(Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Etika Akademik)
Disusun Oleh :
Kelompok 6
MEDAN
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR
Kelompok 6
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
atau sebuah jalan yang hak sebagai ajaran Islam. Maka dari itu, dalam makalah ini
akan kami paparkan kepada pembaca mengenai kontroversi asal-usul tasawuf itu
sendiri dan pengaruh unsur nasrani, filsafat yunani, hindu/budha, serta persia
dalam tasawuf.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka
diperoleh rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana Kontroversi Asal-Usul Tasawuf ?
2. Bagaimana Pengaruh Unsur Nasrani dalam Tasawuf ?
3. Bagaimana Pengaruh Unsur Filsafat Yunani dalam Tasawuf ?
4. Bagaimana Pengaruh Unsur Hindu/Budha dalam Tasawuf ?
5. Bagaimana Pengaruh Unsur Persia dalam Tasawuf ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah disamping untuk
memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Etika Akademik, terdapat tujuan
pokok diantaranya:
1. Untuk Mengetahui Kontroversi Asal-Usul Tasawuf.
2. Untuk Mengetahui Pengaruh Unsur Nasrani dalam Tasawuf .
3. Untuk Mengetahui Pengaruh Unsur Filsafat Yunani dalam Tasawuf.
4. Untuk Mengetahui Pengaruh Unsur Hindu/Budha dalam Tasawuf.
5. Untuk Mengetahui Pengaruh Unsur Persia dalam Tasawuf.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
alam semesta, dan berbagai masalah lainnya, sembari berusaha untuk menuntut
perhatian semua manusia ke arah segala yang ada di balik semua identitas. Para
sufi itu lalu menambahkan riyadhah pribadi, kehidupan spiritual, penjernihan hati,
dan penyucian jiwa yang mereka lakukan ke dalam penafsiran para mufassir,
riwayat para muhaddits, dan ijtihad serta istinbath para mujtahidin. Singkatnya,
mereka mengembangkan berbagai aliran dan jalan tasawuf dengan memahami
agama secara komprehensif serta tidak terpisah-pisah. Di samping mereka juga
senantiasa hidup, merasa, dan memahami agama dengan baik.3
Demikianlah kehidupan spiritual islam mendapat landasan ilmiahnya.
Itulah kehidupan landasan praktik yang berkaitan langsung dengan kondisi hati
seperti zuhud nya zuhhad (para ahli zuhud), ibadahnya para ahli ibadah, kepekaan
spiritualnya para ahl al-wara‟, kelembutan perasaan orang-orang yang ikhlas,
cinta dan kerinduan para pecinta, dan ketajaman pandangan orang-orang fakir
yang menyadari kelemahan serta kefakiran mereka dihadapan Allah. Dari sini
kemudian muncul ilmu yang disebut dengan “ilmu tasawuf” dengan segala ciri
khas yang dimilikinya dalam bentuk manhaj, maslak (jalan), masyarab (sumber),
maudhu (subjek), kaidah-kaidah, dan istilah-istilah. Jadi, tidak diragukan lagi
bahwa landasan ilmu tasawuf adalah intisari dan saripati dari al-haqiqah al-
muhammadiyah meski kemudian muncul beberapa silang pendapat di masa
sekarang.4
Silang pendapat tentang asal-usul tasawuf dari segi sumber
perkembangannya, ternyata tidak hanya terjadi di kalangan para orientalis barat,
namun juga terjadi di kalangan ulama yang mengkaji bidang ini. Silang pendapat
ini pada gilirannya kemudian memunculkan pro dan kontra baik di kalangan
muslim maupun non-muslim.
Pada umumnya, mereka yang pro menafikan adanya sumber lain dalam
tasawuf selain Alquran dan perilaku hidup Rasulullah. Akan halnya kesamaan
yang ada dengan tata laku dengan tokoh-tokoh dari agama lain, mereka
menyatakan bahwa kontak sosial yang terjadi antara umat Islam antar umat
beragama adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat terbantahkan. Namun hal
ini tidak berarti bahwa kaum Sufi mengambil dasar-dasar tasawufnya dari luar
3
Abdul Hadi W.M., Tasawuf yang Tertindas, (Jakarta: Paramadina, 2001), hlm.234.
4
Azyumardi Azra, Pendidikan Islam,(Ciputat: Pustaka Ashari Thayib, 2000), hlm, 15.
4
Islam. Lebih jauh mereka menyebutkan bahwa kesamaan itu dapat saja terjadi
karena nilai-nilai spiritual memang sudah diberikan oleh Tuhan pada setiap
manusia.
ٰۤ
س َّى ْيتُهٗ َووَفَ ْختُ فِ ْي ِه ِم ْه
َ صا ٍل ِ ّم ْه َح َم ٍا َّم ْسىُ ْى ٍن فَ ِاذَا َ َواِ ْذ قَا َل َزبُّكَ ِن ْه َمه ِٕى َك ِة اِ ِوّ ْي خَا ِن ٌۢق بَش ًَسا ِ ّم ْه
َ ص ْه
َُّز ْو ِح ْي فَقَعُ ْىا نَهٗ س ِج ِديْه
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sungguh,
Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering dari lumpur hitam
yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan (kejadian)nya, dan
Aku telah meniupkan roh (ciptaan)-Ku ke dalamnya, maka tunduklah kamu
kepadanya dengan bersujud.”5
5
QS. al-Hijr [15]: 28-29.
6
Muhammad Abdullah al-Syarqawi, terj. Halid Alkaf, Sufisme & Akal, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2003), hlm. 28.
5
Menurut Abu al-wafa al-Ghanimi at-Taftazani sejak permulaan abad ke-19
sudah terjadi perbedaan pendapat di kalangan orientalis tentang asal usul tasawuf.
Sebagian mereka beranggapan bahwa tasawuf berasal dari Masehi (Kristen),
sebagian lagi mengatakan dari unsur Hindu-Budha, Persia, Yunani dan Arab.7
Untuk lebih jelas lagi, berikut ini diuraikan mengenai ulasan asal-usul
tasawuf. Yakni unsur Nasrani, filsafat Yunani, Hindu-Budha dan Persia.
Ada dua argumentasi yang kerap dijadikan sebagai dasar pijakan oleh para
pakar yang kontra. Mereka mengatakan bahwa tasawuf sesungguhnya berasal dari
unsur Nasrani. Argumentasi pertama, adanya interaksi antara orang Arab dan
kaum Nasrani pada masa jahiliyah maupun zaman Islam. Adapun argumentasi
kedua, adanya segi-segi kesamaan antara kehidupan para sufi dalam hal cara
mereka melatih jiwa (riyadhah) dan mengasingkan diri (khalwat), dengan
kehidupan al-Masih dan ajaran-ajarannya, serta dengan tata laku para rahib ketika
sembahyang dan berpakaian.
Menurut Von Kromyer, tasawuf adalah buah yang dipetik dari ajaran dan
pengalaman kenasranian pada zaman Jahiliyah. Ignas Goldziher mengatakan
bahwa sikap faqir dalam tasawuf misalnya, berpangkal pada ajaran agama
Nasrani. Pakaian wol kasar (Shuf) yang dipakai para Zahid atau kaum Sufi adalah
7
Alwi Syihab, at-Tashawwuf al-Islam wa Atsaruhu fi at-Tashawwuf al-Indunisi al-Mu‟ashir, terj.
Muhammad Nursamad, Islam Sufistik: “Islam Pertama” dan Pengaruhnya hingga Kini di
Indonesia, (Bandung: Mizan, 2002).
8
Amin Syukur, Tasawuf dan Tanggung Jawab Sosial pada Abad XX, (Semarang: Pusat Penelitian
IAIN Walisongo, 1996), hlm,20.
6
milik agama Nasrani. Hal ini juga diperkuat oleh pendapat Noldicker yang
mengatakan hal yang sama. Bagi Nichloson, istilah-istilah dalam tasawuf banyak
yang berasal dari agama Nasrani. Adapula yang menyatakan bahwa aliran tasawuf
yang menekankan cinta ketuhanan (mahabbah) juga berasal dari Nasrani, sesuai
dengan kisah dialog Nabi Isa dengan kelompok manusia yang bertemu
dengannya. Mereka bertanya tentang cinta kepada Allah, Isa menjawab ; “Kamu
adalah manusia yang paling dekat dengan Tuhan”.
Selanjutnya, masih menurut pakar yang kontra tasawuf, Ignas Goldziher
berpendapat bahwa tasawuf mempunyai dua aliran. Pertama, aliran asketisme
(zuhud) yang penuh dengan semangat Islam, sekalipun terlihat di dalamnya ada
pengaruh asketisme Masehi (kependetaan Kristen). Kedua, tasawuf dalam
pengertian yang lebih luas, termasuk Segala ucapan yang berkaitan dengan
pengenalan kepada Allah (ma‟rifah), keadaan rohaniah (hal) dan rasa (dzauq),
yang menurut Ignaz, memperoleh pengaruh dari agama Hindu disamping juga
Neo-Platonisme.9
Harun Nasution tampaknya juga sejalan dengan mereka. Ia berpendapat
bahwa pengaruh Kristen dengan paham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan
diri dalam biara-biara juga ada dalam tasawuf. Dalam literatur Arab terdapat
tulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di Padang Pasir. Lampu yang
mereka pasang di malam hari di tengah gurun pasir, menjadi petunjuk jalan bagi
kafilah-kafilah yang sedang melintas. Demikian pula kemah-kemah yang cukup
sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang-orang yang kemalaman.
Sementara itu, kemurahan hati mereka menjadi perlindungan dan tempat
memperoleh makan bagi musafir yang sedang kelaparan. Dikatakan bahwa apa
yang dilakukan oleh zahid dan sufi yang ingin meninggalkan dunia, memilih
hidup sederhana mengasingkan diri dari pergaulan manusia untuk sementara
waktu, adalah atas pengaruh cara hidup rahib-rahib Kristen ini.10 Abu Bakar
Aceh, sebagaimana dikutip oleh Abdul Qodir Jaelani, juga pernah menulis bahwa
agama Yahudi dan agama Kristen memberikan pengaruh pada pola dan cara
berpikir dalam Islam, meskitidakada penjelasan secara terperinci mengenai hal ini.
Diantara ajaran-ajaran tasawuf yang berasal dari agama Kristen adalah :
9
Simuh, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 1997).
10
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, cet. ke-III, hlm-59-60.
7
a. Sikap Fakir (al-Faqr)
Nabi Isa adalah orang fakir, dan kitab Injil disampaikan kepada orang fakir
sebagaimana beliau pernah berucap dalam Injil Matius : “Beruntunglah kalian
orang-orang miskin karena bagi kalianlah kerajaan Allah. Beruntunglah kalian
orang-orang yang lapar karena kalian akan kenyang.”11
Pernyataan diatas dibantah secara tegas oleh Alquran, karena istilah al -
Faqr (kata sifat, bentuk kata benda nya adalah al-Faqir jamaknya al-Fuqaroa‟
merupakan kosakata Alquran dan sekaligus dengan penjelasannya. Dengan
demikian, dasar ajaran al-Faqr (kefakiran) bukanlah dari agama Masehi
melainkan firman Allah :
سبُ ُه ُم ْان َجا ِه ُم ا َ ْغىِيَ ٰۤا َء َ ْض يَح ِۖ ِ ض ْسبًا فِى ْاَلَ ْز َ َّٰللاِ ََل يَ ْست َِط ْيعُ ْىن
سبِ ْي ِم ه َ ص ُس ْوا فِ ْي ِ ِْن ْهفُقَ َس ٰۤا ِء انَّ ِريْهَ اُح
ࣖ ْ ِه ْي ٌۢم اس ا ِْن َحافًا َۗو َما ت ُ ْى ِفقُ ْىا ِم ْه َخي ٍْس فَا َِّن ه
َ ّٰللاَ ِب ِه َ َّف ت َ ْع ِسفُ ُه ْم ِب ِسيْم ُه ْم ََل َيسْـَٔهُ ْىنَ انى
ِ ُِّمهَ انت َّ َعف
“(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah,
mereka tidak dapat (berusaha) di bumi, orang-orang yang tidak tahu menyangka
mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka
dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara
mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah),
maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.”12
Al-Faqr pada prinsipnya mengandung makna sikap yang tidak
memaksakan diri untuk mendapatkan sesuatu. Seorang Sufi tidak menuntut lebih
dari apa yang telah dimiliki atau melebihi dari kebutuhan bahan pokok. Hal ini
sesuai dengan pandangan Abu Muhammad al-Jariri yang dikutip oleh al-
Kalabadzi, yaitu bahwa kekafiran adalah tidak menuntut rezeki kecuali ketika
takut merasa lemah untuk melaksanakan kewajiban.
Yahya muadz misalnya, menyebutkan bahwa faqr adalah sikap seseorang
yang tidak memerlukan lagi apapun dan siapapun selain Allah, dan tanda
kefakirannya adalah ketiadaan harta benda. Pandangan yang sama juga
dikemukakan oleh Ibnu Jalla bahwa faqr adalah jika tidak ada lagi sesuatu pun
yang tersisa dari apa yang dimiliki. Karena jika masih memiliki, berarti tidak
disebut faqr. Jika ia tidak lagi memiliki sesuatu, maka ia layak memiliki sebutan
11
Zakiyudin, Ringkasan Ihya‟ Ulumuddin, (Jakarta: Tri Handayani Pers, 1995), hlm.54
12
Q.S Al-Baqarah [2]: 273.
8
faqr. Makna-makna ini memberikan pesan yang tersirat agar manusia bersikap
hati-hati terhadap pengaruh negatif yang timbul akibat keinginan terhadap harta
kekayaan.
Kebanyakan para sufi memang memilih untuk hidup miskin dan tidak
memiliki harta benda, karena menganggap bahwa harta benda tidak dapat
membuat mereka merasakan kebahagiaan spiritual bahkan justru menjauhkan dari
kebahagiaan sejati. Lebih dari itu, semakin banyak harta benda yang dimiliki akan
menyulitkan mereka di hari kiamat, karena harus dipertanggungjawabkan
dihadapan Allah.
b. Sikap Tawakal
Para pendeta Kristen, dikatakan telah mengamalkan sikap tawakal ini
dalam sejarah hidup mereka sebagaimana dikatakan dalam Injil : “Perhatikanlah
burung-burung di langit, ia tidak menanam, ia tidak mengetam, tetapi tidak
pernah berduka citab pada waktu susah. Bapak kamu di langit memberi kekuatan
kepadanya. Bukankah kamu lebih mulia dari burung?”.
Secara harfiah, tawakal berarti menyerahkan diri.13 Secara umum, tawakal
adalah kepasrahan secara penuh kepada Allah setelah melakukan suatu rencana
atau usaha. Bagi seorang sufi, segala rencana dan usaha itu tidak dapat dipastikan
hasilnya, namun harus diserahkan sepenuhnya kepada Allah dalam
ketidakberhasilannya maupun keberhasilannya. Dalam kaitan ini, al Ghazali
pernah mengungkapkan bahwa manusia hanya merencanakan dan mengusahakan,
tetapi Tuhan yang menentukan bagaimana hasilnya.14
9
dalam ilmu hakikat atau ilmu tarekat adalah tentang Tuhan yang merupakan Dzat
yang tidak bisa dilihat, dan rutinitas tarekat adalah dzikir yang sangat dibenci oleh
syetan. Maka untuk menjaga kebenaran, diperlukan bimbingan seorang mursyid
untuk mengarahkannya. Sebab penerapan asma‟ Allah atau pelaksanaan zikir
yang tidak sesuai bisa membahayakan secara ruhani maupun mental, baik
terhadap pribadi yang bersangkutan maupun terhadap masyarakat sekitar. Bahkan
bisa dikhawatirkan salah dalam berakidah.
Syekh Abu al-Hasan asy-Syadzily menjelaskan bahwa syarat-syarat
seorang syekh atau mursyid yang layak minimal ada lima, yakni memiliki
sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas, memiliki pengetahuan yang benar,
memiliki cita-cita (himmah) yang luhur, memiliki perilaku ruhani yang diridhai,
serta memiliki mata hati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi. 15
d. Selibasi
Selibasi adalah menahan diri untuk tidak melakukan pernikahan yang sah
secara agama. Hal ini merupakan kebiasaan para pastor di kalangan agama
Katolik karena perkawinan dianggap sebagai penghalang dan bahkan bisa
mengalahkan perhatian terhadap Tuhan.16
Mereka yang memahami tasawuf pasti mengetahi bahwa selibasi tidak ada
dalam ajaran tasawuf. Jika ada yang mengaitkan tasawuf dengan selibasi, maka
kemungkingkanna mereka menghubungkannya dengan kehidupan seorang sufi
wanita bernama Rabi‟ah al-Adawiyah. Ia dimuliakan dan dihormati oleh orang-
orang semasanya karena gaya hidup yang penuh dengan ibadah dan akhalak
mulia, serta tidak mau membagi cintanya dengan sebuah perkawinan.
Jika perilaku Rabi‟ah yang tidak menikah dijadikan sebagai dasar adanya
selibasi dalam ajaran tasawuf, tentu sangat disayangkan sekali. Hal ini karena
Rabi‟ah hanyalah salah satu dari sekian ribu sufi, sementara sufi lainnya
melakukan pernikahan karena ini merupakan perbuatan sunnah Nabi Muhammad.
Bagi kaum sufi, contoh tauladan tiada lain hanyalah Rasulullah.
15
Ahmad Ibn Muhammad Ibn „Ayyad, Al-Mafakhir al-„Aliyah.
16
Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996).
10
Ilmu Akhlak (Moral) pada Agama Nasrani
Pada akhir abad ketiga Masehi tersiarlah agama Nasrani di Eropa. Agama
ini telah berhasil mempengaruhi pemikiran manusia Dan membawa pokok-pokok
ajaran akhlak yang tersebut dalam kitab Taurat dan Injil. Menurut agama ini
bahwa Tuhan adalah sumber Akhlak. Tuhanlah yang menentukan dan membentuk
patokan-Patokan akhlak yang harus dipelihara dan dilaksanakan dalam Kehidupan
sosial kemasyarakatan. Tuhanlah yang menjelaskan arti baik Dan buruk. Menurut
agama ini bahwa yang disebut baik ialah Perbuatan yang disukai Tuhan serta
berusaha melaksanakannya dengan Sebaik-baiknya.
Dengan demikian ajaran akhlak pada agama Nasrani ini tampak bersifat
teo-centris (memusat pada Tuhan) dan sufistik (bercorak Batin). Karena itu
tidaklah mengherankan jika ajaran akhlak agama Nasrani yang dibawa oleh para
pendeta berdasarkan ajaran dalam kitab Taurat dan Injil (perjanjian lama dan
perjanjian baru).
11
Menurut Abuddin Nata, ungkapan Neo Platonis : “Kenalilah dirimu
dengan dirimu” telah diambil sebagai rujukan oleh kaum sufi memperluas makna
hadits yang mengatakan: “Siapa yang mengenal dirinya, niscaya dia mengenal
Tuhannya”. Dari sinilah munculnya teori Hulul, Wihdah Asy-Syuhud dan Wihdah
17
al-Wujud. Filsafat Emanasi Platonis yang mengatakan bahwa wujud alam raya
ini memancardari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan
kembali kepada Tuhan. Tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi
kotor, maka dari itu roh harus dibersihkan. Penyucian roh itu adalah dengan
meninggalkan dunia dan mendekati diri dengan Tuhan sedekat-dekatnya. Ajaran
inilah yang kemudian mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum Zuhud dan
sufi dalam Islam.18
Menurut O‟leary, sejak abad ketiga Hijriah dan seterusnya, para sufi
banyak menimba pengetahuan dari sumber-sumber Yunani. Disamping itu, R.A.
Nicholson juga berpendapat bahwa tasawuf falsafi adalah salah satu dampak dari
pemikiran Yunani. Karena itu, harus diakui bahwa dalam tasawuf terdapat
perpaduan pikiran Yunani dengan Agama Timur, tidak terkecuali Neo-
Platonisme, agama Manu dan Geostisme.19
17
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, hlm. 187
18
Harun Nasution, op. cit., hlm. 59
19
Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tasawuf, (Semarang: CV. Ramadhani, 1979).
12
sebagai darwish. Menurut Goldziher, para sufi belajar menggunakan tasbih
sebagaimana yang digunakan para pendeta-pendeta Budha. Ringkasnya dapat
dikatakan bahwa budaya etis, meditasi asketis sefta abstraksi intelektual adalah
plnjaman Budhisme. 20
Nicholson cenderung memperkuat berpendapat bahwa tasawuf bersumber
dari ajaran Budhisme. Ia mengatakan bahwa orang Islam pada umumnya kurang
akrab dengan orang Budha, karena mereka dipandang sebagai penyebab patung,
sehingga kontak diantara keduanya agak kurang. Di sisi lain, selama ribuan tahun
sebelum kemenangan umat Islam, Budhisme pernah memiliki akar yang kuat
dikawasan Timur Persia dan Bactria, sehingga oleh karenanya hampir dapat
dipastikan adanya pengaruh terhadap perkembangan tasawuf di daerah tersebut.21
Qomar Kailani memberikan penilaian bahwa berbagai pendapat seperti di
atas tampaknya terlalu ekstrim, karena jika benar ajaran tasawuf itu berasal dari
ajaran Hindu/Budha, berarti pada zaman Nabi Muhammad telah berkembang
agama Hindu/Budha itu ke Mekkah. Dalam realitasnya, sepanjang sejarah belum
ada kesimpulan seperti itu.22
20
Nicholson , The Mystics of Islam, terj. A. Nashir Budiman, Tasawuf Menguak Cinta Ilahi.
(Jakarta: RajaGrafindo, 1993), hlm.13
21
Nicholson, Ibid, hlm.8-9
22
Abudin Nata, op.cit, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), hlm.180
23
Usman Said, Pengantar llmu Tasawuf (lnstitut Agama lslam Negeri SU: Proyek Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama, Maret, 1983), hlm.27
13
Duzy ', orientalis barat penyusun buku Essai sur L' histoire de'l Islamisme,
menyebutkan bahwa tasawuf dikenal oleh kaum muslimin lewat orang-orang
Persia, yang telah berkembang disana karena diajarkan oleh orang-orang India
sebelum kedatangan agama Islam. Ditambahkannya, sejak masa purba di Persia
telah hidup suatu gagasan yang menganggap bahwa asal-usul munculnya segala
sesuatu itu adalah dari Tuhan. Alam semesta ini tidak mempunyai wujud
tersendiri, dan wujud sebenarnya hanya Tuhan. Pendapat seperti ini juga terdapat
dalam tasawuf, khususnya tasawuf yang beraliran wujudiyah. Memang, menurut
Schimmel, tasawuf sering dianggap sebagai perkembangan khas Persia dalam
tubuh Islam. Tak perlu diragukan bahwa unsur-unsur penting tertentu dari Persia
tetap bertahan berabad-abad dan menjiwainya, seperti yang ditekankan baik oleh
Henry Corbin maupun Syed Hossen Nashr.
Pendapat Dozy di atas yang memandang ajaran persia purba sebagai
sumber cikal-bakal ajaran tasawuf dalam Islam, merupakan sesuatu yang tidak
logis. Hal ini karena paham seperti itu hanya terdapat pada kalangan kecil para
sufi, yakni para penganut paham wujudiyah, yang justru baru muncul pada periode
akhir (sejak abad keenam dan tujuh Hijriah). 24
Pendapat lain yang mengatakan bahwa tasawuf itu berasal dari sumber
Persia, karena sebagian tokohnya berasal dari Persia (seperti Ma'ruf al-Karkhi dan
Abu Yazid al-Bustami), jelas tidak mempunyai pijakan yang kuat. Hal ini karena
perkembangan tasawuf tidak sekedar upaya mereka saja. Masih sangat banyak
para sufi Arab yang hidup di Syria, Mesir, bahkan di kawasan Afrika (Maroko),
seperti al-Darani, Dzu al-Nun al-Misri, Muhyiddin Ibn 'Arabi, Umar ibn al-Farid
dan Ibn „Athaillah al-Sakandari. Bahkan sebagian mereka adalah tokoh-tokoh
yang memberi dampak besar terhadap perkembangan tasawuf di Persia, seperti
Ibn 'Arabi.
Di sisi lain, Von Kramer berpendapat bahwa tasawuf ditimba dari sumber
India-Persia, dan karakteristik terpenting tasawuf ialah (panteisme). Dalam hal ini,
Nicholson menolak pendapat Von Kramer. Ia menegaskan bahwa tidak semua
tasawuf menganut paham wahdah al-wujud (yang sebenarnya sangat berbeda
dengan panteisme), sekalipun diriwayatkan bahwa al-Hallaj pernah mengatakan
24
Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf , hlm. 190-191
14
"ana al-haqq" (aku adalah Tuhan/Yang Maha Benar), Umar bin Al-Farid pernah
mengatakan "ana huwa" (aku adalah Dia/Tuhan), atau Abu Yazid al-Bustami
yang menyatakan "Subhani, Subhani, ma a'zhama sya'ni" (Maha suci aku, Maha
Suci aku, betapa Maha Besar aku). Bahkan aliran wujudiyah dalam tasawuf justru
baru muncul pada masa Syekh al-Akbar Muhyiddin Ibn Arabi, yang meninggal
pada 638 H.25
25
Nicholson, The Mystics of Islam, hlm.10
15
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penerimaan dan penolakan terhadap tasawuf, dalam realitasnya
menghasilkan dua pendapat yang berbeda dan saling bertolak belakang. Silang
pendapat tentang asal-usul tasawuf dari segi sumber perkembangannya, ternyata
tidak hanya terjadi di kalangan para orientalis barat, namun juga terjadi di
kalangan ulama yang mengkaji bidang ini. Silang pendapat ini pada gilirannya
kemudian memunculkan pro dan kontra baik di kalangan muslim maupun non-
muslim.
16
Menurut O‟leary, sejak abad ketiga Hijriah dan seterusnya, para sufi
banyak menimba pengetahuan dari sumber-sumber Yunani. Disamping itu, R.A.
Nicholson juga berpendapat bahwa tasawuf falsafi adalah salah satu dampak dari
pemikiran Yunani. Karena itu, harus diakui bahwa dalam tasawuf terdapat
perpaduan pikiran Yunani dengan Agama Timur, tidak terkecuali Neo-
Platonisme, agama Manu dan Geostisme.
B. Saran
Besar harapan penulis semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca.
Karena keterbatasan pengetahuan dan referensi, penulis menyadari bahwa tulisan
ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, saran dan kritik yang
membangun sangat diharapkan agar tulisan ini dapat disusun menjadi lebih baik
dan sempurna.
17
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 1983. Falsafah dan Mistisme Dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang.
Hafiun, Muhammad. 2012. Teori Asal-Usul Tasawuf. Dalam Jurnal Dakwah. Vol.
XIII. No. 2.
18