Anda di halaman 1dari 88

MUHAMMAD ABDUH DAN PEMIKIRANNYA TENTANG

PENDIDIKAN ISLAM

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Pendidikan Islam (S.Pd.I) pada Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Makassar

FADIL BURHAN LAI


NIM: 105190152611

FAKULTAS AGAMA ISLAM


UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
1437H/2016 M
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan penuh kesadaran, penulis/peniliti yang bertanda tangan di

bawah ini, menyatakan bahwa skripsi ini benar adalah hasil karya penulis/

peneliti sendiri. Jika kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat,

tiruan, plagiat di buat atau dibantu secara langsung orang lain keseluruhan,

maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demI hukum.

Makassar, 02 Jumadil Awwal1437 H


11 Februari 2016 M

Peneliti

FADIL BURHAN LAI


KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬


Segala puji dan syukur hanya bagi Allah Swt. penguasa alam

semesta, yang telah menurunkan petunjuk untuk manusia sehingga manusia

dapat membedakan mana yang hak dan mana yang batil.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada utusan

Allah Swt. Nabi Muhammad saw. yang telah menghibahkan hidupnya di jalan

Allah swt. dan juga kepada orang-orang yang senantiasa berjuang di jalan-

Nya hingga akhir zaman.

Syukur alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul “Muhammad Abduh dan Pemikirannya tentang Pendidikan

Islam”, guna memenuhi salahsatu syarat memperoleh gelar sarjana

Pedidikan Islam pada jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama

Islam Universitas Muhammadiyah Makassar.

Selesainya skripsi ini tentunya tidak terlepas dari peran serta dari

berbagai pihak yang memberikan bimbingan dan bantuan kepada penulis.

Oleh karena itu dengan rasa hormat dan terima kasih penulis sampaikan

kepada:

1. Kedua orang tua penulis, Burhan Lai dan Suarni S yang selama ini

memberikan dorongan, motivasi, dan doanya selama menjalani

perkuliahan.
2. Bapak Dr. H. Irwan Akib. M.Pd. Rektor Universitas Muhammadiyah

Makassar yang telah bekerja keras sehingga kampus Universitas

Muhammadiyah Makassar menjadi kampus yang terkemuka di

Indonesia bagian timur.

3. Bapak Drs. H. Mawardi Pewangi, M. Pd. I. Dekan Fakultas Agama

Islam, yang senantiasa melakukan pengembangan Fakultas

sehingga Fakultas Agama Islam Menjadi Fakultas yang

terakreditasi Baik.

4. Ibu Amirah Mawardi, S.Ag., M.Si. Ketua Jurusan Pendidikan

Agama Islam, yang senantiasa memberikan pelayanan yang baik

bagi mahasiswa Jurusan Pendidikan Agama Islam termasuk

penulis.

5. Bapak Dr. H. Abbas Baco Miro, Lc., M.A. sebagai Dosen

Pembimbing I dan bapak Dahlan Lama Bawa, S.Ag., M.Ag.

sebagai Pembimbing II, dalam penyelesaian Skripsi ini, yang telah

menyediakan waktunya mulai dari proses pengajuan judul sampai

penyelesaian skripsi ini.

6. Bapak/Ibu Dosen dan Staf Fakultas Agama Islam Universitas

Muhammadiyah Makassar, yang senantiasa memberikan pelajaran

ilmu selama perkuliahan berlangsung, sehingga penulis dapat

menyelesaikan study dengan baik.


7. Teman-teman seperjuangan di Pendidikan Ulama Tarjih

Universitas Muhammadiyah Makassar yang senantiasa memberi

dukungan dan inspirasi pada penulis, serta semua pihak yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu.

Teriring do’a semoga jasa-jasa dan kebaikan mereka mendapatkan

imbalan yang lebih baik dari Allah swt. Amin.

Makassar, 02 Jumadil Awwal 1437 H


11 Februari 2016 M

Penulis

FADIL BURHAN LAI


NIM: 105190152611
ABSTRAK
FADIL BURHAN LAI, 105190152611 “Muhammad Abduh dan
Pemikirannya Tentang Pendidikan Islam” (Dibimbing oleh H. Abbas Baco
Miro dan Dahlan Lama Bawa)
Berawal dari kondisi umat Islam yang sedang mengalami kemunduran
utamanya di bidang pendidikan, kemudian Barat makin menunjukkan
kemajuannya sebagai pusat peradaban. Sejak pendudukan Napoleon di
Mesir, maka muncul pemikir-pemikir Islam yang tersadar bahwa keadaan
umat Islam saat itu sangat terbelakang. Mereka melakukan suatu
gerakan yang menghasilkan gagasan untuk membangkitkan umat Islam dari
keterpurukan. Salah satu tokoh Islam yang banyak memberikan ide-ide dan
gagasan-gagasannya pada masa itu adalah Muhammad Abduh.
Dari latar belakang di atas, penelitian ini membahas mengenai,
Muhammad Abduh dan pemikirannya tentang pendidikan Islam, bagaimana
pemikiran Muhammad Abduh mengenai pendidikan Islam, apa saja
pembaharuan Muhammad Abduh di dalam pendidikan Islam dan bagaimana
pengaruh pemikiran Muhammad Abduh tentang pendidikan Islam terhadap
dunia Islam.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan bentuk
penelitian kajian pustaka (library research) dengan pendekatan kualitatif yaitu
pengungkapan data melalui deskripsi (pemaparan), sehingga dalam
pengelolaannya mengadakan dan mengemukakan sifat data yang diperoleh
kemudian dianalisis lebih lanjut guna mendapatkan kesimpulan.
Adapun hasil penelitian yang penulis temukan di dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut; Pertama, Muhammad Abduh adalah sosok
pembaharu Islam yang hidup pada abad 19-20, yang mengusung rasionalitas
dalam beragama. Muhammad Abduh berusaha menghilangkan kejumudan di
dalam pendidikan. Tujuan pendidikan menurut Muhammad Abduh yaitu
mendidik akal dan jiwa serta spritual sehingga seseorang mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kedua, Muhammad Abduh ingin umat Islam hidup berwibawa dengan
akal yang cerdas dan berprilaku baik yang sesuai dengan ajaran agama
Islam, dengan menggagas kurikulum berbasis sains dan falsafah yang
banyak menggunakan akal dan tanpa meninggalkan pelajaran-pelajaran
yang bersifat agamis.
Dan ketiga, Pemikiran pendidikan Muhammad Abduh pengaruhnya
sampai ke indonesia, salah satunya terhadap organisasi Muhammadiyah
yang didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan dengan mendirikan sekolah-sekolah
Muhammadiyah yang memasukkan kurikulum-kurikulum modern seperti ide
pembaharu yang dilakukan oleh Muhammad Abduh.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
PESETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... ii
PENGESAHAN SKRIPSI .............................................................................. iii
BERITA ACARA MUNAQASYAH ................................................................ iv
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ........................................................... v
KATA PENGANTAR .....................................................................................vi
ABSTRAK ......................................................................................................ix
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ........................................…..................…....….……1
B. Rumusan Masalah .................................................…........…….…...6
C. Tujuan Penelitian ......................................….…..........................…..6
D. Manfaat Penelitian ................................................…….....................7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 8


A. Muhammad Abduh .......................................................................... 8
1. Biografi Muhammad Abduh ....................................................... 8
2. Latar Belakang Pemikiran Muhammad Abduh ........................ 18
3. Corak Pemikiran Muhammad Abduh ...................................... 19
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemikiran Muhammad
Abduh ..................................................................................... 23
a. Faktor Sosial .................................................................... 23
b. Faktor Politik ..................................................................... 24
c. Faktor Kebudayaan .......................................................... 25
5. Peran Pemikiran Muhammad Abduh terhadap Dunia Islam ... 26
B. Pendidikan Islam ........................................................................... 29
1. Pengertian Pendidikan Islam .................................................. 29
2. Tujuan Pendidikan Islam ........................................................ 35
3. Aspek-Aspek Pendidikan Islam ............................................... 40

BAB III METODE PENELITIAN................................................................. 44


A. Jenis Penelitian ................................................……..................…. 44
B. Variable Penelitian .............................…........................................ 44
C. Teknik Pengumpulan Data ............………………………........……. 45
D. Teknik Pengelolaan Data .............................................................. 46
E. Teknik Analisis Data ...................................................................... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN ................................................................... 47


A. Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh ........................... 47
1. Metode Pembelajaran ............................................................... 47
2. Tujuan Pendidikan .................................................................... 47
3. Modernisasi Pendidikan ............................................................ 48
4. Kurikulum Pendidikan ................................................................ 50
5. Pendidik dan Peserta didik ........................................................ 54
6. Wanita Memiliki Hak untuk Mendapatkan Pendidikan .............. 56
B. Pembaruan Muhammad Abduh dalam Pendidikan Islam di Mesir
dan di Beirut (Syiria) ...................................................................... 57
C. Pengaruh Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh
di Indonesia ................................................................................... 63

BAB V PENUTUP ................................................................................... 71


A. Kesimpulan .................................................................................... 71
B. Saran ............................................................................................. 73

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 74


RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ 77
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Individu manusia lahir tanpa memiliki pengetahuan apa pun, tetapi

ia telah dilengkapi dengan fitrah yang memungkinkannya untuk

menguasai berbagai pengetahuan dan peradaban. Dengan

memfungsikan fitrah itulah ia belajar dari lingkungan dan masyarakat

orang dewasa yang mendirikan institusi pendidikan.

Kondisi awal individu dan proses pendidikannya tersebut

diisyaratkan oleh Allah di dalam firman-Nya Q.S An-Nahl 16 :78 sebagai

berikut:

          

     

Terjemahnya:
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan
tidak mengetahui sesuatu pun, dan dia memberimu pendengaran,
penglihatan, dan hati nurani, agar kamu bersyukur.” (Kementerian
Agama, 2011:275)

Begitupun dalam hadits Nabi Muhammad Saw, dinyatakan

mengenai kondisi awal manusia yang tidak mengenal apapun sehingga

orang tuanya pulalah yang membentuknya, haditsnya sebagai berikut:


ََ‫ ُك ُّل َم ٌْلُ ٌْ ٍد ي ٌُْلَ ُذ َعل‬: ‫صلََّ هللاُ َعلَ ْي ِو ًَ َسلَّ َم‬
َ ِ‫ قَا َل َرس ٌُْ ُل هللا‬: ‫ي هللاُ َع ْنوُ قَا َل‬ ِ ‫َع ْن اَ ِب َْ ىُ َر ْي َرةَ َر‬
َ ‫ض‬
) ‫ص َر ِن ِو اَ ًْ يُ َمجِّ َسنِ ِو ( َر ًَاهُ ْالبُخَ ِارٍ ًَ ُم ْسلِ ْم‬ ْ ِ‫ا ْلف‬
ِّ َ‫ط َر ِة فَاَبَ ٌَاهُ يُيَ ٌِّ َدانِ ِو اَ ًْ يُن‬
Artinya :
Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda : “Setiap
anak dilahirkan dalam keadaan suci, ayah dan ibunyalah yang
menjadikan Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
(Muhammad Fuad Abdul Baqi, 2000:402)

Masyarakat primitive pun memiliki kondisi yang serupa dengan

individu manusia yang baru lahir. Mereka pada mulanya tidak

berperadaban. Namun, melalui proses belajar dengan mengikuti pola-pola

dan norma-norma sosial, mengikatkan diri pada ideologi dan system nilai,

serta terlibat dalam aktivitas saling menukar pengetahuan dan

pengalaman, mereka kemudian menjadi masyarakat yang berperadaban

dan beradab. Olehnya itu pendidikan merupakan persoalan penting bagi

semua ummat. Pendidikan menjadi tumpuan harapan untuk

mengembangkan individu dan masyarakat. (Heri Noer Aly dan Munzier,

2008:1)

Dalam agama Islam, pendidikan adalah pemberi corak hitam

putihnya perjalanan hidup seseorang. Oleh karena itu, ajaran Islam

menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu kegiatan yang

wajib hukumnya bagi pria dan wanita, dan berlangsung seumur

hidup – semenjak dari buaian hingga ajal datang (Al-Hadis) – life

long education.(Zuhairini, 2009:1).


Pendidikan Islam telah berlangsung kurang lebih 14 abad,

yakni sejak Nabi Muhammad Saw diutus sebagai Rasul. Pada awalnya

pendidikan berlangsung secara sederhana, dengan masjid sebagai

pusat proses pembelajaran, al-Qur'an dan hadist sebagai kurikulum

utama dan Rasulullah sendiri berperan sebagai guru dalam proses

pendidikan tersebut.

Setelah Rasulullah wafat, Islam terus berkembang ke luar

Jazirah Arab. Sejalan dengan itu pendidikan Islam terus

berkembang. Kurikulum pendidikan, misalnya, yang sebelumnya

terbatas pada al-Quran dan hadist berkembang dengan dimasukkannya

ilmu-ilmu baru yang berasal dari luar Jazirah Arab yang telah

berhubungan dengan Islam secara baik dalam bentuk peperangan

maupun dalam bentuk hubungan damai.

Sejarah menunjukkan bahwa perkembangan kegiatan

kependidikan pada masa klasik Islam telah membawa Islam sebagai

jembatan pengembangan keilmuan dari keilmuan klasik ke keilmuan

modern. Akan tetapi generasi umat Islam seterusnya tidak mewarisi

semangat ilmiah yang dimiliki para pendahulunya. Akibatnya prestasi

yang telah diraih berpindah tangan ke Barat, karena ternyata mereka

mau mempelajari dan meniru tradisi keilmuan yang dimiliki oleh umat

Islam masa klasik dan mampu mengembangkannya secara lanjut.


Kemudian, berawal dari kemunduran yang dialami umat Islam masa

itu dan Barat makin menunjukkan eksistensinya sebagai pusat

peradaban, utamanya sejak pendudukan Napoleon di Mesir pada tahun

1798, maka muncullah pemikir-pemikir Islam yang tersadar bahwa

keadaan umat Islam saat itu sangat terbelakang. Maka mereka

melakukan suatu gerakan yang menghasilkan gagasan untuk

membangkitkan umat Islam dari keterpurukan itu. Banyak sekali tokoh-

tokoh umat Islam yang memberikan ide-ide dan gagasan-gagasannya

pada masa itu, di antaranya adalah Muhammad Abduh.

Muhammad Abduh merupakan tokoh pembaharu yang tidak asing

lagi, dunia Islam dan Barat mengakuinya, bahkan pandangannya sering

dijadikan rujukan dalam pembahasan ke-Islaman. Ia dilahirkan dalam

situasi, dimana dunia Barat gencar-gencarnya melakukan kegiatan

ekspansi (memperluas) ke daerah-daerah Islam, termasuk Mesir. Pada

masa Muhammad Abduh itu, ada dua golongan ekstrim:

mempertahankan tradisi Arab-Islam; dan mengadakan pembaharuan

yang murni merujuk pada Barat, sehingga nyaris melupakan nilai-nilai

timur dan Islam.

Muhammad Abduh juga termasuk salah satu pembaharu agama

dan sosial di Mesir yang hidup pada pertengahan abad ke 19 dan awal

abad ke 20 yang pengaruhnya sangat besar di dunia Islam. Muhammad


Abduh penganjur yang sukses dalam membuka pintu ijtihad untuk

menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman modern.

Muhammad Abduh juga terkenal di dunia Islam dengan

pembaharuannya di bidang keagamaan, dialah yang menyerukan umat

Islam untuk kembali kepada Al Quran dan As-Sunnah as Sahihah. Ia juga

terkenal dengan pembaharuannya di bidang pergerakan (politik), dimana

Ia bersama Jamaludin al-Afgani menerbitkan majalah al-Urwatul Wutsqa

di Paris yang makalah-makalahnya menghembuskan semangat

nasionalisme pada rakyat Mesir dan dunia Islam pada umumnya.

Muhammad Abduh juga tidak hanya dikenal sebagai pembaharu

dibidang keagamaan dan pergerakan (politik), Ia juga sebagai

pembaharu di bidang pendidikan Islam, dimana Ia pernah menjabat

anggota pimpinan tertinggi di Universitas Al-Azhar (conseil superieur)

(Musthafa & Ahmad,2009:48) di Kairo Mesir. Pada masa menjabat inilah

Ia mengadakan pembaharuan-pembaharuan di Universitas tersebut,

yang pengaruhnya sangat luas di dunia Islam.

Akhirnya, pemikiran Muhammad Abduh tentang pendidikan dinilai

sebagai awal dari kebangkiatan umat Islam di awal abad ke 20.

Pemikiran Muhammad Abduh yang disebarluaskan melalui tulisannya di

majalah al-manar dan al-urwatul wutsqa kelak menjadi rujukan para

tokoh pembaru dalam dunia Islam, hingga di berbagai negara Islam


muncul gagasan mendirikan sekolah-sekolah dengan menggunakan

kurikulum seperti yang dirintis Muhamamd Abduh. Bahkan di Indonesia,

K.H Ahmad Dahlan, dengan gagasan-gagasan dan pemikirannya di

bidang pendidikan juga ternyata banyak mendapat pengaruh dari

pemikiran Muhammad Abduh.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah seperti telah dijelaskan diatas,

maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah, yaitu:

1. Bagaimana pemikiran Muhammad Abduh tentang pendidikan Islam?

2. Bagaimana pembaruan Muhammad Abduh dalam pendidikan Islam di

Mesir dan Syiria ?

3. Bagaimana pengaruh pemikiran Muhammad Abduh tentang

pendidikan Islam di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin di capai dari penelitian ini adalah:

1. Mengungkapkan dan menggambarkan pemikiran Muhammad Abduh

tentang pendidikan Islam.

2. Mengungkapkan dan menggambarkan pembaruan Muhammad Abduh

di dalam pendidikan Islam.


3. Memberikan gambaran pengaruh pemikiran Muhammad Abduh

mengenai pendidikan Islam di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah :

a) Manfaat Teoritis

1) Penelitian ini dapat menambah dan memperkaya khazanah Islam

mengenai pendidikan, khususnya mengenai Muhammad Abduh dan

pemikirannya tentang Pendidikan Islam.

2) Dari segi kepustakaan diharapkan dapat menjadi salah satu karya

ilmiah yang dapat menambah koleksi pustaka Islam yang

bermanfaat.

b) Manfaat Praktis

1) Diharapkan dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam

pendididkan Islam utamanya mengenai kajian tokoh Pendidikan

Islam.

2) Penelitian ini dapat menjadi inspirasi dan motivasi pada peneltian

berikutnya.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Muhammad Abduh

1. Biografi Muhammad Abduh

a. Riwayat Hidup Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir pada tahun 1849 M di desa Mahallat Nasr,

kabupaten al-Buhairah Mesir dan wafat tahun 1905 M. Nama panjangnya

adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. (M.Quraish Shihab,

2008:11) Ayahnya bernama Abduh bin Hasan Kharallah, mempunyai

silsilah keturunan dengan bangsa Turki dan ibunya mempunyai silsilah

keturunan dengan orang besar Islam, Umar bin Khaththab, khalifah yang

kedua.(Muhammad Abduh,1992:vii) Muhammad Abduh mengawali

pendidikan dalam lingkungan petani di Pedesaan. Di bawah asuhan ibu-

bapak yang tidak ada hubungannya dengan pendidikan sekolah, namun

memiliki jiwa religius yang kuat.

b. Pendidikannya

Muhammad Abduh mengawali pendidikannya belajar pelajaran

pada umumnya, seperti membaca, menulis, dan menghafal al-Qur’an

pada ayahnya di rumah. Berkat otaknya yang cemerlang, hanya dalam

jangka waktu dua tahun ia mampu menghafal al-Qur’an seluruhnya,

ketika itu ia berusia 12 tahun.(Harun Nasution,1987:11) Kemudian


diusianya yang ke 14 tahun, ia dikirim ayahnya ke Thanta untuk belajar

di Masjid al-Ahmadi (al-Jami al-Ahmadi). Di sini, di samping melancarkan

hafalan al-Qurannya, ia juga belajar bahasa Arab dan fikih. Setelah

belajar selama satu setengah tahun, metode hafalan yang dipakai

sebagai sistem pengajaran di tempat ini membuat Abduh yang sedari

kecil sudah terlihat nalar kritisnya menjadi kecewa. Dalam riwayatnya ia

menulis, “aku menghabiskan satu setengah tahun tanpa mengerti

sesuatu apa pun”, karena metode dan sistem belajar yang buruk, guru-

guru mengajar dengan menghafal istilah-istilah tentang nahwu dan fikih

yang tidak dimengerti. Guru-guru bahkan tidak merasa penting apa kita

mengerti atau tidak mengerti arti istilah-istilah tersebut”. Dengan rasa

kecewa Abduh pun kembali ke Mahallat Nasr.

Kemudian ayahnya tetap memaksakan agar ia meneruskan belajar

di Thanta, dan akhirnya ia terpaksa pergi, namun bukan ke Thanta

melainkan ke rumah paman ayahnya yang bernama Syeikh Darwisy

Khadr untuk bersembunyi. Darwisy kemudian mendidik Abduh untuk

belajar dan mencintai ilmu dan buku. Darwisy juga memberikan imbauan

dan dorongan serta nasihat kepada Abduh agar kembali bersamangat

dan bergairah dalam menuntut ilmu. Didikan Darwisy ternyata berhasil

dan akhirnya Abduh mau meneruskan studinya di Thanta.(M.Quraish

Shihab, 2008:21-22)
Dari Thanta, Muhammad Abduh menuju ke Kairo untuk belajar di Al-

Azhar, yaitu pada bulan Februari 1866 M. Namun Sistem pengajaran

ketika itu tidak berkenan di hatinya, karena menurut Abduh: ”kepada para

mahasiswa hanya dilontarkan pendapat-pendapat para ulama terdahulu

tanpa mengantarkan mereka pada usaha penelitian, perbandingan, dan

penarjihan.” Namun, di perguruan ini dia sempat berkenalan dengan

sekian banyak dosen yang di kaguminya, antara lain:

1. Syaikh Hasan ath-Thawil, yang mengajarkan kitab-kitab filsafat

karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles dan lain

sebagainya, padahal kitab-kitab tersebut tidak di ajarkan di al-Azhar

pada waktu itu.

2. Muhammad al-Basyumi, seorang yang banyak mencurahkan

perhatian dalam bidang sastra dan bahasa, bukan melalui

pengajaran tata bahasa, melainkan melalui kehalusan rasa dan

kemampuan mempraktikkannya. (M. Quraish Shihab, 2008:8-9)

c. Berguru dengan Jamaluddin al-Afghani

Pada tahun 1871 M adalah awal pertemuan dan interaksi intelektual

Abduh dengan salah satu pembaharu Islam, yaitu seorang alim besar

bernama Said Jamaluddin al-Afghani yang sudah terkenal dalam dunia

Islam sebagai Mujahid (pejuang), Mujaddid (pembaharu/reformer) dan

ulama yang sangat alim, yang pada saat itu datang ke Mesir. Muhammad
Abduh bertemu dengan al-Afghani untuk pertama kalinya, ketika Abduh

datang ke rumahnya bersama-sama dengan Hasan at-Tawil, di mana

dalam pertemuan itu mereka berdiskusi tentang ilmu tasawuf dan tafsir,

ketika itu Muhammad Abduh masih mahasiswa al-Azhar (Muhammad

Abduh,1992:vii)

Muhammad Abduh dibimbing oleh al-Afghani dengan berbagai ilmu

pengetahuan, walaupun sebelumnya telah didapatkan dari luar al-Azhar,

namun menancapkan kesan dan pandangan berbeda bagi Abduh,

karena metode yang dipakai al-Afghani adalah studi kritis seperti

berdiskusi dan yang lainnya, metode pengajaran yang diterapkan al-

Afghani membuat Abduh tertarik dan termotivasi untuk tetap kritis, al-

Afghani juga memberikan penjelasan yang luas, mendalam dan

mengagumkan pada setiap kajiannya. Dalam tatanan dunia ilmiah dan

wawasan pengetahuan umum, al-Afghani mungkin bisa dikatakan yang

paling berjasa dalam hidup Abduh dan mempengaruhinya dalam banyak

hal, tidak hanya pengetahuan teoritis, al-Afghani juga mengajarkan

Abduh pengetahuan praktis, politik, berpidato, menulis artikel, dan

sebagainya. Kecakapan yang membawanya tampil di depan publik dan

jeli melihat situasi sosial politik di negerinya. Sejak itulah abduh tertarik

kepada al-Afghani oleh ilmunya yang dalam dan cara berfikirnya yang

modern, sehingga akhirnya Abduh benar-benar dan selalu di


sampingnya. Selain Abduh, banyak pula mahasiswa-mahasiswa al-Azhar

yang ditarik Abduh untuk ikut datang kepada al-Afghani untuk

belajar.(Muhammad Abduh, 1992:viii)

Mereka di samping diskusi-diskusi ilmu-ilmu agama, juga belajar

pula pengetahuan-pengetahuan modern, filsafat, sejarah, hukum, ke-tata-

negaraan dan lain-lain. Pelajaran yang diberikan kepada mereka oleh al-

Afghani yaitu semangat berbakti kepada masyarakat dan berjihad

memutus rantai-rantai kekolotan dan cara berfikir yang fanatik serta

merombaknya dengan cara berfikir yang lebih maju. Abduh telah memiliki

cara berfikir yang lebih maju, karena telah banyak membaca buku-buku

filsafat dan banyak mempelajari perkembangan jalan berfikir kaum

Rasionalis Islam (Mu’tazilah), maka para guru al-Azhar pernah

menuduhnya telah meninggalkan mazhab Asy’ari. Terhadap tuduhan itu

Abduh menjawab; “sudah jelas saya telah meninggalkan taklid Asy’ari,

maka kenapa saya harus bertaklid pula kepada Mu’tazilah? Saya akan

meninggalkan taklid kepada siapapun juga, dan hanya berpegang

kepada dalil yang dikemukakan”.(Muhammad Abduh, 1992:viii)

Jadi menurut penulis melalui gurunya inilah Muhammad Abduh

banyak dipengaruhi dari segi pemikiran-pemikirannya kelak. Muhammad

Abduh Akhirnya menammatkan pendidikan tingginya di Universitas Al-

Azhar dengan mencapai tingkat tertinggi di Al-Azhar pada tahun 1877 M


(Usia 28 tahun) dengan mandapat Ijazah Amaliyyah (sekarang L.C.).

Dalam perkembangannya lebih jauh Muhammad Abduh di kenal

sebagai seorang tokoh ilmu tafsir, hukum Islam, bahasa Arab dan

kesusteraan, logika, ahli ilmu kalam, filsafat, dan soal-soal

kemasyarakatan, seorang pembela Islam yang gigih, seorang wartawan

yang tajam penanya, seorang hakim yang suatu jabatan keagamaan

yang tinggi di mesir.(A.Hanafi,1967:149)

d. Menjadi Dosen Darul Ulum dan Al-Azhar

Setelah Abduh menamatkan kuliahnya, atas nama usaha Perdana

Menteri Mesir Riadl Pasya, ia diangkat menjadi dosen pada Universitas

“Darul Ulum”, di samping itu pula ia menjadi dosen di al-Azhar. Di saat

memangku jabatannya, ia terus mengadakan perubahan-perubahan yang

radikal sesuai dengan cita-citanya, yaitu memasukan udara segar ke

dalam perguruan-perguruan tinggi Islam itu, dengan cara menghidupkan

Islam dengan metode-metode baru yang sesuai dengan kemajuan

zaman, memperkembangkan kesusastraan Arab, sehingga menjadi

bahasa yang hidup dan kaya-raya, serta melenyapkan cara-cara lama

yang kolot dan fanatik.(Muhammad Abduh, 1992:viii)

e. Dibuang ke Beirut (Syria)

Pada tahun 1882 terjadi di Mesir suatu pemberontakan, Abduh

dituduh terlibat di dalamnya yang kemudian diusir. Pemberontakan itu di


awali oleh suatu gerakan yang dipimpin oleh Arabia Pasya, di mana

Abduh dipilih sebagai penasihatnya. Setelah pemberontakan itu dapat

dipadamkan, maka Abduh dibuang ke Syiria (Beirut). Di sana ia

mendapat kesempatan mengajar pada Perguruan Tinggi Sulthaniyah

selama kurang lebih satu tahun. Kemudian pada permulaan tahun 1884

ia pergi ke Paris atas panggilan al-Afghani yang waktu itu berada di

Paris.( Muhammad Abduh, 1992:ix)

f. Gerakan Al-Urwatul Wutsqa

Bersama-sama dengan al-Afghani, disusunlah sebuah gerakan

yang bernama “al-Urwatul Wutsqa”, di Paris, yakni gerakan kesadaran

umat Islam sedunia. Untuk mencapai cita-cita gerakan ini diterbitkannya

sebuah majalah dengan nama yang sama pula dengan gerakan itu yaitu

majalah “al-Urwatul Wutsqa”. Dengan perantara majalah itulah

ditiupkannya suara keinsyafan ke seluruh dunia Islam, supaya mereka

bangkit dari tidurnya, melepaskan cara berfikir fanatik dan kolot dan

bersatu membangun kebudayaan Islam di dunia. Suara itu lantang sekali

terdengar yang kemudian memperlihatkan pengaruhnya dikalangan umat

Islam sehingga dalam waktu singkat, kaum imperialis (penjajahan)

menjadi gempar dan cemas karenanya. Akhirnya Inggris melarang

majalah itu masuk ke Mesir dan India. Kemudian pada tahun 1884,

setelah majalah itu terbit baru 18 halaman, pemerintah Prancis


melarangnya terbit dan beredar. Karena mendapat tekanan dari pihak

Barat, Jamaluddin dan Abduh meninggalkan Paris. (Muhammad

Abduh,1992:x)

g. Kembali ke Beirut

Setelah meninggalkan Prancis Muhammad Abduh kemudian

menuju ke Bairut. Di kota Beirut inilah Muhammad Abduh memulai

babakan perjuangan baru, kalau semula Ia aktif di bidang Politik,

mengikuti pola perjuangan guru besarnya al-Afghany maka mulai dari

kota Beirut ini ia mengaktifkan diri dalam bidang sosial pendidikan. Ia di

terima sebagai guru di Madrasah Sultaniyah. Di antara murid-muridnya di

Madrasah tersebut tercatat nama Amir Syakib Arslan dan Rasyid Ridla.

Kedua Murid Abduh ini kelak tercatat sebagai siswa berotak cemerlang

dan mempunyai bakat menulis. Kelak dari Sakib Arslan tokoh in lahirlah

buah karya tulisnya yang terkenal berjudul “ْ‫ن‬


ْ ‫ه‬
ُ ‫م غَ ْي ُر‬
َْ ‫م ْونَْ َْو ت َ َق َّد‬
ُ ِ‫سل‬
ْ ‫م‬ َّ َ‫تَأ‬
ُ ‫خرَْ ا ْل‬

ْ‫ما َذ‬
َ ِ‫ ”ل‬atau “mengapa orang Islam menjadi mundur sementara orang lain

maju? Karya yang bagus ini hakekatnya adalah hasil diskusi dengan

Muhammad Abduh maupun Jamaluddin al-Afghany. Lewat analisis yang

cukup teliti Amir menyimpulkan bahwa sebab musabab orang Barat

menjadi maju karena meninggalkan ajaran agamanya, sedangkan umat

Islam menjadi mundur karena meninggalkan ajaran agamanya. Adapun

mata kuliah yang disampaikan Muhammad Abduh di Madrasah


Sultaniyah antara lain adalah mata kuliah tauhid. Kelak di kemudian hari

dari kumpulan kuliah-kuliahnya di sekitar masalah tauhid ini dikumpulkan

menjadi sebuah buku yang berjudul “Risalah Tauhid: sebuah buku yang

cukup terkenal di dunia Islam sampai hari ini. (Musthafa Kamal Pasha

dan Ahmad Adaby Darban, 2009:47)

h. Menjadi Mufti Mesir

Pada tahun 1889 Muhammad Abduh kembali ke Mesir. Jabatan

yang pertama-tama diberikan oleh Pemerintah kepadanya adalah jabatan

hakim, setelah menekuni jabatan ini sekitar 2 tahun, ia diberi jabatan

penting oleh pemerintah Mesir sebagai “Mufti”, yakni suatu jabatan yang

paling tinggi dipandang oleh kaum Muslimin. Berbeda dengan Mufti-mufti

sebelumnya, Abduh tidak mau membatasi dirinya sebagai alat penjawab

pertanyaan-pertanyaan pemerintah saja melainkan ia memperluas tugas

jabatan itu untuk kepentingan kaum Muslimin. Di samping itu ia pun

diangkat sebagai anggota Majelis Perwakilan. Dalam badan ini Abduh

banyak memberikan jasa-jasanya dan karena itu pula ia sering ditunjuk

sebagai ketua penghubung dengan pemerintah. Abduh pernah juga

diserahi jabatan sebagai Hakim Mahkamah dan dalam tugas ini ia dikenal

sebagai seorang Hakim yang adil. (Muhammad Abduh,1992:20)

Demikian jabatan tersebut dijabatnya sampai beliau meninggal

dunia akibat menderita kangker hati. Abduh meningal dunia di Iskandaria


tanggal 11 Juli 1905 dan jenazahnya dimakamkan dikawasan Qurafat al-

Mujawirin, dengan meniggalkan empat orang putri. (Harun

Nasution,1987:27)

i. Karya-Karya Muhammad Abduh

Sebenarnya Abduh tidak terlalu tertarik menerangkan pemikiran-

pemikirannya dalam buku. Abduh lebih memilih metode pidato dalam

menyampaikan ide dan pandangannya, menurutnya, pemikiran yang

disampaikan lewat ucapan lebih menyentuh hati sanubari pendengar,

ketimbang menerangkan dalam bentuk tulisan. Hal tersebut dapat

dimaklumi karena waktu yang ia miliki habis terpakai untuk mengajar

ketimbang untuk menulis.

Adapun beberapa karya-karya dari Muhammad Abduh seperti :

1. Risalah Al-Aridat tahun 1873 M

2. Hasyiah-Syarah Al-Jalal Ad-Dawwani lil-Aqa’id Al-Adhudhiyah tahun


1875 M. Karya ini ditulis Muhammad Abduh ketika berumur 26
tahun. Isinya tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi) dan
tasawuf. Serta berisikan kritikan pendapat-pendapat yang salah.

3. Risalah At-Tauhid, karya ini berisikan tentang bidang teologi.

4. Syarah Nahjul-Balaghah, karya ini berisikan komentar menyangkut


kumpulan pidato dan upacara Imam Ali bin Abi Thalib.

5. Menerjemahkan kitab karangan Jamaluddin Al-Afghani yaitu Ar-


Raddu Ala Al-Dahriyyin dari bahasa Persia. Karya ini berisikan
bantahan terhadap orang yang tidak memercayai wujud Tuhan.

6. Syarah Maqamat Badi Al-Zaman Al-Hamazani, karya ini


berisikan tentang bahasa dan sastra arab.

7. Tafsir Al-Manar, karya ini berorientasi pada sastra-budaya dan


kemasyarakatan. (M.Quraish Shihab, 2008:9-11)

8. Tafsir Juz Amma (1904), al-Maktabaah al-Amiriyya, Kairo. (Abd.


Assegaf, 2013:156)
Sebenarnya karya Abduh cukup sedikit untuk ukuran pemikir yang

cukup berpengaruh dalam dunia intelektual keIslaman. Meskipun

demikian, ide-ide pembaharuanya baik dalam bidang syariat, aqidah

maupun pendidikan begitu berpengaruh di dunia Islam. Ide-ide Abduh

menyebar ke dunia Islam melalui karya-karya Abduh sendiri maupun

melalui murid dan pengikutnya.

2. Latar Belakang Pemikiran Muhammad Abduh

Pemikiran Muhammad Abduh, khususnya dibidang pendidikan

tampaknya muncul di latar belakangi oleh faktor situasi, yaitu situasi

sosial keagamaan, situasi pendidikan pada saat itu terutama yang

dialaminya sendiri, dan juga situasi politik.

Faktor sosial, berupa sikap hidup yang dibentuk keluarga dan

gurunya, terutama Syekh Darwisy dan Sayyid Jamaluddin al-Afghani,

disamping itu lingkungan sekolah di Tanta Mesir tempat ia menemukan

system pendidikan yang tidak efektif, serta pandangan agama yang statis

dan pikiran-pikiran yang fatalis (menyerah kepada takdir Tuhan). Faktor

kebudayaan yang berupa ilmu pengetahuan yang diperolehnya selama


belajar di sekolah-sekolah formal, dari Jamaluddin al-Afghani, serta

pengalaman yang timbul dari Barat.

Faktor politik yang bersumber dari situasi politik di masanya, sejak

ia hidup dalam lingkungan keluarganya di Mahallad Nasr. Dari kezaliman

yang dilakukan oleh para pegawai di masa pemerintahan Muhammad Ali

sampai pada gejala-gejala politik di Mesir disebabkan oleh system

pemerintahan yang absolut, politik realisme dan campur tangan asing di

negara Mesir. (M.Sugeng Sholehuddin, 2010:121-123)

Sehingga menurut penulis yang melatar belakangi pemikira-

pemikiran Muhammad Abduh adalah dari situasi sosial dan politik pada

waktu itu, baik ketika di Mesir, Syiria, dan Prancis.

3. Corak Pemikiran Muhammad Abduh

a. Modernisme

Sebagaimana telah disinggung pada latar belakang pemikiran

Muhammad Abduh, bahwa semenjak perjumpaannya dengan Al-Afghani,

Abduh berusaha mengadakan penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan

zaman, seperti penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan

dan teknologi. Gagasan penyesuaian inilah yang kemudian disebut

dengan modernisasi. Sumber dari gagasan modernisasi Abduh tersebut

bersumber dari penentangannya terhadap taqlid (Abd. Rahman Assegaf,

2013:166). Menurut Muhammad Abduh, al-Quran memerintahkan kepada


umatnya untuk menggunakan akal sehat mereka, serta melarangnya

mengikuti pendapat-pendapat terdahulu tanpa mengetahui secara pasti

hujah-hujah yang menguatkan pendapat tersebut, walaupun pendapat itu

dikemukakan oleh orang yang seyogianya paling dihormati dan

dipercaya. Abduh menetapkan tiga hal yang menjadi kreteria perbuatan

taqlid ini. Ketiga kreteria tersebut adalah:

a) Sangat mengagung-agungkan para leluhur dan para guru

mereka secara berlebihan.

b) Mengitikadkan agungnya pemuka-pemuka agama yang silam,

seolah-olah telah mencapai kesempurnaan.

c) Takut dibenci orang dan dikritik bila ia melepaskan pikirannya

serta melatih dirinya untuk berpegang kepada apa yang

dianggapnya benar secara mutlak.

Berdasarkan pada pandangannya tersebut, Abduh memahami al-

Quran, terutama yang berkaitan dengan kecaman terhadap sikap dan

perbuatan taqlid tersebut, walaupun menyangkut sikap kaum musyrikin.

Selanjutnya ia mengecam sikap kaum muslimin - khususnya yang

berpengetahuan - yang mengikuti pendapat ulama-ulama terdahulu tanpa

memerhatikan hujjahnya.(Abd. Rahman Assegaf, 2013:167)

Muhammad Abduh sebagai pelaku modernis telah menyikapi

peradaban Barat modern dengan selektif dan kritis. Dia senantiasa


menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode utama untuk meretas

kebekuan pemikiran kaum muslim. Nilai-nilai dan gagasan tertentu yang

lahir dari peradaban Barat, seperti demokrasi, prinsip kebersamaan, dan

kemerdekaan, serta konsep negara-bangsa diterima Muhammad Abduh

dengan bingkai Islam secara kritis.

Namun demikian, Abduh tidak berfikir, apalagi berusaha, untuk

mengambil alih secara utuh segala yang datang dari dunia barat. Karena

di samping hal ini hanya akan berarti mengubah taqlid yang lama kepada

taqlid yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan berguna,

disebabkan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial

masyarakat masing-masing daerah. Islam, menurut Abduh “harus

mampu meluruskan kepincangan-kepincangan perebedaan Barat serta

membersihkannya dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan

demikian, peradaban tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung

terkuat ajaran Islam, sesaat setelah ia mengenalnya dan dikenal oleh

pemeluk-pemeluk Islam”. Di samping itu, banyak pendapat dari para

modernis yang menyatakan bahwa pendekatan pembaruan yang

digunakan Muhammad Abduh di dasarkan pada: Pertama, Muhammad

Abduh menekankan perlunya peran agama bagi kehidupan manusia,

yang secara mutlak merupakan wahyu yang bersumber dari Al-Quran

dan Hadits. Kedua, Muhammad Abduh menekankan perlunya


penggunaan bagian terbaik dari peradaban Barat yang telah sedemikian

rupa mencapai kemajuan. (Abd. Rahman Assegaf, 2013:169).

Sehingga penulis menarik sebuah kesimpulan yaitu dalam

modernisme yang dilakukan Muhammad Abduh terhadap tubuh agama

Islam dengan cara mengambil kemajuan-kemajuan dari Barat namun

semuanya tidak diambil secara mentah-mentah

b. Rekonstruksionisme

Muhammad Abduh senatiasa melihat tradisi dengan prespektif

pembangunan kembali (rekonstruksi). Agar tradisi suatu masyarakat

dapat tetap survive dan terus diterima, ia harus dibangun kembali, atau

dengan istilah lain Iadad al-bunyat min jadid. Pembangunan kembali ini

tentunya dengan kerangka modern yang bersyarat rasional. Hal ini diakui

juga oleh Fazlul Rahman, bahwa pemikiran pembaruan yang bercorak

reformistik dalam bentuknya yang pertama, secara filosofis, telah

dikemukakan Muhammad Abduh dan kemudian diperkuat oleh

Muhammad Iqbal.

Masih terdapat satu lagi pendekatan yang digunakan Abduh yakni

pendekatan identifikatif-modernis. Penggunaan pendekatan ini bisa

diamati dari esensi pemikirannya pada perumusannya terhadap

pemikiran dan rivitalisasi masyarakat muslim melalui identifikasi gagasan

dan institusi-institusi modern. Adapun pendekatan apologetiknya


(pemikiran Ilmiahnya) terlihat dari upaya gigihnya untuk mengukuhkan

dan mempertahankan eksistensi doktrin Islam sebagai landasan

utamanya.

Muhammad Abduh pernah menyatakan bahwa Al-quran

mengajarkan kepada penganutnya agar menuntut hujjah karena Al-quran

mengantarkan mereka ke jalan yang benar. Adalah wajar bagi seseorang

yang memiliki keyakinan untuk menuntut dari lawannya atau

mengajaknya dengan menggunakan dalil-dalil. Demikianlah kebiasaan

ulama terdahulu; mengutarakan sesuatu dengan dalil, menuntut dalil,

serta melarang menerima sesuatu yang tanpa dalil. Tetapi, setelah

kepergian mereka, datanglah “khalaf yang taleh” (penerus-penerus yang

tidak saleh) untuk menetapkan taqlid, bahkan memerintahkannya. (Abd.

Rahman Assegaf, 2013:169-170).

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemikiran Muhammad Abduh

Tidak ada sesuatu apa pun yang berangkat dari ruang hampa,

begitu juga dengan pemikiran Muhammad Abduh. Banyak hal yang

mendorongnya untuk melakukan pembaruan bagi masyarakat Islam di

Mesir, di antara faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut.

a. Faktor Sosial

Dari catatan biografi di atas, terdapat dua hal penting yang dapat

digunakan untuk menganalisis faktor sosial Muhammad Abduh. Pertama,


kedudukan orangtua Muhammad Abduh yang menyertai masa-masa

awal kehidupannya. Kedua, status sosialnya ketika ia telah mandiri, dan

lembaga-lembaga sosial, seperti Kuttab al-Qaryah dan al-Azhar, tempat

ia mengadakan kegiatan kemasyarakatan dan politik. Kondisi sosial yang

bervariasi pada saat itu di Mesir, pada masa-masa sebelum abad ke-19,

mempunyai hubungan dengan kondisi sosial masyarakat Mesir secara

umum pada paro kedua abad ke-19. Kemudian, Syaikh Darwisy dan

Sayyid Jamaluddin Al-Afghani juga sangat berpengaruh terhadap

perubahan sikap Muhammad Abduh.

b. Faktor Politik

Untuk menganalisis pengaruh-pengaruh faktor politik pada

pemikiran Muhammad Abduh, yaitu kedudukannya dalam

pemberontakan Urabi menjadi sangat penting untuk di bicarakan.

Tulisan-tulisannya tentang politik, telah memberikan andil besar dalam

membangkitkan opini publik sebelum terjadi pemberontakan itu. Abduh

pernah melontarkan pemikiran politiknya yang menghendaki perombakan

kerangka berpikir yang darinya muncullah pemberontakan tersebut.

Dalam tulisan-tulisannya itu, ia menuntut kehidupan politik yang

demokratis melalui lembaga perwakilan rakyat, begitu pun ia pernah

menulis tentang nasionalisme. Akan tetapi, dalam tulisan-tulisannya itu,

Muhammad Abduh tampaknya tetap konsisten pada pembaruan secara


bertahap. Dalam kerangka yang lebih luas, pemikiran-pemikiran

politiknya sesungguhnya bermuara pada pembaruan di bidang sosial dan

pendidikan. Keikutsertaannya dalam pemberontakan Urabi dapat

dibenarkan, dengan alasan, antara lain, karena ia ingin mempertahankan

Undang-Undang Dasar (al-dustur).

c. Faktor Kebudayaan

Dalam uraian sebelumnya dijelaskan bahwa Muhammad Abduh,

sejak masa-masa awal hidupnya telah memusatkan perhatiannya pada

studi keislaman. Dalam usianya yang sangat muda telah hafal Al-Quran.

Selain itu, Abduh juga mempelajari dan menekuni tasawuf yang

didapatkan dari Syaikh Darwisy mengingatkan Muhammad Abduh bahwa

kehidupan mistisme sangat memerhatikan hubungan-hubungan spritual

dan hubungan material (keduniaan). (Mukhrizal Arif, dkk, 2014:295-296)

Semasa studi di al-Azhar perjumpaanya dengan Jamaluddin Al-

Afghani merupakan momentum penting bagi terjadinya perubahan

kehidupan kultur dirinya serta pengalaman yang ditimbahnya dari Barat

(Samsul Nisar, 2013:244). Ketika Muhammad Abduh banyak dasar-dasar

filsafat kepada al-Afghani. Pemikirannya mulai berubah, dari sufisme

khayalan ke arah pemikiran filsafat yang praktis. Butir-butir pemikiran

ilmiah modern yang diperolehnya dari ajaran al-Afghani dan hasil

studinya tentang filsafat, logika, dan ilmu kalam (teologi), ternyata


berdampak positif pada langkah-langkah pembaruan yang ditempuhnya,

yaitu bidang sosial, pendidikan, agama, dan moral.

5. Peran Pemikiran Muhammad Abduh terhadap Dunia Islam

Muhammad Abduh juga memiliki peran dalam perkembangan dunia

Islam sebagai pelopor reformasi dan pembaharuan dalam pemikiran

Islam. Ide-idenya yang cemerlang, meninggalkan peran yang besar

dalam tubuh pemikiran umat Islam. Beliaulah pendiri sekaligus peletak

dasar-dasar sekolah pemikiran pada zaman modern juga

menyebarkannya kepada manusia. Walau guru beliau al-Afghani adalah

sebagai orang pertama yang mengobarkan percikan pemikiran dalam

jiwanya, akan tetapi Muhammad Abduh sebagai mana diungkapkan Dr.

Mohammad Imarah, adalah seorang arsitektur terbesar dalam gerakan

pembaharuan dan reformasi atau sekolah pemikiran modern, melebihi

guru beliau Jamaluddin al-Afghani.

Muhammad Abduh memiliki andil besar dalam perbaikan dan

pembaharuan pemikiran Islam kontemporer, telah banyak pembaharuan

yang beliau lakukan diantaranya:

a. Reformasi Pendidikan

Muhammad Abduh memulai perbaikannya melalui pendidikan.

Menjadikan pendidikan sebagai sektor utama guna menyelamatkan


masyarakat Mesir. menjadikan perbaikan sistem pendidikan sebagai

asas dalam mencetak muslim yang shaleh.

b. Mendirikan Lembaga dan Yayasan Sosial

Sepak terjang dalam perbaikan yang dilakukan Muhammad Abduh

tidak hanya terbatas pada aspek pemerintahan saja seperti halnya

perbaikan pendidikan dan Al-Azhar. Akan tetapi lebih dari itu hingga

mendirikan beberapa lembaga-lembaga sosial. Diantaranya: Jami’ah

Khairiyah Islamiyah, Jami’ah Ihya al-Ulum al-Arabiyah,dan juga Jami’ah

at-Taqorrub baina al-Adyan.

c. Mendirikan Sekolah Pemikiran

Muhammad Abduh adalah orang pertama yang mendirikan sekolah

pemikiran kontemporer yang memiliki dampak besar dalam pembaharuan

pemikiran Islam dan kebangkitan akal umat muslim dalam menghadapi

musuh-musuh Islam yang sedang dengan gencar menyerang umat

muslim saat ini.

d. Penafsiran Al-qur’an

Pembaruan yang dilakukan Muhammad Abduh di antaranya dengan

menghadirkan buah karya penafsiran al-Qur’an. Adalah Tafsir Al-Manar

yang di tulis Muhammad Abduh dan muridnya Muhammad Rasyid Ridha

yang telah memberikan corak baru dalam ilmu tafsir. Corak tafsir yang

dikembangkan ini disebut Mufassirin “adabi ijtima’i” (budaya


masyarakat). Corak ini menurut Muhammad Husein adz-Dzahabi menitik

beratkan penjelasan ayat-ayat al-Qur’an pada segi ketelitian redaksinya,

kemudian menyusun kandungannya dalam suatu redaksi yang indah

dengan menonjolkan segi-segi petunjuk al-Qur’an bagi kehidupan, serta

menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum

alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.

Di antara prinsip Muhammad Abduh dalam menafsirkan ayat adalah, al-

Qur’an menjadi pokok. al-Qur’an didasarkan segala mazhab dan aliran

keagamaan, bukannya mazhab-mazhab dan aliran yang menjadi pokok,

dan ayat-ayat Al-Qur’an hanya dijadikan pendukung mazhab-mazhab

tersebut. Kecuali itu, Muhammad Abduh membuka lebar pintu ijtihad.

Menurutnya dengan membuka pintu ijtihad akan memberi semangat

dinamis terhadap perkembangan Islam dalam seluruh aspeknya.(dalam

https://hikmawansp.wordpress.com)

Sehingga dari uraian di atas menurut penulis tidak salah bila

Muhammad Abduh di katakan sebagai salah seorang pembaharu

terhadap dunia Islam kontemporer saat ini.


B. Pendidikan Islam

1. Pengertian Pendidikan Islam

a) Secara Bahasa

Bila kita melihat pengertian pendidikan maka takkan lepas dari

pengertian secara bahasa, secara bahasa, pendidikan adalah terjemahan

dari bahasa yunani, paedagogie yang berarti “pendidikan” dan

paedagogia yang berarti “pergaulan dengan anak-anak”. Istilah

paedagogie berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya

membimbing, memimpin).(Armai Arifin, 2007:15)

Oleh karena itu, menurut penulis pendidikan merupakan

pembinaan, pelatihan, pengajaran, dan semua hal yang merupakan

bagian dari usaha manusia untuk meningkatkan kecerdasan dan

keterampilan anak-anak atau peserta didik.

Menurut Undang-Undang SISDIKNAS (Sistem Pendidikan Nasional)

UU No. 20 Th. 2003 Bab 1 Pasal 1 (2014:3) di jelaskan tentang

pengertian pendidikan bahwa:

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara

aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,


serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan

negara.”

Kemudian pendidikan dalam konteks Islam umumnya mengacu

kepada kepada tiga term al-Tarbiyah, al-Ta’dib, dan al-Ta’lim.(Samsul

Nizar, 2005:25) Namun dalam hal tertentu ketiganya memiliki kesamaan

makna, namun secara esensi setiap term memiliki perbedaan maka

diperlukan suatu uraian sebagai berikut:

a. at-Tarbiyah

Kata at-Tarbiyah berasal dari tiga kata yaitu yang pertama rabba-

yarbu (‫ َيرْ ب‬- ‫)رب‬


َ yaitu bertambah, tumbuh, dan berkembang. Kedua

َ ْ‫ ير‬- ‫)ربِ َي‬


rabiya-yarba (‫ب‬ َ berarti menjadi besar. Ketiga rabba-yarubbu (‫َيرب‬

- ‫)رب‬
َ berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, dan

memelihara. (Abdurrahman an-Nahlawi, 1992:31)

Secara filosofis mengisyaratkan bahwa yang terkandung dalam

makna at-Tarbiyah mengandung unsur pendekatan memelihara dan

menjaga anak didik, mengembangkan seluruh potensi menuju

kesempurnaan, serta mengarahkannya secara bertahap. (Samsul Nizar,

2005:26)

Dengan demikian menurut penulis at-Tarbiyah secara bahasa

berarti pendidikan dan juga Tarbiyah adalah proses bertumbuhnya anak

dengan dipelihara, dibimbing dan dituntun untuk mencapai


kesempurnaan potensinya.

b. at-Ta’dib

Kata al-ta’dib berasal dari kata addaba – yuaddibu - ta’diban (‫– َتأْ ِد ْيبًا‬

‫ب – يأ َ ِّدب‬
َ ‫ )أَد‬yang berarti pendidikan, disiplin, patuh, dan tunduk pada

aturan.(Mahmud Yunus, t.th:278)

Kata addaba dimaknai oleh al-Attas (1994:60) sebagai mendidik,

maka dari itu ia mengemukakan bahwa kata at-Ta’dib berarti pengenalan

dan pengakuan secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam diri

manusia (peserta didik) tempat-tempat dan segala sesuatu di dalam

tatanan penciptaan, dengan begitu pendidikan akan berfungsi sebagai

pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang

tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya, labih jauh lagi ia

mengungkapkan bahwa at-Ta’dib adalah term yang tepat dalam

pendifinisian makna pendidikan karena mengandung arti ilmu, kearifan,

keadilan, kebijaksanaan, pengajaran, dan pengasuhan. Namun juga

Ta’dib biasa diartikan dengan dengan adab, tingkah laku atau sopan

santun.

c. at-Ta’lim

Istilah ta’lim bersifat universal dibanding dengan al-Tarbiyah,

Rasyid Ridha (t.th:262) mengartikanan ta’lim sebagai proses transmisi

berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan
ketentuan tertentu.

Argumentasinya didasarkan dengan dengan firman Allah Swt QS.

Al- Baqarah 2: 151 sebagai berikut:

         

      

Terjemahnya:
“Sebagaimana kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul
(Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat
kami, mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-
Quran) dan Hikmah (Sunnah), serta mengajarkan apa yang belum
kamu ketahui.” (Kementerian Agama, 2011:23)

Kalimat (wa yu’allimu hum al-kitab wa al-hikmah) dalam ayat

tersebut menjelaskan tentang aktivitas Rasulullah mengajarkan tilawat al-

Quran kepada kaum muslimin. Menurut Abdul Fattah Jalal (1998:28), apa

yang dilakukan Rasul bukan hanya membuat umat Islam bisa membaca,

melainkan membawa kaum muslimin kepada nilai pendidikan tazkiyah

an-nafs (penyucian diri) dari segala kotoran, sehingga memungkinkannya

menerima al-hikmah serta segala sesuatu yang bermanfaat untuk

diketahui.

Kecendrungan tersebut didasarkan pada argumentasi bahwa

manusia pertama yang mendapat pengajaran langsung dari Allah adalah

nabi Adam a.s. hal ini secara eksplisit tersirat dalam Q.S Al baqarah 2 :

31, Allah Swt berfirman :


           

   

Terjemahnya:
“Dan dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda)
seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat
lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika
kamu mamang benar orang-orang yang benar !". (Kementerian
Agama, 2011:5)

Dijelaskan pada ayat tersebut bahwa penggunaan kata allama

untuk memberikan pengajaran kepada nabi Adam a.s memiliki nilai lebih

yang sama sekali tidak dimiliki para malaikat.

Sedangkan dalam hadits juga memuat kata ta’lim,sebagai berikut:

َ‫س َّل َم‬ ََّ ‫ص َّلى‬


َ ‫ّللاُ َع َل ٌْ َِه َو‬ َ ًَ‫ َقا َلَ ال َّن ِب‬, َ‫ن َع َّفانََ َقا َل‬
َِ ‫َعنَْ ُع ْث َمانََ ْب‬
(‫َخير كم مَن َت َع َّل ََم ا ْلقُ ْرأَنََ َو َع َّلمَه )البخاري رواه‬
Artinya:
“Dari Ustman bin Affan berkata, Nabi Saw bersabda, sebaik-baik
kamu adalah orang yang mempelajari Al Qur’an dan
mengajarkannya kepada orang lain.”(H.R. Bukhari) (Iman Az-
Zabidi, 2002:899)

Dalam hadits ini secara lengkap disebutkan ungkapan ta’alim,

sedangkan ilmu yang dipelajari adalah Al-Qur’an serta disebutkan pihak

yang mengajarkannya yaitu muallimun. Ta’lim secara umum hanya

terbatas pada pengajaran dan pendidikan kognitif semata-mata. Hal ini

memberikan pemahaman bahwa ta’lim hanya mengedepankan proses


pengalihan ilmu pengetahuan dari pengajar (mu’alim) dan yang diajar

(muta’alim). Ta’lim juga mewakili ungkapan proses dari tidak tahu

menjadi tahu.

Kata at-ta’lim dalam arti pengajaran yang merupakan bagian dari

pendidikan banyak kegunaan untuk kegiatan pendidikan yang bersifat

non formal, seperti majelis taklim yang sangat berkembang dan

bervariasi, dikalangan pemikir Islam sendiri kata at-ta’lim untuk arti

pendidikan lebih pas diartikan pengajaran, karena pengajaran merupakan

bagian dari kegiatan pendidikan.(Abuddin Nata, 2010:14)

Sehingga penulis dapat menarik kesimpulan dari makna kata ta’lim

yaitu pengajaran dan juga ta’lim hanya sebatas kepada mengajar dan

mentransfer ilmu tanpa diiringi dengan bimbingan.

b) Secara Istilah

Istilah atau terminologi pada dasarnya kesepakatan yang dibuat

para ahli dalam bidangnya masing-masing, berikut pendapat para ahli

tentang pendidikan Islam:

a. Hasan Langgulung (1986:32) mengartikan pendidikan adalah


suatu proses yang mempunyai tujuan yang biasanya diusahakan
untuk menciptakan pola-pola tingkah laku tertentu pada kanak-
kanak atau orang yang sedang dididik.

b. Ahmad D. Marimba (1989:19) mengemukakan bahwa pendidikan


Islam adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
pendidikan terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta
didik menuju terbentuknya kepribadiaan yang utama.
c. Ahmad Tafsir (1992:32) mendefinisikan bahwa pendidikan Islam
sebagai bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia
berkembang secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam.

Dari beberapa istilah pendidikan Islam yang telah didefinisikan di

atas, menurut penulis pendidikan Islam adalah merupakan suatu sistem

yang dapat mengarahkan kehidupan anak-anak atau peseta didik yang

sesuai dengan ajaran-ajaran Islam sehingga berderajat tinggi di sisi Allah

Swt.

2. Tujuan Pendidikan Islam

a. Mendekatkan diri kepada Allah (Taqarrub Ila Allah)

Aspek tujuan dalam pendidikan Islam merupakan masalah sentral

sebab tanpa adanya tujuan yang terarah aktivitas pendidikan menjadi

tidak jelas, tanpa arah. Pendidikan akan tersesat di luar koridor yang

sudah yang di tentukan (Arifi, 2009:31). Aspek tujuan dalam pendidikan

Islam setidaknya harus mengacu pada sumber pendidikan yang ada,

yaitu al-Quran dan sunnah serta berlandaskan pada hakikat keberadaan

manusia sendiri sebagaimana konsepsinya dalam Islam.

Juga, salah satu tujuan pendidikan Islam adalah agar Ilmu

pengetahuan tidak hilang, sehingga diharapkan senantiasa berkembang

dengan mengikuti zamannya dan menghidari munculnya kebodohan

tentang Islam, sebagaimana Nabi Muhammad Saw pernah bersabda

sebagai berikut:
‫ أَنْ يرْ َفع‬: ‫اع ِة‬
َ ‫ اِن مِنْ أَ ْش َراطِ الس‬: ‫صلي هللا َعلَ ْي ِه َو َسل َم‬
َ ِ‫ َقا َل َرس ْول هللا‬: ‫َعنْ أَ َنس َرضِ َي هللا َع ْنه َقا َل‬

ِّ ‫الخ ْمر َو َي ْظ َه َر‬


(٠٨:‫ )رواه البخار‬. ‫الز َنا‬ َ ‫ا ْلعِلم َو َي ْثبت ا ْل َجهْل َو ي ْش َرب‬

Artinya:
“Dari Anas r.a berkata Rasulullah Saw pernah bersabda, sebagian
tanda-tanda akan terjadinya kiamat adalah: 1) Hilangnya ilmu dan
maraknya kebodohan tentang Islam. 2) Terbiasanya mengkomsumsi
minuman yang memabukkan. 3) Perzinahaan dianggap biasa. (H.R
Bukhari:80) (Imam Az-Zabidi, 2002:41)

Islam sebagai sebuah sistem makro, mempunyai derivasi(asal

mula) berupa sub-sistem, yaitu aspek ekonomi, politik, sosial, pendidikan,

dan lain sebagainya. Artinya, semua sub-sistem yang ada menjadi

instrumen dalam pemenuhan eksistensi manusia sebagai makhluk yang

diciptakan oleh Allah. Setiap sub-sistem tersebut dilaksanakan dengan

sebuah orientasi dan tujuan sebagaimana hakikat manusia diciptakan.

Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Dzariyat 51:56:

     

Terjemahnya:
“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka
beribadah kepada-Ku. (Kementerian Agama, 2011:523)

Tujuan Allah menciptakan manusia dan makhluk lainnya, tidak lain

hanyalah untuk senantiasa menyembah dan mengabdi kepadanya.

Tujuan hidup manusia ialah menyembah dan senantiasa mendekatkan

diri pada Allah. Dengan demikian, pendidikan sebagai sub-sistem dalam


Islam, dalam realisasi tujuannya utamanya sejalan dan searah dengan

tujuan Islam, yaitu mengabdi dan senantiasa mendekatkan diri pada

Sang Khalik.

Dalam Q.S Al-Anam [6]:162 juga ditegaskan:

        

Terjemahnya:
“Katakanlah (Muhammad),”Sesungguhnya salatku, ibadahku,
hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.”
(Kementerian Agama, 2011:150)

Tujuan ini merupakan cerminan dari realisasi yang ada dalam Al-

Quran, yaitu penyerahan diri secara total dalam setiap aktivitas manusia,

termasuk dalam aspek pendidikan. Hal ini berbeda dengan konsepsi

Barat tentang pendidikan tempat setiap proses pendidikan hanya

bertujuan pada pemenuhan eksistensi manusia sebagai aspek

independen (berdiri sendiri) tanpa memedulikan dimensi transendental

(berdasarkan kerohanian).

Adapun dalam konsepsi Islam, tujuan utama dalam pendidikan

diarahkan pada upaya penyerahan diri secara total pada dimensi

transenden, yakni Allah, dengan cara senantiasa mendekatkan diri

(taqarrub ila Allah) dalam setiap aktivitasnya selama di dunia. (Umiarso

dan Zamroni, 2011:105)


Begitupun dengan perkataan nabi Muhammad Saw yang selaras

dengan tujuan pendidikan Islam agar senantiasa dekat dengan Allah Swt,

Rasulullah Saw bersabda sebagai berikut:

َ ًِْ ‫َخ َر َجَف‬


َ َ‫َ َكان‬،‫َط َلبَِا ْل ِع ْل ِم‬ َ ْ‫َ َمن‬:َ‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هللا َعلَي ِه َو‬
َ َِ‫س ْولَُّللا‬
ُ ‫َر‬ ٍ ‫َو َعنْ َأَ ِب ْىَأ َن‬
َ َ‫ َقال‬،َ‫سَ َقال‬

َ)‫(رواهَالترمذي‬.‫َِح َّتًَ ٌَ ْر ِج ُع‬ ّ ‫س ِب ٌْ ِل‬


َ ‫َّللا‬ َ ًَِْ ‫ف‬

Artinya :
Dari Anas r.a berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang
keluar untuk menuntut ilmu, maka ia berada di jalan Allah sampai ia
kembali.” (H.R At-Tirmidzi) (Imam An-Nawawi, 2014:605)


b. Kesempurnaan Manusia Mencapai Kebahagian Dunia dan
Akhirat (Insan Kamil)

Seperti telah diurai sebelumnya, tujuan akhir pendidikan Islam ialah

terbentuknya totalitas penyerahan atau penghambaan manusia pada

Allah. Dengan demikian, ketika manusia dalam posisi total dalam

menedekatkan diri pada Allah, ia akan menjadi manusia yang akan

memperoleh kebahagian di dunia dan kekal di akhirat.

Dalam konsepsi Islam, manusia yang telah sampai pada bentuk

totalitas dan ketakwaan pada Allah serta meraih kebahagiaan di dunia

dan akhirat, dikonsepsikan (gambarkan) sebagai insan kamil (manusia

sempurna). Insan Kamil merupakan suatu bentuk eksistensi yang dicita-

citakan oleh umat Muslim yang diraih melalui sarana pendidikan.


Manusia ketika sampai pada derajat sempurna (insan kamil),

menurut Ahmad Tafsir akan tampak beberapa karekteristik pokok;

pertama, jasmani yang sehat serta kuat dan berketerampilan; kedua,

cerdas serta pandai; dan yang ketiga ruhani yang berkualitas. (Ahmad

Tafsir, 2008:41-44)

Menurut Soebahar, ketika seseorang telah sampai pada tingkat

ketakwaan dalam bentuk insan kamil, bukan berarti proses pendidikan

berhenti begitu saja. Proses pendidikan harus tetap berlangsung dalam

rangka pengembangan dan penyempurnaan, sekurang-kurangnya

memelihara supaya tidak luntur dan berkurang meskipun pendidikan diri

sendiri atau autodidak bukan melalui pendidikan formal melalui sebuah

interaksi takwa dalam bentuk insan kamil. (Soebahar, 2002:21)

Allah Swt berfirman dalam Q.S Ali-Imran [3]:102:

           

Terjemahnya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah
sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali
dalam Keadaan Muslim.(Kementerian Agama, 2011:63)

Ayat ini menegaskan bahwa mati dalam berserah diri kepada Allah

merupakan tujuan akhir dari setiap proses dalam kehidupan, dan

pendidikan menjadi bagian dari dimensi kehidupan tersebut. Inilah akhir

dari proses pendidikan yang dianggap sebagai tujuan akhirnya. Insan


kamil yang mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah inilah yang

merupakan akhir pendidikan Islam (Hamdani Ihsan dan Fuad Ihsan,

2001:64)

Tujuan pendidikan dalam Islam harus didesain sedemikian rupa

agar keseluruh komponen yang melekat dalam diri manusia bisa berjalan

secara sinergi, yaitu antara jazad, hayat, ruh, dan totalitas diri (nafs).

Sehingga dari uraian di atas tentang tujuan pendidikan Islam penulis

menarik kesimpulan sebagai berikut; pertama, agar peserta didik bisa

tahu cara dan bisa mendekatkan diri kepada Allah Swt dan yang kedua,

agar peserta didik menjadi insan yang kamil yaitu manusia yang memiliki

keseimbangan yang baik antara dunia dan akhirat dan antara jazad dan

rohnya.

3. Aspek-Aspek Pendidikan Islam

Pendidikan Islam sebagaimana pendidikan lainnya memiliki

berbagai aspek yang tercakup di dalamnya. Aspek tersebut dapat dilihat

dari segi cakupan materi didikannya, filsafatnya, sejarahnya,

kelembagaannya, sistemnya, dari segi kedudukannya sebagai ilmu. Dari

segi aspek materi didikannya, pendidikan Islam sekurang-kurangnya

mencakup pendidikan fisik, akal, agama (aqidah dan syariah), akhlak dan

kejiwaan, rasa keindahan, dan sosial kemasyarakatan. (Zakiah

Daradjat,1994:1)
Berbagai materi yang tercakup dalam pendidikan Islam tersebut

dapat dilihat dalam Al-Quran dan As-Sunnah serta pendapat para ulama.

Pendapat lain mengatakan bahwa materi pendidikan Islam itu pada

prinsipnya ada dua, yaitu materi didikan yang berkenaan dengan

masalah keduniaan dan materi didikan yang berkenaan dengan masalah

keakhiratan. Hal ini didasarkan pada kandungan ajaran Islam yang

mengajarkan kebahagian hidup di dunia dan akhirat. (M.Natsir,1954:53-

61)

Sedangkan, sejarah atau periode, pendidikan Islam mencakup

sebagai berikut:

a. Periode pembinaan Islam (611-632) yang berlangsung pada zaman


Nabi Muhammad Saw masa ini berlangsung sejak Nabi Muhammad
Saw menerima wahyu dan menerima pengangkatannya sebagai
rasul, sampai dengan lengkap dan sempurnanya ajaran Islam
menjadi warisan budaya umat Islam. Masa tersebut berlangsung
selama lebih kurang 23 tahun, yaitu sejak Nabi Muhammad Saw
menerima wahyu pertama kali, yaitu tanggal 17 bulan Ramadhan di
tahun sebelum hijrah, bertepatan dengan 6 Agustus 610 M., sampai
dengan wafatnya pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, tahun 11 hijriah,
bertepatan dengan 8 Juni 832 M.

b. Periode pertumbuhan pendidikan Islam (632-750) yang berlangsung


sejak zaman Nabi Muhammad wafat sampai masa akhir Bani
Umayyah yang di warnai oleh berkembangnya ilmu-ilmu Naqliyah.
Pada masa pertumbuhan dan perkembangannya itu, pendidikan
Islam mempunyai dua sasaran. Pertama, yaitu generasi muda
sebagai generasi penerus dan masyarakat bangsa lain yang belum
menerima ajaran Islam; dan kedua, adalah penyampaian ajaran
Islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat bangsa yang
baru menerimanya yang di dalam Islam lazim disebut dengan
sebagai dakwah Islami.

c. Periode kejayaan (puncak perkembangan) pendidikan Islam (750-


1258), yang berlangsung sejak permulaan Daulah Abbasiyah
sampai dengan jatuhnya Baghdad, yang diwarnai oleh
berkembangnya ilmu Akliah dan timbulnya madrasah, serta
memuncaknya perkembangan kebudayaan Islam.

d. Periode kemunduran Pendidikan Islam (1258-1798), yaitu sejak


jatuhnya Baghdad sampai jatuhnya Mesir ke tangan Napoleon, yang
ditandai dengan runtuhnya sendi-sendi kebudayaan Islam dan
berpindahnya pusat-pusat pengembangan kebudayaan ke dunia
Barat.

e. Periode pembaharuan pendidikan Islam (1798-sekarang) yang


berlangsung sejak pendudukan Mesir oleh Napoleon sampai masa
kini, yang di tandai oleh gejala-gejala kembangkitan kembali umat
dan kebudayaan Islam.(Zuhairini,dkk, 2006:13)

Selanjutnya, dilihat dari segi kelembagaannya pendidikan Islam

mengenal adanya pendidikan yang dilaksanakan di rumah, mesjid,

pesantren, dan madrasah dengan berbagai corak dan pendekatannya,

lembaga-lembaga pendidikan Islam ini dapat dibagi lagi menurut

periodesasinya, yaitu lembaga pendidikan Islam zaman Rasulullah

Saw., lembaga pendidikan di zaman Khulafaur Rasyidin, lembaga

pendidikan di zaman Umayyah, dan lembaga pendidikan di zaman

Abbasiyah dan Andalusia.(Abuddin Nata, 2010:342)

Selanjutnya, pendidikan Islam sebagai sistem adalah suatu

kegiatan yang di dalamnya mengandung sapek tujuan, kurikulum, guru


(pelaksana pendidikan), metode, pendekatan, sarana prasarana,

lingkungan, administrasi, dan sebagainya yang antara satu dan

lainnya saling berkaitan dan membentuk Sistem yang terpadu .

Apabila salah satu aspek pendidikan tersebut berubah,

kurikulum, guru, metode, pendekatan dan lainnya akan berubah. Dari

berbagai aspek pendidikan demikian selanjutnya telah membentuk

berbagai disiplin ilmu pendidikan Islam, yaitu ilmu yang membahas

berbagai masalah yang berkaitan dengan pendidikan. Dalam

hubungan ini dijumpai adanya ilmu yang khusus membahas tujuan

pendidikan yang dipadukan dengan Filsafat pendidikan Islam; ilmu

yang membahas tentang kurikulum, ilmu yang membahas tentang

guru, lingkungan pendidikan, administrasi pendidikan dan sebagainya.

(Abuddin Nata, 2010:343)

Sehingga dari uraian di atas penulis menarik kesimpulan

mengenai aspek-aspek pendidikan Islam, adalah saling melengkapi

antara satu dengan yang lain baik dari segi materi didikannya,

sejarahnya, kelembagaannya, sistemnya dan kedudukannya sebagai

ilmu.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah kajian pemikiran tokoh pendidikan yang

menggunakan telaah kepustakaan (Library Research) yang difokuskan

pada penelusuran dan penelaan literature serta bahan pustaka yang

dianggap ada kaitannya dengan Muhammad Abduh dan pemikirannya

tentang pendidikan Islam.

B. Variabel Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini yang diteliti adalah Muhammad Abduh

dan pemikirannya tentang pendidikan Islam.

Data variabel tersebut dianalisis berdasarkan literatur yang ada

tanpa memberikan analisis khusus.

Adapun variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Muhammad Abduh sebagai independent variabel (variabel bebas)

yaitu menjadi sebab terjadinya atau adanya suatu perubahan pada

dependent variabel (variabel terikat).

2. Pendidikan Islam sebagai dependent variabel (variabel terikat) yaitu

variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat adanya

independent variabel (variabel bebas).


C. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang ditempuh penulis yaitu melakukan

riset kepustakaan (library research) yaitu suatu analisis yang penulis

pergunakan dengan jalan membaca dan menelaah beberapa literatur

karya ilmiah, buku maupun laman website yang ada kaitannya dengan

skripsi yang akan diteliti dengan menggunakan cara pengambilan data

sebagai berikut:

1. Kutipan langsung yaitu kutipan secara langsung tanpa mengubah

satu katapun dan dari kata-kata pengarang.

2. Kutipan tidak langsung yaitu mengutip seluruh isi bacaan dengan

menggunakan kata-kata sipeneliti atau si pembaca sendiri.

Ada dua sumber penelitian skripsi ini:

a. Sumber Data Primer

Sumber data primer maksudnya adalah berupa buku-buku yang

secara khusus membahas tentang Muhammad Abduh dan

Pemikirannya tentang Pendidikan Islam.

b. Sumber Data Sekunder

Data sekunder adalah buku-buku, jurnal, laman website yang

dapat mendukung permasalahan pokok yang dibahas.


D. Teknik Pengelolaan Data

Seluruh data yang dihimpun melalui riset kepustakaan semua data

bersifat kualitatif, yaitu pengungkapan data melalui deskripsi

(pemaparan), sehingga dalam pengelolaannya yaitu mengadakan dan

mengemukakan sifat data yang diperoleh kemudian dianalisis lebih lanjut

guna mendapatkan kesimpulan.

E. Teknik Analisis Data

Sebagai peneliti kualitatif, pada tahap analisis setidak-tidaknya ada

tiga tahapan yang dilalui dalam penelitian ini, yaitu: reduksi data (data

reduction), penyajian data (data display), dan penarikan kesimpulan

(conclusion drawing). Tiga komponen tersebut berproses secara siklus.

Model yang demikian terkenal dengan sebutan model analisis interaktif

(Interaktive Model of Analysis).

Juga menggunakan metode induktif dan deduktif. Metode induktif

yaitu berpola pikir kesimpulan dari khusus ke umum. Sedang metode

deduktif yaitu berpola pikir dari umum ke khusus.


BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Pemikiran Pendidikan Islam Muhammad Abduh

1. Metode Pembelajaran

Dalam metode pembelajaran, Muhammad abduh lebih menekankan

dengan metode diskusi, penelitian dan penalaran di bandingkan dengan

metode hafalan. Dalam Mukhrizal Arif, dkk (2014 : 293) Muhammad

Abduh mengatakan, “Satu setengah tahun saya belajar di masjid syekh

Ahmad dengan tidak mengerti suatu apa pun. Ini karena metodenya yang

salah, guru-guru mulai mengajak kita dengan menghafal istilah-istilah

tentang nahwu atau fiqh yang tak kita ketahui arti-artinya. Guru tidak

merasa penting apa kita mengerti atau tidak dengan istilah-istilah itu.”

Metode pengajaran dengan metode diskusi adalah metode

pengajaran yang di dapatkannya ketika berguru dengan Jamaluddin Al-

Afgani, metode pengajaran yang di gunakan oleh jamaluddin al-afgani

adalah metode yang mengutamakan pemberian pengertian dengan cara

diskusi. Metode ini tampaknya yang di terapkan muhammad abduh

setelah ia menjadi pendidik. (Samsul Nizar, 2013:242)

2. Tujuan Pendidikan

Bagi Muhammad Abduh, tujuan pendidikan adalah mendidik akal,

jiwa dan spiritual sehingga memungkinkan seseorang mencapai


kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. (Harun Nasution, 1987:190) Dari

tujuan pendidikan di atas, Muhammad Abduh tampaknya berkeinginan

agar proses pendidikan dapat membentuk kepribadian muslim yang

seimbang antara jasmani dan rohani serta intelektualitas dan moralitas.

Bagi Muhammad Abduh pendidikan bukan hanya bertujuan

mengembangkan aspek kognitif (akal) semata, tapi juga harus

menyelaraskan dengan aspek afektif (moral) dan psikomotorik

(keterampilan), pendidikan seyogianya dapat memerhatikan segi material

dan spiritual manusia sekaligus.

3. Modernisasi Pendidikan

Pemikiran Muhammad Abduh juga di arahkan kepada modernisasi

pendidikan, hal ini di latarbelakangi oleh situasi model pendidikan di

mesir pada waktu itu. Model sekolah pertama adalah sekolah modern,

sekolah jenis ini banyak dikembangkan dan di bangun oleh pihak

pemerintah dan pihak asing. Sekolah model ini hanya mengutamakan

pada pengembangan aspek inteletualitas saja. Hal ini merupakan

warisan peninggalan modernisasi pendidikan yang dilakukan Muhammad

Ali. Sekolah ini juga telah melahirkan kelas elite generasi muda yang

lebih cederung kepada ilmu-ilmu Barat atau ilmu kealaman non-agama.

Dalam pendangan Muhammad Abduh, pendidikan model ini dapat

mengancam keberadaan agama dan moralitas bangsa, karena


tergoyahkan oleh pemikiran modern yang diserap dari Barat yang tidak di

landasi ajaran agama. (Abd Rahman Assegaf, 2013:184)

Adapun model sekolah kedua adalah sekolah agama, sekolah ini

mempunyai karakteristik yang masih bersifat doktrinal teologis dan

tradisional. Sekolah model ini juga telah berhasil memproduksi

lulusannya tidak jauh beda dengan sekolah model pertama. Alumni

sekolah model ini atau yang sering disebut dengan ulama oleh

masyarakat, tetapi ulama kelahiran sekolah model kedua ini enggan

menerima perubahan dan cenderung mempertahankan tradisi lama.

Muhammad Abduh memandang bahwa sekolah model kedua ini tidak

dapat dipertahankan lagi, karena akan menyebabkan Islam jauh

tertinggal dan terdesak oleh arus kehidupan modern. Oleh karena itu,

Muhammad Abduh bermaksud mengadakan reformasi secara

kelembagaan dengan menyatukan kedua model sekolah itu, sehingga

jurang pemisah antara keduanya dapat dipersatukan secara sinergis.

Dengan agenda reformasinya, Muhammad Abduh berambisi untuk

melenyapkan sistem dualisme dalam pendidikan di Mesir, dia

menawarkan kepada sekolah modern agar menaruh perhatian pada

aspek agama dan moral. Dengan hanya mengandalkan aspek intelektual

saja, sekolah modern hanya akan melahirkan output pendidikan yang

merosot moralnya. Sedangkan kepada sekolah agama, seperti al-Azhar,


Muhammad Abduh menyarankan agar dirombak menjadi lembaga

pendidikan yang mengikuti sistem pendidikan modern. Sebagai

pionernya, ia telah memperkenalkan ilmu-ilmu Barat kepada al-Azhar, di

samping tetap menghidupkan ilmu-ilmu Islam Klasik yang orisinal, seperti

Al-Muqaddimah karya ibn Khaldun.

4. Kurikulum Pendidikan

Seperti di jelaskan di atas bahwa tujuan pendidikan menurut

Muhammad abduh yaitu mendidik akal, jiwa dan spritual yang

memungkinkan seseorang mencapai kebahagian di dunia dan di akhirat,

untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut, Muhammad Abduh

menuangkannya di dalam seperangkat kurikulum sejak dari tingkat dasar

sampai pada tingkat atas, sebagai berikut:

a. Tingkat sekolah dasar

Kurikulum tingkat sekolah dasar diberikan mata pelajaran:

membaca, menulis, berhitung, pelajaran agama dan sejarah. Pelajaran

agama meliputi akidah, serta fikih dan akhlak yang berkaitan dengan

halal dan haram, perbuatan-perbuatan bid’ah serta bahayanya dalam

masyarakat. Pelajaran akhlak mencakup perbuatan-perbuatan dan sifat-

sifat yang baik dan buruk. Sedangkan pelajaran sejarah mencakup

sejarah Nabi Saw. dan para sahabat, akhlak mereka yang mulia, serta

jasa mereka terhadap agama. Diperkenalkannya juga sebab-sebab Islam


dapat berkuasa dalam waktu yang relatif singkat, sejarah Nabi Saw. dan

sahabat ditambah dengan uraian-uraian tentang khalifah Ustmaniyah

yang kesmuanya diberikan secar ringkas.

b. Tingkat sekolah menengah

Kurikulum tingkat sekolah menengah diberikan mata pelajaran:

mantik atau logika, akidah, fikih, dan akhlak, dan sejarah Islam. Pelajaran

akidah dikemukakan dengan pembuktian akal dan dalil-dalil yang pasti.

Pada tingkat ini pelajaran yang diberikan belum menjangkau perbedaan

pendapat. Di samping itu, di jelaskan fungsi akidah dalam kehidupan.

Sedang fikih dan akhlak isinya memperluas bahan yang diberikan pada

tingkat dasar, dengan menekankan pada sebab, kegunaan, dan

pengaruh, terutama dalam masalah akhlak. Misalnya kegunaan

berakhlak baik dan pengaruhnya dalam kehidupan bermasyarakat.

Pelajaran fikih lebih ditekankan pada hukum-hukum agama dan

kegunaannya dalam kehidupan bermasyarakat. Semua pelajaran

tersebut diberikan dengan landasan dalil-dalil yang sahih dan praktik dari

masa al-salaf al-salih. (Abd. Rahman Assegaf, 2013:165)

Adapun sejarah Islam kajiannya menyangkut sejarah Nabi Saw.

sebagai sahabat dan penaklukan–penaklukan yang terjadi dalam

beberapa abad sampai pada penaklukan pada masa kerajaan

Utsmaniyah. Semua penaklukan tersebut, menurut abduh, dipandang


dari sisi agama, sekiranya motif politik dikemukakan, namun keberadaan

motif politik tersebut berada di belakang motif agama. Murid-murid di

sekolah menengah ini dipersiapkan untuk menduduki jabatan tertentu

dalam pemerintahan.

c. Tingkat sekolah atas

Sedangkan kurikulum tingkat atas diperuntukkan bagi mereka

yang akan menjadi pendidik yang disebutnya sebagai golongan yang arif

(urafa al-ummat). Pelajaran yang diberikan kepada mereka mencakup:

tafsir, hadis, bahasa Arab, akhlak, ushul fiqh, sejarah, retorika, dan ilmu

kalam. Di sini, sejarah yang termasuk di dalamnya sejarah Nabi Saw. dan

sahabat diuraikan lebih rinci. Sejarah peralihan penguasa-penguasa

Islam, sejarah kerajaan Utsmaniyah dan sejarah jatuhnya kerajaan-

kerajaan Islam ke tangan penguasa lain dengan menerangkan sebab-

sebabnya. Adapun ilmu kalam pada tingkat ini diberikan dengan

menjelaskan dalil-dalil yang menopang pendapat setiap aliran. Pada

tingkat ini pelajaran ilmu kalam tidak ditujukan untuk memperteguh

akidah, namun untuk memperluas cakrawala pemikiran. (Abd. Rahman

Assegaf, 2013:166)

Kemudian model kurikulum pendidikan Muhammad Abduh yang

lain, yaitu di tuangkannya ke dalam kampus al-Azhar, Muhammad Abduh

memusatkannya di al-Azhar karena baginya memodernisasi al-Azhar


sama halnya dengan membenahi kondisi umat islam secara keseluruhan

lantaran para mahasiswanya berasal dari seluruh penjuru dunia. Al-Azhar

juga adalah pusat ilmu pengetahuan yang paling utama di Mesir, bahkan

di seluruh dunia Islam. (Abd Rahman Assegaf, 2013:185)

Adapun kurikulum yang diperkanalkan Muhammad Abduh di al-

Azhar yaitu ilmu dan sains modern, yang pada saat itu hanya memuat

ilmu-ilmu keislaman saja. Muhammad Abduh menjadikan al-Azhar

sebagai laboratorium pemikirannya yang mengajarkan ilmu pengetahuan

modern, di samping juga mempertahankan ilmu-ilmu islam klasik. Selain

falsafah, Muhammad Abduh juga berhasil memasukkan matematika,

aljabar, ilmu ukur, dan ilmu bumi ke dalam kurikulum al-Azhar. Dengan

al-Azharnya, Muhammad Abduh menawarkan kurikulum pendidikan yang

merupakan penggabungan antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu

pengetahuan Barat modern. Berikut skema konsep modernisasi

kurikulum Muhammad Abduh:


I Ilmu Kagamaan dan Kealaman

Konsep Manusia
Modernisasi
Pendidikan
P Pendidikan Islam P Pendidikan Umum

T S F SoSosi B Nj
HjTafsir Hadis Fikih Akidah Falsafah ologi Biologi Fisika
PENDIDIKAN MODERN

HUMANITAS RELIGIUS

Skema di atas menunjukkan bahwa kurikulum pendidikan

Muhammad Abduh berangkat dari penafsiran Al-Quran secara

komprehensif. Al-Quran dan hadis ditempatkan sebagai sumber hukum

paling tinggi dalam setiap pemikiran Abduh. Kemudian, karena manusia

dikaruniai akal untuk memahami Islam secara kaffah, dan selalu

menghadapi problema kehidupan modern yang semakin kompleks, maka

dengan akal itulah manusia mampu mengatasi segala permasalahan

dengan jalan berijtihad. Dengan akal pula manusia senantiasa bisa


memperbaharui keimanannya melalui pemahaman yang selalu

mendalam tentang tuhan, manusia dan alam semesta. (Abd Rahman

Assegaf, 2013:186)

5. Pendidik dan Peserta didik

Pemikiran Muhammad Abduh yang lain mengenai pendidik dan

peserta didik. Mengenai pendidik, Muhammad Abduh menyatakan

bahwa hendaknya seorang pendidik mempunyai akhlak yang baik

(akhlak mahmudah), bahkan dianjurkan agar meneladani sifat-sifat yang

dimiliki Rasulullah, selain itu guru juga harus mempunyai akidah yang

baik, bijaksana, berani, dan energik, sehingga dapat melaksanakan

tugasnya.

Kemudian mengenai peserta didik, Muhammad Abduh

berpendapat bahwa setiap individu memiliki potensi fitrah yang baik.

Manusia dalam hal ini anak didik dilahirkan dengan memiliki potensi-

potensi. Muhammad Abduh menyatakan potensi bawaan (fitrah) ada

yang bersifat aqliyah dan ada yang bersifat nafsiyah. Fitrah nafsiyah atau

ilahiyah manusia sesungguhnya adalah sama, tetapi fitrah aqliyah

mereka dapat berbeda. Di antara potensi-potensi lahiriyah (bawaan)

manusia, khususnya potensi aqliyahnya tidak berkembang begitu saja

tanpa ada proses pendidikan. Artinya, potensi aqliyah tidak berfungsi

sempurna tanpa adanya proses pendidikan.


Oleh sebab itu, pendidikan adalah sarana untuk mengembangkan

potensi aqliyah manusia itu. Pada tahap ini, Muhammad Abduh dekat

pada aliran konvergensi (menyatakan bahwa pembentukan atau

perkembangan kepribadian seseorang ditentukan oleh faktor pembawaan

dan juga faktor lingkungan di sekitarnya). Dan mengenai tugas dari

peserta didik dalam pendidikan adalah bersungguh sungguh dan tekun

belajar serta mempunyai sikap disiplin.(Ramayulis dan Samsul Nizar,

2005:46)

6. Wanita memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan

Pemikiran Muhammad Abduh yang lain adalah tentang pendidikan

wanita. Menurutnya wanita harus mendapatkan pendidikan yang sama

dengan lelaki. Laki-laki dan wanita mendapatkan hak yang sama dari

Allah, sesuai dengan firman-nya Q.S (2) al-Baqarah:228.

             ...

Terjemahnya:
“... dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami,
mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. dan Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Kementrian Agama, 2011:55)

Serta dalam Q.S (33) al-Ahzab:35.


      

     

     

         

 

Terjemahnya:
“ Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan
perempuan yang mukmin laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki
dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa,
laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan
perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.”
(Kementrian Agama, 2011:673)

Dalam pandangan Muhammad Abduh, kedua ayat tersebut

menyejajarkan lelaki dan wanita dalam hal mendapatkan keampunan dan

apabila yang diberikan Allah atas perbuatan yang sama, baik yang

bersifat keduniaan maupun agama. Dari sini ia betolak bahwa

perempuan pun punya hak mendapatkan pendidikan yang sama dengan

laki-laki, menurutnya juga wanita harus dilepaskan dari rantai kebodohan,

maka dari itu ia perlu diberikan pendidikan.


B. Pembaruan Muhammad Abduh dalam Pendidikan Islam di Mesir dan
di Syiria (Beirut)

1. Pembaruan di Mesir

Pembaruan pendidikan Muhammad Abduh tampaknya lebih

dilatarbelakangi oleh faktor situasi sosial keagamaan dalam hal ini adalah

sikap yang umumnya diambil oleh kaum Islam di Mesir dalam memahami

dan melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Pemikiran Muhammad Abduh sesuai dengan sistem pendidikan yang ada

saat itu, sehingga pada abad ke-19 Muhammad Ali (pembaharu dan

penguasa Mesir) memulai pembaruan pendidikan di Mesir. Pembaruan

yang timpang, yang hanya menekankan perkembangan aspek intelek

mewariskan dua tipe pendidikan seperti yang sudah dijelaskan

sebelumnya.

Muhammad Abduh melihat segi-segi negatif lain dari kedua bentuk

pemikiran tersebut. Ia memandang bahwa pemikiran yang pertama tidak

dapat dipertahankan lagi, jika dipertahankan juga akan menyebabkan

umat Islam tertinggal jauh, terdesak oleh arus kehidupan dan pemikiran

modern. Sedangkan pemikiran kedua justru adanya bahaya yang

mengancam sendi-sendi agama dan moral yang akan tergoyahkan oleh

pemikiran modern yang mereka serap. Dari situlah Muhammad Abduh

melihat pentingnya mengadakan perbaikan di dua institusi tersebut,

sehingga jurang yang lebar bisa dipersempit. (Samsul Nizar, 2013:248)


Situasi yang demikian melahirkan pemikiran Muhammad Abduh

dalam bidang pemikiran formal dan nonformal. Dalam bidang pendidikan

formal tujuannya yang esensi adalah menghapuskan dualisme

pendidikan yang tampak dengan adanya kedua institusi di atas, untuk itu

ia bertolak dari tujuan pendidikan yang dirumuskan sebagai berikut:

Tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan jiwa dan

menyampaikannya kepada batas-batas kemungkinan seseorang

mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat. (Harun Nasution,

1987:190) Di samping pendidikan akal ia juga mementingkan pendidikan

spiritual agar lahir generasi yang mampu berfikir dan punya akhlak yang

mulia dan jiwa yang bersih. Tujuan pendidikan yang demikian ia

wujudkan dalam seperangkat kurikulum sejak dari tingkat dasar sampai

tingkat atas. Kurikulum tersebut adalah:

1. Kurikulum al-Azhar

Kurikulum perguruan tinggi al-Azhar disesuaikannya dengan

kebutuhan masyarakat pada masa itu. Dalam hal ini, ia memasukkan

ilmu filsafat, logika dan ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum al-

Azhar. Upaya ini dilakukan agar output-nya dapat menjadi ulama modern.

(Ramayulis, Samsul Nizar, 2005:47)

2. Tingkat Sekolah Dasar


Muhammad Abduh beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa

agama hendaknya sudah dimulai semenjak masa kanak-kanak. Oleh

karena itu, mata pelajaran agama hendaknya dijadikan sebagai inti

semua mata pelajaran. Pandangan ini mengacu pada anggapan bahwa

ajaran agama (Islam) merupakan dasar pembentukan jiwa dan pribadi

muslim, rakyat Mesir akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme

untuk dapat mengembangkan sikap hidup yang lebih baik, sekaligus

dapat meraih kemajuan.

3. Tingkat Atas

Upaya yang dilakukan Abduh adalah dengan mendirikan sekolah

menengah pemerintah untuk menghasilkan ahli dalam berbagai lapangan

administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, dan sebagainya. Melalui

lembaga pendidikan ini, Muhammad Abduh merasa perlu untuk

memasukkan beberapa materi, khususnya pendidikan agama. Sejarah

Islam, dan kebudayaan Islam. Di Madrasah-madrasah yang berada di

bawah naungan al-Azhar, Abduh mengajarkan ilmu Mantik, Falsafah dan

tauhid, sedangkan selama ini al-Azhar memandang ilmu mantik dan

falsafah itu sebagai barang haram. Di rumahnya Muhammad Abduh

mengajarkan pula kitab Thazib al-Akhlak susunan ibn Maskawayh. Dan

kitab sejarah peradaban Eropa susunan seorang Prancis yang

diterjemahlan ke dalam bahasa Arab dengan judl al-thfat a-Adaabiyah fi


Tarikh Tamaddun al-Mamalik al-Awribiyah. (Ramayulis dan Samsul

Nizar, 2005:48)

Ketiga paket kurikulum di atas merupakan gambaran umum dari

kurikulum pelajaran agama yang diberikan dalam setiap tingkat. Dalam

hal ini Muhammad Abduh tidak memasukkan ilmu-ilmu barat ke dalam

kurikulum yang direncanakan. Dengan demikian, dalam bidang

pendidikan formal Muhammad Abduh menekankan pemberian

pengetahuan yang pokok, yaitu fikih, sejarah Islam, akhlak, dan bahasa.

Meskipun agaknya kurikulum yang dirancang Muhammad Abduh

sukar diterapkan secara utuh, lebih-lebih di sekolah umum seperti yang

diharapkan-nya, tetapi dari materi-materi pelajaran yang demikian dapat

dijangkau pemikirannya yang menghargai ilmu-ilmu agama, sama

dengan peniliannya terhadap ilmu-ilmu yang datang dari dari barat. Ia

menginginkan agar sekolah-sekolah umum menerapkan kuriulum yang

demikian, sama halnya dengan keinginannya agara al-Azhar mengubah

sistem pengajarannya, antara lain dengan menerapkan ilmu-ilmu yang

datang dari barat.

2. Pembaruan di Syiria (Beirut)

Kemudian pembaruan yang dilakukan Muhammad Abduh di Beirut

(Syiria). Di Beirut Muhammad Abduh menjadi guru, mengarang dan

mengajar. Ia memberi syarah (tafsir) mengajar tafsir Alqur’an di dua


masjid yang ada di Beirut dengan cara yang pernah ia perkenalkan di

mesir yaitu tidak terikat dengan sesuatu kitab tafsir tertentu. Ia membaca

suatu ayat lalu ia beri tafsir, baik ia ambil dari kitab-kitab lainnya atau

tidak, lalu dihubungkan dengan menerangkan keadaan umat Islam dan

kritik terhadap mereka sebagaimana yang diilhami oleh ayat yang ia

baca.

Muhammad Abduh diminta untuk mengajar di Madrasah Al-

Sultaniyah di Beirut. Kurikulumnya diperbaiki dan meningkatkan pelajaran

di madrasah itu, hingga dengan demikian madrasah itu meningkat dari

madrasah tingkat rendah menjadi madrasah tingkat tinggi. Di Beirut ini ia

mengajar tauhid, mantiq, balaghah, sejarah Islam dan rumahnya

dipergunakan tempat pertemuan ilmiah, sastra dan lain-lainnya. (Mukti

Ali, 1995:462)

Selanjutnya ia menaruh perhatian untuk perbaikan umum bagi

dunia Islam. Ia mengajukan dua usul untuk perbaikan pendidikan agama

di madrasah-madrasah kerajaan Ustmaniyah, dalam usulannya

Muhammad Abduh melihat kelemahan umat Islam disebabkan karena

buruknya aqidah dan bodohnya akar-akar agama, itulah yang

merusak akhlak mereka. Obat satu-satunya adalah memperbaiki

pendidikan agama. Kemudian yang kedua yang diajukan kepada

gubernur Beirut, Muhammad Abduh menggambarkan buruknya keadaan


negeri itu, dan pertentangan politik yang ada di negeri itu akibat

banyaknya sekolah-sekolah asing. Abduh menganjurkan memperbanyak

madrasah nasional dan memperbaiki kurikulum pendidikan agama.

(Mukti Ali, 1995:463)

Dari uraian di atas penulis menarik kesimpulan mengenai

pemikiran pendidikan Muhammad Abduh di Beirut adalah memperbaiki

pendidikan Agama dan mengusulkan kepada gubernur Beirut untuk

memperbanyak madrasah-madrasah nasional.

C. Pengaruh Pemikiran Pendidikan Muhammad Abduh di Indonesia

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya Muhammad Abduh

adalah seorang tokoh pembaharu Islam berasal dari Mesir kemudian

kemunculannya didunia Islam tak lepas dari kemunduran umat Islam saat

itu yang tidak hanya terjadi di Mesir tetapi dunia Islam secara

keseluruhan. Awal pembaharuan di Indonesia juga tak lepas dari

pengaruh pemikiran Muhammad Abduh mengingat kondisi umat Islam

kala itu tidak jauh berbeda dengan kondisi umat Islam di Mesir, berikut

pengaruh pemikiran pembaruan pendidikan Muhammad Abduh di

Indonesia:
1. KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah

Salah satu pengaruh pendidikan Muhammad Abduh di Indonesia

adalah pada organisasi Muhammadiyah. Timbulnya gagasan K.H Ahmad

Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah didorong oleh dua sebab.

Pertama, karena situasi politik Belanda, kedua karena keadaan umat

Islam di sekitar kampungnya ketika itu sangat rusak dan dalam

menjalankan praktik agama sudah sangat jauh menyeleweng dari ajaran

yang sebenarnya. (Afif Azhari dan Mimien Maimunah Z, 1996:89)

Dorongan lainnya adalah kondisi umat Islam sangat kompleks,

umat Islam sudah terbelenggu oleh kebekuan yang mengakibatkan

penyelewengan terhadap ajaran Islam. Hal ini tampak jelas diamati pada

masyarakat tempat Ahmad Dahlan berada, dan kondisi tersebut terjadi

pula pada umat Islam di Indonesia pada Umumnya. Melihat kondisi di

atas, dengan semangat yang benar bersama para tokoh Islam yang

sadar berusaha menyelamatkan bangsanya. (Afif Azhari dan Mimien

Maimunah Z, 1996:90) Pada tahun 1890, Ahmad Dahlan menunaikan

ibadah haji, kemudian sekitar tahun tahun 1902, ia sekali lagi

mengunjungi tanah suci, dimana dia tinggal selama dua tahun dan

belajar pada Syaikh Ahmad Chatib. Melalui gurunya ini, ia mulai

mengenal tulisan Muhammad Abduh berupa tafsir Al-Manar, bahkan di

antara ilmu-ilmu tersebut yang digemari dan menarik perhatian Ahmad


Dahlan adalah tafsir al-Manar. (Afif Ashari dan Mimien Maimunah Z,

1996:92)

Sebelum mendirikan Muhammadiyah, ia mencari pengalaman

dengan masuk di organisasi Budi Utomo. Organisasi ini adalah yang

pertama dibentuk bangsa Indonesia dalam bidang pendidikan, sosial, dan

kebudayaan pada tahun 1908. Pada saat itu pula, Ahmad Dahlan masuk

sekaligus menjadi pengurus, ia bermaksud memberikan pelajaran agama

pada anggota-anggotanya di organisasi tersebut. Dengan jalan ini pula,

diharapkan agar ia dapat memberi pelajaran agama pada sekolah-

sekolah pemerintah. Keinginannya tersebut berhasil dengan memberikan

ceramah-ceramah yang memang sangat dibutuhkan oleh pengikut Budi

Utomo. Pada tahun 1910, ia masuk Jami’at al-Khair, yaitu salah satu

organisasi Islam yang pertama di Indonesia yang menjalin hubungan baik

dengan negara Islam Timur Tengah. (Mukhrizal Arif, dkk, 2014:304)

Dari peristiwa itu diketahui Ahmad Dahlan mulai tampak berhasil

dalam menyebarkan ide-idenya dan berhasil membentuk kader-kader

yang militan. Bukan hanya pribumi yang mendukukng Ahmad Dahlan,

melainkan pihak kolonial juga mengakuinya dalam usaha membentuk

kader-kader. Akhirnya, ia mendapat izin untuk mengajar di sekolah

Kweekschool memberi pelajaran agama dan mengajar di sekolah-

sekolah pemerintah lainnya. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk


mencari murid. Pada akhirnya, Ahmad Dahlan membuat sekolah

Muhammadiyah tahun 1911 dengan sistem modern dan menggunakan

kurikulum ilmu umum sebagaimana sekolah-sekolah pemerintah.

Sekolah ini pun mendapat dukungan dari pihak Pemerintah Belanda.

Hingga pada tahun 1912, berdirilah sebuah organisasi Muhammadiyah

yang bergerak dalam bidang pendidikan.

Majalah Al-Manar ternyata cukup berperan bagi perjuangan

Ahmad Dahlan, Melalui majalah-majalah tersebut pemikiran-pemikiran

Muhammad Abduh cukup berpengaruh membentuk semangat

perjuangannya. Sekalipun majalah tersebut tidak banyak beredar di

Indonesia. Lebih jelas lagi dikatakan oleh H. Jarnawi Hadikusumo bahwa

dengan perantara K.H. Bakir, seorang famili Ahmad Dahlan, ia dapat

bertemu dan berkenalan dengan Rasyid Ridha tokoh pembaru Mesir

yang juga murid Muhammad Abduh yang kebetulan berada di Tanah

Suci. Keduanya sempat bertukar pikiran hingga cita-cita pembaharu

meresap dalam sanubarinya. (Afif Ashari dan Mimien Maimunah Z,

1996:95)

Dari uraian di atas penulis menarik benang merah bahwa peran

pemikiran Muhammad Abduh yang dituangkan ke dalam Majalah al-

Manar kelak sangat berpengaruh terhadap model pendidikan yang dirintis

K.H Ahmad Dahlan di dalam organisasi Muhammadiyah.


2. Ahmad Syurkaty dan Al-Irsyad

Pemikiran Muhammad Abduh di Indonesia juga berpengaruh

terhadap organisasi al-Irsyad yang didirikan oleh Syekh Ahmad

Muhammad Syurkaty al-Anshary yang pernah kenal dekat dengan Sayyid

Rashid Ridha. Disaat Rasyid Ridha sedang mendirikan perkumpulan

pendidikan Addakwah Wal Irsyad, kemudian Ia juga telah mengenal

tulisan Muhammad Abduh pada tahun 1905 yang termuat di Majalah al-

Manar sewaktu Ia bermukim di Mekkah dan telah berlangganan majalah

al-Manar. Pemikiran Muhammad Abduh memberi semangat bagi Ahmad

Syurkaty untuk mendirikan organisasi al-Irsyad 6 September 1914 dan al-

Irsyad inilah dikembangkan menjadi sekolah-sekolah al-Irsyad yang

diambil dari nama pergerakan yang didirikan oleh Rasyid Ridha.

Pergerakan al-Irsyad terdiri dari kalangan Arab yang bergerak dalam

bidang pendidikan yakni memperbaiki sistem pemahaman agama

dengan meningkatkan bahasa arab dan menghilangkan kesenjangan

sosial dikalangan masyarakat. (dalam http://nantly.mywapblog.com)

Dari pemaparan di atas menurut penulis Muhammad Abduh juga

memiliki andil terhadap perkembangan pendidikan perkumpulan al-Irsyad

yang didirikan oleh Syekh Ahmad Muhammad Syurkaty al-Anshary yang

juga terpengaruh dari pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh di dalam

Majalah al-Manar.
3. A Hassan dan Persis (Persatuan Islam)

Pemikiran Muhammad Abduh juga memberi pengaruh terhadap

Persis, berawal dari penerbitan majalah sejenis majalah al-Manar yang

dipelopori Syekh Tahir Djaluddin yang berasal dari Minangkabau yakni

majalah al-Imam. Majalah al-Imam membahas masalah agama dan

pembaharuan, kemudian majalah ini sering mengutip pendapat dari

Muhammad Abduh sehingga tak heran majalah ini juga berpengaruh

besar bagi para ulama di Minangkabau membuat mereka terdorong untuk

menerbitkan majalah al-Munir. Majalah al-Munir banyak memuat artikel

terjemahan yang diambil dari majalah al-Manar di Mesir tak dipungkiri

majalah ini beredar luas ditanah jawa, bahkan Ahmad Dahlan yang

kemudian yang menerjemahkan beberapa artikel al-Munir ke dalam

bahasa Jawa yang ditujukan untuk pembaca di jawa, meski peredaran

majalah ini sempat dilarang Belanda, tetapi kaum muda di Sumatera

terinspirasi oleh majalah al-Munir dengan mendirikan lembaga

pendidikan bernama sumatera Thawalha pada tahun 1918, sebuah

sistem pendidikan bersifat modern baik kelas maupun kurikulum.

Kemudian berawal dari majalah al-Imam dan al-Munir pembaharuan

Abduh berpengaruh pada diri A. Hassan melalui tulisan-tulisan yang

terdapat dalam kedua majalah tersebut sehingga A.Hassan mampu

membuka hatinya dan mendorong untuk mendirikan organisasi persatuan


Islam atau Persis, organisasi yang juga bergerak di bidang pendidikan

dan sekolah-sekolahnya sampai sekarang masih ada di Indonesia.

(dalam http://nantly.mywapblog.com)

Sehingga menurut penulis, berawal dari majalah al-Manar juga

yang memuat pemikiran-pemikiran Muhammad Abduh yang pada

akhirnya membawa pengaruh kepada organisasi Islam seperti Persis

yang kelak dari organisasi Persis ini banyak lahir tokoh-tokoh Nasional

salah satunya perdana menteri pertama Indonesia M.Natsir.

4. Mahmud Yunus dan Imam Zarkazy

Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya Muhammad Abduh

sebagai murid setia Jamaluddin al-Afghani memperbaharui sistem

pendidikan Islam di Mesir diantaranya merubah kurikulumnya.

Pembaharuan ini melahirkan perguruan tinggi Dar al-Alum di mana

tempat Mahmud Yunus menamatkan perguruan tingginya, suasana

pembaharuan yang di lakukan Muhammad Abduh, Mahmud Yunus

kobarkan ketika kembali ke Indonesia dengan mendirikan Normal Islam,

al-Jamiah al-Islamiyah, dan Islamic College, dan Mahmud Yunus sebagai

pemimpinnya. Dan Imam az-Zarkasy pendiri Gontor dan penggagas

Kulliyat al-Muallimin al-Islamiyah, telah belajar dari Normal Islam dan

Imam az-Azarkazy juga mnejadi murid kesayangan Mahmud Yunus.

(Nurhikma, 2014:i)
Jadi, menurut penulis pemikiran pendidikan Muhammad Abduh

juga memiliki pengaruh kepada kedua tokoh pendidikan Islam Indonesia

ini, yang mana Mahmud Yunus yang pernah belajar di Mesir yang ketika

itu Muhammad Abduh sedang melakukan pembaharuan-pembaharuan

pendidikan di Mesir, kemudian Mahmud Yunus kembali ke Indonesia

membawa ide-ide pembaharuan Muhammad Abduh dengan mendirikan

berbagai lembaga pendidikan Islam dan juga pengaruh Muhammad

Abduh tidak terlepas terhadap pesantren Gontor yang didirikan oleh

Imam az-Zarkazy murid Mahmud Yunus.


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Melalui pembahasan yang cukup panjang terhadap pemikiran

Muhammad Abduh dalam pendidikan Islam, maka pada bab penutup

ini penulis menarik sebuah kesimpulan sebagai berikut:

1. Pemikiran Muhammad Abduh mengenai Pendidikan Islam, yaitu:

a. Dalam metode pembelajaran, Muhammad Abduh lebih

menekankan dangan metode diskusi, penelitian dan penalaran di

banding dengan metode hafalan.

b. Tujuan pendidikan adalah mendidik akal dan jiwa seseorang

untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, serta

tidak mengesampingkan pendidikan spritual agar lahir generasi

yang mampu berfikir, mempunyai akhlak yang mulia dan jiwa

yang bersih, dengan cara mewujudkannya di dalam seperangkat

kurikulum sejak dari tingkat sekolah dasar sampai pada tingkat

atas.

c. Melakukan modernisasi pendidikan terhadap dua model sekolah

di Mesir pada waktu itu.

d. Pendidik dan Peserta didik, pendidik hendaknya seorang yang

mempunyai akhlak yang baik (akhlak mahmudah), bahkan

dianjurkan agar meneladani sifat – sifat yang dimiliki Rasulullah.


Sedangkan peserta didik hendaknya bersungguh sungguh dan

tekun belajar serta mempunyai sikap disiplin.

e. Wanita memilki hak yang sama dengan laki-laki dalam

mendapatkan pendidikan, sehingga wanitapun terlepas dari

rantai kebodohan.

2. Pembaruan pendidikan Islam Muhammad Abduh di Mesir dan Syiria:

a. Pembaruan Muhammad Abduh yang dilakukan di Mesir dengan

merancang kurikululum al-Azhar, kurikulum sekolah dasar dan

kurikulum tingkat atas.

b. Kemudian pembaruan Muhammad Abduh di Syiria (Beirut) di

antaranya dengan memperbaiki pendidikan Agama dan

mengusulkan kepada gubernur Beirut untuk memperbanyak

madrasah-madrasah nasional.

3. Dan pengaruh pemikiran pendidikan Islam Muhammad Abduh di

Indonesia, di antaranya terhadap organisasi Muhammadiyah yang

didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan yang mana K.H Ahmad Dahlan

mendirikan sekolah-sekolah Muhammadiyah dengan menggunakan

ide-ide pembaharuan pendidikan Muhammad Abduh, dan juga

terhadap Ahmad Syurkaty dan al-Irsyad,A. Hassan dan Persis, serta

Mahmud Yunus dan Imam Zarkazyi.


B. Saran

1. Hendaknya lembaga pendidikan Islam bisa menjadikan tolak ukur

pemikiran Muhammad Abduh sebagai referensi dalam

pengembangan lembaga pendidikan Islam, walaupun jarak antara

waktu dan kondisi sosial yang jauh dan berbeda dengan masa

Muhammad Abduh dengan masa sekarang, namun kiranya masih

relevan untuk digunakan dan dikembangkan.

2. Agar lembaga-lembaga pendidikan Islam seperti madrasah dan

pesantren lebih menampakkan wujud dan kiprahnya sebagai

pencetak individu muslim yang mempunyai kompetensi menghadapi

berbagai tantangan global.

3. Untuk peneliti selanjutnya, penulis mengungkapkan bahwa dalam

penelitian ini khususnya menganai kajian tokoh pendidikan Islam

tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Olehnya itu, penulis

harapkan adanya penelitian selanjutnya yang membahas menganai

tokoh-tokoh pendidikan Islam yang lain.


DAFTAR PUSTAKA

Assegaf, Abd. Rachman. 2012. Aliran pemikiran pendidikan Islam, Hadharah


Keilmuan Tokoh Klasik sampai Modern, Jakarta: Rajawali Pers.

Arifi, Ahmad. 2009. Politik Pendidikan Islam: Menelusuri Ideologi dan


Aktualisasi Pendidikan Islam di Tengah Arus Global. Yogyakarta:
Teras.

Arifin, Armai. 2007. Reformasi Pendidikan Islam, cet. Ke-2, Ciputat : CRSD
Press.

An-Nahlawi, Abdurrahman. 1992. Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan


Islam, Bandung: CV. Diponerogo.

A. Hanafi. 1967. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Djajamurni.

Aly, Hery Noer dan Munzier. 2008. Watak Pendidikan Islam, Jakarta: Friska
Agung Insani.

Arif, dkk, Mukhrizal. 2014. Pendidikan Posmodernisme Telaah Kritis


Pemikiran Tokoh Pendidikan, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Abduh, Muhammad. 1992. Risalah Tauhid, ter.Firdaus.A.N Cet.IX, Jakarta:


Bulan Bintang.
Ali, Mukti. 1995. Alam Pemikiran Islam Modern di Timur Tengah, Jakarta:
Djambatan.

Al-Attas, Muhammad Naqaib. 1994. Konsep Pendidikan Dalam Islam, terj.


Harry Noer Ali, Bandung: Mizan.
Azhari, Afif dan Mimien Maimunah Z. 1996. Muhammad Abduh dan
Pengaruhnya di Indonesia. Surabaya: Al-Ikhlas.

Az-Zabidi, Imam. 2002. Ringkasan Hadis Shahih Al-Bukhari, Jakarta:


Pustaka Amani.

An-Nawawi, Imam. 2014. Riyadhusshalihin, ter. Arif Rahman Hakim,


Solo:Insan Kamil.

Basri, Hasan. 2009. Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: CV Pustaka Setia.


Darajat, Zakiah. 1994. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah, cet I,
Jakarta: Ruhama.

Fuad Abdul Baqi, Muhammad. 2000. Al-Lu’lu Wal Marjan, Terj. Muslich
Shabir, Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang.

Ihsan, Hamdani dan Fuad Ihsan. 2001. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung:
Pustaka Setia.

Kementerian Agama, 2011. Al-Quran Transliterasi Per Kata dan Terjemah


Per Kata, Bekasi: Cipta Bagus Segara.

Langgulung, Hasan. 1986. Manusia dan Pendidikan Suatu Analisa Psikologi


dan Pendidikan, Jakarta: Pustaka al-Husna.

Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan, Bandung: Al-


Ma’arif.

M.Natsir. 1954. Capita Selekta, Jakarta:Van Hoeve.

Nurhikma, 2014. Studi Perbandingan konsep Pendidikan Islam menurut


Mahmud Yunus dan Imam Zarkasyi, Program Strata Satu (Sarjana),
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Jakarta.

Nata, Abuddin, 2010. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.

. Metodologi Studi Islam, Jakarta:Rajawali Pers.

Nasution, Harun. 1987. Muhammad Abduh dan Teologi Rasional


Mu’tazilah,Jakarta: UI Press.
Nizar, Samsul. 2005. Filsafat Pendidikan Islam, cet. Ke-2 Jakarta: Ciputra
Press.

. 2013. Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah


Pendidikan Era Rasulullah sampai Indonesia, Cet.V, Jakarta:
Kencana.

Pasha, Musthafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban. 2009. Muhammadiyah


Sebagai Gerakan Islam, Cet.II, Yogyakarta: Pustaka SM.
Ramayulis dan Samsul Nizar, 2005. Tokoh Pendidikan Islam, Jakarta:
Quantum Teaching.

Soebahar, Abd. Halim. 2002. Wawasan Baru Pendidikan Islam, Jakarta:


Kalam Mulia.
Sholehuddin, M. Sugeng. 2010. Reinventing Kepemimpinan dalam
Pendidikan Islam, Pekalongan: STAIN Press.

Shihab, M.Quraih, 2008. Rasionalitas Al-Quran Studi Kritis Tafsir al-Manar,


Jakarta: Lentera Hati.
Suharto, Toto. 2006. Filsafat Pendidikan Islam, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Sani, Abdul. 1998. Lintas Sejarah Pemikiran; Perkembangan Modern dalam


Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Tafsir, Ahmad. 1992. Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung:


Remaja Rosdakarya.

. 1992. Pembaharuan dalam Islam, Cet. IX, Jakarta: Bulan


Bintang.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 Tentang Sistem


Pendidikan Nasional, 2014. Jakarta: Sinar Grafika.

Umiarso dan Zamroni. 2011. Pendidikan Pembebasan Dalam Perspektif


Barat & Timur, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Yunus, Mahmud. tp.th, Kamus Arab – Indonesia, Jakarta:PT. Hidakarya


Agung.

Zuhairini, dkk. 2006. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.

. 2009. Filsafat Pendidikan Islam, cet.ke-5, Jakarta: Bumi


Aksara.

http://hikmawansp.wordpress.com
http://nantly.mywapblog.com.
RIWAYAT HIDUP

Fadil Burhan Lai, Lahir di Enrekang 25 Mei 1993,

anak pertama dari lima bersaudara, pasangan dari

Burhan Lai dengan Suarni S. Tamat Sekolah

Dasar (SD) pada tahun 2005 di MIS Minanga

Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Tamat

Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada tahun

2008 di PPM Darul Falah Enrekang. Dan Tamat

Sekolah Menengah Atas (SMA) pada tahun 2011

di PPM Darul Falah Enrekang. Kemudian Melanjutkan Pendidikan pada

program Pendidikan Ulama Tarjih Universitas Muhammadiyah Makassar

(PUT UNISMUH) 2011-2013 dan pada program strata satu, di Program Studi

Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah

Makassar tahun 2013-2015. Organisasi yang pernah digeluti adalah

Organisasi Santri Darul Falah (OSDF) Enrekang menjabat sebagai sekertaris

dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) PUT UNISMUH Makassar menjabat

sebagai Ketua Bidang Media.

Anda mungkin juga menyukai