Skripsi
Oleh:
MUH NUR ARDIANSYAH
NIM: 50300116039
NIM : 50300116039
Sulawesi Selatan
benar adalah hasil karya sendiri. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ia
merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat orang lain, sebagian atau
seluruhnya, maka skripsi ini dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi
hukum.
ii
KATA PENGANTAR
III Prof. Dr. H. Darussalam, M.Ag, dan Wakil Rektor IV Dr. Kamaluddin
Abunawas, M.Ag.
beserta Wakil Dekan I Dr. Irwan Misbach, SE., M.Si, Wakil Dekan II Dr.
Hj Nurlelah Abbas, Lc., MA, Wakil Dekan III Dr. Irwanti Said, M.Pd atas
iii
waktunya untuk memberikan bimbingan dan motivasi selama peneliti
4. Orang tua tercinta, Bapak Bundu Daeng Beta, Satriani Daeng Sayu Terima
kasih atas kasih sayang, pengorbanan, kesabaran, dan do‟a restunya selama
Dr. Sakaruddin, S.Sos., M.Si. yang telah meluangkan waktu dan pikiran
dengan baik.
6. Prof. Dr. Hj. Muliaty Amin, M.Ag. selaku Penguji I dan Penguji II Dr. St.
7. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan bimbingan dan wawasan
dan Komunikasi, Pengurus HMI Cabang Gowa Raya dan Pengurus BPL
iv
Training HMI Cabang Jombang, Senior Course HMI Cabang
v
DAFTAR ISI
JUDUL ........................................................................................................ i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ..................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................. viii
ABSTRAK .................................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1-16
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 9
C. Pengertian Judul ......................................................................... 9
D. Kajian Pustaka ............................................................................ 10
E. Metodologi Penelitian ................................................................ 13
F. Tujuan dan Kegunaan Peneltian ................................................. 15
BAB II TINJAUAN UMUM ...................................................................... 17-41
A. Tinjauan Islam Transformatif ..................................................... 17
B. Tinjauan Pengembangan Masyarakat ......................................... 32
BAB III BIOGRAFI................................................................................... 42-81
A. Moeslim Abdurrahman ............................................................... 42
B. Kuntowijoyo ............................................................................... 62
BAB IV PARADIGMA ISLAM TRANSFORMATIF .............................. 85-99
A. Paradigma Islam Transformatif Pespektif Moeslim
Abdurrahman Dan Kuntowijoyo ................................................ 85
B. Persamaan Dan Perbedaan Pemikiran Moeslim Abdurrahman
Dan Kuntowijoyo Tentang Islam Transformatif ........................ 92
C. Implikasi Paradigma Moeslim Abdurrahman Islam Transforma
-tif Terhadap Pengembangan Masyarakat .................................. 96
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 100-101
A. Kesimpulan ................................................................................. 100
B. Implikasi Penelitian .................................................................... 98
vi
DAFTRA PUSTAKA ................................................................................. 99
LAMPIRAN ................................................................................................ 107
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf latin dapat
1. Konsonan
viii
Hamzah ( )ءyang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi
tanda apapun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda
(‟).
2. Vocal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Vokal tunggal bahasa
Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:
َا fathah a a
َا kasrah i i
َا dammah u u
َََكـيْـف : kaifa
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,
ix
Harkat dan Nama Huruf dan Nama
Huruf Tanda
Contoh:
مـَات : ma>ta
قِـيْـم : qi>la
ُ ْ يَـمـُو: yamu>tu
َت
4. Tā’ marbutah
Transliterasi untuk tā‟ marbutah ada dua, yaitu: tā‟ marbutah yang hidup
atau mendapat harkat fathah, kasrah, dan dammah, transliterasinya adalah [t].
Sedangkan tā‟ marbutah yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya
adalah [h].
Kalau pada kata yang berakhir dengan tā‟ marbutah diikuti oleh kata yang
menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka tā‟
5. Syaddah (Tasydid)
x
sebuah tanda tasydid (َََّّّ ), dalam transliterasinya ini dilambangkan dengan
perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah. Jika huruf يber-
6. Kata Sandang
Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf (لalif
ا
seperti biasa, al-, baik ketika ia di ikuti oleh huruf syamsiah Maupun huruf
7. Hamzah
bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak
di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.
kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa
Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi
dari satu rangkaian teks Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh.
xi
9. Lafz al-Jalalah ()هلال
Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya
atau berkedudukan sebagai mudaf ilaih (frase nominal), ditransliterasi tanpa huruf
Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All caps), dalam
kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf
kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama dari (orang,
tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri
didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak
pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf
kapital (AL-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul
referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks
xii
ABSTRAK
Nama : Muh. Nur Ardiansyah
NIM : 50300116039
Judul : Paradigma Islam Transformatif dan Implikasinya Terhadap
Pengembangan Masyarakat (Studi Pemikiran Moeslim
Abdurrahman dan Kuntowijoyo
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mendeskripsikan pemikiran Islam
transformatif perspektif Moeslim Abdurrahman dan Kuntiwijoyo 2)
Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan pemikiran Moeslim Abdurrahaman
dan Kuntowijoyo tentang Islam Transformatif 3) Mendeskripsikan implikasi
pemikiran Moeslim dan Kuntowijoyo terhadap pengembangan masyarakat.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif library research
dengan pendekatan sosiologi interpretatif dan sosiologi dakwah. Sumber data
penelitian diperoleh dari karya-karya Moeslim Abdurrahman dan Kuntowijoyo
sebagai data primer dan sumber yang lain sebagai data sekunder. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi. Metode ini
merupakan cara untuk mencari sebuah data yang berupa catatan, surat kabar,
majalah, artikel, jurnal, buku dan literatur lainnya yang kemudian diamati
langsung dengan cara membaca, mencatat, mengidentifikasi, dan
mengklasifikasikannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Paradigma Islam transformatif
dalam pandangan Moeslim Abdurrahman, adanya hubungan dialogis antara pesan
suci agama dengan konteks agar dapat menggugah kesadaran sosial, sedangkan
menurut Kuntowijoyo adalah adanya objektivikasi nilai-nilai normatif yang
diwujudkan ke dalam perbuatan rasional. 2) Persamaan pemikiran Moelim
Abdurrahman dan Kuntowijoyo, pertama kedua tokoh tersebut merupakan tokoh
transformatif teoritis, kedua pada aspek hakikat pemikiran Islam transformatf
kedua tokoh tersebut sama-sama mengarahkan kepada keseimbangan hubungan
Habluminallah dan Habluminannas, ketiga visi yang diusung oleh Moeslim
Abdurrahman dan Kuntowijoyo bercorak humanisasi, liberasi dan transendensi.
Sedangkan perbedaan pemikiran Moeslim Abdurrahman dan Kuntowijoyo,
pertama adalah perspektif yang digunakan yang mengakibatkan terjadinya
perbedaan dalam penggunaan istilah, Moeslim Abdurrahman menggunakan
Teologi Islam Transformatif, sedangkan Kuntowijoyo menggunakan Ilmu Sosial
Transformatif yang nantinya ia ganti menjadi Ilmu Sosial Profetik, kedua
epistemologi yang digunakan Moeslim Abdurrahman, ada dua metode internal
yaitu interpretasi terhadap Al-Qur‟an dan membangun gerakan kemanusiaan,
sedangkan Kuntowijoyo yaitu aktualisasi nilai-nilai universal Islam menjadi sikap
dan perumusan teori ilmu. 3) Implikasi dari pemikiran Moeslim Abdurrahman dan
Kuntowijoyo dalam upaya pemberdayaan, empowering, akan memunculkan
gerakan-gerakan kemanusiaan dan keagamaan dari kalangan bawah, suatu
gerakan milik orang bawah yang akan melahirkan suatu simpul kesadaran kolektif
dari pengalaman-pengalaman orang yang menderita dalam kehidupan sehari-hari
yang diartikulasikan dalam sebuah kesadaran berupa religious consciousnesss.
Implikasi yang diperoleh dari penelitian, yakni: 1) Paradigma Islam
transformatif sebagai suatu paradigma baru yang lahir akibat respon terhadap
xiii
paradigma Islamisasi dan modernisasi. Tujuan utama dari keseluruhan proses ini
adalah praksis sosial-ekonomi, perubahan yang nyata secara sosial dan ekonomi
masyarakat sehari-hari agar lebih berdaya untuk menentukan nasibnya dan
sebagai manusia yang memiliki martabat dengan ikut merasakan keadilan yang
bermuara kepada kesejahteraan sebagai bentuk hadirnya Negara. 2) Berikutnya
terkait dengan upaya pengembangan masyarakat yang harus disandarkan kepada
cita-cita kerasulan atau misi profetik sebagaimana yang terkandung dalam surah
Ali-Imran ayat 110.
xiv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
berbagai ekspresi dan representasi yang diaktualisasikan oleh para pemeluk Islam.
Namun pada wajahnya yang lain, mereka yang mengaku pemeluk Islam yang
paling baik malah tampil sebagai sosok yang menakutkan, bengis, pemberontak,
memperkenalkan Islamnya.
ini sama sekali tidak berlebihan, mengingat bahwa salah satu konsekuensi paling
nyata dari kejatuhan Soeharto adalah terbukanya ruang kebebasan untuk berbicara
pemikiran dan gerakan Islam, kebebasan ini termanifestasi dalam bentuk lahirnya
hingga mereka yang menginginkan pemisahan Agama dan Negara, dari kelompok
gagasan ideal Islam. Dari perspektif yang lebih luas, kontestasi ini merupakan
salah satu bentuk ekspresi hubungan dialektis antara Islam otentik dan Islam
hybrid yang berlangsung tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seantero dunia
1
2
Islam.1
ini, berbagai kasus telah bisa menjadi bukti bahwa jihad Islam hanya sebagai teror
menakutkan bagi manusia, bukan malah memberi ketenangan dan kedamaian. Hal
ini berdasarkan pada seruan jihad yang dilakukan dengan cara saling bunuh-
non-muslim, jihad berarti perang suci yang diamanatkan kepada meraka, bagi
orang non-muslim melalui teladan dan persuasif yang baik dan bagi sebagian
harus dipaksakan bahkan jika perlu dengan kekuatan walaupun kepada kaum
Jihad Islam tak sedamai dan tak sesejuk yang kita dengarkan pada
1
Azyumardi Azra CBE dkk, Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah dan Terorisme
(Bandung: PT. Mizan, 2017), h. 222.
2
Muhammad Sa‟id Al-Asymawy, Menentang Islam Politik (Bandung: Penerbit Alifya,
2004), h. 105.
3
Persoalan lain yang tak kalah menarik dan hangat diperbincangkan adalah
aliran ataupun agama yang berusaha dan berupaya untuk kembali kepada apa yang
yang ada dalam lingkungan agamanya karena menganggap hanya diri sendirilah
yang lebih murni dan lebih benar sedangkan yang lainnya telah tercemari.
pada teks-teks kitab suci yang otentik dan tanpa kesalahan, mereka juga akan
berusaha meraih kekuasaan secara politik demi meraih dan kembali kepada tradisi
yang mereka maksudkan yang mengacu kepada tafsir atau interpretasi secara
tekstual (harfiah) terhadap pesan-pesan Tuhan yang terkandung dalam kitab suci
Persoalan dalam dunia Islam memang begitu kompleks, yang tak kalah
komoditas; komersialisasi sebuah aktivitas, dan lain sebagainya yang tidak alami
3
Muhammad Sa‟id Al-Asymawy, Menentang Islam Politik (Bandung: Penerbit Alifya,
2004), h. Vii.
4
Islam bererati suatu proses di mana norma-norma dan nialai-nilai sakral keislaman
dikonsumsi melalui mekanisme ekonomi pasar. Tentu hal demikian dimotori oleh
penguasa, tuan tanah, pemilik modal (kapitalis) dan tentunya pemuka agama.
Sungguh sangat miris rasanya jika ajaran Islam telah menjadi alat yang di
agar jarak kaya-miskin semakin melebar dan jauh. Ini hanyalah salah satu bentuk
muslim.4 Berbagai kondisi diatas terangkum dalam sebuah diskursus besar tentang
kondisi umat Islam secara umum dengan war ketertinggalan, ketergantungan dan
Berbagai aspek tampak dengan jelas umat Islam sangat kewalahan dan
nadi (lemah-mati), eksploitasi dan ketiadaan etika dalam berpolitik sehingga yang
dijumpai adalah hujat dan bahkan saling bunuh antar umat seagama apalagi
dengan mahar yang tidak murah apalagi ada yang sampai mematok standar
4
Eko Prasetyo, Astghfirullah: Islam Jangan Dijual (Yogyakarta: Resist Book, 2007), h.
Xi.
5
pemerintahan, anggota partai politik hingga pegawai swasta. Namun semua yang
dilakukannya bagai taman yang kehilangan bunga, bagai kata yang kehilangan
Padahal wajah Islam yang ditampilkan oleh Nabi Muhammad SAW itu
masyarakat yang timpang dan tidak manusiawi. Ia tidak hanya melakukan revolusi
masyarakat Arab.5
tentunya masih banyak masalah lain yang mengendap dan tak terkira banyaknya,
Maka tidaklah berlebihan jika dalam penelitian ini calon peneliti mencoba
belenggu ketidakadilan di dalam kehidupan sosial sebagai nilai ajaran Islam yang
subtantif.
5
Asghar Ali Engineer, Menemukan Kembali Visi Profetis Nabi: Tentang Gagasan
Pembebasan dalam Kitab Suci, terj. Dewi Nurjulianti, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul
Qur‟an, Vol, III, No. 4, Tahun 1992, h. 64.
6
reinterpretasi Islam secara benar. Menurut Moeslim, persoalan dalam dunia Islam
memang terletak pada pemaknaan Islam yang kurang memadai. Perlu pemaknaan
ulang yang lebih segar dan solutif dalam ajaran-ajaran Islam. Bagi Moeslim,
makna Islam yang paling murni bukan terletak pada rumusan teologisnya (apalagi
yang telah dibakukan oleh ulama), namun justru muncul dalam pergulatan hidup
secara esensial dan subtansial. Cara ini bagi Moeslim Abdurrahman ia namakan
merupakan impian teologis, yaitu bagaimana agar makna agama bisa diperebutkan
oleh mereka yang terpinggirkan, bukan dalam adu otoritas siapa yang boleh
menafsirkan dan tidak boleh menafsirkan makna pesan suci agama, tetapi
bagaimana Islam menjadi ruh pembelaan bagi mereka yang sengsara tatkala
Islam, tidak dikenal dikotomi antara domain duniawi dan domain agama. Bagi
tetapi nilai-nilai Islam pada dasarnya bersifat all-embracing bagi penataan sistem
kehidupan sosial, politikm ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar
6
Moeslim Abdurrahman, Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2009), h. 7.
7
nilai-nilai itu, lebih lanjut ia menerangkan bahwa kita mesti memperhatikan apa
dasar paling sentral dari nilai-nilai Islam. Di dalam al-qur‟an, kita sering kali
membaca seruan agar manusia itu beriman dan kemudian beramal. Salah satu
contoh misalnya dalam surah al-baqarah ayat kedua, disebutkan bahwa agar
manusia itu menjadi muttaqin, pertama-tama yang harus ia miliki adalah iman
atau percaya kepada yang gaib, kemudian mendirikan sholat dan menunaikan
zakat. Dalam ayat itu, kita melihat adanya trilogi iman-shalat-zakat, sementara
dalam formulasi yang lain, kita juga mengenal trilogi iman-ilmu-amal. Dengan
kita memperhatikan dan memahami ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa
iman berujung pada amal, pada aski. Artinya tauhid harus diaktualisasikan, pusat
demikian, Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai,
sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi
nilai. Dalam konteks inilah Islam itu disebut sebagai rahmatan lil alamin, rahmat
normatif itu diaktualkan langsung menjadi perilaku, sebagai contoh dalam seruan
moral praktis al-qur‟an, misalnya untuk menghormati orangtua. Seruan ini dapat
7
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 167.
8
semacam ini telah dikembangkan melalui ilmu fiqh. Kemudian cara yang kedua
diaktualisasikan ke dalam perilaku. Agaknya cara yang kedua ini memang relevan
dalam konteks sekarang, jika kita ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat
sekedar pendekatan legal. Metode unutk transformasi nilai melalui teori ilmu
ini tampaknya bertumpu pada dasar sebuah slogan filosofi tentang ikan dan kail.
Salah satu contoh misalnya, LSM yang ada di Grobongan yang orientaasi
dalam proses itu merekalah yang akan merencanakan program dirinya, memahami
strategi dan peluang-peluang yang mungkin dapat meningkatkan harga diri dan
8
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 170.
9
Ageng Nata Praja, Distorsi Peran lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Perspektif Civil
Society Di Kabupaten Grobongan,Tesis, (Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2009), h. 52.
9
Oleh sebab itu, dalam konteks yang lebih luas, agama tidak sekedar
sosiologi agama, kita akan menemukan dan memahami wahyu atau pesan suci
agama yang relevan dengan keadilan sosial, kesamaan derajat, emansipasi dan
semacamnya sebagai dasar dari konsep taqwa yang memulangkan seluruh sumber
kebenaran dan harkat kemanusiaan di tangan Tuhan, bukan pada otoritas manusia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis mengambil rumusan
C. Pengertian Judul
10
Moeslim Abdurrahman, Islam Trangsformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 40.
10
1. Paradigma
Paradigma yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu cara pandang
2. Islam Tranformatif
menciptakan tata sosial-moral yang adil dan egaliter dalam rangka menghilangkan
ilmu-ilmu sosial.
3. Pengembangan Masyarakat
penelitian ini bahwa judul yang dimaksud adalah upaya menjelaskan tentang cara
hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan judul penelitian yang dikemukakan
sebagai bahan perbandingan dan menjadi acuan calon peneliti untuk penyusunan
Moeslim ini tentu sudah jelas arah perubahan yang mesti dilakukan.
11
Fauzan Budi Raharjo, Islam Transformatif dalam Pandangan Moeslim Abdurrahman,
Skripsi, (Yogyakarta : Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015).
12
Kuntowijoyo.
12
Arbain Nurdin, Paradigma Islam Transformatif dan Implikasinya Terhadap
Pengembangan Pendidikan Islam (Studi Komparasi Pemikiran Kuntowijoyo dan Moeslim
Abdurrahman), Tesis, (Malang : Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2013).
13
moral.13
Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan
pengembangan masyarakat.
E. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
tokoh dalam kurang waktu tertentu di masa lampau maka calon peneliti
diteliti.
13
Giyato, Pandangan profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan
wasripin dan Satinah, Tesis, (Surakarta : Universitas Negeri Semarang, 2010).
14
2. Pendekatan Penelitian
terhadap objek yang diteliti maka melalui motede ini calon peneliti ingin
dakwah.
3. Sumber Data
yakni sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer merupakan
data yang diperoleh dari sumber aslinya, bersumber pada infomasi yang
berkenaan dengan objek yang diteliti. Data primer dalam penelitian ini
penelitian ini:
14
Djam‟an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. VI
(Bandung: Alfabeta, 2014), h. 25.
15
Mizan, 1991), Islam Sebagai Ilmu (Tiara Wacana, 2006. ), Muslim Tanpa
Masjid (Mizan, 2001.), Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997).
dokumentasi. Metode ini merupakan cara untuk mencari sebuah data yang
berupa catatan, surat kabar, majalah, artikel, jurnal, buku dan literatur lainnya
teknik berpikir induktif (pengolahan data dari umum ke khusus) dan juga
teknik berpikir deduktif (pengolahan data dari khusus ke umum) serta teknik
1. Tujuan penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam penelitian ini anatara lain:
pengembangan masyarakat
2. Kegunaan Penelitian
c. Calon peneliti berharap agar hasil penelitian ini nantinya dapat memberikan
wawasan baru yang komprehensif dan juga dijadikan sebagai referensi
ataupun menjadi bahan bacaan bagi mahasiswa dan siapapun.
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Tinjauan Islam Transformatif
umat manusia. Transformasi inilah yang bisa disebut sebagai bentuk dari gerakan
sosial baru.
sosial. Agama harus ditafsiri secara kontekstual sehingga dapat berfungsi dalam
kehidupan sosial selain kehidupan ritual.2 Dan sudah semestinya dimaknai seperti
1
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 66.
2
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 448.
17
18
masyarakat yang toleran, inklusif, penuh cinta kasih antar sesama manusia,
semesta alam dan antar sesama umat beragama sebagai pancaran dari sifat-sifat
ketuhanan.
Islam itu memang bernilai transformatif yaitu agama yang lebih egaliter,
transformatif dalam sejarah Islam telah dimulai sejak dari dakwah rasul yang
teologi yang bersifat pembebas dan emansipatoris, demi sebuah perubahan yang
dan eksploitasi tak akan menghirup udara untuk hidup pada semesta ini.
ide-ide yang disampaikan oleh paradigma modernisasi dan islamisasi. Karena bagi
Moeslim kedua paradigma tersebut tidak memberikan keadilan sosial dan terjebak
pada hal yang normatif bukan melihat problematika yang terjadi di kehidupan
sosial.6
Islam yang membuat distingsi dengan proses modernisasi atau modernitas yang
itu banyak orang yang semakin tidak peduli terhadap persoalan perubahan atau
adanya hubungan dialogis antara teks dengan konteks dan tidak cenderung kepada
dasarnya sudah lama, yaitu menghendaki agar kaum muslim menciptakan tata
6
M. Syafi‟iAnwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indoensia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 173.
7
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 186.
20
di atas dunia, fasd fi al-ardl, melalui pertimbangan aspek sosiologis dan ilmu-ilmu
sosial.8 Pemikiran ini banyak diterima oleh masyarakat terutama masyarakat kelas
dalam konteks Indonesia terutama pada masa orde baru. Dalam terminologi
suatu perubahan secara menyeluruh dalam bentuk, rupa, watak dan sebagainya
dalam hubungan timbal balik antar manusia, individu maupun sebagai kelompok.
Adapun faktor yang mungkin terlibat dalam proses perubahan sosial adalah
Dari sini pengertian Islam transformatif menjadi sudah sangat jelas, yakni
komitmen kita (sebagai makhluk, zoon politicon) terhadap mereka yang tertindas,
8
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 331.
9
Ensiklopedi Nasional Indionesia (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1991), h. 422
10
Abdurrahman Wahid, dkk, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, Cet. II, 1993), h. 216.
11
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 333.
21
dasar kemanusiaan.
transformatif Islam sudah muncul sejak zaman Rasulullah SAW. Hal ini dapat
ditelisik dan dicermati dari misi kerasulan Muhammad SAW yang ditujukan
telah terjadi ketika Nabi Muhammad sebagai utusan Allah menyampaikan risalah
tauhid kepada penduduk dunia Arab.12 Muhammad SAW secara cemerlang telah
fatalisme akibat krisis moral pada saat itu. Jika dicermati dengan baik, proses itu
moral-etika Islam yang memiliki tiga pilar yaitu, persamaan derajat kemanusiaan,
kedua adanya keadilan dalam masyarakat dan ketiga adalah kemerdekaan, yang
patologis. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad hadir untuk mengubah sistem
emansipatoris dan saling menghargai antara sesama umat manusia. Dalam al-
12
Haris Riadi, “Keniscayaan Revolusi Islam: Menggagas Ulang Doktrin Teologi Revolusi
Islam Hassan Hanafi”, Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 37, No. 2 (2012), h. 144.
13
Muh. Alwi, Teologi Pembebasan Dalam Islam: Studi Pemikiran Hassan Hanafi
(Skripsi, 2015), h. 78.
22
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ
ََََََََ َ
Terjemahannya:
pada saat ini di dalam maupun diluar Arab. Tujuan dasarnya adalah persaudaraan
(social justice).15
peduli suku, bangsa, Negara, gender karena yang menjadi pandang berbeda bagi
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ
َََََََََ َََ
Terjemahannya
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-
14
Kementerian Agama RI. Al-Qur‟an hafalan dan terjemah edisi tahun 2018 (Depok: Al-
Huda, 2018), h. 153.
15
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), h. 33.
23
bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.16
Ayat tersebut diatas menurut Ashgar Ali, secara jelas membantah semua
dalam Al-Qur‟an bukan hanya kesalehan ritual, namun juga kesalehan sosial
sebagaimana potongan arti ayat Al-Qur‟an “berbuat adil, karena itu lebih kepada
manusia sangat ditentang dalam Islam dan keadilan sosial merupakan cita-cita
Islam yang harus diwujudkan dan Muhammad SAW telah berhasil mengukir
budak, anak-anak yatim, perempuan, kaum miskin dan lemah. Misinya sama
transformatif, ini tentu tidak menghilangkan esensi dari pemikiran itu sendiri.
16
Kementerian Agama RI. Al-Qur‟an hafalan dan terjemah edisi tahun 2018 (Depok: Al-
Huda, 2018), h. 517.
17
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), h. 33.
18
Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi (Yogyakarta: LkiS, 2009), h. 216.
24
Sebab semua jalur pemikiran dalam sejarah peradaban Islam saling memiliki
keterkaitan. Oleh karena itu semakin maju zaman maka corak pemikiranpun akan
Islam peradaban dan Islam rasional yang digagas oleh pemikir pembaharu
keterbelakangan umat Islam disebabkan oleh cara pandang yang keliru dalam
beragama serta etos kerja yang rendah. Oleh sebab itu, kedua paradigma ini belum
menyentuh ranah aktualisasi namun baru pada tahap wacana. Sedangkan Islam
19
A. Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektual Islam Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1993), h.
132-133.
20
Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban: Dialog Filsafat Barat dengan Islam,
25
Tuhan, antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan alam. Ketika
masyarakat akan dapat terjadi. Hal ini diamini oleh Faisal Ismail sebagaimana
negatif dari pembangunan dan kapitalisme dunia yang sudah merusak tatanan
Rahardjo bahwa ada empat sebab yang memberikan kekuatan bagi para pemikir
pertama adanya ketidakadilan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain,
kedua banyak terjadi kerusakan lingkungan serta sumber daya alam, ketiga
struktur organisasi tidak berpihak kepada peranan individual dan keempat adanya
dampak negatif dari teknologi baru.23 Keempat sebab diatas menjadi kekuatan
Dialog Peradaban dan Dialog Agama, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 165.
21
Moeslim Abdurrahman, Islam Tranformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 106.
22
Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban: Dialog Filsafat Barat dengan Islam,
Dialog Peradaban dan Dialog Agama (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 163.
23
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, Dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, Cet. III, 1996), h. 112.
26
Tuhan baik melalui perumusan ilmu Islam maupun aksi sosial kemanusiaan.
yakni yang bersifat teoritis dan praksis. Islam transformatif teoritis fokus kepada
dengan kata lain para pemikir dari golongan ini lebih menginginkan ajaran-ajaran
teologi bukan sebatas sebuah ajaran doktrinal namun sebagai ajaran yang
transformatif praksis seperti Dawam Rahardjo, Adi Sasono dan M. Amin Aziz.25
24
M. Syafi‟i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indoensia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 163.
25
M. Syafi‟i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indoensia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 162.
27
barat tidak perlu ditakuti atau dibuang jauh-jauh seperti yang dilakukan kalangan
yang menghendaki Islamisasi tapi konsep tersebut bisa dijadikan acuan dengan
sempurna. Landasan pemikiran seperti itu dapat terlihat dari latar belakang
pendidikan mereka yang lulus dan lahir dalam tradisi keilmuan Barat-Sekuler,
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Fachry Ali dan Bahtiar Effendy
atas, berikut hasil surveynya bahwa ada empat corak pemikiran yang
Rais, Jalaluddin Rakhmat dan A.M. Saefuddin dan yang keempat modernisme
yang melibatkan Islam dalam dunia politik, seperti pemikiran Djohan Effendy dan
26
Zuly Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam: Wacana Inteletual Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), h. 106.
27
Dedy Djamaluddin dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran
dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid dan Jalaluddin
Rakhmat (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), h. 54-55.
28
atau etika yang harus diaktualisasikan ke dalam aspek kehidupan, seperti ekonomi
transformatif di negeri ini menjadi sangat relevan karena beberapa alasan seperti,
28
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, Cet. III, 1996), h. 106.
29
Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Cet. 2, 2001), h. 78.
29
sehingga pemikiran kritis sebagai alat menuju perubahan sosial tidak akan pernah
muncul, kedua paradigma modernis telah menidurkan sikap kritis karena adanya
sikap legowo terhadap struktur yang ada dan ketiga paradigma fundamentalis
agenda besar Islam menghadapi tantangan zaman, pandangan ini digagas oleh
agama dapat berfungsi secara dinamis tidak statis dan tidak sekedar
kesalehan kolektif.
30
Mansour Faqih, Teologi Kaum Tertindas dalam Th. Sumartana, (Eds.), Spiritualitas
Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h. 230.
31
M. Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan, (Jakarta:
Kencana, 2010 ), h. 98.
30
ketimpangan akibat poses modernisasi yang ternyata di satu segi hanya bisa
diakses oleh kelas menengah ke atas saja.33 Maka masyarakat mesti membangun
ekonomi dan informasi hanya bisa diakses oleh segelintir orang dengan
dikembangkan oleh teori modernisasi tidak relevan bagi sebagian negara. Dawam
32
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 449.
33
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 183.
34
Ali Subekti, Islam Transformatif: Studi Tentang Pemikiran Moeslim Abdurrahman
(Skripsi:Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, 2002), h. 58.
31
keadilan sosial, inilah yang dijawab dan dilakukan oleh para pemikir transformatif
b. Transformasi Sosial
merupakan tugas utama yang harus dilaktualisasikan baik dalam perumusan teori
ilmu aqidah, syariah, akhlak dan juga tasawuf. Sebagaimana pernyataan dawam
berikut.
Landasan berpikir umat Islam yang melihat Islam sebagai Fiqih, Aqidah,
dan Tasawuf sudah tidak memadai lagi dan perlu dirombak. Umat Islam
harusnya melihat permasalahan dunianya, lingkup dan kerangka budaya
universal sebagai pedoman dalam merumuskan konsep-konsep hidupnya.
Ternyata Fiqih yang pola dasarnya diambil sebagai pedoman oleh umat
Islam sudah tidak memenuhi tuntutan budaya universal segenap perubahan
yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Umat Islam tradisional telah terlanjur membakukan masalah-
35
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, Cet. III, 1996), h. 376.
32
transformatif bukan ingin merubah doktrin teologi secara subtansi tapi menngubah
pada aspek metode dan cara pandang masyarakat terhadap teologi itu sendiri,
sehingga perubahan zaman bukan menjadi kendala bagi umat Islam tapi justru
bahwa tauhid di dalam agama Islam memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan
pemahaman terhadap tauhid yang selama ini masih terbuai dengan mengesakan
Tuhan semata, padahal tauhid merupakan esensi ajaran Islam yang juga
36
M. Syafi‟i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indoensia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 165.
37
M. Syafi‟i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indoensia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 168.
33
sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan
yang lebih baik bagi seluruh masyarakat dengan berpartisipasi aktif dan inisiatif
a. Keadilan Sosial
38
Arif Budimanta dan Bambang Rudito, Metode dan Teknik Pengelolaan Cummunity
Development, Cet. II (Jakarta: CSD, 2008), h. 33.
39
A. Supardi, Dakwah Islam Dengan Pengembangan Masyarakat Desa (Bandung: Madar
Maju, 1987), h. 24.
34
Anatara satu prinsip dengan yang lain saling berkaitan dan saling melengkapi.
a. Pembangunan Menyeluruh
aspek tersebut. Hal ini berarti bahwa keenam aspek berjalan bersama-sama dan
mendapat porsi yang sama, tetapi mungkin satu diprioritaskan dengan tidak boleh
40
Khoiruddin, Pengembangan Masyarakat (Yogyakarta: Liberty, 1992), h. 24.
41
Dr. Zubaedi M.Ag., M.Pd., Pengembangan Masyarakat: Wacana dan Praktik (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 33.
35
masyarakat tidak akan menimbulkan penindasan struktural baru. Oleh karena itu,
bahasa, ekonomi, pasar dan iklan. Di lua r hal itu juga perlu dicermati adanya
asasi manusia. Hak asasi manusia perlu memperoleh perhatian secara serius bagi
maupun positif (promotion of human right). Dalam pandangan negatif, hak asasi
manusia adalah penting bagi pengembangan masyarakat. Oleh karena itu, setiap
d. Berkelanjutan
membangunan tatanan sosial, ekonomi, dan politik baru, yang prosesnya dan
berjalan dalam kerangka berkelanjutan, bila tidak ia tidak akan bertahan dalam
membangun struktur, organisasi, bisnis dan industri yang dapat tumbuh dan
36
lingkungan.
e. Pemberdayaan
kehidupan masyarakat.
dihubungkan dengan politik. Dengan cara ini, setiap perasaan dan tindakan bisa
g. Kepemilikan masyarakat
konsep kepemilikan bersama. Kepemilikan bisa dipahami dari dua tingkatan yaitu
h. Kemandirian
sumber daya yang dimiliki seperti: keuangan, teknis, alam dan manusia daripada
sebuah tradisi yang lama. Respon alamiah dari sebuah pemerintahan dalam
langsung dengan visi jangka panjang, menunjukkan bagaimana sebuah visi tidak
hanya relevan dengan visi yang lain, tetapi tak terpisahkan secara berkelanjutan
k. Pembangunan organik
suatu proses yang rumit dan dinamis. Pembangunan secara organik berarti bahwa
38
dengan lingkungannya.
l. Laju pembangunan
jadi, masyarakat akan kehilangan rasa memiliki proses tersebut dan kehilangan
m. Kepakaran eksternal
Keahlian yang dibawa oleh tenaga ahli dari luar belum tentu bisa
lokasi. Prinsip keragaman ekologis menekankan bahwa tidak ada suatu cara yang
paling benar untuk melakukan sesuatu dan tidak ada jawaban tunggal yang mesti
n. Pembentukan masyarakat
Pertentangan antara proses dan hasil telah menjadi isu besar dalam
hasil. Dalam pendekatan ini; apa yang dipandang sangat penting adalah hasil apa
p. Integritas proses
dengan hasil yang ingin dicapai. Oleh sebab itu, proses yang digunakan untuk
mencerminkan cita-cita ini, maka hal ini lebih memungkinkan untuk dapat
q. Tanpa kekerasan
mengatasi kekerasan melalui cara-cara damai. Hal ini berarti taktik Alinsky yang
masyarakat. Hal ini berarti bahwa proses harus diusahakan untuk memperkuat
r. Inclusiveness (keterbukaan)
berlawanan dan orang harus diberi ruang untuk merubah posisinya dalam sebuah
s. Konsensus
lebih dari sekadar kompromi, yang dapat menjadikan setiap orang tidak puas.
t. Kooperatif
u. Partisipasi
partisipasi, dengan tujuan agar setiap orang dalam masyarakat bisa terlibat aktif
dalam proses dan kegiatan masyarakat. Lebih banyak anggota masyarakat yang
41
berpartisipasi aktif, lebih banyak cita-cita yang dimiliki masyarakat dan proses
v. Menentukan kebutuhan
kemudian bertindak sehingga kebutuhan mereka bisa terpenuhi. Untuk ini, adalah
sendirilah yang harus memiliki dan mengontrol proses pengukuran dan penentuan
kebutuhan.
BAB III
BIOGRAFI MOESLIM ABDURRAHAMAN DAN KUNTOWIJOYO
A. Moeslim Abdurrahman
1. Biografi
Rakyat pada pertengahan tahun 60-an setelah itu ia kemudian menjadi santri di
oleh Kyai Salim Akhyar yang merupakan murid generasi pertama dari Kyai
Banda Aceh. Moeslim Abdurrahman meraih gelar Ph.D pada tahun 2000 dalam
Abdurrahman ini cukup beragam, ia pernah ditempa dan dibina dalam lingkungan
pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan dan di pihak lain ia juga pernah
merasakan pendidikan di luar negeri dengan iklim dan corak pengetahuan serta
Sejak pulang dari Amerika Serikat setelah meraih gelar Ph.D di bidang
42
43
Pelita (1989-1991) dan Kepala Litbang Harian The Jakarta Post (19992001) serta
Institute for Culture and Humanity sebuah lembaga yang bervisi menjadi simpul
Islam yang toleran dan inklusif, simpul tenda bangsa dan wadah komunitas
2
Penerbit Erlangga, Tentang Penulis, dalam Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik
Sosial (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003).
3
Zuly Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam: Wacana Intelektual Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), h. 107.
44
begitu dekat dengan kalangan NU, dia juga seorang santri yang amat begitu dekat
seperti Abdurrahman Wahid (Gusdur). Dia tidak terlalu bangga dengan gelar
Serikat. Kang Moeslim mengingatkan kita pada sosok seorang cendekiawan yang
berasal dari India yakni Asghar Ali Engineer, ia begitu sederhana, kocak dan
brilliant.5 Maka bukanlah sesuatu hal yang berlebihan jika Moeslim Abdurrahman
dikategorikan sebagai sumber mata air keteladanan bagi umat dan bangsa di
Moeslim Abdurrahman wafat pada hari Jum‟at tanggal 6 Juli Tahun 2012 di
Kepulangan Moeslim kepangkuan yang Maha kasih dengan sederet prestasi dan
gagasan yang ia wariskan seperti Islam transformatif dan atau Teologi Al-maun
merupakan hal yang mesti terus dikaji dalam rangka menghadang kemungkaran
Islam Transformatif (1995), Islam Sebagai Kritik Sosial (2003), Islam Yang
lain. Selain itu, gagasan Moeslim Abdurrahaman banyak termuat dalam artikel-
artikel maupun sebagai kata pengantar dalam sebuah buku seperti, Islam Pribumi:
dalam Sejarah Politik, “Kata Pengantar” dalam Ahmad Syafii Maarif (2006),
Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam
Konstituante.
tidak memberikan keadilan sosial dan terjebak pada hal-hal yang bersifat normatif
masih menggunakan istilah teologi, namun makna teologi di sini lebih luas tidak
hanya berkutat pada soal ketuhanan melainkan membawa ide dan nilai-nilai
agama dalam pergulatan hidup secara kolektif untuk menegakkan tatanan sosial
yang adil sebagai pancaran cita ketakwaan. Oleh sebab itu, konsep teologi
46
tersebut juga bersifat historis dan kontekstual sehingga mampu memberikan solusi
Abdurrahman ini terinspirasi dari teologi al-ma‟un KH. Ahmad Dahlan, teologi
Karena agama tidak akan menjadi sempurna tatkala lingkungan di sekitar masih
terjadi kesenjangan.
Berkenaan dengan teologi al-ma‟un ini pada mulanya ketika KH. Ahmad
pelajaran yang sama yaitu terkait dengan tafsir surat al-ma‟un kepada santri-
santrinya. Karena materi yang diajarkan berulang-ulang maka salah satu santri
pak Kyai tidak menambah materi pelajaran yang baru. KH. Ahmad Dahlan
langsung menjawab, apakah kalian sudah mengerti semua. Syuja pun menjawab,
saya dan teman-teman sudah faham dan hafal surah al-ma‟un. Lalu Kiyai
bertanya, apakah sudah kalian amalkan. Syuja menjawab, apa yang harus
diamalkan, toh setiap sholat sudah kami baca. Kyai pun menjawab, diamalkan
terkandung di dalam surah al-ma‟un, maka sekarang kalian pergi mencari orang
miskin, bawa mereka ke rumah kalian lalu beri mereka pakaian bersih, makanan
7
M. Syafi‟i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indoensia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 173.
47
terhadap kemajuan zaman dengan diimbangi oleh sikap kritis terhadap unsur
negatif dari proses modernisasi. Maka sikap yang harus ditampilkan adalah
keterbukaan, universalitas dan dialogis dalam menghadapi dunia yang plural dan
dinamis. Bagi kelompok modernis, tidak ada ambisi untuk menglslam setiap
aspek kehidupan, sebab otoritas agama sebagai ad-din dan perkembangan aspek
persoalan normatif yang “Islami” dan “tidak Islami” atau mana yang asli dan
mana yang bid‟ah.10 Kelompok ini erat dengan pendekatan fiqh, yang melihat
hidup di dunia ini berdasarkan pandangan serba dikotomis (a dualistic word view)
atau opisisi biner yakni cara pandang hitam putih seperti halal-haram, surga-
8
Khoiruddin Bashori, Keserakahan Ummat di Mata KH. Ahmad Dahlan dalam tim
pembinaan Al Islam dan Kemuhammadiyahan, Muhamddiyah:Sejarah Pemikiran dan Amal Usaha
(Malang: Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universitas Muhammadiyah Malang, 1990) h. 32.
9
M. Syafi‟I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995) h. 173.
10
M. Syafi‟I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995) h. 174.
48
sebagai produsennya.
menghasilkan eksploitasi dan marjinalisasi terhadap kaum dhu ‟afa dan mustadh
‟afin.11
sedikit banyaknya dipengaruhi oleh salah seorang filsuf pendidikan dari Brasil,
11
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 107.
12
Muhammad AS Hikam, Gus Dur Selalu Ngakak Bila ada Kang Moeslim (online),
(muhammadiyahstudies.blogspot.com diakses 28 Novembe 2021).
49
kajian seperti agama, politik dan kritik terhadap modernisasi. Namun secara
mendasar pemikiran Moeslim lebih dominan pada aspek agama, dengan harapan
bahwa dengan agama kehidupan masyarakat dapat terbebas dari ketidakadilan dan
keterpurukan dengan melakukan transformasi atas pesan atau teks serta ajaran
agar agama tidak hanya dipandang sebagai norma yang mengatur kehidupan ritual
a. Agama
diinterpretasikan lagi pada waktu dan zaman sekarang agar dapat berkontribusi
dan menyentuh aspek kehidupan sosial. Dalam hal ini, Moeslim Abdurrahman
Kedua tugas agama diatas haruslah menjadi tugas pokok yang mesti
13
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 177-
178.
50
dimasyarakat dan dengan demikian ajaran agama mesti menjadi pedoman bagi
Namun jika tidak, agama akan semakin asing dan lambat laung akan ditinggalkan.
Selain tugas pokok diastas agama juga harus berfungsi kontrol secara kritis
dan legitimatif, sama seperti dalam sosiologi. Fungsi kritis agama dapat berjalan
Jadi dalam konteks yang lebih luas, agama tidak hanya sekedar menuntut
kepatuhan dan ketundukan belaka. Akan tetapi peran sentral agama sebenarnya
juga kepada pergulatan untuk mewujudkan tatanan yang lebih bertanggung jawab.
Seperti layaknya pergulatan seorang sufi, yang tidak mengenal henti untuk
menyatu dengan kebenaran yang sejati, yang biasanya harus dilalui dalam
tahap-tahap pembebasan dan dalam proses- proses keterasingan diri
(khalwat).. .dalam pergulatan kaum sufi seperti itu, mereka yakin bahwa
„emosi‟ Tuhan tidak akan terganggu sedikitpun oleh kebebasan ulah
manusia, karena sebenarnya Tuhan Maha Bebas dari perilaku siapapun...
perspektif sufi ini penting saya kemukakan dalam membicarakan fungsi
kritis terhadap struktur sosiologis agama. Karena tampaknya hanya dengan
perspektif itulah kita akan memahami pesan-pesan suci agama yang relevan
dengan keadilan sosial, persamaan derajat, demokrasi, egalitarian, dan
14
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. III, 1997),
h. 12.
51
semacamnya.15
Bagi Moeslim Abdurrahman, dasar keseluruhan dari peran kritis yang
dan harkat kemanusiaan di tangan Tuhan, bukan berada dalam otoritas manusia.
makna atas pesan inti agama yang lebih kontekstual dan selaras dengan tuntutan
zaman. Sebab realitas yang sering kita jumpai agama telah menjadi alat legitimasi
rahmtanlillalamin.
Saya menemukan adanya suatu gejala bahwa Islam dalam masyarakat kita
kini sedang kehilangan idealisme, hal yang sungguh mampu memberi
referensi kepada arah transformasi sosial itu hendak kita tuju. Sehingga
kadang-kadang menimbulkan kesan seolah-olah kehidupan sebahagian umat
Islam mencerminkan sikap mendua. Intensitas ritual menjadi sangat romantik,
namun tidak berarti telah membuahkan kesalehan diri, apalagi kesalehan
sosial. Kehidupan keislaman menjadi sangat rutin dan ukuran-ukuran
keberagamaan menjadi sangat trivialistis (dipermukaan).16
Islam bukan sekedar ajaran agama yang hanya menuntut kesalehan ritual
kesalehan sosial akan berdampak terhadap transformasi Islam pada relasi sosial
15
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. III, 1997),
h. 13.
16
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. III, 1997),
h. 3-4.
52
keberpihakan kepada orang miskin. Namun bagi Moeslim Abdurrahman hal ini
17
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. III, 1997), h.
8.
18
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 185—
186.
53
Sejalan dengan itu, persoalan yang paling mendasar bagi saya yang selalu
harus ditafsirkan ialah tentang moda interpretasi agama. Hal ini menyangkut
bagaimana agar tafsiran agama dapat memihak persoalan keadilan, soal
bagaimana nasib orang-orang dalam subordinasi sosial, dapat dibela atas
nama agama-baik melalui rasionalisasi (perumusan makna hidup yang
baru), advokasi (dakwah pembelaan) dan kelembagaan (majlis ta‟lim
pemberdayaan). Hal ini relevan mengingat kaum tersingkir sekarang ini
jelas tidak memiliki agama dalam tiga hal tersebut.20
Fokus perhatian di dalam Islam transformatif yang dirumuskan Moeslim
sosial di atas merupakan awal dari teijadinya kemunduran peradaban umat Islam
19
Sidik, Paradigma Islam dan Transformasi Sosial: Studi Pemikiran Kuntowijoyo (Jurnal
Hunafa Vol. 2 No. 3 Desember, 2005:243-250), h. 249.
20
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. vi.
21
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet III, 1997), h.
106.
54
Salah satu kenyatan yang kita jumpai sekarang ini yang menjadi kritik teologi
transformatif yakni praktik ibadah haji. Munculnya identitas kelas dan perbedaan
pelayanan yang didapatkan oleh calon Jemaah, padahal aktivitas ibadah yang
Gerakan sosial yang berkiblat pada agama atau dakwah Islam mesti tertuju
sangat tepat untuk meningkatkan harkat dan martabat umat mansuia. Dengan
gerakan inipula akan mengantarkan kehidupan masyarakat yang lebih adil dan
manusia.
22
Moeslim Abdurrahman, Ritual yang Terbelah: Peijalanan Haji dalam Era Kapitalisme
Indonesia, dalam Mark R. Woodward. Toward a New Paradigma: Recent Developments in
Indonesia Islamic Thougth, teij. Ihsan Ali-Fauzi, Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma
Mutakhir Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), h. 129.
23
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. III, 1997),
h. 50.
55
memperoleh hasil dan keterbukaan dalam kepemimpinan. Tetapi kita mesti tetap
harus memiliki optimisme karena ini merupakan gerakan ideal bagi masyarakat
Jamaah sosial yang lahir dengan solidaritas baru yang didasarkan pada
kesamaan berusaha, keadilan dalam memperoleh hasil dan keterbukaan
dalam kepemimpinan. Tipe Jemaah semacam ini akan sangat ideal jika lahir
di berbagai tempat sebagai modal organisasi umat yang mengacu pada
terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis, beriman dan bertaqwa
kepada Allah Swt. Memang, melahirkan Jemaah-jemaah semacam ini tidak
mudah, dibutuhkan perencanaan, pendampingan dan komitmen yang jelas di
atas dasar kesamaan visi dan cita-cita yang kuat.24
Moeslim Abdurrahaman secara khusus menawarkan suatu metode alternatif
tersebut adalah tafsir transformatif. Pada metode ini ditekankan tiga aspek dalam
kosntruk itu ke wilayah interpretasi wahyu, lalu hasilnya dapat dijadikan model
aksi baru yaitu transformasi sosial. Bentuk tafsir baru ini diharapkan relevan
dihadapinya sekarang, sebeb tafsir yang telah ada sebelumnya masih belum
Biarpun Al-Qur‟an sebagai teks memang telah dipenjara oleh sejarah, tapi
gagasan-gagasan Tuhan yang diisyarakatkan melalui firman-Nya itu tetap
akan hidup, selama Al-Qur‟an bukan hanya dibaca dalam wujudnya yang
skriptual saja tetapi seharusnyalah “dibaca” dalam double hermeneutics
yakni sekaligus dikonfrontasikan terhadap kenyataan sosial yang aktual.
Untuk kepentingan ini, saya kira perlu dikembangkan “Tafsir Transformatif‟
24
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. III, 1997),
h. 42.
56
suatu ajaran yang bukan hanya melakukan reformasi keagamaan semata, tetapi
Hasil akhir yang akan dicapai oleh Islam transformatif adalah munculnya
social justice. Karena dari segi praktik, politik kita tidak memberikan
harapan. Oleh karena itu harus diinspirasi dengan spirit dari Islam
transformatif itu. Nah, kenapa saya selalu berbicara Islam, karena Islam
sebagai suatu kekuatan dan secara kultural sudah lama berakar di Indonesia.
Orang-orang yang menekankan Islamic reform dalam pandangan saya
kurang menekankan perlunya social reform. Islam transformatif adalah
Islam yang punya orientasi dan menggagas perlunya social reform. Islam
harus mempunyai orientasi kritik sosial, tidak hanya sebagai pencerahan
atau sebagai wacana modernisasi atau wacana medernitas. Islam yang ingin
mengubah keadaan supaya lebih adil.26
Pada suatu wawancara yang pernah dilakukan oleh Ulil Abshar Abdallah
terkadang ditafsiri secara simbolik oleh penguasa karena agama memiliki relasi
yang tidak berkeadilan pada penerapannya bagi rakyat dan terutama juga bagi
wawancaranya.
25
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 116.
26
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 190.
57
Dalam sebuah tulisannya yang berjudul wong cilik dan kebutuhan Teologi
1) Teologi tidak bersifat abstrak namun berkaitan dengan tujuan sosial yang
membebaskan
3) Dialog antara teks dan konteks merupakan model yang ingin diwujudkan
pengawasan
agama
masyarakat.28
27
Moeslim Abdurrahman, Korban Pertama Penerapan Syariat adalah Perempuan, dalam
Luthfi Assyaukanie (Ed.), Wajah Liberal Islam di Indonesia (Jakarta: Teater Utan Kayu dan
Jaringan Islam Liberal, 2002), h. 112.
28
Nasihun Amin, Dari Teologi Menuju Teoantropologi: Pemikiran Teologi Pembebasan
Asghar Ali Engineer (Semarang: Walisongo Press, 2009), h. 37-38.
58
b. Politik
tatkala ia memberikan kritik pada agama yang dijadikan sebagai kartu politik
sosiologis dengan segala kompleksitas politiknya selama ini tidak bisa dihapus
Oleh karean itu selama umat Islam dan politisi Islam masih terjebak dalam
29
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 50
30
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 50
59
politik yang ekslusif dan sekali lagi bukan sebagai moral politik yang objektif.
penduduk semesta dan inilah yang harus menjadi cita-cita politik Islam.
Kemiskinan yang oleh umat Islam sering dipandang sebagai gejala manusia
secara individual, saya kira akarnya lebih merupakan bagian yang tidak
terpusahkan dalam struktur ekonomi dan politik. Hal ini menyangkut
timpangnya penguasaan dan redistribusi sumber-sumber kehidupan dalam
masyarakat. Oleh karea itu, apa yang paling dibutuhkan dalam hal
memberantas kemiskinan, sudah tentu tidak lain adalah munculnya cita-cita
politik yang kuat untuk melakukan pemihakan terhadap redistribusi sosial.31
Satu hal lagi yang menjadi perhatian Moeslim Abdurahman atas politik di
paradigma Islamnya sudah keluar dari pikiran partai dan tidak lagi hendak
kelompok intelektual modem yang mempraktekkan, Islam yes partai Islam no.
namun ini akan menjadi malapetaka jika kelompok intelektual muda ini juga
terbawa arus politik lama, yang sejak kita merdeka, kriteria keberhasilan
Islam menjadi tidak jauh berbeda dengan elit politik yang lain, sehingga hanya
akan melahirkan elit politik baru yang orientasimya juga sama, sehingga dalam
31
Moeslim Abdurrahman, Krisis Sosial, Krisis Cara Pandang (Agama): Sebuah Pengantar,
dalam Moh. Asror Yusuf (Ed.), Agama Sebagai Kritik Sosial: di tengah Arus Kapitalisme Global
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), h. 9.
60
tidak terhindarkan juga bagi Indonesia namun naas modernisasi tidak cukup
membawa dampak yang baik bagi semua negara dunia ketiga. Sebagai dampak
merupakan bagian dari proses globalisasi yang bagi Indonesia datang bersama
dengan penjajahan barat dan bukan merupakan pengalaman yang orisinil bagi
Islam.
...ada beberapa hal yang perlu untuk dicatat. Pertama, proses modernisasi di
negara-negara berkembang adalah bagian dari proses globalisasi, yang di
Indonesia dating bersama penjajahan barat. Kedua, modernisasi yang
muncul setelah revolusi industri bukanlah penagalaman orisinil Islam. Kita
ketahui, modernisasi muncul dalam pengalaman masyarakat kristiani di
Eropa.34
32
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 54.
33
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, Cet. III, 1996), h. 380.
34
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. III, 1997), h.
22.
61
Islam yang terdidik dalam tradisi sekolah konvensional Barat. Kelompok inilah
yang demokratis, pranata kesehatan modern seperti hadimya rumah sakit serta
Dalam kaitan perjumpaan Islam dengan Barat itu, ada satu fenomena yang
saya kira perlu dicatat sebagai awal kesadaran sosial politik baru yang
sangat penting. Yaitu berdiri Syarikat Dagang Islam (SDI) pada dasawarsa
kedua abad ini, yang kemudian secara artikulatif menjadi gerakan Syarekat
Islam (SI).35
35
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. III, 1997),
h. 23.
62
kemudian dikenal dengan nama Muhammad Darwis. K.H. Ahmad Dahlan lahir
Ayahnya adalah seorang ulama bernama K.H. Abu Bakar Bin K.H. Sulaiman,
adalah putri dari H. Ibrahim bin K.H. Hassan, yaitu seorang pejabat penghulu
B. Kuntowijoyo
1. Biografi
atas tidak terlepas dari rekam jejak pikiran Kuntowijoyo dalam karya-karyanya.
Putra pasangan H. Abdul Wahid Sosroatmojo dan Hj. Warasti ini dilahirkan di
36
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam
(Jogjakarta: AR-Ruzz Media, 2011), h.193
37
M. Fahmi, Islam Transendental Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo
63
menjadi seorang Guru Besar, sejak tahun 1985, ia bersama istri dan anak-anaknya
hanya menempati rumah bertipe 70 di jalan Ampel Gading 429 Condong Catur,
Sleman Yogyakarta, rumah dengan seharga 4,5 juta yang diperluas ukurannya
menjadi 180 Meter persegi berlantai dua. Dalam rumah Kuntowijoyo tidak
ditemukan perabotan mahal ataupun lukisan, di ruangan tamu yang berukuran 4x5
meter hanya ada meja dan kursi tamu yang berwarna coklat tua. Harta yang paling
mahal dalam rumah tersebut hanyalah sebuah tumpukan buku dan piala-piala
Seorang pemikir yang sangat optimis akan masa depan Islam. Dia berupaya
tidak terlepas dari latar belakang keluarganya yang agamis serta keaktifannya
menjadi rutinitas sehari-harinya juga menjadi hal yang penting dalam membentuk
pemikiran Kuntowijoyo.40
Selain latar belakang yang telah diuraikan diatas, ada dua hal yang juga
yang cukup besar terhadap pola pikir masyarakat yang masih dibelenggu oleh
Peradaban Islam yang bersifat terbuka, global, kosmopolit dan merupakan mata
rantai penting peradaban dunia telah mengalami penyempitan dan stagnasi dalam
historis dan kultural untuk melihat perkembangan umat Islam Indonesia. Kondisi
sosial melalui reinterpretasi nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah
40
M. Fahmi, Islam Transendental Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo
(Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), h. 36.
65
mendorong manusia untuk berpikir secara rasional dan empiris. Kedua adanya
respon terhadap tantangan masa depan yang cenderung mereduksi agama dan
Ilmu sosial profetik merupakan ide besar yang gulirkan oleh Kuntowijoyo.
Secara subtansial gagasan Kuntowijoyo ini di ilham oleh dua tokoh besar yakni
Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy. Salah satu karya fenomenal Iqbal yang
Sunnah nabi adalah aktivisme sejarah yang artinya nabi dalam hal ini Muhammad
kearah yang lebih baik. Keterlibatan nabi dalam transformasi ini merupakan etika
asal Prancis yang mengumandangkan istilah profetik yang harus digunakan umat
yang ikut memberikan warna dalam corak pemikirannya, maka di dalam beberapa
karya Kuntowijoyo telah terangkum ide serta gagasan yang mengarah kepada
41
Sidik, Paradigma Islam dan Transformasi Sosial (Studi Pemikiran Kuntowijoyo), Jurnal
Hunafa, Vol. 2 NO. 3 Desember 2005, h. 244.
42
Kuntowijoyo, Ilmu Sosial Profetik: Objektifikasi bagi Pembentukan Masyarakat Madani,
dalam Widodo Usman (Eds.), Membongkar “Mitos” Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), h. 156.
66
transformasi sosial baik itu berupa ilmu sosial, agama, budaya, sastra serta politik
Islam. Secara umum aspek yang demikian tadi telah mengalami degradasi akibat
a. Agama
keberadaan atau misi ajaran Islam dalam menjawab realitas sosial. Pikiran-pikiran
Pendekatan ini menggap bahwa pada dasarnya kandungan Al- Qur‟an itu
terbagi menjadi dua bagia. Bagian pertama berisi konsep-konsep dan bagian
kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amsal-amsal. Dalam bagian pertama
yang berisi konsep-konsep, kita mendapati banyak sekali istilah Al-Qur‟an
yang merujuk kepada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-
doktrin etik, aturan-aturan legal dan ajaran-ajaran keagamaan pada
umumnya. Istilah-istilah atau singkatnya pernyataan-pernyataan, itu
mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat
Arab pada waktu Al-Qur‟an diturunkan atau bisa jadi merupakan istilah-
istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep etik-
religius yang ingin diperkenalkannya.Yang jelas, istilah-istilah itu kemudian
diintegrasikan ke dalam pandangan dunia Al-Qur‟an dan secara demikian
lalu menjadi konsep-konsep yang otentik.43
43
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 327-328.
67
pendekatan sintetik maka ayat yang berupa konsep dan kisah itu dapat dipahami
objektif dalam rangka membentuk manusia yang peduli dan peka terhadap
mempunyai signifikansi yang besar untuk memelihara basis teologis umat, akan
44
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 330.
68
Islam adalah agama yang sangat peduli terhadap realitas sosial, Islam pula
Dengan kata lain, konsep teologis di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah ditafsirkan ke
ranah historis dan kontekstual untuk perubahan sosial. Maka sudah menjadi tugas
umat Islam saat ini untuk memfungsikan agama bukan semata-mata kepada sikap
yang eskapistik maupun spiritual saja, akan tetapi perlu menjadi sebuah rumusan
Menjadi jelas bahwa salah satu urgensi mengapa dewasa ini kita
memerlukan sebuah perumusan teori sosial Islam adalah agar kita mampu
mengaktualisasikan iman kita pada realitas objektif, agar kita mampu
memanifestasikan amal kita secara efektif pada kondisi-kondisi dan
kenyataan-kenyataan sosial yang baru.46
Begitu urgen dan pentingnya transformasi ajaran Islam menjadi sebuah Ilmu
yang dapat dinilai secara ilmiah dan objektif, oleh karena itu merupakan bagian
45
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 342.
46
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 345.
69
Ada dua macam cara bagaimana nilai-nilai normatif itu menjadi operasional
dalam kehidupan sehari-hari. Pertama nila-nilai normatif itu diaktualkan
langsung menjadi perilaku...cara yang kedua adalah mentransformasikan
nilai-nilai normatif itu menjadi teori ilmu sebelum diaktualisasikan ke dalam
perilaku.47
Ada banyak contoh dari aktualisasi nilai-nilai normatif ajaran Islam yang
ada di dalam Al-Qur‟an yang dapat diinterpretasi menjadi sebuah sikap dan
ini.
Di dalam Al-Qur‟an, kita sering kali membaca seruan agar manusia itu
beriman dan kemudian beramal. Dalam surat Al-Baqarah ayat kedua
misalnya, disebutkan bahwa agar manusia itu menjadi muttaqin, pertama-
tama yang harus ia miliki adalah iman, “percaya yang ghaib”, kemudian
mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Di dalam ayat tersebut kita
melihat adanya trilogi iman-sholat- zakat, sementara dalam formulasi lain,
kita juga mengenal trilogi iman-ilmu-amal... kita dapat menyimpulkan
bahwa iman berujung pada amal, pada aksi. Artinya tauhid harus
diaktualisasikan: pusat keimanan Islam memang Tuhan, tapu ujung
aktualisasinya adalah manusia...Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari
semua orientasi nilai, sementara pada saat yang sama melihat manusia
sebagai tujuan dari transformasi48
Contoh lain yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo berkenaan dengan
47
Kuntowiioyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 170.
48
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 167.
70
menjadi kontekstual, realitas empirik akan membawa kearah tujuan yang hendak
dicapai oleh Islam sebagai ajaran yang merahmati semesta alam beserta segala
isinya.
ajaran Islam yang terdapat di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah merupakan model
49
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 345-346.
50
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 55-62.
71
Supaya Islam tetap pada asasnya. Supaya Ilmu agama tetap konsisten, tidak
berubah dari aslinya. Al-Qur‟an dan As-Sunnah kemudian dijabarkan
(dekodifikasi) ke dalam ilmu-ilmu agama seperti tafsir, tasawuf, dan
fiqh...Hasil dari dekodifikasi itulah yang dipakai sebagai alat untuk berpikir,
berkata dan berbuat. Dekodifikasi di samping sifatnya positif, yaitu
teijaganya hubungan antar-teks, mempunyai juga sifat-sifat negatif yaitu
involusi dan ekspansif.51 Pengetahuan yang benar-benar objektif tidak perlu
di Islamkan, karena Islam mengakui objektivitas. Teknologi itu sama saja,
baik di tangan orang Islam atau orang kafir. Karena itu kita harus pandai
memilih mana yang perlu Islamisasi mana yang tidak. Metode itu dimana-
mana sama: metode survei, metode partisipan, atau metode grounded dapat
dipakai dengan aman tanpa resiko akan bertentangan dengan iman. Tidak
ada kekhwatiran apapun dengan ilmu yang benar-benar objektif sejati, jadi
Islamisasi pengetahuan sebagian memang perlu, sebagai pekerjaan yang
tidak berguna...Untuk ilmu yang benar-benar objektif kiranya sangat
tergantung dari niat individu, maka niat itulah yang perlu Islamisasi dan
bukan ilmunya.52
Sebagai jawaban atas kritiknya pada kedua model tersebut, Kuntowijoyo
menawarkan sebuah model lain yang dapat menghubungkan teks dengan konteks,
antara wahyu dengan realitas yang oleh Kuntowijoyo disebut demistifikasi Islam.
dan itu merupakan tugas bagi cendekiawan muslim pada masa sekarang dan
Kesadaran adalah kata kunci yang membedakan umat Islam dari yang lain,
misalnya Marxism e. Dengan perkataan lain, metode Islam lebih cenderung
menekan superstruktur daripada struktur. Rumusan iman, ilmu, amal
bukanlah urutan yang tidak disengaja, tetapi sesuai dengan epistemologi
Islam. Dari dalam ke luar. Dengan demikian, masyarakat Islam adalah
masyarakat demokratis, tanpa koersi dari struktur. Dalam Islam, struktur
adalah alat superstruktur, bukan tujuan. Ini berarti bahwa Islam melupakan
struktur, tetapi prioritas tetap pembangunan superstruktur itu.55
dipandang sebagai bagian dari epistemologi Islam yang jika dilihat dari makna
metode. Kuntowijoyo juga sepakat jika wahyu dianggap sebagai satu di antara
54
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (Bandung : Mizan, 2001) h. 20-21.
55
Kuntowijoyo, Peranan Cendekiawan Muslim, dalam Suhardi (Eds.), Embrio
Cendekiawan Muhammadiyah (Jakarta: Yayasan Penerbit Pers Suara Ikatan Mahasiswa
Muahammadiyah dan Perkasa Press, 1995), h. 19.
73
dikemukakan oleh Kuntowijoyo adalah lahirnya ilmu sosial profetik. Ilmu sosial
56
Kuntowiioyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 331.
57
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 85-86.
58
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 286-287.
74
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ
ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ
َََََ
Terjemahannya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeruh
kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada
Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik.
Dalam pandangan Kuntowijoyo mengenai ayat tersebut diatas, ada empat
poin penting yang melahirkan cita-cita profetik atau ilmu sosial profetik.
Ada empat hal yang tersirat dalam ayat itu, yaitu konsep tentang umat
terbaik, aktivisme sejarah, pentingnya kesadaran dan etika profetik. Pertama
tentang konsep umat terbaik di dalam Islam berupa sebuah tantangan untuk
bekerja lebih keras ke arah aktivisme sejarah. Kedua aktivisme sejarah,
bekerja di tengah-tengah manusia (ukhrijat linnas) berarti bahwa yang ideal
bagi Islam ialah keterlibatan umat dalam sejarah. Ketiga, pentingnya
59
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 288.
75
pilar dari ilmu tersebut yang dijadikan sebagai sasaran yang hendak ingin dicapai
Amar ma‟ruf dalam bahasa sehari-hari dapat berarti apa saja dari yang
sangat individual seperti berdoa, berdzikir dan shalat sampai yang semi-
sosial, seperti menghormati orangtua, menyambung persaudaraan dan
menyantuni anak yatim serta yang bersifat kolektif seperti mendirikan clean
government... kita akan memakai kata humanisasi, nahi mungkar dalam
bahasa sehari-hari dapat berarti apa saja, dari mencegah teman
mengkonsumsi estacy, melarang carok, memberantas judi...untuk itu kita
memakai kata liberasi. Tu ‟minuna billah dalam Al-Qur‟an yang
mempunyai arti khusus, kita akan menggunakan terminologi yang sangat
umum, yaitu transendensi sebagai padanan.61
60
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Jakarta : Tiara
Wacana, 2006) h. 91-92.
61
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (Bandung: Mizan, 2001), h. 369.
62
Kuntowiioyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit
Mizan,1991), h. 167-168.
76
kepada keimanan, dengan arti bahwa Islam adalah agama yang tidak jauh dari
umat manusia.
Unsur yang kedua terkait dengan misi pembebasan atas sistem yang
merdeka.
sehingga langkah dan nafas perjuangan kemanusiaan mendapat rahmat dan ridho
Tuhan.
Dengan tujuan yang jelas menjadikan cita-cita Ilmu sosial profetik sebagai
suatu ilmu yang objektif dalam rangka aktualisasi ajaran Islam ke arah yang lebih
baik dan bermanfaat bagi kehidupan umat Islam dan umat manusia.
63
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 289.
77
b. Budaya
sudut sejarah. Oleh sebab itu, tema sentral yang diangkat dalam budaya Islam
adalah humanisme-teosentris. Jika budaya itu terkait dengan manusia dan Tuhan
sebagai tujuan akhir dari segala aktivitas kehidupan maka akan lahir sebuah
sistem yang universal, menjangkau semua lapisan manusia tanpa sekat primordial.
mampu seirama dengan zaman sekarang. Salah satu strateginya adalah melakukan
Kelebihan dan keunggulan yang telah dimiliki oleh kebudayaan Islam dalam
kehidupan masyarakat luas. Maka harus ada suatu grandproject yang harus
dirumuskan dan dikerjakan oleh umat Islam terutama kalangan intelektual muda
umat Islam. Salah satunya adalah menjadikan Islam sebagai ajaran yang
telah menyikirkan kesalehan simbolis dari kesalehan aktual. Hal demikian itu, jika
pembebasan struktural.
66
Kuntowijoyo, ICMI Sebagai Gerakan Kebudayaan (Bandung : Mizan, 1995), h. 65-66.
67
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), h. 25.
68
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), h. 30.
79
nilai yang ada pada Pancasila dapat dijadikan sebagai landasan rekonstruksi
memberikan kekuatan bagi gerak sejarah umat Islam terkhusus di Indonesia. Oleh
karenanya, simbol agama Islam seperti masjid misalnya, harus direkonstruksi dan
Masjid adalah simbol dari agama dan pasar dari kepentingan ekonomi.
Masing-masing dapat menjadi kekuatan sejarah mengubah dunia.
Transformative capacity dari agama Islam sudah menjadi jelas dalam buku-
buku sejarah Islam, baik sebagai kekuatan sosial, politik, maupun budaya.
Kreativitas sejarah yang mula-mula muncul sebagai kekuatan spiritual
(iman) telah mampu memobilisasikan umat Islam dalam peijalanan sejarah
yang panjang.70 Masjid adalah lingkaran makna yang mempersatukan
konfigurasi budaya umat Islam, mempersatukan aspek-aspek budaya
menjadi satuan yang konheren…Jika masjid ditunjuk sebagai sebuah tema
yang mempersatukan, maksudnya tentu saja Nabi ingin dengan jelas
mengatakan dengan lambang yang konkret, eksistensial, dan sekaligus
69
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), h. 105-106.
70
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), h. 131.
80
c. Politik
Kuntowijoyo memnag tidak pernah sama sekali terlibat dalam kancah perpolitikan
bangsa ini, akan tetapi ide pokok pemikiran politiknya menyatakan Islam dan
sebatas pemikiran dan khayalan, tapi harus dilaksanakan dalam praktek lapangan.
umat yang dinilai mengalami stagnasi atau beijalan ditempat. Seolah-olah umat
Islam berpendapat bahwa umat dapat survive saja sudah lumayan, karena agama
kepada epistemeloginya, agar dapat memahami kenyataan dan bertindak secara bij
aksana. Sumber pengetahuan umat Islam adalah Tuhan. Ini sangat jelas dalam Al-
Baqarah (2):31). Oleh kerenanya sumber pertama adalah Al-Qur‟an dan sumber
71
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), h.135-136.
72
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), h. 250.
81
kedua adalah Sunnah Nabi. Itulah dua hal yang oleh Nabi dikatakan akan
Umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini dituntut sebuah tanggung
jawab, akan berakibat hilangnya kredibilitas umat Islam sebagai mayoritas. Maka
pula kan diterima secara nasional bukan hanya kelompok atau agama tertentu.
Politik umat Islam pelu memainkan konsep objektivikasi ini sebagai konsep yang
universal, konsep ini akan memberi manfaat jika diterapkan di dalam masyarakat
yang heterogen, multi etnis-multi agama seperti Indonesia. Salah satunya adalah
73
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), h. 3-4.
74
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Jakarta : Tiara
Wacana, 2006) h. 63.
82
pada tataran hukum yang akan diterapkan harus melalui proses obejktivikasi agar
berdampak secara adil dan bijaksana untuk semua golongan, kelas, etnis dan
agama.
berdasarkan fakta yang konkret dan empiri yang oleh Quraish Shihab menyebut
tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy. Dalam buku Muhammad Iqbal
kata-kata seorang sufi bernama Abdul Quddus bahwa “Nabi Muhammad telah
naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi, Demi Allah aku bersumpah bahwa kalau
aku yang telah mencapai tempat itu aku tidak akan kembali lagi”. Itulah yang
dianggap oleh Iqbal bahwa kesadaran rasul berbeda dengan seorang mistikus.
Pengalaman keagamaan yang luar biasa itu tidak mampu menggoda nabi untuk
75
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), h. 86-87.
83
mengubah kemanusiaan. Dengan kata lain pengalaman religius itu justru menjadi
dasar keterlibatannya dalam sejarah, suatu aktivisme sejarah. Sunah nabi yang
demikian itulah yang kita sebut sebagai etika profetik.76 Selanjutnya, dari Roger
Garaudy filsuf asal Prancis yang menjadi Muslim, kita belajar tentang filsafat
antara dua kubu, idealis dan matearialis tanpa kesudahan. Filsafat barat (filsafat
barat sudah membunuh Tuhan dan manusia, karena itu dia menganjurkan supaya
umat manusia memakai filsafat kenabian dari Islam dengan mengakui wahyu.77
a. Muhammad Iqbal
Islam. Dia dilahirkan di Sialkot, Punjab yang sekarang menjadi bagian dari
yang shaleh dan pengamal tasawuf (sufi) yang telah mendorong Iqbal untuk
76
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan etika (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006), h.97
77
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan etika. h. 97-98
78
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Muhammad Iqbal dan SuaraKemanusiaan dari Timur, Sebuah
Pengantar dalm Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah
dkk. (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. xi.
79
UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005),
84
Sialkot. Disini ia bertemu dengan seorang ulama besar bernama Sayyid Mir Hasan
yang mana Mir Hasan merupakan guru serta sahabat karib dari orangtuanya. Guru
yang bijaksana itu segera mengetahui kecerdasan Iqbal dan menyarankan agar ia
terus menuntut ilmu.80 Pendidikan yang diterima Iqbal sangat menyentuh hatinya
Lahore, salah satu kota di India yang menjadi pusat kebudayaan pengetahuan dan
b. Roger Garaudy
Holocaust. Ia lahir di Marseille pada tanggal 17 Juli 1913, wafat di Paris 13 Juni
2012 pada umur 98 tahun. Selama PD II, Garaudy ditawan sebagai tahanan perang
kedua doktrin itu dan masuk Islam pada 1982, dengan nama Ragaa.
h. 207.
80
UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam. h. 207.
81
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h.179
BAB IV
PARADIGMA ISLAM TRANSFORMATIF
dalam konteks Indonesia terutama pada masa orde baru. Dalam terminologi
suatu perubahan secara menyeluruh dalam bentuk, rupa, watak dan sebagainya
dalam hubungan timbal balik antar manusia, baik sebagai indivdu maupun
kelompok. Adapun faktor yang terlibat dalam proses perubahan sosial adalah
proses adaptasi, adopsi dan ataupun seleksi terhadap budaya lain.2 Pengertian
Dari ideologi tersebut muncul kelas majikan dan kelas buruh. Sementara itu,
perjuangannya. Tujuan dari konflik tersebut adalah masyarakat tanpa kelas. Lalu
1
Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka,1991), h. 422.
2
M. Fahmi, IslamTransendental: Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo
(Yogyakarta: Pilar Religius, 2005), h. 148.
85
86
perubahan sosial.
Perubahan merupakan hal yang harus kita terima sebagai suatu keniscayaan
dalam mengarungi kehidupan. Perubahan yang terjadi kadang dapat kita sadari,
tetapi seringkali ia lewat dan menggilas begitu saja. Oleh karena itu, salah satu
sekarang menuju kepada keadaan yang lebih dekat dengan tatanan ideal. Elaborasi
sosial yang berfungsi untuk menjelaskan kondisi masyarakat yang empiris pada
transformasinya.3
3
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), h.
337.
4
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 106.
87
dengan diimbangi oleh sikap kritis terhadap unsur negatif dari proses modernisasi.
Dengan demikian, sikap yang ditampilkan adalah: fleksibel, terbuka dan dialogis
dalam menghadapi dunia yang plural dan terus berubah. Bagi kelompok ini, tidak
ada ambisi untuk mengislamkan setiap aspek kehidupan. Sebab otoritas agama
sebagai ad-din dan perkembangan aspek sosial umat Islam mempunyai basisnya
masing-masing.
persoalan normatif yang “Islami” dan yang “tidak Islami” atau mana yang asli dan
mana yang bid‟ah.6 Kelompok ini kental dengan pendekatan fiqh, yang melihat
sosial, ekonomi, budaya dan politik. Ini merupakan perkembangan teologi yang
lebih bersifat praksis, yakni kaum beriman melakukan sebuah tindakan yang tidak
5
M. Syafi‟I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 172-173.
88
Islam mulai ditinggalkan dan dianggap tidak mampu menjawab persoalan sosial.
Islam tidak hanya sekedar berkutat pada urusan-urusan langit, akan tetapi dengan
Begitupun dengan Al-Qur‟an tidak hanya dianggap sebagai teks namun patut juga
2. Tujuan IslamTransformatif
Hasil akhir yang akan tercapai jika Islam transformatif mencapai hasil
adalah munculnya Social justice. Karena dari segi praktik, politik kita akan
memberikan harapan. Oleh karena itu harus diinspirasi dengan spirit dari
Islam transformatif itu. Nah, kenapa saya selalu bicara Islam, karena Islam
sebagai suatu kekuatan dan secara kultural sudah lama berakar di Indonesia.
Orang-orang yang menekankan Islamic reform dalam pandangan saya
7
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 107.
89
keadilan sosial melalui peradigma Islam transformatif, akan dapat kita saksikan
pemakaian istilah tersebut, ini mungkin dikarenakan istilah teologi itu sendiri
tidak legitimatif dan umat selalu menganggap bahwa kalau berbicara tentang
doktrin atau akidah sudah dianggap final. Kuntowijoyo menawarkan ilmu sosial
8
Moeslim Abdurrahman, Islam sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 190.
9
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 203.
90
ingin melakukan konstruksi atas ilmu sosial yang sedang mengalami kemandekan.
Ia menganggap bahwa ilmu sosial akademis maupun ilmu sosial kritis hanya
sekedar menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, akan tetapi tidak memberi
petunjuk kearah mana perubahan itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa.
Ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan tapi mengubah
berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Bagi kita itu berarti
perubahan yang didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi
dan transendensi, suatu cita cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi
historis Islam sebagaimana terkandung dalam ayat 110, surat Ali-Imran:
engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk
menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman
kepada Allah.11
Dengan begitu berarti lmu sosial profetik yang didasarkan atas cita-cita etis
dan profetik tertentu akan lebih peduli pada tataran nilai daripada blue-print.
Apakah itu dengan memaksakan cetak-biru kehidupan Islam yang pernah ada atau
yang disusun kemudian berdasarkan idealisasi format dan kerangka normatif masa
ajaran atau konsep agama kedalam teori sosial, yang berart dengan sendirinya
mengakui relativitas ilmu lalu melakukan perumusan ulang, revisi, dan konstruksi
10
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 101.
11
Kunwijoyo, Paradigma Islam:Interpretasiu Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan, 1991),
h. 288.
91
Jadi ada tiga pilar dalam ilmu sosial profetik yakni amar ma‟ruf
ma‟ruf dalam bahasa sehari-hari dapat berarti apa saja, dari yang sangat individual
seperti, berdoa, berzikir dan shalat sampai kepada yang semi-sosial seperti
anak yatim, hingga yang bersifat kolektif seperti mendirikan pemerintahan yang
sistem keamanan sosial dan ketahanan nasional. Maka untuk itu digunakan istilah
manusia atas manusia. Nahi mungkar dalam bahas sehari-hari berarti apa saja,
lintah darat hingga sampai membela nasib buruh dan mengusir colonial. Maka
untuk itu digunakan istilah liberasi (bahasa latin liberare berarti memerdekakan)
12
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (Bandung: Penerbit Mizan,2001), h. 106.
92
sosial. Dan untuk tu‟minuna billah, yang dalam Al-Qu‟an mempunya arti khusus,
padanan. Dalam bahasa latin disebut transcendere yang berarti “naik ke atas”
melampui”, artinya “perjalanan diatas atau di luar” yang dalam istilah teologis
tokoh tersebut, hal ini menjadi sesuatu yang begitu positif sebab dapat
dan Kuntowijoyo.
1. Persamaan
Dari apa yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya maka terdapat
termasuk pada kelompok transformatif teoritis, artinya ide serta gagasan mereka
93
Abdurrahman mengharapkan adanya dialog antara teks suci agama dengan realitas
pemahaman demikian maka akan Islam akan benar-benar menjadi rahmat untuk
diturunkan sebagai rahmat kepada siapapun, tanpa memandang agama, suku, ras,
warna kulit, budaya dan sebagainya. Demikian pula diperintahkan kepada umat
Islam untuk berbuat adil, tanpa pandang bulu-kerabat, status, kelas, golongan (Qs.
Al-Maidah:8), supaya Islam dapat benar-benar dirasakan sebagai rahmat yang adil
kepada siapapun.13
2. Perbedaan
Kuntowijoyo terdapat dalam tiga aspek, epistemologi, perspektif dan tujuan Islam
aspek yaitu internal dan eksternal. Pada aspek internal perlunya adanya
13
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 61.
94
mereka sendiri, langkah yang kedua adalah membangun komunitas baru yang
mereka sendiri, sehingga kesadaran yang selama ini pasif, yang palsu dapat
harapan mereka sendiri, dan langkah yang ketiga yaitu memunculkan komunitas-
komunitas baru diantara kaum buruh dan petani, yang pada akhirnya mereka harus
menjadi alternatif pelaku perubahan yang berasal dari kalangan mereka sendiri
dan bukan menjadi sesuatu objek, apakah sebagai objek dari penyuluh
langkah dari kedua metode tersebut, Kuntowijoyo menawarkan dua metode yaitu,
dan As-Sunnah) yang merujuk ke gejala-gejala sosial lima belas abad yang lalu di
Arab pada konteks sosial masa kini dan disini, kedua metode sintetik-analitik
yang fokus kepada pengembangan teori yang bersumber dari Al-qur‟an dan
Sunnah.
95
tetapi Kuntowijoyo lebih menawarkan agar istilah itu diganti menjadi ilmu sosial
Apa yang menarik ketika itu adalah gagasan yang dikemukakan pihak kedua
bahwa dewasa ini kita perlu merumuskan suatu teologi baru yang disebut
teologi transformatif. Gagasan yang semula dilontarkan oleh Moeslim
Abdurrahman menyiratkan serangkaian kritik yang tajam terhadap teologi-
teologi tradisional yang dianggap sudah tidak tepat sehingga perlu untuk
dirombak, hal demikian mengundang banyak reaksi dan perdebatan serta
salah paham. Dengan mengemukakan contoh diatas, sesungguhnya saya
hanya ingn mengatakan bahwa di lingkungan kita, gagasan mengenai
permbaruan teologi atau sejenisnya, tampak belum dapat diterima. Saya kira
ini terjadi karena beberapa alasan. Sebagian besar mengartikan konsep
tersebut sebagai suatu cabang khazanah imu pengetahuan keislaman yang
membahas doktrin tentang tuhan, tentang tauhid. Mereka menganggap
masalah teologis di dalam Islam sudah selesai, dan oleh karenanya tak perlu
diutik-utik apalagi dirombak. Maka perlu cara lain untuk menjembatani
perdebatan ini,pertama-tama kita perlu menghindari istilah teologi, karena
di samping akan membingungkan, istilah tersebut tampaknya kurang begitu
cocok dengan apa yang sesungguhnya kita kehendaki. Semangat dari
gagasan Islam transformatif yang dikemukakan Moeslim Abdurrahman
akan lebih tepat misalnya jika diterjemahkan dengan istilah ilmu sosial
14
M. Dawam Rahardjo, Ilmu Sejarah Profetik dan Analisis Transformasi Masyarakat,
“Kata Pengantar “ dalam Kuntowijoyo, Paradigma Islam:Interpretasiu Untuk Aksi (Bandung:
Penerbit Mizan, 1991), h. 18.
96
transformatif.15
teologi diganti menjadi Ilmu sosial dalam Islam transformatif langsung direspon
masyarakat bawah (grass root) yang didorong oleh kesadaran kolektif (collective
merumuskan ilmu sosial yang berdasarkan nilai-nilai Islam yang artinya Islam
menjadi sumber inspirasi dari perumusan ilmu-ilmu sosial sebagai basis gerakan
kesejahteraan sosial.
15
Kuntowijoyo, Paradigma Islam:Interpretasiu Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 286-287.
16
Moeslim Abdurrahman, Islam sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 185.
97
pola pembangunan alternatif seperti ini didasari oleh sebuah cita-cita untuk
implementatif yang berpihak pada kepentingan rakyat kecil. Oleh karena itu harus
diinspirasi dengan spirit dari Islam transformatif, mengapa harus demikian, sebab
Islam sebagai suatu kekuatan dan secara kultural sudah lama mengakar di
Indonesia. Islam transformatif adalah Islam yang punya orientasi dan menggagas
perlunya social reform. Islam harus mempunyai orientasi kritik sosial, tidak hanya
17
Moeslim Abdurrahman, Islam sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 190.
98
pengembangan sumber daya, keterampilan dan peluang untuk hidup secara lebih
baik bagi rakyat kecil. Upaya mengatasi kesenjangan dan alienasi sosial dengan
kondisi kehidupannya.18
Sebuah kesalehan tak akan memberikan makna yang sejati, jika kesalehan
itu tidak mengalirkan makna perubahan sosial. Dan baginya, mengamalkan Islam,
manusia itu sendiri. Oleh karena itu, panggilan Islam yang paling utama dan
bagi siapa saja hamba Tuhan yang selama ini dipinggirkan, sehingga mereka
mempunyai hak ekonomi, hak politik dan hak beriman setara dengan yang lain,
sehingga Islam menjadi rahmat, bukan dalam artinya yang ikut “menentramkan”
kemanusiaan dan keagamaan dari kalangan bawah, bukan dari kalangan atas.
18
Dr. Zubaedi, Pengembangan Masyarakat Wacana dan Praktik (Jakarta: Kencana,
2013), h. 5.
19
Moeslim Abdurrahman, Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2009), h. 12-13.
99
Suatu gerakan milik orang bawah sendiri, jadi mereka ada dalam suatu kesadaran
itu, dan kemudian mereka akan mampu melahirkan semacam simpul kesadaran
kolektifnya. Mereka tidak lagi menjadi konsumen bagi kelas menengah dan atas.
Ajaran Islam sebagai pondasi dalam setiap aspek kehidupan, maka umat
manusia akan tetapi seharusnya mesti seimbang atau seiring, sehingga ajarab
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil paparan data dari setiap bab dan sub bab sebelumnya,
dalam Al-Qur‟an Hai manusia, kami ciptakan kamu dari seorang laki-
suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sungguh, yang paling mulia
diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sungguh Allah
bisa membaca konstruk sosial yang objektif. Yang ingin saya jadikan
sebagai tamsil adalah bahwa orang lapar tidak pernah bisa merasakan
100
101
lapar secara Islam atau lapar secara Kristen, Hindu, Budha dan
semua agama. Maka hasil akhir yang ingin dicapai dalam paradigma
B. Implikasi Penelitian
yang terkandung dalam surah Ali-Imran ayat 110, Amar Ma‟ruf yang
perubahan itu dilakukan oleh siapa dan untuk siapa perubahan itu
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
-------. Krisis Sosial, Krisis Cara Pandang (Agama): Sebuah Pengantar, dalam
Moh. Asror Yusuf (Ed.), Agama Sebagai Kritik Sosial: di tengah Arus
Kapitalisme Global, Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.
-------. Ritual yang Terbelah: Peijalanan Haji dalam Era Kapitalisme Indonesia,
dalam Mark R. Woodward. Toward a New Paradigma: Recent
Developments in Indonesia Islamic Thougth, teij. Ihsan Ali-Fauzi, Jalan
Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Bandung:
Mizan, 1998.
Alwi, Muh. Teologi Pembebasan Dalam Islam: Studi Pemikiran Hassan Hanafi.
Skripsi, 2015
Anwar, M. Syafi‟I. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995.
Azra, Azyumardi CBE dkk. Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah dan
Terorisme. Bandung: PT. Mizan, 2017.
103
104
Djamaluddin, Dedy dan Idi Subandy Ibrahim. Zaman Baru Islam Indonesia:
Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais,
Nurcholish Madjid dan Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Zaman Wacana
Mulia, 1998.
Fanani dkk, Ahmad Fuad. Islam Berkemajuan Untuk Peradaban Dunia. Bandung:
Mizan, 2015.
Hikam, Muhammad AS. Gus Dur Selalu Ngakak Bila Ada Kang Moeslim
(online), (muhammadiyahstudies.blogspot.com diakses 11 November
2021)
Kementerian Agama RI. Al-Qur‟an hafalan dan terjemah edisi tahun 2018.
Depok: Al-Huda. 2018.
Komariah, Aan. dan Djam‟an Satori. Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. VI.
Bandung: Alfabeta, 2014.
-------. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Jakarta : Tiara
Wacana, 2006.
Revolusi Islam Hassan Hanafi”, Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 37, No. 2,
2012
Wawancara Arif Subhan dengan Kuntowijoyo yang dimuat dalam, Jurnal Ulumul
Qur‟an, NO.4, Vol. V, Th. 1994), 92-93. Dengan judul “Dr. Kuntowijoyo:
al-Qur‟an Sebagai Paradigma” Sebagaimana dikutip M. Fahmi dalam
Islam Transendental.
L
A
M
P
I
R
A
N
108
109
110