Anda di halaman 1dari 124

PARADIGMA ISLAM TRANSFORMATIF DAN IMPLIKASINYA

TERHADAP PENGEMBANGAN MASYARAKAT


(Studi Pemikiran Moeslim Abdurrahman dan Kuntowijoyo)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar


Sarjana Sosial Jurusan PMI Kons. Kesejahteraan Sosial
pada Fakultas Dakwah & Komunikasi
UIN Alauddin Makassar

Oleh:
MUH NUR ARDIANSYAH
NIM: 50300116039

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI


UINALAUDDIN MAKASSAR
2022
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Mahasiswa yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Muh Nur Ardiansyah

NIM : 50300116039

Tempat/Tgl. Lahir : Sorobaya, 17 April 1998

Jur/Prodi/Konsentrasi : PMI Kons. Kesejahteraan Sosial

Fakultas/Program : Dakwah dan Komunikasi

Alamat : Sorobaya Dusun Kampung Beru Desa Bontosunggu,

Kecamatan Bontonompo Selatan, Kab. Gowa, Provinsi

Sulawesi Selatan

Judul : Paradigma Islam transformatif dan implikasinya terhadap

pengembangan masyarakat (Studi pemikiran Moeslim

Abdurrahman dan Kuntowijoyo)

Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini

benar adalah hasil karya sendiri. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ia

merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat orang lain, sebagian atau

seluruhnya, maka skripsi ini dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi

hukum.

Gowa, 8 Agustus 2022


Penyusun,

Muh Nur Ardiansyah


NIM: 50300116039

ii
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh


Segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga atas izin-Nya peneliti
dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul ”Paradigma Islam transformatif dan
implikasinya terhadap pengembangan masyarakat”. Shalawat serta salam kita
haturkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan sepanjang masa,
sosok pemimpin yang paling berpengaruh sepanjang sejarah.
Skripsi ini merupakan karya tulis ilmiah yang diajukan sebagai syarat
untuk memperoleh gelar sarjana pada UIN Alauddin Makassar Fakultas Dakwah
dan Komunikasi Jurusan PMI Kons. Kesejahteraan Sosial. Disadari sepenuhnya
bahwa, penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak dan
selayaknya peneliti menyampaikan terima kasih kepada :

1. Prof. H. Hamdan Juhannis M.A, Ph.D., selaku Rektor Universitas Islam

Negeri Alauddin Makassar beserta Wakil Rektor I Prof. Dr. H. Mardan,

M.Ag., Wakil Rektor II Prof. Dr. H. Wahyuddin, M.Hum., Wakil Rektor

III Prof. Dr. H. Darussalam, M.Ag, dan Wakil Rektor IV Dr. Kamaluddin

Abunawas, M.Ag.

2. Dr. Firdaus, M. Ag., selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi

beserta Wakil Dekan I Dr. Irwan Misbach, SE., M.Si, Wakil Dekan II Dr.

Hj Nurlelah Abbas, Lc., MA, Wakil Dekan III Dr. Irwanti Said, M.Pd atas

seluruh kebijakan yang telah diberikan sehingga penulis dapat

menyelesaikan program sarjana Ilmu Komunikasi.

3. Prof. Dr. H. Hasaruddin., M. Ag. selaku Ketua Jurusan Pengembangan

Masyarakat Islam dan Sekretaris Jurusan Pengembangan Masyarakat

Islam Dr. Sakaruddin., S.Sos., M.Si yang telah banyak meluangkan

iii
waktunya untuk memberikan bimbingan dan motivasi selama peneliti

menempuh kuliah berupa ilmu, nasehat serta pelayanan sampai peneliti

dapat menyelesaikan kuliah.

4. Orang tua tercinta, Bapak Bundu Daeng Beta, Satriani Daeng Sayu Terima

kasih atas kasih sayang, pengorbanan, kesabaran, dan do‟a restunya selama

ini. Serta adik perempuanku terkasih Nurul Fajrininsih dan kakakku

Syahrul. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai setiap langkah kita

semua Aamiin Ya Rabbal „Aalamiin.

5. Prof. Dr. Mustari Mustafa, M.Pd. selaku Pembimbing I dan Pembimbing II

Dr. Sakaruddin, S.Sos., M.Si. yang telah meluangkan waktu dan pikiran

untuk memberikan bimbingan, masukan sehingga skripsi ini selesai

dengan baik.

6. Prof. Dr. Hj. Muliaty Amin, M.Ag. selaku Penguji I dan Penguji II Dr. St.

Rahmatiah, S.Ag., M.Sos.I yang telah memberikan saran dan masukan

dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak dan Ibu dosen yang telah memberikan bimbingan dan wawasan

ilmu pengetahuan selama peneliti menempuh pendidikan di Fakultas

Dakwah dan Komunikasi.

8. Staf jurusan Pengembangan Masyarakat Islam Suharyadi, SH.I., M.H.


beserta seluruh staf Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin

Makassar yang telah membantu kelancaran proses administrasi

9. Kekasih, kawan, dan adik-adik seperjuangan, Pengurus HMI Komisariat

Dakwah dan Komunikasi, Pengurus Dewan Mahasiswa Fakultas Dakwah

dan Komunikasi, Pengurus HMI Cabang Gowa Raya dan Pengurus BPL

HMI Cabang Gowa Raya, kawan-kawan seperjuangan Intermediate

iv
Training HMI Cabang Jombang, Senior Course HMI Cabang

Buttasalewangang Maros, terimakasih.

Demikian yang dapat peneliti sampaikan. Mohon maaf apabila dalam


penulisan ini terdapat banyak ketidaksempurnaan. Besar harapan peneliti semoga
skripsi ini memberikan manfaat bagi semua pembaca.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Gowa, 8 Agustus 2022


Penyusun,

Muh Nur Ardiansyah


NIM: 50300116039

v
DAFTAR ISI

JUDUL ........................................................................................................ i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ..................................................... ii
KATA PENGANTAR ................................................................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................................................... vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................. viii
ABSTRAK .................................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1-16
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 9
C. Pengertian Judul ......................................................................... 9
D. Kajian Pustaka ............................................................................ 10
E. Metodologi Penelitian ................................................................ 13
F. Tujuan dan Kegunaan Peneltian ................................................. 15
BAB II TINJAUAN UMUM ...................................................................... 17-41
A. Tinjauan Islam Transformatif ..................................................... 17
B. Tinjauan Pengembangan Masyarakat ......................................... 32
BAB III BIOGRAFI................................................................................... 42-81
A. Moeslim Abdurrahman ............................................................... 42
B. Kuntowijoyo ............................................................................... 62
BAB IV PARADIGMA ISLAM TRANSFORMATIF .............................. 85-99
A. Paradigma Islam Transformatif Pespektif Moeslim
Abdurrahman Dan Kuntowijoyo ................................................ 85
B. Persamaan Dan Perbedaan Pemikiran Moeslim Abdurrahman
Dan Kuntowijoyo Tentang Islam Transformatif ........................ 92
C. Implikasi Paradigma Moeslim Abdurrahman Islam Transforma
-tif Terhadap Pengembangan Masyarakat .................................. 96
BAB V PENUTUP ...................................................................................... 100-101
A. Kesimpulan ................................................................................. 100
B. Implikasi Penelitian .................................................................... 98

vi
DAFTRA PUSTAKA ................................................................................. 99
LAMPIRAN ................................................................................................ 107

vii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf latin dapat

dilihat pada tabel berikut:

1. Konsonan

Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama


‫ا‬ Alif tidak dilambangkan tidak dilambangkan
‫ب‬ Ba B Be
‫ت‬ Ta T Te
‫ث‬ Tsa ṡ es (dengan titik di atas)
‫ج‬ Jim J Je
‫ح‬ Ha H ha (dengan titik di bawah)
‫خ‬ Kha Kh ka dan ha
‫د‬ Dal D De
‫ذ‬ Zal Ż zet (dengan titik di atas)
‫ر‬ Ra R Er
‫ز‬ Za Z Zet
‫س‬ Sin S Es
‫ش‬ Syin Sy es dan ye
‫ص‬ Shad Ṣ es (dengan titik di bawah)
‫ض‬ Dhad Ḍ de (dengan titik di bawah)
‫ط‬ Tha Ṭ te (dengan titik di bawah)
‫ظ‬ Dza Ẓ zet (dengan titik di bawah)
‫ع‬ „ain „ apostrof terbaik
‫غ‬ Gain G Eg
‫ف‬ Fa F Ef
‫ق‬ Qaf Q Qi
‫ك‬ Kaf K Ka
‫ل‬ Lam L Ei
‫و‬ Mim M Em
‫ن‬ Nun N En
‫و‬ Wawu W We
‫ه‬ Ha H Ha
‫أ‬ Hamzah ‟ Apostrof
‫ي‬ ya‟ Y Ye

viii
Hamzah (‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi

tanda apapun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda

(‟).

2. Vocal

Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal

tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Vokal tunggal bahasa

Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut:

Tanda Nama Huruf Latin Nama

‫َا‬ fathah a a

َ‫ا‬ kasrah i i

َ‫ا‬ dammah u u

Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara

harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu

Tanda Nama Huruf Latin Nama


ْ‫ـَى‬ fathah dan ya ai a dan i
ْ‫ـَو‬
Contoh: fathah dan wau au a dan u

ََ‫َكـيْـف‬ : kaifa

َ‫هَـوْ َل‬ : haula

3. Maddah

Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harkat dan huruf,

transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:

ix
Harkat dan Nama Huruf dan Nama
Huruf Tanda

‫ َى‬... | ‫ َا‬... Fathah dan alif ā a dan garis di atas


atau yā‟
‫ِِــى‬ kasrah dan yā‟ ī i dan garis di atas

‫ـُـو‬ Dammah dan ū u dan garis di atas


wau

Contoh:

‫مـَات‬ : ma>ta

‫َر َمـى‬ : rama>

‫قِـيْـم‬ : qi>la
ُ ْ‫ يَـمـُو‬: yamu>tu
َ‫ت‬

4. Tā’ marbutah

Transliterasi untuk tā‟ marbutah ada dua, yaitu: tā‟ marbutah yang hidup

atau mendapat harkat fathah, kasrah, dan dammah, transliterasinya adalah [t].

Sedangkan tā‟ marbutah yang mati atau mendapat harkat sukun, transliterasinya

adalah [h].

Kalau pada kata yang berakhir dengan tā‟ marbutah diikuti oleh kata yang

menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka tā‟

marbutah itu ditransliterasikan dengan ha (h).


Contoh:
ْ ُ ‫ضـ ة‬
َ‫األطفَا ِل‬ َ ْ‫َرو‬ : raudah al-atfāl

ِ َ ‫اَ ْنـ َمـ ِديْـنَـةُاَ ْنـفـ‬


ُ ‫اضــهَ َة‬ : al-Madīnah al-Fād}ilah
ُ ‫اَنـْ ِحـ ْكـ َمــ َة‬ : al-h}ikmah

5. Syaddah (Tasydid)

Syaddah atautasydidyang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan

x
sebuah tanda tasydid (َََّّّ ), dalam transliterasinya ini dilambangkan dengan

perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah. Jika huruf ‫ي‬ber-

tasydiddi akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf kasrah(َ‫)ي‬,


ِ maka ia

ditransliterasikan seperti huruf maddah(i)

6. Kata Sandang

Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf ‫(ل‬alif
‫ا‬

lam ma‟arifah).Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi

seperti biasa, al-, baik ketika ia di ikuti oleh huruf syamsiah Maupun huruf

qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang

mengikutinya.Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan

dihubungkan dengan garis mendatar (-).

7. Hamzah

Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrop (,) hanya berlaku

bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak

di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.

8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia

Kata,istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata,istilah atau

kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa

Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi

ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya kata Al-Qur‟an (dari al

Qur‟an), sunnah,khususdanumum.Namun, bila kata-katatersebut menjadi bagian

dari satu rangkaian teks Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh.

xi
9. Lafz al-Jalalah (‫)هلال‬

Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya

atau berkedudukan sebagai mudaf ilaih (frase nominal), ditransliterasi tanpa huruf

hamzah. Adapun ta marbutah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz a-

ljalalah, ditransliterasi dengan huruf [t].

10. Huruf Kapital

Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All caps), dalam

transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf

kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku (EYD). Huruf

kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama dari (orang,

tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri

didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap

huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak

pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf

kapital (AL-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul

referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks

maupun dalam catatan rujukan (CK,DP, CDK, dan DR).

xii
ABSTRAK
Nama : Muh. Nur Ardiansyah
NIM : 50300116039
Judul : Paradigma Islam Transformatif dan Implikasinya Terhadap
Pengembangan Masyarakat (Studi Pemikiran Moeslim
Abdurrahman dan Kuntowijoyo
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mendeskripsikan pemikiran Islam
transformatif perspektif Moeslim Abdurrahman dan Kuntiwijoyo 2)
Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan pemikiran Moeslim Abdurrahaman
dan Kuntowijoyo tentang Islam Transformatif 3) Mendeskripsikan implikasi
pemikiran Moeslim dan Kuntowijoyo terhadap pengembangan masyarakat.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif library research
dengan pendekatan sosiologi interpretatif dan sosiologi dakwah. Sumber data
penelitian diperoleh dari karya-karya Moeslim Abdurrahman dan Kuntowijoyo
sebagai data primer dan sumber yang lain sebagai data sekunder. Metode
pengumpulan data yang digunakan adalah metode dokumentasi. Metode ini
merupakan cara untuk mencari sebuah data yang berupa catatan, surat kabar,
majalah, artikel, jurnal, buku dan literatur lainnya yang kemudian diamati
langsung dengan cara membaca, mencatat, mengidentifikasi, dan
mengklasifikasikannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Paradigma Islam transformatif
dalam pandangan Moeslim Abdurrahman, adanya hubungan dialogis antara pesan
suci agama dengan konteks agar dapat menggugah kesadaran sosial, sedangkan
menurut Kuntowijoyo adalah adanya objektivikasi nilai-nilai normatif yang
diwujudkan ke dalam perbuatan rasional. 2) Persamaan pemikiran Moelim
Abdurrahman dan Kuntowijoyo, pertama kedua tokoh tersebut merupakan tokoh
transformatif teoritis, kedua pada aspek hakikat pemikiran Islam transformatf
kedua tokoh tersebut sama-sama mengarahkan kepada keseimbangan hubungan
Habluminallah dan Habluminannas, ketiga visi yang diusung oleh Moeslim
Abdurrahman dan Kuntowijoyo bercorak humanisasi, liberasi dan transendensi.
Sedangkan perbedaan pemikiran Moeslim Abdurrahman dan Kuntowijoyo,
pertama adalah perspektif yang digunakan yang mengakibatkan terjadinya
perbedaan dalam penggunaan istilah, Moeslim Abdurrahman menggunakan
Teologi Islam Transformatif, sedangkan Kuntowijoyo menggunakan Ilmu Sosial
Transformatif yang nantinya ia ganti menjadi Ilmu Sosial Profetik, kedua
epistemologi yang digunakan Moeslim Abdurrahman, ada dua metode internal
yaitu interpretasi terhadap Al-Qur‟an dan membangun gerakan kemanusiaan,
sedangkan Kuntowijoyo yaitu aktualisasi nilai-nilai universal Islam menjadi sikap
dan perumusan teori ilmu. 3) Implikasi dari pemikiran Moeslim Abdurrahman dan
Kuntowijoyo dalam upaya pemberdayaan, empowering, akan memunculkan
gerakan-gerakan kemanusiaan dan keagamaan dari kalangan bawah, suatu
gerakan milik orang bawah yang akan melahirkan suatu simpul kesadaran kolektif
dari pengalaman-pengalaman orang yang menderita dalam kehidupan sehari-hari
yang diartikulasikan dalam sebuah kesadaran berupa religious consciousnesss.
Implikasi yang diperoleh dari penelitian, yakni: 1) Paradigma Islam
transformatif sebagai suatu paradigma baru yang lahir akibat respon terhadap

xiii
paradigma Islamisasi dan modernisasi. Tujuan utama dari keseluruhan proses ini
adalah praksis sosial-ekonomi, perubahan yang nyata secara sosial dan ekonomi
masyarakat sehari-hari agar lebih berdaya untuk menentukan nasibnya dan
sebagai manusia yang memiliki martabat dengan ikut merasakan keadilan yang
bermuara kepada kesejahteraan sebagai bentuk hadirnya Negara. 2) Berikutnya
terkait dengan upaya pengembangan masyarakat yang harus disandarkan kepada
cita-cita kerasulan atau misi profetik sebagaimana yang terkandung dalam surah
Ali-Imran ayat 110.

xiv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Islam sebagai ajaran agama yang rahmatanlilalamin. Bagi umat Islam

pernyataan demikian dinilai bahkan diyakini sebagai suatu kebenaran dengan

berbagai ekspresi dan representasi yang diaktualisasikan oleh para pemeluk Islam.

Namun pada wajahnya yang lain, mereka yang mengaku pemeluk Islam yang

paling baik malah tampil sebagai sosok yang menakutkan, bengis, pemberontak,

pembuat kekacauan, menebar teror dan berbagai tekanan psikologis untuk

memperkenalkan Islamnya.

Proliferasi beragam diskursus dalam konteks Islam Indonesia kontemporer

seringkali dihubungkan dengan keruntuhan rezim orde baru. Anggapan semacam

ini sama sekali tidak berlebihan, mengingat bahwa salah satu konsekuensi paling

nyata dari kejatuhan Soeharto adalah terbukanya ruang kebebasan untuk berbicara

dan mengungkapkan pendapat serta pemikiran yang berbeda. Dalam bidang

pemikiran dan gerakan Islam, kebebasan ini termanifestasi dalam bentuk lahirnya

beragam diskursus Islam yang memperdebatkan sejumlah issue-issue penting.

Kelompok-kelompok ini terbentang dari para penganjur formalisasi syariah

hingga mereka yang menginginkan pemisahan Agama dan Negara, dari kelompok

yang mengampanyekan demokrasi dan civil society hingga kelompok-kelompok

yang meyakini penggunaan kekerasan sebagai sarana untuk mewujudkan gagasan-

gagasan ideal Islam. Dari perspektif yang lebih luas, kontestasi ini merupakan

salah satu bentuk ekspresi hubungan dialektis antara Islam otentik dan Islam

hybrid yang berlangsung tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di seantero dunia

1
2

Islam.1

Jihad Islam misalnya, merupakan persoalan yang cukup merisaukan saat

ini, berbagai kasus telah bisa menjadi bukti bahwa jihad Islam hanya sebagai teror

menakutkan bagi manusia, bukan malah memberi ketenangan dan kedamaian. Hal

ini berdasarkan pada seruan jihad yang dilakukan dengan cara saling bunuh-

membunuh, takluk-menaklukkan dan hancur-menghancurkan.

Secara harfiah, jihad artinya berjuang namun ada yang juga

menyepadankan dengan kata perang. Gagasan mengenai hal demikian memang

masih banyak di perdebatkan. Menurut Sa‟id Al-Asymawy, dalam pandangan

non-muslim, jihad berarti perang suci yang diamanatkan kepada meraka, bagi

kaum muslim jihad merupakan perintah agama yang diartikan mengislamkan

orang non-muslim melalui teladan dan persuasif yang baik dan bagi sebagian

lainnya, jihad merupakan perintah agama tersembunyi yang karenanya Islam

harus dipaksakan bahkan jika perlu dengan kekuatan walaupun kepada kaum

muslim yang berbeda pandangan dengan mereka.2

Jihad Islam tak sedamai dan tak sesejuk yang kita dengarkan pada

mimbar-mimbar; sebagai tindakan moral dari pancaran spiritual yang konsisten

mengendalikan diri untuk mengalahkan keserakahan, ketakutan, kelemahan,

tirani, penindasan, kebodohan, perbudakan dan kepatuhan terhadap hawa nafsu.

1
Azyumardi Azra CBE dkk, Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah dan Terorisme
(Bandung: PT. Mizan, 2017), h. 222.
2
Muhammad Sa‟id Al-Asymawy, Menentang Islam Politik (Bandung: Penerbit Alifya,
2004), h. 105.
3

Persoalan lain yang tak kalah menarik dan hangat diperbincangkan adalah

mengenai fundamentalisme. Fundamentalisme merupakan suatu gerakan sebuah

aliran ataupun agama yang berusaha dan berupaya untuk kembali kepada apa yang

diyakini sebagai asas atau dasar-dasar (fundamental). Corak pahaman kelompok-

kelompok ini sering kali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain bahkan

yang ada dalam lingkungan agamanya karena menganggap hanya diri sendirilah

yang lebih murni dan lebih benar sedangkan yang lainnya telah tercemari.

Kelompok-kelompok fundamentalis mengajak seluruh masyarakat luas agar taat

pada teks-teks kitab suci yang otentik dan tanpa kesalahan, mereka juga akan

berusaha meraih kekuasaan secara politik demi meraih dan kembali kepada tradisi

yang mereka maksudkan yang mengacu kepada tafsir atau interpretasi secara

tekstual (harfiah) terhadap pesan-pesan Tuhan yang terkandung dalam kitab suci

atau yang lainnya. Diantara slogan-slogan yang umum mereka kumandangkan

adalah kedaulatan Tuhan, pendirian pemerintahan Islam dan penerapan syari‟ah.3

Salah satu contohnya adalah kelompok Islam Isis di timur tengah.

Persoalan dalam dunia Islam memang begitu kompleks, yang tak kalah

menarik juga adalah komodifikasi Islam. Komodifikasi Islam merupakan adanya

kecenderungan Islam di jadikan sebagai lahan bisnis. Komodifikasi adalah

tindakan mengubah sesuatu menjadi atau memperlakukan sesuatu sebagai

komoditas; komersialisasi sebuah aktivitas, dan lain sebagainya yang tidak alami

secara komersial. Pada awal mulanya komodofikasi hanya merupakan suatu

aktivitas komersil yang mencakup hal-hal seperti perburuhan, tanah, urusan

3
Muhammad Sa‟id Al-Asymawy, Menentang Islam Politik (Bandung: Penerbit Alifya,
2004), h. Vii.
4

kesehatan dan kesenian. Namun dalam perkembangannya, agama dan simbol

keagamaan juga dikomodifikasi oleh masyarakat. Secara ringkasnya komodifikasi

Islam bererati suatu proses di mana norma-norma dan nialai-nilai sakral keislaman

telah dikonstruk menjadi komoditas yang diproduksi, didistribusikan dan

dikonsumsi melalui mekanisme ekonomi pasar. Tentu hal demikian dimotori oleh

penguasa, tuan tanah, pemilik modal (kapitalis) dan tentunya pemuka agama.

Sungguh sangat miris rasanya jika ajaran Islam telah menjadi alat yang di

komersialkan (perjual belikan) dan bahkan sampai menina bobokkan masyarakat

agar jarak kaya-miskin semakin melebar dan jauh. Ini hanyalah salah satu bentuk

krisis penghayatan keagamaan yang kini sedang dihadapi oleh masyarakat

muslim.4 Berbagai kondisi diatas terangkum dalam sebuah diskursus besar tentang

kondisi umat Islam secara umum dengan war ketertinggalan, ketergantungan dan

ketidakberdayaan yang masih dominan.

Berbagai aspek tampak dengan jelas umat Islam sangat kewalahan dan

tertati untuk menjelaskan ataupun berbuat sebagai bentuk respon terhadap

berbagai fenomena sosial; kemiskinan merajalela, solidaritas yang kehilangan urat

nadi (lemah-mati), eksploitasi dan ketiadaan etika dalam berpolitik sehingga yang

dijumpai adalah hujat dan bahkan saling bunuh antar umat seagama apalagi

antaragama. Seolah-olah manusia kehilangan karakter dasar baik dalam kancah

politik maupun dalam melakoni kehidupan biasa. Padahal pemuka agama

(mubaligh) tampil diberbagai ruang publik mengambil peran dan panggung

dengan mahar yang tidak murah apalagi ada yang sampai mematok standar

4
Eko Prasetyo, Astghfirullah: Islam Jangan Dijual (Yogyakarta: Resist Book, 2007), h.
Xi.
5

bayaran untuk memberikan siraman rohani kepada masyarakat, pejabat

pemerintahan, anggota partai politik hingga pegawai swasta. Namun semua yang

dilakukannya bagai taman yang kehilangan bunga, bagai kata yang kehilangan

maknanya, tandus dan hampa.

Padahal wajah Islam yang ditampilkan oleh Nabi Muhammad SAW itu

sangat menyejukkan, menebarkan kedamaian serta membebaskan manusia dari

berbagai bentuk hegemoni yang menindas. Menurut Asghar Ali Engineer,

Muhammad SAW telah mampu mengubah struktur sosial (structure social)

masyarakat yang timpang dan tidak manusiawi. Ia tidak hanya melakukan revolusi

keimanan, melainkan juga melakukan protes terhadap realitas sosio-kultural

masyarakat Arab.5

Itulah separangkat persoalan yang begitu kompleks dalam Islam dan

tentunya masih banyak masalah lain yang mengendap dan tak terkira banyaknya,

dari sinilah perlunya gagasan-gagasan segar mengenai transformasi ajaran Islam.

Maka tidaklah berlebihan jika dalam penelitian ini calon peneliti mencoba

melakukan penggalian ide serta gagasan seorang cendekiawan muslim seperti

Moeslim Abdurrahman dan Kuntowijoyo, sebab pemikiran kedua tokoh ini

bercirikan transformasi yang mengarah kepada gerakan pembebasan atas

belenggu ketidakadilan di dalam kehidupan sosial sebagai nilai ajaran Islam yang

subtantif.

5
Asghar Ali Engineer, Menemukan Kembali Visi Profetis Nabi: Tentang Gagasan
Pembebasan dalam Kitab Suci, terj. Dewi Nurjulianti, dalam Jurnal Ilmu dan Kebudayaan Ulumul
Qur‟an, Vol, III, No. 4, Tahun 1992, h. 64.
6

Pertama, dalam pemikiran Moeslim Abdurrahman, perlu adanya

reinterpretasi Islam secara benar. Menurut Moeslim, persoalan dalam dunia Islam

memang terletak pada pemaknaan Islam yang kurang memadai. Perlu pemaknaan

ulang yang lebih segar dan solutif dalam ajaran-ajaran Islam. Bagi Moeslim,

makna Islam yang paling murni bukan terletak pada rumusan teologisnya (apalagi

yang telah dibakukan oleh ulama), namun justru muncul dalam pergulatan hidup

sehari-hari para umatnya untuk menegaskan cita-cita keadilan.6

Umat Islam mesti melakukan refleksi atas keislamannya, maka Moeslim

Abdurrahman menawarkan sebuah cara unutk memaknai ulang ajaran Islam

secara esensial dan subtansial. Cara ini bagi Moeslim Abdurrahman ia namakan

dengan Islam Transformatif. Menurutnya, Islam transformatif pada dasarnya

merupakan impian teologis, yaitu bagaimana agar makna agama bisa diperebutkan

oleh mereka yang terpinggirkan, bukan dalam adu otoritas siapa yang boleh

menafsirkan dan tidak boleh menafsirkan makna pesan suci agama, tetapi

bagaimana Islam menjadi ruh pembelaan bagi mereka yang sengsara tatkala

mereka yang menindas menggunakanakan pembelaan agama yang sama.

Sedangkan bagi Kuntowijoyo yang menganggap bahwa struktur kegamaan

Islam, tidak dikenal dikotomi antara domain duniawi dan domain agama. Bagi

Kuntowijoyo konsep tentang agama di dalam Islam bukan semata-mata teologi

tetapi nilai-nilai Islam pada dasarnya bersifat all-embracing bagi penataan sistem

kehidupan sosial, politikm ekonomi dan budaya. Oleh karena itu, tugas terbesar

umat Islam sesungguhnya adalah melakukan transformasi sosial, budaya dengan

6
Moeslim Abdurrahman, Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2009), h. 7.
7

nilai-nilai itu, lebih lanjut ia menerangkan bahwa kita mesti memperhatikan apa

dasar paling sentral dari nilai-nilai Islam. Di dalam al-qur‟an, kita sering kali

membaca seruan agar manusia itu beriman dan kemudian beramal. Salah satu

contoh misalnya dalam surah al-baqarah ayat kedua, disebutkan bahwa agar

manusia itu menjadi muttaqin, pertama-tama yang harus ia miliki adalah iman

atau percaya kepada yang gaib, kemudian mendirikan sholat dan menunaikan

zakat. Dalam ayat itu, kita melihat adanya trilogi iman-shalat-zakat, sementara

dalam formulasi yang lain, kita juga mengenal trilogi iman-ilmu-amal. Dengan

kita memperhatikan dan memahami ini, maka kita dapat menyimpulkan bahwa

iman berujung pada amal, pada aski. Artinya tauhid harus diaktualisasikan, pusat

keimanan memang Tuhan, tetapi ujung aktualisasinya adalah manusia. Dengan

demikian, Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari semua orientasi nilai,

sementara pada saat yang sama melihat manusia sebagai tujuan dari transformasi

nilai. Dalam konteks inilah Islam itu disebut sebagai rahmatan lil alamin, rahmat

untuk alam semesta, termasuk untuk kemanusiaan.7

Kemudian bagaimana melakukan transformasi nilai-nilai Islam pada

zaman sekarang, yang masyarakatnya disebut sebagai masyarakat industrial atau

masyarakat informasi. Kuntowijoyo menawarkan dua strategi agar nilai-nilai

normatif itu menjadi operasional dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, nilai-nilai

normatif itu diaktualkan langsung menjadi perilaku, sebagai contoh dalam seruan

moral praktis al-qur‟an, misalnya untuk menghormati orangtua. Seruan ini dapat

langsung diterjemahkan kedalam praktek, ke dalam perilaku. Pendekatan

7
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 167.
8

semacam ini telah dikembangkan melalui ilmu fiqh. Kemudian cara yang kedua

adalah mentransformasikan nilai-nilai normatif itu menjadi teori ilmu sebelum

diaktualisasikan ke dalam perilaku. Agaknya cara yang kedua ini memang relevan

dalam konteks sekarang, jika kita ingin melakukan restorasi terhadap masyarakat

Islam maka kita membutuhkan pendekatan yang lebih menyeluruh daripada

sekedar pendekatan legal. Metode unutk transformasi nilai melalui teori ilmu

untuk kemudian diaktualisasikan dalam praksis, memang membutuhkan beberapa

fase formulasi: teologi→filsafat sosial→teori sosial→perubahan sosial.8

Mengapa Islam Transformatif menjadi begitu penting. Moeslim

Abdurrahman menyatakan bahwa gerakan-gerakan swadaya masyarakata selama

ini tampaknya bertumpu pada dasar sebuah slogan filosofi tentang ikan dan kail.

Salah satu contoh misalnya, LSM yang ada di Grobongan yang orientaasi

gerakannnya menunggu proyek-proyek pemeritah saja, seperti LSM Creative

Inovative Empowering (CIE) dan hanya sekedar menjadikan masyarakat sebagai

objek dari program-program pemerintah.9 Oleh sebab itu, idealnya program-

program pengembangan masyarakat pada dasarnya harus bersifat mendampingi

dan menempatkan kaum dhua‟fa dan mustadz‟afiin sebagai subjek. Oleh

karenanya pendekatan transformatif menjadi acuan yang sangat penting agar

dalam proses itu merekalah yang akan merencanakan program dirinya, memahami

strategi dan peluang-peluang yang mungkin dapat meningkatkan harga diri dan

8
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 170.
9
Ageng Nata Praja, Distorsi Peran lembaga Swadaya Masyarakat Dalam Perspektif Civil
Society Di Kabupaten Grobongan,Tesis, (Semarang: Universitas Negeri Semarang, 2009), h. 52.
9

harkatnya sebagai manusia yang mulia didepan Pencipta-Nya.10

Oleh sebab itu, dalam konteks yang lebih luas, agama tidak sekedar

menuntut kepatuhan belaka, tetapi juga mengharuskan adanya pergulatan untuk

mewujudkan tatanan yang lebih bertanggung jawab. Dalam sudut pandang

sosiologi agama, kita akan menemukan dan memahami wahyu atau pesan suci

agama yang relevan dengan keadilan sosial, kesamaan derajat, emansipasi dan

semacamnya sebagai dasar dari konsep taqwa yang memulangkan seluruh sumber

kebenaran dan harkat kemanusiaan di tangan Tuhan, bukan pada otoritas manusia.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka penulis mengambil rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana paradigma Islam ransformatif perspektif Moeslim

Abdurrahman dan Kuntowijoyo ?

2. Apa persamaan dan perbedaan pemikiran Moeslim Abdurrahman dan

Kuntowijoyo tentang Islam transformatif ?

3. Bagaimana implikasi paradigma Islam transformatif Moeslim

Abdurrahman dan Kuntowijoyo terhadap pengembangan masyarakat ?

C. Pengertian Judul

Judul dalam penelitian ini adalah Paradigma Islam Transformatif Dan

Implikasinya Terhadap Pengembangan Masyarakat, maka untuk menghindari

kesalahpahaman dan kekeliruan pemikiran maka penulis membatasi dengan

mendefinsikan secara kata-perkata seperti berikut:

10
Moeslim Abdurrahman, Islam Trangsformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), h. 40.
10

1. Paradigma

Paradigma yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu cara pandang

seseorang terhadap diri dan lingkungannya, dimana hal tersebut akan

mempengaruhi cara berpkir, bersikap dan bertingkah laku.

2. Islam Tranformatif

Islam Transformatif adalah Islam yang menghendaki agar kaum muslim

menciptakan tata sosial-moral yang adil dan egaliter dalam rangka menghilangkan

penyelewengan dialam semesta ini melalui pertimbangan aspek sosiologis dan

ilmu-ilmu sosial.

3. Pengembangan Masyarakat

Pengembangan Masyarakat adalah proses dimana upaya masyarakat itu

sendiri yang disatukan dengan upaya otoritas pemerintah untuk meningkatkan

kondisi ekonomi, sosial dan budaya masyarakat untuk mengintegrasikan

masyarakat kedalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berdasarkan pengertian judul tersebut calon peneliti merumuskan

penelitian ini bahwa judul yang dimaksud adalah upaya menjelaskan tentang cara

pandangn Islam yang progresif dengan keberpihakannya serta implikasi paradigm

tersebut terhadap pengembangan masyarakat.

D. Kajian Pustaka/Penelitian Terdahulu

Berdasarkan penelusuran, calon peneliti menemukan beberapa laporan

hasil penelitian terdahulu yang relevan dengan judul penelitian yang dikemukakan

sebagai bahan perbandingan dan menjadi acuan calon peneliti untuk penyusunan

skripsi ini. Laporan hasil penelitian serupa yang dimaksud, diantaranya :


11

1. “Islam Transformatif dalam Pandangan Moeslim Abdurrahman”

merupakan skripsi Fauzan Budi Raharjo, Mahasiswa jurusan Filsafat

Agama Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta, penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan dengan

metode penelitian yang terbagi menjadi dua tahapan, yaitu (1)

pengumpulan sumber data (2) metode pengolahan dan analisis data.

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pemahaman Islam

Transformatif Moeslim Abdurrahman dan untuk melihat relevansinya

bagi kehidupan muslim Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan Islam

dalam pemikiran Moeslim Abdurrahman adalah Islam yang memiliki

kerangka nilai, memiliki model tafsir transformatif, dan Islam yang

cenderung berpihak pada kemanusiaan. Adapun relevansi Islam-nya

Moeslim ini tentu sudah jelas arah perubahan yang mesti dilakukan.

Pengaruh agama yang cukup luas terhadap kehidupan manusia,

khususnya di Indonesia, maka Moeslim mencoba meneropong segala

aspek gerak pengaruh agama dalam sisi kehidupan Manusia.11

Persamaan dan perbedaan judul yang peneliti angkat, persamaannya

yaitu meneliti tentang Islam transformatif dalam pandangan Moeslim

Abdurrahman sedangkan perbedaannya ialah peneliti terdahulu

membahas tentang relevansi pemahaman Islam transformatif Moeslim

Abdurrahman bagi kehidupan muslim Indonesia sedangkan peneliti

membahas implikasi Islam transformatif terhadap pengembangan

11
Fauzan Budi Raharjo, Islam Transformatif dalam Pandangan Moeslim Abdurrahman,
Skripsi, (Yogyakarta : Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2015).
12

masyarakat dengan analisa pemikiran Moeslim Abdurrahman dan

Kuntowijoyo.

2. “Paradigma Islam Transformatif dan Implikasinya Terhadap

Pengembangan Pendidikan Islam (Studi Komparasi Pemikiran

Kuntowijoyo dan Moeslim Abdurrahman)” merupakan tesis Arbain

Nurdin, Mahasiswa Program Magister Pendidikan Agama Islam

Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Penelitian ini

menggunakan penelitian deskriptif dengan lebih menekankan pada

kekuatan analisis sumber-sumber dan data-data yang ada. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa Paradigma Islam Transformatif

perspektif Kuntowijoyo dan Moeslim Abdurrahman meliputi tiga aspek:

(a) hakikat Islam transformatif; (b) epistemologi Islam transformatif; (c)

tujuan Islam transformatif.12

Persamaan dan perbedaan judul yang peneliti angkat, persamaannya

yaitu meneliti tentang paradigma Islam transformatif studi komparasi

pemikiran Kuntowijoyo dan Moeslim Abdurrahman sedangkan

perbedaannya ialah peneliti terdahulu membahas tentang implikasinya

terhadap pengembangan pendidikan Islam sedangkan peneliti membahas

implikasinya terhadap pengembangan masyarakat.

3. “Pandangan Profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak

Ular, dan Wasripin dan Satinah” merupakan tesis Giyato, Mahasiswa

12
Arbain Nurdin, Paradigma Islam Transformatif dan Implikasinya Terhadap
Pengembangan Pendidikan Islam (Studi Komparasi Pemikiran Kuntowijoyo dan Moeslim
Abdurrahman), Tesis, (Malang : Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2013).
13

Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri

Semarang. Penelitian ini menggunakan pendekatan strukturalisme

genetik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pandangan dunia

Kuntowijoyo meliputi pandangan religius profetik yang meliputi misi

profetik kesenian, sosial, budaya, politik, ekonomi, pendidikan, dan

moral.13

Persamaan dan perbedaan judul yang peneliti angkat, persamaannya

ialah meneliti tentang pandangan Kuntowijoyo sedangkan perbedaannya

ialah peneliti terdahulu membahas tentang Pandangan Profetik

Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan Wasripin dan

Satinah sedangkan peneliti membahas tentang Pandangan Kuntowijoyo

mengenai Paradigma Islam transformatif dan implikasnya terhadap

pengembangan masyarakat.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Sebagai sebuah penelitian yang arahnya kepada pemikiran seorang

tokoh dalam kurang waktu tertentu di masa lampau maka calon peneliti

menggunakan penelitian kualitatif yang fokus penelitiannya diarahkan kepada

penelitian pustaka (Library Research), yakni penelitian yang kajiannya

dilakukan dengan menelusuri literatur-literatur terkait objek yang akan

diteliti.

13
Giyato, Pandangan profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak Ular, dan
wasripin dan Satinah, Tesis, (Surakarta : Universitas Negeri Semarang, 2010).
14

Penelitian kualitatif yaitu metode yang berusaha memahami dan

menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam

situasi tertentu menurut perspektif peneliti sendiri.14

2. Pendekatan Penelitian

Karena dalam penelitian ini calon peneliti ingin menemukan implikasi

terhadap objek yang diteliti maka melalui motede ini calon peneliti ingin

mengungkapkan pola pikir yang digunakan unutk membahas objek yang

diteliti dengan menggunakan pendekatan sosiologi interpretatif dan sosiologi

dakwah.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi dua ketegori,

yakni sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer merupakan

data yang diperoleh dari sumber aslinya, bersumber pada infomasi yang

berkenaan dengan objek yang diteliti. Data primer dalam penelitian ini

meliputi karya-karya Moeslim Abdurrahman dan Kuntowijoyo. Berikut

merupakan beberapa data primer yang dijadikan rujukan pokok dalam

penelitian ini:

a. Karya Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Penerbit

Erlangga, 2003), Suara Tuhan Suara Pemerdekaan (Yogyakarta: Kanisius,

2009), Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995), Semarak Islam

Semarak Demokrasi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), Islam Yang Memihak

(Bantul: LKIS, 2005).

14
Djam‟an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. VI
(Bandung: Alfabeta, 2014), h. 25.
15

b. Karya Kuntowijoyo, Paradigma Islam:Interpretasi Untuk Aksi (Bandung:

Mizan, 1991), Islam Sebagai Ilmu (Tiara Wacana, 2006. ), Muslim Tanpa

Masjid (Mizan, 2001.), Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997).

Sedangkan sumber sekunder mencakup literatur atau kepustakaan seperti

buku-buku, artikel, jurnal, makalah dan karya-karya ilmiah lainnya.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode

dokumentasi. Metode ini merupakan cara untuk mencari sebuah data yang

berupa catatan, surat kabar, majalah, artikel, jurnal, buku dan literatur lainnya

yang kemudian diamati langsung dengan cara membaca, mencatat,

mengidentifikasi, dan mengklasifikasikannya.

5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Setelah semua data diperoleh, peneliti mengolahnya dengan

menggunakan metode kualitatif yang diinterpretasi dengan menggunakan

teknik berpikir induktif (pengolahan data dari umum ke khusus) dan juga

teknik berpikir deduktif (pengolahan data dari khusus ke umum) serta teknik

berpikir komparatif (membandingkan pendapat atau pemikiran para pakar

satu dengan yang lain).

F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai peneliti dalam penelitian ini anatara lain:

a. Mendeskripsikan pemikiran Islam transformatif perspektif Moeslim

Abdurrahman dan Kuntiwijoyo


16

b. Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan pemikiran Moeslim

Abdurrahaman dan Kuntowijoyo tentang Islam Transformatif

c. Mendeskripsikan implikasi pemikiran Moeslim dan Kuntowijoyo terhadap

pengembangan masyarakat

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk menambah khasanah intelektual calon peneliti dalam menyelesaikan

suatu disiplin ilmu.

b. Untuk menambah wawasan mengenai paradigma Islam transformatif.

c. Calon peneliti berharap agar hasil penelitian ini nantinya dapat memberikan
wawasan baru yang komprehensif dan juga dijadikan sebagai referensi
ataupun menjadi bahan bacaan bagi mahasiswa dan siapapun.
BAB II
TINJAUAN UMUM
A. Tinjauan Islam Transformatif

1. Pengertian Islam Transformatif

Islam Transformatif merupkan pencarian dialogis, bagaimana agama harus

membaca dan memberikan jawaban terhadap ketimpangan sosial. Adapun konsep

teologis kritis disodorkan sebagai pendekatan memahami gubungan agama dan

kekuasaan, modernisasi dan keadilan kepada seluruh rakyat. Agama pada

dasarnya bukanlah identitas segolongan atau sekolompok manusia tententu.

Agama diturunkan sebagai hidayah untuk membebaskan manusia dari segala

bentuk penghambaan yang melawan nilai-nilai dasar kemanusiaan.1 Agama tidak

berbicara dengan sendirinya, tetapi harus ditransformasikan dan ditafsirkan oleh

umat manusia. Transformasi inilah yang bisa disebut sebagai bentuk dari gerakan

sosial baru.

Islam transformatif adalah tanggung jawab terhadap mereka yang

termarginalkan, melakukan perubahan demi mencapai kebebasan dan keadilan

sosial. Agama harus ditafsiri secara kontekstual sehingga dapat berfungsi dalam

kehidupan sosial selain kehidupan ritual.2 Dan sudah semestinya dimaknai seperti

demikian, Islam transformatif memiliki peran ganda selain membangun manusia

yang saleh ritual juga mesti saleh sosial.

1
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 66.
2
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 448.

17
18

Menurut pandangan Abuddin Nata, Islam transformatif adalah Islam yang

mengubah, membentuk serta menjadikan.3 Nata melanjutkan bahwa itulah hakikat

dari Islam transformatif. Mengubah dalam rangka pembebasan kemanusiaan dari

kemungkaran sosial akibat modernisasi dan pembangunan yang salah arah.

Membentuk karakter manusia yang lebih humanis, egalitarian serta menjadikan

masyarakat yang toleran, inklusif, penuh cinta kasih antar sesama manusia,

semesta alam dan antar sesama umat beragama sebagai pancaran dari sifat-sifat

ketuhanan.

Islam itu memang bernilai transformatif yaitu agama yang lebih egaliter,

demokratis, mandiri, tanpa harus menunggu campur tangan Negara. 4 Nilai-nilai

transformatif dalam sejarah Islam telah dimulai sejak dari dakwah rasul yang

memperjuangkan masyarakat agar terbebas dari keterpurukan kejahiliaan.

Dawam Rahardjo sebagaimana dikutip oleh Anwar mendefinisikan Islam

transformatif atau dalam istilah Dawam sendiri, Teologi transformatif ialah

teologi yang bersifat pembebas dan emansipatoris, demi sebuah perubahan yang

mengarah kepada perbaikan yang signifikan.5 Usaha-usaha kearah perubahan

untuk perbaikan demi kemaslahatan sosial; ketidakadilan, penindasan, kebodohan

dan eksploitasi tak akan menghirup udara untuk hidup pada semesta ini.

Tokoh atau selaku penggagas yang memperkenalkan Islam transformatif

adalah Moeslim Abdurrahman, sebagai sebuah perlawanan terhadap gagasan atau


3
Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, Cet. 2, 2001), h. 78.
4
Ahmad Baso, Civil Society Versus Masyarakat Madani:Arkeologi Pemikiran Civil
Society dalam Islam Indonesia (Bandung:Pustaka Hidayah, 1999), h. 167.
5
M. Syafi‟i Anwar, Pemikiran Dan Aski Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta:Paramadina, 1996), h. 166.
19

ide-ide yang disampaikan oleh paradigma modernisasi dan islamisasi. Karena bagi

Moeslim kedua paradigma tersebut tidak memberikan keadilan sosial dan terjebak

pada hal yang normatif bukan melihat problematika yang terjadi di kehidupan

sosial.6

Moeslim Abdurrahaman menganggap bahwa Islam tranformatif adalah

Islam yang membuat distingsi dengan proses modernisasi atau modernitas yang

bekerja dengan menghubungkan refleksi teologis dengan pembacaan konstruk

masyarakat agar dapat menimbulkan gerakan-gerakan transformasi sosial. Hal ini

disebabkan karena menurut Moeslim Abdurrahman, di dalam proses modernisasi

itu banyak orang yang semakin tidak peduli terhadap persoalan perubahan atau

proses sosial yang semakin memarginalkan orang-orang yang tidak memiliki

akses dengan pembangunan.7

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Islam transformatif mekekankan

adanya hubungan dialogis antara teks dengan konteks dan tidak cenderung kepada

pemaksanaan realitas menurut model yang ideal, suatu upaya untuk

menghidupkan teks dalam realitas empiris dan mengubah keadaan kepada

masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah Swt.

2. Latar Belakang Lahirnya Islam Transformatif


Islam transformatif merupakan pemikiran yang baru, meskipun gagasan

dasarnya sudah lama, yaitu menghendaki agar kaum muslim menciptakan tata

sosial-moral yang adil dan egaliter, dalam rangka menghilangkan penyelewengan

6
M. Syafi‟iAnwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indoensia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 173.
7
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 186.
20

di atas dunia, fasd fi al-ardl, melalui pertimbangan aspek sosiologis dan ilmu-ilmu

sosial.8 Pemikiran ini banyak diterima oleh masyarakat terutama masyarakat kelas

bawah karena gagagan dan ide-idenya mengarahkan dan membangun masyarakat

menuju keadilan sosial.

Islam transformatif merupakan salah satu wacana dari teologi kontemporer

dalam konteks Indonesia terutama pada masa orde baru. Dalam terminologi

sosiologi, istilah transformatif sering kali disamakan dengan perubahan, yaitu

suatu perubahan secara menyeluruh dalam bentuk, rupa, watak dan sebagainya

dalam hubungan timbal balik antar manusia, individu maupun sebagai kelompok.

Adapun faktor yang mungkin terlibat dalam proses perubahan sosial adalah

peranan faktor pendidikan, teknologi, nilai-nilai kebudayaan, dan gerakan sosial.9

Berdasarkan pandangan Armahedi Mahzar, bahwa Islam transformatif lahir

sebagai reaksi pengembangan reformasi Islam menuju wawasan transformasi dan

ini telah dilakukan oleh cendekiawan era-80an.10

Dari sini pengertian Islam transformatif menjadi sudah sangat jelas, yakni

komitmen kita (sebagai makhluk, zoon politicon) terhadap mereka yang tertindas,

untuk bersama-sama mengusahakan pembebasan.11 Islam transformatif

merupakan pencarian dialogis, yakni agama harus membaca dan memberikan

jawaban terhadap ketimpangan sosial. Agama adalah hidayah untuk

8
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 331.
9
Ensiklopedi Nasional Indionesia (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1991), h. 422
10
Abdurrahman Wahid, dkk, Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, Cet. II, 1993), h. 216.
11
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 333.
21

membebaskan manusia dari segala bentuk penghambaan yang melawan nilai-nilai

dasar kemanusiaan.

Secara historis Islam pada dasarnya merupakan agama transformatif. Misi

transformatif Islam sudah muncul sejak zaman Rasulullah SAW. Hal ini dapat

ditelisik dan dicermati dari misi kerasulan Muhammad SAW yang ditujukan

untuk membebaskan manusia dari berbagai hal yang membelenggu dan

merendahkan martabatnya seperti kemusyrikan, pertengkaran dan kebodohan.

Dalam pandangan Haris Riadi upaya pembebasan besar-besaran terhadap manusia

telah terjadi ketika Nabi Muhammad sebagai utusan Allah menyampaikan risalah

tauhid kepada penduduk dunia Arab.12 Muhammad SAW secara cemerlang telah

berhasil melakukan humanisasi spiritualitas yang telah lama terjebak pada

fatalisme akibat krisis moral pada saat itu. Jika dicermati dengan baik, proses itu

dilakukan Rasulullah dengan melakukan pemberdayaan dan pembebasan dalam

moral-etika Islam yang memiliki tiga pilar yaitu, persamaan derajat kemanusiaan,

kedua adanya keadilan dalam masyarakat dan ketiga adalah kemerdekaan, yang

oleh Hasan Hanafi disebut teologi pembebasan.13

Islam hadir di tengah komunitas Arab yang eksploitatif, pyramidal dan

patologis. Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad hadir untuk mengubah sistem

sosial tersebut dan membangun masyarakat yang berdimensi keadilan, egaliter,

emansipatoris dan saling menghargai antara sesama umat manusia. Dalam al-

qur‟an ditegaskan pada QS. Al-A‟raf/7:29

12
Haris Riadi, “Keniscayaan Revolusi Islam: Menggagas Ulang Doktrin Teologi Revolusi
Islam Hassan Hanafi”, Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 37, No. 2 (2012), h. 144.
13
Muh. Alwi, Teologi Pembebasan Dalam Islam: Studi Pemikiran Hassan Hanafi
(Skripsi, 2015), h. 78.
22

ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ 

ََََََََ َ

Terjemahannya:

Katakanlah, Tuhanku menyuruhku berlaku adil. Hadapkanlah wajahmu


(kepada Allah) pada setiap shalat, dan sembahlah Dia dengan
mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya. Kamu akan
dikembalikan kepada-Nya sebagaimana kamu diciptakan semula.14

Islam adalah sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-

revolusioner yang menjadi tantangan yang mengancam struktur yang menindas

pada saat ini di dalam maupun diluar Arab. Tujuan dasarnya adalah persaudaraan

yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality) dan keadilan sosial

(social justice).15

Islam menekankan kesatuan manusia (unity of mankind). Ini

mengisyarakatkan adanya pemahaman bahwa semua manusia itu sama, tidak

peduli suku, bangsa, Negara, gender karena yang menjadi pandang berbeda bagi

Allah hanyalah ketaqwaan, sebagaimana dalam QS. Al-Hujurat/49: 13

ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ 

َََََََََ َََ

Terjemahannya

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-
laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-
14
Kementerian Agama RI. Al-Qur‟an hafalan dan terjemah edisi tahun 2018 (Depok: Al-
Huda, 2018), h. 153.
15
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), h. 33.
23

bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.16

Ayat tersebut diatas menurut Ashgar Ali, secara jelas membantah semua

konsep superioritas rasial, kesukuan, kebangsaan atau keluarga, dengan satu

penegasan dan seruan akan pentingnya kesalehan. Kesalehan yang disebutkan

dalam Al-Qur‟an bukan hanya kesalehan ritual, namun juga kesalehan sosial

sebagaimana potongan arti ayat Al-Qur‟an “berbuat adil, karena itu lebih kepada

taqwa”.17 Ini berarti bahwa ekploitasi, penindasan, penjajahan antar sesama

manusia sangat ditentang dalam Islam dan keadilan sosial merupakan cita-cita

Islam yang harus diwujudkan dan Muhammad SAW telah berhasil mengukir

sejarah, perjuangan berdarah-darah yang telah dilakukannya berhasil melahirkan

sebuah kekuatan revolusioner sejati, dengan membumihanguskan sistem

eksploitasi dan hegemoni status quo tersebut. Muhammad SAW membebaskan

budak, anak-anak yatim, perempuan, kaum miskin dan lemah. Misinya sama

dengan nabi-nabi sebelumya; supremasi kebenaran, kesetaraan, dan persaudaraan

manusia.18 Muhammad adalah seorang pembebas, hingga seorang teolog bernama

Michael Horton Hart menempatkan Muhammad SAW pada posisi pertama

sebagai tokoh paling berpangruh dalam sejarah.

Dari berbagai corak pemikiran diatas, beserta kontoversi lahirnya Islam

transformatif, ini tentu tidak menghilangkan esensi dari pemikiran itu sendiri.

16
Kementerian Agama RI. Al-Qur‟an hafalan dan terjemah edisi tahun 2018 (Depok: Al-
Huda, 2018), h. 517.
17
Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009), h. 33.
18
Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi (Yogyakarta: LkiS, 2009), h. 216.
24

Sebab semua jalur pemikiran dalam sejarah peradaban Islam saling memiliki

keterkaitan. Oleh karena itu semakin maju zaman maka corak pemikiranpun akan

semakin banyak untuk mengaktualisasikan nilai-nilai ajaran Islam yang abstrak.

Islam sebagai agama universal maka diperlukan tafsiran dari berbagai

cendekiawan sehingga sesuai dengan konteks atau realitas sosial. Berbagai

pekerjaan terus dilakukan walaupun terasa sulit seperti membumikan nilai-nilai

Islam, mengentaskan masalah keadilan sosial dan ekonomi.19 Pekerjaan yang

demikianlah yang dilakukan oleh kalangan pemikir transformatif dalam rangka

menegaskan Islam sebagai agama yang relevan pada semua zaman.

Beberapa faktor yang menjadikan paradigm Islam transformatif lahir

dalam percaturan pemikiran di Indonesia adalah yang pertama, adanya

ketidakpuasaan golongan transformatif terhadap pemikiran-pemikiran seperti

Islam peradaban dan Islam rasional yang digagas oleh pemikir pembaharu

terdahulu. Paradigma Islam peradaban dan Islam rasional merupakan paradigma

yang melahirkan teologi modernisasi yang menghasilkan suatu analisa bahwa

keterbelakangan umat Islam disebabkan oleh cara pandang yang keliru dalam

beragama serta etos kerja yang rendah. Oleh sebab itu, kedua paradigma ini belum

menyentuh ranah aktualisasi namun baru pada tahap wacana. Sedangkan Islam

transformatif berupaya memberikan jawaban praksis atas permasalahan sosial

yang terjadi dimasyarakat, menyatukan analisis sosial dengan tafsir al-qur‟an

seperti yang dilakukan oleh Dawam Rahardjo.20 Sedangkan menurut Moeslim

19
A. Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektual Islam Di Indonesia (Bandung: Mizan, 1993), h.
132-133.
20
Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban: Dialog Filsafat Barat dengan Islam,
25

Abdurrahman bahwa teologi transformatif merupakan alternatif dari orientasi

paradigma “teologi modernisasi” dan “teologi totalistik atau Islamisasi”.21

Faktor kedua yakni adanya problematika yang dibawa oleh golongan

pemikir Islam sebelumnya yang memisahkan hubungan antara manusia dengan

Tuhan, antara manusia dengan manusia dan antara manusia dengan alam. Ketika

keretakan relasi terjadi maka akibatnya ketidakadilan di dalam membangun

masyarakat akan dapat terjadi. Hal ini diamini oleh Faisal Ismail sebagaimana

dikutip Zubaedi bahwa Islam transformatif merupakan respon terhadap dampak

negatif dari pembangunan dan kapitalisme dunia yang sudah merusak tatanan

kehidupan sosial masyarakat khususnya di Indonesia.22

Faktor ketiga dinyatakan oleh Toffler sebagaimana dikutip oleh Dawam

Rahardjo bahwa ada empat sebab yang memberikan kekuatan bagi para pemikir

transformatif untuk melakukan perubahan, sebab-sebab tersebut antara lain,

pertama adanya ketidakadilan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain,

kedua banyak terjadi kerusakan lingkungan serta sumber daya alam, ketiga

struktur organisasi tidak berpihak kepada peranan individual dan keempat adanya

dampak negatif dari teknologi baru.23 Keempat sebab diatas menjadi kekuatan

tersendiri bagi kalangan transformatif agar terus berupaya memberikan

sumbangsih pemikirannya untuk mewujudkan masyarakat etis yang diridhoi

Dialog Peradaban dan Dialog Agama, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 165.
21
Moeslim Abdurrahman, Islam Tranformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 106.
22
Zubaedi, Islam dan Benturan Antarperadaban: Dialog Filsafat Barat dengan Islam,
Dialog Peradaban dan Dialog Agama (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), h. 163.
23
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia, Dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim, (Bandung: Mizan, Cet. III, 1996), h. 112.
26

Tuhan baik melalui perumusan ilmu Islam maupun aksi sosial kemanusiaan.

3. Tipologi Islam Transformatif


Secara umum paradigma Islam transformatif terbagai kedalam dua bagian,

yakni yang bersifat teoritis dan praksis. Islam transformatif teoritis fokus kepada

perumusan teori-teori sosial yang mampu memberikan solusi kepada

permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Sehingga apa yang mereka

hasilkan mampu menjelaskan serta membimbing masyarakat dalam mencapai

nilai-nilai kehidupan. Para pemikir golongan Islam transformatif teoritis seperti,

Kuntowijoyo dan Moeslim Abdurrahman. Walaupun diantara kedua pemikir

tersebut memiliki aspek yang berbeda.24

Sedangkan Islam transformatif praksis fokus kepada pemecahan seluruh

aspek kehidupan seperti sosial, ekonomi, politik, dan pengembangan masyarakat

dengan kata lain para pemikir dari golongan ini lebih menginginkan ajaran-ajaran

Islam dapat dibumikan atau diaktualisasikan dalam kehidupan sehingga

memberikan spirit demi tercapainya keadilan sosial. Mereka menghendaki makna

teologi bukan sebatas sebuah ajaran doktrinal namun sebagai ajaran yang

membebaskan dari berbagai belenggu apapun. Pemikir golongan Islam

transformatif praksis seperti Dawam Rahardjo, Adi Sasono dan M. Amin Aziz.25

Yang menjadi poin penting dari tipologi pemikiran Islam transformatif

adalah landasan pemikirannya kebanyakan berasal dari tradisi intelektual Barat.

Sehingga mereka sedikit banyak mengambil konsep atau metodologi Barat

24
M. Syafi‟i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indoensia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 163.
25
M. Syafi‟i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indoensia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 162.
27

kemudian merekonstruksi serta merekonsepsi berdasarkan nilai-nilai ajaran Islam.

Dalam pandangan pemikir transformatif konsep yang telah dirumuskan intelektual

barat tidak perlu ditakuti atau dibuang jauh-jauh seperti yang dilakukan kalangan

yang menghendaki Islamisasi tapi konsep tersebut bisa dijadikan acuan dengan

merekonstruksi atau diinterpretasi kembali berdasarkan ajaran Islam yang lebih

sempurna. Landasan pemikiran seperti itu dapat terlihat dari latar belakang

pendidikan mereka yang lulus dan lahir dalam tradisi keilmuan Barat-Sekuler,

seperti Dawam Rahardjo, Kuntowijoyo, Moeslim Abdurrahman dan Amin Aziz.26

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Fachry Ali dan Bahtiar Effendy

sedikit berbeda dalam mengklasifikasi tipologi pemikiran Islam transformatif di

atas, berikut hasil surveynya bahwa ada empat corak pemikiran yang

dikembangkan oleh cendekiawan muslim di Indonesia, pertama neo-modernisme

yang menggabungkan pemikiran modernisme dengan tradisionalisme, seperti

pemikiran Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid, kedua sosialisme-

demokrat yang mengedepankan keadilan sosial seperti pemikiran Dawan

Rahardjo, Adi Sasono dan Kuntowijoyo, ketiga universalisme yang

mengampanyekan Islam sebagai agama universal, seperti pemikiran M. Amien

Rais, Jalaluddin Rakhmat dan A.M. Saefuddin dan yang keempat modernisme

yang melibatkan Islam dalam dunia politik, seperti pemikiran Djohan Effendy dan

Ahmad Syafi‟i Maarif.27

26
Zuly Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam: Wacana Inteletual Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), h. 106.
27
Dedy Djamaluddin dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran
dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid dan Jalaluddin
Rakhmat (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), h. 54-55.
28

Dawam Rahardjo membagi tiga golongan cendekiawan muslim dalam

memahami makna transformasi. Ketiga golongan tersebut memiliki perbedaan

yang cukup signifikan. Pertama, mereka memahami makna transformasi secara

sederhana yaitu melakukan transformasi dari masyarakat agraris menuju

masyarakat industri. Kedua, memaknai transformasi sebagai doktrin atau ajaran

atau etika yang harus diaktualisasikan ke dalam aspek kehidupan, seperti ekonomi

Islam. Ketiga, transformasi diartikan sebagai gerakan revolusioner atau radikal,

contoh mentransformasi system ekonomi negara dengan memutus utang luar

negeri.28 Berdasarkan pemaknaan transformasi ketiga golongan tersebut maka

dapat disimpulkan bahwa tipologi pemikiran Islam transformatif dapat dibagi

menajdi tiga kelompok yaitu, golongan transformasi masyarakat, transfomasi

doktrinal dan transformasi revolusioner.

4. Karakteristik Islam Transformatif


Abuddin Nata memberikan beberapa karakteristik Islam transformatif
berdasarkan pengertian dari Islam transformatif itu sendiri, sebagai berikut:
a. Bertujuan kepada upaya dan usaha dalam rangka merealisasikan cita-
cita Islam yaitu membawa kerahmatan kepada seluruh alam
b. Adanya keseimbangan antara ajaran Islam yang bersifat ritual dengan
misi Islam
c. Menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai demokratis
d. Fokus pada problematika kehidupan sosial masyarakat yang aktual.29
Berdasarkan beberapa karakter tersebut aktualisasi paradigma Islam

transformatif di negeri ini menjadi sangat relevan karena beberapa alasan seperti,

28
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, Cet. III, 1996), h. 106.
29
Abuddin Nata, Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, Cet. 2, 2001), h. 78.
29

pertama paradigma tradisionalis melahirkan karakter masif dan berbau mistik

sehingga pemikiran kritis sebagai alat menuju perubahan sosial tidak akan pernah

muncul, kedua paradigma modernis telah menidurkan sikap kritis karena adanya

sikap legowo terhadap struktur yang ada dan ketiga paradigma fundamentalis

lebih sulit untuk melakukan perubahan karena yang dikembangkan kesadaran

magis bukan kesadaran kritis.30

5. Metode Islam Transformatif


Pada epistemologi Islam transformatif diperlukan dua metode sebagai

agenda besar Islam menghadapi tantangan zaman, pandangan ini digagas oleh

Dawam Rahardjo yaitu rasionalisasi dan objektivikasi. Rasionalisasi merupakan

batu tapal untuk mengembangkan filsafat agama sedangkan objektivikasi

merupakan sebuah proses penafsiran publik disertai hasil penelitian

empiris.31Rasionalisasi dan objektivikasi menjadikan Islam dapat mengikuti

perkembangan, sebab nilai-nilai ajarannya yang tidak bertentangan dengan

masyarakat yang secara terus-menerus mengalami perubahan. Norma-norma

agama dapat berfungsi secara dinamis tidak statis dan tidak sekedar

mengorientasikan kepada kesalehan individual semata tetapi juga kepada

kesalehan kolektif.

Selain daripada rasionalisasi dan objektivikasi, dalam teologi Islam

transformatif juga menggunakan metode analisis ekonomi-politik, kekuasaan

30
Mansour Faqih, Teologi Kaum Tertindas dalam Th. Sumartana, (Eds.), Spiritualitas
Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), h. 230.
31
M. Dawam Rahardjo, Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan, (Jakarta:
Kencana, 2010 ), h. 98.
30

sebagai variabel analisisnya.32 Metode analisis semacam ini memberikan jalan

bagi kalangan transformatif unutk membangun kesadaran untuk melawan

ketimpangan akibat poses modernisasi yang ternyata di satu segi hanya bisa

diakses oleh kelas menengah ke atas saja.33 Maka masyarakat mesti membangun

kekuatan yang bersumber dari penghayatan keagamaan dan berbagai pengalaman

penderitaan sehari-hari, mungkin dapat diartikulasikan dalam kesadaran berupa

religious consciousness unutk merespon problematika sosial-ekonomi.

6. Dimensi Islam Transformatif

Paradigma Islam transformatif merupakan bentuk respon atas ketimpangan

yang diakibatkan oleh proses modernisasi. Menurut moeslim Abdurrahman,

ketimpangan itu merupakan dosa “Barat” atau modernisasi, sebab dalam

prakteknya modernisasi sering melakukan eksploitasi, dimana sumber-sumber

ekonomi dan informasi hanya bisa diakses oleh segelintir orang dengan

mengontrol sejumlah orang, tanpa memberi kesempatan untuk mengubah masa

depannnya sendiri.34 Maka dibawah ini akan diuraikan dimensi Islam

transformatif sebagai berikut :

a. Kritik Atas Modernisasi

Proses moderniasi tengah berlansung diberbagai negara akan tetapi tidak

sepenuhnya berhasil. Dikarenakan muatan nilai-nilai yang dibawa dan

dikembangkan oleh teori modernisasi tidak relevan bagi sebagian negara. Dawam

32
Budhy Munawar Rahman, Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman (Jakarta:
Paramadina, 2001), h. 449.
33
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 183.
34
Ali Subekti, Islam Transformatif: Studi Tentang Pemikiran Moeslim Abdurrahman
(Skripsi:Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, 2002), h. 58.
31

Raharjo menyatakan bahwa berdasarkan kepustakaan teori teori modernisasi ini

telah banyak mengalami otokritik, hal ini dikarenakan orang-orang yang

menggunakan teori ini telah melakukan reduksi menurut kepentingannya masing-

masing, sehingga berdampak kepada kekuatan teori modernisasi tersebut.35

Untuk mengatasi problematika yang ditimbulkan oleh paradigma

modernisasi tentu perlu rekonstruksi paradigma yang lebih bisa mewujudkan

keadilan sosial, inilah yang dijawab dan dilakukan oleh para pemikir transformatif

dengan melakukan transformasi sosial dalam mengtasi kesenjangan

b. Transformasi Sosial

Transformasi sosial dalam pandangan pemikir Islam transformatif

merupakan tugas utama yang harus dilaktualisasikan baik dalam perumusan teori

maupun langkah praktis.

Sebagai contoh Dawam Rahardjo menghendaki adanya rekonstruksi

pemahaman keagamaan masyarakat Indonesia yang masih tergolong terkurung

dengan ilmu-ilmu Islam tradisional. Agama Islam hanya dikategorikan sebatas

ilmu aqidah, syariah, akhlak dan juga tasawuf. Sebagaimana pernyataan dawam

berikut.

Landasan berpikir umat Islam yang melihat Islam sebagai Fiqih, Aqidah,
dan Tasawuf sudah tidak memadai lagi dan perlu dirombak. Umat Islam
harusnya melihat permasalahan dunianya, lingkup dan kerangka budaya
universal sebagai pedoman dalam merumuskan konsep-konsep hidupnya.
Ternyata Fiqih yang pola dasarnya diambil sebagai pedoman oleh umat
Islam sudah tidak memenuhi tuntutan budaya universal segenap perubahan
yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia dan perkembangan ilmu
pengetahuan. Umat Islam tradisional telah terlanjur membakukan masalah-

35
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, Cet. III, 1996), h. 376.
32

masalah keagamaan sehingga bila berhadapan dengan realitas kehidupan


mereka tidak menemukan jawaban yang jelas dan praktis.36

Dari pernyataan diatas kita menemukan pencerahan bahwa pemikir

transformatif bukan ingin merubah doktrin teologi secara subtansi tapi menngubah

pada aspek metode dan cara pandang masyarakat terhadap teologi itu sendiri,

sehingga perubahan zaman bukan menjadi kendala bagi umat Islam tapi justru

ikut serta berpartisipasi aktif sebaga subjek dalam perubahan.

Adi Sasono memberikan gagasan transformatifnya yang menyatakan

bahwa tauhid di dalam agama Islam memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan

sosial sehingga mampu melahirkan persmaan derajat sosial.37 Gagasan ini

mengarahkan kepada masyarakat Muslim untuk melakukan perubahan

pemahaman terhadap tauhid yang selama ini masih terbuai dengan mengesakan

Tuhan semata, padahal tauhid merupakan esensi ajaran Islam yang juga

berimplikasi kepada seluruh aspke kehidupan.

B. Tinjauan Pengembangan Masyarakat

1. Pengertian Pengembangan Masyarakat

Pengembangan masyarakat merupakan suatu proses untuk meningkatkan

kualitas hidup masyarakat yang mencakup seluruh aspek kehidupan, yaitu

ekonomi, sosial, kebudayaan dan politik.

Secara umum pengembangan masyarakat (community development) adalah

kegiatan pengembangan masyarakat yang dilakukan secara sistematis, terencana

36
M. Syafi‟i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indoensia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 165.
37
M. Syafi‟i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indoensia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 168.
33

dan diarahkan untuk memperbesar akses masyarakat guna mencapai kondisi

sosial, ekonomi dan kualitas kehidupan yang lebih baik apabila dibandingkan

dengan kegiatan pembangunan sebelumnya.38

Sedangkan menurut A. Supardi bahwa pengembangan masyarakat itu

adalah suatu proses dimana anggota masyarakat pertama-tama mendiskusikan dan

menentukan keinginan mereka kemudian merencanakannya dan mengerjakannya

bersama-sama untuk memenuhi keinginan mereka tersebut. Pengembangan

masyarakat juga merupakan suatu gerakan untuk menciptakan sesuatu kehidupan

yang lebih baik bagi seluruh masyarakat dengan berpartisipasi aktif dan inisiatif

masyarakat itu sendiri.39 Upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan

kehidupan masyarakat dalam satu kesatuan wilayah ini mengandung makna

bahwa pengembangan masyarakat dilaksanakan dengan berwawasan lingkungan,

sumberdaya manusia dan alam, sosial maupun budaya sehingga terwujud

pengembangan masyarakat yang berkelanjutan.

2. Tujuan Pengembangan Masyarakat

Tujuan pengembangan masyarakat tentunya juga tidak berbeda dengan

tujuan pembangunan, yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adapun

tujuan pengembangan masyarkat, sebagaimana yang dikutip oleh P. Sodang

Siagian adalah sebagai berikut :

a. Keadilan Sosial

b. Kemakmuran yang merata

38
Arif Budimanta dan Bambang Rudito, Metode dan Teknik Pengelolaan Cummunity
Development, Cet. II (Jakarta: CSD, 2008), h. 33.
39
A. Supardi, Dakwah Islam Dengan Pengembangan Masyarakat Desa (Bandung: Madar
Maju, 1987), h. 24.
34

c. Perlakuan yang sama di mata hukum

d. Kesejahteraan material, mental dan spiritual

e. Kebahagiaan untuk semua

f. Ketentraman dan keamanan40

3. Prinsip-prinsip Pengembangan Masyarakat

Menurut Jim Ife, pengembangan masyarakat mempunyai 22 prinsip.

Anatara satu prinsip dengan yang lain saling berkaitan dan saling melengkapi.

Pinsip-prinsip ini diasumsikan menjadi pertimbangan bagi sukses atau tidaknya

suatu kegiatan pengembangan masyarakat dan dianggap konsisten dengan

semangat keadilan sosial dan sudut pandang ekologis. Prinsip-prinsip ini

dimaksudkan sebagai seperangkat prinsip dasar yang akan mendasari pendekatan

pengembangan masyarakat bagi semua praktek kerja masyarakat, prinsi-prinsip

tersebut sebagai berikut :41

a. Pembangunan Menyeluruh

Pembangunan sosial, ekonomi, politik dan budaya, lingkungan dan

personal/spiritual, semuanya mencerminkan aspek-aspek penting dari kehidupan

masyarakat. Program pengembangan masyarakat harus memperhatikan keenam

aspek tersebut. Hal ini berarti bahwa keenam aspek berjalan bersama-sama dan

mendapat porsi yang sama, tetapi mungkin satu diprioritaskan dengan tidak boleh

meninggalkan yang lain.

40
Khoiruddin, Pengembangan Masyarakat (Yogyakarta: Liberty, 1992), h. 24.
41
Dr. Zubaedi M.Ag., M.Pd., Pengembangan Masyarakat: Wacana dan Praktik (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 33.
35

b. Melawan Kesenjangan Struktural

Pengembangan masyarakat hendaknya peduli terhadap beraneka praktek

penindasan kelas, gender dan ras. Sebagai konsekuensinya, pengembangan

masyarakat tidak akan menimbulkan penindasan struktural baru. Oleh karena itu,

para aktivis sosial harus mencermati praktek-praktek penindasan yang

kemungkinan terjadi dalam institusi media, sistem sosial, struktur organisasi,

bahasa, ekonomi, pasar dan iklan. Di lua r hal itu juga perlu dicermati adanya

praktek penindasan karena umut, ketidakmampuan fisik dan keadaan gender.

c. Hak Asasi Manusia

Pengembangan masyarakat harus menjunjung tinggi penghargaan hak

asasi manusia. Hak asasi manusia perlu memperoleh perhatian secara serius bagi

pekerja masyarakat, baik dalam pandangan negatif (protection of human right)

maupun positif (promotion of human right). Dalam pandangan negatif, hak asasi

manusia adalah penting bagi pengembangan masyarakat. Oleh karena itu, setiap

program pengembangan masyarakat harus selaras dengan prinsip-prinsip hak asasi

dasar umat manusia.

d. Berkelanjutan

Pengembangan masyarkat merupakan bagian dari upaya untuk

membangunan tatanan sosial, ekonomi, dan politik baru, yang prosesnya dan

strukturnya secara berkelanjutan. Setiap kegiatan pengmbangan masyarakat harus

berjalan dalam kerangka berkelanjutan, bila tidak ia tidak akan bertahan dalam

waktu yang lama. Keistimewaan dari prinsip berkelanjutan adalah ia dapat

membangun struktur, organisasi, bisnis dan industri yang dapat tumbuh dan
36

berkembang dalam berbagai tantangan. Jika pengembangan masyarakat berjalan

dalam pola berkelanjutan diyakini akan dapat membawa sebuah masyarakat

menjadi kuat, seimbang dan harmonis, serta concern terhadap keselamatan

lingkungan.

e. Pemberdayaan

Pemberdayaan berarti menyediakan sumber daya, kesempatan,

pengetahuan dan keterampilan dalam rangka meningkatkan kemampuan warga

miskin untuk menentukan masa depannya sendiri dan berpartisipasi dalam

kehidupan masyarakat.

f. Personal dan Politik

Keterkaitan antara personal dan politik, individu dan struktural atau

masalah-masalah pribadi dengan masalah-masalah publik merupakan komponen

yang penting dalam pembangunan sosial. Keseluruhan pengalaman pribadi bisa

dihubungkan dengan politik. Dengan cara ini, setiap perasaan dan tindakan bisa

mempunyai implikasi politis.

g. Kepemilikan masyarakat

Dasar yang dipegangi dalam kegiatan pengembangan masyarakat adalah

konsep kepemilikan bersama. Kepemilikan bisa dipahami dari dua tingkatan yaitu

kepemilikan terhadap barang material serta kepemilikan struktural dan proses.

Kepemilikan barang material, seperti barang-barang komoditas, tanah, bangunan

dan sebagainya. Kepemilikan struktur dan proses seperti kontrol masyarakat,

pelayanan kesehatan, pendidikan, menentukan kebijaksanaan keaktifan lokal,

perumahan, pengembangan lokal dan sebagainya.


37

h. Kemandirian

Masyarakat hendaknya mencoba memanfaatkan secara mandiri terhadap

sumber daya yang dimiliki seperti: keuangan, teknis, alam dan manusia daripada

menggantungkan diri terhadap bantuan dari luar. Melalui program pengembangan

masyarakat diupayakan agar para warga mampu mengidentifikasi dan

memanfaatkan sumber daya yang ada dalam masyarakat semaksimal mungkin.

i. Kebebasan dari negara

Prinsip kemandirian memunculkan isu menyangkut hubungan masyarakat

dengan negara. Negara menyeponsori pengembangan masyarakat merupakan

sebuah tradisi yang lama. Respon alamiah dari sebuah pemerintahan dalam

merasakan kebutuhan pembangunan masyarakat adalah menciptakan berbagai

program pembangunan masyarakat yang didukung oleh Negara.

j. Tujuan langsung dan visi yang besar

Dalam hal ini, para aktivis pengembangan masyarakat dituntut menjawab

sebuah tantangan berupa sejauh mana mereka bisa menghubungkan tujuan

langsung dengan visi jangka panjang, menunjukkan bagaimana sebuah visi tidak

hanya relevan dengan visi yang lain, tetapi tak terpisahkan secara berkelanjutan

dengan pencapaian tujuan orang lain.

k. Pembangunan organik

Masyarakat secara esensial adalah organisme (seperti tumbuhan), bukan

mekanistik (seperti mesin). Oleh karena itu, pengembangan masyarakat tidak

diarahkan oleh hukum teknis sebab-akibat yang sederhana, namun merupakan

suatu proses yang rumit dan dinamis. Pembangunan secara organik berarti bahwa
38

seseorang menghormati dan menghargai sifat-sifat khusus masyarakat,

membiarkan serta mendorongnya untuk berkembang dengan caranya sendiri,

melalui sebuah pemahaman terhadap kompleksitas hubungan antara masyarakat

dengan lingkungannya.

l. Laju pembangunan

Konsekuensi dan pembangunan organik adalah bahwa masyarakat sendiri

menentukan jalannya proses pembangunan. Berusaha membangun masyarakat

secara tergesa-gesa dapat mengakibatkan terjadinya kompromi secara fatal. Bisa

jadi, masyarakat akan kehilangan rasa memiliki proses tersebut dan kehilangan

komitmen untuk terlibat dalam proses pembangunan.

m. Kepakaran eksternal

Keahlian yang dibawa oleh tenaga ahli dari luar belum tentu bisa

menjamin mulusnya pelaksanaan proses pembangun masyarakat dalam suatu

lokasi. Prinsip keragaman ekologis menekankan bahwa tidak ada suatu cara yang

paling benar untuk melakukan sesuatu dan tidak ada jawaban tunggal yang mesti

cocok untuk setiap masyarakat.

n. Pembentukan masyarakat

Semua pembangunan masyarakat harus bertujuan untuk membentuk

sebuah masyarakat yang baru. Pembentukan masyarakat melibatkan upaya

penguatan interaksi sosial dalam masyarakat, membangun kebersamaan dan

membantu mereka untuk berkomunikasi dengan sesamanya dalam rangka

menciptakan dialog, saling memahami dan melahirkan tindakan sosial.


39

o. Proses dan hasil

Pertentangan antara proses dan hasil telah menjadi isu besar dalam

pekerjaan masyarakat. Pendekatan pragmatis cenderung menekankan kepada

hasil. Dalam pendekatan ini; apa yang dipandang sangat penting adalah hasil apa

yang sebenarnya dicapai. Sedangakan, terhadap pertanyaan bagaimana sesuatu

dicapai (proses) merupakan persoalan yang kurang penting.

p. Integritas proses

Proses yang digunakan dalam pengembangan masyarakat sama pentingnya

dengan hasil yang ingin dicapai. Oleh sebab itu, proses yang digunakan untuk

mencapai tujuan harus menyesuaikan dengan pengharapan dari hasil yang

berkenaan dengan isu kesinambungan, keadilan sosial dan lain-lain. Jika

pengembangan masyarakat bisa menggunakan proses yang di dalamnya

mencerminkan cita-cita ini, maka hal ini lebih memungkinkan untuk dapat

mewujudkan tujuan-tujuan yang lebih berjangka panjang.

q. Tanpa kekerasan

Dari persepektif pengembangan masyarakat, penting dalam pengembangan

masyarakat usaha untuk mengubah struktur-struktur kekerasan dan upaya

mengatasi kekerasan melalui cara-cara damai. Hal ini berarti taktik Alinsky yang

intinya memprovikasi konflik tidak dapat diterima dalam pengembangan

masyarakat. Hal ini berarti bahwa proses harus diusahakan untuk memperkuat

bukan menyerang, memasukkan bukan mengesampingkan, bekerja di dalam

bukan bekerja menentang dan memediasi bukan berkonfrontasi.


40

r. Inclusiveness (keterbukaan)

Penerapan prinsip keterbukaan dalam pengembangan masyarakat

memerlukan proses yang selalu merangkul bukan menyisihkan, semua orang

harus dihargai secara intrinsik walaupun mereka memiliki pandangan yang

berlawanan dan orang harus diberi ruang untuk merubah posisinya dalam sebuah

isu tanpa kehilangan muka.

s. Konsensus

Pendekatan konsensus bekerja menuju persetujuan bersama dan bertujuan

untuk mencapai pemevahan yang seluruh anggota masyarakat mau memilikinya.

Konsensus berarti lebih dari sekadar persetujuan untuk menerima keinginan

mayoritas, yang bisa menjadikan 49 persen anggota masyarakat tidak puas. Ia

lebih dari sekadar kompromi, yang dapat menjadikan setiap orang tidak puas.

t. Kooperatif

Pada tingkat yang paling mendasar, pengembangan masyarakat akan

berupaya membawa kerjasama dalam kegiatan masyarakat, dengan membawa

masyarakat bergabung dan menemukan cara-cara menghargai kerjasama individu-

individu atau kelompok. Kegiatan rekreasi masyarakat bisa menekankan

kerjasama bukan persaingan.

u. Partisipasi

Pengembangan masyarakat harus selalu mencoba memaksimalkan

partisipasi, dengan tujuan agar setiap orang dalam masyarakat bisa terlibat aktif

dalam proses dan kegiatan masyarakat. Lebih banyak anggota masyarakat yang
41

berpartisipasi aktif, lebih banyak cita-cita yang dimiliki masyarakat dan proses

yang melibatkan masyarakat akan dapat direalisasikan.

v. Menentukan kebutuhan

Pengembangan masyarakat sesungguhnya dapat didefinisikan sebagai

bantuan kepada masyarakat untuk mengartikulasikan kebutuhan mereka dan

kemudian bertindak sehingga kebutuhan mereka bisa terpenuhi. Untuk ini, adalah

benar dipandang dari perspektif keadilan sosial dan ekologis, masyarakat

sendirilah yang harus memiliki dan mengontrol proses pengukuran dan penentuan

kebutuhan.
BAB III
BIOGRAFI MOESLIM ABDURRAHAMAN DAN KUNTOWIJOYO

A. Moeslim Abdurrahman

1. Biografi

Moeslim Abdurrahman lahir pada tanggal 8 Agustus 1947 di kota

Lamongan Jawa Timur. Pendidikan yang ia tempuh dimulai sejak di sekolah

Rakyat pada pertengahan tahun 60-an setelah itu ia kemudian menjadi santri di

Pesantren Raudhatul Ilmiyyah di kertosono Jawa Timur. Pesantren yang diasuh

oleh Kyai Salim Akhyar yang merupakan murid generasi pertama dari Kyai

Hasyim Asy‟ari pendiri Nahdlatul Ulama. Kemudian ia melanjutkan studinya di

Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Muhammadiyah di Surakarta. Pada tahun

1975 Moeslim Abdurrahman menjadi peserta Pusat Pelatihan Ilmu-ilmu Sosial di

Banda Aceh. Moeslim Abdurrahman meraih gelar Ph.D pada tahun 2000 dalam

kajian Antropologi dengan disertasi beijudul On Hajj Tourism: In Search of Pity

and Identity in The New Order Indonesia di University of Illinois at Urbana-

Champaign.1 Pergumulan pemikiran dan perjalanan akademik Moeslim

Abdurrahman ini cukup beragam, ia pernah ditempa dan dibina dalam lingkungan

pesantren dan lembaga pendidikan keagamaan dan di pihak lain ia juga pernah

merasakan pendidikan di luar negeri dengan iklim dan corak pengetahuan serta

budaya yang berbeda.

Sejak pulang dari Amerika Serikat setelah meraih gelar Ph.D di bidang

antropologi dari The University of Illinois pada tahun 1990-an, Moeslim


1
Penerbit Erlangga, Tentang Penulis, dalam Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik
Sosial (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003).

42
43

melakukan berbagai petualangan intelektual, tampil dari berbagai forum dan

kegiatan bahkan moeslim juga pernah berpetualang dalam kancah perpolitikan

dengan ikut serta dalam anggota Partai Amanat Nasional.

Karir Moeslim Abdurrahman begitu beragam, ia pernah menjadi peneliti di

Balitbang Departemen Agama (1977-1989), Asisten Pemimpin Redaksi Harian

Pelita (1989-1991) dan Kepala Litbang Harian The Jakarta Post (19992001) serta

dalam dunia NGO (Non Governmental Organization) Moeslim pemah memimpin

P3M (Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat), mendirikan

LPIIST (Lembaga Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial Transformatif) dan

memimpin LPBTN (Lembaga Pemberdayaan Buruh Tani dan Nelayan) PP

Muhammadiyah pada tahun 2000-2005 dan ia juga pernah memimpin Ma‟arif

Institute for Culture and Humanity sebuah lembaga yang bervisi menjadi simpul

Islam yang toleran dan inklusif, simpul tenda bangsa dan wadah komunitas

pemuda yang berfikiran terbuka dan progresif.2

Namun Moeslim Abdurrahman mundur dari Ma‟arif Institute, lalu ia

kemudian beralih kepada Al-Maun Foundation sebagai organisasi yang

mengumpulkan intelektual-intelektual muda Muhammadiyah dalam sebuah

komunitas Jaringan Intelektual Muda Muhammdiyah (JIMM) yang sudah ada

sejak tahun 2003.3

Sikap humoris dan asketisme yang dimiliki Moeslim Abdurrahman menjadi

modal berharga sebagai seorang intelektual dalam merangkul berbagai kelompok

2
Penerbit Erlangga, Tentang Penulis, dalam Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik
Sosial (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003).
3
Zuly Qodir, Pembaharuan Pemikiran Islam: Wacana Intelektual Indonesia (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006), h. 107.
44

dan organisasi yang memiliki corak pandang yang bermacam-macam. Kang

Moeslim begitulah kalangan muda memanggilnya, anak Muhammadiyah yang

begitu dekat dengan kalangan NU, dia juga seorang santri yang amat begitu dekat

dengan lembaga-lembaga non-santri di Indonesia, seperti CSIS (Conter For

Strategic and International Studies) atau The Jakarta Post.4

Perangai Moeslim Abdurrahman bagaikan figur cendekiawan hybrid, sama

seperti Abdurrahman Wahid (Gusdur). Dia tidak terlalu bangga dengan gelar

akademik semacam doktor lulusan salah satu universitas terkemuka di Amerika

Serikat. Kang Moeslim mengingatkan kita pada sosok seorang cendekiawan yang

berasal dari India yakni Asghar Ali Engineer, ia begitu sederhana, kocak dan

brilliant.5 Maka bukanlah sesuatu hal yang berlebihan jika Moeslim Abdurrahman

dikategorikan sebagai sumber mata air keteladanan bagi umat dan bangsa di

tengah kegersangan keberagamaan dan kebenergaraan sekarang ini.

Moeslim Abdurrahman wafat pada hari Jum‟at tanggal 6 Juli Tahun 2012 di

rumah sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta Pusat, pada usia 65 Tahun.6

Kepulangan Moeslim kepangkuan yang Maha kasih dengan sederet prestasi dan

gagasan yang ia wariskan seperti Islam transformatif dan atau Teologi Al-maun

merupakan hal yang mesti terus dikaji dalam rangka menghadang kemungkaran

sosial demi mewujudkan kemaslahatan sosial.

Pemikiran Moeslim Abdurrahman tertuang dalam banyak karyanya seperti,


4
Ihsan Ali Fauzi, Mengenang Kang Moeslim (online),
(muhammadiyahstudies.blogspot.com, diakses 11 November 2021).
5
Muhammad AS Hikam, Gus Dur Selalu Ngakak Bila Ada Kang Moeslim (online),
(muhammadiyahstudies.blogspot.com diakses 11 November 2021).
6
Anonim, Kang Moeslim Telah Berpulang, (online), (Kompas.com diakses 11 November
2021).
45

Islam Transformatif (1995), Islam Sebagai Kritik Sosial (2003), Islam Yang

Memihak (2005), Suara Tuhan Suara Pemerdekaan (2009) dan karya-karyanya

lain. Selain itu, gagasan Moeslim Abdurrahaman banyak termuat dalam artikel-

artikel maupun sebagai kata pengantar dalam sebuah buku seperti, Islam Pribumi:

Mendialogkan Agama Membaca Realitas (Sayed Mahdi, 2003), Ritual Yang

Terbelah: Perjalanan Haji Dalam Era Kapitalisme Indonesia. Dalam Mark R.

Woodward, Toward a NewParadigm: Recent Developments in Indonesian Islamic

Thought, terj. Ihsan Ali-Fauzi, Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma

Mutakhir Islam Indonesia (1998), Negara Islam: Sebuah Gagasan Keagamaan

dalam Sejarah Politik, “Kata Pengantar” dalam Ahmad Syafii Maarif (2006),

Islam dan Pancasila sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam

Konstituante.

2. Latar Belakang Pemikiran

Moeslim Abdurrahman merupakan orang yang pertama kali

memperkenalkan istilah teologi Islam transformatif sebagai bentuk otokritik

terhadap paradigma modernisasi dan Islamisasi. Sebab kedua paradigma tersebut

tidak memberikan keadilan sosial dan terjebak pada hal-hal yang bersifat normatif

tidak berusaha melihat problematika yang terjadi dikehidupan sosial. Ide

Transformasi Moeslim banyak menyentuh keadaan sosial masyarakat walaupun

masih menggunakan istilah teologi, namun makna teologi di sini lebih luas tidak

hanya berkutat pada soal ketuhanan melainkan membawa ide dan nilai-nilai

agama dalam pergulatan hidup secara kolektif untuk menegakkan tatanan sosial

yang adil sebagai pancaran cita ketakwaan. Oleh sebab itu, konsep teologi
46

tersebut juga bersifat historis dan kontekstual sehingga mampu memberikan solusi

terhadap kehidupan sosial masyarakat.7

Pemikiran teologi Islam transformatif yang digagas oleh Moeslim

Abdurrahman ini terinspirasi dari teologi al-ma‟un KH. Ahmad Dahlan, teologi

ini lebih cenderung kepada nilai-nilai praktis dalam pemahaman keagamaan.

Karena agama tidak akan menjadi sempurna tatkala lingkungan di sekitar masih

terjadi kesenjangan.

Berkenaan dengan teologi al-ma‟un ini pada mulanya ketika KH. Ahmad

Dahlan belum mau menambahkan pelajaran baru dan hanya memberikan

pelajaran yang sama yaitu terkait dengan tafsir surat al-ma‟un kepada santri-

santrinya. Karena materi yang diajarkan berulang-ulang maka salah satu santri

bernama H. Syuja‟ mengajukan pertanyaan kepada KH. Ahmad Dahlan, mengapa

pak Kyai tidak menambah materi pelajaran yang baru. KH. Ahmad Dahlan

langsung menjawab, apakah kalian sudah mengerti semua. Syuja pun menjawab,

saya dan teman-teman sudah faham dan hafal surah al-ma‟un. Lalu Kiyai

bertanya, apakah sudah kalian amalkan. Syuja menjawab, apa yang harus

diamalkan, toh setiap sholat sudah kami baca. Kyai pun menjawab, diamalkan

berarti dikerjakan, jadi kalian belum mengerjakan perintah Tuhan yang

terkandung di dalam surah al-ma‟un, maka sekarang kalian pergi mencari orang

miskin, bawa mereka ke rumah kalian lalu beri mereka pakaian bersih, makanan

7
M. Syafi‟i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indoensia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru, (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 173.
47

dan minuman serta tempat tinggal.8

Selain dari teologi al-ma‟un, Moeslim Abdurrahman dalam mengemukakan

ide-ide transformatifnya dan menganggap ini merupakan sebuah alternatif dari

orientasi paradigma “teologi modernisasi” dan “teologi totalistik atau islamisasi”.

Dalam pandangan Moeslim Abdurrahman, paradigma teologi modernisasi

bertolak dari isu tentang kebodohan, keterbelakangan dan kepicikan.9 Bagi

kelompok teologi modernis diperlukan upaya liberalisasi pandangan yang adaptif

terhadap kemajuan zaman dengan diimbangi oleh sikap kritis terhadap unsur

negatif dari proses modernisasi. Maka sikap yang harus ditampilkan adalah

keterbukaan, universalitas dan dialogis dalam menghadapi dunia yang plural dan

dinamis. Bagi kelompok modernis, tidak ada ambisi untuk menglslam setiap

aspek kehidupan, sebab otoritas agama sebagai ad-din dan perkembangan aspek

sosial umat Islam mempunyai basisnya masing-masing.

Sedangkan paradigma teologi totalistik atau Islamisasi mengambil topik

persoalan normatif yang “Islami” dan “tidak Islami” atau mana yang asli dan

mana yang bid‟ah.10 Kelompok ini erat dengan pendekatan fiqh, yang melihat

hidup di dunia ini berdasarkan pandangan serba dikotomis (a dualistic word view)

atau opisisi biner yakni cara pandang hitam putih seperti halal-haram, surga-

neraka dan seterusnya. Kecenderungan berteologi semacam ini adalah

8
Khoiruddin Bashori, Keserakahan Ummat di Mata KH. Ahmad Dahlan dalam tim
pembinaan Al Islam dan Kemuhammadiyahan, Muhamddiyah:Sejarah Pemikiran dan Amal Usaha
(Malang: Pusat Dokumentasi dan Publikasi Universitas Muhammadiyah Malang, 1990) h. 32.
9
M. Syafi‟I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995) h. 173.
10
M. Syafi‟I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995) h. 174.
48

mengandaikan umat hanya sebagai konsumen teologis sedangkan elite agama

sebagai produsennya.

Sementara itu, menurut Moeslim Abdurrahman teologi Islam Transformatif

lebih menekankan perhatian kepada soal kemiskinan dan ketidakadilan.

Menurutnya, arus deras modernisasi dengan ideologi pembangunannya telah

menghasilkan eksploitasi dan marjinalisasi terhadap kaum dhu ‟afa dan mustadh

‟afin.11

Model pemikiran Moeslim Abdurrahman memiliki corak yang sama dengan

cendekiawan seperti Romo Mangun, Bu Gendong, dan Gusdur karena memiliki

kesamaan obsesi dalam pendidikan dan menyantuni kaum miskin serta

keberpihakannya kepada kelompok marginal dan minoritas. Pemikirannya pula,

sedikit banyaknya dipengaruhi oleh salah seorang filsuf pendidikan dari Brasil,

Paulo Freire yang menawarkan model pendidikan yang membebaskan kaum

miskin dari ketimpangan struktural dan model pendidikan elitis yang

memantapkan struktur penindasan atas nama ilmu pengetahuan.12

Berdasarkan gagasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat diartikan

bahwa pemikiran teologi Islam transformatif Moeslim Abdurrahman dilatar

belakangi oleh dua aspek, pertama ketidakpuasan atas gagasan pemikir

sebelumnya, kedua yaitu keikutsertaanya dalam berbagai lembaga atau organisasi.

Pemikiran Moelim Abdurrahman dapat dibagi menjadi beberapa aspek

11
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 107.
12
Muhammad AS Hikam, Gus Dur Selalu Ngakak Bila ada Kang Moeslim (online),
(muhammadiyahstudies.blogspot.com diakses 28 Novembe 2021).
49

kajian seperti agama, politik dan kritik terhadap modernisasi. Namun secara

mendasar pemikiran Moeslim lebih dominan pada aspek agama, dengan harapan

bahwa dengan agama kehidupan masyarakat dapat terbebas dari ketidakadilan dan

keterpurukan dengan melakukan transformasi atas pesan atau teks serta ajaran

agar agama tidak hanya dipandang sebagai norma yang mengatur kehidupan ritual

yang sifatnya normatif tanpa memiliki implikasi terhadap realitas kehidupan

seperti sosial, politik, ekonomi dan budaya.

a. Agama

Agama sebagai ajaran yang memberikan rahmat sangat perlu untuk

diinterpretasikan lagi pada waktu dan zaman sekarang agar dapat berkontribusi

dan menyentuh aspek kehidupan sosial. Dalam hal ini, Moeslim Abdurrahman

membagi dua tugas agama sebagai kontributor dalam kehidupan sosial.

Agama harus berani melakukan otokritik terhadap pesan-pesannya dan juga


meredefinisikan konsep-konsepnya selama ini. Misalnya tentang konsep
tauhid dalam Islam, yang penting disini ialah bagaimana seseorang itu
bertauhid dalam fragmentasi social. Agama harus berani mengajukan satu
narasi besar yang baru. Agama tidak hanya perlu berbicara pada level the
caring society. Dengan kepeduliaan pada masyarakat (seperti mengeluarkan
sedekah dan sebagainya dalam konsep lama) ini, agama diharapkan lebih
mempunyai komitmen menyuarakan ideologi yang memperjuangkan
keadilan melalui mekanisme redistribusi sosial. Yang selama ini terjadi,
agama-agama harus diakui sangat lemah pemihakannya ketika berbicara
mengenai system sosial yang lebih adil.13

Kedua tugas agama diatas haruslah menjadi tugas pokok yang mesti

mendapat perhatian lebih, agama harus memiliki komitmen moralitas pada

masalah ketimpangan sosial, sebab kemunduran peradaban umat Islam itu

13
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 177-
178.
50

bermula dan berawal karena adanya ketidakadilan sosial yang terjadi

dimasyarakat dan dengan demikian ajaran agama mesti menjadi pedoman bagi

manusia dalam pencaharian solusi terhadap problemtika yang dihadapinya.

Namun jika tidak, agama akan semakin asing dan lambat laung akan ditinggalkan.

Selain tugas pokok diastas agama juga harus berfungsi kontrol secara kritis

dan legitimatif, sama seperti dalam sosiologi. Fungsi kritis agama dapat berjalan

jika agama mampu independen dari struktur yang mungkin menjeratnya.

Saya kira, agama tetap bisa menumbuhkan mekanisme kritis dalam


dinamika agama itu sendiri, baik melalui ijtihad sebagai metode intelektual
dalam memahami pesan agama, ataupun secara langsung jika agama
diharapkan perannya untuk menyelesaikan problematika masyarakat yang
aktual. Itu berarti agama harus selalu berani memberikan kriteria moral pada
setiap keadaan, dengan menunjukkan keadaan yang diridhai oleh Allah dan
mana yang tidak.14

Jadi dalam konteks yang lebih luas, agama tidak hanya sekedar menuntut

kepatuhan dan ketundukan belaka. Akan tetapi peran sentral agama sebenarnya

juga kepada pergulatan untuk mewujudkan tatanan yang lebih bertanggung jawab.

Moeslim menggambar pergulatan itu diibaratkan sama seperti pergulatan seorang

sufi untuk menemukan kebenaran yang sejati.

Seperti layaknya pergulatan seorang sufi, yang tidak mengenal henti untuk
menyatu dengan kebenaran yang sejati, yang biasanya harus dilalui dalam
tahap-tahap pembebasan dan dalam proses- proses keterasingan diri
(khalwat).. .dalam pergulatan kaum sufi seperti itu, mereka yakin bahwa
„emosi‟ Tuhan tidak akan terganggu sedikitpun oleh kebebasan ulah
manusia, karena sebenarnya Tuhan Maha Bebas dari perilaku siapapun...
perspektif sufi ini penting saya kemukakan dalam membicarakan fungsi
kritis terhadap struktur sosiologis agama. Karena tampaknya hanya dengan
perspektif itulah kita akan memahami pesan-pesan suci agama yang relevan
dengan keadilan sosial, persamaan derajat, demokrasi, egalitarian, dan

14
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. III, 1997),
h. 12.
51

semacamnya.15
Bagi Moeslim Abdurrahman, dasar keseluruhan dari peran kritis yang

demikian merupakan konsep taqwa yang memulangkan seluruh sumber kebenaran

dan harkat kemanusiaan di tangan Tuhan, bukan berada dalam otoritas manusia.

Dalam taraf inilah sumbangsih pemikir transformatif-transenden sangat

dibutuhkan dalam rangka menyelamatkan kehidupan masyarakat muslim dari

kekangan formalisme dan tekanan strukturalisme keberagamaan yang mengakar.

Peran dan tanggung jawab para pemikir transformatif dalam merumuskan

makna atas pesan inti agama yang lebih kontekstual dan selaras dengan tuntutan

zaman. Sebab realitas yang sering kita jumpai agama telah menjadi alat legitimasi

penting sekolompok penguasa sumber-sumber ekonomi dan politik. Islam telah

kehilangan idealisme dalam merumuskan konsepnya sebagai ajaran yang

rahmtanlillalamin.

Saya menemukan adanya suatu gejala bahwa Islam dalam masyarakat kita
kini sedang kehilangan idealisme, hal yang sungguh mampu memberi
referensi kepada arah transformasi sosial itu hendak kita tuju. Sehingga
kadang-kadang menimbulkan kesan seolah-olah kehidupan sebahagian umat
Islam mencerminkan sikap mendua. Intensitas ritual menjadi sangat romantik,
namun tidak berarti telah membuahkan kesalehan diri, apalagi kesalehan
sosial. Kehidupan keislaman menjadi sangat rutin dan ukuran-ukuran
keberagamaan menjadi sangat trivialistis (dipermukaan).16
Islam bukan sekedar ajaran agama yang hanya menuntut kesalehan ritual

individual melainkan memerlukan juga kesalehan sosial, karena itu konsep

kesalehan sosial akan berdampak terhadap transformasi Islam pada relasi sosial

15
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. III, 1997),
h. 13.
16
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. III, 1997),
h. 3-4.
52

yang lebih humanis dan egalitarian dengan menjunjung tingggi nilai-nilai

kemanusiaan. Kesalehan sosial ini dapat dicapai melalui pendekatan transformatif.

Pendekatan transformatif yang ditekankan pada dimensi keadilan dalam


setiap proses perubahan sosial, yakni dengan mempertanyakan perubahan
sebenarnya untuk siapa. dalam hubungan ini, pembangunan harus selalu
ditafsirkan sebagai usaha memperkukuh kemauan sendiri. Yaitu bagaimana
mengaktualisasikan referensi -referensi kebudayaan, misalnya tata nilai,
agar masyarakat itu sendiri mampu melakukan transformasi kepada
kehidupan yang lebih berharkat.17

Dalam merumuskan istilah teologi dalam teologi Islam transformatif,

Moeslim Abdurrahman mendapat kritikan dari Kuntowijoyo, sebab bagi

Kuntowijoyo tidak ada persoalan teologis didalam pengentasan kemiskinan dan

keberpihakan kepada orang miskin. Namun bagi Moeslim Abdurrahman hal ini

digunakan hanya dalam rangka mencari moda interpretasi orto-praksis dan

bagaimana mempertautkan iman dengan realitas sosial.

...bagi saya, ketika melihat relasi kekuasaan dengan hegemoni


pembangunan, maka tampak sangat diperlukan bahasa simbolik yang dapat
menjadi refleksi teologis dibanding sekedar menggulirkan ilmu- ilmu sosial
yang kritis. Dalam pinjam meminjam antara refleksi teologis dan peralatan-
peralatan ilmu-ilmu sosial yang memihak secara kritis itu, yang sangat
dibutuhkan adalah munculnya ulama- ulama baru dari kalangan sendiri.
Mereka yang saya sebut sebagai ulama rakyat organik atau intellectual
organic, meminjam istilahnya Antonio Gramsci. Sehingga, proses antara
refleksi teologis dan membaca konstruk sosial yang sedang dijadikan
konteks untuk proses emansipatoris menjadi lebih intens. Hal itu barangkali
juga dapat menjadi sarana menemukan gerakan-gerakan yang muncul dari
rakyat sendiri, dimana mereka melakukan regrouping baru dan memahami
bagaimana memunculkan kesadaran kolektif (collective consciousness)
untuk mengubah keadaan. Kesadaran kolektif haruslah berasal dari
masyarakat sendiri, sehingga bisa menghasilkan proses historical change
jrom below. Itulah yang saya pikirkan ketika saya mencoba merumuskan
teologi Islam transformatif.18

17
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. III, 1997), h.
8.
18
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 185—
186.
53

Begitulah pembacaan Moeslim Abdurrahman sebagai sikap teologis, yang

merupakan suatu usaha untuk melakukan reorientasi pemahaman keagamaan baik

secara individual maupun kolektif untuk menyikapi kenyataan-kenyataan yang

empiris menurut perspektif ketuhanan. Yang mereka tawarkan bukanlah

rekomendasi untuk mengubah doktrin, tetapi interpretasi terhadapnya, agar ajaran

agama diberi penafsiran baru dalam rangka memahami realitas.19

Sejalan dengan itu, persoalan yang paling mendasar bagi saya yang selalu
harus ditafsirkan ialah tentang moda interpretasi agama. Hal ini menyangkut
bagaimana agar tafsiran agama dapat memihak persoalan keadilan, soal
bagaimana nasib orang-orang dalam subordinasi sosial, dapat dibela atas
nama agama-baik melalui rasionalisasi (perumusan makna hidup yang
baru), advokasi (dakwah pembelaan) dan kelembagaan (majlis ta‟lim
pemberdayaan). Hal ini relevan mengingat kaum tersingkir sekarang ini
jelas tidak memiliki agama dalam tiga hal tersebut.20
Fokus perhatian di dalam Islam transformatif yang dirumuskan Moeslim

Abdurrahman adalah masalah keadilan dan ketimpangan sosial. Kedua gejala

sosial di atas merupakan awal dari teijadinya kemunduran peradaban umat Islam

ataupun umat manusia. Maka agenda di dalam Islam transformatif yaitu

mengembalikan peradaban gemilang yang menuju kehidupan yang adil-makmur.

Teologi transformatif atau Islam transformatif lebih menaruh perhatian


terhadap persoalan keadilan dan ketimpangan sosial saat ini. Itulah yang
dianggap sebagai agenda besar yang menjadikan banyak umat manusia tidak
mampu mengekspresikan harkat dan martbat kemanusiaannya. Bagi
kalangan teologi transformatif, semua persoalan peradaban manusia
seakarang ini dianggap pangkal pada persoalan ketirrmangan sosial-
ekonomi, karena adanya struktur yang tidak adil.21

19
Sidik, Paradigma Islam dan Transformasi Sosial: Studi Pemikiran Kuntowijoyo (Jurnal
Hunafa Vol. 2 No. 3 Desember, 2005:243-250), h. 249.
20
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. vi.
21
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet III, 1997), h.
106.
54

Salah satu kenyatan yang kita jumpai sekarang ini yang menjadi kritik teologi

transformatif yakni praktik ibadah haji. Munculnya identitas kelas dan perbedaan

pelayanan yang didapatkan oleh calon Jemaah, padahal aktivitas ibadah yang

dilakukan tetap sama.

Ibadah merupakan bentuk komunitas atau aktivitas anti struktur. Melalui


kecamata ini, ibadah haji seharusnya mempresentasikan pelepasan Jemaah
dari kehidupan sehari-hari dan pembatasan struktur sosial yang mengikat.
Tetapi kita menemukan bahwa praktik haji yang berkembang belakangan ini
bukanlah ibadah yang egalitarian, seperti yang diindikasikan dalam konsep
komunitas, melainkan ibadah yang memecah belah.22

Gerakan sosial yang berkiblat pada agama atau dakwah Islam mesti tertuju

kepada pengembangan masyarakat. Oleh sebab itu pendekatan transformatif sudah

sangat tepat untuk meningkatkan harkat dan martabat umat mansuia. Dengan

gerakan inipula akan mengantarkan kehidupan masyarakat yang lebih adil dan

sederajat di hadapan Tuhan, menumbuhkan sikap solidaritas sosial antar umat

manusia.

Gerakan kemanusiaan yang mampu mengantarkan kehidupan sosial yang


sederajat di depan Allah Swt. Suatu gerakan transformatif yang
menumbuhkan kepeduliaan terhadap nasib sesama dan yang melahirkan
aksi solidaritas. Dalam proses ini yang berlaku adalah pendampingan dan
bukan pengarahan apalagi pemaksaan. Transformasi, pada dasarnya juga
adalah gerakan kultural yang didasarkan pada liberasi, humanisasi dan
transendensi yang bersifat profetik. Yakni pengubahan sejarah kehidupan
masyarakat oleh masyarakat sendiri kea rah yang lebih partisipatif, terbuka
dan emansipatatoris.23
Mewujudkan model gerakan seperti di atas tidaklah mudah karena harus

22
Moeslim Abdurrahman, Ritual yang Terbelah: Peijalanan Haji dalam Era Kapitalisme
Indonesia, dalam Mark R. Woodward. Toward a New Paradigma: Recent Developments in
Indonesia Islamic Thougth, teij. Ihsan Ali-Fauzi, Jalan Baru Islam: Memetakan Paradigma
Mutakhir Islam Indonesia, (Bandung: Mizan, 1998), h. 129.
23
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. III, 1997),
h. 50.
55

memiliki ciri karakteristik seperti kesamaan berusaha, keadilan dalam usaha

memperoleh hasil dan keterbukaan dalam kepemimpinan. Tetapi kita mesti tetap

harus memiliki optimisme karena ini merupakan gerakan ideal bagi masyarakat

Indoensia yang demokratis dan multikultural.

Jamaah sosial yang lahir dengan solidaritas baru yang didasarkan pada
kesamaan berusaha, keadilan dalam memperoleh hasil dan keterbukaan
dalam kepemimpinan. Tipe Jemaah semacam ini akan sangat ideal jika lahir
di berbagai tempat sebagai modal organisasi umat yang mengacu pada
terwujudnya masyarakat Indonesia yang demokratis, beriman dan bertaqwa
kepada Allah Swt. Memang, melahirkan Jemaah-jemaah semacam ini tidak
mudah, dibutuhkan perencanaan, pendampingan dan komitmen yang jelas di
atas dasar kesamaan visi dan cita-cita yang kuat.24
Moeslim Abdurrahaman secara khusus menawarkan suatu metode alternatif

dalam menafsirkan wahyu Tuhan sebagai bentuk transformasi sosia, metode

tersebut adalah tafsir transformatif. Pada metode ini ditekankan tiga aspek dalam

interpretasinya yaitu memahami konstruk sosial, kemudian mempertemukan

kosntruk itu ke wilayah interpretasi wahyu, lalu hasilnya dapat dijadikan model

aksi baru yaitu transformasi sosial. Bentuk tafsir baru ini diharapkan relevan

dengan kebutuhan masyarakat dalam menjawab problematika yang sedang

dihadapinya sekarang, sebeb tafsir yang telah ada sebelumnya masih belum

mampu memberikan solusi terhadap realitas kehidupan masyarakat karena masih

bersifat abstrak dan tekstual.

Biarpun Al-Qur‟an sebagai teks memang telah dipenjara oleh sejarah, tapi
gagasan-gagasan Tuhan yang diisyarakatkan melalui firman-Nya itu tetap
akan hidup, selama Al-Qur‟an bukan hanya dibaca dalam wujudnya yang
skriptual saja tetapi seharusnyalah “dibaca” dalam double hermeneutics
yakni sekaligus dikonfrontasikan terhadap kenyataan sosial yang aktual.
Untuk kepentingan ini, saya kira perlu dikembangkan “Tafsir Transformatif‟

24
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. III, 1997),
h. 42.
56

yang dalam memahami gagasan Tuhan itu, dan dibutuhkan sekurang-


kurangnya tiga wilayah interpretasi, pertama-tama memahami konstruk
sosial, kemudian membawa konstruk itu berhadapan dengan interpretasi
teks (Al-Qur‟an) dan ketiga, hasil penghadapan konstruk sosial dan model
ideal teks itu kemudian diwujudkan dalam aksi sejarah yang baru, yaitu
transformasi sosial.25
Sehingga hasil akhir dari paradigma Islam transformatif adalah mewujudkan

reformasi sosial dalam mecipatakan keadilan sosial. Karena Islam merupakan

suatu ajaran yang bukan hanya melakukan reformasi keagamaan semata, tetapi

juga menyangkut kehidupan sosial kemasyarakatan.

Hasil akhir yang akan dicapai oleh Islam transformatif adalah munculnya
social justice. Karena dari segi praktik, politik kita tidak memberikan
harapan. Oleh karena itu harus diinspirasi dengan spirit dari Islam
transformatif itu. Nah, kenapa saya selalu berbicara Islam, karena Islam
sebagai suatu kekuatan dan secara kultural sudah lama berakar di Indonesia.
Orang-orang yang menekankan Islamic reform dalam pandangan saya
kurang menekankan perlunya social reform. Islam transformatif adalah
Islam yang punya orientasi dan menggagas perlunya social reform. Islam
harus mempunyai orientasi kritik sosial, tidak hanya sebagai pencerahan
atau sebagai wacana modernisasi atau wacana medernitas. Islam yang ingin
mengubah keadaan supaya lebih adil.26
Pada suatu wawancara yang pernah dilakukan oleh Ulil Abshar Abdallah

kepada Moeslim Abdurrahman, ia memberikan keterangan bahwa agama Islam

terkadang ditafsiri secara simbolik oleh penguasa karena agama memiliki relasi

terhadap kekuasaan yang dipegang, sehingga akan menimbulkan suatu hukum

yang tidak berkeadilan pada penerapannya bagi rakyat dan terutama juga bagi

perempuan. Padahal Islam selalu menekankan aspek keadilan sebagaimana tujuan

Islam transformatif yang dikontruk oleh Moeslim Abdurrahman, berikut kutipan

wawancaranya.

25
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 116.
26
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 190.
57

Persoalan sosial dan ketimpangan lebih merupakan masalah struktural. Ya,


semata-mata persoalan kehidupan, tergantung kebijakan politiklah. Kalua
kita melaksanakan syariat Islam secara keras, sesuai prosedur dan letterlijk,
orang mencuri langsung diamputasi tangannya... ya sebenarnya bukan hanya
syariat Islam. Hukum positif bila dilaksanakan dengan semangat seperti itu
juga merugikan kaum marginal. Perda yang mengabaikan semangat
keadilan, misalnya juga akan mendatangkan kemudaratan…27

Dalam sebuah tulisannya yang berjudul wong cilik dan kebutuhan Teologi

transformatif, Moeslim Abdurrahman menarik suatu kesimpulan dari karakteristik

paradigma yang dirumuskannya yaitu teologi transformatif sebagaimana dikutip

oleh Nasihun Amin sebagai berikut:

1) Teologi tidak bersifat abstrak namun berkaitan dengan tujuan sosial yang

membebaskan

2) Teologi transformatif merupakan proses artikulasi pesan agama dan bukan

agama itu sendiri

3) Dialog antara teks dan konteks merupakan model yang ingin diwujudkan

4) Kekuasaan harus mewujudkan kemakmuran sosial, agama sebagai kekuatan

pengawasan

5) Bertujuan kepada aski nyata, tidak bertumpu kepada sosialisasi simbol

agama

6) Berfungsi sebagai lembaga kritis terhadap kesenjangan struktur sosial

masyarakat.28

27
Moeslim Abdurrahman, Korban Pertama Penerapan Syariat adalah Perempuan, dalam
Luthfi Assyaukanie (Ed.), Wajah Liberal Islam di Indonesia (Jakarta: Teater Utan Kayu dan
Jaringan Islam Liberal, 2002), h. 112.
28
Nasihun Amin, Dari Teologi Menuju Teoantropologi: Pemikiran Teologi Pembebasan
Asghar Ali Engineer (Semarang: Walisongo Press, 2009), h. 37-38.
58

b. Politik

Pemikiran Moeslim Abdurrahman terkait dengan politik di Indonesia sedikit

banyaknya juga mewarnai dan memberikan pandangan yang cukup membangun,

tatkala ia memberikan kritik pada agama yang dijadikan sebagai kartu politik

yang dapat mengakibatkan adanya „sentimen agama‟ dengan segala bahanya.

...biarpun pembaharuan politik sejak Orde Baru telah berhasil mengubah


kelembagaan politik kearah yang lebih efisien dan pragmatis, percaturan
politik dan budaya politik yang berkembang masih saja diwarnai kesadaran
primordial yang tidak mendukung terwujudnya kehidupan poilitik modern
yang lebih demokratis. Sehubungan dengan agama, khususnya Islam yang
mayoritas, misalnya, dalam kaitan pembentukan budaya politik modem itu,
karena masih kuatnya politik primordial tersebut, tidak heran kalau Islam
juga sering teijebak menjadi „kartu politik‟ ketimbang sebagai referensi
moral politik yang objektif.29

Selain daripada masih mengakar kuatnya politik primordial pada budaya

politik kita di Indonesia, terkhusus umat Islam sebagai mayoriras, kesadaran

sosiologis dengan segala kompleksitas politiknya selama ini tidak bisa dihapus

dan dilupakan begitu saja.

Kompleksitas sebegai mayoritas yang berperasaan minoritas, mungkin


merupakan salah satu hal yang bisa ikut menjelaskan mengapa kaum politisi
Islam masih merasa penting memainkan „sentimen agama‟ itu dalam
percaturan politik. Kaum politisi Islam yang lahir dari ibu kandung „aliran‟
memang bisa dimengerti tidak akan mudah melepaskan jebakan kesadaran
sosiologis Islam tersebut. Apalagi jika kemenangan Islam memang dianggap
tetap identik dengan semangat kelompok Islam daripada kemenangan nilai-
nilai dasar Islam itu sendiri.30

Oleh karean itu selama umat Islam dan politisi Islam masih terjebak dalam

kubangan politik identitas, Islam selamanya akan diperjuangkan sebagai entitas

29
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 50
30
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 50
59

politik yang ekslusif dan sekali lagi bukan sebagai moral politik yang objektif.

Islam sebagai agama yang seharusnya merahmati siapa saja yang

memperjuangkan keadilan sebagai keridhaan Tuhan demi kemakmuran seluruh

penduduk semesta dan inilah yang harus menjadi cita-cita politik Islam.

Kemiskinan yang oleh umat Islam sering dipandang sebagai gejala manusia
secara individual, saya kira akarnya lebih merupakan bagian yang tidak
terpusahkan dalam struktur ekonomi dan politik. Hal ini menyangkut
timpangnya penguasaan dan redistribusi sumber-sumber kehidupan dalam
masyarakat. Oleh karea itu, apa yang paling dibutuhkan dalam hal
memberantas kemiskinan, sudah tentu tidak lain adalah munculnya cita-cita
politik yang kuat untuk melakukan pemihakan terhadap redistribusi sosial.31
Satu hal lagi yang menjadi perhatian Moeslim Abdurahman atas politik di

Indonesia, adalah hadirnya generasi intelektual muda yang potensial, yang

paradigma Islamnya sudah keluar dari pikiran partai dan tidak lagi hendak

mempeijuangkan sesuatu, misalnya sebuah negara Islam. Mereka itu adalah

kelompok intelektual modem yang mempraktekkan, Islam yes partai Islam no.

namun ini akan menjadi malapetaka jika kelompok intelektual muda ini juga

terbawa arus politik lama, yang sejak kita merdeka, kriteria keberhasilan

kelompok politik dianggap menang kalua sudah menguasai sector kekuasaan

negara melalui birokrasinya, maka generasi intelektual modem jika memimpin

Islam menjadi tidak jauh berbeda dengan elit politik yang lain, sehingga hanya

akan melahirkan elit politik baru yang orientasimya juga sama, sehingga dalam

kaitannya ini sentimen agama bisa memerankan kartunya dengan efektif.

Orientasi politik yang berorientasi elitisme, dalam arti kecenderungan


menguasai sektor negara, jelas selain menutup representasi basis pasrtisipasi

31
Moeslim Abdurrahman, Krisis Sosial, Krisis Cara Pandang (Agama): Sebuah Pengantar,
dalam Moh. Asror Yusuf (Ed.), Agama Sebagai Kritik Sosial: di tengah Arus Kapitalisme Global
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), h. 9.
60

politik massa juga sangat berbahaya, karena akan menciptakan etatisme


yang membuat pengaruh kekuasaan negara tetap akan menggurita ke semua
sector kehidupan masyarakat. Dengan etatisme, negara cenderung bukan
saja mengatur kepentingan umum, tapi juga ikut campur dalam hal- hal
yang pribadi...32

c. Kritik atas modernisasi

Proses modernisasi telah berlangsung cukup lama diberbagai belahan dunia,

tidak terhindarkan juga bagi Indonesia namun naas modernisasi tidak cukup

membawa dampak yang baik bagi semua negara dunia ketiga. Sebagai dampak

dari proses modernisasi yang teijadi di Indonesia adalah lahirnya pemerintahan

yang otoriter, kelompok elit di bidang ekomomi, ketimpangan sosial terjadi

dimanamana kemiskinan terus bertambah, organisasi sosial kemasyarakat

mengalami kesulitan untuk berkembang karena pemerintah membentuk organisasi

yang bersifat kapitalistik. Dampak-dampak tersebut merupakan kesalahan yang

dilakukan oleh negara Indonesia dalam menerapkan teori modernisasi.33

Sedangkan bagi Moeslim Abdurrahman, menganggap bahwa modemiasi

merupakan bagian dari proses globalisasi yang bagi Indonesia datang bersama

dengan penjajahan barat dan bukan merupakan pengalaman yang orisinil bagi

Islam.

...ada beberapa hal yang perlu untuk dicatat. Pertama, proses modernisasi di
negara-negara berkembang adalah bagian dari proses globalisasi, yang di
Indonesia dating bersama penjajahan barat. Kedua, modernisasi yang
muncul setelah revolusi industri bukanlah penagalaman orisinil Islam. Kita
ketahui, modernisasi muncul dalam pengalaman masyarakat kristiani di
Eropa.34

32
Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 54.
33
M. Dawam Rahardjo, Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah
Cendekiawan Muslim (Bandung: Mizan, Cet. III, 1996), h. 380.
34
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. III, 1997), h.
22.
61

Di Indonesia perjumpaan modernisasi Barat dengan Islam ditandai dengan

beberapa hal, peertama munculnya kelompok cendekiawan di lingkungan umat

Islam yang terdidik dalam tradisi sekolah konvensional Barat. Kelompok inilah

yang menjadi perantara bagi masuknya idiom-idiom Barat ke dalam lingkungan

kehidupan kaum muslimin. Cara itu kemudian mengangkat image kehidupan

modern, yaitu dengan mengintrodusir pranata modern seperti kehidupan politik

yang demokratis, pranata kesehatan modern seperti hadimya rumah sakit serta

memasukkan sistem pendidikan formal Barat ke kalangan umat Islam. Inilah

barangkali yang menjadi cikal bakal munculnya perkembangan modernisme Islam

yang membedakannya dengan kehidupan tradisional Islam skolatis sebelumnya

yang didominasi oleh para ulama.

Dalam kaitan perjumpaan Islam dengan Barat itu, ada satu fenomena yang
saya kira perlu dicatat sebagai awal kesadaran sosial politik baru yang
sangat penting. Yaitu berdiri Syarikat Dagang Islam (SDI) pada dasawarsa
kedua abad ini, yang kemudian secara artikulatif menjadi gerakan Syarekat
Islam (SI).35

Perjumpaan dan persentuhan antara modernisme Barat denga Islam telah

mengakibatkan pembelahan dalam kalangan umat Islam seperti lahirnya

tradisionalisme Islam dan modernisme Islam. Ini mengakibatkan terjadinya

perebutan tingkat ortodoksi yang menyentuh persoalan-persoalan ritus,

kesusilaan, ketuhanan dan hukum kekeluargaan.

35
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. III, 1997),
h. 23.
62

3. Tokoh yang mempengaruhi pemikiran Moeslim Abdurrahman

a. K.H. Ahmad Dahlan

Ahmad Dahlan, nama kecilnya adalah Raden Ngabei Ngabdul Darwis

kemudian dikenal dengan nama Muhammad Darwis. K.H. Ahmad Dahlan lahir

di Kauman Yogyakarta, pada tahun 1868. Kauman adalah suatu pemukiman

yang ditunjuk bagi para pejabat keagamaan dalam pemerintahan pribumi.

Ayahnya adalah seorang ulama bernama K.H. Abu Bakar Bin K.H. Sulaiman,

yaitu seorang pejabat khatib di Masjid besar kesultanan Yogyakarta. Ibunya

adalah putri dari H. Ibrahim bin K.H. Hassan, yaitu seorang pejabat penghulu

kesultanan. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang

semua saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.36

B. Kuntowijoyo

1. Biografi

Kuntowijoyo merupakan seorang sejarawan dan sastrawan, sekaligus

dikenal sebagai budayawan dan seorang cendekiawan muslim. Hal demikian di

atas tidak terlepas dari rekam jejak pikiran Kuntowijoyo dalam karya-karyanya.

Putra pasangan H. Abdul Wahid Sosroatmojo dan Hj. Warasti ini dilahirkan di

Sorobayan, Sanden, Bantul Yogyakarta pada 18 September tahun 1943. Semasa

hidupnya, Kuntowijoyo lebih banyak melewatkan waktunya di Klaten dan Solo.

Saat di Klaten, Kuntowijoyo tinggal di sebuah desa bernama Ngawonggo, di

wilayah Kecamatan Ceper.37

36
Syamsul Kurniawan dan Erwin Mahrus, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam
(Jogjakarta: AR-Ruzz Media, 2011), h.193
37
M. Fahmi, Islam Transendental Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo
63

Berdasarkan latar belakang kelahiran Kuntowijoyo, ia mewarisi dua

kebudayaan sekaligus yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Sekalipun kedua

kebudayaan ini memiliki kesamaan (sama-sama memiliki corak kejawen) tetapi

antara keduanya terdapat nuansa perbedaan. Menurut kuntowijoyo perbedaan ini

disebabkan oleh anggapan sebagian orang bahwa budaya Yogyakarta bersifat

serba seadanya-gagah-maskulin-aktif, karena dilahirkan oleh seorang prajurit

pemberontak orang terusir. Sedangkan budaya Surakarta lebih kenes-penuh

bunga-feminis-kontemplatif, karena terlahir di tengah kemapanan dan

kenyaman.38 Dari kedua corak kebudayaan inilah yang mempengaruhi dan

memberi warna pemikiran Kuntowijoyo.

Kehidupan keluarga Kuntowjoyo sangat sederhana, meskipun sudah

menjadi seorang Guru Besar, sejak tahun 1985, ia bersama istri dan anak-anaknya

hanya menempati rumah bertipe 70 di jalan Ampel Gading 429 Condong Catur,

Sleman Yogyakarta, rumah dengan seharga 4,5 juta yang diperluas ukurannya

menjadi 180 Meter persegi berlantai dua. Dalam rumah Kuntowijoyo tidak

ditemukan perabotan mahal ataupun lukisan, di ruangan tamu yang berukuran 4x5

meter hanya ada meja dan kursi tamu yang berwarna coklat tua. Harta yang paling

mahal dalam rumah tersebut hanyalah sebuah tumpukan buku dan piala-piala

penghargaan untuk karya-karya buah pikirannya.39

(Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), h. 29.


38
Wawancara Arif Subhan dengan Kuntowijoyo yang dimuat dalam, Jurnal Ulumul
Qur‟an, NO.4, Vol. V, Th. 1994), 92-93. Dengan judul “Dr. Kuntowijoyo: al-Qur‟an Sebagai
Paradigma” Sebagaimana dikutip M. Fahmi dalam Islam Transendental, h. 30.
39
M. Fahmi, Islam Transendental Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo
(Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), h. 38.
64

2. Latar Belakang Pemikiran

Kuntowijoyo merupakan salah seorang cendekiawan muslim terkemuka

yang namanya tercatat dalam sejarah pergulatan pemikiran Islam di Indonesia.

Seorang pemikir yang sangat optimis akan masa depan Islam. Dia berupaya

melakukan pembaharuan melalui ilmu-ilmu sosial dengan strategi kultural atau

akrab dengan sebutan ilmu sosial profetik. Pembentukan pemikiran Kunowijoyo

tidak terlepas dari latar belakang keluarganya yang agamis serta keaktifannya

dalam organisasi Muhammadiyah. Selain itu, aktivitas keagamaan yang telah

menjadi rutinitas sehari-harinya juga menjadi hal yang penting dalam membentuk

pemikiran Kuntowijoyo.40

Selain latar belakang yang telah diuraikan diatas, ada dua hal yang juga

perlu untuk diperhatikan karena merupakan bagian penting dalam membangunan

pemikiran Kuntowijoyo terkait dengan transformasi sosial. Pertama, perhatiannya

yang cukup besar terhadap pola pikir masyarakat yang masih dibelenggu oleh

mitos-mitos dan hanya berkembang sampai kepada tahapan ideologi. Menurut

Kuntowijoyo, Islam yang masuk ke Indonesia telah mengalami agrarisasi.

Peradaban Islam yang bersifat terbuka, global, kosmopolit dan merupakan mata

rantai penting peradaban dunia telah mengalami penyempitan dan stagnasi dalam

bentuk budaya-budaya lokal. Untuk itu Kuntowijoyo melakukan analisis-analisis

historis dan kultural untuk melihat perkembangan umat Islam Indonesia. Kondisi

seperti ini telah mendorongnya untuk melontarkan gagasan-gagasan transformasi

sosial melalui reinterpretasi nilai-nilai Islam, yang menurutnya sejak awal telah

40
M. Fahmi, Islam Transendental Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo
(Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), h. 36.
65

mendorong manusia untuk berpikir secara rasional dan empiris. Kedua adanya

respon terhadap tantangan masa depan yang cenderung mereduksi agama dan

menekankan sekularisasi dan teknokratisasi yang akan melahirkan moralitas baru

yang menekankan rasionalitas ekonomi, pencapaian perorangan dan kesamaan.41

Inilah yang memacu Kuntowijoyo untuk mengemukakan pemikiran tentang

paradigma Islam sebagai rumusan ilmu-ilmu sosial Islam.

Ilmu sosial profetik merupakan ide besar yang gulirkan oleh Kuntowijoyo.

Secara subtansial gagasan Kuntowijoyo ini di ilham oleh dua tokoh besar yakni

Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy. Salah satu karya fenomenal Iqbal yang

berjudul membangun kembali pikiran agama dalam Islam, disebutkan bahwa

Sunnah nabi adalah aktivisme sejarah yang artinya nabi dalam hal ini Muhammad

setelah menerima pengalaman religius akan melakukan perubahan bagi manusia

kearah yang lebih baik. Keterlibatan nabi dalam transformasi ini merupakan etika

profetik. Sedangkan berdasarkan pemikiran Roger Garaudy seorang filsuf Muslim

asal Prancis yang mengumandangkan istilah profetik yang harus digunakan umat

manusia sebagai langkah dalam rangka menyelamatkan peradaban dunia yang

mulai hilang akibat filsafat Barat.42

Pemikiran Kuntowijoyo yang bersifat transformatif dan beberapa faktor

yang ikut memberikan warna dalam corak pemikirannya, maka di dalam beberapa

karya Kuntowijoyo telah terangkum ide serta gagasan yang mengarah kepada

41
Sidik, Paradigma Islam dan Transformasi Sosial (Studi Pemikiran Kuntowijoyo), Jurnal
Hunafa, Vol. 2 NO. 3 Desember 2005, h. 244.
42
Kuntowijoyo, Ilmu Sosial Profetik: Objektifikasi bagi Pembentukan Masyarakat Madani,
dalam Widodo Usman (Eds.), Membongkar “Mitos” Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2000), h. 156.
66

transformasi sosial baik itu berupa ilmu sosial, agama, budaya, sastra serta politik

Islam. Secara umum aspek yang demikian tadi telah mengalami degradasi akibat

perubahan zaman, oleh karenanya Kuntowijoyo memberikan sumbangan pikiran

serta gagasannya sebagai suatu bentuk ikhtiar untuk mengembalikan kedudukan

Islam dalam menghadapi perubahan dan tantangan zaman terus melaju.

a. Agama

Pemikiran Kuntowijoyo terkait dengan aspek agama cukup signifikan dalam

mengutarakan gagasan atau idenya sebagai upaya mengembalikan cita-cita atas

keberadaan atau misi ajaran Islam dalam menjawab realitas sosial. Pikiran-pikiran

Kuntowijoyo merupakan upaya dalam memberikan jawaban atas problematika

kehidupan sosial umat Islam, ia menawarkan sebuah pendekatan untuk

merumuskan dan membentuk paradigma baru di dalam perumusan teori atau

keilmuan Islam yang didasarkan kepada Al-Qur‟an, pendekatan itu disebut

pendekatan sintetik-analitik dalam rangka mendapatkan pemahaman yang

komprehensif terhadap Al-Qur‟an.

Pendekatan ini menggap bahwa pada dasarnya kandungan Al- Qur‟an itu
terbagi menjadi dua bagia. Bagian pertama berisi konsep-konsep dan bagian
kedua berisi kisah-kisah sejarah dan amsal-amsal. Dalam bagian pertama
yang berisi konsep-konsep, kita mendapati banyak sekali istilah Al-Qur‟an
yang merujuk kepada pengertian-pengertian normatif yang khusus, doktrin-
doktrin etik, aturan-aturan legal dan ajaran-ajaran keagamaan pada
umumnya. Istilah-istilah atau singkatnya pernyataan-pernyataan, itu
mungkin diangkat dari konsep-konsep yang telah dikenal oleh masyarakat
Arab pada waktu Al-Qur‟an diturunkan atau bisa jadi merupakan istilah-
istilah baru yang dibentuk untuk mendukung adanya konsep-konsep etik-
religius yang ingin diperkenalkannya.Yang jelas, istilah-istilah itu kemudian
diintegrasikan ke dalam pandangan dunia Al-Qur‟an dan secara demikian
lalu menjadi konsep-konsep yang otentik.43

43
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 327-328.
67

Pendekatan sintetik-analitik yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo sebagai

suatu pendekatan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur‟an. Dalam pendekatan ini,

kandungan ayat Al-Qur‟an dipahami sebagai konsep dan kisah. Melalui

pendekatan sintetik maka ayat yang berupa konsep dan kisah itu dapat dipahami

secara subjektifitas dalam rangka membentuk kepribadian muslim yang lebih

kokoh. Sedangkan pendekatan analitik berupaya melakukan pemaknaan secara

objektif dalam rangka membentuk manusia yang peduli dan peka terhadap

kehidupan sosial. Jika kandungan ayat Al-Qur‟an ditafsiri melalui pendekatan

yang demikian maka secara konsepsional Al-Qur‟an akan menjadi paradigma

dalam memahami realitas.

Menurut pendekatan analitik, ayat-ayat Al-Qur‟an sesunguhnya merupakan


pernyataan-pernyataan normatif yang harus dianalisis untuk diteijemahkan
pada level yang objektif, bukan subjektif. Itu berarti Al-Qur‟an harus
dirumuskan dalam bentuk konstruk- konstruk teoritis. Sebagaimana dalam
kegiatan analisis data akan menghasilkan konstruk, maka demikian pula
analisis terhadap pernyataan-pernyataan Al-Qur‟an akan menghasilkan
konstruk- konstruk teoritis Al-Qur‟an. Elaborasi terhadap konstruk-konstruk
teoritis Al-Qur‟an inilah yang pada akhirnya merupakan kegiatan Qur ‟anic
theory building, yaitu perumusan teori Al-Qur‟an. Dari situlah muncul
paradigma Al-Qur‟an.44
Kita semua tentu sama-sama bersepakat bahwa kesadaran normatif tetap

mempunyai signifikansi yang besar untuk memelihara basis teologis umat, akan

tetap dalam menghadapi realitas empiris, ternyata kesadaran normatif saja

tidaklah cukup. Membumikan konsep-konsep normatif di dalam Al-Qur‟an

menjadi konsep-konsep teoritis merupakan langkah yang tepat dalam menjawab

problematika masyarakat. Dalam melanjutkan rumusan peradigma Qur‟anik

44
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 330.
68

Kuntowijoyo menawarkan reorientasi kesadaran.

Kita tampaknya membutuhkan semacam reorientasi kesadaran agar konsep-


konsep normatif lebih dipahami secara empiris. Dalam kaitan inilah saya
ingin mengatakan bahwa sekarang ini kita membutuh tingkat kesadaran
ilmiah untuk merumuskan konsep- konsep normatif menjadi konsep-konsep
teoritis. Ini berarti kita membutuhkan objektivikasi dan konseptualisasi
dalam rangka agar kesadaran teologis kita pada tingkat normatif dapat
menjadi lebih historis, lebih kontekstual. Saya kira dengan cara ini sajalah
kita dapat memberikan kaitan yang benar antara sistem nilai kita dengan
realitas empiris, antara teologi dengan kenyataan-kenyataan sejarah.45

Islam adalah agama yang sangat peduli terhadap realitas sosial, Islam pula

akan memberikan pemahaman, perubahan serta pengendalian terhadap kehidupan

sosial. Agar dapat memfungsikan itu semua, maka diperlukan transformasi

orientasi umat terkait dengan konseop-konsep normatif menjadi lebih empiris.

Dengan kata lain, konsep teologis di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah ditafsirkan ke

ranah historis dan kontekstual untuk perubahan sosial. Maka sudah menjadi tugas

umat Islam saat ini untuk memfungsikan agama bukan semata-mata kepada sikap

yang eskapistik maupun spiritual saja, akan tetapi perlu menjadi sebuah rumusan

teori-teori sosial yaang objektif.

Menjadi jelas bahwa salah satu urgensi mengapa dewasa ini kita
memerlukan sebuah perumusan teori sosial Islam adalah agar kita mampu
mengaktualisasikan iman kita pada realitas objektif, agar kita mampu
memanifestasikan amal kita secara efektif pada kondisi-kondisi dan
kenyataan-kenyataan sosial yang baru.46
Begitu urgen dan pentingnya transformasi ajaran Islam menjadi sebuah Ilmu

yang dapat dinilai secara ilmiah dan objektif, oleh karena itu merupakan bagian

agenda dan tugas umat Islam untuk dapat melakukannya. Kuntowijoyo

45
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 342.
46
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 345.
69

menawarkan dua metode dalam melakukan transformasi ajaran Islam.

Ada dua macam cara bagaimana nilai-nilai normatif itu menjadi operasional
dalam kehidupan sehari-hari. Pertama nila-nilai normatif itu diaktualkan
langsung menjadi perilaku...cara yang kedua adalah mentransformasikan
nilai-nilai normatif itu menjadi teori ilmu sebelum diaktualisasikan ke dalam
perilaku.47
Ada banyak contoh dari aktualisasi nilai-nilai normatif ajaran Islam yang

ada di dalam Al-Qur‟an yang dapat diinterpretasi menjadi sebuah sikap dan

perilaku sebagaimana yang disebutkan oleh kuntowijoyo dalam karya dibawah

ini.

Di dalam Al-Qur‟an, kita sering kali membaca seruan agar manusia itu
beriman dan kemudian beramal. Dalam surat Al-Baqarah ayat kedua
misalnya, disebutkan bahwa agar manusia itu menjadi muttaqin, pertama-
tama yang harus ia miliki adalah iman, “percaya yang ghaib”, kemudian
mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Di dalam ayat tersebut kita
melihat adanya trilogi iman-sholat- zakat, sementara dalam formulasi lain,
kita juga mengenal trilogi iman-ilmu-amal... kita dapat menyimpulkan
bahwa iman berujung pada amal, pada aksi. Artinya tauhid harus
diaktualisasikan: pusat keimanan Islam memang Tuhan, tapu ujung
aktualisasinya adalah manusia...Islam menjadikan tauhid sebagai pusat dari
semua orientasi nilai, sementara pada saat yang sama melihat manusia
sebagai tujuan dari transformasi48
Contoh lain yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo berkenaan dengan

transformasi konsep normatif dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi Muhammad

Saw ke dalam teori sosial.

Dalam hadis misalnya dikatakan bahwa “kamu akan memperoleh


kemenangan dan rezeki jika mau berpihak kepada kaum yang lemah”. Hadis
ini secara profetik memberikan semacam perspektif teoritis untuk
memahami paradigma perubahan sosial menurut pandangan kenabian.

47
Kuntowiioyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 170.

48
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 167.
70

Dalam kaitan ini, kita dapat merumuskan konsep “keagamaan” sebagai


suatu gejala politik dan konsep “rezeki” sebagai gejala ekonomi. Dengan
demikian, hadis itu dapat dibaca bahwa perubahan politik dan ekonomi
dapat teijadi jika kita melakukan advokasi kepada mereka yang lemah.49
Melakukan penafsiran pada wahyu dan sunnah yang sifatnya konseptual

menjadi kontekstual, realitas empirik akan membawa kearah tujuan yang hendak

dicapai oleh Islam sebagai ajaran yang merahmati semesta alam beserta segala

isinya.

Sebagai langkah dalam perumusan pengilmuan Islam yang diawali dengan

pendekatan sintetik-analitik dan metode transformasi. Selanjutnya dilakukan

beberapa tahapan yang berkenaan dengan pengilmuan Islam tersebut yaitu

integralisasi dan objektifikasi. Integralisasi merupakan penyatuan antara wahyu

dengan manusia yang merupakan sumber pengetahuan. Sedangkan objetifikasi

merupakan proses pengilmuan Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Alur pertumbuhan Ilmu-ilmu integralistik ialah agama-


teoantroposentrisme-dediferensiasi-ilmu integralistik...diaharapkan bahwa
integralisme akan sekaligus menyelesaikan konflik antara sekularisme dan
agama-agama radikal dalam banyak sektor. Ilmu integralistik (satunya akal
dengan wahyu) akan berkembang menjadi integralisme (satunya manusia
dan agama) integralistik bersifat kesatuan epistemologi dan aksiologi.50

Model-model yang selama ini digunakan untuk mengembangkan ajaran-

ajaran Islam yang terdapat di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah merupakan model

yang berupa dekodifikasi dan Islamisasi, keduanya mendapat kritikan oleh

Kuntowijoyo karena dinilai hanya mengarah kepada hubungan anatr-teks tanpa

49
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 345-346.

50
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 55-62.
71

menyentuh ranah hubungan antara teks-konteks.

Supaya Islam tetap pada asasnya. Supaya Ilmu agama tetap konsisten, tidak
berubah dari aslinya. Al-Qur‟an dan As-Sunnah kemudian dijabarkan
(dekodifikasi) ke dalam ilmu-ilmu agama seperti tafsir, tasawuf, dan
fiqh...Hasil dari dekodifikasi itulah yang dipakai sebagai alat untuk berpikir,
berkata dan berbuat. Dekodifikasi di samping sifatnya positif, yaitu
teijaganya hubungan antar-teks, mempunyai juga sifat-sifat negatif yaitu
involusi dan ekspansif.51 Pengetahuan yang benar-benar objektif tidak perlu
di Islamkan, karena Islam mengakui objektivitas. Teknologi itu sama saja,
baik di tangan orang Islam atau orang kafir. Karena itu kita harus pandai
memilih mana yang perlu Islamisasi mana yang tidak. Metode itu dimana-
mana sama: metode survei, metode partisipan, atau metode grounded dapat
dipakai dengan aman tanpa resiko akan bertentangan dengan iman. Tidak
ada kekhwatiran apapun dengan ilmu yang benar-benar objektif sejati, jadi
Islamisasi pengetahuan sebagian memang perlu, sebagai pekerjaan yang
tidak berguna...Untuk ilmu yang benar-benar objektif kiranya sangat
tergantung dari niat individu, maka niat itulah yang perlu Islamisasi dan
bukan ilmunya.52
Sebagai jawaban atas kritiknya pada kedua model tersebut, Kuntowijoyo

menawarkan sebuah model lain yang dapat menghubungkan teks dengan konteks,

antara wahyu dengan realitas yang oleh Kuntowijoyo disebut demistifikasi Islam.

Agama kehilangan kontak dengan kenyataan, dengan realitas, dengan


aktualitas, dengan kehidupan. Denga kata lain, teks kehilangan konteks.
Demistifikasi dimaksudkan sebagai gerakan intelektual untuk
menghubungkan kembali teks dengan konteks ada korespondensi, ada
kesinambungan...dengan demikian umat akan mengenal lingkungan dengan
lebih baik; lingkungan fisik, lingkungan sosial, lingkungan simbolis,
maupun lingkungan sejarah. Mereka akan betul-betul paham arti perintah
iqra Pengilmuan Islam adalah demistifikasi Islam.53

Selain itu, Kuntowijoyo juga menawarkan sebuah epistemologi baru dalam

paradigma Islam yaitu metode strukturalisme transendental yang harapannya

mampu menjadikan Islam sebagai agama yang menerima perubahan tanpa

kehilangan subtansi ajarannya.


51
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 6.
52
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 9.
53
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 10-11.
72

Strukturalisme transendental akan berguna bagi ketiganya (ilmu- ilmu alam,


kemanusiaan, agama) untuk sekaligus menyadari adanya totalitas Islam dan
adanya perubahan-perubahan diperlukan perluasan-perluasan supaya
muamalah Islam lebih efektif. Perluasan itu berupa enam macam kesadaran
yaitu: kesadaran adanya perubahan, kesadaran kolektif, kesadaran sejarah,
kesadaran adanya fakta sosial, kesadaran adanya masyarakat abstrak dan
kesadaran perlunya objektifikasi.54

Sebuah metode yang menawarkan gagasan untuk menumbuhkan kesadaran

dan itu merupakan tugas bagi cendekiawan muslim pada masa sekarang dan

mendatang. Tumbuhnya kesadaran bagi umat Islam akan dapat memberikan

perubahan yang signifikan bagi kehidupan sosial kemasyarakatan kearah yang

lebih maslahat dengan pancaran iman sebagai penuntunnya.

Kesadaran adalah kata kunci yang membedakan umat Islam dari yang lain,
misalnya Marxism e. Dengan perkataan lain, metode Islam lebih cenderung
menekan superstruktur daripada struktur. Rumusan iman, ilmu, amal
bukanlah urutan yang tidak disengaja, tetapi sesuai dengan epistemologi
Islam. Dari dalam ke luar. Dengan demikian, masyarakat Islam adalah
masyarakat demokratis, tanpa koersi dari struktur. Dalam Islam, struktur
adalah alat superstruktur, bukan tujuan. Ini berarti bahwa Islam melupakan
struktur, tetapi prioritas tetap pembangunan superstruktur itu.55

Selain metode strukturalisme transendental yang bagi Kuntowijoyo

dipandang sebagai bagian dari epistemologi Islam yang jika dilihat dari makna

metode. Kuntowijoyo juga sepakat jika wahyu dianggap sebagai satu di antara

sumber pengetahuan tatkala epistemelogi diartikan sebagai sumber pengetahuan.

Menurut epistemologi Islam, unsur petunjuk transendental yang berupa


wahyu juga menjadi sumber pengetahuan yang penting. Pengetahuan
wahyu, oleh karena itu menjadi pengetahuan apriori. “Wahyu” menempati
posisi sebagai salah satu pembentuk konstruk mengenai realitas, karena
wahyu diakui sebagai “ayat-ayat Tuhan” yang memberikan pedoman dalam

54
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (Bandung : Mizan, 2001) h. 20-21.
55
Kuntowijoyo, Peranan Cendekiawan Muslim, dalam Suhardi (Eds.), Embrio
Cendekiawan Muhammadiyah (Jakarta: Yayasan Penerbit Pers Suara Ikatan Mahasiswa
Muahammadiyah dan Perkasa Press, 1995), h. 19.
73

pikiran dan tindakan seorang muslim. Wahyu menjadi unsur konstitutif di


dalam paradigma Islam.56
Setelah pendekatan, model dan metode pengilmuan Islam diuraikan,

selanjutnya Kuntowijoyo memberikan rumusan tujuan dari paradigma Islam, yang

pada hakikatnya mengarahkan kepada transformasi menuju transendensi sebagai

perwujudan keimanan kepada Tuhan.

Keabadian Islam justru berarti perubahan yang permanen. Permanen itu


menurut Islam harus disertai dengan cita-rasa mengenai tujuan (a sense of
goal), yaitu semakin dekatnya manusia kepada Yang Maha Abadi. Islam
menghendaki adanya transformasi menuju transendensi.57
Pada tujuan akhir yang hendak ingin dicapai oleh paradigma Islam yang

dikemukakan oleh Kuntowijoyo adalah lahirnya ilmu sosial profetik. Ilmu sosial

ini merupakan tawaran alternatif dari Kuntowijoyo atas banyaknya penolakan

terhadap teologi transformatif yang digagas oleh Moeslim Abdurrahman.

Gagasan mengenai pembaruan teologi atau sejenisnya, tampak belum dapat


diterima. Saya kira ini dapat teijadi karena beberapa alasan... sebagian besar
mengartikan konsep tersebut sebagai suatu cabang dari khazanah ilmu
pengetahuan keislaman yang membahas doktrin tentang ketuhanan, tentang
tauhid. Itu sebabnya, mereka menganggap gagasan mengenai pembaruan
teologis sebagai gagasan yang membingungkan dan aneh, karena hal itu
akan berarti mengubah doktrin sentral Islam mengenai keesaan tuhan.
Mereka menganggap masalah teologis di dalam Islam sudah selesai dan
oleh karenanya tak perlu diutik-utik apalagi dirombak.58

Penolakan terhadap ide teologi transformatif hanya sebatas istilah yang

digunakan yaitu teologi, sehingga Kuntowijoyo menawarkan sebuah istilah yang

dianggap mewakili dan bijak memaknai gagasan Moeslim Abdurrahman tersebut,

56
Kuntowiioyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 331.
57
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 85-86.
58
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 286-287.
74

Kuntowijoyo menggunakan istilah ilmu sosial profetik.

Saya pernah mengumumkan bahwa yang kita butuhkan sekarang adalah


ilmu-ilmu sosial profetik, yaitu yang tidak hanya menjelaskan dan
mengubah fenomena sosial tapi juga memberi petunnjuk ke arah mana
transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Oleh karena itulah
ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi pembahan, tapi
mengubah berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu.59
Gagasan mengenai ilmu sosial profetik ini tergambar jelas di dalam ayat

suci Al-Qur'an yang dijadikan pedoman pilar-pilar ilmu sosial profetik,

Kuntowijoyo memberikan tafsiran terhadap surat Ali-Imran ayat 110.

ََ َ َ َ َ َ َ َ َ 

ََ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ 

َََََ

Terjemahannya:
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeruh
kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada
Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-
orang yang fasik.
Dalam pandangan Kuntowijoyo mengenai ayat tersebut diatas, ada empat

poin penting yang melahirkan cita-cita profetik atau ilmu sosial profetik.

Ada empat hal yang tersirat dalam ayat itu, yaitu konsep tentang umat
terbaik, aktivisme sejarah, pentingnya kesadaran dan etika profetik. Pertama
tentang konsep umat terbaik di dalam Islam berupa sebuah tantangan untuk
bekerja lebih keras ke arah aktivisme sejarah. Kedua aktivisme sejarah,
bekerja di tengah-tengah manusia (ukhrijat linnas) berarti bahwa yang ideal
bagi Islam ialah keterlibatan umat dalam sejarah. Ketiga, pentingnya

59
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 288.
75

kesadaran, nilai-nilai ilahiah (ma‟ruf, munkar, iman) menjadi tumpuan


aktivisme Islam. Peranan kesadaran ini membedakan etika Islam dari etika
materialistis. Keempat, etika profetik. Ayat ini berlaku umum, untuk siapa
saja, baik individu (orang awam, ahli, super-ahli), Lembaga (ilmu,
universitas, ormas, orsospol), maupun kolektivitas (jamaah, umat, kelompok
masyarakat). Ilmu, sebagai pelembagaan dari pengalaman, penelitian, dan
pengetahuan, diharuskan melaksanakan ayat ini yaitu amar maruf (menyeru
kebaikan), nahi munkar (mencegah kejelekan), dan tu‟minuna billah
(beriman kepada Allah), ketiganya adalah unsur yang tidak terpisahkan dari
ilmu sosial profetik.60

Dalam gagasannya mengenai ilmu sosial profetik Kuntowijoyo mengulas

pilar dari ilmu tersebut yang dijadikan sebagai sasaran yang hendak ingin dicapai

Amar ma‟ruf dalam bahasa sehari-hari dapat berarti apa saja dari yang
sangat individual seperti berdoa, berdzikir dan shalat sampai yang semi-
sosial, seperti menghormati orangtua, menyambung persaudaraan dan
menyantuni anak yatim serta yang bersifat kolektif seperti mendirikan clean
government... kita akan memakai kata humanisasi, nahi mungkar dalam
bahasa sehari-hari dapat berarti apa saja, dari mencegah teman
mengkonsumsi estacy, melarang carok, memberantas judi...untuk itu kita
memakai kata liberasi. Tu ‟minuna billah dalam Al-Qur‟an yang
mempunyai arti khusus, kita akan menggunakan terminologi yang sangat
umum, yaitu transendensi sebagai padanan.61

Sebagaimana dalam uraiannya yang lain, Kuntowijoyo semakin

mempertegas bahwa Islam adalah agama yang humanis dengan memperlakukan

manusia secara adil dan bijaksana.

Islam adalah sebuah humanisme, yaitu agama yang sangat memetingkan


manusia sebagai tujuan sentral. Inilah dasar Islam. Humanisme Islam adalah
humanisme teosentrik. Artinya merupakan sebuah agama yang memusatkan
dirinya pada keimanan terhadap Tuhan, tetapi yang mengarahkan
peijuangannya untuk kemuliaan peradaban manusia.62

Islam yang diartikan sebagai ajaran agama yang humanis, yang

60
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Jakarta : Tiara
Wacana, 2006) h. 91-92.
61
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (Bandung: Mizan, 2001), h. 369.
62
Kuntowiioyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit
Mizan,1991), h. 167-168.
76

mengorientasikan peijuangannya pada kemanusiaan dengan petunjuk dan berdasar

kepada keimanan, dengan arti bahwa Islam adalah agama yang tidak jauh dari

kemanusiaan dengan selalu memperhatikan martabat serta kemuliaan peradaban

umat manusia.

Unsur yang kedua terkait dengan misi pembebasan atas sistem yang

membelenggu kehidupan umat manusia. Manusia akan mengalami degrasi dan

kamandekan dengan adanya belenggu, maka disinilah pentingnya ilmu sosial

profetik, agar manusia diharapkan memiliki harkat sebagai manusia yang

merdeka.

Tujuan terakhir dari ketiga aspek ilmu sosial profetik adalah

mengembangkan kembali nilai-nilai keimanan di dalam aspek kehidupan,

sehingga langkah dan nafas perjuangan kemanusiaan mendapat rahmat dan ridho

Tuhan.

Tujuan transendensi adalah menambahkan dimensi transedental dalam


kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah kepada arus hedonisme,
materialisme, dan budaya yang dekaden. Kita percaya bahwa sesuatu harus
dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan kembali dimensi
transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan. Kita ingin
merasakan kembali dunia ini sebagai rahmat Tuhan. Kita ingin hidup
kembali dalam suasana yang lepas dari ruang dan waktu. Ketika kita
bersentuhan dengan kebesaran Tuhan.63

Dengan tujuan yang jelas menjadikan cita-cita Ilmu sosial profetik sebagai

suatu ilmu yang objektif dalam rangka aktualisasi ajaran Islam ke arah yang lebih

baik dan bermanfaat bagi kehidupan umat Islam dan umat manusia.

63
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 289.
77

b. Budaya

Dalam membincang soal kebudayaan Islam, Kuntowijoyo juga banyak

memberikan sumbangan pemikiran dari berbagai sudut pandang teruma dalam

sudut sejarah. Oleh sebab itu, tema sentral yang diangkat dalam budaya Islam

adalah humanisme-teosentris. Jika budaya itu terkait dengan manusia dan Tuhan

sebagai tujuan akhir dari segala aktivitas kehidupan maka akan lahir sebuah

sistem yang universal, menjangkau semua lapisan manusia tanpa sekat primordial.

Humanisme-teosentris menjadi tema sentral peradaban Islam. Dari tema


sentral inilah sistem sosial, sistem yang terbentuk karena proses dialektika
antara nilai dan kebudayaan…dari nilai inti humanisme-teosentris, Islam
telah menginspirasikan lahirnya gerakan pembebasan dan emansipasi...juga
tumbuh dari suatu prinsip dialektis lain yang disebut tazkiyah. Tazkiyah
adalah usaha rasional manusia beriman yang orientasi filosofisnya adalah
humanisme-teosentris untuk selalu membersihkan diri atau meningkatkan
kualitas ruhaninya secara terus menerus.64

Menghadapi zaman yang terus mengalami perubahan, maka umat Islam

dituntut untuk merumuskan strategi pengembangan kebudayaan Islam yang

mampu seirama dengan zaman sekarang. Salah satu strateginya adalah melakukan

rekonstruksi keunggulan-keunggulan yang ada pada kebudayaan tradisional dan

tidak menghilangkan yang mengandung nilai-nilai yang benar dan baik.

Kebudayaan Islam popular tradisional yang memiliki akar sejarah cukup


kuat di Indonesia sesungguhnya masih mendukung penciptaan simbol-
simbol baru untuk disusunnya format budaya Islam di masa depan. Bentuk-
bentuk kebudayaan lama, seperti festival-festival kerakyatan, kesenian, dan
ekspresi-ekspresi artistik tradisional, masih sangat fungsional untuk
mendukung diciptakannya budaya Islam yang baru. Dalam konteks ini,
maka jika kita hendak membangun kebudayaan Islam yang modern, kita
harus mempertimbangkan pentingnya potensi tradisional ini.65
64
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 229-230.
65
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 238.
78

Kelebihan dan keunggulan yang telah dimiliki oleh kebudayaan Islam dalam

rangka meningkatkan eksistensi agama Islam yang memiliki implikasi pada

kehidupan masyarakat luas. Maka harus ada suatu grandproject yang harus

dirumuskan dan dikerjakan oleh umat Islam terutama kalangan intelektual muda

umat Islam. Salah satunya adalah menjadikan Islam sebagai ajaran yang

sederhana, terbuka dan membentuk simbol-simbol kebudayaan yang khas.

Untuk membuat Islam sederhana, kita perlu rumusan, Jangan memutlakkan


yang relatif, dan jangan merelatifkan yang mutlak. Menjadikan Islam agama
yang terbuka ternyata tidak mudah. Apa yang terbuka. Kebudayaannya tentu
saja, Islam dikenal orang luar bukan karena pemeluknya rajin beribadah,
tetapi Islam dikenal lewat tukar menukar lambang dengan orang lain. Lewat
symbolic interaction.66

Simbol-simbol kebudayaan Islam mengalami degradasi pada periode

industrialisasi seperti sekarang, karena telah teijadi pergeseran kerangka

pemahaman keberagamaan yang diakibatkan oleh pelembagaan kesalehan dan

telah menyikirkan kesalehan simbolis dari kesalehan aktual. Hal demikian itu, jika

tidak dibenahi maka Islam akan mengalami kesulitan untuk melakukan

pembebasan struktural.

Akibat dari munculnya pelembagaan kesalehan itu ialah tersingkirnya


kesalehan simbolis dari kesalehan aktual. Kesalehan simbolis kemudian
memisahkan diri dari kerangka sosial massa dan menjadi kesalehan
individual, sementara kesalehan aktual menjadi kesalehan sosial-politik.67
Kita ingin melihat suatu kesalehan simbolis dan kesalehan aktual yang
bukan saja mampu untuk mengemansipasikan manusia secara spiritual,
tetapi juga suatu kesalehan yang sanggup membebaskan manusia. Hanya
kesalehan yang mempunyai cita-cita pembebasan struktural yang mampu
mengantarkan masyarakat dalam keutuhan pada zaman industrialisasi.68

66
Kuntowijoyo, ICMI Sebagai Gerakan Kebudayaan (Bandung : Mizan, 1995), h. 65-66.
67
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), h. 25.
68
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), h. 30.
79

Pancasila jika digunakan sebagai lokus rekonstruksi budaya merupakan

sebuah strategi yang tepat bagi pembebasan simbol-simbol kebudayaan dari

kekeliruan aktualitas di dalam kehidupan masyarakat. Artinya bahwa, konsep dan

nilai yang ada pada Pancasila dapat dijadikan sebagai landasan rekonstruksi

simbol-simbol budaya yang terseret oleh arus zaman dan tekonologi.

Pancasila sebagai sebuah kesadaran akan makna, dapat menjadi kekuatan


normatif dalam produksi dan reproduksi simbolik. Pancasila merupakan
kekuatan normatif humanisasi yang melawan kekuatan kecenderungan
naturalisasi manusia, mekanisasi manusia, dan kesadaran teknik. Sebagai
kerangka kesadaran, Pancasila dapat merupakan (1) universalisasi, yaitu
melepaskan simbol-simbol dari keterkaitan dengan struktur, dan (2)
transendentalisasi, yaitu meningkatkan derajat kemerdekaan manusia,
kebebasan spiritual dan sentuhan dengan yang serba transenden.
Universalisme akan melawan penggunaan simbol-simbol untuk kepentingan
sebuah kelas sosial...transendentalisme akan melawan dehumanisasi dan
subhumanisasi manusia yang datang dari teknologi, ilmu pengetahuan.69

Jika rekonstruksi simbol-simbol budaya itu berhasil maka itu dapat

memberikan kekuatan bagi gerak sejarah umat Islam terkhusus di Indonesia. Oleh

karenanya, simbol agama Islam seperti masjid misalnya, harus direkonstruksi dan

ditransformasi sehingga mampu memberikan spirit dan implikasi pada aspek

ekonomi, sosial, politik dan budaya itu sendiri.

Masjid adalah simbol dari agama dan pasar dari kepentingan ekonomi.
Masing-masing dapat menjadi kekuatan sejarah mengubah dunia.
Transformative capacity dari agama Islam sudah menjadi jelas dalam buku-
buku sejarah Islam, baik sebagai kekuatan sosial, politik, maupun budaya.
Kreativitas sejarah yang mula-mula muncul sebagai kekuatan spiritual
(iman) telah mampu memobilisasikan umat Islam dalam peijalanan sejarah
yang panjang.70 Masjid adalah lingkaran makna yang mempersatukan
konfigurasi budaya umat Islam, mempersatukan aspek-aspek budaya
menjadi satuan yang konheren…Jika masjid ditunjuk sebagai sebuah tema
yang mempersatukan, maksudnya tentu saja Nabi ingin dengan jelas
mengatakan dengan lambang yang konkret, eksistensial, dan sekaligus
69
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), h. 105-106.
70
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), h. 131.
80

struktural, tidak hanya esensi dan abstraksi.71

c. Politik

Pemikiran Kuntowijoyo selanjutnya adalah berkenaan dengan politik.

Kuntowijoyo memnag tidak pernah sama sekali terlibat dalam kancah perpolitikan

bangsa ini, akan tetapi ide pokok pemikiran politiknya menyatakan Islam dan

politik adalah sebuah bangunan yang menyatu. Demokrasi sebenarnya bukanlah

sebatas pemikiran dan khayalan, tapi harus dilaksanakan dalam praktek lapangan.

Dalam beberapa gagasannya kuntowijoyo prihatin kepada wacana politik

umat yang dinilai mengalami stagnasi atau beijalan ditempat. Seolah-olah umat

Islam berpendapat bahwa umat dapat survive saja sudah lumayan, karena agama

tidak lagi relevan bagi masalah- masalah politik masa kini.

Selama ini ada kerancauan berpikir. Kegiatan politik umat Islam


didefenisikan terlalu umum, sama dengan kegiatan dakwah dan sosial dan
amar ma‟ruf nahi mungkar dan gerakan akhlaqul karimah. Tetapi itulah
yang menyebabkan agama “hanyalah” kekuatan moral. Dalam politik tujan
itu harus jelas-jelas bersifat politis, harus spesifik, sehingga orang tahu
persis apa yang perlu dikeijakan dan untuk apa dia bergerak. Politik adalah
kekuatan pemaksa (coercion) dan bukan sekedar kekuatan moral. Politik
menyangkut public policy, bukan kasalehan personal.72
Sebagai langkah dalam menyelematkan umat Islam atas orinetasi dan

identitas politiknya, maka kuntowijoyo menawarkan agar umat Islam kembali

kepada epistemeloginya, agar dapat memahami kenyataan dan bertindak secara bij

aksana. Sumber pengetahuan umat Islam adalah Tuhan. Ini sangat jelas dalam Al-

Qur‟an bahwa Tuhan mengajarkan nama-nama benda kepada Adam (QS Al

Baqarah (2):31). Oleh kerenanya sumber pertama adalah Al-Qur‟an dan sumber

71
Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat (Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006), h.135-136.
72
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), h. 250.
81

kedua adalah Sunnah Nabi. Itulah dua hal yang oleh Nabi dikatakan akan

menyelamatkan umat Islam. Epistemelogi Islam adalah epistemologi relasional

yang oleh Fazlur disebut sebagai cara berpikir integralistik.

Epistemologi Islam adalah epistemologi relasional. Semua kenyataan


berasal dari Tuhan (inna lillahi) dan akan kembali kepada Tuhan (wa inna
ilaihi raji‟un). Epistemologi relasional ini telah menyelamatkan umat Islam
dari sekularisasi subjektif dan objektif. Sekularasi subjektif terjadi bila
keterkaitan pengalaman keagamaan dan pengalaman sehari-hari terputus.
Sekularisasi objektif terjadi bila dalam kenyataan sehari-hari agama sudah
dipisahkan dengan segala yang lain, seperti politik dan ekonomi.73

Umat Islam yang menjadi mayoritas di negeri ini dituntut sebuah tanggung

jawab politis dalam menghadapi realitas baru, seperti industrialisasi, globalisasi,

demokratisasi, dan nasionalisme baru. Kegagalan dalam melaksanakan tanggung

jawab, akan berakibat hilangnya kredibilitas umat Islam sebagai mayoritas. Maka

disinilah Kuntowoijoyo menawarkan gagasan objektivikasi untuk menghindari

sekulariasi dan kompleks dominasi-subordinasi.

Objektifikasi adalah perbuatan rasional-nilai (wertrational) yang


diwujudkan ke dalam perbuatan rasional, sehingga orang luar pun dapat
menikmati tanpa harus menyetujui nilai-nilai asal. Misalnya,
Kesetiakawanan nasional adalah objektifikasi dari ajaran tentang
ukhuwah.74
Objektivikasi akan bernilai secara universal sehingga apa yang diterapkan

pula kan diterima secara nasional bukan hanya kelompok atau agama tertentu.

Politik umat Islam pelu memainkan konsep objektivikasi ini sebagai konsep yang

universal, konsep ini akan memberi manfaat jika diterapkan di dalam masyarakat

yang heterogen, multi etnis-multi agama seperti Indonesia. Salah satunya adalah

73
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), h. 3-4.
74
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika (Jakarta : Tiara
Wacana, 2006) h. 63.
82

pada tataran hukum yang akan diterapkan harus melalui proses obejktivikasi agar

berdampak secara adil dan bijaksana untuk semua golongan, kelas, etnis dan

agama.

Objektifikasi Islam juga tetap menganggap Al-Qur‟an sebagai sumber


hukum. Perbedaanya terletak dalam prosedur, tidak pada hakikat.
Objektivikasi Islam akan menjadikan Al-Qur‟an terlebih dahulu sebagai
hukum positif, yang pembentukannya atas persetujuan bersama warga
negara. Dengan demikian tidak langsung seluruh syariah Islam menjadi
hukum Negara, tetapi melalui objektivikasi. Dengan objektivikasi akan
terjamin kesamaan di dalam hukum antar agama-agama.75
Kesempatan objektivikasi Islam mulai terbuka dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara, objektivikasi memerlukan umat yang berpikir secara logis

berdasarkan fakta yang konkret dan empiri yang oleh Quraish Shihab menyebut

istilah membumikan Al-Qur‟an. Akhirnya, diharapkan bahwa gagasan

objektivikasi dapat membebaskan umat dari prasangka politik pihak-pihak

birokrasi, umat sendiri dan non-umat.

3. Tokoh-tokoh yang mempengaurhi pemikiran Kuntowijoyo

Asal-usul ilmu sosial profetik Kuntowijoyo banyak diilhami oleh tulisan-

tulisan Muhammad Iqbal dan Roger Garaudy. Dalam buku Muhammad Iqbal

membangun kembali pikiran Agama dalam Islam, Iqbal mengungkap kembali

kata-kata seorang sufi bernama Abdul Quddus bahwa “Nabi Muhammad telah

naik ke langit tertinggi lalu kembali lagi, Demi Allah aku bersumpah bahwa kalau

aku yang telah mencapai tempat itu aku tidak akan kembali lagi”. Itulah yang

dianggap oleh Iqbal bahwa kesadaran rasul berbeda dengan seorang mistikus.

Pengalaman keagamaan yang luar biasa itu tidak mampu menggoda nabi untuk

berhenti. Akan tetapi, ia menjadikannya sebagai kekuatan psikologis untuk

75
Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Yogyakarta: IRCiSoD, 2018), h. 86-87.
83

mengubah kemanusiaan. Dengan kata lain pengalaman religius itu justru menjadi

dasar keterlibatannya dalam sejarah, suatu aktivisme sejarah. Sunah nabi yang

demikian itulah yang kita sebut sebagai etika profetik.76 Selanjutnya, dari Roger

Garaudy filsuf asal Prancis yang menjadi Muslim, kita belajar tentang filsafat

profetik. Filsafat barat tidak memuaskan, sebab hanya terombang-ambing antara

antara dua kubu, idealis dan matearialis tanpa kesudahan. Filsafat barat (filsafat

kritis) itu lahir dari pertanyaan: bagaimana pengetahuan itu dimungkinkan. Ia

menyarankan untuk mengubah pertanyaan itu menjadi: bagaimana wahyu itu

dimungkinkan. Dikatakan bahwa satu-satunya cara untuk menghindari

kehancuran peradaban ialah dengan mengambil kembali warisan Islam. Filsafat

barat sudah membunuh Tuhan dan manusia, karena itu dia menganjurkan supaya

umat manusia memakai filsafat kenabian dari Islam dengan mengakui wahyu.77

a. Muhammad Iqbal

Muhammad Iqbal merupakan seorang penyair, serta pembaharu pemikiran

Islam. Dia dilahirkan di Sialkot, Punjab yang sekarang menjadi bagian dari

wilayah Pakistan. Iqbal dilahirkan pada tanggal 9 November 1877 M.78

Ayah Iqbal bernama Nur Muhammad yang merupakan seorang muslim

yang shaleh dan pengamal tasawuf (sufi) yang telah mendorong Iqbal untuk

menghafal Al-Qur‟an secara teratur.79

76
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan etika (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006), h.97
77
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan etika. h. 97-98
78
Ahmad Syafi‟i Ma‟arif, Muhammad Iqbal dan SuaraKemanusiaan dari Timur, Sebuah
Pengantar dalm Muhammad Iqbal, Rekonstruksi Pemikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah
dkk. (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. xi.
79
UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005),
84

Muhammas Iqbal memperoleh pendidikan pertama di Murray Collage,

Sialkot. Disini ia bertemu dengan seorang ulama besar bernama Sayyid Mir Hasan

yang mana Mir Hasan merupakan guru serta sahabat karib dari orangtuanya. Guru

yang bijaksana itu segera mengetahui kecerdasan Iqbal dan menyarankan agar ia

terus menuntut ilmu.80 Pendidikan yang diterima Iqbal sangat menyentuh hatinya

hingga ia berkomitmen terhadap Islam secara utuh. Pendidikan di Sialkot ini

berakhir pada tahun 1895.

Setelah menyelesaikan pendidikan di Sialkot, Iqbal kemudian pergi ke

Lahore, salah satu kota di India yang menjadi pusat kebudayaan pengetahuan dan

seni. Di kota Lahore ini, selain melanjutkan pendidikan sarjananya ia mengajar

filsafat di Government Collage.81

b. Roger Garaudy

Roger Garaudy merupakan pengarang pengarang Prancis dan penyangkal

Holocaust. Ia lahir di Marseille pada tanggal 17 Juli 1913, wafat di Paris 13 Juni

2012 pada umur 98 tahun. Selama PD II, Garaudy ditawan sebagai tahanan perang

di Aljazair. Garaudy ialah seorang komunis yang mencoba mendamaikan

marxisme dengan agama katolik pada 1970-an dan kemudian meninggalkan

kedua doktrin itu dan masuk Islam pada 1982, dengan nama Ragaa.

h. 207.
80
UIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam. h. 207.
81
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2005), h.179
BAB IV
PARADIGMA ISLAM TRANSFORMATIF

A. Paradigma Islam Transformatif Perspektif Moeslim Abdurrahman Dan


Kuntowijyo
1. Hakikat IslamTransformatif

Islam transformatf merupakan salah satu wacana dari teologi kontemporer

dalam konteks Indonesia terutama pada masa orde baru. Dalam terminologi

sosiologi, istilah transformatif sering kali disamakan dengan perubahan, yaitu

suatu perubahan secara menyeluruh dalam bentuk, rupa, watak dan sebagainya

dalam hubungan timbal balik antar manusia, baik sebagai indivdu maupun

kelompok. Adapun faktor yang terlibat dalam proses perubahan sosial adalah

peranan faktor pendidikan, teknologi, nilai-nilai kebudayaan dan gerakan sosial.1

Sementara itu, bagi Noeng Muhadjir transformasi dalam sosiologi dan

antropologi memiliki makna perubahan yang mendalam sampai perubahan nilai-

nilai kultural. Bersamaan dengan proses terjadinya transformasi, terjadi juga

proses adaptasi, adopsi dan ataupun seleksi terhadap budaya lain.2 Pengertian

demikian merupakan hasil pengamatannya terhadap sejarah dan ajaran dar

berbagai ideologi-ideologi yang berkembang. Ideologi kapitalistik misalnya,

menitikberatkan perjuangan pada penumpukan kapital (modal, harta) individual.

Dari ideologi tersebut muncul kelas majikan dan kelas buruh. Sementara itu,

marxisme menitikberatkan pada konflik borjuis dan proletariat sebagai strategi

perjuangannya. Tujuan dari konflik tersebut adalah masyarakat tanpa kelas. Lalu

1
Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka,1991), h. 422.
2
M. Fahmi, IslamTransendental: Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam Kuntowijoyo
(Yogyakarta: Pilar Religius, 2005), h. 148.

85
86

bagaimana dengan Islam sebagai ideologi, Islam dipercaya dapat mendorong

perubahan sosial.

Perubahan merupakan hal yang harus kita terima sebagai suatu keniscayaan

dalam mengarungi kehidupan. Perubahan yang terjadi kadang dapat kita sadari,

tetapi seringkali ia lewat dan menggilas begitu saja. Oleh karena itu, salah satu

kepentingan terbesar Islam sebagai sebuah ideologi sosial, menurut Kuntowijoyo

adalah bagaimana mengubah masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya

mengenai transformasi sosial. Semua ideologi atau filsafat sosial menghadapi

suatu pertanyaan yakni bagaimana mengubah masyarakat dari kondisinya

sekarang menuju kepada keadaan yang lebih dekat dengan tatanan ideal. Elaborasi

terhadap pertanyaan pokok semacam itu biasanya lalu menghasilkan teori-teori

sosial yang berfungsi untuk menjelaskan kondisi masyarakat yang empiris pada

masa kini dan sekaligus memberikan insight mengenai perubahan dan

transformasinya.3

Sementara itu, Moeslim Abdurrahman saat pertama kali mempopulerkan

istilah teologi transformatif dengan maksud memberikan penghayatan yang baru

terhadap pesan-pesan agama. Menurut Moeslim Abdurrahman, bahwa teologi

transformatif merupakan alternatif dari orientasi paradigma “teologi modernisasi”

dan “teologi totalistik atau Islamisasi”.4 Dalam pandangan Moeslim

Abdurrahman, paradigma teologi modernisasi bertolak dari isu tentang

3
Kuntowijoyo, Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), h.
337.
4
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 106.
87

kebodohan, keterbelakangan, dan kepicikan.5 Bagi kelompok teologi modernis ini

diperlukan upaya liberalisasi pandangan yang adaptif terhadap kemajuan zaman

dengan diimbangi oleh sikap kritis terhadap unsur negatif dari proses modernisasi.

Dengan demikian, sikap yang ditampilkan adalah: fleksibel, terbuka dan dialogis

dalam menghadapi dunia yang plural dan terus berubah. Bagi kelompok ini, tidak

ada ambisi untuk mengislamkan setiap aspek kehidupan. Sebab otoritas agama

sebagai ad-din dan perkembangan aspek sosial umat Islam mempunyai basisnya

masing-masing.

Sedangkan paradigma teologi totalistik atau Islamisasi mengambil topik

persoalan normatif yang “Islami” dan yang “tidak Islami” atau mana yang asli dan

mana yang bid‟ah.6 Kelompok ini kental dengan pendekatan fiqh, yang melihat

hidup di dunia ini berdasarkan pandangan serba dikotomis (a dualistic word

view), yakni halal-haram, surga-neraka, dan seterusnya. Kecenderungan berteologi

semacam ini adalah mengandaikan umat hanya sebagai konsumen teologis

sedangkan elite agama sebagai produsennya.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Islam transformatif sebagai suatu

teologi kontekstual, sebuah teologi yang dipahami dan didialogkan secara

dialektis sesuai dengan konteks problematika dalam berhadapan dengan dinamika

sosial, ekonomi, budaya dan politik. Ini merupakan perkembangan teologi yang

lebih bersifat praksis, yakni kaum beriman melakukan sebuah tindakan yang tidak

semata-mata bersifat ukhrowi, tetapi juga dengan keimanannya itu, mereka

5
M. Syafi‟I Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang
Cendekiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 172-173.
88

dituntut untuk membangun kedamaian, keadilan, egaliterianisme dialam semesta.

Dengan istilah lain, kaum beriman diharapkan untuk membangun kehidupan

surgawi dimuka bumi.

Dari pemaparan diatas, dapat diperoleh pemahaman bahwa Islam

transformatif sejatinya berupaya menjawab persoalan yang dimana nilai-nilai

Islam mulai ditinggalkan dan dianggap tidak mampu menjawab persoalan sosial.

Islam tidak hanya sekedar berkutat pada urusan-urusan langit, akan tetapi dengan

spirit ketuhanan-ketauhidan Islam menjadi landasan dari semua aspek kehidupan.

Begitupun dengan Al-Qur‟an tidak hanya dianggap sebagai teks namun patut juga

di jadikan sebagai refleksi kontekstual sehingga Islam menjadi garda terdepan

dalam menginisiasi perubahan sosial. Moeslim Abdurrahman mengatakan, Islam

tidak lain merupakan ideologi perubahan (inspirasi teks-sosial) yang menggugah

kesadaran sosial terutama struktural dan bukan semata-mata sebagai aktivitas

dakwah yang hanya mengutamakan kesalehan ritual.7

2. Tujuan IslamTransformatif

Moeslim Abdurrahman menempatkan keadilan sebagai suatu tujuan dari

Islam transformatif yang ia rumuskan. Dari sini Moeslim berharap dengan

kekuatan Islam yang sudah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia

dapat menjadi modal utama dalam melakukan perubahan sosial.

Hasil akhir yang akan tercapai jika Islam transformatif mencapai hasil
adalah munculnya Social justice. Karena dari segi praktik, politik kita akan
memberikan harapan. Oleh karena itu harus diinspirasi dengan spirit dari
Islam transformatif itu. Nah, kenapa saya selalu bicara Islam, karena Islam
sebagai suatu kekuatan dan secara kultural sudah lama berakar di Indonesia.
Orang-orang yang menekankan Islamic reform dalam pandangan saya

7
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 107.
89

kurang menekankan perlunya sosial reform. Islam transformatif adalah


Islam yang punya orientasi menggagas perlunya social reform. Islam harus
mempunyai orientasi kritik sosial, tidak hanya sebagai pencerahan atau
sebagai wacana modernisasi atau wacana modernitas, Islam yang ingin
mengubah keadaan supaya lebih adil.8

Lebih lanjut Moeslim Abdurrahman menegaskan bahwa dengan terciptanya

keadilan sosial melalui peradigma Islam transformatif, akan dapat kita saksikan

dengan munculnya gerakan-gerakan kemanusiaan yang menyerukan keadilan dan

emansipasi, kesetaraan serta perberdayaan masyarakat yang termarginalkan.

Transformasi gerakan kemanusiaan yang mampu mengantarkan kehidupan


sosial yang sederajat di depan Allah Swt. Suatu gerakan transformasi yang
menumbuhkan kepedulian terhadap nasib sesama dan yang melahirkan aksi
solidaritas. Dalam proses ini yang berlaku adalah pendampingan dan bukan
pengarahan apalagi pemaksaan. Transformasi, pada dasarnya juga adalah
gerakan kultural yang didasarkan pada liberalisasi, humanisasi dan
transendensi yang bersifat profetik.9

Sedangkan Kuntowijoyo dalam menanggapi gagasan Moeslim Abdurrahman

tentang teologi (Islam) transformatif mengatakan bahwa ia tidak setuju dengan

pemakaian istilah tersebut, ini mungkin dikarenakan istilah teologi itu sendiri

tidak legitimatif dan umat selalu menganggap bahwa kalau berbicara tentang

doktrin atau akidah sudah dianggap final. Kuntowijoyo menawarkan ilmu sosial

profetik yang pada intinya tidak ada perbedaan yang prinsipl.

Satu hal, dengan mengajukan istilah profetik, Kuntowijoyo pada dasarnya


tidak ingin menjadikan Islam sebagai cetak-biru. Hal itu sejalan dengan
tradisi kenabian setiap nabi selalu memliki persambungan dengan risalah
sebelumnya, dengan catatan setiap nabi baru selalu melakukan advokasi
dengan suatu misi yang baru. Nabi Muhammad Saw misalnya, adalah
penerus tradisi monoteistis dari Nabi Ibrahim. Tetapi dalam hal pada itu,
misi yang lebih penting dari Muhammad adalah mereformasi kehidupan
masyarakat Arab jahiliyah yang eksploitatif. Dengan ajaran tauhid bahwa
hanya allah Swt yang berhak disembah, Muhammad telah menciptakan

8
Moeslim Abdurrahman, Islam sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 190.
9
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 203.
90

mekanisme transendensi manusia untuk bisa mempertanyakan apa saja


diluar Allah Swt. Misalnya bagaimana merombak struktur sosial yang
menindas, yang membuat manusia hilang martabatnya dan harkat dirinya
yang bukan atas kehendak Allah tapi karena jeratan struktur.10

Dalam menggulirkan gagasan ilmu sosial profetiknya, Kuntowijoyo hendak

ingin melakukan konstruksi atas ilmu sosial yang sedang mengalami kemandekan.

Ia menganggap bahwa ilmu sosial akademis maupun ilmu sosial kritis hanya

sekedar menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, akan tetapi tidak memberi

petunjuk kearah mana perubahan itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa.

Ilmu sosial profetik tidak sekedar mengubah demi perubahan tapi mengubah
berdasarkan cita-cita etik dan profetik tertentu. Bagi kita itu berarti
perubahan yang didasarkan pada cita-cita humanisasi/emansipasi, liberasi
dan transendensi, suatu cita cita-cita profetik yang diderivasikan dari misi
historis Islam sebagaimana terkandung dalam ayat 110, surat Ali-Imran:
engkau adalah umat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk
menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran (kejahatan) dan beriman
kepada Allah.11

Dengan begitu berarti lmu sosial profetik yang didasarkan atas cita-cita etis

dan profetik tertentu akan lebih peduli pada tataran nilai daripada blue-print.

Apakah itu dengan memaksakan cetak-biru kehidupan Islam yang pernah ada atau

yang disusun kemudian berdasarkan idealisasi format dan kerangka normatif masa

lalu. Terkait dengan ini, Kuntowijoyo lebih menekankan perlunya menerjemahkan

ajaran atau konsep agama kedalam teori sosial, yang berart dengan sendirinya

mengakui relativitas ilmu lalu melakukan perumusan ulang, revisi, dan konstruksi

secara terus menerus. Dari sinilah Kuntowijoyo menawarkan paradigma baru

dengan cara mengubah komitmen.

10
Moeslim Abdurrahman, Islam Transformatif (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 101.
11
Kunwijoyo, Paradigma Islam:Interpretasiu Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan, 1991),
h. 288.
91

Paradigm baru itu harus mempunyai komitmen baru, yaitu umat


(masyarakat, komunitas, rakyat, kaum, bangsa). Paradigma baru itu akan
kita sebut llmu sosial profetik. Dasar dari ilmu sosial profetik itu dapat
dibacara dalam surat Ali-Imran 110. Ada tiga unsur yang terkandung dalam
surat tersebut, yaitu amar ma‟ruf, nahi mungkar dan tu‟minuna billah. Amar
ma‟ruf itu sesuai dengan semangat peradaban Barat yang percaya kepada
the idea of progress, demokrasi, HAM, liberalism, kebebasan, kemanusiaan,
bahkan ateis seperti Jean Paul Sartre menyebut eksistensialismenya sebagai
humanism, mereka ingin humanization, memanusiakan manusia atau dalam
bahasa agamanya mengembalikan manusia pada fitrahnya. Sebaliknya, nahi
mungkar itu sesuai dengan prinsip sosialisme, yaitu liberation. Mereka
percaya bahwa perkembangan dapat dicapai melalui pembebasan.
Tu‟minuna billah sama dengan transcendce yang menjadi prinsip semua
agama dan filsafat perennial.12

Jadi ada tiga pilar dalam ilmu sosial profetik yakni amar ma‟ruf

(humanisasi), nahi mungkar (liberasi) dan ti‟minuna billah (transendensi). Amar

ma‟ruf dalam bahasa sehari-hari dapat berarti apa saja, dari yang sangat individual

seperti, berdoa, berzikir dan shalat sampai kepada yang semi-sosial seperti

menghormati orang tua, menyambung silaturahmi antar sesama dan menyantuni

anak yatim, hingga yang bersifat kolektif seperti mendirikan pemerintahan yang

bersih, mengusahan jaminan kesehatan dan pendidikan gratis, serta membangun

sistem keamanan sosial dan ketahanan nasional. Maka untuk itu digunakan istilah

humanisasi, dalam bahasa latin humanitas berarti makhluk manusia, “kondisi

menjadi manusia” jadi humanisasi berarti memanusiakan manusia,

menghilangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan dan kebencian dari

manusia atas manusia. Nahi mungkar dalam bahas sehari-hari berarti apa saja,

dari mencegah kawan mengkonsumsi narkoba, memberantas judi, menghilangkan

lintah darat hingga sampai membela nasib buruh dan mengusir colonial. Maka

untuk itu digunakan istilah liberasi (bahasa latin liberare berarti memerdekakan)

12
Kuntowijoyo, Muslim Tanpa Masjid (Bandung: Penerbit Mizan,2001), h. 106.
92

artinya pembebasan, semuanya dalam konotasi yang mempunya signifikansi

sosial. Dan untuk tu‟minuna billah, yang dalam Al-Qu‟an mempunya arti khusus,

akan digunakan terminologi yang sangat umum, yaitu transcendensi sebagai

padanan. Dalam bahasa latin disebut transcendere yang berarti “naik ke atas”

sedangkan dalam bahasa inggris, to transcend ialah “menembus, melewati,

melampui”, artinya “perjalanan diatas atau di luar” yang dalam istilah teologis

(misalnya soal ketuhanan, makhluk-makhluk gaib) inilah yang dimaksudkan

dengan transendensi, membawa manusia beriman kepada Tuhan sebagai bagian

sah dari fitrah kemanusiaan.

B. Persamaan dan Perbedan Pemikiran Moeslim Abdurrahman dan

Kuntowijoyo Tentang IslamTransformatif

Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam sub-sub sebelumnya, maka

secara mendasar dapat ditemukan persamaan dan perbedaan pemikiran Islam

transformatif kedua tokoh tersebut. Terdapat otokrtik dari masing-masing kedua

tokoh tersebut, hal ini menjadi sesuatu yang begitu positif sebab dapat

memberikan sumbangsi dan pengembangan gagasan. Berikut akan diuraikan

persamaan dan perbedaan pemikiran Islam transformatif Moslim Abdurrahman

dan Kuntowijoyo.

1. Persamaan

Dari apa yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya maka terdapat

beberapa aspek persamaan pemikiran Moeslim dan Kuntowijoyo terkait Islam

transformatif, pertama dalam aspek tipologi, dimana kedua tokoh tersebut

termasuk pada kelompok transformatif teoritis, artinya ide serta gagasan mereka
93

melahirkan teori-teori yang mampu memberikan dorongan bagi Islam agar

melakukan perubahan bagi masyarakat.

Persamaan yang kedua terdapat pada pemaknaan terhadap Islam

transformatif atau esensi dari paradigm Islam transformatif walaupun dalam

dipermukaan ditemukan perbedaan dalam penggunaan istilah. Moeslim

Abdurrahman mengharapkan adanya dialog antara teks suci agama dengan realitas

empiri, sedangkan kuntowijoyo menghendaki adanya objektivikasi Islam. Dengan

pemahaman demikian maka akan Islam akan benar-benar menjadi rahmat untuk

alam semesta (rahmatan lil alamin-Qs. Al-Anbiya:107), dalam arti Islam

diturunkan sebagai rahmat kepada siapapun, tanpa memandang agama, suku, ras,

warna kulit, budaya dan sebagainya. Demikian pula diperintahkan kepada umat

Islam untuk berbuat adil, tanpa pandang bulu-kerabat, status, kelas, golongan (Qs.

Al-Maidah:8), supaya Islam dapat benar-benar dirasakan sebagai rahmat yang adil

kepada siapapun.13

2. Perbedaan

Perbedaan pemikiran Islam transformatif antara Moeslim Abdurrahman dan

Kuntowijoyo terdapat dalam tiga aspek, epistemologi, perspektif dan tujuan Islam

transformatif. Perbedaan pertama pada epistemologi Islam transformatif, dalam

pandangan Moeslim Abdurrahman epistemologi Islam transformative ada dua

aspek yaitu internal dan eksternal. Pada aspek internal perlunya adanya

reinterpretasi terhadap Al-Qur‟an, agar lebih operatif dalam menjawab dan

mengubah realitas sosial, sedangkan dalam aspek eksternal Moeslim

13
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), h. 61.
94

Abdurrahman menginginkan gerakan kemanusiaan melalaui tingkah, seperti

regrouping masyarakat marginal melalui berbagai circle, melalui majelis ta‟lim

yang berorientasi transformatif, agar agama dapat menjadi rasionalisasi hidup

mereka sendiri, langkah yang kedua adalah membangun komunitas baru yang

memiliki orientasi ekonomi tetapi sekaligus juga merupakan suatu kekuatan

organisasi kerakyatan atau munculnya komunitas yang memiliki kesadaran baru

secara kolektif yang dapat melakukan transformasi sosial dengan kesadaran

mereka sendiri, sehingga kesadaran yang selama ini pasif, yang palsu dapat

menjadi kreatif dan muncul sebagai kesadaran transformatif yang membawa

harapan mereka sendiri, dan langkah yang ketiga yaitu memunculkan komunitas-

komunitas baru diantara kaum buruh dan petani, yang pada akhirnya mereka harus

menjadi alternatif pelaku perubahan yang berasal dari kalangan mereka sendiri

dan bukan menjadi sesuatu objek, apakah sebagai objek dari penyuluh

pembangunan atau yang mengaku aktivis LSM.

Sedangkan Kuntowijoyo lebih mengedepankan dua metode dalam rangka

melakukan transfomasi sosial. Pertama mengaktualkan nilai-nilai universal Islam,

kedua mewujudkan teks-teks suci menjad teori ilmu pengetahuan. Sebagai

langkah dari kedua metode tersebut, Kuntowijoyo menawarkan dua metode yaitu,

strukturalisme transendental yang tujuannya sederhana, menerapkan teks (Qur‟an

dan As-Sunnah) yang merujuk ke gejala-gejala sosial lima belas abad yang lalu di

Arab pada konteks sosial masa kini dan disini, kedua metode sintetik-analitik

yang fokus kepada pengembangan teori yang bersumber dari Al-qur‟an dan

Sunnah.
95

Perbedan kedua terdapat pada perspektif yang digunakan sehingga

mengakibatkan perbedaan dalam penggunaan istilah dan sudut pandang dalam

merumuskan transformasi sosial. Jika Moeslim menggunakan istilah teologi akan

tetapi Kuntowijoyo lebih menawarkan agar istilah itu diganti menjadi ilmu sosial

transformatif. Perbedaan ini disebabkan oleh iklim keilmuan yang berbeda,

Kuntowijoyo merupakan sejarawan dan selalu berinteraksi dengan teori-teori

sosial sehingga apa yang ia kemukakan dipengaruhi oleh interaksi tadi.14

Dengan adanya perbedaan perspektif ini, kedua tokoh tersebut memiliki

alasan atas perspektifnya masing-masing dalam pemikiran Islam transformatif

yang berkembang, sebagaimana kritik yang ditawarkan oleh Kuntowijoyo kepada

Moeslim Abdurrahman agar mengganti istilah teologi.

Apa yang menarik ketika itu adalah gagasan yang dikemukakan pihak kedua
bahwa dewasa ini kita perlu merumuskan suatu teologi baru yang disebut
teologi transformatif. Gagasan yang semula dilontarkan oleh Moeslim
Abdurrahman menyiratkan serangkaian kritik yang tajam terhadap teologi-
teologi tradisional yang dianggap sudah tidak tepat sehingga perlu untuk
dirombak, hal demikian mengundang banyak reaksi dan perdebatan serta
salah paham. Dengan mengemukakan contoh diatas, sesungguhnya saya
hanya ingn mengatakan bahwa di lingkungan kita, gagasan mengenai
permbaruan teologi atau sejenisnya, tampak belum dapat diterima. Saya kira
ini terjadi karena beberapa alasan. Sebagian besar mengartikan konsep
tersebut sebagai suatu cabang khazanah imu pengetahuan keislaman yang
membahas doktrin tentang tuhan, tentang tauhid. Mereka menganggap
masalah teologis di dalam Islam sudah selesai, dan oleh karenanya tak perlu
diutik-utik apalagi dirombak. Maka perlu cara lain untuk menjembatani
perdebatan ini,pertama-tama kita perlu menghindari istilah teologi, karena
di samping akan membingungkan, istilah tersebut tampaknya kurang begitu
cocok dengan apa yang sesungguhnya kita kehendaki. Semangat dari
gagasan Islam transformatif yang dikemukakan Moeslim Abdurrahman
akan lebih tepat misalnya jika diterjemahkan dengan istilah ilmu sosial

14
M. Dawam Rahardjo, Ilmu Sejarah Profetik dan Analisis Transformasi Masyarakat,
“Kata Pengantar “ dalam Kuntowijoyo, Paradigma Islam:Interpretasiu Untuk Aksi (Bandung:
Penerbit Mizan, 1991), h. 18.
96

transformatif.15

Secara tegas tawaran Kuntowijoyo kepada Moeslim Abdurrahan agar istilah

teologi diganti menjadi Ilmu sosial dalam Islam transformatif langsung direspon

oleh Moeslim Abdurrahman dengan pernyataan berikut.

Kenapa saya memakai istilah teologi dalam teologi Islam transformatif,


memang ada kritik seperti yang datang dari Kuntowijoyo mengenai istilah
yang saya gunakan. Karena, menurut Kuntowijoyo tidak ada persoalan
teologis di dalam persoalan memihak orang miskin. Tapi bagi saya, ketika
melihat relasi kekuasaan dengan hegemoni pembangunan, maka tampak
sangat diperlukan bahasa simbolik yang dapat menjadi refleksi teologis
dibanding sekedar menggulirkan ilmu-ilmu sosial yang kritis.16
Kemudian perbedaan yang terakhir atau ketiga, terkait dengan tujuan

paradigma Islam transformasitif, bagi Moeslim Abdurrahman Islam transformatif

menghendaki adanya gerakan-gerakan community development dari akar rumput,

masyarakat bawah (grass root) yang didorong oleh kesadaran kolektif (collective

consciousness). Sedangkan bagi Kuntowijoyo Islam transformatif bertujuan untuk

merumuskan ilmu sosial yang berdasarkan nilai-nilai Islam yang artinya Islam

menjadi sumber inspirasi dari perumusan ilmu-ilmu sosial sebagai basis gerakan

perubahan menuju suatu tatanan masyarakat yang berkeadilan agar terwujud

kesejahteraan sosial.

C. Implikasi Paradigma Islam Transformatif Moeslim Abdurrahman dan

Kuntowijoyo Terhadap Pengembangan Masyarakat

Pengembangan masyarakat dan pemberdayaan dalam konteks paradigma

baru seperti paradigma Islam transformatif, dapat ditafsirkan sebagai pilihan

alternatif dalam konteks pembangunan. Kemunculan konsep pembangunan

15
Kuntowijoyo, Paradigma Islam:Interpretasiu Untuk Aksi (Bandung: Penerbit Mizan,
1991), h. 286-287.
16
Moeslim Abdurrahman, Islam sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 185.
97

alternatif semacam itu dalam diskursus pembangunan sebagai reaksi terhadap

kelemahan model pembangunan konvensional dalam mengatasi problem

kemiskinan, ketidakmampuan menjaga kelesatarian lingkungan, serta aneka

problem sosial yang menghimpit masyarakat.

Sebagai bentuk pembangunan alternatif, pengembangan dan pemberdayaan

masyarakat menekankan pentingnya pembangunan berbasis masyarakat

(community based development), bersifat bottom up dan lokalitas. Munculnya

pola pembangunan alternatif seperti ini didasari oleh sebuah cita-cita untuk

mengembangkan, merekonstruksi struktur masyarakat agar menjadi lebih berdaya

melalui regulasi yang menekankan prinsip keadilan maupun program

implementatif yang berpihak pada kepentingan rakyat kecil. Oleh karena itu harus

diinspirasi dengan spirit dari Islam transformatif, mengapa harus demikian, sebab

Islam sebagai suatu kekuatan dan secara kultural sudah lama mengakar di

Indonesia. Islam transformatif adalah Islam yang punya orientasi dan menggagas

perlunya social reform. Islam harus mempunyai orientasi kritik sosial, tidak hanya

sebagai pencerahan atau sebagai wacana modernisasi, Islam ingin mengubah

keadaan supaya lebih adil.17

Kerja pengembangan masyarakat pada hakekatnya menjadi proses

aktualisasi komitmen para aktivis sosial dalam memecahkan masalah kesenjangan

atau ketidakseimbangan antar kelompok dalam masyarakat, termasuk dalam

mengatasi masalah kelangkaan sumber daya, kesempatan serta menjauhkan

masyarakat dari penderitaaan sosial.

17
Moeslim Abdurrahman, Islam sebagai Kritik Sosial (Jakarta: Erlangga, 2003), h. 190.
98

Setiap program pengembangan masyarakat dirancang untuk mendorong

pengembangan sumber daya, keterampilan dan peluang untuk hidup secara lebih

baik bagi rakyat kecil. Upaya mengatasi kesenjangan dan alienasi sosial dengan

menggunakan outreach methods (kegiatan keorganisasian yang sifatnya

melakukan kontak, memberikan pelayanan dan pendampingan kepada anggota

masyarakat). Cara ini dilakukan dengan maksud untuk meningkatkan partisipasi

warga dalam berbagai kegiatan masyarakat yang berorientasi untuk memperbaiki

kondisi kehidupannya.18

Sebuah kesalehan tak akan memberikan makna yang sejati, jika kesalehan

itu tidak mengalirkan makna perubahan sosial. Dan baginya, mengamalkan Islam,

mengamalkan kesalehan, adalah sama halnya melakukan kritik sosial dalam

rangka menghidupkan secara terus-menerus cita-cita keadilan dan kesetaraan

manusia itu sendiri. Oleh karena itu, panggilan Islam yang paling utama dan

autentik, tidak lain sekali lagi, sesungguhnya adalah menyuarakan pemerdekaan

bagi siapa saja hamba Tuhan yang selama ini dipinggirkan, sehingga mereka

mempunyai hak ekonomi, hak politik dan hak beriman setara dengan yang lain,

sehingga Islam menjadi rahmat, bukan dalam artinya yang ikut “menentramkan”

ketidakadilan namun justru dalam ruhnya yang “membebaskan”.19

Maka dengan menggunakan paradigma Islam transformatif dalam

melakukan pemberdayaan, empowering akan muncul gerakan-gerakan

kemanusiaan dan keagamaan dari kalangan bawah, bukan dari kalangan atas.

18
Dr. Zubaedi, Pengembangan Masyarakat Wacana dan Praktik (Jakarta: Kencana,
2013), h. 5.
19
Moeslim Abdurrahman, Suara Tuhan, Suara Pemerdekaan (Yogyakarta: Penerbit
Kanisius, 2009), h. 12-13.
99

Suatu gerakan milik orang bawah sendiri, jadi mereka ada dalam suatu kesadaran

itu, dan kemudian mereka akan mampu melahirkan semacam simpul kesadaran

kolektifnya. Mereka tidak lagi menjadi konsumen bagi kelas menengah dan atas.

Kekuatan yang bersumber dari berbagai pengalaman-pengalaman orang yang

menderita dalam kehidupan sehari-hari, bisa diartikulasikan dalam kesadaran

berupa religious consciousness untuk merespon problematika sosial.

Ajaran Islam sebagai pondasi dalam setiap aspek kehidupan, maka umat

muslim seharusnya tidak sekedar mengedepandankan hubungan dengan Tuhan

semata-mata secara romantik dan melupakan hubungannnya dengan sesama

manusia akan tetapi seharusnya mesti seimbang atau seiring, sehingga ajarab

Islam akan benar-benar merahmati seluruh alam beserta segala isinya.


BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil paparan data dari setiap bab dan sub bab sebelumnya,

maka kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Islam adalah sebuah agama dalam pengertian teknis dan sosial-revolutif

yang menjadi tantangan yang mengancam struktur yang menindas pada

saat ini, yang tujuan dasarnya adalah persaudaraan yang universal

(universal brotherhood), kesetaraan (equality) dan keadilan sosial

(social justice). Islam menekankan kesatuan manusia yang ditegaskan di

dalam Al-Qur‟an Hai manusia, kami ciptakan kamu dari seorang laki-

laki dan perempuan. Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa, bersuku-

suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sungguh, yang paling mulia

diantara kamu di sisi Allah adalah yang paling bertaqwa. Sungguh Allah

Maha Mengetahui”. Ayat ini secara jelas membantah semua konsep

superioritas rasial, kesukuan, kebangsaan atau keluarga dengan satu

penegasan dan seruan akan pentingnya kesalehan dan kesalehan yang

disebutkan dalam Al-Qur‟an bukan hanya kesalehan ritual namun juga

kesalehan sosial “Berbuatlah adil, karena itu dekat kepada taqwa”.

2. Bahwa paradigma Islam transformatif adalah Islam yang lebih

mentrasendensikan transformasi sosial. Jadi bukan Islam sebagai

identity reassertion, peneguhan identitas kelompok. Dengan begitu, kita

bisa membaca konstruk sosial yang objektif. Yang ingin saya jadikan

sebagai tamsil adalah bahwa orang lapar tidak pernah bisa merasakan

100
101

lapar secara Islam atau lapar secara Kristen, Hindu, Budha dan

Konghucu. Jadi semua agama harus mempunyai kepekaan reflektif

terhadap kondisi obyektif seperti itu, bahwa kelaparan adalah musuh

semua agama. Maka hasil akhir yang ingin dicapai dalam paradigma

Islam transformatif adalah keadilan sosial yang juga menjadi prinsip

dalam pengembangan masyarakat.

B. Implikasi Penelitian

Berdasarkan apa yang telah disimpulkan diatas maka dapat dikemukakan

beberapa implikasi penelitian sebagai berikut:

1. Paradigma Islam transformatif sebagai suatu paradigma baru yang lahir

akibat respon terhadap paradigma Islamisasi dan modernisasi. Tujuan

utama dari keseluruhan proses ini adalah praksis sosial-ekonomi,

perubahan yang nyata secara sosial dan ekonomi masyarakat sehari-hari

agar lebih berdaya untuk menentukan nasibnya dan sebagai manusia

yang memiliki martabat dengan ikut merasakan keadilan yang bermuara

kepada kesejahteraan sebagai bentuk hadirnya Negara.

2. Berikutnya terkait dengan upaya pengembangan masyarakat yang harus

disandarkan kepada cita-cita kerasulan atau misi profetik sebagaimana

yang terkandung dalam surah Ali-Imran ayat 110, Amar Ma‟ruf yang

berarti Humanisasi, memanusiakan manusia, Nahi Mungkar yaitu

liberasi, Emansipasi dan Tu‟minunah Billah, Transendensi melibatkan

dimensi ketuhanan dalam setiap aspek kehidupan, inilah yang disebut

sebagai ilmu sosial profetik yang bukan sekedar menjelaskan fenomena


102

sosial dan melakukan perubahan akan tetapi mengetahui kemana arah

perubahan itu dilakukan oleh siapa dan untuk siapa perubahan itu

dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, dan Soejon. Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan


Penerapannya. Jakarta: Reneka Cipta, 1999.

Abdurrahman, Moeslim. Islam Sebagai Kritik Sosial, Jakarta: Erlangga, 2003.

-------. Islam Transformatif, Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. III, 1997.

-------. Abdurrahman, Moeslim. Korban Pertama Penerapan Syariat adalah


Perempuan, dalam Luthfi Assyaukanie (Ed.), Wajah Liberal Islam di
Indonesia, Jakarta: Teater Utan Kayu dan Jaringan Islam Liberal, 2002.

-------. Krisis Sosial, Krisis Cara Pandang (Agama): Sebuah Pengantar, dalam
Moh. Asror Yusuf (Ed.), Agama Sebagai Kritik Sosial: di tengah Arus
Kapitalisme Global, Yogyakarta: IRCiSoD, 2006.

-------. Ritual yang Terbelah: Peijalanan Haji dalam Era Kapitalisme Indonesia,
dalam Mark R. Woodward. Toward a New Paradigma: Recent
Developments in Indonesia Islamic Thougth, teij. Ihsan Ali-Fauzi, Jalan
Baru Islam: Memetakan Paradigma Mutakhir Islam Indonesia, Bandung:
Mizan, 1998.

-------. Suara Tuhan Suara Pemerdekaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009.

Al-Asymawy, Muhammad Sa‟id. Menentang Islam Politik. Bandung: Penerbit


Alifya, 2004.

Alwi, Muh. Teologi Pembebasan Dalam Islam: Studi Pemikiran Hassan Hanafi.
Skripsi, 2015

Amin, Nasihun. Dari Teologi Menuju Teoantropologi: Pemikiran Teologi


Pembebasan Asghar Ali Engineer. Semarang: Walisongo Press, 2009.

Anonim, Kang Moeslim Telah Berpulang, (online), (Kompas.com diakses 11


November 2021) Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina,
1995.

Anwar, M. Syafi‟I. Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik
Tentang Cendekiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT.


Rineka Cipta, Cet. 12. 2002.

Azra, Azyumardi CBE dkk. Reformulasi Ajaran Islam: Jihad, Khilafah dan
Terorisme. Bandung: PT. Mizan, 2017.

Bashori, Khoiruddin. Keserakahan Ummat di Mata KH. Ahmad Dahlan dalam


tim pembinaan Al Islam dan Kemuhammadiyahan, Muhamddiyah:Sejarah
Pemikiran dan Amal Usaha, Malang: Pusat Dokumentasi dan Publikasi
Universitas Muhammadiyah Malang, 1990

Baso, Ahmad, Civil Society Versus Masyarakat Madani:Arkeologi Pemikiran

103
104

Civil Society dalam Islam Indonesia. Bandung:Pustaka Hidayah, 1999.

Budi Raharjo, Fauzan. Islam Transformatif dalam Pandangan Moeslim


Abdurrahman. Skripsi.Yogyakarta : Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, 2015. Djam‟an Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian
Kualitatif, Cet. VI. Bandung: Alfabeta, 2014.

Djamaluddin, Dedy dan Idi Subandy Ibrahim. Zaman Baru Islam Indonesia:
Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais,
Nurcholish Madjid dan Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Zaman Wacana
Mulia, 1998.

Engineer, Asghar Ali. Islam dan Teologi Pembebasan. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar, 2009.

-------. Menemukan Kembali Visi Profetis Nabi: Tentang Gagasan Pembebasan


dalam Kitab Suci, terj. Dewi Nurjulianti, dalam Jurnal Ilmu dan
Kebudayaan Ulumul Qur‟an, Vol, III, No. 4, Tahun 1992.

Erlangga, Penerbit. Tentang Penulis, dalam Moeslim Abdurrahman, Islam


Sebagai Kritik Sosial, Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003

Fahmi, M. Islam Transendental Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam


Kuntowijoyo. Yogyakarta: Pilar Religia, 2005.

Fanani dkk, Ahmad Fuad. Islam Berkemajuan Untuk Peradaban Dunia. Bandung:
Mizan, 2015.

Faqih, Mansour. Teologi Kaum Tertindas dalam Th. Sumartana, (Eds.),


Spiritualitas Baru: Agama dan Aspirasi Rakyat. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1994.

Fauzi, Ihsan Ali. Mengenang Kang Moeslim Abdurrahman (online),


(muhammadiyahstudies.blogspot diakses 11 November 2021).

Giyato. Pandangan profetik Kuntowijoyo dalam Novel Pasar, Mantra Pejinak


Ular, dan wasripin dan Satinah. Tesis. Surakarta : Universitas Negeri
Semarang, 2010.

Haque, Ziaul. Wahyu dan Revolusi. Yogyakarta: LkiS, 2009.

Hikam, Muhammad AS. Gus Dur Selalu Ngakak Bila Ada Kang Moeslim
(online), (muhammadiyahstudies.blogspot.com diakses 11 November
2021)

Kementerian Agama RI. Al-Qur‟an hafalan dan terjemah edisi tahun 2018.
Depok: Al-Huda. 2018.

Komariah, Aan. dan Djam‟an Satori. Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet. VI.
Bandung: Alfabeta, 2014.

Kuntowiioyo. Ilmu Sosial Profetik: Objektifikasi bagi Pembentukan Masyarakat


Madani, dalam Widodo Usman (Eds.), Membongkar “Mitos” Masyarakat
105

Madani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

-------. Budaya dan Masyarakat, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006.

-------. ICMI Sebagai Gerakan Kebudayaan, Bandung : Mizan, 1995.

-------. Identitas Politik Umat Islam, Yogyakarta: IRCiSoD, 2018.

-------. Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Jakarta : Tiara
Wacana, 2006.

-------. Muslim Tanpa Masjid, Bandung: Mizan, 2001.

-------. Paradigma Islam: Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Penerbit Mizan,


1991.

-------. Peranan Cendekiawan Muslim, dalam Suhardi (Eds.), Embrio


Cendekiawan Muhammadiyah, Jakarta: Yayasan Penerbit Pers Suara
Ikatan Mahasiswa Muahammadiyah dan Perkasa Press, 1995.

M. Fahmi, Islam Transendental Menelusuri Jejak-jejak Pemikiran Islam


Kuntowijoyo, Yogyakarta: Pilar Religia, 2005.

Maarif, Ahmad Syafii. Peta Bumi Intelektual Islam Di Indonesia. Bandung:


Mizan, 1993.

Nata Praja. Ageng, Distorsi Peran lembaga Swadaya Masyarakat Dalam


Perspektif Civil Society Di Kabupaten Grobongan. Tesis. Semarang:
Universitas Negeri Semarang, 2009.

Nata, Abuddin. Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: PT.


RajaGrafindo Persada, Cet. 2. 2001.

Prasetyo,Eko. Astghfirullah: Islam Jangan Dijual. Yogyakarta: Resist Book,


2007.

Qodir, Zuly. Pembaharuan Pemikiran Islam: Wacana Intelektual Indonesia,


Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Rahardjo, M. Dawam. Merayakan Kemajemukan Kebebasan dan Kebangsaan.


Jakarta: Kencana. 2010.

Rahardjo, M. Dawam. Ilmu Sejarah Profetik dan Analisis Transformasi


Masyarakat, “Kata Pengantar “ dalam Kuntowijoyo, Paradigma
Islam:Interpretasiu Untuk Aksi, Bandung: Penerbit Mizan, 1991.

-------. Intelektual, Intelegensia dan Perilaku Politik Bangsa: Risalah


Cendekiawan Muslim, Bandung: Mizan, Cet. III, 1996.

Rahman, Budhy Munawar. Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman.


Jakarta: Paramadina, 2001.

Riadi, Haris. “Keniscayaan Revolusi Islam: Menggagas Ulang Doktrin Teologi


106

Revolusi Islam Hassan Hanafi”, Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 37, No. 2,
2012

Segundo, J.L. liberation of theology. Dublin. Gil andMcmillan, 1997.

Sidik, Paradigma Islam dan Transformasi Sosial (Studi Pemikiran Kuntowijoyo),


Jurnal Hunafa, Vol. 2 NO. 3 Desember 2005.

Subekti, Ali Islam Transformatif: Studi Tentang Pemikiran Moeslim


Abdurrahman Skripsi:Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab
IAIN Sunan Ampel, 2002.

Surahmad,Winarno. Dasar dan Teknik Penelitian. Bandung: Trasito. 1994.

Wahid, Abdurrahman dkk. Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung:


PT. Remaja Rosdakarya, Cet. II. 1993.

Wawancara Arif Subhan dengan Kuntowijoyo yang dimuat dalam, Jurnal Ulumul
Qur‟an, NO.4, Vol. V, Th. 1994), 92-93. Dengan judul “Dr. Kuntowijoyo:
al-Qur‟an Sebagai Paradigma” Sebagaimana dikutip M. Fahmi dalam
Islam Transendental.

Zubaedi, Dr. Pengembangan Masyarakat Wacana dan Praktik, Jakarta: Kencana,


2013. Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta: PT Cipta Adi
Pustaka,1991.

Zubaedi. Islam dan Benturan Antarperadaban: Dialog Filsafat Barat dengan


Islam, Dialog Peradaban dan Dialog Agama. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2007.
107

L
A
M
P
I
R
A
N
108
109
110

Anda mungkin juga menyukai