Anda di halaman 1dari 29

PENDEKATAN STUDI ILMU TASAWUF

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“ Pendekatan Studi Islam “

OLEH :
MUHAMMAD ARIFIN
NIM : 3006204004

Dosen Pengampu :
DR. ADENAN RITONGA, MA

PROGRAM PASCASARJANA MAGISTER


ILMU HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

Segala puji hanyalah milik Allah rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga
tetap tercurahkan kepada hamba dan rasulNya Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam
beserta keluarga, dan para sahabatnya sekalian, serta siapa saja dari hambaNya yang
mengikuti dalam kebaikan sampai hari akhir nanti.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu upaya untuk memenuhi tugas mata
kuliah Pendekatan Studi Islam. Semoga, dengan hadirnya makalah ini dapat menambah
khazanah keilmuan terutama yang berkaitan dengan menambah wawasan yang berkaitan
dengan Pendekatan Studi Islam, dalam hal ini adalah Pendekatan Studi Ilmu Tasawuf
Akhirnya, tiada gading yang tak retak penulis menyadari makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi
kesempurnaan makalah ini. Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan inspirasi dan
manfaat bagi semuanya. Amiin ya rabbal alamin.

Medan, 11 Desember 2020.

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……………………………………………………………... i

DAFTAR ISI ……………………………………………………………... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ……………………………………………………………... 1

B. Rumusan Masalah ……………………………………………………………... 1

C. Tujuan Masalah ………………………………………………………........... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Defenisi Pendekatan Studi Ilmu Tasawuf ………..…………………………… 3

B. Ilmu Tasawuf dalam Perseptif Syariat……………..……………………..….... 5

C. Aliran-Aliran Tasawuf dan Tokoh-Tokohny…..……………………………… 8

D. Ilmu Tasawuf sebagai sebuah pendekatan hukum syariat ..…………………. 18

E. Penerapan Ilmu Tasawuf Dalam Konteks Kontemporer …..………………… 20

BAB III PENUTUP ……………………………………………………………………… 24

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………………. 25

2
PENDEKATAN STUDI ILMU TASAWUF

A. Latar Belakang
Islam adalah satu-satunya agama yang haq (benar) dengan Al Qur’an dan As Sunnah
sebagai sumber hukum utama. Keduanya mencakup seluruh aturan dan panduan bagi kaum
muslimin, untuk dapat mengamalkan syariat islam secara syumul (komphrehensif) dan kaffah
(totalitas). Aturan dan ketentuan yang terkandung dalam Al Qur’an dan As Sunnah satu sama
lain saling menjelaskan, sehinggga kaum muslimin akan mendapatkan kemudahan dalam
melaksanakannya.
Akan tetapi seiring berjalan waktu dan kemajuan zaman, permasalahan yang dihadapi
oleh kaum muslimin terus mengalami perubahan dan perkembangan. Terdapat, hal-hal yang
belum dijelaskan secara langsung dalam Al Qur’an dan As Sunnah. Sebagaimana di ketahui,
keduanya secara umum hanya menjelaskan dalam bentuk mujmal (global), hanya sebagian saja
yang dirincikan penjelasan secara mufashal (terinci). Maka, para ulama meletakkan qawaid
(pondasi-pondasi dasar) dengannya akan dapat diketahui wudhuhul hukmi (kepastian hukum) dan
kaifiyyah (tata cara) pelaksanaan sebagaimana yang diinginkan oleh syara’.
Oleh karenanya, berbagai pendekatan terhadap qawaid banyak dilakukan oleh para
muhaqqiq (peneliti) pada generasi berikutnya. Banyak pendekatan studi yang dilakukan, hal ini
agar kaum muslimin mendapatakan gambaran yang jelas mengenai setiap syariat yang telah
ditetapkan, dan juga agar maqashidhu syar’i (tujuan penegakan syariat) dapat tercapai. Dengan
dilakukan berbagai macam pendekatan studi ilmu, akan terlihat pula bahwa syariat islam
ditegakan dengan memperhatikan seluruh nilai yang berlaku dalam kehidupan manusia.
Sehingga setiap syariat, akan mendatangkan manfaat dan menghindarkan manusia dari
kemadharatan.
Salah satu pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan dari sisi ilmu tasawuf.
Sebagaimana diketahui bahwa ilmu tasawuf telah banyak memberikan kontribusi dalam
penegakan hukum syariat. Karena, ilmu tasawuf lebih menekankan pada tindakan tazkiyatun
nufus (penyucian jiwa). Sehingga, manusia tidak mengalami kekosongan jiwa tatkala
menegakkan setiap syariat. Meski banyak pro kontra diantara ulama kaum muslimin, baik pada
masa salaf (terdahulu) maupun khalaf (kontemporer) mengenai ilmu tasawuf. Sehingga, kita
akan dapat melihat perbedaan yang tajam di antara para ulama dalam mensikapi ilmu tasawuf.

1
Oleh karena itu, penulis merasa perlu dilakukan penelitian singkat mengenai pendekatan
studi ilmu tasawuf, mengingat urgensitas (kepentingan) ilmu ini dan menyingkap sebab utama
terjadinya ikhtilaf (perbedaan) para ulama terhadap ilmu ini. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat menjadi studi ilmu baru bagi penulis dan bagi kaum muslimin. Barakallahu fikum jami’an.

B. Rumusan Masalah
1. Defenisi Pendekatan Studi Ilmu Tasawuf
2. Ilmu Tasawuf dalam Perseptif Syariat
3. Aliran-aliran Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya
4. Ilmu Tasawuf sebagai sebuah pendekatan hukum syariat.
5. Penerapan Ilmu Tasawuf dalam konteks kontemporer
C. Tujuan Pembahasan
1. Mengenal lebih luas mengenai ilmu tasawuf dalam perspektif Islam.
2. Mengenal keterkaitan antara ilmu tasawuf dalam istimbath hokum.
3. Menyingkap akar permasalahan ikhtilaf di antara para ulama dalam menyikapi ilmu
tasawuf dan solusi atau jalan keluar dari perselisihan tersebut.
4. Kontribusi ilmu tasawuf bagi perkembangan peradaban dan hukum islam.
5. Mengetahui peranan ilmu tasawuf sebagai sebuah psikoterapi kontemporer.

2
PEMBAHASAN

A. Defenisi Pendekatan Studi Ilmu Tasawuf


Sebelum membahas lebih jauh mengenai pendekatan studi ilmu tasawuf dalam kajian
islam, maka mengetahui defenisi dari seluruh variable pembahasan dalam makalah ini adalah
sangat penting untuk didahulukan. Dalam hal ini, ada empat variable utama yang harus
didefenisikan lebih awal, baik secara etimologi (bahasa) maupun terminologi (istilah), yaitu
pendekatan, studi, ilmu, dan tasawuf.
Secara etimologi kata pendekatan berasal dari kata “ dekat “ dalam kamus besar bahasa
Indonesia (KBBI) pendekatan adalah proses, cara perbuatan mendekati berdamai, bersahabat.
Sementara dalam dunia penelitian sering di terjemahkan sebagai “ usaha dalam rangka aktivitas
untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti, metode untuk mencapai pengertian
tentang masalah penelitian. Berkaitan dengan ini, Ramayulis mendefenisikan pendekatan
merupakan terjemahan dari kata “approach”, dalam bahasa Inggris diartikan dengan come near
(menghampiri) go to (jalan ke) dan way path dengan arti (jalan) dalam pengertian ini dapat
dikatakan bahwa appuroach adalah cara menghampiri atau mendatangi sesuatu. Menurut
Lawson dalam konteks belajar, ia mendefinisikan bahwasanya pendekatan adalah segala cara
atau strategi yang digunakan peserta didik untuk menunjang keefektifan keefesienan dalam
proses pembelajaran materi tertentu. 1

Sementara itu Ahmad Susanto menyebutkan bahwa pendekatan dalam belajar mengajar
dapat diartikan sebagai tolak atau sudut pandang terhadap proses pembelajaran yang merujuk
pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum, yang
didalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari metode pembelajaran tertentu.

Adapun kata “ studi “ dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) bermakna penelitian
ilmiah, telaah, kajian.2 Sementara ilmu secara bahasa berasal dari bahasa arab " ‫ " العلم‬yang
bermakna “ lawan kata dari kejahilan (kebodohan) “. Al Jurjani3 menyebutkan bahwa kata ilmu
memiliki banyak makna, di antaranya adalah ‫ “ اإلعتقاد الجازم المطابق للواقع‬keyakinan yang kuat
pada sesuatu yang sesuai dengan kenyataannya “, juga bermakna ‫“ اإلدراك الشئ على ما هو به‬

1
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia,Jakarta, 2011, h. 169
2
https://kbbi.web.id/studi
3
Ali bin Muhammad Sayyid Syarif Al Jurjany (w. 816 H)

3
Mendapatkan sesuatu atas apa yang sesuai dengan sesuatu itu “ dan banyak lagi makna
lainnya.4

Sedangkan tasawuf para ulama berbeda pendapat, apakah berasal dari bahasa arab atau
berasal dari bahasa ajam. Sebagian mengatakan bahwa istilah tasawuf berasal dari bahasa Arab
dari kata ” tashowwafa – yatashowwafu – tashowwuf ” mengandung makna (menjadi) berbulu
yang banyak, yakni menjadi seorang sufi atau menyerupainya dengan ciri khas pakaiannya
terbuat dari bulu domba/wol ( su> f ),1 walaupun pada prakteknya tidak semua ahli sufi
pakaiannya menggunakan wol. Menurut sebagian pendapat menyatakan bahwa para sufi diberi
nama sufi karena kesucian ( shafa ) hati mereka dan kebersihan tindakan mereka. Di sisi yang
lain menyebutkan bahwa seseorang disebut sufi karena mereka berada dibaris terdepan ( shaff )
di hadapan Allah, melalui pengangkatan keinginan mereka kepada-Nya. Bahkan ada juga yang
mengambil dari istilah ash - hab al Shuffah , yaitu para shahabat Nabi SAW yang tinggal di
kamar/serambiserambi masjid (mereka meninggalkan dunia dan rumah mereka untuk
berkonsentrasi beribadah dan dekat dengan Rasulullah SAW). 5

Menurut Mir Valiuddin bahwa, jika istilah sufi berasal dari kata shafa (suci/bersih) maka
bentuk yang tepat seharusnya safawi dan bukan sufi . Tapi bila istilah sufi mengacu kepada shaff
(baris pertama/terdepan) maka seharusnya shaffi bukan sufi. Namun bila istilah sufi merupakan
turunan dari ash - hab al - Shuffah maka bentuk yang benar seharusnya suffi bukan sufi.6

Pada intinya tasawuf merupakan suatu usaha dan upaya dalam rangka mensucikan diri (
tazkiy y atunnafs ) dengan cara menjauhkan dari pengaruh kehidupan dunia yang meyebabkan
lalai dari Allah SWT untuk kemudian memusatkan perhatiannya hanya ditujukan kepada Allah
SWT. Menurut Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi bahwa tasawuf adalah ilmu yang
menerangkan tentang keadaan-keadaan jiwa ( nafs ) yang dengannya diketahui hal-ihwal
kebaikan dan keburukan jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan
mengisinya dengan sifat-sifatyang terpuji, cara melakukan suluk, jalan menuju Allah, dan
meninggalkan (laranganlarangan) Allah menuju (perintah-perintah) Allah SWT.7 Hal yang sama

4
Ali bin Muhammad Sayyid Syarif Al Jurjany, Mu’jam At Ta’rifat, Daru Fadhilah, Dubai, hal. 130
5
Mir Valiudin,Tasawuf dalam Qur’a’n, Pustaka Firdaus, Jakarta 1993, cet. II, h. 1-2.
6
Ibid
7
Muhammad Amin al-Kurdi,Tanwirul Qulub fi Mu’amalatil ‘Allamil Guyub , (ttp.: Maktabah Dar Ihya al-Kutub al-
’Arabiyyah, tt.), h. 406.

4
juga di jelaskan oleh Al Jurjani saat mendefenisikan makna tasawuf.8 Sementara itu Ibrahim
Basyuni menjelaskan makna tasawuf adalah kesadaran murni yang mengarahkan jiwa secara
benar kepada amal dan kegiatan-kegiatan yang sungguh-sungguh, menjauhkan diri dari
kehidupan duniawi dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk mendapatkan perasaan
berhubungan erat dengan-Nya.9

Dengan demikian tasawuf atau sufisme adalah suatu istilah yang lazim dipergunakan
untuk mistisisme dalam Islam dengan tujuan pokok memperoleh hubungan langsung dengan
Tuhan. Dalam hal ini pokokpokok ajarannya tersirat dari Nabi Muhammad SAW yang
didiskusikan dengan para sahabatnya tentang apa-apa yang diperolehnya dari Malaikat Jibril
berkenaan dengan pokok-pokok ajaran Islam yakni: iman, islam, dan ihsan. Ketiga sendi ini
diimplementasikan dalam pelaksanaan tasawuf.10

Maka, dapat disimpulkan bahwa pendekatan studi ilmu tasawuf adalah proses atau
metode ilmiah yang digunakan untuk mencapai pengertian kajian keislaman dalam perspektif
penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Metode pendekatan ini dinilai efektif mengisi kegersangan jiwa
dari nilai-nilai ketuhanan, sehingga setiap syariat yang ditegakkan memiliki multidimensi
penerapan, yaitu dimensi ruhiyyah dan dimensi akhlak. ‫وهللا أعلم بالصواب‬

B. Ilmu Tasawuf dalam Perseptif Syariat

Sebagaimana diketahui bahwa tasawuf adalah proses pembersihan jiwa dengan akhlak
terpuji dan jauh dari unsur duniawi. Sehingga menurut analisa Prof. Dr. H.M. Athoullah Ahmad,
MA. bahwa obyek pembicaraan Ilmu Tasawuf itu meliputi tentang akal dan ma’rifat kemudian
membahas mengenai hati dan riyadhah (latihan dalam spiritual). Adapun status Ilmu Tasawuf
yaitu menuntun sesuai dengan petunjuk, dan membuang apa yang tidak sesuai dengan tuntunan
yang berlaku. Kemudian sekuat tenaga menuju ke jalan Ilahi.11

Ilmu Tasawuf sering diartikan sebagai ilmu yang mengantarkan manusia pada kezuhudan
dan kebersihan jiwa dari pengaruh-pengaruh duniawi. Dan Al Qur’an banyak di penuhi oleh
anjuran berbuat zuhud terhadap dunia, mengkhabarkan tentang kebaikan-kebaikannya, serta

8
Ali bin Muhammad Sayyid Syarif Al Jurjany, Mu’jam At Ta’rifat, Daru Fadhilah, Dubai, hal. 54
9
Ibrahim Basyuni, Wasi’ah at Tasawuf al Islami, Darul Fikr, Kairo, 1969, hal. 17-24
10
Badruddin, Pengantar Ilmu Tasawuf, A-Empat, Serang 2015, cet. 3. Hal. 2
11
M. Athoullah Ahmad, Antara Ilmu Akhlak dan Tasawuf , Sengpho, Serang 2007, cet. I, h. 119.

5
meninggalkan ketertarikan terhadap sifat dunia yang fana. Memberikan targhib (motivasi) untuk
bersegera memburu kehidupan akhirat, mengkhabarkan tentang kebaikan dan keindahan akhirat.
Apabila Allah ta’ala mencintai hambaNya, maka akan diperlihatkan padanya hakikat dunia
yang sebenarnya, sehingga ia akan lebih itsar (mementingkan) akhirat daripada kehidupan
dunia.12 Maka, kita akan menjumpai banyak diantara tokoh sufi yang meninggalkan dunia, dan
meninggalkan angan-angan dan keinginan nafsu dunia, diantaranya Al Junaid salah satu diantara
tokoh sufi berkata :

‫ ألنه لم يرضها‬.‫ إن هللا عزوجل سلب الدنيا عن أوليائه وحماها عن أصفيائه وأخرجها من قلوب أهل وداده‬: ‫سمعت سريا يقول‬
‫لهم‬

“Aku telah mendengar sariyan berkata : Sesungguhnya Allah azza wajalla merampas dunia
dari para walinya, dan menjaganya dari para hamba-hamba pilihannya, lalu mengeluarkannya
dari hati orang-orang yang dicintaiNya, karena sesungguhnya Dia tidak ridho dunia (akan
berpengaruh) bagi mereka. “13

Ibnul Jala’ berkata :

‫ فيسهل عليك اإلعراض عنها‬,‫ فتصغر في عينك‬,‫الزهد هو النظر إلى الدنيا بعين الزوال‬

“ Zuhud adalah memandang dunia dengan pandangan kefanaan, maka dunia menjadi
kecil dalam pandanganmu, sehingga akan memudahkanmu untuk berpaling darinya “14

Zuhud terhadap dunia adalah ciri khas dari ilmu tasawuf, meskipun banyak diantara
mereka yang salah dalam mendefenisikan makna dan tujuan dari zuhud. Sehingga, banyak yang
terjatuh pada sikap ghuluw (ekstrem) dan ini adalah hal yang dilarang dalam agama islam. Dr.
Ihsan Ilahi Dzahir berkata setiap sufi pasti berlebih-lebihan dalam melaparkan diri, menelanjangi
diri, meninggalkan hal-haal yang halal, menyengsarakan diri, menyusahkn diri, menyiksa diri,
membebani diri dengan sesuatu yang tidak sanggup dipikulnya, mendatangkan madharat,
berlebih-lebihan dalam perintah Allah Ta’al dan larangan-laranganNya.15 Beliau melanjutkan

12
Ibnul Qayyim Al Jauziyyah, Madarijus Salikin Baina manazili Iyyaka na’budu wa Iyyaka Nasta’in, Darul Kutub
Al Ilmiyah, Beirut 2004, cet. 1, hal. 335
13
ibid
14
Ibid, hal. 336
15
Ihsan Ilahi Dzahir, Darah Hitam Tasawuf Studi Kritis Kesesatan Kaum Sufi, ,Darul Falah, Jakarta 2000, Cet. 1
Hal. 1

6
bahwa tidak ada satupun orang shaleh yang menjadikan sikap melaparkan diri, menelanjangi diri
sebagai jalan menuju keselamatan, atau menjadikan mengemis sebagai sarana kepaada
keberhasilan, namun mereka adalah para pedagang, para petani, para pengrajin, dan pengembala
kambing, mereka bekerja mencari harta yang halal untuk menafkahi anak dan keluarga mereka,
dengan itu mereka bershadaqah dan memberikan makanan kepada orang-oraang faqir dan
miskin, anak yatim dan tawanan perang.16

Meski demikian, pada dasarnya ilmu tasawuf tidaklah mengajarkan hal-hal yang
berlebihan atau bahkan sampai melanggar batas-batas syareat. Karena, ilmu taswuf sebagaimana
pada pembahasan sebelumnya adalah satu proses tazkiyatun nufus (penyucian jiwa) yang terjauh
dari unsure-unsur duniawi. Sehingga menurut Dr. Abduh Ghalib Ahmad Isa bahwsanya ilmu
tasawuf dibangun atas empat hal pokok :17

1. Ma’rifah I’tiqad Keimanana


2. Ma’rifah Hukum-hukum Fiqh
3. Beramal sesuai tuntutan ilmu
4. Ikhlas dalam setiap amalan.

Beliau juga tidak menafikan bahwa banyak diantara manusia yang mengamalkan ilmu
tasawuf tanpa ilmu, kemudian mereka menisbatkan apa yang mereka lakukan sebagai bagian dari
tasawuf, bahkan menganggap mereka sebagai ahli sufi, sementara mereka pada hakekatnya
mereka bukanlah dari kalangan sufi yang sebenarnya.18

Jelaslah, bahwsanya ilmu tasawuf dalam perspektif syariat bukanlah ilmu yang tercela,
bahkan merupakan satu kebutuhan agar manusia terkhusus kaum muslimin tidak mengalami
kekosongan jiwa dalam mengamalkan setiap syareat yang telah diwajibkan atas mereka. Karena
penyucian jiwa atau tazkiyatun nufus memiliki empat urgensi penting dalam agama ini,
sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Anas Ahmad Karzon :19

16
Ibid. hal. 11
17
Abduh Ghalib Ahmad Isa, Mafhumu Tashawwuf, Darul Jail, Beirut 1992, cet. 1. Hal. 14
18
Ibid, hal. 101
19
Anas Ahmad Karrzon, Tazkiyatun Nafs, Akbar media, Jakarta 2015, cet. 3. Hal xii

7
1. Urgensi membimbing manusia dan mengajak merekaagar benar-benar kembali kepada
tataran metode islam, dan menjelaskan bentuk-bentuknya dan hasil yang besar. Itulah
teraapi yang efektif bagi mereka yang terpuruk dan tersesat hingga hari ini.
2. Kebutuhan mendesak untuk menampilkan metode islam dalam penyucian jiwa dengan
persepsi yang disarikan dari Al Qur;an dan As Sunnah dan yang dijalankan oleh para
ulama salaf, yang jauh dari kelemahan dan sikap ekstrimitas (berlebih-lebihan), juga hal-
hal yang diyakini dihati kebanyakan manusia, yang berupa berbagai macam pemahaman
yang menyimpang yang member pengaruh negatif dimasa lalu hingga hari ini.
3. Penyesatan sebagian kalangan dengan teori-teori psikologi sekuler modern yang
melalaikan sisi rohani dan peranan agama dalam kehidupan manusia. Mereka lalai akan
perhitungan yang akan menimpa jiwa manusiasecara fitrah dari tuhanNya. Penyesatan ini
selanjutnya mulai mengingkari eksistensi metode islam yang sempyrnna dalam berinteraksi
dengan jiwa manusia. Mereka mengira bahwa islam hanyalah sekedar nasehat dan
bimbingan akhlak belaka, yang jauh dari realitas kehidupan.
4. Pesatnya kebangkitan islam yang kita saksikan berbagai pengaruhnya pada hari ini disetiap
tempat, sangat membutuhkan penjagaan dan bimbingan. Hal ini merupakan kewajiban para
ilmuwan, da’i, penuntut ilmu, peneliti, dan pendidik. Maka dari itu, harus dilakukan kerja
keras tanpa henti untuk mewujudkan tujuan ini, agar kebangkitan yang diberkahi ini dapat
berjalan sesuai dengan metode ilmu pendidikan yang bersumber dari sumber yang bersih
(Al Qur’an dan As Sunnah) dan bersinar dengan petunjuknya.

Oleh karenanya, agar terjaga kemurnian ilmu tasawuf dari penyimpangan dan sikap
ghuluw (berlebih-lebihan), maka perlu dikembalikan seluruh pemahaman dan pengamalan
kepada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik (para sahabat, tabi’in, dan
tabi’ tabi’in) dan perlu juga melihat sirah (perjalanan) Rasululla, para sahabatnya serta orang-
orang shaleh terdahulu bagaiman langkah dan cara mereka dalam melakukan tazkiyatun nafs
(penyucian jiwa).20

C. Aliran-aliran Tasawuf dan Tokoh-Tokohnya


Aliran ilmu tasawuf yang berkembang dikalangan kaum muslimin dan tersebar diseluruh
dunia secara umum ada lima.

20
Ibid, hal. xiii

8
1. Naqsabandiyah
a. Sejarah lahirnya Aliran Tarekat Naqsabandiyah
Tareqat naqsabandiyah adalah tarekat yang dinisbatkan pada sahabat Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq radhyallahu ‘annhu. Bahkan, mereka
(ahli tarekat naqsabandiyah) berkeyakinan bahwa beliaulah pendiri pertama tarekat ini.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah mewariskan ilmu tarekat kepada beliau. Kemudian
ilmu tarekat ini terrus bekembang dengan empat orang yang diyakini sebagai pelopor utama ;
Salman Al Farisi, Abu Yazid Thaifur Al Busthami, Abdul Khaliq Ghazdawani, Muhammad
Baha’uddin Al Ausy Al Bukhary yang kemudian dikenal dengan Naqsabandy.21
Muhammad Baha’uddin An Naqsabady lahir pada tahun 717 H di daerah daerah Arifan
yaitu satu desa yang berdekatan dengan Bukhara. Beliau banyak mengambil ilmu dari para
ulama pada masa itu, termasuk ulama yang paling banyak beliau mengambil ilmu darinya adalah
Syeikh Muhammad Baba Samasy, yang dikenal sebagai orang yang zuhud, wara’ dan terkenal
dengan keshalehannya. Setelah meninggal Syekh As Samasy beliau melanjutkan
pengembarannya dalam menuntut ilmu kepada Syeikh Amir Kalaly yang darinya beliau
memadukan beberapa ilmu tarekat. Dalam berdzikir syeikh Al Kalaly mengajarkan agar
diucapkan secara jahar, beliaupun menggabungkan bahwa dzikir itu diucapkan secara jahar dan
dengaan khafy (lirih).22
Pada malam senin tanggal 3 rabiul awwal tahun 791 H, Syeikh Muhammad Baha’uddin
An Naqsabandy jatuh sakit dan beliau tidak berhenti berdzikir dan membaca surat yasin hingga
selesai, beliaupun berdoa dan mengusapkan kedua tangannya kewajah setelah berdoa, pada saat
itulah beliau wafat. Banyak kaum muslimin yang ikut menshalati beliau dan dimakamkan
disebuah kebun sebagaimana yang diwasiatkannya.23
Diantara peninggalan dan buah karya dari Syeikh baha’uddin An Naqsabandy dan
pengikutnya adalah ;
1. Kitab Ar Risalah Al Bahaiyyah di tulis oleh dua orang murid beliau yaitu Syeikh
Muhammad bin Mas’ud Al Bukhary dan Syeikh Syarif Al Jurjani.
2. Kitab Ar Risalah Al Qudsiyyah di tulis oleh Syeikh Muhammad Barisa Al Bukhary.

21
Muhammad Ahmad Daraniqah, Tasawuf Al Islamy Tarekat Naqsabandiyah wa Ahlamuha, Jarus barus, tt, hal. 18
22
Ibid.
23
Ibid.

9
3. Kitab Mambaul Asrar diyakini kitab ini ditulis oleh beliau sendiri Syeikh
Muhammad Baha’uddin An Naqasabandy.
4. Kitab Tanbihul Ghafiilin, Salikul Anwar, Hadiyyatus salikin wa Hidayatu Thalibin
kitab ini merupakan syarh dari kitab Mambaul Anwar di tulis oleh murid beliau yaitu
Syeikh Hamzah bin Syamsad.24
Di Indonesia tarekat Naqsyabandiyah adalah sebuah tarekat yang berkembang pesat
termasuk di Sumatera Utara. Diyakini pertama kali masuk ke Indonesia dan berkembang adalah
di daerah langkat Sumatra Utara, Akan tetapi, tidak diketahui secara pasti kapan tarekat ini
masuk ke daerah Sumatera Utara, namun jika dikaitkan dengan kompleks pasantren kaum sufi
persulukan Babussalam, masyarakat Sumatera Utara lebih sering menyebutnya Basilam, tarekat
Naqsyabandiyah memasuki daerah ini menjelang pertengahan abad ke-13 H/19 M. Hal ini
dikaitkan dengan berdirinya suluk1 di Babussalam, Langkat, Sumatera Utara, atas kerjasama
Sultan Musa, dari Kesultanan Langkat dengan Syaikh Abdul Wahab Rokan (1811 M-1926 M)
sebagai pemimpin (Syaikh) persulukan tersebut.25
Munculnya tarekat Naqsyabandiyah di Basilam dibawa oleh Syaikh Abdul Wahab yang
berasal dari Rokan, Riau. Untuk mengembangkan ajaran tarekat Naqsyabandiyah, Syaikh Abdul
Wahab memulainya di Rokan hingga ke sepanjang pesisir pantai Timur Sumatera Siak,
Tembusai di Riau sampai ke Kerajaan Kota Pinang, Bilah Panai, Asahan, Kualuh, Deli Serdang
hingga ke Basilam di Langkat-. Di Besilam Syaikh Abdul Wahab membangun desa dan
madrasah Babussalam guna pengembangan ajaran tarekat, walaupun sempat meninggalkan
Babussalam karena dituduh melakukan pemalsuan uang oleh penguasa Belanda pada masa itu, ia
akhirnya kembali lagi ke Babussalam melalui undangan Sultan Langkat. Kampung Basilam
dihuni oleh penduduk yang heterogen, terdiri dari berbagai macam suku, seperti Melayu,
Mandailing dan Jawa. Agar masyarakat hidup tentram dan damai dibuat suatu peraturan yang
disebut Peraturan-peraturan Babussalam. Berdasarkan silsilah tarekat Naqsyabandiyah ini
menduduki urutan ke-17 dari pendiri tarekat tersebut yakni Baha’ udl-Dîn al-Naqsyabandiyah,
dan urutan yang ke-34 dari Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam.26

24
Ibid, hal. 19-20
25
H.A. Fuad Said, Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam, Pustaka Babussalam, Medan 1998), cet. 8, h. 63-
64. Mengenal keberadaan kerajaan Melayu di Langkat dapat dilihat pada T. Luckman Sinar, Kerajaan-Kerajaan
Melayu di Sumatera Timur (Medan : Dirasat al-Ulya, 1988).
26
Ibid. 129

10
b. Pokok Pemikiran Aliran Tasawuf Naqsabandiyah
Pokok ajaran Syaikh Abdul Wahab Rokan adalah keseimbangan kehidupan dunia dan
akhirat. Kegiatan yang dilakukan Syaikh Abdul Wahab Rokan dan pengikut tarekatnya tidak
hanya berzikir dan bersuluk. Syaikh Abdul Wahab Rokan juga membuka perkebunan karet, jeruk
manis dan lada hitam, mengembangkan peternakan dan perikanan serta mendirikan percetakan.27
Bukan hanya itu, Syeikh Abdul Wahab Rokan juga terlibat dalam pergolakan politik
pada waktu itu. Beliau mempunyai hubungan baik dengan tokoh-tokoh pergerakan Islam, seperti
HOS Cokroaminoto dan Raden Gunawan, yang mendirikan Syarikat Islam (SI) pada tahun 1912
kemudian menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).7 Pada tahun 1913 ia mengutus dua
orang puteranya ke musyawarah SI di Jawa dan kemudian mendirikan Syarikat Islam cabang
Babussalam di mana Syaikh Abdul Wahab Rokan menjadi salah seorang pengurusnya.
Keraguan sebahagian kalangan terhadap tarekat di satu sisi, dan keberhasilan tarekat
Naqsyabandiyah dalam membangun tatanan kehidupan sosial pengikutnya di sisi yang lain,
menawarkan satu bidang pembahasan yang sangat menarik dan membutuhkan satu eksposisi
tersendiri. 28

2. Ar Rifa’iyyah
a. Sejarah Lahirnya Tarekat Ar Rifa’iyyah
Tarekat Ar Rifa’iyyah adalah satu tarekat tasawuf yang banyak tersebar di daerah Irak,
daerah Syam dan didaerah-daerah lain, termasuk di indonesia. Aliran ini dinisbatkan kepada Abu
Al Abbas Ahmad bin Abu Al Husain Ar Rifa’I yang dinisbatkan kepada bani Rifa’ah, salah satu
kabilah di Arab. Para pengikut tarekat Ar Rifa’iyyah meyakini bahwa Abu Al Abbas Ahmad bin
Abu Al Husain Ar Rifa’I termasuk keturunan Fathimah putrid Rasulullah shalallahu ‘alaihi
wasallam.29
Abul Abbas Al Husein Ar Rifa’i mulai menuntut ilmu pada pamannya sendiri yaitu
Mansur Al-Batha'ihi, seorang syekh tarekat sewaktu berusia tujuh tahun, pada saat ayahnya
meninggal dunia. Ia juga berguru pada pamannya yang lain, Abu Al-Fadl Ali Al-Wasiti,
terutama tentang mazhab fikih Imam Syafii. Pada usia 21 tahun, ia telah berhasil memperoleh

27
Ibid. 118
28
Ibid, hal. 14
29
Ihsan Ilahi Dzahir, Darah Hitam Tasawuf Studi Kritis Kesesatan Kaum Sufi, ,Darul Falah, Jakarta 2000, Cet. 1
Hal. 246

11
ijazah dari pamannya dan khirqah sembilan sebagai pertanda sudah mendapat wewenang untuk
mengajar.
b. Wilayah Penyebaran Tarekat Ar Rifa’iyyah
Tarekat Rifa'iyah yang juga merupakan tarekat sufi Sunni yang memainkan peran
penting dalam pelembagaan sufisme. Di bawah bimbingan Ar-Rifa'i, tarekat ini tumbuh subur.
Dalam tempo yang tidak begitu lama, tarekat ini berkembang luas ke luar Irak, di antaranya ke
Mesir dan Suriah. Hal tersebut disebabkan murid-murid tarekat ini menyebar ke seluruh Timur
Tengah.
Dalam perkembangan selanjutnya, Tarekat Rifa'iyah ini berkembang di kawasan
Anatolia di Turki, Eropa Timur, wilayah Kaukasus, dan kawasan Amerika Utara. Para murid
Rifa'iyah membentuk cabang-cabang baru di tempat-tempat tersebut. Setelah beberapa lama,
jumlah cabang Tarekat Rifa'iyah meningkat dan posisi syekh pada umumnya turun-temurun.
Tarekat ini juga tersebar luas di Indonesia, misalnya di daerah Aceh, terutama pada
bagian barat dan utara; di Jawa; Sumatra Barat; dan Sulawesi. Namun, di daerah Aceh, tarekat
ini lebih dikenal dengan sebutan Rafai, yang memiliki makna tabuhan rabana yang berasal dari
perkataan pendiri dan penyiar tarekat ini. Meskipun terdapat di tempat-tempat lain, menurut
Esposito, Tarekat Rifa'iyah paling signifikan berada di Turki, Eropa Tenggara, Mesir, Palestina,
Suriah, Irak, dan Amerika Serikat. Pada akhir masa kekuasaan Turki Usmaniyah (Ottoman),
Rifa'iyah merupakan tarekat penting. Keanggotaannya meliputi sekitar tujuh persen dari jumlah
orang yang masuk tarekat sufi di Istanbul. 30
Di ceritakan bahwa, Syeikh Ar Rifa’i menikahi
banyak wanita tanpa meninggalkan keturunan. Beliau meninggal karena sakit di Al Baghni dan
meninggal pada tahun 578 H. kedudukannya kemudian digantikan oleh Syeikh Ali Utsman.31
c. Pokok Pemikiran Tarekat Ar Rifa’iyyah
Pokok pemikiran dari tarekat ar rifa’iyyah secara umum ada dua :32
1. Mencintai guru dengan sempurna dengan mengalahkan kecintaan pada mursyid
(guru) lainnya, kecintaan yang dimaksud yaitu dengan mengikuti dan mentaati
apa yang diperintahkannya, selama hal itu diridhoi Allah dan rasulNya. Tidak
mendahuluinya baik dalam kecintaan di hati, perkataan lisan maupun perbuatan.

30
https://republika.co.id/berita/qd4m0g430/mengenal-tarekat-rifaiyah
31
Ihsan Ilahi Dzahir, Darah Hitam Tasawuf Studi Kritis Kesesatan Kaum Sufi, ,Darul Falah, Jakarta 2000, Cet. 1
Hal. 264
32
Muhammad Abdul Hadi Afandy Ash Shiyadi, Al Qawaidul Mar’iyyah fi Thariqah Ar Rifa’iyyah, ttp, hal 7-8

12
2. Mencintai nabi dengan kecintaan yang mendalam didalam hati dan lisan,
berpegang teguh dengan syariatnya dan sunnah-sunnahnya yang suci.

Sebagaimana pada pembahasan sebelumnya, tarekat atau aliran sufi pada generasi
awal masih berjalan sesuai dengan syariat, pada generasi berikutnya mulai terjadi penyimpangan
dan sikap ghuluw (berlebih-lebihan). Hal ini juga yang terjadi tarekat atau aliran sufi rifa’iyyah.
Sebagaimana disebutkan oleh Imam Adz Dzahaby dan Ibnu Khalqan sebagimana dinukilkan
oleh Dr. Ihsan Ilahi Dzhahir dalam bukunya.33

Imam Adz Dzahabi berkata :

“ Diantara sahabat-sahabatnya ada yang baik dan ada yang jahat. Pemalsuan (hadits)
banyak sekali terjadi dikalangan mereka dan prilaku berlebih-lebihan bahkan berprilaku seperti
syetan. Hal ini, sejak terjadi pada mereka semenjak bangsa tartar menguasai Baghdad. Diantara
mereka ada yang menceburkan diri kedalam api, mengendarai binatang buas, dan bermain-main
dengan ular. “

Hal diatas diakui dengan jujur oleh tokoh mereka yaitu Muhammad Abu al huda dari
aliran sufi rifa’iyyah, An Nabhani dari aliran sufi lainnya, dan lain sebagainya.mereka. Bahkan,
para pengikut mereka berkata :

“ Seorang syeikh di kaumnya adalah sepertti nabi bagi ummatnya “. Sehingga mereka
ada yang berkeyakinan, bahwa bathin Ahmad Ar Rifa’i sama persis kondisi batin Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam dan seluruh sifat-sifatnya dalam seluruh urusan sama persis seperti
sifat-sifat beliau.

3. Asy Syadziliyah
a. Sejarah Lahirnya Tarekat Asy Syadzaliyah
Tarekat Syadziliyah dinisbatkan kepada Abu Al hasan Ali bin Abdullah. Adapun
penisbatan nama tarekat ini karena Abu Al hasan pertama sekali mengembangkan pemahaman
ilmunya di daerah Syadzili di wilayah maghrib. Sementara Abu Al hasan sendiri di lahirkan pada

33
Ihsan Ilahi Dzahir, Darah Hitam Tasawuf Studi Kritis Kesesatan Kaum Sufi, ,Darul Falah, Jakarta 2000, Cet. 1
Hal. 266

13
tahun 593 H di desa Amman, salah satu desa di Afrika tepatnya di provinsi Ghumarah berbatasan
dengan Mursiyah sebuah desa yang dekat dengan Maghrib Al Aqsha.34
Para ulama berbeda pendapat mengenai nasab Abu Al Hasan Asy Syadzali.35 Murid-
muridnya menasabkan beliau kepada Al hasan bin Ali bin Abi Talib, sebagian lainnya
menasabkan kepada Idris bin Abdullah yang berasal dari Maroko. Sementara Al Jami
menasabkannya pada Al Husein bin Ali bin Abi Thalib. Abu Al Hasan mengalami kebutaan
sejak lahir, akan tetapi ia adalah laki-laki zuhud. Kebutaan matan ya tidak menghalanginya untuk
terus belajar dari satu guru kepada guru berikutnya. Salah satu guru yang paling banyak
mempengaruhi Abu Al Hasan adalah Abu Muhammad Abdussalam bin Masyisy, Abu Al Hasan
pernah berkata tentangnya :
“ Aku datang kepadanya yang ketika itu ia bertempat tinggal didalam goa di puncak
gunung. Aku mandi di mata air dibawah gunung dan berjalan guna mencari ilmu dan amal. Aku
perlihatkan diriku kepadanya dalam keadaan miskin.“ kemudian beliau mengatakan bahwa Abu
Muhammad Abdussalam ibarat gunung yang tinggi karena pengetahuannya yang luas. Terkenal
dengan kezuhudannya dan ibadah serta gemar bershadaqah dan memberi manfaat pada orang
lain. 36
Syaikh Abu Hasan al-Syadzili adalah salah satu tokoh sufi abad ke tujuh hiriyah,
menurut beliau zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia, karena pada dasarnya zuhud adalah
mengosongkan hati dari selain Tuhan, sehingga tidak ada larangan bagi seorang salik untuk
menjadi konglomerat, asalkan hatinya tidak tergantung pada harta yang dimilikinya. Sejalan
dengan itu pula, bahwa seorang salik tidak harus memakai baju lusuh yang tidak berharga, yang
akhirnya hanya akan menjatuhkan martabatnya. Walaupun Abu Hasan Al Syadzili sebagai
mursyid tarekat, diceritakan bahwa beliau adalah orang yang kaya raya secara material, tetapi
tidak terbesit sedikitpun keinginan didalam hatinya terhadap harta dunia.37
b. Wilayah Penyebaran Tarekat Asy Syadzaliyah
Tarekat Syadziliyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti al-
Muwahhidun, yakni Hafsiyyah di Tunisia.Tarekat ini kemudian berkembang dan tumbuh subur

34
Ibid. hal. 270
35
Khalid bin Nashir Al ‘Utaiby, Thariqah Asy Syadziliyah ‘ardh wa Naqd, Maktabah Ar Rusyd, Riyadh 2011, cet. 1
hal. 120-121
36
Ihsan Ilahi Dzahir, Darah Hitam Tasawuf Studi Kritis Kesesatan Kaum Sufi, ,Darul Falah, Jakarta 2000, Cet. 1
Hal. 272
37
Saifudin Zuhri, Tarekat Syadziliyah Dalam Perspektif Perilaku Perubahan Sosial ( Yogyakarta: Teras, 2011), h.
6

14
di Mesir dan Timur dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk.Dalam hal ini yang menarik,
bahwa meskipun tarekat ini berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal
perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia).Dengan demikian, peran daerah Maghrib dalam
kehidupan spiritual tidak sedikit.38
Karakter tasawuf dari Syeikh Abu Hasan al Syadzili mendapat pengaruh yang kuat dari
model tasawuf ala maghribi, hal tersebut dimungkinkan karena dalam perkembangan kejiwaan
dan keilmuan beliau waktunya banyak dihabiskan di negeri-negeri barat seperti mulai dari
Tunisia dan yang terakhir di Mesir. Namun beliau juga mengagumi serta mendalami karangan
dari ulama-ulama timur salah satunya Imam al Ghozali, jadi bisa dikatakan bahwa pada diri
Syeikh Abu Hasan al Syadzili terdapat perpaduan antara tasawuf ala barat dan timur. Tasawuf
ala maghribi pada umumnya memiliki kekhasan menyukai kelembutan, kelenturan dan
keindahan serta senantiasa berusaha untuk mensyukuri apapun pemberian Allah SWT.Maka
dalam ajaran tarekat Syadziliyah selalu ditekankan tentang kebersihan, kerapian, keraturan, dan
ketenangan.Sebaliknya sangat ditabukan menjadi peminta-minta, hidup semaunya dan suka
berkeluh kesah, oleh karena itu tarekat Syadziliyah dikenal sebagai tarekat yang menempuh jalan
syukur. Disamping itu tarekat Syadziliyah memiliki jiwa tasawuf yang terkesan fleksibel dan
kompromis. Penyebaran tarekat ini banyak tersebar luas di Mesir, Tunisia, Al Jazair, beberapa
Negara di Eropa dan Amerika, Asia Tenggara termasuk, Malaysia dan Indonesia 39
c. Pokok-pokok Pemikiran tarekat Asy Syadziliyah
Adapun pokok-pokok ajaran tarekat syadiziliyah adalah sebagai berikut:40
1. Taqwa kepada Allah SWT lahir batin, yaitu secara konsisten (isitiqomah), sabar dan
tabah selalu menjalankan segala perintah Allah SWT serta menjauhi semua larangan-
Nya dengan berlaku wara’, baik ketika sendiri maupun pada saat dihadapan orang
lain.
2. Mengikuti sunnah-sunnah Rasulullah SAW dalam ucapan dan perbuatan, yaitu
dengan cara selalu berusaha sekuat-kuatnya untuk senantiasa berucap dan beramal
seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, serta selalu waspada agar senantiasa
menjalankan budi pekerti luhur.

38
Sri Mulyati, Mengenal Dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah Di Indonesia, ( Jakarta: Prenada Media,
2004), h. 65
39
Purnawan Buchori, Manaqib Sang Quthub Agung, (Tulungagung: Pondok PETA, 2007), h. 80
40
ibid, h. 87

15
3. Mengosongkan hati dari segala sesuatu selain Allah SWT, yaitu dengan cara tidak
memperdulikan makhluk dalam kesukaan atau kebencian mereka diiringi dengan
kesabaran dan berserah diri kepada Allah SWT (tawakal).
4. Ridha kepada Allah SWT baik dalam kekurangan maupun kelebihan,yaitu dengan
cara senantiasa ridha, ikhlas, qana’ah, dan tawakal dalam menerima apapun
pemberian Allah SWT.
5. Selalu berusaha dalam hatinya menyebut nama Allah SWT

4. Qadiriyah
a. Sejarah Kelahiran Tarekat Qadiriyah
Tarekat ini dinisbatkan kepada Syeikh Abdul Qadir Jailani yang sangat legendaris,
dengan sekian banyak sebutan kehormatan, antara lain: Qutub al-auliya’, Sahib al-
karamat,danSultan al-auliya’. Ia diyakini sebagai pemilik dan pendiri tarekat ini.41
Syekh Abd. Qadir al-Jailani dilahirkan pada tahun 470 H (1077 M) di Jilan (wilayah Iraq
sekarang), dan meninggal di Baghdad pada tahun 561 H (1166 M). Beliau adalah seorang sufi
besar yang kealiman dan kepribadiannya banyak mendapat pujian dari para sufi dan ulama’
sesudahnya. Syekh Abd. Qadir al-Jailani adalah juga seorang ulama’ besar sunni yang
bermazhab Hambali yang cukup produktif.42 Ia telah menulis beberapa karya, satu di antaranya
berjudul “Al-Gunyah li Talibi Tariq al-Haq”. Kitab ini merupakan kitabnya yang sering menjadi
rujukan dalam karyanya yang lain. Ini memuat beberapa dimensi keislaman, seperti fikih, tauhid,
ilmu kalam, dan akhlaq tasawuf.43
Keilmuan beliau tidak diragukan lagi, bahkan beliau adalah seorang teolog (ahli ilmu
kalam), seorang mujtahid dalam fiqih dan juga seorang orator yang piawai. Syekh Abd. Qadir al-
Jailani memimpin madrasah dan ribatnya di Baghdad. Sepeninggalnya, kepemimpinannya
dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Abd. Wahab (552-593 H/1151-1196 M) Dan setelah

41
J. Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam (London: Oxford University Press, 1973), h. 40. Kebesaran dan
kekeramatan Syekh ini dapat dibaca pada manaqib-manaqibnya, misalnya ditulis oleh Muslikh Abd. Rahman, Nur
al-Burhani fi Manaqib Syekh Abd. Qadir al-Jailani (Semarang: Toha Putera, t. th.).
42
Misalnya Ibn 'Arabi, seorang sufi besar pengarang kitab al-Futuhat alMakkiyah. Ia menyatakan bahwa Syekh
Abd. Qadir al-Jailani adalah seorang yang pantas mendapat predikat Qutub al-auliya' pada masanya. Demikian juga
Ibn Taimiyah (w. 728 M), ia juga telah memberikan pujian kepadanya. Baca H.A.R. Gibb, ibid., h. 6. al-Taftazani,
Sufi dari Zaman ke Zaman (Bandung: Pustaka, 1974), h. 236
43
Kharisuddin Aqib, Al Hikmah Memahami teosofi tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Bina Ilmu, Surabaya, tt.
Hal. 48

16
Abd. Wahab wafat, maka kepemimpinannya dilanjutkan oleh puteranya yang bernama Abd.
Salam (w. 611 H/1241 M). Madrasah danribat. (pemondokan para sufi), secara turun temurun
tetap berada dibawah pengasuhan keturunan Syekh Abd. Qadir al-Jailani. Hal ini berlangsung
sampai hancurnya kota Baghdad oleh ganasnya serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh
Hulagu Khan (1258 M/656 H). Serangan Hulagu Khan inilah yang menghancurkan sebagian
besar keluarga Syekh Abd. Qadir al-Jailani, serta mengakhiri eksistensi madrasah danribatnya di
kota Bagdad.44

b. Perkembangan tarekat Qadiriyah

Perkembangan tarekat ini ke berbagai daerah kekuasaan Islam di luar Baghdad adalah
suatu hal yang wajar. Karena sejak zaman Syekh Abd. Qadir al-Jailani, sudah ada beberapa
muridnya yang mengajarkan metode dan ajaran tasawufnya ke berbagai negeri Islam. Di
antaranya ialah: Ali Muhammad al-Haddad di daerah Yaman, Muhammad al-Bata’ihi di daerah
Balbek dan di Syiria, dan Muhammad ibn Abd. Shamad menyebarkan ajarannya di Mesir.
Demikian juga karena kerja keras dan ketulusan putera-puteri Syekh Abd. Qadir al-Jailani
sendiri untuk melanjutkan tarekat ayahandanya, sehingga pada abad 12-13 M, tarekat ini telah
tersebar ke berbagai daerah Islam, baik di Barat maupun di Timur, bahkan tarekat ini telah di
univikasi (digabungkan) dengan tarekat naqsabandiyah.45 Sehingga menjadi satu tarekat besar
yang banyak tersebar hampir di seluruh dunia.

c. Pokok-Pokok Pemikiran Tarekat Qadiriyah


Setidaknya ada empat ajaran pokok dalam tarekat ini, yaitu: ajaran tentang
kesempurnaan suluk, adab para murid,dzikr, dan muraqabah.46 Keempat ajaran inilah
pembentuk citra diri yang paling dominan dalam kehidupan para pengikut Tarekat Qadiriyah wa

44
Ibid. hal. 49
45
Muslikh Abd. Rahman, Al- al-Rabbaniyat fi al-Thariqat al-Qadiriyat wa al-Naqsyabandiyat, (Semarang: Toha
Putra, 1994), h. 41.
46
Tidak semua kitab pegangan pengikut tarekat ini memuat ajaran kesempurnaan suluk dan adab al-muridin. Dua
ajaran tersebut biasanya dikaji oleh para pengikut tarekat ini melalui kitab-kitab yang dibaca oleh para kiyahi dan
mursyid. Seperti kitab, al-Anwar al-Qudsiyah, karya Syekh Abd. Wahab al-Sya'rani, al-Gunyah li Talibi Tariq al-
Haq, karya Syekh Abd. Qadir al-Jailani, Tanwir al-Qulub, karya Syekh Amin al-Qurdi dan kitab Kifayat al-Atqiya'
wa Minhaj al-Asfiya' karya Syekh Abi Bakr al-Makky. Sedangkan dalam Masalah Dzikr dan kaifiyatnya disebutkan
dalam semua kitab pegangan para pengikut. Adapun dalam ajaranmuraqabah kebanyakan kitab pegangan tidak
menyebutkan kaifiyatnya, yang disebutkan hanya macam-macam muraqabah yang ada dalam Tarekat Qadiriyah wa
Naqsyabandiyah.

17
Naqsyabandiyah. Ajaran-ajaran tersebut juga membentuk identitas diri yang membedakan antara
pengikut tarekat dengan yang lain, khususnya ajaran-ajaran yang bersifat teknis, seperti tata cara
berzikir,muraqabah dan bentukbentuk upacara ritualnya. Berikut ini adalah penjelasan dari
keempat ajaran tersebut.47

D. Ilmu Tasawuf Sebagai Sebuah Pendekatan Hukum Syariat.


Secara garis besar dapat disimpulkan dari empat tarekat besar dalam ilmu tasawuf,
sebagaimana pada pembahasaan sebelumnya. Ilmu Tasawuf dibagi menjadi 2 ;
1. Tasawuf Falsafi
Tasawuf falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat)
dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketingkat yang lebih tinggi, bukan hanya
mengenal Tuhan saja, melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wahdatul wujud (kesatuan
wujud). Tasawuf falsafi bisa juga dikarenakan tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran
filsafat. Tokoh-tokohnya antara lain Yazid al-Busthami, al-Hamaj, Ibnu Arabi, dan al-Jall.
Adapun teori yang dilahirkan adalah fana’ dan baqa’, ittihad, hulul, wahdah al-wujud, insane
kamil.48 Lahirnya teori ini disebabkan adanya keyakinan dari kaum sufi falsafi bahwa manusia
bisa mengalami kebersatuan dengan Tuhan
2. Tasawuf Sunni
Tasawuf sunni adalah Tasawuf yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits. Menurut
aliran tasawuf ini, apabila seorang muslim ingin meningkatkan kualitas pendekatan dirinya
kepada Allah maka terlebih dahulu harus memahami syari’at Islam dengan sebaik-baiknya.
Tasawuf Sunni ini terbagi menjadi 2 bagian utama ; tasawuf akhlaqi dan tasawuf amali.
Sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan urgensitas pendekatan studi ilmu tasawuf
dalam kajian islam dalam rangka mengisi kekosongan jiwa dari unsure ketuhanan dan
menjauhkan jiwa dari unsure-unsur duniawi. Maka pendekatan studi ilmu tasawuf dapat
dilakukan dengan beberapa metode sebagai berikut :
1. Model Sayyed Tasawuf Nasr
Sayyed Tasawuf Nasr merupakan ilmuan yang amat terkenal dan produktif dalam
melahirkan berbagai karya ilmiah, termasuk ke dalam bidang tasawuf. Hasil

47
Kharisuddin Aqib, Al Hikmah Memahami teosofi tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Bina Ilmu, Surabaya, tt.
Hal. 62
48
M. Sholihin, MelacakPemikiranTasawuf, Jakarta : Raja GrafindoPersada, 205, hal 10

18
penelitiannya disajikan dalam bukunya yang berjudul “Tasawuf Dulu dan Sekarang”.
Ia menggunakan metode penelitian dengan pendekatan tematik, yaitu pendekatan
yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah.
Ia menambahkan bahwa tasawuf merupakan sarana untuk menjalin hubungan yang
intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia. Bahwa ia
mengembangkan tingkatan kerohaniah manusia dalam dunia tasawuf.

2. Model Mustafa Zahri


Mustafa Zahri memusatkan perhatian terhadap tasawuf dengan menulis buku “Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf”.Penelitian bersifat eksploratif, yakni menggali ajaran
tasawuf dari berbagai literature ilmu tasawuf. Ia menekankan pada ajaran yang
terdapat dalam tasawuf berdasarkan literature yang ditulis oleh para ulama’ terdahulu
serta dengan mencari sandaran pada Al-Qur’an dan Hadits. Ia menyajikan tentang
kerohanian yang didalamnya dimuat tentang contoh kehidupan Nabi, kunci mengenal
Allah, sendi kekuatan batin, fungsi kerohanian dalam menentramkan batin serta
tarekat dan fungsinya. Ia juga menjelaskan tentang bagaimana hakikat tasawuf, ajaran
ma’rifat, do’a, dzikir dan makna Laa ilaaha Illaallah.

3. Model Kautsar Azhari Noor


Kautsar Azhari Noor memusatkan perhatiannya pada penelitian tasawuf dalam rangka
disertainya. Judul bukunya adalah wahdat al-wujud dalam perdebatan dengan studi
tokoh dan pahamnya yang khas Ibn Arabi dengan pahamnya wahdat al-wujud. Paham
ini timbul dari paham bahwa Allah sebagaimana yang diterangkan dalam uraian
tentang hulul ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Oleh karena itu, dijadikan-Nya
alam ini. Maka alam ini merupakan cermin bagi Allah. Di kala ia ingin melihat
dirinya, ia melihat kepada alam. Paham ini telah menimbulkan kontraversi di
kalangan para ulama, Karena paham tersebut dinilai membawa reinkarnasi atau
paham serba Tuhan, yaitu Tuhan menjelma dalam berbagai ciptanya. Dengan
demikian orang-orang mengira bahwa Ibn Arabi membawa paham banyak Tuhan.
Mereka berpendirian bahwa Tuhan dalam arti Dzat-Nya tetap satu. Namun sifat-Nya

19
banyak sifat Tuhan yang banyak itupun dalam arti kualitas dan mutunya berbeda
dengan sifat manusia.

4. Model Harun Nasution


Harun Nasution merupakan guru besar dalam bidang teologi dan filsafat Islam dan
juga menaruh perhatian terhadap penelitian di bidang tasawuf. Dalam bukunya yang
berjudul “Filsafat dan Mistisme Dalam Islam. Ia menggunakan metode tematik,
yakni penyajian ajaran tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat kepada
Allah, zuhud, dan stasion-stasion lain, al-mahabbah, al-ma’rifat, al-fana’, al-baqa’,
al-ittihad, al-hulul, dan wahdat al-wujud. Pendekatan tematik dinilai lebih menarik
karena langsung menuju persoalan tasawuf disbandingkan dengan pendekatan yang
bersifat tokoh. Penelitiannya itu sepenuhnya bersifat deskriptif eksploratif, yakni
menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan mengemukakannya sedemikian
rupa, walau hanya dalam garis besarnya saja.

5. Model A. J. Arberr
Arberry merupakan salah seorang peneliti barat kenamaan, banyak melakukan studi
keislaman termasuk dalam bidang tasawuf. Dalam bukunya “Pasang Surut Aliran
Tasawuf”, Arberry mencoba menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara
pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh. Dengan pendekatan tersebut ia
mencoba mengemukakan tentang firman Allah, kehidupan Nabi, para zahid, para sufi,
para ahli teori tasawuf, struktur teori dan amalan tasawuf, tarekat sufi, teosofi dalam
aliran tasawuf serta runtuhnya aliran tasawuf. Dari penelitiannya itu, Arberry
menggunakan analisis kesejarahan, yakni berbagai tema tersebut dipahami
berdasarkan konteks sejarahnya dan tidak dilakukan proses aktualisasi nilai atau
mentransformasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan modern yang
lebih luas.

E. Penerapan Ilmu Tasawuf Dalam Konteks Kontemporer


Ilmu Tasawuf memiliki ruang lingkup dan dimensi yang luas, sehingga menarik perhatian
para orientaslis barat untuk melakukan penelitian terhadap ilmu ini. Setidaknya ada 2 metodologi

20
yang digunakan para orientalis dalam mengkaji ilmu tasawuf, yaitu ; studi literature dan studi
kasus. 49 Secara sederhana ruang lingkup kajian tasawuf dapat diilustrasikan sebagaimana
dalam tabel berikut.50
Ruang Lingkup Penekanan
Kajian Tasawuf Kajian
Objek Tasawuf Ar Ruh, An Nafs, Al Qalbu, Ash Shadr, Al Lubb
Tujuan Tasawuf ➢ Memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan ·
sehingga disadari benar bafo,va seseorang berada di Hadirat (hadapan)
Tuhan'.
➢ Kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara ruh manusia dan
Tuhan dengan mengasingkan diri dan berkontemplasi pada Tuhan.
➢ Ma’rifatullah.
Fungsi Tasawuf ➢ Membentengi diri dciri segala macam penyakit: hati, yang berupa
keinginan untuk menguasai segala aspek keduniaan.
➢ Tasawuf berfungsi aktif dan positif, tasawuf juga·telah memberikan
semangatnya kepada seluruh struktur Islam, baik dalam perwujudan
sosial maupun intelektualnya.
➢ Menentukan sikap ruhaniah manusia dan mengangkatnya dari derajat
.yang palirtg rendah dan h1na, yang con.dong mengikuti hawa nafsu
(kehendak biologis)-nya men'uju ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu ke
tingkat kesudan ruhani, dengan tidak menafikan kehidupan aktif,
positi£ dan dinamis di tengah-tengah pergumulan kehidupan dunia

Bertitik tolak dari fungsi praktis tasawuf berdasarkan table sederhana di atas, dapat
disimpulkan bahwa ajaran tasawuf sebenarnya bisa diimplementasikan dalam semua aspek
kehidupan, baik yang terkait dengan kepentingan individu, kelompok, maupun kepentingan
sosial yang lebih besar. Sebab, tasawuf tidak hanya mengajarkan tentang kesalehan yang
berimplikasi individual, tetapi juga mengajarkan kesalehan yang berimplikasi sosial. Dengan
demikian, hubungan tasawuf dengan perubahan sosial sebenarnya memiliki signifikansi yang

49
Syamsuddin Arif, Manipulasi dalam Kajian Sufisme, Telaah Utama Islamia, vol III. No. 1, tahun 2006, hal. 24
50
Syamsun Ni’am, Tasawuf Studies Pengantar Belajar Ilmu Tasawuf, Yogyakarta 2014, Ar Ruzz Media, cet. 1, hal.
88

21
sangat jelas. Jadi, fungsi tasawuf dalam hidup adalah menjadikan manusia berkepribadian yang
saleh dan berperilaku baik dan mulia serta ibadahnya berkualitas. Mereka yang masuk dalam
sebuah tarekat atau aliran tasawuf dalam mengisi kesehariannya diharuskan untuk hidup
sederhana, jujur, istiqamah, dan tawadhu.
Terlebih lagi dalam kasus-kasus kontemporer, kajian yang bersifat komphrehensif dan
universal terhadap ilmu tasawuf sangatlah dibutuhkan. Seluruh dimensi hukum syareat tidak
terlepas dari unsur pembentukan manusia yang memiliki koneksitas baik dengan Allah sebagai
pencipta maupun manusia, dimana dia sebagai makhluk sosial. Bila, pada masa klasik tasawuf
mampu membentuk dengan sempurna, meski banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Maka,
pada masa kontemprer juga peranan dari ilmu ini masih harus mendapatkan perhatian yang
serius.
Menurut Rabia Nasir dan Arsheed Ahmad Malik, pentingnya sufisme di era
kontemporer ini ada pada substansi tasawuf sebagai pengetahuan dan peran praksisnya untuk
mengatasi problem-problem keperilakuan. Nasir dan Malik menjelaskan bahwa pengetahuan
tentang tasawuf akan membimbing mereka untuk mengetahui semua tentang apa Islam itu;
ketika seseorang mulai bergerak di jalan kehidupan Sufi, ia akan mengerti jawaban dari
pertanyaannya. Sebagaimana diketahui, bahwa sufi adalah orang yang mengikuti Sunnah dan
menjalani hidup seperti itu dari Nabi Muhammad saw. Urgensi ini dapat dilihat jika diperhatikan
tragedi WTC Burn 9/11. Kebanyakan orang mudah memberikan identitas tertentu bagi agama
tanpa memiliki pengetahuan yang mendalam tentang hal itu. Politikus mulai membuat pikiran
tentang persepsi masyarakat umum terhadap Islam dan menginginkan mereka berpikir bahwa
Islam adalah teroris.51 Kesan ini muncul akibat pemahaman tentang totalitas Islam yang jauh
dari substansi sufisme. Oleh karena itulah sufisme teruji untuk memberikan bimbingan kepada
umat manusia sampai ke bentuk praksis keperilakuan dalam rangka merespons terhadap kesan
dan vonis terorisme Islam.
Setidaknya ada 2 hal inti yang harus dilakukan dalam konteks peranan atau kontribusi
ilmu tasawuf pada masa kontemporer.
1. Mengembalikan seluruh penyimpangan dan sikap ghuluw (ekstrim) yang pernah
dilakukan oleh para pendahulu mereka, baik dalam perkara aqidah, ibadah dan akhlak
kepada sumber yang bersih yaitu Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman

51
Nasir dan Malik, “Role and Importance of Sufism in Modern World,” 4.

22
salafush shaleh. Dan menjelaskan bahwa islam adalah konsep islam adalah rahmatan
lil alamin
2. Mengikuti jejak Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan orang-orang shaleh
terdahulu dalam hal tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) dan cara mereka mendapatkan
ketenangan jiwa. Tentunya, berdasarkan pada hasil pendekatan studi literature dan
studi kasus yang benar.

Karena ilmu tasawuf atau sufisme mampu memberikan bimbingan kepada umat manusia
lintas masa dan cocok di segala usia dan dilakukan secara berkelanjutan. Bahkan, sufisme dapat
dijadikan psikoterapi sebagaimana yang banyak dilakukan dibeberapa Negara termasuk yang
telah dilakukan di Indonesia dalam hal pemberantasan kecanduan narkoba dan lain-lain. ‫وهللا أعلم‬

23
PENUTUP

Akhlak merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan bermacam-macam
perbuatan yang mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Objek kajiannya adalah
perbuatan manusia dan norma (aturan) yang dijadikan untuk mengukur perbuatan dari segi baik
dan buruk. Pembentukannya secara integral melalui rukun iman dan rukunIslam.
Rukun Iman bertujuan tumbuhnya keyakinan akan ke-esaan Tuhan ( unity of God ) dan
kesatuan kemanusiaan ( unity of human beings ). Kesatuan kemanusiaan menghasilakn konsep
kesetaraan sosial ( social equity ). Rukun Islam menekankan pada aspek ibadah yang menjadi
sarana pembinaan akhlak, karena ibadah memiliki fungsi sosial.
Dalam menghadapi problematika kehidupan, diantara caranya adalah dengan
mengembangkan kehidupan yang berakhlak dan bertasawuf. Untuk pengkajiannya merupakan
bagian yang tak terpisahkan dari penelitian dan pengembangan dalam Ilmu Pengetahuan Agama
Islam.
Oleh karena itu dalam pengembangannya diperlukan untuk mengembalikan kembali
dalam kajian-kajian akhlak tasawuf Islami ke sumber yang pokok yaitu Al-Qur’an dan Hadits-
hadits Nabawi. Kemudian menghilangkan praktek-praktek yang tidak sesuai dengan prinsip-
prinsip Islam.
Dengan demikian sudah semestinya kajian-kajian tentang akhlak dan tasawuf perlu
diajarkan dalam lembaga-lembaga pendidikan formal, informal, dan non-formal. Untuk itu
dalam pendidikan dan pengajarannya disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan
kemampuannya sesuai dengan jenjang pendidikannya.

24
DAFTAR PUSTAKA

Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Kalam Mulia, Jakarta, 2011


Al Jurjany, Ali bin Muhammad Sayyid Syarif , Mu’jam At Ta’rifat, Daru Fadhilah, Dubai,
Valiudin, Mir , Tasawuf dalam Qur’an, Pustaka Firdaus, Jakarta 1993
Al-Kurdi, Muhammad Amin, Tanwirul Qulub fi Mu’amalatil ‘Allamil Guyub , (ttp.: Maktabah
Dar Ihya al-Kutub al-’Arabiyyah, tt.
Al Jurjany, Ali bin Muhammad Sayyid Syarif, Mu’jam At Ta’rifat, Daru Fadhilah, Dubai.
Basyuni, Ibrahim , Wasi’ah at Tasawuf al Islami, Darul Fikr, Kairo, 1969
Badruddin, Pengantar Ilmu Tasawuf, A-Empat, Serang 2015
Ahmad, M. Athoullah, Antara Ilmu Akhlak dan Tasawuf , Sengpho, Serang 2007
Al Jauziyyah, Ibnul Qayyim, Madarijus Salikin Baina manazili Iyyaka na’budu wa Iyyaka
Nasta’in, Darul Kutub Al Ilmiyah, Beirut 2004 ibid
Dzahir, Ihsan Ilahi , Darah Hitam Tasawuf Studi Kritis Kesesatan Kaum Sufi, ,Darul Falah,
Jakarta 2000
Isa, Abduh Ghalib Ahmad Mafhumu Tashawwuf, Darul Jail, Beirut 1992
Karrzon, Anas Ahmad, Tazkiyatun Nafs, Akbar media, Jakarta 2015
Daraniqah, Muhammad Ahmad , Tasawuf Al Islamy Tarekat Naqsabandiyah wa Ahlamuha,
Jarus barus, tt
Said, H.A. Fuad , Syekh Abdul Wahab Tuan Guru Babussalam, Pustaka Babussalam, Medan
1998
Ash Shiyadi, Muhammad Abdul Hadi Afandy , Al Qawaidul Mar’iyyah fi Thariqah Ar
Rifa’iyyah, ttp
Al ‘Utaiby, Khalid bin Nashir , Thariqah Asy Syadziliyah ‘ardh wa Naqd, Maktabah Ar Rusyd,
Riyadh 2011
Zuhri, Saifudin , Tarekat Syadziliyah Dalam Perspektif Perilaku Perubahan Sosial ( Yogyakarta:
Teras, 2011.
Mulyati, Sri , Mengenal Dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah Di Indonesia, ( Jakarta:
Prenada Media, 2004
Buchori, Purnawan, Manaqib Sang Quthub Agung, (Tulungagung: Pondok PETA, 2007
Trimingham, J. Spencer , The Sufi Orders in Islam (London: Oxford University Press, 1973

25
Aqib, Kharisuddin, Al Hikmah Memahami teosofi tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah, Bina
Ilmu, Surabaya, tt.
Abd. Rahman, Muslikh , Al- al-Rabbaniyat fi al-Thariqat al-Qadiriyat wa al-Naqsyabandiyat,
(Semarang: Toha Putra, 1994
Sholihin, M, MelacakPemikiranTasawuf, Jakarta : Raja GrafindoPersada, 205
Arif, Syamsuddin , Manipulasi dalam Kajian Sufisme, Telaah Utama Islamia, vol III. No. 1,
tahun 2006,
Ni’am, Syamsun , Tasawuf Studies Pengantar Belajar Ilmu Tasawuf, Ar Ruzz Media,
Yogyakarta 2014
Nasir dan Malik, “Role and Importance of Sufism in Modern World,” 4.

Referensi website

https://kbbi.web.id/studi
https://republika.co.id/berita/qd4m0g430/mengenal-tarekat-rifaiyah

26

Anda mungkin juga menyukai