]: 232 154

Al-‘Ashr : [103]: 1-3 155

       


Al-Nisa [4]: 11 155


            
      

         


    

      


   
     
 

 
              

          


     
        


 
 
          

Ali Imran [3]: 105 170

Al-Nisa [4]: 48-49 171


257

Ali Imran [3]: 18-19 172

Al-Nisa [4]: 48-52 177

Al-Baqarah [2]: 43- 179


46
258

Al-Baqarah [2]: 44 181

Al-Baqarah [2]: 203 181

Al-Ahzab [33]: 41 181

Al-Baqarah [2]: 249 183

Al-Fathihah [1]: 5 183

Al-Maidah [5]: 2 183

Al-Baqarah [2]: 43 184

Al-Baqarah [2]: 232 186


259

Ali Imran [3]: 138- 186


139

Al-Baqarah [2]: 204- 187


206

Al-Baqarah [2]: 207 188

Al-Nisa [4]: 5-6 188

Al-Baqarah [2]:180- 190


182

Al-Hajj [22]: 41 194


260

Al-Baqarah [2]: 83 195

Ali Imran [3]: 111 204

Al-Baqarah [2]: 243- 205


244

Ali Imran [3]: 79 206

Al-Ahzab [33] : 45- 212


46
Al-Maidah [5]:67 212

Al-Baqarah [2] : 151 212


Lampiran 2: Daftar Sebagian Teks Data Penelitian

2.1 Urgensi Implimentasi Manthiq Sebagai Kerja Akal (Catatan kaki no. 2
Bab III):

(AL-Manar , jilid I, hlm 144-145


262

Lanjutan lampiran 2.1:

(AL-Manar , jilid I, hlm 145)

(AL-Manar, jilid I, hlm 244)

2.2 Subtansi Hakekat Dakwah Secara Taksonomis:


263

Lanjutan lampiran 2.2:

(AL-Manar, jilid IV, hlm 27-28)


264

Lanjutan lampiran 2.2:

(AL-Manar, jilid IV, hlm 27-28)

2.3 Subtansi Tiga Macan Mad’u Menurut Kualitas Ilmunnya (Catatan Kaki
no. 202 Bab III):
265

Lanjutan lampiran 2.3:

(AL-Manar, jilid IV, hlm 262-263)


2.3 Subtansi al - da’iyah fi nafsih (Catatan Kaki no. 19 Bab IV):

(AL-Manar, jilid I, hlm 184)


266

Lanjutan Lampiran 2.4:

(AL-Manar, jilid I, hlm 186)

2.5 Subtansi al - da’iyah fi nafsih ( catatan kaki no 20 Bab IV):

(AL-Manar, jilid V, hlm 148-149)


267

Lampiran 3:

Tabel ayat al-Quran yang memuat kata kerja akal dan al-Albab

No Bentuk Kata Surat, No. Surat Teks Ayat


dan Ayat
1 Al-Baqarah (2): 75

2 Al-Baqarah (2): 44

3 Al-Baqarah (2): 73

4 Al-Baqarah (2): 76

5 Al-Baqarah (2): 242

6 Ali Imran (3): 65

7 Ali Imran (3): 118


8 Al-Baqarah (2): 164
268

9 Al-Baqarah (2): 170

10 Al-Baqarah (2): 171

11 Al-Baqarah (2): 179

12 Al-Baqarah (2): 197

13 Al-Baqarah (2): 269

14 Ali Imran (3): 7


2
6
9

15 Ali Imran (3): 190


270

Lampiran 4

Gambar Bagan 1:
Tujuan Dakwah

Ideal
Sosial

Individual

Keterangan:

Ideal : Memperoleh ridha Allah SWT di


dunia dan akherat

Sosial : Menjadi Khair Ummah dan


ummah Wasatha
Individual :
Menjadi Pribadi Muslim
Paripurna
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Maret 1953 di Babakanraden Cariu


Bogor, sebagai anak ke sembilan dari dua belas bersaudara, putera pasangan H.
Abdullah (alm) dan Hj. Siti Zainab.
Tamat Madrasah Wajib Belajar (MWB) Babakanraden Cariu Bogor pada
tahun 1968, Madrasah Tsanawiyah Al-Baqiyatus-Shalihat Cibogo Bekasi tahun
1971, Sekolah Persiapan Institut Agama Islam (SP-IAIN) Sunan Gunung Djati
Bogor tahun 1974, Sarjana Muda Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati
Bandung tahun 1977, Sarjana Lengkap Jurusan Dakwah Ushuluddin IAIN Sunan
Gunung Djati Bandung tahun 1981, pada tahun 1993 mendapat kesempatan
mengikuti program S2 Bidang Kajian Utama Ilmu Komunikasi Program Studi
Ilmu-ilmu Sosial Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung selesai tahun 1998,
dan pada tahun 1997 diterima mengikuti Program Doktor Bebas Terkendali PPs
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan II hingga sekarang.
Berbarengan dengan jenjang pendidikan formal sekolah, ia mengikuti
pengajian di beberapa pesantren, yaitu pada tahun 1966-1968 di Pesantren Al-
Baqiyatus-Shalihat Cibogo Bekasi, tahun 1969-1974 diPesantren Al-Barkah
Bantarpete Bogor, dan tahun 1975-1979 di Pesantren Al-Jawami Sindangsari
Cileunyi Bandung.
Pengalaman pekerjaan, pada tahun 1979-1981 sebagai Penyuluh
Penerangan Agama Islam Kecamatan Ujungberung Kabupaten DT. II Bandung,
tahun 1982-1985 Sekretaris Jurusan Dakwah Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan
Gunung Djati Bandung, tahun 1986-1989 Sekretaris Fakultas Ushuluddin IAIN
Sunan Gunung Djati Bandung, tahun 1990-1992 Ketua Jurusan Tafsir-Hadits
Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, tahun 1993-1995
Pembantu Dekan III Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Gunung Djati Bandung,
tahun 1996-1999 sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Dakwah IAIN Sunan
Gunung Djati Bandung, tahun 1999-2007 sebagai Dekan Fakultas Dakwah
IAIN/UIN Sunan Gunung Djati Bandung, dan tahun 2008-sekarang sebagai ketua
272

LPM (Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat) UIN sunan Gunung Djati


Bandung.
Sejak tahun 1992 sampai sekarang sebagai tenaga pengajar dalam mata
kuliah Ilmu Dakwah, dan terakhir 1 April 1998 sebagai Lektor Kepala IV/c dalam
mata kuliah Ilmu Dakwah.
Karya tulis yang penulis hasilkan berupa buku/diktat antara lain:
1. Pengantar Ilmu Dakwah: Perspektif Alquran (Bandung: Fakultas
Ushuluddin, 1993);
2. Strategi Dakwah Nabi Muhammad SAW, terj. Karya Husain Muhammad
Yusuf, Sabîl al-Da’wah (Bandung: Fakultas Ushuluddin, 1993);
3. Tehnik Khithâbah: Perspektif Alquran (Bandung: Fakultas Dakwah,
1996);
4. Metode Analisis Isi: Suatu Pengantar (Bandung: Fakultas Dakwah, 1996);
5. Mantik: Kaidah Berpikir Islami (Bandung: Rosdakarya, 1996);
6. Perkembangan dan Pengembangan Ilmu Komunikasi (Bandung: Fakultas
Dakwah, 1996);
7. Matan Wilayah Kajian Ilmu Dakwah (Bandung: Fakultas Dakwah, 1998);
8. Dasar-dasar Bimbingan Islam (KP-Hadid, 1999);
9. Epistemologi Do’a (KP-Hadid, 2001);
10. Quantum Do’a (Bandung: al-Hikmah, 2006);
11. Fiqh Marîdh I (Bandung: Pemprov Jabar, 2003);
12. Fiqh Marîdh II (Bandung: Pemprov Jabar, 2003);
13. Metode Etnografi untuk Penelitian Dakwah (KP-Hadid, 1999);
14. Syarhil Quran tentang Kesalehan Sosial (Bandung: LPTQ Jabar, 2006);
15. Risalah Pohon Ilmu Dakwah (KP-Hadid, 2005);
16. Sembilan Pasal Pokok-pokok Filsafat Dakwah (KP-Hadid, 2005);
17. Kode Etik Kader Da’i Profesional (Bandung: KP-Hadid, 2004);
18. Dakwah Damai: Pengantar Dakwah Antarbudaya (Bandung: Rosdakarya,
2007).
19. Taxonomy Yes! Dichotomy, No! Epistimologi Ilmu Islam Menurut
Muhammad Abduh (Bandung: KP Hadid, 2006)
273

Karya tulis yang berupa hasil penelitian antara lain:


1. Kritik terhadap Filsafat Atheisme Berdasarkan Alquran (Risalah Sarjana
Muda, 1977);
2. Urgensi Praktikum Dakwah bagi Mahasiswa Jurusan Dakwah Fakultas
Ushuluddin: Suatu Evaluasi (Skripsi Sarjana Lengkap, 1981);
3. Tanggapan Imam Syafi’i terhadap Inkarussunnah sebagai Hujjah Hukum
Islam (Bandung: Fakultas Ushuluddin, 1994);
4. Relevansi antara Makna TIBMANRA dengan Substansi Pola Dasar
Pembangunan Provinsi DT. I Jawa Barat Memasuki PJP II (Bandung: PP.
IAIN, 1996);
5. Pemimpin Adat dan Kosmologi Waktu: Kajian tentang Kepemimpinan
Adat dalam Komunikasi Intrabudaya di Kampung Naga Tasikmalaya
Jawa Barat (Tesis Magister Sains, Unpad, 1998).

Pengalaman di bidang kegiatan kemasyarakatan, antara lain: 1993-1997


Ketua Biro Pemuda MDI Jabar, 1992-1997 Ketua DPD Angkatan Muda Satuan
Karya Ulama Indonesia (AMSI) Jawa Barat, 1994-1997 Komisi Organisasi MUI
Jawa Barat, 2004-sekarang Ketua Bidang Dakwah dan Syiar Islam MUI Kota
Bandung, 1998-sekarang anggota Dewan Pakar ICMI Orsat Bandung Timur,
1998-sekarang Ketua Umum Majelis KAHMI Kabupaten DT. II Bandung, 1998-
sekarang Anggota Dewan Penasihat Pengurus Pusat IKA-IAIN Sunan Gunung
Djati Bandung, 2003-2009 Ketua Umum MPN APDI (Majelis Pengurus Nasional
Asosiasi Profesi Dakwah Islam Indonesia) Periode Perintisan dan pada Kongres II
APDI tanggal 15-17 Mei 2009 di Surabaya diberi amanat sebagai ketua Dewan
Pakar APDI Nasional periode 2009-2013. 2001-sekarang ketua Bidang
Pembinaan dan Latihan LPTQ Jawa Barat. 2000-sekarang ketua Bidang Dakwah
Masjid Raya Profinsi Jawa Barat, 2005-sekarang anggota Forum Silaturahim
Dewan Kemakmuran Masjid ASEAN dan menjadi Dewan Hakim Nasional MSQ
pada MTQ Nasional di Palangkaraya dan di Banten (17-24 Juni 2008).
Pada tahun 1979 menikah dengan Hj. Mimin Mintarsih dan telah
dikaruniai lima anak: Indira Sabet Rahmawati, S.Ip, M.Ag (29 tahun), Alex
274

Muhammad Mustafa, S.Sos.I (27 tahun), Mela Mustika Amalia, S.Pd.I (24
tahun), Arif Syamsul Alam (22 tahun), dan Ida Ayu Nur’arafah (17 tahun),
dan kini bertempat tinggal di Jl. Permai VI/IL 99 Kelurahan Cipadung,
Kecamatan Cibiru, Kodya Bandung, telepon (022) 7809537.

Anda mungkin juga menyukai